PENDAHULUAN
1.1 Tujuan
Mahasiswa dapat mengetahui rancangan formula, memproduksi, dan
mengevaluasi emulsi.
1.2 Landasan Teori
Menurut farmakope Edisi IV, emulsi adalah sistem dua fase yang salah
satu cairannya terdispersi dalam cairan yang lain, dalam bentuk tetesan kecil
(Dirjen POM, 1995). Komponen dari emulsi dapat digolongkan menjadi 2
macam yaitu:
a. Komponen dasar
Pembentuk emulsi yang harus terdapat di dalam emulsi. Terdiri
dari:
-
mestabilkan emulsi.
b. Komponen Tambahan
Corrigen saporis, corigen odoris, corigen colouris, preservative,
anti oksidan (Anonim, 2009).
Ketidakstabilan dalam emulsi farmasi dapat digolongkan sebagai
berikut:
a. Flokulasi dan Creaming
Merupakan pemisahan dari emulsi menjadi beberapa lapis cairan, dimana
masing-masing lapis mengandung fase dispers yang berbeda.
b. Koalesen dan pecahnya emulsi (cracking)
Proses cracking bersifat tidak dapat kembali.
c. Inversi
Peristiwa berubahnya sekonyong-konyong tipe emulsi M/A ke tipe A/M
atau sebaliknya. (Anief, 2000).
Metode pembuatan emulsi dapat digolongkan sebagai berikut:
a. Metode gom basah (metode Inggris).
1
Dibuat mucilage yang kental dengan sedikit air lalu ditambahkan minyak
sedikit demi sedikit dengan diaduk cepat.
b. Metode gom kering
Korpus emulsi dibuat dengan 4 bagian minyak, 2 bagian air dan 1 bagian
gom, selanjutnya sisa air dan bahan lain ditambahkan. Metode ini juga
disebut metode 4:2:1.
c. Metode HLB
Untuk memperoleh efisiensi emulgator perlu diperhatikan sifat-sifat dari
emulgator untuk tipe sistem yang dipilih (Anief, 2007).
Dalam pembuatan emulsi, pemilihan emulgator merupakan faktor yang
penting untuk diperhatikan karena mutu dan kestabilan suatu emulsi banyak
dipengaruhi oleh emulgator yang akan digunakan. Surfaktan sering kali
digunakan dalam pembuatan suatu emulsi. Mekanisme kerjanya adalah dapat
menurunkan tegangan antar muka permukaan air dan minyak serta
membentuk lapisan film pada permukaan globul-globul fase terdispersinya.
Zat pengemulsi adalah PGA, tragacanth, gelatin, sapo senyawa Ammonium
kwartener, diolesterol, surfaktan seperti twen dan span. (Ansel, 1989)
1.3 Monografi Bahan
a. Paraffin Liquidum
1) Sinonim
2) Pemerian
3) Kelarutan
4) Penyimpanan
5) Khasiat
6) Sebagai
b. P.G.A
1) Sinonim
2) Pemerian
3) Kelarutan
4) Penyimpanan
5) Khasiat
6) Sebagai
c. Tragakan
1) Sinonim
2) Pemerian
: Paraffin cair
: Cairan kental transparan, tidak berfluoresensi
tidak berwarna hampir tidak berbau, hampir
tidak memiliki rasa
: Praktis tidak larut dalam air dan dalam etanol
(95%) P, larut dalam kloroform P dan dalam
eter P.
: Wadah tertutup baik dan terlindung cahaya
: Laksativum
: Zat aktif (FI III hal 475)
: Pulvis Gummi Acaciae
: Hampir tidak berbau dan rasa tawar lendir
: Mudah larut dalam air menghasilkan larutan
yang kental dan tembus cahaya. Praktis tidak
larut dalam etanol (95%) P.
: Wadah tertutup baik
: Zat tambahan
: Emulgator (FI III hal 279)
: Tragacantha
: Tidak berbau hampir tidak berasa
3) Kelarutan
4) Penyimpanan
5) Khasiat
6) Sebagai
d. Oleum ricini
1) Sinonim
2) Pemerian
3) Kelarutan
4) Penyimpanan
dan 50 ml air
: Wadah tertutup rapat, terisi penuh, dapat
terlindung dari cahaya. Jika akan menghablur,
sebelum digunakan harus dipanaskan hingga
5) Khasiat
6) Sebagai
e. Aquadest
1) Sinonim
2) Pemerian
3) Penyimpanan
4) Sebagai
mencair
: Zat tambahan
: Zat perasa (FI III hal 451)
: Aqua destilata, air suling
: Cairan jernih tidak berwarna tidak berbau dan
tidak mempunyai rasa
: Wadah tertutup baik
: Zat pelarut (FI III hal 96)
BAB II
METODOLOGI PERCOBAAN
2.1 Formula Emulsi
Formula emulsi yang digunakan pada praktikum ini adalah:
R/
Paraffin liq
2,5 g
P.G.A
1,5 g
Tragakan
200 mg
Ol. Anisi
q.s
Aquadest ad
50 mL
s.vesp.c
2.2 Alat
Alat-alat yang digunakan pada praktikum ini adalah:
a. Botol kaca coklat 60 ml
g. Piknometer
b. Cawan petri
h. Pipet tetes
c. Gelas beaker
i. Timbangan analitik
d. Gelas ukur
j. Timbangan gram kasar
e. Kertas pH universal
k. Timbangan miligram
f. Mortir/stamper
2.3 Bahan
Bahan-bahan yang digunakan pada praktikum ini adalah:
a. Paraffin Liquidum
b. P.G.A
c. Tragakan
d. Oleum Anisi
e. Aquadest
2.4 Cara Kerja
4
2.4.1
BAB III
HASIL PERCOBAAN
3.1 Uji pemerian
Uji pemerian dilakukan secara organoleptis dengan mengamati warna,
rasa, bau dan kelarutan dengan panca indera, warna yang dihasilkan adalah
6
warna putih susu, rasa yang ditimbulkan hambar dan sedikit pedas, bau khas
oleum anisi dan kelarutan emulsinya adalah minyak dalam air.
3.2 Pemeriksaan pH
Pengukuran pH dilakukan dengan mencelupkan kertas pH ke dalam
emulsi sampai terjadi perubahan warna pada kertas pH setelah dicelupkan ke
dalam emulsi adalah berwarna orange, warna orange pada kertas pH
menunjukkan pH 5.
3.3 Volume terpindahkan
Emulsi dipindahkan dari dalam botol ke gelas ukur 100 ml. Hasil
volume terpindahkan emulsi dalam botol ke gelas ukur adalah 49 ml dari
emulsi yang dibuat 50 ml.
3.4 Pemeriksaan BJ
Hal yang dilakukan untuk mengetahui BJ emulsi adalah:
- Menimbang piknometer kosong= 12,613 gr
- Menimbang piknometer+air
= 25,032 gr
- Menimbang piknometer+emulsi= 25,145 gr
- Berat air = (Wpikno+air)-(Wpikno kosong)
= 25,032 gr
- 12,613 gr
= 12,419 gr
- Volume air= Wair = 12,419 gr = 12,49 gr
Pair
1 g/ml
-
BJ emulsi
12,419 gr
= 1,009 g/ml
= P emulsi
Pair
= 1,009 g/ml = 1,009 g
1 g/ml
3.6 Etiket
BAB IV
PEMBAHASAN
Emulsi merupakan sediaan berupa campuran yang terdiri dari dua fase,
yang salah satu cairannya terdispersi dalam cairan lain dalam bentuk tetesan kecil.
Percobaan ini berutujuan agar mahasiswa dapat mengetahui rancangan formula,
memproduksi, dan mengevaluasi emulsi. Metode yang digunakan adalah metode
gom basah atau metode inggris. Hal ini dikarenakan dalam percobaan ini zat
pengemulsi yaitu PGA terlebih dahulu ditambahkan dengan air agar membentuk
musilago. Kemudian perlahan-lahan ditambahkan minyak untuk membentuk
emulsi. Tipe emulsi pada percobaan ini merupakan tipe emulsi o/w yaitu emulsi
yang terdiri atas butiran minyak yang terdispersi ke dalam air. Hal ini dikarenakan
emulsi tersebut bercampur sempurna dengan medium pendispersinya yaitu air dan
juga dikarenakan emulsi yang dibuat pada percobaan ini mengandung banyak
sekali komponen air dan dan sedikit komponen minyak.
Zat aktif yang digunakan pada percobaan ini berupa paraffin liquid.
Paraffin liquid dapat dibuat emulsi dikarenakan paraffin liquid merupakan cairan
kental yang tidak larut dalam air maupun pelarut polar lainnya. Paraffin liquid
dibuat dalam bentuk sediaan emulsi digunakan secara oral yang berfungsi sebagai
laksativa (obat pencahar). Paraffin terdiri atas campuran senyawa hidrokarbon cair
jenuh yang diperoleh dari minyak bumi. Sedangkan emulgator yang digunakan
adalah PGA dan tragakan. PGA digunakan karena PGA sangat baik untuk
emulgator tipe O/W dan untuk obat minum. Emulsi yang terbentuk sangat stabil
dan tidak terlalu kental. Sedangkan tragakan hanya berfungsi sebagai pengental.
Emulgator ini hanya bekerja optimum pada pH 4,5-6. Selain zat aktif dan
emulgator, sediaan ini ditambahkan juga dengan zat lain seperti oleum anisi.
Oleum anisi merupakan zat tambahan yang memiliki rasa manis dan aromatic
yang berfungsi sebagai pengaroma.
Setelah sediaan selesai dibuat, kemudian dilanjutkan dengan evaluasi yang
bertujuan untuk mengetahui apakah sediaan yang dibuat baik atau masih banyak
kekurangannya. Yang pertama adalah uji pemerian. Uji pemerian bertujuan untuk
mengetahui warna, rasa, bau dan kelarutan yang ada pada sediaan. Dari hasil
evaluasi uji pemerian ini didapat warna sediaan berupa putih susu, dengan bau
khas oleum anisi sebagai zat tambahan dan didapat rasa pedas yang juga berasal
dari oleum anisi. Sedangkan untuk kelarutan sediaan ini larut dalam air.
Uji selanjutnya yaitu uji volume terpindahkan. Uji ini bertujuan sebagai
jaminan bahwa sediaan yang dibuat sesuai dengan volume yang ditentukan. Pada
uji ini sediaan yang sudah dibuat dimasukkan ke dalam botol 50 ml kemudian
sediaan tersebut dimasukkan ke dalam gelas ukur. Volume sediaan di dalam botol
10
yaitu sebanyak 50 ml dan volume sediaan di dalam gelas ukur sebanyak 49 ml.
Hal ini tidak sesuai dikarenakan adanya faktor kesalahan, yaitu kekurangtelitian
praktikan saat menambahkan air ke dalam gelas ukur. Setelah itu dilanjutkan
dengan uji pemeriksaan pH. Pemeriksaan pH bertujuan untuk menyatakan
keasaman atau kebasaan pada sediaan. pH yang didapat pada uji pemeriksaan ini
adalah 5. Hasil yang didapat sesuai dengan literature. Hal ini dikarenakan formula
emulsi percobaan ini menggunakan emulgator tragakan. Menurut Syamsuni
(2006) tragakan hanya dapat bekerja optimum pada pH 4,5-6. Jika tragakan
bekerja pada pH < dari 5 atau terlalu asam maka dapat menurunkan viskositas
tragakan (Syahrurrachman et al , 1994).
Uji selanjutnya yaitu uji pemeriksaan bobot jenis dengan menggunakan
piknometer. Pemeriksaan bobot jenis ini bertujuan sebagai pembanding kerapatan
emlusi terhadap kerapatan air. Berdasarkan hasil percobaan bobot jenis yang
didapat sebesar 1,009. Hasil ini tidak sesuai dengan literatur. Dalam literature
menyatakan bahwa bobot jenis emulsi lebih kecil dari pada bobot jenis air. Hal ini
dikarenakan pada sediaan ini terdapat minyak yang memiliki bobot jenis yaitu
0,8.
Pada percobaan ini terdapat penyimpangan pada hasil pengamatan.
Adanya penyimpangan pada pengamatan dapat disebabkan oleh beberapa factor
diantaranya kekurang telitian praktikan saat menambahkan penimbangan,
intensitas pengadukan, dan kekurangtelitian saat penambahan air pada sediaan.
BAB V
PENUTUP
5.1 Kesimpulan
Berdasarkan percobaan yang telah dilakukan dapat disimpulkan:
1. Emulgator yang digunakan dalam percobaan ini adalah P.G.A dan
Tragakan
2. Berdasarkan evaluasi uji yang telah dilakukan dapat disimpulkan:
11
Uji pemerian: warna putih susu, memiliki bau khas oleum anisi dan
5.2 Saran
Adapun saran yang dapat saya sampaikan adalah:
1. Dalam pembuatan emulsi hendaknya lebih teliti dalam pengerjaan
2. Dalam penggunaan alat praktikum sebaiknya hati-hati
DAFTAR PUSTAKA
Anief, M. 2000. Ilmu Meracik Obat teori dan Praktek. Cetakan ke-9.
Yogyakarta: Gadjah Mada University.
Anief, M. 2007. Penggolongan Obat berdasarkan Khasiat dan Penggunaan.
Yogyakarta. Gadjah Mada University Press.
Ansel, HC. 1998. Pengantar Bentuk Sediaan Farmasi Edisi ke empat.
Diterjemahkan oleh Farida Ibrahim. Jakarta: UI-Press.
Departemen Kesehatan Republik Indonesia. 1995. Farmakope Indonesia.
Edisi IV. Jakarta: Direktorat Jenderal Pengawasan Obat dan makanan.
Duin, C.F. Van. 1954. Ilmu resep dalam praktek dan teori. Jakarta:
Soeroengan.
Syamsuni, H. A., 2006. Ilmu Resep. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC.
Hal 166-171.
12
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Tujuan
Tujuan dari praktikum ini adalah agar mahasiswa dapat menegtahui
rancangan formula, memproduksi, dan mengevaluasi suspensi Ampicilin
Trihidrat.
1.2 Landasan Teori
Suspensi adalah sediaan yang mengandung bahan obat dalam bentuk
halus dan tidak larut, terdispersi dalam cairan pembawa. Zat yang terdispersi
harus halus dan tidak boleh cepat mengendap jika dikocok perlahan lahan
endapan harus segera terdispersi kembali. Dapat mengandung zat tambahan
untuk menjamin stabilitas suspensi (Farmakope Indonesia, 1979).
13
larutan.
Obat dalam sediaan suspensi rasanya lebih enak dibandingkan
dalam larutan, karena rasanya obat tergantung kelarutannya (Anief,
1987).
Kerugian bentuk suspensi antara lain sebagai berikut:
14
Kelarutan
dalam
etanol
95%
P,
dalam
syarat
yang tertera pada ampisilinum.
: 12,0-15,0%
: Antibiotikum
Kadar air
Khasiat
b. PGS (FI III, 1979 hlm 279)
- Pemerian
: Hampir tidak berbau, rasa tawar seperti
-
Kelarutan
lender.
: Mudah larut dalam air, menghasilkan
larutan yang kental dan tembus cahaya.
Struktur
BM
Pemerian
: C8H8O3
: 152,15
: Serbuk hablur halus, putih, hamper
tidak berbau, tidak mempunyai rasa,
kemudian agak membakar diikuti rasa
Kelarutan
tebal.
: Larut dalam 500 bagian air, dalam 20
bagian air mendidih, dalam 3,5 bagian
etanol 95% P, dan dalam 3 bagian
aseton P. mudah larut dalam eter P, dan
dalam larutan alkali hidroksida.
- Khasiat
e. Etanol
- Sinonim
- Pemerian
: Zat tambahan
: Aethanolum
: Cairan tak berwarna, jernih, mudah
menguap, dan mudah bergerak, bau
khas, rasa panas, mudah terbakar
dengan
memberikan nyala biru yang tidak
Kelarutan
Penyimpanan
Khasiat
Sebagai
berasap
: Sangat mudah larut dalam air, dalam
kloroform dan dalam eter
: Wadah tertutup rapat, terlindung
cahaya, ditempat sejuk, jauh dari nyala
api
: Zat tambahan
: Wetting agent
16
BAB II
METODELOGI PERCOBAAN
2.1 Formulasi Sediaan
Formula suspensi yang digunakan pada praktikum ini adalah:
R/ Ampicilin trihydrat
PGS
SL
Etanol
Methyl Paraben
Aquadest
3g
0,5 g
7,7 g
5 ml
q.s
ad 100
ml
2.2 Alat
Alat yang digunakan pada percobaan ini adalah:
a. Timbangan
b. Mortar
c. Stamper
d. Gelas ukur
e. Ayakan
f. Corong alir
g. Cawan petri
2.3 Bahan
Bahan yang digunakan pada percobaan ini adalah:
a.
b.
c.
d.
e.
f.
Ampicilin trihydrat
PGS
SL
Etanol
Metil paraben
Aquadest
17
3. Derajat deflokulasi
Sediaan dituangkan dalam tabung reaksi.
Didiamkan sampai berbentuk endapan.
Diukur tinggi endapan yang terbentuk.
4. Redispersi
Sediaan dituangkan ke dalam tabung reaksi/
Dikocok.
Didiamkan 24 jam.
Dikocok kembali.
Dicatat waktu homogen tidaknya suspensi.
5. pH
Sediaan dimasukkan dalam beaker gelas.
pHnya diukur dengan pH universal.
Hasilnya dicatat.
6. Kebocoran
- Botol dimasukkan dalam baskom yang berisi air.
- Diamati apakah botol mengalami kebocoran atau tidak.
BAB III
HASIL PERCOBAAN
2.1 Bobot
Bobot awal
:8g
Bobot setelah dikeringkan
:6g
Bobot setelah dicampurkan : 9,3 g
3.2 Uji Sifat Alir Serbuk
Waktu yang dibutuhkan adalah 5 detik
3.3 Uji Pemerian Produk
Warna : krim
Bau
: bau khas coklat
Rasa
: manis seperti coklat
3.4 Volume Endapan
Vu
= 2,5 ml
Vo
= 100 ml
Vu 2,5 ml
=
=0,025
F
= Vo 100 ml
18
3.5 Redispersi
Waktu suspensi homogen kembali adalah 0,6 detik dan suspensi
homogen saat setelah dikocok.
3.6 pH
pH suspense adalah 6 (asam)
3.7 Uji Kebocoran
Sediaan tidak mengalami kebocoran
19
3.9 Etiket
20
BAB IV
PEMBAHASAN
Suspensi merupakan sediaan cair yang mengandung partikel tidak larut
dalam bentuk halus yang terdispersi ke dalam fase cair. Percobaan ini bertujuan
agar mahasiswa dapat mengetahui rancangan formula, memproduksi, dan
mengevaluasi suspensi ampicilin trihydrat. Metode yang digunakan pada
percobaan ini adalah metode presipitasi. Hal ini dikarenakan zat yang hendak
didispersikan terlebih dahulu dilarutkan ke dalam pelarut organik yang hendak
dicampur dengan air. pelarut organik yang digunakan adalah etanol.
Pertama yang dilakukan dalam percobaan ini adalah mencampurkan
ampicilin tryhidrat dan PGS hingga homogen. Hal ini bertujuan untuk
menyeragamkan ukuran partikel. Ampicilin trihydrat merupakan zat aktif yang
digunakan pada percoban ini. Ampicilin trihydrat termasuk obat antibiotic.
Ampicilin trihydrat berkhasiat untuk mengobati infeksi yang disebabkan oleh
bakteri. Ampicilin trihydrat dibuat suspensi dikarenakan Ampicilin trihydrat tidak
larut dalam air sehingga akan cepat mengendap dalam larutan, sehingga
ditambahkan PGS sebagai suspending agent. PGS digunakan sebagai suspending
21
agent dimaksudkan untuk meningkatkan kelarutan zat aktif dalam air sehingga
dapat terdispersi dalam air dengan cara pengocokan.
Selanjutnya dilakukan pembuatan campuran laktosa, metil paraben sampai
homogen. Kemudian campuran tersebut ditambahkan dengan etanol. Penambahan
etanol digunakan sebagai pembasah agar campuran laktosa dan metil paraben
mudah terbasahi dan juga berfungsi untuk meningkatkan kestabilan suspensi.
Pada percobaan ini laktosa digunakan sebagai zat tambahan. Sedangkan metil
paraben sebagai zat pengawet. Hal ini bertujuan untuk meningkatkan stabilitas
sedian dengan mencegah terjadinya kontaminasi mikroorganisme. Setelah
campuran tersebut terbentuk maka dilakukan pengayakan. Pengayakan bertujuan
untuk memilih partikel-partikel yang lebih kasar agar diperoleh serbuk yang halus.
Hal ini dikarenakan salah satu faktor yang memperngaruhi stabilitas suspensi
adalah ukuran partikel. Semakin kecil ukuran partikel semakin lambat gerakan
partikel untuk mengendap. Selanjutnya yaitu pengeringan campuran yang sudah
diayak. Hal ini bertujuan untuk mencapai bobot tetap dan juga untuk mengecek
kadar airnya. Setelah mencapai bobot tetap campuran tersebut kemudian diayak
lagi dan didapat bobot 6 g. sebelum dikeringkan campuran tersebut memiliki
bobot 8 g. Kemudian campuran yang telah diayak dicampurkan dengan campuran
ampicilin trihydrat dan PGS hingga homogen dan didapat bobot 9,3 g.
Setelah serbuk selesai dibuat, kemudian dilanjutkan dengan evaluasi yang
bertujuan untuk mengetahui apakah sediaan yang dibuat baik atau masih banyak
kekurangannya.. Yang pertama adalah uji sifat alir serbuk. Uji ini bertujuan untuk
mengetahui kecepatan serbuk saat terdispersi kembali. Dari hasil evaluasi uji sifat
alir serbuk ini didapat waktu alirnya yaitu 5 detik. Hal ini tidak sesuai dengan
literature. Menurut Farmakope Indonesia untuk 100 g serbuk waktu alirnya tidak
boleh lebih dari 10 detik. Oleh karena itu, untuk 10 g serbuk waktu alirnya tidak
boleh lebih dari 1 detik, sehingga untuk serbuk kurang dari 10 g waktu alirnya
kurang dari 1 detik. Hal ini dikarenakan serbuk yang digunakan kemungkinan
masih basah atau lembab.
Setalah dilakukan uji sifat alir, dilanjutkan dengan penambahan coklat
essence dan aquadest hingga tanda batas. Penambahan coklat essence digunakan
sebagai pewangi dan pewarna pada sediaan. Coklat essence juga digunakan perasa
22
untuk menutupi rasa pahit dari ampicilin trihydrat. Selanjutnya dilakukan lagi
evaluasi antara lain uji pemerian produk, derajat flokulasi, redispersi, pemeriksaan
pH, dan uji kebocoran. Uji pemerian produk bertujuan untuk mengetahui warna,
rasa, dan bau yang ada pada sediaan. Dari hasil evaluasi uji pemerian ini didapat
warna sediaan berupa krim dengan bau khas coklat. Sedangkan rasa yang
diperoleh pada sediaan yaitu rasa manis seperti coklat. Hal ini karena adanya
penambahan coklat essence.
Uji selanjutnya yaitu uji volume endapan atau sedimentasi. Uji ini
dilakukan sebagai pembanding antara volume akhir dari endapan terhadap volume
awal dari suspense dan juga untuk mendapatkan nilai derajat flokulasi. Volume
sedimentasi (F) yang diperoleh yaitu 0,025. Sehingga volume sedimentasi (F)
adalah lebih kecil dari volume awal dari suspensi (F<1). Artinya hasil flokulat
yang terbentuk dalam suspensi adalah tidak sebegitu longgar dan lunak sehingga
volume yang didapat dicapai lebih kecil dari volume suspensi awal. Hasil yang
didapat ini secara farmasetik tidak dapat diterima. Menurut Martin et al, 1993
volume sedimentasi yang dapat diterima yaitu volume sedimentasi yang nilai F
sama dengan 1 atau F lebih dari 1.
Selanjutnya yaitu pemeriksaan pH. Pemeriksaan pH bertujuan untuk
menyatakan keasaman atau kebasaan pada sediaan. pH yang didapat pada uji
pemeriksaan ini adalah 6 (asam). Hasil yang didapat sesuai dengan literature.
Menurut Martin et al 1993 menyatakan bahwa suspensi oral sirup dalam sirup
antibiotic oral, memiliki konsentrasi dari zat yang tersuspensi lebih besar. Oleh
karena jika sediaan memiliki konsentrasi zat tersuspensi lebih besar berarti
sediaan tersebut memiliki tingkat keasaman yang kuat.
Setelah itu dilanjutkan dengan redispersi. Redispersi bertujuan untuk
mengetahui berapa lama waktu yang dibutuhkan agar larutan tercampur semua
dan untuk mengetahui terdispersinya kembali sediaan suspensi setelah dilakukan
pengocokan. Berdasarkan hasil percobaan waktu suspensi homogen kembali yaitu
0,6 detik dan suspensi homogen saat setelah dikocok. Hal ini berarti dalam waktu
yang sebentar setelah dikocok partikel pada suspensi sudah terdistribusi merata di
seluruh sistem disperse. Hasil ini sesuai dengan literature. Menurut Martin et al,
1993 suspensi yang ideal itu jika partikel-partikel mengendap, maka partikel-
23
BAB V
PENUTUP
5.1 Kesimpulan
Berdasarkan percobaan yang telah dilakukan dapat disimpulkan bahwa:
a. Sediaan ini berkhasiat sebagai antibiotikum.
b. Uji evaluasi yang digunakan berupa uji sifat alir serbuk, uji
pemerian produk, volume endapan, redispersi, pemeriksaan
pH, dan uji kebocoran.
c. Berdasarkan hasil percobaan evaluasi sifat alir serbuk
diperlukan waktu 5 detik, pemerian sediaan berwarna krim
dengan bau khas coklat dan rasa manis seperti coklat.
Volume endapan yang diperoleh yaitu 0,025 ml artinya F <
1. Sedangkan redispersi waktu yang diperlukan adalah 0,6
detik dan didapat pH sebesar 6 serta tidak mengalami
kebocoran.
5.2 Saran
Saran untuk praktikum selanjutnya:
24
a. Agar dapat melengkapi alat yang berhubungan dengan hal uji evaluasi
dan bahan yang berhubungan dengan praktikum.
b. Ketepatan dan ketelitian dalam pengerjaan harus diperhatikan dengan
benar agar mengurangi faktor kesalahan.
DAFTAR PUSTAKA
Anief, M. 2006. Ilmu Meracik Obat. Yogyakarta. Gajah Mada University Press.
Anief, M. 1987. Ilmu Meracik Obat. Yogyakarta. Gajah Mada University Press.
Direktorat Jenderal Pengawas Obat dan Makanan Departemen Kesehatan
Republik Indonesia. 1979. Farmakope Indonesia Edisi III. Jakarta.
Depateremen Kesehatan Republik Indonesia.
Joenoes, N. Z. 2013. ARS Prescrebendi Resep yang Rasional. Surabaya. Airlangga
University Press.
Martin, A., Swarbrick, J., dan Cammarata, A. 1993. Farmasi Fisik Dasar-Dasar
Kimia Fisika dalam Ilmu Farmasetika. Jakarta. UI Press.
Syamsuni. 2006. Ilmu Resep. Jakarta. Penerbit Kedokteran EGC.
25
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Tujuan
Mahasiswa dapat mengetahui rancangan formula, memproduksi dan
mengevaluasi sediaan gel asam salisilat.
1.2 Landasan Teori
Gel kadang-kadang disebut jeli, merupakan sistem semi padat terdiri
dari suspense yang dibuat dari partikel anorganik yang kecil atau molekul
organic yang besar, terpenetrasi oleh suatu cairan (FI ed IV). Gel
didefinisikan sebagai suatu sistem setungah padat yang terdiri dari suatu
disperse yang tersusun baik dari partikel anorganik yang kecil atau molekul
anorganik yang besar dan saling diresapi cairan (Ansel, 1989).
Gel adala sediaan massa lembek, berupa suspense yang terbuat dari
zarah kecil senyawaan organic atau makromulekul senyawa organic, masingmasing terbungkus dan saling terserap oleh cairan. Jika assa gel terdiri dari
gumpalan zarah kecil. Gel digolongkan sebagai sistem dua fase: massanya
berdifat toksotrofik, artinya massa akan mengentak jika dibiarkan dan akan
26
mencair kembali jika dikocok. Gel demikian disebut magma. Fase tunggal
terdiri dari makromolekul yang terdispersi dengan cairannya (Fornas, 1978).
Menurut Farmakope Indonesia edisi IV penggolongan sediaan gel
dibagi menjadi dua, yaitu:
1. Gel sistem dua fase
Dalam sistem dua fase, jika ukuran partikel dari fase terdispersi relative
besar, massa gel kadang-kadang dinyatakan sebagai magma dapat berupa
tikstrotropik, membentuk semi padat jika dibiarkan dan mencair pada
pengocokan. Sediaan harus dikocok dahulu sebelum digunakan untuk
menjamin homogenitas.
2. Gel sistem fase tunggal
Gel fase tunggal terdiri dari makromolekul organic yang tersebar sama
dalam suatu cairan sedemikian rupa hingga tidak terlihat adanya ikatan
molekul makro yang terdispersi dari cairan. Gel fase tunggal dapat dibuat
dari makromolekul sintetik misalnya karbomer atau gom alam.
Sifat dan karakteristik dari sediaan gel menurut Lachman (1994), yaitu
sebagai berikut:
1. Zat pembentuk gel yang ideal untuk sediaan formulasi dan kosmetik ialah
inert, aman dan tidak bereaksi dengan komponen lain.
2. Pemilihan bahan pembentuk gel harus dapat memberikan bentuk padatan
yang baik selama penyimpanan tapi dapat rusak segera ketika sediaan
diberikan kekuatan atau daya yang disebabkan oleh pengocokan dalam
botol, pemerasan tube atau selama penggunaan topical.
3. Karakteristik gel harus disesuaikan dengan tujuan penggunaan sediaan
yang diharapkan.
4. Penggunaan bahan pembentuk gel yang konsentrasinya sangat tinggi atau
BM besar dapat menghasilkan gel yang sulit dikeluarkan atau digunakan.
5. Gel dapat erbentuk melalui penurunan temperatur, tetapi juga dapat juga
pembentukan gel terjadi setelah pemanasan hingga suhu tertentu. Contoh
polimer seperti MC, HpMC dapat terlarut hanya pada air yang dingin yang
akan membentuk larutan yang kental dan pada peningkatan suhu larutan
tersebut akan membentuk gel.
6. Fenomena pembentukan gel atau pemisahan fase yang disebabkan oleh
pemanasan disebut thermogelatin.
Keuntungan serta kerugian sediaan gel menurut Lachman (1994),
yaitu sebagai berikut:
27
1. Keuntungan
Untuk dirogel: efek pendingin saat digunakan, penampilan sediaan
yang jernih dan elegan pada pemakaian dikulit setelah kering
meninggalkan film tembus pandang, elastis, mudah dicuci dengan air,
pelepasan obatnya baik, kemampuan penyebarannya pada kulit baik.
2. Kerugian
Untuk hidrogel: harus menggunakan zat aktif yang larut di dalam
air sehingga diperlukan penggunaan pengikat kelarutan seperti surfaktan
agar gel tetap jernih pada berbagai temperatur, tetapi gel tersebut sangat
mudah dicuci atau hilang ketika berkeringat, kandungan surfaktan yang
tinggi dapat menyebabkan iritasi dan harganya lebih mahal.
Sedangkan kegunaan dari sediaan gel menurut Lachman (1994), yaitu
sebagai berikut:
1. Gel merupakan suatu sistem yang dapat diterima untuk pemberian oral
dalam bentuk sediaan yang tepat, atau sebagai kulit kapsul yang dibuat
dari gelatin dan untuk bentuk sediaan obat long acting yang diinjeksikan
secara intra muscular.
2. Gelling agent biasanya digunakan sebagai bahan pengikat pada granulasi
tablet, bahan pelindung koloid pada suspense, bahan pengental pada
sediaan cairan oral dan basis suppositoria.
3. Untuk kosmetik, gel telah digunakan dalam berbagai produk kosmetik,
termasuk pada shampoo, parfum, pasta gigi, kulit dan sediaan perawatan
rambut.
4. Gel dapat digunakan untuk obat yang diberikan secara topical (non
steril)atau dimasukkan ke dalam lubang tubuh atau mata (gel steril).
1.3 Monorafi Bahan
a. Asam Salisilat (FI ed III, 1979).
Nama Lain
: Acidum Salicylicum
Pemerian
Kelarutan
Penyimpanan
Khasiat
membentuk
Khasiat
dan eter.
:Preservatif.
29
BAB II
METODOLOGI PERCOBAAN
2.1 Formulasi Gel
Formulasi dari sediaan gel yang digunakan pada praktikum ini adalah:
R/ Asam Salisilat
3%
Na-CMC
1%
TEA
0,4%
Etanol
12%
Nipagin
0,18%
0,5%
2.2 Alat Oleum menthae
Alat yang
digunakan pada praktikum
inigram
adalah:
Aquadest
ad 100
a. Batang pegauk
f. Mortir dan Stamper
b. Beaker Glass
g. Timbangan
c. Pot Gel
h. Ph universal
d. Cawan Porselin
i. Sendok Tanduk
e. Kaca Arloji
j. Penangas Air
2.3 Bahan
30
31
BAB III
HASIL PERCOBAAN
3.1 Uji Pemerian
- Bentuk : Kental
- Warna : Benimg putih susu
- Bau
: Aroma khas ol.minthae pip
3.2 Uji Homogenitas
Didapati sediaan gel sudah homogen.
3.3 Uji Pengukuran Ph
- pH gel dengaan penambahan aquadest : 7
3.4 Uji Daya Sebar
Pada uji ini dilakukan 3 kali pengulangan (replikasi)
1. Diameter awal : 1,7 cm
Diameter akhir : 2 cm
2. Diameter Awal : 1,8 cm
Diameter akhir : 1,9 cm
3. Diameter awal : 1,7 cm
Diameter akhir : 2 cm
diameter awal=
1,7 +1,8+1,7
=1,73 cm
3
diameter akhir=
2+ 1,9+ 2
=1,96 cm
3
1
100=1 g
100
c. Etanol
12
100=12ml
100
d. Nipagin
0,18
100=0,18 g
100
0,5
100=0,5 g
100
f. Aquadest
: 80,3
g 30
g = 50,3
32
33
3.8 Etiket
34
BAB IV
PEMBAHASAN
Pada praktikum teknologi farmasi sediaan liquid dan semi solid kali ini
praktikan melakukan pembuatan gel, dimana bahan aktif yang digunakan adalah
asam salisilat yang berfungsi sebagai antifungi serta keratolitik, dengan dosis 3 %
dari keseluruhan sediaan dibuat. Hal ini sudah sesuai dengan Farmakope
Indonesia edisi III (1979), yang menyatakan bahwa kadar bahan obat untuk
sediaan unguentum yang tidak mengandung obat keras atau narkotik adalah 10 %.
Penggunaan
Keuntungan sediaan gel ini adalah obat langsung kontak dengan jamur (fungi)
yang ingin diobati pada kulit, serta kenyamanan yang diberikan serta kemudahan
penggunaan pada pemakaian sediaan gel ini, karena mudah dioleskan dan mass
gel relative lembek sehingga mudah dimasukkan dalam wadah yang memudahkan
pemakaiannya.
Bahan tambahan yang digunakan pada pembuatan sediaan gel ini berupa
Na-CMC, TEA, etanol, metil paraben, oleum mentae pip dan juga aquadest.
Berdasarkan Faerdiaz (1987), fungsi Na-CMC yaitu sebagai pengental,
stabilisator, pembentuk gel dan beberapa hal sebagai pengemulsi. Teriethanolamin
merupakan suatu alkalizing agent. Na-CMC akan mengembang jika didespersikan
dengan air dan dengan adanya zat-zat alkali seperti triethanolamin atau
diisopropilamin.
Evaluasi yang dilakukan dalam peraktikum ini adalah uji pemerian, uji
homogenitas, uji pH serta uji daya sebar. Uji viskositas dan uji daya lekat
seharusnya juga dilakukan dalam praktikum ini, namun karena tidak tersedianya
alat sehingga tidak dapat dilakukan uji tersebut pada gel. Uji aseptabilitas juga
dilakukan pada praktikum kali ini.
Uji Pemerian gel didapati bahwa gel yang dihasilkan yaitu berbentuk
kental, berwarna putih susu bening, serta bau yang dihasilkan adalah aroma khas
dari oleum mintahe pip, sedangkan untuk uji homogenitas didapati bahwa sediaan
sudah homogen karena seluruh bahan atau komposisi dari gel terlarut sempurna
dalam sediaan yang dibuat ini. Berdasarkan SNI (1996), yaitu syarat sediaan yang
35
baik adalah homogen, sehingga hasil yang didapat pada praktikum telah sesuai
dengan teori.
Pada pengujian pH menggunakan kertas ph universal didapati hasil pH gel
sebelum ditambah air adalah 4 dan setelah ditambah air adalah 7. Hal ini menurut
Farmakope Indonesia edisi IV (1995) sudah sesuai atau cukup baik. Kemudian
untuk uji daya sebar dengan cara kaca arloji diberi gel diatasnya kemudian dilapisi
atasnya yang telah diberi sedikit gel dengan menggunakan kaca arloji lainnya
sehingga gel menjadi menyebar, kemudian diukur menggunakan penggaris
dengan hasil yang didapat adalah 1,73 cm untuk diameter sesudah diberi tekanan
dan 1,96 cm untuk diameter sesudah diberi tekanan. Hal ini tidak sesuai dengan
pendapat Garg (2002), yang menyatakan bahwa daya sebar gel yang baik adalah
sekitar 5-7 cm, sehingga sediaan gel ini tidak memenuhi uji daya sebar yang baik
dikarenakan karena beberapa hal seperti sedikitnya bahan yang diletakkan pada
kaca arloji. Pada pengujian daya sebar ini hendaknya pengukuran dilakukan
menggunakan kertas millimeter block untuk memudahkan perhitungan luas
sebaran dari sediaan gel.
Uji terakhir yang dilakukan pada sediaan gel adalah uji aseptabilitas
dengan cara mengoleskan sediaan pada kulit tangan lalu dicuci dengan air.
Berdasarkan gel yang telah diuji, maka didapat sediaan gel yang lembut dan
mudah dicuci dengan air serta tidak lengket. Hal ini sudah sesuai dengan Lachman
(1994), yang menyatakan sediaan gel konsistensinya harus halus dan mudah
dicuci dengan air serta tidak menyebabkan lengket pada permukaan kulit.
BAB V
PENUTUP
36
5.1 Kesimpulan
Dari praktikum teknologi sediaan liquid dan semi solid ini maka dapat
disimpulkan bahwa:
1. Formula sediaan gel ini adalah asam salisilat yang berfungsi sebagai anti
fungi serta sebagai keratolitikum sebagai bahan aktif pada formulasi
tersebut.
2. Mengevaluasi sediaan gel dengan melakukan uji pemerian, uji
homogenitas, uji pH, uji daya sebar serta uji aseptabilitas.
5.2 Saran
Saran untuk praktikum ini adalah sebaiknya alat-alat praktikum lebih
dilengkapi agar praktikum dapat berjalan dengan baik.
DAFTAR PUSTAKA
Ansel, Howrd.C. 1989. Pengantar Bentuk Sediaan Farmasi edisi 4. Jakarta: UI
Press.
Departmen Kesehatan Republik Indonesia. 1979. Farmakope Indonesia Edisi III.
Jakarta: Depkes RI.
Departmen Kesehatan Republik Indonesia. 1995. Farmakope Indonesia Edisi IV.
Jakarta: Depkes RI.
Departmen Kesehatan Republik Indonesia. 1978. Formularium Nasional Edisi II.
Jakarta: Depkes RI.
Fardiaz, Srikandi, Ratih Dewanti, Slamet Budijanto. 1987. Risalah Seminar:
Bahan Tambahan Kimiawi (Food Additive). Bogor: Institut Pertanian
Bogor.
37
Garg, A.D. Aggarwal, S, Garg dan A.K. Sigla. 2002. Spreading of Semisolid
Formularium. USA: Pharmaceutical Technologi pp 84-104.
SNI. 1996. SNI 16-4339-1996. Sediaan Tabir Surya. Jakarta: Dewan Standarisasi
Nasional.
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Tujuan
Mahasiswa dapat mengetahui rancangan formula, memproduksi, dan
mengevaluasi sediaan suppositoria parasetamol.
1.2 Landasan Teori
Suppositoria adalahsediaan padat dalam berbagai bobot dan bentuk,
yang pemberiannya dapat melalui rektal, vagina ataupun uretra. Umumnya
dapat melunak atau melarut pada suhu tubuh. Suppositoria dapat bertindak
sebagai pelindung jaringan setempat, sebagai pembawa zat terapeutik yang
bersifat local atau sistemik. Bahan suppositoria yang paling umum digunakan
adalah lemak coklat ( oleum cacao ), gelatin tergliserinasi, minyak nabati
38
39
Pembentuk emulsi A/M (Air dalam Minyak) atau W/O (Water in Oil).
Contohnya yaitu campuran Tween 61,5% dengan Gliserin Laurat 15%
(Syamsuni. 2006 )
1.3 Monografi Bahan
1) Paracetamol (FI III, hal 37)
Nama Lain
: Acetaminofen, Acetaminophenum.
Pemerian
: Serbuk hablur putih, tidak berbau, rasa sedikit
pahit.
Kelarutan
: Larut di dalam air mendidih dan di dalam
Natrium Hidroksida 1N, Mudah larut dalam
Khasiat
Penyimpanan
etanol
: Sebagai analgetik dan antipiretik
: Wadah tertutup rapat, tidak tembus cahaya.
Penyimpanan
dingin
: Wadah tertutup baik
40
BAB II
METODOLOGI PRAKTIKUM
2.1 Formulasi Sediaan
Formula suppositoria yang digunakan pada praktikum ini adalah :
R/ Paracetamol
mg
250
Oleum cacao
95%
Cera Flava
5%
2.2 Alat
Alat yang digunakan pada percobaan ini adalah
a.
b.
c.
d.
e.
f.
g.
Alat Pemberat
Alat Pencetak Suppositoria
Batang Pengaduk
Beaker Glass
Cawan Porselen
Hot Plate
Lemari Pendingin
h.
i.
j.
k.
l.
m.
n.
Mortir
Sendok Tanduk
Stamper
Sudip
Termometer
Penangas Air
Aluminium Foil
41
o. 2.3 Bahan
p. Bahan yang digunakan pada percobaan ini adalah
a. Parasetamol
b. Oleum Cacao
c. Cera Flava
q. 2.4 Cara Kerja
r.
2.4.2
longitudinal
Memeriksa dengan mata telanjang untuk menilai homogenitas
yang diverifikasi penampilan permukaan dan warna suppositoria
oleh :
a. Tidak adanya fissuring
b. Tidak adanya pitting
c. Tidak adanya lemak mekar
d. Tidak adanya eksudasi
e. Tidak adanya migraine bahan aktif
3. Uji keseragaman bobot
Menimbang satu per satu
Menghitung bobot rata ratanya
Menghitung persen kelebihan bobot suppositoria
Variasi keseragaman bobot tidak boleh > 5 %
4. Uji kekerasan
Memotong ujungnya agar dapat berdiri tegak.
am.
Tidak adanya migraine bahan obat
3.4 Keseragaman Bobot
1. 3.700 mg
2. 3.700 mg
3. 3.700 mg
4. 3.650 mg
5. 3.600 mg
6. 3.700 mg
an.Rata-rata : 3.675 mg
3.5 Uji Titik Lebur
ao.Pada suhu 40oC
ap.
aq.
ar.
3.6 Uji Titik Lebur
as. 2 menit
3.7 Uji Kekerasan
at. Tidak keras, hancur pada beban 100 g
au.
av.
aw.
ax.
ay.
az.
ba.
bb.
bc.
bd.
be.
bf.
bg.
bh.
bi.
bj.
bk.
bl.
bm.
bn.
bo.
bp.
bq.
br.
bs.
bt.
bu.
bv.
3.8 Desaian kemasan
bw.
bx.
by.
bz.
ca.
cb.
cc.
cd.
ce.
cf.
cg.
ch.
ci.
cj.
ck.
cl.
cm.
cn.
co.
cp.
cq.
cr.
cs.
ct.
cu.
cv.
cw.
cx.
cy.
cz.
da.
3.9 Etiket
db.
dc.
dd.
de.
df.
dg.
dh.
di.
dj.
dk.
dl.
dm.
dn.
do.
dp.
dq.
dr.
ds.
dt.
du.
dv.
dw.
dx.
dy.
dz.
ea.
eb.
ec.
ed.
ee.
ef. BAB IV
PEMBAHASAN
eg.
eh.
ei.
metode mencetak hasil leburan, cetakan harus dibasahi dengan paraffin cair, tetapi
untuk oleum cacao tidak karena akan mengerut pada proses pendinginan dan
mudah dilepas pada cetakan ( syamsuni. 2006 ). Tetapi pada percobaan kali ini
paraffin digunakan pada alat pencetak suppositoria agar memudahkan pelepasan
saat suppositoria sudah mengeras pada cetakan. Zat utama yang digunakan pada
pembuatan suppositoria kali ini adalah Parasetamol yang berkhasiat sebagai
analgetik dan antipiretik yaitu sebagai penghilang rasa sakit dan penghilang rasa
nyeri. Oleum cacao pada percobaan kali ini digunakan sebagai basis dari
suppositoria yang merupakan lemak, lemak memiliki sifat mencair pada suhu
tinggi, dipilih oleum cacao karena dapat melebur atau mencair pada suhu tubuh
dan dapat memadat pada suhu kamar. Cera flava digunakan pada praktikum kali
ini sebagai zat tambahan, dan untuk menambah bobot dari suppositoria, cera flava
dipilih karena lebih stabil dan dapat bercampur dengan bahan yang lainnya, tetapi
cera flava sedikit rapuh pada suhu dingin.
ej.
ek.
el.
em.
ep.
eq.
er.
es. BAB V
et. PENUTUP
eu.
ev. 5.1 Kesimpulan
ew.
bahan-bahan yang akan digunakan, dan pada saat menimbang harus dengan
teliti
ez.
fa.
fb.