Anda di halaman 1dari 35

KAJIAN ISLAM

1. Iman, Islam, Ihsan


2. Islam dan Sains
3. Islam dan Penegakan Hukum
4. Kewajiban Menegakkan Amar Makruf dan Nahi Munkar
5. Fitnah Akhir Zaman

Disusun sebagai tugas terstruktur Mata Kuliah: Pendidikan Agama Islam

Dosen Pengampuh:

Dr. Taufiq Ramdani, S.Th.I., M.Sos

Disusun Oleh:

Nama : Sarita Khautzara

NIM : F1C020134

Fakultas/Prodi : Teknik/Teknik Mesin

Semester : 1 (satu)

PROGRAM STUDI TEKNIK MESIN

FAKULTAS TEKNIK

UNIVERSITAS MATARAM

TAHUN AJARAN 2020/2021

i
KATA PENGANTAR

Segala puja dan puji syukur senantiasa penulis panjatkan kepada Allah SWT
yang telah memberikan rahmat dan hidayah-Nya sehingga dalam mengerjakan tugas ini
penulis tidak mengalami kendala yang berarti, hingga terselesaikan sebuah artikel yang
berjudul “Kajian Islam”.
Shalawat serta salam tidak lupa penulis haturkan kepada baginda besar
Muhammad saw, karena tanpanya para umat muslim tidak akan melihat terangnya
kehidupan sampai saat ini.
Pada kesempatan kali ini, penulis ingin mengucapkan terima kasih yang sebesar-
besarnya kepada guru pembimbing penulis. Yang terhormat Bapak Dr. Taufiq Ramdani,
S.Th.I., M.Sos, sebagai pengampuh mata kuliah Agama Islam, yang telah membimbing
penulis dalam menyusun artikel ini. Tanpa bimbingan beliau penulis tidak mungkin
menyelesaikan artikel ini tepat waktu.

Penyusun sangat menyadari tidak ada manusia yang sempurna, begitu juga
dalam penyusunan artikel ini, apabila nantinya terdapat kekurangan, kesalahan dalam
artikel ini, penyusun sangat berharap kepada pembaca agar dapat memberikan kritik dan
juga saran sepenuhnya.
Akhir kata, semoga artikel ini dapat memberikan manfaat kepada kita semua.

Penulis, Mataram, 18 Desember 2020

Nama : Sarita Khautzara


NIM : F1C020134

ii
DAFTAR ISI

HALAMAN COVER .................................................................................................. i

KATA PENGANTAR ................................................................................................. ii

DAFTAR ISI ............................................................................................................... iii

1. Iman, Islam, Ihsan ................................................................................................ 1


2. Islam dan Sains ..................................................................................................... 5
3. Islam dan Penegakan Hukum ............................................................................... 11
4. Kewajiban Menegakan Amar Makruf dan Nahi Munkar ..................................... 19
5. Fitnah Akhir Zaman ............................................................................................. 27

DAFTAR PUSTAKA .................................................................................................. 31

iii
1. Iman, Islam, Ihsan
Makna dan Tingkatan Islam
Dalam hadits Arbain yang kedua, Rasulullah pernah ditanya oleh malaikat Jibril
tentang Islam. Kemudian Nabi Muhammad menjawab,

Islam itu engkau bersaksi bahwa tidak ada sesembahan (yang haq) selain Alloh
dan bahwasanya Muhammad adalah utusan Alloh, engkau dirikan sholat, tunaikan
zakat, berpuasa romadhon dan berhaji ke Baitulloh jika engkau mampu untuk
menempuh perjalanan ke sana.

Jawaban Nabi mengatakan bahwa Islam adalah apa yang disebut dengan rukun
Islam. Yaitu amalan – amalan lahiriyah yang mencakup syahadat, shalat, puasa,
zakat, dan haji. Saat seseorang melakukan 5 amalan ini, maka orang tersebut
dikatakan sebagai muslim.

Makna dan Tingkatan Iman


Masih dalam hadits yang sama, kemudian malaikat Jibril bertanya mengenai
Iman kepada Rasulullah. Lalu Rasulullah menjawab,

Iman itu ialah engkau beriman kepada Alloh, para malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya,
para Rosul-Nya, hari akhir dan engkau beriman terhadap qodho’ dan qodar; yang
baik maupun yang buruk.

Dalam definisi ini, maka iman merupakan hal – hal yang mencakup amalan
batin. Yaitu keimanan atau kepercayaan terhadap Allah, malaikat-Nya, kitab-Nya,
para rasul-Nya, hari akhir, dan juga keimanan kepada takdir. Orang yang sudah
mencapai derajat keimanan maka disebut sebagai mukmin.
Keimanan merupakan sesuatu yang lebih khusus dibandingkan keislaman. Jadi,
ketika seseorang disebut sebagai mukmin, maka orang tersebut sudah pasti seorang
muslim. Namun, tidak setiap muslim adalah seorang mukmin.

1
Makna dan Tingkatan Ihsan
Tingkatan yang ketiga adalah Ihsan. Saat Rasulullah ditanya oleh malaikat Jibril
mengenai perkara ihsan, maka Rasulullah menjawab,

Yaitu engkau beribadah kepada Alloh seolah-olah engkau melihat-Nya, maka


apabila kamu tidak bisa (beribadah seolah-olah) melihat-Nya, maka sesungguhnya
Dia melihatmu.

Perkara ihsan adalah perkara yang mencakup cara dan rasa seorang muslim
dalam beribadah. Ada dua tingkatan dalam ihsan. Yaitu seseorang yang beribadah
seakan mampu melihat Allah, dan jika tidak mampu, maka orang tersebut
beribadah dengan rasa diperhatikan oleh Allah.
Tingkatan ihsan ini merupakan tingkatan tertinggi seorang muslim karena
melibatkan perkara lahir dan batin. Seseorang yang mampu menjalani ibadah
dengan perasaan seperti ini akan dapat melaksanakan ibadah dengan rasa harap dan
ingin sebagaimana seorang hamba bertemu rajanya. Atau dengan perasaan takut
dan cemas akan siksa yang didapat.
Orang yang mampu beribadah dengan perasaan tersebut akan lebih mudah
mendapatkan manfaat sebenarnya dari suatu ibadah. Dan orang – orang semacam
ini akan disebut sebagai muhsin. Derajat muhsin ini hanya dapat dicapai jika
seseorang telah menjadi muslim dan mukmin terlebih dahulu.
Diriwayatkan dalam sebuah hadits, Rasulullah Nabi Muhammad SAW pernah
menjelaskan tentang Islam, iman dan ihsan dalam majelis yang dihadiri para
sahabat dan didatangi Malaikat Jibril. Islam, iman, dan ihsan ini tidak bisa
dipisahkan karena semuanya adalah satu kesatuan yang disebut agama Islam.
Ustadz Galih Maulana dalam buku Antara Fiqih dan Tasawuf terbitan Rumah
Fiqih Publishing menjelaskan mengapa Islam, iman dan ihsan adalah satu kesatuan
yang disebut agama Islam.
Ia menerangkan, meski Islam, iman dan ihsan disebut bertingkat-tingkat tapi
bukan berarti maknanya mengerjakan satu level ke level berikutnya. Jadi yang
dimaksud tingkatan adalah tingkatan keimanan.

2
"Artinya yang tadinya keimanannya lemah, mengerjakan ibadah tidak optimal,
masih suka bermaksiat, sampai pada tingkat keimanan tinggi yang mana mampu
merasakan muroqobatullah," kata Ustadz Galih dalam bukunya.

Ia mencontohkan orang yang imannya masih lemah. Maka orang tersebut akan
mengerjakan sholat, namun sholatnya tidak khusyuk, tidak menjaga adab-adab dan
sebagainya.
Lain halnya dengan orang yang sudah mencapai derajat ihsan. Ketika orang
tersebut sholat, hatinya khusyuk, adab-adabnya dijaga, sunah-sunahnya dijaga, dan
sholatnya akan membentenginya dari berbuat maksiat.
Inilah yang sangat sulit dilakukan oleh kebanyakan orang. Karena dalam
praktiknya meskipun telah mengerjakan suatu ibadah lengkap dengan semua rukun
dan sunahnya, tetapi belum tentu mampu menghadirkan hati sepenuhnya untuk
tunduk dan merendahkan diri di hadapan Allah SWT.

"Mungkin saja raga kita melaksanakan sholat tetapi hati kita sibuk bersama dunia,"
ujar Ustaz Galih.

Ia menjelaskan, begitu juga dalam bermuamalah dengan manusia dan alam.


Mungkin orang berakhlak baik hanya ketika ada kepentingan. Mungkin orang
berakhlak baik hanya kepada golongannya saja. Padahal berakhlak baik adalah
jenis ibadah juga.
Rasulullah bersabda, "Tidak ada sesuatu pun yang lebih berat dalam timbangan
seorang mukmin di hari kiamat melainkan akhlak yang baik, dan sesungguhnya
Allah sangat membenci orang yang suka berbicara keji lagi kotor."
Ustadz Galih mengingatkan, inilah pentingnya belajar tasawuf di samping
belajar fikih.

"Barang siapa bertasawuf tanpa fiqih maka akan menjadi zindiq, barang siapa
berfiqih tanpa tasawuf maka akan menjadi fasiq, dan barang siapa mengamalkan
keduanya maka akan mencapai hakikat."

3
Ustadz Galih mengatakan, meski penisbatan ucapan (kutipan) tersebut kepada
Imam Malik masih diperbincangkan, namun maknanya memang benar adanya.
Ketika orang bertasawuf namun tidak mempunyai pengetahuan tentang fiqih akan
menjadi zindiq, ia akan seenaknya meninggalkan sholat karena merasa sudah dekat
dengan Allah.
Begitu juga orang yang tahu fiqih namun tidak bertasawuf. Orang itu akan
bermudah-mudahan dalam menjalankan syariat, sholat asal-asalan yang penting
sah.

"Intinya Islam, iman dan ihsan adalah satu kesatuan yang dinamakan agama Islam,
semuanya berjalan bersama beriringan, barang siapa memisahkannya maka telah
berkurang sebagian dari agama," jelasnya.

4
2. Islam dan Sains
Untuk memperjelas hubungan antara Sains dan Islam diperlukan kajian
mendalam mengenai makna Islam itu sendiri. Islam adalah sebuah nama agama
yang jika ditelusuri makna ontologinya dalam bahasa Arab berarti keselamatan atau
ketaatan kepada perintah tanpa menolaknya. Islam dari kata aslama berarti masuk
kepada Islam, yakni mengikhlaskan din kepada Allah atau juga berserah diri kepada
Allah. Berakar dari kata salima-yaslamu yang berarti selamat, berserah diri dan rela
kepada suatu hukum dan aslama-yuslimu yaitu menampakkan ketaatan dan
mengikuti syariat yang dibawa oleh Rasulullah SAW, taat kepada perintah Allah
dan mengikhlaskan diri untuk beribadah kepada Allah. Sedangkan muslim adalah
orang yang beragama Islam dan berserah diri dan menerima ajaran Rasulullah
SAW.
Umumnya, Islam dianggap sebagai agama yang kadangkala diterjemahkan
menjadi religion atau dalam bahasa Arab berarti din. Penerjemahan dan pemaknaan
ini sebenarnya perlu dikaji lebih mendalam. Perbedaan kata dan bahasa akan sangat
mempengaruhi keyakinan dan worldview manusia dalam memahami konsepsi
segala sesuatu. Jika Islam dianggap sebagai agama, dalam bahasa Indonesia, ia
berarti sistem yang mengatur tata keimanan (kepercayaan) kepada Tuhan yang
Maha Kuasa, tata peribadatan, dan tata kaidah yang bertalian dengan pergaulan
manusia dan manusia serta lingkungannya dengan kepercayaan itu. Sedangkan
religion berarti kepercayaan terhadap keberadaan Tuhan yang berimplikasi pada
menjalankan ritual untuk menyembahnya dan adanya berbagai ajaran yang
berdimensi spiritual.
Menurut Jujun S. Suriasumantri, penerjemahan kata sciene menjadi ilmu atau
ilmu pengetahuan memiliki masalah yang pokok. Selanjutnya, ia mengusulkan kata
padaan untuk ilmu adalah knowledge, sedangkan science adalah ilmu pengetahuan.
Demikian pula, Syed Naquib al-Attas juga memberikan catatan khusus mengenai
penyebutan sains sebagai ilmu tersebut dikarenakan ilmu merupakan istilah dari
bahasa Arab yaitu ‘ilm. Sedangkan makna ‘ilm dalam bahasa Arab mencakup
ma’rifah (ilmu pengenalan) dan ilmu pengetahuan (sains). Karena keduanya
memiliki implikasi masing-masing.

5
Sains Islam secara khusus dapat didefinisikan sebagai aktifitas saintifik atau
ilmiah yang memiliki dasar atau berpedoman pada Islamic worldview (yaitu
penggunaan konsep “natural” secara Islamiy) dan merupakan pengejawentahan
secara langsung dari skema konseptual saintifik yang Islamiy. Tentunya dalam
pencapaian kegiatan saintifik/ ilmiah ini, Islam juga menekankan adanya sumber-
sumber dan metode ilmu tersebut. Islam memandang sains yang bersifat fisik tidak
hanya pada tataran lahiriyah saja, namun juga adanya tujuan, kebenaran, dan
pengakuan wahyu sebagai satu-satunya suber ilmu tentang realitas dan kebenaran
yang terkait dengan makhluk dan khaliknya. Artinya, dalam melakukan kegiatan
saintifik, para ilmuwan muslim yang berpedoman al-Qur’an dan Hadits akan dapat
melahirkan produk sains yang membawa maslahat bagi kehidupan manusia, baik
jangka panjang maupun jangka pendek.
Sains menurut Islam secara pokok merupakan sebuah jenis ta’wil atau
interpretasi alegoris dari benda-benda empiris yang menyusun dunia alam. Sains
semacam itu harus mendasarkan dirinya secara tetap pada tafsir atau interpretasi
dari penampakan atau makna yang jelas dari benda-benda dalam alam. Penampakan
dan makna mereka yang jelas berurusan dengan tempat mereka di dalam sistem
hubungan dan tempat mereka menjadi nampak pada pemahaman kita ketika batas
kebenaran dari arti mereka dikenali. Saat ini, filsafat modern telah menjadi penafsir
sains, dan mengorganisir hasil sains alam dan sosial ke dalam sebuah pandangan
dunia. Interpretasi itu pada gilirannya menentukan arah yang diambil sains dalam
studi alam. Adalah interpretasi tentang pernyataan ini dan kesimpulan umum sains
dan arah sains sepanjang garis yang ditawarkan oleh interpretasi yang harus
diletakkan pada evaluasi kritis.
Dalam Islam, sains sangat terikat dengan ilmu pengatahuan dan iman. Karena
sifat dari kandungan proposisionalnya sama dengan sifat dari prinsip pertama
logika dan pengetahuan metafisika, etika, dan estetika; maka dengan sendirinya
dalam diri subjek ia bertindak sebagai cahaya yang menerangi segala sesuatu.
Bahwa iman adalah suatu visi yang menempatkan semua data dan fakta dalam
perspektif yang sesuai dengan, dan perlu bagi, pemahaman yang benar atas mereka.
Ia adalah dasar bagi penafsiran yang rasional atas alam semesta sebagaimana ia
merupakan prinsip utama dari akal, tidak mungkin bersifat non-rasional dan

6
bertentangan dengan diri sendiri. Alam semesta yang menjadi sumber realitas
penalaran sains merupakan gambaran yang tak terpisahkan dari wujud Allah.
Karena di balik wujud dan realitas alam semesta ini terdapat dimensi metafisik dan
tujuan dari penciptaannya. Sains dalam Islam ditujukan untuk melakukan
pembuktian terhadap isyarat-isyarat untuk pencarian ilmu sebagaimana tertera
dalam al-Qur’an.
Sepanjang sejarahnya, Islam telah hadir dengan beragam ilmu pengetahuan dan
melahirkan ribuan intelektual Muslim. Ilmu pengetahuan yang dikembangkan,
memudahkan manusia dalam membangun peradaban dunia.
Bahkan, pada abad ke-6 hingga 14 Masehi, Islam mengalami masa kejayaannya
(The Golden Age of Islam). Saat itu, sejumlah intelektual Muslim berhasil
mewujudkan karya-karya mereka dengan bersumber dari Alquran. Dan, Islam pun
identik dengan sains dan teknologi.
Untuk menggambarkan kegemilangan itu, seorang sejarawan sains terkemuka,
George Sarton, menuliskan dalam jilid pertama bukunya yang terkenal di bidang
ini, Introduction to the History of Science.

''Cukuplah kita menyebut nama-nama besar yang tak tertandingi di masa itu oleh
seorang pun di Barat: Jabir bin Hayyan, al-Kindi, al-Khawarizmi, ar-Razi, al-
Farabi, at-Tabari, al-Biruni, Ibnu Sina, serta Umar Khayyam. Jika seorang
mengatakan kepada Anda bahwa Abad Pertengahan sama sekali steril dari kegiatan
ilmiah, kutiplah nama-nama ilmuwan tersebut di atas. Mereka semua hidup dan
berkarya dalam periode yang amat singkat, yakni dari 750 hingga 1100 M.''

Dalam Ensiklopedi Tematis Dunia Islam: 'Pemikiran dan Peradaban' disebutkan


bahwa perkembangan sains dan teknologi dalam sejarah Islam tidak bisa dilepaskan
dari tiga landasan, yakni landasan agama, filsafat, dan kelembagaan.
Pengembangan sains dalam sejarah Islam sejalan dengan perintah Alquran untuk
mengamati alam dan menggunakan akal, dua dasar metodologis sains. Alquran
sendiri merupakan sumber pertama ilmu, seperti yang dinyatakan dalam surat an-
Nisa' ayat 82: ''Maka, apakah mereka tidak memerhatikan Alquran? Kalau kiranya

7
Alquran itu bukan dari sisi Allah, tentulah mereka mendapat pertentangan yang
banyak di dalamnya.''
Perintah penggunaan akal sebagai dasar kerasionalan ilmu dengan perintah
mengamati alam sebagai dasar keempirikan ilmu selalu berjalan seiring, misalnya
dalam surat ar-Rum ayat 22, al-Baqarah ayat 164, Ali 'Imran ayat 190-191, Yunus
ayat 5, dan al-An'am ayat 97. Firman Allah SWT juga sering disertai pertanyaan
afala ta'qilun (mengapa tidak kau gunakan akalmu) dan afala tatafakkarun
(mengapa tak kau pikirkan).

Ilmuwan Muslim yang Berpengaruh di Dunia


a) Ibnu Sina (980-1037)
Ibnu Sina merupakan seorang ilmuwan muslim dunia yang berkontribusi
besar di bidang kedokteran. Pemilik nama lengkap Abu Ali al-Huseyn bin
Abdullah bin Hasan Ali bin Sina ini lahir di bulan shafar 370 H atau Agustus
980 M. Beliau telah melakukan penelitian besar yang diabadikan oleh sejarah
ilmu kedokteran di dunia.
Ibnu Sina memiliki semangat belajar yang luar biasa, berbagai bidang
ilmu beliau pelajari. Tidak hanya belajar di bidang kedokteran, Ibnu Sina juga
mempelajari bidang teologi dan matematika. Sehingga tidak mengherankan
apabila di usia 16 tahun beliau menjadi pusat perhatian para dokter pada
zamannya.
Tidak hanya itu, Ibnu Sina juga merupakan salah seorang yang pertama
kali menemukan cara pengobatan bagi orang yang sakit dengan cara
menyuntikan obat ke tubuh penderita. Maka tidak heran apabila beliau diberi
julukan al-Ra’s atau puncak gunung pengetahuan.
Semangat belajar dan etos kerja yang tinggi telah membuat Ibnu Sina
menjadi salah satu ilmuwan muslim besar yang penting di dunia. Pada tahun
428 H atau 1037 M Ibnu Sina wafat di Hamdzan, Persia.Meskipun demikan,
karya-karya serta pemikirannya hingga kini masih terus dikembangkan dan
dipelajari para ilmuwan dunia.

b) Al-Khawarizmi (780-850)

8
Ilmuwan muslim yang berpengaruh di dunia berikutnya ialah Al-
Khawarizmi. Beliau dikenal sebagai salah satu ilmuwan muslim yang
berkontribusi besar di bidang matematika, geografi dan astronomi. Pemilik
nama lengkap Muhammad Ibn Musa al-khawarizmi ini lahir di Khwarezmia,
Uzbekiztan pada tahun 780 Masehi.
Salah satu penemuan terbesar dari Al-Khawarizmi ialah menciptakan
pemakaian Secans dan Tangen dalam penyelidikan trigonometri dan astronomi.
Tidak hanya itu, beliau juga ahli di bidang yang lain seperti falsafah,
aritmatika, musik, geometri, sejarah islam dan kimia. Al-Khawarizmi juga
merupakan seorang tokoh yang pertama kali memperkenalkan Aljabar dan
hisab.
Berbagai bidang ilmu pengetahuan telah beliau temukan, salah satunya
konsep matematika yang hingga kini masih digunakan. Al-Khawarizmi wafat
antara tahun 220 M dan 230 M, sumber lain mengatakan bahwa beliau
meninggal pada tahun 266 H atau 850 M di Baghdad.

c) Ibnu al-Nafis (1213-1288)


Ibnu al-Nafis merupakan seorang ilmuwan islam di bidang kedokteran
yang terkenal di dunia. Pada abad ke -13 Masehi Beliau telah mampu
merumuskan dasar-dasar sirkulasi jantung, paru-paru dan kapiler pertama kali
di dunia. Berkat jasanya yang sangat luar biasa tersebut Ibnu al-Nafis
dianugerahi Bapak Fisologi Sirkulasi.
Ibnu al-Nafis lahir di Damaskus atau Suriah pada tahun 1210 dan
meninggal dunia di Mesir pada 17 Desember 1288. Selain memberikan
kontribusi di bidang kedokteran, Ibnu al-Nafis jugs dikenal sebagai ilmuwan
muslim yang serba bisa. Beliau berhasil memperkenalkan sebuah klasifikasi
ilmu hadits yang lebih logis.

d) Ibnu Khaldun (1332-1406)


Waliuddin Abdurrahman bin Muhammad bin Muhammad bin Abi Bakar
Muhammad bin al-Hasan atau dikenal Ibnu Khaldun merupakan seorang

9
sejarawan dan sosialogi islam yang terkenal di dunia. Beliau lahir di Tunisia
pada 1 Ramadhan 732 H atau 27 Mei 1332 Masehi.
Sejak kecil Ibnu Khaldun sudah dikenal sebagai seorang yang hafal Al-
Quran. Maka tak heran apabila beliau mampu melahirkan karya-karya dan
pemikiran yang luar biasa. Hingga kini karya-karyanya di bidang sosiologi
islam terus dikembangkan dan menjadi karya yang monumental.

e) Jabir Ibn- Hayyan (721-815)


Jabir Ibn-Hayyan merupakan ilmuwan muslim besar yang sering disebut
sebagai “the father of modern chemitry”. Beliau seorang ahli dibidang kimia,
fisika, farmasi yang telah mengubah presepsi tentang berbagai kejadian alam
yang pada saat itu dianggap sebagai sesuatu yang tidak dapat diprediksi.
Beberapa penemuan-penemuannya di bidang kimia telah menjadi dasar
bagi berkembangnya ilmu kimia moderen saat ini. Tidak hanya itu, Jabir Ibn-
Hayyan dapat mengaplikasikan pengetahuannya di bidang kimia kimia
kedalam proses pembuatan logam dan besi.

f) Al Zahrawi (936-1013)
Al Zahrawi merupakan salah satu ilmuwan muslim terkenal di dunia.
Beliau seorang tokoh yang meletakkan dasar-dasar ilmu bedah moderen.
Hingga kini karya-karya dan pemikirannya dijadikan kurikulum pendidikan
kedokteran di Eropa.
Beliau merupakan keturunan Arab Ansar yang menetap di Spanyol. Al-
Zahrawi dikenal sebagai salah satu ilmuwan muslim yang paling jenius di
zamannya.

10
3. Islam dan Penegakan Hukum
A. Hukum dan Keadilan dalam Islam
Seorang hakim dalam Islam memiliki kewenangan yang luas dalam
melaksanakan keputusan hukum dan bebas dari pengaruh siapapun. Hakim
wajib menerapkan prinsip keadilan dan persamaan terhadap siapapun. Al-
Qur’an dalam surat an-Nisa ayat 58 telah menetapkan garis hukum:

....ِ‫الباْوـــ ُ ُم ْك َح ْتنِاِساـــَّنالَ ْنيَبْمـ ُ ْت َم َكحا َ ِذاَو‬ ْ


ِ ‫لدـــ َ ْع‬....

“bila kamu menetapkan hukum antara manusia, maka hendaklahkamu tetapkan


dengan cara adil”

Putusan seorang hakim harus mencerminkan rasa keadilan hukum


dengan tidak memandang kepada siapa hukum itu diputuskan. Sikap ini
didasarkan pada firman Allah dalam surat al-Maidah ayat 8:

‫بءاَدَهـ ُ ِشلل ْه ِعاىَوْ قــَّتلِلُبَرــْقَا َ ُوهاْ ُولِد‬ ْ ‫ْا ُونَمآ َ ْنيِ َّذالاَهُّيَأَيَ ْنيِما َّ َوقاْ ُو ْن ُوكاْ ُولِ ْدعــَتَّالَاىَلَ ٍع ْم َوقُنَأَنـ َ ْش ُمكــَّنَ ِمرْ جـَيَالَ ِو‬
ِ ‫ط ِس ْق‬
َ ‫ال‬

“Hai orang-orang yang beriman, hendaklah kamu menjadi orang yang lurus
karena Allah, menjadi saksi yang adil dan janganlah kebencianmu terhadap
suatu kaum menyebabkan kamu berlaku tidak adil. Bersikaplah adil, karena adil
itu lebih dekat kepada taqwa”

11
Dari ayat di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa sikap adil itu tidak akan
memihak kepada siapapun kecuali kepada kebenaran. Di sisi lain Allah
menegaskan dalam surat an-Nisa ayat 135:

ْ
ْ ‫وا ُولِدـْ َع ْتنَاىَوــَه‬
َ‫ْالا ُوعــِبَّتَتَال‬ ْ َ ‫البَ ْنيِما َّ َوقاْ ُو ْننِا‬ ْ ‫ُوكاْ ُونـ َ َمأ َ ْنيِ َّذالاَهـُّيَأَيَ ْنيِبَرــْقَألاَ ِو ْنيَ ِدالَوْ ِال َو ْا ِم ِهسُفــْنَاىَلَ ْع َولَ ِوهللَءاَدَهـ ُ ِش‬
ِ ‫ط ِس ْق‬
‫ضرْ عُتًاـًّ†ر‬ِ ‫فاـ َ ِم ِهبىَ ْل َواُللهاَفًاـًّ†رـْيِقـ َ ْف َوااًـ†ـًّيِنـ َ َغ ْن ُوكــ َ ْينَاْ َو ْااوُوْ لـَتـْيِبَ َخ ْن ُولَمـْ َعتا َ ِمبَنا َ َكاللهَّنِإَفا ُو‬

“Wahai orang-orang yang beriman jadilah kamu orang yang benar-benar


penegak keadilan, menjadi saksi karena Allah biarpun terhadap dirimu sendiri
atau ibu bapakmu dan kaum kerabatmu, jika ia kayaatau miskin, maka Allah
lebih tahu kemaslahatannya. Maka janganlah kamu mengikuti hawa nafsu
karena ingin menyimpang dari kebenaran, dan jika kamu memutarbalikkan kata
atau enggan menjadi saksi,maka sesungguhnya Allah maha mengetahui segala
sesuatu yangkamu kerjakan”
Dari ayat ini dapat ditarik tiga hukum,pertama,menegakkan hukum
adalah kewajiban bagi semua orang.Kedua,setiap orang apabila menjadi saksi
hendaklah berlaku jujur dan adil.Ketiga,manusia dilarang mengikuti hawa nafsu
serta dilarang menyeleweng dari kebenaran. Keadilan dalam Islam adalah
kebenaran, kebenaran merupakan salah satu nama Allah. Dia adalah sumber
kebenaran yang dalam al-Qur’an disebutal-Haq.
Marcel A. Boisard mencatat bahwa anjuran-anjuran moral adalah dua hal
yang ekstrim, kebajikan adalah tengah, tengah itu adalah keadilan dan kebajikan
adalah hal yang fundamental. Ia adalah keadilan yang tepat, yang jauh dari rasa
kebencian, yang menghormati segala proporsi. Prinsip keadilan ini sangat
ditekankan dengan kuat, karena dalam doktrin Islam, keadilan adalah motivasi
keagamaan yang esensi.
Apabila keadilan dikaitkan dengan hukum, maka dua hal tersebut dalam
tatanan peradilan Islam dianggap sebagai sesuatuinterdependetie.Lahirnya
hukum dituntut adanya rasa keadilan, terwujudnya keadilan melahirkan teori
keadilan, teori keadilan perlu diwujudkan dalam hukum, dan hukum harus
melahirkan keputusan hukum yang mencerminkan rasa keadilan. Islam

12
merupakan sendi yang fundamental dalam rangka penegakan supremasi hukum.
Maka dalam suatu tatanan masyarakat sangat memerlukan lembaga peradilan
yang menciptakan rasa dan nilai keadilan. Lembaga peradilan merupakan
tempat memutar roda keadilan guna menjaga keseimbangan hidup dalam
masyarakat. Hal ini bisa dilihat dari praktik Rasulullah, sebagaimana
dinyatakan dalam hadis: Ketika Uzamah binti Zaid meminta maaf atas
kesalahan Fatimah binti al-Aswad karena telah mencuri, maka Rasulullah
berkata, “Apakah kamu meminta syafaat mengenai sesuatu dari hukuman yang
telah ditetapkan oleh Allah”. Kemudian Rasulullah bersabda:

ِ‫ضوْ الىَلَ َّع َدحْ الَن ُوميِقُيا ُونا َ ْك ُمهَّنَأْ ُم َك ْلبَقَنا َ ْكنَ َم َكلَها َ َّمنِإ ِ ْســـــــــــــــــــــــــــــــــــــــــــــــفَني‬
َ ِ‫َّذالَ َوفيِرَّشالَن ُو ُكرْ تَيَ ِوعي‬
‫اَهَ َديُ ْت َعطَقَلَ ِكلَ ْذتَلَ َعفَةَ ِمطاَفَّنَأْ َولِ ِه َديِب‬

“Bahwasanya yang menyebabkan kehancuran umat sebelum kamu ialah mereka


menegakkan had terhadap kaum lemah dan meninggalkan had terhadap kaum
bangsawan. Saya bersumpah demi Allah seandainya Fatimah putri Muhammad
mencuri niscaya akan kupotong tangannya”

Prinsip keadilan dalam menegakkanhukum yang dilakukan oleh


Rasulullah semata-mata menjalankan keadilan Ilahi. Rasulullah sebagai hakim
pada saat itu hanya mengemban hukum Allah sehingga setiap keputusannya
selalu berpegang kepada hukum Allah yaitu al-Qur’an. Sedang al-Qur’an
sendiri memberi petunjuk bahwa kita disuruh berlaku adil, baik untuk diri
sendiri maupun keluarga dan jangan mengikuti hawa nafsu karena ingin
menyimpang dari kebenaran. Di sini Nabi bersikap sebagai seorang penguasa
atau eksekutif sekaligus sebagai yudikatif. Namun bila dihadapkan dengan
tugasnya sebagai yudikatif, maka kekuasaan eksekutif tidak akan
mempengaruhi setiap keputusannya.
Apabila prinsip keadilan dihubungkan dengan hukum, maka harus ada
intervensi kekuasan yang dapat mengantarkan ke arah tegaknya hukum. Ada
beberapa tugas pokok bagi penyelenggara negara dalam rangka menegakkan
supremasi hukum.

13
Pertama, kewajiban menerapkan kekuasaan negara dengan adil, jujur dan
bijaksana. Seluruh rakyat tanpa kecuali, harus dapat merasakan nikmat keadilan
yang timbul dari kekuasaan negara. Misalnya, implementasi kekuasaan negara
dalam bidang politik dan pemerintahan. Semua rakyat harus dapat merasakan
hak-haknya secara adil tanpa adanya diskriminasi.Kedua, kewajiban
menerapkan kekuasaan kehakiman dengan seadil-adilnya. Hukum harus
ditegakkan sebagaimana mestinya, hukum berlaku bagi siapa saja, tanpa
memandang kedudukannya. Ketiga, kewajiban penyelenggara negara untuk
mewujudkan suatu tujuan masyarakat yang adil dan kesejahteraan sosial.
Prinsip keadilan dalam Islam mengandung konsep yang bernilai tinggi.
Ia tidak identik dengan keadilan yang diciptakan manusia. Keadilan manusia
dengan doktrin humanismenya telah mengasingkan nilai-nilai transendental dan
telah mengagungkan manusia sebagai individu, sehingga manusia menjadi titik
sentral. Sebaliknya konsep keadilan dalam Islam menempatkan manusia dalam
kedudukannya yang wajar, baik sebagai individu maupun sebagai anggota
masyarakat. Manusia bukan titik sentral mutlak melainkan “hamba Allah” yang
nilainya ditentukan olehhablu min Allah wa habl min an-nas.Dalam doktrin
Islam hanya Allah yang menempati posisi sentral. Karena itu keadilan dalam
humanisme Islam selalu bersifat teosentrik. Artinya bertumpu dan berpusat
pada kekuasaan Allah semata. Dengan demikian keadilan Islam memiliki
kelebihan yang tidak dijumpai dalam konsep-konsep keadilan menurut versi
manusia.
Dalam peradilan Islam, satu hal yang perlu diperhatikan, bahwa seorang
hakim harus menghindari suatu bentuk hukuman sebelum adanya bukti
kesalahan yang jelas. Artinya hakim menghindari hukuman pokok karena
adanya unsursubhat. Demikian juga dianut doktrin bahwa seorang hakim lebih
baik salah dalam memaafkan dari pada salah menjatuhkan putusan.
Prinsip ini perlu ditegakkan oleh para hakim dalam rangka membangun
supremasi hukum.

B. Penegakan Hukum

14
Berbicara tentang supremasi hukum dalam Islam, penulis mencoba
mengkaitkannya dengan penerapan pemidanaan dalam Islam, yang dalam
konsep fiqh dibahas dalam babjinayah.
Persoalan ini, secara historis telah mendorong munculnya diskusi yang
berkelanjutan sejak awal sejarah Islam. Apakah ia dapat dipertimbangkan untuk
dipertahankan sebagai dasar hukum yang mampu menjamin keadilan dan
ketentraman masyarakat atau sebaliknya dianggap sebagai sesuatu yangout of
datedan tidakhumanis. Baik secara teoritis maupun prakteknya Peradilan Islam
diakui sebagai sumber dalam jurisprudensi Islam. Bahkan dalam prakteknya
peradilan Islam memainkan peranan yang sangat penting dalam proses kreasi
hukum Islam untuk mewujudkan supremasi hukum, dalam rangka membentuk
setiap individu bermoral guna melahirkan struktur masyarakat yang aman dan
tentram. Pada masa Nabi Muhammad, orang-orang Arab telah mengadopsi
berbagai macam adat. Praktek ini, dalam banyak hal telah mempunyai kekuatan
hukum dalam masyarakat. Dalam kaitannya dengan keberlangsungan hukum
pra-Islam, Nabi Muhammad tidak melakukan tindakan-tindakan perubahan
terhadap hukum yang ada sepanjang hukum tersebut sesuai dengan prinsip-
prinsip ajaran Islam yang fundamental. Dengan demikian Nabi Muhammad
dalam kapasitasnya sebagai pembuat hukum dari sebuah agama yang baru
melegalkan hukum lama di satu sisi, dan mengganti beberapa hal yang
tampaknya tidak konsisten dengan prinsip-prinsip hukum. Hukum yang direvisi
bahkan dirombak oleh Rasulullah antaralain: perkawinan dengan ibu tiri,
poliandri, menikahi wanita tanpa batas jumlahnya, hubungan seksual yang tidak
sah, aborsi, pembunuhan terhadap bayi perempuan, balas dendam dalam
hukumqisas, perlindungan pencuri bagi bangsawan, perceraian berulang-
ulangdan lain sebagainya. Penyimpangan nilai-nilai moral dalam hukum pra-
Islam nampak sekali dalam sistem pemidanaan (peradilan), terutama
padajarimah qisasdiyat. Keadaan demikian dapat dibuktikan dengan peristiwa
sejarah yang terjadi di kalangan masyarakat Arab jahiliyah:
Salah seorang kabilah Gani membunuh Syas bin Zuhair, maka datanglah
Zuhair, ayah Syas, untuk minta pembalasan kepada suku Gani. Mereka berkata,
“Apa kehendakmu atas kematian Syas?”. Jawab Zuhair, “Satu dari tiga hal dan

15
tidak bisa diganti, yaitu menghidupkan kembali Syas, atau mengisi selendangku
dengan binatang-binatang dari langit, atau engkau serahkan kepadaku semua
anggota kabilahGaniuntuk saya bunuh semua, dan sesudah itu aku belum
merasa telah mengambil sesuatu ganti rugi atas kematian Syas”.
Tuntunan semacam ini semakin membuat rawannya keadaan bila
ternyata si korban dari kalangan kabilah terhormat atau pemimpin kabilah itu
sendiri. Hal ini terjadi karena ada sebagian dari kabilah-kabilah Arab yang
mengabaikan tuntutan wali si korban, bahkan sebaliknya mereka memberikan
perlindungan terhadap si pembunuh. Sehingga tidak menutup kemungkinan
terjadi perang antar kabilah yang di dalamnya melibatkan orang-orang yang tak
berdosa.
Di sisi lain, memang orang-orang Arab mempunyai tradisi balas dendam,
bahkan terhadap persoalan yang telah terjadi beberapa tahun yang silam. Kalau
seseorang anggota keluarga terbunuh, maka pembalasan dilakukan terhadap
keluarga pembunuh yang tidak berdosa di samping pembunuhnya sendiri. Al-
Qur’an dan praktik Nabi memperkenalkan berbagai modifikasi terhadap praktek
hukuman ini, akan tetapi ide utama dari prinsip-prinsip yang mendasarinya
tidak bersifat baru, melainkan telah lama dipraktekkan masyarakat Arab
sebelum munculnya Islam. Perubahan utama yang dilakukan oleh Islam adalah
prinsip keseimbangan dalam kerangka hukum yang berdimensi keadilan. Dalam
hukum Islam satu jiwa harus diambil karena perbuatan menghilangkan nyawa
orang lain atau pemberian kompensasi harus dilakukan terhadap keluarga
korban. Aturanini tidak mempersoalkan status suku atau kedudukan si korban
dalam sukunya, seperti dipraktekkan pada masyarakat Arab Jahiliyah, tetapi
lebih dari itu, sebagaimana yang dikatakan oleh Caulson, “sesuai dengan
standar moral keadilan dan nilai tebusan yang pasti terhadap pihak yang
menjadi korban”. Ketentuan ini dituangkan dalam al-Qur’an dalam surat al-
Baqarah ayat 178 sebagai berikut:

ْ
ٍ‫ص ْقالُ ُم ْكيَلَ َعبِتُكاْ ُونـَمآ َ ْنيِ َّذالاَهـُّيَأاَيىَ ْثنُألاَ ِو ٌدعاَبـِّتاَفٌ ْئيَ ِشهْيـ ِ َخاْنِ ُمهَلَىِفـ ُ ْعنَ َمفىَ ْثنُألاِب‬
ِ َ ‫البُّرُحْ الىََِـَِ ْلتـ َ ْقالىِفُصاـ‬
ِ ْ‫البُ ْدبَ ْعالَ ِّورُحـ‬
ِ ْ‫بَعـ‬
‫الب‬ ِ ‫ناــ َ ْس ِحإِبِهـْيَإِل َءاَدَأَ ِو ْف ُورْ عـ َ ْم‬

16
“Hai orang-orang yang beriman ditetapkan atas kamu qisas berkenaan dengan
orang yang terbunuh, orang merdeka dengan merdeka, hamba dengan hamba
dan wanita dengan wanita, barang siapa mendapat pemaafan dari saudaranya
hendaklah (yang memberi maaf) mengikuti dengan cara yang baik, dan bagi
yang dimaafkan membayar (diyat) kepada yang memaafkan dengan cara yang
baik pula....”

Menurut Imam al-Baidawi sebagaimana dikutip oleh as-Sayyid Sabiq,


bahwa turunnya ayat tersebut berkenaan dengan dua kabilah yang berhutang
piutang. Salah satu lebih kuat dari lainnya. Lalu Kabilah yang kuat bersumpah,
“Kami harus membunuh orang merdeka di antara kalian sebagai akibat
terbunuhnya hamba sahaya kami, dan kami akan membunuh laki-laki sebagai
akibat terbunuhnya perempuan dari suku kami.”Dalam hukum hadddi temukan
adanya pembenahan sistem hukum, seperti dalam kasus delik pencurian, pada
masa pra-Islam hukum yang diberlakukan sangat diskriminasi, terutama antara
bangsawan dan rakyat biasa. Hadis di bawah ini dapat dijadikan dasar
pernyataan tersebut di atas ketika Uzamah binti Zaid kekasih Rasulullah
meminta maaf atas kesalahan Fatimah binti al-Aswad karena telah mencuri,
maka Rasulullah berkata, “Apakah kamu meminta syafa'at mengenai sesuatu
dari hukuman yang telah ditetapkan oleh Allah?”. Kemudian Rasulullah
bersabda:

َ‫لَ َّع َدحْ الَن ُوميِقُيا ُونا َ ْك ُمهَّنَأْ ُم َك ْلبَقَنا َ ْكنَ َم َكلَها َ َّمنِإ ِ ْســـــــــــــــــــــــــــــــــــــــــــــــــــــــــــــــــــــــــــــــــــــــــــفَني‬
‫ضوْ الىاَهَ َديُ ْت َعطَقَلَ ِكلَ ْذتَلَ َعفَةَ ِمطاَفَّنَأْ َولِ ِه َديِب‬
َ ِ‫ِ َّذالَ َوفيِرَّشالَن ُو ُكرْ تَيَ ِوعي‬

“Bahwasanya yang menyebabkan kehancuran umat sebelum kamu


sekalian ialah karena apabila ada kaum bangsawan mencuri, mereka dibiarkan,
tetapi sebaliknya jika yang mencuri adalah kaum lemah, maka ditegakkan
hukum yang seadil-adilnya, saya bersumpah demi Allah seandainya Fatimah
Putri Muhammad mencuri niscaya akan kupotong tangannya.”

17
Di samping contoh di atas, ada sebagian hukum jahiliyahyang tidak
menerapkan sanksi bagi jarimah-jarimahtertentu, akibatnya muncul
ketidakadilan. Hal ini disebabkan karena perbedaan kabilah. Seperti kasus riba
yang sangat mengacaukan masyarakat, sehingga orang yang jatuh ke tangan
periba dan tidak mampu membayar hutangnya sering menyerahkan anak
gadisnya sebagai jaminan.
Kejahatan semacam ini telah dihapus oleh Islam dan diderivasikan ke
dalam jarimahta’zir. Artinya ditetapkan adanya sanksi bagi periba yang
ditentukan oleh penguasa berdasarkan kadar riba yang diperbuatnya. Demikian
halnya dengan kasus mengawini ibu tiri (kejahatan seks), yang memberikan
indikasi bahwa praktek hukum jahiliyah sangat tidak manusiawi.
Islam datang dengan panji-panji keadilan yang ternyata lambat laun
dapat diterima oleh masyarakat luas, termasuk keadilan dalam sistem
pemidanaan dalam rangka menciptakan supremasi hukum. Dalam penerapan
sanksi, Islam sangat mempertimbangkan rasa keadilan, baik keadilan sosial
(social justice) maupunkeadilan secara individual(individual justice). Di sinilah
“dimensi kemanusiaan” tercakup. Abu Zahrah, berkomentar, bahwa kedatangan
Islam adalah menegakkan keadilan dan melindungi keutamaan akal budi
manusia. Pendapat senada juga dilontarkan oleh as-Sabuni, bahwa Islam datang
dengan membawa kepentingan menuju pada tegaknya keadilan, melindungi
kehormatan manusia, mencegah segala bentuk kejahatan, memberi pelajaran
pada pelaku tindak kejahatan dengan memberikan sanksi seimbang sesuai
dengan tingkat kesalahan seseorang.
Rasulullah SAW berpesan secara khusus kepada penegak hukum agar
dapat menjalankan tugasnya dengan baik dan benar.
Pertama, memutuskan perkara secara adil. Rasulullah SAW bersabda,
"Barang siapa yang menjadi hakim lalu menghukumi dengan adil, niscaya ia
akan dijauhkan dari keburukan." (HR Tirmidzi).
Kedua, tipologi hakim. Rasulullah SAW bersabda, "Hakim itu ada tiga,
dua di neraka dan satu di surga. Seseorang yang menghukumi secara tidak
benar, padahal ia mengetahui mana yang benar maka ia masuk neraka. Seorang
hakim yang bodoh lalu menghancurkan hak-hak manusia maka ia masuk

18
neraka. Dan, seorang hakim yang menghukumi dengan benar maka ia masuk
surga." (HR Tirmidzi).
Ketiga, tidak meminta jabatan hakim. Rasulullah SAW bersabda,
"Barang siapa mengharap menjadi seorang hakim maka (tugas dan tanggung
jawab) akan dibebankan kepada dirinya. Dan barang siapa tidak
menginginkannya maka Allah akan menurunkan malaikat untuk menolong dan
membimbingnya dalam kebenaran." (HR Tirmidzi).
Keempat, jangan silau menjadi hakim. Rasulullah SAW bersabda,
"Barang siapa yang diberi jabatan hakim atau diberi kewenangan untuk
memutuskan suatu hukum di antara manusia, sungguh ia telah dibunuh tanpa
menggunakan pisau." (HR Tirmidzi).
4. Kewajiban Menegakkan amar makruf dan Nahi Munkar
Amar ma’ruf nahi mungkar merupakan amal yang paling tinggi karena posisinya
sebagai landasan utama dalam Islam. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman:

“Kamu (umat Islam) adalah umat terbaik yang dilahirkan untuk manusia, (karena
kamu) menyuruh (berbuat) yang ma’ruf, mencegah dari yang mungkar, dan
beriman kepada Allah. Sekiranya Ahli Kitab beriman, tentulah itu lebih baik bagi
mereka. Di antara mereka ada yang beriman, namun kebanyakan mereka adalah
orang-orang fasik.” (Ali Imran: 110)

Jika kita perhatikan dengan saksama, sebenarnya diutusnya para rasul dan
diturunkannya Al-Kitab adalah dalam rangka memerintah dan mewujudkan yang
ma’ruf, yaitu tauhid yang menjadi intinya, kemudian untuk mencegah dan
menghilangkan yang mungkar, yaitu kesyirikan yang menjadi sumbernya.
Jadi, segala perintah Allah subhanahu wa ta’ala yang disampaikan melalui rasul-
Nya adalah perkara yang ma’ruf. Begitu pula seluruh larangan-Nya adalah perkara
yang mungkar. Kemudian, Allah subhanahu wa ta’ala menjadikan amar ma’ruf nahi
mungkar ini sebagai sifat yang melekat dalam diri nabi-Nya dan kaum mukminin
secara menyeluruh.

Allah subhanahu wa ta’ala berfirman:

19
“Dan orang-orang yang beriman, laki-laki dan perempuan, sebagian mereka
menjadi penolong bagi sebagian yang lain. Mereka menyuruh (berbuat) yang
ma’ruf dan mencegah dari yang mungkar, melaksanakan shalat, menunaikan zakat,
serta taat kepada Allah dan Rasul-Nya. Mereka akan diberi rahmat oleh Allah.
Sungguh, Allah Mahaperkasa, Mahabijaksana.” (at-Taubah: 71)

Siapa pun meyakini bahwa kebaikan manusia dan kehidupannya ada dalam
ketaatan kepada Allah subhanahu wa ta’ala dan Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wa
sallam. Dan hal tersebut tidak akan sempurna tercapai melainkan dengan adanya
amar ma’ruf nahi mungkar. Dengan hal inilah umat ini menjadi sebaik-baik umat di
tengah-tengah manusia.

Allah subhanahu wa ta’ala berfirman:

“Kamu (umat Islam) adalah umat terbaik yang dilahirkan untuk manusia, (karena
kamu) menyuruh (berbuat) yang ma’ruf, dan mencegah dari yang mungkar….” (Ali
Imran: 110)

Hukum Amar Ma’ruf Nahi Mungkar


Amar ma’ruf nahi mungkar adalah kewajiban bagi tiap-tiap muslim yang
memiliki kemampuan. Artinya, jika ada sebagian yang melakukannya, yang lainnya
terwakili. Dengan kata lain, hukumnya fardhu kifayah.
Namun, boleh jadi, hukumnya menjadi fardhu ‘ain bagi siapa yang mampu dan
tidak ada lagi yang menegakkannya. Al-Imam an-Nawawi rahimahullah
mengatakan, “Amar ma’ruf nahi mungkar menjadi wajib ‘ain bagi seseorang,
terutama jika ia berada di suatu tempat yang tidak ada seorang pun yang mengenal
(ma’ruf dan mungkar) selain dirinya; atau jika tidak ada yang dapat mencegah yang
(mungkar) selain dirinya. Misalnya, saat melihat anak, istri, atau pembantunya,
melakukan kemungkaran atau mengabaikan kebaikan.” (Syarh Shahih Muslim)

20
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata, “Amar ma’ruf nahi
mungkar adalah fardhu kifayah. Namun, terkadang menjadi fardhu ‘ain bagi siapa
yang mampu dan tidak ada pihak lain yang menjalankannya.”

Asy-Syaikh Abdul ‘Aziz bin Abdillah bin Baz rahimahullah mengemukakan hal
yang sama, “Ketika para da’i sedikit jumlahnya, kemungkaran begitu banyak, dan
kebodohan mendominasi, seperti keadaan kita pada hari ini, maka dakwah
(mengajak kepada kebaikan dan menjauhkan umat dari kejelekan) menjadi fardhu
‘ain bagi setiap orang sesuai dengan kemampuannya.”
Dengan kata lain, kewajibannya terletak pada kemampuan. Dengan demikian,
setiap orang wajib menegakkannya sesuai dengan kemampuan masing-masing.
Allah subhanahu wa ta’ala berfirman:

“Maka bertakwalah kamu kepada Allah menurut kesanggupanmu, dengarlah serta


taatlah dan infakkanlah harta yang baik untuk dirimu. Dan barang siapa dijaga
dirinya dari kekikiran, mereka itulah orang yang beruntung.” (at-Taghabun: 16)

Kemampuan, kekuasaan, dan kewenangan adalah tiga hal yang terkait erat
dengan proses amar ma’ruf nahi mungkar. Yang memiliki kekuasaan tentu saja
lebih mampu dibanding yang lain sehingga kewajiban mereka tidak sama dengan
yang selainnya.
Al-Qur’an telah menunjukkan bahwa amar ma’ruf nahi mungkar tidak wajib
bagi tiap-tiap individu (wajib ‘ain), namun secara hukum menjadi fardhu kifayah.
Inilah pendapat yang dipegangi mayoritas para ulama, seperti al-Imam al-Qurthubi,
Abu Bakar al-Jashash, Ibnul Arabi al-Maliki, Ibnu Taimiyah, dan lain-lain
rahimahumullah.

Allah subhanahu wa ta’ala berfirman:

“Dan hendaklah di antara kamu ada segolongan orang yang menyeru kepada
kebajikan, menyuruh (berbuat) yang ma’ruf, dan mencegah dari yang mungkar.
Dan mereka itulah orang-orang yang beruntung.” (Ali Imran: 104)

21
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

ِ ‫َم ْن َرأَى ِم ْن ُك ْم ُم ْن َكرًا فَ ْليُ َغيِّرْ هُ بِيَ ِد ِه فَإ ِ ْن لَ ْم يَ ْستَ ِط ْع فَبِلِ َسانِ ِه فَإ ِ ْن لَ ْم يَ ْست َِط ْع فَبِقَ ْلبِ ِه َو َذلِكَ أَضْ َعفُ اإْل ِ ي َم‬
‫ان‬

“Siapa di antara kalian yang melihat suatu kemungkaran, maka cegahlah dengan
tangannya. Jika belum mampu, cegahlah dengan lisannya. Jika belum mampu,
dengan hatinya, dan pencegahan dengan hati itu adalah selemah-lemah iman.” (HR.
Muslim no. 70 dan lain-lain)

Syarat dan Etika Beramar Ma’ruf Nahi Mungkar


Allah subhanahu wa ta’ala menciptakan kita agar kita beribadah dan menjalankan
ketaatan kepada-Nya sebaik mungkin. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman:

“(Dialah) yang menciptakan mati dan hidup untuk menguji kamu, siapa di antara
kamu yang lebih baik amalnya. Dan Dia Mahaperkasa, Maha Pengampun.” (al-
Mulk: 2)

Amar ma’ruf nahi mungkar adalah ibadah, ketaatan, dan amal saleh. Karena itu,
harus dilakukan dengan benar dan penuh keikhlasan agar menjadi amalan saleh
yang diterima. Al-Imam Fudhail Ibnu Iyadh rahimahullah mengemukakan bahwa
suatu amalan meskipun benar tidak akan diterima jika tidak ada keikhlasan, begitu
pun sebaliknya. Keikhlasan berarti semata-mata karena Allah subhanahu wa ta’ala,
sedangkan kebenaran berarti harus berada di atas sunnah Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam.
Para penegak amar ma’ruf nahi mungkar hendaknya memerhatikan dan
memenuhi beberapa syarat berikut.
Syarat pertama: Ilmu dan pemahaman sebelum memerintah dan melarang.
Apabila tidak ada ilmu, dapat dipastikan yang ada adalah kebodohan dan
kecenderungan mengikuti hawa nafsu. Padahal siapa saja yang beribadah kepada
Allah subhanahu wa ta’ala tanpa ilmu, maka kerusakan yang diakibatkannya jauh
lebih dominan daripada kebaikan yang diharapkan.

22
Dalam kaitannya dengan amar ma’ruf nahi mungkar, ilmu yang harus dimiliki
meliputi tiga hal, antara lain: Mengetahui yang ma’ruf dan yang mungkar serta
dapat membedakan antara keduanya; Mengetahui dan memahami keadaan objek
yang menjadi sasarannya; serta mengetahui dan menguasai metode atau langkah
yang tepat dan terbaik sesuai dengan petunjuk jalan yang lurus (ketentuan syariat).
Tujuan utamanya adalah supaya tercapai maksud yang diinginkan dari proses amar
ma’ruf nahi mungkar dan tidak menimbulkan kemungkaran yang lain.

Syarat kedua: Lemah lembut dalam beramar ma’ruf dan bernahi mungkar.
Penyambutan yang baik, penerimaan, dan kepatuhan adalah harapan yang tidak
mustahil apabila proses amar ma’ruf nahi mungkar selalu dihiasi oleh kelembutan.

Bukankah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam telah menyatakan dalam sabdanya:

ُ‫ْطي َعلَى َما ِس َواه‬ ِ ‫ق َما اَل يُ ْع ِطي َعلَى ْال ُع ْن‬
ِ ‫ف َو َما اَل يُع‬ ِ ‫ق َويُ ْع ِطي َعلَى ال ِّر ْف‬
َ ‫ق ي ُِحبُّ ال ِّر ْف‬
ٌ ‫إِ َّن هللاَ َرفِي‬

“Sesungguhnya Allah Mahalembut dan menyukai sikap lemah lembut dalam tiap
urusan. Allah subhanahu wa ta’ala akan memberikan kepada sikap lemah lembut
sesuatu yang tidak akan diberikan kepada sikap kaku atau kasar dan Allah
subhanahu wa ta’ala akan memberikan apa-apa yang tidak diberikan kepada
selainnya.” (HR. Muslim “Fadhlu ar-Rifq” no. 4697, Abu Dawud “Fi ar-Rifq” no.
4173, Ahmad no. 614, 663, 674, dan 688, dan ad-Darimi “Bab Fi ar-Rifq” no.
2673)

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda:

ُ‫ع ِم ْن َش ْي ٍء إِاَّل َشانَه‬ َ ‫إِ َّن ال ِّر ْف‬


ُ ‫ق اَل يَ ُكونُ فِي َش ْي ٍء إِاَّل زَ انَهُ َواَل يُ ْن َز‬

“Tidaklah sikap lemah lembut itu ada dalam sesuatu, melainkan akan
menghiasinya, dan tidaklah sikap lemah lembut itu dicabut dari sesuatu, melainkan
akan menghinakannya.” (HR. Muslim no. 4698, Abu Dawud no. 2119, dan Ahmad
no. 23171, 23664, 23791)

23
Al-Imam Sufyan ibnu Uyainah rahimahullah mengatakan, “Tidak boleh beramar
ma’ruf dan bernahi mungkar selain orang yang memiliki tiga sifat: lemah lembut,
bersikap adil (proporsional), dan berilmu yang baik.”

Termasuk sikap lemah lembut apabila senantiasa memerhatikan kehormatan dan


perasaan manusia. Oleh karena itu, dalam beramar ma’ruf nahi mungkar hendaknya
mengedepankan kelembutan dan tidak menyebarluaskan aib atau kejelekan.
Kecuali, mereka yang cenderung senang dan bangga untuk menampakkan aibnya
sendiri dengan melakukan kemungkaran dan kemaksiatan secara terang-terangan.
Sebab itu, tidak mengapa untuk mencegahnya dengan cara terang-terangan atau
sembunyi-sembunyi.

Al-Imam asy-Syafi’i rahimahullah berkata, “Siapa yang menasihati saudaranya


dengan sembunyi-sembunyi, sungguh ia benar-benar telah menasihatinya dan
menghiasinya. Siapa yang menasihati saudaranya dengan terang-terangan (di depan
khalayak umum), sungguh ia telah mencemarkannya dan menghinakannya.” (Syarh
Shahih Muslim)

Syarat ketiga: Tenang dan sabar menghadapi kemungkinan adanya gangguan


setelah beramar ma’ruf nahi mungkar.
Gangguan seolah-olah menjadi suatu kemestian bagi para penegak amar ma’ruf
nahi mungkar. Oleh karena itu, jika tidak memiliki ketenangan dan kesabaran, tentu
kerusakan yang ditimbulkannya jauh lebih besar daripada kebaikan yang
diinginkan.
Al-Imam ar-Razi rahimahullah menjelaskan bahwa orang yang beramar ma’ruf
nahi mungkar itu akan mendapat gangguan, maka urusannya adalah bersabar.
Al-Imam Ibnu Taimiyah rahimahullah juga mengemukakan bahwa para rasul
adalah pemimpin bagi para penegak amar ma’ruf nahi mungkar. Allah subhanahu
wa ta’ala telah memerintah mereka semua agar bersabar, seperti firman-Nya:

24
“Maka bersabarlah engkau (Muhammad) sebagaimana kesabaran rasul-rasul yang
memiliki keteguhan hati, dan janganlah engkau meminta agar azab disegerakan
untuk mereka. Pada hari mereka melihat azab yang dijanjikan, merasa seolah-olah
tinggal (di dunia) hanya sesaat saja pada siang hari. Tugasmu hanya
menyampaikan. Maka tidak ada yang dibinasakan, selain kaum yang fasik (tidak
taat kepada Allah subhanahu wa ta’ala).” (al-Ahqaf: 35)

“Dan karena Rabbmu, bersabarlah!” (al-Mudatstsir: 7)

“Dan bersabarlah (Muhammad) menunggu ketetapan Rabbmu, karena


sesungguhnya engkau berada dalam pengawasan Kami, dan bertasbihlah dengan
memuji Rabbmu ketika engkau bangun.” (at-Thur: 48)

Allah subhanahu wa ta’ala juga menyebutkan wasiat Luqman kepada putranya


dalam firman-Nya:

“Wahai anakku! Laksanakanlah shalat dan suruhlah (manusia) berbuat yang ma’ruf
dan cegahlah (mereka) dari yang mungkar dan bersabarlah terhadap apa yang
menimpamu, sesungguhnya yang demikian itu termasuk perkara yang penting.”
(Luqman: 17)

Seseorang yang beramar ma’ruf nahi mungkar berarti telah memosisikan dirinya
sebagai penyampai kebenaran. Padahal tidak setiap orang ridha dan suka dengan
kebenaran. Oleh karena itu, ia pasti akan mendapat gangguan, dan itu menjadi
cobaan serta ujian baginya.

Allah subhanahu wa ta’ala berfirman:

“Apakah manusia mengira bahwa mereka akan dibiarkan hanya dengan


mengatakan, ‘Kami telah beriman’, dan mereka tidak diuji? Dan sungguh, Kami
telah menguji orang-orang sebelum mereka, maka Allah pasti mengetahui orang-

25
orang yang benar dan pasti mengetahui orang-orang yang dusta.” (al-‘Ankabut: 2—
3)

"Amar makruf nahi mungkar adalah membantah dan menjelaskan kesalahan


yang menyelisihi kebenaran, ujar Ustaz Sofyan saat mengisi materi kajian dengan
tema 6 Prinsip Utama Ahlusunnah wal Jamaah (dari kitab Sittu Duror min Ushuli
Ahlil Atsar), belum lama ini.

Melaksanakan amar makruf nahi mungkar akan menjadikan seseorang menjadi


umat yang mulia.
Mereka juga akan termasuk orang dalam golongan yang beruntung.
Sebagaimana dalam surah Ali Imron ayat 104, Dan hendaklah ada di antara kamu
segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang makruf
dan mencegah dari yang mungkar; merekalah orang-orang yang beruntung.
Keberadaan manusia di muka bumi mempunyai tanggung jawab yang sangat
besar. Terlebih, dia menjelaskan, sebagaimana disebutkan dalam Alquran surah al-
Baqarah ayat 30 bahwa manusia di dunia sebagai khalifah di bumi.
Sebaliknya, umat Islam yang membiarkan terjadinya kemungkaran, dia pun akan
mendapatkan imbalannya berupa keburukan. Ia mengatakan, hal tersebut sudah d
ijelaskan dalam Alquran surah al-Maidah ayat 79, Mereka satu sama lain selalu
tidak melarang tindakan mungkar yang mereka perbuat.
Sesungguhnya amat buruklah apa yang selalu mereka perbuat itu. Mengajak
seseorang untuk melakukan kebaikan dan mencegah melakukan kemungkaran,
menurutnya, merupakan investasi jangka panjang. Amar makruf nahi mungkar
yang dilaksanakan oleh seseorang selamanya akan mendapatkan posisi yang mulia.
Seperti Rasulullah SAW dan para sahabat. Mereka mendapatkan kedudukan
yang mulia hingga sekarang.Para sahabat selalu menyampaikan setiap perintah
Rasulullah.

26
5. Fitnah Akhir Zaman
Hadis-hadis tentang kekacauan akhir zaman selalu memuat anjuran menahan diri
dari melibatkan diri dalam konflik. Dalam hadis tersebut misalnya, dikatakan
“kekasihku hanya orang-orang yang menahan diri (tidak terlibat konflik).”
Perkataan ini jelas dukungan Nabi kepada orang-orang yang menjauhkan diri dari
konflik. Orang-orang yang mengobarkan konflik, sekalipun mengaku keturunan
Nabi Saw., sebenarnya ia bukan golongan beliau.
Al-Karmani (w. 854 H.) menjelaskan bahwa orang yang benar-benar keturunan
Nabi Saw. tidak akan mengobarkan kekacauan (Syarah Mashabih Al-Sunnah Li Al-
Baghawi, jilid 5, hlm. 507). Syekh Al-Azhim Abadi (w. 1329 H.) mengutip Al-
Ardibili yang mengatakan bahwa standar kebenaran pada masa kekacauan adalah
orang yang bertakwa yang dapat menahan diri sekalipun tidak ada hubungan
dengan Nabi Saw., serta tidak dianggap benar seorang penyebar kekacauan
sekalipun punya hubungan nasab dengan beliau (Aun Al-Ma’bud Syarah Sunan Abi
Daud, jilid 11, hlm. 208).

27
Ada catatan menarik dari hadis Syamiyyin ini. Fitnah lebih banyak berarti
kekacauan sosial-politik. Dengan tegas, hadis di atas menjelaskan tiga macam
fitnah akhir zaman; al-Ahlas, al-Sarra’, dan al-Duhaima’.
Fitnah Al-Ahlas berarti pengungsian dan perampasan harta serta nyawa. Fitnah
Al-Sarra’ punya tiga pengertian, yaitu kekacauan karena perebutan sumber
kekayaan duniawi, kekacauan yang membuat senang musuh, atau kekacauan karena
kebencian dan sakit hati. Sedangkan fitnah Al-Duhaima’ berarti kesimpang-siuran
kebenaran yang akan menimpa seluruh orang yang terlibat dalam konflik.
pada akhir zaman ini kehidupan sudah tidak bisa dikontrol lagi. Banyak hal-hal
buruk bercampur ke dalam kehidupan seperti pergaulan bebas, narkoba, bahkan
aliran sesat juga banyak muncul.

"Beruntunglah kita menjadi umat akhir zaman. Mengapa demikian? Ada


beberapa sebab mengapa kita beruntung dan mesti bersyukur dijadikan sebagai
umat akhir zaman. Salah satunya adalah dengan menjadi umat akhir zaman berarti
kita semua adalah umatnya Baginda Nabi Muhammad SAW ," kata Beliau.

Keutamaan sebagai Umat Akhir Zaman:


1. Amal ibadah yang dilakukan, pahalanya dilipatgandakan 10 kali lipat.
2. 2/3 surga dihuni oleh umat Nabi Muhammad SAW.
3. Di Surga ada 120 shaff, 80 shaff milik umat Nabi Muhammad SAW. Rasio
penduduk neraka dan surga 1000:1. Urutan Surga dari yang paling atas ke bawah
yaitu, Firdaus, 'Adn, Naim, Makwa, Darussalam, Darul Maqamah dan Baitul
Makmur.

Cara Allah Ta'ala Menghapuskan Dosa-dosa kita:


1. Adanya Huru-hara.
2. Adanya Gempa Bumi.
3. Dengan dibunuh, dibantai dan disiksa.

Rasulullah SAW bersabda: "Bersegeralah Beramal sebelum munculnya fitnah


yang datang bagaikan potongan-potongan malam yang gelap. Seseorang dipagi

28
harinya beriman dan di sorenya telah menjadi kafir, atau sorenya masih beriman
dan pagi harinya telah menjadi kafir, menjual agamanya dengan gemerlap dunia."
(HR Muslim)

Fitnah dalam bahasa Arab bisa berarti ujian keimanan, fitnah atau huru hara atau
menuduh tanpa bukti. Allah Ta'ala berfirman: "Apakah manusia mengira bahwa
mereka akan dibiarkan hanya dengan mengatakan, 'Kami telah Beriman' dan
mereka tidak diuji?' (QS Al-Ankabut: 2)

Salah satu fenomena akhir zaman, orang yang berkata jujur didustakan, para
pendusta dibenarkan. Para pengkhianat suatu kaum, suatu bangsa menjadi
pemimpin suatu bangsa.

Rasulullah SAW bersabda: "Akan datang kepada manusia tahun-tahun yang penuh
dengan penipuan. Ketika itu pendusta dibenarkan sedangkan orang yang jujur
malah didustakan. Pengkhianat dipercaya sedangkan orang yang amanah justru
dianggap sebagai pengkhianat. Pada saat itu Ruwaibidhah berbicara. Ada yang
bertanya, "Apa yang dimaksud Ruwaibidhah?". Beliau menjawab, 'Orang bodoh
yang turut campur dalam urusan masyarakat luas."
(HR. Ibnu Majah)

Menjelang Akhir Zaman maka:


1. Ilmu diangkat dari muka bumi.
2. Turun kejahilan di mana-mana.
3. Munculnya suatu kelompok yang merasa paling baik.
4. Umat akhir zaman akan hancur di tangan ulama-ulama yang menjual agama
untuk kepentingannya.

Cara Menjaga Diri dan Keluarga dari Fitnah Akhir Zaman:


1. Bentengi dengan aqidah dan Tauhid yang
Benar. Syaratnya yaitu kembalikan semua hal kepada Alqur'an dan Hadits.
2. Ikhlas kepada Allah Ta'ala dalam semua Amal.

29
3. Meninggalkan riya dan kemunafikan.

Tidak boleh taqlid, yaitu hanya mengikuti kebiasaan pendahulu tanpa dasar yang
benar. Allah Ta'ala berfirman: "Dan apabila dikatakan kepada mereka, "Marilah
(mengikuti) apa yang diturunkan Allah dan (mengikuti) Rasul." Mereka menjawab,
"Cukuplah bagi kami apa yang kami dapati nenek moyang kami
(mengerjakannya)." Apakah (mereka akan mengikuti) juga nenek moyang mereka
walaupun nenek moyang mereka itu tidak mengetahui apa-apa dan tidak (pula)
mendapat petunjuk?" (QS Al-Maidah : 104)

Peta Umat Akhir Zaman:


1. Periode Sehat.
Loyalitas umat berpusat pada misi (risalah)
tolok ukur yang berkembang di masyarakat adalah kedekatan dan komitmen
seseorang pada risalah (agama Islam) masa ini diwakili oleh masa Rasullullaah
SAW dan para Sahabat.

2. Periode Sakit.
Loyalitas umat berporos pada orang (bangsa, negara, suku, kabilah, kelompok,
keluarga atau bahkan individu manusia).
3. Periode Kematian.
Loyalitas umat berporos pada benda (materialistis). Tolok ukur yang berkembang
di masyarakat adalah kekayaan duniawi. Masa ini diwakili oleh masa setelah
runtuhnya khilafah Turki Utsmani Tahun 1924. Seseorang dihormati dan didengar
karena pangkat, jabatan dan kekayaannya, bukan karena ketakwaannya.

Pada akhir zaman akan lahir generasi-generasi yang jelek. Apabila ingin anak
yang baik dan saleh/salehah, maka orang tuanya dulu yang harus memperbaiki diri,
orang tuanya dulu yang harus saleh dan salehah.

30
DAFTAR PUSTAKA

https://paudit.alhasanah.sch.id/tahukah-anda/apa-perbedaan-islam-iman-dan-ihsan/

https://republika.co.id/berita/qcjm5u366/islam-iman-dan-ihsan-tak-bisa-dipisahkan

https://www.researchgate.net/publication/335714230_HUBUNGAN_ISLAM_DENGA
N_SAINS

https://www.republika.co.id/berita/islampedia/ilmuwan/19/02/01/plokyw313-landasan-
agama-dalam-pengembangan-sains-islam-seperti-apa

https://sumsel.kemenag.go.id/files/sumsel/file/dokumen/peradabanislam.pdf

https://www.merdeka.com/jateng/6-ilmuwan-muslim-yang-paling-berpengaruh-di-
dunia-wajib-diketahui-kln.html?page=7

Pancasilawati, Abnan. Penegakan Hukum Dalam Syari’at Islam

31
Amiur Nurudin,Ijtihad Umar ibn al-Khattab: Studi tentang Perubahan Hukum dalam
Islam,Jakarta: Rajawali Press, 1987.

Ahmad Hanafi,Asas-asas Hukum Pidana Islam,Jakarta: Bulan Bintang, 1976

https://republika.co.id/berita/dunia-islam/hikmah/16/11/25/oh6pth313-4-pesan-
rasulullah-untuk-penegak-hukum

https://asysyariah.com/kewajiban-amar-maruf-nahi-mungkar-2/

https://republika.co.id/berita/peojie313/menegakkan-amar-makruf-nahi-mungkar

https://harakah.id/3-fitnah-akhir-zaman-muncul-kaum-munafik-pendukung-dajjal/

https://kalam.sindonews.com/berita/1457803/69/cara-menjaga-diri-dan-keluarga-dari-
fitnah-akhir-zaman

https://kalam.sindonews.com/read/253068/72/nasehat-menghadapi-ujian-dan-fitnah-
akhir-zaman-1606864343?showpage=all

32

Anda mungkin juga menyukai