Anda di halaman 1dari 44

REFERAT

TOKSIKOLOGI FORENSIK

Pembimbing:

dr. Deka Bagus Binarsa, Sp.F

Disusun oleh:

Kelompok H31

Nina Dwivo Ratnasari 201820401011138

Moh. Fathur Rozi 201820401011113

Farah Meidita Firdaus 201820401011142

Fitriani Umi Hasanah 201820401011121

Khalishah 201820401011125

SMF LAB ILMU KEDOKTERAN FORENSIK


RS BHAYANGKARA PUSDIK SABHARA PORONG
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MALANG
2020
KATA PENGANTAR

Segala puji syukur Alhamdulillah penulis panjatkan kehadirat Allah SWT, atas rahmat dan

hidayah-Nya penulis dapat menyelesaikan referat ini dengan judul“Toksikologi Forensik”.

Penyusunan tugas ini merupakan salah satu tugas yang penulis laksanakan selama mengikuti

kepaniteraan di SMF Ilmu Forensik bersama kelompok H-31.

Akhirnya, penulis berharap semoga referat ini dapat memberikan manfaat pada pembaca.

Penulis menyadari bahwa penyusunan tugas ini masih jauh dari kesempurnaan. Dalam

kesempatan ini penulis mengharapkan kritik dan saran yang dapat membangun demi

kesempurnaan referat ini.

Porong, Desember 2020

Penulis

ii
iii

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR...................................................................................................................ii
BAB I...............................................................................................................................................1
PENDAHULUAN...........................................................................................................................1
BAB II.............................................................................................................................................3
TINJAUAN PUSTAKA.................................................................................................................3
2.1 Definisi Toksikologi Forensik...............................................................................................3
2.2 Etiologi...................................................................................................................................3
2.2.1 Sianida.......................................................................................................................3
2.2.2 Karbon Monoksida (CO).........................................................................................11
2.2.3 Alkohol....................................................................................................................27
2.2.4 Arsen........................................................................................................................32
BAB III..........................................................................................................................................40
PENUTUP.....................................................................................................................................40
DAFTAR PUSTAKA....................................................................................................................41

iii
BAB I

PENDAHULUAN

Toksikologi forensik adalah penerapan ilmu toksikologi pada berbagai kasus dan

permasalahan kriminalitas dimana obat-obatan dan bahan kimia yang dapat menimbulkan

konsekuensi medikolegal dan dapat digunakan sebagai bukti dalam pengadilan. Metode yang

digunakan dalam toksikologi forensik terus berkembang seiring dengan berjalanya waktu.

Penggunaan metode tertentu, alat-alat yang diperlukan, serta interpretasi hasil dalam pengujian

sampel mengenai obat-obatan klinis dan cara uji laboratoris sangat membantu dalam

mengkerucutkan suatu proses pencarian. (Fitriana, 2015; Issa,2019).

Pada umumnya seorang ahli forensik harus mampu mempertimbangkan suatu keadaan

tertentu dalam proses investigasi, seperti adanya gejala fisik, dan beberapa bukti tertentu yang

didapatkan dan berhasil dikumpulkan pada lokasi kejahatan yang dapat mengkerucutkan suatu

proses pencarian seperti ditemukanya barang bukti obat-obatan, serbuk , residu jejak zat toksik

pada lokasi kejadian. Dengan adanya informasi tersebut, seorang ahli toksikologi harus dapat

menentukan senyawa toksik apa, berapa konsentrasinya, dan efek yang mungkin terjadi dalam

tubuh korban (Fitriana, 2015).

Secara garis besar, berdasarkan Society of Forensic Toxicologist, Inc. (SOFT), Bidang kerja

dari toksikologi forensik meliputi: 1) analisis dan evaluasi racun penyebab kematian, 2) analisis

ada atau tidaknya kandungan alkohol atau obat terlarang dalam cairan tubuh atau nafas yang

dapat mengakibatkan perubahan perilaku, 3) analisis obat-oabatan terlarang di darah dan urin

pada kasus penyalahgunaan narkotika , psikotropika dan obat terlarang lainya. Tujuan lain dari

analisis toksikologi forensik adalah dapat membantu untuk melakukan rekonstruksi suatu

1
2

peristiwa yang telah terjadi , sampai mana obat atau zat kimia tersebut mengakibatkan perubahan

perilaku hingga kematian (Fitriana, 2015).

Pentingnya ilmu toksikologi dalam bidang kedokteran forensik menjadi latar belakang penulis

tertarik untuk menulis referat mengenai toksikologi forensik


BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi Toksikologi Forensik

Toksikologi merupakan suatu cabang ilmu yang membahas berbagai efek


samping yang merugikan dari berbagai agen kimiawi terhadap semua sistem makhluk
hidup. Sedangkan toksikologi forensik adalah penerapan ilmu toksikologi terhadap
berbagai permasalahan kriminalitas dimana obat-obatan dan bahan –bahan kimia
yang dapat menimbulkan masalah konsekuensi medikolegal serta untuk menjadi bukti
pengadilan .2 Toksikologi Forensik juga dapat didefinsikan sebagai ilmu yang
mempelajari tentang racun dan pengidentifikasian bahan racun yang diduga ada
dalam jaringan, organ maupun cairan tubuh korban (Cooper et al., 2010; Fitriana,
2015)

Aspek utama yang menjadi perhatian khusus dalam toksikologi forensik


bukanlah keluaran aspek hukum dari investikasi secara toksikologi, melainkan
mengenai teknologi dan teknik dalam memperoleh serta menginterpretasi hasil seperti
pemahan perilaku zat, sumber penyabab keracunan tau pencemaran, metode
pengambilan sampel dan metode analisa, interpretasi data terkait dengan gejala atau
efek yang timbul disertai dengan bukti lain yang tersedia (Fitriana, 2015).

2.2 Etiologi

2.2.1 Sianida
2.2.1.1 Definisi
Sianida berasal dari bahasa Yunani yang berarti “biru” yang mengacu pada
hidrogen sianida yang disebut Blausäure (“blue acid”) di Jerman. Sianida merupakan
senyawa kimia dari kelompok siano, yang memiliki 3 buah atom karbon yang

3
4

berikatan dengan nitrogen (C=N), dan dikombinasi dengan unsur-unsur lain seperti
kalium atau hydrogen (Cahyawati et al., 2017).
Sianida di alam dapat diklasifikasikan sebagai sianida bebas, sianida
sederhana, kompleks sianida dan senyawa turunan sianida. Sianida bebas adalah
penentu ketoksikan senyawa sianida yang dpat didefinisikan sebagai bentuk molekul
(HCN) dan ion (CN-) dari sianida yang dibebaskan melalui proses pelarutan dan
disosiasi senyawa sianida. Kedua sepesies ini berada dalam kesetimbangan satu sama
lain yang bergantung pada pH sehingga konsentrasi HCN dan CN- dipengaruhi oleh
pH. Pada pH dibawah 7 keseluruhan sianida berbentuk HCN sedangkan pH diatas
10,5, keseluruhan sianida berbentuk CN- (Cahyawati et al., 2017). Reaksi antara ion
sianida dan air ditunjukkan dalam reaksi berikut:

CN- + HOH  HCN + OH-


Sianida sederhana dapat didefinisikan sebagai garam-garam anorganik sebagai
hasil persenyawaan sianida dengan natrium, kalium, kalsium, dan magnesium.
Menurut Pitoi, 2015), sianida sederhana juga dapat didefinisikan sebagai garam dari
HCN yang terlarut dalam larutan menghasilkan kation alkali bebas dan anion sianida ,
sebagai berikut:
NaCN  Na+ + CN-
Ca(CN)2  Ca2+ + 2 CN-
Bentuk sianida sederhana biasanya digunakan dalam leaching emas. Sianida
sederhana dapat larut dalam air dan terionisasi secara cepat dan sempurna
menghasilkan sianida bebas dan ion logam (Pitoi et al., 2015).
Kompleks sianida termasuk kompleks dengan logam kadmium, tembaga,
nikel, perak, dan seng. Kompleks sianida ketika terlarut menghasilkan HCN dalam
jumlah yang sedikit atau bahkan tidak sama sekali, tergantung pada stabilitas
kompleks tersebut. Kestabilan kompleks sianida bervariasi dan bergantung pada
logam pusat. Kompleks lemah seperti kompleks sianida dengan seng dan kadmium
mudah terurai menjadi sianida bebas. Kompleks sedang lebih sulit terurai dibanding
kompleks lemah dan meliputi kompleks sianida dengan tembaga, nikel dan perak.
5

Sedangkan kompleks kuat seperti kompleks sianida dengan emas, besi, dan kobalt
cenderung sukar terurai menghasilkan sianida bebas (Pitoi et al., 2015).
Sianida dikenal sebagai senyawa racun dan mengganggu kesehatan serta
mengurangi bioavailabilitas nutrien dalam tubuh. Racun ini menghambat sel tubuh
mendapatkan oksigen sehingga yang paling terpengaruh adalah jantung dan otak.
Konsumsi bahan pangan yang mengandung senyawa sianogenik glukosida dikaitkan
dengan beberapa penyakit yang mempengaruhi sistem saraf. Sianida merupakan
senyawa yang larut air sehingga pencucian ataupun perendaman bahan pangan sering
dilakukan untuk mengurangi kadarnya (Toro et al., 2015).

2.2.1.2 Etiologi Keracunan Sianida


Sianida alami terdapat dalam alam, bahan industri, dan rumah tangga. Inhalasi
dari kebakaran merupakan penyebab umum dari keracunan sianida. Selain itu, bahan
seperti wol, sutra, dan polimer sintetik juga mengandung karbon dan nitrogen yang
dapat menghasilkan gas sianida bila terpapar suhu tinggi. Garam sianida seperti
sianida merkuri, tembaga sianida, sianida emas, dan sianida perak menghasilkan gas
hidrogen sianida bila dikombinasikan dengan asam, sehingga memungkinkan
kecelakaan pada industri atau paparan yang berbahaya. Selain itu, sianida juga
ditemukan pada insektisida yang digunakan untuk pengasapan atau disinfeksi masal
(Cahyawati et al., 2017).
Tingkat ketoksikan sianida ditentukan jenis, konsentrasi dan pengaruhnya
terhadap organisme hidup. Ketoksikan sianida umumnya berhubungan dengan
pembentukan kompleks dengan logam yang berperan sebagai kofaktor enzim. Garam
sianida dan larutan sianida memiliki tingkat ketoksikan yang lebih rendah
dibandingkan HCN karena masuk ke tubuh hanya melalui mulut. Namun
ketoksikannya dapat dianggap sebanding dengan HCN karena mudah menghasilkan
HCN (Cahyawati et al., 2017).
Kompleks sianida kurang toksik bila dibandingkan dengan sianida bebas.
Sianida sederhana secara cepat dapat membebaskan sianida bebas dan menjadi sangat
toksik, sedangkan kompleks sianida yang stabil tidak bersifat toksik selama tidak
terurai menjadi sianida bebas. Ketoksikan kompleks sianida bervariasi tergantung
6

kemampuannya untuk membebaskan sianida bebas. Kompleks sianida yang kuat


seperti kompleks sianida dengan besi dapat dikatakan tidak toksik, tetapi dengan
kehadiran radiasi ultraviolet dapat terurai menghasilkan sianida toksik (Cahyawati et
al., 2017).

2.2.1.3 Patofisiologi Keracunan Sianida


Sianida bersifat sangat letal karena dapat berdifusi dengan cepat pada jaringan
dan berikatan dengan organ target dalam beberapa detik. Sianida dapat berikatan dan
menginaktifkan beberapa enzim, terutama yang mengandung besi dalam bentuk Ferri
(Fe3+) dan kobalt. Kombinasi yang dihasilkan mengakibatkan hilangnya intergritas
struktural dan efektivitas enzim (Pitoi, 2015).
Sianida dapat menyebabkan hipoksia intraseluler melalui ikatan yang bersifat
ireversibel dengan cytochrome oxidase a3 di dalam mitokondria. Cytochrome oxidase
a3 berperan penting dalam mereduksi oksigen menjadi air melalui proses oksidasi
fosforilasi. Ikatan sianida dengan ion ferri pada cytochrome oxidase a3 akan
menyebabkan terjadinya hambatan pada enzim terminal dalam rantai respirasi, rantai
transport elektron dan proses oksidasi fosforilasi. Fosforilasi oksidatif merupakan
suatu proses dimana oksigen digunakan untuk produksi adenosine triphosphate
(ATP). Gangguan pada proses ini dapat berakibat fatal karena selain penting untuk
proses mensintesi ATP, proses tersebut juga penting untuk berlangsungnya respirasi
seluler (Pitoi, 2015).
Suplai ATP yang rendah dapat mengakibatkan mitokondria tidak mampu
untuk mengekstraksi dan menggunakan oksigen, sehingga walaupun kadar oksigen
dalam darah normal tidak mampu digunakan untuk menghasilkan ATP. Sehingga
terjadi pergeseran metabolisme dalam sel yaitu aaerob menjadi anaerob. Penghentian
respirasi aerobik juga menyebabkan akumulasi oksigen dalam vena. Pada kondisi
seperti ini, permasalahn bukan pada pengiriman oksigen tetapi pada pengeluaran dan
pemanfaatan oksigen di tingkat sel. Hasil dari metabolisme aerob ini berupa
penumpukan asal laktat yang pada akhirnya akan menimbulkan kodisi asidosis
metabolic (Pitoi, 2015).
7

Penghambatan pada sitokrom oksidase a3 bukan merupakan satu-satunya


mekanisme yang berperan dalam keracunan sianida. Ada beberpa mekanisme lain
yang terlibat, diantaranya: penghambatan enzim karbonik anhidrase yang berperan
penting untuk memperparah kondisi asidosis metabolik dan ikatan dengan
methemoglobin yang terdapat konsentrasi antara 1%-2% dari kadar hemoglobin.
Ikatan sianida ini menyebabkan hemoglobin tidak mampu mengangkut oksigen
(Pitoi, 2015).
Menurut Pitoi (2015) Sianida masuk kedalam tubuh melalui beberapa cara, yaitu:
a) Ingesti atau tertelan melalui mulut. Anak-anak sering menelan racun secara tidak
sengaja dan orang dewasa terkadang bunuh diri dengan menelan racun. Ketika
racun tertelan dan mulai mencapai lambung, racun dapat melewati dinding usus dan
masuk kedalam pembuluh darah, semakin lama racun tinggal di dalam usus maka
jumlah yang masuk ke pembuluh darah juga semakin besar dan keracunan yang
terjadi semakin parah.
b) Inhalasi atau terhirup. Racun yang berbentuk gas, uap, debu, asap atau sparay
dapat terhirup sehingga bisa masuk ke paru-paru. Hanya partikel-partikel yang
berukuran kecil yang dapat melewati paru-paru. Partikel dengan ukuran lebih
besar akan tertahan di mulut, tenggorokan dan hidung dan mungkin dapat tertelan.
c) Melalu kulit yang terkena cairan atau spray. Orang yang bekerja dengan zat-zat
kimia seperti pestisida beresiko teracuni jika zat kimia tersebut tersemprot atau
terpercik ke kulit atau baju yang mereka pakai terkena pestisida. Kulit merupakan
barier yang melindungi tubuh dari racun, meskipun beberapa racun dapat masuk
melalui kulit.
Paparan racun secara intravena dan inhalasi dapat menimbulkan tanda dan gejala
yang lebih cepat dibandingkan dengan paparan secara oral dan transdermal, karena
rute tersebut memungkinkan sianida untuk berdifusi secara langsung ke target organ
melalui aliran darah. Paparan sianida dalam jumlah kecil sering tidak menimbulkan
gejala, karena didalam tubuh sianida akan cepat dimetabolisme dan diekskresikan
melalui ginjal. Sianida dengan bantuan enzim rhodanese akan diubah menjadi
8

thiosianat (bentuk yang lebih aman bagi tubuh) baru kemudian dikeluarkan dari tubuh
(Pitoi, 2015).

2.2.1.4 Kadar Toksisitas


Menurut Pitoi (2015) Adapun takaran dosis sianida adalah:
a) Dosis letal sianida: asam hidrosianik sekitar 2.500-5.000 mg.min/m 3, dan untuk
sianogen klorida sekitar 11.000 mg.min/m3
b) Terpapar hidrogen sianida meskipun dalam tingkat rendah (150-200 ppm) dapat
berakibat fatal. Tingkat paparan udara yang dapat membahayakan hidup atau
kesehatan adalah 50 ppm. Batasan HCN yang direkomendasikan pada daerah kerja
adalah 4.7 ppm (5 mg/m3 untuk garam sianida). HCN juga dapat diabsorbsi
melalui kulit.
c) Ingesti 200 mg sodium atau potasium sianida pada orang dewasa dapat berakibat
fatal.

2.2.1.5 Manifestasi Klinis


Manifestasi klinis keracunan sianida sebagian besar merupakan gambaran dari
hipoksia intraseluler. Tanda dan gejala ini biasanya terjadi kurang dari 1 menit setelah
menghirup dan dalam beberapa menit setelah konsumsi. Manifestasi awal neurologis
termasuk kecemasan, sakit kepala dan pusing. Pasien tidak dapat memfokuskan mata
dan terjadi midriasis yang dapat disebabkan oleh hipoksia. Hipoksia yang berlanjut
dapat berkembang menjadi penurunan kesadaran, kejang dan koma (Cahyawati,
2017).
Keracunan sianida akut pada pasien kemungkinan memiliki kulit normal atau
penampilan sedikit ashen meskipun juga hipoksia dan saturasi oksigen arteri juga
mungkin normal. Pada keracunan sianida tanda-tanda awal pada sistem respirasi
berupa pernafasan yang cepat dan dalam. Perubahan pernafasan ini terjadi karena
9

adanya stimulasi pada kemoreseptor perifer dan sentral dalam batang otak dalam
upaya mengatasi hipoksia jaringan (Cahyawati, 2017).
Manifestasi klinis kardiovaskular pada pasien dengan keracunan sianida
awalnya pasien akan mengalami gejala palpitasi, diaphoresis, pusing atau kemerahan.
Selain itu, juga terjadi peningkatan curah jantung dan tekanan darah yang disebabkan
oleh adanya pengeluaran katekolamin. Selain terjadi vasodilatasi pembuluh darah,
hipootensi, dan penurunan kemampuan inotropik jantung, sianida juga menekan
nodus sinoatrial (SA node) dan menyebabkan terjadinya aritmia serta mengurangi
kekuatan kontraksi jantung. Dengan demikian, selama terjadi keracunan sianida,
status hemoodinamik pasien menjadi tidak stabil, karena adanya aritmia ventrikel,
bradikardia, blok jantung, henti jantung dan kematian (Cahyawati, 2017).

2.2.1.6 Pemeriksaan Forensik


Menurut Cahyawati (2017) adapun beberapa metode yang digunakan untuk diagnosis
kasus keracunan sianida adalah:
a) Mengamati tanda-tanda dan gejala klinis spesifik dari keracunan sianida, termasuk
bau almond pahit, yang merupakan karakteristik dari sianida. Akan tetapi, adapula
kasus keracunan asam hidrosianat yang tidak berbau seperti almond pahit, oleh
karena adanya pengaruh genetik dalam perbedaan kemampuan mengenali baunya,
sehingga dibutuhkan metode diagnosis yang lebih spesifik.
b) Pemeriksaan laboratorium dengan melakukan pengukuran kadar
karboksihemoglobin, sianida serum, pemeriksaan darah lengkap, kadar laktat
serum serta tekanan parsial oksigen (PO2). Pasien didefinisikan sebagai keracunan
akut sianida bila kadar sianida serumnya >0,5 mg/L. Akan tetapi, kadar sianida
serum tidak dapat dijadikan sebagai parameter untuk menentukan tingkat
keparahan, hal ini terkait dengan pendeknya waktu eliminisasi sianida. Selain itu
untuk memperkuat diagnois tingkat keparahan dapat menggunakan pengukuran
kadar laktat serum sebagai parameternya. Pasien dengan kadar laktat serum >8
10

mmol/L bisa dikatakan mengalami keracunan akut sianida dan kemungkinan


membutuhkan pengulangan terapi antidot. Adapun pemeriksaan PO2 pada kasus
keracunan sianida akan dikarakterisasi dengan adanya penurunan tekanan parsial
PO2 yang menandakan terjadinya asidosis laktat.
2.2.1.7 Tatalaksana
Beberapa penawar sianida tersedia di seluruh dunia. Antidot sianida termasuk
Paket Antidot Sianida (juga dikenal sebagai Cyanide Antidote Kit (CAK), Lilly kit,
Taylor kit, dan kit Pasadena), hydroxocobalamin (atau Cyanokit), dan penangkal lain
seperti dicobalt edetate (EDTA) dan 4-dimethylaminophenol (4-DMAP). CAK, satu-
satunya penangkal sianida yang saat ini tersedia di AS, terdiri dari amyl nitrite
(tersedia dalam bentuk pearl), sodium nitrite, dan sodium tiosulfat. Natrium nitrat dan
natrium tiosulfat adalah diberikan secara intravena, sedangkan amil nitrat sering
diberikan melalui alat ventilasi mekanis dan diperlukan untuk menstabilkan korban
sebelum administrasi komponen lainnya. Tapi hal terpenting adalah pertolongan
pertama pada saat kondisi akut, berikut beberapa stage dalam melakukan penanganan
pada pasien dengan keracnan sianida.

Tabel 1. Pertolongan pada keracunan sianida kondisi akut

Penilaian Tindakan
Reduksi atau eliminasi  Untuk paparan yang terhirup, pindahkan korban dari
sumber sianida tempat kejadian atau terduga
 Untuk paparan yang tertelan, lakukan kumbah lambung
dengan charcoal / arang
Supportive management  CPR
 Administrasi O2 100%
 Sodium bicarbonate untuk mengoreksi asidosis metabolik
 Anticonvulsant, epinephrine , anti aritmia jika dibutuhkan

Antidote treatment  Amyl nitrate + sodium nitrate + thiosulfate jika sianida


tertelan
 Antidote harus diberikan secara hati hati, perhatikan
11

hemodinamik korban terutama pada kondisi low blodd


pressure karena antidote sianida menginduksi hipotensi

2.2.2 Karbon Monoksida (CO)

2.2.2.1 Definisi

Karbon dan oksigen yang bergabung akan membentuk senyawa


karbon monoksida (CO) sebagai hasil pembakaran senyawa organik yang
tidak sempurna dan karbon dioksida (CO2) sebagai hasil pembakaran
sempurna. Karbon monoksida merupakan senyawa yang tidak berbau, tidak
berasa dan pada suhu udara normal berbentuk gas yang tidak berwarna
(Soekamto, 2007). CO terbentuk apabila terdapat kekurangan oksigen
dalam proses pembakaran. CO mempunyai potensi bersifat racun yang
berbahaya karena mampu membentuk ikatan yang kuat dengan pigmen
darah yaitu hemoglobin menjadi karboksihemoglobin (COHb).

Gambar 1. Oksihemoglobin dan Karboksihemoglobin

2.2.2.2 Etiologi Keracunan

CO di lingkungan dapat terbentuk secara alamiah, namun sumber


utamanya adalah dari kegiatan manusia. CO yang berasal dari alam
termasuk dari lautan, oksidasi metal di atmosfir, pegunungan, maupun
12

kebakaran hutan. Sumber CO buatan antara lain kendaraan bermotor,


terutama yang menggunakan bahan bakar bensin. Selain itu, terdapat
sumber tidak bergerak seperti pembakaran batubara dan minyak dari
industri dan hasil pembakaran sampah domestik. Asap rokok juga
mengandung CO, sehingga para perokok dapat memajan dirinya sendiri
dan asap rokok yang sedang dihisapnya (Chubyo, 2011).

Pemajanan CO dari udara ambien dapat direfleksikan dalam bentuk


kadar karboksi-harmoglobin (HbCO) dalam darah yang berbentuk dengan
sangat pelahan karena butuh waktu 4-12 jam untuk tercapainya
keseimbangan antara kadar CO diudara dan HbCO dalam darah. CO yang
bersumber dari dalam ruang (indoor) terutama berasal dari alat pemanas
ruang yang menggunakan bahan bakar fosil dan tungku masak. Kadar nya
akan lebih tinggi bila ruangan tempat alat tersebut bekerja, tidak memadai
ventilasinya. Kelompok masyarakat yang paling terpajan oleh CO termasuk
polisi lalu lintas atau tukang parkir, pekerja bengkel mobil, petugas industri
logam, industri bahan bakar bensin, industri gas kimia dan pemadam
kebakaran (Dharma et al., 2008).

2.2.2.3 Patofisiologi Keracunan

Co tidak mengiritasi tetapi sangat berbahaya (beracun), maka CO


dijuluki sebagai “silent killer” (pembunuh diam-diam). Keberadaan gas
CO akan sangat berbahaya jika terhirup oleh manusia karena gas itu akan
menggantikan posisi oksigen yang berikatan dengan haemoglobin dalam
darah. CO akan mengalir ke dalam jantung, otak, serta organ vital. Ikatan
karbosihaemoglobin jauh lebih kuat 200 kali dibandingkan dengan ikatan
antara oksigen dan haemoglobin (Dharma et al., 2008).

a. Berikatan dengan hemoglobin


13

Saat CO terinhalasi, akan mengambil posisi oksigen yang


berikatan dengan hemoglobin, dimana normalnya hemoglobin akan
mengangkut oksigen ke seluruh tubuh. Efeknya kumulatif dan
bertahan lama, menyebabkan kekurangan pengangkutan oksigen ke
jaringan. Depresi miokard, vasolidatasi perifer, dan distrimia ventrikel
berperan dalam terjadi hipotensi, penurunan perfusi jaringan dan
selanjutnya terjadi hipoksia jaringan (Dharma et al., 2008; Guy et al.,
2010). Pemberian udara segar yang lama (atau oksigen murni)
dibutuhkan untuk melepaskan ikatan antara CO dan haemoglobin
(Hariadi et al., 2006; Dharma et al., 2008).

b. Berikatan dengan kompleks sitokrom


Saat CO berikatan dengan sitokrom oksidasi, terjadi disfungsi
mitokondria sehingga oksidasi mitokondria untuk menghasilkan ATP
berkurang. Terjadi pembebasan nitrit oksida dari sel platelet dan
endotel, menjadi bentuk radikal bebas peroksinitrit. Kemudian
menginaktifkan enzim mitokondrial dan merusak endotel vaskular di
otak. Hasil akhir berupa lipid peroksidase (degradasi asam lemak tak
jenuh) di otak. CO juga bisa menyebabkan stress oksidatif pada sel,
dengan menghasilkan oksigen radikal yang mengkonversi xantin
dehirogenase menjadi xanthin oksidasi (Guy et al., 2010).

c. Berikatan dengan mioglobin


CO memiliki afinitas tinggi terhadap mioglobin dan membentuk
karboksi mioglobin (COMb), berikatan secara langsung dengan otot
jantung dan skelet yang menyebabkan toksisitas secara langsung.
Ikatan CO dengan mioglobin dapat mengganggu cardiac out put dan
menimbulkan iskemia serebral. Ditemukan gejala yang lambat muncul
akibat terpapar kembali CO dengan peningkatan kadar COHb. Hal ini
dikarenakan lambatnya pelepasan ikatan CO dengan mioglobin setelah
berikatan dengan hemoglobin (Wichaksana, 2002).
14

The Occupational Safety and Health Administration (OSHA)


menganjurkan batas keterpaparan maksimum yang dapat diterima adalah
35 ppm selama 8 jam. Untuk alasan keamanan, para pekerja yang terpapar
karbon monoksida seharusnya tidak pernah memiliki karboksihemoglobin
darah di atas 5%. Peningkatan kadar karboksigemoglobin sebesar 10-14%
sudah pernah ditemukan pada pemadam kebakaran setelah memadamkan
kebakaran. Peningkatan kadar karboksihemoglobin sebesar 13% dapat juga
ditemukan pada polisi yang bertugas diterowongan atau pekerja-pekerja
dibengkel di mana kendaraan bermotor dinyalakan (Putu, 2015).

2.2.2.4 Kadar Toksisitas

Kadar CO di bengkel kendaraan bermotor mencapai setinggi


600mg/m3 dan di dalam darah para pekerja bengkel bisa mengandung
HbCO sampai lima kali lebih tinggi dari kadar normal. Para petugas yang
bekerja dijalan raya diketahui mengandung HbCO dengan kadar 4-7,6 %
(perokok) dan 1,4-3,8% (bukan perokok) selama sehari bekerja. Sebaliknya
kadar HbCO pada masyarakat umum jarang yang melampaui 1%. Perlu
juga diketahui bahwa manusia sendiri dapat memproduksi CO akibat
proses metabolisme yang normal. Produksi CO didalam tubuh sendiri ini
(endogenous) bisa sekitar 0,1+1% dari total HbCO dalam darah. Kadar
COHb di atas 60% dalam darah cepat menimbulkan kematian Beberapa
sumber di bawah ini menunjukkan konsentrasi CO (Guy et al., 2010):

- Hasil pembakaran mesin : 3-7%


- Gas penerangan dari pabrik : 20-30%
- Polusi udara : 52%
- Asap rokok : 5-10%
- Kebakaran mobil : 8-40%
15

2.2.2.5 Manifestasi Klinis

Gejala keracunan CO didahului dengan sakit kepala, mual, muntah,


rasa lelah, berkeringat banyak, pyrexia, pernafasan meningkat, gangguan
penglihatan, kebingungan, hipotensi, takikardi, kehilangan kesadaran dan
sakit dada mendadak.

Tabel 2. Hubungan antara Gejala dengan kadar COHb dalam darah

% COHb Gejala
0-10 Tidak ada keluhan maupun gejala
10-20 Rasa berat di kepala, sedikit sakit kepala, pelebaran pembuluh
darah kulit
20-30 Sakit kepala menusuk-nusuk pada pelipis
30-40 Sakit kepala hebat, lemah, dizziness, padangan jadi kabur, mausea,
muntah-muntah
40-50 Sinkope, nadi dan pernafasan menjadi cepat
50-60 Sinkope, nadi dan pernafasan menjadi cepat, koma, kejang yang
intermetten
60-70 Koma, kejang yang intermitten, depresi jantung dan pernafasan
70-80 Nadi lemah, pernafasan lambat, kegagalan pernafasan dan
meninggal dalam beberapa jam
80-90 Meninggal dalam waktu kurang dari satu jam
> 90 Meninggal dalam beberapa menit

Namun untuk beberapa kasus, kadar COHb tidak berkorelasi dengan


tingkat keparahan gejala. Pada orang tua dan orang yang menderita
penyakit berat seperti penyakit arteri koroner atau penyakit paru obstruktif
kronik, kadar COHb 20-30% sudah dapat bersifat fatal. Selain itu, pada
studi yang dilakukan terhadap binatang, tranfusi darah dengan kadar COHb
16

yang tinggi namun dengan kadar CO bebas yang minimal tidak


menghasilkan gejala klinis atau gejalanya minimal. Hal ini mengidikasikan
bahwa adanya CO bebas yang terlarut dalam plasma berperan penting
dalam menimbulkan gejala pada intoksikasi CO (Putu, 2015).

2.2.2.6 Cara Kematian

Keracunan gas Co dapat terjadi akibat kebakaran, sumber karbon


monoksida kedua tersering yang bersifat fatal adalah inhalasi asap knapot
mobil. Kebanyakan kematian akibat hal ini adalah karena bunuh diri, tetapi
juga akibat kecelakaan maupun pembunuhan (Carolyne, 2011)

a. Kecelakaan
Penyebab terbesar kematian pada kebakaran rumah tidak
disebabkan karena terbakar tapi karena menghirup asap. Keadaan fatal
ini disebabkan karena keracunan CO, walaupun gas-gas lain seperti
phosgene dan acrolein sebagian turut berperan. Menghirup CO dapat
membunuh manusia walaupun sedang tidur atau terperangkap pada
saat didalam gedung yang terbakar.

Sumber CO kedua tersering yang bersifat fatal adalah inhalasi


asap knalpot mobil. Hal ini sebagian besar disebabkan karena
kerusakan pada mesin. Beberapa kematian pernah terjadi ketika mobil
sedang bergerak. Jarang ditemukan kematian yang tiba-tiba terjadi saat
mobil mulai dihidupkan dan dibiarkan hidup digarasi untuk pemanasan
sementara pengemudinya kembali ke rumah (Carolyne, 2011).

b. Bunuh Diri
Terdapat laporan tiga kasus kematian akibat menghirup CO dari
knalpot mobil ketika berada di luar ruangan. Konsentrasi
karboksihemoglobin korban berkisar dari 58% samapai 81%. Seluruh
korban ditemukan bergeletak dekat dengan pipa knalpot mobil. Dua
17

orang dinyatakan meninggal karena bunuh diri. Kasus ini


menggambarkan bahwa meskipun di luar ruangan, kematian karena
menghirup CO dapat terjadi jika seseorang dekat dengan sumber CO
dalam jangka waktu yang lama (Carolyne, 2011).

c. Pembunuhan
Kasus keracunan CO karena pembunuhan jarang terjadi, namun
jangan diabaikan karena korban sebelumnya dapat dibuat tidak sadar
atau mabuk lalu dibunuh oleh ibu yang memberi gas pada anaknya dan
kemudian bunuh diri. Pola kematian pada kasus pembunuhan
menggunakan CO harus dievaluasi dengan perhatian penuh karena
tindakan pembunuhan dapat dianggap sebagai kematian akibat
kecelakaan, bunuh diri, atau kematian yang wajar (Carolyne, 2011).

2.2.2.7 Pemeriksaan

2.2.2.7.1. Pemeriksaan TKP Keracunan CO

Salah satu kewajiban dokter ahli forensik atau ahli toksologi


forensik adalah melakukan pemeriksaan TKP pada kematian-kematian
tidak wajar, karena pemeriksaan TKP sangat membantu dalam penentuan
proses lebih lanjut. Demikian pula pada peristiwa keracunan gas karbon
monoksida, dalam hal ini tugas seorang dokter ahli adalah:

1. Menentukan korban masih hidup atau sudah meninggal.


2. Apabila didapati korban dalam keadaan masih hidup segera beri
pertolongan.
3. Mencari sumber-sumber gas karbon monoksida (bila memungkinkan
diambil contoh udara untuk test isolasi gas).
4. Membantu mengumpulkan barang bukti (untuk pemeriksaan
toksologi melalui analisis bahan yang terbakar).
5. Membuat catatan tentang lingkungan di TKP, mencari informasi dari
orang-orang terdekat korban atau yang berada di sekitar TKP.
18

6. Menentukan apakah keracunan tersebut sesuatu yang wajar atau


tidak.
7. Apabila korban telah meninggal dan ada permintaan visum et
repertum (SPVR), maka jenazah segera diangkut ke rumah sakit
untuk dilakukan otopsi.
Dengan memperhatikan hal-hal tersebut di atas, diharapkan
pemeriksaan di TKP dapat membantu dalam pemeriksaan toksikologi yang
akan dilakukan (Putu, 2015).

2.2.2.7.2. Pemeriksaan Fisik Keracunan Gas Karbon Monoksida

Selain melalui anamnesis, penegakan diagnosis keracunan gas


Karbon Monoksida juga dilakukan dengan melakukan pemeriksaan fisik
(Putu, 2015).

Pada pemeriksaan fisik keracunan gas Karbon Monoksida karbon hidup


ditemukan:

No. Pemeriksaan Tanda


1. Vital Sign  Takikardia
 Hipertensi/hipotesis
 Hipotermi, tetapi pada keadaan
terminal mungkin hipertermi
 Takipneu, mungkin terjadi pernafasan
Cheyne Stoke ( pada intoksikasi berat
pada umunya pernafasan menjadi
lambat)
2. Kulit  Umumnya pucat
 Tanda klasik cherry red sangatlah
jarang (hanya tampak setelah
meninggal)
19

3. Mata  Pupil melebar dan reaksi cahaya


menghilang (pada keadaan koma)
 Pendarahan retina
 Vena retina berwarna merah terang
(tanda-tanda awal yang sensitif)
 Papil edema
 Homonim hemianopsia
4. Paru-paru  Pneumonia dan ederma paru non
kardiologis
5. Sistem Saraf Pusat  Gangguan neurologis dan atau
neuropsikiatri
 Gangguan daya ingat (amnesia
retrograde dan anteograde)
 Emoasi yang labil, sulit untuk
mengambil keputusan dan
menurunkan kognitif
 Stupor sampai koma
 Apraksia, agnosia, gangguan TIC,
gangguan pendengaran dan
keseimbangan, kebutaan dan gangguan
psikis. Hal tersebut oleh karena
paparan jangka panjang atau paparan
yang berat meskipun akut akan
meninggalkan sequelae neuropsikiatri
jangan panjang
6. Darah  Pada korban yang masih hidup, darah
adalah bahan yang terpenting, darah di
ambil dari vena secepat mungkin
karena ikatan CO-Hb cepat terrurai
kembali menjadi CO dan keluar tubuh
 Pada pemeriksaan laboratorium
mungkin dijumpai leukositosis,
hiperlikemia, dengan glukosuria
(dalam waktu 3-4 hari), albuminuria
peningkatan BUN dan peningkatan
SGOT. Perubahan kadar gama
globulin juga pernah dilaporkan.

7. Urin  Pada pemeriksaan urin didapatkan


positif untuk albumin dan glukosa
pada keracunan kronis
8. Wanita hamil  Pemerikasaan yang dilakukan sama
dengan yang di bicarakan di atas, yang
20

perlu diperhatikan adalah akumulasi CO


di janin 10- 15% lebih tinggi di banding
darah itu waktu paruh HbCO pada janin
adalah 7-9 jam.

Pemeriksaan Tambahan Pada Korban Hidup

a. Analisa Gas Darah


Akan didapatkan tingkat PCO2 mungkin normal atau serdikit menurun.
Gambaran Asidosis metabolik terjadi sekunder karena asidosis laktat dari
iskemia.

b. Foto Thoraks
Diperlukan pada keracunan yang signifikan, gejala pulmonal, atau bila
akan diterapi dengan oksigen hiperbarik. Pada umumnya gambaran foto
thoraks tidak didapatkan kelainan. Gambaran ground glass, kesuraman
perihilus dan edema intra alveolar menunjukan prognosa yang buruk.

Gambar 3. Gambaran ground glass appearance

c. CT-Scan
21

Diperlukan pada keadaan intoksikasi berat atau perubahan status mental


yang tidak segera hilang. Tampak adanya edema serebri dan lesi fokal,
kebanyakan berupa daerah yang lebih gelap di basal ganglia. Hasil CT-
Scan positif secara umum dapat memperkirakan timbulnya komplikasi
neurologis. CT-Scan serial diperlukan bila terjadai perubahan status
mental.

d. MRI
MRI lebih akurat dibanding dengan CT-Scan dalam menentukan lesi
fokal dan demielinisasi substansia alba. MRI juga sering digunakan untuk
memantau kemajuan pasien.

e. EKG
Sinus takikardi adalah kelainan yang paling sering tejadi. Aritmia
mungkin terjadi akibat hipoksi, iskemia atau infark. Mungkin juga
ditemukan gelombang T mendatar atau negatif, tanda insufiensi koroner,
ekstrasistol dan fibrilasi atrium.

f. Pengujian Neuropsychologic
Pengujian yang dilakukan diantaranya pengujian konsentrasi, fungsi
motorik halus, dan pemecahan masalah secara konsisten (Putu, 2015).

2.2.2.7.3 Pemeriksaan Jenazah

a) Pemeriksaan luar
Khas warna lebam mayat merah terang (cherry red) baik permukaan tubuh,
membran mukosa, kuku jari, namun warna ini tidak sama di seluruh tubuh misal
tubuh bagian depan, leher dan paha berwarna lebih terang dibanding dengan yang
lain. Warna cherry red ini khususnya terdapat di daerah hipostasis post mortem
dan menunjukkan kejernihan kadar COHb telah melampaui 30%. Pada
pemeriksaan warna cherry red ini dibutuhkan pencahayaan yang baik karena
tidak semua warna cherry red yang ditemukan dalam pemeriksaan luar jenazah
22

sebagai indikator pasti untuk menentukan adanya keracunan gas karbon


monoksida. Warna cherry red tidak akan ditemukan pada jenazah yang
diawetkan.

Eritema dan vesikel/bula pada kulit dada, perut, luka, atau anggota gerak
badan, baik di tempat yang tertekan maupun yang tidak tertekan. Kelainan
tersebut disebabkan oleh hipoksia pada kapiler-kapiler bawah kulit (Carolyne,
2011).

Pada kasus yang meragukan, jenasah korban diperiksa dengan pencahayaan


yang baik, sehingga tingkat ketelitian dalam menentukan apakah ada atau
tidaknya warna cherry red pada permukaan tubuh dapat lebih baik.

Gambar 4.Keracunan karbon monoksida (CO) akan menyebabkan kulit berwarna


kemerahan.

b) Pemeriksaan dalam
Tidak ditemukan perdarahan di rongga pleura pada keracunan CO, walau hal ini
sering dihubungkan dengan asfiksia. Inilah membedakan keracunan CO dan
kehilangan oksigen.

Pada pemeriksaan dalam penting untuk diperhatikan dalam pengambilan sampel


23

- Pengambilan sampel darah lebih baik mengambil bahan dalam keadaan segar dan
lengkap, pengambilan darah dari jantung dilakukan secara terpisah dari sebelah
kanan dan sebelah kiri bila darah masih dapat ditemukan.
- Dapat diambil setiap saat sebelum terjadi proses pembusukan sebab:
o Post mortem tidak terbentuk ikatan CO-Hb yang baru.
o Post mortem tidak akan terjadi peruraian terhadap ikatan CO-Hb yang telah
terjadi.
Perubahan yang dapat terjadi antara lain:

1. Warna cherry red seluruh organ dalam, otot, terkadang pulpa gigi dan sumsum
tulang
2. Bintik bintik perdarahan (tanda asphyxia) pada otot jantung, jaringan otak,
conjunctiva, endocard.
3. Degenerasi anoksida terlokalisir (hepar, jantung, ginjal dan paru)
4. Odema paru dan bronkopneumonia
5. Nekrosis otot
6. Gagal ginjal akut
7. Nekrosis bilateral dari globus pallidus
8. Edema pada globus pallidus dan subthalamicus
9. Ptechie dari substansia alba otak
10. perlunakan korteks dan nucleus sentralis
11. Fatty degrenation dan nekrosis pada ginjal

c) Pemeriksaan Tambahan

Jenis pemeriksaan tambahan lain pada korban mati diantaranya:

a) Darah lengkap
Leukositosis ringan

b) Serum elektrolit
Laktoasidosis, hipokalemia
24

c) Gula darah
hiperglikemia

d) Tes fungsi ginjal


Terjadi GGA (gagal ginjal akut) oleh karena mioglobinuria

e) Tes fungsi liver


Terjadi peningkatan enzim-enzim hati pada gagal hati fulminan

f) Urinalisis
Albumin dan glukosa positif pada intoksikasi kronis

g) Methemoglobin
Sebagai diagnosis banding dengan saturasi O2 rendah dan Pa O2 normal.

h) Etanol
Etanol adalah faktor yang mengacaukan, apakah keracunan tersebut disengaja
ataukah tidak.

i) Kadar sianida
Jika diduga ada keracunan sianida (misalnya pada kebakaran pabrik), paparan
terhadap sianida ditandai dengan adanya asisodis metabolik yang tidak diketahui
sebabnya.

j) Histopatologis
Pemeriksaan PA menunjukkan adanya area nekrotik dan perdarahan mikrokospis
di seluruh tubuh juga terjadi edema dan kongesti hebat pada otak, hati, ginjal dan
limpa.

2.2.2.8 Diagnosis

Penegakan diagnosis keracunan gas karbon monoksida dilakukan dengan


menggabungkan antara anamnesis adanya riwayat paparan terhadap karbon
monoksida dan anamnesis gejala-gejala positif.
25

Faktor yang perlu dipertimbangkan adalah terbukti adanya trauma oleh karena
panas atau adanya inhalasi. Peningkatan kadar sianida dilaporkan pada korban
kebakaran, pada penelitian didapatkan bahwa terdapat korelasi yang signifikan antara
kadar COHb dan konsentrasi sianida darah demikian pula bila korban keracunan
COHb oleh karena usaha bunuh diri, perlu juga dicari adanya obat-obat seperti
asetaminofen, salisilat dan etanol.

Pemeriksaan EKG harus dilakukan pada semua paseien baik pada gejala atau
tanpa gejala, dan bila terdapat (umumnya sinus takikardi dan perubahan segmen ST),
maka pemeriksaan serial enzim kreatinin kinase (CK) dan laktat dehidrase (LDH)
sebaiknya dilakukan dan pasien diobservasi secara ketat. Gas karbon monoksida
dengan sequale neuropsikiatri maka CT-Scan kepala atau MRI kepala dapat
menunjukan adanya karakteristik abnormal seperti nekrosis bilateral dari globus
pallidus, korteks serebi dan substansi nigra.

2.2.2.9 Penatalaksanaan Keracunan Karbon Monoksida

Pertolongan pertama pada seseorang yang keracunan karbon monoksida


adalah menjauhkan dari sumber karbon monoksida. Korban harus diberikan oksigen
murni. Korban keracunan gas CO ini harus diistirahatkan dan diusahakan tenang.
Meningkatnya gerakan otot menyebabkan meningkatnya kebutuhan oksigen sehingga
persediaan oksigen untuk otak dapat berkurang.

BP atau batas paparan dalam lingkungan industri 35 ppm. Keracunan dapat


terjadi melalui inhalasi gas karbon monoksida atau uap metilen klorida, dan juga
keracunan metilen klorida melalui mulut. Akibat keracunan karbon monoksida
terutama dispnea.

1. Tindakan penanggulangan dan tindakan gawat darurat


a. Untuk menghindari kontak selanjutnya, penderita harus segera
dipindahkan.
b. Berikan oksigen 100% dengan masker, sampai kadar karboksihemoglobin
tidak membahayakan. Kadar karboksihemoglobin akan berkurang sampai
26

50% dalam waktu 1-2 jam. Jika kadar karboksihemoglobin dalam darah
lebih dari 20% perlu terapi oksigen hiperbarik).
c. Jika terjadi depresi pernapasan, berikan pernapasan buatan dengan
oksigen 100% sampai pernapasan kembali normal.
2. Antidoum: oksigen yang diberikan pada tindakan gawat darurat merupakan
antidot terhadap keracunan karbon monoksida.
3. Tindakan umum
a. Usahakan suhu badan normal. Turunkan suhu badan, jika terjadi
hiperthermia.
b. Perhatikan tekanan darah penderita.
c. Untuk mengurangi edema serebral, berikan manitol 1 g / kg sebagai
larutan 20% secara IV dalam waktu lebih dari 20 menit. Untuk
mengatasi edema serebral, berikan prednisolon 1 mg / kg secara IV
atau IM tiap 4 jam, atau obat golongan kortikosteroid lain yang
setara.
d. Jika terjadi radang paru karena infeksi bakteri, berikan obat
kemoterapi yang spesifik.
e. Untuk mengurangi kemungkinan terjadi komplikasi neurologik yang
timbul kemudian, perlu istirahat di tempat tidur selama 2-4 minggu.
f. Atasi konvulsi atau hiperaktivitas yang terjadi dengan diberi
diazepam 0,1 mg / kg secara IV perlahan-lahan.
4. Follow up
a. Pasien rawat inap
1) Memerlukan monitoring yang berkala
2) Pada beberapa kasus yang berat perlu dirawat di ICCU
b. Pasien rawat jalan
1) Penderita tanpa gejala dengan tingkat COHb dibawah 10%
2) Bisa dilakukan terapi O2 hiperbarik untuk membersihkan kadar CO
dalam darah.
27

2.2.3 Alkohol
2.2.3.1 Definisi

Alkohol adalah cairan tidak berwarna yang bersifat mudah menguap, mudah

terbakar, dapat digunakan pada bidang industri dan kesehatan serta zat yang dapat

memabukkan. Bahan alkohol yang bisa dikonsumsi berbentuk etil alkohol atau etanol

atau metil alkohol atau methanol. Tidak semua zat aktif alkohol aman dikonsumsi

melalui per oral (Tritama T.K., 2015).

Etil alkohol atau etanol (C2H5OH) merupakan turunan alkohol yang sering

digunakan sebagai bahan untuk minuman beralkohol. Sedangkan Metil alkohol atau

methanol (CH3OH) merupakan bahan yang biasa digunakan sebagai pelarut

pengekstraksi dan bersifat toksik bagi manusia (BPOM RI, 2016).

Menurut beberapa kebiasaan masyarakat, alkohol merupakan salah satu satu

minuman yang dianggap sebagai stimulan yang bermanfaat untuk meningkatkan

energi, daya pikir, dan ketenangan tubuh seseorang. Akan tetapi, alkohol memberikan

dampak negatif yang lebih banyak daripada positifnya. Pada dasarnya alkohol dapat

berdampak depresif pada sistem saraf pusat, memberikan efek yang sama seperti

pemberian golongan obat antikonvulsan, seperti barbiturate dan benzodiazepine, dan

efek antiansietas yang ditimbulkan dapat menyebabkan kehilangan inhibisi perilaku

dalam suatu rentang dosis yang luas (Tritama T.K., 2015).

2.2.3.2 Patofisiologi

Alkohol akan diserap mukosa lambung dalam konsentrasi maksimal setelah di

konsumsi selama 30-90 menit. Metanol di metabolisme oleh alkohol dehidrogenase


28

didalam hati untuk menjadi formaldehid. Kemudian formaldehid di metabolisme oleh

aldehid dehidrogenase menjadi asam format yang akhirnya menjadi asam folat, asam

folinat, karbon dioksida dan air. Asam format berperan besar dalam toksisitas yang

berkenaan dengan metanol (Levine, et al., 2011).

Hasil metabolisme menghasilkan asam format yang bekerja menghambat

cytochrome oxidase karena merupakan racun mitokondria. Akibatnya akan terjadi

gangguan pada jaringan saraf optikus, retina dan ganglia basalis (Wibisono, 2012).

Selain itu intoksikasi metanol dapat menimbulkan asidosis metabolik dan penurunan

bikarbonat plasma yang disebabkan oleh formaldehid, asam format dan asam laktat

(Sivilotti, et al., 2011).

2.2.3.3 Kadar Toksisitas

Tanda toksisitas pada individu bervariasi, tergantung jumlah pemberian dosis

dan perubahan perilaku pencandu. Jendela terapeutik yang memberikan efek anestetik

dan efek letal sangatlah kecil, sehingga memberikan dampak secara langsung apabila

salah pemberian. Zat ini dapat dinilai tingkat toksisitasnya dengan melihat hubungan

antara konsentrasi alkohol di dalam darah dan tingkatan efek yang ditimbulkannya.

Euphoria ringan dan stimulasi terhadap perilaku lebih aktif seiring dengan

meningkatnya konsentrasi alkohol didalam darah (Tritama T.K., 2015).

Alkohol akan memberikan efek toksik apabila pemberian dosisnya melebihi

jendela terapeutiknya. Dosis toksik alkohol adalah 100 mg/dL dan dosis letal minimal

alkohol adalah 300 mg/dL. Dosis toksik dapat mengakibatkan munculnya gejala-

gejala akibat keracunan alkohol seperti penurunan kesadaran, gangguan pengelihatan,

mual dan muntah, namun tidak langsung berdampak kematian. Hubungan antara
29

dosis dengan efek zat pada tubuh dapat berbeda bergantung pada beberapa faktor,

seperti variasi individu, jenis kelamin, dosis yang diberikan, dan berapa lama

mengkonsumsi alkohol tersebut (Hamidah dan Yulianti. 2017).

2.2.3.4 Syarat Zat Toksik

Alkohol merupakan molekul yang larut dalam air dan diserap dengan cepat

pada saluran pencernaan. Pada 30 menit paska konsumsi alkohol, alkohol akan

terserap dengan sempurna, dengan syarat keadaan lambung kosong. Volume

distribusi untuk alkohol mendekati total air dalam tubuh (0,5-0,7 L/kg) (Tritama,

2015).

Proses distribusi juga bergantung pada jenis kelamin. Dengan dosis yang

sama per oral, wanita memiliki konsentrasi puncak yang lebih tinggi dari pria. Hal ini

karena wanita memiliki total kadar air tubuh yang lebih rendah dari pria dan karena

perbedaan dalam first-pass metabolism (Tritama, 2015).

Pada keadaan normal serum tubuh memiliki osmolalitas antara 285-290

mOsm/L yang didalamnya mengandung natrium dan ion-ion tubuh yang ikut beredar

didalam pembuluh darah. Apabila terdapat akumulasi dari substansi yang besar

osmolaritasnya dibawah normal serum (seperti beberapa jenis alkohol) maka dapat

mengganggu rata-rata osmolaritas serum, yang nantinya akan memunculkan osmolal

gap. Methanol merupakan bentukan alkohol yang memberikan efek terbesar pada

osmolalitas serum dibandingkan turunan alkohol yang lain seperti etanol,

isopropanol, etil glikol, propilen glikol, dan dietilen glikol. Osmolal gap pada serum

dapat ditemukan pada orang-orang yang memiliki gejala yang mengarah kepada
30

diagnosis intoksikasi alkohol, seperti ketoasidosis, asidosis laktat, dan gagal ginjal

(Kraut and Kurtz. 2008).

2.2.3.5 Manifestasi Klinis

Konsumsi alkohol berlebihan dapat mengakibatkan efek sistemik pada tubuh.

Pada sistem saraf pusat dapat mengganggu pengaturan eksitasi atau inhibisi otak,

sehingga mengkonsumsi alkohol dapat mengakibatkan ketidakseimbangan

neurotransmitter di otak seperti terjadinya disinhibisi, ataksia dan sedasi. Alkohol

juga dapat merangsang peningkatan aksis hypothalamic pituitary adrenocortical

(HPA) yang berpengaruh terhadap pusat kontrol stress. Hal ini juga bergantung pada

genetik, jenis kelamin, dan parameter dosis. (Tritama, 2015).

Konsumsi jangka panjang dapat menyebabkan peningkatan tekanan darah di

dalam tubuh yang menetap kemudian menjadi hipertensi, kerusakan jantung, stroke,

kanker payudara, kerusakan hati, dan gangguan pada organ lainnya. Selain itu alkohol

juga dapa menyebabkan impotensi, insomnia, kerusakan otak dengan perubahan

perilaku, gangguan ingatan dan konsentrasi. Penggunaan alkohol secara terus

menerus juga dapat menyebabkan toleransi dan ketergantungan. Maksud toleransi

disini adalah dengan meningkatkan dosis agar mendapatkan efek yang sama seperti

dosis sebelumnya. Sedangkan ketergantungan merupakan keadaan dimana alkohol

mendapatkan peran penting dalam kehidupan seseorang, dimana apabila dihentikan

akan menyebabkan berbagai gangguan pada penggunanya (Tritama, 2015).

Tabel 3. Intoksikasi Jenis-jenis Alkohol


31

Penyakit Kandungan yang Temuan Klinis dan Laboratoris


Menyebabkan Toxic

Alkoholic (ethanol) β-hydroxybutyric acid Asidosis metabolik


ketoacidosis

Intoksikasi methanol Formic acid, Lactic Asidosis metabolik, hiperosmolalitas,


acid, dan Keton kerusakan retina dengan kebutaan, putaminal
damage dengan disfungsi neurologis
Intoksikasi ethylene Glycolic acid, Calcium Kerusakan sel di miokardial dan serebral, gagal
glycol oxalate ginjal, asidosis metabolik, hiperosmolalitas,
hipokalsemia,
Intoksikasi 2- Kerusakan neurologis, gagal ginjal, asidosis
Duethylene glycol Hydroxyethoxyacetic metabolik, hiperosmolalitas
acid
Intoksikasi Propylene Lactic acid Asidosis metabolik, hiperosmolalitas
glycol
Intoksikasi Isopropanol koma, hipotensi, hiperosmolalitas
isopropanol

2.2.3.6 Pemeriksaan Forensik

Pada orang hidup, bau alkohol yang keluar dari udara pernapasan merupakan

petunjuk awal. Petunjuk ini harus dibuktikan dengan pemeriksaan kadar alkohol

darah, baik melalui pemeriksaan udara pernapasan atau urin, maupun langsung dari

darah vena. Kelainan yang ditemukan pada korban mati tidak khas, dapat ditemukan

gejala-gejala yang sesuai dengan asfiksia. Seluruh organ menunjukkan tanda adanya

bendungan, darah lebih encer, berwarna merah gelap. Mukosa lambung menunjukkan

tanda adanya bendungan, kemerahan dan tanda inflamasi akan tetapi kelainan tidak

selalu ada. Organ-organ termasuk otak dan darah berbau alkohol. Pada pemeriksaan

histopatologik dapat dijumpai edema dan pelebaran pembuluh darah otak dan selaput
32

otak, degenerasi, bengkak keruh pada bagian parenkim organ dan inflamasi mukosa

saluran cerna.

Pada kasus keracunan kronik dan meninggal, jantung dapat memperlihatkan

fibrosis interstisial, hipertrofi serabut otot jantung, sel-sel radang kronik pada

beberapa tempat, gambaran seran lintang otot jatunng menghilang, hialinisasi, edema

dan vakuolisasi serabut otot jantung. Schneider melaporkan miopati alhokolik akut

dengan miohemoglobinuri yang disebabkan oleh nekrosis tubuli ginjal dan kerusakan

miokardium.

2.2.4 Arsen
2.2.3.7 Definisi

Arsen merupakan  logam berat dengan valensi 3 atau 5, dan  berwarna metal

(steel-grey). Senyawa arsen didalam alam  berada dalam 3 bentuk: Arsen trichlorida

(AsCl3) berupa cairan  berminyak, Arsen trioksida (As2O3, arsen putih) berupa

kristal putih dan berupa gas arsine (AsH3). Lewisite, yang sering disebut sebagai gas

perang, merupakan salah satu turunan gas arsine. Pada umumnya arsen tidak berbau,

tetapi beberapa senyawanya dapat mengeluarkan bau bawang putih. Racun arsen pada

umumnya mudah larut dalam air, khususnya dalam air panas .

Arsen merupakan unsur dari komponen obat. Senyawa  arsen trioksida  misalnya

pernah digunakan sebagai  tonikum, yaitu dengan dosis 3 x 1-2 mg. Dalam jangka

panjang, penggunaan  tonikum ini ternyata telah menyebabkan  timbulnya gejala

intoksikasi arsen kronis. Arsen juga pernah digunakan sebagai obat untuk berbagai

infeksi parasit, seperti protozoa, cacing, amoeba, spirocheta dan tripanosoma, tetapi
33

kemudian tidak lagi digunakan karena ditemukannya obat lain yang lebih aman.

Arsen dalam dosis kecil sampai saat ini  juga masih digunakan sebagai obat pada 

resep homeopathi .

Bermacam-macam bentuk senyawa kimia dari arsen ini yaitu sebagai berikut ;

1. Arsen triokasida (As2O3), ialah bentuk garam inorganik dan bentuk trivial dari

asam arsenat (H4AsO4) berwarna putih dan padat seperti gula.

2. Arsen pentaoksida (As2O5)

3. Arsenat (misalnya : PbHAsO4), ialah bentuk garam dari asam arsenat, merupakan

senyawa arsen yang banyak dijumpai di alam dan bersifat kurang toksik.

4. Arsen organik, arsen berikatan kovalen dengan rantai karbon alifatik atau struktur

cincin,dimana arsen terikat dalam bentuk trivalent ataupun pentavalen. Bentuk

senyawa arsen ini kurang toksin dibandingkan denagn bentuk senyawa arsen

inorganik trivalent.

Bentuk senyawa arsen yang paling beracun ialah gas arsin (AsH3),yang terbentuk

bila asam bereaksi dengan arsenat yang mengandung logam lain.

Selain dapat ditemukan di udara, air maupun makanan, arsen juga dapat

ditemukan di industri seperti industri pestisida, proses pengecoran logam maupun

pusat tenaga geotermal. Elemen yang mengandung arsen dalam jumlah sedikit atau

komponen arsen organik (biasanya ditemukan pada produk laut seperti ikan laut)

biasanya tidak beracun (tidak toksik). Arsen dapat dalam bentuk in organik bervalensi

tiga dan bervalensi lima. Bentuk in organik arsen bervalensi tiga adalah arsenik
34

trioksid, sodium arsenik, dan arsenik triklorida.,  sedangkan  bentuk in organik arsen

bervalensi lima adalah arsenik pentosida, asam arsenik, dan arsenat (Pb arsenat, Ca

arsenat). Arsen bervalensi tiga (trioksid) merupakan bahan kimia yang cukup

potensial untuk menimbulkan terjadinya  keracunan akut.

2.2.3.8 Patofisiologi

Mekanisme masuknya Arsen dalam tubuh manusia umumnya melalui oral,

dari makanan atau minuman. Arsen yang tertelan secara cepat akan diserap lambung

dan usus halus kemudian masuk ke peredaran darah. Arsen dapat menjadi racun

dalam apabila arsen terikat dengan gugus sulfhidril (-SH), terutama yang berada

dalam enzim. Salah satu sistem enzim tersebut ialah kompleks piruvat dehidrogenase

yang berfungsi untuk oksidasi dekarboksilasi piruvat menjadi Co-A dan CO2

sebelum masuk dalam siklus TOA (tricarbocyclic acid). Dimana enzim tersebut

terdiri dari beberapa enzim dan kofaktor. Reaksi tersebut melibatkan transasetilasi

yang mengikat koenzim A(CoA-SH) untuk membentuk asetil CoA dan dihidrolipoil-

enzim, yang mengandung dua gugus sulfhidril (BPPSDMK, 2018).

Kelompok sulfhidril sangat berperan mengikat arsen trivial yang membentuk

kelat. Kelat dari dihidrofil-arsenat dapat menghambat reoksidasi akibatnya bila arsen

terikat dengan sistem enzim, akan terjadi akumulasi asam piruvat dalam darah.

Arsenat juga memisahkan oksigen dan fosfolirasi pada fase kedua glikolosis dengan

jalan berkompetisi dengan fosfat dalama reaksi gliseraldehid dehidrogenase. Dengan

adanya pengikatan arsenat reaksi gliseraldehid-3-fosfat, akibatnya tidak terjadi proses

enzimatik hidrolisis menjadi 3-fosfogliserat dan tidak memproduksi ATP. Selama


35

Arsen bergabung dengan gugus –SH, maupun gugus –SH yang terdapat dalam

enzim,maka akan banyak ikatan As dalam hati yang terikat sebagai enzim metabolik.

Karena adanya protein yang juga mengandung gugus –SH terikat dengan As, maka

hal inilah yang menyebabkan As juga ditemukan dalam rambut, kuku dan tulang.

Karena eratnya As bergabung dengan gugus –SH, maka arsen masih dapat terdeteksi

dalam rambut dan tulang beberapa tahun kemudian (BPPSDMK, 2018).

2.2.3.9 Syarat Toksisitas

Secara umum efek arsen terhadap tubuh tergantung dari sifat fisik dan kimiawi

racun, jumlah racun yang masuk, kecepatan absorpsi, serta kecepatan dan jumlah

eliminasi, baik yang terjadi alamiah (melalui muntah atau diare) maupun buatan

(pengobatan). Menelan senyawa atau garam arsen dalam bentuk larutan lebih cepat

penyerapannya dibandingkan penyerapan arsen dalam bentuk padat. Penyerapan

senyawa arsen dalam bentuk padat halus lebih cepat dibandingkan bentuk padat

kasar, sehingga gejala klinis yang terjadipun juga lebih berat (Munandar, 2013).

Arsen yang termakan dalam jumlah sedikit, tidak selalu menimbulkan tanda

dan gejala yang terlihat, sehingga diagnosis pasti tidak dapat diketahui. Akan tetapi

bila termakan dalam jumlah besar, kematian dapat terjadi dengan mendadak dan

biasanya tanpa memperlihatkan gejala klinis. Bau bafas yang khas seperti bau

bawang putih tercium pada nafas korban keracunan dan hal ini dapat dipakai sebagai

petunjuk yang kuat dari keracunan arsen akut (Munandar, 2013).

Arsen tidak memiliki rasa, bau dan warna sehingga sulit terdeteksi. Dosis

arsenik yang tinggi dengan intensitas paparan yang lebih sedikit memiliki dampak
36

yang lebih ringan bagi kesehatan manusia. Namun, dosis rendah dengan paparan terus

menerus memiliki efek yang lebih berbahaya bagi manusia (Chakraborti et al., 2018).

2.2.3.10 Manifestasi Klinik

Arsen anorganik dapat mempengaruhi sumsum tulang dan mengubah

komposisi sel darah, pada hati menyebabkan nekrosis dan sirosis hati dan pada ginjal

menyebabkan kerusakan pembuluh tubulus dan glomerulus ginjal. Ginjal yang

pertama kali dipengaruhi oleh arsen adalah glomerulus sehingga terjadi proteinuria.

Arsen juga dapat menggantikan fosfor yang sudah disimpan selama bertahun-tahun

dalam jaringan tulang. Pada sistem sel mengakibatkan kerusakan mitokondria

sehingga menyebabkan sel mati (Selfi, 2018). Gejala klinis awal pada intoksikasi

arsen akut dapat berupa nyeri otot, mual dan muntah yang parah, sakit perut kolik,

dan diare yang banyak disertai tinja seperti air susu.

Kerusakan kapiler menyebabkan vasodilatasi general, menyebabkan transudasi

cairan di lumen usus, pembentukan vesikal mukosa, dan penggilingan fragmen

jaringan. Pasien mungkin kram otot, mati rasa di tangan dan kaki, ruam kemerahan di

tubuh dan kehausan yang hebat (Selfi, 2018).

Keracunan yang parah menyebabkan kulit menjadi dingin dan keruh, dan

beberapa tingkat kebocoran sirkulasi biasanya terjadi bersamaan dengan kerusakan

ginjal dan penurunan output urin. Kebingungan terjadi bersamaan dengan

perkembangan psikosis yang terkait dengan delusi paranoid, halusinasi, dan delirium.

Akhirnya, kejang, koma, dan kematian, biasanya karena syok (Selfi, 2018).

Kerusakan pembuluh tubulus dan glomerulus pada ginjal akibat arsen

anorganik di dalam darah menyebabkan nekrosis sentral dan nekrosis hati. Senyawa
37

arsen adalah protoplasmik yang menyerang enzim. Gejala kronis timbal arsen

mengakibatkan:

1. Kerusakan jantung dan gangguan pernafasan

2. Gangguan saraf, menyebabkan penurunan koordinasi motor dan neuritis.

3. Gangguan pencernaan, menyebabkan sakit perut, muntah, dan diare.

4. Infeksi kulit, menyebabkan dermatitis dan kebotakan (Selfi, 2018).

Menurut laporan, paparan 10-50 μg / L dan> 50 μg / L menghasilkan 19.000

dan 24.000 kematian orang dewasa setiap tahunnya (Flanagan et al, 2012).

Gambar 6. Efek Keracunan Arsenik pada Manusia (Shahid et al, 2018)

2.2.4.5 Pemeriksaan Forensik

Pada pemeriksaan luar akan didapatkan gejala dehidrasi, pada pemeriksaan

dalam ditemukan tanda iritasi lambung, mukosa berwarna kemerahan terkadang

terdapat perdarahan ( flea bitten apperenace). Iritasi lambung dapat menyebabkan


38

produk musin lambung yang menutupi mukosa dan partikel-partikel arsenik dapat

tertahan (Budiyanto dalam Rukman, 2018).

Nafas berbau seperti bawang putih dapat ditemukan pada mayat yang

keracunan Arsen. Dalam kondisi akut, ketika 1 gram atau lebih Arsen anorganik

dikonsumsi gejala klinis yang muncul yaitu didominasi gejala gastrointestinal berupa

muntah darah dan diare parah. diare dapat menyebabkan syok dan kegagalan jantung.

Jika korban meninggal dengan sangat cepat, tidak akan ada kelainan yang muncul

saat otopsi. Namun, jika keracunan terjadi beberapa jam sebelum meninggal, pada

inspeksi saluran atas gastrointestinal ditemukan esofagus yang berwarna merah dan

meninggalkan tanda inflamasi. Dalam beberapa kasus, inflamasi pada usus memiliki

tampilan ”Red velvet” (James et al, 2011).

Satu-satunya perubahan post mortem yang bisa diandalkan karena adanya

keracunan Arsen adalah perdarahan pada otot sisi kiri jantung bagian dalam (area

yang biasa disebut Left Ventricular Subendocardium) Histopatologik menunjukkan

adanya infiltrasi sel-sel radang bulat ke miokard. Sedangkan organ lain dapat

ditemukan edema. Pada korban meninggal perlu diambil organ-organ seperti darah,

urin, isi lambung, rambut, kuku, kulit dan tulang. Pada pemeriksaan kuku juga

ditemukan ’Mee’s Line’ yaitu garis putih melintang pada kuku (James et al, 2011).
39

Gambar 7. Mee’s Line pada kuku (Huang & Chao, 2010)

Pada pemeriksaan laboratorium dicurigai keracunan arsen bila kadar arsen pada

bahan yang diperiksa diatas batas normal (Budiyanto dalam Rukman, 2018).:

- Rambut dalam keadaan normal: 0,5 mg/kg

- Dicurigai bila:0,75 mg/kg

- Keracunan bila: 30 mg/kg

- Kuku dalam keadaan normal: sampai 1 mg/kg

- Dicurigai bila: 1 mg/kg

- Keracunan bila: 80 ug/kg

Pemeriksaan toksikologinya 10 cc darah + 10 cc HCL pekat, kemudian celupkan

tembaga ke dalam larutan tersebut. Jika positif ada arsen maka akan tampak warna

kehitaman hingga abu-abu pada batang tembaga tersebut (Budiyanto dalam Rukman,

2018).
BAB III

PENUTUP

Toksikologi forensik adalah penerapan ilmu toksikologi pada berbagai kasus dan

permasalahan kriminalitas dimana obat-obatan dan bahan kimia yang dapat menimbulkan

konsekuensi medikolegal dan dapat digunakan sebagai bukti dalam pengadilan.

Efek toksik dapat ditimbulkan oleh beberapa senyawa seperti alkohol, sianida, karbon

monoksida dan arsen. Zat-zat tersebut mampu menimbulkan efek toksik jika kadar zat yang

masuk ke tubuh melebihi dari kadar aman. Zat-zat tersebut mampu menimbulkan berbagai

manifestasi bagi tubuh .

Zat-zat yang memiliki efek toksik mampu menyebabkan kematian pada manusia jika

kadar zat toksik yang masuk ke dalam tubuh mencapai jumlah yang besar. Seseorang yang

meninggal akibat keracunan zat toksik dapat dilakukan pemeriksaan karena zat toksik

memberikan efek yang khas pada mayat. Contohnya seperti seseorang yang keracunan gas CO

maka tubuhnya akan berwarna merah ( cherry red ), ditemukannya gambaran mee’s line pada

kuku korban yang mengalami keracunan arsen

40
DAFTAR PUSTAKA

Badan Pengembangan dan Pemberdayaan Sumber Daya Manusia Kesehatan. 2018. Toksikologi
Klinik. KEMENKES RI

Cahyawati, P., Zahran, M., Jufri, M., dan Novian; Keracunan Akut Sianida; Wicaksana, Jurnal
Lingkungan & Pembangunan; ISSN 2597-7555; vol.1 No.1: 80-87; 2017.

Carolyn M Allen. 2011. http://www.thoracicmedicine.org/article.asp?issn=1817-


1737;year=2010;volume=5;issue=4;spage=201;epage=216;aulast=Allen

Chakraborti, D., S.K. Singh, M.M. Rahman, R.N. Dutta, S.C. Mukherjee, S. Pati et P.B. Kar,
2018, Groundwater Arsenic Contamination in the Ganga River Basin : A Future Health
Danger. International journal of environmental research and public health, 15, pp. 180

Cooper G.A.A, Peterson S, Osselton M.D.(2010).Science and Justice. The united kingdom and
ireland association of forensic toxicologist forensic toxixologist laboratory guidlines

Chubyo. 2011. Keracunan Karbon Monoksida. www.GrameenFoundation.org.

Dharma, Mohan S. et al. 2008. Investigasi Kematian Dengan Toksikologi Forensik. Faculty
Medicine University of Riau. Pekan Baru, Riau

Fitriana, N A (2015). Forensic Toxicology.J. Majority Volume 4 Number 4. Faculty of Medicine


of lampung University

Guy N. Shochat, MD. 2010. Toxicity, Carbon Monoxide: Differential Diagnoses and Workup.
http://emedicine.medscape.com/article/819987-Diagnosis.

Guy N. Shochat, MD. 2010. Toxicity, Carbon Monoxide: Follow-Up,


http://emedicine.medscape.com/article/819987-followup. Apr 27.

Hariadi A., dkk. 2006. Ilmu Kedokteran Forensik Dan Medikolegal. Bagian Ilmu Kedokteran
Forensik dan Medikolegal FK Airlangga, hal 223-235, Surabaya.

Wichaksana A., Astono S., Hanum K. 2002. Dampak Keracunan Gas Karbon Monoksida bagi
Kesehatan Pekerja. In Cermin Dunia Kedokteran No. 136 p. 24-28.

Y.Issa, S (2019) Forensic Toxicology. Egypt, Faculty of Medicine alexandria University

41

Anda mungkin juga menyukai