Anda di halaman 1dari 3

Seberapa Besar Pesantren Mbah Sholeh

Darat yang Termasyur Itu


Angling Adhitya Purbaya - detikNews
Minggu, 22 Okt 2017 14:57 WIB

3 komentar
SHARE   URL telah disalin

Kompleks Masjid Sholeh Darat, Semarang. (Foto: Angling Adhitya Purbaya/detikcom)


Semarang - Selain meninggallkan sebuah musala warisan dari mertuannya, Mbah
Sholeh Darat di Semarang sebenarnya membangun Pondok Pesantren Darat tempat
sejumlah tokoh besar menimba ilmu kepadanya. Namun mengapa dia enggan
membangun pesantrennya menjadi besar dan metereng?

Menurut salah satu takmir Masjid Kiai Sholeh Darat, Homsin, pesantren tersebut
awalnya didirikan mertua KH Sholeh Darat yaitu Kiai Murtadho tahun 1700-an berupa
langgar. Kemudian setelah KH Sholeh Darat datang ke Semarang dari menimba ilmu
dan menjadi guru di Makkah, ia membesarkan langgar mertuanya pada tahun 1870.

Pesantren Darat, lanjut Homsin, merupakan pesantren tertua kedua di Semarang


setelah Pondok Pesantren Dondong, Mangkang Wetan, Semarang. KH Sholeh Darat
semasa mengasuh pondok pesantren tidak memperhatikan kelembagaan pondok
karena diyakini sikap tawadhu kepada Pesantren Dondong yang sederhana.

Baca juga: Melacak Jejak Mbah Sholeh Darat, Mahaguru Santri Nusantara

Meskipun demikian di Pesantren yang beradda di Kampung Darat itu, tercatat pernah
mondok dua orang santri yang bersahabat. Keduanya adalah Hasyim Asy'ari yang di
kemudian hari mendirikan Nahdlatul Ulama (NU) dan Muhammad Darwis atau
kemudian terkenal bernama Ahmad Dahlan yang kemudian mendirikan
Muhammadiyah.

"Mbah Sholeh Darat dulu mengajar tidak hanya fokus di pesantren tapi juga mengajar
ke luar," kata dia, Minggu (22/10/2017).

Foto:
Angling Adhitya Purbaya/detikcom

Salah satu muridnya di luar pesantren yaitu RA Kartini. Pertemuannya dengan RA


Kartini diawali ketika KH Sholeh Darat mengisi pengajian bulanan di rumah Bupati
Demak yang merupakan paman RA Kartini. Dari balik tabir, Kartini terkesima dengan
tafsir Al-Fatihah dengan menggunakan bahasa Jawa sehingga Kartini mengerti.

RA Kartini mendesak pamannya untuk mempertemukan dengan KH Sholeh Darat.


Setelah bertemu, kepada sang kiai, Kartini meminta agar Al Quran diterjemahkan. Atas
panggilan dakwah dan permintaan Kartini tersebut, maka KH Sholeh Darat
menerjemahkannya menggunakan Arab Pegon (huruf Arab berbahasa Jawa).

Kitab itu tercatat sebagai kitab terjemahan Quran pertama dalam bahasa Jawa. Kitab
tafsir pertama dalam Arab Pegon tersebut diberi nama Faidhur Rohman. Pihak Belanda
yang kala itu melarang orang menterjemahkan Quran, tidak melarang karena tidak
paham isinya.

"Kitab itu diberikan kepada Kartini sebagai kado pernikahan dengan Bupati Rembang
(RM Joyodiningrat)," terang Homsin.

Sepeninggala Kiai Sholeh Darat tahun 1903, pesantren tersebut tidak ada yang
meneruskan dan pamornya meredup. Salah seorang menantu, Kiai Amir
memindahkannya ke Kedungwuni Pekalongan. Sedangkan santri senior di sana yaitu
Kiai Idris membawa sejumlah santri ke Solo untuk menghidupkan lagi Pondok
Pesantren Jamsaren yang pernah didirikan Kiai Jamsari atau Zam Ashari.

"Sekarang bekasnya sudah tidak ada sama sekali di sini," pungkas Homsin. 

Anda mungkin juga menyukai