Anda di halaman 1dari 43

KAJIAN ISLAM

1. Iman, Islam, Ihsan


2. Islam dan Sains
3. Islam dan Penegakan Hukum
4. Kewajiban Menegakkan Amar Makruf dan Nahi Mungkar
5. Fitnah Akhir Zaman

Disusun sebagai tugas testruktur Mata Kuliah : Pendidikan Agama Islam

Dosen Pengampuh :

Dr. Taufiq Ramdani, S. Th.I., M.Sos

Disusun Oleh:
Nama : Annisa Ridzky Fajrina. J
NIM : F1B020016
Fakultas&Prodi : Teknik Elektro
Semester : 1 (satu)

PROGRAM STUDI AGAMA ISLAM


FAKULTAS TEKNIK
UNIVERSITAS MATARAM

ii
T.A 2020/2021

KATA PENGANTAR

Puji syukur Alhamdulillah penulis haturkan kepada ALLAH SWT atas selesainya
tugas ini dengan tepat waktu tanpa kurang suatu apapun berkat rahmat dan karunia-Nya yang
telah diberikan kepada saya.

Sholawat dan Salam semoga ALLAH limpahkan kepada Rasulullah Muhammad


SAW atas risalah beliau yang bermanfaat bagi kita semua sebagai petunjuk menjalani
kehidupan. Dan semoga syafaat megalir kepada kita semua.

Terima kasih saya sampaikan atas bimbingan Bapak Dr. Taufiq Ramdani, S.Th.I.,
M.Sos sebagai dosen pengampuh mata Kuliah Pendidkan Agama Islam yang telah
memberikan bimbingan dan bantuan untuk saya menyelesaikan proses pembuatan tugas ini.

Besar harapan saya tugas ini akan memberi manfaat kepada para pembaca dan besar
harapan saya kepada pembaca agar memberikan kritik dan saran yang membangun agar saya
melakukan perbaikan.

Penyusun, Mataram 17 Desember 2020

Annisa Ridzky Fajrina J


NIM. F1B020016

iii
DAFTAR ISI

KAJIAN ISLAM..........................................................................................................................i

KATA PENGANTAR................................................................................................................ii

DAFTAR ISI..............................................................................................................................iii

I. Iman, Islam, Ihsan................................................................................................................1

A. Pendahuluan.....................................................................................................................1

B. Pembahasan......................................................................................................................2

II. Islam dan Sains....................................................................................................................7

A. Pendahuluan.....................................................................................................................7

B. Landasan agama...............................................................................................................7

C. Sains dan Ayat-ayat al-Qur’an.......................................................................................10

III. Islam Dan Penegakan Hukum........................................................................................14

A. Hukum dan Keadilan dalam Islam.................................................................................14

B. Penegakan Hukum..........................................................................................................17

C. Hukum dan Keadilan Dalam Islam................................................................................20

IV. Kewajiban Menegakkan Amar Makruf dan Nahi Munkar.............................................22

A. Pengertian.......................................................................................................................22

B. Hukum Amar Ma’ruf Nahi Mungkar.............................................................................23

C. Syarat dan Etika Beramar Ma’ruf Nahi Mungkar..........................................................25

V. Fitnah Akhir Zaman...........................................................................................................28

A. Pengertian Fitnah............................................................................................................28

B. Fitnah Saat Akhir Zaman...............................................................................................28

C. Bekal Umat Beriman Menghadapi Fitnah Akhir Zaman...............................................30

iiii
DAFTAR PUSTAKA................................................................................................................38

LAMPIRAN..............................................................................................................................39

ivi
I. Iman, Islam, Ihsan

A. Pendahuluan
Diriwayatkan dalam sebuah hadits, Rasulullah Nabi Muhammad SAW pernah menjelaskan
tentang Islam, iman dan ihsan dalam majelis yang dihadiri para sahabat dan didatangi
Malaikat Jibril. Islam, iman, dan ihsan ini tidak bisa dipisahkan karena semuanya adalah satu
kesatuan yang disebut agama Islam.

Ustadz Galih Maulana dalam buku Antara Fiqih dan Tasawuf terbitan Rumah Fiqih
Publishing menjelaskan mengapa Islam, iman dan ihsan adalah satu kesatuan yang disebut
agama Islam.

Ia menerangkan, meski Islam, iman dan ihsan disebut bertingkat-tingkat tapi bukan berarti
maknanya mengerjakan satu level ke level berikutnya. Jadi yang dimaksud tingkatan adalah
tingkatan keimanan.

"Artinya yang tadinya keimanannya lemah, mengerjakan ibadah tidak optimal, masih suka
bermaksiat, sampai pada tingkat keimanan tinggi yang mana mampu merasakan
muroqobatullah," kata Ustadz Galih dalam bukunya.

Ia mencontohkan orang yang imannya masih lemah. Maka orang tersebut akan mengerjakan
sholat, namun sholatnya tidak khusyuk, tidak menjaga adab-adab dan sebagainya.

Lain halnya dengan orang yang sudah mencapai derajat ihsan. Ketika orang tersebut sholat,
hatinya khusyuk, adab-adabnya dijaga, sunah-sunahnya dijaga, dan sholatnya akan
membentenginya dari berbuat maksiat.

Inilah yang sangat sulit dilakukan oleh kebanyakan orang. Karena dalam praktiknya meskipun
telah mengerjakan suatu ibadah lengkap dengan semua rukun dan sunahnya, tetapi belum
tentu mampu menghadirkan hati sepenuhnya untuk tunduk dan merendahkan diri di hadapan
Allah SWT.

"Mungkin saja raga kita melaksanakan sholat tetapi hati kita sibuk bersama dunia," ujar Ustaz
Galih.

1
Ia menjelaskan, begitu juga dalam bermuamalah dengan manusia dan alam. Mungkin orang
berakhlak baik hanya ketika ada kepentingan. Mungkin orang berakhlak baik hanya kepada
golongannya saja. Padahal berakhlak baik adalah jenis ibadah juga.

Rasulullah bersabda, "Tidak ada sesuatu pun yang lebih berat dalam timbangan seorang
mukmin di hari kiamat melainkan akhlak yang baik, dan sesungguhnya Allah sangat
membenci orang yang suka berbicara keji lagi kotor."

Ustadz Galih mengingatkan, inilah pentingnya belajar tasawuf di samping belajar fikih.

"Barang siapa bertasawuf tanpa fiqih maka akan menjadi zindiq, barang siapa berfiqih tanpa
tasawuf maka akan menjadi fasiq, dan barang siapa mengamalkan keduanya maka akan
mencapai hakikat."

Ustadz Galih mengatakan, meski penisbatan ucapan (kutipan) tersebut kepada Imam Malik
masih diperbincangkan, namun maknanya memang benar adanya. Ketika orang bertasawuf
namun tidak mempunyai pengetahuan tentang fiqih akan menjadi zindiq, ia akan seenaknya
meninggalkan sholat karena merasa sudah dekat dengan Allah.

Begitu juga orang yang tahu fiqih namun tidak bertasawuf. Orang itu akan bermudah-
mudahan dalam menjalankan syariat, sholat asal-asalan yang penting sah.

"Intinya Islam, iman dan ihsan adalah satu kesatuan yang dinamakan agama Islam, semuanya
berjalan bersama beriringan, barang siapa memisahkannya maka telah berkurang sebagian dari
agama," jelasnya.

B. Pembahasan
Agama Islam yang kita anut ini mencakup 3 tingkatan; Islam, Iman dan Ihsan.

Tingkatan Islam

Di dalam hadits tersebut, ketika Rosululloh ditanya tentang Islam beliau menjawab, “Islam itu
engkau bersaksi bahwa tidak ada sesembahan (yang haq) selain Alloh dan bahwasanya
Muhammad adalah utusan Alloh, engkau dirikan sholat, tunaikan zakat, berpuasa romadhon
dan berhaji ke Baitulloh jika engkau mampu untuk menempuh perjalanan ke sana”. Syaikh
Ibnu Utsaimin menjelaskan: Diantara faedah yang bisa dipetik dari hadits ini ialah bahwa

2
Islam itu terdiri dari 5 rukun (Ta’liq Syarah Arba’in hlm. 14). Jadi Islam yang dimaksud disini
adalah amalan-amalan lahiriyah yang meliputi syahadat, sholat, puasa, zakat dan haji.

Tingkatan Iman

Selanjutnya Nabi ditanya mengenai iman. Beliau bersabda, “Iman itu ialah engkau beriman
kepada Alloh, para malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, para Rosul-Nya, hari akhir dan engkau
beriman terhadap qodho’ dan qodar; yang baik maupun yang buruk”. Jadi Iman yang
dimaksud disini mencakup perkara-perkara batiniyah yang ada di dalam hati. Syaikh Ibnu
‘Utsaimin mengatakan: Diantara faedah yang bias dipetik dari hadits ini adalah perbedaan
antara islam dan ima, ini terjadi apabila kedua-duanya disebutkan secara bersama-sama, maka
ketika itu islam ditafsirkan dengan amalan-amalan anggota badan sedangkan iman ditafsirkan
dengan amalan-amalan hati, akan tetapi bila sebutkan secara mutlak salah satumya (islam saja
atau iman saja) maka sudah mencakup yang lainnya. Seperti dalam firman Allah SWT. “ Dan
Aku telah ridho Islam menjadi agama kalian.” (Al-Ma’idah : 3) maka kata Islam di sini sudah
mencakup islam dan iman… (Ta’liq Syarah Arba’in hlm. 17).

Tingkatan Ihsan

Nabi juga ditanya oleh Jibril tentang ihsan. Nabi bersabda, “Yaitu engkau beribadah kepada
Alloh seolah-olah engkau melihat-Nya, maka apabila kamu tidak bisa (beribadah seolah-olah)
melihat-Nya, maka sesungguhnya Dia melihatmu”. Syaikh Ibnu Utsaimin menjelaskan:
Diantara faedah yang bisa dipetik dari hadits ini adalah penjelasan tentang ihsan yaitu seorang
manusia menyembah Robbnya dengan ibadah yang dipenuhi rasa harap dan keinginan,
seolah-olah dia melihat-Nya sehingga diapun sangat ingin sampai kepada-Nya, dan ini adalah
derajat ihsan yang paling sempurna. Tapi bila dia tidak bisa mencapai kondisi semacam ini
maka hendaknya dia berada di derajat kedua yaitu: menyembah kepada Alloh dengan ibadah
yang dipenuhi rasa takut dan cemas dari tertimpa siksa-Nya, oleh karena itulah Nabi
bersabda, “Jika kamu tidak bisa melihat-Nya maka sesungguhnya Dia melihatmu” artinya jika
kamu tidak mampu menyembah-Nya seolah-olah kamu melihat-Nya maka sesungguhnya Dia

3
melihatmu.” (Ta’liq Syarah Arba’in hlm. 21). Jadi tingkatan ihsan ini mencakup perkara lahir
maupun batin.

Bagaimana Mengkompromikan Ketiga Istilah Ini?

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah mengatakan yang maknanya, Bila dibandingkan dengan iman
maka Ihsan itu lebih luas cakupannya bila ditinjau dari substansinya dan lebih khusus daripada
iman bila ditinjau dari orang yang sampai pada derajat ihsan. Sedangkan iman itu lebih luas
daripada islam bila ditinjau dari substansinya dan lebih khusus daripada islam bila ditinjau
dari orang yang mencapai derajat iman. Maka di dalam sikap ihsan sudah terkumpul di
dalamnya iman dan islam. Sehingga orang yang bersikap ihsan itu lebih istimewa
dibandingkan orang-orang mu’min yang lain, dan orang yang mu’min itu juga lebih istimewa
dibandingkan orang-orang muslim yang lain… (At Tauhid li shoffil awwal al ‘aali, Syaikh
Sholih Fauzan, hlm. 63)

Hadits

Adapun hadits yang menjelaskan tentang iman, islam, dan ihsan agar pemahaman kita lebih
mendalam adapun arti dari hadits tersebut :
Arti hadits / ‫ترجمة الحديث‬ :

Dari Umar radhiallahuanhu juga dia berkata : Ketika kami duduk-duduk disisi Rasulullah
Shallallahu’alaihi wasallam suatu hari tiba-tiba datanglah seorang laki-laki yang mengenakan
baju yang sangat putih dan berambut sangat hitam, tidak tampak padanya bekas-bekas
perjalanan jauh dan tidak ada seorangpun diantara kami yang mengenalnya. Hingga kemudian
dia duduk dihadapan Nabi lalu menempelkan kedua lututnya kepada kepada lututnya
(Rasulullah Shallallahu’alaihi wasallam) seraya berkata: “ Ya Muhammad, beritahukan aku
tentang Islam ?”, maka bersabdalah Rasulullah Shallallahu’alaihi wasallam : “ Islam adalah
engkau bersaksi bahwa tidak ada Ilah (Tuhan yang disembah) selain Allah, dan bahwa Nabi
Muhammad adalah utusan Allah, engkau mendirikan shalat, menunaikan zakat, puasa
Ramadhan dan pergi haji jika mampu “, kemudian dia berkata: “ anda benar “. Kami semua
heran, dia yang bertanya dia pula yang  membenarkan. Kemudian dia bertanya lagi: “
Beritahukan aku tentang Iman “. Lalu beliau bersabda: “ Engkau beriman kepada Allah,
4
malaikat-malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, rasul-rasul-Nya dan hari akhir dan engkau beriman
kepada takdir yang baik maupun yang buruk “, kemudian dia berkata: “ anda benar“. 
Kemudian dia berkata lagi: “ Beritahukan aku tentang ihsan “. Lalu beliau bersabda: “ Ihsan
adalah engkau beribadah kepada Allah seakan-akan engkau melihatnya, jika engkau tidak
melihatnya maka Dia melihat engkau” . Kemudian dia berkata: “ Beritahukan aku tentang hari
kiamat (kapan kejadiannya)”. Beliau bersabda: “ Yang ditanya tidak lebih tahu dari yang
bertanya “. Dia berkata:  “ Beritahukan aku tentang tanda-tandanya “, beliau bersabda:  “ Jika
seorang hamba melahirkan tuannya dan jika engkau melihat seorang bertelanjang kaki dan
dada, miskin dan penggembala domba, (kemudian)  berlomba-lomba meninggikan
bangunannya “, kemudian orang itu berlalu dan aku berdiam sebentar. Kemudian beliau
(Rasulullah) bertanya: “ Tahukah engkau siapa yang bertanya ?”. aku berkata: “ Allah dan
Rasul-Nya lebih mengetahui “. Beliau bersabda: “ Dia adalah Jibril yang datang kepada kalian
(bermaksud) mengajarkan agama kalian “.

(Riwayat Muslim)

Catatan :

Hadits ini merupakan hadits yang sangat dalam maknanya, karena didalamnya terdapat
pokok-pokok ajaran Islam, yaitu Iman, Islam dan Ihsan. Hadits ini mengandung makna yang
sangat agung karena berasal dari dua makhluk Allah yang terpercaya, yaitu: Amiinussamaa’
(kepercayaan makhluk di langit/Jibril) dan Amiinul Ardh (kepercayaan makhluk di bumi/
Rasulullah)

Pelajaran yang terdapat dalam hadits / ‫الفوائد من الحديث‬ :

Disunnahkan untuk memperhatikan kondisi  pakaian, penampilan dan kebersihan, khususnya


jika menghadapi ulama, orang-orang mulia dan penguasa.

Siapa yang menghadiri majlis ilmu dan menangkap bahwa orang–orang yang hadir butuh
untuk mengetahui suatu masalah dan tidak ada seorangpun yang bertanya, maka wajib
baginya bertanya tentang hal tersebut meskipun dia mengetahuinya agar peserta yang hadir
dapat mengambil manfaat darinya.

Jika seseorang yang ditanya tentang sesuatu maka tidak ada cela baginya untuk berkata: “Saya
tidak tahu“,  dan hal tersebut tidak mengurangi kedudukannya.

5
Kemungkinan malaikat tampil dalam wujud manusia.Termasuk tanda hari kiamat adalah
banyaknya pembangkangan terhadap kedua orang tua. Sehingga anak-anak memperlakukan
kedua orang tuanya sebagaimana seorang tuan memperlakukan hambanya.

Tidak disukainya mendirikan bangunan yang tinggi dan membaguskannya sepanjang tidak
ada kebutuhan.Didalamnya terdapat dalil bahwa perkara ghaib tidak ada yang mengetahuinya
selain Allah ta’ala.

Didalamnya terdapat keterangan tentang adab dan cara duduk dalam majlis ilmu.

6
II. Islam dan Sains

A. Pendahuluan
Islam adalah agama kemaslahatan hidup bagi umat manusia. Mulai dari perbaikan akhlak,
cara beribadah, hingga upaya menjalani kehidupan di dunia ini sebagai bekal di akhirat
nanti.Tak ada yang meragukan itu. Islam laksana cahaya yang senantiasa menyinari umat
manusia. Ia akan memberikan pencerahan dan kemudahan hidup. Tak heran, bila Islam selalu
dikaitkan dengan kegemilangan dan kejayaan.Sepanjang sejarahnya, Islam telah hadir dengan
beragam ilmu pengetahuan dan melahirkan ribuan intelektual Muslim. Ilmu pengetahuan yang
dikembangkan, memudahkan manusia dalam membangun peradaban dunia.

Bahkan, pada abad ke-6 hingga 14 Masehi, Islam mengalami masa kejayaannya (The Golden
Age of Islam). Saat itu, sejumlah intelektual Muslim berhasil mewujudkan karya-karya
mereka dengan bersumber dari Alquran. Dan, Islam pun identik dengan sains dan
teknologi.Untuk menggambarkan kegemilangan itu, seorang sejarawan sains terkemuka,
George Sarton, menuliskan dalam jilid pertama bukunya yang terkenal di bidang ini,
Introduction to the History of Science.

''Cukuplah kita menyebut nama-nama besar yang tak tertandingi di masa itu oleh seorang pun
di Barat: Jabir bin Hayyan, al-Kindi, al-Khawarizmi, ar-Razi, al-Farabi, at-Tabari, al-Biruni,
Ibnu Sina, serta Umar Khayyam. Jika seorang mengatakan kepada Anda bahwa Abad
Pertengahan sama sekali steril dari kegiatan ilmiah, kutiplah nama-nama ilmuwan tersebut di
atas. Mereka semua hidup dan berkarya dalam periode yang amat singkat, yakni dari 750
hingga 1100 M.''

Dalam Ensiklopedi Tematis Dunia Islam: 'Pemikiran dan Peradaban' disebutkan bahwa
perkembangan sains dan teknologi dalam sejarah Islam tidak bisa dilepaskan dari tiga
landasan, yakni landasan agama, filsafat, dan kelembagaan.

B. Landasan agama
Pengembangan sains dalam sejarah Islam sejalan dengan perintah Alquran untuk mengamati
alam dan menggunakan akal, dua dasar metodologis sains. Alquran sendiri merupakan sumber
pertama ilmu, seperti yang dinyatakan dalam surat an-Nisa' ayat 82: ''Maka, apakah mereka
7
tidak memerhatikan Alquran? Kalau kiranya Alquran itu bukan dari sisi Allah, tentulah
mereka mendapat pertentangan yang banyak di dalamnya.''

Perintah penggunaan akal sebagai dasar kerasionalan ilmu dengan perintah mengamati alam
sebagai dasar keempirikan ilmu selalu berjalan seiring, misalnya dalam surat ar-Rum ayat 22,
al-Baqarah ayat 164, Ali 'Imran ayat 190-191, Yunus ayat 5, dan al-An'am ayat 97. Firman
Allah SWT juga sering disertai pertanyaan afala ta'qilun (mengapa tidak kau gunakan akalmu)
dan afala tatafakkarun (mengapa tak kau pikirkan).

Topik hubungan Islam dengan sains masih jadi satu bahasan menarik dalam kajian-kajian
Islam hingga saat ini. Pengajian yang disampaikan Ustaz Abdul Somad di UII minggu lalu,
setelah dibatalkan di UGM, juga mengambil tema tersebut. Dia juga pernah berceramah
dengan tema yang sama di Masjid Salman, ITB.

Kajian dengan tema ini tidak menghasilkan hal-hal baru. Semua hanya bicara soal ayat-ayat
Quran yang selaras dengan sains. Di Indonesia kajian dengan tema ini mulai populer sejak
buku tulisan Maurice Bucaille diperkenalkan ke publik pada tahun 80-an. Dalam buku
berjudul Bible, Quran, dan Sains Modern itu Bucaille menyampaikan sejumlah tafsir atas
ayat-ayat Quran. Berdasar tafsirnya itu Bucaille menyimpulkan bahwa ayat-ayat Quran cocok
dengan sains.

Setelah buku Bucaille itu sejumlah penulis lokal menulis karya serupa, di antaranya ditulis
oleh Ahmad Baiquni. Yang terbaru, setahu saya, adalah karya Agus Purwanto, seorang ahli
fisika teori yang menulis buku berjudul Ayat-Ayat Semesta.

Di mimbar ceramah, secara internasional ada Zakir Naik. Ia sangat populer sebagai pembahas
tema ini. Ia pernah hadir di Indonesia, dan mendapat sambutan hangat.

Bagaimanakah wujud kecocokan itu? Bucaille misalnya menulis bahwa ayat tentang manusia
yang diciptakan dari tanah itu bermakna bahwa tubuh manusia ini tersusun dari unsur-unsur
yang sama dengan unsur-unsur penyusun tanah. Bagi saya, tafsir itu tidak tepat bila
dibandingkan dengan dalil-dalil hadis yang lebih detil soal penciptaan dari tanah tadi.

Klaim soal kecocokan Quran dengan sains itu terasa janggal, karena di sisi lain ada opini
8
bahwa sains modern adalah sains yang jauh dari nilai-nilai ketuhanan, karena dikembangkan
oleh kaum sekuler, bahkan ateis. Karena itu sains perlu diwarnai dengan nilai-nilai Islam.
Bagi saya ada semacam paradoks. Kalau sains modern ini jauh dari nilai-nilai ketuhanan,
bagaimana mungkin pada saat yang sama ia cocok dengan ayat-ayat Quran?

Kajian soal Islamisasi sains yang sempat populer pada tahun 90-an, kini nyaris tak terdengar.
Gagasan ini terdengar indah dalam ruang diskusi, tapi mungkin akan membingungkan bila
dibawa ke ruang riset sains. Bagaimana, misalnya, rumusan teori atom kalau faktor Islam
dimasukkan? Lalu, bagaimana rumusan teori big bang atau teori evolusi dengan memasukkan
kuasa Tuhan dalam rumusannya? Saya pernah menanyakan soal ini dalam berbagai forum
diskusi, tapi tak pernah ada yang memberi jawaban yang jelas.

Bagi saya, tema-tema kajian seperti kecocokan Quran dengan sains maupun Islamisasi sains
terasa lebih menghibur ketimbang serius. Setelah puluhan tahun tema itu dikumandangkan
dalam berbagai pengajian dan diskusi, dengan berbagai buku dan makalah diterbitkan, fakta di
dunia sains tidak berubah, yaitu bahwa kontribusi dari negara-negara Islam pada
perkembangan sains tetap minim. Saat ini baru ada 3 pemenang Hadiah Nobel di bidang sains
dari negara-negara muslim, dan semuanya bekerja di luar negara mereka sendiri. Sementara
itu Israel saja sudah memiliki 6 pemenang Hadiah Nobel Kimia, ditambah 2 pemenang
Hadiah Nobel Ekonomi.

Dalam suasana itu, kajian tentu saja ada hiburan lain, yaitu mengenang kontribusi ilmuwan
muslim di masa lalu, seperti kontribusi Ibnu Sina, Al-Khawarizmi, dan sebagainya. Tentu saja
dengan klaim, bahwa tanpa kontribusi mereka dunia sains modern tidak akan ada.

Yang harus dikaji secara serius oleh umat Islam sebenarnya adalah bagaimana meningkatkan
kontribusi terhadap perkembangan sains. Bagaimana kebijakan yang harus dibuat oleh negara-
negara berpenduduk muslim agar sains berkembang. Berapa besar anggaran, bagaimana
peneliti diperlakukan, apa yang harus dijadikan prioritas, bagaimana strategi untuk mengejar
ketertinggalan, dan sebagainya.

9
C. Sains dan Ayat-ayat al-Qur’an
Ketika kita berbicara tentang sains dan teknologi, maka kita tidak boleh melupakan peran
cendekiawan Islam terhadap khazanah intelektual Timur dan Barat. Sebagai contoh Ibnu Sina,
al-Ghazali, al-Biruni, al-Tabari, Nasiruddin, Abu al-Wafa, Al-Battani, dan Omar Khayam
yang berasal dari Persia. Al-Kindi, orang Arab, al-Khawarizmi adalah dari Khiva, al-Farghani
dari Trasoxiania (Yordania), al-Farabi dari Khurasan, al-Zarkali (Arzachel), al-Betragius (al-
Bitruji), dan Averroes (Ibn Rusyd) adalah Arab Spanyol. Kita tidak bisa menafikan
sumbangan intelektual Muslim tentang matematik, ilmu kedokteran, ilmu astronomi, ilmu
falak, ilmu arsitektur, ilmu geografi, dan lain-lain.

Pada abad pertengahan, dunia Islam telah memainkan peranan penting baik di bidang sains
teknologi. Harun Nasution menyatakan bahwa cendekiawan-cendekiawan Islam tidak hanya
mempelajari sains-teknologi dan filsafat dari buku Yunani, tetapi menambahkan ke dalam
hasil-hasil penyelidikan yang mereka lakukan dalam lapangan sains-teknologi dan hasil
pemikiran mereka dalam ilmu Filsafat. Dengan demikian, lahirlah ahli-ahli ilmu pengetahuan
dan filsuf-filsuf Islam, seperti, al-Farazi (abad VIII) sebagai astronom Islam yang pertama kali
menyusun Astrolabe (alat yang digunakan untuk mengukur tinggi bintang) dan sebagainya.
Para ilmuwan tersebut memiliki pengetahuan yang bersifat desekuaristik, yaitu ilmu
pengetahuan umum yang mereka kembangkan tidak terlepas dari ilmu agama atau tidak
terlepas dari nilai-nilai Islam. Ibnu Sina misalnya, di samping hafal al-Qur‘an dia dikenal ahli
di bidang kedokteran. al-Biruni, seorang ahli filsafat, astronomi, geografi, matematika, juga
sejarah. Ibnu Rusyd, yang oleh dunia barat dikenal dengan Averous, dia bukan hanya terkenal
dalam bidang filsafat, akan tetapi juga dalam bidang Fiqh. Bahkan kitab fiqih karangannya,
yakni Bidayatul Mujtahid dipakai sebagai rujukan umat Islam di berbagai negara.

Begitu tingginya nilai ilmu dalam peradaban manusia, Allahmenegaskan dalam al-Qur‘an
bahwa Dia akan meninggikan derajat orangorangyang berilmu dan beriman sebagaimana
dalam Al-Mujadalah ayat 11,Allah Berfirman:

ۚ ‌ۡ‫ح هّٰللا ُ لَـ ُكم‬ ۡ ۡ ِ ِ‫ٰۤياَيُّهَا الَّ ِذ ۡي َن ٰا َمنُ ۡۤوا اِ َذاـ قِ ۡي َل لَـ ُكمۡ تَفَ َّسح ُۡوا فِى ۡال َم ٰجل‬
ِ ‫س فَاف َسح ُۡوا يَف َس‬
‫َواِ َذاـ ِق ۡي َل ا ْن ُش ُز ۡوا فَا ْن ُش ُز ۡوا يَ ۡرفَ ِع هّٰللا ُ الَّ ِذ ۡي َن ٰا َمنُ ۡوا ِم ۡن ُكمۡ ۙ َوالَّ ِذ ۡي َـن اُ ۡوتُوا ۡال ِع ۡل َم‬
‫ت‌ؕ َوهّٰللا ُ بِ َما تَ ۡع َملُ ۡو َن َخبِ ۡي ٌر‬
ٍ ‫َد َر ٰج‬

10
Hai orang-orang beriman apabila dikatakan kepadamu: "Berlapanglapanglah dalam majlis",
maka lapangkanlah niscaya Allah akan memberi kelapangan untukmu. Dan apabila dikatakan:
"Berdirilah kamu", maka berdirilah, niscaya Allah akan meninggikan orang-orang yang
beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat. Dan
Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.

Ayat di atas menunjukkan kepada kita betapa Islam memberikan perhatian yang besar
terhadap ilmu. Apapun bentuk ilmu itu, selama bias memberikan kemanfaatan, maka ilmu
tersebut harus dicari. Allah dan Rasul Nya tidak menyebut suatu disiplin ilmu tertentu yang
menjadi penyebab seseorang akan diangkat derajatnya oleh Allah, demikian juga tidak
menyebut dengan menunjuk ilmu-ilmu tertentu untuk dipelajari. Islam dan Sains tidak saling
bertentangan, bahkan sebaliknya yakni memiliki keselarasan. Ada banyak ayat yang telah
ditafsirkan oleh cendekiawan atau pengkaji al-Qur’an terkait dengan kesesuaiannya dengan
sains.

Salah satu yang telah diteliti untuk menguatkan argumentasi di atas adalah ayat-ayat al-Qur’an
yang memiliki kesesuaian dengan teori Heliosentris. Teori ini beranggapan bahwa matahari
adalah merupakan pusat peredaran planet-planet, termasuk di dalamnya adalah bumi,
sedangkan bulan adalah mengelilingi bumi yang kemudian bersama-sama bumi berputar
mengelilingi matahari. Sedangkan matahari hanyalah berputar mengelilingi sumbunya saja.
Al-Qur'an sebagai wahyu Allah yang bersumber langsung dari Allah telah memberikan
informasi-informasi tentang alam semesta, khususnya yang berhubungan dengan matahari,
bulan dan bumi. Ada 20 ayat yang menyebut kata matahari, dan ada 463 ayat yang menyebut
kata bumi serta ada 5 ayat yang menyebut kata bulan. Belum lagi ayat yang menjelaskan
tentang langit, pergantian siang dan malam, serta ayat yang menyebut tentang bintang-
bintang.

Terkait dengan teori Heliocentris, ada beberapa ayat yangmenjelaskan tentang gerak matahari,
bulan dan bumi, yaitu surat Yunus: 5,surat Yasin: 38, dan surat al-Naml: 88. Beberapa ayat
tersebut adalah:

‫از َل لِتَ ۡعلَ ُم ۡوا َع َد َد ال ِّسنِ ۡي َن‬ ۡ َ ۡ‫هُ َو الَّ ِذ ۡى َج َع َل ال َّشم‬


ِ َ‫ضيَٓا ًء َّوالقَ َم َر نُ ۡورًا َّوقَ َّد َر ٗه َمن‬ ِ ‫س‬
ِ ‫ق يُفَصِّ ُل ااۡل ٰ ٰي‬
‫ت لِقَ ۡو ٍم ي َّۡعلَ ُم ۡو َن‬ َ ِ‫ق هّٰللا ُ ٰذل‬
‌ِّۚ ‫ك اِاَّل بِ ۡال َحـ‬ َ ‫َو ۡال ِح َس‬
َ َ‫اب‌ؕ َما َخل‬

11
Dialah yang menjadikan matahari bersinar dan bulan bercahaya dan ditetapkan-Nya manzilah-
manzilah (tempat-tempat) bagi perjalanan bulan itu, supaya kamu mengetahui bilangan tahun
dan perhitungan (waktu). Allah tidak menciptakan yang demikian itu melainkan dengan hak.
Dia menjelaskan tanda-tanda (kebesaran-Nya) kepada orang-orang yang mengetahui.

Secara khusus Allah menjelaskan perjalanan matahari dalam surat Yāsīnayat 38:

ؕ‫ك تَ ۡق ِد ۡي ُر ۡال َع ِز ۡي ِز ۡال َعلِ ۡي ِم‬


َ ِ‫َوال َّشمۡ سُ تَ ۡج ِر ۡى لِ ُم ۡستَقَرٍّ لَّهَا‌ؕ ٰذل‬
Dan matahari berjalan ditempat peredarannya. Demikianlahketetapan Yang Maha Perkasa
lagi Maha Mengetahui.

Sedangkan mengenai gerak bumi, sebagaimana dijelaskan dalam surat al-Naml: 88:

‫ى أَ ْتقَ َن ُك َّل‬
ٓ ‫ص ْن َع ٱهَّلل ِ ٱلَّ ِذ‬ ِ ‫ال تَحْ َسبُهَا َجا ِم َدةً َو ِه َى تَ ُمرُّ َم َّر ٱلس ََّحا‬
ُ ۚ‫ب‬ َ َ‫َوتَ َرى ْٱل ِجب‬
َ ُ‫َش ْى ٍء ۚ إِنَّهۥُ َخبِي ۢ ٌر بِ َما تَ ْف َعل‬
‫ون‬
Dan kamu lihat gunung-gunung itu, kamu sangka dia tetap ditempatnya, padahal ia berjalan
sebagai jalannya awan. (Begitulah)perbuatan Allah yang membuat dengan kokoh tiap-tiap
sesuatu;sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.

Selain itu, ada juga kajian yang telah menafsirkan ayat al-Qur’an yangmemiliki kesesuaian
dengan ilmu geologi yang ditulis oleh Izzatul Laila. Iamengatakan bahwa lempeng-lempeng
litosfer bergerak dan saling berinteraksi satu sama lain. Pada tempat-tempat tertentu saling
bertemu dan pertemuan lempengan ini menimbulkan gempa bumi. Sebagai contoh adalah
Indonesia yang merupakan tempat pertemuan tiga lempeng: Eurasia, Pasifik dan Indo-
Australia. Bila dua lempeng bertemu maka terjadi tekanan (beban) yang terus menerus. Dan
bila lempengan tidak tahan lagi menahan tekanan (beban) maka lepaslah beban yang telah
terkumpul ratusan tahun itu, akhirnya dikeluarkan dalam bentuk gempa bumi.

12
Sebagaimana termaktub dalam Surat al-Zalzalah, 99: 1–4:25

‫ت ااۡل َ ۡرضُ ِز ۡل َزالَهَا‬


ِ َ‫اِ َذا ُز ۡل ِزل‬

‫ت ااۡل َ ۡرضُ اَ ۡثقَالَهَا‬


ِ ‫َواَ ۡخ َر َج‬

ُ ‫ال ااۡل ِ ۡن َس‬


‫ان َما لَهَا‬ َ َ‫َوق‬

َ َ‫ث اَ ۡخب‬
‫ارهَا‬ ُ ‫يَ ۡو َم ِٕٕٮِـ ٍذ تُ َح ِّد‬

“Apabila bumi ‘digoncangkan dengan goncangan (yang dahsyat).’Dan bumi telah


‘mengeluarkan beban-beban beratnya.’ Dan manusia bertanya: ‘Mengapa bumi (jadi begini)?’
Pada hari itu bumi menceritakan beritanya.”

Beban berat yang dikeluarkan dalam bentuk gempa bumi merupakan suatu proses geologi
yang berjalan bertahun-tahun. Begitupun seterusnya, setiap selesai beban dilepaskan, kembali
proses pengumpulan beban terjadi. Proses geologi atau ‘berita geologi’ ini dapat direkam baik
secara alami maupun dengan menggunakan peralatan geofisika ataupun geodesi. Sebagai
contoh adalah gempa-gempa yang beberapa puluh atau ratus tahun yang lalu, peristiwa
pelepasan beban direkam dengan baik oleh terumbu karang yangberada dekat sumber gempa.
Pada masa modern, pelepasan energi ini terekam oleh peralatan geodesi yang disebut GPS
(Global Position System).

13
III. Islam Dan Penegakan Hukum

A. Hukum dan Keadilan dalam Islam

Seorang hakim dalam Islam memiliki kewenangan yang luas dalam melaksanakan keputusan
hukum dan bebas dari pengaruh siapapun. Hakim wajib menerapkan prinsip keadilan dan
persamaan terhadap siapapun. Al-Qur’an dalam surat an-Nisa ayat 58 telah menetapkan garis
hukum:

‫اس اِ ْن تَحْ ُك ُم ْوا بِ ْال َع ْد ِل‬


ِ َّ‫ َواِ َذاـ َح َك ْمتُ ْم بَي َْن الن‬.…
“….bila kamu menetapkan hukum antara manusia, maka hendaklah kamu tetapkan dengan
cara adil” Putusan seorang hakim harus mencerminkan rasa keadilan hukum dengan tidak
memandang kepada siapa hukum itu diputuskan.

Sikap ini didasarkan pada firman Allah dalam surat al-Maidah ayat 8:

‫ْط َوالَ يَجْ ِر َمنَّ ُك ْم َشنَأ َ ُن قَ ْو ٍم‬


ِ ‫يَأَيُّهَا الَّ ِذي َْن آ َمنُ ْوا ُك ْونُ ْوا قَ َّوا ِمي َْن هللِ ُشهَ َدا َء بِ ْالقِس‬
‫َعلَى اَالَّ تَ ْع ِدلُ ْوااِ ْع ِدلُ ْواـ هُ َو اَ ْق َربُ لِلتَّ ْق َوى‬

“Hai orang-orang yang beriman, hendaklah kamu menjadi orang yang lurus karena Allah,
menjadi saksi yang adil dan janganlah kebencianmu terhadap suatu kaum menyebabkan
kamu berlaku tidak adil. Bersikaplah adil, karena adil itu lebih dekat kepada taqwa”
Dari ayat di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa sikap adil itu tidak akan memihak kepada
siapapun kecuali kepada kebenaran.

Di sisi lain Allah menegaskan dalam surat an-Nisa ayat 135:

‫ْط ُشهَ َدٓا َء هَّلِل ِ َولَ ْـو َعلَ ٰ ٓى أَنفُ ِس ُك ْم أَ ِو‬


ِ ‫ين ِب ْٱلقِس‬ ۟ ُ‫وا ُكون‬
َ ‫وا قَ ٰ َّو ِم‬ ۟ ُ‫ين َءامن‬ ٓ
َ َ ‫ٰيَأَيُّهَا ٱلَّ ِذ‬
۟ ‫ين ۚ إن يَ ُك ْن َغنِيًّا أَ ْو فَقِيرًا فَٱهَّلل ُ أَ ْولَ ٰى ب ِهما ۖ فَاَل تَتَّبع‬
ٓ ٰ ‫ُوا ْٱلهَ َو‬
‫ى‬ ِ َ ِ ِ َ ِ‫ْٱل ٰ َولِ َدي ِـْن َوٱأْل َ ْق َرب‬
۟ ‫وا ۚ َوإن تَ ْل ُٓۥو ۟ا أَ ْو تُعْرض‬ ۟
‫ون َخبِيرًا‬ َ ُ‫ان بِ َما تَ ْع َمل‬ َ ‫ُوا فَإ ِ َّن ٱهَّلل َ َك‬ ِ ِ ‫أَن تَ ْع ِدلُ ـ‬

14
“Wahai orang-orang yang beriman jadilah kamu orang yang benar-benar penegak keadilan,
menjadi saksi karena Allah biarpun terhadap dirimu sendiri atau ibu bapakmu dan kaum
kerabatmu, jika ia kaya atau miskin, maka Allah lebih tahu kemaslahatannya. Maka
janganlah kamu mengikuti hawa nafsu karena ingin menyimpang dari kebenaran, dan jika
kamu memutarbalikkan kata atau enggan menjadi saksi, maka sesungguhnya Allah maha
mengetahui segala sesuatu yang kamu kerjakan”

Dari ayat ini dapat ditarik tiga hukum, pertama, menegakkan hukum adalah kewajiban bagi
semua orang. Kedua, setiap orang apabila menjadi saksi hendaklah berlaku jujur dan adil.
Ketiga, manusia dilarang mengikuti hawa nafsu serta dilarang menyeleweng dari kebenaran.
Keadilan dalam Islam adalah kebenaran, kebenaran merupakan salah satu nama Allah. Dia
adalah sumber kebenaran yang dalam al-Qur’an disebut al-Haq.

Marcel A. Boisard mencatat bahwa anjuran-anjuran moral adalah dua hal yang ekstrim,
kebajikan adalah tengah, tengah itu adalah keadilan dan kebajikan adalah hal yang
fundamental. Ia adalah keadilan yang tepat, yang jauh dari rasa kebencian, yang menghormati
segala proporsi.Prinsip keadilan ini sangat ditekankan dengan kuat, karena dalam doktrin
Islam, keadilan adalah motivasi keagamaan yang esensi. Apabila keadilan dikaitkan dengan
hukum, maka dua hal tersebut dalam tatanan peradilan Islam dianggap sebagai sesuatu
interdependetie. Lahirnya hukum dituntut adanya rasa keadilan, terwujudnya keadilan
melahirkan teori keadilan, teori keadilan perlu diwujudkan dalam hukum, dan hukum harus
melahirkan keputusan hukum yang mencerminkan rasa keadilan. Islam merupakan sendi yang
fundamental dalam rangka penegakan supremasi hukum. Maka dalam suatu tatanan
masyarakat sangat memerlukan lembaga peradilan yang menciptakan rasa dan nilai keadilan.
Lembaga peradilan merupakan tempat memutar roda keadilan guna menjaga keseimbangan
hidup dalam masyarakat.

Hal ini bisa dilihat dari praktik Rasulullah, sebagaimana dinyatakan dalam hadis: Ketika
Uzamah binti Zaid meminta maaf atas kesalahan Fatimah binti al-Aswad karena telah
mencuri, maka Rasulullah berkata, “Apakah kamu meminta syafaat mengenai sesuatu dari
hukuman yang telah ditetapkan oleh Allah”.

Kemudian Rasulullah bersabda:

15
َ ‫يع َويَ ْت ُر ُك‬
‫ون‬ ِ ‫ض‬ ِ ‫ون ْال َح َّد َعلَى ْال َو‬َ ‫ان قَ ْبلَ ُك ْم أَنَّهُ ْم َكانُوا يُقِي ُم‬َ ‫ك َم ْن َك‬ َ َ‫إِنَّ َما هَل‬
ُ ‫ك لَقَطَع‬
‫ْت يَ َدهَا‬ َ ِ‫ت َذل‬ ِ َ‫يف َوالَّ ِـذ ي نَ ْف ِسبِيَ ِد ِه لَ ْو أَ َّن ف‬
ْ َ‫اط َمةَ فَ َعل‬ َ ‫ال َّش ِر‬

“Bahwasanya yang menyebabkan kehancuran umat sebelum kamu ialah mereka menegakkan
had terhadap kaum lemah dan meninggalkan had terhadap kaum bangsawan. Saya bersumpah
demi Allah seandainya Fatimah putri Muhammad mencuri niscaya akan kupotong tangannya”

Prinsip keadilan dalam menegakkan hukum yang dilakukan oleh Rasulullah semata-mata
menjalankan keadilan Ilahi. Rasulullah sebagai hakim pada saat itu hanya mengemban hukum
Allah sehingga setiap keputusannya selalu berpegang kepada hukum Allah yaitu al-Qur’an.
Sedang al-Qur’an sendiri memberi petunjuk bahwa kita disuruh berlaku adil, baik untuk diri
sendiri maupun keluarga dan jangan mengikuti hawa nafsu karena ingin menyimpang dari
kebenaran.

Di sini Nabi bersikap sebagai seorang penguasa atau eksekutif sekaligus sebagai yudikatif.
Namun bila dihadapkan dengan tugasnya sebagai yudikatif, maka kekuasaan eksekutif tidak
akan mempengaruhi setiap keputusannya. Apabila prinsip keadilan dihubungkan dengan
hukum, maka harus ada intervensi kekuasan yang dapat mengantarkan ke arah tegaknya
hukum. Ada beberapa tugas pokok bagi penyelenggara negara dalam rangka menegakkan
supremasi hukum. Pertama, kewajiban menerapkan kekuasaan negara dengan adil, jujur dan
bijaksana. Seluruh rakyat tanpa kecuali, harus dapat merasakan nikmat keadilan yang timbul
dari kekuasaan negara. Misalnya, implementasi kekuasaan negara dalam bidang politik dan
pemerintahan. Semua rakyat harus dapat merasakan hak-haknya secara adil tanpa adanya
diskriminasi. Kedua, kewajiban menerapkan kekuasaan kehakiman dengan seadil-adilnya.
Hukum harus ditegakkan sebagaimana mestinya, hukum berlaku bagi siapa saja, tanpa
memandang kedudukannya. Ketiga, kewajiban penyelenggara negara untuk mewujudkan
suatu tujuan masyarakat yang adil dan kesejahteraan sosial. Prinsip keadilan dalam Islam
mengandung konsep yang bernilai tinggi. Ia tidak identik dengan keadilan yang diciptakan
manusia.

Keadilan manusia dengan doktrin humanismenya telah mengasingkan nilai-nilai transendental


dan telah mengagungkan manusia sebagai individu, sehingga manusia menjadi titik sentral.
Sebaliknya konsep keadilan dalam Islam menempatkan manusia dalam kedudukannya yang

16
wajar, baik sebagai individu maupun sebagai anggota masyarakat. Manusia bukan titik sentral
mutlak melainkan “hamba Allah” yang nilainya ditentukan oleh hablu min Allah wa habl min
an-nas. Dalam doktrin Islam hanya Allah yang menempati posisi sentral. Karena itu keadilan
dalam humanisme Islam selalu bersifat teosentrik. Artinya bertumpu dan berpusat pada
kekuasaan Allah semata. Dengan demikian keadilan Islam memiliki kelebihan yang tidak
dijumpai dalam konsep-konsep keadilan menurut versi manusia.4 Dalam peradilan Islam, satu
hal yang perlu diperhatikan, bahwa seorang hakim harus menghindari suatu bentuk hukuman
sebelum adanya bukti kesalahan yang jelas. Artinya hakim menghindari hukuman pokok
karena adanya unsur subhat. Demikian juga dianut doktrin bahwa seorang hakim lebih baik
salah dalam memaafkan dari pada salah menjatuhkan putusan. Prinsip ini perlu ditegakkan
oleh para hakim dalam rangka membangun supremasi hukum.

B. Penegakan Hukum
Berbicara tentang supremasi hukum dalam Islam, penulis mencoba mengkaitkannya dengan
penerapan pemidanaan dalam Islam, yang dalam konsep fiqh dibahas dalam bab jinayah.
Persoalan ini, secara historis telah mendorong munculnya diskusi yang berkelanjutan sejak
awal sejarah Islam. Apakah ia dapat dipertimbangkan untuk dipertahankan sebagai dasar
hukum yang mampu menjamin keadilan dan ketentraman masyarakat atau sebaliknya
dianggap sebagai sesuatu yang out of date dan tidak humanis.

Baik secara teoritis maupun prakteknya Peradilan Islam diakui sebagai sumber dalam
jurisprudensi Islam. Bahkan dalam prakteknya peradilan Islam memainkan peranan yang
sangat penting dalam proses kreasi hukum Islam untuk mewujudkan supremasi hukum, dalam
rangka membentuk setiap individu bermoral guna melahirkan struktur masyarakat yang aman
dan tentram.

Pada masa Nabi Muhammad, orang-orang Arab telah mengadopsi berbagai macam adat.
Praktek ini, dalam banyak hal telah mempunyai kekuatan hukum dalam masyarakat. Dalam
kaitannya dengan keberlangsungan hukum pra-Islam, Nabi Muhammad tidak melakukan
tindakan-tindakan perubahan terhadap hukum yang ada sepanjang hukum tersebut sesuai
dengan prinsip-prinsip ajaran Islam yang fundamental. Dengan demikian Nabi Muhammad
dalam kapasitasnya sebagai pembuat hukum dari sebuah agama yang baru melegalkan hukum
lama di satu sisi, dan mengganti beberapa hal yang tampaknya tidak konsisten dengan prinsip-
17
prinsip hukum. Hukum yang direvisi bahkan dirombak oleh Rasulullah antara lain:
perkawinan dengan ibu tiri, poliandri, menikahi wanita tanpa batas jumlahnya, hubungan
seksual yang tidak sah, aborsi, pembunuhan terhadap bayi perempuan, balas dendam dalam
hukum qisas, perlindungan pencuri bagi bangsawan, perceraian berulang-ulang dan lain
sebagainya.
Penyimpangan nilai-nilai moral dalam hukum pra-Islam nampak sekali dalam sistem
pemidanaan (peradilan), terutama pada jarimah qisas diyat. Keadaan demikian dapat
dibuktikan dengan peristiwa sejarah yang terjadi di kalangan masyarakat Arab jahiliyah: Salah
seorang kabilah Gani membunuh Syas bin Zuhair, maka datanglah Zuhair, ayah Syas, untuk
minta pembalasan kepada suku Gani. Mereka berkata, “Apa kehendakmu atas kematian
Syas?”. Jawab Zuhair, “Satu dari tiga hal dan tidak bisa diganti, yaitu menghidupkan kembali
Syas, atau mengisi selendangku dengan binatang-binatang dari langit, atau engkau serahkan
kepadaku semua anggota kabilah Gani untuk saya bunuh semua, dan sesudah itu aku belum
merasa telah mengambil sesuatu ganti rugi atas kematian Syas”. Tuntunan semacam ini
semakin membuat rawannya keadaan bila ternyata si korban dari kalangan kabilah terhormat
atau pemimpin kabilah itu sendiri. Hal ini terjadi karena ada sebagian dari kabilah-kabilah
Arab yang mengabaikan tuntutan wali si korban, bahkan sebaliknya mereka memberikan
perlindungan terhadap si pembunuh. Sehingga tidak menutup kemungkinan terjadi perang
antar kabilah yang di dalamnya melibatkan orang-orang yang tak berdosa.

Di sisi lain, memang orang-orang Arab mempunyai tradisi balas dendam, bahkan terhadap
persoalan yang telah terjadi beberapa tahun yang silam. Kalau seseorang anggota keluarga
terbunuh, maka pembalasan dilakukan terhadap keluarga pembunuh yang tidak berdosa di
samping pembunuhnya sendiri.

Al-Qur’an dan praktik Nabi memperkenalkan berbagai modifikasi terhadap praktek hukuman
ini, akan tetapi ide utama dari prinsip-prinsip yang mendasarinya tidak bersifat baru,
melainkan telah lama dipraktekkan masyarakat Arab sebelum munculnya Islam. Perubahan
utama yang dilakukan oleh Islam adalah prinsip keseimbangan dalam kerangka hukum yang
berdimensi keadilan.

Dalam hukum Islam satu jiwa harus diambil karena perbuatan menghilangkan nyawa orang
lain atau pemberian kompensasi harus dilakukan terhadap keluarga korban. Aturan ini tidak

18
mempersoalkan status suku atau kedudukan si korban dalam sukunya, seperti dipraktekkan
pada masyarakat Arab Jahiliyah, tetapi lebih dari itu, sebagaimana yang dikatakan oleh
Caulson, “sesuai dengan standar moral keadilan dan nilai tebusan yang pasti terhadap pihak
yang menjadi korban”.

Ketentuan ini dituangkan dalam al-Qur’an dalam surat al-Baqarah ayat 178 sebagai berikut:

‫ى ْالحُرُّ بِ ْالحُرِّ َو ْال َع ْب ُد بِ ْال َع‬ َ ‫صاصُ فِى ْالقَ ْت َِل‬ َ ِ‫ب َعلَ ْي ُك ُم ْالق‬
َ ِ‫يَاأَيُّهَا الَّ ِذي َْن آ َمنُ ْوا ُكت‬
‫ف َوأَ َدا َء إِلَ ْي ِه‬ ٌ ‫ب ِد َواألُ ْنثَىبِاألُ ْنثَى فَ َم ْن ُعفِ َى لَهُ ِم ْن اَ ِخ ْي ِه َش ْي ٌئ فَا تِّبَا‬
ِ ‫ع بِ ْال َم ْعر ُْو‬
ٍ ‫بِإِحْ َس‬
‫ان‬

“Hai orang-orang yang beriman ditetapkan atas kamu qisas berkenaan dengan orang yang
terbunuh, orang merdeka dengan merdeka, hamba dengan hamba dan wanita dengan wanita,
barang siapa mendapat pemaafan dari saudaranya hendaklah (yang memberi maaf)
mengikuti dengan cara yang baik, dan bagi yang dimaafkan membayar (diyat) kepada yang
memaafkan dengan cara yang baik pula….”

Menurut Imam al-Baidawi sebagaimana dikutip oleh as-Sayyid Sabiq, bahwa turunnya ayat
tersebut berkenaan dengan dua kabilah yang berhutang piutang. Salah satu lebih kuat dari
lainnya. Lalu Kabilah yang kuat bersumpah, “Kami harus membunuh orang merdeka di antara
kalian sebagai akibat terbunuhnya hamba sahaya kami, dan kami akan membunuh laki-laki
sebagai akibat terbunuhnya perempuan dari suku kami.”

Dalam hukum hadd ditemukan adanya pembenahan sistem hukum, seperti dalam kasus delik
pencurian, pada masa pra-Islam hukum yang diberlakukan sangat diskriminasi, terutama
antara bangsawan dan rakyat biasa. Hadis di bawah ini dapat dijadikan dasar pernyataan
tersebut di atas ketika Uzamah binti Zaid kekasih Rasulullah meminta maaf atas kesalahan
Fatimah binti al-Aswad karena telah mencuri, maka Rasulullah berkata, “Apakah kamu
meminta syafa'at mengenai sesuatu dari hukuman yang telah ditetapkan oleh Allah?”.
Kemudian Rasulullah bersabda:

19
َ ‫يع َويَ ْت ُر ُك‬
‫ون‬ ‫ض ِـ‬ ِ ‫ون ْال َح َّد َع لَى ْال َو‬َ ‫ان قَ ْبلَ ُك ْم أَنَّهُ ْم َكانُوا يُقِي ُم‬ َ ‫ك َم ْن َك‬ َ َ‫إِنَّ َما هَل‬
ُ ‫ك لَقَطَع‬
‫ْت يَ َدهَا‬ َ ِ‫ت َذل‬ ِ َ‫يف َوالَّ ِذيـ نَ ْف ِسبِيَ ِد ِه لَ ْو أَ َّن ف‬
ْ َ‫اط َمةَ فَ َعل‬ َ ‫ال َّش ِر‬

“Bahwasanya yang menyebabkan kehancuran umat sebelum kamu sekalian ialah karena
apabila ada kaum bangsawan mencuri, mereka dibiarkan, tetapi sebaliknya jika yang
mencuri adalah kaum lemah, maka ditegakkan hukum yang seadil-adilnya, saya bersumpah
demi Allah seandainya Fatimah Putri Muhammad mencuri niscaya akan kupotong
tangannya.”

Di samping contoh di atas, ada sebagian hukum jahiliyah yang tidak menerapkan sanksi bagi
jarimah-jarimah tertentu, akibatnya muncul ketidakadilan. Hal ini disebabkan karena
perbedaan kabilah. Seperti kasus riba yang sangat mengacaukan masyarakat, sehingga orang
yang jatuh ke tangan periba dan tidak mampu membayar hutangnya sering menyerahkan anak
gadisnya sebagai jaminan. Kejahatan semacam ini telah dihapus oleh Islam dan diderivasikan
ke dalam jarimah ta’zir. Artinya ditetapkan adanya sanksi bagi periba yang ditentukan oleh
penguasa berdasarkan kadar riba yang diperbuatnya. Demikian halnya dengan kasus
mengawini ibu tiri (kejahatan seks), yang memberikan indikasi bahwa praktek hukum
jahiliyah sangat tidak manusiawi.

Islam datang dengan panji-panji keadilan yang ternyata lambat laun dapat diterima oleh
masyarakat luas, termasuk keadilan dalam sistem pemidanaan dalam rangka menciptakan
supremasi hukum. Dalam penerapan sanksi, Islam sangat mempertimbangkan rasa keadilan,
baik keadilan sosial (social justice) maupun keadilan secara individual (individual justice). Di
sinilah “dimensi kemanusiaan” tercakup. Abu Zahrah, berkomentar, bahwa kedatangan Islam
adalah menegakkan keadilan dan melindungi keutamaan akal budi manusia. Pendapat senada
juga dilontarkan oleh as-Sabuni, bahwa Islam datang dengan membawa kepentingan menuju
pada tegaknya keadilan, melindungi kehormatan manusia, mencegah segala bentuk kejahatan,
memberi pelajaran pada pelaku tindak kejahatan dengan memberikan sanksi seimbang sesuai
dengan tingkat kesalahan seseorang.

C. Hukum dan Keadilan Dalam Islam

20
Menurut M. Natsir (demokrasi dibawah hukum cet.III, 2002) adalah suatu penegasan, ada
undang-undang yang disebut Sunnatullah yang nyata-nyata berlaku dalam kehidupan manusia
pada umumnya. Perikehidupan manusia hanya dapat berkembang maju dalam berjama’ah
(Society).

Man is born as a social being. Hidup perorangan dan hidup bermasyarakat berjalin, yang satu
bergantung pada yang lain. Kita mahluk sosial harus berhadapan dengan berbagai macam
persoalan hidup, dari persoalan rumah tangga, hidup bermasyarakat, berbangsa, bernegara,
berantara negara, berantar agama dan sebagainya, semuanya problematika hidup duniawi yang
bidangnya amat luas. Maka risalah Muhammad Saw, meletakkan beberapa kaidah yang
memberi ketentuan-ketentuan pokok guna memecahkan persoalan-persoalan.

Kestabilan Hidup bermasyarakat memerlukan tegaknya keadilan lanjut M. Natsir. Tiap-tiap


sesuatu yang melukai rasa keadilan terhadap sebagian masyarakat, maka bisa merusak
kestabilan secara keseluruhan. Menegakkan keadilan di tengah-tengah masyarakat dan bangsa
diawali dengan kedaulatan hukum yang ditegakkan. Semua anggota masyarakat berkedudukan
sama di hadapan hukum. Jadi di hadapan hukum semuanya sama, mulai dari masyarakat yang
paling lemah sampai pimpinan tertinggi dalam Negara.

“Dan janganlah rasa benci kamu kepada suatu golongan menyebabkan kamu tidak berlaku
adil. Berlaku adilah, karena itu lebih dekat kepada taqwa. Dan bertaqwalah kepada Allah
karena sesungguhnya Allah amat mengetahui apa yang kamu kerjakan”(QS.5:8).
“Dengarlah dan taatilah sekalipun andaikata yang menjalankan hukum atasmu seseorang
budak Habsyi yang kepalanya seperti kismis selama dijalankannya hukum Allah Swt”.
(H.R.Buchori dari Anas) Tidak mungkin hukum dan keadilan dapat tegak berdiri keadilan
dapat tegak berdiri kokoh apabila konsep persamaan itu diabaikan. Implementasi keadilan
hukum di masyarakat dewasa ini banyak ditemui sandungan yang menyolok atas pandangan
lebih terhadap orang yang punya kedudukan tinggi, yang punya kekayaan melimpah, sehingga
rakyat banyak telah menyimpan imej bertahun-tahun bahwa di negeri ini keadilan itu dapat
dibeli.
Lebih jauh kesamaan itu dijabarkan Rachman di bukunya Political Science and Government
dalam Ramly Hutabarat di bukunya Hukum dan Demokrasi (1999) yaitu, yakni:
a. Manusia secara alamiah dilahirkan sama (Natural Equality)

21
b. Setiap masyarakat memiliki kesamaan hak sipil

c. Semua warga negara memiliki hak yang sama mendapatkan lapangan pekerjaan

d. Semua warga Negara sama kedudukannya dalam politik.

IV. Kewajiban Menegakkan Amar Makruf dan Nahi Munkar

A. Pengertian

Amar makruf nahi mungkar (bahasa Arab: ‫المنكر عن والنهي بالمعروف األمر‬, al-amr bi-l- maʿrūf wa-n-nahy
ʿani-l-munkar) adalah sebuah frasa dalam bahasa Arab yang berisi perintah menegakkan yang benar
dan melarang yang salah. Dalam ilmu fikih klasik, perintah ini dianggap wajib bagi kaum Muslim.
"Amar makruf nahi mungkar" telah dilembagakan di beberapa negara, contohnya adalah di Arab Saudi
yang memiliki Komite Amar Makruf Nahi Mungkar (Haiʾat al-amr bi-l-maʿrūf wa-n-nahy ʿani-l-
munkar). Di kekhalifahan-kekhalifahan sebelumnya, orang yang ditugaskan menjalankan perintah ini
disebut muhtasib. Sementara itu, di Barat, orang-orang yang mencoba melakukan amar makruf nahi
mungkar disebut polisi syariah.

Tidak diragukan lagi bahwa amar ma’ruf nahi mungkar adalah upaya menciptakan kemaslahatan umat
dan memperbaiki kekeliruan yang ada pada tiap-tiap individunya. Dengan demikian, segala hal yang
bertentangan dengan urusan agama dan merusak keutuhannya, wajib dihilangkan demi menjaga
kesucian para pemeluknya. Persoalan ini tentu bukan hal yang aneh karena Islam adalah akidah dan
syariat yang meliputi seluruh kebaikan dan menutup segala celah yang berdampak negatif bagi
kehidupan manusia.

Amar ma’ruf nahi mungkar merupakan amal yang paling tinggi karena posisinya sebagai landasan
utama dalam Islam. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman:

“Kamu (umat Islam) adalah umat terbaik yang dilahirkan untuk manusia, (karena kamu) menyuruh
(berbuat) yang ma’ruf, mencegah dari yang mungkar, dan beriman kepada Allah. Sekiranya Ahli Kitab
beriman, tentulah itu lebih baik bagi mereka. Di antara mereka ada yang beriman, namun kebanyakan
mereka adalah orang-orang fasik.” (Ali Imran: 110)

Jika kita perhatikan dengan saksama, sebenarnya diutusnya para rasul dan diturunkannya Al-Kitab
adalah dalam rangka memerintah dan mewujudkan yang ma’ruf, yaitu tauhid yang menjadi intinya,
kemudian untuk mencegah dan menghilangkan yang mungkar, yaitu kesyirikan yang menjadi

22
sumbernya. Jadi, segala perintah Allah subhanahu wa ta’ala yang disampaikan melalui rasul-Nya
adalah perkara yang ma’ruf. Begitu pula seluruh larangan-Nya adalah perkara yangmungkar.
Kemudian, Allah subhanahu wa ta’ala menjadikan amar ma’ruf nahi mungkar ini sebagai sifat yang
melekat dalam diri nabi-Nya dan kaum mukminin secara menyeluruh.

Allah subhanahu wa ta’ala berfirman:

“Dan orang-orang yang beriman, laki-laki dan perempuan, sebagian merekamenjadi penolong bagi
sebagian yang lain. Mereka menyuruh (berbuat) yang ma’ruf dan mencegah dari yang mungkar,
melaksanakan shalat, menunaikan zakat, serta taat kepada Allah dan Rasul-Nya. Mereka akan diberi
rahmat oleh Allah. Sungguh, Allah Mahaperkasa, Mahabijaksana.” (at-Taubah: 71)

Siapa pun meyakini bahwa kebaikan manusia dan kehidupannya ada dalam ketaatan kepada Allah
subhanahu wa ta’ala dan Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam. Dan hal tersebut tidak akan
sempurna tercapai melainkan dengan adanya amar ma’ruf nahi mungkar. Dengan hal inilah umat ini
menjadi sebaik-baik umat di tengah-tengah manusia.

Allah subhanahu wa ta’ala berfirman:

“Kamu (umat Islam) adalah umat terbaik yang dilahirkan untuk manusia, (karena kamu) menyuruh
(berbuat) yang ma’ruf, dan mencegah dari yang mungkar….” (Ali Imran: 110)

B. Hukum Amar Ma’ruf Nahi Mungkar

Amar ma’ruf nahi mungkar adalah kewajiban bagi tiap-tiap muslim yang memiliki
kemampuan. Artinya, jika ada sebagian yang melakukannya, yang lainnya terwakili. Dengan
kata lain, hukumnya fardhu kifayah.

Namun, boleh jadi, hukumnya menjadi fardhu ‘ain bagi siapa yang mampu dan tidak ada lagi
yang menegakkannya. Al-Imam an-Nawawi rahimahullah mengatakan, “Amar ma’ruf nahi
mungkar menjadi wajib ‘ain bagi seseorang, terutama jika ia berada di suatu tempat yang tidak
ada seorang pun yang mengenal (ma’ruf dan mungkar) selain dirinya; atau jika tidak ada yang
dapat mencegah yang (mungkar) selain dirinya. Misalnya, saat melihat anak, istri, atau
pembantunya, melakukan kemungkaran atau mengabaikan kebaikan.” (Syarh Shahih Muslim)

23
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata, “Amar ma’ruf nahi mungkar adalah
fardhu kifayah. Namun, terkadang menjadi fardhu ‘ain bagi siapa yang mampu dan tidak ada
pihak lain yang menjalankannya.”

Asy-Syaikh Abdul ‘Aziz bin Abdillah bin Baz rahimahullah mengemukakan hal yang sama,
“Ketika para da’i sedikit jumlahnya, kemungkaran begitu banyak, dan kebodohan
mendominasi, seperti keadaan kita pada hari ini, maka dakwah (mengajak kepada kebaikan
dan menjauhkan umat dari kejelekan) menjadi fardhu ‘ain bagi setiap orang sesuai dengan
kemampuannya.”

Dengan kata lain, kewajibannya terletak pada kemampuan. Dengan demikian, setiap orang
wajib menegakkannya sesuai dengan kemampuan masing-masing. Allah subhanahu wa
ta’ala berfirman:

“Maka bertakwalah kamu kepada Allah menurut kesanggupanmu, dengarlah serta taatlah dan
infakkanlah harta yang baik untuk dirimu. Dan barang siapa dijaga dirinya dari kekikiran,
mereka itulah orang yang beruntung.” (at-Taghabun: 16)

Kemampuan, kekuasaan, dan kewenangan adalah tiga hal yang terkait erat dengan proses
amar ma’ruf nahi mungkar. Yang memiliki kekuasaan tentu saja lebih mampu dibanding yang
lain sehingga kewajiban mereka tidak sama dengan yang selainnya.

Al-Qur’an telah menunjukkan bahwa amar ma’ruf nahi mungkar tidak wajib bagi tiap-tiap
individu (wajib ‘ain), namun secara hukum menjadi fardhu kifayah. Inilah pendapat yang
dipegangi mayoritas para ulama, seperti al-Imam al-Qurthubi, Abu Bakar al-Jashash, Ibnul
Arabi al-Maliki, Ibnu Taimiyah, dan lain-lain rahimahumullah.

Allah subhanahu wa ta’ala berfirman:

“Dan hendaklah di antara kamu ada segolongan orang yang menyeru kepada kebajikan,
menyuruh (berbuat) yang ma’ruf, dan mencegah dari yang mungkar. Dan mereka itulah
orang-orang yang beruntung.” (Ali Imran: 104)

24
C. Syarat dan Etika Beramar Ma’ruf Nahi Mungkar

Allah subhanahu wa ta’ala menciptakan kita agar kita beribadah dan menjalankan ketaatan
kepada-Nya sebaik mungkin. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman:

“(Dialah) yang menciptakan mati dan hidup untuk menguji kamu, siapa di antara kamu yang
lebih baik amalnya. Dan Dia Mahaperkasa, Maha Pengampun.” (al-Mulk: 2)

Amar ma’ruf nahi mungkar adalah ibadah, ketaatan, dan amal saleh. Karena itu, harus
dilakukan dengan benar dan penuh keikhlasan agar menjadi amalan saleh yang diterima. Al-
Imam Fudhail Ibnu Iyadh rahimahullah mengemukakan bahwa suatu amalan meskipun benar
tidak akan diterima jika tidak ada keikhlasan, begitu pun sebaliknya. Keikhlasan berarti
semata-mata karena Allah subhanahu wa ta’ala, sedangkan kebenaran berarti harus berada di
atas sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Para penegak amar ma’ruf nahi mungkar
hendaknya memerhatikan dan memenuhi beberapa syarat berikut.

Syarat pertama: Ilmu dan pemahaman sebelum memerintah dan melarang. Apabila tidak ada
ilmu, dapat dipastikan yang ada adalah kebodohan dan kecenderungan mengikuti hawa nafsu.
Padahal siapa saja yang beribadah kepada Allah subhanahu wa ta’ala tanpa ilmu, maka
kerusakan yang diakibatkannya jauh lebih dominan daripada kebaikan yang diharapkan.

Dalam kaitannya dengan amar ma’ruf nahi mungkar, ilmu yang harus dimiliki meliputi tiga
hal, antara lain: Mengetahui yang ma’ruf dan yang mungkar serta dapat membedakan antara
keduanya; Mengetahui dan memahami keadaan objek yang menjadi sasarannya; serta
mengetahui dan menguasai metode atau langkah yang tepat dan terbaik sesuai dengan
petunjuk jalan yang lurus (ketentuan syariat). Tujuan utamanya adalah supaya tercapai
maksud yang diinginkan dari proses amar ma’ruf nahi mungkar dan tidak menimbulkan
kemungkaran yang lain.

Syarat kedua: Lemah lembut dalam beramar ma’ruf dan bernahi mungkar. Penyambutan yang
baik, penerimaan, dan kepatuhan adalah harapan yang tidak mustahil apabila proses amar
ma’ruf nahi mungkar selalu dihiasi oleh kelembutan.

25
Al-Imam Sufyan ibnu Uyainah rahimahullah mengatakan, “Tidak boleh beramar ma’ruf dan
bernahi mungkar selain orang yang memiliki tiga sifat: lemah lembut, bersikap adil
(proporsional), dan berilmu yang baik.”

Termasuk sikap lemah lembut apabila senantiasa memerhatikan kehormatan dan perasaan
manusia. Oleh karena itu, dalam beramar ma’ruf nahi mungkar hendaknya mengedepankan
kelembutan dan tidak menyebarluaskan aib atau kejelekan. Kecuali, mereka yang cenderung
senang dan bangga untuk menampakkan aibnya sendiri dengan melakukan kemungkaran dan
kemaksiatan secara terang-terangan. Sebab itu, tidak mengapa untuk mencegahnya dengan
cara terang-terangan atau sembunyi-sembunyi.

Al-Imam asy-Syafi’i rahimahullah berkata, “Siapa yang menasihati saudaranya dengan


sembunyi-sembunyi, sungguh ia benar-benar telah menasihatinya dan menghiasinya. Siapa
yang menasihati saudaranya dengan terang-terangan (di depan khalayak umum), sungguh ia
telah mencemarkannya dan menghinakannya.” (Syarh Shahih Muslim)

Syarat ketiga: Tenang dan sabar menghadapi kemungkinan adanya gangguan setelah beramar
ma’ruf nahi mungkar.

Gangguan seolah-olah menjadi suatu kemestian bagi para penegak amar ma’ruf nahi mungkar.
Oleh karena itu, jika tidak memiliki ketenangan dan kesabaran, tentu kerusakan yang
ditimbulkannya jauh lebih besar daripada kebaikan yang diinginkan.

Al-Imam ar-Razi rahimahullah menjelaskan bahwa orang yang beramar ma’ruf nahi mungkar
itu akan mendapat gangguan, maka urusannya adalah bersabar. Al-Imam Ibnu Taimiyah
rahimahullah juga mengemukakan bahwa para rasul adalah pemimpin bagi para penegak amar
ma’ruf nahi mungkar. Allah subhanahu wa ta’ala telah

memerintah mereka semua agar bersabar, seperti firman-Nya:

“Maka bersabarlah engkau (Muhammad) sebagaimana kesabaran rasul-rasul yang memiliki


keteguhan hati, dan janganlah engkau meminta agar azab disegerakan untuk mereka. Pada hari
mereka melihat azab yang dijanjikan, merasa seolah-olah tinggal (di dunia) hanya sesaat saja
pada siang hari. Tugasmu hanya menyampaikan. Maka tidak ada yang dibinasakan, selain
kaum yang fasik (tidak taat kepada Allah subhanahu wa ta’ala).” (al-Ahqaf: 35)

26
“Dan karena Rabbmu, bersabarlah!” (al-Mudatstsir: 7)

“Dan bersabarlah (Muhammad) menunggu ketetapan Rabbmu, karena sesungguhnya engkau


berada dalam pengawasan Kami, dan bertasbihlah dengan memuji Rabbmu ketika engkau
bangun.” (at-Thur: 48)

Allah subhanahu wa ta’ala juga menyebutkan wasiat Luqman kepada putranya dalam firman-
Nya:

“Wahai anakku! Laksanakanlah shalat dan suruhlah (manusia) berbuat yang ma’ruf dan
cegahlah (mereka) dari yang mungkar dan bersabarlah terhadap apa yang menimpamu,
sesungguhnya yang demikian itu termasuk perkara yang penting.” (Luqman: 17)

Seseorang yang beramar ma’ruf nahi mungkar berarti telah memosisikan dirinya sebagai
penyampai kebenaran. Padahal tidak setiap orang ridha dan suka dengan kebenaran. Oleh
karena itu, ia pasti akan mendapat gangguan, dan itu menjadi cobaan serta ujian baginya.

Allah subhanahu wa ta’ala berfirman:

“Apakah manusia mengira bahwa mereka akan dibiarkan hanya dengan mengatakan, ‘Kami
telah beriman’, dan mereka tidak diuji? Dan sungguh, Kami telah menguji orang- orang
sebelum mereka, maka Allah pasti mengetahui orang-orang yang benar dan pasti mengetahui
orang-orang yang dusta.” (al-‘Ankabut: 2—3)

Wal ‘ilmu ‘indallah.

27
V. Fitnah Akhir Zaman

A. Pengertian Fitnah
Fitnah, dergama, atau defamasi merupakan komunikasi kepada satu orang atau lebih
yang bertujuan untuk memberikan stigma negatif atas suatu peristiwa yang dilakukan
oleh pihak lain berdasarkan atas fakta palsu yang dapat memengaruhi penghormatan,
wibawa, atau reputasi seseorang. Kata "fitnah" diserap dari bahasa Arab, dan pengertian
aslinya adalah "cobaan" atau "ujian".

Hal terkait fitnah adalah pengumuman fakta yang bersifat pribadi kepada publik, yang
muncul ketika seseorang mengungkapkan informasi yang bukan masalah umum, dan
hal tersebut bersifat menyerang pribadi yang bersangkutan.

Hukum penjelasan palsu "terutama ditujukan untuk melindungi


kesejahteraan mental atau emosional penuntut". Jika publikasi informasi itu palsu,
terjadilah kesalahan berupa fitnah. Jika komunikasi itu tidak salah secara teknis namun
menyesatkan, kesalahan berupa penjelasan palsu bisa terjadi.

B. Fitnah Saat Akhir Zaman

Hidup manusia saat ini telah berada di akhir zaman , dan sudah dekat dengan waktu
hari kiamat. Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa sallam telah menjelaskan dalam sejumlah
hadisnya tentang dekatnya dengan hari kiamat ini. Walaupun, kapan akan hari kiamat,
seberapa lama lagi hari kiamat, itu adalah ilmu yang dirahasiakan di sisi Allah
Subhanahu wa Ta’ala.

Tetapi Baginda Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam telah mengisyaratkan tentang


dekatnya hari kiamat. Sebagaimana dinyatakan dalam sebuah hadis:

28
‫ َوي ُِشي ُر بِإِصْ بَ َع ْي ِه فَيَ ُم ُّد هُ َما‬،‫ت أَنَا َوالسَّا َعةُ َكهَاتَي ِْن‬
ُ ‫ب ُِع ْث‬

“Jarak diutusnya aku dan hari kiamat seperti dua (jari) ini.” Beliau memberikan isyarat
dengan kedua jarinya (jari telunjuk dan jari tengah), lalu merenggangkannya. (HR.
Bukhari)

Rasulullah pun telah mengisyaratkan tentang keadaan di akhir zaman dalam sabdanya,
“Bagaimana sikap kalian apabila fitnah telah mengelilingi kalian?”

Tentang hadis ini, Ustaz Abu Qotadah dalam kajian dan tausiyah di kanal RodjaTV
menjelaskan, fitnah telah berada di sekitar kita dan kita telah diliputi oleh fitnah, kita
telah dihadapkan kepada fitnah dari depan, dari belakang, dari kanan, dari kiri, dari
berbagai unsur kehidupan, fitnah berada di tengah-tengah. Dan fitnah itupun
berkepanjangan, lama, berkesinambungan dan semakin dahsyat dari satu waktu ke
waktu yang lainnya.
Sampai disebutkan di dalam hadis:

‫يَرْ بُو فِيهَا الص َِّغي ُر َو يَه َْر ُم فِيهَا ْال َكبِي ُر‬

“Anak-anak kecil menjadi dewasa dan orang yang tua menjadi pikun.”

“Yaitu apabila kebanyakan dari umat ini telah meninggalkan sunnah.”

Lalu para sahabat bertanya: “Kapan akan terjadi hal itu Wahai Abu Abdurrahman?”
Maka beliau menjawab: “Apabila telah pergi para ulamanya.” Artinya banyak yang
meninggal dunia dari kalangan ulama, banyak orang-orang yang wafat dari kalangan
para ulama.

29
“Dan semakin banyak orang-orang yang bodohnya. Semakin banyak ahli qira’ah, tapi
semakin sedikit yang faqih kepada makna-makna ayat Al-Qur’an.” Semakin sedikit
orang yang faham kepada isi dari Al-Qur’an.

Kemudian beliau mengatakan: “Apabila semakin banyak pemimpin kalian tetapi


semakin sedikit orang yang amanah,” orang yang adil, orang yang menegakkan hukum
Allah. Berkuasa, memiliki jabatan, memiliki tahta, tetapi berada dalam kondisi dzalim,
tidak menegakkan syariat Allah. Semakin sedikit yang amanah.

Kemudian beliau mengatakan: “Dan apabila telah dicari dunia dengan ibadah (amal
shalih),” artinya orang-orang beramal shalih tapi tujuannya dunia, tidak berkaitan
dengan surga, tidak berkaitan dengan kehidupan setelah kematian. Yang diharapkan
ketika melakukan amal saleh adalah untuk kehidupan dunia.

“Dan apabila semakin banyak orang-orang yang tafaqquh tentang urusan dunia (tapi
tidak tafaqquh tentang urusan agama),” artinya semakin sedikit orang yang belajar
tentang agama Allah, belajar tentang tauhid, belajar tentang aqidah, belajar tentang
iman, belajar tentang Islam, belajar tentang halal dan haram semakin sedikit. Dan
sibuknya sebagian besar di antara kita adalah dengan dunia ini.

C. Bekal Umat Beriman Menghadapi Fitnah Akhir Zaman


Melihat realita derasnya arus fitnah akhir zaman ini berikut dahsyatnya tiupan badainya,
tidak ada pilihan bagi orang yang beriman melainkan berusaha
dengan mujahadah puncak untuk bisa tsabat (teguh) di atas agama Allah yang telah kita
yakini kebenarannya dan telah diyakini akan mengantarkan siapa saja yang meniti di
atasnya, yaitu kepada Jannah Allah ‘azza wajalla.

Lalu, bagaimanakah cara kita bisa melewati arus dan badai fitnah akhir zaman ini
sehingga bisa mengantarkan kita kepada ujung yang membahagiakan?

30
Pertama: Meminta Perlindungan Kepada Allah

Seorang muslim hendaklah kembali kepada Allah ‘azza wajalla dan senantiasa meminta


perlindungan kepada-Nya dalam menghadapi fitnah.

Sesungguhnya kapan saja seorang muslim menghadapkan dirinya kepada Allah ‘azza


wajalla dalam meminta pertolongan, menggantungkan harapan, melambungkan
keinginan maka Allah ‘azza wajalla menjaganya, melindunginya dan meneguhkannya
di atas jalan Islam.

Oleh karenanya, beliau selalu memohon perlindungan kepada Allah ‘azza wajalla dan


memerintahkan umatnya untuk mengerjakannya.

َ ِ‫ان يَتَ َع َّو ُذ اللَّهُ َّم إِنِّي أَ ُعو ُذ ب‬


‫ك ِم ْن فِ ْتنَ ِة‬ َ ‫صلَّى هَّللا ُ َعلَ ْي ِه َو َسلَّ َم َك‬َ ‫ي‬ َّ ِ‫أن النَّب‬
َّ
ِ ‫ك ِم ْن َع َذا‬
‫ب‬ َ ِ‫ك ِم ْن فِ ْتنَ ِة ْالقَب ِْر َوأَ ُعو ُذ ب‬ َ ِ‫ار َوأَ ُعو ُذ ب‬ ِ َّ‫ب الن‬ ِ ‫ار َو ِم ْن َع َذا‬ ِ َّ‫الن‬
َ ِ‫ك ِم ْن فِ ْتنَ ِة ْالفَ ْق ِر َوأَ ُعو ُذ ب‬
‫ك ِم ْن‬ َ ِ‫ك ِم ْن فِ ْتنَ ِة ْال ِغنَى َوأَ ُعو ُذ ب‬
َ ِ‫ْالقَب ِْر َوأَ ُعو ُذ ب‬
ِ ‫فِ ْتنَ ِة ْال َم ِس‬
‫يح ال َّدج ِـ‬
‫َّال‬
“Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam biasa meminta perlindungan
dengan  (membaca): Ya Allah, aku berlindung kepada-Mu dari fitnah neraka dan siksa
neraka, aku berlindung kepada-Mu dari fitnah kubur dan siksa kubur, aku berlindung
kepada-Mu dari fitnah kekayaan dan aku berlindung kepada-Mu dari fitnah kefakiran
dan aku berlindung kepada-Mu dari fitnah Dajjal.” (HR.  Al-Bukhari No. 5899)

Beliau juga bersabda, dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu beliau mengatakan,

َ ِ‫ اللَّهُ َّم إِنِّي أَ ُعو ُـذ ب‬:‫ان َرسُو ُل هللاِ صلى هللا عليه وسلم يَ ْد ُعو‬
‫ك ِم ْن‬ َ ‫َك‬
ِ ‫ َو ِم ْن ِف ْتنَ ِة ْال َمحْ يَا َو ْال َم َما‬،‫ار‬
‫ َو ِم ْن ِف ْتنَ ِة‬،‫ت‬ ِ ‫ب ْالقَب ِْر َو ِم ْن َع َذا‬
ِ َّ‫ب الن‬ ِ ‫َع َذا‬
‫يح ال َّدج ِـ‬
‫َّال‬ ِ ‫ْال َم ِس‬

31
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam berdoa, ‘Ya Allah aku meminta perlindungan
padamu dari azab kubur, dan dari azab neraka dan dari fitnah kehidupan dan fitnah
kematian dan dari fitnah al-Masih Dajjal.” (HR. Al-Bukhari)

Ibnu Bathal rahimahullah berkata ketika menjelaskan doa Nabi (Ya Allah aku


berlindung kepada-Mu dari fitnah kehidupan dan kematian), “Ini adalah kalimat
yang Jami’ (konprehensif) karena memiliki berbagai macam makna. Maka seyogyanya
seseorang berharap kepada Allah untuk mengangkat ujian yang telah terjadi dan
menolak ujian yang belum terjadi.”

Beliau melanjutkan penjelasannya, “Hendaknya ia merasa butuh kepada Allah ‘azza


wajalla dengan doa-doa tersebut, karena Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam juga berdoa
kepada Allah agar semua fitnah tersebut tidak menimpa umatnya.” (Ibnu Hajar Al-
Asqalani, Fathul Bari Syarh Shahih al-Bukhari, 12/468)

Kedua: Bersabar Saat Menghadapinya

Ibnu Qayyim Al-Jauziyah menjelaskan, tidak ada obat bagi fitnah kecuali sabar, karena
sabar merupakan penempa seseorang dan pembersih dirinya dari dosa sebagaimana
pembakaran merupakan tempaan untuk menghasilkan perhiasan emas dan perak. Fitnah
itu tempaan untuk menghasilkan seorang mukmin yang jujur. (Ibnu Qayyim Al-
Jauziyah, Ighatsatul Lahfan, 2/162)

Allah  ‘azza wajalla berfirman:

َ ِ‫ص َدقُوا َولَيَ ْعلَ َم َّن ْال َكا ِذب‬


‫ين‬ ‫ين ِم ْن قَ ْبلِ ِه ْم ۖ فَلَيَ ْعلَ َم َّن هَّللا ُ الَّ ِذ َـ‬
َ ‫ين‬ ‫َولَقَ ْد فَتَنَّا الَّ ِذ َـ‬
“Dan sesungguhnya kami telah menguji orang-orang yang sebelum mereka, maka
sesungguhnya Allah mengetahui orang-orang yang benar dan sesungguhnya Dia
mengetahui orang-orang yang dusta.” (QS. Al-Ankabut: 30)

32
Seorang mukmin tidak akan dibiarkan menikmati keimanannya tanpa terlebih dahulu
diberikan ujian dan cobaan atau fitnah. Dengan itu akan diketahui siapa di antara
mereka yang jujur dalam keimanannya dan siapa yang dusta dalam keimanannya.

Fitnah yang ditimpakan kepada umat akhir zaman ini bukanlah satu-satunya fitnah akan
tetapi ia merupakan sunnatulloh yang juga diperjalankan terhadap umat-umat terdahulu.
Allah  ‘azza wajalla berfirman,

َ ُ‫ب النَّاسُ أَ ْن يُ ْت َر ُكوا أَ ْن يَقُولُواـ آ َمنَّا َوهُ ْم اَل يُ ْفتَن‬


‫ون‬ َ ‫أح ِس‬
َ
“Apakah manusia itu mengira bahwa mereka dibiarkan (saja) mengatakan: ‘Kami
telah beriman,’ sedang mereka tidak diuji lagi?” (QS. Al-Ankabut: 2)

Imam az-Zamakhsyari mengatakan, apakah orang-orang yang mengucapkan dua


kalimat syahadat dengan lisan-lisan mereka, dan menampakkan keimanan itu akan
dibiarkan Allah tanpa diuji terlebih dahulu? Bahkan Allah benar-benar akan menguji
mereka dengan berbagi macam ujian sehingga kesabaran mereka tinggi, kaki-kaki
mereka kuat, akidah mereka benar dan niat mereka itu tulus. Agar kelak bisa diketahui
siapakah yang ikhlas dan yang tidak ikhlas, siapakah yang teguh dan lemah. (Al-Imam
Zamakhsyari, Tafsir Al-Kassyaf, 3/345)

 Ketiga: Bersegera Melakukan Ketaatan

Sesungguhnya menyibukkan diri dengan ketaatan dan bersegera menuju peribadatan


kepada Allah saat fitnah akhir zaman terjadi merupakan faktor besar yang mendukung
seorang mukmin bisa tsabat (teguh) di jalan Allah ‘azza wajalla.

Karena ibadah itu merupakan tali pengikat antara seorang hamba dengan Rabbnya yang
akan melindungi dan menjaganya dari fitnah. Ibadah juga dapat menguatkan iman
seseorang sehingga tiada lagi jalan bagi fitnah untuk menyusup ke dalam hati yang
dipenuhi dengan keimanan.

Allah  ‘azza wajalla berfirman:

33
ُ‫ات َواأْل َرْ ض‬
ُ ‫او‬ ُ ْ‫ار ُعواـ إِلَ ٰى َم ْغفِ َر ٍة ِم ْن َربِّ ُك ْم َو َجنَّ ٍة َعر‬
َ ‫ضهَا ال َّس َم‬ ِ ‫َو َس‬
َ ِ‫ت لِ ْل ُمتَّق‬
‫ين‬ ْ ‫أُ ِع َّد‬

“Dan bersegeralah kamu kepada ampunan dari Rabbmu dan kepada surga yang
luasnya seluas langit dan bumi yang disediakan untuk orang-orang yang
bertakwa.” (QS. Ali-Imran: 133)

Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam juga menghasung umatnya untuk segera


melakukan amal saleh saat terjadi fitnah dalam sabdanya,

ْ ‫ال ِفتَنًا َكقِطَع اللَّي ِْل ْال ُم‬


‫ يُصْ بِ ُح ال َّر ُج ُل ُم ْؤ ِمنًا َويُ ْم ِسي‬،‫ظلِ ِم‬ ِ ‫بَا ِدرُوا بِاأْل َ ْع َم‬
ِ
ٍ ‫ يَبِي ُع ِدينَهُ بِ َع َر‬،‫ أَ ْو يُ ْم ِسي ُم ْؤ ِمنًا َويُصْ بِ ُح َكافِرًا‬،‫َكافِرًا‬
‫ض ِم َن ال ُّد ْنيَا‬
“Bersegeralah beramal sebelum munculnya fitnah yang datang bagaikan potongan-
potongan malam yang gelap, seseorang di pagi harinya beriman dan di sorenya telah
menjadi kafir, atau sorenya masih beriman dan pagi harinya telah menjadi kafir,
menjual agamanya dengan gemerlap dunia.” (HR. Muslim)

Bersegera dalam beramal saleh dan berlomba-lomba dalam ketaatan merupakan perkara
yang dicintai oleh Allah  ‘azza wajalla untuk dilakukan di setiap waktu dan keadaan
meskipun fitnah belum menimpa.

Oleh karena itu Allah ‘azza wajalla memuji para Nabi-Nya lantaran kecekatan mereka
dalam beramal saleh.

Allah subhanahu wata’ala berfirman,

‫ين‬ ِ ‫ت َخ ْي ُر ْال َو‬


َ ِ‫ارث‬ َ ‫َو َز َك ِريَّا إِ ْذ نَا َد ٰى َربَّهُ َربِّ اَل تَ َذرْ نِي فَرْ ًدا َوأَ ْن‬

“Dan (ingatlah kisah) Zakaria, ketika dia berdoa kepada Rabbnya, “Wahai


Rabbku, janganlah Engkau biarkan aku hidup seorang diri (tanpa keturunan) dan
Engkaulah ahli waris yang terbaik.” (QS. Al-Anbiya: 89)

34
ِ ‫فَا ْستَ َج ْبنَا لَهُ َو َوهَ ْبنَا لَهُ يَحْ يَ ٰى َوأَصْ لَحْ نَا لَهُ َز ْو َجهُ إِنَّهُ ْم َكانُوا يُ َس‬
َ ‫ار ُع‬
‫ون‬
‫ين‬ ِ ‫ت َويَ ْد ُعونَنَا َر َغبًا َو َرهَبًا َو َكانُوا لَنَا َخ‬
َ ‫اش ِع‬ ِ ‫فِي ْال َخي َْرا‬
 “Maka Kami memperkenankan doanya, dan Kami anugerahkan kepadanya Yahya dan
Kami jadikan istrinya dapat mengandung. Sesungguhnya mereka adalah orang-orang
yang selalu bersegera dalam (mengerjakan) perbuatan-perbuatan yang baik dan
mereka berdoa kepada Kami dengan harap dan cemas. Dan mereka adalah orang-
orang yang khusyuk kepada Kami.” (QS. Al-Anbiya’: 90)

Kalau bersegera beramal dalam kondisi normal saja begitu diperintahkan, apalagi jika
kondisinya sudah banyak fitnah yang menimpa manusia, tentu ia lebih ditekankan lagi.

Nabi Muhammad pernah memerintahkan istri-istrinya untuk bersegera menegakkan


shalat dan menyibukkan diri dengan ibadah tatkala fitnah muncul, agar Allah ‘azza
wajalla memberikan kekuatan untuk menghadapinya dan keluar dari bahayanya.

Dari Ummu Salamah radhiallahu ‘anha bahwa pada suatu malam Nabi


Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam terbangun lalu bersabda,

ُ‫ان هَّللا ِ َما َذا أُ ْن ِز َل اللَّ ْيلَةَ ِم ْن ْالفِ ْتنَ ِة َما َذا أُ ْن ِز َل ِم ْن ْال َخ َزائِ ِن َم ْن يُوقِظ‬
َ ‫ُسب َْح‬
‫اريَ ٍة فِي اآْل ِخ َر ِة‬
ِ ‫اسيَ ٍة فِي ال ُّد ْنيَا َع‬ ِ ‫ب ْال ُحج َُرا‬
ِ ‫ت يَا رُبَّ َك‬ َ ‫اح‬
ِ ‫ص َو‬
َ
“Subhanallah (Maha suci Allah), fitnah apakah yang diturunkan pada malam ini?  Dan
apa yang diturunkan pada dua perbendaharaan/kekayaan (Romawi dan Parsi)? Siapa
yang membangunkan orang-orang yang ada di kamar-kamar  (maksudnya istri-
istrinya)?, karena betapa banyak orang hidup menikmati nikmat-nikmat dari Allah di
dunia ini namun akan telanjang nanti di akhirat (tidak mendapatkan kebaikan).” (HR.
Al-Bukhari)

Menyibukkan diri dengan ibadah di zaman penuh fitnah juga memiliki faedah besar,

ِ ْ‫ْال ِعبَا َدةُـ فِي ْالهَر‬


َّ َ‫ج َك ِهجْ َر ٍة إِل‬
‫ي‬

35
“Beribadah di masa haraj (sulit), seperti berhijrah kepadaku.” (HR. Muslim No. 2948)

Ibnu Rajab Al-Hanbali menjelaskan, sebab dari mendapatkan keutamaan itu adalah
kebanyakan manusia pada zaman fitnah selalu memperturutkan hawa nafsunya dan
tidak mau kembali kepada agama. Kondisi mereka sebagaimana orang Jahiliyah zaman
dahulu.

Beliau melanjutkan, maka apabila di antara mereka ada seseorang yang mau berpegang
teguh kepada agamanya dan menyembah Rabbnya, mencari ridha-Nya dan menjauhi
murka-Nya, itu seperti halnya orang yang berhijrah dari komunitas Jahiliyah menuju
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, beriman kepadanya, menaati perintah dan
menjauhi larangannya. (Ibnu Rajab Hanbali, Lathaiful Ma’arif, 156)

Keempat: Memohon Kematian yang Baik

Tidak bisa dipungkiri bahwasanya fitnah akhir zaman adalah ujian besar yang menimpa
diri dan hati orang beriman, bahkan sampai pada keadaan hilangnya agama dan
keimanan dari dirinya (kafir/murtad), dan itu adalah kerugian yang amat besar.

Maka yang paling baik bagi seorang mukmin adalah memohon kepada Allah agar bisa
diberikan kematian yang baik, yaitu mati tetap teguh di atas agama Islam. Karena mati
dalam keadaan Islam itu lebih baik dari pada hidup kehilangan iman.

Oleh karenanya baginda Rasulullah Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

ُ‫ت َخ ْي ٌر لِ ْل ُم ْؤ ِم ِن ِم ْن ْالفِ ْتنَ ِة َويَ ْك َره‬


ُ ‫ت َو ْال َم ْو‬
ُ ‫ان يَ ْك َرهُهُ َما اب ُْن آ َد َم ْال َم ْو‬
ِ َ‫ْاثنَت‬
ِ ‫ال أَقَلُّ لِ ْل ِح َسا‬
‫ب‬ ِ ‫ال َوقِلَّةُ ْال َم‬
ِ ‫قِلَّةَ ْال َم‬
“Dua hal yang dibenci oleh manusia; kematian padahal kematian itu lebih baik bagi
orang mukmin dari pada fitnah dan benci sedikitnya harta padahal sedikitnya harta itu
lebih ringan untuk hisab.” (HR. Ahmad)

Sebagaimana juga ibunda Maryam berkata yang diabadikan dalam al-Quran:

36
ُ ‫ت قَب َْل ٰهَ َذا َو ُك ْن‬
‫ت‬ ِ ‫فَأ َ َجا َءهَا ْال َم َخاضُ إِلَ ٰى ِج ْذ‬
ْ َ‫ع النَّ ْخلَ ِة قَال‬
ُّ ‫ت يَا لَ ْيتَنِي ِم‬
‫نَ ْسيًا َم ْن ِسيًّا‬
“Maka rasa sakit akan melahirkan anak memaksa ia  (bersandar)  pada pangkal pohon
kurma, dia berkata: ‘Aduhai, alangkah baiknya aku mati sebelum ini, dan aku menjadi
barang yang tidak berarti, lagi dilupakan.’” (QS. Maryam: 23)

Sesungguhnya ibunda Maryam takut akan omongan atau cemoohan manusia. Ia juga
takut kalau tidak kuat berpegang kepada agama dan bersabar atas ujian di dalamnya.
Oleh karena itu, ia meminta kematian kepada Allah sebelum fitnah itu datang.

Imam Ibnu Katsir menjelaskan, ayat di atas menjadi dalil bolehnya berangan-angan mati
saat terjadi fitnah. Ibunda Maryam mengetahui bahwasanya ia akan diuji oleh Allah
dengan bayi yang akan dikandungnya, dan manusia akan banyak yang tidak percaya
tentang berita bahwa bayi dalam kandungannya itu adalah calon Nabiyullah. Oleh
karena itu ia berucap, “Duhai andaikan…” (Ibnu Katsir, Tafsir Al-Qur’an Al-‘Adhim,
3/189)

37
DAFTAR PUSTAKA

https://www.dakwah.id/materi-khutbah-jumat-4-bekal-menghadapi-fitnah-akhir-zaman/

https://kalam.sindonews.com/read/253068/72/nasehat-menghadapi-ujian-dan-fitnah-
akhir-zaman-1606864343?showpage=all

https://jurnal.unimus.ac.id/index.php/vadded/article/view/1779/1823

https://journal.iain-samarinda.ac.id/index.php/mazahib/article/view/116

https://media.neliti.com/media/publications/258941-alternatif-penegakan-hukum-dalam-
perspek-98c549bd.pdf

https://www.researchgate.net/publication/335714230_HUBUNGAN_ISLAM_DENGA
N_SAINS

https://media.neliti.com/media/publications/37120-ID-hubungan-sains-dan-agama-
rekonstruksi-citra-islam-di-tengah-ortodoksi-dan-perkem.pdf

https://muslim.or.id/425-islam-iman-ihsan.html

https://haditsarbain.wordpress.com/2007/06/09/hadits-2-iman-islam-dan-ihsan/

https://news.detik.com/kolom/d-4744782/narasi-hubungan-islam-dan-sains

https://news.detik.com/berita/d-5201638/amar-makruf-nahi-mungkar-perilaku-yang-
diperintahkan-allah-swt

https://www.kompasiana.com/ajinurr/5e627ba2097f36731d6a0053/pentingnya-amar-
ma-ruf-nahi-munkar-dalam-berpendidikan

http://download.garuda.ristekdikti.go.id/article.php?
article=1617006&val=10396&title=REKONSTRUKSI%20MAKNA%20DAN

38
%20METODE%20PENERAPAN%20AMAR%20MARUF%20NAHI%20MUNAR
%20BERDASARKAN%20AL-QURAN

LAMPIRAN

39

Anda mungkin juga menyukai