Anda di halaman 1dari 82

ANALISIS SEDIMEN SUB DAS NGRANCAH BAGIAN HULU

TERHADAP PERKEMBANGAN GRADED PROFILE, DENGAN


PENDEKATAN ARTIFICIAL NEURAL NETWORK

Oleh :
Wiji Prasetio
2008
INTISARI

Proses erosi, transportasi, dan sedimentasi pada suatu DAS memerlukan


waktu untuk sampai pada suatu kondisi steady yakni tercapainya keseimbangan
atas besar erosi dengan sedimen yang terangkut. Analisis pada Sub DAS Tirto
yang merupakan bagian hulu dari sungai utama Sub DAS Ngrancah bertujuan
untuk mengetahui apakah sungai telah mencapai graded profile. Untuk
membuktikan hal tersebut maka dipergunakanlah analisis sediment delivery ratio
(SDR) dan artificial neural network (ANN) dengan bentuk perambatan galat
mundur (backpropagation).
Metode yang digunakan meliputi; analisis erosi permukaan, analisis debit
aliran dan analisis kadar suspensi dengan cara regresi linear sederhana dengan
mengubah persamaan garis lurus (linear) menjadi persamaan logaritmik
(eksponensial) untuk mengetahui hubungan antara variabel bebas yaitu debit
aliran (Qa) dan curah hujan dengan muatan suspensi dan erosi permukaan sebagai
variabel terpengaruh. Hal ini dilakukan sebagai data pendukung untuk
menjelaskan debit aliran sungai Sub DAS Tirto.
Sungai pada daerah penelitian belum mencapai graded profile, hal ini
berdasarkan penampang melintang sungai yang belum berbentuk concave
longitudinal (cekung memanjang). Berdasarkan analisa SDR bahwa sungai
mengalami agradasi saat hujan (erosi lahan lebih kecil dari hasil sedimen pada
sungai) dan degradasi pada saat tidak hujan (erosi lahan lebih besar dari hasil
sedimen pada sungai) yang mengindikasikan belum mencapai graded profile.
Dalam analisa ANN model backpropagation dengan input data erosi
permukaan dan hasil sedimen, hasil analisa mengindikasikan kondisi ungraded.
Hasil dari analisa menggunakan SDR, ANN maupun penampang melintang
sungai menunjukkan ungraded. ANN memiliki kelebihan karena mendasarkan
pada data SDR sampai didapatkan bobot dan bias yang sesuai sehingga bila ada
penelitian yang tidak mendasar pada data SDR dapat langsung memasukkan data
numerik erosi permukaan dan transport sedimen dengan bobot dan bias yang telah
didapatkan.

Kata kunci : graded profile, artificial neural network, backpropagation, erosi


permukaan, hasil sedimen.
ABSTRACT

Erosion, transportation and sedimentation processes within a wathershed


need time to reach a steady state condition, that is balance between erosion and
sediment transport rate. The analysis of Tirto sub watershed that upstream a part
of Ngrancah catchment area aim to know wether that river has steady that mean
in graded profile. To prove the goal of study, the sediment delivery ratio (SDR)
and artificial neural network (ANN) are used with a backpropagation form.
The method used consist of surface erosion analysis, water discharge
analysis, and suspended load analysis by using simple linear regression by
chance a linear regression in to logaritmic equation equation in order to
understand the relationship between independent variables i.e. discharge
characteristic and rainfall and suspended load and surface erosion as a
dependent variables. This matter is done as a supported data to explain the
stream discharge characteristic of Tirto sub watershed.
The stream on research area has’nt graded profile yet, this matter based on
longitudinal profile has’nt concave longitudinal yet of stream. Based on sediment
delivery ratio analysis, the stream commonly is already reached agradasion when
rain happened (land erosion smaller than yield sediment at channel) and
commonly reached degradasion when rain not happened (land erosion bigger
than yield sediment at channel) but they are not graded profile yet. Variables
input used in artificial neural network analysis with backpropagation form are
surface erosion and sediment yield that indicated ungraded.
Used SDR, ANN and longitudinal profile of stream analysis result ungraded.
But the ANN have excess because based on data of SDR taken by appropriate
diffraction and wight so that if there are any research which is not elementary at
data of SDR earn direct entering of numerik surface erosion and transport
sediment data with diffraction and wight which have been taken.

Keyword : graded profile, artificial neural network, backpropagation, surface


erosion, sediment yield.
BAB I
PENDAHULUAN

.1. Latar Belakang


Tanah dapat tererosi, yakni terlepas dari lokasinya oleh tenaga angin, air,
gaya gravitasi, dan aktivitas manusia. Erosi air dimulai dengan pelepasan partikel-
partikel tanah oleh hempasan percikan air hujan. Energi kinetik dari butiran air
yang jatuh dapat memercikkan partikel tanah ke udara. Pada tanah yang datar,
partikel-partikel tersebut disebarkan secara merata ke segala arah dan diendapkan
kembali, tetapi pada tanah yang miring, terjadi suatu pengangkutan ke bawah
searah lereng. Apabila terjadi aliran permukaan, sebagian partikel-partikel tanah
yang telah lepas akan terbawa dalam air yang mengalir dan bahkan bergerak lebih
jauh ke bawah sebelum berhenti di atas permukaan tanah. Aliran permukaan
bersifat laminer dan tidak mampu untuk melepas partikel-partikel tanah dari
agregatnya, tetapi dapat menggerakkan partikel-partikel tanah yang sudah terlepas
di permukaan. Proses-proses percikan dan aliran permukaan itulah yang
menyebabkan erosi lembar (sheet erosion), yakni degradasi permukaan tanah
yang relatif merata. Erosi lembar sulit dideteksi, kecuali apabila permukaan
tanahnya berada di bawah tanda-tanda tanah lama pada tiang-tiang pagar, akar-
akar pohon yang terlihat, atau pilar-pilar kecil dari tanah yang tertutup oleh batu-
batuan yang masih ada. (Linsley, 1964 dalam Hermawan 1996; hal.300-301)
Material yang terangkut aliran sungai dapat dibedakan menjadi dua, yaitu
material yang bergerak dekat dan selalu menyentuh dasar sungai sebagai muatan
dasar dan sebagian bergerak melayang-layang disebut muatan suspensi. Jadi,
jumlah seluruh material yang berasal dari erosi dan terangkut air melalui sungai
adalah merupakan muatan sedimen (Chow, 1964; p.11-17)
Penyesuaian suatu sungai terhadap berbagai kondisi aliran mencerminkan
morfologi suatu sungai seperti profil yang mendatar dan melintang. Suatu arus
sungai dikatakan ungraded jika profil yang memanjang tidak seimbang. Pada
suatu sungai apabila kecepatan aliran meningkat maka erosi akan terjadi dan
menurunkan gradien, dan ketika kecepatan aliran menurun agradasi terjadi,

3
menaikkan lereng sungai. Suatu profil sungai yang datar akan dapat menampung
kapasitas sedimen transport, sungai seperti ini dapat dikatakan sebagai graded
profile. Beberapa geolog sudah mencari tahu ada atau tidaknya suatu arus pernah
mencapai suatu keseimbangan nyata diantara beban dan kemampuan untuk
mengangkut. Gilbert (1877, dalam Morisawa, 1968) menyebutkan bahwa kondisi
ini sulit untuk memelihara sungai manapun yang selalu mengikis atau
mengendapkan. Sebagai gantinya, telah diusulkan oleh Wolman (1955, dalam
Morisawa, 1968) bahwa suatu sungai menjangkau hampir setiap keseimbangan
dengan adanya fluktuasi atau pergantian keseimbangan. Juga, sejak bagian dari
sungai mungkin setimbang sedangkan pada rentang lain tidak, keseluruhan profil
sendiri tidaklah seimbang. Davis (1909, dalam Morisawa, 1968) menyadari bahwa
keseimbangan tidaklah tepat, itu bukanlah perkiraan matematis. Mackin (1948,
dalam Morisawa, 1968) mempertahankan keseimbangan itu dengan suatu
penekanan atas periode lama waktu. Suatu sungai mampu mengubah karakter
banjir atau aggrade itu selama periode dari arus rendah, tetapi melihat selama
periode yang cukup panjang untuk meliputi semua fluktuasi debit yang temporer
di keseimbangan dinamis adalah berlebih-lebihan (Morisawa, 1968; p.122-126).
Artificial Neural Network (ANN) atau jaringan saraf tiruan juga dikenal
sebagai model free estimator, karena dibandingkan dengan cara perhitungan
konvensional, ANN tidak memerlukan atau menggunakan suatu model matematis
atas permasalahan yang dihadapi. ANN juga dikenal sebagai kotak hitam (black
box technology) atau tidak transparan (opaque) karena tidak dapat menerangkan
bagaimana suatu hasil didapatkan. Hal inilah yang membuat ANN mampu
digunakan untuk menyelesaikan persoalan yang tidak terstruktur dan sulit
didefinisikan. Kenyataan inilah yang menyebabkan ANN telah meluas dipakai
sebagai alat bantu memecahkan masalah pada berbagai bidang disiplin ilmu
(Hermawan, 2006; hal.3-4)
Daerah penelitian berada pada bagian hulu dari sungai utama Sub DAS
Ngrancah yang merupakan inlet utama dari Waduk Sermo, Kecamatan Kokap,
Kabupaten Kulonprogo dengan luas 1,64 km2 atau 164 ha.. Daerah ini memiliki
ketinggian rata-rata sebesar 408,33 mdpal yang dipertimbangkan memiliki

4
konfigurasi relief yang relatif seragam berupa perbukitan dengan besar orde
sungai adalah 2. Selain itu terdapat 2 bentuklahan (perbukitan denudasional
andesit tertoreh kuat (D1) dan perbukitan denudasional andesit tertoreh sedang
(D4)), 3 macam/jenis penggunaan lahan (Perkebunan, permukiman, dan
semak/belukar) dan 2 macam jenis tanah (typic eutropepts dan kompleks
troporthent-eutropepts).
Menurut Supriyanto (1991) berdasarkan metode plot erosi pada perbukitan
denudasional andesit tertoreh kuat dan perbukitan denudasional andesit tertoreh
sedang dengan penggunaan lahan berupa kebun campuran memiliki tingkat erosi
permukaan ringan, hal tersebut karena tanah yang tererosi banyak tertahan pada
akar tanaman. Sedangkan daerah penelitian memiliki jenis penggunaan lahan
berupa kebun campuran sebesar 95,73% dengan kerapatan tinggi hingga sedang
sehingga diharapkan hal ini dapat berfungsi mengurangi proses erosi yang terjadi.
Tingkat erosi permukaan yang besar terdapat pada daerah tegalan. Sedangkan
pada inlet Waduk Sermo memiliki sediment yield yang besar sehingga perlu untuk
mempelajari keterkaitan besar erosi dengan besar sedimen.

.2. Perumusan Masalah


Berdasarkan latar belakang masalah tersebut di atas, maka penelitian ini
akan mempelajari tentang :
1. Apakah sungai orde 1 dapat digunakan untuk menentukan graded profile.
2. Bagaimana graded profile dapat terbentuk pada daerah penelitian.
3. Seperti apa penggunaan ANN dalam menentukan kondisi graded profile
suatu DAS.
Berpangkal dari permasalahan yang ada, maka penulis mencoba
mempelajari lebih lanjut dalam penelitian yang berjudul “Analisis Sedimen Sub
DAS Ngrancah Bagian Hulu Terhadap Perkembangan Graded Profile, Dengan
Pendekatan Artificial Neural Network”.

.3. Tujuan Dan Kegunaan Penelitian


1.3.1. Tujuan Penelitian
1. Mengkaji sungai orde satu untuk menentukan graded profile.

5
2. Mengkaji besar erosi permukaan dan transport sedimen, serta faktor-faktor
yang mempengaruhinya.
3. Analisis ANN untuk menentukan graded profile.
1.3.2. Kegunaan Penelitian
1. Untuk pengembangan ilmu pengetahuan, khususnya untuk pengembangan
ilmu geomorfologi dan hidrologi.
2. Memberikan informasi tentang status sungai dan pemanfaatannya serta
bahayanya.
3. Mengetahui besar energi erosi, transportasi dan pengendapan sedimen.
4. Untuk pembangunan, khususnya bagi pemerintah daerah setempat dalam
memberikan kebijakan daerah manfaat sungai dan pembuatan hierarki tata
ruang sungai.

.4. Tinjauan Pustaka


1.4.1. Konsepsi Graded Profile
a. Graded Profile
Suatu sungai akan memodifikasi salurannya baik dengan pengikisan atau
pengendapan sampai pada suatu keseimbangan yang dicapai antara energi dan
resistensi. Gugleielmi (1909, dalam Morisawa, 1968) menyatakan bahwa graded
profile, cekung dan kemiringannya berbeda menurut kecepatan aliran, beban, dan
ukuran material dasar. Hettner (1952, dalam Morisawa, 1968) menyatakan bahwa
graded profile sebagai kemiringan yang ditentukan oleh suatu hubungan dimana
daerah tangkapan dan debit aliran seimbang antara erosi dan transport sedimen.
Profil sungai yang terjadi, dalam kenyataannya akan lebih curam karena pengaruh
dari besarnya arus pada saat banjir. Dalam tulisan ini, Gilbert (1877, dalam
Morisawa, 1968) mencatat bahwa kemampuan sungai untuk mengerosi telah
proporsional apabila telah mencapai batuan yang resisten akan menuju kepada
keseimbangan. Sungai dapat menyesuaikan dirinya sendiri dari pengaruh tekanan
yang berasal dari cabang sungai bagian hulu. Sistem di dalam suatu sungai saling
mempengaruhi satu sama lain. Pola fikirnya adalah bahwa perubahan lereng
sangat penting terhadap status sungai, sungai tidak dapat menyisakan sedikit

6
keseimbangan, karena arus kehilangan kekuatan untuk mengerosi dan
mengangkut sedimen, dan menyatakan bahwa suatu arus tidak dapat seimbang
kecuali jika energi yang hilang oleh erosi dan transportasi dikembalikan oleh
peningkatan energi dari suatu kemiringan lereng.
b. Criteria for Grade
Dalam menentukan suatu sungai telah mencapai suatu kondisi steady, kini
tidak bisa lagi menggunakan profil berbentuk concave longitudinal sebagai
indikasi, sebab telah ditunjukkan bahwa sungai itu memiliki profil tidak beraturan
pada suatu bentukan yang sama. Wolman (1955, dalam Morisawa, 1968) sebagai
contoh, telah menentukan sungai Brandywine Creek telah mencapai grade; namun
profilnya sangat tidak beraturan. Jadi, walaupun profil sungai ungrade, masih
mungkin memiliki saluran yang stabil. Selain ketidakteraturan profil, banyak
partikel yang bergerak dari dasar saluran telah digantikan oleh yang lain. Oleh
karena itu, satu ukuran grade akan mempengaruhi stabilitas saluran, atau
kecendrungan saluran untuk memperoleh kembali bentuk yang sama setelah suatu
siklus dari keseimbangan hydraulic.
Lokhtine (1930, dalam Morisawa, 1968) telah mencoba untuk menetapkan
suatu ukuran stabilitas, atau koefisien mendalam, untuk menentukan apakah
saluran sungai stabil atau tidak. Kesimpulannya, jika perbandingan rata-rata
ukuran butir pada kemiringan sungai pada saluran yang ditentukan adalah rendah,
saluran akan tidak stabil. Jika ukuran butir-perbandingan kemiringan tinggi,
sungai akan stabil.
c. The Stable Channel
Bentuk dari saluran bergantung di atas sejumlah faktor. Ada kemiringan,
kekasaran, percepatan, distribusi percepatan, boundary share dan discharge. Itu
tergantung pada penyesuaian kedalaman dan lebar dari sisi lereng sungai. Material
terangkut adalah penting, seperti halnya bagaimana diangkut. Itu tergantung atas
kelurusan atau sinuosity saluran dan keseragaman arus. Dan akhirnya tergantung
pada resistensi batuan induk dan dasar erosi.

7
d. Penyesuaian Dalam Aliran Graded
Sungai akan melakukan penyesuaian kepada kondisi-kondisi yang baru
dengan mengubah kemiringan, potongan melintang, kekasaran dasar sungai,
panjang atau pola saluran sungainya. Mungkin tiap kombinasi dari karakteristik
ini dapat memelihara kemampuan untuk mengangkut dan membawa beban.
Jika suatu arus harus meningkatkan kapasitas atau kemampuannya, mungkin
melakukannya dengan perlahan pada gradiennya. Dalam suatu perubahan aliran
gradien saluran dikendalikan struktur. Pemisahan melanjut ke hulu tetapi menjadi
semakin lebih sedikit sampai profil yang baru membentuk kemiringan asal.
Kemiringan keseimbangan yang baru tergantung pada gradien yang asli, pada
lebar saluran di struktur kendali, dan pada tingginya gradien dalam bagian dari
saluran yang asli.
Leopold & Maddock (1955, dalam Morisawa, 1968) menemukan bahwa suatu
perubahan penetapan keseimbangan baru dengan perubahan potongan melintang
saluran dan kekasaran, bukan oleh suatu perubahan kemiringan.
Rubey (1933, dalam Morisawa, 1968) telah meringkas situasi itu dalam apa
yang mungkin disebut suatu persamaan grade.
SF = Kla Db / Qc ....1.1
S adalah nilai kemiringan, F adalah perbandingan bentuk yang mempunyai
kapasitas yang terbesar untuk beban melayang, L adalah jumlah beban. D adalah
diameter rata-rata material dasar, Q adalah debit aliran. Setiap perubahan pada
bagian sisi kanan akan menyebabkan perubahan komposisi manapun pada kedua
sisi kiri. Kita dapat meninjau kembali persamaan ini untuk membaca;
nSF = Kla Db / Qc ....1.2
n adalah kekasaran saluran.
Suatu arus yang telah mencapai posisi mantap (steady state), akan bertahan
untuk memelihara kemampuan dan kapasitasnya sedemikian rupa. Sehingga
sepadan dengan yang diperlukan itu untuk mengangkut beban melayang, dengan
debit tersedia. Pengerjaan ini timbal balik penyesuaian ke dalam profil
memanjang, cross-sectional morfologi, dan kekasaran saluran. (Morisawa, 1968 ;
p.120-133)

8
1.4.2. Konsepsi Artificial Neural Network (ANN)
Pemecahan sebuah model pengambilan keputusan melibatkan pencarian
terhadap suatu tindakan tepat. Pendekatan pencarian melibatkan teknik analitik
(memecahkan suatu formula), algoritma (prosedur langkah-demi langkah),
heuristik (aturan utama), dan blind search (menembak di dalam gelap, idealnya
didalam suatu cara yang logis). Masing-masing alternatif harus dievaluasi. Jika
suatu alternatif mempunyai berbagai tujuan, maka semua tujuan harus diuji dan
seimbang jika dihadapkan dengan yang lainnya. Analisis sensitivitas digunakan
untuk menentukan ketangguhan sembarang alternatif yang diberikan (sedikit
perubahan dalam parameter idealnya mendorong ke sedikit atau tidak ada
perubahan dalam alternatif yang dipilih). Analisis bagaimana-jika digunakan
untuk menyelidiki perubahan utama dalam parameter. Penetapan tujuan
membantu menentukan nilai-nilai variabel keputusan untuk memenuhi suatu
sasaran spesifik. (Turban, et.al.2005; p.92)
Jaringan saraf tiruan didefinisikan sebagai suatu sistem pemrosesan informasi
yang mempunyai karakteristik menyerupai jaringan saraf manusia (Hermawan,
2006; hal.3). Berbeda dengan metode lain, algoritma untuk jaringan saraf tiruan
beroperasi secara langsung dengan angka sehingga data yang tidak numerik harus
diubah menjadi data numerik.
Menurut Hermawan (2006, hal.11-13) Fungsi aktivasi merupakan bagian
penting dalam tahapan perhitungan keluaran dari suatu algoritma. Beberapa fungsi
aktivasi yang digunakan dalam jaringan saraf tiruan adalah;
1. Fungsi identitas (1.3)
f(x) = x, untuk semua x
2. Fungsi undak biner (dengan batas ambang) (1.4)

1 untuk x ≥ θ
f(x) =
0 untuk x < θ

3. Fungsi sigmoid (1.5)


1
f(x) =
1  exp   .x 

9
f(x) = σ f (x) [1-f(x)]
Dengan σ adalah konstanta
4. Fungsi sigmoid bipolar (1.6)
2 1  exp   . 
g(x) = 2 f (x) – 1 = =
1  exp   .  1  exp   . 


g’(x) = [1 + g(x)] [1 – g(x)] dengan; σ = konstanta
2
Perhitungan kesalahan merupakan pengukuran bagaimana jaringan dapat
belajar dengan baik sehingga jika dibandingkan dengan pola yang baru akan
dengan mudah dikenali. Kesalahan pada keluaran jaringan merupakan selisih
antara keluaran sebenarnya (current output) dan keluaran yang diinginkan
(desired output). Sum Square Error (SSE) dihitung sebagai berikut :
i. Hitung keluaran jaringan saraf untuk masukan pertama.
ii. Hitung selisih antara nilai keluaran jaringan saraf dan nilai target/yang
diinginkan untuk setiap keluaran.
iii. Kuadratkan setiap keluaran kemudian hitung seluruhnya. Adapun
rumusnya adalah :

 T X jp 
2
SSE = jp  (1.7)
p j

Dengan; Tjp = nilai keluaran jaringan saraf


Xjp = nilai target/yang diinginkan untuk setiap keluaran
Root Mean Square Error (RMS Error) :
i. Hitung SSE
ii. Hasilnya dibagi dengan perkalian antara banyaknya data pada pelatihan
dan banyaknya keluaran, kemudian diakarkan. Rumusnya adalah :

 T X jp 
2
jp 
p j
RMS Error = (1.8)
np no

Dengan : Tjp = Nilai keluaran jaringan saraf


Xjp = nilai target/yang diinginkan untuk setiap keluaran
np = jumlah seluruh pola no = jumlah keluaran

10
1.4.3. Penelitian Sebelumnya
L. Sudaryono (1983), melakukan penelitian dengan judul “Hubungan
penggunaan lahan dan kemiringan lereng dengan kadar muatan suspensi aliran
sungai DAS Ngrancah Kabupaten Kulon Progo”. Penelitian tersebut bertujuan
untuk mempelajari hubungan penggunaan lahan dan kemiringan lereng dengan
kadar muatan suspensi aliran sungai dalam suatu daerah aliran dan hubungan
penggunaan lahan dan kemiringan lereng terhadap intensitas erosi dalam rangka
mencari daerah-daerah erosi yang merupakan sumber material suspensi. Data
primer didapat dari 8 lokasi penelitian. Untuk pengambilan sampel air dilakukan
menurut cara Gilmour dengan menggunakan 8 perangkat single stage sampler.
Analisa data yang digunakan adalah analisa statistik dari Dayan (1976, hal.301)
untuk mencari hubungan penggunaan lahan dan kemiringan lereng dengan kadar
muatan suspensi, yaitu mencari nilai a dan b, dan koefisien korelasi (r) yang
kemudian dilakukan uji t-test terhadap nilai b dan r pada signifikansi 99%.
Supriyanto (1991), melakukan penelitian dengan judul “Tingkat erosi
permukaan DAS Kokap Kecamatan Kokap Kabupaten Kulon Progo Daerah
Istimewa Yogyakarta”. Penelitian tersebut bertujuan untuk Mengetahui besar dan
tingkat erosi permukaan yang terjadi di DAS Kokap serta mengevaluasi faktor-
faktor yang mempengaruhi besar dan tingkat erosi permukaan yang terjadi.
Pendekatan yang dilakukan adalah metode USLE dan pendekatan plot erosi pada
setiap satuan lahan berdasarkan stratified purposive sampling. Analisa data yang
digunakan adalah analisa statistik dari Dayan (1976, hal.301) untuk mencari
hubungan antara erosivitas hujan-besar erosi permukaan, curah hujan-volume
aliran permukaan, volume aliran permukaan-besar erosi permukaan, yaitu mencari
nilai a dan b, dan koefisien korelasi (r) yang kemudian dilakukan uji t-test
terhadap nilai b dan r pada signifikansi 99%.
Slamet Suprayogi (2003), melakukan penelitian dengan judul ”Prediksi
ketersediaan air menggunakan tank model dan pendekatan artificial neural
network (ANN)”. Penelitian tersebut betujuan untuk memprediksi ketersediaan air
Sub DAS Ciriung tahun 2003/2004 – 2009/2010 yang terdiri dari 3 tahapan; a) uji
efektifitas model evapotranspirasi dengan cara membandingkan 7 model

11
evapotranspirasi, b) penentuan parameter tank model dengan proses optimasi, c)
memprediksi hujan dan evapotranspirasi tahun 2003/2004 – 2009/2010
menggunakan model ANN. Tank model sebagai input untuk memprediksi aliran
total pada periode tersebut. Tank model yang digunakan adalah tank model
standar, terdiri dari 4 lapisan yang tersusun secara vertikal. Pada model tersebut
terdapat 12 parameter, 5 parameter pada lapisan teratas, 3 parameter pada lapisan
2 dan 3, 1 parameter pada lapisan paling bawah. Parameter 1 dan lainnya saling
berinteraksi dan algoritma marquardt digunakan untuk mendapatkan parameter
yang optimum. Prediksi hujan dan evapotranspirasi digunakan pembelajaran
model ANN penjalaran balik (backpropagation) dengan 3 lapisan (masukan,
tersembunyi, keluaran). Pengamatan parameter iklim, hujan dan aliran sangat
efisien menggunakan logger, mudah dianalisis dan data observasi akurat. Hasil uji
model evapotranspirasi menunjukkan bahwa terdapat 3 model yang sangat efektif
diterapkan di daerah penelitian, yaitu model Hargreaves, Turc, dan Jansen-Haise.
Proses optimasi sangat cepat untuk mendapatkan tank model dan didapatkan hasil
yang baik untuk memprediksi total aliran dan komponen aliran. Model ANN
sangat baik untuk prediksi hujan maupun evapotranspirasi bila pada proses
pembelajaran digunakan data yang representatif.
Lebih lanjut mengenai perbandingan antara penelitian yang dilakukan saat ini
dengan penelitian sebelumnya dapat dilihat pada Tabel 1.2 dan Tabel 1.3.
1.4.4. Rumusan Yang Digunakan
Berdasarkan tinjauan pustaka pada sub bab sebelumnya ada beberapa hal
yang dapat diambil sebagai acuan dalam penelitian ini, yaitu;
a. Rumusan Morisawa (1968) berupa konsepsi graded profile yang dapat
diketahui dengan cara membuat penampang melintang sungai dan
keseimbangan antara besar erosi dan besar transpor sedimen.
b. Rumusan Hermawan (2006) dalam jaringan saraf tiruan menggunakan fungsi
aktivasi sigmoid dan Sum Square Error (SSE).
c. Penelitian L. Sudaryono (1983) berupa koefisien korelasi, yaitu untuk mencari
hubungan antar variabel.

12
d. Penelitian Supriyanto (1991), berupa metode plot erosi untuk mengetahui besar
erosi permukaan aktual.
e. Penelitian Slamet Suprayogi (2003), berupa jaringan saraf tiruan model
backpropagation untuk mengambil keputusan apakah sungai mengalami
agradasi atau degradasi.

1.5. Kerangka Pemikiran


Curah hujan merupakan faktor utama penyebab terjadinya erosi yang
kemudian didukung oleh kondisi morfologi wilayah tersebut. Tanah yang tererosi
akan diangkut oleh aliran permukaan untuk kemudian masuk kedalam aliran
sungai. Proses aliran permukaan ini akan membutuhkan waktu untuk mencapai
sungai dan diantara waktu ini memungkinkan terjadinya pengendapan pada
beberapa tempat karena pengaruh lereng maupun vegetasi setempat, sehingga
hasil erosi permukaan dimungkinkan tidak semua akan masuk dalam sungai.
Sungai dapat mengalami degradasi (pengikisan) maupun agradasi
(sedimentasi). Agradasi terjadi jika erosi lahan lebih kecil dari hasil sedimen pada
sungai, sebaliknya Degradasi terjadi jika erosi lahan lebih besar dari hasil
sedimen pada sungai. Untuk mengetahui apakah pada sungai terjadi agradasi atau
degradasi maka dicarilah apa yang disebut sediment delivery ratio (SDR). Pada
suatu ketika dimungkinkan terjadi erosi lahan sama dengan hasil sedimen sungai,
maka kondisi ini disebut sebagai kondisi steady.
Selain dengan menentukan nilai SDR, graded profile suatu sungai
dimungkinkan dapat pula ditentukan dengan cara perambatan galat mundur
(backpropagation) yang merupakan bagian dari jaringan saraf tiruan (artificial
neural network). Cara ini menggunakan data numerik dengan iterasi data numerik
didalamnya. Sebagai input dalam proses backpropagation ini adalah erosi
permukaan dan transport sedimen.
Graded profile dapat diketahui dengan melihat bentuk profil penampang
melintang sungai. Ketika profil berbentuk concave longitudinal (cekung
memanjang) maka sungai dipertimbangkan telah mencapai kondisi grade, jika
profil tidak berbentuk concave longitudinal maka dipertimbangkan sungai tidak

13
dalam kondisi grade. Lebih lanjut mengenai kerangka pemikiran dapat dilihat
pada Gambar 1.1.

Hujan

Erosi

Sedimen

Sediment Delivery Artificial Neural


Ratio (SDR) Network (ANN)

Graded atau Ungraded

Keterangan:

: Input : Proses : Output

Gambar 1.1. Diagram Alir Penelitian


1.6. Hipotesis
1. Graded profile dapat ditentukan untuk sungai orde 1.
2. Graded profile dipengaruhi oleh erosi permukaan, hasil sedimen, dan
waktu.
3. Artificial neural network (ANN) dapat digunakan untuk menentukan
graded profile.

1.7. Pembuktian Hipotesis


a. Graded profile dapat ditentukan untuk sungai orde 1.
Hipotesa ”a” dibuktikan dengan pengambilan sampel dan lokasi penelitian
pada sub das dengan orde 1. Metode plot erosi untuk mengetahui besar erosi
permukaan dan pengukuran debit aliran serta pengambilan sampel suspensi
pada outlet sungai.

14
b. Graded profile dipengaruhi oleh erosi permukaan, hasil sedimen, dan
waktu.
Hipotesa ”b” dibuktikan dengan analisa sediment delivery ratio (SDR).
c. Artificial neural network (ANN) dapat digunakan untuk menentukan
graded profile.
Hipotesa “c” dibuktikan dengan membuat ANN model backpropagation
(perambatan galat mundur) berdasarkan hasil analisa sediment delivery ratio
(SDR).

1.8. Batasan Penelitian


Daerah Aliran Sungai (DAS) adalah suatu daerah yang dialiri oleh sebuah sungai
atau sistem sungai yang saling berhubungan sedemikian rupa, sehingga
aliran-aliran yang berasal dari daerah tersebut keluar melalui 1 aliran
tunggal. (Linsley, et.al.1949; p.243)
Debit sungai adalah volume air yang mengalir melalui penampang sungai tertentu
pada satuan waktu tertentu. (Seyhan, 1977; p.182)
Erosi lembar adalah proses terlepasnya butiran tanah karena tetesan air hujan dan
partikel tanah tersebut bergerak seperti lembaran menuju lereng bawah
karena aliran permukaan. (Ensiklopedia Britannica, 2008)
Graded profile sebagai kemiringan yang ditentukan oleh suatu hubungan dimana
daerah tangkapan dan debit aliran seimbang antara erosi dan transport
sedimen. (Morisawa, 1968; p.121)
Jaringan saraf tiruan (artificial neural network) adalah sistim komputasi di mana
arsitektur dan operasi diilhami dari pengetahuan tentang sel saraf biologis
di dalam otak, yang merupakan salah satu representasi buatan dari otak
manusia yang selalu mencoba menstimulasi proses pembelajaran pada
otak manusia tersebut. (Hermawan, 2006; hal.37)
Muatan dasar adalah partikel sedimen yang bergerak menggelinding, meluncur,
atau melompat pada dasar sungai. (Shen, 1971; p.11)
Muatan sedimen adalah jumlah muatan dasar dengan jumlah muatan suspensi.
(Shen, 1971; p.13)

15
Muatan suspensi adalah partikel-partikel sedimen yang bergerak di atas dasar
sungai dan bercampur dengan cairannya. (Shen, 1971; p.11)
Perambatan galat mundur (backpropagation) merupakan salah satu bentuk
algoritma dalam artificial neural network yang berfungsi untuk
menyelesaikan masalah-masalah yang rumit. Jaringan algoritma dilatih
dengan metode belajar terbimbing yang terdiri atas perambatan maju dan
perambatan mundur. (Hermawan, 2006; hal.49)
Proses erosi adalah semua cara dan tenaga yang bergerak melepaskan dan
mengangkut puing-puing batuan. (Thornbury, 1960; p.36)
Sedimen adalah setiap partikel yang mampu diangkut oleh aliran air yang pada
saat tertentu dapat mengendap sebagai lapisan partikel padat pada dasar
aliran. (Wikipedia, 2008)
Sungai adalah suatu aliran air alami, pada umumnya berupa air tawar, yang
mengalir ke arah lautan, danau, atau aliran lain. (Wikipedia, 2008)
Surface run off adalah gerakan air yang mengalir di atas permukaan tanah melalui
alur-alur atau saluran permanen, maupun semi permanen menuju sungai.
(Seyhan, 1975; p.145)
Orde sungai adalah tingkat kedudukan atau posisi alur-alur sungai didalam urutan-
urutannya terhadap anak sungai. (Leopold, et.al. 1964; p.134)

16
BAB II
METODE PENELITIAN

2.1. Alat dan Bahan


a. Tahap pemetaan
- Peta Rupa Bumi Indonesia (RBI) skala 1:25.000 Lembar Bagelen, terbitan
Bakosurtanal tahun 2001.
- Peta tanah Kabupaten Kulonprogo skala 1:50.000 terbitan Fakultas
Pertanian UGM tahun 2000.
- Peta Geologi Indonesia lembar Yogyakarta skala 1:100.000 terbitan
Direktorat Geologi Bandung tahun 1977
b. Pengukuran debit sungai
- Yallon dan pengukur kedalaman sungai
- Kompas / Abney level
- Meteran dan penggaris
- Pelampung (floater) untuk pengukuran debit
- Alat gambar / tulis dan alat hitung
- GPS
- Stop watch
c. Pengambilan sampel suspensi sungai
- Depth integrating sampler (US.DH – 48) untuk mengambil sampel
sedimen. Setiap alat pengambil konsentrasi sedimen dilengkapi dengan;
nosel, botol sampel, dan tutup botol (gambar 2.1). US. DH–48 (Gambar
2.1 – A); alat ini digunakan untuk mengambil contoh sedimen dengan
merawas. Dibuat dari bahan aluminium dengan panjang 33 cm dan pada
tubuh alat itu dirancang pula rongga untuk menempatkan botol sampel.
Berat alat ini beserta botolnya adalah 2,0 kg. Alat ini dipasang pada alat
duga, dapat menangkap aliran sedimen jika kedalaman aliran lebih dari 9,0
cm.
- Kertas saring kasar
- Stop watch

17
Gambar 2.1. Tipe-tipe suspended sampler
untuk pengambilan contoh sedimen terlarut
d. Plot erosi
- Bak penampung.
- Pipa paralon diameter 2 inch.

18
- Kertas saring kasar
e. Analisis artificial neural network (ANN)
- Seperangkat personal computer (PC) dengan sistem operasi windows.
- Software MatLab versi 7.1.0.246 (R14) service pack 3.

Pengukuran debit dilakukan dengan metode pelampung (floater); syarat,


daerah jauh dari percabangan sungai, dasar sungai stabil, tidak ada tambahan air,
bagian sungai relatif lurus dan kedalaman air cukup. Pada prinsipnya metode ini
dilakukan pada kondisi;
- Kecepatan aliran tidak dapat diukur atau belum dapat diukur dengan
menggunakan alat ukur arus karena darurat atau keadaan aliran
membahayakan.
- Kecepatan aliran melebihi kemampuan spesifikasi alat menurut jenis dan
tipe alat ukur arus yang digunakan.
- Diperlukan untuk penyidikan debit sesaat pada saat survey pendahuluan.

h
d

Gambar 2.2. Skema floater (pelampung)


Persamaan debitnya adalah sebagai berikut;
Q=AxkxU …2.1.1
Q = debit (m3/dt)
A = Luas penampang basah (m2)
U = Kecepatan pelampung (m/dt)
k = koefisien tanpa dimensi dari pelampung

19
k = 1 – 0.116 ( 1   - 0.1) …2.1.2
α = kedalaman tangkai (h) per kedalaman air (d)

2.2. Penentuan Lokasi Penelitian dan Pengambilan Sampel


Penentuan lokasi penelitian dan pengambilan sampel suspensi dan muatan
dasar sungai yang digunakan berupa purposive sampling. Purposive sampling
digunakan dalam pengambilan sampel suspensi, karena dalam muatan suspensi
sampel berupa air dan kandungan sedimen yang merupakan faktor yang tidak
dapat diketahui besaran dan banyaknya. Sedangkan lokasi sampel pada setiap orde
sungai.
Metode pengambilan sampel erosi permukaan berdasarkan plot erosi
dilakukan dengan cara stratified purposive sampling dan strata yang digunakan
adalah satuan lahan. Plot erosi tidak dilakukan pada satuan lahan permukiman dan
padang rumput/ilalang.

2.3. Teknik pengumpulan dan Pengolahan Data


Data yang digunakan pada penelitian ini berdasarkan atas sumbernya, yaitu;
data Instansional, data lapangan, data laboratorium dan data tekstual
(dokumenter).
a. Data Instansional (dari publikasi instansi) seperti data debit (harian, bulanan,
tahunan), data curah hujan, data temperatur udara, data luas DAS.
b. Data Lapangan seperti; plot erosi, penampang basah/kering, debit, gradien
sungai, sumber sedimen dan penggunaan lahan.
c. Data Laboratorium seperti; analisa besar butir, analisa sifat fisik dan kimia
tanah, analisa muatan suspensi.
d. Data tekstual (dokumenter), yaitu dengan cara menganalisa data tanpa
mempergunakan perhitungan angka, melainkan menggunakan sumber
informasi yang relevan untuk memperlengkap data yang peneliti inginkan.

20
2.3.1. Plot Erosi
2.3.1.1. Bentuk, Ukuran, Cara Pemasangan dan Jumlah Plot Erosi
Pengukuran besarnya kehilangan tanah dan aliran permukaan pada daerah
penelitian dilakukan pada plot-plot erosi yang dibangun berdasarkan satuan lahan.
Plot erosi berjumlah dua buah dan masing-masing memiliki bentuk segitiga dan
empat persegi panjang. Hal ini karena kondisi tanah yang memungkinkan untuk
dibuat plot erosi sangat terbatas karena faktor kelerengan yang curam serta
penggunaan lahan oleh masyarakat sekitar.
Plot dengan bentuk segitiga memiliki tinggi 4,5 m, alas 6,5 m dan lebar 8m.
Plot dengan bentuk persegi memiliki panjang dan lebar 2,5 m. Pembatas petak
terbuat dari gundukan tanah dengan tinggi sekitar 5 – 8 cm. Hal ini karena plot
dengan model natural plot erosi. Selain itu erosi percik yang terjadi memiliki
waktu efektif maksimal erosi selama 3 menit, sehingga dapat diabaikan dan
ditekankan pada erosi alur.
Kesulitannya adalah ketika selesai satu kejadian hujan maka pembatas plot
erosi perlu dilakukan cek untuk menghindari terjadinya kebocoran maupun
kerusakan pembatas. Di ujung bawah petak dipasang talang untuk mengalirkan air
dari petak ke bak penampung. Talang air ini memiliki diameter 2,5 cm. Bak
penampung harus tertutup untuk menghindari masuknya air hujan maupun
percikan tanah langsung. Bak penampung pada masing-masing plot berjumlah dua
buah dengan volume tampungan tiap bak maksimal 70 liter.

Plot 1 8m
4,5 m

4m 6,5 m

Bak penampung 1 2m

Bak penampung 2

21
Plot 2

2,5 m

2,5 m
2m 2m

Bak penampung 1 Bak penampung 2

Gambar 2.3. Skema Plot Erosi


2.3.1.2. Letak Plot Erosi
Plot dibuat pada tanah dengan posisi sedekat mungkin dengan sungai untuk
menghindari terjadinya run on, sehingga yang diperkirakan terjadi adalah run off
yang langsung masuk menjadi aliran utama (sungai).
2.3.1.3. Cara Pengambilan Sampel
Sampel diambil setelah hujan berhenti beberapa saat. Setelah hujan berhenti
maka campuran tanah dan air yang ada didalam bak harus dipisahkan untuk
menentukan besarnya kehilangan tanah dan aliran permukaan yang telah terjadi
dalam plot. Cara pengambilan sampel berpedoman pada material hasil erosi yang
diperkirakan mewakili volume aliran permukaan di bak penampung pada setiap
kejadian hujan. Adapun cara pengambilan sampel dijabarkan sebagai berikut;
- Setelah hujan berhenti, campuran tanah dan air segera dipisahkan dengan
cara membiarkan dalam beberapa saat.
- Bila hujan terjadi dalam durasi yang singkat dan intensitas besar atau durasi
lama dengan intensitas kecil, perlu dilakukan cek kembali tiap beberapa
periode waktu untuk menghindari terjadinya perluapan air dalam bak. Tidak
lupa air yang dibuang dihitung volumenya.
- Mengambil sampel suspensi dalam bak dan memisahkannya dengan hasil
tanah yang mengendap dalam bak.
- Endapan tanah dalam bak ditimbang untuk mengetahui beratnya.

22
- Jika volume air dalam bak dirasa sangat sedikit dan dimungkinkan tidak ada
tanah yang mengendap, maka air harus diaduk dan diambil sampel
suspensinya.
- Besarnya kehilangan tanah dari plot didapat dari jumlah berat tanah yang
mengendap dalam dasar bak dengan berat suspensi.
- Besarnya aliran permukaan dari plot didapat dari total volume air yang ada
dalam bak.
Dengan cara demikian maka besarnya kehilangan tanah dan aliran permukaan dari
plot dapat diketahui secara tepat pada setiap kali kejadian hujan.
Walaupun percobaan lapang dengan cara membangun plot dapat memberikan
data yang realistis, namun beberapa sumber kesalahan masih dapat dijumpai,
misalnya saja tersumbatnya saluran air oleh endapan tanah pada saat hujan deras
masih berlangsung. Disamping itu, memungkinkan tidak semua hasil erosi
memasuki saluran air, tetapi sebagian mengendap di sepanjang batas tepi bawah
plot.
2.3.2. Pengukuran Debit
2.3.2.1. Peralatan Pengukuran
Peralatan utama yang diperlukan untuk mengukur debit dengan metode
pelampung adalah alat ukur kecepatan aliran, alat ukur penampang basah, dan alat
ukur kedalaman aliran. Alat ukur kecepatan aliran merupakan jenis pelampung
permukaan dengan bahan memanfaatkan botol bekas shampoo dengan tinggi total
12 cm. Alat ukur penampang basah terdiri dari alat ukur lebar aliran (meteran dan
tali), alat ukur kedalaman aliran (tongkat), dan alat ukur kecepatan aliran
(stopwatch).
2.3.2.2. Pemilihan Lokasi Pengukuran
Lokasi pengukuran debit dengan metode pelampung memiliki persyaratan
sebagai berikut;
- Alur sungai harus lurus
- Mudah dicapai pada segala kondisi
- Dasar sungai stabil
- Lintasan pelampung mudah diamati

23
Apabila sudah menemukan bagian alur sungai yang lurus dan memenuhi
persyaratan sebagai lokasi pengukuran debit, langkah selanjutnya adalah
menentukan jumlah jalur lintasan pelampung, yaitu sebanyak tiga buah. Masing-
masing titik pelepasan pada bagian hulu harus berada diatas titik pengamatan pada
bagian hulu.
2.3.2.3. Pelaksanaan Pengukuran Debit
Pengukuran penampang basah untuk mengukur debit aliran dapat dilaksanakan
bersamaan waktunya dengan pengukuran kecepatan aliran. Pengukuran kecepatan
lintasan pelampung dapat dilaksanakan dengan urutan sebagai berikut;
- Mengukur jarak antara penampang hulu dan hilir, jarak diantaranya adalah
merupakan batas untuk mengukur panjang posisi lintasan pelampung.
- Melepaskan pelampung kira-kira 1 m dari sebelah hulu penampang basah
hulu.
- Mengukur posisi lintasan pelampung diantara dua penampang hulu dan hilir.
- Mencatat lama lintasan pelampung diantara dua penampang hulu dan hilir.
- Menghitung panjang lintasan pelampung.
- Menghitung kecepatan lintasan pelampung.
- Mengulangi pekerjaan diatas untuk jalur lintasan pelampung berikutnya,
pekerjaan tersebut dilaksanakan untuk semua jalur lintasan pelampung yang
telah dilakukan.
2.3.2.4. Perhitungan Debit
Data pengukuran penampang basah dan posisi lintasan pelampung digambar
pada kertas milimeter block untuk kemudian dihitung luas penampang basah rata-
rata dan kecepatan aliran rata-ratanya.

2.4. Analisis Data


2.4.1. Analisa Statistik Cara Koefisien Korelasi.
Korelasi merupakan suatu asosiasi antara dua variabel atau lebih yang
dinyatakan dalam suatu nilai (Dayan, 1976; hal.301). Nilai r dapat dicari
dengan rumus;

24
r=
n  xy  x  y ....2.4.1.1
n x 2
  x 
2
n  y   y 
2 2

Nilai r dapat bervariasi dari -1 melalui 0 hingga +1


- Bila r = 0 atau mendekati 0, maka hubungan antara kedua variabel sangat
lemah atau tidak terdapat hubungan sama sekali. Diagram pancarnya akan
menggambarkan titk-titik koordinat yang menggerombol pada suatu
tempat membentuk suatu lingkaran yang membulat.
- Bila r = 1 atau mendekati 1, maka korelasi antara kedua variabel dikatakan
positif dan sangat kuat sekali. Diagram pancarnya akan menggambarkan
trend titik-titik koordinat yang melalui kuadran I dan kuadran III.
- Bila r = -1 atau mendekati -1, maka korelasinya dikatakan sangat kuat dan
negatif. Diagram pancarnya akan menggambarkan trend titik-titik
koordinat yang melalui kuadran II dan Kuadran IV.
Selanjutnya nilai r di test dengan nul hipotesa Ho ; β = 0 dengan α = 0,05

n2
tr = r ....2.4.1.2
1 r 2
Jika tr (t hitung) > t tabel, hipotesa Ho ; β = 0 ditolak, yang berarti nilai r pada
tingkat kepercayaan 95% meyakinkan dan sebaliknya Jika tr (t hitung) < t
tabel, hipotesa Ho ; β ≠ 0 diterima, yang berarti nilai r pada tingkat
kepercayaan 95% tidak meyakinkan.
2.4.2. Penentuan Kondisi Aliran
VR
RE = RE : bilangan Reynolds ....2.4.2.1
v
V : Kecepatan aliran (m/dt)
R : Radius hidrolis (m)
v : Viskositas kinematik (m2/dt) = 10-6
R = L/P L : luas penampang basah (m2) ….2.4.2.2
P : panjang penampang basah (m)
Klasifikasinya;
< 1500 = Aliran laminer > 6000 = Aliran turbulen
1500 – 6000 = Aliran transisi (Suripin, 2002; hal.34)

25
2.4.3. Menghitung Waktu Konsentrasi (Tc)
Untuk menentukan laju aliran maksimum diperlukan data tentang waktu
konsentrasi, yakni waktu yang paling lama diperlukan oleh aliran permukaan
untuk mengalir dari suatu tempat (pada daerah tampungan/aliran) ke jalan keluar.
Untuk DAS kecil (yang tidak melebihi 26 km2) waktu konsentrasi dapat ditaksir
dengan menggunakan rumus California Division of Highways, yaitu;
0.385
 0.87 L3 
Tc =   ....2.4.3.1
 H 
Dengan; tc : waktu konsentrasi (jam)
L : panjang kanal utama dari sumber ke pelepasan DAS (km)
H : total penurunan dari sumber ke pelepasan (m)
Rumus empiris lainnya (Gray, 1973; Schulz, 1973, dalam Seyhan, 1977;
p.238-240)) adalah;
0.77
L
Tc = (0.0078) b0.385 ....2.4.3.2
S0
Dimana; tc : waktu konsentrasi (menit)
Lb : panjang maksimum berpindahnya air dari suatu titik pada batas
DAS ke titik pelepasannya (kaki)
S0 : H/Lb = slope
H : perbedaan tinggi di antara titik pada batas DAS dan titik
pelepasannya (kaki)
2.4.4. Perhitungan Muatan Suspensi
Muatan suspensi dapat dihitung dengan pengukuran kecepatan aliran Uz dan
konsentrasi sedimen Cz dan merupakan persamaan integrasi (Seyhan, 1976);
h
S= 
0
Cz x Uz dz ....2.4.4.1

Konsentrasi sedimen suspensi secara umum akan minimum pada permukaan


air dan menjadi maksimum pada dasar sungai. Fraksi pertikel kasar sedimen yang
biasanya pasir, konsentrasinya sangat bervariasi dari dasar sungai hingga ke

26
permukaan air. Partikel halus debu dan liat, biasanya tersebar di keseluruhan
kedalaman aliran.
Cs = (g2 - g1)/Vs (Chow, 1964; p.17-62) ....2.4.4.2
Cs = a Qb (Sandiman, P. 1975; hal.5) ....2.4.4.3
Cs : Kadar sedimen suspensi (mg/l) a dan b : konstanta
g1 : berat kertas saring kosong (gr)
g2 : berat kertas saring + endapan sedimen suspensi (gr)
Vs : volume cairan yang disaring (l)
Jika pada suatu pos duga air diketahui berat konsentrasi rata-rata C dan
debitnya Q, maka berat angkutan sedimen melayang yang diukur dari pos duga
dikemukakan oleh Linsley, et.al (1986, USBR, 1987, Morgan, 1988, Julien, 1995,
dalam Suripin, 2002; hal.65) sebagai berikut;
Qsi = Qi Ci k ....2.4.4.4
Qsi : debit sedimen (ton/hari) Ci : konsentrasi sedimen (gr/lt)
Qi : debit air (m3/hari) k : konversi satuan dimensi 0,0864
Data debit harian bervariasi dari debit rendah ke debit yang lebih besar,
maka dapat dibuat persamaan lengkung aliran sedimen yang menghubungkan
debit aliran Qwi dan debit sedimen Qsi. Dengan menggunakan persamaan power
regression, dapat dicari persamaan dari lengkung aliran sedimen suspensi tersebut
dengan persamaan umumnya;
Qs = a Qwb ....2.4.4.5
Qs : debit sedimen suspensi rata-rata harian (ton/hari)
a : koefisien indeks kehebatan erosi b : eksponen
Qw : debit rata-rata (m3/det)
Lengkung aliran sedimen dapat dikombinasikan dengan data debit harian
untuk menentukan sedimen rata-rata tahunan. Semakin panjang data debitnya,
maka hasilnya akan semakin baik. Salah satu teknik dalam suatu pos duga air
yang mempunyai pencatatan data yang panjang adalah dengan membuat lengkung
aliran durasi. Lengkung aliran durasi merupakan lengkung kumulatif frekuensi
yang kontinu dari suatu deret waktu yang terpola dalam berbagai debit dan
berbagai durasi. Besarnya beban sedimen suspensi rata-rata tahunan dihitung

27
dengan mengkombinasikan lengkung aliran durasi dengan lengkung sedimen
suspensi.
Tabel.2.1. Klasifikasi peralatan pengambilan sampel sedimen
Klasifikasi Untuk Volume Deskripsi Batas
Operasi (1) Kedalaman
Sederhana Titik 0.5 Dapat dibuka atau ditutup Tidak terbatas
(instan- 1.0 secara elektris, dioperasikan
Teneous) 2.0 dengan kabel duga atau batang
duga.
Integrasi Integrasi 1 quart Seri USD dengan 3 ukuran 55 m
titik nosel, dapat dibuka dan
ditutup.
1.0 55 m
2.0 Seri JS atau JLC, nosel dapat
ditukar, dibuka dan ditutup.
1.0 Tidak terbatas
3.0 Nosel plastik dilengkapi
dengan plastik food storage
Integrasi 1 pint bag. 5 m (naik dan
kedalaman (0.47) turun)
Seri USD atau USDH
1.0 Tidak terbatas
2.0
Nosel plastik, dibuat khusus
untuk kedalaman tak terbatas
Akumulasi Pengukuran Botol delft, atau tipe neyrpic
sedimen secara - untuk mengukur material -
langsung sedimen suspensi, perlu
menggunakan faktor korelasi
debit
Sumber; WMO (1989, dalam Soewarno, 1991; hal.659)
2.4.5. Perhitungan Muatan Dasar
Muatan dasar adalah partikel-partikel sedimen yang bergerak dengan
meggelinding, meluncur, atau melompat pada lapisan dasar sungai. Sedangkan
muatan suspensi adalah partikel-partikel sedimen yang bergerak diatas muatan
dasar dan selalu berada didalam air (Shen, 1971; p.11)
Karena muatan dasar dalam sungai sukar/jarang di ukur, maka perkiraan dari
muatan dasar didasarkan atas pengamatan muatan suspensi (Cook&Doornkamp.
1974; p.22), dimana muatan dasar dipertimbangkan sebesar 20 % dari total
muatan suspensi bila dasar sungai berupa pasir dan 5 % dari total muatan suspensi
bila air sungai mengalir diatas batuan induk (bed rock). Analisa data dari faktor-

28
faktor yang berpengaruh terhadap muatan sedimen total digunakan analisa regresi
dan statistik, korelasi matrik, multivarian dan analisa elemen.
Perhitungan muatan dasar menggunakan cara tidak langsung berdasarkan
rumus Meyer-Peter-Muller sebagai berikut (Soewarno, 1991; hal.694-697);

 
3
g 
h i
2
3
T=8bd 2
 0,047 ….2.4.5.1
 d

T : total muatan dasar ( m 3 /dt)


b : lebar sungai (m)
d : d 50 : diameter rata-rata (m)

g : percepatan gravitasi (9,81 m/ dt 2 )


i : slope (tidak berdimensi)
h : kedalaman air rata-rata (m)
s  w
Δ = ….2.4.5.2
w
ρs : berat jenis material dasar (kg/ m 3 )
ρw : berat jenis air (1000 kg/ m 3 )
μ : riple faktor (faktor kekasaran), dihitung dengan rumus;
3
 C 2
μ=   ….2.4.5.3
 C1 

C= ….2.4.5.4
h . i

12h
C1 = 18 log …. 2.4.5.5
d 90
 : Kecepatan rata-rata (m/dt)
d90 : diameter material dasar pada nilai 90 % dari diameter terkecil

29
Tabel.2.2. Perkiraan Muatan Dasar Terhadap Muatan Suspensi
Konsentrasi Komposisi Dasar Komposisi Perbandingan
Sedimen Sungai Sedimen
Suspensi (ppm) Suspensi
Kurang dari1000 Pasir Sama dengan 0.25 – 1.50
dasar
Kerikil terikat liat Jumlah pasir 0.05 – 0.12
(clay) sedikit
1000 – 7500 Pasir Sama dengan 0.10 – 0.35
dasar
Kerikil terikat 25% pasir atau 0.05 – 0.12
dengan liat (clay) kurang
Lebih dari 7500 Pasir Sama dengan 0.05 – 0.15
dasar
Kerikil terikat 25% pasir atau 0.02 – 0.08
dengan liat (clay) kurang
Sumber; WMO (1989, dalam Soewarno, 1991; hal.712)
2.4.6. Artificial Neural Network (ANN)
Model artificial neural network (ANN) yang digunakan adalah perambatan
galat mundur (backpropagation). Menurut Hermawan (2006, hal.49-53) jaringan
perambatan galat mundur (backpropagation) merupakan salah satu algoritma yag
sering digunakan dalam menyelesaikan masalah-masalah yang rumit. Hal ini
dimungkinkan karena jaringan dengan algoritma ini dilatih dengan menggunakan
metode belajar terbimbing. Pada jaringan diberikan sepasang pola yang terdiri atas
pola masukan dan pola yang diinginkan. Ketika suatu pola diberikan kepada
jaringan, bobot-bobot diubah untuk memperkecil perbedaan pola keluaran dan
pola yang diinginkan. Latihan ini dilakukan berulang-ulang sehingga semua pola
yang dikeluarkan jaringan dapat memenuhi pola yang diinginkan.
Algoritma pelatihan jaringan saraf perambatan galat mundur terdiri atas dua
langkah, yaitu perambatan maju dan perambatan mundur. Langkah perambatan
maju dan perambatan mundur ini dilakukan pada jaringan untuk setiap pola yang
diberikan selama jaringan mengalami pelatihan. Jaringan perambatan galat
mundur terdiri atas tiga lapisan atau lebih unit pengolah. Gambar 2.4
menunjukkan jaringan perambatan galat mundur dengan tiga lapisan pengolah,
bagian kiri sebagai masukan, bagian tengah sebagai lapisan tersembunyi dan
bagian kanan disebut lapisan keluaran. Ketiga lapisan ini terhubung secara penuh.

30
Pola Keluaran

Lapisan
Tersembunyi

Pola Masukan

Gambar 2.4. Tiga lapis jaringan perambatan galat mundur


Perambatan maju dimulai dengan memberikan pola masukan ke lapisan
masukan. Pola masukan ini merupakan nilai aktivasi unit-unit masukan. Dengan
melakukan perambatan maju dihitung nilai aktivasi pada unit-unit di lapisan
berikutnya. Pada setiap lapisan tiap unit pengolah melakukan penjumlahan
berbobot dan menerapkan fungsi sigmoid untuk menghitung nilai keluarannya.
Untuk menghitung nilai penjumlahan berbobot digunakan rumus:
n
Sj = a
i 0
i w ji ....2.4.6.1

Dengan; wji : bobot sambungan dari unit i ke unit j


ai : masukan yang berasal dari unit i
Setelah nilai Sj dihitung, fungsi sigmoid diterapkan pada Sj untuk
membentuk f(Sj). Fungsi sigmoid ini mempunyai persamaan:
1
f (Sj) = ....2.4.6.2
1  e  Sj

a0
Wj0

a1
Wj1

Wn

an Elemen Pengolah

Gambar 2.5. Langkah perambatan maju

31
Hasil perhitungan f(Sj) ini merupakan nilai aktivasi pada unit pengolah j. Nilai
ini dikirimkan ke seluruh keluaran unit j. Setelah perambatan maju selesai
dikerjakan maka jaringan siap melakukan perambatan mundur. Yang dilakukan
pada langkah perambatan mundur adalah menghitung galat dan mengubah bobot-
bobot pada semua interkoneksinya. Disini galat dihitung pada semua unit
pengolah dan bobot pun diubah pada semua sambungan. Perhitungan dimulai dari
lapisan keluaran dan mundur sampai lapisan masukan. Hasil keluaran dari
perambatan maju dibandingkan hasil keluaran yangg diinginkan. Berdasarkan
perbedaan ini kemudian dihitung galat untuk tiap-tiap lapisan pada jaringan.
Pertama-tama dihitung galat untuk lapisan keluaran (Gambar 2.6a), kemudian
bobot-bobot setiap sambungan yang menuju ke lapisan keluaran disesuaikan.
Setelah itu dihitung harga galat pada lapisan tersembunyi (Gambar 2.6b) dan
dihitung perubahan bobot yang menuju ke lapisan tersembunyi. Demikian proses
dilakukan mundur sampai ke lapisan masukan secara iteratif. Jika j adalah salah
satu unit pada lapisan keluaran maka galat lapisan keluaran dapat dihitung dengan
rumus : δj = (tj – aj) f’ (Sj)
δj : hasil penjumlahan berbobot aj : keluaran dari unit j
tj : keluaran yang diinginkan dari unit j
f’ (Sj) : turunan dari fungsi sigmoid

1 F’ (x)
0,25
F (x)

X X
-5 0 5 -5 0 5
(A) (B)
Gambar 2.6. Fungsi sigmoid beserta turunannya
Jika j adalah suatu lapisan tersembunyi, maka galat lapisan tersembunyidapat
dihitung dengan menggunakan rumus :
δj = k[Σ δk Wkj f’] (Sj)
Δwji = η δj ai ....2.4.6.3
Dengan;

32
Δwji : perubahan bobot dari unit i ke unit j
η : konstanta belajar
ai : masukan yang berasal dari unit i
δj : galat lapisan tersembunyi
Variabel ”η” menyatakan suatu konstanta belajar yang berharga antara 0,25–
0,75. Nilai ini menunjukkan kecepatan belajar dari jaringan. Jaringan perambatan
galat mundur dilatih dengan metode belajar terbimbing. Pelatihan dilakukan
berulang-ulang sehingga dihasilkan jaringan yang memberi tanggapan yang benar
terhadap semua masukannya. Nilai benar disini ditunjukkan dengan nilai
RMS/SSE di bawah 0,1 maka jaringan boleh dikatakan terlatih.

Lapisan
Tersembunyi

B2
B1
W1 W2
Pola
Keluaran

Pola
Masukan

Gambar 2.7. Arsitektur jaringan saraf tiruan dalam penelitian.

Gambar 2.7 memperlihatkan arsitektur jaringan saraf tiruan dalam penelitian


ini. Pola masukan (input) berupa data erosi permukaan (bagian atas) dan transport
sedimen (bagian bawah). Digunakan model 2 lapisan tersembunyi (layer hiden),
dengan nilai masing-masing lapisan tersembunyi didasarkan atas besarnya nilai
pada W1 (bobot 1). Pola keluaran (output) disesuaikan pada hasil analisa dengan
sediment delivery ratio (SDR), dalam hal ini digunakan parameter 0 dan 1
(bilangan biner). Selain itu terdapat beberapa istilah sebagai berikut;
a. input : masukan, dalam bentuk bilangan biner (antara 0 dan 1), sehingga bila
terdapat data dengan nilai besar maka semua bilangan harus dibagi dengan
nilai terbesar.
b. output : keluaran, dalam bentuk bilangan biner (antara 0 dan 1). Pola output
dapat disesuaikan.

33
c. learning rate (konstanta belajar) : digunakan untuk mempercepat proses
konvergensi jaringan. Nilai konstanta belajar ini dapat ditentukan secara
sembarang, karena pada dasarnya konstanta belajar digunakan untuk
mempercepat konvergensi jaringan, sehingga semakin besar konstanta
belajar semakin cepat konvergensinya, sebaliknya bila semakin kecil maka
akan semakin lama untuk konvergen.
d. iterasi : banyaknya proses pelatihan data untuk mencapai tahap konvergen.
Nilai bobot dan bias yang digunakan berdasarkan proses iterasi ini adalah
hasil yang terbaik, sehingga nilai bobot dan bias yang digunakan adalah nilai
setelah iterasi dilakukan.
e. galat yang diizinkan (bias) : nilai error yang diizinkan, semakin kecil nilai
error akan semakin baik hasil yang didapatkan.

34
BAB III
KONDISI FISIK DAERAH PENELITIAN

3.1. Letak, Luas dan Batas Daerah Penelitian


Sub Daerah Aliran Sungai (yang selanjutnya disebut Sub DAS) Tirto
merupakan hulu dari sungai utama DAS Ngrancah. Sub DAS Tirto secara geografis
berada pada 9139900 – 9139883 mU dan 399593 – 400783 mT. Letak UTM ini
diperoleh dari peta Rupa Bumi Indonesia (RBI) digital skala 1:25.000 lembar 1408-
213, Bagelen, terbitan Badan Koordinasi Survey dan Pemetaan Nasional
(BAKOSURTANAL) tahun 2001.
Luas Sub DAS Tirto sebesar 1,64 km2 dengan besar orde adalah dua dengan
sungai berpola dendritik yang berarti memiliki tingkat resistensi batuan yang hampir
sama, sehingga pada setiap daerah memiliki potensi yang hampir sama untuk tertoreh.
Mengenai orde sungai, Strahler (1952, dalam Gregory, 1973; p.43) telah memberi
dasar perhitungan orde sungai adalah sebagai berikut;
a. Sungai orde pertama adalah sungai-sungai kecil yang tidak mempunyai
cabang lagi.
b. Sungai orde ke dua adalah sungai-sungai yang mempunyai cabang dari orde
pertama, atau sungai yang terbentuk oleh pertemuan orde pertama.
c. Sungai orde ke tiga adalah sungai-sungai yang dibentuk oleh pertemuan
sungai orde ke dua.
d. Sungai orde ke empat adalah sungai-sungai yang dibentuk oleh pertemuan
sungai orde ke tiga.
e. dan seterusnya.
Sedangkan daerah penelitian merupakan sungai utama pada orde ke satu dan dua.
Secara administratif (Gambar 3.1), Sub DAS Tirto terletak pada Dusun Tirto
dan Dusun Sungapan II, Desa Hargotirto, Kecamatan Kokap, Kabupaten Kulonprogo,
Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta. Adapun batas administratif terluar dari Sub
DAS ini adalah sebagai berikut;

36
- Bagian Barat berbatasan dengan Dusun Slewah, Desa Durensari, Kecamatan
Bagelen, Kabupaten Purworejo, Provinsi Jawa Tengah.
- Bagian Timur berbatasan dengan Dusun Crangah, Desa Hargotirto, Kecamatan
Kokap, Kabupaten Kulon Progo.
- Bagian Utara berbatasan dengan Dusun Kalianyes, Desa Jatirejo, Kecamatan
Kaligesing, Kabupaten Purworejo.
- Bagian Selatan berbatasan dengan Dusun Menguri, Desa Hargotirto, Kecamatan
Kokap, Kabupaten Kulon Progo.

3.2. Iklim
Iklim merupakan gabungan berbagai kondisi cuaca sehari-hari atau dikatakan
iklim merupakan rerata cuaca. Iklim yang terdapat di suatu daerah atau wilayah tidak
dapat dibatasi hanya oleh satu anasir iklim tetapi merupakan kombinasi berbagai
anasir iklim ataupun cuaca. Terdapat dua faktor iklim yang berpengaruh dalam
penelitian ini yaitu curah hujan dan suhu udara yang kemudian dari data curah hujan
digunakan untuk menentukan tipe iklim daerah penelitian. Stasiun yang digunakan
adalah stasiun Kokap pada 520 mdpal.
3.2.1. Curah Hujan
Curah hujan merupakan faktor iklim yang penting untuk diperhatikan karena
berpengaruh terhadap pelapukan batuan dan pengisian air pada celah-celah batuan
yang mengalami retakan sehingga dapat mengubah susunan dan komposisi batuan.
Hujan di suatu wilayah diperoleh dari rata-rata nilai hujan di beberapa stasiun
hujan di wilayah tersebut. Rerata curah hujan bulanan yang ada memperlihatkan
bahwa curah hujan rerata bulanan yang tertinggi berlangsung pada bulan Oktober
hingga April. Dari rerata curah hujan bulanan dapat di tentukan pula curah hujan
rerata tahunan. Stasiun hujan yang digunakan adalah Stasiun Kokap pada elevasi 520
mdpal, sehingga karena elevasi yang cukup tinggi tersebut suhu akan lebih rendah
rendah dan curah hujan yang berlangsung relatif lebih tinggi dari daerah yang
mempunyai elevasi lebih rendah.

37
Berdasarkan lampiran 1, diketahui curah hujan rata-rata tahunan Stasiun Kokap
selama 17 tahun adalah sebesar 2283,6 mm. Data dari curah hujan ini kemudian akan
digunakan untuk mengetahui tipe iklim daerah penelitian.
3.2.2. Temperatur Udara
Suhu udara dapat disebut sebagai ukuran derajat panas udara. Beberapa faktor
yang mempengaruhi suhu udara antara lain ketinggian tempat, dataran atau lautan,
radiasi matahari, dan angin. Suhu bulanan rata-rata dihitung dari jumlah nilai suhu
harian rata-rata dalam satu bulan dibagi jumlah hari dalam bulan tersebut. Suhu
tahunan dihitung dari jumlah temperatur bulanan rata-rata dibagi 12. Nilai suhu
diperoleh dari hasil perhitungan dengan mendasarkan pada tinggi tempat suatu daerah
dari permukaan laut. Menurut Mock (1973; p.34) suhu udara akan berkurang setiap
naik 100 meter. Karena tidak semua stasiun hujan memiliki data suhu maka cara
pengisian suhu diperoleh dari pengkonversian tinggi sebagai berikut;
t1 = t2  (h1 – h2) 0,006
Keterangan :
t1 : suhu udara stasiun yang dicari (°C)
t2 : suhu udara stasiun yang diketahui (°C)
h1 : tinggi tempat stasiun yang dicari (m)
h2 : tinggi tempat stasiun yang diketahui (m)
0,006 : gradien temperatur yang menunjukkan setiap kenaikan 100m tinggi tempat
maka temperaturnya turun 0,6 °C
Pada tabel 3.1 dengan mendasarkan pada temperatur yang terdapat pada stasiun
Tambak maka temperatur daerah penelitian yang diwakili oleh stasiun Kokap
memiliki suhu udara rata-rata bulanan selama 30 tahun sebesar 24,6° C.

38
Tabel. 3.1. Temperatur udara rata-rata bulanan (° C)
Stasiun
No. Bulan Tambak Kokap
1. Januari 25,8 24,4
2. Feburari 25,8 24,4
3. Maret 26,1 24,2
4. April 26,4 25,0
5. Mei 26,5 25,1
6. Juni 25,9 24,5
7. Juli 25,4 24,0
8. Agustus 25,2 23,9
9. September 26,1 24,8
10. Oktober 26,7 25,3
11. November 26,6 25,2
12. Desember 26,0 24,6
Suhu rata-rata 26,0 24,6
Sumber : Lampiran 2.1 dan 2.2

3.2.3. Tipe Iklim


Iklim sangat menentukan ketersediaan air yang jatuh di permukaan bumi. Ada
beberapa metode untuk dapat mengetahui tipe iklim yang terdapat di suatu wilayah,
diantaranya adalah dengan metode Schmidt-Fergusson. Schmidt-Fergusson
mengklasifikasikan iklim menggunakan nilai Q, yaitu perbandingan jumlah bulan
kering dan jumlah bulan basah. Berdasarkan besar nilai Q, Schmidt-Fergusson
menentukan tipe hujan di Indonesia sebagai berikut;
Tabel. 3.2. Penentuan tipe hujan menurut Schmidt-Fergusson
GOLONGAN NILAI Q URAIAN
A Q ≤ 0,143 Sangat basah
B 0,143 ≤ Q < 0,333 Basah
C 0,333 ≤ Q < 0,600 Agak basah
D 0,600 ≤ Q < 1,000 Sedang
E 1,000 ≤ Q < 1,670 Agak kering
F 1,670 ≤ Q < 3,000 Kering
G 3,000 ≤ Q < 7,000 Sangat kering
H Q ≥ 7,000 Luar biasa kering
Sumber; Schmidt and Fergusson (1951)

39
Kriteria yang digunakan adalah klasifikasi Mohr, yaitu;
- Bulan basah adalah bulan dengan curah hujan lebih besar dari 100 mm atau
curah hujan lebih besar daripada evapotranspirasi.
- Bulan kering adalah bulan dengan curah hujan lebih kecil daripada 60 mm.
- Bulan yang curah hujannya antara 60 mm hingga 100 mm dinamai bulan
lembab.
Stasiun hujan yang digunakan pada daerah penelitian adalah stasiun hujan
Kokap dengan elevasi 250 mdpal. Sedangkan tahun yang digunakan dari tahun 1990
hingga tahun 2006. Stasiun hujan ini digunakan karena dianggap mewakili kondisi
sekitar. Sedangkan hasil analisis pada lampiran 1 menunjukkan bahwa tipe iklim
stasiun Kokap adalah tipe iklim D atau Iklim Sedang dengan nilai 0,7.

3.3. Geologi
Berdasarkan peta geologi lembar Yogyakarta dari Direktorat Geologi Bandung,
tahun 1977, daerah hulu DAS Ngrancah terdiri dari 2 formasi batuan, yaitu formasi
andesit tua (Bemmelen) dan formasi andesit. DAS Ngrancah merupakan bagian dari
wilayah Pegunungan Kulon Progo (West Progo Mountains) yang dikenal dengan
sebutan rangkaian Pegunungan Menoreh. Pegunungan tersebut merupakan dome yang
besar dan panjang yang membujur dari Utara ke Selatan. Inti dome terdiri dari 3
volkan andesit tua yang telah mengalami erosi lanjut, sehingga sebagian besar inti
tersebut tersingkap. Ketiga gunungapi tersebut adalah; gunungapi Gadjah, gunungapi
Ijo, dan gunungapi Menoreh. Dome tersebut tersusun oleh formasi dari batuan andesit
dan dasit yang terbentuk pada periode awal Miosen tengah (lower middle miosen).
Sedangkan seluruh kompleks Pegunungan Progo Barat terbentuk dome secara
keseluruhan adalah pada zaman Pleistosen (Bemmelen, 1970; p.28). Dome yang
terbentuk memiliki puncak yang rata dan sisi-sisi yang terjal. Akibat pengangkatan
yang terjadi, terbentuklah lenturan dan retakan di sekitar puncak Menoreh dan lereng
Gunungapi Ijo, terutama di sepanjang sisi Timur dome. Daerah penelitian merupakan

40
wilayah dengan retakan-retakan sehingga pembentukan sungai Ngrancah sendiri
banyak dikontrol oleh retakan-retakan yang terjadi.
Sifat batuan breksi andesitik penyusun formasi andesit tua yaitu mempunyai
resistensi tinggi, sedikit terjadi retakan, pelapukan mekanik lebih dominan. Batuan
breksi andesitik ini terbentuk oleh proses pengendapan material hasil rombakan
batuan terobosan yang bersifat andesitik. Batuan andesit penyusun formasi andesit
memiliki sifat-sifat kedap air, banyak terjadi rekahan, mudah lapuk. Dikarenakan
banyak terjadi rekahan, air hujan dan akar tumbuhan mudah masuk kedalam dan
menjadikan pelapukan khemis dan biologis dominan terjadi, sehingga kapasitas
timbunan air permukaan tinggi. Karakteristik batuan seperti resistensi batuan dan
kemudahan terlapuk secara fisis, khemis, ataupun biologis sangat besar pengaruhnya
terhadap perkembangan atau pertumbuhan tanah.
Secara litologi daerah penelitian memiliki satu kelompok batuan utama yaitu
Formasi Andesit dengan batuannya andesit intrusif. Formasi andesit dengan batuan
intrusi andesitis ini terdapat pada mintakat lereng kaki kolluvial, lereng perbukitan
dan lereng pegunungan dengan kemiringan lereng antara 40 – 60%. Proses
geomorfologi yang terjadi yaitu erosi parit dan erosi alur dengan intensitas yang
cukup tinggi, sedangkan gerak massa batuan berupa longsor lahan dan rayapan dalam
tingkat sedang. Solum tanah pada daerah ini dangkal pada lereng perbukitan dan
pegunungan, sedang pada mintakat lereng kaki kolluvial dengan tekstur geluh
lempung berpasir dan berstruktur remah. Penggunaan lahan pada daerah ini berupa
hutan, permukiman dan kebun campuran serta tegalan dengan jenis komoditi ketela,
jagung dan kacang tanah.
Tabel. 3.3. Formasi Batuan Dan Karakteristiknya Di Sub DAS Ngrancah
Umur Formasi Litologi Sifat Batuan
Pelapukan Resistensi Rekahan
Miosen Andesit Andesit Khemis dan sedang Banyak
intrusif mekanik
Andesit tua Breksi Mekanik tinggi Sangat
andesitis sedikit
Sumber; Supriyanto, 1991

41
Dari Tabel 3.3 dapat dikatakan bahwa daerah penelitian yang mempunyai
formasi batuan andesit dengan batuannya andesit intrusif mempunyai tingkat
pelapukan yang tinggi dibandingkan dengan daerah yang ber formasi batuan andesit
tua. Demikian pula dengan tenaga pelapukannya akan lebih banyak dibandingkan
dengan formasi batuan andesit tua, karena air dan akar tumbuhan dapat masuk ke
dalam batuan melalui rekahan-rekahan yang banyak terdapat pada formasi ini.

3.4. Geomorfologi
Geomorfologi adalah ilmu tentang bentuklahan pada permukaan bumi, baik di
atas maupun bawah permukaan air laut, dan menekankan pada asal mula
terbentuknya (genesa) serta perkembangan yang akan datang, dan hubungan dengan
lingkungannya (Verstappen, 1983).
Menurut Bemmelen (1970), Pulau Jawa dapat dibagi ke dalam 3 bagian, yaitu;
bagian barat, bagian tengah, dan bagian timur, masing-masing mendekati pembagian
secara administrasi, meliputi: Provinsi Jawa Barat, Provinsi Jawa Tengah dan D.I.
Yogyakarta, serta Provinsi Jawa Timur. Daerah penelitian merupakan bagian dari
Dome Kulon Progo dan merupakan fisiografi Jawa Bagian Tengah. Dome Kulon
Progo bagian Utara bertemu dengan Perbukitan Jonggrangan dan Perbukitan
Menoreh hingga kaki Gunungapi Sumbing. Jalur Pegunungan ini sebagian termasuk
Daerah Aliran Sungai Progo sisi barat, sedangkan sisi timur dibatasi oleh Gunungapi
Telomoyo, Sundoro, Merbabu, dan Gunungapi Merapi.
3.4.1. Bentuklahan
Bentuklahan pada lokasi penelitian terbagi dalam dua bentukan utama (Gambar
3.2), yaitu; Perbukitan Denudasional Andesit Tertoreh Kuat dan Perbukitan
Denudasional Andesit Tertoreh Sedang. Adapun pembagian bentuklahan dapat dilihat
pada Tabel 3.4.

42
Tabel. 3.4. Bentuklahan Daerah Penelitian
Luas Masing-Masing
No. Bentuklahan Jenis Bentuklahan
Km2 %
1. Perbukitan denudasional andesit 1,45 87,81
tertoreh Kuat
2. Perbukitan denudasional andesit 0,2 12,19
tertoreh sedang
Sumber; Analisa Peta RBI Skala 1:25.000

Proses geomorfologi yang terjadi yaitu erosi alur dan erosi parit dengan
intensitas yang cukup tinggi, sedangkan gerak massa batuan berupa longsor lahan dan
rayapan dalam tingkat sedang. Solum tanah pada daerah ini dangkal pada lereng
perbukitan dengan tekstur geluh lempung berpasir dan berstruktur remah.
Penggunaan lahan pada daerah ini berupa kebun campuran, permukiman serta tegalan
dengan jenis komoditi ketela, jagung dan kacang tanah.
3.4.2. Topografi
Pada pengukuran tentang besarnya erosi perlu diperhatikan beberapa variabel
yang berpengaruh terhadap erosi tersebut antara lain karakteristik daerah pengaliran
sungai yang meliputi kemiringan lereng dan ketinggian tempat. Kemiringan lereng
adalah besarnya nilai dari hasil perbandingan antara jarak vertikal dengan jarak
horisontal dari 2 titik pada suatu daerah yang biasanya dinyatakan dalam derajad atau
prosentase. Sedangkan ketinggian tempat adalah tinggi suatu daerah yang diukur dari
permukaan air laut.
Berdasarkan hasil identifikasi peta Rupa Bumi Indonesia (RBI) skala 1:25.000
lembar 1408-213, Bagelen, terdapat dua kelas kemiringan lereng (Gambar 3.3), yaitu;
Klas III (15-35%) dan Klas IV (35-50%) yang termasuk wilayah dengan topografi
berbukit. Lereng dengan klas III digunakan untuk permukiman, tegalan, dan kebun.
Sedangkan lereng dengan klas IV digunakan mayoritas untuk perkebunan tanaman
keras, seperti durian, sengon dan mahoni, meskipun terkadang diselingi dengan
ketela. Luasan masing-masing kelas lereng dinyatakan dalam Tabel 3.6, adapun
penggunaan kelas kemiringan lereng didasarkan pada Tabel 3.5.

43
Tabel. 3.5. Cara Penentuan Klas Lereng Pada Peta Skala 1:25.000
Kelas Lereng Besar Lereng Jarak Kerapatan Garis Kontur Kelas Kemiringan
(%) (mm)
I 0–5 10 Datar – Landai
II 5 – 15 10 – 3,3 Landai – Agak Miring
III 15 – 35 3,3 – 1,4 Agak Miring – Miring
IV 35 – 50 1,4 – 1,0 Miring – Terjal
V 50 – 100 1,0 Sangat Terjal
Sumber : L. P. T. Bogor, th. 1977

Perhitungan kemiringan lereng dilakukan dengan sistem grid, yaitu dengan


metode jaring-jaring Went-wort, dengan prinsip :

(n  1) x Ci
α x 100%
Φxd
Keterangan :
α : Sudut kemiringan lereng (%) Φ : Panjang diagonal grid
n : Jumlah kontur terpotong alur diagonal d : Penyebut skala (m)
Ci : Interval kontur (m)
Tabel. 3.6. Klas Lereng Daerah Penelitian
Luas Masing-Masing
No. Klas Lereng Lereng
Km2 %
1. III (15% – 35%) 0,2 12,19
2. IV (35% – 50%) 1,45 87,81
Sumber; Analisa Peta RBI Skala 1:25.000

Semakin curam lereng, kerentanan terhadap erosi akan semakin tinggi, karena
solum tanah dangkal dan kemampuan menyerap air rendah.

44
3.5. Tanah
Tanah merupakan akumulasi tubuh-tubuh alam yang bebas menduduki sebagian
besar permukaan bumi, yang mampu menumbuhkan tanaman dan yang memiliki
sifat-sifat sebagai akibat pengaruh iklim dan jasad hidup yang bertindak terhadap
bahan induk dalam keadaan relief tertentu (Darmawijaya, 1970).
Dari sudut pandang erosi, horison tanah mempengaruhi besarnya aliran
permukaan dan kehilangan tanah. Sifat fisik tanah seperti porositas, struktur tanah
dan tekstur tanah berpengaruh pada permeabilitas. Stabilitas agregat tanah berperan
terhadap terjadinya erosi lembar, permeabilitas dan tekstur yang kasar di permukaan
akan melindungi tanah dari tetesan air hujan dan laju aliran permukaan, disamping itu
juga menambah kapasitas infiltrasi.
Berdasarkan Peta tanah skala 1:50.000 yang diterbitkan oleh Fakultas Pertanian
UGM tahun 2000, pada daerah penelitian dijumpai satu ordo tanah, yaitu Ordo
Entisol dengan dua famili tanah, yaitu; typic eutropepts dan kompleks typic
troporthents–typic eutropepts. Penamaan famili tanah tersebut mengacu pada Soil
Management Support Service / SMSS (1992) yang diterangkan sebagai berikut;
1. Typic Eutropepts
Merupakan tanah dengan golongan inseptisol, yaitu tanah yang baru berkembang
dan belum matang dengan perkembangan profil yang lebih lemah dibandingkan
dengan tanah matang dan masih memiliki sifat seperti bahan induknya. Tanah ini
berkembang di daerah tropis pada rejim temperaturisometik atau lebih panas.
Tanah ini termasuk tanah eutrophic dengan kandungan kejenuhan basa lebih dari
50% dengan tingkat kesuburan yang tinggi atau lebih di semua subhorison antara
kedalaman 25 – 100 cm dan antara kontak litik atau paralitik jika kedalaman lebih
dangkal dari 100 cm.
2. Typic Troporthent
Merupakan tanah golongan entisol, yaitu tanah yang baru berkembang.
Perkembangan tanah ini terutama dijumpai pada daerah tropis dengan orthent

45
yang memiliki rejim kelembaban udik dan temperatur tanah rata-rata musim
panas dan musim dingin pada kedalaman 50 cm kurang dari 5°C.
Tabel. 3.7. Jenis Tanah Daerah Penelitian
Luas Masing-Masing
No. Jenis Tanah Jenis Tanah
Km2 %
1. Kompleks Troporthent-Eutropepts 1,13 68,07
2. Typic Eutropepts 0,53 31,93
Sumber; Kuliah Kerja Lapangan III, 2006-2007

Jenis tanah daerah penelitian disajikan dalam Gambar 3.4.

3.6. Tata Guna Lahan


Lahan secara geografis sebagai suatu wilayah tertentu diatas permukaan bumi,
khususnya meliputi semua benda penyusun biosfer yang dapat dianggap bersifat
mantap atau berpindah, diatas atau dibawah, masa lalu atau sekarang, dan memiliki
pengaruh nyata terhadap penggunaan lahan oleh manusia. Sedangkan kecendrungan
penggunaan lahan saat ini lebih disebabkan oleh adanya dinamika dari eksploitasi
oleh manusia terhadap sumberdaya alam untuk memenuhi kehidupannya (baik dari
aspek kultur, sosial, dan ekonomi). Adapun bentuk penggunaan lahan Sub DAS Tirto
berdasarkan Gambar 3.5 terdapat dalam Tabel 3.8 sebagai berikut;
Tabel 3.8. Penggunaan Lahan Daerah Penelitian
Jenis Penggunaan Luas Masing-Masing
No. Penggunaan Lahan
Lahan
Km2 %
1. Kebun / Perkebunan 1,57 95,73
2. Permukiman 0,03 1,83
3. Semak / Belukar 0,04 2,44
Sumber: Analisis Peta Rupa Bumi Indonesia Skala 1:25.000 tahun 2001 Lembar Bagelen

Penggunaan lahan mempunyai hubungan yang erat dengan erosi. Menurut


Moore (1969; p.147), perubahan vegetasi penutup suatu daerah pengaliran sungai
akan besar pengaruhnya terhadap perubahan banyak material yang terangkut aliran
air sungai, yaitu suatu daerah pengaliran sungai dengan sedikit vegetasi penutup akan
menghasilkan sediment yield sebesar 25 kali lebih besar bila dibandingkan dengan

46
daerah pengaliran sungai yang sama luasnya tetapi mempunyai vegetasi penutup yang
baik. Agar suatu daerah pengaliran sungai memenuhi fungsi sebagai pelindung
terhadap suatu daerah dari ancaman banjir dan erosi maka luas hutan minimum yang
ideal diperkirakan sebesar 30% dari luas daerah pengaliran sungai yang bersangkutan.
Daerah penelitian sebesar 95,73% berupa lahan perkebunan dengan tanaman keras
dan vegetasi penutup cukup rapat, sehingga diharapkan hal ini dapat berfungsi
mengurangi proses erosi yang terjadi.

3.9. Satuan Lahan


Satuan lahan berisi informasi mengenai kelas lereng, bentuklahan, jenis tanah,
dan bentuk penggunaan lahan. Dari kombinasi informasi itulah kemudian dibuat peta
satuan lahan (Gambar 3.6). Pembacaan satuan lahan dilakukan dengan membagi
beberapa definisi. Bagian pertama merupakan informasi dari bentuklahan (seperti
D1), bagian kedua merupakan kelas lereng (seperti IV), bagian ketiga merupakan
penggunaan lahan (seperti Kb), dan bagian keempat merupakan informasi jenis tanah
(seperti eutropepts). Mengenai luas masing-masing satuan lahan dapat dilihat pada
tabel 3.9.
Daerah penelitian memiliki enam satuan lahan yang didefinisikan sebagai
berikut;
a. D1.IV.SB.2 : Perbukitan denudasional andesit terkikis kuat, kelas lereng IV,
penggunaan lahan semak/belukar, dan jenis tanah kompleks trophorthent-
eutropepts.
b. D1.IV.Kb.2 : Perbukitan denudasional andesit terkikis kuat, kelas lereng IV,
penggunaan lahan kebun, dan jenis tanah kompleks trophorthent-eutropepts.
c. D1 IV.SB.1 : Perbukitan denudasional andesit terkikis kuat, kelas lereng IV,
penggunaan lahan semak/belukar, dan jenis tanah eutropepts.
d. D1.IV.Kb.1 : Perbukitan denudasional andesit terkikis kuat, kelas lereng IV,
penggunaan lahan kebun, dan jenis tanah eutropepts.

47
e. D2.III.Pmk.2 : Perbukitan denudasional andesit terkikis sedang, kelas lereng III,
penggunaan lahan permukiman, dan jenis tanah kompleks trophorthent-
eutropepts.
f. D2.III.Kb.2 : Perbukitan denudasional andesit terkikis sedang, kelas lereng III,
penggunaan lahan kebun, dan jenis tanah kompleks trophorthent-eutropepts.

Tabel 3.9. Satuan Lahan Daerah Penelitian


Satuan Luas Masing-Masing
No. Penggunaan Lahan
Lahan
Km2 %
1. D1.IV.SB.2 0,03 1,83
2. D1.IV.Kb.2 0,89 54,27
3. D1 IV.SB.1 0,01 1,56
4. D1.IV.Kb.1 0,51 31,10
5. D2.III.Pmk.2 0,04 2,44
6. D2.III.Kb.2 0,16 9,76
Sumber: Analisis Peta Lereng, penggunaan lahan, bentuklahan, dan tanah Kabupaten
Kulonprogo.
Kuliah Kerja Lapangan III 2007

48
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN

Daerah penelitian merupakan bagian hulu sungai utama Sub DAS Ngrancah.
Bagian hulu ini merupakan daerah sumber erosi karena alur sungai melalui daerah
perbukitan yang memiliki cukup ketinggian dari permukaan air laut. Sebagai akibat
dari keadaan ini maka bentuk kontur relatif lebih rapat yang menunjukkan kemiringan
permukaan bumi yang cukup besar. Apabila hujan turun, sebagian dari air akan
merembes dan sebagian lagi akan mengalir membawa partikel-partikel tanah
sehingga menimbulkan erosi. Alur sungai yang terjadi mempunyai lembah yang
curam yang melalui banyak terjunan dan jeram. Penampang melintang berbentuk V
dengan materi alur sungai terdiri dari batuan cadas, kerikil, dan tanah. Bentuk
penampang memanjangnya tidak beraturan karena ada yang curam dan ada yang
datar tergantung dari jenis batuan yang dilewati oleh alur sungainya.

4.1. Karakteristik Hujan Daerah Penelitian


Hujan merupakan salah satu komponen penting untuk mengetahui kondisi suatu
daerah aliran. Hal ini disebabkan curah hujan adalah input utama dalam proses
hidrologi suatu DAS. Di samping itu, besarnya hujan inilah yang sebetulnya
dialihragamkan menjadi aliran sungai (stream flow) baik melalui aliran permukaan
(surface run-off), aliran antara (interflow, sub surface flow) maupun sebagai aliran air
tanah (groundwater flow). Karakteristik hujan yang berkaitan dengan penelitian ini
meliputi intensitas hujan sesaat, waktu konsentrasi, dan koefisien aliran permukaan.
Adapun stasiun hujan yang digunakan adalah stasiun hujan yang sifatnya sementara,
yaitu stasiun Tirto dan stasiun Sungapan (Gambar 3.1/hal.36).
4.1.1. Intensitas Hujan Sesaat
Derajat curah hujan biasanya dinyatakan oleh jumlah curah hujan dalam suatu
satuan waktu dan disebut intensitas curah hujan. Satuan yang digunakan adalah

56
mm/jam. Jadi intensitas curah hujan berarti jumlah presipitasi/curah hujan dalam
waktu relatif singkat (biasanya dalam waktu 2 jam atau kurang).
Semakin pendek waktu curah hujan, semakin besar intensitasnya. Hujan itu
kadang-kadang berhenti atau menjadi kecil/lemah, jadi jika jangka waktu curah hujan
itu panjang, maka intensitasnya kecil. Semakin kecil daerah pengaliran, maka jangka
waktu curah hujan atau waktu konsentrasi akan semakin pendek (time of
concentration = arrival time = waktu yang diperlukan oleh air untuk mengalir dari
titik paling jauh ke titik yang ditentukan di bagian hilir daerah penelitian). Jadi
intensitas curah hujan itu semakin besar.
Curah hujan jangka pendek dinyatakan dalam intensitas per jam yang disebut
intensitas curah hujan (mm/jam). Intensitas curah hujan rata-rata dalam t jam (It)
dinyatakan dengan rumus sebagai berikut;
Rt
It = , di mana Rt : curah hujan selama t jam
t
t : lamanya curah hujan (menit)
(Suyono dan Takeda, 1977; hal.32)
Hujan sesaat yang dianalisis meliputi 12 kejadian hujan pada dua stasiun hujan
selama empat Bulan, disajikan pada Tabel 4.1.
Tabel. 4.1. Data Hujan (mm)
No. Kejadian Hujan Stasiun Hujan
Tirto Crangah
1. 29 Desember 2007 4 4
2. 15 Januari 2008 27 27
3. 17 Januari 2008 16 14
4. 02 Februari 2008 1,5 1,5
5. 14 Februari 2008 20 16
6. 22 Februari 2008 2 4
7. 22 Februari 2008 8 4
8. 23 Februari 2008 28 27
9. 25 Februari 2008 14 10
10. 26 Februari 2008 14 12
11. 28 Februari 2008 122 110
12. 01 Maret 2008 6 6
Sumber; Data primer tahun 2008

57
Adapun besarnya intensitas curah hujan sesaat daerah penelitian dapat dilihat
pada Tabel 4.2.
Tabel. 4.2. Intensitas Hujan
No. Kejadian Hujan Tebal Hujan Intensitas Hujan
(mm) (mm/jam)
1. 29 Desember 2007 4 9,6
2. 15 Januari 2008 27 54
3. 17 Januari 2008 15 45
4. 02 Februari 2008 1,5 3
5. 14 Februari 2008 18 24
6. 22 Februari 2008 3 18
7. 22 Februari 2008 6 3
8. 23 Februari 2008 27,5 22
9. 25 Februari 2008 12 36
10. 26 Februari 2008 13 2,52
11. 28 Februari 2008 116 6,27
12. 01 Maret 2008 6 1,03
Sumber : Lampiran 3
4.1.2. Waktu Konsentrasi
Seperti telah disebutkan diatas bahwa semakin kecil daerah pengaliran, maka
jangka waktu curah hujan atau waktu konsentrasi akan semakin pendek (time of
concentration = arrival time = waktu yang diperlukan oleh air untuk mengalir dari
titik paling jauh ke titik yang ditentukan di bagian hilir daerah penelitian). Jadi
intensitas curah hujan itu semakin besar.
Waktu konsentrasi (tc) ditentukan berdasarkan rumus California Division of
Highways pada bab II sub bab 2.4.3. Rumus ini digunakan karena daerah penelitian
termasuk DAS kecil (tidak lebih dari 26 km2). Jarak (L) yang digunakan adalah jarak
yang terdapat pada peta RBI, yaitu dari hulu hingga mencapai batas orde dua. Adapun
hasil perhitungannya dapat dilihat pada Tabel 4.3.
Tabel. 4.3. Waktu Konsentrasi
Orde H (m) L (km) L3 (km) tc (jam) tc (menit)
1 Utama 250 2,08 8,999 0,264 15,81
1 162,5 0,53 0,149 0,064 3,85
Sumber; Hasil perhitungan peta RBI

58
Berdasarkan perhitungan diatas dapat diketahui bahwa beda tinggi suatu tempat
dan panjang sungai mempengaruhi watu konsentrasi, yaitu ketika beda tinggi
semakin besar dan jarak semakin panjang maka waktu konsentrasi akan semakin lama
untuk tiba pada daerah hilir.
4.1.3. Koefisien Aliran Permukaan
Koefisien aliran permukaan atau yang sering disingkat C merupakan bilangan
yang menunjukan perbandingan antara besarnya aliran permukaan terhadap besarnya
curah hujan (Asdak, 2002). Misalnya C untuk hutan adalah 0,1, artinya 10 persen dari
total curah hujan akan menjadi aliran permukaan. Secara matematis nilai C
dirumuskan sebagai berikut:

Aliran Permukaan (mm)


Koefisien Aliran =
Curah Hujan (mm)

Angka koefisien aliran permukaan merupakan salah satu indikator untuk


menentukan apakah suatu DAS sudah mengalami gangguan (fisik). Nilai C yang
besar menunjukan bahwa lebih banyak air hujan yang menjadi aliran permukaan. Hal
ini kurang menguntungkan dari segi pencagaran sumberdaya air karena besarnya air
yang akan menjadi air tanah berkurang. Kerugian lainnya adalah dengan semakin
besarnya jumlah air hujan yang menjadi aliran permukaan, maka ancaman terjadinya
erosi dan banjir menjadi lebih besar. Angka C berkisar antara 0 hingga 1. Angka C =
0 menunjukan bahwa semua air hujan terdistribusi menjadi air intersepsi dan terutama
infiltrasi. Sedang angka C = 1 menunjukan bahwa semua air hujan mengalir sebagai
aliran permukaan. Di lapangan, angka koefisien aliran permukaan biasanya lebih
besar dari 0 dan lebih kecil dari 1. Koefisien Aliran permukaan daerah penelitian
disajikan dalam Tabel 4.4.

59
Tabel. 4.4. Koefisien Aliran Permukaan
Plot A Plot B
Tanggal CH (mm) RO (mm) Ket. CH (mm) RO (mm) Ket.
29122007 4 0,10 10% RO 4 0,03 3% RO
15012008 27 0,32 32% RO 27 0,34 34% RO
17012008 15 0,54 54% RO 14 0,60 60% RO
02022008 1,5 0 0% RO 1,5 0 0% RO
14022008 18 0,23 23% RO 16 0,43 43% RO
22022008 3 0,29 29% RO 4 0,01 1% RO
22022008 6 0,03 3% RO 4 0,05 5% RO
23022008 27,5 0,01 1% RO 27 0,24 24% RO
25022008 12 0,14 14% RO 10 0,10 10% RO
26022008 13 0,45 45% RO 12 0,20 20% RO
28022008 116 0,47 47% RO 110 0,55 55% RO
01032008 6 0,05 5% RO 6 0,25 25% RO
Sumber : Lampiran 4
Berdasarkan hasil perhitungan di atas dapat diketahui bahwa ada hubungan
antara intensitas hujan dengan koefisien aliran permukaan, yaitu apabila hujan besar
dengan intensitas sesaat akan menghasilkan koefisien limpasan yang besar pula
demikian sebaliknya. Disamping itu peran vegetasi juga mempengaruhi dalam
besarnya koefisien aliran permukaan ini terutama dalam memecahkan butiran air
hujan yang akan jatuh ke permukaan.

4.2. Proses Erosi


Erosi tanah adalah suatu proses atau peristiwa hilangnya lapisan permukaan
tanah atas, baik disebabkan oleh pergerakan air maupun angin. Proses erosi ini dapat
menyebabkan merosotnya produktivitas tanah, daya dukung tanah untuk produksi
pertanian dan kualitas lingkungan hidup (Suripin, 2002)
Secara keseluruhan terdapat lima faktor yang menyebabkan dan mempengaruhi
besarnya laju erosi, yaitu iklim, tanah, topografi, vegetasi penutup, dan kegiatan
manusia. Faktor iklim yang paling menentukan dalam hal ini adalah hujan yang
dinyatakan dalam nilai indeks erosivitas hujan. Besar kecilnya laju erosi banyak
tergantung juga kepada sifat tanah itu sendiri yang dinyatakan sebagai faktor
erodibilitas tanah, yaitu kepekaan tanah terhadap erosi atau mudah tidaknya tanah
tersebut ter erosi. Topografi berperanan penting dalam menentukan kecepatan aliran

60
permukaan yang membawa partikel-partikel tanah tersebut. Peranan vegetasi penutup
adalah melindungi tanah dari pukulan langsung butir air hujan dan memperbaiki
struktur tanah melalui penyebaran akar-akarnya. Faktor kegiatan manusia memegang
peranan yang sangat penting terutama dalam usaha-usaha pencegahan erosi, sebab
manusia dapat memperlakukan faktor-faktor penyebab erosi lainnya kecuali faktor
iklim yang tidak bisa diatasi.
4.2.1. Kondisi Tanah
Secara fisik tanah terdiri dari partikel mineral dan organik dengan berbagai
ukuran. Partikel-partikel tersebut tersusun dalam bentuk matriks yang pori-porinya
kurang lebih 50%, sebagian terisi oleh air dan sebagian lagi terisi oleh udara. Secara
esensial, semua penggunaan tanah dipengaruhi oleh sifat-sifat fisik tanah. Dalam
kaitannya dengan penelitian ini, sifat fisik tanah yang berpengaruh meliputi; tekstur,
infiltrasi, dan kandungan bahan organik.
4.2.1.1. Tekstur Tanah
Tekstur tanah merupakan perbandingan relatif dari berbagai golongan besar
partikel tanah dalam suatu massa tanah, terutama perbandingan antara fraksi-fraksi
debu, lempung, dan pasir (Lampiran 5). Tabel 4.5 adalah jenis tekstur yang terbagi
menurut satuan bentuklahan lokasi penelitian;
Tabel. 4.5. Analisa Tekstur tanah
Satuan Prosentase (%)
Bentuk Lahan Pasir Debu Lempung Tekstur
D1.IV.Kb.1 43,44 36,23 30,9 Clay loam
D1.IV.Kb.2 16,88 63,6 36,22 Silty clay loam
Sumber; Data primer tahun 2008 dan hasil analisa laboratorium
Kepekaan tanah terhadap erosi ditentukan oleh mudah tidaknya butir-butir tanah
atau agregat-agregat tanah didispersikan dan disuspensikan oleh air, daya infiltrasi,
dan ukuran butir-butir tanah yang akan menentukan mudah atau tidaknya terangkut
oleh air. Karena itu tanah dengan agregat yang mudah didispersikan oleh air dan daya
infiltrasinya kecil serta dengan ukuran butir-butir tanah halus, peka terhadap erosi
atau erodibilitasnya besar (Suripin, 2002; hal.47).

61
Tanah-tanah yang banyak mengandung debu paling mudah tererosi. Hal ini
disebabkan karena debu dengan ukuran 0,002 – 0,05 mm sangat mudah dihanyutkan
oleh air, cepat penurunan kapasitas infiltrasinya, dan rendah kemantapan strukturnya.
Sedangkan tanah pasir akan lebih tahan tererosi karena tanah pasir kaya akan pori-
pori yang besar, tetapi tanah pasir mempunyai kemantapan struktur yang rendah.
Diantara ketiga jenis tanah yang paling tahan terhadap erosi adalah tanah-tanah
lempung, hal ini disebabkan tanah lempung mempunyai kemantapan struktur yang
tinggi, dan kapasitas penampungan air yang tinggi pula.
4.2.1.2. Infiltrasi Tanah
Infiltrasi adalah peristiwa masuknya air ke dalam tanah melalui permukaan tanah
secara vertikal. Sedangkan banyaknya air yang masuk melalui permukaan tanah per
satuan waktu dikenal sebagai laju infiltrasi. Nilai laju infiltrasi sangat tergantung pada
kapasitas infiltrasi, yaitu kemampuan tanah untuk melewatkan air dari permukaan
tanah secara vertikal.
Infiltrasi tanah di analisis dengan menggunakan pendekatan data tekstur tanah.
Pendekatan tekstur tanah untuk mengetahui tingkat infiltrasi terlihat pada Tabel 4.6
berikut :
Tabel. 4.6. Pendekatan Tekstur Tanah untuk Pendekatan Tingkat Infiltrasi
Tekstur Tanah Permukaan Tingkat Infiltrasi
Untuk Cek Lapangan Untuk Perhitungan C
- Pasir Pasir Tinggi
- Pasir bergeluh
- Geluh berpasir Geluh
- Geluh berdebu Sedang
- Geluh berlempung
- Geluh
- Lempung bergeluh Lempung Rendah
- Lempung
Batuan yang tertutup Batuan yang tertutup Dapat diabaikan
lapisan tanah tipis lapisan tanah tipis
Sumber; Karmono, et al, (1980)
Berdasarkan pendekatan tersebut, maka disimpulkan daerah penelitian
mempunyai tingkat infiltrasi yang disajikan dalam pada Tabel 4.7.

62
Tabel. 4.7. Analisa Tingkat Infiltrasi
Satuan Bentuk Lahan Tekstur Tingkat Infiltrasi
D1.IV.Kb.1 Clay loam Rendah
D1.IV.Kb.2 Silty clay loam Sedang
Sumber; Karmono, et al, (1980)
4.2.1.3. Bahan Organik
Bahan organik umumnya ditemukan di permukan tanah atau lapisan tanah atas
(top soil). Jumlah bahan organik ini tidak besar, akan tetapi penting dalam
menentukan sifat-sifat tanah dan dalam bidang pertanian terutama bagi pertumbuhan
tanaman. Dalam kaitannya dengan erosi tanah, Bennet (1955, dalam Suripin, 2002;
hal.54) menyatakan bahwa fungsi bahan organik dalam pencegahan terjadinya erosi
antara lain dapat memperbaiki aerasi tanah dan mempertinggi kapasitas air tanah serta
memperbaiki daerah perakaran.
Tanaman penutup tanah dan atau sisa-sisa tanaman berupa dedaunan, ranting,
batang tanaman yang belum hancur yang menutupi permukaan tanah, selain
melindungi tanah dari pukulan hujan juga merupakan sumber bahan organik bagi
kebutuhan mikro-organisme. Bahan organik berasal dari guguran vegetasi adalah
sumber makanan yang merangsang kegiatan mikro-organisme dalam menciptakan
struktur tanah yang baik dan terciptanya suatu lapisan khusus pada permukaan tanah
(Stallings, 1957 dalam Suripin, 2002; hal.54). Besar kandungan bahan organik tanah
yang terbagi menurut satuan bentuklahan lokasi penelitian pada Tabel 4.8 berikut;
Tabel. 4.8. Analisa Bahan Organik
Satuan Bahan Organik Keterangan
Bentuk Lahan (%)
D1.IV.Kb.1 7,96 Rendah
D1.IV.Kb.2 7,41 Rendah
Sumber; Data primer tahun 2008 dan hasil analisa laboratorium
Karena bahan organik mampu meningkatkan kemantapan agregat maka dengan
demikian akan mempunyai pengaruh juga terhadap kemantapan pori tanah, yang
dengan demikian berarti meningkatkan kapasitas infiltrasi tanah.

63
4.2.2. Plot Erosi
Plot erosi merupakan bentuk daerah aliran sungai kecil dan juga merupakan
sistem dari variabel masukan dan variabel keluaran. Menurut Morgan (1979), jumlah
plot erosi tergantung pada tujuan penelitian. Pendugaan besar erosi permukaan
dengan pendekatan tersebut dimaksudkan agar dapat mewakili pengamatan erosi
permukaan di daerah penelitian. Mengenai metode plot erosi telah dibahas pada bab
II sub bab 2.3.1. Untuk menentukan besarnya erosi permukaan, digunakan pembatas
berdasarkan satuan lahan dengan menggunakan plot erosi yang berbentuk alami
(Natural plot erosion), yang merupakan plot erosi modifikasi dari teknik Morgan
(1979) oleh Van Der Linden (1983) dengan pemilihan satuan lahan secara stratified
purposive sampling. Lokasi plot erosi dapat dilihat pada Gambar 4.1 dan mengenai
plot erosi di lapangan dapat dilihat pada Lampiran 6.
4.2.3. Besar Erosi Permukaan
Berdasarkan data primer yang meliputi 12 kejadian hujan, maka didapatkan
besarnya erosi permukaan daerah penelitian berdasarkan Tabel 4.9 sebagai berikut;
Tabel.4.9. Besar Erosi Permukaan Berdasarkan Plot Erosi
Volume Aliran Permukaan Besar Erosi Permukaan
Tanggal Jumlah Hujan (liter) (kg)
(mm) Plot 1 Plot 2 Plot 1 Plot 2
291207 4 2 0,2 0,0062 0,0001
150108 27 66 30 0,2654 0,1157
170108 15 67 27,6 0,2042 0,0752
020208 1,5 0 0 0 0
140208 18 34,8 22,5 0,2237 0,0754
220208 3 0,45 0,14 0,0021 0,0002
220208 6 1,66 0,68 0,0030 0,0005
230208 27,5 64,8 21,3 0,2720 0,0738
250208 12 15,3 3,3 0,0354 0,0083
260208 13 48 7,8 0,1596 0,0227
280208 116 440 198 0,6826 0,2813
010308 6 2,3 4,9 0,0014 0,0062
Sumber : Lampiran 7

64
4.3. Transport Sedimen
Menurut Anderson (1957; p.15-16), jumlah sedimen suatu daerah aliran sungai
(DAS) akan dipengaruhi oleh;
- faktor hidrologi, kekuatan aliran (storm&stream flow) yang menghasilkan dan
mengangkut sedimen.
- Kondisi daerah aliran sungai dan variabel land use, dimana setiap saat dapat
berubah-ubah.
- Karakteristik daerah aliran sungai itu sendiri, seperti luas, geologi, dan fisiografi.
Daya rusak limpasan permukaan terutama dipengaruhi oleh kecepatan
alirannya. Pada kecepatan rendah dan aliran tenang, limpasan permukaan tidak
menyebabkan erosi. Baru setelah mencapai laju kecepatan tertentu limpasan
permukaan mampu mengerosi tanah, yakni apabila energi limpasan permukaan sudah
lebih besar dari ketahanan tanahnya. Nilai kecepatan ini disebut “ambang kecepatan”
(threshold velocity). Nilai ambang kecepatan dipengaruhi oleh ukuran partikel tanah.
Ukuran partikel yang semakin besar ataupun semakin halus akan lebih sukar tererosi
daripada partikel ukuran sedang (debu). Hal tersebut dikarenakan partikel yang besar
memerlukan tenaga pengangkut yang besar karena berat partikelnya dan partikel yang
kecil karena adanya gaya kohesi dari partikel-partikel tanah itu sendiri. Pada partikel
ukuran besar, nilai ambang kecepatan bertambah besar seiring meningkatnya ukuran
partikel. Kecepatan aliran selalu berubah, kecepatan akan menurun hingga mencapai
suatu nilai dimana aliran permukaan sudah dapat mengangkut partikel tanah yang
tererosi, yang kemudian di endapkan.
4.3.1. Debit
Debit merupakan banyaknya aliran yang mengalir melalui suatu penampang
pada waktu tertentu, biasanya dinyatakan dalam m3/detik. Besarnya debit dapat
diketahui melalui pengukuran lapangan dengan cara pelampung (floater). Mengenai
metode pelampung ini telah disebutkan pada bab II sub bab 2.3.2. Lokasi pengukuran
debit dan sedimen dapat dilihat pada gambar 4.2. Adapun hasil perhitungan debit
metode pelampung dapat dilihat dalam Tabel 4.10.

65
Tabel.4.10. Debit Aliran (m3/dt)
No. Tanggal Orde 1 Orde 1 Sungai Utama Orde 2
1. 161207 0,0027 0,0113 0,0384
2. 291207 0,0112 0,0836 0,0243
3. 150108 0,2589 0,4097 0,3254
4. 170108 0,2617 0,2781 0,2698
5. 210108 0,0535 0,1311 0,3193
6. 020208 0,0653 0,1056 0,1511
7. 140208 0,1130 0,0973 0,1123
8. 220208 0,0025 0,0288 0,0607
9. 220208 0,0055 0,0163 0,0557
10. 230208 0,1252 0,0933 0,3121
11. 250208 0,0104 0,0333 0,0859
12. 260208 0,0065 0,0318 0,1068
13. 280208 0,8096 2,1095 2,8658
14. 010308 0,0148 0,1617 0,2062
Sumber : Lampiran 8

4.3.2. Kondisi Aliran


Erosi aliran permukaan hanya akan terjadi jika intensitas hujan melebihi
kapasitas infiltrasi atau kapasitas penyimpanan air tanah. Mengingat bahwa aliran
permukaan terjadi tidak merata dan arah alirannya tidak beraturan maka kemampuan
untuk mengikis tanah juga tidak sama atau tidak merata untuk semua tempat.
Faktor yang berpengaruh terhadap laju erosi permukaan adalah kecepatan dan
turbulensi aliran. Pada kecepatan rendah dan aliran tenang, aliran permukaan
cenderung tidak menyebabkan terjadinya erosi. Sebaliknya pada batas kecepatan
tertentu aliran permukaan akan mampu mengikis permukaan tanah, hal mana terjadi
bila energi aliran permukaan melebihi daya tahan tanah.
Karakteristik hidraulik aliran permukaan dapat diidentifikasi dengan bilangan
Reynold (Re) berdasarkan rumus pada bab II sub bab 2.4.2. Tabel 4.11 menunjukkan
hasil identifikasi karakteristik hidraulik aliran permukaan daerah penelitian adalah
memiliki sifat aliran permukaan mayoritas turbulen.

66
Tabel.4.11. Analisa Kondisi Aliran (Re)
Orde 1 Orde 1 Sungai Utama Orde 2
No. Re Ket. Re Ket. Re Ket.
1. 3111 Transisi 5896 Transisi 15812 Turbulen
2. 11547 Turbulen 57760 Turbulen 16783 Turbulen
3. 106872 Turbulen 140577 Turbulen 111930 Turbulen
4. 90112 Turbulen 94913 Turbulen 92931 Turbulen
5. 36660 Turbulen 67450 Turbulen 165757 Turbulen
6. 44648 Turbulen 53812 Turbulen 62160 Turbulen
7. 46216 Turbulen 32775 Turbulen 38500 Turbulen
8. 4167 Transisi 19278 Turbulen 20650 Turbulen
9. 5580 Transisi 16530 Turbulen 19066 Turbulen
10. 64090 Turbulen 37917 Turbulen 107000 Turbulen
11. 10425 Turbulen 16732 Turbulen 29240 Turbulen
12. 6570 Turbulen 15986 Turbulen 36340 Turbulen
13. 279213 Turbulen 430780 Turbulen 595808 Turbulen
14. 21407 Turbulen 66034 Turbulen 70805 Turbulen
Sumber : Lampiran 9

4.3.3. Sedimen
4.3.3.1. Muatan Suspensi
Maksud pengukuran muatan suspensi adalah menentukan konsentrasi sedimen
dan produksi sedimen suspensi dari suatu DAS. Pengukuran konsentrasi sedimen
dilakukan dengan cara konvensional, yaitu melakukan pengukuran konsentrasi
sedimen pada suatu vertikal dan mengambil sampel sedimen dengan metode integrasi
kedalaman menggunakan alat USDH 48.
Cara pengambilan sampel berdasarkan metode integrasi kedalaman disini
adalah sebagai berikut; pada suatu penampang melintang dibagi sejumlah jalur
vertikal pengukuran dengan jarak setiap vertikal dibuat sama. Pengukuran muatan
suspensi pada setiap jalur vertikal dilakukan dengan cara integrasi kedalaman serta
menggerakkan alat ukurnya turun ataupun naik dengan kecepatan yang sama untuk
semua jalur vertikal. Volume yang diperoleh akan sebanding dengan besar aliran
pada tiap bagian penampang melintang. Sehingga sejumlah sampel dari setiap jalur
vertikal dapat ditampung di dalam satu botol sampel. Jumlah vertikal yang diperlukan

67
pada setiap penampang melintang sungai minimal 3 vertikal. Lokasi pengukuran
sedimen ditentukan dengan cara mean section.
Besarnya sedimen dalam air dapat diketahui dari besarnya suspensi yang berada
dalam air. Pengukuran besarnya sedimen tersebut menggunakan kertas saring, yang
kemudian akan diperoleh suspensi. Setelah suspensi tersebut dikeringkan, akan
diperoleh besar suspensi yang menunjukkan besarnya suspensi yang terdapat dalam
sejumlah volume air.
Tabel.4.12. Muatan Suspensi rata-rata {Cs (gr/lt)}
No. Tanggal Orde 1 Orde 1 Sungai Utama Orde 2
1. 161207 0,1869 0,1869 0,1998
2. 291207 0,0132 0,6347 0,5299
3. 150108 0,5720 0,7017 0,6135
4. 170108 0,5449 0,6246 0,5482
5. 210108 0,1978 0,6761 0,7201
6. 020208 0,1678 0,6779 0,4731
7. 140208 0,7070 0,4772 0,4898
8. 220208 0,1333 0,6324 0,3934
9. 220208 0,1367 0,5816 0,3891
10. 230208 0,7094 0,4869 0,5707
11. 250208 0,5695 0,4077 0,4004
12. 260208 0,5311 0,5994 0,4147
13. 280208 0,9167 1,4520 1,7346
14. 010308 0,6043 0,5410 0,5113
Sumber : Lampiran 10

4.3.3.2. Muatan Dasar


Muatan dasar pada umumnya terdiri dari partikel-partikel kasar dan merupakan
faktor penting dalam proses fluvial, meskipun tidak sebesar muatan sedimen
suspensi. Penentuan muatan sedimen dasar ini berdasarkan rumus empiris yang
dikembangkan oleh Meyer-Peter-Muller. Hal ini dilakukan karena pengukuran
muatan sedimen dasar secara langsung sangat sulit.
Tabel.4.13. Debit Muatan Dasar {T (m3/dt)}
Orde b D50 Δ g μ h i Δd T
1 1,6 0,000695 1,93 9,81 0,00001069 19,14 2 0,001341 0,000134
1 Utama 2,4 0,000467 1,1 9,81 0,00001160 18,5 4 0,000514 0,001315
2 2,9 0,000693 1,27 9,81 0,00005604 27,64 5 0,00088 0,038693
Sumber : Lampiran 11

68
4.3.4. Hasil Sedimen (Sediment Yield)
Samuel and Singh (1989, dalam Suripin, 2002; hal.66) melaporkan bahwa tidak
ada satupun variabel tunggal yang mempunyai korelasi kuat dengan sediment yield,
tetapi setelah mengkombinasikan tiga atau lebih variabel, pengaruhnya akan menjadi
nyata.
Hasil sedimen daerah penelitian didapatkan dari data muatan dasar dan data
muatan suspensi aktual yang kemudian dicari perbandingan antara mutan dasar
dengan muatan suspensi atau berapa persen muatan dasar terhadap muatan suspensi.
Tabel 4.14 menunjukkan prosentase muatan dasar terhadap muatan suspensi dan hasil
muatan total.
Tabel.4.14. Hasil Sedimen
Debit Aliran Debit Suspensi Debit Bed Load Muatan Total
Orde (m3/dt) (gr/dt) (gr/dt) T/Qs x 100% (gr/dt)
Q Qs T Qst
1 0,12435 47,589 2,931 6,159 50,520
1 Utama 0,25654 83,273 2,096 2,517 85,369
2 0,35242 102,625 2,269 2,211 104,894
Sumber: Data primer tahun 2008 dan hasil perhitungan

4.3.5. Nisbah Pengangkutan Sedimen / Sediment Delivery Ratio (SDR)


Nisbah pelepasan sedimen / sediment delivery ratio (SDR) merupakan
perbandingan antara sedimen yang terukur di outlet dan erosi di lahan. Secara umum
besarnya SDR cenderung berbanding terbalik terhadap luas DAS, semakin luas DAS
akan semakin kecil nilai SDR. Namun kalau ditinjau lebih teliti, besarnya SDR
merupakan proses yang sangat kompleks, tidak sekedar fungsi luas DAS, tapi hampir
semua karakteristik DAS berpengaruh terhadap nilai SDR (Suripin, 2002; hal.82).
Williams dan Berndt (1972, dalam Suripin, 2002; hal.82) menunjukkan bahwa
besarnya SDR sangat bervariasi antara satu DAS dengan DAS lainnya dan bervariasi
dari tahun ke tahun. SDR tidak hanya dipengaruhi oleh faktor luas DAS tapi juga
faktor-faktor lain, diantaranya geomorfologi, faktor lingkungan, lokasi sumber
sedimen, karakteristik relief dan kemiringan, pola drainase dan kondisi saluran,
penutup lahan, tata guna lahan, dan tekstur tanah.

69
4.3.5.1. SDR dengan Luas DAS
Renfro (1975, dalam Ouyang, 2007) telah mengembangkan persamaan SDR
dengan luas DAS. Hal ini berdasarkan persamaan Maner’s (1962, dalam Ouyang,
2007) yang telah mengobservasi sediment yield pada 14 DAS pada wilayah
Blackland Prairie, Texas. Model ini menunjukkan hubungan yang baik antara SDR
dan luas DAS. Model tersebut dituliskan sebagai berikut;
Log (SDR) = 1,7935 – 0,14191 Log A
dengan A : Luas DAS (km2)
Tabel.4.15. Faktor SDR dengan Luas DAS
A (km2) Log A SDR
1,64 0,215 1,763
Sumber : Hasil perhitungan data sekunder
Berdasarkan perhitungan pada tabel 4.15 diketahui bahwa pada DAS kecil nilai
SDR akan besar. Dimungkinkan pula sebaliknya, bahwa semakin luas DAS maka
nilai SDR akan semakin kecil, sehingga nilai SDR juga akan dipengaruhi oleh luas
tidaknya sebuah DAS.
4.3.5.2. SDR dengan Curah Hujan dan Run Off
Air merupakan media untuk transport sedimen. Curah hujan dan run off
merupakan kekuatan alami dalam proses pelepasan sedimen. DAS yang memiliki
iklim basah biasanya memiliki SDR yang tinggi hampir disetiap curah hujan. SDR
juga selalu di asosiasikan dengan contoh hujan. Durasi curah hujan yang lama selalu
memiliki intensitas yang lebih kecil akan memiliki SDR yang rendah dibandingkan
durasi curah hujan yang singkat dengan intensitas yang besar. Penggunaan
lahan/penutup lahan merupakan faktor lain yang mempengaruhi SDR. DAS dengan
penutup lahan yang baik akan memiliki SDR yang rendah karena vegetasi
memperlambat kecepatan run off dan tanah yang tererosi.
Model SDR yang digunakan berdasarkan soil and water assessment tool
(SWAT) (Arnold, et al. 1996, dalam Ouyang, 2007), yang dikembangkan untuk
estimasi SDR berdasarkan satu kejadian. Bentuknya adalah;
SDR = {(qp/rp) / (0,782845 + 0,217155 Q/R)}0,56

70
dengan; qp : run off (mm/jam) Q : tebal run off (mm)
rp : curah hujan (mm/jam) R : Tebal curah hujan (mm)
Berdasarkan data intensitas hujan dan koefisian aliran permukaan maka Rata-rata
SDR daerah penelitian adalah 0,1672.
Tabel.4.16. Faktor SDR dengan Curah Hujan dan Run Off
Sub DAS Tirto
Tanggal qp (mm/jam) rp (mm/jam) Q (mm) R (mm) SDR
29122007 0,07 9,6 0,07 4 0,0703
15012008 0,33 54 0,33 27 0,0720
17012008 0,57 45 0,57 15 0,0791
02022008 0 3 0 1,5 0
14022008 0,33 24 0,33 18 0,1291
22022008 0,15 18 0,15 3 0,0446
22022008 0,02 3 0,04 6 0,1103
23022008 0,1 22 0,13 27,5 0,0912
25022008 0,12 36 0,12 12 0,0440
26022008 0,06 2,52 0,33 13 0,1863
28022008 0,03 6,27 0,51 116 0,1000
01032008 0,03 1,03 0,15 6 0,2298
Sumber: Data primer tahun 2008 dan hasil perhitungan

Berdasarkan tabel 4.16 diketahui bahwa besarnya curah hujan akan


mempengaruhi run off. Jadi besarnya run off akan dipengaruhi oleh sumber dari run
off itu sendiri, yaitu curah hujan.
4.3.5.3. SDR dengan Hasil Sedimen
Merupakan rumusan SDR yang dikembangkan berdasarkan data erosi
permukaan dan data hasil sedimen dengan prosedur penurunan persamaan SDR
sebagai berikut;
a. Estimasi erosi lahan dengan plot erosi diatas outlet yang ditinjau.
b. Menghitung hasil sedimen dari setiap orde sungai.
c. Perhitungan sediment delivery ratio memakai rumusan a dan b diatas dengan
rumus SDR = hasil sedimen/erosi lahan.
Berdasarkan Tabel 4.17 dengan rumusan SDR tersebut didapatkan bahwa rata-
rata kejadian adalah sungai mengalami agradasi sebagai akibat deposisi dari material
hasil erosi lahan. Agradasi terjadi karena energi limpasan permukaan lebih kecil dari

71
ketahanan tanahnya. Nilai kecepatan ini disebut “ambang kecepatan” (threshold
velocity). Nilai ambang kecepatan dipengaruhi oleh ukuran partikel tanah.
Deposisi yang berlanjut akan mengakibatkan berkurangnya luas penampang
basah sungai dan pada gilirannya akan terjadi luapan banjir karena penampang basah
yang ada tidak mampu mengalirkan debit banjir. Proses erosi dan sedimentasi yang
tidak dikendalikan akan menimbulkan bencana banjir dan pada lahan yang tererosi
akan menimbulkan kerugian di pihak petani karena kesuburan tanah menurun.

4.4. Koefisien Korelasi


Korelasi merupakan suatu asosiasi antara dua variabel atau lebih yang
dinyatakan dalam suatu nilai. Nilai-nilai yang dicari adalah nilai r, tr, dan tb
berdasarkan rumus 2.4.1.1 hingga 2.4.1.14 pada bab II sub bab 2.4.1. Kemudian nilai
tr di uji dengan α = 0,05 dan nilai tb di uji dengan α = 0,1. Uji nilai tr dilakukan
dengan membandingkan taraf signifikansi pada α = 0,05 dari nilai-nilai r product
moment pada lampiran 12. Sedangkan uji nilai tb dilakukan dengan membandingkan
taraf alpha pada tabel t – student (1 phk) pada lampiran 13.
4.4.1. Kadar Suspensi (Cs) dengan Debit Aliran (Q)
Dengan jumlah sampel (n) adalah 14 maka pengujian dilakukan pada tiap orde
sungai. Hasil perhitungan disajikan pada Lampiran 14. Dari hasil tersebut didapatkan
bahwa;
A. Nilai r
- Orde 1 memiliki nilai r sebesar 0,4749 yang berarti mendekati angka 0, maka
hubungan antara kedua variabel dikatakan lemah atau hampir tidak terdapat
hubungan sama sekali. Diagram pencarnya menggambarkan titik-titik koordinat
yang menggerombol pada suatu tempat.
- Orde 1 sungai utama memiliki nilai r sebesar 0,8336 yang berarti mendekati
angka 1, maka korelasi antara kedua variabel dikatakan positif dan kuat.
Diagram pencarnya menggambarkan trend titik-titik koordinat yang melalui
kuadran I dan kuadran III.

72
- Orde 2 memiliki nilai r sebesar 0,6632 yang berarti mendekati angka 1, maka
korelasi antara kedua variabel dikatakan positif dan cukup kuat.
B. Uji nilai r dengan α = 0,05
Dengan jumlah sampel sebanyak 14, maka taraf signifikansi pada α = 0,05 dari
nilai-nilai r product moment adalah sebesar 0,532.
- Orde 1 memiliki nilai tr sebesar 2,0188 yang berarti tr > t tabel, hipotesa Ho ; β
= 0 ditolak, yang berarti nilai r pada tingkat kepercayaan 95% meyakinkan.
- Orde 1 sungai utama memiliki nilai tr sebesar 5,6478 yang berarti tr > t tabel,
hipotesa Ho ; β = 0 ditolak, yang berarti nilai r pada tingkat kepercayaan 95%
meyakinkan.
- Orde 2 memiliki nilai tr sebesar 3,3158 yang berarti tr > t tabel, hipotesa Ho ; β
= 0 ditolak, yang berarti nilai r pada tingkat kepercayaan 95% meyakinkan.
C. Uji nilai tb dengan α = 0,1.
Dengan jumlah sampel sebanyak 14, maka taraf signifikansi pada α = 0,1 atau
10 % dari nilai-nilai t-tabel 1 phk adalah sebesar 1,761.
- Orde 1 memiliki nilai tb sebesar 3,3089 yang berarti tb (t hitung) > t tabel,
hipotesa Ho ; β = 0 ditolak, berarti nilai b pada tingkat kepercayaan 90% adalah
meyakinkan.
- Orde 1 sungai utama memiliki nilai tb sebesar 5,8736 yang berarti tb (t hitung) >
t tabel, hipotesa Ho ; β = 0 ditolak, berarti nilai b pada tingkat kepercayaan 90%
adalah meyakinkan.
- Orde 2 memiliki nilai tb sebesar 4,8528 yang berarti tb (t hitung) > t tabel,
hipotesa Ho ; β = 0 ditolak, berarti nilai b pada tingkat kepercayaan 90% adalah
meyakinkan.

73
Grafik Hubungan Debit dengan Kadar Suspensi
Sungai Orde 1

2
Kadar Suspensi (gr/lt)

1,5
Debit (m3/dt)
1
Linear (Debit (m3/dt))
0,5 R2 = 0,6728

0
0 0,1 0,2 0,3
Debit (m3/dt)

Gambar 4.2. Grafik Hubungan Antara Kadar Suspensi dengan Debit Aliran
Sub DAS Tirto

Grafik Hubungan Debit dengan Kadar Suspensi


Orde 1 Sungai Utama

0,8
Kadar Suspensi (gr/lt)

0,7
0,6
0,5
Debit (m3/dt)
0,4
Linear (Debit (m3/dt))
0,3
0,2 R2 = 0,6405
0,1
0
0 0,1 0,2 0,3 0,4 0,5
Debit (m3/dt)

Gambar 4.3. Grafik Hubungan Antara Kadar Suspensi dengan Debit Aliran
Sub DAS Tirto

74
Grafik Hubungan Debit dengan Kadar Suspensi
Sungai Orde 2

Kadar Suspensi (gr/lt) 0,8


0,7
0,6
0,5
Debit (m3/dt)
0,4
Linear (Debit (m3/dt))
0,3
0,2 R2 = 0,3712
0,1
0
0 0,1 0,2 0,3 0,4
Debit (m3/dt)

Gambar 4.4. Grafik Hubungan Antara Kadar Suspensi dengan Debit Aliran
Sub DAS Tirto

4.4.2. Curah Hujan (CH) dengan Erosi Permukaan (EP)


Dengan jumlah sampel (n) adalah 12 berdasarkan setiap kejadian hujan, maka
pengujian dilakukan pada tiap plot erosi. Hasil perhitungan disajikan pada Lampiran
15. Dari hasil tersebut didapatkan bahwa;
A. Nilai r
- Plot A memiliki nilai r sebesar 0,9406 yang berarti mendekati angka 1, maka
korelasi antara kedua variabel dikatakan positif dan sangat kuat. Diagram
pencarnya menggambarkan trend titik-titik koordinat yang melalui kuadran I
dan kuadran III.
- Plot B sungai utama memiliki nilai r sebesar 0,9631 yang berarti mendekati
angka 1, maka korelasi antara kedua variabel dikatakan positif dan sangat kuat.
Diagram pencarnya menggambarkan trend titik-titik koordinat yang melalui
kuadran I dan kuadran III.

75
B. Uji nilai r dengan α = 0,05
Dengan jumlah sampel sebanyak 12, maka taraf signifikansi pada α = 0,05 dari
nilai-nilai r product moment adalah sebesar 0,576.
- Plot A memiliki nilai tr sebesar 8,7642 yang berarti tr > t tabel, hipotesa Ho ; β
= 0 ditolak, yang berarti nilai r pada tingkat kepercayaan 95% meyakinkan.
- Plot B sungai utama memiliki nilai tr sebesar 11,3132 yang berarti tr > t tabel,
hipotesa Ho ; β = 0 ditolak, yang berarti nilai r pada tingkat kepercayaan 95%
meyakinkan.
C. Uji nilai tb dengan α = 0,1.
Dengan jumlah sampel sebanyak 12, maka taraf signifikansi pada α = 0,1 dari
nilai-nilai t-tabel 1 phk adalah sebesar 1,761.
- Plot A memiliki nilai tb sebesar 0,0754 yang berarti tb (t hitung) < t tabel,
hipotesa Ho ; β ≠ 0 diterima, berarti nilai b pada tingkat kepercayaan 90%
adalah tidak meyakinkan.
- Plot B sungai utama memiliki nilai tb sebesar 0,0275 yang berarti tb (t hitung) <
t tabel, hipotesa Ho ; β ≠ 0 diterima, berarti nilai b pada tingkat kepercayaan
90% adalah tidak meyakinkan.
Pada uji t-tabel ini pada plot A dan B dikatakan bahwa pada tingkat
kepercayaan yang tidak meyakinkan. Hal ini mungkin saja disebabkan karena adanya
ketimpangan pada angka yang terdapat pada hasil pengukuran dan perhitungan,
dimana curah hujan memiliki bilangan genap hingga tiga digit sedangkan pasangan
datanya yaitu data erosi permukaan rata-rata memiliki bilangan tidak lebih dari 0
hingga beberapa angka dibelakang koma, sehingga menyebabkan adanya
ketimpangan dalam penilaian.

76
Erosi Permukaan Plot A (14,625 m2)

140
120
Curah Hujan (mm)

100
80
EP
60
Linear (EP)
40
20 R2 = 0,8918
0
-20 0 0,2 0,4 0,6 0,8
Erosi Permukaan (kg)

Gambar 4.5. Grafik Hubungan Antara Curah Hujan dengan Erosi Permukaan
Sub DAS Tirto

Erosi Permukaan Plot B (6,25 m2)

120

100
Curah Hujan (mm)

80
EP
60
Linear (EP)
40
R2 = 0,9322
20

0
0 0,05 0,1 0,15 0,2 0,25 0,3
Erosi Permukaan (kg)

Gambar 4.6. Grafik Hubungan Antara Curah Hujan dengan Erosi Permukaan
Sub DAS Tirto

77
4.4.3. Debit Sedimen (Qs) dengan Debit Aliran (Qa)
Dengan membuat lengkung sedimen (sediment rating curve) untuk mengetahui
nilai a dan b. Dengan jumlah sampel (n) adalah 14 maka pengujian dilakukan pada
tiap orde sungai. Hasil perhitungan disajikan pada Lampiran 16. Dari hasil tersebut
didapatkan persamaan bahwa;
- Orde 1 memiliki persamaan; Qs = 78,163 Qa 1,420
- Orde 1 sungai utama memiliki persamaan; Qs = 30,339 Qa 1,193
- Orde 2 memiliki persamaan; Qs = 51,523 Qa 1,712
Masing-masing persamaan memiliki nilai R2 medekati angka 1 yang berarti
memiliki korelasi yang kuat antara debit aliran dengan debit suspensi. Berikut adalah
sediment rating curve daerah penelitian;

Sediment Rating Curve Sungai Orde 1

2
1,5
1
0,5
Log Qs

0 Log Qs
-3 -2 -1 -0,5 0 Linear (Log Qs)
-1
R2 = 0,8991
-1,5
-2
-2,5
Log Qa

Gambar 4.7. Grafik Hubungan Antara Debit Aliran dengan Debit Suspensi
Sub DAS Tirto

78
Sediment Rating Curve Orde 1 Sungai Utama

2,5
2
1,5
1
Log Qs

Log Qs
0,5
Linear (Log Qs)
0
-2,5 -2 -1,5 -1 -0,5 -0,5 0 0,5 2
R = 0,7835
-1
-1,5
Log Qa

Gambar 4.8. Grafik Hubungan Antara Debit Aliran dengan Debit Suspensi
Sub DAS Tirto

Sediment Rating Curve Sungai Orde 2

3
2,5
2
1,5
Log Qs

1 Log Qs
0,5 Linear (Log Qs)
0
R2 = 0,9137
-2 -1,5 -1 -0,5 -0,5 0 0,5 1
-1
-1,5
Log Qa

Gambar 4.9. Grafik Hubungan Antara Debit Aliran dengan Debit Suspensi
Sub DAS Tirto

79
4.5. Artificial Neural Network (ANN)
Model artificial neural network (ANN) yang digunakan adalah perambatan
galat mundur (backpropagation) dengan tiga lapis jaringan, yaitu pola masukan,
lapisan tersembunyi, dan pola keluaran. Sebagai input adalah data erosi permukaan
dan transport sedimen. Dalam analisa ANN ini digunakan software MatLab versi 7.1
dengan command window (Gambar 4.10). Maksud dari command window adalah data
dapat dieksekusi setelah tanda ”>>” pada desktop matlab.

Enter matlab functions at


command-line prompt

Gambar 4.10. Desktop MatLab

Hal yang perlu diketahui adalah software ini membahasakan data numerik
dalam bentuk matrik dan vektor, sehingga dalam proses memasukkan data, erosi
permukaan berada pada vektor bagian kiri dan transport sedimen berada pada vektor
bagian kanan. Selain itu apabila data input termasuk data besar, maka perlu ada

80
perlakuan membagi data tersebut dengan data yang memiliki nilai paling besar
sehingga didapatkan data dengan bilangan antara 0 dan 1.
Berdasarkan analisa yang telah dilakukan pada Lampiran 17 menunjukkan
kondisi yang sama antara hasil analisa sediment delivery ratio dengan analisa
artificial neural network. Dari hasil tersebut didapatkan bobot dan bias yang
ditunjukkan pada Tabel 4.18, yang kemudian digunakan untuk menentukan agradasi
atau degradasi. Dari uji yang dilakukan terhadap bobot dan bias pada setiap orde
sungai dengan fungsi aktivasi logaritmik sigmoid didapatkan bahwa bobot dan bias
tersebut dapat berfungsi dengan baik jika dimasukkan data secara sembarang dan
dihasilkan kondisi agradasi atau degradasi. Degradasi terjadi karena transport
sedimen lebih besar dari erosi permukaan dan agradasi terjadi karena erosi
permukaan lebih besar dari transport sedimen. Sedangkan hasil yang ada
menunjukkan bahwa sungai ungraded.
Tabel 4.18. Nilai Bobot dan Bias Setiap Orde Sungai
No. Orde 1 Orde 1 Sungai Utama
1. Bobot ; Bobot ;
W1 = 124.2516 -85.8083 W1 = 81.2023 -52.6956
-5.7266 0.4927 -16.2110 25.7095

W2 = -63.4281 10.1370 W2 = -54.5215 18.8936

Bias 1 = 0.0836 Bias 1 = -0.2065


8.5592 0.5574

Bias 2 = 19.7390 Bias 2 = 13.7331

Sumber : Lampiran 17
Hasil analisa dengan metode artificial neural network dan sediment delivery
ratio menunjukkan hasil yang sama untuk kondisi sungai, yaitu mengalami agradasi
atau degradasi. Dalam hal ini berarti menunjukkan bahwa sungai belum mencapai
graded profile, hal ini ditunjukkan dalam Tabel 4.19.

81
Tabel 4.19. Perbandingan hasil analisa antara artificial neural network dan
sediment delivery ratio
No. Sediment Delivery Ratio Artificial Neural Network
Orde 1 Orde 1 Utama Orde 1 Orde 1 Utama
1. Degradasi Degradasi Degradasi Degradasi
2. Agradasi Agradasi Agradasi Agradasi
3. Agradasi Agradasi Agradasi Agradasi
4. Agradasi Agradasi Agradasi Agradasi
5. Degradasi Degradasi Degradasi Degradasi
6. Degradasi Degradasi Degradasi Degradasi
7. Agradasi Agradasi Agradasi Agradasi
8. Agradasi Degradasi Agradasi Degradasi
9. Agradasi Degradasi Agradasi Degradasi
10. Agradasi Agradasi Agradasi Agradasi
11. Agradasi Agradasi Agradasi Agradasi
12. Agradasi Agradasi Agradasi Agradasi
13. Degradasi Degradasi Degradasi Degradasi
14. Degradasi Degradasi Degradasi Degradasi
Sumber : Tabel 4.17 dan Lampiran 17

4.6. Penampang Sungai


Penyesuaian suatu sungai terhadap berbagai kondisi aliran mencerminkan
morfologi suatu sungai seperti profil yang mendatar dan melintang. Suatu arus sungai
dikatakan ungraded jika profil yang memanjang tidak seimbang. Pada suatu sungai
apabila kecepatan aliran meningkat maka erosi akan terjadi dan menurunkan gradien,
dan ketika kecepatan aliran menurun agradasi terjadi, menaikkan lereng sungai. Suatu
profil sungai yang datar akan dapat menampung kapasitas sedimen transport, sungai
seperti ini dapat dikatakan sebagai graded profile. Jadi dapat dikatakan bahwa sungai
yang telah mencapai graded profile memiliki profil berbentuk concave longitudinal
(cekung mendatar) dalam artian terdapat proses erosi, transportasi dan deposisi
(sedimentasi).
Berdasarkan Gambar 4.11 pada penampang melintang sungai utama Sub DAS
Tirto dipertimbangkan belum mencapai graded profile dikarenakan bentuk profil
masih sedikit cembung. Demikian halnya pada Gambar 4.12 pada penampang

82
melintang sungai orde 1 Sub DAS Tirto dipertimbangkan belum mencapai graded
profile dikarenakan bentuk profil masih cembung.

Profil Orde 1 Sungai Utama


Sub DAS Tirto
Vertical Exaggeration 4,8 X

518,4
E
L
E 462,5

V
A
387,5
S
I
312,5
(m)

237,5
0 425 850 1275 1700 2125 2544

J a r a k (m)
Gambar 4.11. Penampang melintang orde 1 Sungai Utama

Profil Sungai Orde 1


Sub DAS Tirto
Vertical Exaggeration 3,4 X

425,0

387,5
E
L
E
V 337,5
A
S
I 287,5

(m)

237,5
0 200 400 600 800 1058

J a r a k (m)
Gambar 4.12. Penampang melintang orde 1

83
84
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN

5.1. Kesimpulan
1. Sub DAS daerah penelitian memiliki karakteristik sebagai berikut;
a. Karena kecilnya daerah penelitian yang didukung oleh rata-rata kemiringan
lereng yang curam (39,75%) dan rata-rata ketinggian tempat yang tinggi
(408,33 mdpal), maka jangka waktu curah hujan atau waktu konsentrasi
(waktu yang diperlukan oleh air untuk mengalir dari titik paling jauh ke titik
yang ditentukan di bagian hilir daerah penelitian) akan semakin pendek
sehingga proses transpor sedimen akan semakin besar.
b. Koefisien aliran permukaan maksimum berdasarkan pengukuran lapangan
adalah sebesar 60% untuk satuan lahan D1.IV.Kb.1 dan sebesar 54% untuk
satuan lahan D1.IV.Kb.2. Koefisien ini dipengaruhi oleh intensitas hujan. Jika
Intensitas hujan besar dalam waktu singkat akan menyebabkan koefisien
aliran permukaan besar, demikian sebaliknya.
c. Tanah-tanah yang ada memiliki kandungan debu yang cukup besar (36,23%
dan 63,6%) sangat mudah dihanyutkan oleh air, cepat penurunan kapasitas
infiltrasinya, rendah kemantapan strukturnya, dan rendah kandungan bahan
organiknya.
d. Kondisi aliran sungai memiliki tingkat turbulensi yang tinggi (Re>6000),
meskipun di musim kemarau lebih kepada aliran transisi.(Re antara 3000-
6000), sehingga proses pengikisan alur sungai tinggi.
2. Besar erosi permukaan dalam 12 kali kejadian hujan adalah 1,8556 kg untuk plot
A dan sebesar 0,6595 kg untuk plot kedua.
3. Rata-rata debit aliran dalam 14 kali pengukuran adalah sebesar 0,1243 untuk orde
1, sebesar 0,2565 untuk orde 1 sungai utama, dan sebesar 0,3524 untuk orde 2.

84
4. Berdasarkan analisa sediment delivery ratio (SDR) bahwa sungai mengalami
agradasi. Akan tetapi pada musim kemarau sungai mengalami degradasi. Hal ini
menunjukkan sungai dalam kondisi ungraded.
5. Berdasarkan data erosi permukaan dan hasil sedimen bahwa artificial neural
network (ANN) mengindikasikan kondisi ungraded karena data yang digunakan
berdasarkan data dari SDR.
6. Berdasarkan bentuk profil dari sungai, maka sungai belum mencapai graded
profile.
7. Hasil dari analisa menggunakan SDR, ANN maupun penampang melintang
sungai menunjukkan ungraded. Tetapi ANN memiliki kelebihan karena
mendasarkan pada data SDR sampai didapatkan bobot dan bias yang sesuai
sehingga bila ada penelitian yang tidak mendasar pada data SDR dapat langsung
memasukkan data numerik erosi permukaan dan transport sedimen dengan bobot
dan bias yang telah didapatkan.

5.2. Saran
1. Dengan karakteristik Sub DAS yang merupakan lokasi terjadinya proses erosi,
diperlukan pengaturan yang terpadu dalam pengelolaan lahan agar tidak berimbas
kepada proses erosi berlebihan didaerah hulu dan proses sedimentasi berlebihan
didaerah hilir.
2. Proses pengolahan data dengan artificial neural network meliputi tahap
pengenalan, pelatihan, pengujian, dan prediksi pola yang ada. Pada penelitian ini
hanya sampai pada tahap pengujian pola, sehingga untuk kedepan perlu diadakan
hingga prediksi pola dengan menggunkan kontinuitas data yang besar.

85
DAFTAR PUSTAKA

Anderson, H.W. 1957. Relating Sediment Yields to Watershed Variables. In Transaction


American Geographical Union. Vol.36. Desember 1957.
Asdak, Chay. 2002. Hidrologi&Pengelolaan Daerah Aliran Sungai. Gadjah Mada
University Press. Yogyakarta.
Bemmelen, R.W.Van. 1970. The Geology of Indonesia. Martinus Njhoff. The Hague.
Bergsma, E. 1980. Areal Photo-Interpretation for Soil Erosion&Conservation Survey.
Part I. Enschede. ITC
Chow, Ven Te. 1964. Handbook of Applied Hydrology. Mc Graw-Hill. New York.
Darmawijaya, Isa. 1970. Klasifikasi Tanah, Dasar Teori Bagi Peneliti
Tanah&Pelaksana Pertanian di Indonesia. Gadjah Mada University Press.
Yogyakarta.
Dayan, Anto. 1976. Pengantar Metode Statistik, Jilid II. LP3ES. Jakarta.
Encyclopedia Britannica. 2008. Diakses tanggal 2 Juli 2008 dari
http://www.britannica.com/EBchecked/topic/539512/sheet-erosion
Hermawan, Arief. 2006. Jaringan Saraf Tiruan, Teori dan Aplikasi. Penerbit Andi.
Yogyakarta.
Hermawan, Yandi. 1996. Hidrologi untuk Insinyur, 3 rd edition. Penerbit Erlangga.
Jakarta
Karmono, dkk. 1980. Petunjuk Analisa Tanah. Fakultas Geografi Universitas Gadjah
Mada. Yogyakarta.
Leopold, L. B., M. G. Wolman., & J. P. Miller. 1964. Fluvial Processes in
Geomorphology. Freeman, San Fransisco.
Linden, P. Van Der. 1983. An Input-Output Analysis with Respect to Water and It’s
Load for a Tropical Watershed (Central Java – Indonesia). Indonesia Journal
Geography, Vol.II. Nomor 42:hal.19–37. Faculty of Geography, UGM.
Yogyakarta

86
Linsley, R.K, M.A. Kohler., & J.L.H. Paulhus. 1949. Applied Hydrology. Mc Graw-Hill.
New York.
Mock, F.J. 1973. Land Capability Appraisal Indonesia, Water Available Appraisal.
Food & Agriculture Organization of the United Nations. Bogor. Indonesia
Moore, W.L., & Morgan, C.W. 1969. Sediment Yield Transport&Channel Studies; In
Effect of Watershed Changes on Stream Flow. University of Texas Press.
Austin&London.
Morgan, R.P.C. 1979. Soil Erosion. Topic in Applied Geography. London: New York;
Longman Inc.
Morisawa, M. 1968. Streams; their dynamics and morphology. McGraw-Hill Book
Company.USA
Ouyang, Da & Bartholic, Jon. 2007. Predicting Sediment Delivery Ratio in Saginaw Bay
Watershed. Institute of Water Research, Michigan State University, East
Lansing, MI. Diakses tanggal 8 September 2007 dari
http://www.iwr.msu.edu/~ouyangda/sdr/sag-sdr.htm
Prawirohartono, Sandiman. 1975. Akumulasi Sedimen dan Penyebarannya di Calon
Waduk Mrica dan Maung, Daerah Pengaliran Sungai Serayu. Dep.PUTL, Dirjen
Air, Direktorat Bina Program. Purwokerto
Schmidt, F.H., & Ferguson, J.H.A. 1951. Rainfall types based on Dry&Wet Month
Period Ratios for Indonesia With Western New Guinea. Jakarta; Kementrian
Perhubungan, Djawatan Meteorologi&Geofisika.
Seta, A.K,Ir. 1991. Konservasi Sumberdaya Tanah dan Air. Kalam Mulia. Jakarta
Seyhan, Ersin. 1977. Fundamental of Hydrology, revised edition; Diterjemahkan oleh
Sentot Subagyo. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta
Seyhan, Ersin. 1975. Fundamentals of Hydrology. Geografisch Institut der Rijks
Universiteit, Utrecht.
Shen, Hsieh Wen. 1971. Sedimentation. Colorado State University, Fort Collings,
Colorado. USA

87
Soewarno. 1991. Hidrologi; Pengukuran dan pengolahan data aliran sungai
(hidrometri). Penerbit Nova. Bandung.
Sosrodarsono, Suyono & Takeda, Kensaku. 1977. Hidrologi Untuk Pengairan.
Dainippon Gitakarya Printing, Jakarta.
Strahler, A.N. 1979. Physical Geography. John Wiley & Sons. New York
Sudaryono, L. 1983. Hubungan Penggunaan Lahan dan Kemiringan lereng dengan
Kadar Muatan Suspensi Aliran Sungai DAS Ngrancah Kabupaten Kulonprogo.
Skripsi. Fakultas Geografi UGM. Yogyakarta
Suprayogi, Slamet. 2003. Prediksi Ketersediaan Air Menggunakan Tank Model dan
Pendekatan Artificial Neural Network (Studi Kasus Sub DAS Ciriung Kabupaten
Serang). Disertasi. Sekolah Pasca Sarjana IPB. Bogor
Supriyanto. 1991. Tingkat Erosi Permukaan DAS Kokap Kecamatan Kokap Kabupaten
Kulon Progo, Daerah Istimewa Yogyakarta. Skripsi. Fakultas Geografi UGM.
Yogyakarta
Suripin, Dr, Ir. 2002. Pelestarian Sumberdaya Tanah dan Air. Penerbit ANDI.
Yogyakarta
Sutedjo,D,O., & Budi, S.Kom., MM. 2002. Perencanaan dan Pembangunan Sistem
Informasi. Penerbit ANDI. Yogyakarta
Thornbury, W.D. 1960. Principles of Geomorphology. John Wiley & Sons. Inc. New
York
Turban, E., Aronson, J.E., Liang, T.P., & McCarthy, R.V. 2005. Decision Support
Systems and Intelligent Systems, Jilid I edisi 7. Penerbit ANDI. Yogyakarta.
Verstappen, H.1983. Applied Geomorphology: Geomorphological Surveys for
Environmental Developments. Elsevier. Amsterdam.
Wikipedia. 2008. Free Encyclopedia. Diakses tanggal 2 Juli 2008 dari
http://en.wikipedia.org/wiki/River
Wikipedia. 2008. Free Encyclopedia. Diakses tanggal 2 Juli 2008 dari
http://en.wikipedia.org/wiki/Sediment

88

Anda mungkin juga menyukai