berdarah panas bahkan manusia. Penyakit ini bisa mengakibatkan angka kematian tinggi.
Penyebab penyakit anthrax pada sapi adalah Bacillus anthracis. Kuman Anthrax bisa membentuk
spora yang bisa bertahan hidup berpuluh-puluh tahun di tanah, tahan terhadap kondisi atau
lingkungan yang panas, dan bahan kimia atau desinfektan. Olehkarena itu, hewan yang mati yang
terjangkit Anthrax dilarang melakukan pembedahan pada bangkainya supaya tidak membuka
peluang bagi organisme untuk membentuk spora. Penyakit ini tersebar di seluruh dunia terutama
daerah tropis.
Infeksi pada ternak bisa berasal dari tanah yang tercemar organisme atau kuman Anthrax.
Kuman masuk tubuh ternak melalui luka, terhirup bersama udara atau tertelan. Pada manusia
infeksi biasanya terjadi dengan perantaraan luka,bisa juga dengan melalui pernafasan para
pekerja penyeleksi bulu domba atau melalui saluran pencernaan bagi orang yang memakan
daging hewan penderita Anthrax yang dimasak tidak secara sempurna.
3. Gejala yang Timbul Penyakit Anthrax Pada Ternak Sapi
Procain penisilin G, dosis untuk ruminansia besar (sapi, kerbau): 6.000 – 20.000 IU/Kg
berat badan , sedang untuk ruminansia kecil (kambing, domba) : 20.000 – 40.000 IU/Kg
berat badan.
Streptomycin, dosis untuk ruminansia besar: 5 – 10 mg/Kg BB, sedang untuk ruminansia
kecil : 50 – 100 mg/Kg BB.
Kombinasi antara Procain Penisilin G dengan Streptomycin.
Oksitetrasiklin , untuk ruminansia besar: 50 mg/10 Kg BB, sedang untuk ruminansia
kecil: 50 mg/5 Kg BB.
Anthrax adalah penyakit zoonosis (suatu penyakit yang bisa ditularkan antara hewan dan
manusia) yang sangat berbahaya, oleh sebab itu ternak yang menderita Anthrax dilarang keras
untuk dipotong.
Bovine Spongiform Encephalopathy (BSE) atau yang disebut juga mad cow diseade
merupakan penyakit yang cukup memberi perhatian saat ini. kejadian penyakit ini sudah meluas
ke berbagai negara di dunia dan menjadi perhatian dari Organisasi Kesehatan Hewan Dunia
(OIE). Penyakit ini menjadi penting karena agen penyebab bukan berasal dari mikroorganisme
melainkan dari protein yang mengalami mutasi genetic menjadi virulen yang disebut dengan
prion.
Kejadian BSE pada ternak biasanya dihubungkan dengan pemberian meat bone meal
(MBM) yang mengandung specified risk material (SRM) dari jaringan tubuh hewan. MBM
sendiri digunakan untuk meningkatkan asupan protein pada ternak, namun saat ini
Penyakit BSE telah menimbulkan kerugian besar pada sector peternakan khususnya ternak
sapu dimana menimbulkan kasus kematian yang cukup besar. Disamping itu, penyakit ini pula
termasuk ke dalam zoonosis karena dapat ditularkan dari hewan ke manusia yang disebut dengan
penyakit Creutzfeldt-Jakob Disease (CJD). Penularan terjadi melalui infeksi prion yang masuk
ke tubuh manusia melalui konsumsi daging sapi yang terinfeksi BSE. Penularan dari manusia ke
manusia pun pernah dilaporkan. Dengan demikian penyakit ini menjadi penting dilihat dari sisi
Etiologi
Penyakit sapi gila (Bovine Spongiform Encephalopathy/BSE) adalah penyakit yang
disebabkan oleh bahan infeksius yang baru dikenal dan disebut PRION. Agent penyebab BSE
adalah PRION. BSE termasuk salah satu penyakit yg tergolong dalam Transmissible Spongiform
Encephalopathy (TSE) yaitu penyakit yg menyerang susunan syaraf pusat dengan gejala
dalam sel-sel otak, dapat menular kepada manusia dan menyebabkan penyakit yang dalam istilah
pemberian pakan yang mengandung protein asal ternak. Dan karena penyakit ini belum diketahui
Prion merupakan partikel protein yang bersifat infeksius, tidak mengandung asam nukleat,
tahan terhadap faktor atau senyawa (zat) yang merusak asam nukleat, misalnya sinar ultraviolet,
radiasi, dan enzim nuclease. Partikel ini dapat muncul dan bereplikasi dengan merubah protein
sel normal dan membuatnya menjadi prion. Bandingkan dengan virus yang merupakan kompleks
yang terdiri atas genom RNA atau DNA, terbungkus dalam protein kapsid, dengan atau tanpa
selubung lipid. Setelah melalu ekstraksi dengan detergen, digesti oleh protease dan nuclease,
dengan elektroforesis agarose gel, protein prion diketahui memiliki berat molekul 27-30
kilodalton (kD) dan dikodifikasi sebagai PrP 27-30 penyakit scrapie (PrPsc) 27-30 kD, PrPC9D
27-30 kD.PrPc, protein normal, peka terhadap protease; 33-35 kD. Dalam perbadingan uji lebih
lanjut prion dengan berat molekul 27-30 kD ternyata memiliki sifat infeksius. Bila PrPsc
bersentuhan dengan PrPc, yaitu protein gen normal tubuh, maka PrPc akan berubah
konfigurasinya dan segera membentuk agregat. Bagaimana agregat tersebut berpengaruh
terhadap terbentuknya degenerasi sel-sel syaraf belum diketahui secara pasti. Berbeda dengan
PrPsc yang resisten terhadap enzim protease , dan mudah larut dalam pelarut yang kuat. PrPc
(kode untuk protein sel normal, protein prio cellular) mudah dirusak oleh enzim protease dan
gampang larut dalam pelarut protein yang ringan sekalipun. PrPc memiliki berat molekul 33-35
kD. Agen protein prion ditemukan dan dibuktikan oleh Stanley B Prusiner pada tahun 1982
(Subroto, 1991) . Protein sel yang disebut PrPc dinamakan juga PrPres, PrPscr atau PrPtse. Prion
dapat menyebabkan beberapa penyakit seperti BSE atau scrapie yang disebabakan oleh strain
Penyakit prion pada hewan yang telah ditemukan meliputi scarpie (domba), BSE (sapi),
transmissible mink encephalopathy (mink), chronic wasting disease atau mad-elk disease (rusa
besar atau mink dear dan elk), feline spongioform encephalopathy (kucing) dan exotic myalate
encephalopathy (kuda, srigala dan oryx). Penyakit prion pada manusia meliputi kuru cruetzfeld
Prion penyebab BSE, secra klasik memiliki dua jenis tipe berbeda dan keduanya dapat
ditemukan pada hewan ternak. Tipe yang pertama memiliki fragmen dengan massa molekul yang
tinggi dibandingkan BSE klasik dan dinamakan H-type dan tipe kedua memiliki massa molekul
yang lebih rendah yang dinamakan L-type atau Amyloidotic Spongiform Encephalopathy
(BASE). Jenis tipe yang berbeda dari BSE merepresentasikan strain dari BSE itu sendiri.
Penyakit BSE umumnya terjadi pada sapi. BSE juga pernah dilaporkan pada domba dan
kambing dan pada ruminansia liar seperti bison serta ruminansia liar lainnya. Prion BSE juga
dapat menular ke kelompok kucing seperti kucing rumah, cheetah, puma, ocelot dan singa
sehingga menyebabkan Feline Spongiform Encephalopathy. Di perancis pernah dilaporkan dua
ekor lemur terinfeksi prion. Pada percobaan, prion BSE dapat ditularkan ke tikus coba, mink,
Agen dapat berasal dari jaringan tubuh ternak yang dijadikan pakan ternak atau dikenal
sebagai Meat-Bone-Meal (MBM). MBM merupakan pengecilan partikel dari bagian organ dan
karkas hewan. Proses pengolahan MBM tidak dapat menginaktivasi prion sehingga prion tetap
bertahan pada produk tersebut. Pada saat pengolahan MBM, semua bagian karkas yang dapat
dikonsumsi digiling dan dilakukan dekomposisi di dalam tangki besar, setelah itu dilakukan
perebusan dengan tekanan tinggi sehingga menghasilkan bubur protein di bawah lapisan lemak.
Setelah lemak dibuang, bubur protein tersebut dikeringkan dan dijadikan MVM. Setelah itu
dikemas dan didistribusikan untuk dijadikan pakan ternak dan juga hewan kebun binatang.
Penularan Penyakit
BSE biasanya ditransmisikan ketika hewan atau manusia memakan jaringan yang
mengandung prion BSE. Prion tersebut akan bereplikasi pada Peyer’s patches dari ileum, dan
akan menyebar melalui saraf-saraf tepi menuju sistem saraf pusat. Pada ternak, prion dapat
terakumulasi di dalam otak setelah 24 bulan ternak terinfeksi BSE. Konsentrasi prion terbesar
berada pada susunan saraf pusat dan ileum. Secara alami pada ternak yang terinfeksi, prion BSE
akan ditemukan pada otak, sumsum tulang belakang, retina dan ileum bagian distal. Namun
dengan teknik uji yang lebih sensitif, prion dapat dideteksi pada dorsal root ganglia, saraf-saraf
Pada beberapa penelitian, prion juga ditemukan di tonsil dan sumsum tulang belakang.
Beberapa sumber juga menyebutkan prion dapat ditemukan di jaringan limfatik pada membrane
nictitans. Beberapa jaringan bisa mengandung prion setelah lama terinfeksi BSE. Adanya
akumulasi prion pada saraf tepid an kelnjar adrenal merupakan penyebab adanya akumulasi
prion pada susunan saraf pusat. Prion BSE tidak ditemukan pada otot, namun daging dapat
terkontaminasi jaringan saraf pusat pada saat tahap pemotongan dan proses di RPH. Secara bukti
epidemiologis dan studi ilmiah, BSE tidak ditransmisikan melalui susu, semen atau embrio.
Penularan BSE dari hewan ke hewan secara horizontal masih belum dapat dibuktikan.
Penularan secara vertical dari induk ke anak pun jarang terjadi. Hewan yang masih muda sangat
peka terhadap infeksi dan kebanyakan ternak terinfeksi BSE saat umur enam bulan pertama.
Transmisi pada domba percobaan menyerupai transmisi pada sapi, tetapi prion lebih tersebar di
seluruh tubuh. Pada domba yang diinokulasi secara oral, prion ditemukan pada jaringan limfatik
seperti limf, lufonous dan gut-associated lymphoid-tissue (GALT) serta susunan saraf pusat.
termakannya prion BSE. Penyebaran dari manusia ke manusia pernah dilaporkan melalui
transfusi darah yang berasal dari pasien yang terinfeksi BSE secara asimptomatis. Transmisi
pada manusia juga dapat diakibatkan karena tranplantasi organ. Prion di manusia pada kasus
vCJD dapat ditemukan di otak, korda spinalis, dorsal root ganglia, ganglion trigeminalis, retina,
nervus opticus, jaringan limfatik, limfonodus di seluruh tubuh, GALT dan sekum.
Masa inkubasi BSE pada sapi 2-8 tahun. Kejadian penyakit ini umumnya pada hewan
berumur 4-5 tahun. Pada percobaan yang pernah dilakukan pada domba umur 6 bulan, masa
inkubasi BSE berlangsung selama 21-38 bulan. Pada domba berumur dua minggu masa inkubasi
berlangsung selama 18-24 bulan. Pada monyet Macaca yang diinfeksikan secara peroral, masa
antara 11 dan 12 tahun, serta pernah dilaporkan sampai 16 tahun. Pada kasus melalui transfuse
Gejala Klinis
bersifat subklinis dan membahayakan pada ternak sapi. BSE dapat dibedakan secara klinis dari
gejala neurologik yang khas (Wilesmith et al., 1988; Winter et al., 1989). Gejala klinis
umumnya berupa perubahan tingkah laku dan temperamen berupa mudah terkejut, gugup dan
ketakutan (Wilesmith et al., 1988). Kemudian terjadi perubahan postur tubuh dan gerakan,
seperti ataksia kaki depan, tremor, mudah terjatuh dan bentuk kepala yang abnormal. Hewan
masih dapat makan tetapi sangat cepat kehilangan berat badan dan menunjukan gejala kyposis.
Hewan yang terinfeksi akan terlihat sangat peka terhadap suara dan sentuhan, menendang,
gerakan berlebihan pada telinga dan menjilat hidung. Gejala ini akan berakhir dengan
Gejala lain yang khas pada BSE adalah sapi aktif berjalan kesana kemari. Pada beberapa
hewan terdapat gejala pruritus dimana hewan sering menjilat dan menggosokkan badannya karena
gatal. Terdapat pula gejala nonspesifik seperti kelemahan umum, kehilangan bobot badan,
menggesekkan antara gigi atas dan bawah (kemungkinan dikarenakan kesakitan pada perut dan
gangguan saraf), dan penurunan produksi susu. Muncul juga gejala seperti penurunan aktivitas
Gambaran klinis yang dapat mendiferensiasi BSE adalah peradangan pada CNS akibat
infeksi viral dan bakterial (Scott et al., 1990). Namun demikian gejala klinis tersebut tidak
mampu mengkonfirmasi diagnosa terhadap penyakit BSE, karena banyak penyakit lain yang
menunjukkan gejala klinis yang sama seperti keracunan, infeksi viral dan bakterial.
Gejala klinis BSE lama kelamaan semakin memburuj setelah beberapa minggu sampai enam
bulan, namun pernah juda dapat bersifat akut dan langsung menunjukkan keparahan. Sifat akut
dan cepat ini terjadi pada ruminansia liar dan hewan liar. Ketika gejala klinis muncul, maka
penyakit BSE akan bersifat progresif dan mematikan. Pada tahap akhir gejala, hewan akan lelah,
Diagnosa
Encephalopathy adalah kelainan patologis pada jaringan otak yang digambarkan berupa
degenerasi dan nekrosis sistem syaraf pusat. Kelainan encephalopathy merupakan salah satu
kelainan patologis yang karakteristik pada kasus penyakit BSE. Berbagai penyebab dapat
Cookson, 2001; Purdey, 1996), milk fever (Forslund et al., 1983), tanaman beracun (Seawright
et al., 1998), chronic wasting disease (Stegelmeier, komunikasi pribadi), Kuru dan agen
mikroorganisme seperti virus, bakteri dan parasit (Davis et al., 1991). Sedangkan prion
(PrPsc maupun PrPres) merupakan indikator utama untuk menetapkan diagnosa penyakit
(Hope et al., 1988; Bradley dan Wilesmith, 1993). Dari beberapa kelainan encephalopathy,
prion tersebut pernah terdeteksi dari hewan yang mengalami keracunan organofosfat, chronic
wasting disease, keracunan tanaman, milk fever, penyakit Kuru dan CJD (Purdey, 1992).
Penyakit yang disebebkan oleh prion ini sulit untuk didiagnosa menggunakan metode
konvensional seperti PCR, serologi dan kultur sel. Hal ini karena prion memiliki struktur protein
yang hampir sama dengan protein normal inang sehingga tidak dikenali sebagai benda asing di
dalam tubuh. Diagnosa laboratorium untuk penyakit ini juga sulit karena penyebaran prion yang
tidak merata di dalam tubuh. Konsentrasi prion yang tinggi di dalam tubuh ditemukan pada
sistem syaraf dan konsentrasi pion yang rendah ditemukan pada cairan tubuh seperti darah dan
urin.
Sampai saat ini, belum ada uji penyakit BSE pada hewan hidup. Diagnosa penyakit ini
hanya bisa dideteksi oleh pemeriksaan otak sapi secara postmortem dengan mendeteksi prion
(PrPres) pada jaringan saraf pusat. Akumulasi prion bisa didapatkan dari otak dengan teknik
Assay) dan Western Blotting. Rapid test dapat dilakukan pada saat surveillance namun
membutuhkan jumlah sampel yang banyak untuk diuji. Sampel yang positif pada rapid test dapat
dilanjutkan dengan uji konfirmasi yang lebih spesifik seperti pemeriksaan immunohistokimia
dan immunoblotting. Diagnosa dari BSE juga dapat dikonfirmasi dengan mengidentifikasi prion
fibril yang disebut Scrapie-Associated Fibril (SAF) dengan mikroskop electron pada organ otak
baik specimen beku maupun yang sudah autolysis. Prion dapat dideteksi pada otak saat 3-6 bulan
setelah masa onset berlangsung. Berikut adalah beberapa cara untuk mendeteksi penyakit BSE:
keberadaan prion BSE tetapi juga penyebarannya di otak dan jaringan limfoid. Secara
histopatologis, otak hewan yang terkena BSE akan mengalami spongiosis. Perluasan astrosit
pada jaringan otak dapat dideteksi secara imunohistokimia menggunakan antibody terhadap
membrane menggunakan antibodi spesifik PrP dan antibodi sekunder alkali fosfatase-coupled
yang menghasilkan chemiluminescence. Hasil positif ditandai dengan keberadaan sinyal PrP-
immunoreactive dengan berat molekul rendah dan pola 3-band yang khas.
Teknik ini merupakan sebuah penelitian yang dipublikasikan pada jurnal Emerging Infectious
Disease (2012). Teknik ini digunakan untuk mendeteksi prion PrPsc pada saliva sapi sebelum
dan setelah onset penyakit BSE. Sebanyak 3 ekor sapi disuntkan dengan prion BSE lalu diambil
salivanya secara teratur dengan interval 4 bulan. Saliva yang diambil dianalisa dengan
menggunakan metode sodium phosphotungstic. Setelah itu sampel diamplifikasi sebanyak 3-8
tabung.
Diagnosa secara tentative dapat dilakukan melalui sejarah penyakit atau anamnesa, gejala
klinis yang telihat dan adanya atrofi bagian cortex melalui Magnetic Resonance Imaging (MRI)
pada otak. Pada tahap awal penyakit pemeriksaan menggunakan Electroencephalogram (EEG)
terlihat normal, namun akan terlihat adanya kelainan setelah mencapai tahap berikutnya.
Diagnosa secara definitif dapat dilakukan jika prion ditemukan pada biopsy tonsil menggunakan
mikroskopis pada jaringan otak setelah dilakukan nekropsi. Pada pemeriksaan histopatologi akan
banyak ditemukan akumulasi amyloid yang dikeilingi oleh vakuola. Prion akan banyak diteukan
immunohistokimia.
Diagnosa Banding
kemungkinan BSE dapat dikelirukan dengan penyakit lain yang menyerang susunan syaraf
pusat seperti pada Bovine Encephalitis (Rabies). Keracunan logam berat seperti keracunan Pb
juga menyebabkan gejala syaraf seperti pada BSE. Disamping itu terdapat beberapa penyakit
metabolis yang juga menyebabkan gejala syaraf seperti nervous ketosis dan hypomagnesaemia.
Patologi
Agen BSE ayang menyerang pusat syaraf menyebabkan degenerasi sel syaraf, dan terbetuk
vakuola-vakuola hingga terkesan seperti spons, selain jaringan otak jaringan lain yang dicurigai
yang terserang meliputi sum-sum tulang belakang, tonsil, tymus, limpa dan usus, hingga jaringan
tersebut dilarang untuk tidak dikonsumsi terutama pada waktu kejadian BSE di Inggris. Dari
pemeriksaan pasca mati sakit yang dialami, yang sebelumnya memperlihatkan gejala klinis dan
pembuktian secara bioassay pada mencit. Terbukti bahwa agen infeksi hanya ditemukan pada
jaringan otak, sum-sum tulang belakang, belakang leher, ujung sum-sum tulang belakang (cauda
hingga sapi menunjukan gejala gila, lari kesana kemari dan bahkan pada gejala yang lebih berat
Tidak terdapat lesi yang spesifik untuk penyakit BSE. Kelainan makroskopis seperti abrasi,
laserasi dan kontusio pada otak merupakan perubahan patologis sekunder akibat hewan terinfeksi
mengalami inkoordinasi dan gangguan syaraf lokomotor lainnya. Sebaliknya, lesi mikroskopis
pada jaringan sistem syaraf pusat merupakan kelainan yang sangat spesifik dan dianggap
patognomonis (Hope et al., 1988; Wells et al., 1989). Wells et al (1987) dan Davis et al (1991)
melaporkan bahwa kelainan histopatologis ditandai dengan degenerasi pada grey matter batang
otak baik secara bilateral maupun simetris yang terdiri dari vakuolisasi dan mikrokavitasi
neuropil. Vakuolisasi neuronal perikarya dapat dijumpai pada beberapa inti sel batang otak,
khususnya pada bagian dorsal nucleus dari nervus vagus, bentukan retikular dan nuclei
Tingkat kerusakan jaringan otak bervariasi diantara hewan dan bagian otak yang diperiksa.
Lesi pada penyakit BSE sering terjadi pada nucleus tractus yang terpisah (soliter) dan tractus
spinal dari syaraf trigeminus. Nuclei tersebut terdapat dalam daerah obex dari medulla oblongata.
Sehingga, obex menjadi lokasi pada otak yang sangat penting untuk diagnosis histologis
penyakit BSE. Cerebellar pendiculus dan mesencephalon merupakan bagian penting lainnya dari
Pada pemeriksaan postmortem, perubahan patologi anatomi tidak dapat terlihat, kecuali
perubahan yang tidak spesifik seperti kekurusan. Pada pemeriksaan histopatologi dapat dilihat
kelainan pada sistem saraf pusat. Terdapat vakuola pada neuron dan perubahan seperti sponge
pada gray matter otak merupakan gambaran khas dari BSE. Dapat juga terlihat adanya
akumulasi amyloid namun tidak khas pada penyakit ini. Perubahan seperti sponge pada otak juga
encephalopathy). Pada manusia, penderita yang mengalami kematian yang cepat, otak tidak
mengalami perubahan makroskopis. Sedangkan pada penderita yang mengalami kematian lambat
menunjukkan perubahan penurunan berat otak. Dengan mikroskopik electron, terjadi perubahan
1. disebut perubahan Spongiform atau mulai membentuk vakuola berbentuk bulat atau lonjong
2. Sel-sel neuron mulai menghilang, kadang-kadang sukar dideteksi apabila kematian cepat terjadi
sifat yang karakteristik. Dijumpai adanya vakuolisasi pada neuron dari substansi abu-abu (grey
matter). Disinilah pembentukan vakuolisasi yang paling menonjol. Pada neuron perikarya juga
terjadi pembentukan vakuolisasi grey matter merupakan bentuk vakuolisasi yang paling banyak
dijumpai. Hipertropi dari asitrosit sering menemani pembentukan vakuolisasi. Adanya serebral
amyloidosis merupakan gambaran normal dijumpai pada penyakit BSE. Banyakya vakuola
dijumpai paling banyak pada medulla oblongata disusul pada otak tengah, thalamus,
Asal mula dari BSE belum banyak diketahui. Penyakit ini pertama kali dilaporkan pada
tahun 1980, tetapi kemungkinan terjadi pada sapi pada tahun 1970. Dimungkinkn BSE berasal
dari mutasi protein PrPc pada tubuh sapi atau berasal dari mutasi prion penyakit scrapie yang
mengontaminasi pakan ruminansia. Sumber lain juga memperkirakan BSE berasal dari agen
Kasus BSE telah dilaporkan pada hewan ternak hampir seluruh negara di Eropa, Kanada,
Amerika Serikat, Israel dan Jepang. Penyakit ini pernah terlihat pada ternak yang diimpor dari
Pulau Falkland dan Oman. Keberadaan dari penyakit ini tidak dapat dipastikan dari suatu negara
tanpa adanya program surveillance yang memadai. Prion BSE dengan jenis yang berbeda pernah
Prevalensi dari kasus BSE sangat bervariasi. Di beberapa negara, tingkat kejadian BSE
adalah 100 kasus persejuta sapi, namun berbeda di negara dengan tingkat kejadian rendah yaitu
dua kasus persejuta sapi. Epidemic penyakit BSE telah dilaporkan pada beberapa negara di
Eropa. Wabah pertama kali muncul di Inggris dimana pada tahun 1980 tercatat 180.000 kasus
BSE. Puncak epidemic di Inggris terjadi pada tahun 1992 dengan hampir terjadi 1000 kasus per
minggunya. Pada saat itu tingkat insidensi mencapai 2-3%. Setelah dilakukan tindakan
pencegahan dengan pelarangan pemberian pakan MBM pada sapi, maka tingkat kejadian
menjadi menurun hingga hanya terjadi 5-10 kasus per minggunya pada tahun 2004.
Prevalensi dari CJD tidak diketahui secara pasti. Kebanyakan kasus terjadi pada manusia
yang tinggal di Inggris dan Perancis. Pada Agustus 2007, sebanyak 166 kasus CJD dilaporkan di
Inggris. Tingkat kejadian penyakit yang cukup besar muncul pada tahun 2000, dimana terdapat
28 kasus dan secara bertahap turun menjadi 5 kasus pertahun di 2005 dan 2006. Pada November
2006, 21 kasus dilaporkan di Perancis, 4 kasus di Irlandia, 3 kasus di Amerika Serikat, 2 kasus di
Belanda dam 1 kasus di Kanada, Italia, Jepang, Portugis, Arab Saudi dan Spanyol. Jumlah
manusia yang terinfeksi namun bersifat asimptomatis sulit diketahui. Namun perkiraan tingkat
kejadian kasus pada manusia di Inggris dengan selang kepercayaan 95% adalah 237 (49692)
Pada tahun 1996 hipotesis tentang konsumsi MBM asal sapi terinfeksi penyakit BSE
diragukan sebagai penyebab timbulnya penyakit tersebut (Purdey, 1996). Keraguan tersebut
didasari karena penggunaan MBM sebagai pakan ternak sebenarnya telah dilarang di Inggris dan
Eropa daratan, namun wabah BSE masih tetap timbul dengan kasus kejadian yang cukup tinggi
berlebihan untuk mengobati penyakit kulit pada ternak sehingga phthalimide (pestisida golongan
OP) pada dosis tinggi dianggap sebagai pemicu utama terjadinya deformasi prion protein yang
mengakibatkan terjadinya wabah BSE. Kejadian yang sama juga pernah dilaporkan bahwa
pengobatan dermatitis dengan hexachlorophene pada manusia menimbulkan absorpsi pada janin
sehingga menimbulkan gejala vacuolar encephalopathy yang mirip dengan BSE (Boothby,
1988). Berdasarkan berita yang disampaikan oleh KOMPAS (2003) bahwa telah terjadi kematian
sapi perah sebanyak 400 ekor tanpa diketahui penyebabnya antara bulan Nopember 2002 –
Maret 2003 di Lembang, Jawa Barat. Kunjungan lapangan selanjutnya dilakukan pada bulan
April 2004 untuk mempelajari penyebab-penyebab kematian sapi perah tersebut. Hasil
pengamatan lapangan ternyata hanya 223 ekor sapi perah yang mangalami kematian selama 7
bulan antara September 2002 – Mret 2003 (Dinas Peternakan Jawa Barat, komunikasi pribadi).
Sementara itu, 167 ekor sapi lainnya disebabkan karena dipotong paksa. Rangkupan hasil
diagnosa yang dilakukan oleh Dinas Peternakan Propinsi Jawa Barat terhadap 223 ekor sapi
Tabel 2. Hasil diagnosa penyebab kematian sapi perah selama bulan September 2002 – Maret 2003*.
Diagnosa Jumlah kematian (ekor) Mortalitas (%)
Displasia 49 21,99
abomasum
Tympani 36 16,15
Milk fever 29 13,00
Abses 24 10,77
Keracunan 22 9,82
Ketosis 11 4,94
Lain-lain*) 52 23,33
Jumlah 223 100
Keterangan:
*) Termasuk enteritis, gastritis, gastroenteritis, pericarditis dan lain- lain yang masing-masing
berjumlah 1 – 6 ekor.
Data diolah dari Laporan Dinas Peternakan Jawa Barat
Pada Tabel 1 diatas terlihat bahwa dua diantara penyebab kematian sapi tersebut pernah
dilaporkan terdeteksi prion penyebab BSE yaitu milk fever dan keracunan (Davis et al., 1991).
Sehubungan dengan kasus keracunan tersebut, Indraningsih dan Sani (2006) melakukan studi
retrospektif untuk mempelajari penyebab keracunan dengan melakukan koleksi sampel lapangan
yang terdiri dari pakan ternak (hijauan dan konsentrat), serum dan jaringan otak.
Pola Pengendalian
Indonesia sampai saat ini masih dinyatakan bebas dari penyakit BSE, akan tetapi Indonesia
pernah mengimpor produk MBM dan produk ternak dari negara yang terinfeksi penyakit BSE
sebelum tahun 1996. Disamping itu, petugas kesehatan hewan di Indonesia belum
penyakit ini belum pernah dilakukan di Indonesia. Oleh karena perlu mempertimbangkan pola-
pola pengendalian penyakit tersebut agar tidak masuk atau tidak berjangkit di Indonesia.
kelainan-kelainan patologis yang khas. Dampak penyakit BSE adalah sangat nyata terhadap
faktor sosial ekonomi. Meskipun penyakit tidak pernah muncul di Indonesia sampai saat ini;
petugas kesehatan hewan, laboratorium kesehatan hewan dan patologis harus memiliki
pengalaman tentang gejala- gejala khas dari penyakit tersebut. Disamping teknik diagnosa yang
akurat perlu dikembangkan untuk mengantisipasi penyakit BSE. Beberapa teknologi diagnosa
dapat diterapkan untuk mendeteksi penyakit ini, antara lain teknik immunohistochemistry,
bioassay, histopatologi, Western blotting dan ELISA (Novakofski et al., 2005). Disamping itu,
saat ini sudah tersedia kit diagnostik komersial yang pada umumnya berdasarkan reaksi
impor ternak ruminansia hidup, produk ternak dan MBM dari negara-negara yang terinfeksi.
masyarakat veteriner dan industri ternak ruminansia agar dapat membantu pelaksanaan
kegiatan surveilans dan monitoring penyakit tersebut. Peraturan-peraturan kesehatan harus
Tidak ada pengobatan untuk penyakit BSE dan hewan yang diduga sakit dapat dieuthanasia
untuk dilakukan pemeriksaan lebih lanjut. Pencegahan BSE dapat dilakukan dengan baik
memberikan pakan mengandung jaringan ruminansia yang mengandung prion pada hewan
rentan. Menghindari pemberian meat-bone-meal (MBM) pada ternak jauh lebih baik
dibandingkan melakukan proses pemanasan dan pengecilan partikel protein pada MBM, karena
Kebijakan pelarangan penggunaan pakan ruminansia asal jaringan tubuh ruminansia telah
mengurangi kasus BSE secara signifikan. Sehingga perlu dilakukan pelanggaran importasi MBM
dan hewan maupun produk hewan dari negara berstatus tidak bebas BSE ke negara bebas BSE.
Kegiatan surveillance pada daerah endemis dan memiliki tingkat kejadian tinggi BSE dapat
dilakukan secra terprogram dan berkelanjutan sehingga dapat mengurangi angka kejadian kasus
Perlu dilakukan pengawasan sapi poting di RPH terhadap gejala klinis BSE yang muncul
saat pemeriksaan antermortem. Pemeriksaan ini dapat mencegah tersebarnya karkas yang berasal
dari sapu yang terinfeksi BSE terdistribusi ke masyarakat sehingg tidak dikonsumsi. Di Inggris,
karkas sapi dari hewan terinfeksi BSE tidak boleh dikonsumsi dan dilakukan pengolahan dengan
pemansan karkas pada suhu 133°C selama 20 menit. Diperlukan juga pengawasan saat proses
pengolahan karkas agar tidak terkontaminasi dengan Specified Risk Materials (SRM) dari
penyakit BSE.
Pencegahan BSE dilakukan dengan menerapkan Early Warning Sistem/sistem deteksi dini
yaitu antara lain dengan melakukan surveillance pada lokasi yang terdeteksi adanya gejala
melakukan rapi test setelah pemotongan, melakukan transparansi laporan kasus BSE,
pengawasan kebijakan importasi hewan dan produknya sesuai dengan aturan OIE Terrestrial
Code, Menghindari kontaminasi Specified risk material (SRM) seperti otak dan sumsum tulang
belakang saat prosesing karkas di RPH, melarang penggunaan SRM pada pakan hewan,
melakukan Stampin Out pada hewan yang diduga terinfeksi akibat konsumsi pakan mengandung
SRM, melakukan pengelolaan limbah RPH dengan baik dan melakukan pendataan ternak untuk
Dikarenakan prion dapat bertahan di lingkungan selama beberapa tahun dan sulit untuk
permukaan dan peralatan. Kertas plastic yang sekali pakai dapat digunakan untuk melindungi
meja dan juga area permukaan lainnya. Saat ini masih belum ada vaksin untuk penyakit CJD
maupun BSE.
Dekontaminasi dari prn yang berada di jaringan, permukaan dan lingkungan sangat sulit
dilakukan. Prion tersebut sangat resisten pada kebanyakan desinfektan (termasuk formalin),
pemanasan, radiasi ultraviolet dan radiasi ionisasi. Terutama ketika prion terlindungi oleh materi
organic yang diawetkan dengan bahan fiksatif aldehida , titer prion terdeteksi tinggi. Prion dapat
terikat dengan kuat pada permukaan suatu bahan seperti stainless steel dan plastik tanpa
kehilangan infektivitasnya. Prion yang terikat pada bahan metal memilki resisten yang lebih
larutan sodium hidroksida atau larutan sodium hipoklorit yang mengandung klorin 2%.
Permukaan harus didesinfeksi lebih dari satu jam pada suhu 20°C. Desinfeksi selama satu hari
Saat ini, penanganan menggunakan desinfektan fenol, pembersih alkalis (KOH dengan
detergent) dan pembersih enzimatis yang dikombinasikan dengan uap hidrogen peroksida telah
terbukti dapat menginaktivasi prion scrapie. Pembersih alkalis dan desinfektan fenol juga efektif
terhadap prion BSE dan CJD. Inaktivasi prion secara fisik dapat dilakukan dengan menggunakan
Kombinasi antara penangan secara kimiawi dan fisik dapat lebih efektif, dimana desinfeksi
secara kimia dilakukan terlebih dahulu setelah itu dibilas dan dilakukan autoclave. Namun
kombinasi kedua penanganan ini tidak dapat menjamin untuk mengahancurkan seluruh prion
yang ada. Pada percobaan yang telah dilakukan, kawat stainless steel yang dicuci dengan sodium
hidroksida dan dilakukan autoclave tetap mengandung prion yang infektif. Peralatan bedah yang
dilakukan pembersihan berulang kali pun masih tetap dapat menularkan CJD. Dengan alasan ini,
maka dianjurkan untuk menggunakan peralatan yang sekali pakai dibandingkan peralatan yang
Hewan yang dinyatakan positif BSE oleh uji akan ditindaklanjuti sesuai dengan peraturan
negara yang bersangkutan. Di Irlandia sapi yang positif BSE dan seluruh kawanannya
didepolusasi. Karkas yang terinfeksi dimusnahkan dan kawanan sapi yang didepopulasi dikirim
ke pabrik pemotongan khusus. Kohort dan keturunan dari hewan yang positif BSE dilacak dan
dimusnahkan. Produk dari kawanan yang terinfeksi tidak boleh memasuki rantai makanan, baik
maunisa maupun hewan. Semua hewan dan karkas dikirim ke pabrik pengolahan SRMs
diberikan kepada peternak untuk seluruh ternak yang terdaftar yang dipotong sesuai dengan
harga pasar. Kegiatan di peternakan yang terinfeksi dibatasi, proses disinfeksi peternakan
ditunda dan dilakukan penyelidikan untuk melacak sumber infeksi (DAF 2005).
Belum ada obat maupun vaksin BSE untuk hewan dan manusia. Semua hewan dan manusia
yang tertular prion BSE berakhir dengan kematian apabila gejala klinis telah muncul. World
Organization for Animal Health (WOAH) telah mengeluarkan rekomendasi untuk pencegahan
1. setiap negara memiliki penilaian atau analisis risiko untuk oenyakit BSE
2. menghilangkan SRMs dari seluruh karkas sapi berumur 12 bulan atau lebih
3. memperbaiki standar pengolahan produk buangan menggunakan temperature, tekanan dan waktu
Penyakit Mulut dan Kuku (biasa disingkat PMK) merupakan penyakit epizootika yang
menyerang ternak besar, terutama sapi dan babi. Variasi penyebutannya adalah Penyakit Kuku
dan Mulut atau singkatan nama bahasa Inggrisnya, FMD (dari foot and mouth disease, juga
disebut hoof and mouth disease). Penyakit ini disebabkan oleh virus dari familia Picornaviridae.
Daya tular penyakit ini sangat tinggi, dan dapat menulari rusa, kambing, domba, serta hewan
berkuku genap lainnya. Gajah, mencit, tikus, dan babi hutan juga dapat terserang. Kasus yang
menyerang manusia sangat jarang.