Anda di halaman 1dari 44

KAJIAN ISLAM

1. Iman, Islam, Ihsan


2. Islam dan Sains
3. Islam dan Penegakan Hukum
4. Kewajiban Menegakkan Amar Makruf dan Nahi Munkar
5. Fitnah Akhir Zaman

Disusun sebagai tugas terstruktur Mata Kuliah: Pendidikan Agama Islam

Dosen Pengampuh:

Dr. Taufiq Ramdani, S.Th.I., M.Sos

Disusun Oleh:

Nama : Muhammad Rizki Putra Irawan


NIM : G1A020042
Fakultas&Prodi : FMIPA Biologi
Semester :1

PROGRAM STUDI BIOLOGI


FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
UNIVERSITAS MATARAM
T.A. 2020/2021
KATA PENGANTAR

Puji syukur Alhamdulillah penulis haturkan kepada ALLAH SWT atas selesainya tugas
ini. Penyusunan tugas ini selalu memperhatikan kaidah/standar penyusunan yang baik.

Sholawat dan Salam semoga ALLAH limpahkan kepada Rasulullah Muhammad SAW
atas segala rahmat dan karunianya agar tugas ini dapat dikerjakan dengan sebaik
baiknya.

Terima kasih saya sampaikan atas bimbingan Bapak Dr. Taufiq Ramdani, S.Th.I.,
M.Sos sebagai dosen pengampuh mata Kuliah Pendidikan Agama Islam. Semoga tugas
ini akan menanamkan kompetensi pengetahuan, sikap sosial, sikap spiritual, dan
kompetensi keterampilan.

Besar harapan saya tugas ini akan memberi manfaat dan menjadi sarana belajar yang
efektif bagi peserta didik maupun pegangan bagi pengajar. Tugas ini tentu masih
banyak kekurangan, oleh karena itu saran dan kritik dosen pengajar sangat saya
harapkan.

Akhir kata semoga tugas ini dapat berkontribusi dan bermanfaat bagi dunia Pendidikan
Indonesia.

Penyusun, Mataram, 13 Desember 2020

Nama: Muhammad Rizki Putra Irawan


NIM: G1A020042

ii
DAFTAR ISI

HALAMAN COVER i
KATA PENGANTAR ii
DAFTAR ISI iii
I. Iman, Islam, Ihsan 1
II. Islam dan Sains 8
III. Islam dan Penegakan Hukum 15
IV. Kewajiban Menegakkan Amar Makruf dan Nahi Munkar 22
V. Fitnah Akhir Zaman 29
DAFTAR PUSTAKA 36
LAMPIRAN 38

iii
BAB 1
IMAN, ISLAM, IHSAN

A. Pengertian Iman, Islam, dan Ihsan


Islam adalah berserah diri sepenuhnya kepada allah dengan tauhid dan tunduk
kepada-Nya. Rukun islam adalah syahadat tidak ada ilah yang berhak disembah selain
allah, dan bahwa nabi Muhammad adalah utusan allah, mendirikan sholat, meunaikan
zakat, puasa ramadhan dan ibadah haji jika mampu. Iman adalah beriman kepada allah,
malaikat-malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, rasul-rasul-Nya dan hari akhir dan beriman
kepada takdir yang baik maupun yang buruk. Sedangkan ihsan adalah beribadah kepada
allah seakan-akan hamba tidak melihat-Nya maka dia melihat hamba.
Bila kita pahami lebih mendalam, islam lebih mengarah kepada amal lahir,
seperti shalat, zakat, haji, dan rukun islam yang lain. Iman lebih menekankan kepada
amal batin, seperti iman kepada allah, malaikat-Nya, Rasul-Nya, Rasul-Nya dan rukun
iman yang lain. Adapun ihsan adalah puncak penghambaan yang sesugguhya yang
harus mengiringi setiap aktivitas seorag hamba.
Prinsip orang islam bahwa tidak ada tuhan yang berhak disembah kecuali Allah,
merupakan persoalan utama dalam hidup. Orang mukmin mempunyai tujuan mengajak
manusia kembali kepada allah dan menolak kebatilan. Islam, iman, dan ihsan, ketiganya
adalah cahaya. Semakin dekat kita dengan cahaya itu, semakin dekat kita denga cahaya
itu, semakin kuat keinginan kita untuk menyinari hidup ini dengan cahaya ketaatan
kepada Allah dan menghindar dari gelapnya kemaksiatan. Ketika cahaya ini adalah
jembatan menuju surga-Nya. Karenanya, mengisi hidup, umur dan waktu dengan waktu,
iman, dan ihsan termasuk inti perkara dalam pergolakan hidup. Manakala ketiganya
paripurna dalam praktiknya, berarti seorang hamba benar-benar terpatri untuk beribadah
kepada Allah ya Islam, iman, dan ihsan termasuk komponen dalam peribadatan
kepadanya.
Beribadah dengan modal islam, iman, dan ihsan sudah cukup disebut sebagai
mukmin, muslim, dan muhsin sejati sehingga pula dalam ayat ini tak ada lagi tempat
bertumpu kecuali kepada Allah semata.Karena islam telah mengajarkan cara cara
beribadah lahir kepada-Nya. Iman yang mengarahkan hati untuk membenarkan dan

1
bergantung kepada-Nya. Sedang lautan ihsan adalah pucak kedamaian seorang hamba
karena senantiasa merasa diawasi Allah, dalam setiap lisan da perbuatannya.
Pada kondisi ini, hati seseorang sudah ditumbuhi oleh perasaan diawasi oleh-
Nya.
Sungguh damai jiwa yang islam, iman, dan ihsan bahagia jiwa yang megisi waktu
dengannya. Sebaliknya, umur yang nihil dengan keimanan, keislaman, apalagi kepada
Allah, niscaya kerugian tak bakal luput darinya.Kehidupan yang kosong dari
peribadatan kepada allah tentu akan mengundang kemurkaan-Nya, sehingga di dunia
dan akhirat tak akan meraih ridho dan rahmat-Nya.

B. Perbedaan Iman, Islam, dan Ihsan


1. Makna dan Tingkatan Islam
Dalam hadits Arbain yang kedua, Rasulullah pernah ditanya oleh malaikat Jibril tentang
Islam. Kemudian Nabi Muhammad menjawab,
“Islam itu engkau bersaksi bahwa tidak ada sesembahan (yang haq) selain Alloh dan
bahwasanya Muhammad adalah utusan Alloh, engkau dirikan sholat, tunaikan zakat,
berpuasa romadhon dan berhaji ke Baitulloh jika engkau mampu untuk menempuh
perjalanan ke sana.”
Jawaban Nabi mengatakan bahwa Islam adalah apa yang disebut dengan rukun Islam.
Yaitu amalan – amalan lahiriyah yang mencakup syahadat, shalat, puasa, zakat, dan
haji. Saat seseorang melakukan 5 amalan ini, maka orang tersebut dikatakan sebagai
muslim.

2. Makna Tingkatan Iman


Masih dalam hadits yang sama, kemudian malaikat Jibril bertanya mengenai Iman
kepada Rasulullah. Lalu Rasulullah menjawab,

“Iman itu ialah engkau beriman kepada Allah, para malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya,
para Rosul-Nya, hari akhir dan engkau beriman terhadap qodho’ dan qodar; yang baik
maupun yang buruk.”

2
Dalam definisi ini, maka iman merupakan hal – hal yang mencakup amalan batin. Yaitu
keimanan atau kepercayaan terhadap Allah, malaikat-Nya, kitab-Nya, para rasul-Nya,
hari akhir, dan juga keimanan kepada takdir. Orang yang sudah mencapai derajat
keimanan maka disebut sebagai mukmin. Keimanan merupakan sesuatu yang lebih
khusus dibandingkan keislaman. Jadi, ketika seseorang disebut sebagai mukmin, maka
orang tersebut sudah pasti seorang muslim. Namun, tidak setiap muslim adalah seorang
mukmin.

3. Makna Tingkatan Ihsan


Tingkatan yang ketiga adalah Ihsan. Saat Rasulullah ditanya oleh malaikat Jibril
mengenai perkara ihsan, maka Rasulullah menjawab,

“Yaitu engkau beribadah kepada Alloh seolah-olah engkau melihat-Nya, maka apabila
kamu tidak bisa (beribadah seolah-olah) melihat-Nya, maka sesungguhnya Dia
melihatmu.”

Perkara ihsan adalah perkara yang mencakup cara dan rasa seorang muslim
dalam beribadah. Ada dua tingkatan dalam ihsan. Yaitu seseorang yang beribadah
seakan mampu melihat Allah, dan jika tidak mampu, maka orang tersebut beribadah
dengan rasa diperhatikan oleh Allah.Tingkatan ihsan ini merupakan tingkatan tertinggi
seorang muslim karena melibatkan perkara lahir dan batin. Seseorang yang mampu
menjalani ibadah dengan perasaan seperti ini akan dapat melaksanakan ibadah dengan
rasa harap dan ingin sebagaimana seorang hamba bertemu rajanya. Atau dengan
perasaan takut dan cemas akan siksa yang didapat.
Orang yang mampu beribadah dengan perasaan tersebut akan lebih mudah
mendapatkan manfaat sebenarnya dari suatu ibadah. Dan orang – orang semacam ini
akan disebut sebagai muhsin. Derajat muhsin ini hanya dapat dicapai jika seseorang
telah menjadi muslim dan mukmin terlebih dahulu.

C. Pengamalan Iman, Islam, dan Ihsan

1. Rukun Islam

3
- SYAHADAT
Syahadah memainkan peranan penting dalam kehidupan seorang Muslim kerana
ia merupakan nur Islam. Selain itu, kalimah Syahadah ini dapat membezakan
antara umat Islam dan kaum kafir yang lain. Kalimah Syahadah juga adalah syarat
mutlak untuk umat Islam memasuki syurga.
“ Barang siapa yang mengakhiri kalamnya sebelum menghembuskan nafasnya yang
terakhir dengan lailahaillaallah maka dia masuk syurga.” (HR Muaz bin Jabal)
- SHALAT
Solat ialah tanggungjawab utama bagi umat Islam sebagai tanda bersyukur
kepada Allah s.w.t. Kita sering merasakan solat adalah satu tanggungjawab yang berat
walaupun tidak sampai sepuluh minit kita melakukannya. Ketahuilah bahawa sesuatu
perkara yang kita lakukan tanpa ada rasa cinta, tidak akan memberi sebarang manfaat
kepada kita. Dirikan solat kerana rasa cinta kepada yang menciptakan kita, dan kita
mungkin akan merasai bahawa mendirikan solat itu suatu perkara yang ringan dan
mudah.
“Dan dirikanlah solat, kerana sesungguhnya sembahyang (dapat) melarang daripada
segala kejahatan dan kemungkaran.” (Surah al-Ankabut: 45).
- ZAKAT
Menurut hukum Islam, zakat berarti sejumlah harta tertentu yang diwajibkan
oleh Allah SWT diserahkan kepada orang yang berhak. Menurut al-Mawardi dalam
Kitab al-Hawiy, zakat ialah nama bagi sesuatu pengambilan tertentu daripada harta yang
tertentu menurut sifat-sifat tertentu dan untuk diberikan kepada golongan tertentu.
“ Sesungguhnya sedekah-sedekah (zakat) itu hanyalah untuk orang-orang fakir, orang
miskin dan amil-amil yang mengurusnya dan orang muallaf yang dijinakkan hatinya
dan untuk hamba-hamba yang hendak memerdekakan dirinya dan orang yang
berhutang dan untuk dibelanjakan pada jalan Allah dan orang musafir dalam
perjalanan.” (Surah At Taubah: 60)
- PUASA
Berpuasa menurut bahasa ialah menahan diri daripada sesuatu dan menurut
istilah bererti menahan diri daripada melakukan sesuatu yang membatalkan puasa
bermula dari terbitnya fajar sehingga terbenam matahari. Puasa juga menuntut kita

4
mencegah nafsu lahir dan batin daripada segala yang dilarang serta mengawasi gerak-
geri badan daripada melakukan suatu yang ditegah oleh hukum.
“Oleh itu barang siapa antara kamu yang menyaksikan anak bulan Ramadan (atau
mengetahuinya) hendaklah dia berpuasa bulan itu.” (Surah al-Baqarah: 185)

- MENUNAIKAN HAJI BILA MAMPU


Ibadat haji tidak sebagaimana ibadat lain yang boleh dilakukan sewaktu berada
di tempat kediaman di negeri sendiri. Sebaliknya, ibadat haji hanya boleh dikerjakan di
kota suci Mekah dan dilakukan dalam musim haji sahaja iaitu pada bulan Zulhijjah. Ia
juga memerlukan perbelanjaan dan kesihatan badan yang baik. Namum begitu, Allah
SWT akan mempermudahkan semua itu kepada hamba-hamba-Nya yang bercita-cita
untuk menunaikan haji sebagai tanggungjawab mereka sebagai seorang Islam. Oleh itu,
kita sebagai hambanya perlu memasang niat untuk mengerjakan haji di samping
berusaha untuk memenuhi keperluan yang diperlukan. 
“Dan menjadi kewajipanlah bagi manusia terhadap Allah untuk mengunjungi rumah
itu bagi yang sanggup berjalan antara mereka.” (Surah Ali Imran: 97)

2. Rukun Iman
- IMAN KEPADA ALLAH
Beriman kepada Allah bererti percaya akan kewujudan-Nya sebagai Tuhan
Yang Sempurna sifat-Nya secara mutlak, Pencipta alam ini, Penyusun peraturannya dan
Pengatur perjalanannya. Allah s.w.t. merupakan Tuhan yang wajib disembah dan diakui
kemuliaan-Nya, kekuasaan-Nya dan dipatuhi hukum-hukum-Nya. Bukti kewujudan
Allah ialah wujudnya sekalian makhluk dan alam ini. 
“Dan tuhan kamu itu Tuhan yang satu. Tiada tuhan melainkan Dia, yang Maha
Pemurah lagi Maha Penyayang. Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, silih
bergantinya malam dan siang, bahtera yang belayar di laut membawa apa yang
berguna bagi manusia, dan apa yang Allah turunkan dari langit berupa air, lalu
dengan air itu Dia hidupkan bumi sesudah mati (keringnya) dan Dia sebarkan di bumi
itu segala jenis haiwan dan pengisaran angin dan awan yang dikendalikan antara
langit dan bumi; sungguh (terdapat) tanda-tanda (keesaan dan kebesaran Allah) bagi
kaum yang memikirkan.” (Surah al-Baqarah: 163 – 164)

5
- IMAN KEPADA MALAIKAT
Beriman kepada sekalian malaikat adalah wajib. Malaikat dijadikan daripada
cahaya, bukan lelaki dan bukan pula perempuan, taat kepada Allah s.w.t. dan patuh
menjalankan tugas yang telah diamanahkan. Berikut ialah malaikat-malaikat yang wajib
diketahui dan tugas-tugas mereka.
“Dan kepada Allah sajalah sujud segala apa yang ada di langit dan semua makhluk
yang melata di bumi dan (juga) malaikat. Pada hal mereka tidak sombong. Mereka
takut kepada Tuhan mereka yang di atas mereka serta mereka kerjakan apa yang
diperintahkan kepada mereka.” (Surah al-Nahl: 49 – 50).
- IMAN KEPADA KITAB
Kitab dan suhuf mempunyai beberapa perbezaan walaupun sama-sama
diturunkan oleh Allah SWT. 3Kitab mengandungi hukum dan peraturan yang lengkap,
manakala suhuf hanya mengandungi prinsip-prinsip umum. Kitab dan suhuf diturunkan
melalui wahyu yang disampaikan dengan perantaraan malaikat Jibril a.s. sejak zaman
Nabi Adam a.s sehingga Nabi Muhammad s.a.w. Jumlah kitab yang diturunkan adalah
sebanyak 104 iaitu 100 buah suhuf dan 4 buah kitab suci. Empat kitab suci utama ialah
Taurat, Zabur, Injil, dan Al-Qur’an.
- IMAN KEPADA RASUL
Mengapakah kita dikehendaki beriman kepada para rasul? Ini ialah kerana rasul-rasul
merupakan penyampai bagi dasar-dasar agama kepada umat manusia. Para rasul dipilih
oleh Allah SWT daripada kalangan manusia untuk menyeru manusia agar mentauhidkan
Allah s.w.t. dan beribadat kepada-Nya.
“Telah beriman rasul itu dengan apa yang telah diturunkan kepadanya daripada
Tuhannya. Dan orang yang beriman semuanya beriman dengan Allah dan Malaikat-
Nya, kitab-kitab-Nya, dan sekalian rasul-Nya. Kami tidak membezakan antara seorang
daripada rasul-Nya.”(Surah al-Baqarah: 285)
- IMAN KEPADA HARI KIAMAT
Beriman kepada hari akhirat bermaksud percaya dengan penuh yakin tanpa
sebarang keraguan bahawa selepas kehidupan di dunia ini kita pasti akan berhadapan
dengan hari pembalasan. Pada hari tersebut, manusia akan dibangkitkan dan segala
amalan mereka akan dihitung untuk diberikan balasan yang setimpal dengan amalan itu.
Ketiadaan amalan dan pekerjaan yang baik pada hari ini menyebabkan kerugian dan

6
kesesalan pada kemudian hari. Kehidupan yang sebenarnya ialah pada hari akhirat
nanti.
“Dan tidak ada kehidupan di dunia ini melainkan sia-sia dan permainan dan
sesungguhnya negeri akhirat itu ialah kehidupan (yang sebenarnya) kalau adalah
mereka mengetahui.”
(Surah al-Ankabut: 64)
- IMAN KEPADA QADA DAN QADAR
Beriman kepada takdir bererti percaya bahawa Allah s.w.t. mengetahui
perjalanan hamba-hamba-Nya dan mengawasi hal-hal mereka serta mentadbir urusan
mereka, dan percaya bahawa segala sesuatu yang berlaku dalam alam ini adalah dengan
izin-Nya. Malah, apa saja mengenai manusia, sama ada yang bermanfaat dan yang
mudarat adalah dengan iradat dan kudrat-Nya.
“Tidak beriman seorang hamba sehingga dia beriman dengan empat perkara: iaitu
menyaksikan bahawa tiada tuhan melainkan Allah dan bahawasanya aku Rasulullah
yang diutuskan dengan benar dan beriman dengan mati, dan beriman dengan
kebangkitan sesudah mati, dan beriman dengan qadar – takdir.” (HR. Tirmizi)

3. Keutamaan Ihsan
Ihsan menurut pengertian yang disebutkan dalam hadis di atas ialah kita
menyembah Allah SWT seolah-olah kita melihat-Nya. Jika kita tidak dapat melihat-
Nya, maka sesungguhnya Allah SWT melihat kita. Menyembah Allah bererti
mengabdikan diri kepada-Nya dengan beribadat menurut cara yang paling baik pada
zahirnya dan batinnya. Ibadat yang dilaksanakan menurut hakikat ihsan mesti
ditumpukan kepada Allah SWT semata-mata, tidak kepada yang lain atau kerana orang
lain.
Ihsan dalam ibadat adalah antara martabat yang paling mulia dan tertinggi. Oleh
itu, ibadat perlu dibina atas dua dasar yang penting agar memenuhi matlamat ihsan
dalam ibadat tersebut. Pertama ialah cinta kepada Allah SWT iaitu merasa tawaduk dan
tunduk di hadapan Allah agar timbul perasan meminta dan mengharap hanya kepada
Allah sahaja. Kedua pula ialah takwa, takut dan merasa kerdil apabila berhadapan
dengan kebesaran dan kasih sayang Allah. Ibadat seperti ini menyebabkan seseorang
merasa lebih bertanggungjawab terhadap ibadatnya, dan akan melaksanakannya dengan

7
penuh ikhlas. Keikhlasan menjadi asas penting dalam menentukan kesempurnaan
amalan dan ibadat seseorang.

BAB 2
ISLAM DAN SAINS

A. Hubungan Agama dengan Ilmu Pengetahuan


Hubungan Islam dan Sains tidak lepas dari kemajuan dan kemunduran sains
dalam peradaban Islam. Umat Islam mulai mempelajari atau melakukan penafsiran
ilmiah sejak generasi pertama sampai abad ke-lima hijriyah hingga menjadikan diri
mereka sebagai pelopor Ilmu pengetahuan di seluruh penjuru dunia, umat Islam telah
menjadi pelopor dalam research tentang alam, sekaligus sebagai masyarakat pertama
dalam sejarah ilmu pengetahuan yang melakukan experimental science atau ilmu thabi’i
berdasarkan percobaan yang kemudian berkembang menjadi applied science atau
teknologi.

Artinya : “Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu Yang menciptakan. Dia telah
menciptakan manusia dari 'alaq. Bacalah, dan Tuhanmulah yang Maha Pemurah. Yang
mengajar manusia dengan pena, mengajar manusia apa yang tidak diketahuinya.” (Q.S
Al- Alaq:1-5)

Iqra' terambil dari akar kata yang berarti menghimpun. Dari menghimpun lahir aneka
makna seperti menyampaikan, menelaah, mendalami, meneliti, mengetahui ciri sesuatu,
dan membaca baik teks tertulis maupun tidak. Wahyu pertama itu tidak menjelaskan apa
yang harus dibaca, karena Al-Quran menghendaki umatnya membaca apa saja selama

8
bacaan tersebut bismi Rabbik, dalam arti bermanfaat untuk kemanusiaan. Iqra' berarti
bacalah, telitilah, dalamilah, ketahuilah ciri-ciri sesuatu; bacalah alam, tanda-tanda
zaman, sejarah, maupun diri sendiri, yang tertulis maupun yang tidak. Alhasil, objek
perintah iqra' mencakup segala sesuatu yang dapat dijangkaunya.

Artinya : “Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi dan silih bergantinya
malam dan siang terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang berakal. Yaitu orang-
orang yang mengingat Allah sambil berdiri atau duduk atau dalam keadaan berbaring
dan mereka memikirkan tentang penciptaan lanjut dan bumi (seraya berkata), “Ya
Robb kami, tiadalah Engkau ciptakan ini dengan sia-sia, Maha Suci Engkau, maka
dipeliharalah kami dari siksa neraka.” (Q.S Al- Imran: 190 – 191)
Salah satu cara mengenal dan mendekatkan diri kepada Allah adalah dengan
membaca dan merenungkan ayat-ayat-Nya yang terbentang di alam semesta. Dalam
ayat ini, Allah menyuruh manusia untuk merenungkan alam, langit dan bumi. Langit
yang melindungi dan bumi yang terhampar tempat manusia hidup. Juga memperhatikan
pergantian siang dan malam. Semuanya itu penuh dengan ayat-ayat, tanda-tanda
kebesaran Allah SWT.

Artinya : "Niscaya Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman diantaramu dan
orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat. dan Allah Maha
mengetahui apa yang kamu kerjakan." (Al- Mujadilah: 11)

9
Kedudukan orang-orang beriman jauh lebih tinggi dibandingkan dengan orang-
orang kafir meski mereka memiliki kelebihan yang bersifat keduniaan dari orang-orang
beriman. Namun derajat orang-orang beriman yang berilmu akan menempati posisi
yang lebih baik lagi ketimbang orang yang hanya beriman saja. Hal tersebut
dikarenakan hanya dengan sarana ilmu lah, seseorang dapat mengetahui mana yang haq
dan mana yang bathil.
Pandangan Al-Qur’an terhadap Sains :
1. Seluruh pengetahuan, termasuk pengetahuan kealaman (sains) ada dalam al-Qur’an.
Pendapat ini didukung antara lain oleh al-Ghazali, al-Suyuti, dan Maurice Bucaile.
2. Al-Qur’an hanya sebagai petunjuk untuk mengembangkan ilmu pengetahuan.
Pendapat ini didukung antara lain oleh Ibnu Sina, al-Biruni, dan al-Haitam.

B. Landasan Agama dalam Perkembangan Sains


Islam adalah agama kemaslahatan hidup bagi umat manusia. Mulai dari
perbaikan akhlak, cara beribadah, hingga upaya menjalani kehidupan di dunia ini
sebagai bekal di akhirat nanti.Tak ada yang meragukan itu. Islam laksana cahaya yang
senantiasa menyinari umat manusia. Ia akan memberikan pencerahan dan kemudahan
hidup. Tak heran, bila Islam selalu dikaitkan dengan kegemilangan dan kejayaan.
Sepanjang sejarahnya, Islam telah hadir dengan beragam ilmu pengetahuan dan
melahirkan ribuan intelektual Muslim. Ilmu pengetahuan yang dikembangkan,
memudahkan manusia dalam membangun peradaban dunia. Bahkan, pada abad ke-6
hingga 14 Masehi, Islam mengalami masa kejayaannya (The Golden Age of Islam).
Saat itu, sejumlah intelektual Muslim berhasil mewujudkan karya-karya mereka dengan
bersumber dari Alquran. Dan, Islam pun identik dengan sains dan teknologi. Untuk
menggambarkan kegemilangan itu, seorang sejarawan sains terkemuka, George Sarton,
menuliskan dalam jilid pertama bukunya yang terkenal di bidang ini, Introduction to the
History of Science.
''Cukuplah kita menyebut nama-nama besar yang tak tertandingi di masa itu oleh
seorang pun di Barat: Jabir bin Hayyan, al-Kindi, al-Khawarizmi, ar-Razi, al-Farabi, at-
Tabari, al-Biruni, Ibnu Sina, serta Umar Khayyam. Jika seorang mengatakan kepada
Anda bahwa Abad Pertengahan sama sekali steril dari kegiatan ilmiah, kutiplah nama-

10
nama ilmuwan tersebut di atas. Mereka semua hidup dan berkarya dalam periode yang
amat singkat, yakni dari 750 hingga 1100 M.''
Dalam Ensiklopedi Tematis Dunia Islam: 'Pemikiran dan Peradaban' disebutkan bahwa
perkembangan sains dan teknologi dalam sejarah Islam tidak bisa dilepaskan dari tiga
landasan, yakni landasan agama, filsafat, dan kelembagaan.
C. Faktor Pendorong Kemajuan Sains dalam Peradaban Islam
1. Universalisme
Tolong-menolong secara universal memang telah menjadi satu bagian yang
tidak dapat di hilangkan dari ajaran Islam. Islam mewajibkan umatnya untuk saling
menolong satu dengan yang lain. Segala bentuk perbedaan yang mewarnai kehidupan
manusia merupakan salah satu isyarat kepada umat manusia agar saling membantu satu
sama lain sesuai dengan ketetapan Islam. Saling membantu dalam kesusahan demi
tercapainya tujuan hidup bersama merupakan hal yang sangat mulia, hal tersebut
merupakan karakter daripada islam itu sendiri, menjadikan ikatan kebersamaan umat
islam kemudian menjadikannya sebagai batu lompatan demi tercapanya tujuan hidup
bersama.

2. Toleransi
Sesungguhnya sikap toleransi dalam Islam sangat nampak pada setiap perintah
dan larangannya. Bahkan sampai kedetailnya, maka seharusnyalah sikap ini menjadi
kebangkitan baru untuk mengubah suatu bangsa menjadi bangsa yang bisa saling
bertoleransi apalagi dalam hal ilmu. Berbagi ilmu itu tidaklah sulit, tidak akan rugi,
malah akan mendapatkan wawasan baru dan juga teman-teman tentunya yang akan
sangat berterimakasih karna telah diajarkan. Dengan saling bertoleransi tentu tidak akan
teriolasi dari orang-orang karna kita mau berbagi apa yang kita punya untuk membantu
mereka. Dan mungkin ada dari setiap orang yang diajarkan akan membalas kebaikan
yang telah kita diberikan.

3. Karakter Pasar Internasional


Sejarah mencatat bahwa kaum pedagang memegang peranan penting dalam
persebaran agama dan kebudayaan Islam. Letak suatu negara yang strategis
menyebabkan timbulnya bandarbandar perdagangan yang turut membantu mempercepat

11
persebaran tersebut. Di samping itu, cara lain yang turut berperan ialah melalui dakwah
yang dilakukan para mubaligh. Rihlah ilmiyah (perjalanan untuk mencari ilmu
pengetahuan) sudah banyak dijadikan metode dalam pembelajaran di setiap institusi
pendidikan hal ini tentu akan menjadikan sains dan teknologi di dunia Islam menjadi
maju.

4. Penghargaan terhadap Sains dan Ilmuwan


Memberikan penghargaan kepada sains maupun saintis menjadikan mereka tahu
bahwa mereka dibutuhkan dalam perkembangan dunia yang semakin maju ini, membuat
mereka menjadi semakin semangat untuk menemukan hal baru lagi. Seperti Khalifah
Al-Makmun membangun Baitul Hikmah di Baghdad, beliau mengirim wakil-wakilnya
ke segala penjuru daerah untuk mencari naskah-naskah tentang materi pendidikan dan
Sains, motif dasarnya adalah kepentingan orang lain (altruistic) dan bukan materialistic.
Tentu saja, kemungkinan adanya balasan materi dalam bentuk teknologi maju atau baru
sebenarnya tidak ada karena hubungan Sains kuno dengan teknologi kuno jauh terpisah,
tidak seperti sekarang. Hingga melahirkan para Saintis Muslim terkemuka dibidang
Alkimia, Astronomi, Matematika dan kedokteran.

5. Keterpaduan Antara Tujuan dan Cara


Sangatlah penting dapat membedakan antara tujuan dan cara. Seperti contoh
jikalau kita punya tujuan yang jelas mengapa kita sekolah, tentunya kita tidak akan
nyontek, karena dengan cara tersebut kita tidak akan mendapatkan pelajaran yang
berguna bagi kehidupan kita kedepannya. Jadi harus ada keterpaduan antara tujuan dan
cara, apabila kita memiliki tujuan yang benar tentu kita juga harus meraihnya dengan
cara yang benar juga. Sangatlah jelas bahwa tujuan akan membedakan cara kita
melakukan sesuatu, sehingga tujuan sangatlah penting didalam kehidupan. Kalau kita
tidak mempunyai tujuan yang jelas kehidupan kita juga akan menjadi tidak jelas karena
tidak ada arah yang jelas.
Ketika sains dan teknologi mengalami proses sekularisasi, dikosongkan dari
nilai-nilai ketuhanan, seperti sains Barat pada umumnya, maka tujuan akhir dari sains

12
itu ialah semata-mata manfaat (nafiyyah), baik yang bersifat fisik – seperti kenikmatan,
keindahan, dan kenyamanan – maupun kepuasan intelektual dan kebanggaan.
Sedangkan ukuran manfaat itu bersifat relatif, dan sangat sulit dipenuhi secara hakiki.
Karena itu, perkembangan sains cenderung sangat liar. Seorang dokter yang ahli
rekayasa genetik, misalnya, mungkin belum merasa memperoleh manfaat dan kepuasan
sebelum berhasil melakukan clonning, dan mendistorsi proses penciptaan manusia
secara konvensional.
Sebaliknya, ketika nilai-nilai ketuhanan dimasukkan ke dalam proses sains, di
samping menghasilkan teori, baik dalam ilmu-ilmu eksaskta maupun non-eksak (sosial,
ekonomi, politik, ekonomi, dan lain-lain) yang sesuai dengan sudut pandang dan
pemahaman Islam (hadhoroh Islam), juga akan menghasilkan produk yang bersifat
materi (kebendaan) dari proses eksperimen, yang sarat dengan nilai-nilai ruhiah yang
puncaknya bermuara pada tercapainya keridhoan Allah. Karena itu, seorang ilmuan
muslim akan mengintegrasikan antara penemuan ilmiah yang bersifat materi dengan
kesadaran ruhiah (majhu al- maddah bi ar-ruh). Nilai ruhiah yang paling tinggi ialah
ketika seseorang merasa dekat dengan Allah dan merasa mendapat ridho Allah.

D. Pertentangan Agama dengan Sains


Di beberapa negara maju, proporsi anggota masyarakat yang memeluk
keyakinan agama semakin berkurang. Mereka lebih memercayai temuan-temuan dari
sains dan teknologi sebagai pemberi pedoman kehidupan mereka sehari-hari. Agama
semakin tersingkir perannya dalam memandu dan mengarahkan masyarakat sesuai
dengan nilai-nilai yang dimilikinya.
Hubungan agama dan ilmu pengetahuan tak selalu seiring sejalan. Terdapat
beberapa model hubungan antara agama dan ilmu pengetahuan. Pertama, agama dan
ilmu pengetahuan saling mendukung. Sejumlah ayat Al-Qur’an secara jelas menjelaskan
sebuah fenomena ilmu pengetahuan salah satunya proses penciptaan manusia yang
digambarkan jauh sebelum ilmu pengetahuan mampu menjelaskannya secara empiris.
Tetapi di sisi lain, terdapat perbedaan pendapat mengenai  manusia pertama di bumi ini
terkait dengan turunnya Nabi Adam dan teori evolusi yang dikembangkan oleh Darwin.   
Di Eropa, hubungan agama dan pengetahuan sempat mengalami masa-masa
suram ketika agama memaksakan kebenarannya. Ilmuwan yang menemukan

13
pengetahuan baru yang berbeda dengan tafsir para pemuka agama mengalami
penindasan. Akhirnya hal ini memunculkan gerakan perlawanan berupa sekularisme
yang memisahkan agama dengan kehidupan publik. Eropa menjadi maju dengan
terbebaskannya para ilmuwan mengembangkan pengetahuannya. Agama sifatnya
transendental sedangkan ilmu pengetahuan bersifat empiris rasional yang dapat diuji
kebenarannya. Ayat-ayat Al-Qur’an bersifat tetap, tetapi tafsirnya dalam mengalami
kontekstualisasi sedangkan kebenaran ilmu pengetahuan bersifat relative. Sebuah teori
masih dianggap benar jika belum ada teori baru yang membuktikan teori lama itu salah.
Dalam beragama kita beriman tentang keberadaan tuhan tanpa mempertanyakan bukti-
bukti empiris karena pancaindra manusia tidak mampu menjangkau hal-hal yang
sifatnya adikodrati. Akal manusia terlalu terbatas untuk memahami kompeksitas jagad
raya ini. Tapi bagi kelompok agnostic atau atheis, maka kebenaran ditunjukkan oleh
fakta empiris dan rasionalitas. Kelompok ini menguasai perkembangan dan perubahan
dunia.
Selain pendekatan sekularisasi yang ditawarkan, kelompok lain menawarkan
alternatif dengan mencoba kembali mencontoh perilaku para salafushalih, yaitu generasi
pertama pemeluk Islam yang terbukti mampu membawa Islam dalam kejayaannya.
Mereka berusaha melakukan berbagai teladan perilaku Rasulullah dan para sahabatnya
berasarkan riwayat hadits atau atsar.
Sebagai umat Islam, kita meyakini agama memiliki keabadian dan akan
memandu masyarakat, tetapi keyakinan saja tidak cukup. Bahwa dunia terus berubah
yang menyebabkan para ahli agama harus terus mampu melakukan tafsir ulang yang
kontekstual sesuai dengan zamannya. Pengalaman era kegelapan ketika agama
memaksakan kebenarannya telah menyebabkan kerugian bagi semua pihak. Kayakinan
bumi datar, misalnya, dengan menggunakan pendekatan agama yang sempat ramai
baru-baru ini padahal sains telah membuktikan bahwa bumi bulat menjadikan banyak
orang mengernyitkan dahi.

14
BAB 3 :
ISLAM DAN PENEGAKAN HUKUM

A. Penegakan Hukum dalam Perspektif Islam


1. Semua Produk Hukum harus Bersumber dari Wahyu
Seluruh konstitusi dan perundang-undangan yang diberlakukan dalam Daulah
Islamiyah bersumber dari wahyu. Ini bisa dipahami karena netralitas hukum hanya bisa
diwujudkan tatkala hak penetapan hukum tidak berada di tangan manusia, tetapi di
tangan Zat Yang menciptakan manusia. Menyerahkan hak ini kepada manusia—seperti
yang terjadi dalam sistem demokrasi-sekular—sama artinya telah memberangus
“netralitas hukum”.
Dalam sistem Islam, sekuat apapun upaya untuk mengintervensi hukum pasti
akan gagal. Pasalnya, hukum Allah SWT tidak berubah, tidak akan pernah berubah, dan
tidak boleh diubah. Khalifah dan aparat negara hanya bertugas menjalankan hukum, dan
tidak berwenang membuat atau mengubah hukum. Mereka hanya diberi hak untuk
melakukan ijtihad serta menggali hukum syariah dari al-Quran dan Sunnah Nabi saw.

2. Kesetaraan di Depan Hukum


Di mata hukum Islam, semua orang memiliki kedudukan setara; baik ia Muslim,
non-Muslim, pria maupun wanita. Tidak ada diskriminasi, kekebalan hukum, atau hak
istimewa. Siapa saja yang melakukan tindakan kriminal (jarimah) dihukum sesuai
dengan jenis pelanggarannya. Dituturkan dalam riwayat sahih, bahwa pernah seorang
wanita bangsawan dari Makhzum melakukan pencurian. Para pembesar mereka

15
meminta kepada Usamah bin Zaid agar membujuk Rasulullah saw. agar memperingan
hukuman. Rasulullah saw. murka seraya bersabda:
ِ َ‫ض ِعيفُ أَقَا ُموا َعلَ ْي ِه ْال َح َّد َوا ْي ُم هللاِ لَوْ أَ َّن ف‬
َ‫اط َمة‬ َ ‫إِنَّ َما أَ ْهلَكَ الَّ ِذينَ قَ ْبلَ ُك ْم أَنَّهُ ْم كَانُوا إِ َذا َس َر‬
َ ‫ق فِي ِه ُم ال َّش ِريفُ ت ََر ُكوهُ َوإِ َذا َس َر‬
َّ ‫ق فِي ِه ُم ال‬
•ْ َ‫بِ ْنتَ ُم َح َّم ٍد َس َرق‬
ُ ‫ت لَقَطَع‬
‫ْت يَ َدهَا‬
Artinya: “Sesungguhnya yang membinasakan orang-orang sebelum kalian adalah
tatkala ada orang yang terhormat mencuri, mereka biarkan; jika orang lemah yang
mencuri, mereka menegakkan had atas dirinya. Demi Zat Yang jiwaku berada dalam
genggaman-Nya, seandainya Fatimah putri Muhammad mencuri niscaya akan aku
potong tangannya” (HR al-Bukhari).
Imam al-Bukhari juga menuturkan sebuah riwayat dari Rafi’ bin Khudaij, yang
berkata, “Serombongan orang Anshar pergi ke Khaibar. Sesampainya di sana, mereka
berpisah-pisah. Lalu mereka mendapati salah satu anggota rombongan terbunuh.
Mereka berkata kepada orang yang mereka jumpai (Orang-orang Yahudi), ’Sungguh
kalian telah membunuh sahabat kami.’ Orang-orang Yahudi Khaibar itu menjawab,
’Kami tidak mengetahuai pembunuhnya.’ Orang-orang Anshar itu pun menghadap
menghadap Nabi saw., seraya berkata, “Ya Rasulullah, kami telah pergi ke Khaibar, dan
kami mendapati salah satu anggota rombongan kami terbunuh.’ Nabi saw. bersabda,
’Al-Kubra al-kubra (Sungguh sangat besar).’ Kemudian Nabi saw bersabda kepada
mereka agar mereka menghadirkan dua orang saksi yang menyaksikan orang yang
membunuh anggota rombongannya. Mereka berkata, ’Kami tidak mempunyai bukti.’
Rasulullah saw. bersabda, ’Mereka (orang-orang Yahudi Khaibar) harus bersumpah.’
Orang-orang Anshar itu berkata, ’Kami tidak ridha dengan sumpahnya orang Yahudi.’
Rasulullah saw. menolak untuk membatalkan darahnya. Lalu Rasulullah saw.
membayarkan diyat 100 ekor unta sedekah.” (HR al-Bukhari).
Saat itu Khaibar menjadi bagian Negara Islam. Penduduknya didominasi orang
Yahudi. Ketika orang Yahudi bersumpah tidak terlibat dalam pembunuhan, Rasulullah
saw. pun tidak menjatuhkan vonis kepada mereka karena ketiadaan bukti dari kaum
Muslim. Bahkan beliau membayarkan diyat atas peristiwa pembunuhan tersebut. Hadis
ini menunjukkan bahwa semua orang memiliki kedudukan setara di mata hukum, tanpa
memandang perbedaan agama, ras, dan suku.

3. Mekanisme Pengadilan Efektif dan Efisien

16
Mekanisme pengadilan dalam sistem hukum Islam efektif dan efisien. Ini bisa
dilihat dari beberapa hal berikut ini. Pertama: keputusan hakim di majelis pengadilan
bersifat mengikat dan tidak bisa dianulir oleh keputusan pengadilan manapun. Kaedah
ushul fikih menyatakan:
‫اَاْل ِ جْ تِهَا ُد الَ يُ ْنقَضُ بِااْل ِ جْ تِهَا ِد‬
Sebuah ijtihad tidak bisa dianulir dengan ijtihad yang lain.
Keputusan hakim hanya bisa dianulir jika keputusan tersebut menyalahi nas
syariah atau bertentangan dengan fakta. Keputusan hakim adalah hukum syariah yang
harus diterima dengan kerelaan. Oleh karena itu, pengadilan Islam tidak mengenal
adanya keberatan (i’tiradh), naik banding (al-istinaf) dan kasasi (at- tamyiiz). Dengan
begitu penanganan perkara tidak berlarut-larut dan bertele-tele. Diriwayatkan bahwa
Khalifah Umar ra. pernah memutuskan hukum musyarakah karena tidak adanya saudara
sepupu. Lalu ia menetapkan bagian di antara saudara tersebut dengan musyarakah.
Khalifah Umar lalu berkata, “Yang itu sesuai dengan keputusanku, sedangkan yang ini
juga sesuai dengan keputusanku.”
Beliau menerapkan dua hukum tersebut sekalipun keduanya bertentangan.
Khalifah Umar juga pernah memutuskan bagian kakek dengan ketentuan yang berbeda-
beda, namun dia tidak mencabut keputusannya yang pertama (Abdul Qadim
Zallum, Nizham al-Hukmi fi al-Islam, ed. IV, 1996, Daar al-Ummah, Beirut, Libanon,
hlm. 1920).
Para Sahabat ra. menetapkan hukum atas suatu persoalan yang berbeda dengan
keputusan Khalifah sebelumnya, namun mereka tidak menghapus keputusan-keputusan
yang lain. Kedua: Mekanisme pengadilan dalam majelis pengadilan mudah dan efisien.
Jika seorang pendakwa tidak memiliki cukup bukti atas sangkaannya, maka qadhi akan
meminta terdakwa untuk bersumpah. Jika terdakwa bersumpah, maka ia dibebaskan dari
tuntutan dan dakwaan pendakwa. Namun, jika ia tidak mau bersumpah maka terdakwa
akan dihukum berdasarkan tuntutan dan dakwaan pendakwa. Sebab, sumpah (qasam)
bisa dijadikan sebagai alat bukti untuk menyelesaikan sengketa. Penghapusan sumpah
sebagai salah satu alat bukti (bayyinah) dalam sistem hukum sekuler menjadikan proses
pengadilan menjadi rumit dan bertele-tele.

17
Ketiga: Kasus-kasus yang sudah kadaluwarsa dipetieskan, dan tidak diungkit kembali,
kecuali yang berkaitan dengan hak-hak harta. Pasalnya, kasus lama yang diajukan ke
sidang pengadilan ditengarai bermotifkan balas dendam.
Keempat: Ketentuan persaksian yang memudahkan qadhi memutuskan sengketa di
antaranya adalah:
- Seorang baru absah bersaksi atas suatu perkara jika ia menyaksikan sendiri, bukan
karena pemberitahuan orang lain;
- Syariah menetapkan orang tertentu yang tidak boleh bersaksi, yakni, orang yang tidak
adil, orang yang dikenai had dalam kasus qadzaf, laki-laki maupun wanita pengkhianat,
kesaksian dari orang yang memiliki rasa permusuhan, pelayan yang setia pada tuannya,
kesaksian anak terhadap bapaknya, atau kesaksian bapak terhadap anaknya, kesaksian
seorang wanita terhadap suaminya, atau kesaksian suami terhadap isterinya;
Adanya batas atas nishab kesaksian, yang memudahkan seorang qadhi dalam
menangani perkara.
Kelima: dalam kasus ta’zir, seorang qadhi diberi hak memutuskan berdasarkan
ijtihadnya.

4. Hukum Merupakan Bagian Integral dari Keyakinan


Seorang Muslim wajib hidup sejalan dengan syariah. Kewajiban ini hanya bisa
diwujudkan tatkala ia sadar syariah. Penegakkan hukum menjadi lebih mudah, karena
setiap Muslim, baik penguasa maupun rakyat, dituntut oleh agamanya untuk memahami
syariah sebagai wujud keimanan dan ketaatannya kepada Allah SWT dan Rasul-Nya.

Seorang Muslim menyadari penuh bahwa ia wajib hidup sejalan dengan syariah.
Kesadaran ini mendorong setiap Muslim untuk memahami hukum syariah. Sebab,
hukum syariah menjadi bagian tak terpisahkan dari keyakinan dan peribadahan mereka
kepada Allah SWT. Penegakan hukum menjadi lebih mudah karena ia menjadi bagian
tak terpisahkan dari keyakinan kaum Muslim. Berbeda dengan sistem hukum sekular;
hukum yang diterapkan berasal dari manusia yang terus berubah, bahkan acapkali
bertentangan dengan keyakinan penduduknya. Penegakkan hukum sekular justru
mendapat penolakan dari warga negaranya, khususnya kaum Muslim.

18
5. Lembaga Peradilan Tidak Tumpang Tindih
Qadhi diangkat oleh Khalifah atau struktur yang diberi kewenangan
Khalifah. Qadhi secara umum dibagi menjadi tiga; yakni qadhi khushumat, qadhi
hisbah dan qadhi mazhalim. Qadhi khushumat bertugas menyelesaikan persengketaan
yang menyangkut kasus ’uqubat dan mu’amalah. Qadhi hisbah bertugas menyelesaikan
penyimpangan yang merugikan kepentingan umum. Qadhi mazhalim bertugas
menyelesaikan persengketaan rakyat dengan negara, baik pegawai, pejabat
pemerintahan, maupun Khalifah. Lembaga-lembaga tersebut memiliki kewenangan dan
diskripsi tugas yang tidak memungkinkan terjadinya tumpang tindih.
Mahkamah peradilan bisa dibentuk berdasarkan teritorial; bisa tingkat
pusat, wilayah, maupun imarah. Di tiap wilayah atau imarah bisa dibentuk beberapa
mahkamah peradilan. Rasulullah saw. pernah mengangkat ‘Ali bin Abi Thalib dan
Muadz bin Jabal sebagai qadhi di Yaman. Jika ada tarik ulur antara penuntut dan pihak
tertuntut, yang dimenangkan adalah pihak penuntut. Jika penuntut meminta diadili di
Yaman, sedangkan tertuntut minta di Mesir, maka permintaan penuntut yang
dimenangkan. Alasannya, penuntut adalah pihak yang menuntut haknya, sehingga lebih
kuat.
Mahkamah peradilan bisa dibentuk berdasarkan kasus yang ditangani. Misalnya,
Mahkamah A untuk menangani kasus hudud dan jinayat saja, tidak berwenang
menangani kasus ta’zir, dan lain sebagainya. Nabi saw. mengangkat Hudzaifah al-
Yaman, Saad bin Muadz, Abu Bakar, ‘Umar, Amr bin al-‘Ash dan lain-lain untuk
memutuskan perkara tertentu, untuk masa tertentu. Ketetapan semacam ini juga pernah
terjadi pada masa Kekhilafahan Islam. Abu ‘Abdillah az-Zubair berkata, “Beberapa
waktu yang lalu, para pemimpin di Bashrah pernah mengangkat qadhi yang bertugas
menyelesaikan permasalahan hukum diMasjid Jami’. Mereka menamakannya sebagai
qadhi masjid. Ia berwenang menyelesaikan perkara harta yang nilainya dua ratus
dirham dan dua puluh dinar atau lebih sedikit darinya. Ia juga berwenang menentukan
besarnya nafkah yang harus diberikan (seperti nafkah suami kepada istri). Qadhi ini
tidak boleh menjalankan tugasnya di tempat lain, juga tidak boleh menangani kasus
keuangan yang lebih besar dari apa yang telah ditetapkan tadi, serta kasus lain yang
tidak menjadi wewenangnya.” (Imam al-Mawardi, Ahkam as-Sulthaniyah). Ketentuan
ini bisa diberlakukan di pusat, wilayah, maupun imarah.

19
6. Setiap Keputusan Hukum Ditetapkan di Majelis Peradilan
Keputusan qadhi bersifat mengikat jika dijatuhkan di dalam majelis persidangan.
Pembuktian baru diakui jika diajukan di depan majelis persidangan. Atas dasar itu,
keberadaan majelis persidangan merupakan salah satu syarat absahnya keputusan
seorang qadhi. Yang dimaksud qadhi di sini adalah qadhi khushumat.
Adapun qadhi hisbah dan qadhi mazhalim tidak membutuhkan majelis
persidangan khusus. Qadhi hisbahdan mazhalim bisa memutuskan perkara saat berada
di tempat, atau tatkala terjadi tindak pelanggaran terhadap hak-hak masyarakat, atau
ketika terjadi tindak kezaliman yang dilakukan oleh penguasa. Sebab, perkara-perkara
yang ditangani oleh qadhi hisbah dan qadhi mazhalim tidak mensyaratkan adanya pihak
penuntut maupun tertuduh. Qadhi hisbah maupun mazhalim bisa menjatuhkan sanksi
begitu terbukti ada pelanggaran.

B. Kontribusi Umat Islam dalam Perumusan Hukum di Indonesia


1. Lahirnya UUD 1945
Rumusan sila sila Pancasila disetujui oleh semua anggota dan kemudian menjadi
bagian dari Mukaddimah UUD 1945. Jadi dengan demikian Republik Indonesia yang
lahir tanggal 17 Agustus 1945 adalah republik yang berdasarkan ketuhanan dengan
kewajiban menjalankan syareat Islam bagi pemeluk-pemeluknya Meskipun keesokan
harinya 18 Agustus 1945 tujuh kata dalam Piagam Jakarta itu dihilangkan diganti
dengan kalimat “Yang Maha Esa”. Ini sebagai bukti akan kebesaran jiwa umat Islam
dan para ulama. Muh. Hatta dan Kibagus Hadikusumo menjelaskan bahwa yang
dimaksud dengan” Yang Maha Esa” tersebut tidak lain adalah tauhid.

2. Lahirnya UU Perkawinan
Pengaturan perkawinan di Indonesia tidak dapat lepas dari keterlibatan tiga
pihak/kepentingan, yaitu kepentingan agama, kepentingan negara dan kepentingan
perempuan.M. Syura’i, S.H.I. dalam tulisannya tanggal 6 November 2010 yang berjudul
“Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan” menjelaskan bahwa
Kelahiran Undang-undang perkawinan telah mengalami rentetan sejarah yang cukup
panjang. Bermula dari kesadaran kaum perempuan Islam akan hak-haknya yang merasa

20
dikebiri oleh dominasi pemahaman fikih klasik atau konvensional yang telah mendapat
pengakuan hukum, mereka merefleksikan hal tersebut dalam pertemuan-pertemuan
yang kelak menjadi embrio lahirnya Undang-Undang Perkawinan. Arso Sosroatmojo
mencatat bahwa pada rentang waktu 1928 kongres perempuan Indonesia telah
mengadakan forum yang membahas tentang keburukan-keburukan yang terjadi dalam
perkawinan di kalangan umat Islam. Hal tersebut juga pernah dibicarakan pada dewan
rakyat (volksraad).

3. Lahirnya Peradilan Agama


Peradilan Islam di Indonesia yang kemudian dikenal dengan istilah Peradilan
Agama telah ada dan dikenal jauh sebelum Indonesia merdeka. Peradilan Agama ada
dan seiring dengan perkembangan kelompok masyarakat di kala itu, yang kemudian
memperoleh bentuk-bentuk ketatanegaraan yang sempurna dalam kerajaan Islam. Hal
ini diperoleh karena masyarakat Islam sebagai salah satu komponen anggota masyarakat
adalah orang yang paling taat hukum, baik secara perorangan maupun secara
kelompok.Perjalanan lembaga Peradilan Agama hingga era satu atap ini mengalami
pasang surut dan tantangan yang sangat berat, baik secara kelembagaan maupun secara
konstitusional.

4. Pengelolaan Zakat
Undang-undang Nomor 38 Tahun 1999 tentang pengelolaan Zakat menetapkan bahwa
tujuan pengelolaan Zakat adalah sebagai berikut:
- Meningkatnya kesadaran masyarakat dalam penunaian dan dalam pelayanan ibadah
zakat.
- Meningkatnya fungsi dan peranan pranata keagaman dalam upaya mewujudkan
kesejahteraan masyarakat dan keadilan sosial.
- Meningkatnya hasil guna dan daya guna Zakat.

21
22
BAB 4
KEWAJIBAN MENEGAKKAN AMAR MAKRUF DAN NAHI MUNKAR

A. Pengertian Amar Makruf dan Nahi Munkar


Amar makruf nahi mungkar adalah sebuah frasa dalam bahasa Arab yang berisi
perintah menegakkan yang benar dan melarang yang salah. Dalam ilmu fikih klasik,
perintah ini dianggap wajib bagi kaum Muslim. "Amar makruf nahi mungkar" telah
dilembagakan di beberapa negara, contohnya adalah di Arab Saudi yang
memiliki Komite Amar Makruf Nahi Mungkar. Di kekhalifahan-kekhalifahan
sebelumnya, orang yang ditugaskan menjalankan perintah ini disebut muhtasib.
Sementara itu, di Barat, orang-orang yang mencoba melakukan amar makruf nahi
mungkar disebut polisi syariah. Amar ma'ruf nahi munkar dilakukan sesuai
kemampuan, yaitu dengan tangan (kekuasaan) jika dia adalah penguasa/punya jabatan,
dengan lisan atau minimal membencinya dalam hati atas kemungkaran yang ada,
dikatakan bahwa ini adalah selemah-lemahnya iman seorang mukmin. Amar ma’ruf
nahi mungkar merupakan kekhususan dan keistimewaan umat Islam yang akan
mempengaruhi kemulian umat Islam.
ِ ‫َر َوتُ ْؤ ِمنُونَ بِاهللِ َولَوْ َءا َمنَ أَ ْه ُل ْال ِكتَا‬
‫ب لَ َكانَ َخ ْيرًا‬ ِ ‫اس تَأْ ُمرُونَ ِب ْال َم ْعر‬
ِ ‫ُوف َوتَ ْنهَوْ نَ ع َِن ْال ُمنك‬ ِ َّ‫ت لِلن‬ ْ ‫ُكنتُ ْم خَ ي َْر أُ َّم ٍة أُ ْخ ِر َج‬
َ‫لَّهُ ْم ِّم ْنهُ ُم ْال ُم ْؤ ِمنُونَ َوأَ ْكثَ َرهُ ُم ْالفَا ِسقُون‬
Artinya: “Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh
kepada yang ma’ruf, dan mencegah dari yang mungkar, dan beriman kepada Allah.
Sekiranya Ahli Kitab beriman, tentulah itu lebih baik bagi mereka; di antara mereka
ada yang beriman dan kebanyakan mereka adalah orang-orang yang fasik“. (Q.S Al
Imran: 110)

َ‫صالَةَ َوي ُْؤتُونَ ال َّزكَاةَ َويُ ِطيعُون‬


َّ ‫َر َويُقِي ُمونَ ال‬ ِ ‫ْض يَأْ ُمرُونَ بِ ْال َم ْعر‬
ِ ‫ُوف َويَ ْنهَوْ نَ َع ِن ْال ُمنك‬ ٍ ‫ضهُ ْم أَوْ لِيَآ ُء بَع‬ ُ ‫َو ْال ُم ْؤ ِمنُونَ َو ْال ُم ْؤ ِمن‬
ُ ‫َات بَ ْع‬
‫َزي ٌز َح ِكي ُُم‬ َ ِ‫هللاَ َو َرسُولَهُ أُوْ الَئ‬
ِ ‫ك َسيَرْ َح ُمهُ ُم هللاُ إِ َّن هللاَ ع‬

Artinya: “Dan orang-orang yang beriman, lelaki dan perempuan, sebagian mereka
(adalah) menjadi penolong sebagian yang lain. Mereka menyuruh (mengerjakan) yang
ma’ruf, mencegah dari yang mungkar, mendirikan shalat, menunaikan zakat dan

23
mereka ta’at kepada Allah dan Rasul-Nya. Mereka itu akan diberi rahmat oleh Allah;
Sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana“.(Q.S At Taubah: 71)
Ketika membawakan kedua ayat diatas, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah
berkata,”Dalam ayat ini Allah Subhanahu wa Ta’ala menjelaskan, umat Islam adalah
umat terbaik bagi segenap umat manusia. Umat yang paling memberi manfaat dan baik
kepada manusia. Karena mereka telah menyempurnakan seluruh urusan kebaikan dan
kemanfaatan dengan amar ma’ruf nahi mungkar. Mereka tegakkan hal itu dengan jihad
di jalan Allah dengan jiwa dan harta mereka. Inilah anugerah yang sempurna bagi
manusia. Umat lain tidak memerintahkan setiap orang kepada semua perkara yang
ma’ruf (kebaikan) dan melarang semua kemungkaran. Merekapun tidak berjihad untuk
itu. Bahkan sebagian mereka sama sekali tidak berjihad. Adapun yang berjihad -seperti
Bani Israil- kebanyakan jihad mereka untuk mengusir musuh dari negerinya.
Sebagaimana orang yang jahat dan dzalim berperang bukan karena menyeru kepada
petunjuk dan kebaikan, tidak pula untuk amar ma’ruf nahi mungkar.
Mereka berperang lantaran diusir dari tanah air beserta anak-anak mereka.
Sudah demikian ini, mereka pun masih melanggar perintah. Sehingga tidak dihalalkan
begi mereka harta rampasan perang. Demikan juga tidak boleh mengambil budak-budak
tawanan perang. Tugas penting ini sangat luas jangkauannya, baik zaman atau tempat.
Meliputi seluruh umat dan bangsa dan terus bergerak dengan jihad dan penyampaian ke
seluruh belahan dunia. Tugas ini telah diemban umat Islam sejak masa Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam sampai sekarang hingga hari kiamat nanti.

B. Hukum Amar Makruf Nahi Munkar

Amar ma’ruf nahi mungkar adalah kewajiban bagi tiap-tiap muslim yang
memiliki kemampuan. Artinya, jika ada sebagian yang melakukannya, yang lainnya
terwakili. Dengan kata lain, hukumnya fardhu kifayah. Namun, boleh jadi, hukumnya
menjadi fardhu ‘ain bagi siapa yang mampu dan tidak ada lagi yang menegakkannya.
Al-Imam an-Nawawi rahimahullah mengatakan, “Amar ma’ruf nahi mungkar menjadi
wajib ‘ain bagi seseorang, terutama jika ia berada di suatu tempat yang tidak ada
seorang pun yang mengenal (ma’ruf dan mungkar) selain dirinya; atau jika tidak ada
yang dapat mencegah yang (mungkar) selain dirinya. Misalnya, saat melihat anak, istri,

24
atau pembantunya, melakukan kemungkaran atau mengabaikan kebaikan.” (Syarh
Shahih Muslim)
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata, “Amar ma’ruf nahi
mungkar adalah fardhu kifayah. Namun, terkadang menjadi fardhu ‘ain bagi siapa yang
mampu dan tidak ada pihak lain yang menjalankannya.”Asy-Syaikh Abdul ‘Aziz bin
Abdillah bin Baz rahimahullah mengemukakan hal yang sama, “Ketika para da’i sedikit
jumlahnya, kemungkaran begitu banyak, dan kebodohan mendominasi, seperti keadaan
kita pada hari ini, maka dakwah (mengajak kepada kebaikan dan menjauhkan umat dari
kejelekan) menjadi fardhu ‘ain bagi setiap orang sesuai dengan kemampuannya.”
Dengan kata lain, kewajibannya terletak pada kemampuan. Dengan demikian, setiap
orang wajib menegakkannya sesuai dengan kemampuan masing-masing. Allah
subhanahu wa ta’ala berfirman:
“Maka bertakwalah kamu kepada Allah menurut kesanggupanmu, dengarlah serta
taatlah dan infakkanlah harta yang baik untuk dirimu. Dan barang siapa dijaga dirinya
dari kekikiran, mereka itulah orang yang beruntung.” (Q.S At Taghabun: 16)
Kemampuan, kekuasaan, dan kewenangan adalah tiga hal yang terkait erat
dengan proses amar ma’ruf nahi mungkar. Yang memiliki kekuasaan tentu saja lebih
mampu dibanding yang lain sehingga kewajiban mereka tidak sama dengan yang
selainnya. Al-Qur’an telah menunjukkan bahwa amar ma’ruf nahi mungkar tidak wajib
bagi tiap-tiap individu (wajib ‘ain), namun secara hukum menjadi fardhu kifayah. Inilah
pendapat yang dipegangi mayoritas para ulama, seperti al-Imam al-Qurthubi, Abu Bakar
al-Jashash, Ibnul Arabi al-Maliki, Ibnu Taimiyah, dan lain-lain rahimahumullah
Allah subhanahu wa ta’ala berfirman:
“Dan hendaklah di antara kamu ada segolongan orang yang menyeru kepada
kebajikan, menyuruh (berbuat) yang ma’ruf, dan mencegah dari yang mungkar. Dan
mereka itulah orang-orang yang beruntung.” (Q.S Al Imran: 104)
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
ِ ‫ك أَضْ َعفُ اإْل ِ ي َم‬
‫ان‬ َ ِ‫َم ْن َرأَى ِم ْن ُك ْم ُم ْن َكرًا فَ ْليُ َغيِّرْ هُ بِيَ ِد ِه فَإِ ْن لَ ْم يَ ْست َِط ْع فَبِلِ َسانِ ِه فَإِ ْن لَ ْم يَ ْستَ ِط ْع فَبِقَ ْلبِ ِه َو َذل‬
“Siapa di antara kalian yang melihat suatu kemungkaran, maka cegahlah dengan
tangannya. Jika belum mampu, cegahlah dengan lisannya. Jika belum mampu, dengan
hatinya, dan pencegahan dengan hati itu adalah selemah-lemah iman.” (HR. Muslim
no. 70 dan lain-lain)

25
C. Syarat dan Etika Amar Makruf Nahi Munkar
Amar ma’ruf nahi mungkar adalah ibadah, ketaatan, dan amal saleh. Karena itu,
harus dilakukan dengan benar dan penuh keikhlasan agar menjadi amalan saleh yang
diterima. Al-Imam Fudhail Ibnu Iyadh rahimahullah mengemukakan bahwa suatu
amalan meskipun benar tidak akan diterima jika tidak ada keikhlasan, begitu pun
sebaliknya. Keikhlasan berarti semata-mata karena Allah subhanahu wa ta’ala,
sedangkan kebenaran berarti harus berada di atas sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wa sallam. Para penegak amar ma’ruf nahi mungkar hendaknya memerhatikan dan
memenuhi beberapa syarat berikut.
- Ilmu dan pemahaman sebelum memerintah dan melarang.
- Lemah lembut dalam beramar ma’ruf dan bernahi mungkar
- Tenang dan sabar menghadapi kemungkinan adanya gangguan setelah beramar ma’ruf
nahi munkar

D. Tahapan Amar Makruf dan Nahi Munkar


Beberapa tahapan atau prosedur harus dilakukan dalam realisasi pelaksanaan
amar ma’ruf. Tidak semudah kita menaiki tangga, akan tetapi harus melalui tahapan
yang paling ringan, baru kemudian melangkah pada hal yang agak berat.
Baginda Nabi Muhammad shallallahu 'alaihi wasallam bersabda:
ِ ‫ك أَضْ َعفُ اإْل ِ ْي َم‬
‫ان‬ َ ِ‫َم ْن َرأَى ِم ْن ُك ْم ُم ْن َكرًا فَ ْليُ َغيِّرْ هُ بِيَ ِّد ِه فَإِ ْن لَ ْم يَ ْست َِط ْع فَبِلِ َسانِ ِه َو َم ْن لَ ْم يَ ْست َِط ْع فَبِقَ ْلبِ ِه َو َذل‬
“Barangsiapa diantara kalian melihat kemungkaran, maka hendaknya ia
menghilangkannya dengan tangannya. Jika ia tidak mampu, maka dengan lisannya.
Orang yang tidak mampu dengan lisannya, maka dengan hatinya. Dan dengan hati ini
adalah lemah-lemahnya iman.” (HR. Muslim).
Maksud dari hadits ini bukanlah seperti yang banyak disalahpahami oleh orang-
orang yang beranggapan bahwa kalau mampu menghilangkan dengan tangan maka
harus langsung dengan tangan. Anggapan seperti ini salah besar dan bertentangan
dengan nilai rahmat (belas kasih) di dalam Islam. Akan tetapi pemahaman yang benar
dari hadits di atas adalah, seseorang yang melihat kemunkaran dan ia mampu
menghilangkan dengan tangan, maka ia tidak boleh berhenti dengan lisan jika
kemungkaran tidak berhenti dengan lisan, dan orang yang mampu dengan lisan, maka ia
tidak boleh berhenti hanya dengan hati.

26
Imam Muhyiddin an-Nawawi berkata di dalam kitab Raudlatut Thâlibîn:
‫ وال تكفي كراهة القلب لمن قدر على النهي باللسان‬،‫وال يكفي الوعظ لمن أمكنه إزالته باليد‬
“Tidak cukup memberi nasihat bagi orang yang mampu menghilangkan kemunkaran
dengan tangan. Dan tidak cukup ingkar di dalam hati bagi orang yang mampu
mencegah kemunkaran dengan lisan.” (Muhyiddin Abu Zakariya an-Nawawi,
Raudlatut Thâlibîn, Beirut, Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 2005, cetakan kelima, jilid V,
halamann 123).
Dalam proses amar ma’ruf nahi munkar, tetap harus mendahulukan tindakan yang
paling ringan sebelum bertindak yang lebih berat. Syekh Abdul Hamid asy-Syarwani
berkata di dalam kitabnya, Hasyiyah asy-Syarwani:
‫ فإذا حصل التغيير بالكالم اللين فليس له التكلم بالكالم الخشن‬.‫والواجب على اآلمر والناهي أن يأمر وينهى باألخف ثم األخف‬
‫وهكذا كما قاله العلماء‬
“Wajib bagi orang yang melakukan amar ma’ruf nahi mungkar untuk bertindak yang
paling ringan dulu kemudian yang agak berat. Sehingga, ketika kemungkaran sudah
bisa hilang dengan ucapan yang halus, maka tidak boleh dengan ucapan yang kasar.
Dan begitu seterusnya).” (Syekh Abdul Hamid asy-Syarwani, Hasyiyah asy-Syarwani
ala Tuhfahtil Muhtaj, Beirut, Dar al-Kutub al-Ilmiyah, 2003 cetakan keempat, jilid 7,
halaman 217)
Dalam melakukan amar ma’ruf nahi munkar, seseorang harus lebih arif dan bijak karena
terkadang dalam menghasilkan tujuan amar ma’ruf nahi mungkar, seseorang harus
menghilangkannya sedikit demi sedikit, tidak memaksakan harus hilang seluruhnya
dalam waktu seketika itu. Sayyid Abdullah ibn Husain ibn Tohir berkata:
‫ينبغي لمن أمر بمعروف أو نهى عن منكر أن يكون برفق وشفقة على الخلق يأخذهم بالتدريج فإذا رآهم تاركين ألشياء من‬
‫الواجبات فليأمرهم باألهم ثم األهم فإذا فعلوا ما أمرهم به انتقل إلى غيره وأمرهم وخوفهم برفق وشفقة مع عدم النظر منه‬
‫لمدحهم وذمهم وعطاءهم ومنعهم وإال وقعت المداهنة وكذا إذا ارتكبوا منهيات كثيرة ولم ينتهوا بنهيه عنها كلها فليكلمهم في‬
‫بعضها حتى ينتهوا ثم يتكلم في بعضها حتى ينتهوا ثم يتكلم في غيرها وهكذ‬

“Bagi orang yang melakukan amar ma’ruf nahi mungkar harus bersikap lembut dan
belas kasih kepada manusia, ia harus bertindak pada mereka dengan bertahap. Ketika
ia melihat mereka meninggalkan beberapa kewajiban, maka hendaknya ia
memerintahkan pada mereka dengan perkara wajib yang paling penting kemudian
perkara yang agak penting. Kemudian ketika mereka telah melaksanakan apa yang ia
perintahkan, maka ia berpindah pada perkara wajib lainnya. Hendaknya ia

27
memerintahkan pada mereka dan menakut-nakuti mereka dengan lembut dan belas
kasih... begitu juga ketika mereka melakukan larangan-larangan agama yang banyak
dan mereka tidak bisa meninggalkan semuanya, maka hendaknya ia berbicara kepada
mereka di dalam sebagiannya saja hingga mereka menghentikannya kemudian baru
berbicara sebagian yang lain, begitu seterusnya.” (al-Habib Zain bin Sumith, al-Minhaj
as-Sawi, Jeddah, Dar al-Minhaj, 2006 cetakan ketiga, halaman 316-317)

E. Rahasia di Balik Amar Makruf Nahi Munkar


Dalam sebuah hadits Qudsi di sebutkan bahwa Allah SWT telah berfirman “Hai
anak Adam, janganlah kamu termasuk orang yang menangguh-nangguhkan taubatnya
dan berangan-angan panjang, sehingga pulang ke akhirat tanpa membawa suatu amal
apapun.” Ucapan yang dikeluarkannya bagaikan ahli ibadah namun sepakterjangnya
sama dengan orang munafik, jika diberi merasa kurang puas, jika tidak diberi tidak
sabar untuk segera menerima. Berpura-pura menyukai orang-orang saleh, padahal ia
bukan termasuk golongan mereka dan berpura-pura membenci orang-orang munafik,
padahal ia termasuk salah seorang dari mereka. Suka memerintahkan kepada kebaikan
namun ia sendiri tidak pernah melakukannya, dan melarang perbuatan yang buruk
padahal ia sendiri tidak pernah berhenti melakukannya.
Diriwayatkan melalui sahabat Rasul ‘Ali karramallahu wajhah yang
menceritakan bahwa ia pernah mendengar Rasulullah bersabda, “ kelak di akhir zaman
akan datang suatu kaum yang usia mereka masih muda-muda, wawasan pengetahuan
mereka tentang agama dangkal, mereka suka mengeluarkan kalam sebaik-baik makhluk,
namun hanya di mulut saja tidak sampai masuk kedalam hatinya, mereka keluar dari
agama secepat anak panah menembus sasarannya. Rasulullah sewaktu di isra’kan oleh
Allah SWT ke langit, beliau melihat sejumlah kaum laki-laki yang lidah mereka
dipotong dengan gunting api, lalu beliau bertanya kepada Jibril. “Hai Jibril, siapakah
mereka?” ‘Jibril menjawab, “Mereka adalah tukang ceramah dari kaummu yang suka
memerintahkan kebaikan kepada orang lain, sedangkan mereka sendiri melalaikannya.”
Allah menegur keras sikap mereka yang demikian itu, sebagaimana
firmannya:Mengapa kamu suruh orang lain (mengerjakan) kebajikan, sedangkan kamu
melupakan (kewajiban) dirimu sendiri, padahal kamu membaca al-Kitab (Taurat) maka
tidakkah kamu berpikir? (QS. al-Baqarah [2]: 44), di ayat yang lain Allah juga telah

28
menegaskan “Wahai orang-orang yang beriman, kenapakah kamu mengatakan sesuatu
yang tidak kamu kerjakan? Amat besar kebencian di sisi Allah bahwa kamu mengatakan
apa-apa yang tidak kamu kerjakan.” (QS al- Shaff [61]: 2-4). Ayat ini menjukkan
konsistensi antara ucapan dan perbuatan dalam kehidupan sehari-hari. Banyak orang
yang paham tentang agama tapi sifat dan tingkah lakunya tidak berbeda jauh dengan
binatang, tidakkah kita berpikir?
Sahabat Rasulullah yang bernama Anas r.a. telah bertanya kepada Rasul,
“Wahai Rasulullah, bolehkah kami memerintahkan kepada kebaikan agar kami dapat
mengerjakan semuanya, dan bolehkah kami mencegah kemungkaran agar kami agar
menghindari semuanya?” Beliau menjawab, “Tidak, bahkan perintahkanlah kepada
kebaikan, meskipun kamu masih belum mengamalkan keseluruhannya dan cegahlah
kemungkaran meskipun kamu masih belum dapat menghindari seluruhnya.” Hal ini lain
halnya dengan para penceramah yang memotong lidah mereka sendiri lantaran mereka
menyuruh tapi mereka sendiri tidak pernah mengerjakannya (ta’mur wala ta’mal).
Jadi, sudah seharusnya tugas amar ma’ruf nahi mungkar ini adalah tugas bagi
kita semua selaku muslim yang bertaqwa kepada Allah SWT, Rasulullah saw telah
bersabda: “Tidaklah suatu kaum itu melakukan kemaksiatan-kemaksiatan dan di
kalangan mereka terdapat orang yang mampu mencegahnya dari mereka namun ia tidak
melaksanakannya, melainkan Allah meratakan siksa dari-Nya kepada mereka. (HR.
Tirmidzi)

29
BAB 5 :
FITNAH AKHIR ZAMAN

A. Pengertian Fitnah
Fitnah dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia memiliki arti sebagai perkataan
bohong yang tidak berdasarkan kebenaran serta disebarkan untuk menjelekkan dan
menjatuhkan orang lain. Pengertian fitnah menurut islam juga bisa dilakukan tanpa
Anda sadari ketika sedang berlangsung. Hal tersebut akan sangat membahayakan
hidupnya, meski ia tidak menyadarinya. Dalam Islam sendiri, Al Quran dan Hadits
banyak yang membahas mengenai fitnah ini. Fitnah dapat membuat orang berpaling dari
jalan yang benar hinggaa menjadi sesaat, kebinasaan, perselisihan bahkan peperangan
dan kemungkaran.

B. Fitnah Akhir Zaman Berdasarkan Pandangan Rasullullah


Dalam berbagai kesempatan, Rasulullah Shalallaahu ‘Alahi Wasallam kerapkali
memperingati kepada umatnya akan terjadinya berbagai bentuk kekacauan, fitnah, dan
bencana sampai terjadinya hari kiamat. Beliau telah menceritakan bahwa salah satu
tanda dekatnya kiamat adalah banyaknya fitnah besar yang menyebabkan tercampurnya
antara kebenaran dan kebatilan.
Di saat itu iman manusia mudah tergoncang. Bahkan karena beratnya fitnah
yang dihadapi manusia, ada di antara mereka yang di waktu pagi dalam keadaan
beriman, di sore hari telah menjadi kufur. Di sore hari mereka beriman, ketika masuk
waktu pagi mereka telah kufur. Dalam riwayat yang sahih disebutkan bahwa setiap kali
muncul sebuah fitnah, seorang mukmin berkomentar, “Inilah yang membawa
kehancuranku.” Ternyata fitnah itu berlalu dan digantikan dengan fitnah lain, dan setiap
saat seseorang mengira fitnah yang tengah berlangsung tersebut adalah fitnah yang
membawa kebinasaan dirinya.
Dari Abdullah bin Amru bin ‘Ash bahwa Rasulullah bersabda,
“Tidak ada seorang nabi pun sebelumku kecuali pasti menerangkan seluruh kebaikan
kepada umatnya dan memperingatkan umatnya dari seluruh keburukan. Sesungguhnya
umat kalian ini, kesempatannya dijadikan berada pada generasi awal. Ada pun
generasi-generasi di akhir zaman akan menghadapi ujian besar dan perkara-perkara

30
yang kalian ingkari. Akan datang sebuah fitnah, sebagiannya lebih ringan dari
sebagian lainnya (maksudnya: beratnya fitnah yang tengah menimpa akan dianggap
lebih ringan bila dibandingkan beratnya fitnah yang akan terjadi sesudahnya). Setelah
itu datang fitnah yang lain, maka seorang mukmin akan mengatakan, “Inilah yang
membawa kebinasaanku.” Namun ternyata fitnah itu akhirnya berlalu dan datanglah
fitnah yang lain, sehingga seorang mukmin berkata, ”Barangkali fitnah inilah yang
akan membawa kehancuranku… barangkali fitnah inilah yang akan membawa
kehancuranku.”(HR.Muslim Kitab Al-Imarah no.3431, An-Nasa’i, Ibnu Majah, dan
Ahmad).
Dalam riwayat lain Rasulullah bersabda, ”Sesungguhnya, menjelang terjadinya
Kiamat ada fitnah-fitnah seperti penggalan-penggalan malam yang gelap gulita, pada
pagi hari seseorang dalam keadaan beriman, tetapi pada sore hari ia menjadi kafir.
Sebaliknya pada sore hari seseorang dalam keadaan beriman, namun di pagi hari ia
dalam keadaan kafir. Orang yang duduk pada masa itu lebih baik daripada yang
berdiri, orang yang berdiri lebih baik daripada yang berjalan, dan orang yang berjalan
lebih baik daripada orang yang berjalan cepat. Maka, patahkan busur kalian, putus-
putuslah tali kalian, dan pukullah pedang kalian dengan batu. Jika salah seorang dari
kalian kedatangan fitnah-fitnah ini, hendaklah ia bersikap seperti anak terbaik di
antara dua anak Adam (yakni sikap seperti Habil, jangan seperti Qabil).” (HR.Abu
Daud no.4259).
Abu Hurairah meriwayatkan bahwasanya Rasulullah bersabda, “Bersegeralah kalian
melakukan amal saleh sebelum datangnya fitnah yang seperti potongan-potongan
malam yang gelap gulita. Pagi-pagi seseorang masih beriman, tetapi di sore hari sudah
menjadi kafir; dan sore hari seseorang masih beriman, kemudian di pagi harinya sudah
menjadi kafir.” (HR. Muslim: Kitab Al-Iman no.169).
Ini merupakan peringatan penting bagi setiap manusia, bahwa banyaknya fitnah
yang menyebabkan seseorang murtad, merupakan tanda dekatnya akhir zaman. Untuk
skala lokal, barangkali yang paling nyata adalah fenomena fitnah kesulitan hidup,
kemiskinan, dan kesengsaraan yang menyebabkan seseorang dengan mudah menukar
agamanya. Juga godaan dunia yang dikemas sedemikian menggiurkan bagi siapa pun
untuk mencicipinya, sehingga siapa pun yang tidak memiliki ketahanan iman, sangat
mungkin mengubah imannya dalam bilangan hari. Namun di antara berbagai fitnah

31
yang dinubuatkan oleh beliau Shalallaahu ‘Alahi Wasallam, tidak ada satu pun fitnah
yang lebih berbahaya, lebih dahsyat, dan lebih keras efek yang ditimbulkannya melebihi
fitnah Dajjal. Hal ini sebagaimana yang disabdakan oleh Rasulullah,
“Semenjak Allah menciptakan keturunan Adam hingga hari kiamat nanti, tidak ada
fitnah yang lebih besar di muka bumi ini dibandingkan fitnah Dajjal.” (HR.Muslim:
Kitab Al-Fitan wa Asyrath As-Sa’ah no. 5239).
Demikian fitnah Dajjal, sehingga setiap rasul yang diutus kepada umat manusia
senantiasa memperingatkan bahaya fitnah tersebut kepada umatnya, sebagaimana
dijelaskan dalam hadits sahih berikut ini,
“Sesungguhnya Allah tidak mengutus seorang nabi, melainkan nabi tersebut telah
memperingatkan kaumnya dari fitnah Dajjal. Nabi Nuh telah memperingatkan umatnya
akan fitnah Dajjal, demikian pula para nabi sesudahnya. Ketahuilah, sesungguhnya
Dajjal akan muncul di antara kalian (maksudnya pada masa umat ini yang merupakan
umat terakhir) dan perkara Dajjal itu tidak lagi samar bagi kalian. Demikian pula
perkara Rabb kalian tidak samar lagi bagi kalian (beliau bersabda demikian sebanyak
tiga kali). Sesungghnya Rabb kalian tidak buta sebelah, sedangkan Dajjal adalah
makhluk yang buta mata sebelah kanannya, seakan-akan matanya adalah buah anggur
yang terapung.” (HR.Muslim).

C. Menghadapi Fitnah Akhir Zaman


1. Menjaga Tauhid dan Menjauhi Syirik
Allah Subhaanahu wa Ta'aala berfirman:
“Orang-orang yang beriman dan tidak mencampuradukkan iman mereka dengan
kezaliman (syirk), mereka itulah yang mendapat keamanan dan mereka itu adalah
orang-orang yang mendapat petunjuk.” (Al-An’aam: 82)
2. Berpegang Teguh Dengan Kitabullah dan Sunnah Rasul
Rasulullah shallalllahu 'alaihi wa sallam bersabda:

َ ‫ َولَنْ يَتَفَ َّرقَا َحتَّى يَ ِرداَ َعلَ َّي ا ْل َح ْو‬، ‫سنَّتِ ْي‬
‫ض‬ َ ‫ ِكت‬: ‫س ْكتُ ْم بِ ِه َما‬
ُ ‫َاب هللاِ َو‬ ِ ‫ت ََر ْكتُ فِ ْي ُك ْم أَ ْم َر ْي ِن لَنْ ت‬
َّ ‫َضلُّ ْوا َما إِنْ تَ َم‬
“Aku tinggalkan kepada kamu dua perkara; kamu tidak akan tersesat selama kamu
berpegang kepada keduanya; kitab Allah dan Sunnahku, dan keduanya tidak akan

32
berpisah sampai mendatangi telagaku.” (Syaikh Al Albani dalam Manzilatus Sunnah
berkata: “Isnadnya hasan.”)
Tentang keharusan memahami keduanya (Al-Qur’an dan As-Sunnah) dengan
pemahaman As Salafush Shaalih, Rasulullah shallalllahu 'alaihi wa sallam bersabda:
‫و َر‬gg‫ ِذ َوإِيَّا ُك ْم َواأْل ُ ُم‬g‫ا ِبالنَّ َوا ِج‬gg‫وا َعلَ ْي َه‬g‫َض‬
ُّ ‫ ِديِّينَ ع‬g‫ ِدينَ ا ْل َم ْه‬g‫اش‬
ِ ‫ا ِء ال َّر‬ggَ‫نَّ ِة ا ْل ُخلَف‬g‫س‬ ُ ِ‫ش ِديدًا فَ َعلَ ْي ُك ْم ب‬
ُ ‫سنَّتِي َو‬ َ ‫اختِاَل فًا‬
ْ ‫ستَ َر ْونَ ِمنْ بَ ْع ِدي‬
َ ‫َو‬
ٌ‫ضاَل لَة‬
َ ‫ت فَإِنَّ ُك َّل بِ ْد َع ٍة‬
ِ ‫ا ْل ُم ْح َدثَا‬ *
“Kalian akan melihat setelahku perselisihan yang dahsyat. Maka kalian harus
berpegang dengan Sunnahku dan Sunnah para khalifah yang lurus dan mendapat
petunjuk. Gigitlah sunnah itu dengan geraham serta jauhilah perkara yang diada-
adakan (dalam agama), karena setiap bid’ah adalah sesat.” (Shahih, diriwayatkan oleh
Ibnu Majah)
Sabda Beliau “Sunnahku” adalah sunnah Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam.
Sabda Beliau “dan sunnah para khalifah yang lurus…”adalah sunnnahnya para sahabat,
yakni manhaj/jalan yang mereka tempuh dalam memahami agama, atau istilah lainnya
“pemahaman mereka (para sahabat)”. Inilah solusi agar kita tetap di atas
hidayah/petunjuk ketika terjadi banyak perselisihan seperti di zaman sekarang. Adapun
tentang keharusan bersatu di atasnya, Allah Subhaanahu wa Ta'aala berfirman:
“Dan berpeganglah kamu semuanya kepada tali (agama) Allah, dan janganlah kamu
bercerai berai.” (Ali Imran: 103)
Terlebih di zaman sekarang, ketika musuh-musuh Islam saling bahu-membahu
menjauhkan ummat Islam dari agamanya dan mengadakan kerusakan dengan berbagai
sarana. Kondisi seperti ini menghendaki kita bersatu di atas kitabullah dan Sunnah
Rasulullah dengan pemahaman salaful ummah  dan bahu membahu membendung
gelombang itu. Allah Subhaanahu wa Ta'aala berfirman:
“Adapun orang-orang yang kafir, sebagian mereka menjadi penolong bagi sebagian
yang lain. jika kamu (hai kaum muslimin) tidak melaksanakan apa yang telah
diperintahkan Allah itu, niscaya akan terjadi fitnah (kekacauan) di muka bumi dan
kerusakan yang besar.” (Al-Anfal: 73)
Persatuan ini pun tetap memperhatikan saling nasehat-menasehati (yakni dengan beramr
ma’ruf dan bernahi mungkar), tidak mendiamkan kemungkaran yang terjadi.
3. Tetap Beribadah dan Beramal Shaleh
Rasulullah shallalllahu 'alaihi wa sallam bersabda:

33
ِ ‫ا ْل ِعبَا َدةُ ِفي ا ْل َه ْر‬
‫ج َك ِه ْج َر ٍة إِلَ َّي‬
“Beribadah pada saat terjadi kekacauan (banyak fitnah) seperti berhijrah kepadaku.”
(HR. Muslim)
4. Beristigfar dan Bertobat Serta Banyak Berzikir
Allah Subhaanahu wa Ta'aala berfirman:
“Maka mengapa mereka tidak memohon (kepada Allah) dengan tunduk merendahkan
diri ketika datang siksaan Kami kepada mereka, bahkan hati mereka telah menjadi
keras, dan setan pun menampakkan indah apa yang selalu mereka kerjakan.” (Al-
An’aam: 43)
Ali radhiyallahu 'anhu berkata: “Tidaklah turun bala’ (musibah) kecuali karena dosa,
dan bala’ itu tidak diangkat kecuali dengan bertobat.”
5. Kembali Mempelajari Agama
Allah Subhaanahu wa Ta'aala berfirman:
“Mengapa tidak pergi dari tiap-tiap golongan di antara mereka beberapa orang untuk
memperdalam pengetahuan mereka tentang agama dan untuk memberi peringatan
kepada kaumnya apabila mereka telah kembali kepadanya, supaya mereka itu dapat
menjaga dirinya.” (At-Taubah: 122)
Rasulullah shallalllahu 'alaihi wa sallam bersabda:
‫سا َع ِة أَنْ يُ ْرفَ َع ا ْل ِع ْل ُم َويَ ْظ َه َر ا ْل َج ْه ُل‬
َّ ‫اط ال‬ ْ َ‫إِنَّ ِمنْ أ‬
ِ ‫ش َر‬
“Sesungguhnya di antara tanda-tanda hari kiamat adalah diangkatnya ilmu dan
tampaknya kebodohan (terhadap agama).” (HR. Bukhari dan Muslim)
6. Mendekat Kepada Para Ulama Rabbani
Allah Subhaanahu wa Ta'aala berfirman:
“Dan kalau mereka menyerahkannya kepada Rasul dan ulil Amri di antara mereka,
tentulah orang-orang yang ingin mengetahui kebenarannya (akan dapat)
mengetahuinya dari mereka (Rasul dan ulil Amri).” (An-Nisaa’: 83)
Makna “Ulil Amri” di sini adalah ulama dan umara’. Ibnul
Qayyim rahimahullah berkata, “Kami ketika timbul kekhawatiran, pikiran kami kacau
dan bumi (yang luas) terasa sempit, kami mendatangi beliau (Syaikhul Islam Ibnu
Taimiyah), kami perhatikan dan dengarkan kata-katanya sehingga hilanglah (syubhat)
yang menimpa kami semuanya.”
7. Tetap Bersama Jemaah Kaum Muslimin dan Imam Mereka

34
Hal ini berdasarkan hadits Hudzaifah yang panjang ketika Rasulullah shallalllahu
'alaihi wa sallam menjelaskan akan muncul banyak fitnah, lalu Hudzaifah bertanya
tentang bagaimana sikap yang harus dilakukannya. Maka Beliau bersabda:

‫ َج َر ٍة‬g ‫ش‬ ْ َ ‫ض بِأ‬


َ ‫ ِل‬g ‫ص‬ َّ ‫ق ُكلَّ َها َولَ ْو أَنْ تَ َع‬َ ‫سلِ ِمينَ َوإِ َما َم ُه ْم قُ ْلتُ فَإِنْ لَ ْم يَ ُكنْ لَ ُه ْم َج َما َعةٌ َواَل إِ َما ٌم قَا َل فَا ْعتَ ِز ْل تِ ْل َك ا ْلفِ َر‬
ْ ‫تَ ْلزَ ُم َج َما َعةَ ا ْل ُم‬
‫َحتَّى يُ ْد ِر َك َك ا ْل َم ْوتُ َوأَ ْنتَ َعلَى َذلِ َك‬
“Kamu tetap bersama jamaah kaum muslimin dan imam mereka.” Hudzaifah bertanya,
“Jika mereka tidak memiliki jama’ah dan imam (bagaimana)?” Beliau menjawab:
“Jauhilah semua firqah (golongan) itu, meskipun kamu harus menggigit akar pohon
sampai maut menjemputmu dan kamu berada di atasnya.” (HR. Bukhari dan Muslim)
8. Bersabar dan Teguh di Atas Sunnah
Berpegang dengan sunnah di zaman fitnah sungguh berat, ibarat memegang bara
api. Oleh karena itu, seseorang butuh bersabar. Untuk memperoleh kesabaran di antara
caranya adalah dengan mengkaji Al-Qur’an dengan tafsirnya dan As-Sunnah dengan
syarahnya, memperhatikan akibat baik bagi orang-orang yang bersabar, mempelajari
kisah-kisah para nabi dan para sahabat, menghadiri majlis-majlis ilmu, berkawan
dengan orang-orang shalih, mengingat surga dan neraka, mengingat bahwa hidup di
dunia hanya sementara, dsb.
9. Mengingat Masa Depan Ada di Tangan Islam
Allah Subhaanahu wa Ta'aala berfirman:
“Dan Allah telah berjanji kepada orang-orang yang beriman di antara kamu dan
mengerjakan amal-amal yang saleh bahwa Dia sungguh-sungguh akan menjadikan
mereka berkuasa di muka bumi, sebagaimana Dia telah menjadikan orang-orang
sebelum mereka berkuasa.”
(An-Nuur: 55)
Oleh karena itu, tetaplah mendalami Islam dengan benar, amalkanlah, dakwahkanlah
dan bersabarlah dalam berdakwah. Jika kita sudah melakukannya, niscaya Allah akan
memenangkan Islam sebagaimana Allah telah memenangkan Rasulullah shallalllahu
'alaihi wa sallam dan para sahabatnya dahulu.
10. Berlindung Kepada Allah Dari Fitnah
Rasulullah shallalllahu 'alaihi wa sallam bersabda:
َ‫تَ َع َّو ُذوْ ا بِاهللِ ِمنَ ْالفِتَ ِن َما ظَهَ َر ِم ْنهَا َو َما بَطَن‬

35
"Berlindunglah kepada Allah dari fitnah; yang nampak maupun yang tersembunyi.”
(HR. Muslim)

11. Berdoa Kepada Allah Agar Diberi Keteguhan Hati


Hati manusia semuanya berada di antara dua jari di antara jari-jari Allah, Dia mudah
membalikkannya jika Dia menghendaki (HR. Ahmad dan Muslim). Oleh karena itu,
Rasulullah shallalllahu 'alaihi wa sallam sering berdo’a dengan do’a berikut:
َ ‫ب ثَبِّتْ قَ ْلبِ ْي ع‬
َ‫َلى ِد ْينِك‬ ِ ‫ب ا ْلقُلُ ْو‬
َ ِّ‫يَا ُمقَل‬
“Wahai Allah yang membolak-balikan hati, teguhkanlah hatiku ini di atas agamamu.”
(HR. Tirmidzi dari Anas, lih. Shahihul Jami’ 7864)

36
DAFTAR PUSTAKA

Khasanah, Ida Faridatul. 2015. Iman, Islam, dan Ihsan, Jalan Menuju Surga.
https://www.kompasiana.com/ida_faridatul_khasanah/565e80bc4ef9fd8d06b5351c/ima
n-islam-dan-ihsan-jalan-menuju-surga#:~:text=Iman%20adalah%20beriman%20kepada
%20allah,Nya%20maka%20dia%20melihat%20hamba. Diakses pada 14 Desember
2020.

Tim PAUD IT Al Hasanah. 2020. Apa Perbedaan Islam, Iman, Dan Ihsan?.
https://paudit.alhasanah.sch.id/tahukah-anda/apa-perbedaan-islam-iman-dan-ihsan/.
Diakses pada 14 Desember 2020.

Tim Wawasan Open University. 2013. PENGERTIAN ISLAM, IMAN DAN IHSAN.
https://pengajianislam.pressbooks.com/chapter/pengertian-islam-iman-dan-ihsan/.
Diakses pada 14 Desember 2020.

Marwan, Abu Yahya. 2020. Menghadapi Fitnah Akhir Zaman.


http://www.radioismail.com/artikel/seputar-permasalahan/menghadapi-fitnah-akhir-
zaman. Diakses pada 14 Desember 2020.

Putra, Dian Pratama. 2012. Hubungan Islam dan Sains.


http://guardyan.blogspot.com/2012/11/hubungan-islam-dan-sains.html. Diakses pada 14
Desember 2020.

Sasongko, Agung. 2019. Landasan Agama dalam Pengembangan Sains Islam, Seperti
Apa?. https://www.republika.co.id/berita/islampedia/ilmuwan/19/02/01/plokyw313-
landasan-agama-dalam-pengembangan-sains-islam-seperti-apa. Diakses pada 14
Desember 2020.

37
Niam, Achmad Mukafi. 2019. Ketika Agama Menghadapi Tantangan Sains dan
Teknologi. https://www.nu.or.id/post/read/110473/ketika-agama-menghadapi-
tantangan-sains-dan-teknologi. Diakses pada 14 Desember 2020.

Tim Penulis Umma. 2019. Ini Pengertian Fitnah Menurut Islam yang Wajib Diketahui.
https://umma.id/post/ini-pengertian-fitnah-menurut-islam-yang-wajib-diketahui-
650637?lang=id. Diakses pada 14 Desember 2020.

Sudirman. 2017. Fitnah Besar, Tercampurnya Antara Kebenaran dan Kebatilan.


https://www.hidayatullah.com/kolom/akhir-zaman/read/2017/01/26/110489/fitnah-
besar-tercampurnya-antara-kebenaran-dan-kebatilan.html. Diakses pada 14 Desember
2020.

Ramadhan, Fathiy Syamsuddin. 2015. Penegakan Hukum dalam Perspektif Islam.


https://ervanavrian.wordpress.com/2015/04/07/penegakanhukumislam/. Diakses pada
14 Desember 2020.

Assyaf, Zyam. 2015. Kontribusi Umat Islam dalam Perumusan dan Penegakan Hukum
Indonesia. https://zyamassyaf.wordpress.com/2015/01/15/47/. Diakses pada 15
Desember 2020.

Tim Relawan Wikipedia. 2019. Amar Makruf Nahi Munkar.


https://id.wikipedia.org/wiki/Amar_makruf_nahi_mungkar. Diakses pada 15 Desember
2020.
Ust. Kholid Syamsyudi. 2018. Amar Ma’ruf Nahi Mungkar Menurut Hukum Islam.
https://almanhaj.or.id/2708-amar-maruf-nahi-mungkar-menurut-hukum-islam.html.
Diakses pada 15 Desember 2020.

Ust. Abu Hamzah. 2012. Kewajiban Amar Ma’ruf Nahi Mungkar.


https://asysyariah.com/kewajiban-amar-maruf-nahi-mungkar-2/. Diakses pada 15
Desember 2020.

38
Redaksi Era Muslim. 2020. Menjalani Hidup Penuh Fitnah Akhir Zaman.
https://www.eramuslim.com/suara-langit/penetrasi-ideologi/menjalanai-zaman-penuh-
fitnah.htm#.X9gZHNgzY2x. Diakses pada 15 Desember 2020.
LAMPIRAN

Lampiran 1. Kumpulan Ayat dan Hadist tentang Iman, Islam, dan Ihsan.

ُ ‫صلَّى هَّللا‬ َ ‫ َكانَ النَّبِ ُّي‬:‫ال َح َّدثَنَا إِ ْس َما ِعي ُل بْنُ إِب َْرا ِهي َم أَ ْخبَ َرنَا أَبُو َحيَّانَ التَّ ْي ِم ُّي ع َْن أَبِي ُزرْ َعةَ ع َْن أَبِي هُ َر ْي َرةَ قَا َل‬ َ َ‫َح َّدثَنَا ُم َس َّد ٌد ق‬
َ‫ال ا ِإلي َمانُ أَ ْن تُ ْؤ ِمنَ ِباهَّلل ِ َو َمالئِ َكتِ ِه َو ُكتُبِ ِه َوبِلِقَائِ ِه َو ُر ُسلِ ِه َوتُ ْؤ ِمن‬ ِ ‫ َما‬:‫اس فَأَتَاهُ ِجب ِْري ُل فَقَا َل‬
َ َ‫اإلي َمانُ ق‬ ِ َ‫َعلَ ْي ِه َو َسلَّ َم ب‬
ِ َّ‫ار ًزا يَوْ ًما لِلن‬
َ ‫ي ال َّزكَاةَ ْال َم ْفر‬
، َ‫ُوضةَ َوتَصُو َم َر َمضَان‬ َ ‫صالَةَ َوتُ َؤ ِّد‬ َ ‫ ا ِإل ْسالَ ُم أَ ْن تَ ْعبُ َد هَّللا َ َوالَ تُ ْش ِر‬:‫ال‬
َّ ‫ك ِب ِه َش ْيئًا َوتُقِي َم ال‬ َ َ‫اإل ْسالَ ُم ق‬ ِ ‫بِ ْالبَ ْع‬
َ َ ‫ ق‬،‫ث‬
ِ ‫ َما‬:‫ال‬
‫ َما ْال َم ْسئُو ُل َع ْنهَا بِأ َ ْعلَ َم ِم ْن‬:‫ قَا َل‬،ُ‫ َمتَى السَّا َعة‬:‫ قَا َل‬، َ‫ك تَ َراهُ فَإِ ْن لَ ْم تَ ُك ْن تَ َراهُ فَإِنَّهُ يَ َراك‬
َ َّ‫ أَ ْن تَ ْعبُ َد هَّللا َ كَأَن‬:‫ال‬
َ َ‫ ق‬، ُ‫ َما ا ِإلحْ َسان‬:‫ال‬ َ َ‫ق‬
‫س الَ يَ ْعلَ ُمه َُّن إِالَّ هَّللا ُ ثُ َّم‬
ٍ ‫ فِي َخ ْم‬،‫ان‬ِ َ‫او َل رُ عَاةُ ا ِإلبِ ِل ْالبُ ْه ُم فِي ْالبُ ْني‬
َ َ‫َت األَ َمةُ َربَّهَا َوإِ َذا تَط‬ْ ‫ إِ َذا َولَد‬:‫اطهَا‬ ِ ‫السَّائِ ِل َو َسأ ُ ْخبِرُكَ ع َْن أَ ْش َر‬
‫اس‬ َ َ‫صلَّى هَّللا ُ َعلَ ْي ِه َو َسلَّ َم إِ َّن هَّللا َ ِع ْن َدهُ ِع ْل ُم السَّا َع ِة اآليَةَ ثُ َّم أَ ْدبَ َر فَق‬
َ َّ‫ال ُر ُّدوهُ فَلَ ْم يَ َروْ ا َش ْيئًا فَقَا َل َه َذا ِجب ِْري ُل َجا َء يُ َعلِّ ُم الن‬ َ ‫تَالَ النَّبِ ُّي‬
‫ِدينَهُ ْم‬
“Musaddad telah menceritakan kepada kami, ia berkata bahwa Isma’il ibn
Ibrahim telah menceritakan kepada kami, Abu Hayyan al-Taimiy dari Abi Zur’ah telah
menyampaikan kepada kami dari Abu Hurairah r.a berkata:
Pada suatu hari ketika Nabi saw. sedang duduk bersama sahabat, tiba-tiba
datang seorang laki-laki dan bertanya, “apakah iman itu?”. Jawab Nabi saw.: “iman
adalah percaya Allah swt., para malaikat-Nya, kitab-kitabnya, dan pertemuannya
dengan Allah, para Rasul-Nya dan percaya pada hari berbangkit dari kubur. ‘Lalu
laki-laki itu bertanya lagi, “apakah Islam itu? Jawab Nabi saw., “Islam ialah
menyembah kepada Allah dan tidak menyekutukan-Nya dengan suatu apapun,
mendirikan shalat, menunaikan zakat yang difardhukan dan berpuasa di bulan
Ramadhan.” Lalu laki-laki itu bertanya lagi: “apakah Ihsan itu?” Jawab Nabi saw.,
“Ihsan ialah bahwa engkau menyembah kepada Allah seakan-akan engkau melihat-
Nya, kalau engkau tidak mampu melihat-Nya, ketahuilah bahwa Allah melihatmu.
Lalu laki-laki itu bertanya lagi: “apakah hari kiamat itu? “Nabi saw. menjawab:
“orang yang ditanya tidak lebih mengetahui daripada yang bertanya, tetapi saya
memberitahukan kepadamu beberapa syarat (tanda-tanda) akan tibanya hari kiamat,
yaitu jika budak sahaya telah melahirkan majikannya, dan jika penggembala onta dan
ternak lainnya telah berlomba-lomba membangun gedung-gedung megah. Termasuk

39
lima perkara yang tidak dapat diketahui kecuali oleh Allah, selanjutnya Nabi saw.
membaca ayat: “Sesungguhnya Allah hanya pada sisi-Nya sajalah yang mengetahui
hari kiamat… (ayat).
Kemudian orang itu pergi. Lalu Nabi saw. bersabda kepada para sahabat:
“antarkanlah orang itu. Akan tetapi para sahabat tidak melihat sedikitpun bekas orang
itu. Lalu Nabi saw.bersabda: “Itu adalah Malaikat Jibril a.s. yang datang untuk
mengajarkan agama kepada manusia.” (HR. Bukhari, Muslim, Abu Dawud, at-
Turmudzi, Ibnu Majah dan Ahmad bin Hambal).

‫حدثنا عبد هللا بن محمد قال حدثنا أبو عامر العقدي قال حدثنا سليمان بن بالل عن عبد هللا بن دينار عن أبي صالح عن أبي‬
) ‫ ( اإليمان بضع وستون شعبة والحياء شعبة من اإليمان‬: ‫هريرة رضي هللا عنه عن النبي صلى هللا عليه و سلم قال‬
“Abdulloh bin Muhammad telah bercerita kepada kita, seraya berkata; Abu Amir al
Aqdi bercerita kepada kita seraya berkata ; sulaiman bin bilal telah bercerita kepada
kita dari abdulloh bin dinar dari abu sholih dari abu hurairoh ra. Dari Nabi SAW.
Beliau bersabda : “iman terdiri dari 70 lebih sekian cabang, sedangkan malu termasuk
salah satu cabang darinya”.

‫حدثنا عبيد هللا بن موسى قال اخبرنا حنظلة بن أبي سفيان عن عكرمة بن خالد عن ابن عمر رضي هللا عنهما قال‬
: ‫قال رسول هللا صلى هللا عليه و سلم ( بني اإلسالم على خمس شهادة أن ال إله إال هللا وأن محمدا رسول هللا وإقام الصالة‬
) ‫وإيتاء الزكاة والحج وصوم رمضان‬
Abdulloh bin musa telah bercerita kepada kita, dia berkata ; handlolah bin abi sufyan
telah memberi kabar kepada kita d ari ikrimah bin kholid dari abi umar ra. Berkata :
rasul saw. Bersabda : islam dibangun atas lima perkara : persaksian sesungguhnya
tidak ada tuhan selain Allah dan sesungguhnya nabi Muhammad adalah utusannya,
mendirikan sholat, memberikan zakat, hajji dan puasa ramadlan”.

‫قال علي كرم هللا وجهه إن اإليمان ليبدو لمعة بيضاء فإذا عمل العبد الصالحات نمت فزادت حتى ي•بيض القلب كل•ه وإن النف•اق‬
‫ليبدو نكتة سوداء فإذا انتهك الحرمات نمت وزادت حتى يسود القلب كله‬
“Sahabat Ali kw. Berkata : sesungguhnya iman itu terlihat seperti sinar yang putih,
apabila seorang hamba melakukan kebaikan, maka sinar tersebut akan tumbuh dan
bertambah sehingga hati (berwarna) putih. Sedangkan kemunafikan terlihat seperti titik
hitam, maka bila seorang melakukan perkara yang diharamkan, maka titik hitam itu
akan tumbuh dan bertambah hingga hitamlah (warna) hati.”

40
41

Anda mungkin juga menyukai