Anda di halaman 1dari 3

Globalisasi

Wahai pemuda dan pemudi


Kalian harus bangga dengan ciri khas negara sendiri
Bangsa ini punya banyak budaya dan provinsi
Dengan harapan bisa meneruskan apa yang telah ada di masa lalu
Namun sayang, kalian lebih banyak tidak tahu
Kesannya lebih membanggakan negara lain ketimbang negaranya sendiri
Seakan berlomba untuk bisa memiliki seperti yang negara lain miliki
Sekalipun itu bukan produk asli, namun barang tiruan yang laris dibeli
Inilah zaman globalisasi
Segalanya serba cepat dan siap saji
Hanya memikirkan kata mudah
Lalu menolak kata susah
Hingga akhirnya mereka lupa bahwa ciri khas negara telah punah

Menjadi Diri Sendiri


Kau ingin ia berlari secepat antelop
Kau ingin ia terbang sejauh kolibri
Kau juga ingin ia seharum melati
Bukankah itu sebuah paksaan?
Sayang sekali, kau gagal
Permata tetaplah menjadi permata
Lalu dimana kesalahannya?
Masalahnya bukan terletak pada sifat dasar
Melainkan dimana ia akan ditempatkan

Hak
Anak sekecil itu menyandarkan tubuhnya di bangunan-bangunan beton pinggiran kota
Di sana ada bau tak sedap dan asap kendaraan bermotor
Apakah ia dilarang untuk menikmati udara bersih yang sehat?
Apakah sudah tak ada lagi pohon peneduh yang rindang?
Kalaupun ada, itu hanya separuh
Matahari pun masih bisa menemukannya sekalipun ia bersembunyi
Negeri ini sesak dipadati gedung-gedung yang menjulang tinggi
Seakan berlomba-lomba untuk bisa menjamah langit
Tampaknya anak itu sudah tak sanggup lagi untuk berjalan
Apakah ia merasa lapar?
Ataukah hanya ingin rehat sejenak?
Bukankah minuman, makanan, pendidikan, dan tempat yang layak adalah hak bagi anak bangsa di
negeri ini?
Bagaimana bisa anak-anak itu tak bersekolah?
Padahal di negeri ini tidak sedikit orang berpendidikan tinggi bahkan sampai ke luar negeri.

Kerinduan
Wajah mentari sudah tak nampak lagi
Sekarang hanya ada rembulan dan jutaan galaksi
Kusibakkan tirai
Kubiarkan jendela terbuka
Kukatakan pada bintang bahwa aku senang melihat pancaran sinarnya
Kukatakan pada bulan bahwa sungguh mulia dirinya menerangi makhluk bumi
Mataku berkaca-kaca
Senyumku melebar
Kutanyakan kabar saudara-saudaraku disana
Apakah baik-baik saja?
Ingin rasanya kumemeluk saudara-saudaraku
Aku muak pada makhluk bumi
Bertindak sewenang-wenang
Acuh tak acuh pada hidup atau mati
Oh, surga-Mu adalah harapanku
Kelak aku akan menyusul
Tuhan, sampaikan salamku buat keluarga yang kurindu

Waktu Takkan Menunda


Tik tik tik
Suara detik jam mengisi keheningan malam
Jari tangan gadis itu masih terus menari
Hanya ada sisa tiga lembaran kertas kosong yang belum terisi
Di setiap lembaran kertas, ia luapkan semua emosi
Disisi lain terdengar suara halus, lembut, dan perlahan jatuh ke bawah
Tetes demi tetes meresapi kertas putih
Goresan tinta hitam telah berubah menjadi merah
Namun, beberapa penggalan kalimat masih bisa terbaca
Ya, darah itu keluar dari hidungnya
Wajah yang kecoklatan berubah menjadi pucat
Bibir mungilnya biru membeku
Gelap gulita
Terucap dari mulut “Asyhadu alla ilaha illAllah wa asyhadu anna Muhammadar Rasulullah.”

Profil Penulis
Penulis kelahiran Sumatera Utara, 6 April 1998 silam ini memiliki nama pena Raya Averyll. Punya
hobi menulis dan menggambar. Mulai belajar dunia kepenulisan di tahun 2017. Jejaknya bisa dilacak
melalui akun ig @angguntiarena. Ada beberapa karyanya, yaitu buku antologi quotes berjudul
“Suratan Cinta Untuk Lombok” (Raditeens, 2018), antologi puisi berjudul “Aku Tahu Literasi”
(Penerbit Cendekia Press, 2018), dan puisi berjudul “Terbang Bersama Deen Assalam” (GMB
INDONESIA, 2019).

Anda mungkin juga menyukai