Anda di halaman 1dari 14

TUGAS MAKALAH FORMULASI DAN TEKNOLOGI SEDIAAN STERIL

INJEKSI VITAMIN B – KOMPLEKS

Oleh Kelompok 5 :
Arief Kurniawan 159135
Dewi Apriani 159145
Indah Gustari 159171
Iqbal Mishbahuzzain 159173
Linda Lestari 159183
Mitri Hardianti 159191
Muhammad Idris 159193
Novi Istiqomah 159199
Suci Tantri 159229
Yulanda Elvinovendra 159241

Tingkat : II A
Dosen Pengampu : Ika Ristia Rahman., S.Farm., Apt.

AKADEMI FARMASI
YAYASAN RUMAH SAKIT ISLAM (YARSI)
PONTIANAK
2016
BAB I
PENDAHULUAN

1.1. Tujuan
1. Untuk mengetahui khasiat dan penggunaan injeksi vial vitamin B-
kompleks
2. Untuk mengetahui bagaimana cara pembuatan injeksi vial vitamin B-
kompleks yang isotonis dan isohidris dengan cairan tubuh serta cara
mengevaluasinya.
BAB II
FORMULA

2.1. Praformulasi
1. Thiamin Hydrochloridum (Anonim, 1979: 598)
- Sinonim : Thiamin Hidrokloridum, Vit.B₁
- Pemerian : Hablur kecil, bau khas lemah, mirip
ragi, rasa pahit.
- Kelarutan : Mudah larut dalam air; sukar larut
dalam etanol (95%)P; praktis tidak larut dalam eter P, dan dalam
benzena P, dan larut dalam gliserol P.
- Penyimpanan : Dalam wadah tertutup baik, terlindung dari
cahaya.
- Khasiat dan Penggunaan : Antineuritikum yaitu sebagai penekan
fungsi kerja saraf pusat dan sebagai komponen Vit. B kompleks
- Kestabilan : Tiamin HCl untuk injeksi harus dilindungi
dari cahaya dan disimpan pada suhu kurang dari 40 ° C dan lebih
disukai antara 15-30 ° C; menghindari pembekuan.
- pH : 2,5 – 4,5 (Martindale 28 hal 1640)
- OTT : Dengan riboflavin dalam larutan jejak
prespitation dari thiocrom atau chloroflafin terjadi dengan
benzilpenicillin, kompatibel dengan suntikan dekstrosa atau adictive
containning metabisulfit.

2. Riboflavina Natrium Fosfat (Anonim, 1979: 559)


- Sinonim : Riboflavini Natrii Phosphas, Vit. B₂
- Pemerian : Serbuk hablur; kuning sampai kuning
jingga; tidak berbau atau hampir tidak berbau; higroskopik.
- Kelarutan : Larut dalam 20 bagian air; sangat sukar
larut dalam etanol (95%) P; praktis tidak larut dalam kloroform P dan
dalam eter P
- Penyimpanan : Dalam wadah tertutup rapat, terlindung
dari cahaya
- Khasiat dan Penggunaan : Komponen vitamin B kompleks
- Kestabilan : Riboflavin larut air, tahan panas, oksidasi
dan asam, tetapi tidak tahan alkali dan cahaya terutama sinar
ultraviolet.

3. Pyridoxin HCl (Anonim, 1979: 541)


- Sinonim : Piridoksina Hidroklorida, Pyridoxini
Hydrochloridum
- Pemerian : Hablur putih, atau tidak berwarna, tidak
berbau, rasa asin.
- Kelarutan : Mudah larut dalam air, sukar larut
dalam etanol (95%) P, praktis tidak larut dalam eter P.
- Penyimpanan : Dalam wadah tertutup rapat, terlindung
dari cahaya.
- Khasiat dan Penggunaan : Komponen Vitamin B kompleks.
- OTT : tidak bercampur dengan larutan alkalis dan
tetrasiklin, eritromisin dan streptomisin.
- Stabilitas : terjaga dari udara dan cahaya
- PH : 2 – 3,8 ( Martindale 28 hal 1643)

4. Nicotinamida (Anonim, 1979: 435)


- Sinonim : Nicotinamidum, Niasinamida
- Pemerian : Serbuk hablur, putih, tidak berbau atau
hampir tidak berbau, rasa pahit.
- Kelarutan : Mudah larut dalam air dan dalam etanol
(95%) P; larut dalam gliserol P.
- Penyimpanan : Dalam wadah tertutup rapat
- Khasiat dan Penggunaan : Antipelagra

5. Kalsium Pantotenat (Anonim, 1979: 126)


- Sinonim : Calcii Pantothenas
- Pemerian : Serbuk putih, tidak berbau; rasa pahit; agak
higroskopik
- Kelarutan : Mudah larut dalam air; praktis tidak larut
dalam etanol (95%) P, dalam kloroform P dan dalam eter P; larut
dalam gliserol P.
- Penyimpanan : Dalam wadah tertutup rapat
- Khasiat dan Penggunaan : Komponen vitamin B-kompleks

6. Metil Paraben (Anonim, 1979: 378)


- Sinonim : Methylis Parabenum, Nipagin.
- Pemerian : Serbuk hablur halus, hampir tidak
berbau, tidak mempunyai rasa, agak membakar diikuti rasa tebal.
- Kelarutan : Larut dalam 500 bagian air, dalam 350
bagian etanol (95%) P dan dalam 60 bagian gliserol P panas, dan 40
bagian minyak lemak nabati panas jika dididihkan larutan tetap
jernih.
- Penyimpanan : Dalam wadah tertutup baik.
- Khasiat dan Penggunaan : Zat pengawet
- Kestabilan : Larutan dari methylparaben pada ph 3-6
disterilisasi dengan autoclaving di 120⁰C selama 20 menit, tanpa
dekomposisi.  Larutan pada ph 3-6 masih stabil ( kurang dari 10 %
dekomposisi ) sampai sekitar 4 tahun pada suhu kamar, sementara
larutan pada ph 8 atau di atasnya lebih cepat terhidrolisis ( 10 % atau
lebih setelah sekitar 60 hari penyimpanan pada suhu kamar ) (HOPE
6th ed, 2009).
- OTT : Bentonite, Mg trisilicat, talk, tragacant, Na-
alginant, essensial oil, sorbitol, atropine

7. Aqua Pro Injection (Anonim, 1979: 97)


- Sinonim : Air untuk injeksi
- Pemerian : Cairan jernih tidak berwarna, tidak berbau,
tidak mempunyai rasa.
- Penyimpanan : Dalam wadah tertutup baik.
- Khasiat dan Penggunaan : Sebagai pelarut untuk injeksi
- Stabilitas : air stabil pada semua jenis subtansi
- OTT : air dapat bereaksi dengan alkali

2.2. Formulasi
2.2.1. Formulasi Standar (Anonim, 1978: 303)

R/ Thiamini Hydrochloridum 2mg

Riboflavinum 2mg

Pyridoxini Hydrochloridum 2mg

Nicotinamidum 20mg

Pantothenolum setara dengan Calcii Pantotenas 10mg

Zat tambahan yang cocok secukupnya

Aqua pro Injection hingga 1ml

Penyimpanan: Dalam wadah dosis tunggal atau wadah dosis ganda, terlindung
dari cahaya, ditempat sejuk.

Catatan :
- dapat ditambahkan Metil Paraben 0,1% b/v
- pH 3,8 sampai 4,2
- disterilkan dengan Cara Sterilisasi A atau C
- digunakan tidak lebih dari 1 tahun

2.2.2. Formulasi Akhir

R/ Thiamini Hydrochloridum 10mg


Riboflavinum Natrium Fosfat 10mg
Pyridoxini Hydrochloridum 10mg
Nicotinamidum 100mg
Calcii Pantotenas 50mg
Metil Paraben 0,1%
Aqua pro Injection hingga 5ml

2.3. Alasan Penggunaan Bahan


2.3.1. Penggunaan Bahan Aktif
1. Thiamin HCl : Sebagai zat aktif yang diindikasikan pada pasien yang
mengalami defisiensi thiamin. Thiamin berguna untuk pengobatan
berbagai neuritis yang disebabkan oleh defisiensi thiamin.
2. Riboflavin Na. Fosfat : Sebagai zat aktif yang digunakan untuk mencegah
ataupun mengobati defisiensi Vitamin B₂. Digunakan Riboflavin Na.
Fosfat karena kelarutannya lebih mudah larut dalam air daripada
Riboflavin.
3. Piridoksin HCl : Sebagai zat aktif yang digunakan untuk mencegah
ataupun mengobati defisiensi Vitamin B₆ juga diberikan bersama Vitamin
B lainnya, atau lebih dikenal sebagai multivitamin B.kompleks.
4. Nicotinamid : Zat aktif yang berguna sebagai antipelagra
5. Calcii Pantotenat: Sebagai zat aktif yang digunakan untuk mencegah
ataupun mengobati defisiensi Vitamin B₁₂ juga diberikan bersama Vitamin
B lainnya, atau lebih dikenal sebagai multivitamin B.kompleks.
2.3.2. Penggunaan Bahan Tambahan
1. Metil Paraben : Digunakan sebagai zat tambahan yang berfungsi sebagai
pengawet.
2. Aqua Pro Injeksi : Sebagai pelarut dalam sediaan steril.

2.4. Cara Sterilisasi


Dilakukan dengan metode sterilasasi A atau C ( sterilisasi akhir ) karena zat
aktif tahan terhadap pemanasan.
2.5. Perhitungan Tonisitas dan Penimbangan
2.5.1. Tonisitas dengan Metode Titik Beku
0,52−( b 1.c 1)
B¿
b2
0,52−(0,139.0,002+ 0,04.0,002+ 0,213.0.002+0,148.0 .02+0,1.0,01)
B¿
0,576
0,52−( 0,004744)
B¿
0,576
0,515
B¿ = 0,894 gram/100mL (hipotonis)
0,576

2.5.2. Penimbangan bahan


- Thiamin HCl : 0,01g
- Riboflavin Na. Fosfat : 0,01g
- Piridoksin HCl : 0,01g
- Nicotinamid : 0,1g
- Calcii Pantotenat : 0,05g
- Metil Paraben : 0,005g
- Aqua p.i ad 5 mL
- Zat pengisotonis : 0,0447g

2.6. Prosedur Kerja

Membuat API dengan cara memanaskan aquades sampai mendidih.


Timbang zat aktif dan zat tambahan menggunakan kaca arloji, kemudian
masukkan ke dalam gelas piala. Kaca arloji kemudian dibilas. Tuangkan sebagian
air steril untuk melarutkan zat yang ditimbang. Cek pH larutan. Basahi kertas
saring dengan sedikit API sebelum digunakan. Larutan zat dituangkan ke dalam
gelas ukur, catat volume larutan. Pindahkan corong ke Erlenmeyer lain yang
bersih. Saring larutan kedalam Erlenmeyer. Sisa air untuk membilas gelas piala.
Masukkan larutan kedalam vial menggunakan spuit. Sterilkan sediaan kedalam
otoklaf pada suhu 121⁰C selama 15 menit. Kemudian dievaluasi sediaan meliputi
uji pH, uji kejernihan, uji keseragaman volume dan uji kebocoran. Setelah di
evaluasi, kemas sediaan.
BAB III
ISI

3.1. Definisi Injeksi


Menurut Farmakope Indonesia Edisi III, injeksi adalah sediaan steril
berupa larutan,emulsi, suspensi atau serbuk yang harus dilarutkan atau
disuspensikan terlebih dahulu sebelumdigunakan, yang disuntikkan dengan
cara merobek jaringan ke dalam kulit atau melalui kulit ataumelalui selaput
lender (Anonim, 1979).
Sedangkan menurut Farmakope Indonesia Edisi IV, injeksi adalah
injeksi yang dikemas dalam wadah 100 mL atau kurang. Umumnya hanya
laruitan obat dalam air yang bisa diberikan secara intravena. Suspensi tidak
bisa diberikan karena berbahaya yang dapat menyebabkan penyumbatan pada
pembuluh darah kapiler (Anonim, 1995).
Sediaan steril injeksi dapat berupa ampul, ataupun berupa vial. Injeksi
vial adalah salah satu bentuk sediaan steril yang umumnya digunakan pada
dosis ganda dan memiliki kapasitas atau volume 0,5 mL – 100 mL. Injeksi
vial pun dapat berupa takaran tunggal atau ganda dimana digunakan untuk
mewadahi serbuk bahan obat, larutan atau suspensi dengan volume sebanyak 5
mL atau pun lebih.
Botol injeksi vial ditutup dengan sejenis logam yang dapat dirobek
atau ditembus oleh jarum injeksi untuk menghisap cairan injeksi. Injeksi
intravena memberikan beberapa keuntungan (Voigt, 1994) :
1. Efek terapi lebih cepat .
2. Dapat memastikan obat sampai pada tempat yang diinginkan.
3. Cocok untuk keadaan darurat.
4. Untuk obat-obat yang rusak oleh cairan lambung.
3.2. Syarat Pembuatan Injeksi Vial
Syarat pembuatan injeksi vial antara berikut:

1. Steril, yaitu sediaan vial harus bebas dari mikroorganisme yang bersifat
patogen yang dapat mengurangi khasiat sediaan vial.
2. Bebas bahan partikulat, yaitu bebas dari bahan asing atau bahan yang tidak
larut agar tidak terjadi penyumbatan pada pembuluh darah saat digunakan.
3. Mengandung zat pengawet, sediaan vial memungkinkan pengambilan
secara berulang. Umtuk itu, harus digunakan bahan pengawet untuk
mempertahankan khasiat zat aktif.
4. Stabil, tidak berubah khasiat obat setelah pengambilan obat secara
berulang kali dan tidak berubah bentuk atau pH dari sediaan vial.
5. Harus isotonis, sediaan vial merupakan sediaan parenteral. Untuk itu,
sediaan vial harus isotonis atau sesuai dengan pH darah agar tidak terjadi
hipertonis (penyempitan pembuluh darah) atau hipotonis (pembesaran
pembuluh darah) yang dapat menyebabkan pecahnya pembuluh darah.

3.3. Pembawa obat suntik

Syarat-syarat untuk pembawa obat suntik yaitu sebagai, berikut :

1. Harus inert secara farmakologi 


2. Dapat diterima dan diserap dengan baik oleh tubuh 
3. Tidak toksis dalam jumlah yang disuntikkan dan tidak merangsang
4. Tidak mengganggu khasiat obat
5. Tidak bereaksi untuk identifikasi dan penetapan kadar
6. Tidak mempengaruhi aktivitas obat
7. Tidak mengiritasi 

Zat pembawa terbagi atas, yaitu :

a. Zat pembawa berair : umumnya digunakan aqua pro injeksi. Selain itu
dapat digunakan NaCl pro injeksi, glukosa pro injeksi, dan NaCl
compositus pro injeksi.
b. Zat pembawa bukan air: umumnya digunakan minyak untuk injeksi
misalnya oleum sesami, oleum olivarum, oleum arachidis.
c. Zat pembawa minyak
d. Zat pembawa lain: yaitu alcohol, propilen glikol, gliserin, poli etilen
glikol, dan etil alcohol. 

3.4. Pengujian dan Evaluasi Sediaan

Obat suntik yang telah diproduksi memerlukan pengujian kualitas obat suntik
meliputi :

1. Kekedapan

Ampul yang telah disterilkan sering kali memiliki celah atau retakan yang
tidak terlihat oleh mata atau secara mikroskopik, khususnya pada lokasi
penutupan ampul. Celah atau retakan merupakan sumber bahaya bagi kontaminasi
larutan injeksi. Ampul dikumpulkan dalam bak 3 liter dan dimasukkan larutan
metilen biru (0,08-0,09%), yang dicampur dengan 0,9% benzyl alcohol dan 3 ppm
sodium hypochlorite. Kemudian, bak ditutup dan divakumkan dengan tekanan 70
mmHg (0.96 kg/sq.cm) selama beberapa menit, tidak lebih dari 15 menit.
Selanjutnya, bak dinormalkan kembali, lalu dibuka. Perhatikan apakah ampul
diwarnai oleh larutan bahan pewarna atau setelah pencucian ampul diwarnai oleh
bahan pewarna. Dengan adanya celah-celah kapiler, larutan bewarna akan masuk,
sehingga mewarnai ampul dan menandakan ampul rusak. Pada ampul bewarna
diuji dengan larutan yang berflourosensi yang diakhiri dengan pengamatan pada
cahaya UV.

2. Kejernihan (pengotoran tidak larut dan bahan melayang)

Pengujian dilakukan secara visual. Ampul atau botol diputar 180°


berulang-ulang di depan suatu background yang gelap dan sisinya diberi cahaya.
Bahan melayang akan berkilauan bila terkena cahaya. Pencahayaan menggunakan
lampu Atherman atau lampu proyeksi dengan cahaya 1000 lux-3500 lux dan jarak
25 cm. Background gelap atau hitam. Umur petugas yang bekerja harus <40
tahun, sehat, dan setiap tahun harus periksa mata.
3. Zat aktif

Pengujian dapat dilakukan dengan volumetric, spektrofotometer, HPLC,


atau alat lainnya yang cocok secara kuantitatif dengan standar Farmakope.

4. Sterilitas

Pengujian dilakukan secara mikrobiologis dengan menggunkan


medium pertumbuhan tertentu. Produk dikatakan bebas mikroorganisme
bila Sterility Assuranve Level (SAL) = 10⁻⁶ atau 12 log reduction (over kill
sterilization). Bila proses pembuatan menggunakan aseptic (aseptic
processing), maka SAL =10⁻⁴.

5. Pirogenitas

Pengujian dilakukan dengan tes kelinci (FI) dan tes limulus.

6. Keseragaman volume

Pengujian dilakukan dengan alat ukur volume. Larutan tiap wadah


harus sedikit lebih dari volume yang tertera pada etiket. 

7. Keseragaman bobot

Hilangkan etiket 10 wadah; cuci bagian luar wadah dengan air; keringkan
pada suhu 1050C; timbang satu persatu dalam keadaan terbuka; keluarkan isi
wadah; cuci wadah dengan air, kemudian dengan eatnol 95%; keringkan lagi pada
suhu 1050C sampai bobot tetap; dinginkan dan kemudian timbang satu per satu.
Bobot isi wadah tidak boleh menyimpang lebih dari batas tertentu, kecuali satu
wadah yang boleh menyimpang tidak lebih dari 2 kali batas yang tertentu.

8. pH

Pengujian dilakukan dengan menggunakan kertas lakmus atau kertas


universal (secara konvensional) atau dengan alat pH meter.

9. Homogenitas

Pengujian homogenitas diberlakukan bagi suspensi yang harus


menunjukkan tampak luar homogenya setelah pengocokan dalam waktu tertentu
menggunakan alat Viskometer Brookfield, sedangkan pengujian homogenitas
emulsi dilakukan secara visual.

10. Toksisitas (Khusus untuk produk baru)

Dilakukan pemeriksaan dengan anak udang LD₅₀.

BAB IV
KESIMPULAN

1. Formulasi injeksi vitamin B-kompleks terdiri atas Thiamina HCl,


Riboflavin Na. Fosfat, Piridoksina HCl, Nicotinamida, Kalsium
Pantotenat, Metil Paraben, dan API serta zat pengisotonis.
2. Injeksi vitamin B-kompleks diindikasikan untuk pasien yang defisiensi
vitamin B.
3. Injeksi vitamin B-kompleks dievaluasi dengan beberapa uji meliputi: uji
pH, uji kekedapan, uji keseragaman volume, uji kejernihan, uji
homogenitas, uji pirogenitas, uji sterilitas, uji zat aktif dan toksisitas.
Daftar Pustaka
Allen, L. V., 2009, Handbook of Pharmaceutical Excipients, Sixth Edition, Rowe
R. C., Sheskey, P. J., Queen, M. E., (Editor). London: Pharmaceutical Press and
American Pharmacists Assosiation
Anonim, 1978. Formularium Nasional Edisi Kedua. Jakarta: Depkes RI
Anonim, 1979. Farmakope Indonesia Edisi Ketiga. Jakarta: Depkes RI
Ansel, Howard C. 1989. Pengantar Bentuk Sediaan Farmasi Edisi Keempat.
Jakarta: UI-Press
Reynolds, J.E.F (editor), 1982, Martindale The Extra Pharmacopoeia, Edisi 28,
London: The Pharmaceutical Press
Voigt, R. 1994. Buku Pelajaran Teknologi Farmasi Edisi Kelima. Yogyakarta:
UGM-Press

Anda mungkin juga menyukai