Anda di halaman 1dari 19

LAPORAN PRAKTIKUM TEKNOLOGI SEDIAAN FARMASI II

PEMBUATAN EVALUASI SEDIAAN EMULSI

Disusun Oleh :
Kelompok 8

Nama : ‘Adlan Baqi I1C018076


Larasati Maharani I1C018078
Maylani Anjani S I1C018080
Shabrina Angger P I1C018082
Kelas/ Kelompok : B/8
Dosen pembimbing : Dr. apt Tuti Sri Suhesti, M.Sc.
Apt Dhadhang Wahyu K, M.Sc.
Apt Beti Pudyastuti, M.Sc.
Asisten Praktikum : Linda Surya Kartika
PJ Laporan Praktikum : Maylani Anjani Safitri

LABORATORIUM FARMASETIKA
JURUSAN FARMASI
FAKULTAS ILMU-ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN
PURWOKERTO
2020
PERCOBAAN 8

PEMBUATAN EVALUASI SEDIAAN EMULSI

A. TUJUAN
Mengetahui dan memahami bagaimana proses pembuatan emulsi serta mengetahui
evaluasi sediaan tersebut.
B. ALAT DAN BAHAN
1. Alat
- Mortar
- Spatula
- Stamper
- Botol gelap
- Beaker glass
2. Bahan
- Gom acacia
- Castor oil
- Sorbitol 70%
- Purified H2O
- Water flavour
- Oil flavor
- Mineral oil
- Sirup
- Alcohol
- Aquadest
C. SKEMA PROSEDUR PEMBUATAN
1. Pembuatan Emulsi Minyak Mineral dalam Gum Kering

Pembuatan emulsi primer


 Ditimbang semua bahan
 Dimasukkan gum acacia ke dalam mortar, kemudian digerus
 Ditambahkan mineral oil, aduk hingga homegen
 Ditambahkan air, aduk dengan kecepatan dan tekanan tingi

Terbentuknya Korpus
emulsi
 Disiapkan campuran dari sirup, alcohol dan air ke dalam beaker glass
 Campuran yang telah dibuat dimasukan ke dalam mortar yang berisi
korpus emulsi sedikit demi sedikit, kemudian aduk hingga homogen
 Setelah homogen, masukkan emulsi ke dalam botol yang sudah
dikalibrasi sebeumnya
 Diberi etiket

Sediaan emulsi

2. Pembuatan Sediaan Emulsi Liquid Oral

Pembuatan emulsi
 Kalibrasi botol
 Timbang semua bahan
 Ditambahkan gum acacia ke dalam mortar
 Ditambahkan castor oil, aduk hingga homogen
 Ditambahkan oil flavor, aduk hingga homogen
 Ditambahkan air, aduk sampai homogen
 Ditambahkan water flavor, aduk hingga homogen

Emulsi
 Dimasukkan ke dalam botol yang sudah dikalibrasi
 Sisa emulsi yang ada di mortar, ditambahkan sorbitol
 Karena emulsi yang dibuat belum mencapai batas kalibrasi sehingga
ditambahkan sorbitol sampai batas kalibrasi
 Tutup botol dan homogenkan
 Beri etiket

Sediaan emulsi
D. PENYAJIAN DATA
Organoleptis

Warna Rasa Bau Bentuk

Putih seperti
Khas Khas Cairan kental
susu
pH

Hari pH

1 5,8

7 5,8

14 5,8

21 5,7

28 5,7

Viskositas

Hari Viskositas

1 3470 cp

7 3470 cp

14 3840 cp

21 3820 cp

28 3820 cp

Uji Tipe Emulsi

Warna yang dihasilan


Tipe Emulsi
Biru merata

E. PEMBAHASAN
Emulsi merupakan sediaan yang mengandung bahan obat cair atau larutan obat yang
terdispersi dalam cairan pembawa dan distabilkan dengan zat pengemulsi atau surfaktan yang
cocok (Depkes RI,2014). Biasanya emulsi mengandung dua zat atau lebih yang tidak dapat
bercampur, misalnya minyak dan air. Zat pengemulsi (emulgator) merupakan komponen yang
paling penting agar memperoleh emulsi yang stabil (Anief, 1994). Dalam suatu emulsi, salah
satu fase cair biasanya bersifat polar sedangkan yang lainnya relatif non polar. Penetuan tipe
emulsi tergantung pada sejumlah faktor. Jika rasio volume fasa sangat besar atau sangat kecil,
maka fasa yang memiliki volume lebih kecil seringkali merupakan fasa terdispersi (Shelbat-
Othman & Bourgeat-Lami, 2009).

Keuntungan dari sediaan emulsi menurut Lachman (1994), yaitu:

1. Beberapa bahan obat lebih mudah di absorbsi bila diberikan secara oral dalam bentuk
emulsi.
2. Emulsi memiliki derajat elegasi tertentu dan mudah dicuci bila diinginkan.
3. Pembuatan emulsi dapat mengontrol viskositas dan derajat kekasaran dari emulsi.

Berdasarkan tipenya emulsi dibagi menjadi empat yaitu:

1. Oil in water (o/w): fase minyak terdispersi sebagai tetesan dalam keseluruhan fase luar air
(Winarno, 1997)
2. Water in oil (w/o): fase air terdispersi sebagai tetesan dalam fase luar minyak (Winarno,
1997)
3. Oil in water in oil (o/w/o): tetesan minyak yang terdispersi dalam tetesan air yang
kemudian terdispersi dalam fasa minyak kontinyu (Attama et al., 2016).
4. Water in oil in water (w/o/w): fase air terdispersi dalam fase air yang mengandung polimer
kemudian membentuk emulsi air dalam minyak (w/o). Emulsi yang terbentuk kemudian
ditambahkan ke fasa berair kedua (mengandung surfaktan) dan diaduk terus menerus
untuk membentuk emulsi (Attama et al., 2016).

Beberapa metode yang biasa digunakan untuk menentukan tipe dari suatu emulsi meliputi
metode pewarnaan, metode pengenceran fase, metode konduktivitas listrik, dan metode
fluoresensi :

1. Metode pewarnaan
Sejumlah kecil zat warna yang larut dalam air, seperti metilen biru atau briliant blue
FCF bisa ditaburkan pada permukaan suspensi. Jika air merupakan fase luar, yakni jika
emulsi tersebut bertipe w/o, zat warna tersebut akan melarut didalamnya dan berdifusi
merata ke seluruh bagian dari air tersebut. Jika emulsi tersebut bertipe w/o, partikel-
partikel zat warna akan tinggal bergerombol pada permukaan (Martin, et al., 1993).
2. Metode pengenceran fase
Jika emulsi tersebut bercampur dengan sempurna dengan air, maka ia termasuk
bertipe m/a dan apabila tidak dapat diencerkan adalah tipe w/o (Anief, 1994).
3. Metode konduktivitas listrik
Pengujian ini menggunakan sepasang elektroda yang dihubungkan dengan suatu
sumber listrik luar dan dicelupkan dalam emulsi. Lampu akan menyala bila elektroda
dicelupkan dalam cairan emulsi bila tipenya m/a dan lampu akan mati bila emulsi tipenya
w/o (Martin, et al., 1993).
4. Metode fluoresensi
Minyak dapat berfluoresensi di bawah sinar UV, emulsi o/w menunjukkan pola
titik-titik, sedangkan emulsi a/m berfluoresensi seluruhnya (Lachman et al., 1994).

Secara umum, emulsi terdiri dari komponen dasar dan komponen tambahan. Komponen
dasar terdiri dari fase dispers yaitu zat cair yang terbagi menjadi butiran kecil kedalam zat cair
lain, fase luar yaitu zat cair yang berfungsi sebagai pendukung emulsi, dan emulgator yang
menstabilkan emulsi. Sedangkan komponen tambahan meliputi preservative yaitu metil dan
propil paraben, asam benzoat, asam sorbet, dan lain-lain. Dan antioksidan seperti asam
askorbat, asam sitrat, L. tocoperol, propil galat, dan asam galat (Sarasmita, 2012). Syarat
emulgator adalah molekul-molekulnya mempunyai afinitas terhadap kedua cairan yang
membentuk emulsi. Daya afinitasnya harus parsial atau tidak sama terhadap kedua cairan
tersebut. Salah satu ujung emulgator larut dalam cairan, sedangkan ujung yang lain hanya
membentuk lapisan tipis di sekeliling atau di atas permukaan cairan yang lain (Sumardjo,
2009). Beberapa zat pengemulsi yang sering digunakan adalah gelatin, gom akasia, tragakan,
sabun, senyawa amonium kwartener, senyawa kolesterol, surfaktan, atau emulgator lain yang
cocok. Untuk mempertinggi kestabilan dapat ditambahkan zat pengental, misalnya tragakan,
tilosa, natrium karboksimetil selulosa (Depkes RI, 1995).
Dalam membuat emulsi dapat dilakukan dengan metode gom kering, metode gom basah
dan metode botol.

1. Metode gom kering


Korpus emulsi mula-mula dibuat dengan empat bagian lemak, dua bagian air dan satu
bagian gom, selanjutnya sisa air dan bahan lain ditambahkan. Metode ini juga disebut metode
4:2:1. Cara mencampurnya adalah empat bagian minyak dan satu bagian gom diaduk dan
dicampur dalam mortir yang kering dan bersih sampai tercampur benar, lalu ditambahkan dua
bagian air sampai terjadi korpus emulsi. Tambahkan sirup dan tambahkan sisa air sedikit demi
sedikit. Bila ada cairan alkohol sebaiknya ditambahkan setelah diencerkan sebab alkohol dapat
merusak emulsi (Anief, 1994).
2. Metode gom basah
Cara ini dilakukan sebagai berikut, dibuat musilago yang kental dengan sedikit air lalu
ditambahkan minyak sedikit demi sedikit dengan diaduk cepat. Bila emulsi terlalu kental,
tambahkan air sedikti demi sedikit agar mudah diaduk dan diaduk lagi ditambah sisa minyak.
Bila semua minyak sudah masuk ditambah air sambil diaduk sampai volume yang dikehendaki.
Cara ini digunakan terutama bila emulgator yang akan dipakai berupa cairan atau harus
dilarutkan dulu dalam air (Anief, 1994).
3. Metode botol
Untuk membuat emulsi dari minyak-minyak menguap dan mempunyai viskositas
rendah. Caranya, serbuk gom arab dimasukkan ke dalam botol kering, lalu ditambahkan dua
bagian air kemudian air campuran tersebut dikocok dengan kuat dalam keadaan wadah tertutup.
Suatu volume air yang sama dengan minyak kemudian ditambahkan sedikit demi sedikit, terus
mengocok campuran tersebut setiap kali ditambahkan air. Jika semua air telah ditambahkan,
emulsi utama yang terbentuk bisa diencerkan sampai mencapai volume yang tepat dengan air
atau larutan zat formulatif lain dalam air (Ansel, 1989).

Zat pengemulsi dapat dibagi menjadi dua golongan, yaitu emulsifier alami dan
emulsifier buatan (Winarno, 1992) :

a. Emulsifier alami
Umumnya dapat diperoleh dari tanaman, hewan atau mikroba yang diperoleh dengan
cara eksudat, ekstraksi dan fermentasi. Eksudat diperoleh dari cairan atau getah pada
tanaman. Misalnya gum arab, gum pati, dan gum tragakan. Hasil ekstraksi biasanya paling
banyak diperoleh dari rumput laut. Sedangkan hasil fermentasi banyak diperoleh dari
mikroorganisme baik. Salah satu gum yang penting dari hasil fermentasi ini adalah
xanthangum. Dimana xanthan gum merupakan polisakarida dengan bobot molekul tinggi
hasil fermentasi karbohidrat dari Xanthomonas campetris yang dimurnikan, dikeringkan dan
digiling. Bakteri ini secara alami hidup di tanaman kubis.
b. Emulsifier buatan
Elmusifier buatan seperti ester dari polioksietilena sorbitan dengan asam lemak yang
dikenal sebagai Tween yang dapat membentuk emulsi O/W.

Ketidakstabilan emulsi farmasi dapat digolongkan sebagai berikut:

1. Creaming
Creaming adalah terpisahnya emulsi menjadi dua lapiasan, dimana lapisan yang satu
mengandung butir-butir tetesan (fase terdispers) lebih banyak dari pada lapisan yang lain.
Creaming merupakan proses bolak- balik, sedangkan pemecahan merupakan proses searah.
Krim yang menggumpal bisa didispersikan kembali dengan mudah, dan dapat terbentuk
kembali suatu campuran yang homogen dari suatu emulsi yang membentuk krim dengan
pengocokan, karena bola-bola minyak masih dikelilingi oleh suatu lapisan pelindung dari zat
pengemulsi. Jika terjadi pemecahan, pencampuran biasa tidak bisa mensuspensikan kembali
bola-bola tersebut dalam suatu emulsi yang stabil (Martin, 1993).
2. Flokulasi
Flokulasi menggambarkan penggabungan reversibel yang lemah antara droplet-droplet
emulsi yang dipisahkan oleh lapisan tipis dari fase kontinu. Penggabungan tersebut terjadi
karena adanya interaksi gaya tarik menarik antardroplet dan umumnya bersifat reversibel
dengan penggocokan ringan. Flokulasi umumnya dianggap sebagai prekursor terjadinya
coalescence (Eccleston, 2007).
3. Inversi
Inversi adalah peristiwa perubahan tipe emulsi dengan tiba-tiba, dari satu tipe ke tipe
yang lain dan sifatnya irreversibel (Anief,1989). Inversi dapat terjadi karena adanya
penambahan elektrolit, perubahan rasio volume fase, ataupun karena perubahan temperatur.
Inversi fase dapat diminimalisir dengan menggunakan emulgator yang tepat dalam konsentrasi
optimum, mempertahankan konsentrasi fase dispersi antara 30-60%, dan dengan menyimpan
emulsi di tempat dingin. Volume fase dalam yang semakin besar akan menyebabkan terjadi
perluasan lapisan antarmuka sehingga dapat mempengaruhi stabilitas emulsi. Jika volume fase
dalam melebihi fase kontinu, emulsi menjadi tidak stabil yang pada akhirnya terjadi inversi fase
(Mollet dan Grubenmann, 2008).
4. Coalescence
Coalescence adalah peristiwa dimana droplet fase terdispersi bergabung dan membentuk
droplet yang lebih besar, yang diawali dengan drainase dari lapisan cairan fase kontinu.
Coalescence adalah peristiwa pecahnya emulsi karena adanya penggabungan droplet-droplet
kecil fase terdispersi membentuk lapisan atau endapan yang bersifat ireversibel dimana emulsi
tidak dapat terbentuk kembali seperti semula melalui pengocokan (Anief,1989). Coalescence
dari droplet minyak pada emulsi M/A tertahan dengan adanya lapisan emulgator yang
teradsorbsi kuat secara mekanis disekitar setiap droplet. Dua droplet yang saling berdekatan
satu sama lain akan menyebabkan permukaan yang berdekatan tersebut menjadi rata. Perubahan
dari bentuk bulat menjadi bentuk lain menghasilkan peningkatan luas permukaan dan karenanya
meningkatkan energi bebas permukaan total, penyimpangan bentuk droplet ini akan tertahan
dan pengeringan film fase kontinu dari antara dua droplet akan tertunda (Aulton, 2002).
5. Ostwald ripening
Pada peristiwa ostwald ripening, terjadi peristiwa di mana droplet besar menjadi
semakin besar. Ostwald ripening terjadi ketika droplet kecil (kurang dari 1 µm) memiliki
kelarutan yang lebih tinggi (dan tekanan uap) lebih besar daripada droplet besar dan
sebagai akibatnya adalah secara termodinamik tidak stabil. Untuk mencapai kondisi
kesetimbangan, molekul dari droplet larut dan berdifusi melalui fase kontinu untuk
memperbesar droplet besar (Eccleston, 2007).

Pada praktikum kali ini akan dibuat sediaan mineral oil emulsion dalam gom kering.
Mineral oil emulsion banyak digunakan untuk efek pencahar (Al-Achi et al., 2006). Emulsi ini
merupakan emulsi tipe O/W (Oil in Water) atau M/A (Minyak dalam Air) adalah emulsi yang
terdiri atas butiran minyak yang tersebar atau terdispersi ke dalam air (Syamsuni,2006). Bahan-
bahan yang digunakan yaitu Gom Arab (Akasia) yang berfungsi sebagai emulgator (Rowe,
2009) atau sebagai zat pengemulsi (Syamsuni, 2006), kemudian Mineral oil yang berfungsi
sebagai emmolient (Rowe, 2009), Aquadest sebagai pelarut dan zat tambahan (Depkes RI,
1995), Sirup simpleks sebagai pemanis (Depkes RI, 1979), dan alkohol yang berfungsi sebagai
zat tambahan (Depkes RI, 1979).
Pertama-tama disiapkan alat dan menimbang bahan yang diperlukan terlebih dahulu.
Parameter kritis pada proses penimbangan adalah kebersihan alat timbang, hal ini sangat
penting untuk mencegah kontaminasi pada bahan dan untuk meminimalisir kesalahan
penimbangan (BPOM RI, 2012). Langkah pertama yang dilakukan yaitu mengkalibrasi botol
sediaan sebanyak 60 ml menggunakan aquadest. Kemudian, acasia dimasukkan kedalam mortar
dan digerus untuk mengecilkan ukuran partikel (Sweetman, 2009). Acasia berfungsi sebagai zat
pengemulsi (Syamsuni, 2006). Selanjutnya mineral oil ditambahkan ke dalam mortar sebagai
fase internal, dan dicampur hingga membentuk disperse homogen. Kemudian ditambahkan air
sebagai fase eksternal yang diperlukan untuk emulsi primer (Subagia et al., 2019). Lanjutkan
pengadukan/penggerusan satu arah dengan tekanan dan kecepatan tinggi hingga terbentuk
emulsi dan tedengar bunyi “clicking” yang menandakan sudah terbentuknya korpus emulsi
berupa cairan putih kental (Anief, 2010). Campuran sirup, alcohol, dan air disiapkan kemudian
dimasukkan kedalam beaker glass, lalu dihomogenkan. Alkohol digunakan sebagai bahan
pengawet untuk mencegah pertumbuhan mikroorganisme (Al-Achi et al., 2006). Setelah
homogen, campuran tersebut dimasukkan kedalam campuran emulsi di mortar sedikit demi
sedikit dan homogenkan. Sirup berfungsi sebagai pemanis, sedangkan alkohol sebagai
pengawet/ zat tambahan (Depkes RI, 1995). Emulsi minyak mineral telah terbentuk lalu
dimasukkan ke dalam botol yang telah dikalibrasi. Botol yang digunakan adalah botol yang
berwarna gelap, karena sediaan emulsi harus terlindung dari cahaya matahari (Anief, 2010).
Setelah itu diberi etiket berwarna putih untuk menandakan bahwa sediaan ditujukan untuk
pemakaian oral (dalam). Pada etiket harus dicantumkan “kocok dahulu” untuk sediaan emulsi,
agar sediaan tercampur homogen dan tidak ada bagian yang mengendap pada bagian bawah
botol (Syamsuni, 2006). Selanjutnya sediaan akan dievaluasi.

Pada praktikum ini juga dibuat sediaan cairan emulsi oral. Emulsi ini merupakan mulsi
tipe O/W (Oil in Water) atau M/A (Minyak dalam Air) adalah emulsi yang terdiri atas butiran
minyak yang tersebar atau terdispersi ke dalam air (Syamsuni,2006). Pertama-tama, disiapkan
alat dan timbang bahan-bahan yang diperlukan. Parameter kritis pada proses penimbangan
adalah kebersihan alat timbang, hal ini sangat penting untuk mencegah kontaminasi pada bahan
dan untuk meminimalisir kesalahan penimbangan (BPOM RI, 2012).

Langkah selanjutnya yaitu melakukan kalibrasi botol sediaan dengan cara memasukkan
sejumlah air sebanyak 60 ml ke dalam botol kemudian diberi batas 60 ml menggunakan spidol
pada botol sediaan. Langkah selanjutnya, dimasukkan gom akasia (zat pengemulsi) ke dalam
mortir terlebih dahulu. Kemudian, ditambahkan Castar oil (minyak) yang berfungsi sebagai zat
aktif laksativum (Depkes RI, 1995) yang juga berfungsi sebagai fase internal pada pembuatan
sediaan ini (Syamsuni, 2006) ke dalam morir. Lalu digerus hingga homogen. Selanjutnya
ditambahkan sebanyak 1 tetes Oil flavour sebagai zat pewarna dan perasa (Sweetman, 2009).
Setelah oil flavor tercampur rata dengan gom akasia, maka ditambahkan lagi sisa air ke dalam
campuran tersebut. Kemudian digerus dengan konstan selama 30 detik, lalu akan terbentuk
korpus emulsi (Sweetman, 2009). Langkah selanjutnya, ditambahkan water flavour raspberry
yang berfungsi sebagai pengaroma dan perasa serta pewarna (Sweetman, 2009) sebanyak 1
tetes ke dalam campuran dan digerus hingga warna terbentuk rata. Setelah semua bahan
tercampur dengan rata, dimasukkan sediaan emulsi yang telah jadi ke dalam botol sediaan.
Kemudian, dimasukkan sekitar 10 ml sorbitol yang berfungsi sebagai zat tambahan (Rowe,
2009) ke dalam mortir yang masih terdapat sisa emulsi. Kemudian diaduk agar sisa emulsi tidak
menempel lagi pada mortir. Selanjutnya, dimasukkan sisa emulsi yang bercampur dengan
sorbitol ke dalam botol. Botol yang digunakan adalah botol yang berwarna gelap karena sediaan
emulsi harus terlindung dari cahaya matahari (Anief, 2010). Jika tanda kalibrasi belum tercapai,
maka langsung ditambahkan sorbitol hingga tanda batas kalibrasi tercapai. Lalu, dikocok botol
sediaan agar sediaan dalam botol menjadi homogen. Kemudian, diberi label dan etiket
berawarna putih Pada etiket harus dicantumkan “kocok dahulu” untuk sediaan emulsi, agar
sediaan tercampur homogen dan tidak ada bagian yang mengendap pada bagian bawah botol
(Syamsuni, 2006). Selanjutnya sediaan akan di evaluasi.

Studi Bahan Dalam Formula


1. Gom acacia
- Pemerian : Serbuk putih atau kuning putih, tidak berbau, danmempunyai rasa
lemah.
- Kelarutan : Larut dalam 20 bagian gliserin, dalam 20 bagian propilenglikol,dalam
2,7 bagian air, dan praktis tidak larut dalam etanol 95%
- Fungsi : Emulgator
- Stabilitas : Larutan acasia tahan terhadap degradasi bakteri atau reaksi enzimatik
tetapi harus diberi pengawet terlebih dahulu dengan dididihkan dalam waktu pendek
untuk menon-aktifkan enzim yang ada. Larutan encer dapat diawetkan dengan
penambahan pengawet anti mikroba seperti asam benzoat, natrium benzoat, atau
campuran methyl paraben dan prophyl paraben.

(Rowe, 2009)

2. Sirup
- Pemerian : Kristal tidak berwarna, massa hablur, bentuk kubus, tidak berbau, dan
memiliki rasa manis
- Kelarutan : Praktis tidak larut dalam kloroform, larut dalam air
- Stabilitas : Stabilitas baik pada suhu kamar dan pada kelembaban yang rendah.
Sukrosa 1% kelembaban yang akan melepaskan panas pada 90̊ C. Sukrosa akan menjadi
karamel pada suhu diatas160̊ C. Sukrosa encer dapat terdekomposisi dengan keberadaan
mikroba.
- Fungsi : Pemanis

(Rowe, 2009)

3. Mineral oil
- Pemerian : Cairan berminyak yang transparan, tidak berwarna, dan kental, tanpa
fluoresensi di siang hari. Ini praktis tidak berasa dan tidak berbau saat dingin, dan
memiliki bau samar minyak bumi saat dipanaskan.
- Kelarutan : Praktis tidak larut dalam etanol (95%), gliserin, dan air; larut dalam
aseton, benzena, kloroform, karbon disulfida, eter, dan petroleum eter. Dapat bercampur
dengan minyak atsiri dan minyak tetap, kecuali minyak jarak.
- Fungsi : Emollient; lubricant; oleaginous vehicle; pelarut ; vaccine adjuvant

(Rowe, 2009)

4. Alcohol
- Pemerian : Cairan tak berwarna, jernih, mudah menguap dan mudah bergerak; bau
khas; rasa panas. Mudah terbakar dengan memberikan nyala biru yang tidak berasap.
- Kelarutan : Sangat mudah larut dalam air, dalam kloroform P dan dalam eter P.
- Fungsi : Sebagai antimikroba (membunuh mikrobakterium desinfektan
(membasmi kuman penyakit).
(Depkes RI, 1979)

5. Aquadest
- Pemerian : Cairan jernih; tidak berwarna; tidak berbau; tidak mempunyai rasa
- Fungsi : Zat pelarut

(Depkes RI, 1979)

6. Castor oil
- Pemerian : Cairan kental, tidak berwarna atau agak kekuningan, sedikit bau,
hambar dan setelahya berasa sedikit tajam
- Kelarutan : Mudah larut dalam alcohol dan sukar larut dalam air
- Fungsi : Laksatif (pencahar), emollient, oleaginous vehicle (pembawa minyak),
pelarut.

(Rowe, 2009)

7. Sorbitol
- Pemerian : Putih, bau khas, rasa manis
- Kelarutan : Sangat mudah larut air, sukar larut dalam etanol, dalam methanol dan
asam asetat
- Stabilitas : Stabil diudara dengan tidak adanya katalis dan dingin encer asam dan
basa. Sorbitol tidak terurai pada suhu yang tinggi.
- Fungsi : Humektan dan pemanis

(Rowe, 2009)

8. Purified water
- Pemerian : Cairan tidak berbau, tidak berasa, tidak bewarna
- Kelarutan : larut dengan semua jenis larutan
- Kegunaan : Zat pelarut dan pembawa
(Depkes RI, 2014; Rowe, 2009)
9. Water flavour
- Pemerian : Bahan aromatis atau rasa enak
- Fungsi : Larutan pembawa atau pemberi rasa
(Ansel, 1989)

10. Oil flavour


- Pemerian : Oil flavour merupakan bahan berbentuk oil atau minyak, bahan
aromatis atau rasa enak
- Fungsi : Larutan pembawa atau pemberi rasa

(Ansel, 1989)

Evaluasi Emulsi

1. Organoleptis
Pemeriksaan organoleptik meliputi warna, rasa, dan bau (Alfauziyah dan Arif, 2016).
Uji organoleptis pada sediaan emulsi dilakukan dengan cara megamati dari segi penampilan,
rasa, dan aroma. Pengamatan ini bertujuan untuk mengetahui apakah sediaan emulsi yang
dihasilkan sudah memenuhi standar persyaratan dan untuk mengetahui ruahan yang
mungkin terjadi pada sediaan setelah dilakukan penyimpanan. Berdasarkan hasil
pengamatan organoleptis didapatkan hasil warna putih tulang dan homogen (Husni et al,
2019).

Warna Rasa Bau Bentuk

Putih seperti
Khas Khas Cairan kental
2. susu pH
Pengukuran
pH dilakukan untuk mengetahui kesesuai pH emulsi dengan pH saluran cerna yang nantinya
akan diabsorbsi oleh lambung dengan menggunakan pH meter. pH meter yang digunakan yaitu
pH meter digital dimana elektroda sebelumnya dikalibrasi dengan menyelupkan ke dalam
cairan yang pH-nya netral. Selanjutnya, elektroda yang sudah dikalibrasi dicelupkan ke dalam
pH sediaan emulsi (Skripsi dan dan jurnal unpad) (Husni et al, 2019; K, 2018)

Hari pH

1 5,8

7 5,8

14 5,8
21 5,7

28 5,7

Berdasarkan data hasil pengamatan diketahui bahwa pengujian pH sediaan emulsi


dilakukan selama 28 hari dan dilakukan pengamatan setiap tujuh hari sekali. Hasil menunjukan
bahwa sediaan emulsi pada hari ke-21 dan 28 sebesar 5,7 sehingga pH yang dihasilkan tidak
menunjukan pH optimal atau tidak sesai dengan persyaratan pH sediaan emulsi oral yaitu pada
rentang 5,5-7,5 ( Baliga et al, 2013)

3. Viskositas

Pengukuran viskositas sediaan dilakukan dengan menggunakan viskometer Brookfield


(Suseno et al, 2017) Uji viskositas dilakukan untuk mengetahui tingkat kekentalan dari sediaan
yang dihasilkan. Semakin tinggi viskositasnya maka sediaan tersebut semakin kental (Fatimah
et al, 2010). Lebih tingginya viskositas menurut Nikovska (2012) menunjukan stabilitas emulsi
yang lebih baik terhadap pemisahan.

Hari Viskositas

1 3470 cp

7 3470 cp

14 3840 cp

21 3820 cp

28 3820 cp

Hasil pengamatan viskositas dalam cP (centi poise) dari sediaan emulsi yang dibuat
menunjukan hasil bahwa pengujian emulsi pada hari ke-1 hingga hari ke-14 mengalami
kenaikan kemudian mengalami penurunan di hari ke-21 dan 28. Perubahan viskositas ini
menunjukan terjadinya perubahan pada sediaan emulsi yang menunjukan bahwa penurunan
viskositas ini disebabkan karena semakin encernya fase terdispersi sehingga mudah bergerak
dalam fase luar. Hal ini berpeluang menyebabkan terjadinya tabrakan antar globul semakin
tinggi dan mengakibatkan globul-globur cenderung bergabung menjadi partikel yang lebih
besar dan dihasilkan pemisahan emulsi (Traynor et al, 2013).
4. Uji Tipe Emulsi

Warna yang dihasilan


Tipe Emulsi
Biru merata

Pengujian tipe emulsi dilakukan mengunakan pewarna methylene blue. Uji ini dilukan
pada untuk memastikan bahwa sediaa emulsi yang dibuat merupakan tipe emusli minyak dalam
air (O/W) (Hadning, 2011). Metode pengujian menggunakan pewarnaan dipilih karena mudah
dan memberikan hasil yang jelas secara visual. Methylene blue dipilih karena bersifat hidrofilik
sehingga nantinya akan larut di dalam air. (Kale & Sharada, 2017). Hasil menunjukan bahwa
sediaan emulsi yang dibuat menghasilkan warna biru yang larut secara merata atau menyebar ke
seluruh bagian sediaan sehingga disimpulkan bahwa sediaan emulsi yang dibuat merupakan
sediaan emulsi tipe minyak dalam air (Husni et al, 2019).

F. KESIMPULAN
Emulsi adalah sediaan yang mengandung bahan obat cair atau larutan obat, terdispersi dalam
cairan pembawa, distabilkan dengan zat pengemulsi atau surfaktan yang cocok. Pada praktikum
kali ini dilakukan pembuatan emulsi minyal mineral dalam gom kering dan emulsi likuid oral
kemudian dilakukan bebrapa evaluasi yang meliputi organoleptis, uji viskositas, uji pH dan uji
tipe emulsi. Uji organoleptis diketahui emulsi sudah memenuhi standar yaitu didapatkan hasil
warna putih tulang dan homogen. Pada uji viskositas didapatkan bahwa sediaan emulsi
mengalami penurunan yang tidak terlalu signifikan sehingga emulsi yang dihasilkan masih
memiliki stabilitas yang baik. Pada uji pH diketahui bahwa emulsi yang dihasilkan memiliki pH
yang berada di rentang kriteria pH yang baik tetapi pada hari ke-21 dan 28 pH yang dihasilkan
tidak menunjukan pH optimal karena tidak memasuki rentang. Pada uji tipe emulsi dengan
methylene blue memberikan warna biru merata yang menandakan bahwa emulsi memiliki tipe
minyak dalam air.

DAFTAR PUSTAKA

Al-Achi, A., Mosley, A., & Patlolla, S. (2006). Acacia and Mineral Oil Emulsion NF. International
journal of pharmaceutical compounding, 10(1), 44.
Alfauziah, Tazyinul Qoriah, and Arif Budiman. "Uji Aktivitas Antifungi Emulsi Minyak Atsiri Bunga

Cengkeh terhadap Jamur Kayu." Farmaka 14.1 (2016): 33-42.

Anief, M. 1994. Farmasetika. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press

Anief. 2010. Ilmu Meracik Obat. Yogyakarta: UGM Press.

Ansel, 1989. Pengantar Bentuk Sediaan Farmasi, Terjemahan: Farida Ibrahim, Edisi 4,UI Press:
Jakarta, 212-21.

Attama, A. A., Reginald-Opara, J. N., Uronnachi, E. M., & Onuigbo, E. B. 2016. Nanomedicines for
the eye: current status and future development. In Nanoscience in dermatology. New York :
Academic Press.

Aulton, M.E. 2002. Pharmaceutics: The Science of Dosage Form Design, 2nd Ed. New York : ELBS
with Churchill Livingstone.

Baliga S, Sangeeta, Muglikar, Rahul K.Salivary. 2013. pH: A Diagnostic Biomarker. Journal of Indian
Society of Periodontology. 17(4): 461-465.

BPOM RI. 2012. Petunjuk Operasional Penerapan Cara Pembuatan Obat yang Baik. Jakarta : Badan
Pengawas Obat dan Makanan Republik Indonesia.

Depkes RI. 1979. Farmakope Indonesia Edisi III. Jakarta : Departemen Kesehatan Republik Indonesia

Depkes RI. 1995. Farmakope Indonesia Edisi IV. Jakarta: Departemen Kesehatan Republik Indonesia.

Depkes RI. 2014. Farmakope Indonesia Edisi V. Jakarta : Departemen Kesehatan Republik Indonesia

Eccleston, G.M. 2007. Emulsion and Microemulsion in Encyclopedia of Pharmaceutical Technology


3rd edition. New York : Informa Health Care.

Fatimah F, Fardiaz D, Apriyantono A, Andarwuan N. 2010. Pengaruh Kadar Minyak Terhadap

Efektifitas Antioksidan Dalam Sistem Emulsi Oil-In-Water. Jurnal Teknologi dan Industri
Pangan. 14(1):39-50.
Hadning I. 2011. Formulasi dan Uji Stabilita Fisik Sediaan Oral Emulsi Virgin Coconut Oil.

Mutiara Medika. 11(2):88-100.

Husni, Patihul., Yasarah Hisprastin1, Melinda Januarti. 2019. Formulasi dan Uji Stabilitas

Fisik Sediaan Emulsi Minyak Ikan Lemuru (Sardinella lemuru). As-Syifaa Jurnal Farmasi. 11
(02):137-146.

K, Rahmat Rinaldy. 2018. Optimasi Formula Emulsi Kombinasi Minyak Zaitun dan Ekstrak

Buah Alpukat Menggunakan Metode Factorial Design. SKRIPSI : Universitas Muhamadiyah


Surakarta.

Kale SN, Sharada LD. 2017. Emulsion Micro Emulsion and Nano Emulsion: A Review. Sys Rev
Pharm. 8(10:39-47

Lachman, L., & Lieberman, H. A. 1994. Teori dan Praktek Farmasi Industri, Edisi Kedua. Jakarta : UI
Press.

Martin, A., Swarbick, J., dan A. Cammarata. 1993. Farmasi Fisik 2 Edisi III. Jakarta: UI Press.

Mollet, H., & Grubenmann, A. 2008. Formulation technology: emulsions, suspensions, solid forms.
New York : John Wiley & Sons.

Nikovska K. 2012. Study of Olie Oil-In-Water Emulsions With Protein Emulsifiers. J Food Agric.
24(1):17-24

Rowe, Raymond C, Paul J Sheskey, and Marian E Quinn. 2009. Handbook of Pharmaceutical
Excipients sixthedition. London : the Pharmaceutical Press

Sarasmita, Made Ary. 2012. Emulsi. Bali: Farmasi FK Udayana.

Sheibat-Othman, N., & Bourgeat-Lami, E. 2009. Use of silica particles for the formation of
organic−inorganic particles by surfactant-free emulsion polymerization. Langmuir, 25(17),
10121-10133.
Subagia, K., Januarta, I. G. A., Arisanti, C. I. S., dan Samirana, P. O., 2019. Optimasi Konsentrasi
Pulvis Gummi Arabicum (PGA) sebagai Emulgator Formulasi Emulsi Ekstrak Rimpang Kunyit
(Curcuma longa). Jurnal Farmasi Udayana. Vol 8 (1) : 22-28.

Sumardjo, Damin. 2009. Buku Panduan Kuliah Mahasiswa Kedokteran dan Program Strata 1Fakultas
Bioekssakta. Jakarta: EGC.

Suseno SH, Jacoeb AM, Nuryanti M, Ernawati. Sardine (Sardinella sp.) 2017. Oil Emulsion

and Its Stability During Storage. World Journal of Fish and Marine Sciences .9(5):31-38

Sweetman, S.C. 2009. Martindale The Complete Drug Reference, 36th Ed. New York: Pharmaceutical
Press.

Syamsuni. 2006. Ilmu Resep. Jakarta: EGC.

Traynor MP, Burke R, Frias JM, Gaston E, Barry-Ryan C. 2013. Formation and Stability Of An Oil In

Water Emulsion Containing Lecithin, Xanthan Gum and Sunflower Oil. International Food
Research Journal 20(5):2173-2181.

Winarno, F.G., 1997. Kimia Pangan dan Gizi. Jakarta : Gramedia Pustaka.

Anda mungkin juga menyukai