Anda di halaman 1dari 24

Anthrax adalah penyakit menular yang akut atau perakut, bisa menyerang semua jenis ternak

berdarah panas bahkan manusia. Penyakit ini bisa mengakibatkan  angka kematian tinggi.

1. Penyebab Penyakit Anhrax Pada Ternak Sapi

Penyebab penyakit anthrax pada sapi adalah Bacillus anthracis. Kuman Anthrax bisa membentuk
spora yang bisa bertahan hidup berpuluh-puluh tahun di tanah, tahan terhadap kondisi atau
lingkungan yang panas, dan bahan kimia atau desinfektan. Olehkarena itu, hewan yang mati yang
terjangkit Anthrax dilarang melakukan pembedahan pada bangkainya supaya tidak membuka
peluang bagi organisme untuk membentuk spora. Penyakit ini tersebar di seluruh dunia terutama
daerah tropis.

2. Penularan Penyakit Anthrax Pada Ternak Sapi

Infeksi pada ternak bisa berasal dari tanah yang tercemar organisme atau  kuman Anthrax.
Kuman masuk tubuh ternak melalui luka, terhirup bersama udara atau tertelan. Pada manusia
infeksi biasanya terjadi dengan perantaraan luka,bisa juga dengan melalui pernafasan para
pekerja penyeleksi bulu domba atau melalui saluran pencernaan bagi orang yang memakan
daging hewan penderita Anthrax yang dimasak tidak secara sempurna.
3. Gejala yang Timbul Penyakit Anthrax Pada Ternak Sapi

Gejala atau Tanda tanda penderita Anthrax yaitu  sebagai berikut:

 Kematian mendadak dan adanya perdarahan di lubang-lubang kumlah (lubang hidung,


lubang anus, pori pori kulit).
 Ternak mengalami kesulitan bernapas, demam tinggi, gemetar, berjalan sempoyongan,
kondisi lemah, ambruk dan kematian secara cepat.
 Pada kuda gejalanya biasanya kronis dan menyebabkan kebengkakan pada tenggorokan.
 Pada manusia bisa terjadi tukak atau luka pada kulit dan kematian mendadak.

Pencegahan Penyakit Anthrax

 Dilakukannya vaksinasi yang teratur tiap tahun di daerah wabah.


 Pengawasan yang ketat dan teratur terhadap lalulintas atau keluar masuknya ternak.
 Mengasingkan ternak yang sakit atau diduga sakit.
 Bangkai ternak yang saki atau diduga sakit tidak boleh dibuka, namun harus dibakar atau
dikubur dalam-dalam.

Pengobatan Peenyakit Anthrax PadaTernak Sapi atau ternak Ruminansia

a. Memberikan antibiotika berspektrum luas.

 Procain penisilin G, dosis untuk ruminansia besar (sapi, kerbau): 6.000 – 20.000 IU/Kg
berat badan , sedang untuk ruminansia kecil (kambing, domba) : 20.000 – 40.000 IU/Kg
berat badan.
 Streptomycin, dosis untuk ruminansia besar: 5 – 10 mg/Kg BB, sedang untuk ruminansia
kecil : 50 – 100 mg/Kg BB.
 Kombinasi antara Procain Penisilin G dengan Streptomycin.
 Oksitetrasiklin , untuk ruminansia besar: 50 mg/10 Kg BB, sedang untuk ruminansia
kecil: 50 mg/5 Kg BB.

b.Memberikan antiserum yang tinggi titernya ( 100 – 150 ml )

Anthrax adalah penyakit zoonosis (suatu penyakit yang bisa ditularkan antara hewan dan
manusia) yang sangat berbahaya, oleh sebab itu ternak  yang menderita Anthrax dilarang keras
untuk dipotong.

Bovine Spongiform Encephalopathy (BSE) atau yang disebut juga mad cow diseade

merupakan penyakit yang cukup memberi perhatian saat ini. kejadian penyakit ini sudah meluas

ke berbagai negara di dunia dan menjadi perhatian dari Organisasi Kesehatan Hewan Dunia

(OIE). Penyakit ini menjadi penting karena agen penyebab bukan berasal dari mikroorganisme
melainkan dari protein yang mengalami mutasi genetic menjadi virulen yang disebut dengan

prion.

Kejadian BSE pada ternak biasanya dihubungkan dengan pemberian meat bone meal

(MBM) yang mengandung specified risk material (SRM) dari jaringan tubuh hewan. MBM

sendiri digunakan untuk meningkatkan asupan protein pada ternak, namun saat ini

penggunaannya menjadi ramai dibirakan karena dampak yang ditimbulkannya.

Penyakit BSE telah menimbulkan kerugian besar pada sector peternakan khususnya ternak

sapu dimana menimbulkan kasus kematian yang cukup besar. Disamping itu, penyakit ini pula

termasuk ke dalam zoonosis karena dapat ditularkan dari hewan ke manusia yang disebut dengan

penyakit Creutzfeldt-Jakob Disease (CJD). Penularan terjadi melalui infeksi prion yang masuk

ke tubuh manusia melalui konsumsi daging sapi yang terinfeksi BSE. Penularan dari manusia ke

manusia pun pernah dilaporkan. Dengan demikian penyakit ini menjadi penting dilihat dari sisi

kesehatan masyarakat veteriner.

  

Etiologi
Penyakit sapi gila (Bovine Spongiform Encephalopathy/BSE) adalah penyakit yang

disebabkan oleh bahan infeksius yang baru dikenal dan disebut PRION.  Agent penyebab BSE

adalah PRION. BSE termasuk salah satu penyakit yg tergolong dalam Transmissible Spongiform

Encephalopathy (TSE) yaitu penyakit yg menyerang susunan syaraf pusat dengan gejala

histopatologik utama adanya degenerasi spongiosus atau terbentuknya lubang-lubang kosong di

dalam sel-sel otak, dapat menular kepada manusia dan menyebabkan penyakit yang dalam istilah

kedokteran disebut Subacute Spongiform Encephalopathy (SSE).


Pada awalnya BSE diduga disebabkan oleh “slow virus agent”, dan pada tahun 1982 istilah

prion (proteinaseous infectious particles). Sebelumnya, penyakit diduga disebabkan oleh

pemberian pakan yang mengandung protein asal ternak. Dan karena penyakit ini belum diketahui

penyebabnya, dinamai Transmissible Spongioform Encephalopathy (TSE).

Prion merupakan partikel protein yang bersifat infeksius, tidak mengandung asam nukleat,

tahan terhadap faktor atau senyawa (zat) yang merusak asam nukleat, misalnya sinar ultraviolet,

radiasi, dan enzim nuclease. Partikel ini dapat muncul dan bereplikasi dengan merubah protein

sel normal dan membuatnya menjadi prion. Bandingkan dengan virus yang merupakan kompleks

yang terdiri atas genom RNA atau DNA, terbungkus dalam protein kapsid, dengan atau tanpa

selubung lipid. Setelah melalu ekstraksi dengan detergen, digesti oleh protease dan nuclease,

dengan elektroforesis agarose gel, protein prion diketahui memiliki berat molekul 27-30

kilodalton (kD) dan dikodifikasi sebagai PrP 27-30 penyakit scrapie (PrPsc) 27-30 kD, PrPC9D

27-30 kD.PrPc, protein normal, peka terhadap protease; 33-35 kD. Dalam perbadingan uji lebih

lanjut prion dengan berat molekul 27-30 kD ternyata memiliki sifat infeksius. Bila PrPsc

bersentuhan dengan PrPc, yaitu protein gen normal tubuh, maka PrPc akan berubah
konfigurasinya dan segera membentuk agregat. Bagaimana agregat tersebut berpengaruh

terhadap terbentuknya degenerasi sel-sel syaraf belum diketahui secara pasti. Berbeda dengan

PrPsc yang resisten terhadap enzim protease , dan mudah larut dalam pelarut yang kuat. PrPc

(kode untuk protein sel normal, protein prio cellular) mudah dirusak oleh enzim protease dan

gampang larut dalam pelarut protein yang ringan sekalipun. PrPc memiliki berat molekul 33-35

kD. Agen protein prion ditemukan dan dibuktikan oleh Stanley B Prusiner pada tahun 1982

(Subroto, 1991) . Protein sel yang disebut PrPc dinamakan juga PrPres, PrPscr atau PrPtse. Prion

dapat menyebabkan beberapa penyakit seperti BSE atau scrapie yang disebabakan oleh strain

yang berbeda dari PrPres.

Penyakit prion pada hewan yang telah ditemukan meliputi scarpie (domba), BSE (sapi),

transmissible mink encephalopathy (mink), chronic wasting disease atau mad-elk disease (rusa

besar atau mink dear dan elk), feline spongioform encephalopathy (kucing) dan exotic myalate

encephalopathy (kuda, srigala dan oryx). Penyakit prion pada manusia meliputi kuru cruetzfeld

Jordan Disease (CJD), penyakit gerstmann-straussler-sheinker, insomnial familial dan insomnia

sporadik yang bersifat fatal.

Prion penyebab BSE, secra klasik memiliki dua jenis tipe berbeda dan keduanya dapat

ditemukan pada hewan ternak. Tipe yang pertama memiliki fragmen dengan massa molekul yang

tinggi dibandingkan BSE klasik dan dinamakan H-type dan tipe kedua memiliki massa molekul

yang lebih rendah yang dinamakan L-type atau Amyloidotic Spongiform Encephalopathy

(BASE). Jenis tipe yang berbeda dari BSE merepresentasikan strain dari BSE itu sendiri.

Penyakit BSE umumnya terjadi pada sapi. BSE juga pernah dilaporkan pada domba dan

kambing dan pada ruminansia liar seperti bison serta ruminansia liar lainnya. Prion BSE juga

dapat menular ke kelompok kucing seperti kucing rumah, cheetah, puma, ocelot dan singa
sehingga menyebabkan Feline Spongiform Encephalopathy. Di perancis pernah dilaporkan dua

ekor lemur terinfeksi prion. Pada percobaan, prion BSE dapat ditularkan ke tikus coba, mink,

marmoset, monyet cynomoglus.

Agen dapat berasal dari jaringan tubuh ternak yang dijadikan pakan ternak atau dikenal

sebagai Meat-Bone-Meal (MBM). MBM merupakan pengecilan partikel dari bagian organ dan

karkas hewan. Proses pengolahan MBM tidak dapat menginaktivasi prion sehingga prion tetap

bertahan pada produk tersebut. Pada saat pengolahan MBM, semua bagian karkas yang dapat

dikonsumsi digiling dan dilakukan dekomposisi di dalam tangki besar, setelah itu dilakukan

perebusan dengan tekanan tinggi sehingga menghasilkan bubur protein di bawah lapisan lemak.

Setelah lemak dibuang, bubur protein tersebut dikeringkan dan dijadikan MVM. Setelah itu

dikemas dan didistribusikan untuk dijadikan pakan ternak dan juga hewan kebun binatang.

Penularan Penyakit

BSE biasanya ditransmisikan ketika hewan atau manusia memakan jaringan yang

mengandung prion BSE. Prion tersebut akan bereplikasi pada Peyer’s patches dari ileum, dan

akan menyebar melalui saraf-saraf tepi menuju sistem saraf pusat. Pada ternak, prion dapat

terakumulasi di dalam otak setelah 24 bulan ternak terinfeksi BSE. Konsentrasi prion terbesar

berada pada susunan saraf pusat dan ileum. Secara alami pada ternak yang terinfeksi, prion BSE

akan ditemukan pada otak, sumsum tulang belakang, retina dan ileum bagian distal. Namun

dengan teknik uji yang lebih sensitif, prion dapat dideteksi pada dorsal root ganglia, saraf-saraf

tepi dan kelenjar adrenal.

Pada beberapa penelitian, prion juga ditemukan di tonsil dan sumsum tulang belakang.

Beberapa sumber juga menyebutkan prion dapat ditemukan di jaringan limfatik pada membrane
nictitans. Beberapa jaringan bisa mengandung prion setelah lama terinfeksi BSE. Adanya

akumulasi prion pada saraf tepid an kelnjar adrenal merupakan penyebab adanya akumulasi

prion pada susunan saraf pusat. Prion BSE tidak ditemukan pada otot, namun daging dapat

terkontaminasi jaringan saraf pusat pada saat tahap pemotongan dan proses di RPH. Secara bukti

epidemiologis dan studi ilmiah, BSE tidak ditransmisikan melalui susu, semen atau embrio.

Penularan BSE dari hewan ke hewan secara horizontal masih belum dapat dibuktikan.

Penularan secara vertical dari induk ke anak pun jarang terjadi. Hewan yang masih muda sangat

peka terhadap infeksi dan kebanyakan ternak terinfeksi BSE saat umur enam bulan pertama.

Transmisi pada domba percobaan menyerupai transmisi pada sapi, tetapi prion lebih tersebar di

seluruh tubuh. Pada domba yang diinokulasi secara oral, prion ditemukan pada jaringan limfatik

seperti limf, lufonous dan gut-associated lymphoid-tissue (GALT) serta susunan saraf pusat.

Transmisi melalui darah (Blood-Borne Transmission) juga terjadi pada domba.

Pada manusia, penyakit variant Creutzfeldt-Jakob Disease (vCJD) diakibatkan oleh

termakannya prion BSE. Penyebaran dari manusia ke manusia pernah dilaporkan melalui

transfusi darah yang berasal dari pasien yang terinfeksi BSE secara asimptomatis. Transmisi

pada manusia juga dapat diakibatkan karena tranplantasi organ. Prion di manusia pada kasus

vCJD dapat ditemukan di otak, korda spinalis, dorsal root ganglia, ganglion trigeminalis, retina,

nervus opticus, jaringan limfatik, limfonodus di seluruh tubuh, GALT dan sekum.

Masa inkubasi BSE pada sapi 2-8 tahun. Kejadian penyakit ini umumnya pada hewan

berumur 4-5 tahun. Pada percobaan yang pernah dilakukan pada domba umur 6 bulan, masa

inkubasi BSE berlangsung selama 21-38 bulan. Pada domba berumur dua minggu masa inkubasi

berlangsung selama 18-24 bulan. Pada monyet Macaca yang diinfeksikan secara peroral, masa

inkubasi berlangsung selama 3-5 tahun.


Masa inkubasi unuk vCJD sangat sulit diperkirakan, namun rata-rata masa inkubasi berkisar

antara 11 dan 12 tahun, serta pernah dilaporkan sampai 16 tahun. Pada kasus melalui transfuse

darah, masa inkubasi selama 6-8,5 tahun.

Gejala Klinis

Bovine Spongioform Encephalopathy (BSE) merupakan penyakit neurologis yang umumnya

bersifat subklinis dan membahayakan pada ternak sapi. BSE dapat dibedakan secara klinis dari

gejala neurologik yang khas (Wilesmith et al., 1988; Winter et al., 1989). Gejala klinis

umumnya berupa perubahan tingkah laku dan temperamen berupa mudah terkejut, gugup dan

ketakutan (Wilesmith et al., 1988). Kemudian terjadi perubahan postur tubuh dan gerakan,

seperti ataksia kaki depan, tremor, mudah terjatuh dan bentuk kepala yang abnormal. Hewan

masih dapat makan tetapi sangat cepat kehilangan berat badan dan menunjukan gejala kyposis.

Hewan yang terinfeksi akan terlihat sangat peka terhadap suara dan sentuhan, menendang,

gerakan berlebihan pada telinga dan menjilat hidung. Gejala ini akan berakhir dengan

inkoordinasi, paresis dan paralysis.

Gejala lain yang khas pada BSE adalah sapi aktif berjalan kesana kemari. Pada beberapa

hewan terdapat gejala pruritus dimana hewan sering menjilat dan menggosokkan badannya karena

gatal. Terdapat pula gejala nonspesifik seperti kelemahan umum, kehilangan bobot badan,

menggesekkan antara gigi atas dan bawah (kemungkinan dikarenakan kesakitan pada perut dan

gangguan saraf), dan penurunan produksi susu. Muncul juga gejala seperti penurunan aktivitas

memamah biak, bradikardia dan aritmia.

Gambaran klinis yang dapat mendiferensiasi BSE adalah peradangan pada CNS akibat

infeksi viral dan bakterial (Scott et al., 1990). Namun demikian gejala klinis tersebut tidak
mampu mengkonfirmasi diagnosa terhadap penyakit BSE, karena banyak penyakit lain yang

menunjukkan gejala klinis yang sama seperti keracunan, infeksi viral dan bakterial.

Gejala klinis BSE lama kelamaan semakin memburuj setelah beberapa minggu sampai enam

bulan, namun pernah juda dapat bersifat akut dan langsung menunjukkan keparahan. Sifat akut

dan cepat ini terjadi pada ruminansia liar dan hewan liar. Ketika gejala klinis muncul, maka

penyakit BSE akan bersifat progresif dan mematikan. Pada tahap akhir gejala, hewan akan lelah,

roboh, koma dan mati.

Diagnosa

Encephalopathy adalah kelainan patologis pada jaringan otak yang digambarkan berupa

degenerasi dan nekrosis sistem syaraf pusat. Kelainan encephalopathy merupakan salah satu

kelainan patologis yang karakteristik pada kasus penyakit BSE. Berbagai penyebab dapat

menimbulkan kelainan encephalopathy, antara lain keracunan organofosfat (Sherman, 1999;

Cookson, 2001; Purdey, 1996), milk fever (Forslund et al., 1983), tanaman beracun (Seawright

et al., 1998), chronic wasting disease (Stegelmeier, komunikasi pribadi), Kuru dan agen

mikroorganisme seperti virus, bakteri dan parasit (Davis et al., 1991). Sedangkan prion

(PrPsc maupun PrPres) merupakan indikator utama untuk menetapkan diagnosa penyakit

(Hope et al., 1988; Bradley dan Wilesmith, 1993). Dari beberapa kelainan encephalopathy,

prion tersebut pernah terdeteksi dari hewan yang mengalami keracunan organofosfat, chronic

wasting disease, keracunan tanaman, milk fever, penyakit Kuru dan CJD (Purdey, 1992).

Penyakit yang disebebkan oleh prion ini sulit untuk didiagnosa menggunakan metode

konvensional seperti PCR, serologi dan kultur sel. Hal ini karena prion memiliki struktur protein

yang hampir sama dengan protein normal inang sehingga tidak dikenali sebagai benda asing di
dalam tubuh. Diagnosa laboratorium untuk penyakit ini juga sulit karena penyebaran prion yang

tidak merata di dalam tubuh. Konsentrasi prion yang tinggi di dalam tubuh ditemukan pada

sistem syaraf dan konsentrasi pion yang rendah ditemukan pada cairan tubuh seperti darah dan

urin.

Sampai saat ini, belum ada uji penyakit BSE pada hewan hidup. Diagnosa penyakit ini

hanya bisa dideteksi oleh pemeriksaan otak sapi secara postmortem dengan mendeteksi prion

(PrPres) pada jaringan saraf pusat. Akumulasi prion bisa didapatkan dari otak dengan teknik

immunohistokimia. Dapat juga dilakukan dengan uji ELISA (Enzyme-Linked Immunosorbent

Assay) dan Western Blotting. Rapid test dapat dilakukan pada saat surveillance namun

membutuhkan jumlah sampel yang banyak untuk diuji. Sampel yang positif pada rapid test dapat

dilanjutkan dengan uji konfirmasi yang lebih spesifik seperti pemeriksaan immunohistokimia

dan immunoblotting. Diagnosa dari BSE juga dapat dikonfirmasi dengan mengidentifikasi prion

fibril yang disebut Scrapie-Associated Fibril (SAF) dengan mikroskop electron pada organ otak

baik specimen beku maupun yang sudah autolysis. Prion dapat dideteksi pada otak saat 3-6 bulan

setelah masa onset berlangsung. Berikut adalah beberapa cara untuk mendeteksi penyakit BSE:

1.     Histopatologi dan Imunohistokimia

Metode diagnosa menggunakan histologi atau imunohistokimia tidak hanya mendeteksi

keberadaan prion BSE tetapi juga penyebarannya di otak dan jaringan limfoid. Secara

histopatologis, otak hewan yang terkena BSE akan mengalami spongiosis. Perluasan astrosit

pada jaringan otak dapat dideteksi secara imunohistokimia menggunakan antibody terhadap

astrocytic marker protein Glial Fibrillary Acidic Protein (GFAP)

2.     Western Blotting


Deteksi prion terjadi setelah pemisahan sampel oleh elektroforesis dan transfer menuju

membrane menggunakan antibodi spesifik PrP dan antibodi sekunder alkali fosfatase-coupled

yang menghasilkan chemiluminescence. Hasil positif ditandai dengan keberadaan sinyal PrP-

immunoreactive dengan berat molekul rendah dan pola 3-band yang khas.

3.     Serial Protein Misfolding Cyclic Amplification (sPMCA)

Teknik ini merupakan sebuah penelitian yang dipublikasikan pada jurnal Emerging Infectious

Disease (2012). Teknik ini digunakan untuk mendeteksi prion PrPsc pada saliva sapi sebelum

dan setelah onset penyakit BSE. Sebanyak 3 ekor sapi disuntkan dengan prion BSE lalu diambil

salivanya secara teratur dengan interval 4 bulan. Saliva yang diambil dianalisa dengan

menggunakan metode sodium phosphotungstic. Setelah itu sampel diamplifikasi sebanyak 3-8

tabung.

Diagnosa secara tentative dapat dilakukan melalui sejarah penyakit atau anamnesa, gejala

klinis yang telihat dan adanya atrofi bagian cortex melalui Magnetic Resonance Imaging (MRI)

pada otak. Pada tahap awal penyakit pemeriksaan menggunakan Electroencephalogram (EEG)

terlihat normal, namun akan terlihat adanya kelainan setelah mencapai tahap berikutnya.

Diagnosa secara definitif dapat dilakukan jika prion ditemukan pada biopsy tonsil menggunakan

immunoblot (Western Blotting) atau immunohistokimia. Dapat juga dilakukan pemeriksaan

mikroskopis pada jaringan otak setelah dilakukan nekropsi. Pada pemeriksaan histopatologi akan

banyak ditemukan akumulasi amyloid yang dikeilingi oleh vakuola. Prion akan banyak diteukan

disekeliling akumulasi amyloid tersebut dan terlihat dengan teknik pewarnaan

immunohistokimia.
Diagnosa Banding

kemungkinan BSE dapat dikelirukan dengan penyakit lain yang menyerang susunan syaraf

pusat seperti pada Bovine Encephalitis (Rabies). Keracunan logam berat seperti keracunan Pb

juga menyebabkan gejala syaraf seperti pada BSE. Disamping itu terdapat beberapa penyakit

metabolis yang juga menyebabkan gejala syaraf seperti nervous ketosis dan hypomagnesaemia.

Patologi

Agen BSE ayang menyerang pusat syaraf menyebabkan degenerasi sel syaraf, dan terbetuk

vakuola-vakuola hingga terkesan seperti spons, selain jaringan otak jaringan lain yang dicurigai

yang terserang meliputi sum-sum tulang belakang, tonsil, tymus, limpa dan usus, hingga jaringan

tersebut dilarang untuk tidak dikonsumsi terutama pada waktu kejadian BSE di Inggris. Dari

pemeriksaan pasca mati sakit yang dialami, yang sebelumnya memperlihatkan gejala klinis dan

pembuktian secara bioassay pada mencit. Terbukti bahwa agen infeksi hanya ditemukan pada

jaringan otak, sum-sum tulang belakang, belakang leher, ujung sum-sum tulang belakang (cauda

equine) dan retina (Subroto, 1991).

Dengan adanya proses degenarasi sel-sel syaraf menyebabkan terjadinya inkoordinasi

hingga sapi menunjukan gejala gila, lari kesana kemari dan bahkan pada gejala yang lebih berat

sapi tidak sanggup untuk bangun (Subroto, 1991).

Tidak terdapat lesi yang spesifik untuk penyakit BSE. Kelainan makroskopis seperti abrasi,

laserasi dan kontusio pada otak merupakan perubahan patologis sekunder akibat hewan terinfeksi

mengalami inkoordinasi dan gangguan syaraf lokomotor lainnya. Sebaliknya, lesi mikroskopis

pada jaringan sistem syaraf pusat merupakan kelainan yang sangat spesifik dan dianggap

patognomonis (Hope et al., 1988; Wells et al., 1989). Wells et al (1987) dan Davis et al (1991)
melaporkan bahwa kelainan histopatologis ditandai dengan degenerasi pada grey matter batang

otak baik secara bilateral maupun simetris yang terdiri dari vakuolisasi dan mikrokavitasi

neuropil. Vakuolisasi neuronal perikarya dapat dijumpai pada beberapa inti sel batang otak,

khususnya pada bagian dorsal nucleus dari nervus vagus, bentukan retikular dan nuclei

vestibular. Gliosis kadang-kadang dapat terlihat pada jaringan otak tersebut.

Tingkat kerusakan jaringan otak bervariasi diantara hewan dan bagian otak yang diperiksa.

Lesi pada penyakit BSE sering terjadi pada nucleus tractus yang terpisah (soliter) dan tractus

spinal dari syaraf trigeminus. Nuclei tersebut terdapat dalam daerah obex dari medulla oblongata.

Sehingga, obex menjadi lokasi pada otak yang sangat penting untuk diagnosis histologis

penyakit BSE. Cerebellar pendiculus dan mesencephalon merupakan bagian penting lainnya dari

otak untuk melakukan pengamatan histologis terhadap infeksi BSE.

Pada pemeriksaan postmortem, perubahan patologi anatomi tidak dapat terlihat, kecuali

perubahan yang tidak spesifik seperti kekurusan. Pada pemeriksaan histopatologi dapat dilihat

kelainan pada sistem saraf pusat. Terdapat vakuola pada neuron dan perubahan seperti sponge

pada gray matter otak merupakan gambaran khas dari BSE. Dapat juga terlihat adanya

akumulasi amyloid namun tidak khas pada penyakit ini. Perubahan seperti sponge pada otak juga

terjadi pada domba dan Macaca yang terinfeksi prion.


Patologi anatomi secara umum pada otak terlihat seperti spons atau karet busa (Spongiform

encephalopathy). Pada manusia, penderita yang mengalami kematian yang cepat, otak tidak

mengalami perubahan makroskopis. Sedangkan pada penderita yang mengalami kematian lambat

menunjukkan perubahan penurunan berat otak. Dengan mikroskopik electron, terjadi perubahan

otak dalam tiga tingkatan, yaitu :

1.          disebut perubahan Spongiform atau mulai membentuk vakuola berbentuk bulat atau lonjong

dengan ukuran kecil 1m dan paling besar 50m.

2.        Sel-sel neuron mulai menghilang, kadang-kadang sukar dideteksi apabila kematian cepat terjadi

3.             Hilangnya sel-sel neuron diikuti dengan proliferasi astrosit.


Perubahan histopatologis dan perubahan molekuler dari susunan syaraf pusat menunjukkan

sifat yang karakteristik. Dijumpai adanya vakuolisasi pada neuron dari substansi abu-abu (grey

matter). Disinilah pembentukan vakuolisasi yang paling menonjol. Pada neuron perikarya juga

terjadi pembentukan vakuolisasi grey matter merupakan bentuk vakuolisasi yang paling banyak

dijumpai. Hipertropi dari asitrosit sering menemani pembentukan vakuolisasi. Adanya serebral

amyloidosis merupakan gambaran normal dijumpai pada penyakit BSE. Banyakya vakuola

dijumpai paling banyak pada medulla oblongata disusul pada otak tengah, thalamus,

hipotamalamus area septal (Sitepoe, 2000).

Epidemiologi dan Penyebaran Penyakit

Asal mula dari BSE belum banyak diketahui. Penyakit ini pertama kali dilaporkan pada

tahun 1980, tetapi kemungkinan terjadi pada sapi pada tahun 1970. Dimungkinkn BSE berasal

dari mutasi protein PrPc pada tubuh sapi atau berasal dari mutasi prion penyakit scrapie yang
mengontaminasi pakan ruminansia. Sumber lain juga memperkirakan BSE berasal dari agen

Transmissible Spongiform Encephalopathy (TSE) dari satwa liar atau manusia.

Kasus BSE telah dilaporkan pada hewan ternak hampir seluruh negara di Eropa, Kanada,

Amerika Serikat, Israel dan Jepang. Penyakit ini pernah terlihat pada ternak yang diimpor dari

Pulau Falkland dan Oman. Keberadaan dari penyakit ini tidak dapat dipastikan dari suatu negara

tanpa adanya program surveillance yang memadai. Prion BSE dengan jenis yang berbeda pernah

dilaporkan di Eropa, Amerika Serikat dan Jepang.

Tabel 1. Jumalh Kasus BSE di Beberapa Negara Eropa

Negara 1999 2000 2001 Total Kasus


Sejak 1987
Inggris 2254 1311 104 177.798
Perancis 31 162 50 294
Jerman 0 7 44 51
Irlandia 96 156 44 625
Italia 0 0 11 13
Portugis 159 150 34 564
Spanyol 0 2 35 37
Swiss 50 33 3 370

Prevalensi dari kasus BSE sangat bervariasi. Di beberapa negara, tingkat kejadian BSE

adalah 100 kasus persejuta sapi, namun berbeda di negara dengan tingkat kejadian rendah yaitu

dua kasus persejuta sapi. Epidemic penyakit BSE telah dilaporkan pada beberapa negara di

Eropa. Wabah pertama kali muncul di Inggris dimana pada tahun 1980 tercatat 180.000 kasus

BSE. Puncak epidemic di Inggris terjadi pada tahun 1992 dengan hampir terjadi 1000 kasus per

minggunya. Pada saat itu tingkat insidensi mencapai 2-3%. Setelah dilakukan tindakan

pencegahan dengan pelarangan pemberian pakan MBM pada sapi, maka tingkat kejadian

menjadi menurun hingga hanya terjadi 5-10 kasus per minggunya pada tahun 2004.
Prevalensi dari CJD tidak diketahui secara pasti. Kebanyakan kasus terjadi pada manusia

yang tinggal di Inggris dan Perancis. Pada Agustus 2007, sebanyak 166 kasus CJD dilaporkan di

Inggris. Tingkat kejadian penyakit yang cukup besar muncul pada tahun 2000, dimana terdapat

28 kasus dan secara bertahap turun menjadi 5 kasus pertahun di 2005 dan 2006. Pada November

2006, 21 kasus dilaporkan di Perancis, 4 kasus di Irlandia, 3 kasus di Amerika Serikat, 2 kasus di

Belanda dam 1 kasus di Kanada, Italia, Jepang, Portugis, Arab Saudi dan Spanyol. Jumlah

manusia yang terinfeksi namun bersifat asimptomatis sulit diketahui. Namun perkiraan tingkat

kejadian kasus pada manusia di Inggris dengan selang kepercayaan 95% adalah 237 (49692)

kasus per juta orang.

Antisipasi Kejadian Penyakit

Pada tahun 1996 hipotesis tentang konsumsi MBM asal sapi terinfeksi penyakit BSE

diragukan sebagai penyebab timbulnya penyakit tersebut (Purdey, 1996). Keraguan tersebut

didasari karena penggunaan MBM sebagai pakan ternak sebenarnya telah dilarang di Inggris dan

Eropa daratan, namun wabah BSE masih tetap timbul dengan kasus kejadian yang cukup tinggi

di negara-negara tersebut. Purdey (1996) menambahkan bahwa munculnya penyakit BSE di

Inggris disebabkan karena penggunan pestisida golongan organofosfat (phosmet) yang

berlebihan untuk mengobati penyakit kulit pada ternak sehingga phthalimide (pestisida golongan

OP) pada dosis tinggi dianggap sebagai pemicu utama terjadinya deformasi prion protein yang

mengakibatkan terjadinya wabah BSE. Kejadian yang sama juga pernah dilaporkan bahwa

pengobatan dermatitis dengan hexachlorophene pada manusia menimbulkan absorpsi pada janin

sehingga menimbulkan gejala vacuolar encephalopathy yang mirip dengan BSE (Boothby,

1988). Berdasarkan berita yang disampaikan oleh KOMPAS (2003) bahwa telah terjadi kematian
sapi perah sebanyak 400 ekor tanpa diketahui penyebabnya antara bulan Nopember 2002 –

Maret 2003 di Lembang, Jawa Barat. Kunjungan lapangan selanjutnya dilakukan pada bulan

April 2004 untuk mempelajari penyebab-penyebab kematian sapi perah tersebut. Hasil

pengamatan lapangan ternyata hanya 223 ekor sapi perah yang mangalami kematian selama 7

bulan antara September 2002 – Mret 2003 (Dinas Peternakan Jawa Barat, komunikasi pribadi).

Sementara itu, 167 ekor sapi lainnya disebabkan karena dipotong paksa. Rangkupan hasil

diagnosa yang dilakukan oleh Dinas Peternakan Propinsi Jawa Barat terhadap 223 ekor sapi

perah tersebut tertera pada Tabel 2.

Tabel 2. Hasil diagnosa penyebab kematian sapi perah selama bulan September 2002 – Maret 2003*.
Diagnosa Jumlah kematian (ekor) Mortalitas (%)
Displasia 49 21,99
abomasum
Tympani 36 16,15
Milk fever 29 13,00
Abses 24 10,77
Keracunan 22 9,82
Ketosis 11 4,94
Lain-lain*) 52 23,33
Jumlah 223 100
Keterangan:
*) Termasuk enteritis, gastritis, gastroenteritis, pericarditis dan lain- lain yang masing-masing
berjumlah 1 – 6 ekor.
Data diolah dari Laporan Dinas Peternakan Jawa Barat

Pada Tabel 1 diatas terlihat bahwa dua diantara penyebab kematian sapi tersebut pernah

dilaporkan terdeteksi prion penyebab BSE yaitu milk fever dan keracunan (Davis et al., 1991).

Sehubungan dengan kasus keracunan tersebut, Indraningsih dan Sani (2006) melakukan studi

retrospektif untuk mempelajari penyebab keracunan dengan melakukan koleksi sampel lapangan

yang terdiri dari pakan ternak (hijauan dan konsentrat), serum dan jaringan otak.
Pola Pengendalian

Indonesia sampai saat ini masih dinyatakan bebas dari penyakit BSE, akan tetapi Indonesia

pernah mengimpor produk MBM dan produk ternak dari negara yang terinfeksi penyakit BSE

sebelum tahun 1996. Disamping itu, petugas kesehatan hewan di Indonesia belum

berpengalaman di dalam mendiagnosa penyakit tersebut. Investistigasi yang mendalam tentang

penyakit ini belum pernah dilakukan di Indonesia. Oleh karena perlu mempertimbangkan pola-

pola pengendalian penyakit tersebut agar tidak masuk atau tidak berjangkit di Indonesia.

Bovine spongioform encephalopathy dapat didiagnosa berdasarkan gejala klinis dan

kelainan-kelainan patologis yang khas. Dampak penyakit BSE adalah sangat nyata terhadap

faktor sosial ekonomi. Meskipun penyakit tidak pernah muncul di Indonesia sampai saat ini;

petugas kesehatan hewan, laboratorium kesehatan hewan dan patologis harus memiliki

pengalaman tentang gejala- gejala khas dari penyakit tersebut. Disamping teknik diagnosa yang

akurat perlu dikembangkan untuk mengantisipasi penyakit BSE. Beberapa teknologi diagnosa

dapat diterapkan untuk mendeteksi penyakit ini, antara lain teknik immunohistochemistry,

bioassay, histopatologi, Western blotting dan ELISA (Novakofski et al., 2005). Disamping itu,

saat ini sudah tersedia kit diagnostik komersial yang pada umumnya berdasarkan reaksi

imunologis (Novakofski et al., 2005).

Untuk mengurangi resiko masuknya penyakit BSE ke Indonesia, maka perlu

melakukan surveilans dan monitoring penyakit secara komprehensif, melaksanakan pelarangan

impor ternak ruminansia hidup, produk ternak dan MBM dari negara-negara yang terinfeksi.

Selanjutnya perlu dilakukan penyebaran informasi mengenai penyakit BSE kepada

masyarakat veteriner dan industri ternak ruminansia agar dapat membantu pelaksanaan
kegiatan surveilans dan monitoring penyakit tersebut. Peraturan-peraturan kesehatan harus

ditempatkan pada posisi utama dalam mengantisipasi penyakit BSE.

Pencegahan dan Pengobatan

Tidak ada pengobatan untuk penyakit BSE dan hewan yang diduga sakit dapat dieuthanasia

untuk dilakukan pemeriksaan lebih lanjut. Pencegahan BSE dapat dilakukan dengan baik

memberikan pakan mengandung jaringan ruminansia yang mengandung prion pada hewan

rentan. Menghindari pemberian meat-bone-meal (MBM) pada ternak jauh lebih baik

dibandingkan melakukan proses pemanasan dan pengecilan partikel protein pada MBM, karena

tidak dapat menginaktivasi prion secara keseluruhan.

Kebijakan pelarangan penggunaan pakan ruminansia asal jaringan tubuh ruminansia telah

mengurangi kasus BSE secara signifikan. Sehingga perlu dilakukan pelanggaran importasi MBM

dan hewan maupun produk hewan dari negara berstatus tidak bebas BSE ke negara bebas BSE.

Kegiatan surveillance pada daerah endemis dan memiliki tingkat kejadian tinggi BSE dapat

dilakukan secra terprogram dan berkelanjutan sehingga dapat mengurangi angka kejadian kasus

BSE secara signifikan.

Perlu dilakukan pengawasan sapi poting di RPH terhadap gejala klinis BSE yang muncul

saat pemeriksaan antermortem. Pemeriksaan ini dapat mencegah tersebarnya karkas yang berasal

dari sapu yang terinfeksi BSE terdistribusi ke masyarakat sehingg tidak dikonsumsi. Di Inggris,

karkas sapi dari hewan terinfeksi BSE tidak boleh dikonsumsi dan dilakukan pengolahan dengan

pemansan karkas pada suhu 133°C selama 20 menit. Diperlukan juga pengawasan saat proses

pengolahan karkas agar tidak terkontaminasi dengan Specified Risk Materials (SRM) dari

penyakit BSE.
Pencegahan BSE dilakukan dengan menerapkan Early Warning Sistem/sistem deteksi dini

yaitu antara lain dengan melakukan surveillance pada lokasi yang terdeteksi adanya gejala

neurologis pada ternak, program peningkatan kesadaran masyarakat dengan penyulihan,

melakukan rapi test setelah pemotongan, melakukan transparansi laporan kasus BSE,

pengawasan kebijakan importasi hewan dan produknya sesuai dengan aturan OIE Terrestrial

Code, Menghindari kontaminasi Specified risk material (SRM) seperti otak dan sumsum tulang

belakang saat prosesing karkas di RPH, melarang penggunaan SRM pada pakan hewan,

melakukan Stampin Out pada hewan yang diduga terinfeksi akibat konsumsi pakan mengandung

SRM, melakukan pengelolaan limbah RPH dengan baik dan melakukan pendataan ternak untuk

mempermudah sistem surveillance dan telusur jika terjadi kasus.

Dikarenakan prion dapat bertahan di lingkungan selama beberapa tahun dan sulit untuk

didesinfeksi, maka tindakan pencegahannya adalah menghindari terjadinya kontaminasi pada

permukaan dan peralatan. Kertas plastic yang sekali pakai dapat digunakan untuk melindungi

meja dan juga area permukaan lainnya. Saat ini masih belum ada vaksin untuk penyakit CJD

maupun BSE.

Dekontaminasi dari prn yang berada di jaringan, permukaan dan lingkungan sangat sulit

dilakukan. Prion tersebut sangat resisten pada kebanyakan desinfektan (termasuk formalin),

pemanasan, radiasi ultraviolet dan radiasi ionisasi. Terutama ketika prion terlindungi oleh materi

organic yang diawetkan dengan bahan fiksatif aldehida , titer prion terdeteksi tinggi. Prion dapat

terikat dengan kuat pada permukaan suatu bahan seperti stainless steel dan plastik tanpa

kehilangan infektivitasnya. Prion yang terikat pada bahan metal memilki resisten yang lebih

tinggi terhadap dekontaminasi.


Beberapa senyawa telah diteliti cukup efektif untuk desinfeksi terhadap prion antara lain

larutan sodium hidroksida atau larutan sodium hipoklorit yang mengandung klorin 2%.

Permukaan harus didesinfeksi lebih dari satu jam pada suhu 20°C. Desinfeksi selama satu hari

direkomendasikan untuk peralatan. Perlakuan pembersihan sebelum desinfeksi dapat

mengeliminasi materi organic yang dapat melindungi prion.

Saat ini, penanganan menggunakan desinfektan fenol, pembersih alkalis (KOH dengan

detergent) dan pembersih enzimatis yang dikombinasikan dengan uap hidrogen peroksida telah

terbukti dapat menginaktivasi prion scrapie. Pembersih alkalis dan desinfektan fenol juga efektif

terhadap prion BSE dan CJD. Inaktivasi prion secara fisik dapat dilakukan dengan menggunakan

autoclave pada suhu 134-138°C selama 10 menit pada 30 lb/in2

Kombinasi antara penangan secara kimiawi dan fisik dapat lebih efektif, dimana desinfeksi

secara kimia dilakukan terlebih dahulu setelah itu dibilas dan dilakukan autoclave. Namun

kombinasi kedua penanganan ini tidak dapat menjamin untuk mengahancurkan seluruh prion

yang ada. Pada percobaan yang telah dilakukan, kawat stainless steel yang dicuci dengan sodium

hidroksida dan dilakukan autoclave tetap mengandung prion yang infektif. Peralatan bedah yang

dilakukan pembersihan berulang kali pun masih tetap dapat menularkan CJD. Dengan alasan ini,

maka dianjurkan untuk menggunakan peralatan yang sekali pakai dibandingkan peralatan yang

dicuci untuk beberapa kali pemakaian.

Hewan yang dinyatakan positif BSE oleh uji akan ditindaklanjuti sesuai dengan peraturan

negara yang bersangkutan.  Di Irlandia sapi yang positif BSE dan seluruh kawanannya

didepolusasi.  Karkas yang terinfeksi dimusnahkan dan kawanan sapi yang didepopulasi dikirim

ke pabrik pemotongan khusus. Kohort dan keturunan dari hewan yang positif BSE dilacak dan

dimusnahkan.  Produk dari kawanan yang terinfeksi tidak boleh memasuki rantai makanan, baik
maunisa maupun hewan.  Semua hewan dan karkas dikirim ke pabrik pengolahan SRMs

(perusahaan  pengolahan kategori 1) untuk diproses dan dihancurkan.  Kompensasi akan

diberikan kepada peternak untuk seluruh ternak yang terdaftar yang dipotong sesuai dengan

harga pasar.  Kegiatan di peternakan yang terinfeksi dibatasi, proses disinfeksi peternakan

ditunda dan dilakukan penyelidikan untuk melacak sumber infeksi (DAF 2005).

Belum ada obat maupun vaksin BSE untuk hewan dan manusia.  Semua hewan dan manusia

yang tertular prion BSE berakhir dengan kematian apabila gejala klinis telah muncul.  World

Organization for Animal Health (WOAH) telah mengeluarkan rekomendasi untuk pencegahan

dan pengendalian BSE, diantaranya :

1.     setiap negara memiliki penilaian atau analisis risiko untuk oenyakit BSE

2.     menghilangkan SRMs dari seluruh karkas sapi berumur 12 bulan atau lebih

3.     memperbaiki standar pengolahan produk buangan menggunakan temperature, tekanan dan waktu

yang sesuai saat diproses (133°C, 3 bar dan 20 menit)

4.     menghindari kontaminasi silang dari produk buangan

5.     melakukan surveilan secara aktif dan pasif

6.     memusnahkan sapi yang menderita BSE.

Penyakit Mulut dan Kuku


Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Loncat ke navigasi Loncat ke pencarian
Virus Penyakit Mulut dan
Kuku
Klasifikasi virus
Grup: Grup IV ((+)ssRNA)
Famili: Picornaviridae
Genus: Aphthovirus
Spesies: Virus Penyakit
Mulut dan Kuku
(FMD virus)

PMK beralih ke sini. Untuk kegunaan lain lihat PMK (disambiguasi).

Penyakit Mulut dan Kuku (biasa disingkat PMK) merupakan penyakit epizootika yang
menyerang ternak besar, terutama sapi dan babi. Variasi penyebutannya adalah Penyakit Kuku
dan Mulut atau singkatan nama bahasa Inggrisnya, FMD (dari foot and mouth disease, juga
disebut hoof and mouth disease). Penyakit ini disebabkan oleh virus dari familia Picornaviridae.
Daya tular penyakit ini sangat tinggi, dan dapat menulari rusa, kambing, domba, serta hewan
berkuku genap lainnya. Gajah, mencit, tikus, dan babi hutan juga dapat terserang. Kasus yang
menyerang manusia sangat jarang.

Catatan kasus di Indonesia


Ledakan wabah PMK pertama kali diketahui di Indonesia tahun 1887 di daerah Malang, Jawa
Timur, kemudian penyakit menyebar ke berbagai daerah seperti Sumatera, Sulawesi dan
Kalimantan. Kampanye vaksinasi massal memberantas PMK dimulai tahun 1974 sehingga pada
periode 1980-1982 tidak tercatat lagi kasus PMK. Pada tahun 1983 tiba-tiba muncul lagi kasus di
Jawa Tengah dan menular kemana-mana. Melalui program vaksinasi secara teratur setiap tahun,
wabah dapat dikendalikan dan kasus PMK tidak muncul lagi. Pada tahun 1986 Indonesia
menyatakan bebas PMK. Hal ini diakui di lingkungan ASEAN sejak 1987 dan diakui secara
internasional oleh organisasi Kesehatan Hewan Dunia (Office International des Epizooties-OIE)
sejak 1990.

Anda mungkin juga menyukai