Anda di halaman 1dari 18

Pendahuluan

Menurut CDC (Centre for Diseases Control and Prevention), kandidiasis invasif
adalah infeksi jamur yang terjadi ketika kandida memasuki aliran darah. Setelah berada
dalam aliran darah, maka akan dapat menyebar ke seluruh tubuh dan menimbulkan infeksi. 1
Candida merupakan ragi yang normal hidup di dalam dan di permukaan tubuh tanpa
menimbulkan keluhan. Kandidiasis invasif terjadi ketika Candida yang ada memasuki aliran
darah. Hal ini juga bisa terjadi ketika perlatan medis, terutama kateter intra
venaterkontaminasi kandida. Apapun mekanismenya, infeksi yang terjadi dapat menyebar
melalui aliran darah dan mengenai berbagai organ.1
Diagnosa infeksi yang diakibatkan oleh jamur pada pasien yang dirawat di unit
perawatan intensif (Intensive Care Unit/ICU) cenderung meningkat. Hal ini dikarenakan
perkembangan ilmu kedokteran seperti penatalaksanaan keganasan, infeksi HIV/AIDS, dan
transplantasi organ menyebabkan pasien dengan penyakit yang berat dapat bertahan sehingga
terbentuklah populasi yang rentan terhadap berbagai infeksi oportunistik, terutama infeksi
jamur. Candida merupakan jamur patogen yang terbanyak pada pasien di ICU dengan
gambaran klinis terbanyak berupa infeksi aliran darah, diikuti oleh peritonitis dan infeksi
abdominal, endokarditis dan lainnya .2,3
Candidemia merupakan infeksi yang bersifat life-threatening dengan morbiditas dan
mortalitas yang tinggi, terutama pada pasien imunokompromis dan kritis. Di ICU, infeksi
Candida mewakili hingga 15% dari kasus infeksi nosokomial dengan angka mortalitas dari
berbagai studi berkisar antara 25-60%. Infeksi nosokomial oleh jamur juga merupakan salah
satu infeksi tertinggi yang memperoleh terapi yang tidak tepat, baik karena kelalaian dalam
inisiasi terapi empirik dan dosis yang tidak adekuat sehingga menyebabkan peningkatan
mortalitas.2
Di ICU, kandidemia merupakan salah satu infeksi tersering dan paling serius pada
pasien yang dirawat dan dapat mencapai hingga 10% dari pasien yang dirawat.2 Candida spp
merupakan salah satu dari lima patogen utama penyebab infeksi aliran darah di Amerika
Serikat dan menyebabkan 8- 10% dari kasus infeksi aliran darah pada infeksi nosokomial. Di
Amerika Serikat, insiden Candidemia dilaporkan sekitar 8 per 100.000 populasi dengan
rentang antara 6 – 14 kasus/100.000 populasi dengan pengecualian adalah Baltimore yang
mencapai 25/100.000 populasi. Sedangkan di negara Eropa seperti Norwegia, Finlandia dan
Swedia, insiden candidemia berkisar 3/100.000 populasi sedangkan di Denmark dilaporkan
sekitar 11/100.000 populasi. Sedangkan di negara Eropa lainnya seperti Inggris, Skotlandia,

1
Italia dan Spanyol berkisar antara 1,2 – 6,4/100.000 populasi.Secara keseluruhan, insisden
terbanyak terjadi pada kelompok usia ekstrim, sekitar 10 – 15 kali lebih tinggi pada
kelompok usia <1 tahun dan > 65 tahun.3,4

Faktor Risiko
Secara umum, pasien imunosupresi dengan keganasan yang berupa massa solid
ataupun hematologik dianggap sebagai yang paling rentan terhadap infeksi Candida. Selain
itu pasien yang dirawat di unit perawatan intensif juga termasuk kelompok yang rentan. Hal
ini disebabkan penggunaan berbagai peralatan yang bersifat invasif, gangguan mekanisme
imunitas karena penyakit yang melatarbelakanginya dan penggunaan antibiotika secara luas.
Pada unit perawatan intensif, hanya terdapat sedikit perbedaan faktor risiko terjadinya
kandidiasis invasif antara pasien anak-anak dan dewasa, seperti yang ada dalam tabel
berikut.2,5,6

Tabel 1. Faktor risiko kandidiasis invasif pada unit perawatan intensif


Unit Perawatan Intensif Dewasa Unit Perawatan Intensif Neonatal dan Anak
Masa perawatan yang lama Sama seperti pada unit perawatan intensif dewasa, ditambah:
Diabetes Prematuritas
Kegagalan Ginjal Skor APGAR yang rendah
Hemodialisis Malformasi kongenital
Antibiotika spektrum luas Berat badan lahir rendah
Kateter Vena Sentral
Nutrisi Parenteral
Obat-obat Imunosupresi
Keganasan dan Kemoterapi
Pankreatitis akut
Kolonisasi kandida pada beberapa lokasi
Pembedahan abdominal
Transplantasi
Kandiduria
Luka bakar luas
Skor APACHE II yang tinggi (>20)

Organisme Penyebab
Kandida adalah jamur yang termasuk golongan ragi (yeast) yang terutama tumbuh
dalam bentuk uniselular. Berukuran kecil (4-6 µm) dan berdinding tipis dengan bentuk ovoid
dan bereproduksi dengan cara pembentukan budding. Umumnya dapat tumbuh dengan baik
pada media botol kultur darah dan pada plat agar dan tidak memerlukan media pertumbuhan
khusus untuk jamur. Pada pewarnaan Gram akan memberikan hasil Gram positif dan dalam
pemeriksaan mikroskopis terhadap spesimen klinis dapat ditemukan dalam bentuk ragi,

2
pseudohifa dan hifa. Sedangkan koloni kandida akan memberikan gambaran yang halus
berupa krim putih, dengan koloni yang berkilau, menyerupai koloni stafilokokus. Identifikasi
presumtif secara cepat untuk Candida albicans adalah dengan menempatkannya pada serum
dan mengamati pembentukan germ tube yaitu suatu tonjolan dari permukaan sel yang muncul
dalam 90 menit. Namun tes tersebut dapat memberikan hasil positif semu maupun negatif
semu. Identifikasi hingga tingkat spesies dilakukan berdasarkan parameter fisiologis daripada
morfologi dengan melakukan uji metabolik seperti asimilasi karbohidrat dan fermentasi,
nitrat, dan urease.7
Dalam dua dekade terakhir dilaporkan telah terjadi pergeseran spesies Candida
penyebab infeksi. Dahulu, hampir semua isolat yang dilaporkan adalah Candida albicans,
namun sekarang telah terjadi peningkatan proposi candidemia yang disebabkan oleh spesies
non albicans. Spesies non albicans yang umum dijupai adalah Candida parasilosis, Candida
glabrata, Candida tropicalis, dan Candida krusei. Sedangkan spesies non albicans yang lebih
jarang ditemukan adalah Candida lusitaniae, Candida guilliermondii dan Candida
rugosa.Pffaler dkk. Mengkompilaskan data mengenai spesies kandida sejak 1997 – 2003
dalam tabel berikut ini.8
Tabel 2. Distribusi spesies penyebab kandidiasis invasif

*Pfaller MA, Diekema DJ. Epidemiology of invasive candidiasis: a persistent public health problem.
Clin.Microb.Rev. Jan 2007: 133-163.

Berdasarkan berbagai studi, beberapa faktor risiko telah dikaitkan dengan candidemia
yang disebabkan oleh beragam spesies tersebut. Salah satu yang paling dipahami adalah
penggunaan fluconazole secara luas yang merupakan predisposisi terjadinya infeksi oleh

3
spesies yang resisten terhadap azole, baik secara intrinsik seperti C.krusei ataupun yang
bersifat dose dependent seperti C.glabrata. Selain itu, faktor risio spesifik untuk terjadinya
candidemia oleh spesies non albicans juga telah dilaporkan, misalnya penggunaan peralatan
in dwelling, hiperalimentasi, dan neonatus adalah faktor risiko untuk terjadinya infeksi oleh
Candida parapsilosis. Adapaun faktor risiko untuk beberapa spesies kandida non albicans
lainnya dapat dilihat pada tabel 3.

Tabel 3. Faktor risiko kandidemia berdasarkan spesies kandida2


Spesies Faktor risiko
Candida tropicalis Neutropenia
Trasplantasi sumsum tulang
Candida krusei Penggunaan fluconazole
Neutropenia
Transplantasi sumsum tulang
Candida glabrata Penggunaan fluconazole
Pembedahan
Kateter vaskuler
Kanker
Usia lanjut
Candida parapsilosis Nutrisi parenteral dan hiperalimentasi
Kateter vaskuler
Neonatus
Candida lusitaniae dan Riwayat penggunaan polyene
Candida guilliermondii
Candida rugosa Luka bakar

Penegakan Diagnosa
Diagnosa secara mikrobiologis tetap merupakan diagnosa definitif untuk infeksi
jamur. Pemeriksaan mikrobiologis secara konvensional melalui pemeriksaan mikroskopis
langsung terhadap spesimen klinis merupakan prosedur pemeriksaaan lini pertama dalam
mendeteksi keberadaan elemen jamur dan merupakan pemeriksaan paling cepat (<1jam),
berguna dan cost-effective dalam diagnosa infeksi jamur. Namun pemeriksaan langsung
kurang sensitif jika dibandingkan dengan pemeriksaan kultur. Tetapi pemeriksan kultur darah
pada infeksi jamur juga dapat memberikan hasil negatif walaupun terdapat tanda-tanda klinis.
Pemeriksaan kultur darah dengan menggunakan sistem pemantauan berkelanjutan secara
otomatis (misalnya Bactec) merupakan pemeriksaan yang sensitif untuk deteksi kandida,
namun pada kandidiasis invasif, hanya memberikan hasil positif sebesar 50%.9
Penggunaan media khusus seperti CHROMagar yang berdasarkan pada proses
asimilasi dan atau fermentasi karbohidrat serta gambaran morfologi sesudah tumbuh, dapat

4
digukan secara simultan untuk isolasi dan identifikasi presumtif terhadap C.albicans,
C.krusei dan C.tropicalis. Penggunaan media ini juga dapat mengurangi waktu untuk
identifikasi presumtif organisme dan memungkinkan deteksi spesies ragi yang multipel dalam
sebuah spesimen.

Gambar 1. CHROMagar

Terapi antifungal secara dini merupakan suatu hal yang sangat penting dan berkaitan
langsung dengan survival pasien infeksi jamur invasif. Waktu antara onset biologis infeksi
jamur dan munculnya tanda dan keluhan klinis merupakan masa jendela (window periode)
yang jika dapat diidentifikasi melalui penapisan maka akan memberikan kesempatan untuk
intervensi preemptive therapy. Maka untuk meningkatkan kecepatan diagnosis dan survival
pasien, dikembangkan pemeriksaan mikrobiologi non kultur sebagai tampbahan pemeriksaan
mikrobiologi konvensional.
Pemeriksaan tersebut antara lain meliputi9,10:
- Deteksi (1,3)-β-D-glucan
Glucan merupakan komponen dinding sel dari sebagian besar jamur patogen kecuali
zygomycetes dan cryptococcus. Dapat dideteksi dalam serum hingga kadar 1 pg/ml,
namun cut-off yang dipakai adalah 60 pg/ml. Pada pemeriksaan dengan sampling 2
kali/minggu dilaporkan bahwa pemeriksaan ini memiliki nilai prediksi negatif (negative
predictive value) 100% dan sensitifitas sebesar 100%. Pemeriksaan ini tidak dipengaruhi
oleh penggunaan anti jamur empirik ataupun profilaksis. Namun bila hasil pemeriksaan
menunjukan hasil postif, maka diperlukan penilaian ulang dengan pemeriksaan lainnya.

5
- Deteksi DNA jamur
Dilakukan dengan menggunakan polymerase chain reaction (PCR). Namun pemeriksaan
ini belum direkomendasikan karena belum adanya standarisasi dan validasi metode yang
komersial. Namun hasil dari salah satu studi melaporkan bahwa pemeriksaan ini
memiliki sensitifitas 90,9% dengan spesifisitas 100%.

- Deteksi antibodi terhadap Candida Germ tubes (Candida Albicans Germ Tube
Antibody/CAGTA)
Merupakan pemeriksaan imunofluoresen dengan sensitifitas berkisar antara 77-89% dan
spesifisitas 91-100%. Berguna untuk diagnosa kandidiasis invasif pada pengguna
narkoba suntik, transplantasi sumsum tulang, dan pasien hematologi ataupun perawatan
intensif. Berguna untuk deteksi kandida baik yang albicans maupun non albicans.
CAGTA juga dapat digunakan untuk memantau keberhasilan terapi, karena titer CAGTA
biasanya akan menurun sesudah pemberian antifungal.

- Deteksi mannan dan anti-mannan kandida


Mannan merupakan komponen utama dinding sel kandida yang dapat menginduksi
respon antibodi. Bila digunakan secara terpisah, maka sensitifitasnya rendah (<50%)
namun bila dikombinasikan antara pemeriksaan mannan dan anti-mannan maka
sensitifitas meningkat menjadi 60-89%.

- Kombinasi pemeriksaan mikrobiologi non kultur


Berbagai studi melaporkan adanya peningkatan ketepatan diagnostik ketika
menggabungkan galaktomannan dan (1,3)-β-D-glucan maupun gabungan antara
pemeriksaan galaktomannan dengan PCR. Sedangkan pemeriksaan gabungan antara
(1,3)-β-D-glucan dan CAGTA pada pasien dengan neutropenia dilaporkan memberikan
spesifisitas dan nilai prediksi positif sebesar 100%.

- Pemeriksaan berdasarkan kultur mikrobiologi


Banyak pasien kritis yang terkolonisasi oleh jamur golongan kandida namun hanya
sebagian kecil yang berkembang menjadi kandidiasis invasif. Penapisan berdasarkan
hasil pemeriksaan kolonisasi kandida telah rutin dikerjakan di banyak ICU. Metode yang

6
digunakan terutama berdasarkan pada penilaian Colonisation Index (CI) dan Corrected
Colonisation Index (CCI) yang dikembangkan oleh Pittet dkk. Penilaian tersebut
bertujuan untuk menilai intensitas kolonisasi yang ada. Colonisation Index adalah rasio
jumlah bagian tubuh yang berbeda yang terdapat kolonisasi kandida terhadap total
jumlah daerah bagian tubuh yang diperiksa. Sedangkan Corrected Colonisation Index
adalah modifikasi dari CI dengan memperhatikan densitas dan derajat kolonisasi yang
ada. CCI merupakan rasio jumlah kultur dengan heavy growth terhadap jumlah seluruh
kultur yang positif. Pasien dengan nilai CCI > 0,4 diberikan terapi antifungal preemptive
dengan fluconazole.11

Keunggulan dan kekurangan masing-masing cara pemeriksaan dapat dilihat pada tabel
berikut.
Tabel 4. Pemeriksaan mikrobiologi untuk diagnosa kandidiasis invasif.*

Tehnik SEN (%) SPE (%) Keunggulan Kekurangan


Pemeriksaan
Deteksi 1,3 β-D 70 – 100 87-96 Penanda jamur keseluruhan, Pengalaman terbatas,
Glucan sensitifitas dan PPV tinggi hasil positif semu,
metodologi lemah
Deteksi DNA jamur 90 100 Spesifisitas tinggi, berguna Metode komersial yang
untuk serum dan spesimen terstandarisasi dan valid
klinis lainnya masih kurang
Candida Albicans 77-89 91-100 Diagnosis dan pemantauan Pengalaman terbatas
germ-tubes test terapi, spesifisitas tinggi,
(CAGTA) mampu deteksi beberapa
jenis spesies
Deteksi mannan 60-89 80-84 Spesifisitas dan sensitifitas Pengalaman terbatas
dan antibody baik bila dikombinasikan
antimannan
Kombinasi metode 87 100 Spesifisitas, sensitifitas, PPV Harga mahal dan
non kultur tinggi, berguna untuk memerlukan pengerjaan
diagnosa dan monitoring lab
Metode kultur 50 100 “standar emas”, berguna Sensibilitas rendah,
pada darah dan sampel klinis memakan waktu

*Peman J, Zaragoza R. Current diagnostic approaches to invasive candidiasis in critical settings.


Mycoses 2009, 53: 424-433

Pendekatan diagnostik untuk terapi empirik


Faktor risiko untuk terjadinya invasif kandidemia telah disampaikan pada
pembahasan sebelumnya. Beberapa faktor risiko seperti peritonitis, pembedahan abdominal,
pemberian antibiotik spektrum luas dan lainnya telah dijadikan sebagai acuan pertimbangan
untuk penatalaksanaan terapi empirik. Namun untuk mengupayakan pemberian antijamur
yang bijak dan tepat waktu pemberiannya serta sekaligus untuk menghindari pemberian

7
antifungal yang tidak perlu, beberapa penelitian telah dilakukan untuk mengembangkan
aturan prediksi klinis (clinical predictive rule) agar dapat mengidentifikasi pasien ICU yang
termasuk risiko tinggi terhadap kandidiasis dan memerlukan terapi antijamur empirik. Salah
satu yang banyak dipakai adalah Candida Score yang dikembangkan oleh Leon dkk
berdasarkan hasil pengamatan terhadap 1669 pasien ICU yang dirawat lebih dari 7 hari.11
Candida Score dilakukan dengan berdasarkan pada penilaian terhadap 4 hal yaitu
pembedahan, kolonisasi multifokal, total parenteral nutrition (TPN) dan severe sepsis.
Adapun cara penghitungannya adalah sebagai berikut:11
Candida score = 0,908 x (total parenteral nutrition) + 0,997 x (pembedahan) + 1.112 x
(multifocal Candida species colonization) + 2.038 x (severe sepsis). Atau bila dilakukan
pembulatan maka:
Candida score = 1 x (total parenteral nutrition) + 1 x (pembedahan) + 1x (multifocal
Candida species colonization) + 2 x (severe sepsis).
Semua variabel deberikan kode sebagai berikut: tidak ada = 0; ada = 1.
Bila skor yang diperoleh >2,5 maka risiko kandidiasis meningkat 8x lipat.2

Anti jamur yang tersedia


Beberapa tahun terakhir ini telah ada perkembangan dalam farmakoterapi anti jamur,
diantaranya yaitu dengan dikembangkannya anti jamur dari kelas echinocandin. .Studi yang
berbasis pembuktian tentang penggunaan anti jamur baru telah banyak. Pada penatalaksanaan
infeksi jamur di unit perawatan intensif, obat yang sering digunakan secara garis besar adalah
sebagai berikut12:
1. Obat golongan polyene
Amphotericin B deoxucholate telah digunakan untuk terapi anti jamur sejak tahun 1950-
an. Obat ini lebih dipilih dibandingkan polyene lainnya yang lebih toksik yaitu nystatin
yang digunakan sebatas untuk pengobatan topikal. Obat golongan ini bekerja dengan
cara berikatan dengan ergosterol yang merupakan komponen utama membran sel jamur
sehingga mengganggu permeabilitas sel dan menyebabkan kematian sel jamur.. Hingga
saat ini, amphotericin B merupakan antijamur dengan spektrum terluas, baik terhadap
kapang maupun ragi. Pada tahun 1990-an telah dikembangkan sediaan lipid dari
amphotericin B yang meliputi Amphotericin B lipid complex (Abelcet, Enzon),
liposomal amphotericin B (Ambisome) dan Amphotericin B colloidal dispersion
(Amphotec).Obat-obat tersebut lebih aman terhdap ginjal dibandingkan Amphotericin B

8
deoxycholate, namun belum ada bukti yang menyatakan bahwa obat tersebut memiliki
efikasi yang lebih baik.

2. Obat golongan azole.


Termasuk didalamnya adalah ketoconazole, fluconazole, itraconazole, posoconazole, dan
voriconazole. Merupakan anti jamur yang paling banyak digunakan. Bekerja dengan cara
menghambat enzim sitokrom P450 sel jamur, yaitu 14α-lanosterol demethylase sehingga
menghambat sintesis ergosterol yang merupakan komponen membran sel jamur..
Obat ini dapat dibedakan menjadi 2 kelompok utama yaitu imidazole (ketoconazole,
miconazole, clotrimazole, dan econazole) dan triazole (fluconazole, itraconazole,
voriconazole, dan posaconazole). Obat-obat ini memiliki aktivitas yang baik terhadap
ragi (yeast), dan itraconazole memiliki aktivitas terhadap beberapa jenis kapang
(moulds), termasuk pula Aspergillosis. Imidazole terutama digunakan untuk
penatalaksanaan infeksi superfisialis sedangkan triazole memiliki spektrum penggunaan
yang lebih luas
.
3. Obat golongan echinocandin.
Ada 3 obat yang termasuk dalam kelompok ini yaitu anindilafungin, caspofungin, dan
micafungin. Merupakan obat anti jamur yang relatif baru. Obat ini merupakan non
kompetitif inhibitor dari β(1-3)- glucan synthase sehingga dapat menghambat sintesis
glucan yang merupakan komponen penting dinding sel jamur. .

Selain ketiga macam golongan obat anti jamur tersebut di atas, masih ada beberapa macam
obat anti jamur lainnya seperti flucytosine, allylamine, dan morpholines. Namun
penggunaannya secara klinis tidaklah sesering golongan azole, polyene dan echinocandin.

9
Gambar 2. Tempat kerja obat anti jamur

Farmakologi Anti Jamur

 Absorbsi
Beberapa anti jamur, termasuk golongan polyene dan echinocandin tidak memiliki
bioavailabilitas oral, sehingga pengobatan infeksi jamur invasif hanya bisa dilakukan
secara intra vena hingga tahun 1990-an. Namun sekarang, tersedia anti jamur
golongan azole dalam bentuk sediaan oral. Fluconazole memiliki bioavailabilitas oral
sebesar 90% dari pemberian secara intravena. Proses absorpsinya tidak dipengaruhi
pemberian makanan, pH lambung ataupun penyakit. Sedangkan Itraconazole
diabsorpsi maksimal pada keadaan terjadi sekresi asam lambung. Sehingga
itraconazole tidak boleh diberikan bersamaan dengan obat antagonis H2 ataupun
penghambat pompa proton. Itraconazole juga sebaiknya diberikan sesudah makan
untuk meningkakan absorpsi. Sedangkan bioavailabilitas voriconazole >90% ketika
lambung kosong dan berkurang bila ada makanan.

 Distribusi
Secara umum, anti jamur didistribusikan secara luas ke seluruh tubuh. Namun karena
ukuran molekulnya yang relatif besar, hal ini menyebabkan sulit untuk penetrasi
melalui sawar darah-otak pada cairan serebrospinal (CSS) dan mencapai konsentrasi

10
yang diharapkan dalam CSS. Saat ini hanya flucytosine, fluconazole dan voriconazole
yang dianggap memiliki kemampuan penetrasi sawar darah otak baik, yaitu memiliki
konsetrasi minimal 50% dari konsentrasi serum. Anti jamur golongan polyene dan
sebgian besar golongan azole memiliki ikatan yang kuat dengan protein, terutama
dengan albumin hingga >90%. Sedangkan echinocandin berkisar 85 – 99% yang
berikatan dengan albumin. Sehingga pada keadaan hipoalbumin akan dapat
meningkatkan konsentrasi obat, namun belum cukup pembuktiannya.

 Metabolisme dan Eliminasi


Sebagian besar antijamur mengalami prosses metabolisme di hati sebelum
dieliminasi. Namun rute metabolisme dan eliminasi Amphotericin B belumlah
diketahui.

 Efek disfungsi organ terhadap dosis obat


Efek disfungsi organ terhadap eliminasi obat anti jamur dapat dilihat dalam tabel
berikut ini.

Tabel 6. Modifikasi dosis yang dianjurkan berdasarkan tipe disfungsi organ.

Dodds Ashley ES, Lewis R, Lewis JS, Martin C, Andes D. Pharmacology of systemic antifungal agents.
Clinical Infectious Diseases 2006; 43:S28–39

Penyakit hati dapat mempengaruhi eliminasi beberapa anti jamur. Namun untuk obat
golongan azole, hanya Voriconazole yang memerlukan penyesuaian dosis untuk
pasien dengan sirosis hati ringan – sedang. Sedangkan untuk golongan echinocandin,
maka hanya caspofungin yang memerlukan penyesuaian dosis pada penyakit hati
yang berat.

11
 Interaksi obat
Efek anti jamur terhadap rejimen terapi lainnya perlu diperhatikan dengan baik ketika
akan memulai ataupun menghentikan terapi karena anti jamur dapat mengubah
kemananan ataupun efikasi terapi melalui berbagai mekanisme, antara lain toksisitas
adiktif. Semua obat golongan azole menghambat enzim CYP 450. Sedangkan
konsentrasi caspofungin berkurang jika diberikan bersamaan dengan induser CYP450
seperti rifampin dan fenitoin. Micafungin memiliki efek penghambatan yang lemah
terhadap CYP3A4, sehingga akan meningkatkan konsentrasi dalam serum dari obat-
obat yang menjadi substrat enzim tersebut, misalnya sirolismus dan nifedipine.

Tabel 7. Terapi anti jamur di unit perawatan intensif*

* Zaragoza R, Peman J. The diagnostic and therapeutic approach to fungal infections in critical care setting.
Advances in Sepsis 2008: vol.6, No.3

12
 Toksisitas
Amphotericin B bersifat nefrotoksik dan dapat menimbulkan reaksi terkait infus akut
(acute infusion related reactions), reaksi pada paru. Sedangkan pemberian
itraconazole dapat menimbulkan trias yang unik berupa hipertensi, hipokalemia dan
edema, terutama pada pasien geriatri. Pemberian voriconazole dapat menyebabkan
gangguan visual berupa photopsia (penampakan cahaya terang, perubahan warna) dan
cutaneous phototoxicity. Sedangkan echinocandin hanya dikaitkan dengan toksisitas
yang ringan sehingga aman untuk diberikan. Yang menarik namun jarang adalah
histamine mediated infusion related reaction.

Resistensi Terhadap Anti Jamur


Telah banyak laporan mengenai resistensi berbagai spesies jamur patogen terhadap
obat-obat anti jamur, namun hal tersebut tidak akan dibicarakan lebih lanjut dalam materi ini,
tetapi resistensi beberapa spesies jamur patogen baik Candida spp (albicans dan non albicans)
serta spesies laiinya terhadap anti jamur dapat dilihat pada tabel berikut.
Tabel 8. Spektrum anti jamur terhadap beberapa jamur patogen

Dodds Ashley ES, Lewis R, Lewis JS, Martin C, Andes D. Pharmacology of systemic antifungal agents.
Clinical Infectious Diseases 2006; 43:S28–39

13
Strategi Penatalaksanaan Infeksi Jamur Invasif
Strategi penatalaksanaan infeksi jamur invasif dengan antifungal dapat dibedakan
menjadi empat yaitu2,14 :
1. Profilaksis: pemberian terapi antifungal sebelum ada tanda atau gejala infeksi
2. Preemptive: intervensi terhadap pasien dengan gambaran radiologi atau laboratorium
menunjukan adanya infeksi jamur invasif (Invasive Fungal Infection/IFI)
3. Empirik: intervensi terhadap kelompok risiko tinggi yang disertai dengan demam atau
neutropenia
4. Directed/Targeted (Cultur Proven Approach): penatalaksanaan dengan antifungal yang
tepat setelah terbukti adanya patogen dan infeksi jamur invasif melalui pemeriksaan
histopatologis/kultur.

Gambar 3. Penatalaksanaan kandidiasis pada pasien kritis

Pada pasien yang dirawat di unit perawatan intensif, pemberian anti jamur profilaksis
merupakan hal yang sering dilakukan sekaligus juga mengundang perdebatan, terutama
dikarenakan populasi sasaran yang optimal untuk pemberian anti jamur profilaksis masih
belum jelas. Namun ada beberapa guideline yang dapat dijadikan sebagai acuan dalam
pemberian antijamur, yaitu guideline yang dikeluarkan oleh IDSA (Infectious Diseases
Society of America) dan ESCMID (European Society of Clinical Microbiology and
Infectious Diseases). Adapun beberapa poin rekomendasi yang terdapat dalam guideline
tersebut diantaranya:15,16
 Profilaksis dengan fluconazole untuk mencegah invasive candidiasis dengan
direkomendasikan pada pasien yang baru saja menjalani pembedahan abdomen dan
ada riwayat perforasi gastrointestinal ataupun kebocoran anastomosis.

14
 Pasien ICU dewasa dengan demam walaupun telah diberikan antibiotik spektrum luas
tidak dianjurkan diberikan profilaksis
 Pasien ICU dengan kandida yang diisolasi dari saluran pernafasan tidak perlu
diberikan terapi profilaksis karena pneumonia yang disebabkan oleh kandida
merupakan kasus yang sangat jarang.
 Pasien dengan kandida yang berasal dari kultur darah perlu segera diterapi
 Profilaksis dengan fluconazole pada pasien di ICU hanya direkomendasikan bagi
pasien dengan risiko tinggi di unit dengan insiden kandidiasis invasif yang tinggi.

Pemilihan obat untuk profilaksis


Hal yang sering menjadi diskusi bagi para tenaga medis di unit perawatan intensif
adalah penentuan obat yang digunakan terutama untuk profilaksis. Dari berbagai referensi
yang ada, maka penentuan obat yang akan digunakan hendaknya memperhatikan faktor
pasien/host, terutama faktor hemodinamik serta hal-hal lain seperti riwayat alergi, faktor
patogen seperti kemungkinan infeksi oleh C.glabrata dan C.krusei, adanya kolonisasi
multipel dan lainnya juga perlu dijadikan pertimbangan dalam pemilihan obat anti jamur.
Gambar 4. Strategi pemberian anti jamur*

*Zaragoza R, Peman J. The diagnostic and therapeutic approach to fungal infections in critical care setting.
Advances in Sepsis 2008: vol.6, No.3.

15
Kesimpulan
- Kandidiasis invasif merupakan salah satu masalah di ICU
- Adanya pergeseran pola patogen penyebab kandidiasis invasif, dari C.albicans menjadi
Candida non albicans.
- Penegakan diagnosa yang cepat dan akurat untuk kandidiasis invasif sangatlah penting
karena dapat menyelamatkan nyawa.
- Identifikasi kelompok risiko tinggi dapat dilakukan berdasarkan hasil kultur dengan
menggunakan CI dan CCI ataupun tanpa kultur dengan menggunakan Candida Score.
- Pemberian anti jamur dapat berupa pemberian profilaksis, preemptive, empirik ataupun
Cultur Based
- Pemilihan anti jamur hendaknya memperhatikan fakor pasien (host) dan faktor patogen
penyebab.

16
REFERENSI

1. http://www.cdc.gov/fungal/diseases/candidiasis/invasive/definition.html
2. Basetti M, Mikulska M, Viscoli C. Bench-to-bedside review: Therapeutic
management of invasive candidiasis in the intensive care unit. Critical Care 2010,
14:244.
3. Yapar N. Epidemiology and risk factor for invasive candidiasis. Therapeutics and
Clinical Risk Management 2014:10, 95-105.
4. Maiken C Arendrup. Epidemiology of invasive candidiasis. Current Opinion in
Critical Care 2010, 16:445-452.
5. Zeichner LO, Pappas PG. Invasive candidiasis in the intensive care unit. Crit Care
Med 2006 Vol.34, No 3.
6. Toya SP, Schraufnagel DE, Tzelepis GE. Candiduria in intensive care units:
association with heavy colonization and candidemia. J Hosp Inf 2007, 66:201-206
7. Mandell GL, Bennett JE, Dollin R. Principles and practice of infectious diseases 7th
edition. Elsevier, 2010.
8. Pfaller MA, Diekema DJ. Epidemiology of invasive candidiasis: a persistent public
ealth problem. Clin.Microb.Rev. Jan 2007: 133-163.
9. Peman J, Zaragoza R. Current diagnostic approaches to invasive candidiasis in critical
settings. Mycoses 2009, 53: 424-433
10. Zaragoza R, Peman J. The diagnostic and therapeutic approach to fungal infections in
critical care setting. Advances in Sepsis 2008: vol.6, No.3.
11. Pittet D, et al. Candida colonization and subsequent infections in critically ill surgical
patients. Annals of Surgery 1994, Vol 220, No.6:751-758
12. Dodds Ashley ES, Lewis R, Lewis JS, Martin C, Andes D. Pharmacology of systemic
antifungal agents. Clinical Infectious Diseases 2006; 43:S28–39
13. Leon C et al. A bedside scoring system (Candida Score) for early antifungal treatment
in nonneutropenic critically ill patients with Candida colonization. Crit Care Med
2006, Vol 34, No.3.
14. Oliver A. Cornely et al. Evaluating the role of prophylaxis in the management of
invasive fungal infections in patients with hematologic malignancy. Eur. J. of
Haematology 2011, 87: 289–301

17
15. Pappas PG, Kauffman CA, Benjamin DK, et al. Clinical Practice Guidelines for The
Management of Candidiasis: 2009 Update by th Inffectious Diseases Society of
America.
16. Cornely OA, Bassetti M, Calandra T, et al. ESCMID* guideline for the diagnosis and
management of Candida diseases 2012: non neutropenic adult patients.

18

Anda mungkin juga menyukai