1
Gambaran utama mekanisme autoimunitas (Kindt, et. al., 2007)
Salah satu contohnya adalah pada Myelin Basic Protein (MBP), yaitu antigen yang terletak di luar sistem
imun; MBP tidak terjangkau oleh sistem imun karena dihalang oleh blood-brain barrier. Pada percobaan,
seekor hewan diinjeksi dengan MBP + adjuvant, yaitu untuk memaksimalisasi respon imun. Pada kasus
tersebut, sistem imun hewan percobaan terpajan oleh antigen self yang asing, namun dalam keadaan
nonfisiologis (dalam keadaan percobaan). Pada eksperimen yang sama, ternyata kasus tersebut dapat dicegah
apabila MBP diinjeksi langsung ke timus, sehingga sel T dapat terpajan oleh antigen terkait pada saat
pematangannya. (Kindt, et. al., 2007)
B. Mimikri Molekuler
Oleh karena berbagai hal, mikroba dan virus dapat menyebabkan terjadinya autoimunitas. Perlu disadari
bahwa manusia terserang penyakit di mana penyakit tersebut endemik di wilayah tertentu. Namun seiring
dengan perkembangan zaman, mobilitas manusia meningkat, dan menariknya, tingkat kejadian autoimunitas
juga meningkat. Hal ini diduga karena beberapa mikroba atau virus tertentu memiliki determinan antigen
yang mirip dengan antigen sel yang dimiliki host. Hal ini dinamakan mimikri. Pada satu studi, sebanyak 600
antibodi monoklonal yang spesifik terhadap 11 virus dites reaktivitasnya terhadap sel tubuh host. Sebanyak
3% dari antibodi spesifik virus tersebut ternyata juga berikatan dengan sel tubuh normal, sehingga
disimpulkan bahwa mimikri molekuler bisa menjadi fenomena yang sering terjadi. (Kindt, et. al., 2007)
2
terlokalisasi, rambut rontok menyebar dan kepekaan terhadap matahari. Nama kondisi ini berasal dari fakta bahwa
ruam fotosensitif yang terjadi pada wajah menyerupai serigala.
Resiko meningkat 25-50% pada kembar identik dan 5% pada kembar dizygotic, menunjukkan kaitannya
dengan faktor genetik. Fakta bahwa sebagian kasus bersifat sporadis tanpa diketahui faktor predisposisi
genetiknya, menunjukkan faktor lingkungan juga berpengaruh. Infeksi dapat menginduksi respon imun spesifik
berupa molecular mimicry yang mengacau regulasi sistem imun.
Meskipun lupus diketahui merupakan penyakit keturunan, tetapi gen penyebabnya tidak diketahui.
Penemuan terakhir menyebutkan tentang gen dari kromosom 1. Hanya 10% dari penderita yang memiliki kerabat
(orang tua maupun saudara kandung) yang telah maupun akan menderita lupus. Statistik menunjukkan bahwa
hanya sekitar 5% anak dari penderita lupus yang akan menderita penyakit ini.
Lupus seringkali disebut sebagai penyakit wanita walaupun juga bisa diderita oleh pria. Lupus bisa menyerang
usia berapapun, baik pada pria maupun wanita, meskipun 10-15 kali lebih sering ditemukan pada wanita.
Meskipun demikian, penyebab yang pasti dari lebih tingginya angka kejadian pada wanita dan pada
masa pra-menstruasi, masih belum diketahui.
Terdapat dua teori mengenai etiologi lupus, yaitu :
1) Teori yang pertama menyebutkan bahwa pada perkembangan penyakit mulai dari gambaran awal sampai
timbul kerusakan didasari oleh produksi sirkulasi autoantibodi menjadi suatu nukleoprotein, yaitu antinuclear
antibodies (ANA). Proses awal tidak diketahui tetapi kemungkinan terjadi mutasi gen yang berhubungan
dengan sel yang mengalami apoptosis yang melibatkan limfosit, kemudian limfosit bereaksi menyerang selnya
sendiri.
Autoantibodi pada lupus dibentuk menjadi antigen nuclear (ANA) dan (anti-DNA). Autoantibodi terlibat
dalam pembentukan kompleks imun, yang diikuti oleh aktivasi komplemen yang mempengaruhi respon
inflamasi banyak jaringan, termasuk kulit dan ginjal.
2) Teori lainnya menyatakan autoantibody lupus eritematosus merupakan lanjutan dari reaksi silang antigen
eksogen seperti retrovirus RNA.
Faktor Resiko terjadinya SLE
1. Faktor Genetik
a. Jenis kelamin, frekuensi pada wanita dewasa 8 kali lebih sering daripada pria dewasa
b. Umur, biasanya lebih sering terjadi pada usia 20-40 tahun
3
c. Etnik, Faktor keturunan, dengan Frekuensi 20 kali lebih sering dalam keluarga yang terdapat anggota
dengan penyakit tersebut
2. Faktor Resiko Hormon
Hormon estrogen menambah resiko SLE, sedangkan androgen mengurangi resiko ini.
3. Sinar UV
Sinar Ultra violet mengurangi supresi imun sehingga terapi menjadi kurang efektif, sehingga SLE kambuh
atau bertambah berat. Ini disebabkan sel kulit mengeluarkan sitokin dan prostaglandin sehingga terjadi
inflamasi di tempat tersebut maupun secara sistemik melalui peredaran pebuluh darah
4. Imunitas
Pada pasien SLE, terdapat hiperaktivitas sel B atau intoleransi terhadap sel T
5. Obat
Obat tertentu dalam presentase kecil sekali pada pasien tertentu dan diminum dalam jangka waktu tertentu
dapat mencetuskan lupus obat (Drug Induced Lupus Erythematosus atau DILE).
Menurut European Assosiation of Oral Medicine (2005) lupus eritematosus diklasifikasikan menjadi:
1. Discoid Lupus Erythematosus (DLE)
2. Systemic Lupus Erythematosus (SLE)
3. Bullous form
4. Neonatal form (NLE)
5. Acute Cutaneous form (ACLE)
6. Subacute Cutaneous form (SCLE)
7. Chronic Cutaneous form (CCLE)
8. Childhood onset (CSLE)
9. Drug Induced (DILE)
2. Faktor lingkungan dapat menjadi pemicu pada penderita lupus, seperti radiasi ultra violet, obat-obatan,
virus. Sinar UV mengarah pada self-immunity dan hilang toleransi karena menyebabkan apoptosis keratinosit.
4
Selain itu sinar UV menyebabkan pelepasan mediator imun pada penderita lupus, dan memegang peranan
dalam fase induksi yanng secara langsung merubah sel DNA, serta mempengaruhi sel imunoregulator yang
bila normal membantu menekan terjadinya kelainan pada inflamasi kulit. Pengaruh obat memberikan
gambaran bervariasi pada penderita lupus, yaitu meningkatkan apoptosis keratinosit. Faktor lingkungan lain
yaitu peranan agen infeksius terutama virus rubella, sitomegalovirus, dapat mempengaruhi ekspresi sel
permukaan dan apoptosis.
3. Faktor imunologis, selama ini dinyatakan bahwa hiperaktivitas sel limfosit B menjadi dasar dari
pathogenesis lupus eritematosus sistemik. Beberapa autoantibodi ini secara langsung bersifat patogen
termasuk dsDNA (double-stranded DNA), yang berperan dalam membentuk kompleks imun yang kemudian
merusak jaringan.
Selama perjalanan penyakit lupus tubuh membuat beberapa jenis autoantibodi terhadap berbagai antigen
diri. Di antara berbagai jenis autoantibodi yang paling sering dijumpai pada penderita lupus adalah antibodi
antinuklear (autoantibodi terhadap DNA, RNA, nukleoprotein, kompleks protein-asam nukleat). Umumnya
titer antiDNA mempunyai korelasi dengan aktivitas penyakit lupus.
Beberapa antibodi antinuklear mempunyai aksi patologis direk, yaitu bersifat sitotoksik dengan
mengaktifkan komplemen, tetapi dapat juga dengan mempermudah destruksi sel sebagai perantara bagi sel
makrofag yang mempunyai reseptor Fc imunoglobulin. Contoh klinis mekanisme terakhir ini terlihat sebagai
sitopenia autoimun. Ada pula autoantibodi tertentu yang bersifat membahayakan karena dapat berinteraksi
dengan substansi antikoagulasi, diantaranya antiprotrombin, sehingga dapat terjadi trombosis disertai
perdarahan. Antibodi antinuklear telah dikenal pula sebagai pembentuk kompleks imun yang sangat berperan
sebagai penyebab vaskulitis.
Autoantibodi pada lupus tidak selalu berperan pada patogenesis ataupun bernilai sebagai petanda
imunologik penyakit lupus. Antibodi antinuklear dapat ditemukan pada bukan penderita lupus, atau juga
dalam darah bayi sehat dari seorang ibu penderita lupus. Selain itu diketahui pula bahwa penyakit lupus
ternyata tak dapat ditularkan secara pasif dengan serum penderita lupus.
Adanya keterlibatan kompleks imun dalam patogenesis LES didasarkan pada adanya kompleks imun
pada serum dan jaringan yang terkena (glomerulus renal, tautan dermis-epidermis, pleksus koroid) dan
aktivasi komplemen oleh kompleks imun menyebabkan hipokomplemenemia selama fase aktif dan adanya
produk aktivasi komplemen. Beberapa kompleks imun terbentuk di sirkulasi dan terdeposit di jaringan,
beberapa terbentuk insitu (suatu mekanisme yang sering terjadi pada antigen dengan afinitas tinggi, seperti
dsDNA). Komponen C1q dapat terikat langsung pada dsDNA dan menyebabkan aktivasi komplemen tanpa
bantuan autoantibodi.
4. Meskipun hormon steroid (sex hormone) tidak menyebabkan LES, namun mempunyai peran penting
dalam predisposisi dan derajat keparahan penyakit. Penyakit LES terutama terjadi pada perempuan antara
menars dan menopause, diikuti anak-anak dan setelah menopause. Namun, studi oleh Cooper menyatakan
bahwa menars yang terlambat dan menopause dini juga dapat mendapat LES, yang menandakan bahwa
pajanan estrogen yang lebih lama bukan risiko terbesar untuk mendapat LES.
Adanya defisiensi relatif hormon androgen dan peningkatan hormon estrogen merupakan karakteristik
pada LES. Anak-anak dengan LES juga mempunyai kadar hormon FSH (Follicle-stimulating hormone), LH
(Luteinizing hormone) dan prolaktin meningkat. Pada perempuan dengan LES, juga terdapat peningkatan
kadar 16 alfa hidroksiestron dan estriol. Frekuensi LES meningkat saat kehamilan trimester ketiga dan
postpartum. Pada hewan percobaan hormon androgen akan menghambat perkembangan penyakit lupus pada
hewan betina, sedangkan kastrasi prapubertas akan mempertinggi angka kematian penderita jantan.
B. Gejala Muskuloskeletal
Pada anak-anak gejala yang paling sering ditemukan, dapat berupa athralgia (90%) dan sering mendahului
gejala-gejala lainnya. Yang paling sering terkena adalah sendi interfalangeal proksimal diikuti oleh lutut,
pergelangan tangan, metakarpophalangeal, siku dan pergelangan kaki.
5
Artritis dapat terjadi pada lebih dari 90% anak, umumnya simetris, terjadi pada beberapa sendi besar
maupun kecil. Biasanya sangat responsif terhadap terapi dibandingkan dengan kelainan organ yang lain pada LES.
Arthritis pada tangan dapat menyebabkan kerusakan ligament dan kekakuan sendi yang berat. Osteonecrosis umum
terjadi dan dapat timbul belakangan setelah dalam pengobatan kortikosteroid dan vaskulopati.
Berbeda dengan JRA, arthritis LES umumnya sangat nyeri, dan nyeri ini tak proporsional dengan hasil
pemeriksaan fisik sendi. Pemeriksaan radiologis menunjukkan osteopeni tanpa adanya perubahan pada tulang
sendi. Anak dengan JRA polyarticular yang beberapa tahun kemudian dapat menjadi LES. Berikut merupakan
mekanisme arthritis pada SLE.
B. Gejala Mukokutan
Kelainan kulit atau selaput lendir ditemukan pada 55% kasus SLE.
1. Lesi Kulit Akut
Ruam kulit yang paling dianggap khas adalah ruam kulit berbentuk kupu-kupu (butterfly-rash)
berupa eritema yang sedikit edematus pada hidung dan kedua pipi. Karakteristik malar atau ruam kupu-
kupu termasuk jembatan hidung dan bervariasi dari merah pada erythematous epidermis hingga
penebalan scaly patches.
Ruam mungkin akan fotosensitif dan berlaku untuk semua daerah terkena sinar matahari.
Lesi-lesi tersebut penyebarannya bersifat sentrifugal dan dapat bersatu sehingga berbentuk ruam yang
tidak beraturan. Dengan pengobatan yang tepat, kelainan ini dapat sembuh tanpa bekas.
6
3. Lesi Diskoid
Sebesar 2 sampai 2% lesi discoid terjadi pada usia di bawah 15 tahun. Sekitar 7 % lesi discoid
akan menjadi LES dalam waktu 5 tahun, sehingga perlu di monitor secara rutin. Hasil pemeriksan
laboratorium menunjukkan adanya antibodi antinuclear (ANA) yang disertai peningkatan kadar IgG
yang tinggi dan lekopeni ringan.
Ruam diskoid adalah ruam pada kulit leher, kepala, muka, telinga, dada, punggung, dan
ekstremitas yang menimbul dan berbatas tegas, dengan diameter 5-10 mm, tidak gatal maupun nyeri
Berkembangnya melalui 3 tahap, yaitu erithema, hiperkeratosis dan atropi. Biasanya tampak sebagai
bercak eritematosa yang meninggi, tertutup oleh sisik keratin disertai oleh adanya penyumbatan folikel.
Kalau sudah berlangsung lama akan terbentuk sikatrik.
Lesi diskoid tidak biasa di masa kanak-kanak. Namun, mereka terjadi lebih sering sebagai manifestasi
dari SLE daripada sebagai diskoid lupus erythematosis (DLE) saja; 2-3% dari semua DLE terjadi di
masa kanak-kanak.
4. Livido Retikularis
Suatu bentuk vaskulitis ringan, sering ditemukan pada SLE. Vaskulitis kulit dapat menyebabkan ulserasi
dari yang berbentuk kecil sampai yang besar. Sering juga tampak perdarahan dan eritema periungual.
5. UrtikariaBiasanya menghilang perlahan-lahan beberapa bulan setelah penyakit tenang secara klinis dan
serologis.
7
H. Kelenjar Getah Bening dan Kelenjar Parotis
Pembesaran kelenjar getah bening ditemukan pada 50% kasus. Biasanya berupa limfadenopati difus dan lebih
sering pada anak-anak. Kelenjar parotis membesar pada 60% kasus SLE.
I. Susunan Saraf Tepi
Neuropati perifer yang terjadi berupa gangguan sensorik dan motorik. Biasanya bersifat sementara.
J. Susunan Saraf Pusat
Gejala SSP bervariasi mulai dari disfungsi serebral global dengan kelumpuhan dan kejang sampai gejala fokal
seperti nyeri kepala dan kehilangan memori. Diagnosa lupus SSP ini membutuhkan evaluasi untuk
mengeksklusi ganguan psikososial reaktif, infeksi, dan metabolik. Trombosis vena serebralis bisanya terkait
dengan antibodi antifosfolipid. Bila diagnosa lupus serebralis sudah diduga, CT Scan perlu dilakukan.
Gangguan susunan saraf pusat terdiri dari 2 kelainan utama, yaitu psikosis organik dan kejang-kejang.
Penyakit otak organik biasanya ditemukan bersamaan dengan gejala aktif SLE pada sistem-sistem lainnya.
Pasien menunjukkan gejala delusi/halusinasi disamping gejala khas kelainan organik otak.
Kejang-kejang yang timbul biasanya termasuk tipe grandmal. Kelainan lain yang mungkin ditemukan ialah
korea, paraplegia karena mielitis transversal, hemiplegia, afasia, psikosis, pseudotumor cerebri, aseptic
meningitis, chorea, defisit kognitif global, melintang myelitis, neuritis perifer dan sebagainya. Mekanisme
terjadinya kelainan susunan saraf pusat tidak selalu jelas. Faktor-faktor yang memegang peranan antara lain
vaskulitis, deposit gamma globulin di pleksus koroideus.
K. Hematologi
Kelainan hematologi yang sering terjadi adalah limfopenia, anemia, Coombs-positif anemia hemolitik, anemia
penyakit kronis trombositopenia, dan lekopenia.
L. Fenomena Raynaud
Ditandai oleh keadaan pucat, disusul oleh sianosis, eritema dan kembali hangat. Terjadi karena disposisi
kompleks imun di endotelium pembuluh darah dan aktivasi komplemen lokal.
8
a. Klasifikasi ini terdiri dari 11 kriteria dimana diagnosis harus memenuhi 4 dari 11 kriteria tersebut yang terjadi
bersamaan atau dengan tenggang waktu
b. Modifikasi kriteria ini dilakukan pada tahun 1997
Bila dijumpai 4 atau lebih kriteria diatas, diagnosis SLE memiliki sensitisitas 85%
dan spesitifitas 95%. Sedangkan bila hanya 3 kriteria salah satunya ANA positif, maka sangat mungkin SLE dan
diagnosis bergantung pada pengamatan klinis. Bila hasil tes ANA negative, maka kemungkinan bukan SLE.
Apabila hanya tes ANA positif dan manifestasi klinis lain tidak ada, maka belum tentu SLE, dan observasi jangka
panjang diperlukan.
Diagnosis Banding
Dengan adanya gejala di berbagai organ, maka penyakit-penyakit yang didiagnosis banding banyak sekali.
Beberapa penyakit yang berasosiasi dengan LES mempunyai gejala-gejala yang dapat menyerupai LES, yaitu
arthritis reumatika, sklerosis sistemik, dermatomiositis, dan purpura trombositopenik.
Gangguan ginjal -
Nyeri sendi
Rambut rontok - - -
Sariawan - - -
Demam ringan
Butterfly rash - - -
Edema -
LI.2.8 Pemeriksaan fisik dan pemeriksaan laboratorium Sistemic Lupus Eritematosus
A. FISIK
1. Anamnesis
Tanyakan kepada pasien apakah terjadi atau terdapat:
a. Timbul bercak di seluruh tubuh
b. Sariawan (oral ucers)
c. Terjadi kejang atau tidak
d. Sakit atau nyeri pada sendi
e. Terdapat darah dalam urin atau tidak
f. Sesak atau sakit ketika bernapasa
g. Terdapat bercak ketika terpajan matahari
2. Pemeriksaan Fisik
a. Hitung frekuensi napas, >20 kali/menit
b. Bengkak pada sendi
c. Sariawan (oral ulcers)
d. Terdapat bercak pada seluruh tubuh dan muka
B. LABORATORIUM
1. Pemeriksaan Darah Rutin dan Urin
Hasil Pemeriksaan darah pada penderita LES menunjukan adanya anemia hemolitik, trombositopenia,
limfopenia, atau leukopenia; erytrocytesedimentation rate (ESR) meningkat selama penyakit aktif, Coombs
Test mungkin Positif, level IgG mungkin tinggi, rasio albumin-globulin terbalik, dan serum globulin
meningkat. Selain itu hasil pemeriksaan urin pendertia LES menunjukan adanya proteinuria, hematuria,
peningkakatan kreatinin, dan ditemukannya Cast, heme granular atau sel darah merah pada urin.
2. Pemeriksaan Autoantibodi.
Proses patogenik setiap penyakit tidak terlepas kaitannya dengan berbagai proses imunlogik, baik yang
non spesifik atau spesifik. Kaitan tersebut tentunya terlihat lebih nyata pada penyakit-penyakit autoimun
termasuk di dalamnya LES, arthritis rheumatoid, sindrom Sjogren dan sebagainya. Adanya antibody
termasuk autoantibodi sering dipakai dalam upaya membantu penegakkan diagnosis maupun evaluasi
perkembangan penyakit dan terapi yang diberikan.
Pembentukan autoantibodi cukup kompleks dan belum ada satu kajian yang mampu menjelaskan secara
utuh mekanisme patofisiologiknya. Umumnya, autoantibodi itu sendiri tidak segera menyebabkan penyakit.
Oleh karenanya lebih baik autoantibodi dipandang sebagai petanda (markers) proses patologik daripada
sebagai agen patologik. Kadarnya dapat naik dan turun, berkaitan dengan aktivitas penyakit atau sebagai
hasil intervensi penyakit. Kompleks autoantigen dan autoantibodi inii lah yang akan memulai rangkaian
penyakit autoimun.
9
ANA merupakan suatu kelompok autoantibodi yang spesifik terhadap asam nukleat dan nucleoprotein.
ANA dapat diperiksa dengan menggunakan metode imunofluoresensi. 99% penderita LES menunjukan
pemeriksaan ANA (+)
Pemeriksaan untuk menentukan apakah auto-antibodi terhadap inti sel sering muncul di dalam darah.Tes
ANA merupakan tes serologi yang harus dilakukan pada penyakit LES. Tes ANA juga merupakan diagnosis
utama yang dapat ditegakkan pada penyakit LES apabila titer ANA > 1/160 units.
Terdapat 4 pola ANA yaitu branosa (anular, periferal), homogen, berbintik, dan nuclear.
– Yang spersifik untuk SLE adalah yang membranosa terutama jika titernya tinggi > dari 1/160.Pola
berbintik juga umumnya juga da di SLE.Tes ANA memiliki sensitifitas tinggi tapi spesifisitasnya
rendah.
– Kalo ANA (+) dan gejala klinis khas maka tidak perlu diberi pemeriksaan tambahan.
– ANA (+) dan gejala tidak khas maka dilakukan minimal 2 x pemeriksaan tambahan (anti ds-DNA
dan anti Sm)
– ANA (-) dan gejalanya khas maka dilakukan minimal 2 x pemeriksaan tambahan (anti ds-DNA dan
anti Sm)
10
Antierythrocyte 60 Membran eritrosit Diukur sebagai tes Coombs’
langsung; terbentuk pada
hemolysis.
Antiplatelet 30 Permukaan dan perubahan Terkait dengan trombositopenia
antigen sitoplasmik pada namun sensitivitas dan
platelet. spesifitas kurang baik; secara
klinis tidak terlalu berarti untuk
SLE
Antineuronal 60 Neuronal dan permukaan Pada beberapa hasil positif
(termasuk anti- antigen limfosit terkait dengan lupus CNS aktif.
glutamate receptor)
Catatan: CNS = central nervous system, CSF= cerebrospinal fluid, DRVVT = dilute Russell viper venom time,
ELISA= enzyme-linked immunosorbent assay.
3. Pemeriksaan Komplemen
Komplemen adalah suatu molekul dari sistem imun yang tidak spesifik. Komplemen terdapat dalam
sirkulasi dalam keadaan tidak aktif. Bila terjadi aktivasi oleh antigen, kompleks imun dan lainnya akan
menghasuilkan berbagai mediator yang aktif untuk menghancurkan antigen tersebut. Komplemen merupakan
salah satu sistem enzim yang terdiri dari kurang lebih 20 protein plasma dan bekerja secara berantai (self
amplifying) seperti model kaskade penkuan darah dan fibrinolysis.
Pada LES kadar C1, C4, C2, dan C3 biasanya rendah, tetapi pada lupus kutaneus normal. Penurunan
kadar kompemen berhubungan dengan derajat beratnya SLE terutama adanya komplikasi ginjal.
Farmakologis
Terapi Imunomodulator
1. Siklofosfamid
Merupakan obat utama pada gangguan sistem organ yang berat, terutama nefropati lupus. Pengobatan
dengan kortikosterod dan siklofosfamid (bolus iv 0,5-1 gram/m2) lebih efektif dibanding hanya kortikosteroid
saja, dalam pencegahan sequele ginjal, mempertahankan fungsi ginjal dan menginduksi remisi ginjal.
Manifestasi non renal yang efektif dengan siklofosfamid adalah sitopenia, kelainan sistem saraf pusat,
perdarahan paru dan vaskulitis.
11
Pemberian per oral dengan dosis 1-1,5 mg/kgBB dapat ditingkatkan sampai 2,5-3 mg/kgBB dengan
kondisi neutrofil > 1000/mm3 dan leukosit > 3500/mm3. Monitoring jumlah leukosit dievaluasi tiap 2 minggu
dan terapi intravena dengan dosis 0,5-1 gram/m2 setiap 1-3 bulan.
Efek samping yang sering terjadi adalah mual, muntah, kadang dapat ditemukan rambut rontok namun
hilang bila obat dihentikan. Leukopenia dose-dependent biasanya timbul setelah 12 hari pengobatan sehingga
diperlukan penyesuaian dosis dengan leukosit. Risiko terjadi infeksi bakteri, jamur dan virus terutama Herpes
zoster meningkat. Efek samping pada gonad yaitu menyebabkan kegagalan fungsi ovarium dan azospermia.
Pemberian hormon Gonadotropin releasing hormone atau kontrasepsi oral belum terbukti efektif. Pada
penderita SLE dengan nefropati lupus yang mengalami kehamilan obat golongan ini sebaiknya dihindarkan.
3. Azathioprine
Azathioprine adalah analog purin yang menghambat sintesis asam nukleat dan mempengaruhi fungsi imun
seluler dan humoral. Pada SLE obat ini digunakan sebagai alternatif siklofosfamid untuk pengobatan lupus
nefritis atau sebagai steroid sparing agent untuk manifestasi non renal seperti miositis dan sinovitis yang
refrakter. Pemberian mulai dengan dosis 1,5 mg/kgBB/hari, jika perlu dapat dinaikkan dengan interval
waktu 8-12 minggu menjadi 2,5-3 mg/kgBB/hari dengan syarat jumlah leukosit > 3500/mm 3 dan metrofil >
1000. Jika diberikan bersamaan dengan allopurinol maka dosisnya harus dikurangi menjadi 60-75%. Efek
samping yang terjadi lebih kuat dibanding siklofosfamid, yang biasanya terjadi yaitu supresi sumsum
tulang dan gangguan gastrointestinal. Azathioprine juga sering dihubungkan dengan hipersensitifitas
dengan manifestasi demam, ruam di kulit dan peningkatan serum transaminase. Keluhan biasanya bersifat
reversibel dan menghilang setelah obat dihentikan. Oleh karena dimetabolisme di hati dan dieksresikan di
ginjal maka fungsi hati dan ginjal harus diperiksa secara periodik. Obat ini merupakan pilihan
imunomodulator pada penderita nefropati lupus yang hamil, diberikan dengan dosis 1-1,5 mg/kgBB/hari
karena relatif aman.
4. Leflunomide (Arava)
Leflunomide merupakan suatu inhibitor de novo sintesis pyrimidin yang disetujui pada pengobatan
rheumatoid arthritis. Beberapa penelitian telah melaporkan keuntungan pada pasien SLE yang pada
mulanya diberikan karena ketergantungan steroid. Pemberian dimulai dengan loading dosis 100 mg/hari
untuk 3 hari kemudian diikuti dengan 20 mg/hari.
5. Methotrexate
Methotrexate diberikan dengan dosis 15-20 mg peroral satu kali seminggu, dan terbukti efektif terutama
untuk keluhan kulit dan sendi. Efek samping yang biasa terjadi adalah peningkatan serum transaminase,
gangguan gastrointestinal, infeksi dan oral ulcer, sehingga perlu dimonitor ketat fungsi hati dan ginjal.
Pada penderita SLE dengan nefropati lupus yang mengalami kehamilan obat golongan ini sebaiknya
dihindarkan.
6. Siklosporin
Pemberian siklosporin dosis 2,5-5 mg/kgBB/hari pada umumnya dapat ditoleransi dan menimbulkan
perbaikan yang nyata terhadap proteinuria, sitopenia, parameter imunologi (C3, C4, anti-ds DNA) dan
aktifitas penyakit. Jika kreatinin meningkat lebih dari 30% atau timbul hipertensi maka dosisnya harus
disesuaikan efek samping yang sering terjadi adalah hipertensi, hiperplasia gusi, hipertrikhosis, dan
peningkatan kreatinin serum. Siklosporin terutama bermanfaat untuk nefritis membranosa dan untuk
sindroma nefrotik yang refrakter, sehingga monitoring tekanan darah dan fungsi ginjal harus dilakukan
secara rutin. Siklosporin A dapat diberikan pada penderita nefropati lupus yang hamil, diberikan dengan
dosis 2 mg/kgBB/hari karena relatif aman.
Agen Biologis
1. Aktivasi sel T, interaksi sel T dan sel B, deplesi sel B
Perkembangan terapi terakhir telah memusatkan perhatian terhadap fungsi sel B dalam mengambil autoAg
dan mempresentasikannya melalui immunoglobulin spesifik terhadap sel T di permukaan sel, selanjutnya
mempengaruhi respons imun dependen sel T. Anti CD 20 adalah suatu antibodi monoklonal yang melawan
reseptor CD 20 yang dipresentasikan limfosit B.
2. Anti CD 20
12
Anti CD 20 (Rituximab; Rituxan) memiliki pontensi terapi untuk SLE yang refrakter. Beberapa penelitian
memberikan keberhasilan terapi pada manifestasi lupus refrakter seperti sistem saraf pusat, vaskulitis dan
gangguan hematologi.
3. LJP 394
LJP 394 (Abetimus sodium; Riquent) telah didisain untuk mencegah rekurensi flare renal pada pasien nefritis
dengan cara mengurangi antibody terhadap ds-DNA melalui toleransi spesifik antigen secara selektif.
Substansi ini merupakan suatu senyawa sintetik yang terdiri dari rangkaian deoksiribonukleotida yang terikat
pada rantai trietilen glikol.
4. Anti B lymphocyte stimulator
Stimulator limfosit B (BlyS) merupakan bagian dari sitokin TNF (tumor necrosis factor), yang
mempresentasikan sel B. LymphoStatB merupakan antibod monoklonal terhadap BlyS.
5. Sitokin inhibitor
Meskipun telah ada penelitian yang menunjukkan penurunan sekresi TNF alfa dan meliorasi leukopenia,
proteinuria dan deposisi imun kompleks pada binatang percobaan, namun tidak ada studi klinis agen anti TNF
yang diberikan pada penderita SLE.
6. Anti malaria
Obat anti malaria yang digunakan pada SLE adalah hidroksiklorokuin, klorokuin, dan quinakrin. Digunakan
untuk keluhan konstitusional, manifestasi di kulit, musculoskeletal dan serositis. Kombinasi obat antimalaria
memiliki efek sinergis dan digunakan bila penggunaan satu macam obat tidak efektif. Hidroksiklotokuin
(200–400 mg/hari) dan Quinakrin (100 mg/hari) sebagai steroid sparing agent memiliki efek samping yang
ringan dan reversibel, yaitu perubahan warna kulit menjadi kekuningan.
Hormon Seks
Bromokriptin yang secara selektif menghambat hipofise anterior untuk mensekresi prolaktin terbukti bermanfaat
mengurangi aktifitas penyakit SLE. Dehidroepiandrosteron (DHEA) bermanfaat untuk SLE dengan aktifitas ringan
sampai sedang. Danazole (sintetik steroid) dengan dosis 400-1200 mg/hari bermanfaatuntuk mengontrol sitopenia
autoimun terutama trombositopeni dan anemia hemolitik. Estrogen replacement therapy (ERT) dapat
dipertimbangkan pada pasien-pasien SLE yang mengalami menopause, namun masih terdapat perdebatan
mengenai kemampuan kontraseptif oral atau ERT dalam menimbulkan flare SLE. Untuk itu terapi ini harus
ditunda pada pasien dengan riwayat trombosis.
Kortikosteroid
Kortikosteroid efektif untuk menangani berbagai macam manifestasi klinis SLE. Sediaan topikal atau
intralesi digunakan untuk lesi kulit, sediaan intra artikular digunakan untuk artritis, sedangkan sediaan oral atau
parenteral untuk kelainan sistemik. Pemberian per oral dosisnya bervariasi dari 5-30 mg prednison
(metilprednisolon) per hari secara tunggal atau dosis terbagi, efektif untuk mengobati keluhan konstitusional,
kelainan kulit, arthritis dan serositis. Seringkali kortikosteroid diberikan bersamaan dengan antimalaria atau
imunomodulator dengan tujuan untuk mendapatkan induksi yang cepat kemudian diturunkan dosisnya. Adanya
keterlibatan organ penting seperti nefritis, cerebritis, kelainan hematologi atau vaskulitis sistemik, umumnya
memerlukan prednison dosis tinggi (1-2 mg/kgBB/hari). Kortikosteroid parenteral juga dapat digunakan pada
keadaan yang sangat berat, mengancam jiwa, dengan dosis metilprednisolon bolus 1000 mg selama 3 hari berturut-
turut.
Efek yang tidak dikehendaki pada pemberian glukokortikoid lama antara lain habitus cushingoid,
peningkatan berat badan, hipertensi, infeksi, fragilitas kapiler, akne, hirsutism, percepatan osteoporosis, nekrosis
iskemi tulang, katarak, glaucoma, diabetes mellitus, myopati, hipokalemia, menstruasi yang tidak teratur,
iritabilitas, insomnia, dan psikosa. Oleh karenanya setelah aktifitas penyakit terkontrol, dosis kortikosteroid harus
segera diturunkan atau kalau mungkin dihentikan atau diberikan dalam dosis terkecil selang sehari.
Untuk meminimalisasi osteoporosis, dapat diberikan suplemen kalsium 1000 mg/ hari pada pasien
dengan eksresi kalsium urin 24 jam lebih dari 120 mg. Diberikan pula vitamin D 50.000 unit 1-3 kali seminggu
(monitor hiperkalsemia). Dalam mencegah osteoporosis dapat pula diberikan kalsitonin dan bifosfonat (alendronat,
didronel atau actonel). Kortikosteroid pada umumnya dapat ditoleransi dengan baik selama kehamilan meskipun
dapat menimbulkan eksaserbasi diabetes dan hipertensi. Tidak terdapat bukti bahwa kortikosteroid menyebabkan
defek kongenital tetapi
13
kognitif, meningkatkan serum transaminase secara reversibel. Gangguan gastrointestinal merupakan efek samping
paling sering ditimbulkan oleh inhibitor COX non-selektif. Inhibitor COX-2 selektif lebih sedikit efek sampingnya
pada gastrointestinal. Pada penderita SLE dengan nefropati lupus yang mengalami kehamilan obat golongan ini
sebaiknya dihindarkan karena dapat mengakibatkan kelainan kongenital dan dieksresikan dalam air susu.
Plasmaferesis
Peranan plasmaferesis pada nefropati lupus masih kontroversi. Indikasinya adalah kasus lupus disertai
krioglobulinemia, sindroma hiperviskositas dan TTP (Thrombotyc Thrombocytopenic Purpura).
Immunoglobulin Intravena
Immunoglobulin intravena (IV Ig) adalah imunomodulator dengan mekanisme kerja yang luas, meliputi
blokade reseptor Fc, regulasi komplemen dan sel T. Tidak seperti immunosupresan, IV Ig tidak mempunyai efek
meningkatkan risiko terjadinya infeksi. Dosis 400 mg/kgBB/hari selama 5 hari berturut-turut memberikan
perbaikan pada trombositopeni, artritis, nefritis, demam, manifestasi kulit dan parameter immunologis. Efek
samping yang terjadi adalah demam, mialgia, sakit kepala dan artralgia, serta kadang meningitis aseptik.
Kontraindikasi diberikan pada penderita SLE dengan defisiensi IgA.
14
6. Serangan pada Mata
Trombosis arteri mempunyai prognosis buruk. Penyakit ginjal merupakan indikator prognosis yang paling buruk
pada SLE, dikarenakan tuter antibodi pengikat DNA positif/meningkat, yang berkaitan dengan keterlibatan ginjal,
dikaitkan dengan prognosis yang lebih buruk.
LO3. MEMAHAMI DAN MENJELASKAN TENTANG PANDANGAN ISLAM TENTANG SABAR, RIDHO
DALAM MENGHADAPI MUSIBAH
1. SABAR
Secara etimologi, sabar (ash-shabr) berarti: al-habs atau al-kaff (menahan), Allah berfirman:
واصبر نفسك مع الذين يدعون ربهم بالغداة والعشي
“Dan bersabarlah kamu bersama dengan orang-orang yang menyeru Rabbnya di pagi dan senja hari.” (Al-
Kahfi: 28) Maksudnya: tahanlah dirimu bersama mereka.
Secara istilah, definisi sabar adalah: menahan diri dalam melakukan sesuatu atau meninggalkan sesuatu untuk
mencari keridhaan Allah, Allah berfirman:
والذين صبروا ابتغاء وجه ربهم
“Dan orang-orang yang sabar karena mencari keridhaan Rabbnya” (Ar-Ra’d: 22).
Ayat-Ayat Al-Quran
Al-Baqarah 152-156
15
152. Karena itu, ingatlah kamu kepada-Ku niscaya Aku ingat (pula) kepadamu, dan bersyukurlah kepada-Ku, dan
janganlah kamu mengingkari (nikmat)-Ku.
153. Hai orang-orang yang beriman, jadikanlah sabar dan shalat sebagai penolongmu, sesungguhnya Allah beserta
orang-orang yang sabar.
154. Dan janganlah kamu mengatakan terhadap orang-orang yang gugur di jalan Allah, (bahwa mereka itu) mati;
bahkan (sebenarnya) mereka itu hidup, tetapi kamu tidak menyadarinya.
155. Dan sungguh akan Kami berikan cobaan kepadamu, dengan sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta,
jiwa dan buah-buahan. Dan berikanlah berita gembira kepada orang-orang yang sabar.
156. (yaitu) orang-orang yang apabila ditimpa musibah, mereka mengucapkan: "Inna lillaahi wa innaa ilaihi
raaji'uun".
Mengenai sabar, Allah SWT berfirman, “wahai sekalian orang-orang yang beriman, bersabarlah kamu sekalian dan
teguhkanlah kesabaranmu itu dan tetaplah bersiap siaga” (QS.Ali imran : 200)
Ayat ini memerintahkan untuk bersabar dalam menjalani ketaatan ketika mengalami musibah, menahan diri dari
maksiat dengan jalan beribadah dan berjuang melawan kekufuran, serta bersiap siaga penuh untuk berjihad di jalan
Allah SWT. Tentang ayat ini, Sahl bin Sa’ad meriwayatkan sebuah hadis dari Rasulullah SAW bahwa, “Satu hari
berjihad di jalan Allah itu lebih baik ketimbang dunia dengan segala isinya” (HR. Al-Bukhari dan At-Tirmidzi).
2. IKHLAS
Definisi ikhlas menurut bahasa adalah sesuatu yang murni yang tidak tercampur dengan hal-hal yang bisa
mencampurinya.
Definisi ikhlas menurut istilah syar’i (secara terminologi) Syaikh Abdul Malik menjelaskan, Para ulama
bervariasi dalam mendefinisikan ikhlas namun hakikat dari definisi-definisi mereka adalah sama. Diantara
mereka ada yang mendefenisikan bahwa ikhlas adalah “menjadikan tujuan hanyalah untuk Allah tatkala
beribadah”, yaitu jika engkau sedang beribadah maka hatimu dan wajahmu engkau arahkan kepada Allah
bukan kepada manusia.
Ada yang mengatakan juga bahwa ikhlas adalah “membersihkan amalan dari komentar manusia”, yaitu jika
engkau sedang melakukan suatu amalan tertentu maka engkau membersihkan dirimu dari memperhatikan
manusia untuk mengetahui apakah perkataan (komentar) mereka tentang perbuatanmu itu. Cukuplah Allah saja
yang memperhatikan amalan kebajikanmu itu bahwasanya engkau ikhlas dalam amalanmu itu untukNya. Dan
inilah yang seharusnya yang diperhatikan oleh setiap muslim, hendaknya ia tidak menjadikan perhatiannya
kepada perkataan manusia sehingga aktivitasnya tergantung dengan komentar manusia, namun hendaknya ia
menjadikan perhatiannya kepada Robb manusia, karena yang jadi patokan adalah keridhoan Allah kepadamu
(meskipun manusia tidak meridhoimu).
16
"Sesunguhnya Kami menurunkan kepadamu Kitab (Al Quran) dengan (membawa) kebenaran. Maka
sembahlah Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya. Ingatlah, hanya kepunyaan Allah-lah agama yang
bersih (dari syirik)." (QS. Az-Zumar: 2-3).
"Katakanlah: "Sesungguhnya aku diperintahkan supaya menyembah Allah dengan memurnikan ketaatan
kepadaNya dalam (menjalankan) agama." (QS. Az-Zumar: 2-3).
3. RIDHO
Definisi ridho
Ridho ( ً)رض
ِ berarti suka, rela, senang, yang berhubungan dengan takdir (qodha dan qodar) dari Allah. Ridho
adalah mempercayai sesungguh-sungguhnya bahwa apa yang menimpa kepada kita, baik suka maupun duka
adalah terbaik menurut Allah. Dan apapun yang digariskan oleh Allah kepada hamba-Nya pastilah akan
berdampak baik pula bagi hamba-Nya.
17