Anda di halaman 1dari 21

I.

KONSEP DASAR
A. Pengertian
Angiografi koroner adalah tindakan memasukkan kateter melalui arteri
femoralis (Judkins) atau arteri brachialis (Sones) yang didorong sampai ke
aorta assendens dan diarahkan ke arteri koronaria yang dituju dengan bantuan
fluoroskopi (Woods, Froelicher, Motzer & Bridges, 2005). Diagnostik invasif
kardiovaskuler adalah suatu tindakan pemeriksaan diagnostik untuk
menentukan diagnosa secara invasif pada kelainan jantung dan pembuluh
darah. Dikatakan invasif, karena tindakan ini memasukkan selang/tube kecil
(kateter) ke dalam jantung, melalui pembuluh darah baik vena atau arteri. Oleh
karena itu biasa disebut juga pemeriksaan kateterisasi jantung (Rokhaeni,
Purnamasari & Rahayoe, 2001).
Kateterisasi jantung adalah suatu pemeriksaan jantung dengan
memasukkan kateter ke dalam sistem kardiovaskular untuk memeriksa keadaan
anatomi dan fungsi jantung. Angiografi koroner atau penyuntikan bahan
kontras ke dalam arteri koronaria merupakan tindakan yang paling sering
digunakan untuk menentukan lokasi, luas dan keparahan sumbatan dalam arteri
koronaria (Price & Wilson 2006). Price dan Wilson (2006) menyebutkan
bahwa angiografi koroner dapat memberikan informasi tentang lokasi lesi atau
sumbatan pada koroner, derajat obstruksi, adanya sirkulasi kolateral, luasnya
gangguan jaringan pada area distal koroner yang tersumbat dan jenis morfologi
lesi.

B. Macam Kateterisasi Jantung


Menurut Rokhaeni, Purnamasari & Rahayoe (2001) pemeriksaan
kateterisasi jantung terbagi atas:
1. Kateterisasi jantung kanan (untuk kelainan pada jantung kanan), misalnya
Stenosis Pulmonal.
2. Kateterisasi jantung kiri(untuk kelainan pada jantung kiri), misalnya
penyakit jantung koroner, koartasio aorta.
3. Kateterisasi jantung kanan dan kiri (untuk kelainan jantung kanan dan kiri),
misalnya Tetralogi Of Fallot, transposisi arteri besar.
Lebih lanjut Rokhaeni, Purnamasari & Rahayoe (2001) menyebutkan
bahwa pemeriksaan kateterisasi menurut pada intinya terbagi atas 2 tindakan
yaitu angiogram dan penyadapan.
1. Angiogram/angiography
Yaitu memasukkan media/zat kontras ke dalam suatu rongga (ruang
jantung/pembuluh darah), untuk meyakinkan suatu anatomi/aliran darah,
kemudian merekam/mendokumentasikannya ke dalam film/CD/video
sebagai data.
2. Penyadapan
Yaitu tindakan menyadap/merekam/mendokumentasikan tekanan,
kandungan oksigen, sistem listrik jantung, tanpa menggunakanmedia
kontras.

C. Indikasi dan Kontra Indikasi Kateterisasi Jantung dan Angiografi


Koroner
Kateterisasi jantung bertujuan untuk mendapat gambaran dan data
objektif secara pasti tentang perubahan anatomis dan fisiologis akibat berbagai
kelainan pada jantung dan pembuluh darah. Dengan kateterisasi jantung dapat
diketahui ada tidaknya kelainan jantung, jenis kelainan jantung, derajat
kelainan tersebut, cara pengobatan yang tepat, dan menilai hasil pengobatan.
Selain itu, kateterisasi jantung juga dapat digunakan untuk mengetahui tekanan
pada ruang-ruang di jantung, melihat bagaimana darah melewati jantung,
mengambil sampel darah, menginjeksikan zat kontras untuk melihat adanya
hambatan pada pembuluh darah, atau abnormalitas dari ruang jantung, serta
melakukan koreksi pada kelainan jantung tersebut.
Indikasi kateterisasi jantung secara umum menurut Rokhaeni,
Purnamasari & Rahayoe (2001) dilakukan untuk beberapa kondisi yaitu
1. Penyakit jantung koroner yang jelas/didiagnosis.
2. Sakit dada (angina pektoris) yang belum jelas penyebabnya.
3. Angina pektoris yang tidak stabil/bertambah.
4. Infark miokard yang tidak berespon dengan obat-obatan.
5. Gagal jantung kongestif.
6. Gambaran EKG abnormal (injuri, iskemik, infark), usia 50 tahun ke atas,
asimtomatik.
7. Treadmill test positif.
8. Evaluasi bypass koroner.
9. Abnormal irama (bradi/takhikardia).
10. Kelainan katub jantung.
11. Kelainan jantung bawaan.
12. Kelainan pembuluh perifer.
Kontraindikasi dari kateterisasi jantung ini sangat bervariasi. Hal ini
bergantung pada kemajuan teknik, peralatan serta ketrampilan operator. Seiring
berkembangnya pengetahuan mengenai kateterisasi jantung, hampir dikatakan
tidak ada lagi kontraindikasi absolut, yang ada hanya kontraindikasi relatif.
Hal-hal yang termasuk dalam kontraindikasi relatif adalah:
1. Ventrikel iritabel yang tidak dapat dikontrol
2. Hipokalemia/intoksikasi digitalis yang tidak dapat dikoreksi
3. Hipertensi yang tidak dapat dikoreksi
4. Penyakit demam berulang
5. Gagal jantung dengan edema paru akut
6. Gangguan pembekuan: waktu protrombin > 18 detik
7. Gagal ginjal hebat/anuria
8. Alergi bahan kontras
9. Riwayat perdarahan yang tidak berhenti
10. Kehamilan
Sedangkan satu-satunya yang dianggap sebagai kontraindikasi absolut
adalah apabila pasien dan keluarganya menolak untuk dilakukan kateterisasi.

D. Zat Kontras
1. Angiografin
 Angiografin merupakan jenis kontras media ionik.
 Komposisi 1 ml Angiografin mengandung 0,65 gr Meglumine
Amidotrizoate (meglumine diatrizoate ) dalam setiap larutan.
 Angiografin mempunyai viskositas (kekentalan) yang tinggi, serta
mempunyai osmolalitas (daya larut) yang tinggi pula.
 Indikasi : Angiografin digunakan untuk Intravenus urografi, Retrograde
Urografi, Cerebral Thoracic, Abdominal dan Ekstremitas angiografi,
Plebografi, Computerize Tomography (CT).
 Kontra indikasi : Angiografin tidak baik digunakan untuk Myelografi,
Ventrikulografi, Sisternografi, karena bisa menimbulkan neurotoksis.
2. Iopamiro
 Iopamiro merupakan jenis kontras media non ionik.
 Iopamiro mempunyai jenis molekul benzine dikarboxamide monomerik.
 Tekanan osmotik yang rendah, sifat non ionik dari molekul serta
kemotoksitas yang rendah merupakan toleransi dari Iopamiro.
 Indikasi :
a. Kasus-kasus neurologis (Myeloradikulografi, Sisternografi, dan
Ventrikulografi).
b. Kasus-kasus Angiografi (Cerebral Angiografi, Coronoriarteriografi,
Thorasic aortografi, Abdominal aortografi, DSA)
c. Kasus urografi (Intravena urografi, kontras enhancement pada CT
Scanning, Artrografi, Fistulografi)
 Kontra indikasi: Tidak ada kontra indikasi yang sifatnya absolut pada
pemakain Iopamiro, kecuali waldenstrom’s, macroglobulinemia, multiple
myeloma serta penyakit hati dan ginjal.   
3. Ultravist
 Ultravist merupakan kontras media non ionik dalam bentuk cair yang
dipergunakan untuk pemeriksaan radiografi
 Triidinated monomeric contras media
 Digunakan secara intra arterial dan intravenous
Pada kateterisasi jantung, injeksi zat kontras dilakukan untuk mengetahui
adanya hambatan maupun penyempitan pada pembuluh darah. Jumlah zat
kontras yang diinjeksikan ke dalam pembuluh darah diusahakan dalam jumlah
paling minimal. Untuk tindakan diagnostik biasa digunakan 20-30cc dan
maksimal 50cc. Sedangkan untuk tindakan intervensi sekitar 100-200cc.
Pemasukan zat kontras kedalam tubuh harus juga melihat nilai laboratorium
ureum kreatinin pasien.

E. Komplikasi
Berdasarkan Nuray dkk (2007), komplikasi yang ditemukan dibagi
menjadi komplikasi mayor dan komplikasi minor.
1. Komplikasi mayor/utama
Komplikasi utama meliputi reoklusi akut, miokard infark baru,
pendarahan hebat di selangkangan kaki, tamponade jantung akibat pecah
atau robeknya dinding arteri koroner atau jantung ruang dan kematian.
2. Komplikasi minor
Komplikasi minor PCA antara lain oklusi cabang pembuluh koroner,
ventrikel/atrium aritmia, bradikardi, hipotensi, perdarahan, arteri trombus,
emboli koroner. Komplikasi minor lain adalahkehilangan darah yang parah
dan membutuhkan transfusi, iskemia pada ekstremitas tempat penusukan
femoral sheath, penurunan fungsi ginjal karena media kontras, emboli
sistemik dan hematoma di selangkangan, hematoma retroperitoneal,
pseudoaneurisma, fistula AV.
Komplikasi yang timbul pasca angiografi koroner melalui arteri arteri
femoral dipengaruhi oleh strategi untuk mengurangi komplikasi vaskuler
yang terkait dengan kateterisasi jantung melalui identifikasi faktor risiko
yang terkait dan pelaksanaan strategi pengurangan risiko. Antara ahli
jantung dan perawat memainkan peran penting dalam pengenalan dini dan
pengelolaan komplikasi ini. Mengidentifikasi faktor-faktor risiko individu
pasien merupakan aspek penting dari perawatan selama kateterisasi jantung.
Hal-hal yang dapat meningkatkan risiko untuk pengembangan komplikasi
vaskular pasca kateterisasi jantung yaitu usia (yakni usia lebih dari 70
tahun), jenis kelamin perempuan, sangat kurus atau gemuk tidak sehat,
adanya penyakit pembuluh darah perifer, hipertensi (PA-PSRS, 2007).
F. Persiapan Pasien Pre Tindakan
1. Persiapan fisik
 Penjelasan tentang prosedur tindakan oleh dokter
 Rekaman EKG 12 lead
 Puasa 4-6 jam sebelum tindakan perlu diperhatikan adalah puasa makan
saja, pasien boleh minum dan obat-obatan tetap diberikan sesuai resep
dokter
 Sehari sebelumnya meminum obat yang diinstruksikan dokter seperti
aspilet 2 tablet pada malam hari dan 1 tablet pada pagi hari, clopidogrel 4
tablet pada malam hari dan 2 tablet pada pagi hari.
 Cukur area penusukan (daerah inguinalis kanan  dan kiri bila arteri
femoralis atau daerah radialis kanan bila dari arteri radialis)
 Memasang condom cetheter atau dower cetheter untuk pasien yang akan
dilakukan tindakan PTCA, Ablasi, dan sejenisnya kecuali koroner
angiografi
 Memasang infus pada pasien, untuk tindakan koroner angiografi pada
umumnya tidak dipasang infus kecuali pada pasien dengan hasil kreatinin
lebih dari 1,5 diberikan cairan NaCl 0,9% . Pada pasien yang akan
dilakukan PTCA, Ablasi dan sejenisnya yang memerlukan waktu yang
lama diberikan cairan RL dan cairan NaCl 0,9% untuk pasien dengan
creatinin lebih dari 1,5
 Mengukur tanda – tanda vital pasien (tekanan darah, heart rate , respirasi,
dan suhu )
 Mengukur berat badan dan tinggi badan
 Hasil pemeriksaan laboratorium seperti :
a. Pemeriksaan Hb, Hb yang tinggi akan mempengaruhi tindakan
kateterisasi dimana lebih mudah terjadi pembekuan darah pada
kateter, begitu juga Hb yang rendah karena kemungkinan terjadi
pendarahan selama tindakan
b. Leukosit, untuk mengetahui apkah pasien dalam keadaan dalam
infeksi atau tidak
c. Ureum dan kreatinin, mengtahui fungsi ginjal pasien berhubungan
dengan penggunaan zat kontras saat tindakan, bila hasilnya tinggi
dilakukan hidrasi terlebih dahulu dengan obat oral flumucyl 2 tablet
dan loading cairan NaCl 0,9% sesuai instruksi dokter (biasa
diberikan 100 cc) . zat kontras yang osmolaritasnya lebih redah,
(misalnya omnipaque) dan dosis yang lebih sedikit
d. CT, BT, PT, APTT untuk mengetahui apakah memanjang waktu
pendarahan dan pembekuan karena berhubungan dengan saat
pencabutan sheath
e. HbsAg untuk mencegah terjadinya penularan baik terhadap petugas
maupun kepasien lain
 Mencatat obat yang diminum, ditunda atau dihentikan pemberiannya.
Obat hipertensi dan obat diureik tetap diberikan, sedangkan obat DM,
anti koagulan, ditunda pemberiannya sesuai dengan instruksi dokter
 Menanyakan riwayat alergi pasien terhadap obat-obatan
 Mengkaji keluhan pasien apakah ada nyeri dada, sesak nafas, pusing 
atau keluhan yang lain
 Mengganti pakaian pasien dengan pakaian rumah sakit, termasuk pakaian
dalam dilepas
 Memberitahu kepada pasien bahwa alat bantu seperti kaca mata, alat
bantu dengar (hearing aid), gigi palsu boleh tetap dipakai selama
tindakan untuk lebih memudahkan berkomunikasi dengan pasien tetapi
tetap diinformasikan pada saat serah terima pasien dengan petugas
diruang tindakan
 Melakukan allent test bila tindakan dilakukan melalui arteri radialis,
untuk melihat sirkulasi darah ditangan pasien. Teknik menilai allen test:
a. Anjurkan pasien untuk mengepal tangannya dengan kuat selama 3-15
menit.
b. Periksa pulsasi arteri radialis kemudian tekan arteri radialis dengan
tiga jari tangaan kiri/ibu jari dan tekan arteri uinaris dengan tiga jari
tangan kanan/ibu jari secara bersamaan.
c. Buka kepalan tangan pasien , telapak tangan akan terlihat pucat.
d. Lepas tekanan arteri ulnaris, arteri radialis tetap ditekan.
e. Lihat jika refeskuler 1-3 detik berarti arteri ulnaris baik dan tindakan
dapat dilakukan melalui arteri radialis.
2. Persiapan mental
 Mengkaji pengetahuan pasien mengenai tindakan kateterisasi jantung
 Bila pasien belum mendapat penjelasan, fasilitasi agar dokter/asisten
dokter untuk menjelaskannya
 Memberi penjelasan hal-hal yang mungkin diperlukan saat dilakukan
tindakan seperti cara nafas dalam dan batuk efektif dan juga
memberitahukan keluhan yang mungkin timbul saat tindakan kepada
petugas atau perawat
 Melakukan pendekatan spiritual dengan mengajak berdoa
3. Persiapan pasien dari ruangan / rawat inap
Persiapan sama seperti pasien datang dari rumah , hanya saja
persiapannya dilakukan oleh perawat ruangan. Jadi perawat di ruang pre
keteterisasi hanya dilakukan serah terima pasien dengan petugas ruangan
dan memeriksa kembali kelengkapan persiapan administrasi fisik dan
mental pasien serta membuat form laporan kateterisasi jantung untuk pasien
yang akan dilakukan tindakan koroner angiografi dan form laporan
angioplasti koroner untuk pasien yang akan dilakukan tindakan PTCA,
ablasi dan sejenisnya
4. Persiapan Administrasi
a. Surat ijin tindakan/inform concent.
b. Surat pernyataan pembayaran (keuangan).
c. Persiapan Mental
d. Pemberian pendidikan kesehatan tentang prosedur kateterisasi jantung
(apa, bagaimana, tujuan, manfaat, komplikasi dan prosedur kerja).

G. Perawatan Pasien Pasca Tindakan


Perawatan pasien pasca tindakan angiografi koroner menurut Rokhaeni,
Purnamasari & Rahayoe (2001) adalah
1. Observasi keluhan pasien.
2. Observasi tanda-tanda vital setiap 15 menit selama 1 jam dan 30 menit
selama 2 jam sampai stabil.
3. Observasi perdarahan dengan melakukan tindakan:
a. Mengevaluasi area bekas tusukan femoral sheath.
b. Gunakan penekanan dengan bantal pasir.
c. Immobilisasi ekstremitas pada daerah tusukan selama 8-12 jam post
tindakan.
d. Libatkan keluarga/pasien untuk mengamati daerah tusukan, mungkin
terjadi perdarahan.
4. Observasi tanda-tanda dan efek samping zat kontras
a. Observasi tanda-tanda alergi kontras seperti gatal-gatal, menggigil, mual
dan muntah.
b. Observasi tanda hipotensi dan perubahan tanda vital.
c. Pemberian cairan/volume peroral/parenteral.
d. Ukur cairan yang masuk dan keluar.
5. Observasi tanda-tanda infeksi meliputi:
a. Observasi daerah luka dari sesuatu yang tidak aseptik/septik.
b. Selalu menjaga kesterilan area penusukan.
c. Observasi adanya perubahan warna, suhu pada luka tusukan.
6. Observasi tanda-tanda gangguan sirkulasi ke perifer.
a. Palpasi arteri poplitea, dorsalis pedis, pada sisi arteri yang kita lakukan
penusukan seiap 15 menit (1 jam), 30 menit (2 jam) antara kanan dan kiri
dibandingkan.
b. Bila terjadi gangguan(nadi lemah/tak teraba), beritahu dokter biasanya
diberikan obat antikoagulan bolus atau bisa dilanjutkan dengan
pemberian terus menerus (kontinyu).
c. Observasi kehangatan daerah ekstremitas kanan dan kiri kemudian
dibandingkan.
H. Penekanan Mekanikal Menggunakan Bantal Pasir Pasca Angiografi
Koroner
Bantal pasir pada pasien pasca angiografi koroner mempunyai tujuan
membantu mengurangi komplikasi yang timbul akibat pencabutan femoral
sheath. Penelitian tentang penggunaan bantal pasir sebagai penekan mekanik
salah satunya dilakukan oleh Yilmaz, Gurgun dan Dramali (2007) yang
bertujuan untuk mengevaluasi efek menempatkan karung pasir di situs akses
femoralis setelah prosedur invasif jantung dan mengubah posisi pasien di tempat
tidur pada tingkat komplikasi pembuluh darah dan beratnya nyeri punggung
yang berkaitan dengan masa istirahat setelah prosedur yang menghasilkan angka
kejadian komplikasi vaskular tidak berbeda nyata pada kelompok dengan
penerapan karung pasir bila dibandingkan dengan kelompok tanpa penerapan
karung pasir. Sakit punggung dilaporkan lebih sering pada pasien yang posisinya
tidak berubah dan yang kepala tempat tidur tidak dibesarkan sehingga
kesimpulan yang diperoleh adalah karung pasir tidak efektif dalam mengurangi
kejadian komplikasi vaskular setelah prosedur sedangkan untuk meningkatkan
kenyamanan dan untuk mengurangi nyeri punggung pasien, posisi pasien harus
diubah dan kepala tempat tidur tersebut harus ditinggikan sekitar 30 atau 45
derajat dari posisi semula.

II. PENGKAJIAN RIWAYAT KESEHATAN


A. Pre Operatif
Riwayat kesehatan pasien adalah sumber yang sangat baik. Sumber
berharga lainnya adalah rekam medis dari riwayat perawatan sebelumnya.
Penyakit yang diderita pasien akan mempengaruhi kemampuan pasien dalam
mentoleransi pembedahan dan mencapai pemulihan yang menyeluruh. Pasien
yang akan menjalani bedah sehari (one day care) harus diperiksa secara teliti
dan menyeluruh untuk menentukan kondisi kesehatan yang mungkin akan
meningkatkan resiko komplikasi selama atau setelah pembedahan. Pengalaman
bedah sebelumnya dapat mempengaruhi respons fisik dan psikologis pasien
terhadap prosedur pembedahan. Jenis pembedahan sebelumnya, tingkat rasa,
ketidaknyamanan, besarnya ketidakmampuan yang ditimbulkan, dan seluruh
tingkat perawatan yang pernah diberikan adalah faktor-faktor yang mungkin
akan diingat oleh pasien. Perawat mengkaji semua komplikasi yang pernah
dialami pasien. Informasi ini akan membantu perawat dalam mengantisipasi
kebutuhan pasien selama pra dan pascaoperatif.
Pembedahan sebelumnya juga dapat mempengaruhi tingkat perawatan
fisik yang dibutuhkan pasien setelah menjalani prosedur pembedahan. misalnya,
pasien yang pernah menjalani torakotomi untuk reseksi lobus paru mempunyai
resiko komplikasi paru-paru yang lebih besar daripada pasien dengan paru-paru
yang masih utuh dan normal. Jika pasien menggunakan obat yang telah
diresepkan atau obat yang dibeli di luar apotik secara teratur, maka dokter bedah
atau ahli anestesi mungkin akan menghentikan pemberian obat tersebut untuk
sementara sebelum pembedahan atau mereka akan menyesuaikan dosisnya.
Beberapa jenis obat mempunyai implikasi khusus bagi pasien bedah. Obat yang
diminum sebelum pembedahan secara otomatis akan dihentikan saat pasien
selesai menjalani operasi kecuali dokter meminta pasien untuk menggunakannya
kembali.
Pada pasien gawat darurat yang memerlukan pembedahan cito, pengkajian
riwayat kesehatan dilakukan secara ringkas terkait factor-faktor yang
mempengaruhi pembedahan dan anestesi umum. Pasien dikaji tentang adanya
riwayat hipertensi, diabetes mellitus, tuberkolusis paru, dan berbagai penyakit
kronis yang akan berdampak pada peningkatan resiko komplikasi intraoperatif.
1. Riwayat alergi
Perawat harus mewaspadai adanya alergi terhadap berbagai obat yang
mungkin diberikan selama fase intraoperatif. Apabila pasien mempunyai
riwayat alergi satu atau lebih, maka pasien perlu mendapat pita identifikasi
alergi yang dipakai pada pergelangan tangan sebelum menjalani pembedahan
atau penulisan symbol alergi yang tertulis jelas pada status rekam medis
sesuai dengan kebijakan institusi. Perawat juga harus memastikan bagian
depan lembar pencatatan pasien berisi daftar alergi yang dideritanya.
2. Pengkajian nyeri
Nyeri adalah suatu pengalaman sensori dan emosional yang tidak
menyenangkan akibat kerusakan jaringan yang bersifat subjektif. Keluhan
sensori yang dinyatakan sebagai pegal, linu, ngilu, keju, kemeng, dan
sebagainya dapat dianggap sebagai modalitas nyeri. Penting bagi setiap
perawat untuk mempercayai pasien yang melaporkan rasa nyeri. Selain itu
yang sama pentingnya adalah waspada terhadap pasien yang mengabaikan
nyeri. Misalnya mengungkapkan kenyataan bahwa gangguan atau prosedur
biasanya menimbulkan nyeri atau bahwa pasien tampak meringis saat
bergerak atau menghindari gerakan. Menggali alasan mengapa pasien
mengabaikan rasa nyeri juga sangat membantu. Banyak orang yang
menyangkal nyeri yang dialaminya karena mereka takut dengan
pengobatan/tindakan yang mungkin diberikan jika mereka mengeluh nyeri,
atau takut menjadi ketergantungan jika obat-obat ini diberikan untuk
mengatasi nyerinya. Kondisi penyakit dan posisi dapat menimbulkan nyeri
pada pasien, perawat perlu mengkaji pengalaman nyeri pasien sebelumnya,
metode pengontrolan nyeri yang digunakan, sikap pasien dalam
menggunakan obat-obatan peghilang rasa nyeri, respons perilaku terhadap
nyeri, pengetahuan pasien, harapan, dan metode manajemen nyeri yang
dipilih karena akan memberi dasar bagi perawat dalam memantau perubahan
kondisi pasien. Pengkajian nyeri yang benar memungkinkan perawat
perioperatif untuk menetapkan status nyeri pasien, lebih bertanggung jawab
dan bertanggung gugat terhadap perawatan yang diberikan, dan lebih
berorientasi pada sifat kemitraan dalam melakukan penatalaksanaan nyeri.
Perawat harus mengembangkan hubungan terapeutik yang positif dan
memberi waktu kepada pasien untuk mendiskusikan nyeri. Perawat juga
harus mempelajari cara verbal dan nonverbal pasien dalam
mengomunikasikan rasa ketidaknyamanan. Meringis, menekuk salah satu
bagian tubuh, dan postur tubuh yang tidak lazim merupakan contoh ekspresi
nyeri secara nonverbal.
3. Pengkajian Psikososiokultural
Berbagai dampak psikologis yang dapat muncul adalah adanya
ketidaktahuan akan pengalaman pembedahan yang dapat mengakibatkan
kecemasan dalam berbagai bentuk seperti marah, menolak, atau apatis
terhadap kegiatan keperawatan. Pasien yang cemas sering mengalami
ketakutan atau perasaan tidak tenang. Berbagai bentuk ketakutan muncul
seperti ketakutan akan hal yang tidak diketahui, misalnya terhadap
pembedahan, anastesi, masa depan, keuangan, dan tanggung jawab keluarga,
ketakutan akan nyeri, kematian, atau ketakutan akan perubahan citra diri dan
konsep diri. Berdasarkan konsep psikoneuroimunologi, kecemasan
merupakan stressor yang dapat menurunkan sistem imunitas tubuh. Prosedur
pembedahan akan memberikan suatu reaksi emosional bagi pasien, untuk
membedakan reaksi tersebut jelas atau tersembunyi, normal atau abnormal,
sebagai contoh kecemasan pre operative merupakan suatu respons antisipasi
terhadap suatu pengalaman yang dapat dianggap pasien sebagai suatu
ancaman terhadap perannya dalam hidup, integritas tubuh, atau bahkan
kehidupan itu sendiri, dapat diketahui bahwa pikiran yang bermasalah secara
lansung akan mempengaruhi fungsi tubuh. Oleh karena itu penting untuk
mengidentifkasi ansietas yang dialami pasien. Dengan mengumpulkan
riwayat kesehatan secara cermat, perawat akan menemukan kekhawatiran
pasien yang didapat menjadi beban langsung selama proses pembedahan.
Pasien yang menghadapi pembedahan akan dilingkupi oleh ketakutan,
termasuk ketakutan akan ketidaktahuan, kematian, anastesi dan kanker,
kekhawatiran mengenai kehilangan waktu kerja, kemungkinan kehilangan
pekerjaan, tanggung jawab terhadap keluarga, dan ancaman ketidakmampuan
permanen yang lebih jauh. Menurut potter (2005) reaksi pasien terhadap
pembedahan didasarkan pada banyak faktor, meliputi ketidaknyamanan dan
perubahan-perubahan yang diantisipasi baik fisik, finansial, psikologis,
spiritual, sosial, atau hasil akhir pembedahan yang diharapkan. Bagian
terpenting dari pengkajian kecemasan pre operative adalah untuk menggali
peran orang terdekat, baik dari keluarga, sahabat, adanya sumber dukungan
orang terdekat akan menurunkan kecemasan.
Pasien dengan konsep diri positif lebih mampu menerima operasi yang
dialaminya dengan tepat. Perawat mengkaji konsep diri pasien dengan cara
meminta pasien mengidentifikasi kekuatan dan kelamahan dirinya, pasien
yang cepat mengkritik mungkin mempunyai harga diri yang rendah atau
sedang menguji pendapat perawat tentang karakter mereka. Konsep diri yang
buruk mengganggu kemampuan beradaptasi dengan stress pembedahan dan
memperburuk rasa bersalah atau ketidakmampuannya.
4. Post Operatif
Keperawatan post operatif adalah periode akhir dari keperawatan
perioperatif. Selama periode ini proses keperawatan diarahkan pada
menstabilkan kondisi pasien pada keadaan equlibrium fisiologis pasien,
menghilangkan nyeri dan pencegahan komplikasi. Pengkajian yang cermat
dan intervensi segera membantu pasien kembali pada fungsi optimalnya
dengan cepat, aman dan nyaman. Upaya yang dapat dilakukan diarahkan
untuk mengantisipasi dan mencegah masalah yang kemungkinan muncul
pada tahap ini. Pengkajian dan penanganan yang cepat dan akurat sangat di
butuhkan untuk mencegah komplikasi yang memperlama perawatan di rumah
sakit atau membahayakan diri pasien. Memperhatikan hal ini, asuhan
keperawatan postoperative sama pentingnya dengan prosedur pembedahan itu
sendiri.
Faktor yang mempengaruhi yaitu :
a. Mempertahankan jalan nafas
Mempertahankan jalan nafas dengan mengatur posisi, memasang
suction dan pemasangan NPA.
b. Mempertahan kan ventilasi atau oksigenasi
Ventilasi dan oksigenasi dapat dipertahankan dengan pemberian
bantuan nafas melalui ventilaot mekanik atau nasal kanul.
c. Mempertahankan sirkulasi darah
Mempertahankan sirkulasi darah dapat dilakukan dengan pemberian
caiaran plasma ekspander.
d. Observasi keadaan umum, observasi vomitus dan drainase
Keadaan umum dari pasien harus diobservasi untuk mengetahui
keadaan pasien, seperti kesadaran dan sebagainya. Vomitus atau muntahan
mungkin saja terjadi akibat penagaruh anastesi sehingga perlu dipantau
kondisi vomitusnya. Selain itu drainase sangat penting untuk dilakukan
obeservasi terkait dengan kondisi perdarahan yang dialami pasien.
e. Balance cairan
Harus diperhatikan untuk mengetahui input dan output caiaran klien.
Cairan harus balance untuk mencegah komplikasi lanjutan, seperti
dehidrasi akibat perdarahan atau justru kelebihan cairan yang justru
menjadi beban bagi jantung dan juga mungkin terkait dengan fungsi
eleminasi pasien.
f. Mempertahankan kenyamanan dan mencegah resiko injury
Pasien post anastesi biasanya akan mengalami kecemasan,
disorientasi dan beresiko besar untuk jatuh. Tempatkan pasien pada tempat
tidur yang nyaman dan pasang side railnya. Nyeri biasanya sangat
dirasakan pasien, diperlukan intervensi keperawatan yang tepat juga
kolaborasi dengan medi terkait dengan agen pemblok nyerinya.

III. RUMUSAN DIAGNOSA KEPERAWATAN


Berikut ini adalah diagnosis keperawatan berdasarkan pengkajian
keperawatan sebelum tindakan kateterisasi:
A. Ansietas berhubungan dengan kurang pengetahuan tentang pembedahan yang
akan dilaksanakan dan hasil akhir pasca operatif.
B. Defisiensi pengetahuan (tindakan kateterisasi) berhubungan dengan kurang
pengalaman sebelumnya, kurang pemanjanan informasi, kurang kemampuan
mengingat kembali, kurang familier dengan sumber-sumber informasi

Berikut merupakan diagnosis keperawatan setelah dilakukannya kateterisasi:


A. Resiko penurunan cardiac output berhubungan dengan gangguan kontraktilitas,
gangguan frekuensi, iskemia ventrikel
B. Gangguan pertukaran gas berhubungan dengan perubahan membran kapiler
alveolar, udema paru akut
C. Kerusakan integritas kulit berhubungan dengan faktor mekanik (prosedur
kateterisasi)
D. Defisiensi pengetahuan (perawatan pasca kateterisasi) berhubungan dengan
kurang kemampuan mengingat kembali, kurang pemajanan informasi

IV. PERENCANAAN
A. Pre Tindakan
1. Ansietas berhubungan dengan kurang pengetahuan tentang pembedahan
yang akan dilaksanakan dan hasil akhir pasca operatif.
Tujuan: Dalam waktu 1 x 24 jam tingkat kecemasan pasien berkurang atau
hilang dengan kriteria hasil:
a. Pasien menyatakan kecemasannya berkurang.
b. Pasien mampu mengenali perasaan ansietasnya.
c. Pasien dapat mengidentifikasikan penyebab atau faktor yang
memengaruhi ansietasnya.
d. Pasien kooperatif terhadap tindakan.
e. Wajah pasien tampak rileks
Intervensi:
a. Bantu pasien mengekspresikan perasaan marah, kehilangan dan takut.
b. Kaji tanda ansietas verbal dan non verbal. Dampingi pasien dan lakukan
tindakan bila pasien mulai menunjukkkan perilaku merusak.
c. Jelaskan tentang prosedur pembedahan sesuai jenis operasi.
d. Beri dukungan pra bedah.
e. Hindari konfrontasi
f. Beri lingkungan yang tenang dan suasana penuh istirahat.
g. Tingkatkan kontrol sensasi pasien.
h. Orientasikan pasien terhadap prosedur rutin dan aktivitas yang
diharapkan.
i. Beri kesempatan kepada pasien untuk mengungkapkan ansietasnya.
j. Berikan privasi untuk pasien dan orang terdekat.
k. Kolaborasi: pembrian anticemas sesuai indikasi contohnya diazepam.
2. Defisiensi pengetahuan (tindakan kateterisasi) berhubungan dengan kurang
pengalaman sebelumnya, kurang pemanjanan informasi, kurang
kemampuan mengingat kembali, kurang familier dengan sumber-sumber
informasi
Tujuan : pasien dan keluarga akan mampu memperlihatkan pemahaman
mengenai tindakan kateterisasi jantung, menambah pendidikan kesehatan
pasien dan keluarga untuk mengurangi kecemasan/ketakutan pasien, mulai
mencari informasi/mengajukan pertanyaan, berpartisispasi dalam proses
belajar,
a. Periksa keakuratan umpan balik untuk memastikan bahwa pasien
memahami program terapi dan informasi lainnya yang relevan
b. Beri penyuluhan sesuai tingkat pemahaman pasien, ulangi informasi
bila diperlukan
c. Gunakan berbagai pendekatan penyuluhan seperti redemontrasi dan
berikan umpan balik secara verbal dan tertulis
d. Bina hubungan saling percaya
e. Ikut sertakan keluarga atau orang terdekat bila perlu

B. Post Tindakan
1. Resiko penurunan cardiac output berhubungan dengan gangguan
kontraktilitas, gangguan frekuensi, iskemia ventrikel
Tujuan : diharapkan penurunan curah jantung teratasi, dengan kriteria klien
akan, menunjukkan tanda vital dalam batas normal, disritmia terkontrol atau
hilang dan bebas gejala gagal jantung, warna kulit normal , melaporkan
penurunan episode dispnea, ikut serta dalam aktivitas yang mengurangi beban
kerja jantung.
a. Auskultasi nadi apical, kaji frekuensi, irama jantung.
b. Catat bunyi jantung
c. Palpasi nadi perifer
d. Pantau tekanan darah
e. Kaji kulit terhadap pucat dan sianosis
f. Pantau haluaran urin, catat penurunan haluaran dan kepekatan/ kosentrasi
urin
g. Kaji perubahan pada sensori, contoh latergi, bingung, disorientasi, cemas,
dan depresi
h. Berikan istirahat pada tempat tidur atau kursi.
i. Berikan istirahat psikologi dengan lingkungan tenang; menjelaskan
manajemen medik/ keperawatan; membantu pasien menghindari situasi
stress, mendengar/berespons terhadap ekspresi perasaan/takut
j. Istirahatkan klien dengan tirah baring optimal dalam lingkungan yang
tenang
k. Berikan pispot di samping tempat tidur. Hindari aktivitas respon valsalva,
contoh mengejan selama defekasi, menambah nafas selama perubahan
posisi
l. Berikan oksigen tambahan dengan kanula nasal/masker dan obat sesuai
indikasi (kolaborasi)
m. Berikan obat sesuai indikasi (contohnya Diuretik, Vasodilator, Captopril,
Morfin sulfat, sedatif, antikoagulan)
n. Pemberian cairan IV, pembatasan jumlah total sesuai indikasi. Hindari
cairan garam
o. Pantau/ganti elektrolit
p. Panatau seri EKG dan perubahan foto dada
q. Pantau pemeriksaan laboratorium (fungsi ginjal, fingsi hati, pemeriksaan
koagulasi)
2. Gangguan pertukaran gas berhubungan dengan perubahan membran kapiler
alveolar, udema paru akut
Tujuan : Pasien akan menunjukkan ekspansi paru simetris, mempunyai
kecepatan dan irama pernafasn normal, tidak ada suara nafas tambahan,
mempunyai fungsi paru dalam batas normal, tidak mengalami ortopneu.
a. Kaji suara paru, frekuensi nafas, kedalaman dan usaha nafas
b. Pantau adanya pucat dan sianosis
c. Pantau saturasi oksigen
d. Pantau kadar elektrolit dan status mental
e. Auskultasi suara nafas
f. Berikan pasien posisi nyaman
g. Berikan terapi oksigen jika diperlukan
3. Kerusakan integritas kulit berhubungan dengan faktor mekanik (prosedur
kateterisasi)
Tujuan : menunjukkan perilaku/tehnik untuk meningkatkan penyembuhan,
mencegah komplikasi, menunjukkan penyembuhan luka tepat waktu
a. Lihat tempat insisi, evaluasi proses penyembuhan
b. Anjurkan menggunakan baju/celana yang tidak sempit, biarkan insisi
terbuka terhadap udara sebanyak mungkin
c. Perhatikan/laporkan pada dokter insisi yang tidak sembuh, pembukaan
kembali insisi yang telah sembuh, adanya darinase berupa darah atau
purulen, area lokal yang bengkak dengan kemerahan, rasa nyeri
meningkat, dan panas pada sentuhan.
d. Tingkatkan nutrisi dan masukan cairan adekuat.
4. Defisiensi pengetahuan (perawatan pasca kateterisasi) berhubungan dengan
kurang kemampuan mengingat kembali, kurang pemajanan informasi
Tujuan : pasien akan berpartisipasi dalam belajar, mulai mencari
informasi/mengajukan pertanyaan, mengungkapkan pemahaman tentang
kondisi, prognosis dan kebutuhan terapeutik.
a. Anjurkan untuk tidak mengangkat beban berat selama seminggu kedepan
dan pasien tidak dianjurkan untuk membawa kendaraan/mengemudi
b. Dorong periode istirahat bergantian dengan aktifitas, hindari mengangkat
berat
c. Anjurkan mempertahankan masukan nutrisi dan cairan secara adekuat,
pertahankan diet yang dijalani
d. Anjurkan untuk melanjutkan meminum obat-obatan yang telah ditentukan
oleh dokter
e. Anjurkan untuk melapor kepada dokter jika merasakan nyeri dada, sesak
nafas dan pusing
DAFTAR PUSTAKA

Nuray, E., Umman, S., Arbal, M., Altok, M. G., Enuzun, F., Uysal, H., Ncekara, E.,
Ulusoy, S., & Baran, A. E. (2007). Nursing Care Guidelines in Percutaneous
Coronary and Valvular Intervention. Turkish Society of Cardiology ISBN 9944-
5914-2-4.
Potter, P. A., & Perry, A. G. (2005). Buku Ajar Fundamental Keperawatan: Konsep,
Proses dan Praktik, Edisi 4, Volume II. Jakarta: EGC.
Price, S. A., & Wilson, L. M. (2006). Patofisiologi: Konsep Klinis Proses-Proses
Penyakit. (6th Edition). Jakarta: EGC.
Rokhaeni, H., Purnamasari, E., & Rahayoe, A. U. (2001). Buku Ajar Kardiovaskuler
Pusat Jantung Nasional (National Cardiovasculer Center Harapan Kita). Jakarta:
Bidang Pendidikan dan Pelatihan Pusat Kesehatan Jantung dan Pembuluh Darah
Nasional “Harapan Kita”.
Woods, S. L., Froelicher, E. S. S., Motzer, S. U., & Bridge, E. J. (2005). Cardiac
Nursing . 5th Edition. Philadelpia: Lippincot Williams and Walkins.
Yilmaz, E., Gurgun, C., & Dramali, A. (2007). Minimizing Short-Term Complications
in Patients Who Have Undergone Cardiac Invasive Procedure: A Randomized
Controlled Trial Involving Position Change and Sandbag. Unadolu Kardiyol derg
2007; 7: 390-396.
LAPORAN PENDAHULUAN
ASUHAN KEPERAWATAN PADA KATETERISASI JANTUNG

Disusun oleh:
Choirun Nisa Nur Aini
P1337420916006

Program Studi Profesi Ners


Jurusan Keperawatan
Politeknik Kesehatan Kementrian Kesehatan Semarang
2017

Anda mungkin juga menyukai