Anda di halaman 1dari 57

SKRIPSI

FAKTOR RISIKO KEJADIAN TUBERKULOSIS PARU


DI WILAYAH KERJA PUSKESMAS NAMBO
KOTA KENDARI

OLEH :
IRAWATI
NIM : P.2016.01.132

PROGRAM STUDI S1 KEPERAWATAN


SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN MANDALA
WALUYA
KENDARI
2020
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

TB paru ialah suatu terinfeksi kronis pada paru dan dikarenakan

Mycobacterium tubercolosis. Penyakitnya ditular lewat udara, ketika

penderita TB batuk, bersin ataupun membuang ludah di sembarang tempat,

sehingga mudah untuk menginfeksi orang-orang disekitar penderita TB

Paru(WHO, 2015).

Pada tahun 2014 total penderitaan TB paru didunia seluruhnya 9,6 sejuta

jiwa, di antaranya adalah pria ialaah 5,4 juta jiwa (56,25%) dan wanita

totalnya 3,2 juta jiwa (33,33%) serta anak-anak sebanyak 1 juta orang

(10,42%). Dari rentang tahun 2000-2014 diagnosis dan penatalaksanaan yang

tepat mampu menyelamatkan kira-kira 43 juta penduduk dunia yang

menderita TB Paru. Dari 9,6 jutaan penderita TB Paru, lebih dari setengah

(58%) kasusnya berasal dari Seasia Tenggara dan wilayah Pasifik Barat.

Angka kejadian TB Paru yang terbanyak ialah negara India, Cina dan

Indonesia (WHO, 2015).

Menurut WHO (2015) bahwasanya terdapat 22 negara yang berkategori

penderita terbanyak tuberkulosis. Sekitaran 80% penderitanya didunia ada d

22 negara kembang dan angka kematiannya 3 juta dsetiap tahunan berasalnya

9 juta penderita terbaru seta globalnya meningakat dalam tiap tahun ialah 1%.
Di Indonesia tuberkulosis yaitu permasalahan mendasar, total penderita

paling banyak urut ke tiga telah India serta Cina total berkisar 10% untuk

semua jumlah yang ada didunia. Secara keseluruan di 2010 ialah sebanyak

302.861 jiwa. 183.366 penderita diantara lain mengalami BTA positif. total

sering meningkat dibanding sejumlah kasus lainnya, BTA positif ditahun

2008 sebanyak 161.741 penderita. (Depkes RI, 2010).

Jumlah kasus tuberkulosis di Indonesia tahun 2016 berjumlah 351.893

kasus. Pada tahun 2017 jumlah tersebut meningkat menjadi 446.732kasus dan

pada tahun 2018terus meningkat yaitu sebanyak566.623 kasus (Kemenkes,

2019).

Menurut Kemenkes RI (2019) jumlah Case Detection Rate (CDR) di

Provinsi Sulawesi Tenggara di 2018 sebabyak 42,8% dan menduduki

peringkat kedua puluh satu dengan jumlah kasus di Indonesia dibawah DKI

Jakarta, (122,2%), Sulawesi Selatan (84%), Papua (78,5%), Banten (77,2%),

Jawa Barat (71%), Gorontalo (70,8%), Jawa Tengah (67,7%), Jawa Timur

(64%), Sulawesi Utara (63,9%), Maluku (58,9%), Papua Barat (58,1%),

Sulawesi Tengah (56,7%), Kalimantan Selatan (51,2%), Sumatera Selatan

(50,1%), Kalimantan Utara (48,3%), Sumatera Utara (48,1%), Lampung

(45,7%), Kepulauan Riau (43,1%), Bengkulu, dan Sumatera Barat (42,8%).

Data Laporan Tahunan Dinkes Provinsi Sultra tahun 2017 jumlah kasus

TB paru di Provinsi Sulawesi Tenggara sebesar 377 kasusnya. walaupun d

2018 penderitanya bertambah yang sangat signifikan ialah sebesar 4.687

kasus (Laporan Tahunan Dinkes Prov. Sultra, 2018).

11
Berdasarkan data laporan tahun 2019 jumlah penderita TB paru di beberapa

pusat keseatan masyarakat sekota kendari, jumlah kasus terbanyak terdapat di

Puskesmas Perumnas yaitu sebesar 586 kasus dan kasus yang paling sedikit

terdapat di Puskesmas Nambo sebesar 40 kasus. Akan tetapi walaupun

Puskesmas Nambo paling sedikit jumlah penderita TB paru namun target

capaian dalam penanganan kasus TB paru masih sangat kurang yaitu 40%

dari target yang ditetapkan oleh pemerintah yaitu 191%. Selain itu kasus yang

dilaporkan didapatkan 19 kasus mengalami multidrug resistant tuberculosis

(MDR) yaitu penderita TB yang resisten terhadap jenis obat utama yang

efektif membunuh kuman mycobacteriumtuberculosis akibat pengobatan

yang tidak tuntas dan 5 kasus diantaranya didapatkan di puskesmas nambo

(Laporan Tahunan Dinas kesehatan KotaKendari, 2019).

Sesuai pendahuluan dipuskesmas nambo, jumlah penderita TB paru

ternyata meningkat. Terjadi di 2017 sejumlah penderita TB paru sebanyak 24

kasusnya, di 2018 banyak 34 kasusnya, serta 2019 hingga maret 2020

sebanyaknya 52 kasusnya(Laporan Tahunan Puskesmas Nambo, 2020).

sebanyak faktoran mempengaruhi hadap kejadian tuberkulosis. Faktornya

ialah individual (berumur, gender, ekonomi, pendidikannya, pengetahuan),

lingkup sekitar(kepadatan hunian, ventilasi, suhu, kelembaban, pencahayaan),

kebiasaan merokok, riwayat kontak, jarak rumah ke fasilitas pelayanan

kesehatan dan sebagainya (Yunus, M.Y., 2018).

Pengetahuan sangat berperan dalam kejadian TB paru, dimana makin

tingginya pemahaman seorang mengenai kesehatannya dapat makin tingginya

12
kesadarannya dalam meningkatkan kesehatannya (Notoatmojo, 2010).

Penelitian yang dilakukan Fransiska, M., Hartati, E (2019) menjelaskan

bahwa pengetahuan merupakan faktor risiko kejadian tuberkulosis.

Riwayat kontak merupakan salah satu yang berperan pula terhadap

terjadinya TB paru. Semua kontak penderita TB paru yang positifnya mesti

diperiksakan berdahak. Kontakan langsung sepertinya didalam keluarganya

serta terpapar kemungkinan tertular. Penelitiannya Fitriani, E (2013) menjelas

bahwasanya riwayatan berkontak dapat menejadi TB.

Faktor-faktor lainnya berperan terhadap jadian TB adalah jarak rumah

ketempat pelayanan kesehatan. Jarak yang jauh dan sulit ditempuh dapat

menyebabkan seseorang tidak ingin pergi memeriksakan dirinya ketenaga

medis. Hal ini akan mengakibatkan diagnosa atau penemuan kasus TB paru

biasa terkendala sehingga penularan penyakit tidak bisa diatasi oleh tenaga

kesehatan (Yunus, M.Y., 2018). Penelitian yang dilakukan oleh Chairani, M

(2017) menjelaskan bahwa akses ke tempat pelayanan kesehatan merupakan

faktor yang menyebabkan terjadinya tuberkulosis paru.

Saat peneliti melakukan studi pendahuluan dengan mewawancarai 7 penderita

yang datang ke puskesmas nambo semuanya memiliki pengetahuan yang

kurang antara lain tidak mengetahui apa itu tuberkulosis paru, apa faktor

penyebab tuberkulosis paru, cara penularan dan pencegahannya. Selain itu

saat peneliti mengunjungi 5 rumah penderita tuberkulosis paru rata-rata

mereka tinggal serumah dengan beberapa keluarganya dan rata-rata jarak

rumah mereka ke puskesmas nambo lebih dari 3 km. Sehingga berdasarkan

13
hal tersebut penulis akan meneliti dengan judul “faktor risiko kejadian

tuberkulosis paru di wilayah kerja puskesmas nambo kota kendari”.

B. Rumusan Masalah
1. Apakah pengetahuan mengenai TB paru merupakan faktor risiko

terjadinya tuberkulosis paru di wilayah kerja puskesmas nambo kota

kendari?.

2. Apakah riwayat kontak merupakan faktor risiko terjadinya tuberkulosis

paru di wilayah kerja puskesmas nambo kota kendari?.

3. Apakah jarak rumah ketempat pelayanan kesehatan merupakan faktor

risiko terjadinya tuberkulosis paru di wilayah kerja puskesmas nambo

kota kendari?.

C. Tujuan
1. Tujuan Umum
Untuk mengetahui faktor risiko kejadian tuberkulosis paru di wilayah

kerja puskesmas nambo kota kendari.

2. Tujuan Khusus

a. Untuk mengetahui risiko pengetahuan terhadap kejadian tuberkulosis

paru di wilayah kerja puskesmas nambo kota kendari.

b. Untuk mengetahui risiko riwayat kontak terhadap kejadian

tuberkulosis paru di wilayah kerja puskesmas nambo kota kendari.

c. Untuk mengetahui risiko jarak rumah ketempat pelayanan kesehatan

terhadap kejadian tuberkulosis paru di wilayah kerja puskesmas

nambo kota kendari.

D. Manfaat

14
1. Manfaat Teoritis

diharap dapat memberikan sumbangan keilmuan dalam kesehatan

khususnya bidang keperawatan tentang faktor risiko kejadian tuberkulosis

paru di wilayah kerja puskesmas nambo kota kendari.

2. Manfaat Praktis

a. Bagi Institusi Kesehatan

diharapkan bisa dijadikan sebagai informan dalam peningkatan

pemahaman tentang faktor risiko kejadian tuberkulosis paru.

b. Bagi Institusi Pendidikan

Berupaya jadi sebuah inovasi baru serta bahan bacaan untuk

menambah wawasan terkait faktor risiko kejadian tuberkulosis paru.

c. Bagi Profesi Keperawatan

Dapat berguna dalam peningkatan askep terkait faktor risiko kejadian

tuberkulosis paru.

d. Bagi Pasien, Keluarganya serta kelompok

Bisa menjadi masukan pada penderita, keluarga dan masyarakatnya

sehingga dapat mengetahui faktor risiko kejadian tuberkulosis paru.

E. Kebaruan Penelitian
Tabel 1. Kebaruan Penelitian
Peneliti dan Judul
No. Persamaan Perbedaan
Tahun penelitian
1. Eni, N., Pengaruh Salah satu Variabel
Tamsah, H., tingkat variabel independen pada
Kadir, I pengetahuan independen penelitian ini adalah
(2019) dan lingkungan yaitu tingkat lingkungan.
terhadap pengetahuan Sedangkan yang
pencegahan dilakukan oleh
penularan TB peneliti adalah

15
paru melalui riwayat kontak dan
perilaku jarak rumah dengan
masyarakat di fasilitas pelayanan
Wilayah Kerja kesehatan. Selain
Puskesmas itu melalui perilaku
Tanasitolo masyarakat.
Kabupaten Sedangkan yang
Wajo dilakukan oleh
peneliti adalah
kejadian
tuberkulosis paru.
Perbedaan lain
adalah metode
penelitian survey.
dilakukan oleh
peneliti case
control.
2. Fransiska, Faktor risiko Salah satu Variabel
M., Hartati, kejadian variabel independen pada
E (2019) tuberkulosis independen penelitian ini adalah
yaitu tingkat umur, merokok, dan
pengetahuan. kepadatan hunian.
Selain itu Sedangkan yang
desain dilakukan oleh
penelitian peneliti adalah
yang riwayat kontak dan
digunakan jarak rumah dengan
yaitu case fasilitas
control.
3. Bawihu, Hubungan Variabel Variabel
L.C., Lolo, pengetahuan independen independen pada
W.A., penderita yaitu penelitian ini hanya
Rotinsulu, tuberkulosis pengetahuan. satu yaitu
H (2017) paru dengan pengetahuan.
tingkat Sedangkan yang
kepatuhan dilakukan oleh
dalam program peneliti selain
pengobatan pengetahuan adalah
tuberculosis riwayat kontak dan
paru di jarak rumah dengan
Puskesmas fasilitas pelayanan
Bahu kesehatan. Selain
Kecamatan itu program
Malalayang pengobatan
Manado tuberkulosis paru.
Sedangkan yang

16
dilakukan oleh
peneliti adalah
kejadian
tuberkulosis paru.
Perbedaan lain
adalah deskriptif
korelasi. Sedangkan
dilakukan oleh
peneliti ialah case
control.
4. Budi, A.S., Faktor-faktor Salah satu Variabel
Tuntun, M yang variabel independen pada
(2016) berhubungan independen penelitian ini adalah
dengan kejadian yaitu tingkat lantai
tuberculosis pengetahuan. rumah,kelembaban,
paru BTA Selain itu perilaku merokok,
positif pada desain dan kondisi sosial.
pasien rawat penelitian Sedangkan yang
jalan di UPT yang dilakukan oleh
Puskesmas digunakan peneliti adalah
Wonosobo yaitu case riwayat kontak dan
Kabupaten control. jarak rumah dengan
Tanggamus. fasilitas pelayanan
kesehatan.
5. Izzati, S., Faktor risiko Variabel Variabel
Basyar, M., yang dependen independen pada
Nazar, J berhubungan yaitu status gizi,
(2015) dengan kejadian kejadian pencahayaan
tuberkulosis tuberkulosis rumah, penyakit
paru di wilayah paru. Selain DM, ventilasi dan
kerja itu desain kepadatan hunian.
Puskesmas penelitian Sedangkan yang
Andalas tahun yang dilakukan oleh
2013 digunakan peneliti adalah
yaitu case pengetahuan,
control. riwayat kontak dan
jarak rumah dengan
fasilitas pelayanan
kesehatan.

17
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Tinjauan Tentang Tuberkulosis Paru

1. Definisi Tuberkulosis

18
Tuberkulosis adalah penyakit menular di udara dan paling banyak

menyerang paru-paru. Organisme penyebabnya adalah basil tahan asam

mycobacterium tuberculosis (Dalvin and Smith, 2017).

Tuberkulosis merupakan penyakit yang disebabkan oleh bakteri

mycobacterium tuberculosis yang merupakan bakteri tahan asam (BTA)

dan juga merupakan penyakit menular (Kemenkes RI, 2014).

2. Etiologi

Penyebab utama tuberkulosis paru adalah bakteri mycobacterium

tuberculosis. Mycobacterium tuberculosis berupa kuman batang, tahan

terhadap asam, dan bersifat aerob. Basil tuberkel berukuran 0,3 x 2 mm

sampai 4 mm, lebih kecil dari ukuran eritrosit atau sel darah merah. Basil

tuberkulosis bisa terus hidup berbulan-bulan pada suhu kamar dan di

dalam ruangan yang lembab (Price and Wilson, 2006). Seseorang bisa

terinfeksi bakteri melalui berbicara, tertawa, batuk, maupun bersin yang

mengandung droplet besar (lebih besar dari 100 µ) dan droplet kecil (1

sampai 5 µ). Droplet yang besar menetap sementara droplet yang kecil

tertahan di udara dan dihirup oleh individu yang rentan (Smeltzer & Bare,

2001).

19
3. Manifestasi

Gejalanya terutama pada tuberculosis ialah batuk-batik dahak dalam

dua minggu ataupun melebihi. Gejala-gejala lainnya: (Kementrian

Kesehatan RI, 2018)

a. Batuk berdarah

b. Dahaknya bercampur darah

c. Sesak saat bernafas

d. Badannya lemah

e. Penurunan nafsu makannya

f. Penurnan BB

g. Mual muntah

h. Keringatan pda malam harinya

i. Mengigil lebih sebulanan

4. Komplikasi

Komplikasi dibagi atas komplikasi dini berupa pleuritis, efusi pleura,

empyema, laryngitis. Sedangkan komplikasi lanjut berupa obstruksi jalan

napas, kerusakan parenkim berat, amyloidosis, karsinoma paru, sindroma

gagal napas, tuberculosis milier dan kavitas paru (Amin & Asril, 2009).

Selain itu, komplikasi yang sering terjadi pada stadium lanjut adalah

hemoptysis berat yang dapat mengakibatkan kematian karena syok

hipovolemik atau tersumbatnya jalan napas, kolaps dari lobus akibat

retraksi bronchial, bronkiektasis dan fibrosis pada paru, pneumotorak

27
spontan, infeksi ke organ lain dan insufisiensi kardio pulmoner

(Kemenkes RI, 2011).

5. Cara Penularan

Selain melalui tranmisi udara, mycobacterium tuberculosis juga dapat

menular jika terjadi kontak langsung dengan luka penderita tuberkulosis

paru. Percikan dahak pada klien dangan BTA positif yang mengandung

mycobacterium tuberculosis merupakan sumber penularan dari

tuberkulosis (Kemenkes RI, 2014).

Tuberkulosis ditularkan dari orang ke orang oleh bantuan udara.

Individu terinfeksi melalui berbicara, batuk, bersin, tertawa, maupun

bernyanyi yang melepaskan droplet nuclei ke udara dan dihirup oleh

individu yang rentan (Smeltzer & Bare, 2001).

6. Pengobatan Tuberkulosis Paru

Tujuan utama pengobatan tuberkulosis adalah memperbaiki

produktivitas, mencegah kematian oleh tuberkulosis, mencegah

kekambuhan, menurunkan penularan, dan mencegah resistensi obat

tuberkulosis. Hal yang digunakan sebagai prinsip pengobatan

tuberkulosis adalah pemberian OAT yang mengandung 4 macam obat

untuk mencegah terjadinya resistensi, diberikan dalam dosis yang tepat,

ditelan atau dikonsumsi secara teratur, dan diawasi oleh Pengawas

Menelan Obat (PMO) hingga selesai pengobatan (Kemenkes RI, 2014).

28
a. Tahapan Pengobatan Tuberkulosis

Menurut Kemenkes RI (2014) pengobatan TB akan selalu meliputi

pengobatan tahap awal dan pengobatan tahap lanjutan. Pada tahap

awal pengonsumsian obat dilakukan setiap hari. Hal tersebut

digunakan untuk menurunkan jumlah bakteri yang berada di dalam

tubuh klien dan mengurangi pengaruh dari sedikit bakteri yang

dimungkinkan resisten sejak klien belum mengonsumsi OAT. Tahap

awal ini dilakukan selama 2 bulan dan dengan pengonsumsian OAT

secara teratur dan tanpa penyulit, setelah 2 minggu pengobatan

daya penularan sudah sangat menurun. Untuk tahap lanjutan sendiri

merupakan tahap yang penting untuk menurunkan dan membunuh sisa

bakteri yang ada di dalam tubuh klien, sehingga klien dapat sembuh

dan tercegah dari kekambuhan.

b. Obat Anti Tuberkulosis (OAT)

Tabel 2. Jenis, sifat, dan efek samping OAT

Jenis Sifat Efek Samping


Isonazid (H) Bakterisidal Neuropati perifer, psikosis
toksik, gangguan fungsi hepar,
kejang.
Rifampisin (R) Bakterisidal Flu Syndrome, gangguan
gastrointestinal, urine
berwarna merah, gangguan
fungsi hepar, trombositopeni,
demam, skin rash, sesak napas,
anemia hemolitik.
Pirazinamid (Z) Bakterisidal Gangguan gastrointestinal,
gangguan fungsi hepar, gout
artitis.
Streptomisin (S) Bakterisidal Nyeri di tempat suntikan,
gangguan keseimbangan dan
pendengaran, syok anafilaktik,

29
anemia, agranulositosis,
trombositopeni.
Etambutol (E) Bakteriostatik Gangguan pengelihatan, buta
warna, neuritis perifer.

c. Panduan Obat Anti Tuberkulosis (OAT)

Panduan OAT yang digunakan di Indonesia yang disusun oleh

Program Nasional Pengendalian Tuberkulosis (Kemenkes RI, 2014):

1) Kategori 1: 2(HRZE)/4(HR)3

Panduan OAT ini diberikan untuk klien baru:

a) Klien TB paru terkonfirmasi bakteriologis

b) Klien TB paru terdiagnosis klinis

c) Klien TB ekstra paru

Tabel 3. Dosis Paduan OAT KDT Kategori 1


Tahap intensif Tiap Tahap lanjutan
hari selama 56 hari 3 kali seminggu
Berat Badan RHZE(150/75/400/275) selama 16 minggu
RH(150/150)
30 – 37 kg 2 tablet 4KDT 2 tablet 2KDT
38 – 54 kg 3 tablet 2KDT 3 tablet 2KDT
55 – 70 kg 4 tablet 2KDT 4 tablet 2KDT
≥ 71 kg 5 tablet 2KDT 5 tablet 2KDT

2) Kategori 2: 2(HRZE)S/(HRZE)/5(HR)3E3

Paduan OAT ini diberikan untuk klien BTA positif yang

pernah diobati sebelumnya (pengobatan berulang) :

a) Klien kambuh;

b) Klien gagal pengobatan dengan paduan OAT kategori 1;

30
c) Klien yang diobati kembali setelah putus berobat (last to

follow up)

3) Kategori 3: 2(HRZ)/ 4(HR) atau 2HRZA(S)/4-10HR

4) Obat yang digunakan dalam tatalaksana klien TB resisten obat di

Indonesia terdiri dari OAT lini ke 2 yaitu Kanamisin,

Kapreomisin, Levofloksasin, Etionamide, Sikloserin,

Moksioflosasin, dan PAS, serta OAT lini-1 yaitu Pirazinamid dan

Etambutol.

7. Faktor Risiko Kejadian Tuberkulosis Paru

a. Umur

Sekitar 75% pasien TB adalah kelompok usia yang paling produktif

secara ekonomis (15-50 tahun). Diperkirakan seorang pasien TB

dewasa, akan kehilangan rata-rata waktu kerjanya 3 sampai 4 bulan.

Hal tersebut berakibat pada kehilangan pendapatan tahunan rumah

tangganya sekitar 20-30%. Jika ia meninggal akibat TB, maka akan

kehilangan pendapatannya sekitar 15 tahun (Depkes RI, 2011).

b. Jenis Kelamin

Kasus BTA+ pada laki-laki lebih tinggi daripada perempuan yaitu

hampir 1,5 kali dibandingkan kasus BTA+ pada perempuan. Pada

masing-masing provinsi di seluruh Indonesia kasus BTA+ lebih

banyak terjadi pada laki-laki dibandingkan perempuan (Depkes RI,

2014).

c. Tingkat pendapatan

31
Faktor pekerjaan sangat terkait dengan kemiskinan pendapatan

(income poverty), keluarga yang tidak mempunyai pendapatan

menyebabkan daya beli rendah untuk memenuhi kebutuhan asupan

gizi dan berdampak sering mengalami gizi buruk pada akhimya dapat

menyebabkan daya tahan tubuh menjadi lemah sehingga rentan

terserang berbagai penyakit terutama tuberkulosis (Danusantoso,

2002).

d. Tingkat pendidikan

Faktor pendidikan dapat membentuk karakter manusia memiliki

pengetahuan yang lebih baik dalam berpikir positif. Pendidikan

merupakan salah satu proses belajar yang diperoleh secara

berkelanjutan untuk dapat meningkatkan pengetahuan. Seseorang

tanpa pengetahuan tidak mempunyai dasar untuk mengambil

keputusan dan menentukan tindakan terhadap masalah yang dihadapi

terkait dengan kejadian penyakit TB (Notoatmodjo, 2010).

e. Kepadatan hunian

Rumah sehat adalah rumah yang memenuhi standar kebutuhan

penghuninya baik dari aspek kesehatan, keamanan, dan kenyamanan.

Kejadian penyakit TB paru dapat dipengaruhi oleh berbagai faktor

lainnya seperti lingkungan perumahan terdiri dari lingkungan fisik,

biologis, dan sosial (Suyono, 2011).

f. Ventilasi

32
Ventilasi adalah usaha untuk memelihara kondisi atmosfir yang

menyenangkan dan menyehatkan bagi manusia. Tersedianya udara

segar dalam rumah atau ruangan amat dibutuhkan manusia. Fungsi

ventilasi adalah untuk menjaga agar aliran udara di dalam rumah

tersebut tetap segar. Kurangnya ventilasi akan menyebabkan

kurangnya O2 di dalam rumah yang berarti kadar CO2 yang bersifat

racun bagi penghuninya menjadi meningkat(Patanding, S., 2005).

g. Suhu

Suhu dalam ruang rumah yang terlalu rendah dapat menyebabkan

gangguan kesehatan hingga hypotermia, sedangkan suhu yang

terlalutinggi dapat menyebabkan dehidrasi sampai dengan heat stroke

(Permenkes, 2011).

h. Kelembaban

Kelembaban merupakan sarana baik untuk pertumbuhan

mikroorganisme, termasuk tuberkulosis sehingga visitabilitas lebih

lama. Dengan demikian ventilasi sangat berpengaruh terhadap

kelembaban, bermanfaat bagi sirkulasi udara dalam rumah serta

mengurangi kelembaban.Keringat manusia juga mempengaruhi

kelembaban. Semakin banyak manusia dalam saturuangan,

kelembaban semakin tinggi khususnya karena uap air baik dari

pernapasan maupun keringat. Kelembaban dalam ruangan tertutup

dimana banyak terdapatmanusia di dalamnya lebihtinggi

dibandingkan kelembaban diluar ruangan (Fahmi, 2008).

33
i. Pencahayaan

Menurut Notoatmodjo, S (2003), cahaya matahari mempunyai sifat

membunuh bakteri, terutama kuman Mycobacterium tuberculosa.

Menurut Depkes RI (2002), kuman tuberkulosis hanya dapat mati oleh

sinar matahari langsung. Oleh sebab itu, rumah dengan standar

pencahayaan yang buruk sangat berpengaruh terhadap kejadian

tuberkulosis. Kuman tuberkulosis dapat bertahan hidup pada tempat

yang sejuk, lembab dan gelap tanpa sinar matahari sampai bertahun-

tahun lamanya, dan mati bila terkena sinar matahari, sabun, lisol,

karbol dan panas api dan rumah yang tidak masuk sinar matahari

mempunyai resiko menderita tuberkulosis 3-7 kali dibandingkan

dengan rumah yang dimasuki sinar matahari.

j. Kebiasaan merokok

Perilaku seseorang yang berhubungan dengan penyakit TB adalah

perilaku yang mempengaruhi atau menjadikan seseorang untuk mudah

terinfeksi atau tertular kuman TB misalnya kebiasaan membuka

jendela setiap hari, menutup mulut bila batuk atau bersin, meludah

sembarangan, merokok, dan kebiasaan menjemur kasur ataupun bantal

(Suarni, 2009).

B. Tinjauan Umum Tentang Pengetahuan

Menurut Entjang, I (2000), semakin rendah pengetahuan penderita tentang

bahaya penyakit TB paru untuk dirinya sendiri, keluarga, dan masyarakat di

sekitarnya, maka semakin besar pula bahaya penderita sebagai sumber

34
penularan baik di rumah maupun di tempat kerja untuk orang-orang di

sekitarnya. Sebaliknya, pengetahuan yang baik tentang penyakit TB paru

akan menolong masyarakat dalam menghindarinya. Begitu pula menurut

Suwantatik, T (2001) dan Setyawati, A (2006), bahwa pengetahuan yang

kurang baik tentang TB paru memiliki risiko yang lebih besar terkena TB

paru dibandingkan dengan mereka yang memiliki pengetahuan yang baik

tentang TB paru.

C. Tinjauan Umum Tentang Riwayat Kontak

Riwayat kontak yang dimaksud antara lain pernah tinggal serumah dengan

penderita TB paru, sehingga memungkinkan droplet kuman TB yang keluar

lewat bersin atau batuk penderita dapat terhirup bersama dengan oksigen di

udara dalam rumah oleh anggota keluarga lainnya sehingga sangat

memudahkan terjadinya proses penularan. Namun tidak semua yang

mendapat riwayat kontak akan terjangkit TB paru, tergantung pada seberapa

kuat daya tahan tubuh seseorang.

Berdasarkan penelitian yang dilakukan Mahpudin dan Mahkota (2007)

menunjukkan bahwa sumber kontak serumah berhubungan secara bermakna

dengan kejadian TB paru BTA (+). Mereka yang tinggal serumah dengan

kontak berisiko menderita tuberkulosis 3,16 kali lebih besar dibandingkan

dengan mereka yang tidak ada kontak serumah. Temuan ini sesuai dengan

penelitian sebelumnya, penelitian di Palembang kontak serumah berisiko 41,8

kali lebih besar daripada mereka yang tanpa kontak serumah.

35
D. Tinjauan Umum Tentang Jarak Rumah Ke Fasilitas Pelayanan

Kesehatan

Jarak rumah ke fasilitas atau tempat pelayanan kesehatan adalah seberapa

jauh lintasan yang ditempuh responden menuju tempat pelayanan kesehatan

yang meliputi rumah sakit, puskesmas, dan lainnya. (Khudhori, 2012). Selain

itu jarak merupakan komponen kedua yang memungkinkan seseorang untuk

memanfaatkan pelayanan pengobatan.

Jarak dan waktu tempuh yang terlalu jauh juga memungkinkan penderita

TB paru untuk tidak melakukan pengobatan tuberkulosis bulanan di fasilitasi

pelkes sepertinya pusat kesmas ataupun RS. Hal ini bisa terjadi karena

kurangnya edukasi, motivasi dan pemahaman yang dilakukan oleh petugas

kesehatan pada saat penderita TB paru melakukan pemeriksaan atau

pengobatan sebelumnya sehingga penderita kurang termotivasi untuk sembuh

dari penyakitnya.

Menurut Yunus, M.W (2018) jarak rumah ke fasilitas pelayanan

kesehatan dikatakan jauh apabila memiliki jarak ≥ 3 km dan sebaliknya

apabila jarak rumah ke fasilitas pelayanan kesehatan dikatakan dekat apabila

memiliki jarak < 3 km. Pengukuran jarak tersebut bisa menggunakan aplikasi

google maps.

E. Kajian Empiris

Penelitian Bawihu, L.C., Lolo, W.A., Rotinsulu, H (2017) dengan judul

hubungan pengetahuan penderita tuberkulosis paru dengan tingkat kepatuhan

dalam program pengobatan tuberculosis paru di Puskesmas Bahu Kecamatan

36
Malalayang Manado. Hasil penelitian menunjukkan terdapat hubungan

bermakna antara pengetahuan penderita tuberkulosis paru dengan kepatuhan

dalam program pengobatan tuberkulosis paru dengan nilai p = 0,002 (p <

0,05).

Penelitian Budi, A.S., Tuntun, M (2016) dengan judul faktor-faktor yang

berhubungan dengan kejadian tuberculosis paru BTA positif pada pasien

rawat jalan di UPT Puskesmas Wonosobo Kabupaten Tanggamus. Hasil

penelitian menunjukkan ada hubungan yang bermakna antara tingkat

pengetahuan (pvalue=0,015<0,05), lantai rumah (p value = 0,012<0,05) dan

kelembaban (p value = 0,017<0,05) terhadap kejadian kasus TB BTA positif.

Tidak ada hubungan antara perilaku merokok (p value = 0,330>0,05) dan

kondisi sosial ekonomi (p value = 0,153>0,05) terhadap kejadian kasus TB

BTA positif.

Penelitian Izzati, S., Basyar, M., Nazar, J (2015) dengan judul faktor

risiko yang berhubungan dengan kejadian tuberkulosis paru di wilayah kerja

Puskesmas Andalas tahun 2013. Hasil penelitian menunjukkan status gizi

memiliki hubungan yang bermakna dengan kejadian TB

parudimananilaip=0,001 (p<0,05), dan pencahayaan rumahmemiliki

hubungan yang bermakna dengan kejadian TB paru dimana nilai p=0,027

(p<0,05). Sedangkan riwayat penyakit DM, ventilasi dan kepadatan hunian

secara statistik tidak memiliki hubungan yang bermakna dengan kejadian TB

paru dimana masing-masing nilai p > 0,05 yaitu 0,186, 0,324, 0,731.

37
BAB III

KERANGKA KONSEP

A. Dasar Pikir Penelitian

Tuberkulosis paru yaitu sakit disebabkan oleh mycobacterium

tuberculosis. Faktor risiko kejadian penyakit ini diantaranya pengetahuan,

riwayat kontak, dan jarak rumah ke fasilitas pelayanan kesehatan.

38
Pengetahuan yang kurang baik tentang penyakit tuberculosis beresiko

sangat banyak tertular tuberculosis dibanding mereka dengan pengetahuan

yang baik. Pengetahuan tersebut antara lain berkaitan dengan penyebab TB

paru, cara penularan dan pencegahannya.

Kontak langsung juga salah satu beresiko jadian tuberculosis. Hal ini

karena seseorang yang tinggal serumah dengan penderita tuberkulosis paru

akan memudahkan terjadinya proses penularan sehingga orang tersebut akan

berisiko terkena penyakit tersebut. Begitupun sebaliknya, seseorang yang

tidak tinggal serumah dengan penderita tuberkulosis paru tidak akan berisiko

terkena tuberkulosis paru.

Faktor lain risiko terjadinya tuberkulosis paru adalah jarak rumah ke

fasilitas pelayanan kesehatan. Hal ini karena jarak yang terlalu jauh

memungkinkan seseorang tidak melakukan pemeriksaan atau pengobatan ke

fasilitas pelayanan kesehatan.

39
B. Bagan Kerangka Konsep Penelitian

Pengetahuan
Kejadian Tuberkulosis Paru
Riwayat Kontak

Jarak Rumah ke
Fasilitas Pelayanan
Kesehatan

Gambar 1. Kerangka Konsep Penelitian

Keterangan:

: Variabel dependent

: Variabel independent

: Hubungan

C. Variabel Penelitian

1. Variabel Dependen

Variabel dependennya yaitu kejadian tuberkulosis paru.

2. Variabel Independen

Variabel independen ialah pengetahuan, riwayat kontak dan jarak

rumah ke fasilitas pelayanan kesehatan.

33
D. Defenisi Operasional dan Kriteria Objektif

1. Kejadian Tuberkulosis Paru

kejadian tuberculosis didalam penelitiannya ialah responden dengan

menderita tuberkulosis paru berdasar data rekam medik di puskesmas

nambo yang di diagnosa oleh dokter.

Kriteria objektif:

a. Kasus : jika dinyatakan menderita tuberkulosis paru oleh dokter

(BTA +)

b. Kontrol : jika dinyatakan tidak menderita tuberkulosis paru oleh

dokter (BTA – atau tidak ditemukan BTA/orang yang

sehat)

2. Pengetahuan

Hal yang dipahami oleh responden mengenai penyakit tuberkulosis paru.

Total pertanyaan sepuluh soal, betul bernilai satu dan tidak benar nilai

nol. Skor pengetahuan dikategorikan menurut baik dan kurang dengan

menggunakan rumus interval kelas menurut skala Guttman :

I= (Sugiono, 2010)

Dimana :

I = Interval

34
R = Range atau kisaran (100-0 = 100)

K = Jumlah kategori (2)

Skor tertinggi = 1 x 10 = 10 (100%)

Skor terendah = 0 x 10 = 0 (0%)

100

I=

I = 50%

Kriteria objektif:

a. Baik : jika total jawaban responden >50% jawaban benar

b. Kurang : jika total jawaban responden ≤ 50% jawaban benar.

3. Riwayat Kontak

Yang dimaksud dengan riwayat kontak dalam penelitian ini adalah pernah

sebelumnya responden mengalami kontak secara langsung dengan

penderita TB paru BTA (+).

Kriteria objektif:

a. Ada :
bila responden pernah tinggal serumah dengan

penderita tuberkulosis paru BTA (+).


b. Tidak Ada : bila responden tidak pernah tinggal serumah

dengan penderita tuberkulosis paru BTA (+).

35
4. Jarak Rumah ke Puskesmas

Berjarak ke puskesmas ialah seberapa jauh jarak ditempuh oleh responden

mulai rumahnya hingga tempat pelayanan kesehatannya(Puskesmas

Nambo).

Kriteria objektif:

a. Jauh : Apabila rumah responden ≥ 3 km dari Puskesmas

Nambo (sesuai pengukuran aplikasi Google Maps).

Apabila rumah responden < 3 km dari Puskesmas


b. Dekat :
Nambo (sesuai pengukuran aplikasi Google Maps).

E. Hipotesis Penelitian

1. Pengetahuan

Ho : Pengetahuan bukan merupakan faktor risiko kejadian

tuberkulosis paru di wilayah kerja puskesmas nambo kota

kendari.
Ha : Pengetahuan merupakan faktor risiko kejadian tuberkulosis paru

di wilayah kerja puskesmas nambo kota kendari.


2. Riwayat Kontak

Ho : Riwayat kontak bukan merupakan faktor risiko kejadian

tuberkulosis paru di wilayah kerja puskesmas nambo kota

kendari.
Ha : Riwayat kontak merupakan faktor risiko kejadian tuberkulosis

paru di wilayah kerja puskesmas nambo kota kendari.

36
3. Jarak Rumah ke Tempat Pelayanan Kesehatan

Ho : Jarak rumah ke tempat pelayanan kesehatan bukan merupakan

faktor risiko kejadian tuberkulosis paru di wilayah kerja

puskesmas nambo kota kendari.


Ha : Jarak rumah ke tempat pelayanan kesehatan merupakan faktor

risiko kejadian tuberkulosis paru di wilayah kerja puskesmas

nambo kota kendari.

BAB IV

METODE PENELITIAN

37
A. Jenis dan Desain Penelitian

Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan

case control retrospective yaitu penelitian dengan menentukan terlebih

dahulu kelompok kasus (pasien yang menderita tuberkulosis paru) dan

kelompok kontrol (tidak menderita tuberkulosis paru atau orang yang sehat)

kemudian melihat kebelakang faktor risiko penyebab terjadinya tuberkulosis

paru yaitu pengetahuan, riwayat kontak, dan jarak rumah ke tempat

pelayanan kesehatan.

Adapun rancangan penelitian case control adalah sebagai berikut:

(Notoatmodjo, 2012).

faktor risiko (+) Penderita TB paru

faktor risiko (-) (kasus)

Populasi
Matching: Umur
(Sampel)

faktor risiko (+) Tidak menderita TB paru

faktor risiko (-) (Kontrol)

Gambar 2. Desain Case Control Studi

38
B. Tempat dan Waktu Penelitian

1. Tempat Penelitian

Penelitian ini telah dilakukan di wilayah kerja Puskesmas Nambo Kota

Kendari.

2. Waktu Penelitian

Penelitian ini telah dilakukan pada tanggal 02 juli sampai 15 agustus

2020.

C. Populasi dan Sampel

1. Populasi
Populasi dalam penelitian ini adalah semua penderita tuberkulosis paru

yang tercatat di buku rekam medis puskesmas nambo kota kendari tahun

2019 sampai maret 2020 yaitu sebanyak 52 penderita.

2. Sampel

Sampel dalam penelitian ini terbagi ke dalam dua kategori yaitu

kelompok kasus yang diambil dari semua penderita tuberkulosis parudan

kelompok kontrol yang diambil dari kelompok yang sehat atau tidak

menderita tuberkulosis paru yang berada di wilayah kerja puskesmas

nambo kota kendari.

Adapun jumlah sampel pada penelitian ini adalah dengan

menggunakan rumus Slovin (Riduwan & Akdon 2010) sebagai berikut:

N
n=
N . d ²+1

39
Keterangan:

n = Jumlah sampel

N = Jumlah populasi

d² = Presisi (ditetapkan 95% atau 0,05)

Untuk jumlah sampel yang akan di ambil yaitu :

N 52 52
n= 2 = 2 =
N ( d ) +1 52 ( 0,05 ) +1 1,13

n = 46

Jadi, besar sampel dalam penelitian ini yaitu 23 orang untuk

kelompok kasus dan 23 orang untuk kelompok kontrol. Teknik

pengambilan sampel dalam penelitian ini adalah menggunakan teknik

nonprobability sampling yaitu purposive sampling. Purposive sampling

merupakan teknik pemilihan sampel berdasarkan kriteria yang ditentukan

oleh peneliti.

Adapun kriteria dalam penelitian ini adalah:

a. Kriteria inklusi kelompok kasus pada penelitian ini:

1) Dapat berkomunikasi, membaca dan menulis dengan baik

2) Bersedia menjadi responden

3) Penderita tuberkulosis paru yang telah di diagnosa oleh dokter

yang memiliki alamat atau bertempat tinggal di wilayah kerja

puksemas nambo kota kendari.

4) Umur ≥ 19 tahun.

b. Kriteria inklusi kelompok kontrol pada penelitian ini:

40
1) Dapat berkomunikasi, membaca dan menulis dengan baik.

2) Bersedia menjadi responden.

3) Kelompok yang sehat atau tidak menderita tuberkulosis paru yang

memiliki alamat atau bertempat tinggal di wilayah kerja puksemas

nambo kota kendari.

4) Umur ≥ 19 tahun.

c. Kriteria eksklusi kelompok kasus pada penelitian ini:

1) Penderita tuberkulosis paru yang dinyatakan sehat atau penderita

penyakit lain selain tuberkulosis.

d. Kriteria eksklusi kelompok kontrol pada penelitian ini:

1) Kelompok yang menderita penyakit asma atau gangguan jiwa.

D. Instrumen Penelitian

Instrumen dengan menggunakan quesioner dan berisikan soal tentang

variabel yang diteliti, meliputi kejadian tuberkulosis paru, pengetahuan,

riwayat kontak, dan jarak rumah ke tempat pelayanan kesehatan.

E. Pengumpulan Data

1. Data Primer

Didapat dengan kuesioner berdasarkan pertanyaannya yang terdapat

didalamnya yang menyangkut variabel yang diteliti yaitu kejadian

tuberkulosis paru, tingkat pengetahuan, riwayat kontak, dan jarak rumah

ke tempat pelayanan kesehatan.

2. Data Sekunder

41
Didapat dari DinKes Provinsi Sultra dan Laporan Tahunan Puskesmas

Nambo.

Adapun prosedur pengumpulan data pada rencana penelitian yang akan

dilakukan yaitu:

a. Tahap persiapan

Peneliti melakukan penelitian setelah ujian proposal dan mendapatkan

surat pengantar dari Ketua Stikes Mandala Waluya yang ditujukan ke

Balitbang kemudian di lokasi penelitian (Puskesmas Nambo).

b. Tahap pengumpulan data

Setelah mendapat izin penelitian dari puskesmas setempat, peneliti

melakukan pengambilan data pasien tuberkulosis yang ada di rekam

medik Puskesmas Nambo. Peneliti melakukan pencatatan nama pasien,

alamat tempat tinggal dan nomor kontak pasien yang menderita

tuberkulosis. Setelah itu peneliti menghubungi calon responden yang

untuk menanyakan kesepakatan calon responden untuk dilakukan

kunjungan ke rumah pasien tersebut. Untuk kelompok kontrol peneliti

mencatat yang tidak sedang menderita tuberkulosis atau yang menderita

penyakit lain yang ada direkam medik puskesmas nambo (nama pasien,

alamat tempat tinggal dan nomor kontak pasien). Sebelum melakukan

kunjungan ke rumah responden peneliti terlebih dahulu menghubungi

responden untuk memastikan waktu kesempatan responden untuk

dilakukan wawancara dan observasi. Apabila responden tidak ada

42
kesempatan pada hari tersebut, peneliti menanyakan kapan waktu luang

untuk dilakukan kunjungan ke rumah responden.

Ketika peneliti menemukan responden sesuai dengan kriteria inklusi baik

kelompok kasus maupun kelompok control saat kunjungan dirumah

responden, peneliti langsung menghampiri dan memperkenalkan diri

dengan memberikan masker terlebih dahulu dan tetap memperhatikan

protokol kesehatan covid-19. Sebelum membagikan kuesioner, peneliti

memberikan penjelasan tentang tujuan penelitian ini, setelah diberi

penjelasan dan dimengerti peneliti memberikan inform consent untuk

ditandatangani sebagai keterangan persetujuan untuk dilakukan

wawancara, lalu peneliti menjelaskan kepada responden cara pengisian

kuesioner agar responden tidak kebingungan saat pengisian kuesioner.

Setelah itu peneliti membagikan kuesioner kepada responden.

c. Tahap pengolahan data

Semua data diolah dilakukan pengecekan kelengkapan data, memberi

kode dan memberi skor pada lembar kuesioner pengetahuan, riwayat

kontak. Selanjutnya semua dimasukkan ke dalam tabel dan diproses

sehingga dapat diketahui tingkat risiko masing-masing variabel dalam.

Dengan SPSS 20. untuk menguji data secara statistik.

d. Tahap pelaporan

Laporan melalui tulisan yang berisi data-data dan analisanya beserta

kesimpulan dan saran sesuai dengan hasil penelitan.

43
F. Pengolahan, Analisis dan Penyajian Data

1. Pengolahan Data

a. Coding

Coding dilakukan untuk memberi kode pada jawaban dilembar

quesioner

b. Editing

dengan memeriksa daftaran pertanyaannya telah diisikan sesuai

dengan jawaban responden antara lain kelengkapan jawaban yang ada

di kuesioner.

c. Tabulating

Tabulating dilakukan dengan cara penyusunan data-data kedalam

tabel. Semua data penelitian dimasukkan kedalam tabel dengan

menggunakan tabel 2x2.

d. Processing

Jawabannya semua respondent dan telah dibentuk pengkodean lalu

dimasukkan ke dalam programan SPSS.

2. Analisis Data

a. Analisis Univariat

Analisis univariat dilakukan untuk menggambarkan masing-

masing variabel dengan membuat tabel distribusi frekuensi dan

44
persentase yaitu kejadian tuberkulosis paru, tingkat pengetahuan,

riwayat kontak, dan jarak rumah ke tempat pelayanan kesehatan.

b. Analisis Bivariat

Analisis bivariat dalam penelitian ini digunakan untuk melihat sejauh

mana faktor risiko variabel independen yaitu tingkat pengetahuan,

riwayat kontak, dan jarak rumah ke tempat pelayanan kesehatan

dengan variabel dependen yaitu kejadian tuberkulosis paru.

Uji Chi Square untuk melihat odds ratio, jika tidak memenuhi syarat

untuk dilakukan uji Chi Square alternatif yang digunakan uji Fisher

Exact Test.

Uji chi-square dilakukan untuk melihat hubungan variabel

independen yaitu tingkat pengetahuan, riwayat kontak, dan jarak

rumah ke tempat pelayanan kesehatan dan juga untuk melihat nilai

odds ratio dari masing-masing variabel seberapa besar kemungkinan

risiko tingkat pengetahuan, riwayat kontak, dan jarak rumah ke tempat

pelayanan kesehatan menyebabkan tuberkulosis paru. Semua data

dianalisis melalui perangkat lunak yang ada pada komputer yaitu

dengan menggunakan aplikasi SPSS 20 dengan hasil akhir

menunjukkan nilai p = < 0.05 artinya untuk tiap variabel saling

berhubungan atau bermakna. Untuk nilai odds ratio setiap variabel

denga nilai OR = >1, artinya setiap variabel risiko untuk menderita

tuberkulosis paru.

Adapun rumus odds ratiountuk mengidentifikasi faktor risiko, yaitu:

45
axd
OR =
bxc

Kejadian penyakit
Kasus Kontrol Jumlah
Faktor Risiko
Ya (+) a b a+b
Tidak (-) c d c +d
Jumlah a +c b+d a+b+c+d

3. Penyajian Data

Penyajiannya dapat di lakukan didalam master tabel serta teks

berdasarkan variabelnya yang diteliti.

G. Etika Penelitian

1. Menghormati harkat dan martabat manusia (respect for human dignity)

Peneliti menghormati hak partisipan untuk menentukan sendiri

keikutsertaannya dalam penelitian serta hak dalam memberikan

informasi. Peneliti menghormati jika partisipan menolak memberikan

informasi atau mengundurkan diri dalam penelitian. Informed consent

diberikan sebelum partisipan terlibat dalam penelitian berupa

penjelasan mengenai penelitian, gambaran tentang berapa lama

penelitian, resiko yang mungkin timbul, serta keuntungan dan kerugian

bagi partisipan jika berpartisipasi dalam penelitian.

2. Menghormati privasi dan kerahasiaan subjek (respect for privacy and

confidentiality)

Peneliti menjaga privacy dan kerahasian informasi yang diberikan

oleh responden. Data pribadi dari responden ditulis dalam bentuk kode

46
tertentu. Hal ini dilakukan untuk menjaga privacy dan memenuhi aspek

anonymity.

3. Menghormati keadilan dan inklusivitas (respect for justice inclusiveness)

Peneliti dalam memilih partisipan penelitian sesuai kebutuhan

penelitian bukan berdasarkan kelompok-kelompok rentan atau tertentu.

Peneliti menghargai keyakinan, kebiasaan dan gaya hidup partisipan

yang berasal dari latar belakang dan budaya yang berbeda-beda.

4. Memperhintungkan manfaat dan kerugian yang ditimbulkan (balancing

harm and benefits)

Peneliti meminimalkan kerugian dan memaksimalkan keuntungan

atau manfaat bagi partisipan. Partisipan berhak untuk bebas dari

kerugian, ketidaknyamanan serta eksploitasi. Peneliti melindungi,

mencegah dan atau meminimalkan hal-hal yang dapat merugikan

partisipan selama penelitian dilakukan.

47
BAB V

HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Gambaran Umum Lokasi Penelitian

UPTD Puskesmas Namboberada pada wilayah timur khatulistiwa terbentang

pada koordinat antara 3˚58΄32˝& 4˚02΄20˝ LS dan membentang dari barat ke

timur antara 122˚35΄42˝-122˚39΄05˝BT.Memiliki luas wilayah ±16.171 m3

dari luas Kecamatan Nambo. Selain itu juga, UPTD Puskesmas Nambo

merupakan salah satu 10 Puskesmas rawat jalan dari 15 Puskesmas yang ada

di Kota Kendari, terletak di Kelurahan Nambo Kecamatan Nambo. Jarak dari

ibu kota Provinsi (Kantor Walikota) ± 17 Km

Secara administratif, UPTD Puskesmas Nambo berdiri bulan Juni 2010,

dengan status puskesmas rawat jalan,hingga tahun 2019 wilayah kerja UPTD

puskesmas Namboterdiri dari 5 Kelurahan yakni Kelurahan Petoaha,

Kelurahan Nambo, Kelurahan Sambuli, Kelurahan Tondonggeu dan

Kelurahan Bungkutoko terletak bagian Timur Kota Kendari.

48
B. Hasil Penelitian

1. Karakteristik Responden

1) Jenis Kelamin

Distribusi responden berdasarkan jenis kelamin di Wilayah Kerja

Puskesmas Nambo dapat dilihat pada tabel dibawah ini:

Tabel 4. Distribusi Responden Berdasarkan Jenis Kelamin di


Wilayah Kerja Puskesmas Nambo
No. Jenis Kelamin n %
1 Laki-laki 36 78,3
2 Perempuan 10 21,7
Total 46 100
Sumber: Data Primer (2020)

Tabel 4 menunjukkan bahwa jenis kelamin responden yang

terbanyak adalah laki-laki sebanyak 36 responden (78,3%) dan

terkecil adalah perempuan sebanyak 10 responden (21,7%).

2) Umur Responden

Distribusi responden berdasarkan umur di Wilayah Kerja

Puskesmas Nambo dapat dilihat pada tabel dibawah ini:

Tabel 5. Distribusi Responden Berdasarkan Umur di Wilayah


Kerja Puskesmas Nambo
No. Kelompok Umur n %
1 29-38 tahun 8 17,4
2 39-48 tahun 8 17,4
3 49-58 tahun 30 65,2
Total 46 100
Sumber: Data Primer (2020)

Tabel 5 menunjukkan bahwa kelompok umur responden yang

terbanyak adalah 49-58 tahun sebanyak 30 responden (65,2%) dan

terkecil adalah kelompok umur 29-38 tahun dan 39-48 tahun masing-

masing sebanyak 8 responden (17,4%).

49
3) Pendidikan Terakhir

Distribusi responden berdasarkan pendidikan terakhir di Wilayah

Kerja Puskesmas Nambo dapat dilihat pada tabel dibawah ini:

Tabel 6. Distribusi Responden Berdasarkan Pendidikan di


Wilayah Kerja Puskesmas Nambo
No. Pendidikan Terakhir n %
1 SD 2 4,3
2 SMP 8 17,4
3 SMA 26 56,5
4 Diploma 4 8,7
5 Sarjana 6 13
Total 46 100
Sumber: Data Primer (2020)

Tabel 6 menunjukkan bahwa pendidikan terakhir responden yang

terbanyak adalah SMA sebanyak 26 responden (56,5%) dan terkecil

adalah SD sebanyak 2 responden (4,3%).

2. Analisis Univariat

a. Kejadian Tuberkulosisi Paru

Distribusi responden berdasarkan kejadian tuberkulosis paru di

Wilayah Kerja Puskesmas Nambo dapat dilihat pada tabel dibawah

ini:

Tabel 7.Distribusi Responden Berdasarkan Kejadian


Tuberkulosis Paru di Wilayah Kerja Puskesmas
Nambo
No. Kejadian Tuberkulosis n %
Paru
1 Kasus 23 50
2 Kontrol 23 50
Total 46 100
Sumber: Data Primer (2020)

Tabel 7 menunjukkan bahwa kelompok kasus dan kelompok

kontrol adalah masing-masing sebanyak 23 responden (50%).

50
b. Pengetahuan

Distribusi responden berdasarkan pengetahuan di Wilayah Kerja

Puskesmas Nambo dapat dilihat pada tabel dibawah ini:

Tabel 8. Distribusi Responden Berdasarkan Pengetahuan di


Wilayah Kerja Puskesmas Nambo
Kejadian Tuberkulosis
Paru Total
No. Pengetahuan
Kasus Kontrol
n % n % n %
1. Baik 17 73,9 9 39,1 26 56,5
2. Kurang 6 26,1 14 60,9 20 43,5
Total 23 100 23 100 46 100
Sumber: Data Primer (2020)

Tabel 8 menunjukkan bahwa dari 26 responden (56,5%) yang

memiliki pengetahuan yang baik, kelompok kasus sebanyak 17

responden (73,9%) dan kelompok kontrol sebanyak 9 responden

(39,1%). Sedangkan responden yang memiliki pengetahuan yang

kurang sebanyak 20 responden (43,5%), terdiri dari kelompok kasus

sebanyak 6 responden (26,1%) dan kelompok kontrol sebanyak 14

responden (60,9%).

c. Riwayat Kontak

Distribusi responden berdasarkan riwayat kontak di Wilayah Kerja

Puskesmas Nambo dapat dilihat pada tabel dibawah ini:

Tabel 9. Distribusi Responden Berdasarkan Riwayat Kontak di


Wilayah Kerja Puskesmas Nambo
Kejadian Tuberkulosis
Riwayat Paru Total
No.
Kontak Kasus Kontrol
n % n % n %

51
1. Ada 16 69,6 2 8,7 18 39,1
2. Tidak 7 30,4 21 91,3 28 60,9
Total 23 100 23 100 46 100
Sumber: Data Primer (2020)

Tabel 9 menunjukkan bahwa dari 18 responden (39,1%) yang

memiliki riwayat kontak, kelompok kasus sebanyak 16 responden

(69,6%) dan kelompok kontrol sebanyak 2 responden (8,7%).

Sedangkan responden yang tidak memiliki riwayat kontak sebanyak

28 responden (43,5%), terdiri dari kelompok kasus sebanyak 7

responden (30,4%) dan kelompok kontrol sebanyak 21 responden

(91,3%).

d. Jarak Rumah Ke Puskesmas

Distribusi responden berdasarkan jarak rumah ke puskesmas di

Wilayah Kerja Puskesmas Nambo dapat dilihat pada tabel dibawah

ini:

Tabel 10. Distribusi Responden Berdasarkan Jarak Rumah Ke


Puskesmas di Wilayah Kerja Puskesmas Nambo
Kejadian Tuberkulosis
Jarak Rumah Paru Total
No.
Ke Pusksmas Kasus Kontrol
n % n % n %
1. Jauh 18 78,3 8 34,8 26 56,5
2. Dekat 5 21,7 15 65,2 20 43,5
Total 23 100 23 100 46 100
Sumber: Data Primer (2020)

Tabel 10 menunjukkan bahwa dari 26 responden (56,5%) yang

jarak rumahnya jauh ke puskesmas, kelompok kasus sebanyak 18

responden (78,3%) dan kelompok kontrol sebanyak 8 responden

(34,8%). Sedangkan responden jarak rumahnya dekat ke puskemas

52
sebanyak 20 responden (43,5%), terdiri dari kelompok kasus sebanyak

5 responden (21,7%) dan kelompok kontrol sebanyak 15 responden

(65,2%).

3. Analisis Bivariat

a. Pengetahuan

Faktor risiko pengetahuanterhadap kejadian tuberkulosis paru di

Wilayah Kerja Puskesmas Nambo dapat dilihat pada tabel berikut:

Tabel 11. Faktor RisikoPengetahuan Terhadap Kejadian


Tuberkulosis Paru di Wilayah Kerja Puskesmas
Nambo
Kejadian
Uji
Tuberkulosis Paru Total
No. Pengetahuan Statistik
Kasus Kontrol
n % n % n % OR = 4,40
1. Baik 17 73,9 9 39,1 26 56,5 95% CI:
2. Kurang 6 26,1 14 60,9 20 43,5 1,26-15,41
Total 23 100 23 100 46 100
Sumber: Data Primer (2020)

Tabel 11 menunjukkan bahwa dari 26 responden (56,5%) yang

memiliki pengetahuan yang baik, kelompok kasus sebanyak 17

responden (73,9%) dan kelompok kontrol sebanyak 9 responden

(39,1%). Sedangkan responden yang memiliki pengetahuan yang

kurang sebanyak 20 responden (43,5%), terdiri dari kelompok kasus

sebanyak 6 responden (26,1%) dan kelompok kontrol sebanyak 14

responden (60,9%).

Berdasarkan uji statistik diperoleh nilai odds ratio (OR) sebesar

4,40 dengan IK 95% CI: 1,26-15,41. Hal ini menunjukkan bahwa

53
responden yang memiliki pengetahuan yang kurang mempunyai risiko

sebesar 4,40 kali untuk mengalami terjadinya tuberkulosis paru.

b. Riwayat Kontak

Faktor risiko riwayat kontakterhadap kejadian tuberkulosis paru di

Wilayah Kerja Puskesmas Nambo dapat dilihat pada tabel berikut:

Tabel 12. Faktor RisikoRiwayat Kontak Terhadap Kejadian


Tuberkulosis Paru di Wilayah Kerja Puskesmas
Nambo
Kejadian
Uji
Riwayat Tuberkulosis Paru Total
No. Statistik
Kontak Kasus Kontrol
n % n % n % OR = 24
1. Ada 16 69,6 2 8,7 18 39,1 95% CI:
2. Tidak 7 30,4 21 91,3 28 60,9 4,38-131,4
Total 23 100 23 100 46 100
Sumber: Data Primer (2020)

Tabel 12 menunjukkan bahwa dari 18 responden (39,1%) yang

memiliki riwayat kontak, kelompok kasus sebanyak 16 responden

(69,6%) dan kelompok kontrol sebanyak 2 responden (8,7%).

Sedangkan responden yang tidak memiliki riwayat kontak sebanyak

28 responden (43,5%), terdiri dari kelompok kasus sebanyak 7

responden (30,4%) dan kelompok kontrol sebanyak 21 responden

(91,3%).

Berdasarkan uji statistik diperoleh nilai odds ratio (OR) sebesar

24 dengan IK 95% CI: 4,38-131,4. Hal ini menunjukkan bahwa

responden yang memiliki riwayat kontak dengan penderita

mempunyai risiko sebesar 24 kali untuk mengalami terjadinya

tuberkulosis paru.

54
c. Jarak Rumah Ke Puskesmas

Faktor risiko jarak rumah ke puskesmasterhadap kejadian

tuberkulosis paru di Wilayah Kerja Puskesmas Nambo dapat dilihat

pada tabel berikut:

Tabel 13. Faktor RisikoJarak Rumah Ke Puskesmas Terhadap


Kejadian Tuberkulosis Paru di Wilayah Kerja
Puskesmas Nambo
Kejadian
Jarak Uji
Tuberkulosis Paru Total
No. Rumah Ke Statistik
Kasus Kontrol
Pusksmas
n % n % n % OR = 6,75
1. Jauh 18 78,3 8 34,8 26 56,5 95% CI:
2. Dekat 5 21,7 15 65,2 20 43,5 1,82-25,03
Total 23 100 23 100 46 100
Sumber: Data Primer (2020)

Tabel 13 menunjukkan bahwa dari 26 responden (56,5%) yang

jarak rumahnya jauh ke puskesmas, kelompok kasus sebanyak 18

responden (78,3%) dan kelompok kontrol sebanyak 8 responden

(34,8%). Sedangkan responden jarak rumahnya dekat ke puskemas

sebanyak 20 responden (43,5%), terdiri dari kelompok kasus sebanyak

5 responden (21,7%) dan kelompok kontrol sebanyak 15 responden

(65,2%).

Berdasarkan uji statistik diperoleh nilai odds ratio (OR) sebesar

6,75 dengan IK 95% CI: 1,82-25,03. Hal ini menunjukkan bahwa

responden yang jarak rumahnya jauh ke puskesmas mempunyai risiko

sebesar 6,75 kali untuk mengalami terjadinya tuberkulosis paru.

C. Pembahasan

1. Karakteristik Responden

55
Dari hasil penelitian yang telah dilakukan, tabel 4 menunjukkan

bahwa jenis kelamin yang terbanyak yang menderita tuberkulosis paru

adalah laki-laki. Menurut peneliti hal ini terjadi karena rata-rata penderita

laki-laki banyak yang kontak dengan penderita. Selain itu dari data

puskesmas bahwa penderita yang statusnya pernah putus obat rata-rata

adalah laki-laki dan berusia lanjut. Menurut Depkes RI (2014) kasus

penderita TB paru pada laki-laki hampir 1,5 kali lebih tinggi apabila

dibandingkan dengan penderita pada perempuan. Banyaknya jumlah

kejadian TB paru yang terjadi pada laki-laki disebabkan karena laki-laki

memiliki mobilitas yang tinggi daripada perempuan sehingga

kemungkinan untuk terpapar lebih besar (Mahfuznah, I., 2014),

Tabel 5 karakteristik responden berdasarkan umur menunjukkan

bahwa kelompok umur yang terbanyak penderita tuberkulosis paru adalah

49-58 tahun. Hal ini karena diusia lansia berbagai fungsi dalam tubuh

mulai menurun seperti sistem kekebalan tubuh sehingga rentan terhadap

berbagai jenis penyakit termasuk tuberkulosis paru. Selain itu mereka

sering lupa minum obat sehingga masa pengobatan saat berobat tidak

tuntas. Hal ini diperkuat dengan data dipuskesmas bahwa rata-rata

penderita tubekulosis paru yang pernah putus obat dan masuk kategori II

adalah lansia. Usia lanjut lebih dari 55 tahun sistem imunologis seseorang

menurun, sehingga sangat rentan terhadap berbagai penyakit, termasuk

penyakit TB Paru (Naga, 2012).

56
Hasil penelitian lain berdasarkan tabel 6 didapatkan bahwa tingkat

pendidikan yang terbanyak penderita responden adalah berpendidikan

SMA, kemudian berpendidikan SMP. Tingkat pendidikan seseorang akan

mempengaruhi pengetahuan seseorang diantaranya mengenai

pengetahuan penyakit TB paru, pencegahan, dan pengobatan sehingga

dengan pengetahuan yang cukup maka seseorang akan mencoba untuk

mempunyai perilaku hidup bersih dan sehat. Semakin tinggi tingkat

pendidikan maka semakin rendah kejadian TB paru (Manalu, 2010).

2. Faktor Risiko Pengetahuan Terhadap Kejadian Tuberkulosis Paru

Berdasarkan tabel 11 menunjukkan bahwa terdapat 17 responden (73,9%)

yang pengetahuannya baik akan tetapi menderita tuberkulosis. Penderita

TB paru(kelompok kasus) memiliki pengetahuan yang lebih baik

dibandingkan dengan yang bukan penderita TB paru (kelompok

kontrol).Hal ini karena sebagian besarpenderita tuberkulosis paru telah

mengerti tentangpengertian, penyebab, cara penularan, dan cara

pencegahan tuberkulosis paru. Sedangkan yang tidak menderitasebagian

besar memiliki pengetahuan yang kurang karena masih banyak yang

belum mengetahui tentang penyakit tuberkulosis paru (Artha, V., Haida,

N., Narwati, 2019).

Selain ituyang memiliki pengetahuan kurang akan tetapi tidak

menderita tuberkulosis paru sebanyak 14 responden (60,9%).Salah satu

faktor risiko terjadinya tuberkulosis paru adalah faktor lingkungan fisik

dan lingkungan sosial di sekitar penderita tuberkulosis paru. Seseorang

57
yang tidak berada dilingkungan sekitar penderita tuberkulosis paru maka

risiko untuk terkena tuberkulosis akan lebih kecil (Manalu, 2010).

Berdasarkan uji statistik pengetahuan yang kurang mempunyai risiko

sebesar 4,40 kali untuk mengalami terjadinya tuberkulosis paru. Hal ini

sejalan dengan penelitian sebelumnya bahwa pengetahuan merupakan

faktor risiko terjadinya tuberkulosis paru sebesar 6,42 kali (Fransiska, M.,

Hartati, E., 2019). Penelitian lain juga didapatkan bahwa pengetahuan

yang kurang merupakan faktor risiko terjadinya tuberkulosis paru sebesar

5,13 kali (Zulaikah, S.T., Ratnawati, Sulastri, N., Nurkhikmah, E.,

Lestari, N.D., 2019).

Pengetahuan kurang merupakan faktor risiko terjadinya tuberkulosis

paru karena sebagian besar responden yang memiliki pengetahuan baik

dan menderita tuberkulosis paru telah banyak mendapatkan informasi

mengenai tuberkulosis dari petugas kesehatan selama berobat dan ini

berbeda saat sebelum menderita tuberkulosis paru. Selain itu karena

sebagian besar pengetahuan responden yang kurang akan tetapi tidak

menderita tuberkulosis paru karena tidak ada faktor risiko yang membuat

mereka tertular penyakit tuberkulosis paru seperti tidak ada riwayat

kontak dengan penderita.

3. Faktor Risiko Riwayat Kontak Terhadap Kejadian Tuberkulosis Paru

58
Berdasarkan tabel 12 menunjukkan bahwa terdapat 2 responden

(8,7%) ada riwayat kontak akan tetapi tidak menderita tuberkulosis paru.

Menurut teori bahwa usia sangat mempengaruhi terjadinya TB paru. Usia

yang masih muda sistem imunologisnya masih bagus, sehingga tidak

rentan untuk terkena berbagai penyakit termasuk tuberkulosis paru (Naga,

2012),

Selain itu didapatkan 7 responden (30,4%) yang tidak memiliki

riwayat kontak akan tetapi menderita tuberkulosis paru. Dari hasil

penelitian hal ini disebabkan penderita tersebut memiliki pengetahuan

yang kurang dan sebagian juga memiliki jarak rumah ke puskesmas

terlalu jauh. Banyak faktor yang berpengaruh terhadap terjadinya penyakit

TB paru. Faktor tersebut yaitu faktor individu (umur, jenis kelamin,

tingkat pendapatan, tingkat pendidikan, pengetahuan), dan faktor

lingkungan rumah (kepadatan hunian, ventilasi, suhu, kelembaban,

pencahayaan), kebiasaan merokok, riwayat kontak, jarak rumah ke

fasilitas pelayanan kesehatan dan sebagainya (Yunus, M.Y., 2018).

Berdasarkan uji statistik riwayat kontak mempunyai risiko sebesar 24 kali

untuk mengalami terjadinya tuberkulosis paru. Hal ini sejalan dengan

penelitian sebelumnya dimana kontak serumah dengan keluarga yang

tuberkulosis paru memiliki risiko sebesar 18.962 kali terhadap kejadian

TB paru (Harfadhilah, D., Noor, N.N., Sunarka, I.N., 2013). Selain itu

penelitian lain ditemukan kontak dengan penderita TB paru merupakan

faktor risiko yang berhubungan dengan kejadian TB paru di wilayah kerja

59
Puskesmas Kertapati sebesar 4,7 kali (Oktavia, S., Mutahar, R.,

Destriatania, S., 2016).

Riwayat kontak merupakan faktor risiko terjadinya tunerkulosis paru

karena dirumah mereka lebih lama kontak dengan penderita tuberkulosis

paru dimana saat penderita bersin memungkinkan droplet tersebut akan

dihirup oleh anggota keluarganya sehingga akan berisiko menularkan

tuberkulosi paru.

4. Faktor Risiko Jarak Rumah ke Puskesmas Terhadap Kejadian

Tuberkulosis Paru

Berdasarkan tabel 13 menunjukkan bahwa terdapat 8 responden

(34,8%) yang jarak rumahnya jauh akan tetapi tidak menderita

tuberkulosis paru karena responden tersebut saat sakit tetap pergi

dipuskesmas walaupun jarak rumah ke fasilitas kesehatan jauh. Pasien

yang memiliki keinginan yang besar untuk sehat walaupun jarak rumah ke

fasilitas kesehatan jauh akan tetap menempuh jarak tersebut (Yunus,

M.Y., 2018)

Selain itu didapatkan 5 responden (21,7%) yang jarak rumahnya dekat

ke puskesmas akan tetapi tidak menderita tuberkulosis paru karena

responden tersebut adalah lanjut usia, sehingga penderita tersebut malas

untuk berobat ke puskesmas. Usia lansia akan tidak patuh terhadap

pengobatan tuberkulosis sebesar 2,48 kali. Selain itu responden yang

jarak rumahnya dekat dan tidak menderita tuberkulosis paru sebanyak 20

responden (43,5%) (Budianto, A., Inggri, R.H., 2015). Faktor jarak antara

60
rumah dan fasilitas kesehatan ini merupakan faktor yang penting. Deteksi

kasus TB paru meningkat apabila jarak rumah dengan fasilitas kesehatan

dekat, sehingga jumlah penderita akan lebih awal diketahui dan diobati

(Aditama, 2010 dalam Yulisetianingrum, Hidayah, N., Yuliarti, R., 2019)

Berdasarkan uji statistik jarak rumah yang jauh mempunyai risiko

sebesar 6,75 kali untuk mengalami terjadinya tuberkulosis paru. Hal ini

sejalan dengan penelitian sebelumnya dimana ada hubungan jarak rumah

dengan kepatuhan minum obat pasien TBC di Rumah Sakit Islam Sunan

selain itu Kudus (Yulisetianingrum, Hidayah, N., Yuliarti, R., 2019).

Selain itu penelitian sebelumnya yang dilakukan bahwa ada hubungan

jarak fasilitas kesehatan dengan ketidakpatuhan minum obat anti TB paru

(Winarni, L.M., Santoso, A., Savitri, N.I., 2019).

Jarak menjadi faktor risiko terjadinya tuberkulosis paru karena waktu

tempuh yang sangat jauh membuat penderita tuberkulosis paru tidak

berobat ke Puskesmas Nambo akibat biaya yang terlalu besar dikeluarkan

seperti menyewa ojek atau grab.

61
BAB VI

KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan

Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh peneliti dapat

disimpulkan bahwa :

1. Pengetahuan yang kurang merupakan faktor risiko terjadinya tuberkulosis

paru di Wilayah Kerja Puskesmas Nambo Kota Kendari sebesar 4,40 kali,

bila dibandingkan dengan pengetahuan yang baik.

62
2. Riwayat kontak dengan penderita merupakan faktor risiko terjadinya

tuberkulosis paru di Wilayah Kerja Puskesmas Nambo Kota Kendari

sebesar 24 kali, bila dibandingkan dengan yang tidak memiliki riwayat

kontak.

3. Jarak rumah yang jauh ke puskesmas merupakan faktor risiko terjadinya

tuberkulosis paru di Wilayah Kerja Puskesmas Nambo Kota Kendari

sebesar 6,75 kali, bila dibandingkan dengan jarak rumah yang dekat.

B. Saran

1. Bagi Pihak Puskesmas

Diharapkan kepada pihak Puskesmas Nambo agar memberikan

pendidikan kesehatan kepada masyarakat agar penderita tuberkulosis dapat

menurun dan memiliki kesadaran untuk berobat ke puskesmas.

2. Bagi Institusi Pendidikan

Diharapkan agar hasil penelitian ini dijadikan sebagai bahan bacaan

terkait faktor risiko kejadian tuberkulosis.

3. Bagi Profesi Keperawatan

Diharapkan agar hasil penelitian ini dapat menjadi masukan untuk

meningkatkan asuhan keperawatan terkait faktor risiko kejadian

tuberkulosis.

4. Bagi Pasien, Keluarga dan Masyarakat

Diharapkan kepada penderita tuberkulosis, keluarga, dan masyarakat

agar memperhatikan faktor risiko yang dapat menyebabkan terjadinya

tuberkulosis paru yaitu meningkatkan pengetahuan, menghindari kontak

63
dengan penderita, dan memiliki kesadaram umtuk berobat ke puskesmas

walaupun jarak rumah ke puskesmas jauh agar tidak terjadi putus obat

selama pengobatan.

64
65

Anda mungkin juga menyukai