Anda di halaman 1dari 134

UNIVERSITAS INDONESIA

PENERAPAN BINA KELUARGA BALITA PLUS (BKB+) SEBAGAI


UPAYA PENINGKATAN TUMBUH KEMBANG BALITA DI
KELURAHAN SUKAMAJU BARU KECAMATAN TAPOS
KOTA DEPOK PROVINSI JAWA BARAT

KARYA ILMIAH AKHIR

NETI HARTATY
1206195584

FAKULTAS ILMU KEPERAWATAN


PROGRAM STUDI NERS SPESIALIS
KEPERAWATAN KOMUNITAS
JUNI, 2015

Penerapan bina..., Neti Hartaty, FIK UI, 2015


UNIVERSITAS INDONESIA

PENERAPAN BINA KELUARGA BALITA PLUS (BKB+) SEBAGAI


UPAYA PENINGKATAN TUMBUH KEMBANG BALITA DI
KELURAHAN SUKAMAJU BARU KECAMATAN TAPOS
KOTA DEPOK PROVINSI JAWA BARAT

KARYA ILMIAH AKHIR

Diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar


Ners Spesialis Keperawatan Komunitas

NETI HARTATY
1206195584

Pembimbing I : DR. Etty Rekawati, S.Kp., MKM


Pembimbing II : Ns. Poppy Fitriyani, S.Kp., M.Kep., Sp.Kep.Kom

FAKULTAS ILMU KEPERAWATAN


PROGRAM STUDI NERS SPESIALIS
KEPERAWATAN KOMUNITAS
JUNI, 2015

i
Penerapan bina..., Neti Hartaty, FIK UI, 2015
Penerapan bina..., Neti Hartaty, FIK UI, 2015
Penerapan bina..., Neti Hartaty, FIK UI, 2015
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur residen panjatkan kehadirat Allah SWT atas segala limpahan
rahmat, taufik, hidayah dan karunia-Nya, sehingga residen dapat menyelesaikan
Karya Ilmiah Akhir (KIA) yang berjudul “Penerapan Bina Keluarga Balita Plus
(BKB+) Sebagai Upaya Peningkatan Tumbuh Kembang Balita Di Kelurahan
Sukamaju Baru Kecamatan Tapos Kota Depok Provinsi Jawa Barat”. KIA ini
disusun sebagai salah satu syarat untuk mendapatkan gelar Ners Spesialis
Keperawatan Komunitas pada Program Studi Ners Spesialis Keperawatan
Komunitas Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia.

Penyusunan dan penyelesaian KIA ini tidak terlepas dari bimbingan dan
dukungan berbagai pihak, maka dengan rendah hati pada kesempatan ini residen
menyampaikan ucapan terima kasih dan penghargaan yang setinggi-tingginya
kepada yang terhormat Ibu DR. Etty Rekawati, S.Kp., MKM selaku supervisor
utama dan Ibu Ns. Poppy Fitriyani, S.Kp., M.Kep., Sp.Kep.Kom selaku
supervisor yang telah banyak memberikan bimbingan, arahan dan motivasi selama
proses bimbingan KIA ini. Pada kesempatan ini residen juga menyampaikan
ucapan terima kasih kepada :
1. Ibu Dra. Junaiti Sahar, M.App.Sc., PhD selaku Dekan Fakultas Ilmu
Keperawatan Universitas Indonesia sekaligus koordinator praktik residensi
dan pembimbing akademik residen.
2. Ibu Ns. Nawang Pujiastuti, S.Kp., M.Kep., Sp.Kep.Kom selaku penguji dari
Departemen Keperawatan Komunitas dan Keluarga serta Ibu Eti Rohati,
SKM., MKM selaku penguji dari Dinas Kesehatan Kota Depok atas masukan
dan saran dalam menyempurnakan KIA ini.
3. Seluruh dosen pembimbing praktik residensi Program Studi Ners Spesialis
Keperawatan Komunitas Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia
yang telah memberikan bimbingan serta motivasi selama proses praktik
residensi.
4. Keluarga tercinta : ayahanda Drs.H.Muchlis Mahmud, ibunda Hj.Rafni, S.Pd,
adinda Cut Nia Kartika, suami Ardiansyah,S.STP.,M.Si serta ananda Nesya

Penerapan bina..., Neti Hartaty, FIK UI, 2015


Adzkia Ramadhania Ardian dan Muhammad Ziyyan Al Faruqi Ardian yang
selalu mendo’akan, memberikan dukungan moril dan materil serta menjadi
motivator terbesar bagi residen selama proses praktik residensi dan
penyusunan KIA ini.
5. Sahabat-sahabat mahasiswa praktik residensi spesialis Keperawatan
Komunitas angkatan 2014 yang telah bersama-sama berjuang untuk mencapai
tahap akhir ini.
6. Dinas Kesehatan Kota Depok dan Puskesmas Sukamaju Baru yang telah
banyak berbagi pengalaman saat residen melakukan praktik residensi
keperawatan komunitas.
7. Masyarakat Kecamatan Tapos khususnya masyarakat kelurahan Sukamaju
Baru, kader posyandu, kader kelompok pendukung, RT, RW serta keluarga
binaan dan keluarga anggota BKB+ yang sangat partisipatif dalam setiap
kegiatan yang residen jalankan.

Semoga segala bantuan dan kebaikan serta dukungan yang telah diberikan kepada
residen mendapatkan ridha dan pahala dari Allah SWT, Aamiin.

Depok, Juni 2015


Residen Keperawatan Komunitas

Neti Hartaty

Penerapan bina..., Neti Hartaty, FIK UI, 2015


Penerapan bina..., Neti Hartaty, FIK UI, 2015
Penerapan bina..., Neti Hartaty, FIK UI, 2015
Penerapan bina..., Neti Hartaty, FIK UI, 2015
DAFTAR ISI

LEMBAR JUDUL ……………………………………………………. i


LEMBAR ORISINALITAS ………………………………………...... ii
LEMBAR PENGESAHAN ………………………………………....... iii
LEMBAR PERSETUJUAN PUBLIKASI …………………………… iv
KATA PENGANTAR ………………………………………………… v
LEMBAR PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI ………… vii
ABSTRAK …………………………………………………..………… viii
DAFTAR ISI ………………………………………………………….. x
DAFTAR TABEL ……………………………………………………..
DAFTAR SKEMA …………………………………………………….
DAFTAR GAMBAR…………………………………………………..

1. PENDAHULUAN …………………………………………………. 1
1.1 Latar Belakang …………………………………………………. 1
1.2 Tujuan Penelitian ………………………………………………. 8

2. TINJAUAN PUSTAKA …………………………………………... 9


2.1 Balita sebagai Populasi Risiko …………………………………. 9
2.2 Pertumbuhan dan Perkembangan Balita ……………………….. 13
2.3 Manajemen Pelayanan Asuhan Keperawatan…………………... 19
2.4 Teori Family Centered Nursing (FCN)………….……………… 26
2.5 Model Community As Partner (CAP)………………………….. 30
2.6 Promosi Kesehatan……...………………………………………. 37
2.7 Peran Perawat Komunitas………………………………………. 38
2.8 Bina Keluarga Balita plus (BKB+)……………………………... 40

3. KERANGKA KERJA, PROFIL WILAYAH, MODEL INOVASI 47


3.1 Kerangka Kerja ………………………………………………… 47
3.2 Profil Wilayah Kelurahan Sukamaju Baru …………………….. 50
3.3 Model Inovasi …………………………………………………. 52

4. PELAKSANAAN…..……………………………………………... 54
4.1 Pengelolaan Manajemen Pelayanan Keperawatan Komunitas…. 54
4.2 Asuhan Keperawatan Keluarga…………………………………. 75
4.3 Asuhan Keperawatan Komunitas………………………………. 94

5. PEMBAHASAN……………………………………………………. 103
5.1 Pengelolaan Manajemen Pelayanan Keperawatan Komunitas…. 103
5.2 Asuhan Keperawatan Keluarga…………………………………. 108
5.3 Asuhan Keperawatan Komunitas……………………………….. 111
5.4 Keterbatasan……………………………………………………. 113
5.5 Implikasi Terhadap Keperawatan Komunitas…………………. 113

6. KESIMPULAN DAN SARAN…………………………………….. 114


6.1 Kesimpulan……………………………………………………… 114
6.2 Saran…………………………………………………………….. 114

DAFTAR PUSTAKA…………………………………………………..
LAMPIRAN…………………………………………………..……......

Penerapan bina..., Neti Hartaty, FIK UI, 2015


DAFTAR TABEL

Tabel 2.1 Tahapan Perkembangan Balita Menurut Usia 17

Tabel 4.1 Penapisan Masalah Manajemen 65

Tabel 4.2 Indikator Dampak Askep Keluarga 92

Tabel 4.3 Kemandirian Keluarga 93

Tabel 4.4 Evaluasi Pengetahuan 101

Tabel 4.5 Evaluasi Sikap 102

Tabel 4.6 Evaluasi Perilaku 102

xi

Penerapan bina..., Neti Hartaty, FIK UI, 2015


DAFTAR SKEMA

Skema 2.1 Family Centered Nursing 28

Skema 3.1 Framework 49

Skema 4.1 Web of Caution Asuhan Keperawatan Keluarga 81

xii
Penerapan bina..., Neti Hartaty, FIK UI, 2015
DAFTAR GAMBAR

Gambar 2.1 Community As Partner (CAP) 31

Gambar 4.1 Fish bone 63

xiii

Penerapan bina..., Neti Hartaty, FIK UI, 2015


1

BAB I
PENDAHULUAN

Berbagai studi menunjukkan bahwa periode lima tahun pertama kehidupan anak
merupakan golden period (periode emas) atau jendela kesempatan dalam meletakkan
dasar-dasar tumbuh kembang seorang anak. Kualitas tumbuh kembang anak pada
masa ini akan menentukan kualitas kesehatan fisik, mental, emosional, sosial,
kemampuan belajar dan menentukan pula perilaku sepanjang hidupnya kelak.
Banyaknya kegagalan dalam pengasuhan anak, bukan karena kurangnya kasih
sayang orangtua pada anak, melainkan karena sebagian orangtua tidak tahu
bagaimana cara mengasuh yang baik dan benar. Ketersediaan wadah kegiatan
keluarga dengan anak balita, menjadi sangat penting untuk meningkatkan
pengetahuan dan keterampilan orangtua dan anggota keluarga lainnya dalam
pembinaan tumbuh kembang anak.

1.1.Latar Belakang.
Riset Nasional Dewan Institute of Medicine (2000) menyatakan pertumbuhan yang
cepat dan pembangunan terjadi pada beberapa tahun pertama kehidupan pada semua
domain, hal ini membentuk fondasi yang kuat untuk belajar keterampilan berikutnya.
Perkembangan kemampuan berbahasa, emosional, kesadaran sosial, kreativitas dan
intelegensia pada masa balita berjalan sangat cepat, pada masa ini juga merupakan
masa pembentukan perkembangan moral serta dasar-dasar kepribadian,
penyimpangan sekecil apapun apabila tidak terdeteksi dan tidak tertangani akan
mengurangi kualitas sumber daya manusia kelak (Adriana, 2011).

Enam dari delapan pencapaian tujuan MDGs yang telah ditandatangani oleh negara-
negara anggota Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) saat Deklarasi Millenium PBB
pada Bulan September 2000 berkaitan dengan keberlangsungan hidup balita (UN
MDGs, 2013). Kebutuhan dasar yang secara langsung berkaitan dengan
keberlangsungan hidup balita yaitu makanan, air, sanitasi dan perawatan kesehatan.
Nasib suatu bangsa berawal dari pemeliharaan kelangsungan hidup balita, karena
balita merupakan kekayaan paling berharga yang menentukan masa depan suatu
bangsa. Memelihara keberlangsungan hidup balita sama dengan berinvestasi

Universitas Indonesia

Penerapan bina..., Neti Hartaty, FIK UI, 2015


2

terhadap nasib suatu bangsa. Investasi tersebut dapat dilakukan dengan cara
melakukan intervensi dalam perkembangan fisik, intelektual dan emosional balita.
Sudah sepantasnya jika setiap anak mendapatkan hak untuk hidup, mendapatkan gizi
yang baik, kesehatan yang optimal, tempat tinggal dan pendidikan yang layak. Hal
ini bertujuan agar tercapainya pencapaian tujuan MDGs keempat yaitu menurunkan
angka kematian balita dengan sasaran mengurangi duapertiga angka kematian balita
dalam kurun waktu tahun 1990 sampai dengan tahun 2015.

World Health Organization (WHO) dalam media centre MDGs (2013) menyatakan
jumlah kematian balita mengalami penurunan sekitar 47%, yakni dari 12,6 juta di
tahun 1990 menjadi 6,6 juta pada tahun 2012 dengan estimasi dari 90 menjadi 48
kematian per 1.000 kelahiran hidup. Dalam beberapa tahun terakhir tingkat
penurunan global juga telah dipercepat yaitu dari 1,2% per tahun selama 1990-1995
menjadi 3,9% selama 2005-2012. United Nations International Children's
Emergency Fund (UNICEF) (2013) menyatakan tindakan-tindakan dengan biaya
rendah seperti pemberian vaksin, antibiotik, suplemen nutrisi tambahan, kelambu
insektisida, meningkatkan cakupan pemberian ASI serta praktik kebersihan, telah
menyelamatkan jutaan nyawa balita. Namun kemajuan ini harusnya secara dramatis
dipercepat, karena terkait dengan waktu yang kurang dari 2 tahun untuk mencapai
target MDGs 2015 dalam rangka mengurangi kematian balita.

Laporan UNICEF untuk Indonesia (2013) didapatkan bahwa tingkat kematian balita
di Indonesia masih relatif tinggi. Saat ini sekitar 150.000 balita di Indonesia
meninggal setiap tahunnya sebelum usia mereka mencapai lima tahun. Lebih dari
sepertiga balita meninggal pada bulan pertama kelahiran, hal ini dapat dikaitkan
dengan komplikasi kelahiran prematur, infeksi berat pneumonia, meningitis dan
septicaemia. Seperempat kematian balita diatas usia tersebut disebabkan oleh diare
dan pneumonia. Data menunjukkan terdapat kesenjangan geographical dan sosio
ekonomi yang berkaitan dengan keberlangsungan hidup balita. Sebagai contoh,
angka kematian balita di Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT) mencapai 57 per
1.000 kelahiran hidup, tiga kali lipat dari Provinsi Jogyakarta bahkan jauh lebih
tinggi dari angka nasional yang hanya 34 kematian. Tingkat kematian balita dari
kalangan keluarga miskin lebih besar tiga kali lipat dibandingkan kematian balita

Universitas Indonesia

Penerapan bina..., Neti Hartaty, FIK UI, 2015


3

pada keluarga kaya. Hal ini menunjukkan adanya perbedaan tingkat sosial ekonomi
masyarakat Indonesia.

Berdasarkan data yang didapatkan dari data dan informasi program perbaikan gizi
masyarakat Dinas Kesehatan Kota Depok Tahun 2014 didapatkan masih
ditemukannya balita dengan gizi buruk yaitu berjumlah 75 anak atau dengan
persentase sebesar 0,06%. Jumlah tersebut merupakan hasil BPB Bulan Agustus.
Data terakhir Bulan Desember 2014 menjadi 28 anak, 13 gizi buruk murni dan 15
gizi buruk dengan penyakit penyerta.

Selain gizi buruk, data dan informasi program perbaikan gizi masyarakat Dinas
Kesehatan Kota Depok Tahun 2014 juga diperoleh data permasalahan gizi lainnya
pada balita. Salah satunya adalah data balita dengan gizi kurang. Balita dengan gizi
kurang di Kota Depok berjumlah 4277 (3,36%). Selain data tersebut, diperoleh juga
data balita dengan obesitas yaitu sebesar 7137 (5,61%) dan balita dengan stunting
berjumlah 10.106 (7,9%).

Wong (2001) menyatakan bahwa pertumbuhan dan perkembangan adalah suatu


proses yang simultan, tidak terpisahkan serta terjadi secara terus menerus. Proses
tumbuh kembang tergantung pada genetik, nutrisi dan lingkungan. Seiring bertambah
besarnya ukuran tubuh anak, maka kepribadian juga berkembang dengan kompleks.
WHO (2006) menyatakan pencanangan penilaian status gizi pada balita dengan
menggunakan standar tabel World Health Organitation-National Center for Health
Statistik (WHO-NCHS), yaitu dengan cara mencocokkan umur anak (dalam bulan)
dengan panjang badan atau berat badan.

UNICEF (2013) mengidentifikasi 165 juta anak di seluruh dunia terhambat


pertumbuhan dan perkembangannya karena kurang gizi dan gizi buruk. Prevalensi
anak pendek mempengaruhi satu dari tiga anak balita. Jumlah anak yang mengalami
stunting atau tubuh sangat pendek di India 48%, bahkan di Yaman hampir mencapai
60%. Di Indonesia, 37% balita mengalami pengerdilan. Berdasarkan data Riset
Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2013 didapatkan prevalensi balita stunting sedikit
menurun yang pada tahun 2010 berjumlah 18,5% menjadi 18% pada tahun 2013.

Universitas Indonesia

Penerapan bina..., Neti Hartaty, FIK UI, 2015


4

Tetapi prevalensi balita dengan tubuh pendek yang pada tahun 2010 hanya 17,1%
saat ini meningkat mencapai 19,2%.

Solihin, Anwar dan Sukandar (2013) menemukan sebesar 30,2% balita di Desa
Cibanteng Kecamatan Ciampea Kabupaten Bogor Provinsi Jawa Barat bertubuh
pendek. Walker, Chang, Powell, Simonoff dan Grantham (2006) mengidentifikasi
empat risiko yang dialami oleh anak di negara berkembang yaitu pengerdilan,
kekurangan zat besi, kekurangan yodium dan stimulasi kognitif yang tidak memadai.

Potts dan Mandleco (2012) menyatakan permasalahan perkembangan yang dialami


oleh anak diantaranya yaitu Global Delayed Development (GDD) dan developmental
delay. Divisi tumbuh kembang Rumah Sakit Ibu Anak (RSIA) Kemang Medical care
menyatakan prevalensi GDD diperkirakan sebesar 5-10% dari populasi anak di
dunia. Sebahagian besar anak dengan permasalahan GDD memiliki kelemahan pada
seluruh tahapan kemampuannya. GDD adalah keadaan yang terjadi pada tahap
kehidupan segi perkembangan anak sejak lahir hingga usia 18 bulan. Ciri khas GDD
yakni fungsi intelektual yang lebih rendah dibandingkan dari anak seusianya, selain
itu anak dengan permasalahan GDD juga biasanya disertai dengan hambatan dalam
berkomunikasi, keterbatasan kepedulian terhadap diri sendiri, keterbatasan
kemampuan dalam pekerjaan, keterbatasan pada bidang akademik, rentan akan
masalah kesehatan dan keamanan dirinya. Anak dengan permasalahan GDD
biasanya juga mengalami penundaan dalam mencapai tahapan perkembangan sesuai
usianya. Developmental delay atau perkembangan yang terlambat pada anak
merupakan ketertinggalan secara signifikan dari segi fisik, kemampuan kognitif,
kemampuan perilaku, emosi maupun perkembangan sosial anak bila dibandingkan
dengan anak normal seusianya. Anak dengan developmental delay akan tertunda
dalam mencapai satu atau lebih kemampuan perkembangannya.

Derajat pendidikan yang rendah, pendapatan yang rendah serta pengetahuan yang
rendah dalam hal pengasuhan menjadi faktor kurang perdulinya keluarga terhadap
tumbuh kembang balita (Latifah, 2009). Berdasarkan hasil survey serta wawancara
yang residen lakukan saat praktik residensi di Kelurahan Sukamaju Baru Kecamatan
Tapos Kota Depok didapatkan sebanyak 54% keluarga mempunyai pengetahuan
kurang tentang tumbuh kembang balita, keluarga belum pernah mendapatkan

Universitas Indonesia

Penerapan bina..., Neti Hartaty, FIK UI, 2015


5

penyuluhan khusus mengenai tumbuh kembang balita, hanya sedikit yang disinggung
saat penyuluhan gizi pada balita. 66% keluarga balita mempunyai sikap yang kurang
baik terkait tumbuh kembang balita, keluarga menganggap tumbuh kembang pada
balita adalah sesuatu yang biasa dan pasti berjalan seiring waktu sehingga tidak perlu
dihiraukan. 56% keluarga berperilaku kurang baik terhadap tumbuh kembang balita,
salah satu contoh tertinggi adalah perilaku keluarga yang terbiasa berbicara “cadel”
kepada balita.

Saat melakukan survey, residen juga menggunakan format Kuesioner Pra Skrining
Perkembangan (KPSP) dalam melakukan skrining atau memeriksa perkembangan
anak dengan tujuan untuk mengetahui perkembangan balita normal atau adanya
penyimpangan. Penulis mendapatkan 54,5% balita di Kelurahan Sukamaju Baru
mengalami risiko keterlambatan tumbuh kembang.

Pemberian makanan yang sehat dan bergizi serta ditunjang oleh pemberian stimulasi
sangat dibutuhkan oleh anak (Nahar, 2012). Bowden dan Greenberg (2010)
menyatakan tumbuh kembang balita sangat dipengaruhi oleh faktor lingkungan yaitu
nutrisi dan stimulasi. Irmawati, Ardani, Astasari, Irwanto, Suryawan dan Narendra
(2009) menyatakan stimulasi berperan penting dalam meningkatkan pertumbuhan
dan perkembangan anak, terutama dari segi fungsi kognitif, afektif dan psikomotor.

Keluarga sebagai orang yang paling dekat dengan balita mempunyai peranan penting
dalam menciptakan suasana lingkungan yang penuh dengan kehangatan, cinta serta
kasih sayang. Keluarga harus memiliki kemampuan memahami karakter balita yang
merupakan individu yang unik dan memiliki potensi-potensi yang berbeda antara
satu sama lain serta mampu menghargai potensi yang dimiliki oleh balita. Setiap
anak sudah selayaknya mendapatkan stimulasi rutin sedini mungkin dan terus
menerus pada setiap kesempatan. Kariger (2012) menjelaskan bahwa perawatan
keluarga yang meliputi dukungan untuk belajar atau stimulasi serta sumber daya
pengasuhan merupakan dukungan yang sangat penting bagi tumbuh kembang balita.

Kemenkes RI (2010) menyatakan bahwa orang-orang terdekat dengan anak seperti


ibu, ayah, kakak, nenek, kakek, pengganti ibu atau pengasuh anak, anggota keluarga
lain serta kelompok masyarakat di lingkungan rumah tangga mempunyai peranan

Universitas Indonesia

Penerapan bina..., Neti Hartaty, FIK UI, 2015


6

penting dalam memberikan stimulasi bagi anak balita dalam kehidupan sehari-hari.
Penelitian yang dilakukan oleh Briawan dan Herawati (2009) mendapatkan bahwa
tidak semua anak memperoleh stimulasi perkembangan, stimulasi dipraktikkan hanya
oleh 48-72 % keluarga. Nugroho (2009) juga menyatakan bahwa biasanya setelah
lebih dari 18 bulan sebagian besar anak hanya distimulasi secara intensif oleh ibu,
hanya sebagian kecil anak-anak pada usia tersebut yang masih distimulasi oleh ayah.
Padahal sebaiknya anak yang mendapatkan stimulasi secara rutin, terarah dan teratur
akan lebih cepat berkembang dibandingkan dengan anak yang kurang bahkan tidak
mendapatkan stimulasi.

Pemerintah telah menjalankan berbagai program sebagai upaya dalam meningkatkan


kualitas hidup serta perlindungan kesehatan anak. Kemenkes RI mencanangkan
program Stimulasi, Deteksi dan Intervensi Dini Tumbuh Kembang (SDIDTK) yang
bertujuan untuk meningkatkan kualitas tumbuh kembang anak usia dini dan
mempersiapkan anak usia dini dalam memasuki jenjang pendidikan formal. Namun
pada kenyataannya rendahnya cakupan anak yang dilakukan deteksi menyebabkan
beberapa anak yang tidak datang lepas dari pengamatan, sehingga perubahan tumbuh
kembang pada anak tidak dapat terdeteksi secara berkala. Kondisi tersebut
menyebabkan gangguan tumbuh kembang pada anak tidak dapat diketahui secara
cepat dan akurat. Hal ini mengakibatkan anak terlambat untuk dirujuk ke sarana
pelayanan kesehatan lanjutan karena kejadiannya lambat diketahui sehingga akan
berdampak pada permasalahan gangguan tumbuh kembang pada anak (Subianto,
2008).

Bowden dan Greenberg (2010) menyatakan bahwa perawat komunitas merupakan


bagian integral dari keberhasilan berbagai program kesehatan di masyarakat. Perawat
komunitas sangat diharapkan dapat berkontribusi dan berperan secara aktif dalam
melakukan upaya pembinaan tumbuh kembang anak yang komprehensif, berkualitas
serta berkelanjutan sesuai dengan kebutuhan balita. Residen sebagai perawat
komunitas melakukan intervensi keperawatan dalam upaya melakukan program
pembinaan tumbuh kembang balita kepada keluarga dan masyarakat. Upaya
pembinaan tersebut dimulai dari menekankan kepada keluarga dan komunitas
pentingnya melakukan stimulasi tumbuh kembang pada balita, langkah-langkah
skrining atau melakukan deteksi dini terhadap adanya penyimpangan tumbuh

Universitas Indonesia

Penerapan bina..., Neti Hartaty, FIK UI, 2015


7

kembang balita serta tindakan intervensi dini terhadap penyimpangan tumbuh


kembang yang ditemukan pada balita agar tumbuh kembangnya kembali normal atau
tidak bertambah berat.

Model implementasi keperawatan untuk mengoptimalkan tumbuh kembang balita ini


difokuskan pada model pendekatan kelompok. Model yang residen modifikasi dari
jurnal kesehatan ini menunjukkan bahwa intervensi yang berbasis pada pendekatan
kelompok ini efektif untuk diterapkan di masyarakat. Dalam hal ini residen
melakukan implementasi program Bina Keluarga Balita Plus (BKB +). Pendekatan
muncul untuk mempromosikan hubungan kelompok dan memberdayakan ibu
sebagai anggota kelompok dengan menekankan kekuatan dan keahlian profesional.
Dalam hal ini residen sebagai perawat komunitas memainkan peranan penting untuk
berkontribusi dalam melakukan upaya pembinaan tumbuh kembang anak yang
komprehensif, berkualitas dan berkelanjutan sesuai dengan kebutuhan balita. Seluruh
RW di Kelurahan Sukamaju Baru belum mempunyai suatu wadah bagi keluarga
yang memiliki anak balita untuk melaksanakan kegiatan parenting. Selama ini kader
dan keluarga yang memiliki balita hanya mengandalkan kegiatan posyandu, namun
dalam kegiatan posyandu tidak ada sesi bagi keluarga balita untuk melakukan
berbagai aktivitas peningkatan pengetahuan dan keterampilan orangtua dalam
mengasuh dan membina tumbuh kembang anak sebagai bagian dari upaya
mempersiapkan keluarga yang berkualitas.

Selain kegiatan diskusi parenting terkait tumbuh kembang balita, dalam program ini
residen mensosialisasikan penerapan penggunaan KPSP kepada keluarga, melakukan
kegiatan stimulasi secara rutin di setiap pertemuan, serta memberdayakan kader
dalam melaksanakan kunjungan rumah juga sebagai fasilitator dalam kegiatan
BKB+.

Inovasi yang residen lakukan menggunakan integrasi dari 3 (tiga) model, yaitu
Family Centered Nursing (FCN), Community As Partner (CAP) dan manajemen
POSAC. Aktivitas ini diwujudkan melalui strategi intervensi program yang meliputi
pendidikan kesehatan, proses kelompok dan empowerment (gerakan pemberdayaan).

Universitas Indonesia

Penerapan bina..., Neti Hartaty, FIK UI, 2015


8

Berdasarkan uraian diatas, sebagai perawat komunitas maka diperlukan suatu


program asuhan keperawatan keluarga, komunitas dan manajemen untuk mengatasi
masalah yang terjadi pada keluarga, komunitas terkait tumbuh kembang balita di
Kelurahan Sukamaju Baru Kecamatan Tapos Kota Depok.

1.2.Tujuan Penulisan.
1.2.1. Tujuan Umum.
Memberikan gambaran tentang penerapan Bina Keluarga Balita plus
(BKB+) di Kelurahan Sukamaju Baru Kecamatan Tapos Kota Depok.
1.2.2. Tujuan Khusus.
Tujuan khusus penulisan ini adalah :
1.2.2.1.Memberikan gambaran pelaksanaan pembinaan tumbuh kembang
balita terkait manajemen pelayanan kesehatan komunitas di
Kelurahan Sukamaju Baru Kecamatan Tapos Kota Depok.
1.2.2.2.Memberikan gambaran pelaksanaan pembinaan tumbuh kembang
balita terkait asuhan keperawatan keluarga di Kelurahan Sukamaju
Baru Kecamatan Tapos Kota Depok.
1.2.2.3.Memberikan gambaran pelaksanaan pembinaan tumbuh kembang
balita terkait asuhan keperawatan komunitas di Kelurahan
Sukamaju Baru Kecamatan Tapos Kota Depok.

Universitas Indonesia

Penerapan bina..., Neti Hartaty, FIK UI, 2015


9

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

Bab ini menguraikan berbagai teori dan konsep yang berkaitan dengan balita sebagai
population at risk atau balita sebagai populasi berisiko, pertumbuhan dan
perkembangan balita, manajemen pelayanan asuhan keperawatan, teori family
centered nursing (FCN), model community as partner (CAP), peran perawat
komunitas, BKB+ dan stimulasi tumbuh kembang balita.

2.1.Balita Sebagai Populasi Risiko.


Stanhope dan Lancaster (2010) menyatakan risiko kesehatan merupakan faktor-
faktor yang menentukan terjadinya permasalahan kesehatan terhadap seseorang.
Lundy dan Janes (2009) menyatakan bahwa risiko mengacu pada kondisi kesehatan
yang merupakan hasil interaksi dari faktor genetik, lingkungan fisik, gaya hidup dan
interaksi sosial pada wilayah individu tinggal atau bekerja. Berdasarkanberbagai
difinisi diatas dapat ditarik kesimpulan bahwa risiko merupakan suatu kondisi yang
menyebabkan terjadinya permasalahan kesehatan yang dikarenakan oleh faktor-
faktor di sekitar individu maupun populasi yang jika tidak ditangani akan menjadi
ancaman kesehatan bagi individu atau populasi tersebut.

Populasi berisiko merupakan individu-individu yang mempunyai risiko lebih tinggi


menderita suatu permasalahan kesehatan atau penyakit dibandingkan dengan
populasi lain (Stanhope & Lancaster, 2010). Populasi risiko yaitu individu-individu
yang berpeluang mengalami peningkatan permasalahan kesehatan yang disebabkan
oleh berbagai faktor yang mempengaruhinya (Allender & Spradley, 2005). Balita
merupakan populasi berisiko yang berarti balita merupakan populasi yang
mempunyai kemungkinan atau peluang memiliki konsekuensi yang merugikan dan
akan semakin berpeluang dengan adanya satu atau lebih faktor yang
mempengaruhinya.

2.1.1. Karakteristik Risiko Pada Balita.


Stanhope dan Lancaster (2010) menyebutkan faktor risiko kesehatan terdiri atas
biological and age risk (risiko usia dan biologi), environmental risk (risiko

Universitas Indonesia

Penerapan bina..., Neti Hartaty, FIK UI, 2015


10

lingkungan) dan lifestyle risk (risiko gaya hidup). Berikut pengaruh faktor-faktor
tersebut :

2.1.1.1. Biological and Age Risk (Risiko Biologi dan Usia).


Bowden dan Greenberg (2010) menyatakan faktor biologis merupakan agen yang
mempengaruhi komposisi dasar dari manusia yang meliputi kromosom, gen, sel dan
reproduksi manusia. Ciri-ciri fisik manusia ditentukan oleh faktor genetik, tetapi
emosional dan pola perilaku dapat juga dipengaruhi oleh faktor genetik serta
keturunan seperti attentiondeficit hyperactivity disorder (ADHD) yang sangat erat
kaitannya dengan faktor biologis genetik. Faktor biologi adalah faktor genetik
maupun fisik yang turut berkontribusi dalam menimbulkan risiko yang dapat
mengancam kesehatan individu (Stanhope & Lancaster, 2010).

Kemenkes RI (2010) menyatakan faktor internal atau faktor dari dalam merupakan
salah satu faktor yang dapat mempengaruhi kualitas tumbuh kembang seorang balita,
faktor-faktor tersebut yakni : (1) ras, etnik atau bangsa ; seorang anak yang
dilahirkan dari suatu ras atau bangsa, tentunya akan memiliki faktor bawaan dari
bangsa tersebut, (2) keluarga ; seorang anak cenderung mempunyai ukuran tubuh
seperti keturunan keluarganya, ada yang tinggi, pendek, gemuk atau kurus, (3)
genetik ; faktor bawaan yang menjadi ciri khas seorang anak, kerdil adalah salah satu
kelainan genetik pada anak, (4) kelainan kromosom ; hal ini biasanya disertai dengan
kegagalan pertumbuhan seperti sindroma down’s, (5) jenis kelamin ; fungsi
reproduksi pada anak dengan jenis kelamin perempuan berkembang lebih cepat
dibandingkan fungsi reproduksi anak laki-laki, namun setelah melewati masa
pubertas, pertumbuhan anak laki-laki akan lebih cepat, (6) usia ; pertumbuhan yang
pesat terjadi pada masa prenatal, tahun pertama kehidupan serta masa remaja.

Stanhope dan Lancaster (2010) menyatakan faktor usia dan tahap perkembangan
memiliki hubungan atau kaitan. Tahapan perkembangan yang terjadi menurut usia
dapat mempengaruhi terhadap timbulnya permasalahan kesehatan. Potter dan Perry
(2003) mengelompokkan usia balita terdiri atas tiga kelompok usia yaitu bayi (usia 0
sampai 1 tahun), toddler (usia 1 sampai 3 tahun) dan periode pra-sekolah (usia 3
sampai 6 tahun). Allender dan Spradley (2005) membagi usia balita atas tiga
kelompok usia yaitu bayi (usia 0 sampai 1 tahun), toddler (usia 1 sampai 2 tahun)

Universitas Indonesia

Penerapan bina..., Neti Hartaty, FIK UI, 2015


11

dan preschool (usia 3 sampai 4 tahun). Stanhope dan Lancaster (2010)


mengelompokkan usia balita atas empat kelompok usia yaitu neonatus (usia 0 sampai
1 bulan), infant (usia 1 bulan sampai 1 tahun), toddler (usia 1 sampai 3 tahun) dan
preschool (usia 3 sampai 5 tahun). Berdasarkan batasan-batasan tersebut serta
merujuk pada kelompok umur yang dapat dilakukan stimulasi serta referensi yang
menyatakan bahwa masa lima tahun pertama kehidupan merupakan masa kritis yang
akan menentukan kemampuan intelektual, sikap, nilai dan perilaku di kemudian hari,
maka residen memberikan batasan keluarga balita yang residen jadikan fokus praktik
adalah keluarga yang memiliki balita usia 0 sampai dengan 5 tahun.

Hitchcock, Schubert dan Thomas (1999) menyatakan bahwa dari faktor usia, balita
dinyatakan berisiko karena balita masih memiliki ketergantungan pada orang lain
baik dalam hal penyediaan makanan, sistem kekebalan tubuh dan pencernaan yang
masih belum matang, terlebih bagi balita yang lahir dengan Berat Badan Lahir
Rendah (BBLR). Kondisi BBLR akan berdampak pada perkembangan kesehatan
anak. Selain mengalami kekurangan gizi, anak juga akan mengalami kemunduran
perkembangan otak. Potts dan Mandleco (2012) menyatakan bahwa sistem tubuh
pada balita mengalami kematangan secara bertahap, baik dari segi fisik, mental
maupun sosial. Morissey dan Brown (2009) menyatakan asupan gizi atau nutrisi
pada balita wajib menjadi perhatian penting hal ini dikarenakan untuk mendukung
tumbuh kembang balita. Pada usia balita anak membutuhkan nutrisi dari berbagai
sumber makanan untuk memenuhi pertumbuhan dan perkembangannya (Wong,
2001). Jika hal ini tidak tercapai, maka akan berakibat terjadinya penurunan
kemampuan akademis anak di masa depannya. Oleh karena itu peran serta kontribusi
keluarga sangat diharapkan sebagai upaya memenuhi penyediaan nutrisi bagi balita
demi mencapai tumbuh kembang yang optimal.

2.1.1.2. Environmental Risk (Risiko Lingkungan).


Stanhope dan Lancaster (2010) menyatakan, risiko lingkungan terdiri atas risiko
sosial dan ekonomi. Risiko lingkungan yaitu pengaruh psikologis dan sosial yang
mempengaruhi perkembangan anak seperti pola asuh dan interaksi dengan teman
sebaya (Bowden & Greenberg, 2010). Lingkungan merupakan sarana dalam
memenuhi kebutuhan dasar seorang anak. Sanitasi lingkungan yang tidak memenuhi
standar kesehatan seperti kurangnya sinar matahari dan paparan asap rokok akan

Universitas Indonesia

Penerapan bina..., Neti Hartaty, FIK UI, 2015


12

berdampak negatif terhadap pertumbuhan anak (Kemenkes RI, 2010). Kemenkes RI


(2010) mengidentifikasi lingkungan internal meliputi lingkungan pengasuhan,
psikologis dan stimulasi. Lingkungan internal dalam suatu keluarga yang sehat
merupakan sistem pendukung bagi seluruh anggota keluarga demi tercapainya
kesehatan fisik maupun psikologis (Friedman, Bowden & Jones, 2003).

Pada masa tumbuh kembangnya, balita diharapkan hidup di dalam lingkungan


pengasuhan yang penuh dengan kasih sayang, interaksi antara ibu dan anak sangat
mempengaruhi tumbuh kembang anak. Faktor psikologis terkait dengan hubungan
anak dengan keluarga dan orang-orang disekitarnya. Seorang anak yang hidup dalam
tekanan, akan mengalami hambatan di dalam pertumbuhan dan perkembangannya.
Memberikan stimulasi atau rangsangan seperti penyediaan alat bermain, sosialisasi
anak, keterlibatan ibu dan anggota keluarga dalam kegiatan anak, sangat mendukung
perkembangan seorang anak. Upaya pembinaan tumbuh kembang yang memadai
dapat terselenggara dengan baik apabila ada jaminan terpenuhinya hak-hak anak dan
meletakkan kepentingan anak diatas kepentingan lainnya termasuk menciptakan
child friendly environment (lingkungan yang peduli anak) (Kemenkes RI, 2010).
Pembinaan tumbuh kembang yang optimal baik dari lingkungan pengasuhan maupun
perawatan anak di dalam lingkungan bio, psiko dan sosial yang adekuat, akan
menjadikan balita sehat baik dari segi fisik, mental maupun psikososial.

Faktor sosial dan ekonomi seperti kemiskinan yang berhubungan dengan kekurangan
makanan, kesehatan lingkungan yang buruk dan ketidakpengetahuan, akan
menghambat pertumbuhan anak yang akan mempengaruhi perkembangannya
(Kemenkes RI, 2010). Menurut Stanhope dan Lancaster (2010), keluarga yang
memiliki dana yang cukup akan mampu memenuhi kebutuhan yang berhubungan
dengan kesehatan seperti makanan yang bergizi, pakaian, perumahan yang sehat,
pendidikan serta perawatan kesehatan anggota keluarganya. Prevalensi gizi kurang
pada kelompok ekonomi rendah disebabkan oleh kurangnya variasi makanan
(Hitchcock, Schubert & Thomas, 1999). Faktor ekonomi sangat mempengaruhi
tumbuh kembang balita, pemberian nutrisi yang baik sejak dari dalam kandungan
serta variasi dalam penyediaan makanan.

Universitas Indonesia

Penerapan bina..., Neti Hartaty, FIK UI, 2015


13

2.1.1.3. Lifestyle Risk (Risiko Gaya Hidup).


Stanhope dan Lancaster (2010) menyatakan risiko gaya hidup merupakan kebiasaan
yang mengakibatkan terjadinya masalah kesehatan, meliputi keyakinan terhadap
kesehatan, kebiasaan hidup sehat, pengaturan pola tidur serta aktivitas keluarga.
Friedman, Bowden dan Jones (2003) menyatakan keluarga sebagai penentu
keberhasilan penanaman gaya hidup sehat bagi anggota keluarganya, termasuk bagi
anak. Jika semenjak dini keluarga tidak menerapkan gaya hidup sehat di dalam
kehidupan sehari-hari, akan mengakibatkan risiko masalah kesehatan yang lebih
besar terhadap anak. Tumbuh kembang balita sangat terkait dengan gaya hidup dan
pola asuh keluarga. Kim, Ha, dan Park (2009) menyatakan gaya hidup keluarga akan
berdampak pada tumbuh kembang balita. Perilaku keluarga seperti pola hidup sehat,
menyediakan dan mengkonsumsi makanan sehat, kedisiplinan waktu bermain dan
istirahat akan sangat mempengaruhi tumbuh kembang balita.

2.2.Pertumbuhan dan Perkembangan Balita.


2.2.1. Pengertian Pertumbuhan dan Perkembangan.
Wong (2001) menyatakan pertumbuhan adalah peningkatan jumlah dan ukuran sel
pada saat membelah diri dan mensintesis protein baru, menghasilkan peningkatan
ukuran dan serat seluruh atau bagian sel. Pertumbuhan merupakan perubahan
kuantitas yang terjadi akibat pembelahan sel dan mensintesa protein baru sehingga
terjadi pertambahan ukuran dan berat badan (Hockenberry & Wilson, 2008).
Menurut Nugroho (2009), pertumbuhan (growth) adalah perubahan besar dalam hal
jumlah dan ukuran pada tingkat sel, organ maupun individu. Bowden dan Greenberg
(2010) menyatakan pertumbuhan mengacu pada perubahan kuantitatif yaitu
perubahan pada ukuran dan fungsi bagian tubuh. Menurut Kemenkes RI (2010),
pertumbuhan adalah bertambahnya ukuran dan jumlah sel serta jaringan intraseluler,
berarti bertambahnya ukuran fisik dan struktur tubuh sebagian atau keseluruhan,
sehingga dapat diukur dengan satuan panjang dan berat.

Adriana (2011) menyatakan pertumbuhan adalah perubahan dalam besar, jumlah,


ukuran atau dimensi tingkat sel, organ, maupun individu yang bisa diukur dengan
ukuran berat (gram, pon, kilogram), ukuran panjang (cm, meter), umur tulang dan
keseimbangan metabolik (retensi kalsium dan nitrogen tubuh). Pertumbuhan adalah
ukuran dan bentuk tumbuh atau anggota tubuh yang meliputi bertambah berat badan,

Universitas Indonesia

Penerapan bina..., Neti Hartaty, FIK UI, 2015


14

bertambah tinggi badan, bertambah lingkaran kepala, bertambah lingkar lengan,


tumbuh gigi susu dan perubahan tubuh yang lainnya (Susanto, 2011). Aspek
pertumbuhan yang perlu dipantau meliputi berat badan, tinggi atau panjang badan,
lingkar kepala dan lingkar lengan atas (Kemenkes RI, 2010). Menurut Adriana
(2011), selain berat badan, tinggi badan dan lingkar kepala, aspek pertumbuhan
lainnya yang perlu dipantau adalah perubahan fontanel dan lingkar dada.

Santrock (2004) menyatakan perkembangan adalah pola perubahan yang dimulai


sejak masa konsepsi dan terus berlangsung di sepanjang rentang kehidupan. Pola
perkembangan merupakan sesuatu yang kompleks karena melibatkan berbagai proses
yaitu proses biologis, kognitif dan sosioemosional. Proses biologi meliputi perubahan
alami pada fisik setiap individu. Proses kognitif meliputi perubahan pada cara pikir,
kecerdasan dan bahasa. Proses sosio emosional meliputi perubahan individu dalam
hal berinteraksi dengan orang lain, perubahan emosi dan perubahan kepribadian.
Wong (2001) menyatakan perkembangan adalah perubahan dan perluasan secara
bertahap, perkembangan kompleksitas dari yang lebih rendah ke yang lebih tinggi,
peningkatan dan perluasan kapasitas seseorang melalui pertumbuhan, maturasi dan
pembelajaran. Development atau perkembangan yaitu peningkatan kemampuan
dalam hal struktur dan fungsi tubuh yang lebih kompleks (Nugroho, 2009).

Bowden dan Greenberg (2010) menyatakan perkembangan mengacu pada perubahan


kualitatif yaitu keterampilan baru pada individu yang meliputi bahasa dan proses
berpikir serta hubungan sosial. Perkembangan adalah bertambahnya struktur dan
fungsi tubuh yang lebih kompleks dalam kemampuan gerak kasar, gerak halus,
bicara dan bahasa serta sosialisasi dan kemandirian (Kemenkes RI, 2010). Menurut
Adriana (2011) perkembangan adalah bertambahnya kemampuan dalam struktur dan
fungsi tubuh yang lebih kompleks dalam pola yang teratur dan dapat diramalkan,
sebagai hasil dari proses pematangan, dalam hal ini menyangkut diferensiasi sel-sel
tubuh, jaringan tubuh, organ-organ dan sistem organ yang berkembang sedemikian
rupa sehingga masing-masing dapat memenuhi fungsinya seperti perkembangan
emosi, intelektual dan tingkah laku sebagai hasil interaksi dengan lingkungannya.
Perkembangan adalah perubahan mental yang berlangsung secara bertahap dan
dalam waktu tertentu dari kemampuan yang sederhana menjadi kemampuan yang
lebih sulit, misalnya kecerdasan, sikap dan tingkah laku (Susanto, 2011).

Universitas Indonesia

Penerapan bina..., Neti Hartaty, FIK UI, 2015


15

Hockenberry dan Wilson (2008) menjelaskan bahwa proses pertumbuhan dan


perkembangan yang terjadi pada anak akan berjalan terus-menerus dan saling terkait.
Proses perkembangan tersebut tergantung pada fungsi keturunan, kondisi lingkungan
dan juga dipengaruhi oleh nutrisi. Nugroho (2009) menyatakan istilah perkembangan
biasanya dibahas bersama istilah pertumbuhan, karena keduanya berjalan beriringan.
Pertumbuhan terjadi secara simultan atau bersamaan dengan perkembangan, hanya
bedanya perkembangan merupakan hasil interaksi kematangan susunan saraf pusat
dengan organ yang dipengaruhinya seperti perkembangan sistem neuromuskuler,
kemampuan bicara, emosi dan sosialisasi. Kesemua fungsi tersebut berperan penting
dalam kehidupan manusia yang utuh (Kemenkes RI, 2010). Bowden dan Greenberg
(2010) menyatakan tumbuh kembang adalah perubahan dari segala aspek yang
terjadi pada anak, baik aspek emosi, kognitif, motorik dan psikososial yang
melibatkan hasil interaksi berbagai faktor baik genetik, bio, fisik, sosial, perilaku
maupun lingkungan. Pertumbuhan merupakan a stage of development (tahapan
perkembangan) yang bersifat fisik (Susanto, 2011).

2.2.2. Ciri dan Prinsip Tumbuh Kembang Balita.


Kemenkes RI (2010) menyatakan proses tumbuh kembang pada balita mempunyai
ciri-ciri yang saling berkaitan, yaitu : (1) Perkembangan menimbulkan perubahan.
Perkembangan terjadi bersamaan dengan perubahan fungsi. Misalnya perkembangan
intelegensia pada seorang anak akan menyertai pertumbuhan otak dan serabut saraf.
(2) Pertumbuhan dan perkembangan pada tahap awal menentukan perkembangan
selanjutnya. Setiap anak tidak akan bisa melewati satu tahap perkembangan sebelum
ia melewati tahapan sebelumnya, contohnya seorang anak tidak akan bisa berjalan
sebelum ia bisa berdiri, tidak akan bisa berdiri jika pertumbuhan kaki dan bagian
tubuh yang terkait dengan fungsi berdiri anak terhambat. (3) Pertumbuhan dan
perkembangan mempunyai kecepatan yang berbeda. Sebagaimana pertumbuhan,
perkembangan mempunyai kecepatan yang berbeda baik dalam pertumbuhan fisik
maupun perkembangan fungsi organ dan perkembangan pada tiap anak. (4)
Perkembangan berkorelasi dengan pertumbuhan. Pada saat pertumbuhan berlangsung
cepat, perkembangan pun demikian, terjadi peningkatan mental, memori, daya nalar
dan lainnya. Anak sehat, bertambah umur, bertambah berat dan tinggi badannya serta
bertambah kepandaiannya.

Universitas Indonesia

Penerapan bina..., Neti Hartaty, FIK UI, 2015


16

Prinsip tumbuh kembang balita meliputi : (1) Perkembangan merupakan hasil proses
kematangan dan belajar. Kematangan merupakan proses intrinsik yang terjadi
dengan sendirinya, sesuai dengan potensi yang ada pada individu. Belajar merupakan
perkembangan yang berasal dari latihan dan usaha. Melalui belajar, anak
memperoleh kemampuan menggunakan sumber yang diwariskan dan potensi yang
dimiliki anak. (2) Pola perkembangan dapat diramalkan. Terdapat persamaan pola
perkembangan bagi semua anak. Dengan demikian perkembangan seorang anak
dapat diramalkan. Perkembangan berlangsung dari tahapan umum ke tahapan
spesifik dan terjadi berkesinambungan.

2.2.3. Faktor Yang Mempengaruhi Tumbuh Kembang Balita.


Adriana (2011) mengidentifikasi faktor yang mempengaruhi tumbuh kembang anak
terdiri atas faktor internal dan eksternal. Faktor internal terdiri dari ras atau etnik,
keluarga, umur, jenis kelamin, genetik dan kelainan kromosom. Faktor eksternal
dibagi lagi menjadi faktor pranatal, faktor persalinan dan faktor pascapersalinan.
Faktor pranatal terdiri dari gizi ibu, posisi fetal, toksin atau zat kimia, endokrin,
radiasi, infeksi, kelainan immunologi, anoksia embrio dan psikologis ibu. Sedangkan
faktor persalinan terdiri dari komplikasi persalinan pada bayi seperti trauma kepala,
asfiksia yang dapat menyebabkan kerusakan jaringan otak. Faktor pascapersalinan
terdiri dari gizi bayi, penyakit kronis atau kelainan kongenital, lingkungan fisik dan
kimia, psikologis anak, endokrin, sosio ekonomi, pengasuhan, stimulasi dan obat-
obatan.

2.2.4. Aspek Perkembangan Yang Dipantau.


Menurut Kemenkes RI (2010), aspek perkembangan yang dipantau meliputi : (1)
Motorik kasar atau gerak kasar adalah aspek yang berhubungan dengan kemampuan
anak melakukan pergerakan dan sikap tubuh yang melibatkan otot-otot besar seperti
duduk dan berdiri. (2) Motorik halus atau gerak halus adalah aspek yang
berhubungan dengan kemampuan anak melakukan gerakan yang melibatkan bagian-
bagian tubuh tertentu dan dilakukan oleh otot-otot kecil, tetapi memerlukan
koordinasi yang cermat seperti mengamati sesuatu, menjimpit dan menulis. (3)
Kemampuan bicara dan bahasa adalah aspek yang berhubungan dengan kemampuan
untuk memberikan respons terhadap suara seperti berbicara, berkomunikasi dan

Universitas Indonesia

Penerapan bina..., Neti Hartaty, FIK UI, 2015


17

mengikuti perintah. (4) Sosialisasi dan kemandirian adalah aspek yang berhubungan
dengan kemampuan mandiri anak seperti makan sendiri, membereskan mainan
selesai bermain, berpisah dengan ibu atau pengasuh anak, bersosialisasi dan
berinteraksi dengan lingkungannya.

Frankenburg dkk (1981) dalam Adriana (2011) mengemukakan empat parameter


perkembangan yang dipakai dalam menilai perkembangan anak balita yaitu (1)
personal social (kepribadian atau tingkah laku sosial), (2) fine motor adaptive
(gerakan motorik halus), (3) language (bahasa), dan (4) gross motor (perkembangan
motorik kasar). Susanto (2011) menyatakan aspek- aspek perkembangan meliputi
perkembangan fisik, perkembangan inteligensi, perkembangan bahasa,
perkembangan sosial dan perkembangan moral.

2.2.5. Tahapan Perkembangan Balita Menurut Usia.


Tabel 2.1
Tahapan Perkembangan Balita Menurut Usia
Usia Tahapan Perkembangan Balita
0-3 bulan Mengangkat kepala setinggi 45 derajat, menggerakkan
kepala dari kiri ke kanan ke tengah, melihat dan menatap
wajah orang yang melihatnya, mengoceh spontan atau
bereaksi dengan mengoceh, suka tertawa keras, bereaksi
terkejut terhadap suara keras, membalas tersenyum ketika
diajak bicara atau tersenyum, mengenal ibu dengan
penglihatan, penciuman, pendengaran dan kontak.

3-6 Bulan Berbalik dari telungkup ke telentang, mengangkat kepala


setinggi 90 derajat, mempertahankan posisi kepala tetap
tegak dan stabil, menggenggam pensil, meraih benda yang
ada dalam jangkauannya, memegang tangannya sendiri,
berusaha memperluas pandangan, mengarahkan matanya
pada benda-benda kecil, mengeluarkan suara gembira
bernada tinggi atau memekik dan tersenyum ketika melihat
mainan atau gambar yang menarik saat bermain sendiri.

6-9 Bulan Duduk sendiri, belajar berdiri dengan kedua kakinya


menyangga sebagian berat badan, merangkak meraih
mainan atau mendekati seseorang, memindahkan benda dari
satu tangan ke tangan lainnya, memungut dua benda dengan
masing-masing tangan pegang satu benda pada saat yang
bersamaan, memungut benda sebesar kacang dengan cara
meraup, bersuara tanpa arti seperti mamama bababa dadada
tatata, mencari mainan atau benda yang dijatuhkan, bermain
tepuk tangan dan cilukba, bergembira dengan melempar
bola dan makan kue sendiri.

Universitas Indonesia

Penerapan bina..., Neti Hartaty, FIK UI, 2015


18

9-12 Bulan Mengangkat badannya ke posisi berdiri, belajar berdiri


selama 30 detik atau berpegangan di kursi, dapat berjalan
dengan dituntun, mengulurkan lengan atau badan untuk
meraih mainan yang diinginkan, mengenggam erat pensil,
memasukkan benda ke mulut, mengulang menirukan bunyi
yang didengar, menyebut 2 sampai 3 suku kata yang sama
tanpa arti, mengeksplorasi sekitar karena rasa ingin tahu dan
ingin menyentuh apa saja, bereaksi terhadap suara yang
perlahan atau bisikan, senang diajak bermain cilukba,
mengenal anggota keluarga dan takut pada orang yang
belum dikenal.

12-18 Bulan Berdiri sendiri tanpa berpegangan, membungkuk memungut


mainan kemudian berdiri kembali, berjalan mundur lima
langkah, memanggil ayah dengan kata “papa” dan
memanggil ibu dengan kata “mama”, menumpuk dua kubus,
memasukkan kubus di kotak, menunjuk apa yang diinginkan
tanpa menangis atau merengek seperti mengeluarkan suara
yang menyenangkan atau menarik tangan ibu dan
memperlihatkan rasa cemburu atau bersaing.

18-24 Bulan Berdiri sendiri tanpa berpegangan 30 detik, berjalan tanpa


terhuyung-huyung, bertepuk tangan dan melambai-lambai,
menumpuk empat buah kubus, memungut benda kecil
dengan ibu jari dan jari telunjuk, menggelindingkan bola ke
arah sasaran, menyebut 3 sampai 6 kata yang mempunyai
arti, membantu atau menirukan pekerjaan rumah tangga,
memegang cangkir sendiri dan belajar makan minum
sendiri.

24-36 Bulan Jalan naik tangga sendiri, dapat bermain dan menendang
bola kecil, mencoret-coret pensil pada kertas, bicara dengan
baik menggunakan 2 kata, dapat menunjuk 1 atau lebih
bagian tubuhnya ketika diminta, melihat gambar dan dapat
menyebut dengan benar nama 2 benda atau lebih, membantu
memungut mainannya sendiri atau membantu mengangkat
piring jika diminta, makan nasi sendiri tanpa banyak
tumpah, melepas pakaiannya sendiri.

36-48 Bulan Berdiri 1 kaki selama 2 detik, melompat dengan kedua kaki
diangkat, mengayuh sepeda roda tiga, menggambar garis
lurus, menumpuk 8 buah kubus, mengenal 2 sampai 4
warna, menyebut nama umur dan tempat, mengerti arti kata
di atas di bawah dan di depan, mendengarkan cerita,
mencuci dan mengeringkan tangan sendiri, bermain bersama
teman dengan mengikuti aturan permainan, mengenakan
sepatu sendiri, mengenakan celana panjang, kemeja dan baju
sendiri.

48-60 Bulan Berdiri 1 kaki selama 6 detik, melompat-lompat dengan


menggunakan 1 kaki, menari, menggambar tanda silang,
menggambar lingkaran, menggambar orang dengan 3 bagian
tubuh, mengancing baju atau pakaian boneka, menyebut
nama lengkap tanpa dibantu, senang menyebut kata-kata

Universitas Indonesia

Penerapan bina..., Neti Hartaty, FIK UI, 2015


19

baru, senang bertanya tentang sesuatu, menjawab


pertanyaan dengan kata-kata yang benar, bicaranya mudah
dimengerti, bisa membandingkan atau membedakan sesuatu
dari ukuran dan bentuknya, menyebut angka dan
menghitung jari, menyebut nama-nama hari, berpakaian
sendiri tanpa dibantu, menggosok gigi tanpa dibantu,
bereaksi tenang dan tidak rewel ketika ditinggal ibu.

Sumber : Kemenkes RI (2010)


2.3. Manajemen Pelayanan Asuhan Keperawatan.
Manajemen adalah proses untuk melaksanakan pekerjaan melalui upaya orang lain
(Gillies, 1989). Menurut Siagian, manajemen berfungsi untuk melakukan semua
kegiatan yang perlu dilakukan dalam rangka pencapaian tujuan dalam batas–batas
yang telah ditentukan pada tingkat administrasi. Manajemen keperawatan adalah
proses pelaksanaan pelayanan keperawatan untuk memberikan asuhan keperawatan,
pengobatan dan rasa aman kepada pasien, keluarga dan masyarakat. Manajemen
keperawatan adalah suatu proses bekerja melalui anggota staf keperawatan untuk
memberikan asuhan keperawatan secara professional (Nursalam, 2007). Manajemen
keperawatan adalah suatu tugas khusus yang harus dilaksanakan oleh pengelola
keperawatan untuk merencanakan, mengorganisasi, mengarahkan serta mengawasi
sumber- sumber yang ada baik SDM, alat, maupun dana sehingga dapat memberikan
pelayanan keperawatan yang efektif, baik kepada pasien, keluarga dan masyarakat
(Hastuti, 2011).

Manajemen berfungsi untuk melakukan semua kegiatan yang perlu dilakukan dalam
rangka pencapaian tujuan dalam batas-batas yang telah ditentukan. Manajemen
keperawatan sangat dibutuhkan untuk dapat menjamin bahwa suatu aplikasi
pelayanan dan asuhan keperawatan dapat dijalankan sesuai dengan tujuan yang
diharapkan. Pelayanan keperawatan komunitas melibatkan banyak program kegiatan,
sumber daya manusia, dan dana perlu dikelola dengan baik dalam rangka mencapai
tujuan yang diharapkan. Pengelolaan program secara sistematikdapat menggunakan
fungsi manajemen.Fungsi manajemen menurut para ahli manajemen bermacam-
macam. Fungsi manajemen menurut Marquis dan Huston (2006) yaitu perencanaan
(planning), organisasi (organizing), penetapan orang (staffing) ,pengarahan
(directing), dan evaluasi (controling).

2.3.1. Perencanaan (planning).

Universitas Indonesia

Penerapan bina..., Neti Hartaty, FIK UI, 2015


20

Alexander (dalam Swanburg, 2000) menyatakan bahwa perencanaan “adalah


memutuskan seberapa luas akan dilakukan, bagaimana melakukannya, kapan
melakukannya, dan siapa yang melakukannya”. Adapun Steiner (dalam Swanburg,
2000) mendefenisikan perencanaan sebagai suatu proses memulai dengan sasaran-
sasaran; batasan strategi, kebijakan, dan rencana detail untuk mencapainya; mencapai
organisasi untuk menerapkan keputusan; dan termasuk tinjauan kinerja dan umpan
balik terhadap pengenalan siklus perencanaan baru. Perencanaan akan memberikan
pedoman dan dasar melakukan kegiatan dalam mencapai tujuan. Perencanaan sangat
penting untuk pembuatan keputusan, pemecahan masalah dan perubahan efektif yang
direncanakan. Aktivitas yang dilakukan selama perencanaan adalah analisis,
pengkajian suatu sistem, penyusunan tujuan jangka panjang (strategi) dan jangka
pendek (operasional) serta memprioritaskan aktivitas termasuk alternatif (Gillies,
2000; Swansburg,1999).

Fungsi perencanaan dapat disimpulkan sebagai fungsi terpenting dalam manajemen,


karena fungsi ini merupakan landasan dasar dari fungsi manajemen secara
keseluruhan. Perencanaan dapat digambarkan sebagai proses yang terdiri dari: a)
mengkaji situasi; b) menentukan tujuan dan objektif, dan c) mengembangkan suatu
rencana tindakan yang mengidentifikasi prioritas, menunjuk siapa yang bertanggung
jawab, menentukan batas waktu, dan menggambarkan bagaimana tujuan yang
diinginkan akan dicapai dan dievaluasi. Pada fungsi perencanaan akan diputuskan
apa, kapan, dimana, dan bagaimana melakukannya, oleh siapa, dan dengan sumber
daya apa (Kozier et al, 2004).

Setelah dilakukan pengkajian maka fungsi perencanaan berikutnya adalah dengan


melihat tujuan. Tujuan dan objektif yaitu terkait dengan visi dan misi pembangunan
kesehatan di Kota Depok. Visi dan misi pembangunan kota Depok diterjemahkan
dengan visi dan misi Dinas Kesehatan Kota Depok adalah mewujudkan masyarakat
Depok yang sehat, melalui 2 misi utama yaitu: 1) menggerakkan pembangunan
berwawasan kesehatan; 2) memberikan pelayanan kesehatan dasar dan rujukan prima
yang bermutu, terjangkau dan berkesinambungan. Kedua misi utama tersebut
diturunkan ke dalam suatu tujuan. Dalam rangka mencapai visi yaitu mewujudkan
masyarakat Kota Depok yang sehat dengan meningkatkan cakupan pelayanan
kesehatan pada seluruh masyarakat Kota Depok tentunya Dinas Kesehatan

Universitas Indonesia

Penerapan bina..., Neti Hartaty, FIK UI, 2015


21

merencanakan berbagai program kesehatan yang diantaranya ditujukan pada agregat


balita.

2.3.2. Pengorganisasian (Organizing).


Pengorganisasian (organizing) merupakan upaya untuk menghimpun semua sumber
daya yang dimiliki daerah dan memanfaatkannya secara efisien guna mencapai
tujuan (goals) yang telah ditetapkan (Swansburg, 1994). Fungsi pengorganisasian
sangatlah penting karena fungsi tersebut dapat member kerangka kerja untuk
melaksanakan rencana-rencana yang telah ditetapkan. Pengorganisasian merupakan
pengelompokan aktivitas tersebut yang penting untuk mencapai sasaran-sasaran yang
telah ditetapkan. Pengorganisasian mencakup penugasan manajer untuk
mensupervisi kinerja aktivitas-aktivitas tersebut, sebagaimana mereka harus
memantapkan hubungan supervisor bawahan yang penting. Hubungan-hubungan ini
diperlukan untuk mencapai koordinasi struktural baik secara vertikal dan lateral.

Pengorganisasian juga meliputi menentukan tanggung jawab, mengkomunikasikan


harapan, dan membentuk rantai instruksi untuk kekuasaan dan komunikasi.
Walaupun manager pada level atas mendelegasikan banyak pekerjaan dan tanggung
jawab serta tanggung gugat pekerjaan pada orang lain, tetapi manager harus
memastikan bahwa tujuan khusus unit-unit, prioritas, gambaran kerja, garis
komunikasi, standar pelayanan, prosedur, dan kebijakan-kebijakan telah dengan jelas
menggambarkan harapan (Kozier et al., 2004). Melalui fungsi pengorganisasian,
seluruh sumber daya yang dimiliki oleh organisasi (manusia dan bukan manusia)
dapat dipadukan dan diatur seefisien mungkin untuk mencapai tujuan organisasi
yang telah ditetapkan. Fungsi pengorganisasian, perawat komunitas mengorganisir
tenaga atau sumber daya yang tersedia dalam memberikan asuhan keperawatan yang
optimal pada masyarakat. Melihat hal ini tampak bahwa staffing ada dalam
pengorganisasian.

2.3.3. Ketenagaan (staffing).


Fase ketiga proses manajemen setelah fungsi perencanaan dan pengorganisasian
adalah ketenagaan. Seorang pemimpin-manajer dalam menjalankan fungsi
ketenagaan yaitu merekrut, memilih, menempatkan, dan mengajarkan personel
untuk mencapai tujuan organisasi. Ketenagaan merupakan fase yang sangat penting

Universitas Indonesia

Penerapan bina..., Neti Hartaty, FIK UI, 2015


22

dari proses manajemen dalam organisasi kesehatan karena organisasi seperti


biasanya mempunyai dinamika kerja yang sangat padat. Banyak institusi pelayanan
kesehatan buka 24 jam sehari, 365 hari setahun, dan tuntutan klien dan kebutuhan
sangat bervariasi dan banyak. Konsekuensi dari hal ini diperlukan karyawan bagi
suatu organisasi untuk mencapai tujuannya (Marquis & Huston,2006).

Menurut Swanburg (2000) manajemen ketenagaan adalah ilmu untuk melaksanakan


POAC di bidang ketenagaan sehingga efisien dan efektivitas ketenagaan dapat
ditingkatkan. Kegiatan tersebut meliputi : penarikan dan seleksi, pendayagunaan,
pengembangan, dan pemeliharaan. Manajemen ketenagaan bukan hanya masalah
administrasi/pengaturan karyawan tetapi lebih banyak merupakan pendekatan
integral holistik yang meliputi : peningkatan harkat, menghargai, yakin bahwa semua
manusia ingin memperbaiki diri. Keberhasilan organisasi dalam mencapai tujuan dan
sasarannya serta kemampuan menghadapi tantangan internal maupun eksternal
sangat ditentukan oleh kemampuan pengelola SDM setepat-tepatnya.

2.3.3.1.Rekrutmen.
Rekrutmen adalah proses aktif mencari atau menarik pelamar untuk posisi yang ada,
dan harus menjadi proses yang berkelanjutan. Sebuah organisasi yang kompleks,
pekerjaan harus dilakukan dengan kelompok orang, karena itu, kemampuan
organisasi untuk memenuhi tujuan dan sasaran berkaitan langsung dengan kualitas
karyawan. Sebelum merekrut dimulai, organisasi harus mengidentifikasi alasan calon
karyawan akan memilih untuk bekerja untuk mereka lebih dari pesaing. Ini alasan
untuk mempromosikan dalam segala upaya perekrutan karyawan karena paradigma
nilai yang jelas (Marquis & Huston,2006).

2.3.3.2.Seleksi.
Proses seleksi dilakukan setelah pemohon telah direkrut, menyelesaikan aplikasi, dan
telah diwawancarai. Seleksi adalah proses memilih dari kalangan pelamar untuk
posisi pekerjaan tertentu dengan kualifikasi terbaik. Proses ini melibatkan verifikasi
kualifikasi pemohon, memeriksa riwayat kerja, dan memutuskan apakah kualifikasi
pemohon sesuai dengan harapan organisasi (Marquis & Huston, 2006). Jika
persyaratan untuk posisi terlalu kaku, pekerjaan mungkin tetap berjalan untuk
beberapa waktu akan tetapi perlu segera memilih karyawan yang sesuai pada
Universitas Indonesia

Penerapan bina..., Neti Hartaty, FIK UI, 2015


23

pekerjaan tersebut sesuai dengan latar belakang pendidikannya. Karyawan yang


mungkin bisa melengkapi persyaratan pendidikan harus diberi kesempatan untuk
bersaing untuk pekerjaan itu. Hal ini sangat penting untuk memeriksa kredensial
akademik dan profesional dari semua pelamar kerja.

2.3.3.3.Penempatan.
Pemimpin yang cerdas mampu menetapkan karyawan baru pada posisi yang tepat
dan otoritas dimana karyawan akan memiliki kesempatan untuk sukses. Selain itu,
banyak posisi dalam unit atau departemen memerlukan keterampilan yang berbeda.
Sebagai contoh, di rumah sakit, keterampilan pengambilan keputusan mungkin lebih
penting. Keterampilan berkomunikasi mungkin keterampilan yang paling sangat
diinginkan dimana terdapat banyak interaksi di antara berbagai tenaga keperawatan.
Sering, karyawan baru mengalami perasaan kegagalan karena penempatan yang tidak
tepat dalam organisasi. Ini dapat terjadi pada karyawan yang kurang berpengalaman
dan baru direkrut seperti perawat pemula (Marquis & Huston, 2006). Penempatan
karyawan yang sesuai sama pentingnya dengan fungsi organisasi dan keberhasilan
karyawan baru dalam menjalankan tugasnya. Penempatan yang salah dapat
mengakibatkan berkurangnya efisiensi organisasi, peningkatan gesekan diantara
karyawan, ancaman terhadap integritas organisasi, dan frustrasi pribadi dan ambisi
profesional. Sebaliknya, penempatan yang tepat mendorong pertumbuhan pribadi,
menyediakan iklim yang memotivasi karyawan memaksimalkan produktivitas, dan
meningkatkan probabilitas bahwa tujuan organisasi akan dipenuhi. Manajer yang
mampu untuk mencocokkan kekuatan karyawan dengan persyaratan pekerjaan akan
memfasilitasi unit berfungsi secara optimal, mencapai tujuan organisasi, dan
memenuhi kebutuhan karyawan (Marquis & Huston, 2006).

2.3.3.4.Indoktrinasi.
Indoktrinasi mengacu pada rencana, penyesuaian lingkungan kerja karyawan yang
dipandu. Meskipun kata-kata "induksi" dan "Orientasi" sering digunakan untuk
menggambarkan fungsi ini, proses indoktrinasi meliputi tiga fase yang terpisah:
induksi, orientasi, dan sosialisasi. Sosialisasi merupakan bagian dari proses
pembangunan dan membangunan tim staf (Marquis & Huston, 2006). Indoktrinasi
menunjukkan pendekatan yang lebih luas untuk proses penyesuaian kerja dari baik

Universitas Indonesia

Penerapan bina..., Neti Hartaty, FIK UI, 2015


24

induksi atau orientasi. Ini berusaha untuk (a) membentuk sikap karyawan yang
menguntungkan terhadap organisasi, satuan, dan departemen, (b) memberikan
informasi yang diperlukan dan pendidikan untuk sukses dalam posisi, dan (c)
menanamkan rasa memiliki dan penerimaan. Program sosialisasi secara efektif
menghasilkan produktivitas yang lebih tinggi, pelanggaran aturan sedikit,
mengurangi gesekan antar karyawan, dan kepuasan karyawan yang lebih besar.
Proses indoktrinasi karyawan dimulai begitu seseorang telah dipilih untuk posisi dan
berlanjut sampai karyawan yang telah disosialisasikan norma-norma dan nilai-nilai
dari kelompok kerja (Marquis & Huston, 2006).

2.3.4. Pengarahan (Directing).


Directing dikatakan sebuah proses dimana para manajer membimbing dan
mengawasi kinerja para pekerja untuk mencapai tujuan yang telah ditentukan.
Mengarahkan dikatakan sebagai jantung dari proses manajemen. Perencanaan,
pengorganisasian, staf yang sudah didapat tidak akan penting apabila tidak ada yang
mengawasi dan membimbing. Tindakan pengarahan di mulai dari saat melakukan
kegiatan, pengarahan ini dirancang agar pekerja bekerja secara efektif, efisien supaya
dapat mencapai tujuan yang sudah ditetapkan. Mengarahkan adalah fungsi
membinbing, menginspirasi, mengawasi, supaya tujuan tercapai.

Fungsi manajemen pengarahan (Directing) ini adalah termasuk di dalamnya fungsi


koordinasi (coordinating), pengarahan (directing), kepemimpinan (leading). Agar
semua komponen dapat melaksanakan tugas sesuai dengan perannya masing-masing,
maka tugas administrator adalah melakukan koordinasi dan mengarahkan seluruh
komponen manajemen agar terbentuk sinergi, dan menghindari overlapping
pelaksanaan tugasnya (Swansburg, 1994).

2.3.5. Pengawasan (Controling).


Pengawasan adalah proses pengamatan pelaksanaan seluruh kegiatan organisasi
untuk menjamin agar semua pekerjaan yang sedang dilaksanakan berjalan sesuai
dengan rencana yang telah ditentukan (Siagian, 2002). Menurut Kozier et al. (2004),
definisi pengawasan dengan penekanan pada standar, hubungan dengan perencanaan,
pengukuran, evaluasi, pengendalian dan tindakan korektif serta pencegahannya.
Pengawasan juga dapat didefinisikan sebagai pelaksanaan standar kinerja untuk

Universitas Indonesia

Penerapan bina..., Neti Hartaty, FIK UI, 2015


25

mengevaluasi, menilai, dan mengoreksi suatu tindakan sesuai dengan apa yang telah
direncanakan dan mencegah terulangnya kembali guna mencapai tujuan tertentu.
Pengawasan dan pengendalian (controlling), merupakan proses untuk mengamati
secara terus menerus (bekesinambungan) pelaksanaan rencana kerja yang sudah
disusun dan mengadakan koreksi (perbaikan) terhadap penyimpangan yang terjadi
(Swanburg, 2000).
Fungsi pengawasan bertujuan agar penggunaan sumber daya dapat lebih efisien, dan
tugas-tugas staf untuk mencapai tujuan program dapat lebih diefektifkan (Marquis &
Huston, 2006). Aktivitas yang dilakukan selama pengawasan yaitu proses evaluasi
implementasi, pemberian masukan atau umpan balik, dan pembuatan prinsip-prinsip
organisasi melalui pembuatan standar, pembandingan kinerja dengan standar dan
memperbaiki kekurangan. Adanya kegiatan pengawasan dalam manajemen
keperawatan akan membantu identifikasi efisiensi kegiatan program, adanya
penyimpangan-penyimpangan selama proses kegiatan dan penyebabnya sehingga
dapat disusun rencana tindak lanjut untuk memperbaiki dan keberlanjutan program
(Gillies, 2000 ; Marquis & Huston, 2006).

Manfaat fungsi pengawasan untuk mengetahui sejauhmana kegiatan program sudah


dilaksanakan oleh staf (meningkatkan efisiensi kegiatan program), apakah sesuai
standar atau rencana kerja, apakah sumber dayanya (staf, sarana dan dana) sudah
digunakan sesuai yang telah ditetapkan. Semua fungsi utama dari manajemen
keperawatan ini berlangsung mandiri dan saling ketergantungan. Pengawasan terdiri
dari 2 kegiatan yaitu monitoring dan evaluasi (Marquis & Huston, 2006). Monitoring
dapat dilakukan oleh pihak dalam maupun luar organisasi. Staf organisasi melalui
kegiatan monitoring akan dibantu menemukan masalah secara dini sehingga koreksi
yang akan dilakukan tidak memerlukan biaya dan waktu yang banyak, sehingga
mempercepat tercapainya kualitas layanan. Tahapan yang dapat dilakukan dalam
monitoring adalah: (1) memutuskan informasi apa yang akan dikumpulkan; (2)
mengumpulkan data dan menganalisisnya; dan (3) memberikan umpan balik hasil
monitoring (Gillies,2000; Swansburg, 1999; Marquis & Huston, 2006).

Manajemen pelayanan keperawatan komunitas juga mencakup keluarga sebagai


sasaran pelayanan. Keluarga merupakan bagian / unit terkecil dari suatu masyarakat
sangat mempengaruhi derajat kesehatan masyarakat. Kumpulan keluarga dapat

Universitas Indonesia

Penerapan bina..., Neti Hartaty, FIK UI, 2015


26

membentuk sebuah komunitas dan memiliki ciri-ciri komunitas. Jika keluarga dalam
komunitas tersebut mempunyai masalah kesehatan maka akan berdampak terjadinya
masalah kesehatan secara lebih luas. Pelayanan keperawatan keluarga di masyarakat
perlu manajerial yang baik dalam rangka pencapaian cakupan pelayanan secara luas.

2.4. Teori Family Centered Nursing (FCN).


Keluarga merupakan unit dasar dari masyarakat dan menjadi institusi sosial yang
paling banyak memiliki efek terhadap anggota-anggotanya, sehingga keluarga dapat
dijadikan perantara dalam mencapai harapan dan kewajiban masyarakat serta dapat
membentuk dan mengubah individu didalam keluarga. Keluarga adalah unit dasar
dari sebuah komunitas dan masyarakat, mempresentasikan perbedaan budaya, rasial,
etnik, dan sosioekonomi. Aplikasi dari teori ini termasuk mempertimbangkan faktor
sosial, ekonomi, politik dan budaya ketika melakukan pengkajian dan perencanaan,
implementasi dan evaluasi perawatan pada anak dan keluarga (Hitchcock, Schubert,
Thomas, 1999). Selain itu, keluarga merupakan suatu sistem, sehingga jika salah satu
anggota keluarga mengalami masalah atau sakit, maka akan mempengaruhi anggota
keluarga yang lainnya (Friedman, Bowden & Jones, 2003).

Friedman, Bowden dan Jones, (2003) menyebutkan bahwa fokus proses keperawatan
akan menjadi sangat bervariasi, tergantung pada konseptualisasi perawat terhadap
keluarga dalam praktek yang dilakukannya. Jika perawat memandang keluarga
sebagai latar belakang atau konteks dari individu, maka proses keperawatan
berorientasi pada individu. Jika perawat mengkonseptualisasikan keluarga sebagai
unit perawatan, maka keluarga sebagai unit atau sistem menjadi fokus walaupun
prosesnya sendiri bervariasi.

Perawat keluarga adalah perawat yang berperan membantu individu dan keluarga
untuk menghadapi penyakit dan disabilitas kronik dengan meluangkan sebagian
waktu bekerja di rumah pasien dan bersama keluarganya. Keperawatan keluarga
dititikberatkan pada kinerja perawat bersama dengan keluarga karena keluarga
merupakan subjek. Menurut Neis dan Mc.Ewen (2007), keperawatan keluarga dapat
difokuskan pada anggota keluarga individu, dalam konteks keluarga atau unit
keluarga. Terlepas dari identifikasi klien, perawat menetapkan hubungan dengan

Universitas Indonesia

Penerapan bina..., Neti Hartaty, FIK UI, 2015


27

masing-masing anggota keluarga dalam unit dan memahami pengaruh unit pada
individu dan masyarakat. Perawat yang melakukan kunjungan ke rumah memiliki
perhatian yang menyeluruh terhadap masalah kesehatan yang ditemukan atau
diidentifikasi dari keluarga tertentu atau sekelompok keluarga.

Keperawatan keluarga bertujuan untuk membantu keluarga menolong dirinya sendiri


mencapai tingkat fungsi keluarga yang tertinggi dalam konteks tujuan, aspirasi dan
kemampuan keluarga (Friedman, Bowden & Jones, 2003). Proses keperawatan
keluarga berbeda-beda, tergantung cara perawat memandang keluarga dalam
praktiknya, yaitu 1) keluarga dipandang sebagai konteks, maka asuhan keperawatan
berfokus pada individu; 2) keluarga kumpulan dari angota-anggotanya, maka asuhan
keperawatan diberikan kepada seluruh anggota keluarga; 3) subsistem keluarga
sebagai klien, dimana yang akan menjadi fokus pengkajian dan intervensi; 4)
keluarga sebagai klien, dimana keseluruhan anggota keluarga dipandang sebagai
klien sedangkan individu anggota keluarga sebagai konteks dan 5). Keluarga sebagai
komponen masyarakat, dimana keluarga dipandang sebagai subsistem dalam sebuah
sistem yang lebih besar, yaitu masyarakat.

Berdasarkan Friedman Family Asessment, terdapat 6 kategori umum yang harus


dikaji pada keluarga, meliputi: identitas keluarga, riwayat dan tahap perkembangan,
data lingkungan tempat tinggal, struktur keluarga, fungsi keluarga, 27ocial, koping
dan adaptasi keluarga. Setiap kategori memiliki berbagai subkategori, namun tidak
semuanya harus dikaji. Kedalaman dan keluasan pengkajian dilakukan tergantung
pada tujuan keluarga, masalah, sumber daya, juga tergantung pada peran perawat
dalam melakukan proses keperawatan pada keluarga (Friedman, Bowden & Jones,
2003).

Tahapan selanjutnya adalah perencanaan dan pelaksanaan asuhan keperawatan yang


difokuskan pada tiga tingkatan pencegahan, yaitu primer, sekunder dan tersier.
Tahapan sebelum perencanaan asuhan keperawatan keluarga adalah diagnosis
keperawatan. Implementasi keperawatan keluarga dapat menggunakan berbagai
terapi modalitas. Menurut Freeman dalam Friedman (1998), secara umum intervensi
keperawatan dapat diklasifikasikan menjadi tiga yaitu supplemental, facilitative dan

Universitas Indonesia

Penerapan bina..., Neti Hartaty, FIK UI, 2015


28

developmental. Intervensi keperawatan supplemental adalah dimana perawat secara


langsung memberikan pelayanan kepada keluarga yang tidak mampu melakukannya.
Intervensi keperawatan facilitative adalah membantu mengatasi hambatan dari
keluarga dalam memperoleh pelayanan medis, kesejahteraan 28ocial, transportasi
atau pelayanan perawatan kesehatan di rumah. Intervensi keperawatan developmental
adalah membantu keluarga dalam kapasitasnya untuk menolong dirinya sendiri.
Tahapan terakhir dalam asuhan keperawatan keluarga adalah evaluasi yang
dilakukan untuk melihat keefektifan intervensi terhadap keluarga. Keefektifan
tersebut ditentukan dengan melihat sistem keluarga dan hasil yang tampak pada
anggota keluarga. Evaluasi merupakan proses yang berkelanjutan guna menilai
apakah perencanaan yang telah disusun efektif dalam menyelesaikan masalah
keluarga atau memerlukan beberapa modifikasi (Friedman, Bowden & Jones,2003).

Skema 2.1
Family Centered Nursing

Pengkajian terhadap keluarga Pengkajian anggota


Mengidentifikasi data sos-bud, data keluarga secara individual : Mental,
lingkungan, struktur & fungsi, stres fisik, emosional, sosial & spiritual
keluarga dan strategi koping

Identifikasi masalah-masalah keluarga & individu


Diagnosis keperawatan

Rencana Keperawatan
Menyusun tujuan, identifikasi sumber-sumber, definisikan
pendekatan alternatif, pilih intervensi keperawatan, susun prioritas

Intervensi
Implementasikan rencana

Evaluasi Keperawatan

Keluarga mempunyai peranan besar dalam tumbuh kembang balita. keluarga sebagai

Universitas Indonesia

Penerapan bina..., Neti Hartaty, FIK UI, 2015


29

entry point untuk mendukung tumbuh kembang balita yang optimal serta dalam
melakukan stimulasi perkembangan pada balita. Family center nursing dapat
digunakan dalam menerapkan strategi intervensi pemberdayaan keluarga. Pengkajian
individu sebagai anggota keluarga yang meliputi biologis, psikologis, sosial,
spiritual. Pengkajian keluarga terkait sosiokultural, data lingkungan, struktur, fungsi
dan strategi koping yang digunakan untuk menentukan rencana tindakan untuk
mengatasi masalah kesehatan keluarga (Friedman, 2003).

2.4.1. Fungsi Keluarga Dalam Memenuhi Tumbuh Kembang Balita.


2.4.1.1.Fungsi Afektif.
Satir (1972) dalam Friedman, Bowden dan Jones (2003) menyatakan fungsi afektif
adalah suatu fungsi internal dalam keluarga yang menjadi dasar keberlangsungan
keluarga. Fungsi afektif dalam keluarga dapat berupa pemenuhan kebutuhan
psikososial anggota keluarga, sumber kasih sayang, saling memberikan dukungan
dan penghargaan antar anggota keluarga. Keluarga yang menciptakan suasana yang
harmonis akan berdampak pada kondisi psikologis anggota keluarganya, terlebih
bagi balita. Balita yang tumbuh dan berkembang di dalam lingkungan keluarga yang
harmonis, penuh kasih sayang, perhatian dan kebersamaan akan menjadikan balita
tersebut menjadi pribadi yang hangat, terbuka dan dapat mencapai tumbuh kembang
yang optimal. Sebaliknya, balita yang hidup di dalam keluarga yang tidak harmonis,
akan berdampak pada gangguan psikologis dan menganggu proses tumbuh
kembangnya.

2.4.1.2.Fungsi Sosialisasi.
Friedman, Bowden dan Jones (2003) menyatakan keluarga merupakan tempat
pertama bagi seorang anak dalam bersosialisasi yang bertujuan agar anak belajar
peran, norma, budaya, bahasa, disiplin sebagai bekal interaksinya dengan lingkungan
luar. Lingkungan luar merupakan wahana balita dalam mengembangkan kemampuan
sosialisasinya. Sosialisasi dalam tumbuh kembang balita merupakan suatu aspek
yang berhubungan dengan kemandirian seorang balita, seperti dapat makan dan
membereskan mainannya sendiri, dapat berpisah dengan ibu ataupun pengasuhnya
dan dapat berinteraksi dengan lingkungannya.

2.4.1.3.Fungsi Perawatan Kesehatan.

Universitas Indonesia

Penerapan bina..., Neti Hartaty, FIK UI, 2015


30

Keluarga memiliki tanggung jawab dalam memenuhi kebutuhan kesehatan anggota


keluarga, termasuk menjalankan fungsi perawatan kesehatan keluarga. Dalam hal ini
keluarga merupakan unit dasar dalam membentuk perilaku perawatan kesehatan
melalui upaya promotif dan preventif. Keluarga bertanggung jawab dalam memenuhi
kebutuhan kesehatan anggota keluarga baik nutrisi, pakaian, tempat tinggal dan
perawatan. Pemberdayaan keluarga dapat dilakukan oleh perawat dengan membantu
keluarga dalam pelaksanaan tugas perawatan kesehatannya. Tugas perawatan
kesehatan keluarga yang berhubungan dengan tumbuh kembang balita yaitu : (1)
Mengenal masalah anggota keluarga. Keluarga yang memiliki balita harus memiliki
pengetahuan tentang tahap tumbuh kembang balita, nutrisi yang harus diberikan bagi
balita serta tahapan yang harus dicapai oleh balita di usianya. (2) Mengambil
tindakan yang tepat bagi keluarga. Keluarga yang memiliki balita harus mampu
memberikan stimulasi tumbuh kembang sesuai dengan tahapan usia balita demi
mencapai tumbuh kembang yang optimal. (3) Memberikan perawatan bagi anggota
keluarga. Melalui bekal pengetahuan tentang tumbuh kembang balita, keluarga yang
memiliki balita harus menyadari jika menemukan penyimpangan tumbuh kembang
pada balita, dengan menemukan penyimpangan sejak dini maka intervensi akan lebih
mudah dilakukan. (4) Mempertahankan suasana yang mendukung kesehatan. Balita
yang diasuh oleh keluarga harmonis dengan penuh kasih sayang dan diberikan
reward atas sikap positif yang ditunjukkannya, akan berdampak positif pada tumbuh
kembang balita. (5) Memanfaatkan pelayanan dan sarana kesehatan. Keluarga yang
memiliki balita diharapkan dapat melaporkan ke fasilitas pelayanan dan sarana
kesehatan jika menemukan keterlambatan maupun gangguan pada tumbuh kembang
balita, sehingga tenaga kesehatan dapat segera melakukan intervensi yang tepat.

2.5.Model Community As Partner (CAP).


Model pengkajian yang akan dikembangkan pada agregat balita adalah aplikasi dari
community as partner yang dikembangkan oleh Anderson dan Mc Farlan dari teori
Betty Neuman. Model ini lebih berfokus pada perawatan kesehatan masyarakat
adalah praktik, keilmuan dan metodenya melibatkan masyarakat untuk berpartisipasi
penuh dalam meningkatkan kesehatannya. Pada pengkajian model ini mempunyai
dua komponen utama yaitu core dan subsistem. Pada model community as partner
terdapat dua faktor utama yaitu fokus pada komunitas sebagai mitra dan proses
keperawatan (Anderson & Mc.Farlan, 2004).

Universitas Indonesia

Penerapan bina..., Neti Hartaty, FIK UI, 2015


31

Menurut Anderson dan Mc.Farlan (2004), pada pengkajian komunitas terdapat core
dan 8 (delapan) subsistem masyarakat. Core yang terdiri dari riwayat terbentuknya
agregat, demografi, suku, nilai dan kepercayaan. Sedangkan pada subsistem terdapat
lingkungan fisik, pelayanan kesehatan dan sosial, ekonomi, transportasi dan
keamanan, politik dan pemerintahan, komunikasi, pendidikan dan rekreasi. Pada
model community as partner masyarakat dikelililngi oleh tiga garis pertahanan,
yaitu: garis pertahanan fleksibel, normal dan resisten. Garis pertahanan fleksibel
adalah kesehatan yang dinamis hasil dari respon terhadap stressor yang tidak
menetap seperti mobilisasi tetangga dan stressor lingkungan. Garis pertahanan
normal adalah angka kematian, tingkat ekonomi masyarakat. Garis pertahanan
resisten adalah mekanisme internal terhadap stressor.

Gambar 2.1
Community As Partner

Sumber: Community As Partner: Theory and Practice in Nursing. Anderson,


Elizabeth T and McFarlane, Judith, 2000, Lippincott

Universitas Indonesia

Penerapan bina..., Neti Hartaty, FIK UI, 2015


32

1). Demografi.
Demografi atau sering juga disebut dengan karakteristik penduduk yang berpengaruh
penting terhadap proses demografi dan tingkah laku sosial ekonomi penduduk
(BPS,2011). Data demografi yang dikaji meliputi distribusi balita berdasarkan jenis
kelamin, agama, pekerjaan orang tua. Metoda yang digunakan dalam mencari data
ini adalah literatur review dari kecamatan dan kelurahan.

2). Statistik Vital.


Statistik vital adalah statistik mengenai kesehatan dan bertujuan mempublikasikan
data kesehatan yang berguna sekali bagi evaluasi aktivitas, perencanaan, dasar tindak
lanjut suatu pemantauan dan penelitian. Keperawatan komunitas sangat memerlukan
data insidens penyakit serta angka kematian umum, kematian bayi dan ibu. Statistik
vital dalam masalah balita dengan permasalahan tumbuh kembang meliputi data
balita yang mengalami risiko keterlambatan tumbuh kembang dan dengan masalag
keterlambatan tumbuh kembang. Metoda yang digunakan dalam mencari data ini
adalah literatur review dari laporan Puskesmas dan data dari Kelurahan.

3). Budaya.
Budaya merupakan pola dari keseluruhan keyakinan dan harapan yang dipegang
teguh bersama oleh masyarakat. Hal yang dikaji dari budaya meliputi gaya hidup
kelompok masyarakat terutama dalam pola komunikasi, hubungan antar individu,
bentuk keluarga, dukungan antar keluarga. Sumber data dari pemuka masyarakat,
tenaga kesehatan, observasi dan pihak RW.

4). Nilai dan keyakinan.


Nilai adalah suatu hal yang dianut oleh masyarakat tentang apa yang dianggap baik
yang dianggap buruk oleh masyarakat, sedangkan keyakinan adalah gambaran
mental dan kognitif individu atas realitas, yang terbentuk oleh pengalaman-
pengalaman masa lalu dan masa kini, dan disimpan dalam memori jangka panjang

Universitas Indonesia

Penerapan bina..., Neti Hartaty, FIK UI, 2015


33

yang mempengaruhi masyarakat dalam bersosialisasi. Setiap kelompok etnik dan


rasial mempunyai nilai dan keyakinan yang berinteraksi dengan setiap sistem
komunitas untuk mempengaruhi kesehatan warganya. Dalam permasalahan tumbuh
kembang ini meliputi pola asuh balita, persepsi orang tua terhadap perkembangan
balita. Sumber data dari observasi dan pihak RW.
Delapan subsistem :
1). Lingkungan.
Lingkungan merupakan tempat terjadinya interaksi dan melakukan aktivitas pada
masyarakat dan sangat berpengaruh terhadap kesehatannya. Lingkungan fisik
meliputi ketersediaan taman bermain yg dapat menunjang tumbuh kembang balita.
Metoda yang digunakan dalam mencari data ini adalah survei lingkungan.

2). Pelayanan kesehatan dan sosial.


Pelayanan kesehatan merupakan kegiatan dalam mempertahankan derajat kesehatan
masyarakat melalui upaya promotif, preventif, dan kuratif. Pelayanan kesehatan dan
sosial yang dikaji meliputi pelayanan difasilitas kesehatan yang dimiliki di
Kelurahan Sukamaju Baru; fasilitas pelayanan kesehatan seperti Puskesmas,
Posyandu; pelaksanaan pelayanan (waktu dan rencana kerja); sumber daya (tenaga,
tempat, dana, dan perencanaan); karakteristik pemakai (penyebaran geografis, gaya
hidup, dan transportasi); kecukupan dan keterjangkauan oleh pemakai pelayanan.
Metoda yang digunakan dalam mencari data ini adalah literatur review dari laporan
Puskesmas dan data dari pihak kelurahan maupun kader.

3). Ekonomi.
Ekonomi berhubungan erat dengan tumbuh kembang balita, oleh karena itu sangat
perlu untuk dikaji. Hal yang dikaji dalam ekonomi adalah status sosial ekonomi, rata-
rata pendapatan orang tua balita, sumber pendapatan, sarana prasarana. Metoda yang
digunakan dalam mencari data ini adalah literatur review data dari pihak kelurahan
maupun RW.

4). Transportasi dan keamanan.


Transportasi adalah pengangkutan barang oleh berbagai jenis kendaraan sesuai
dengan kemajuan teknologi. Transportasi yang dikaji meliputi jenis transportasi yang
ada di lingkungan masyarakat karena sehubungan dengan kenyamanan area bermain

Universitas Indonesia

Penerapan bina..., Neti Hartaty, FIK UI, 2015


34

anak agar terhindar dari kecelakaan. Kemampuan dalam mengakses transportasi juga
perlu dikaji karena untuk kebutuhan akses keluarga jika ingin menuju ke pusat
kesehatan untuk berkonsultasi atau memeriksa kesehatan balita. Keamanan yang
dikaji adalah keamanan arena bermain untuk mendukung tumbuh kembang balita.
Metoda yang digunakan dalam mencari data ini adalah interview dengan anggota
masyarakat pengguna transportasi umum.

5). Politik dan pemerintahan.


Politik dan pemerintahan adalah hal yang berkaitan dengan penyelenggaraan
pemerintahan, khususnya pada bidang kesehatan. Meliputi program-program yang
ada untuk mendukung tumbuh kembang balita (nama program, pelaksanaan, kendala,
keberhasilan, peran serta masyarakat) dan program yang belum dilaksanakan.
Metoda yang digunakan dalam mencari data yaitu dengan wawancara dengan
puskesmas maupun kelurahan dan dinas kesehatan.

6). Komunikasi.
Komunikasi merupakan tindakan oleh satu orang atau lebih yang mengirim dan
menerima pesan dan terjadi dalam waktu tertentu, dan mempengaruhi, dan ada
kesempatan untuk melakukan umpan balik. Komunikasi meliputi tempat berkumpul,
alat komunikasi masyarakat, media informasi masyarakat untuk mendapatkan
informasi kesehatan khususnya mengenai tumbuh kembang. Metoda yang digunakan
dalam mencari data yaitu dengan survei wilayah dan wawancara dengan kelurahan
dan puskesmas.

7). Pendidikan.
Pendidikan meliputi jenis pendidikan orang tua, kegiatan balita, tingkat pengetahuan
masyarakat tentang tumbuh kembang, kesadaran masyarakat tentang tumbuh
kembang, pendidikan kesehatan tentang tumbuh kembang yang pernah di dapatkan
oleh masyarakat, dan sumber belajar yang tersedia untuk mendapatkan informasi
mengenai cara mengoptimalkan tumbuh kembang balita. Metoda yang digunakan
dalam mencari data yaitu dengan menyebarkan angket kepada keluarga yang
mempunyai balita, kepada kader dan puskesmas.

8). Rekreasi.

Universitas Indonesia

Penerapan bina..., Neti Hartaty, FIK UI, 2015


35

Rekreasi yang dikaji meliputi tempat rekreasi atau tempat-tempat hiburan yang
tersedia di masyarakat yang diharapkan bermanfaat untuk memenuhi dan
mengoptimalkan tumbuh kembang balita.
Menurut Anderson dan Mc.Farlan (2004), perencanaan program kesehatan
komunitas pada agregat balita dengan tumbuh kembang berdasarkan community as
partner model difokuskan pada tiga tingkat pencegahan yaitu primer, sekunder dan
tersier. Perencanaan diawali dengan merumuskan tujuan yang ingin dicapai serta
rencana tindakan untuk mengatasi masalah yang ada. Tujuan dirumuskan untuk
mengatasi atau meminimalkan stressor dan intervensi dirancang berdasarkan tiga
tingkat pencegahan. Pencegahan primer untuk memperkuat garis pertahanan
fleksibel, pencegahan sekunder untuk memperkuat garis pertahanan normal dan
pencegahan tersier untuk memperkuat garis pertahanan resisten.

Aktivitas dari program kesehatan komunitas yang direncanakan difokuskan untuk


memperkuat tiga garis pertahanan pada komunitas yaitu garis pertahanan normal,
fleksibel dan resisten melalui tiga tingkat pencegahan. Aktivitas dalam perencanaan
tersebut dapat dijalankan melalui strategi intervensi program yaitu pendidikan
kesehatan, proses kelompok, empowering dan partnership.

Strategi untuk membangun komunitas yang sehat meliputi tiga kategori yaitu
dimensi status, struktur dan proses (Stanhope & Lancaster, 2004). Strategi terbaik
pada dimensi status adalah pada tingkat pencegahan primer dan sekunder, sebab
tujuannya adalah untuk mencegah penyakit atau ancaman pada tahap awal. Strategi
pada dimensi struktur adalah intervensi keperawatan langsung pada sarana layanan
kesehatan dan karakteristik demografi. Intervensi ditujukan untuk mengubah layanan
kesehatan meliputi program perencanaan. Intervensi yang ditujukan untuk mengubah
layanan karakteristik demografi meliputi community development (pengembangan
komunitas) melalui empowerment, coalition building (Helvie, 1998). Strategi pada
dimensi proses ditekankan pada upaya promosi kesehatan dan strategi pencegahan
primer.

Pendidikan kesehatan dilakukan dengan memberikan penyuluhan kesehatan tentang


tumbuh kembang balita dimulai dari tahapan pertumbuhan dan perkembangan balita
menurut rentang usia sampai pada mengapa pentingnya memperhatikan tumbuh

Universitas Indonesia

Penerapan bina..., Neti Hartaty, FIK UI, 2015


36

kembang balita, serta mengajarkan anggota keluarga khususnya ibu agar dapat
memahami tentang stimulasi perkembangan dengan harapan agar ibu dapat
melakukan stimulasi pada balitanya dalam kehidupan sehari-hari. Pendidikan
kesehatan adalah proses perubahan perilaku yang dinamis, dimana perubahan
tersebut bukan hanya sekedar proses transfer materi atau teori dari seseorang ke
orang lain dan bukan pula seperangkat prosedur. Akan tetapi, perubahan tersebut
terjadi akibat adanya kesadaran diri dalam diri individu, kelompok atau masyarakat
sendiri. Sedangkan tujuan dari pendidikan kesehatan menurut Undang-Undang
Kesehatan Nomor 23 Tahun 1992 maupun WHO yaitu meningkatkan kemampuan
masyarakat untuk memelihara dan meningkatkan derajat kesehatan baik fisik, mental
dan sosialnya sehingga produktif secara ekonomi maupun secara sosial.

Penyuluhan kesehatan adalah kegiatan pendidikan yang dilakukan dengan cara


menyebarkan pesan, menanamkan keyakinan, sehingga masyarakat tidak saja sadar,
tahu dan mengerti, tetapi juga mau dan bisa melakukan suatu anjuran yang ada
hubungannya dengan kesehatan (Elisabeth, 2007). Penyuluhan kesehatan adalah
gabungan berbagai kegiatan dan kesempatan yang berlandaskan prinsip-prinsip
belajar untuk mencapai suatu keadaan, dimana individu, keluarga, kulompok atau
masyarakat secara keseluruhan ingin hidup sehat. Mubarak (2005) juga menyatakan,
pendidikan kesehatan adalah suatu penerapan konsep pendidikan di dalam bidang
kesehatan.

Gerakan pemberdayaan atau empowerment adalah proses pemberian informasi secara


terus-menerus dan berkesinambungan mengikuti perkembangan sasaran, serta proses
membantu sasaran agar sasaran tersebut berubah dari tidak tahu menjadi tahu atau
sadar (aspek knowledge), dari tahu menjadi mau (aspek attitude), dan dari mau
menjadi mampu melaksanakan perilaku yang diperkenalkan (aspek practice).
Gerakan pemberdayaan masyarakat juga merupakan cara untuk menumbuhkan dan
mengembangkan norma yang membuat masyarakat mampu untuk berperilaku hidup
bersih dan sehat. Strategi ini tepatnya ditujukan pada sasaran primer agar berperan
serta secara aktif. Gerakan pemberdayaan masyarakat merupakan suatu upaya dalam
peningkatan kemampuan masyarakat guna mengangkat harkat hidup, martabat dan
derajat kesehatannya.

Universitas Indonesia

Penerapan bina..., Neti Hartaty, FIK UI, 2015


37

Pemberdayaan adalah suatu bentuk kemitraan dan kerjasama dalam membantu


keluarga mengambil keputusan yang tepat dalam kehidupan. Pemberdayaan keluarga
memberikan kesempatan pada keluarga untuk memilih dan mengambil keputusan
secara bebas dan bertanggungjawab. Pemberdayaan keluarga bertujuan untuk
meningkatkan pengetahuan, kapasitas dan keterampilan sehingga keluarga mampu
mengambil keputusan yang tepat terkait masalah kesehatan (Friedman, 2003).
Pemberdayaan keluarga akan menghasilkan kekuatan dan hubungan saling
ketergantungan yang sehat serta meningkatkan rasa saling menghargai otonomi dan
menghormati antar anggota keluarga (Friedman, 2003).

Stanhope dan Lancaster (2010) menyatakan pembentukan peer atau social support
berdasarkan kondisi dan kebutuhan masyarakat. Pembentukan kelompok merupakan
suatu bentuk intervensi keperawatan komunitas yang melibatkan keluarga,
masyarakat serta kelompok berisiko atau bekerjasama dengan kelompok yang telah
ada untuk meningkatkan kualitas kerja. Sistem dukungan sosial yang relevan
terhadap kesehatan meliputi sistem kelompok pendukung alamiah, sistem kelompok
pendukung organisasi keagamaan, sistem kelompok pendukung organisasi pemberi
pelayanan atau asisten tenaga kesehatan dan organisasi kelompok pendukung tidak
langsung melalui tenaga kesehatan professional.

2.6. Promosi Kesehatan.


2.6.1. Pengertian Promosi Kesehatan.
Proses untuk meningkatkan kemampuan orang dalam mengendalikan dan
meningkatkan kesehatannya. Untuk mencapai keadaan sehat, seseorang atau
kelompok harus mampu mengidentifikasi dan menyadari aspirasi, mampu memenuhi
kebutuhan dan merubah atau mengendalikan lingkungan (Piagam Ottawwa, 1986).
Promosi Kesehatan merupakan program yang dirancang untuk memberikan
perubahan terhadap manusia, organisasi, masyarakat dan lingkungan.

2.6.2. Misi Promosi Kesehatan :


Misi promosi kesehatan terdiri atas : (1). Advokat (advocate) ; ditujukan kepada para
pengambil keputusan atau pembuat kebijakan. (2). Menjembatani (mediate) ;
menjalin kemitraan dengan berbagai program dan sektor yang terkait dengan

Universitas Indonesia

Penerapan bina..., Neti Hartaty, FIK UI, 2015


38

kesehatan. (3). Memampukan (enable) ; agar masyarakat mampu memelihara dan


meningkatkan kesehatan secara mandiri.

2.6.3. Strategi Promosi Kesehatan.


Strategi promosi kesehatan menurut WHO Tahun 1984 terdiri dari : (1). Advokasi
(advocacy) ; agar pembuat kebijakan mengeluarkan peraturan yang menguntungkan
kesehatan. (2). Dukungan Sosial (social support) ; agar kegiatan promosi kesehatan
mendapat dukungan dari tokoh masyarakat. (3). Pemberdayaan Masyarakat
(empowerment) ; agar masyarakat mempunyai kemampuan untuk meningkatkan
kesehatannya. Strategi Promkes menurut piagam Ottawa Tahun 1986 terdiri dari :
(1). Kebijakan Berwawasan Kesehatan, (2). Lingkungan yang Mendukung, (3).
Reorientasi Pelayanan Kesehatan, (4). Keterampilan Individu, dan (5). Gerakan
Masyarakat.

2.6.4. Sasaran Promosi Kesehatan.


(1). Sasaran primer ; sesuai misi pemberdayaan. Misal : kepala keluarga, ibu
hamil/menyusui, anak sekolah. (2). Sasaran sekunder ; sesuai misi dukungan sosial.
Misal: Tokoh masyarakat, tokoh adat, tokoh agama, (3). Sasaran tersier ; sesuai misi
advokasi. misal : Pembuat kebijakan mulai dari pusat sampai ke daerah.

2.7.Peran Perawat Komunitas.


Peran seorang perawat komunitas meliputi prevensi primer, sekunder dan tersier baik
pada level individu, keluarga, maupun masyarakat dalam membantu menyelesaikan
permasalahan kesehatan (Helvie, 1998). Berikut ini peran perawat terkait tumbuh
kembang balita :
2.7.1. Prevensi Primer.
Menurut Potter dan Perry (2003), prevensi primer adalah suatu pencegahan yang
dilakukan sebelum terjadinya suatu penyakit demi meningkatkan derajat kesehatan
untuk berada pada kondisi sehat yang optimal. Target populasi pada level prevensi
primer ini adalah populasi sehat. Strategi yang dapat dilakukan pada level prevensi
primer ini adalah dengan memberikan pendidikan kesehatan. Dalam hal ini perawat
dapat bertindak sebagai educator atau pendidik. Sebagai seorang pendidik, perawat
komunitas harus mampu memberikan informasi kepada keluarga maupun masyarakat

Universitas Indonesia

Penerapan bina..., Neti Hartaty, FIK UI, 2015


39

terkait pentingnya pemantauan serta pemberian stimulasi bagi tumbuh kembang


balita, karena selama ini sebagian besar keluarga dan masyarakat masih menganggap
bahwa tumbuh kembang pada balita adalah sesuatu yang tidak perlu dikhawatirkan
dan akan berjalan dengan sendirinya tanpa harus dihiraukan.

2.7.2. Prevensi Sekunder.


Prevensi sekunder adalah suatu tindakan yang diberikan pada individu yang sedang
sakit untuk mengurangi sakitnya sehingga mendapatkan kondisi yang pulih kembali
(Pender, 1993 ; Edelman & Mandle, 1994 dalam Potter & Perry, 2003). Target
populasi pada level prevensi sekunder ini adalah populasi yang telah mempunyai
tanda dan gejala permasalahan kesehatan. Pada level pencegahan sekunder terkait
masalah tumbuh kembang balita ini perawat komunitas dapat melakukan screening
atau melakukan deteksi secara dini penyimpangan tumbuh kembang balita termasuk
menindaklanjuti setiap keluhan keluarga terhadap masalah tumbuh kembang
balitanya. Jika masalah tumbuh kembang tidak dapat diatasi, dalam hal ini perawat
dapat bertindak sebagai advocate yaitu dengan menindaklanjuti setiap keluhan
orangtua terhadap permasalahan tumbuh kembang anaknya dengan melakukan
rujukan sesuai dengan indikasi guna mendapatkan intervensi lebih lanjut. Selain itu
perawat komunitas juga dapat mengadvokasi para pemegang kebijakan di
masyarakat baik key person desa maupun tingkat Kelurahan dan Kecamatan terkait
penyediaan tempat dan fasilitas bermain yang aman dan nyaman dalam menunjang
tumbuh kembang balita.

2.7.3. Prevensi Tersier.


Prevensi tersier adalah suatu tindakan yang diberikan untuk rehabilitasi atau
meminimalkan dampak negatif akibat masalah kesehatan demi mendapatkan
pemulihan fungsi tubuh (Pender, 1993 ; Edelman & Mandle, 1994 dalam Potter &
Perry, 2003). Target populasi pada level prevensi tersier ini adalah populasi yang
sedang dalam tahap rehabilitasi atau pemulihan. Pada level pencegahan tersier terkait
masalah tumbuh kembang ini perawat komunitas dapat berperan sebagai counselor
bagi keluarga, perawat mendengarkan keluhan klien secara objektif, memberikan
umpan balik dan informasi, membantu klien dalam menyelesaikan masalah serta
mengidentifikasi sumber yang dimiliki oleh klien. Dalam hal ini perawat komunitas
dapat membentuk Self Help Group (SHG) dengan mengumpulkan keluarga yang

Universitas Indonesia

Penerapan bina..., Neti Hartaty, FIK UI, 2015


40

memiliki balita dan memfasilitasi kelompok tersebut agar saling mendukung dalam
mencapai tumbuh kembang balita yang optimal serta mampu menyelesaikan
permasalahan tumbuh kembang yang ditemukan pada balita. Selain itu perawat
komunitas juga dapat berperan sebagai caregiver yaitu dengan membantu keluarga
menstimulasi balita yang mengalami keterlambatan tumbuh kembang.
2.8.Bina Keluarga Balita plus (BKB+).
BKB merupakan wadah bagi keluarga yang memiliki anak balita demi meningkatkan
pemberdayaan orangtua dan anggota keluarga lain dalam meningkatkan kemampuan
membina tumbuh kembang anak. Dalam praktiknya, program ini melakukan
berbagai aktivitas peningkatan pengetahuan dan keterampilan orangtua dalam
mengasuh dan membina tumbuh kembang anak sebagai bagian dari upaya
mempersiapkan keluarga yang berkualitas (BKKBN, 2014). Bornstein (2008) serta
Shonkoff (2009) mengemukakan praktek perawatan keluarga pada anak di usia lima
tahun pertama kehidupannya memiliki pengaruh yang kuat terhadap perkembangan
motorik, bahasa, kognitif dan sosio emosional anak usia balita dan hal ini merupakan
landasan bagi pembangunan masa depan anak.

BKB+ merupakan suatu wadah yang dapat mempersatukan antara kedua program.
Program ini melakukan berbagai aktivitas peningkatan pengetahuan dan
keterampilan orangtua dalam mengasuh dan membina tumbuh kembang anak sebagai
bagian dari upaya mempersiapkan keluarga yang berkualitas. Residen memodifikasi
program ini dengan menerapkan penggunaan KPSP kepada keluarga, terlebih dahulu
perawat mengenalkan dan mengajarkan cara penggunaan KPSP, selanjutnya perawat
meminta keluarga untuk mendeteksi perkembangan balitanya setiap minggu dengan
menggunakan KPSP tersebut, disamping pendeteksian menggunakan KKA oleh
kader pendukung saat pertemuan BKB. Selain itu, dalam kegiatan BKB perawat juga
mengajarkan stimulasi perkembangan sesuai rentang usia, selanjutnya perawat
meminta keluarga setiap hari melakukan stimulasi tersebut di rumah. Selanjutnya
kader maupun petugas kesehatan melakukan kunjungan rumah untuk melihat
pelaksanaan kegiatan stimulasi dan penerapan KPSP yang telah dilakukan oleh
keluarga anggota BKB+ sehari-hari.

2.8.1. Stimulasi tumbuh kembang.

Universitas Indonesia

Penerapan bina..., Neti Hartaty, FIK UI, 2015


41

Stimulasi adalah kegiatan merangsang kemampuan dasar balita usia 0-6 tahun yang
dapat dilakukan oleh orangtua, pengasuh anak, anggota keluarga lainnya dan
kelompok masyarakat di lingkungan rumah tangga dengan tujuan agar anak tumbuh
dan berkembang secara optimal (Kemenkes RI, 2010). Susanto (2011) menyatakan
stimulasi adalah berbagai rangsangan meliputi kesempatan bermain, fasilitas belajar,
cerita, serta dukungan dan keterlibatan orangtua dalam memotivasi anak.
Dreyer (2011) menyatakan stimulasi pertumbuhan terhadap anak dapat dilakukan
dengan menjalani kehidupan yang sehat, seperti menyediakan makanan yang bergizi,
rutinitas makan yang teratur, pola tidur yang baik, berolahraga dan bertanggung
jawab untuk kebersihan pribadi. Nugroho (2009) menyatakan stimulasi yang
memadai ditujukan untuk merangsang otak balita sehingga perkembangan
kemampuan gerak, bicara dan bahasa, sosialisasi dan kemandirian pada balita
berlangsung secara optimal sesuai dengan umur anak.

Menurut Roizen dan Oz (2010) ada tiga kategori utama keterampilan dasar yang
harus distimulasi pada balita. Keterampilan yang pertama adalah keterampilan
berbahasa, keterampilan berbahasa pada balita sangat dipengaruhi oleh kebiasaan
lingkungan keluarga khususnya orangtua dalam berkomunikasi dengan balita, kata-
kata yang sering diucapkan orangtua dalam keseharian baik cadel maupun kata-kata
yang jelas, akan disimpan, diingat dan digunakan oleh balita. Keterampilan yang
kedua adalah keterampilan motorik kasar atau gerakan kasar, keterampilan ini
mencakup semua pergerakan balita dari kepala hingga kaki saat balita belajar
mengarungi dunia dan menggunakan anggota tubuhnya sendiri seperti mengangkat
kepala, berguling, duduk, merangkak, menarik tubuh dan berjalan. Keterampilan
yang ketiga adalah keterampilan motorik halus atau gerakan halus, keterampilan ini
berhubungan dengan koordinasi mata dan tangan. Keterampilan gerakan halus ini
mencakup melakukan kegiatan seperti memegang pensil, bermain piano, puzzle,
plastisin, krayon, lego dan balok. Kemenkes RI (2010) menambahkan satu
keterampilan lagi yaitu keterampilan sosialisasi dan kemandirian. Keterampilan ini
mencakup aspek yang berhubungan dengan kemampuan mandiri balita seperti makan
sendiri, membereskan mainan selesai bermain, berpisah dengan ibu atau pengasuh
balita, bersosialisasi dan berinteraksi dengan lingkungannya dan kemandirian
lainnya.

Universitas Indonesia

Penerapan bina..., Neti Hartaty, FIK UI, 2015


42

Kemenkes RI (2010) menyatakan dalam melakukan stimulasi tumbuh kembang


harus memperhatikan prinsip-prinsip berikut ini : (1) Stimulasi dilakukan dengan
dilandasi rasa cinta dan kasih sayang. (2) Selalu tunjukkan sikap dan perilaku yang
baik karena anak akan meniru tingkah laku orang-orang yang terdekat dengannya.
(3) Berikan stimulasi sesuai dengan kelompok umur anak. (4) Lakukan stimulasi
dengan cara mengajak anak bermain, bernyanyi, bervariasi, menyenangkan tanpa
paksaan dan tidak ada hukuman. (5) Lakukan stimulasi secara bertahap dan
berkelanjutan sesuai umur anak, terhadap keempat aspek kemampuan dasar anak. (6)
Gunakan alat bantu atau permainan yang sederhana, aman dan ada di sekitar anak.
(7) Berikan kesempatan yang sama pada anak laki-laki dan perempuan. (8) Anak
selalu diberi pujian, bila perlu diberi hadiah atas keberhasilannya.

Tabel 2.2
Stimulasi Sesuai Tahapan Usia

Kemampuan Yang Distimulasi

Usia Bicara dan Sosialisasi


Gerak kasar Gerak halus dankemandirian
bahasa
0-3bln  Mengangkat  Melihat,  Berbicara.  Memberi
kepala. meraih dan  Meniru rasa aman
 Berguling. menendang suara dan kasih
 Menahan mainan ocehan sayang.
kepala tetap gantung. bayi.  Mengajak
tegak.  Memperhatikan  Mengenali bayi
benda berbagai tersenyum.
bergerak. suara.  Mengajak
 Melihat benda- bayi
benda kecil. mengamati
 Memegang benda dan
benda. keadaan
 Meraba dan sekitarnya.
merasakan  Meniru
bentuk ocehan dan
permukaan. mimik muka
bayi.
 Mengayun
bayi.
 Menina-
bobokkan

3-6bln  Menyangga  Memegang  Mencari  Bermain


berat. benda dengan sumber cilukba.
 Mengembang kuat. suara.  Melihat
kan kontrol  Memegang  Menirukan dirinya di
terhadap benda dengan kata-kata. kaca.
kepala. kedua tangan.  Berusaha

Universitas Indonesia

Penerapan bina..., Neti Hartaty, FIK UI, 2015


43

 Duduk.  Makan sendiri. meraih


 Mengambil mainan.
benda-benda
kecil.
6-9bln  Merangkak.  Memasukkan  Menyebut  Permainan
 Menarik ke benda ke dalam kan nama bersosialisasi
posisi berdiri. wadah. gambar di
 Berjalan  Bermain buku atau
berpegangan. “genderang”. majalah.
 Berjalan  Memegang alat  Menunjuk
dengan tulis dan dan
bantuan. mencoret-coret. menyebut
 Bermain kan nama
mainan yang gambar-
mengapung di gambar.
air.
 Membuat
bunyi-bunyian.
 Menyembunyik
an dan mencari
mainan.
9-12bln  Bermain bola.  Menyusun  Menirukan  Minum
 Membungkuk. balok atau kata-kata. sendiri dari
 Berjalan kotak.  Berbicara sebuah
sendiri.  Menggambar. dengan cangkir.
 Naik tangga.  Bermain di boneka.  Makan
dapur.  Bersenand bersama.
ung dan  Menarik
bernyanyi. mainan yang
letaknya
agak jauh.

12-15bln  Menarik  Permainan  Membuat  Menirukan


mainan. balok. suara. pekerjaan
 Berjalan  Memasukkan  Menyebut rumah
mundur. dan nama tangga.
 Berjalan naik mengeluarkan bagian  Melepas
dan turun benda. tubuh. pakaian.
tangga.  Memasukkan  Mengajari  Makan
 Berjalan benda yang bicara. sendiri.
sambil satu ke benda  Merawat
berjinjit. lainnya. boneka.
 Menangkap  Pergi ke
dan melempar tempat
bola. umum.

15-18bln  Bermain di  Meniup.  Bercerita  Memeluk


luar rumah.  Membuat tentang dan
 Bermain air. untaian. gambar di mencium.
 Menendang buku atau  Membereska
bola. majalah. n mainan
 Telepon- atau
teleponan. membantu
 Menyebut kegiatan
berbagai dirumah.

Universitas Indonesia

Penerapan bina..., Neti Hartaty, FIK UI, 2015


44

nama  Bermain
barang. dengan
teman
sebaya.
 Permainan
baru.
 Bermain
petak umpet.

18-24bln  Melompat.  Mengenal  Melihat  Mengancingk


 Melatih berbagai acara an kancing
keseimbangan ukuran dan televisi. baju.
tubuh. bentuk.  Mengerjak  Permainan
 Mendorong  Bermain an yang
mainan puzzle. perintah memerlukan
dengan kaki.  Menggambar sederhana. interaksi
wajah atau  Bercerita dengan
bentuk. tentang teman
 Membuat apa yang bermain.
berbagai dilihatnya.  Membuat
bentuk dari rumah-
adonan kue rumahan.
atau lilin  Berpakaian.
mainan.  Memisahkan
diri dengan
anak.

24-36bln  Latihan  Membuat  Menyebut  Melatih


menghadapi gambar nama buang air
rintangan. tempelan. lengkap kecil dan
 Melompat  Memilih dan anak. buang air
jauh. mengelompokk  Bercerita besar di
 Melempar dan an benda tentang toilet.
menangkap. menurut diri anak.  Berdandan.
jenisnya.  Menyebut  Berpakaian.
 Mencocokkan nama
gambar dan berbagai
benda. jenis
 Mengajarkan pakaian.
konsep jumlah.  Menyatak
 Bermain an
menyusun keadaan
balok. suatu
benda.
36-48bln  Menangkap  Memotong.  Berbicara  Mengancingk
bola.  Membuat buku dengan an kancing
 Berjalan cerita gambar anak. tarik.
mengikuti tempel.  Bercerita  Makan pakai
garis lurus.  Menempel mengenai sendok
 Melompat. gambar. dirinya. garpu.
 Melempar  Menjahit.  Cerita  Memasak.
benda-benda  Menggambar album  Mencuci
kecil ke atas. atau menulis. fotoku. tangan dan
 Menirukan  Menghitung.  Mengenal kaki.

Universitas Indonesia

Penerapan bina..., Neti Hartaty, FIK UI, 2015


45

binatang  Menggambar huruf.  Mengenal


berjalan. dengan jari. batasan dan
 Bermain  Menggunakan peraturan.
lampu hijau- cat air.
merah.  Mencampur
warna.
 Membuat
gambar tempel.
48-60bln  Lomba  Konsep tentang  Belajar  Membentuk
karung. separuh atau mengingat kemandirian.
 Main engklek. satu. .  Membuat
 Melompati  Menggambar.  mengenal album
tali.  Mencocokkan huruf dan keluarga.
dan simbol.  Membuat
menghitung.  Mengenal boneka.
 Menggunting. angka.  Menggambar
 Membandingka  Membaca orang.
n besar atau majalah.  Mengikuti
kecil, banyak  Mengenal aturan atau
atau sedikit, musim. petunjuk
berat atau  Ajari anak permainan.
ringan. membuat  Bermain
 Mengajarkan buku kreatif
percobaan kegiatan dengan
ilmiah. keluarga. teman-teman.
 Berkebun.  Mengunju  Bermain
ngi berjualan dan
perpustaka berbelanja di
an. toko.
 Melengka
pi kalimat.
 Bercerita
ketika
saya
masih
kecil.
 Membantu
pekerjaan
di dapur.
Sumber : Kemenkes, 2010.

Penelitian yang dilakukan oleh Nahar, Hossain, Hamadani, Ahmed, Huda, Gregor
dan Persson (2012) menyatakan bahwa pemberian makanan yang sehat serta
ditunjang oleh pemberian stimulasi sangat dibutuhkan oleh anak. Stimulasi yang
dilakukan oleh keluarga baik dari aspek kognitif, afektif maupun psikomotorik akan
membawa dampak positif bagi perkembangan balita (Susanto, 2011).

2.8.2. Kuesioner Pra Skrining Perkembangan (KPSP).

Universitas Indonesia

Penerapan bina..., Neti Hartaty, FIK UI, 2015


46

KPSP merupakan kuesioner untuk mendeteksi perkembangan anak yang selama ini
diperuntukkan bagi tenaga kesehatan, guru TK dan petugas PADU terlatih. Tujuan
skrining atau pemeriksaan perkembangan anak menggunakan KPSP adalah untuk
mengetahui perkembangan anak normal atau ada penyimpangan.

Optimalisasi penggunaan KPSP pada keluarga dapat dijadikan sebagai pencegahan


gangguan perkembangan pada anak. Hidayat (2010) mengidentifikasi mengenai
deteksi dini perkembangan anak yang seringkali terlambat karena kurangnya
pengetahuan dan persepsi orang tua terhadap perkembangan anak dan program
deteksi pertumbuhan dan perkembangan selama ini masih pada tingkat personil
kesehatan seperti dokter, perawat dan bidan padahal dengan rasio praktisi kesehatan
dan masyarakat tidak sesuai dengan standar optimal pelayanan kesehatan yang
diberikan. Hasil penelitian didapatkan bahwa KPSP yang dilakukan oleh keluarga
yang sudah dilatih dengan baik dapat membantu deteksi dini perkembangan sehingga
keterlambatan perkembangan pada anak dapat dideteksi sejak dini. Memberikan
pelatihan kepada keluarga mengenai cara menggunakan KPSP, dapat dijadikan
sebagai langkah awal untuk mencegah gangguan perkembangan pada anak
(Maritalia, 2013).

Universitas Indonesia

Penerapan bina..., Neti Hartaty, FIK UI, 2015


47

BAB III
KERANGKA KERJA, PROFIL WILAYAH DAN
MODEL INOVASI

Bab ini menguraikan kerangka kerja yang mendasari praktik keperawatan komunitas
pada agregat balita dengan tumbuh kembang. Kerangka kerja merupakan dasar
pemikiran untuk suatu penelitian yang akan dilakukan yang dikembangkan
berdasarkan teori yang mendukung dan dibuat dalam bentuk diagram yang
menunjukkan jenis dan hubungan antar variabel. Kerangka kerja praktik residensi ini
merupakan integrasi dari teori manajemen keperawatan, Family Centered Nursing
(FCN) dan Community As Partner (CAP).

3.1.Kerangka Kerja.
Praktik residensi keperawatan komunitas ini dilakukan di kelurahan Sukamaju Baru
kecamatan Tapos Kota Depok. Fokus dari praktik adalah pada agregat balita dengan
permasalahan tumbuh kembang. Praktik residensi ini merupakan gabungan dari
praktik manajemen pelayanan kesehatan, asuhan keperawatan keluarga dan asuhan
keperawatan komunitas.

Pengkajian pada praktik ini menggunakan model teori konseptual Betty Neuman
pada tahun 1972 dan telah dikembangkan oleh Anderson dan Mc Farlane. 1988,
yaitu model pengkajian Community As Partner. Model ini sangat cocok dipakai pada
aplikasi keperawatan komunitas dengan luas wilayah, lokasi, sumber sumber yang
dimiliki atau karakteristik populasi tertentu. Model ini memiliki dua fokus yaitu
komunitas sebagai partner dan proses keperawatan. Selain itu model ini metodenya
melibatkan masyarakat untuk berpartisipasi aktif dalam upaya meningkatkan
kesehatannya. Model pengkajian ini memiliki dua komponen utama yaitu inti
masyarakat (core community) dan 8 sub sistem. Pengkajian pada inti masyarakat
difokuskan pada data demografi (karakteristik balita yang terdiri dari umur, jenis
kelamin), vital statistik, etnik, nilai dan kepercayaan. Sedangkan pada sub sistem
difokuskan pada pelayanan kesehatan dan sosial, komunikasi, ekonomi, pendidikan,
lingkungan fisik, keamanan dan transportasi, politik dan pemerintahan serta rekreasi.

Universitas Indonesia

Penerapan bina..., Neti Hartaty, FIK UI, 2015


48

Model lain yang diintegrasikan dalam praktik residensi keperawatan komunitas ini
adalah model manajemen POSAC dan family Centered Nursing (FCN). Model
manajemen POSAC difokuskan pada perencanaan (Planning), pengorganisasian
(Organizing), personalia (Staffing), pengarahan (Actuating) dan pengawasan
(Controling). Kerangka kerja pada praktik residensi keperawatan ini terdiri dari
input, proses dan output.

Input merupakan tahap pengkajian manajemen pelayanan kesehatan, asuhan


keperawatan komunitas dan asuhan keperwatan keluarga yang dilakukan di
kelurahan Sukamaju Baru kecamatan Tapos Kota Depok. Proses merupakan tahapan
dilakukannya perumusan masalah dan intervensi keperawatan. Pada tahap ini
intervensi berupa penerapan program Bina Keluarga Balita Plus (BKB+), sedangkan
output adalah tahap untuk melihat hasil yang diharapkan dari intervensi manajemen
pelayanan kesehatan, asuhan keperawatan komunitas dan asuhan keperawatan
keluarga yang telah dilakukan. Kerangka kerja manajemen pelayanan kesehatan,
asuhan keperawatan komunitas dan asuhan keperawatan keluarga dapat dilihat pada
skema 3.1. berikut ini :

Universitas Indonesia

Penerapan bina..., Neti Hartaty, FIK UI, 2015


Proses 49
Input Output
Manajemen Pelayanan Kesehatan :
Puskesmas - Perencanaan ; menyusun rencana
Pengkajian program, sarana dan prasarana, - Kelompok
CAP media pendukung
- Pengorganisasian ; pembentukan pembinaan tumbuh
Core/inti : kembang balita.
- Sejarah ; riwayat kelahiran, status gizi balita kelompok pendukung dan BKB+
- Peningkatan
- Demografi ; karakteristikbalita ; usia, jenis - Personalia ; rekrutmen dan pengetahuan, sikap
Kader/Key tupoksi
kelamin dan perilaku kader
person, - Pengarahan ; pelatihan kader, terkait tumbuh
- Vital statistik ; morbiditas dan mortalitas
Keluarga supervisi kembang balita.
- Etnik ; budaya dan kebiasaan hidup
balita - Pengawasan ; monitoring dan - Rutinitas kegiatan
- Nilai dan keyakinan keluarga terkait evaluasi kegiatan pertemuan kelompok
kesehatan pendukung setiap
Integrasi dengan FCN Masalah bulannya.
- Data umum keluarga keperawata - Melakukan pengisian
n terkait KKA dengan baik
- Tipe keluarga dan benar.
- Struktur peran tumbuh
Asuhan Keperawatan Komunitas : - Terbentuknya BKB+.
- Fungsi keluarga kembang - Rutinitas kegiatan
balita : Masyarakat, - Penkes tumbuh kembang balita.
Sub sistem : BKB+ setiap
- Penkes stimulasi tumbuh bulannya.
- Yankes dan yansos : layanan kesehatan Keluarga
- Masalah kembang balita - Pemberdayaan
balita dengan tumbuh kembang. BKB + yang - Penyebaran leaflet tumbuh
manajemen memiliki
kelompok pendukung
- Politik dan Pemerintahan : PERDA Kota kembang sebagai fasilitator
pelayanan balita
layak anak dan program Dinkes Tahun 2015 - Stimulasi perkembangan BKB+
KIBBLA. - Masalah - Terapi bermain - Peningkatan
- Pendidikan : pendidikan kesehatan terkait - Pijat bayi pengetahuan, sikap
askep dan perilaku anggota
tumbuh kembang balita keluarga. BKB+ terkait tumbuh
- Ekonomi ; pembiayaan untuk perawatan kembang balita.
- Rekreasi ; waktu luang yang digunakan - Masalah - Stimulasi
untuk mendukung tumbuh kembang balita askep perkembangan dalam
Integrasi dengan FCN komunitas. kehidupan sehari-
Asuhan Keperawatan Keluarga :
hari.
- Pola komunikasi keluarga - Skrining tumbuh kembang - Keluarga
- Stress dan koping keluarga - Penkes tumbuh kembang balita. menggunakan KPSP
- Ekonomi keluarga - Penkes stimulasi tumbuh untuk mendeteksi
Integrasi dengan manajemen yankes kembang balita tumbuh kembang
- Perencanaan : program, visi dan misi Keluarga - Pelatihan serta penerapan balitanya.
balita & penggunaan KPSP di keluarga. - Peningkatan
- Pengorganisasian ; struktur dan tupoksi, kemampuan
koordinasi balita yang - Stimulasi perkembangan.
- Pijat bayi. pertumbuhan dan
- Personalia ; rekrutmen, pengembangan staf mengalami perkembangan balita.
- Pengarahan ; coaching, supervisi dan Penerapan bina..., Neti Hartaty, FIK UI, 2015 - Terapi bermain
masalah - Terjadi peningkatan
tumbuh - Konseling. kemandirian keluarga
motivasi.
50

3.2.Profil Wilayah Kelurahan Sukamaju Baru.


Pengkajian pada praktik residensi ini dilakukan dengan menggunakan metode
Windshield Survey, data sekunder, wawancara dan observasi di kelurahan Sukamaju
Baru. Dibawah ini akan diuraikan hasil pengkajian yang telah dilakukan terkait profil
dari wilayah kelurahan Sukamaju Baru :

Berdasarkan letak georafis, Kelurahan Sukamaju Baru berada di bawah naungan


Kecamatan Tapos. Luas Kelurahan Sukamaju Baru adalah: ± 300,468 Ha. Dengan
batas wilayah sebelah timur berbatasan dengan Jalan Raya Bogor, sebelah barat
berbatasan dengan Kelurahan Jati Jajar, sebelah utara berbatasan dengan Kelurahan
Curug/ Sukatani, sebelah selatan berbatasan dengan Kelurahan Tapos/Cilangkap.
Data Demografi didapatkan jumlah Kepala Keluarga (KK) sebanyak 9109 KK
dengan jumlah penduduk sebesar 31.987 Jiwa. Diantaranya terdiri dari anak balita
yang berjumlah : 2.572 Jiwa.

Kelurahan Sukamaju Baru Kecamatan Tapos Kota Depok memiliki 15 RW. RW 11,
12, 13 dan 14 merupakan pemukiman Komplek Perumahan Angkatan Darat
(KPAD). Meskipun antara rumah yang satu dan lainnya saling berdempetan namun
jalan komplek cukup lebar sehingga dapat digunakan sebagai area bermain anak-
anak. Berbeda halnya dengan RW 1, 2, 3, 4, 5, 6, 7, 8, 9, 10 dan 15, pemukiman ini
sangat padat, rumah yang satu dan lainnya saling berdekatan bahkan saling
berdempetan, hanya ada gang kecil yang hanya dapat dilalui oleh sepeda motor, jalan
yang sedikit agak lebar hanya jalan penghubung antar RW dengan kondisi jalan yang
sebagian besar berlubang. Di pemukiman ini tidak ada lapangan atau area khusus
untuk bermain bagi anak-anak, anak-anak bermain di jalan. Sumber pencemaran
utama di wilayah ini adalah polusi udara dari kendaraan bermotor dan debu jalanan.

Kelurahan Sukamaju Baru memiliki fasilitas pelayanan kesehatan dan sosial


diantaranya yakni pusat kesehatan masyarakat (Puskesmas) Sukamaju Baru,
Posyandu dan Posbindu, tim penggerak PKK. Keluarga yang memiliki balita
membawa balitanya ke posyandu setiap bulannya untuk menimbang dan
mendapatkan imunisasi. Jika petugas kesehatan kehabisan alat untuk melakukan
imunisasi saat posyandu, ibu balita disarankan untuk langsung datang ke Puskemas,
namun biasanya masyarakat yang letak RW nya jauh dari Puskesmas tidak

Universitas Indonesia

Penerapan bina..., Neti Hartaty, FIK UI, 2015


51

mengindahkan hal tersebut, mereka mengeluhkan terkendala oleh transportasi, hanya


jika balita sakit keluarga membawanya ke Puskesmas terdekat yaitu Sukamaju Baru.

Kota Depok telah menunjukkan perhatiannya terkait tumbuh kembang anak, hal ini
terlihat dari diterbitkannya Peraturan Daerah (PERDA) tentang penyelenggaraan
kota layak anak. Tahun 2015 ini Kota Depok juga sudah mengeluarkan program
khusus terkait kesehatan mulai dari ibu, bayi baru lahir, bayi dan balita atau disingkat
dengan sebutan KIBBLA. Pengembangan puskesmas Sukamaju Baru dari status
puskemas pembantu menjadi puskemas Kelurahan membuat banyak hal yang harus
dibenahi. Sebagian arsip masih di puskesmas Sukatani. Kurangnya staf di puskemas
Sukamaju baru tidak sebanding dengan banyaknya program dari Dinas Kesehatan,
sehingga setiap staf memiliki peran ganda, hal ini menyebabkan tidak fokusnya staf
pada salah satu program. Mutasi staf antar puskesmas juga menjadi hambatan bagi
staf untuk fokus pada program yang sedang dijalankannya.

Sarana transportasi masyarakat Kelurahan Sukamaju Baru cukup memadai. Ada


warga yang memiliki transportasi mobil pribadi, meskipun mobil tersebut harus
diparkir jauh dari rumah karena keterbatasan lahan, namun parkir yang tersedia
cukup aman. Sebagian besar warga memiliki sepeda motor dan sepeda. Transportasi
yang paling banyak tersedia di wilayah ini adalah ojek. Biasanya yang paling banyak
menggunakan ojek adalah kaum wanita baik sebagai sarana penghubung ke RW
lainnya, maupun menuju ke Jalan raya Bogor untuk menyambung angkutan kota
(angkot). Jalan yang di kelurahan Sukamaju baru berupa jalan aspal dan jalan beton,
namun masih ada sebagian jalan yang berlubang. Karena letak Puskesmas Sukamaju
baru di pemukiman KPAD, warga dari RW yang jauh seperti RW 6, 8, 9 dan 10
sedikit memiliki kendala untuk menjangkau Puskesmas Sukamaju baru tersebut, hal
ini dikarenakan belum adanya sarana angkutan umum yang beroperasi antar RW,
sedangkan untuk menggunakan ojek butuh biaya yang lebih besar. Dalam hal
keamanan, masyarakat secara mandiri mendirikan pos keamanan atau pos ronda yang
umumnya ada di tiap RT atau RW.

Tingkat perekonomian masyarakat di kelurahan Sukamaju Baru ini berada pada


tingkat ekonomi menengah ke bawah. Sebagian besar penghasilan warga masih
dibawah Upah Minimum Regional (UMR). Tulang punggung keluarga masih

Universitas Indonesia

Penerapan bina..., Neti Hartaty, FIK UI, 2015


52

bertumpu pada laki-laki sebagai suami sekaligus ayah. Sebagian besar kaum wanita
khususnya para ibu hanya menjadi ibu rumah tangga menjaga anak di rumah.

Sebagian besar warga menggunakan telepon seluler sebagai media komunikasi


utama. Selain itu warga juga mengandalkan televisi sebagai sarana informasi.
Pengeras suara yang ada di sarana ibadah seperti mesjid dan mushalla sering
digunakan untuk penyampaian informasi ke warga seperti waktu pelaksanaan
posyandu atau kegiatan pertemuan lainnya.

Berdasarkan hasil wawancara yang residen lakukan terhadap sebagian masyarakat


Kelurahan Sukamaju Baru dan Focus Group Discussion (FGD) yang residen lakukan
terhadap keluarga yang memiliki balita di Kelurahan Sukamaju Baru belum
mengetahui tentang tumbuh kembang balita, keluarga belum pernah mendapatkan
penyuluhan khusus mengenai tumbuh kembang balita, hanya sedikit yang disinggung
saat penyuluhan gizi pada balita. Selama ini keluarga balita mempunyai sikap yang
kurang baik terhadap tumbuh kembang balita, keluarga menganggap tumbuh
kembang pada balita adalah sesuatu yang biasa dan pasti berjalan seiring waktu
sehingga tidak perlu dihiraukan. Dalam kehidupan sehari-hari keluarga berperilaku
kurang baik terhadap tumbuh kembang balita, salah satu contoh perilaku yang
dilakukan yaitu sebagian besar keluarga berbicara “cadel” saat berkomunikasi
dengan balita.

Di wilayah Kelurahan Sukamaju Baru tidak tersedia sarana atau tempat rekreasi.
Padahal dengan tersedianya sarana rekreasi di wilayah ini sangat bermanfaat dalam
memenuhi dan mengoptimalkan tumbuh kembang Balita. Selama ini keluarga jarang
sekali melakukan rekreasi, keluarga berekreasi hanya jika mempunyai uang lebih,
tempat yang dituju biasanya kebun raya Bogor ataupun kebun binatang ragunan
Jakarta. Sebagian besar keluarga hanya memanfaatkan menonton televisi sebagai
sarana rekreasi keluarga.

3.3.Model Inovasi.
Inovasi yang residen lakukan menggunakan integrasi dari 3 (tiga) model, yaitu
Family Centered Nursing (FCN), Community As Partner (CAP) dan manajemen

Universitas Indonesia

Penerapan bina..., Neti Hartaty, FIK UI, 2015


53

POSAC. Aktivitas ini diwujudkan melalui strategi intervensi program yang meliputi
pendidikan kesehatan, proses kelompok dan empowerment (gerakan pemberdayaan).

Pendidikan kesehatan dilakukan dengan memberikan pengetahuan tentang tumbuh


kembang balita, stimulasi tumbuh kembang balita serta cara mendeteksi tumbuh
kembang balita yang seharusnya lebih efektif jika dilakukan oleh keluarga. Keluarga
sebagai unit dasar dari masyarakat mempunyai peranan penting dalam memantau
pertumbuhan dan perkembangan balita, karena keluarga merupakan entry point
dalam memberikan stimulasi agar tumbuh kembang balita optimal serta melakukan
deteksi agar penyimpangan tumbuh kembang pada balita dapat diketahui sedini
mungkin.

Pembentukan kelompok merupakan suatu bentuk intervensi keperawatan komunitas,


pembentukan kelompok dapat bekerjasama dengan kelompok yang telah ada untuk
meningkatkan kualitas kerja (Stanhope & Lancaster, 2014). Residen mengawali
pembentukan kelompok dengan membentuk kelompok pendukung tumbuh kembang
balita yang terdiri dari kader posyandu, ibu RT dan ibu RW. Hal ini merupakan
langkah awal dalam memfasilitasi pembinaan tumbuh kembang balita di wilayah.

Stanhope dan Lancaster (2014) juga menyatakan pembentukan kelompok sebagai


suatu bentuk intervensi keperawatan komunitas juga dapat melibatkan keluarga,
masyarakat, serta kelompok berisiko. Residen bersama dengan kelompok pendukung
tumbuh kembang balita selanjutnya membentuk suatu wadah kegiatan keluarga yang
memiliki anak usia balita dengan memberdayakan orangtua dan anggota keluarga
lainnya dalam meningkatkan kemampuan membina tumbuh kembang balita melalui
penerapan kegiatan Bina Keluarga Balita plus (BKB+).

Selanjutnya dilakukan gerakan pemberdayaan melalui proses pemberian informasi


secara terus-menerus dan berkesinambungan mengikuti perkembangan kelompok,
serta proses membantu kelompok agar berubah dari tidak tahu menjadi tahu atau
sadar (aspek knowledge), dari tahu menjadi mau (aspek attitude) dan dari mau
menjadi mampu melaksanakan perilaku yang diperkenalkan (aspek practice) terkait
tumbuh kembang balita.

Universitas Indonesia

Penerapan bina..., Neti Hartaty, FIK UI, 2015


54

BAB IV
PELAKSANAAN

Bab ini menguraikan tentang analisis situasi manajemen pelayanan keperawatan


komunitas, asuhan keperawatan keluarga dan asuhan keperawatan komunitas pada
agregat balita dengan tumbuh kembang.

4.1. Pengelolaan Manajemen Pelayanan Keperawatan Komunitas.


4.1.1. Analisis Situasi.
Pengelolaan manajemen pelayanan keperawatan komunitas terkait permasalahan
tumbuh kembang balita dimulai dengan melakukan analisis situasi berdasarkan hasil
pengkajian pelaksanaan fungsi manajemen pelayanan kesehatan. Analisis
manajemen terkait dengan pelaksanaan manajemen pelayanan keperawatan
komunitas pada balita dengan tumbuh kembang harus dilakukan untuk mengevaluasi
efektifitas pelaksanaan program. Keefektifan dari program yang dilaksanakan dapat
tergambar pada sejauh mana kelebihan dan kekurangan dari program sehingga dapat
dilakukan perbaikan. Hasil analisis ini dapat menjadi bahan acuan bagi pembuatan
program kesehatan balita khususnya balita dengan tumbuh kembang serta kebijakan
yang akan dilakukan selanjutnya.

Analisis yang residen gunakan dalam menganalisis manajemen pelayanan kesehatan


pada balita dengan tumbuh kembang menggunakan metode analisis fish bone.
Metode analisis tersebut memiliki ruang lingkup pada 5 (lima) fungsi manajemen
yang dikemukakan oleh Marquis dan Huston (2011) yaitu fungsi planning
(perencanaan), fungsi organizing (pengorganisasian), fungsi staffing
(kepersonaliaan), fungsi actuating (pengarahan) dan fungsi controlling (pengawasan)
pada pelaksanaan program.

Analisis dimulai dari Dinas Kesehatan Kota Depok sebagai pemeran utama dalam
melakukan pembinaan program tumbuh kembang balita sekaligus sebagai
perpanjangan tangan dari pemerintahan kota Depok. Selanjutnya operasional
kegiatan yang dilakukan oleh Puskesmas Sukamaju Baru sampai dengan pelaksanaan
kegiatan di tingkat Kelurahan Sukamaju Baru. Data dari hasil analisis menjadi dasar

Universitas Indonesia

Penerapan bina..., Neti Hartaty, FIK UI, 2015


55

dari perumusan masalah. Rumusan ini yang menjadi pedoman dalam menetapkan
suatu program manajemen keperawatan.

4.1.1.1. Planning (perencanaan).


Dinas Kesehatan Kota Depok sebagai salah satu perangkat Daerah Kota Depok yang
diresmikan melalui penetapan Surat Keputusan Walikota Depok Nomor 9 Tahun
1999 tanggal 18 Mei 1999 serta seiring dengan pembentukan Pemerintah Kota
Depok yang ditetapkan berdasarkan Undang-undang No. 15 Tahun 1999,
mempunyai tugas melaksanakan kewenangan otonomi daerah di bidang kesehatan
dan dalam pelaksanaan tugasnya mempunyai fungsi : 1. Perumusan kebijakan teknis
di bidang kesehatan ; 2. Pemberian perijinan dan pelaksanaan pelayanan umum ;
3. Pembinaan terhadap Unit Pelaksana Teknis Dinas dan Cabang Dinas di Bidang
Kesehatan dan 4. Pengelolaan Urusan Ketatausahaan.

Dinas Kesehatan Kota Depok merupakan regulator utama di bidang kesehatan dalam
rangka mewujudkan keberhasilan pemerintahan Kota Depok terkait bidang
kesehatan, dengan mendukung visi terwujudnya Kota Depok sehat dengan layanan
kesehatan merata dan berkualitas. Untuk mewujudkan capaian visi tersebut maka
ditetapkanlah misi yakni meningkatkan pemerataan layanan kesehatan,
meningkatkan kualitas layanan kesehatan untuk semua Puskesmas, meningkatkan
kualitas sumber daya termasuk sumber daya manusia dan pembiayaan kesehatan
serta meningkatkan promosi kesehatan dan kualitas lingkungan untuk mendukung
pencegahan penyakit.

Salah satu fokus pemerintah Kota Depok adalah dengan mengeluarkan sebuah
Peraturan Daerah tentang penyelenggaraan kota layak anak. Kota layak anak adalah
kota yang memiliki sistem pembangunan dan pelayanan publik dari pemerintah kota
dengan dukungan dari orang tua, keluarga, masyarakat, swasta dan forum anak guna
pemenuhan hak anak melalui pengintegrasian komitmen dan sumber daya yang
terencana secara menyeluruh dan berkelanjutan melalui kebijakan, program, kegiatan
dan penganggaran untuk kesejahteraan anak. Selain itu pada Tahun 2015 ini Kota
Depok juga sudah mengeluarkan program khusus terkait kesehatan mulai dari ibu,
bayi baru lahir, bayi dan balita atau disingkat dengan sebutan KIBBLA.

Universitas Indonesia

Penerapan bina..., Neti Hartaty, FIK UI, 2015


56

Dalam mewujudkan visi, misi dan peraturan pemerintah daerah Kota Depok, tugas
pokok dan fungsi (tupoksi) Dinas Kesehatan memegang peranan penting. Tugas
pokok Dinas Kesehatan Kota Depok dilaksanakan oleh bagian atau bidang-bidang
dan sub bagian serta seksi yang pada kesemuanya memiliki tugas pokok masing-
masing. Salah satu bidangnya adalah bidang pelayanan kesehatan masyarakat yang
dalam hal ini membawahi seksi kesehatan keluarga dan gizi. Seksi ini salah satunya
mempunyai tugas pokok melaksanakan urusan pemerintahan di bidang peningkatan
pengawasan dan akuntabilitas peningkatan pelayanan kesehatan ibu dan kesehatan
anak.

Kegiatan terkait pembinaan tumbuh kembang balita yang telah lama dicanangkan
oleh Kementerian Kesehatan Republik Indonesia (Kemenkes RI) adalah kegiatan
Stimulasi, Deteksi, Intervensi Dini Tumbuh Kembang (SDIDTK). Perencanaan
program SDIDTK telah direncanakan dengan baik, hal ini dapat dilihat dari telah
disusunnya buku pedoman pelaksanaan SDIDTK yang diperuntukkan untuk tingkat
pelayanan kesehatan dasar. Namun dalam perjalanannya SDIDTK masih
dinomorduakan karena banyak program lainnya yang menjadi prioritas.

Hasil wawancara yang residen lakukan dengan Kepala Seksi Kesehatan Keluarga
dan Gizi didapatkan bahwa pernah melakukan pelatihan kelas ibu balita pada Tahun
2014 untuk 20 (dua puluh) orang tenaga kesehatan yang terdiri dari perawat dan
bidan. Hasil wawancara yang residen lakukan dengan pemegang program SDIDTK
didapatkan bahwa perencanaan terkait tumbuh kembang balita sering terkendala oleh
dana, terkadang harus menunggu sisa dana dari bidang lainnya mengingat SDIDTK
ini bukan merupakan program prioritas sehingga anggarannya tidaklah sebesar
anggaran prioritas yaitu gizi.

Perencanaan program yang telah direncanakan dan dibuat oleh penanggung jawab
program di Dinas Kesehatan Kota Depok dilaksanakan oleh Puskesmas di wilayah
kota Depok, salah satunya adalah Puskesmas Sukamaju Baru. Namun hasil
wawancara dengan pemegang program SDIDTK di Puskesmas Sukamaju Baru
menyatakan tidak ada kegiatan khusus yang dilakukan terkait SDIDTK. Deteksi
hanya dilakukan jika ada pelaporan dari kader terkait adanya gangguan pertumbuhan
fisik pada balita, biasanya hal yang selanjutnya dilakukan adalah menganjurkan

Universitas Indonesia

Penerapan bina..., Neti Hartaty, FIK UI, 2015


57

keluarga untuk membawa dan memeriksakan balitanya ke Rumah Sakit tumbuh


kembang.

Hasil wawancara yang residen lakukan dengan kader posyandu didapatkan data
bahwa kader tidak mengetahui ada kegiatan khusus terkait pembinaan tumbuh
kembang balita. Sepemahaman kader, kegiatan tentang balita hanyalah posyandu saja
yang didalamnya ada pemeriksaan terkait pertumbuhan balita dan pengisian KMS.
Oleh karena itu kader merasa kebingungan pada saat dibagikan kartu baru yang
hampir serupa dengan KMS yaitu KKA. KKA adalah Kartu Kembang Anak. KKA
tersebut dibagikan oleh Badan Pemberdayaan Masyarakat dan Keluarga (BPMK)
Kota Depok. Kader diminta untuk mulai mengisi KKA tersebut terhitung sejak Bulan
Januari 2015, sosialisasi dan pelatihan dari BPMK akan menyusul. Hal ini
menyebabkan seluruh kader mengeluhkan kebingungan karena terlebih dahulu tidak
diberikan penjelasan dan pelatihan mengenai cara pengisian kartunya.

Berdasarkan uraian diatas, fungsi perencanaan pembinaan tumbuh kembang balita


yang belum berjalan dengan baik yaitu : 1). Kegiatan pembinaan tumbuh kembang
balita belum menjadi prioritas; 2). Terbatasnya anggaran untuk pembinaan tumbuh
kembang balita; 3). Perlu meningkatkan integrasi atau koordinasi lintas sektor.

4.1.1.2. Organizing (pengorganisasian).


Struktur organisasi di Dinas Kesehatan Kota Depok sudah memiliki jalur koordinasi
yang jelas mulai dari kepala dinas sampai dengan staf. Kepala Dinas Kesehatan
dibantu oleh 4 (empat) orang kepala bidang yang meliputi bidang pelayanan
kesehatan masyarakat, bidang pengembangan sumber daya kesehatan, bidang
pengendalian pencegahan penyakit dan penyehatan lingkungan serta bidang
perbekalan kesehatan dan POM. Setiap bidang tersebut mempunyai seksi-seksi, dan
setiap seksi dibagi menjadi beberapa pemegang program.

Bidang pelayanan kesehatan masyarakat yang membawahi seksi kesehatan keluarga


dan gizi juga membagi struktur organisasi berdasarkan pemegang program, mulai
dari pemegang program ibu, bayi dan balita, anak usia sekolah, remaja, dewasa,
lansia dan perbaikan gizi. Pembagian-pembagian tersebut memperlihatkan bahwa
dari bermacam-macam sasaran dan program dalam kesehatan keluarga telah dibagi

Universitas Indonesia

Penerapan bina..., Neti Hartaty, FIK UI, 2015


58

sesuai dengan kekhususan masing-masing. Namun yang masih menjadi kendala


adalah pemegang program berdasarkan agregat tersebut tidak hanya berfokus pada
satu program saja melainkan program-program lainnya dalam agregatnya, seperti
contoh satu orang pemegang program anak yang selain memegang program SDIDTK
juga memegang program gizi balita. Hal ini tentunya berdampak pada kurang
maksimalnya pemegang program dalam menjalankan masing-masing program. Hal
ini terlihat dari adanya pemilihan skala prioritas dari beberapa program yang ada
yang berdampak pada kurang maksimalnya kegiatan pada program yang tidak
menjadi prioritas.

Permasalahan yang sama namun lebih rumit terlihat pada lingkup kerja Puskesmas
Sukamaju Baru. Puskesmas Sukamaju Baru yang merupakan pemekaran dari
puskesmas Sukatani ini sudah mempunyai struktur organisasi, namun dikarenakan
kekurangan sumber daya manusia mengakibatkan sebagian besar program masih
tumpang tindih, bahkan terjadi tumpang tindih antara pemegang program agregat
yang satu dengan agregat lainnya. Hasil wawancara dengan staf Puskesmas
Sukamaju Baru didapatkan bahwa pemegang program SDIDTK juga memegang
program lansia.

Pada tingkat Kelurahan Sukamaju Baru, pengorganisasian dalam kegiatan posyandu


sudah berjalan dengan baik. Sebagian besar kader terlihat aktif melaksanakan
kegiatan posyandu dengan rutin setiap bulannya. Namun yang masih dirasakan
kurang adalah fokus kegiatan posyandu masih berkisar pada pertumbuhan saja,
seperti penimbangan berat badan, pengukuran tinggi badan serta pemberian makanan
tambahan. Tidak terlihat pelaksanaan kegiatan perkembangan yang mencakup bagian
dari SDIDTK. Jika pada kegiatan posyandu tidak memungkinkan melaksanakan
kegiatan perkembangan, suatu wadah yang memfasilitasi pembinaan perkembangan
balita juga belum terbentuk di seluruh wilayah Kelurahan Sukamaju Baru.

BKB merupakan program dari BKKBN. Di tingkat wilayah Kota Depok dinamakan
dengan BPMK. Dinas Kesehatan dan BPMK mempunyai kapasitas masing-masing
dalam pembinaan tumbuh kembang balita, BPMK memfasilitasi program sedangkan
Dinas Kesehatan yang membawahi tenaga kesehatan dalam hal ini berperan sebagai
pelaksananya yakni dengan menurunkan tenaga kesehatan dalam melakukan

Universitas Indonesia

Penerapan bina..., Neti Hartaty, FIK UI, 2015


59

pembinaan program BPMK di wilayah. Namun masih terlihat kurangnya koordinasi


antara kedua instansi ini, hal ini terlihat pada sebagian besar wilayah khususnya pada
seluruh Kelurahan Sukamaju Baru, program stimulasi dan BKB belum berjalan.

Berdasarkan uraian diatas, fungsi pengorganisasian pembinaan tumbuh kembang


balita yang belum berjalan dengan baik yaitu : 1). Pengorganisasian pembinaan
tumbuh kembang balita belum maksimal; 2). Perlu peningkatan koordinasi dan
bersinergi dalam mengelola program pembinaan tumbuh kembang Dinas Kesehatan
dan BPMK.

4.1.1.3. Staffing (ketenagaan/personalia).


Penempatan seorang staf di Dinas Kesehatan Kota Depok diatur oleh Kepala dinas
dengan berkoordinasi pada pihak terkait berdasarkan pada kebutuhan dan
kekosongan posisi dengan mempertimbangkan keilmuan calon staf untuk posisi
tersebut. Sebagian besar latar belakang pendidikan pemegang program disesuaikan
dengan program yang dibebankan. Namun pengembangan diri staf berupa
penambahan jenjang pendidikan yang lebih tinggi masih sulit dilakukan karena
belum ada kebijakan terkait hal tersebut. Hasil wawancara residen dengan beberapa
staf didapatkan data bahwa ada keinginan dari beberapa orang staf untuk
melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi namun terlebih dahulu harus
menempuh proses seleksi baik dari segi usia maupun lamanya bekerja. Keterbatasan
staf menjadi alasan utama sehingga tidak memberikan izin tersebut. Keterbatasan
sumber daya manusia juga menjadi alasan utama pemegang program dibebankan
lebih dari satu program. Selain itu tingginya angka mutasi juga menyebabkan tidak
maksimalnya pengelolaan suatu program yang sedang dijalankan.

Hal serupa juga terjadi di Puskesmas Sukamaju Baru, terlebih puskesmas ini baru
berpisah dari Puskesmas Sukatani dan memiliki jumlah staf yang sedikit. Satu orang
staf memegang lebih dari 2 agregat dan program. Hal ini menjadikan sebagian besar
program berjalan tidak maksimal. Hasil wawancara dengan kader posyandu
didapatkan data bahwa selama ini kader hanya melakukan pembinaan gizi saja.
Kader belum disosialisasikan mengenai peran dan fungsinya dalam melakukan
pembinaan tumbuh kembang balita.

Universitas Indonesia

Penerapan bina..., Neti Hartaty, FIK UI, 2015


60

Berdasarkan uraian diatas, fungsi ketenagaan pembinaan tumbuh kembang balita


yang belum berjalan dengan baik yaitu : 1). Pengembangan pendidikan formal SDM
Dinkes dan Puskesmas sangat terbatas; 2). Jumlah pegawai Puskesmas masih kurang;
3). Beratnya beban kerja SDM puskesmas; 4). Kader hanya berperan dalam
melakukan pemantauan status gizi balita.

4.1.1.4. Directing (pengarahan).


Hasil wawancara yang residen lakukan dengan penanggung jawab dari program
balita di Dinas kesehatan Kota Depok mengatakan bahwa pemberian pengarahan
selalu dilakukan di lingkup kerja. Pengarahan dilakukan secara bertingkat mulai dari
Kepala Bidang kepada Kepala Seksi, dan Kepala Seksi Kesehatan Keluarga dan Gizi
kepada penanggung jawab program kesehatan balita yang selanjutnya diteruskan
kepada penanggung jawab program kesehatan balita di tingkat Puskesmas Sukamaju
Baru. Namun pengarahan terkait program tumbuh kembang khususnya, masih belum
dilaksanakan. Hal ini diperkuat dengan pernyataan kader yang mengatakan selama
ini belum pernah diberikan pengarahan terkait peran dan fungsi kader dalam
melakukan pembinaan tumbuh kembang balita di wilayah masing-masing.

Pemberian motivasi juga selalu dilakukan oleh kepala Dinas Kesehatan atau yang
mewakili. Pemberian motivasi tersebut biasanya berupa anjuran agar dapat
menuntaskan target kerja sesuai waktunya. Hal ini dilakukan untuk meningkatkan
kinerja dari seluruh staf Dinas kesehatan agar dapat bekerja secara efektif dan efisien
demi meningkatkan pelayanan kepada masyarakat. Pemberian motivasi juga
disampaikan dari kepala bidang maupun kepala seksi pada saat rapat maupun dalam
situasi non formal. Penyampaian motivasi dalam keadaan non formal sering
dilakukan oleh tenaga kesehatan Puskesmas Sukamaju Baru terhadap para kader
pada saat kunjungan kegiatan posyandu serta kegiatan lainnya yang melibatkan
kader.

Kegiatan supervisi selama ini juga belum berjalan optimal, hal ini dikarenakan
kegiatan supervisi hanya dilakukan pada saat ada kegiatan saja. Sampai dengan saat
ini belum ada jadwal khusus yang disediakan untuk melakukan kegiatan supervisi,
hal ini dikarenakan padatnya kegiatan yang harus dijalankan. Supervisi mengenai
kegiatan pembinaan tumbuh kembang balita khususnya yang terkait dengan program

Universitas Indonesia

Penerapan bina..., Neti Hartaty, FIK UI, 2015


61

Dinas Kesehatan yaitu SDIDTK terlihat belum maksimal. Hal ini terlihat dengan
belum berjalannya kegiatan SDIDTK di tingkat wilayah Kelurahan Sukamaju baru.
Berdasarkan uraian diatas, fungsi pengarahan pembinaan tumbuh kembang balita
yang belum berjalan dengan baik yaitu : 1). Belum adanya pengarahan terkait
pembinaan tumbuh kembang balita; 2). Belum dilaksanakannya kegiatan supervisi
terkait pembinaan tumbuh kembang balita.

4.1.1.5. Controlling (pengawasan).


Pelaksanaan pengawasan oleh penanggung jawab program kesehatan balita
dilakukan berjenjang dari Dinas Kesehatan sampai pada Puskesmas Sukamaju Baru
terkait dengan pelaksanaan program kesehatan balita. Penanggung jawab program
kesehatan balita melakukan pengawasan dalam bentuk monitoring dan evaluasi.
Hasil wawancara yang residen lakukan dengan pemegang program SDIDTK
didapatkan tidak ada waktu khusus yang disediakan untuk melakukan monitoring
dan evaluasi terkait pelaksanaan program pembinaan tumbuh kembang balita di
wilayah. Pelaksanaan monitoring dan evaluasi yang dilakukan biasanya dijalankan
secara bersamaan dengan kegiatan monitoring dan evaluasi program lainnya.

Pihak Puskesmas Sukamaju Baru memberikan pelaporan dalam bentuk pencatatan


dan pelaporan terkait program kesehatan balita kepada pihak penanggung jawab
program di Dinas Kesehatan Kota Depok. Masukan dari hasil monitoring dan
evaluasi ini dijadikan sebagai bahan acuan untuk perbaikan program pada tahun yang
akan datang serta pembuatan kebijakan baru terkait program yang lebih baik.

Hasil wawancara yang residen lakukan terhadap ketua kader posyandu sekaligus
sebagai koordinator kader Kelurahan Sukamaju Baru didapatkan bahwa belum ada
monitoring dan evaluasi dari petugas kesehatan khususnya pemegang program
tumbuh kembang terhadap kinerja kader yang selama ini hanya berfokus pada
pemantauan status gizi balita.

Berdasarkan uraian diatas, fungsi pengarahan pembinaan tumbuh kembang balita


yang belum berjalan dengan baik yaitu : 1). Pelaksanaan monitoring dan evaluasi
program SDIDTK dilakukan berbarengan dengan program lainnya; 2). Monitoring
dan evaluasi program tumbuh kembang balita di tingkat Kelurahan belum optimal.

Universitas Indonesia

Penerapan bina..., Neti Hartaty, FIK UI, 2015


62

4.1.2. Rumusan Masalah.


Rumusan masalah dari analisis situasi manajemen pelayanan keperawatan pada
tumbuh kembang balita menggunakan diagram fish bone. Diagram fish bone ini
bertujuan untuk memberi kemudahan dalam merumuskan masalah yang ditemukan.
Prinsip yang dipakai dari analisis fish bone ini dalam menganalisis masalah
menggunakan prinsip 5M (Man, Money, Material, Methode dan Machine). Analisis
ini menggunakan data kualitatif dalam merumuskan masalah yang ditemukan dalam
pemberian manajemen pelayanan keperawatan pada aggregat balita dengan tumbuh
kembang. Gambar fish bone terkait permasalahan manajemen pelayanan
keperawatan komunitas pada balita dengan tumbuh kembang dapat dilihat pada
Gambar 4.1 berikut :

Universitas Indonesia

Penerapan bina..., Neti Hartaty, FIK UI, 2015


63

FGambar 4.1
Fish Bone Terkait Permasalahan Manajemen Pelayanan Tumbuh Kembang Balita

PERENCANAAN
PERENCANAAN PENGORGANISASIAN KETENAGAAN

Belum tersusunnya rencana


kegiatan bulanan dan Program tumbuh Pengembangan
Pengorganisasian
tahunan terkait pembinaan kembang balita pembinaan tumbuh pendidikan formal
tumbuh kembang balita pada belum menjadi kembang balita SDM Dinkesdan
tingkat Puskesmas dan prioritas Puskesmas sangat
belum maksimal
masyarakat. terbatas
Dinas Kesehatan
Jumlah pegawai Beratnya beban
dan BPMK
Belum optimalnya Puskesmas masih kerja SDM
Terbatasnya menjalankan
koordinasi lintas sektor kurang puskesmas
anggaran untuk program sesuai
dalam menjalankan program pembinaan tumbuh kapasitas masing-
pembinaan tumbuh kembang kembang balita. masing namun Kader hanya berperan
balita. masih perlu dalam melakukan
peningkatan pemantauan status gizi
koordinasi. balita
Belum optimalnya peran dan
fungsi kader dalam
Pelaksanaan
melakukan pembinaan
Belum adanya monitoring dan
tumbuh kembang balita.
pengarahan terkait evaluasi program
pembinaan tumbuh SDIDTK dilakukan
kembang balita berbarengan dengan
Belum optimalnya program lainnya
pelaksanaan pengarahan dan
supervisi terkait pembinaan Belum Monitoring dan
tumbuh kembang balita. dilaksanakannya evaluasi program
kegiatan supervisi tumbuh kembang
terkait pembinaan balita di tingkat
tumbuh kembang Kelurahan belum
Belum optimalnya
balita optimal
monitoring dan evaluasi
terkait dengan pembinaan
tumbuh kembang balita.
PENGARAHAN PENGAWASAN

Penerapan bina..., Neti Hartaty, FIK UI, 2015


64

4.1.3. Diagnosa Manajemen Pelayanan Keperawatan.


1. Belum tersusunnya rencana kegiatan bulanan dan tahunan terkait pembinaan
tumbuh kembang balita pada tingkat Puskesmas dan masyarakat.
2. Belum optimalnya koordinasi lintas sektor dalam menjalankan program
pembinaan tumbuh kembang balita.
3. Belum optimalnya peran dan fungsi kader dalam melakukan pembinaan tumbuh
kembang balita.
4. Belum optimalnya pelaksanaan pengarahan dan supervisi terkait pembinaan
tumbuh kembang balita.
5. Belum optimalnya monitoring dan evaluasi terkait dengan pembinaan tumbuh
kembang balita.

4.1.4. Prioritas Masalah.


Masalah pelaksanaan fungsi manajemen terkait program pembinaan tumbuh
kembang balita akan dilakukan penentuan prioritas masalah berdasarkan kesesuaian
dan kebutuhan program pembinaan tumbuh kembang balita dengan memperhatikan
pentingnya masalah, peningkatan kualitas hidup kelompok balita dan perubahan
positif bagi masyarakat. Penapisan masalah dapat dilihat pada tabel 4.1 berikut ini :

Universitas Indonesia

Penerapan bina..., Neti Hartaty, FIK UI, 2015


65

Tabel 4.1
Penapisan Masalah Manajemen pelayanan Keperawatan Komunitas

Diagnosa Pentingnya Perubahan Peningkatan Peringkat Total


untuk positif untuk kualitas semua
dipecahkan komunitas kehidupan masalah
1=rendah; jika jika dari
2=rata-rata; dipecahkan dipecahkan 1 sampai 6
3=tinggi 0=tidak ada; 0=tidak ada; 1=kurang
1=rendah; 1=rendah; penting
2=rata-rata; 2=rata-rata; 6=sangat
3=tinggi 3=tinggi penting

Belum tersusunnya
rencana kegiatan bulanan 3 2 2 5 12
dan tahunan terkait
pembinaan tumbuh
kembang balita pada
tingkat Puskesmas dan
masyarakat.

Belum optimalnya
koordinasi lintas sektor 3 3 3 5 14
dalam menjalankan
program pembinaan
tumbuh kembang balita.

Belum optimalnya peran


dan fungsi kader dalam 3 3 3 6 15
melakukan pembinaan
tumbuh kembang balita.

Belum optimalnya
pelaksanaan pengarahan 3 2 2 5 12
dan supervisi terkait
pembinaan tumbuh
kembang balita.

Belum optimalnya
monitoring dan evaluasi 3 2 2 4 11
terkait dengan
pembinaan tumbuh
kembang balita.

Universitas Indonesia

Penerapan bina..., Neti Hartaty, FIK UI, 2015


66

Setelah dilakukan penapisan masalah dari diagnosa manajemen pelayanan


keperawatan pada balita dengan tumbuh kembang, maka prioritas masalah yang
ditemukan adalah :
1. Belum optimalnya peran dan fungsi kader dalam melakukan pembinaan tumbuh
kembang balita.
2. Belum optimalnya koordinasi lintas sektor dalam menjalankan program
pembinaan tumbuh kembang balita.

4.1.5. Penyelesaian masalah pengelolaan pelayanan komunitas.


Masalah manajemen 1 : Belum optimalnya peran dan fungsi kader dalam melakukan
pembinaan tumbuh kembang balita. Tujuan umum : setelah dilakukan tindakan
pengelolaan manajemen pelayanan keperawatan komunitas selama 8 bulan
diharapkan peran dan fungi kader dalam melakukan pembinaan terhadap balita
menjadi optimal. Tujuan khusus : setelah dilakukan intervensi manajemen
keperawatan komunitas selama 8 bulan diharapkan : 1). Terlaksananya kegiatan
penyegaran seluruh kader posyandu dan posbindu se-Kelurahan Sukamaju Baru
Kecamatan Tapos Kota Depok; 2). Terjadinya peningkatan pengetahuan kader
mengenai tumbuh kembang balita; 3). Terbentuknya support group (kelompok
pendukung) tumbuh kembang balita di RW 4 dan RW 10 Kelurahan Sukamaju Baru
Kecamatan Tapos Kota Depok; 4). Tersosialisasinya program pembinaan tumbuh
kembang balita (BKB+); 5). Terjadinya perubahan peningkatan sikap dan perilaku
kader kelompok pendukung dalam melakukan pembinaan tumbuh kembang balita;
6). Berjalannya peran dan fungsi kader sebagai fasilitator pada kegiatan BKB+; 7).
Terjadinya pemberdayaan kader kelompok pendukung dalam melakukan pembinaan
tumbuh kembang balita.

Rencana Intervensi keperawatan komunitas untuk mengatasi masalah 1 : 1). Kegiatan


penyegaran seluruh kader posyandu dan posbindu se-Kelurahan Sukamaju Baru
Kecamatan Tapos Kota Depok tentang peran dan fungsi kader terutama tentang
perannya dalam pembinaan tumbuh kembang balita di wilayahnya; 2). Membentuk
support group (kelompok pendukung) tumbuh kembang balita yang terdiri dari
kader, ibu RT dan ibu RW di RW 4 dan RW 10 Kelurahan Sukamaju Baru
Kecamatan Tapos Kota Depok; 3). Melakukan pertemuan rutin dengan kelompok
pendukung setiap bulan terkait dengan pembekalan dalam mendukung berjalannya

Universitas Indonesia

Penerapan bina..., Neti Hartaty, FIK UI, 2015


67

pembinaan tumbuh kembang balita; 4). Melakukan supervisi kemampuan kader


dalam melakukan pembinaan tumbuh kembang balita; 5). Memberdayakan kader
kelompok pendukung sebagai fasilitator pada setiap pertemuan BKB+.

Pembenaran : kader merupakan anggota masyarakat yang dipilih dari dan oleh
masyarakat, mau dan mampu bekerja bersama dalam berbagai kegiatan
kemasyarakatan secara sukarela (Depkes RI, 2003). Kader sebagai mediator terdepan
dalam menyampaikan pesan kepada masyarakat khususnya kepada orang tua balita,
menjadi sosok sentral dan ujung tombak dalam melakukan pendekatan, pembinaan,
mentransfer pengetahuan plus memberikan konseling kepada orang tua balita.
Berjalannya support group atau lebih dikenal dengan kelompok pendukung yang
telah perawat bentuk bersama kader-kader RW 4 dan RW 10 sangat berperan dalam
mengupayakan terwujudnya pembangunan sumber daya manusia yang berkualitas
melalui kegiatan pembinaan tumbuh kembang balita di wilayahnya. Salah satu
kegiatan yang sangat strategis dalam membina tumbuh kembang balita yaitu melalui
pemahaman para kader terkait dengan tumbuh kembang balita.

Implementasi kegiatan manajemen 1 : Berlangsungnya kegiatan penyegaran kader


posyandu dan posbindu se-Kelurahan Sukamaju Baru tentang peran dan fungsi kader
terutama tentang perannya dalam pembinaan tumbuh kembang balita di wilayahnya.
Kegiatan ini dilaksanakan pada tanggal 18 – 19 November 2014 bertempat di kantor
Kelurahan Sukamaju Baru. Pelatihan ini diikuti oleh perwakilan kader dari seluruh
RW yang ada di kelurahan Sukamaju Baru yaitu RW 01 sampai RW 15 serta kader
Kelurahan. Pada kegiatan ini residen menjelaskan terkait peran dan fungsi kader
kesehatan, support group atau kelompok pendukung, tumbuh kembang balita serta
peran kader dalam melakukan stimulasi tumbuh kembang balita. residen juga
menampilkan video terkait stimulasi pada setiap rentang usia balita.

Selanjutnya residen melakukan pembentukan support group (kelompok pendukung)


tumbuh kembang balita. Anggota kelompok pendukung ini terdiri dari kader
posyandu, ibu RW serta ibu RT di RW 4 dan RW 10 Kelurahan Sukamaju Baru
Kecamatan Tapos Kota Depok. Dalam pertemuan ini perawat menyampaikan
maksud, tujuan serta aktivitas yang dapat dilakukan dalam kelompok ini yang terdiri
dari mengenali masalah, menyelesaikan masalah bersama-sama, membuat rencana

Universitas Indonesia

Penerapan bina..., Neti Hartaty, FIK UI, 2015


68

kegiatan, melaksanakan kegiatan serta melaksanakan monitoring dan evaluasi


kegiatan. Selain itu pada pertemuan ini juga disepakati struktur organisasi kelompok
pendukung serta jadwal pertemuan rutin yang akan dilaksanakan setiap bulannya.
Pada pertemuan ini juga disepakati terkait jadwal pembentukan Bina Keluarga Balita
plus (BKB+) dan kesepakatan kader kelompok pendukung untuk menjadi fasilitator
pada setiap kegiatan BKB+ yang nantinya akan dibentuk.

Selanjutnya pertemuan rutin dengan kader kelompok pendukung dilaksanakan setiap


bulannya. Kegiatan yang dilaksanakan pada pertemuan ini yaitu saling berbagi ilmu
dan pengalaman atas kegiatan yang pernah diikuti oleh salah satu kader, teknik
penyuluhan, tumbuh kembang balita, stimulasi dan cara melakukan stimulasi tumbuh
kembang balita, cara pengisian Kartu Kembang Anak (KKA), sosialisasi Kuesioner
Pra Skrining Perkembangan (KPSP), pijat bayi dan MP ASI.

Residen juga melakukan supervisi kemampuan kader dalam melakukan pembinaan


tumbuh kembang balita. Supervisi yang residen lakukan yaitu melihat cara kader
mendeteksi perkembangan balita peserta BKB+ dengan menggunakan KKA sesuai
dengan yang telah residen ajarkan sebelumnya, selain itu residen juga mensupervisi
kemampuan kader dalam melakukan stimulasi perkembangan pada balita saat
berlangsungnya kegiatan BKB+, setiap minggunya residen mengajak kader bersama
melakukan kunjungan rumah keluarga anggota BKB+ tanpa pemberitahuan
sebelumnya, hal ini residen lakukan untuk melihat langsung kegiatan keluarga dalam
mengasuh balitanya sehari-hari sekaligus melihat ada tidaknya keluarga melakukan
stimulasi terhadap balitanya serta melihat cara keluarga melakukan deteksi
perkembangan dengan menggunakan KPSP.

Selain itu residen juga memberdayakan kader kelompok pendukung sebagai


fasilitator setiap pertemuan BKB+. Komitmen kader kelompok pendukung dalam
BKB+ terlihat jelas dengan berpartisipasinya seluruh kader kelompok pendukung
dalam kegiatan BKB+. Seluruh kader kelompok pendukung bertanggung jawab
dalam mengajak keluarga yang memiliki balita di masing-masing RT nya untuk
mengikuti kegiatan BKB+ sesuai rentang usia yang disepakati. Saat pelaksanaan
kegiatan BKB+ kader kelompok pendukung juga menjadi fasilitator yang baik, salah
satunya adalah dalam mengisi KKA serta melakukan stimulasi perkembangan balita.

Universitas Indonesia

Penerapan bina..., Neti Hartaty, FIK UI, 2015


69

Sebagai pegangan para kader dalam menjalankan kegiatan BKB+, residen juga
membuatkan satu buku pegangan bagi kader kelompok pendukung untuk
meningkatkan kepercayaan dirinya dalam melakukan pembinaan program tumbuh
kembang balita.

Evaluasi kegiatan manajemen 1 : Pelatihan kader posyandu dan posbindu se-


Kelurahan Sukamaju Baru yang dilaksanakan selama dua hari sejak tanggal 18
sampai 19 November 2014 dihadiri oleh seluruh kader dari RW 1 sampai dengan
RW 15. Masing-masing RW hadir 2 orang perwakilan sesuai dengan permintaan
pada undangan. Seluruh kader terlihat antusias terhadap kegiatan ini, sebagian kader
aktif mengemukakan pendapat pada saat kegiatan diskusi berlangsung. Terlihat
peningkatan pengetahuan kader tentang tumbuh kembang balita yang sebelumnya
sebesar 61,7% dan setelah pelatihan meningkat menjadi 78,3%.

Kelompok pendukung di RW 4 dan RW 10 Kelurahan Sukamaju Baru Kecamatan


Tapos Kota Depok sudah terbentuk dan berjalan aktif setiap bulannya Kegiatan
pertemuan kelompok pendukung ini rutin berjalan setiap bulannya yaitu setiap hari
Selasa minggu kedua. Selain itu juga terjadi peningkatan pengetahuan terkait
pembinaan tumbuh kembang balita kader kelompok pendukung yang awalnya 68,2%
meningkat menjadi 86,4%.

Terlihat juga perubahan positif dalam hal sikap dan perilaku kader kelompok
pendukung terkait tumbuh kembang balita. Kader terlihat lebih mandiri dan percaya
diri dalam melakukan pengisian KKA dan saat melakukan stimulasi perkembangan
terhadap balita anggota BKB+. Kemandirian kader dalam melakukan kunjungan
rumah juga terjadi peningkatan. Pemberdayaan kader sebagai fasilitator kegiatan
BKB+ sampai saat ini juga masih berjalan dengan baik.

Rencana tindak lanjut : Kegiatan yang telah dilaksanakan oleh kelompok pendukung
ini perlu ditindaklanjuti oleh pihak terkait, dalam hal ini Dinas kesehatan,
Puskesmas Sukamaju Baru dan BPMK yang diharapkan dapat memberikan
penyegaran secara rutin kepada kader kelompok pendukung terkait tumbuh kembang
balita serta melakukan supervisi secara berkala terhadap kegiatan yang dilakukan
oleh kader kelompok pendukung dalam membina tumbuh kembang balita. Selain itu

Universitas Indonesia

Penerapan bina..., Neti Hartaty, FIK UI, 2015


70

juga diharapkan adanya regenerasi kader kelompok pendukung agar semakin


tersebarluasnya kemampuan seluruh kader dalam pembinaan tumbuh kembang
balita.

Masalah manajemen 2 : Belum optimalnya koordinasi lintas sektor dalam


menjalankan program pembinaan tumbuh kembang balita. Tujuan umum : setelah
dilakukan tindakan pengelolaan manajemen pelayanan keperawatan komunitas
selama 8 bulan diharapkan berjalan dengan rutinnya program BKB+ sebagai suatu
wadah pengorganisasian dalam menyatukan program pembinaan tumbuh kembang
balita. Tujuan khusus : setelah dilakukan intervensi manajemen keperawatan
komunitas dan dilakukan pemantauan selama 12 minggu diharapkan : 1).
Terbentuknya program BKB+ di RW 4 dan RW 10 Kelurahan Sukamaju Baru
Kecamatan Tapos Kota Depok; 2). Berjalan rutinnya kegiatan BKB+ satu kali
pertemuan untuk masing-masing rentang usia; 3). Terjadi peningkatan pengetahuan
anggota BKB+ terkait tumbuh kembang balita; 4). Berjalannya kegiatan stimulasi
perkembangan pada setiap pertemuan BKB+; 5). Dilakukannya pengisian KKA oleh
kader kelompok pendukung pada setiap pertemuan BKB+; 6). Diterapkannya KPSP
oleh keluarga anggota BKB+; 7). Terjadi perubahan perilaku positif keluarga
anggota BKB+ dalam melakukan stimulasi perkembangan balitanya di rumah; 8).
Terjadi penurunan risiko keterlambatan balita anggota BKB+; 9). Terlihatnya
peningkatan kemampuan perkembangan balita anggota BKB+ setelah dilakukan
stimulasi; 10). Adanya pendampingan dari pihak Dinas Kesehatan ataupun BPMK
setiap pelaksanaan kegiatan BKB+.

Rencana Intervensi keperawatan komunitas untuk mengatasi masalah 2 : 1). Pada


pertemuan awal BKB+ residen melakukan deteksi perkembangan seluruh balita
anggota BKB+ dengan menggunakan KPSP, hal ini residen lakukan untuk melihat
perkembangan setiap balita. Selain itu residen juga melakukan pengkajian sederhana
terhadap pola asuh keluarga selama ini; 2). Sosialisasi penerapan KPSP pada
keluarga anggota BKB+, hal ini residen lakukan karena berdasarkan pengalaman dan
jurnal terkait yang menyatakan bahwa deteksi perkembangan yang dilakukan oleh
orang terdekat balita lebih efektif untuk melihat tingkat perkembangan balita. Selain
itu hal ini juga sebagai langkah awal dalam mengetahui sedini mungkin
permasalahan perkembangan pada balita agar jika ditemukan penyimpangan dapat

Universitas Indonesia

Penerapan bina..., Neti Hartaty, FIK UI, 2015


71

segera dilakukan intervensi dini; 3). Sosialisasi penerapan stimulasi perkembangan


menjadi kegiatan rutin pada setiap pertemuan BKB+. Hal ini residen lakukan agar
setiap keluarga anggota BKB+ dapat memahami pentingnya melakukan stimulasi
perkembangan pada balita meskipun terhadap balita yang tidak mempunyai
permasalahan perkembangan. Dengan hal ini juga diharapkan agar keluarga dapat
melakukan stimulasi perkembangan secara rutin terhadap balita masing-masing; 4).
Pendeteksian perkembangan oleh kader kelompok pendukung dengan menggunakan
KKA; 5). Bersama dengan kader kelompok pendukung melakukan observasi ke
rumah anggota BKB+. Hal ini residen lakukan agar dapat melihat secara langsung
pola asuh keluarga terhadap balitanya sehari-hari dan untuk melihat sejauh mana
keluarga melakukan stimulasi perkembangan dalam kehidupan sehari-hari serta
pendeteksian KPSP. Selain itu dengan mengajak kader diharapkan dapat membangun
kepercayaan diri kader kelompok pendukung dalam melakukan kunjungan rumah;
6). Memfasilitasi tenaga kesehatan Puskesmas Sukamaju Baru dalam melakukan
pendampingan pada kegiatan BKB+. Hal ini dilakukan agar perpanjang tangan dari
Dinas Kesehatan dapat dengan rutin mendampingi kader saat pelaksanaan kegiatan
BKB+.

Pembenaran : penerapan program BKB+ ini merupakan suatu intervensi keperawatan


komunitas yaitu dengan membentuk suatu wadah kegiatan keluarga yang memiliki
anak usia balita dengan memberdayakan orangtua dan anggota keluarga lainnya
dalam meningkatkan kemampuan membina tumbuh kembang balita. Keluarga
memegang peranan penting dalam menciptakan suasana lingkungan yang penuh
dengan kasih sayang, memiliki kemampuan memahami balita sebagai individu yang
unik yang memiliki potensi-potensi yang berbeda satu sama lain serta mampu
menghargai potensi yang dimiliki oleh balita. Setiap anak perlu mendapat stimulasi
rutin sedini mungkin dan terus menerus pada setiap kesempatan. Kariger, Frongillo,
Engle, Britto, Sywulka dan Menon (2012) menyatakan bahwa perawatan keluarga
yang meliputi dukungan untuk belajar atau stimulasi dan sumber daya pengasuhan
merupakan dukungan yang sangat penting bagi tumbuh kembang balita. Stimulasi
tumbuh kembang anak dapat dilakukan oleh ibu dan ayah yang merupakan orang
terdekat dengan anak, pengganti ibu atau pengasuh anak, anggota keluarga lain dan
kelompok masyarakat di lingkungan rumah tangga masing-masing dan dalam
kehidupan sehari-hari (Kemenkes RI, 2010). Penelitian yang dilakukan oleh Briawan

Universitas Indonesia

Penerapan bina..., Neti Hartaty, FIK UI, 2015


72

dan Herawati (2009) menemukan bahwa tidak semua anak mendapatkan stimulasi
perkembangan yang memadai, stimulasi dipraktikkan hanya oleh 48-72 % keluarga.
Setelah lebih dari 18 bulan, sebagian besar anak-anak secara intensif distimulasi oleh
ibu, hanya sebagian kecil anak-anak di usia tersebut yang masih distimulasi oleh
ayah. Padahal seharusnya, anak yang mendapatkan stimulasi yang terarah dan teratur
akan lebih cepat berkembang dibandingkan anak yang kurang bahkan tidak
mendapatkan stimulasi (Nugroho, 2009). Salah satu kegiatan yang sangat strategis
dalam membina tumbuh kembang balita yaitu melalui pemahaman para kader
tentang cara memantau perkembangan balita dengan menggunakan Kartu Kembang
Anak (KKA). KKA merupakan kartu yang baru dikeluarkan oleh Badan
Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) yang digunakan untuk
memantau kegiatan asuh orangtua khususnya ibu dan tumbuh kembang anak. KKA
bermanfaat bagi orangtua khususnya bagi ibu agar dapat memantau tumbuh kembang
anak, membimbing serta membina anaknya dengan cara asah, asih dan asuh sesuai
dengan tingkat perkembangan umur anak. Manfaat KKA bagi anak yaitu diharapkan
dapat tumbuh kembang secara optimal dengan pengasuhan orang tua secara baik dan
benar. Selain itu KKA juga dapat memudahkan kader dalam melakukan penyuluhan
khususnya penyuluhan mengenai perkembangan balita.

Implementasi kegiatan manajemen 2 : Pembentukan BKB+ di RW 4 dimulai sejak


bulan Oktober 2014. Kegiatan BKB+ di RW 4 ini terbagi atas dua kelompok usia
yaitu BKB+ kelompok usia 0 sampai dengan 6 bulan yang berjumlah 11 keluarga
balita dan BKB+ kelompok usia 7 sampai dengan 12 bulan yang berjumlah 11
keluarga balita. Setelah penyusunan struktur organisasi, residen melakukan deteksi
perkembangan balita anggota BKB+ dengan menggunakan KPSP serta melakukan
pengkajian sederhana terhadap pola asuh keluarga selama ini. Hal ini dilakukan
untuk menilai perkembangan balita sebelum dilakukannya pembinaan kegiatan
BKB+ dan untuk mengkategorikan balita yang mengalami keterlambatan
perkembangan dan risiko keterlambatan perkembangan. Dari 22 orang balita anggota
BKB+, 2 orang balita mengalami keterlambatan perkembangan dan 20 orang balita
mengalami risiko keterlambatan perkembangan.

Pembentukan BKB+ di RW 10 dimulai sejak bulan Februari 2015. Kegiatan BKB+


di RW 10 ini hanya pada satu rentang usia yaitu kelompok usia 0 sampai dengan 6

Universitas Indonesia

Penerapan bina..., Neti Hartaty, FIK UI, 2015


73

bulan yang berjumlah 10 keluarga balita. Menjelang berakhirnya masa praktik


residen, residen bersama kader kelompok pendukung membentuk satu kelompok usia
lagi yakni kelompok usia 7 sampai dengan 12 bulan yang dijalankan menjelang akhir
Bulan April 2015 dengan jumlah 11 keluarga balita. pendeteksian yang sama juga
residen lakukan terhadap balita dan keluarga balita anggota BKB+ RW 4. Dari total
10 orang balita kelompok usia pertama BKB+ didapatkan 2 orang balita mengalami
keterlambatan perkembangan dan 8 orang balita mengalami risiko keterlambatan
perkembangan.

Penerapan KPSP pada keluarga anggota BKB+ ini residen lakukan karena
berdasarkan pengalaman dan jurnal terkait yang menyatakan bahwa deteksi
perkembangan yang dilakukan oleh orang terdekat balita lebih efektif untuk melihat
tingkat perkembangan balita. selain itu hal ini juga sebagai langkah awal dalam
mengetahui sedini mungkin permasalahan perkembangan pada balita agar jika
ditemukan penyimpangan dapat segera dilakukan intervensi dini.

Penerapan stimulasi perkembangan menjadi kegiatan rutin pada setiap pertemuan


BKB+. Residen mengajarkan stimulasi perkembangan sesuai usia balita. Stimulasi
yang diajarkan mencakup empat aspek kemampuan baik stimulasi motorik kasar,
stimulasi motorik halus, stimulasi bicara dan bahasa, stimulasi sosialisasi dan
kemandirian. Hal ini residen lakukan agar setiap keluarga anggota BKB+ dapat
memahami pentingnya melakukan stimulasi perkembangan pada balita meskipun
terhadap balita yang tidak mempunyai masalah gangguan perkembangan. Dengan hal
ini juga diharapkan agar keluarga dapat melakukan stimulasi perkembangan secara
rutin terhadap balita masing-masing.

Pendeteksian perkembangan balita oleh kader kelompok pendukung dengan


menggunakan KKA. pendeteksian perkembangan dengan menggunakan KKA oleh
kader kelompok pendukung dilakukan untuk melihat kemampuan perkembangan
balita anggota BKB+ setiap bulannya. Dengan melakukan pendeteksian dengan
menggunakan KPSP oleh keluarga dan KKA oleh kader kelompok pendukung,
pendeteksian perkembangan balita anggota BKB+ menjadi saling mendukung.

Universitas Indonesia

Penerapan bina..., Neti Hartaty, FIK UI, 2015


74

Untuk melihat perilaku keluarga dalam melakukan stimulasi perkembangan pada


balitanya sehari-hari, residen memberikan Kartu Stimulasi Tumbuh Kembang
(KSTK) yang hanya boleh diisi jika keluarga melakukan stimulasi. Untuk
memastikan hal tersebut, residen bersama kader kelompok pendukung juga
melakukan kunjungan rumah, melakukan observasi ke rumah anggota BKB+. Hal ini
residen lakukan agar dapat melihat secara langsung pola asuh keluarga terhadap
balitanya sehari-hari dan untuk melihat sejauh mana keluarga melakukan stimulasi
perkembangan dalam kehidupan sehari-hari serta pendeteksian KPSP. Selain itu
dengan mengajak kader diharapkan dapat membangun kepercayaan diri kader
kelompok pendukung dalam melakukan kunjungan rumah.

Pada kegiatan BKB+ ini residen juga mengajarkan tentang pijat bayi. Pijat bayi
merupakan stimulasi sentuhan yang bermanfaat agar terciptanya bonding antara ibu
dan bayi. Setiap keluarga diminta untuk mempraktikkan secara langsung pijat bayi
terhadap balitanya masing-masing. Selain itu residen juga mengajarkan tentang
MPASI. Dalam hal ini residen melakukan diskusi pemberian MPASI oleh keluarga
selama ini sambil meminta keluarga membawa menu MPASI yang biasa disajikan.
Kemudian residen menjelaskan dan memperlihatkan contoh jenis-jenis makanan apa
saja yang seharusnya sudah boleh dikonsumsi oleh bayi untuk MPASInya. Untuk
mendukung program ini, koordinasi dengan petugas kesehatan menjadi suatu hal
yang penting. Oleh karena itu residen meminta waktu petugas kesehatan untuk
melakukan supervisi terhadap pelaksanaan kegiatan BKB+. Dengan adanya kegiatan
ini diharapkan keberlangsungan pelaksanaan BKB+ dapat rutin dipantau oleh tenaga
kesehatan, sehingga kerjasama lintas sektor dan lintas program berjalan dengan baik.

Evaluasi kegiatan manajemen 2 : Terjadinya peningkatan pengetahuan anggota


keluarga yang pada saat sebelum mengikuti program BKB+ sebesar 54,2% dan
setelah mengikuti program BKB+ terjadi peningkatan menjadi sebesar 84,5%.
Evaluasi akhir program menunjukkan terjadinya penurunan balita anggota BKB+
yang mengalami permasalahan keterlambatan perkembangan. Hanya sebesar 6,25%
balita yang masih mengalami risiko keterlambatan perkembangan, hal ini
dikarenakan faktor pola asuh.

Universitas Indonesia

Penerapan bina..., Neti Hartaty, FIK UI, 2015


75

Berdasarkan pengisian KSTK oleh keluarga dan observasi kunjungan rumah yang
residen dan kader kelompok pendukung lakukan terhadap keluarga anggota BKB+
didapatkan 87,5% keluarga sudah melakukan perilaku stimulasi perkembangan
secara rutin terhadap balitanya. Hanya 12,5% keluarga yang belum melakukan
stimulasi secara rutin terhadap balitanya. Hal ini dikarenakan beberapa faktor
diantaranya faktor ekonomi. Penerapan penggunaan KPSP oleh keluarga cukup
efektif dikarenakan keluarga dapat dengan mudah dan rutin melakukan pendeteksian
perkembangan balitanya sehingga jika ditemukan ketidakmampuan balita terhadap
satu aspek perkembangan, keluarga dapat menjadikan stimulasi aspek tersebut
sebagai prioritas.

Rencana tindak lanjut : Pihak Dinas Kesehatan dan BPMK Kota Depok saling
melakukan koordinasi dalam menjalankan program pembinaan tumbuh kembang
balita agar program yang dijalankan menjadi terlaksana dengan baik secara efektif
dan efisien. Selain itu diharapkan adanya supervisi secara berkala terhadap kegiatan
BKB+ yang berjalan di RW 4 dan RW 10 serta mengajak kader-kader RW lainnya
untuk membentuk BKB+ di wilayahnya masing-masing. Serta adanya penyediakan
fasilitas pendukung kegiatan BKB+ seperti alat permainan edukatif untuk stimulasi
dan fasilitas pendukung lainnya.

4.2. Asuhan Keperawatan Keluarga.


4.2.1. Analisis Situasi.
Asuhan keperawatan keluarga pada praktik residensi di Kelurahan Sukamaju Baru
Kecamatan Tapos Kota Depok dilakukan terhadap 10 keluarga binaan. Pelaksanaan
asuhan keperawatan pembinaan keluarga dibagi dalam dua periode pelaksanaan yaitu
untuk periode pertama dilakukan sejak Bulan Oktober sampai dengan Bulan
Desember 2014 terhadap lima keluarga dan lima keluarga berikutnya pada periode
kedua yang dilakukan sejak Bulan Februari sampai dengan Mei 2015. Pemberian
asuhan keperawatan pada keluarga balita dengan permasalahan tumbuh kembang
menggunakan pendekatan proses perawatan yang meliputi pengkajian, merumuskan
diagnosa keperawatan keluarga berdasarkan pada analisis data yang ada, menyusun
rencana intervensi, melaksanakan implementasi dan melakukan evaluasi dari
tindakan yang telah dilakukan. Asuhan keperawatan keluarga menggunakan proses

Universitas Indonesia

Penerapan bina..., Neti Hartaty, FIK UI, 2015


76

keperawatan dengan melibatkan semua unsur dalam keluarga untuk berinteraksi


dalam menyelesaikan masalah.

Berikut ini merupakan salah satu keluarga binaan yang telah berhasil perawat
lakukan pembinaan terkait permasalahan tumbuh kembang balita : Perawat
melakukan pengkajian terhadap keluarga Ibu I (32 Tahun). Hasil pengkajian
didapatkan data yaitu Ibu I adalah seorang single parent atau orangtua tunggal yang
mempunyai seorang balita berjenis kelamin laki-laki yaitu anak Ir (21 Bulan). Pada
umumnya keluarga terdiri dari ayah, ibu, dan anak-anak. Ayah dan ibu berperan
sebagai orang tua bagi anak-anaknya. Namun, dalam kehidupan nyata sering
dijumpai keluarga dimana salah satu orang tuanya tidak ada lagi. Keadaan ini
menimbulkan apa yang disebut dengan keluarga dengan single parent.

Ibu I berlatar belakang pendidikan SMP dan saat ini tidak bekerja. Ibu I tinggal
dalam extended family yang terdiri dari dua kepala keluarga yang tinggal dalam satu
rumah yaitu KK Ibu I beranggotakan anak Ir serta KK kakek E (65 Tahun) yang
beranggotakan Nenek N (62 Tahun) Ibu C (40 tahun) dan Ibu T (25 Tahun). Kakek E
dan Nenek N merupakan orangtua Ibu I. Ibu C adalah kakak Ibu I dan ibu T adalah
adik ibu I, keduanya belum menikah. Rumah yang ibu I tinggal saat ini adalah rumah
Kakek E. Ibu I tinggal di rumah orang tuanya sejak bercerai dari suaminya. Pada
kasus keluarga dengan orang tua tunggal yang terjadi karena perceraian, Duvall &
Miller menyatakan bahwa baik bagi wanita maupun pria proses setelah terjadinya
perceraian seperti orang yang baru mulai belajar berjalan dengan satu kaki, setelah
kaki yang lainnya dipotong. Perceraian adalah proses amputasi pernikahan.

Ibu I enam bulan yang lalu pernah bekerja di loundry saudaranya yang di dekat
rumah, namun belakangan ini laundry tersebut bangkrut dan ditutup sehingga Ibu I
tidak mempunyai pekerjaan lagi. Saat ini ibu I belum memutuskan untuk mencari
pekerjaan lagi, saat ini Ibu I hanya ingin fokus mengurus anak Ir. Namun karena
ekonomi keluarga yang pas-pasan, Ibu I juga merasa belum mampu memenuhi
kebutuhan anak Ir seperti membeli mainan selayaknya anak-anak lainnya. Walsh
(2003) menyatakan banyak permasalahan yang sering timbul di dalam keluarga
dengan orang tunggal salah satunya yaitu terkait persoalan ekonomi keluarga, baik
untuk kehidupan sehari-hari maupun untuk kebutuhan anak.

Universitas Indonesia

Penerapan bina..., Neti Hartaty, FIK UI, 2015


77

Kakek E selalu bekerja keras untuk memenuhi kebutuhan rumah tangga sehari-hari,
walaupun sudah berusia 65 tahun kakek E masih kuat, setiap hari kakek E pergi ke
kebun belakang rumah untuk mengambil hasil kebun yang telah ditanam dan dibawa
ke pasar untuk dijual, hasil kebun tersebut beragam tergantung apa yang sedang
membuahkan hasil. Terkadang kakek E menjual batang serai ke pasar, sayur
kangkung, sayur bayam dan lain-lain. kakek E dibantu oleh nenek N, Ibu C dan Ibu
T saat membersihkan dan memotong sayuran sebelum dibawa kepasar. Penghasilan
kakek E tidak tetap, biasanya hanya berkisar antara Rp.500.000 s/d Rp.800.000
perbulannya. Selain kakek E, perekonomian keluarga juga ditunjang oleh Ibu T. Ibu
T merupakan anak bungsu Bpk E. Ibu T bekerja di pabrik roti home industri.
Penghasilan Ibu T Rp. 1.000.000 perbulan. Kakak Ibu I yaitu Ibu C tidak bekerja,
hanya membantu nenek N dalam mengurus rumah tangga, seperti memasak,
membersihkan rumah dan memotong hasil kebun yang akan dijual di pasar.

Masalah yang sering dialami oleh keluarga biasanya adalah masalah keuangan.
Karena penghasilan keluarga yang pas-pasan keluarga tidak bisa menabung sama
sekali, semua hanya cukup untuk kebutuhan sehari-hari. Selama ini keluarga makan
seadanya, demikian juga anak Ir, Anak Ir mempunyai kebiasaan sulit makan,
walaupun porsi yang disediakan sedikit tetapi makanan yang disediakan tidak pernah
dihabiskan, hanya mau nasi kering tanpa sayur dan kuah, jarang mau makan ikan
hanya mau telur itupun hanya putihnya saja, anak Ir tidak mau sayur dan buah. Ibu I
menyadari badan anak Ir terlihat kurus. Ibu I mengakui jarang membawa anak Ir ke
posyandu, hal ini dikarenakan ibu I malu setiap kali menimbang berat badan anak Ir
selalu berada dibawah garis merah, kader mengatakan anak Ir kurang gizi, ibu I takut
jika menimbang lagi ke posyandu, berat badan anak Ir juga masih berada dibawah
garis merah. Keluarga menginginkan berat badan anak Ir tidak kurus lagi, namun
keluarga tidak mengetahui bagaimana cara meningkatkan berat badan anak Ir.
Grantham (2007) memperkirakan lebih dari 200 juta balita di negara berkembang
tidak mencapai potensi perkembangan karena kemiskinan, masalah kesehatan dan
gizi buruk. UNICEF (2013) mengidentifikasi 165 juta anak di seluruh dunia
terhambat pertumbuhan dan perkembangannya dikarenakan permasalahan gizi.

Tahap pekembangan keluarga Ibu I saat ini adalah keluarga dengan anak pra sekolah:
keluarga sudah mampu memenuhi kebutuhan tempat tinggal dan rasa aman nyaman

Universitas Indonesia

Penerapan bina..., Neti Hartaty, FIK UI, 2015


78

balita walaupun saat ini rumah yang dihuni adalah rumah keluarga yaitu rumah
orangtua Ibu I. Banyak hal tugas perkembangan keluarga yang belum terpenuhi,
salah satunya adalah peran ayah bagi anak Ir. Peran adalah serangkaian perilaku
seseorang yang berada pada posisi atau status sosial tertentu (Friedman, Bowden &
Jones, 2003). Peran keluarga terbagi atas peran formal dan informal. Peran formal
keluarga meliputi : (1) Posisi keluarga (sebagai suami dan juga sebagai ayah, sebagai
istri dan juga sebagai ibu, sebagai anak laki-laki dan juga sebagai saudara laki-laki.
(2) Peran perkawinan yaitu mengatur rumah tangga, perawatan sosialisasi anak,
rekreasi dan seksual. (3) Peran wanita yaitu membesarkan anak dan mengurus rumah
tangga. (4) Peran pria yaitu pencari nafkah dan pengambil keputusan. (5) Peran
ikatan keluarga yaitu mengikat hubungan keluarga, memelihara dan mempermudah
komunikasi di dalam keluarga. Semenjak bercerai dengan mantan suaminya 20 bulan
yang lalu, Ibu I terkadang merasa kasihan melihat anak I yang tumbuh tanpa
didampingi oleh sosok ayah.

Rumah tangga Ibu I telah goyang sejak anak Ir masih di dalam kandungan. Mantan
suami Ibu I tidak bekerja dan tidak bertanggung jawab apapun terhadap kebutuhan
Ibu I dan anak Ir, suaminya jarang pulang dan setiap hari hanya marah-marah bahkan
sampai memukul Ibu I. Oleh karena itu Ibu I memutuskan untuk pulang ke rumah
orangtuanya dan memilih bercerai dengan suaminya. Walaupun terkadang Ibu I
menangis memikirkan hal tersebut, namun Ibu I tidak menyesal, Ibu I merasa telah
memilih jalan yang tepat bagi kehidupannya dan anaknya. Walsh (2003) menyatakan
beberapa permasalahan yang sering timbul di dalam keluarga dengan orang tunggal
baik wanita maupun pria yakni merasa kesepian, perasaan terjebak dengan tanggung
jawab mengasuh anak dan mencari sumber pendapatan, kekurangan waktu untuk
mengurus diri dan kehidupan seksualnya, kelelahan menanggung tanggung jawab
untuk mendukung dan membesarkan anak sendirian, mengatasi hilangnya hubungan
dengan partner special, memiliki jam kerja yang lebih panjang, lebih banyak masalah
ekonomi yang muncul, menghadapi perubahan hidup yang lebih menekan, lebih
rentan terkena depresi, kurangnya dukungan sosial dalam melakukan perannya
sebagai orang tua, dan memiliki fisik yang rentan terhadap penyakit.

Ibu I bersyukur masih memiliki keluarga seperti keluarganya saat ini, memiliki
orangtua, kakak dan adik yang sangat mencintai dirinya dan anaknya. Kakek E

Universitas Indonesia

Penerapan bina..., Neti Hartaty, FIK UI, 2015


79

sekarang mengambil peran sebagai ayah bagi anak Ir. Anak Ir sangat dekat sekali
dengan kakeknya. Ibu I tidak dapat membayangkan bagaimana hidupnya dan
anaknya nanti jika kakek E tiada lagi. Bowden & Greenberg, 2010 menyatakan
ketika salah satu anggota keluarga tidak dapat memenuhi peran formalnya, biasanya
akan melibatkan anggota keluarga lain dan orang luar dari keluarga untuk
menggantikan perannya, misalnya satu orangtua akan merangkap dua peran, sebagai
ayah dan sebagai kakek.

Selain masalah berat badan yang dibawah garis merah, Ibu I malu membawa anak Ir
ke posyandu karena perkembangan anak Ir jauh terlambat dibandingkan balita seusia
anaknya. Bahkan balita seusia anak Ir dan balita dibawah usia anak Ir jauh lebih
cepat tumbuh kembangnya. Anak Ir belum dapat berbicara dengan jelas, bahkan
belum dapat memanggil ibu I dengan pengulangan kata mama. Kata-kata yang
dikeluarkan oleh anak Ir cadel dan sangat tidak jelas. Selain itu, anak Ir belum berani
bersosialisasi dengan orang lain, bahkan jika ibu I dan anggota keluarga lainnya
pergi, anak Ir akan menangis menjerit. Selain itu keluarga Ibu Ir tidak mengetahui
ada keterkaitan antara susah makannya anak Ir dengan keterlambatan
perkembangannya. Menurut Stanhope dan Lancaster (2010), population at risk
merupakan populasi yang memiliki peluang lebih cepat untuk mengalami masalah
kesehatan disebabkan oleh adanya interaksi faktor risiko baik risiko biologi, sosial,
ekonomi, gaya hidup dan kejadian-kejadian dalam hidup. Populasi berisiko tidak
mampu mengambil tindakan pencegahan untuk menjaga kesehatan atau tidak
memiliki pengetahuan tentang risiko masalah kesehatan yang dialami. Dalam hal ini
balita yang dalam kehidupannya sedang mengalami tahapan tumbuh kembang sangat
berisiko mengalami keterlambatan tumbuh kembang bahkan kegagalan tumbuh
kembang jika keluarga tidak menyediakan gizi yang baik dan memberikan stimulasi
yang memadai.

Ibu I merasa gangguan tumbuh kembang pada anak Ir ada kaitannya dengan
perpisahan antara dirinya dengan suaminya. Sehingga anak Ir tidak seperti anak
lainnya yang mempunyai kedua orangtua yang masih lengkap dan harmonis sehingga
dapat saling mengisi dan melengkapi. Walaupun ada orangtua Ibu I yang
memberikan kasih sayang laksana seorang ayah bagi cucunya yaitu anak Ir, tapi pasti
tetap tidak dapat menggantikan sosok ayah dalam kehidupan anak Ir. Selama ini

Universitas Indonesia

Penerapan bina..., Neti Hartaty, FIK UI, 2015


80

keluarga juga kurang mensosialisasikan anak Ir untuk berteman dan bermain dengan
balita lainnya. Hal tersebut dikarenakan keluarga takut anak Ir diledek karena
permasalahan ayah ibunya yang telah bercerai. Keluarga memegang peranan penting
dalam menciptakan suasana lingkungan yang penuh dengan kasih sayang, memiliki
kemampuan memahami balita sebagai individu yang unik yang memiliki potensi-
potensi yang berbeda satu sama lain serta mampu menghargai potensi yang dimiliki
oleh balita. Setiap anak perlu mendapat stimulasi rutin sedini mungkin dan terus
menerus pada setiap kesempatan. Kariger (2012) menyatakan bahwa perawatan
keluarga yang meliputi dukungan untuk belajar atau stimulasi dan sumber daya
pengasuhan merupakan dukungan yang sangat penting bagi tumbuh kembang balita.

Hasil pengkajian dapat dianalisis dengan pendekatan web of causation sehingga


perawat dapat merumuskan diagnosis keperawatan keluarga sesuai dengan
permasalahan yang ada. Berikut adalah web of causation atau jaring sebab akibat
keluarga Ibu I :

Universitas Indonesia

Penerapan bina..., Neti Hartaty, FIK UI, 2015


81

Skema 4.1
Web Of Causation Asuhan Keperawatan Keluarga

Ketidakseimbangan nutrisi kurang Keterlambatan


dari kebutuhan tubuh perkembangan

Kurang pengetahuan terhadap


faktor risiko permasalahan
tumbuh kembang

Pola asuh tidak efektif Performa parenting tidak adekuat

Universitas Indonesia

Penerapan bina..., Neti Hartaty, FIK UI, 2015


82

4.2.2. Diagnosa Keperawatan.


Berdasarkan jaring sebab dan akibat pada skema 4.1 diatas, diagnosa keperawatan
yang muncul pada ibu I adalah : 1). Performa parenting tidak adekuat; 2). Pola asuh
tidak efektif; 3). Kurang pengetahuan terhadap fakor risiko permasalahan tumbuh
kembang; 4). Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh; 5).
Keterlambatan perkembangan.

4.2.3. Prioritas Masalah.


Berdasarkan prioritas masalah, ditetapkan dua diagnosa keperawatan berikut untuk
selanjutnya dilakukan intervensi :
1. Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh.
2. Keterlambatan perkembangan.

4.2.4. Asuhan Keperawatan Keluarga.


Diagnosa keperawatan 1 pada keluarga Ibu I : Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari
kebutuhan tubuh. Tujuan umum : setelah dilakukan intervensi keperawatan selama 3
bulan, berat badan anak Ir mencapai diatas garis merah. Tujuan khusus : Setelah
dilakukan intervensi keperawatan selama 3 bulan, keluarga mampu : 1). Mengenal
masalah gizi kurang dan mengidentifikasi anggota keluarga yang mengalami masalah
gisi kurang; 2). Mengambil keputusan untuk melakukan perawatan pada anggota
keluarga yang mengalami permasalahan gizi kurang; 3). Melakukan perawatan pada
anggota keluarga yang menderita masalah gizi kurang; 4). Memodifikasi lingkungan
dalam memenuhi gizi anggota keluarga; 5). Memanfaatkan pelayanan kesehatan
untuk mengatasi gizi kurang.

Rencana intervensi keperawatan keluarga untuk mengatasi masalah 1 : 1). Lakukan


diskusi bersama keluarga Ibu I untuk mengenali gizi seimbang bagi balita, 2).
Lakukan diskusi bersama keluarga mengenai akibat lanjut dari gizi yang idak
seimbang, 3). Diskusikan bersama keluarga cara mengambil keputusan dalam
melakukan perawatan pada anggota keluarga yang teridentifikasi gizi kurang, 4).
Jelaskan kepada keluarga mengenai cara merawat anggota keluarga dengan gizi
kurang, 5). Ajarkan kepada keluarga praktik pemilihan makanan seimbang, 6).
Bantu keluarga dalam memodifikasi lingkungan agar mudah mendapatkan makanan
bergizi yang beragam, 7). Anjurkan keluarga untuk memanfaatkan fasilitas

Universitas Indonesia

Penerapan bina..., Neti Hartaty, FIK UI, 2015


83

pelayanan kesehatan agar dapat mengetahui berat badan anak secara rutin serta
mendapatkan suplemen vitamin.

Pembenaran : Grantham (2007) memperkirakan lebih dari 200 juta balita di negara
berkembang tidak mencapai potensi perkembangan karena kemiskinan, masalah
kesehatan dan gizi buruk. Anak-anak ini cenderung berprestasi buruk di sekolah dan
memiliki ekonomi yang terbatas di masa dewasa, yang tentunya akan
melanggengkan siklus kemiskinan dan berkontribusi terhadap rantai kemiskinan
antar generasi, kesehatan yang buruk dan pembangunan yang gagal. WHO (2006)
mencanangkan penilaian status gizi pada balita dengan menggunakan standar tabel
World Health Organitation-National Center for Health Statistik (WHO-NCHS),
yaitu dengan cara mencocokkan umur anak (dalam bulan) dengan panjang badan
atau berat badan. Pertumbuhan dan perkembangan merupakan proses yang simultan,
tidak terpisahkan dan terjadi secara terus menerus.

UNICEF (2013) mengidentifikasi 165 juta anak di seluruh dunia terhambat


pertumbuhan dan perkembangannya dikarenakan permasalahan gizi. Prevalensi anak
pendek mempengaruhi satu dari tiga anak balita. Latifah (2009) mengidentifikasi
tingkat pendidikan yang rendah, pendapatan rendah serta pengetahuan yang rendah
dalam hal pengasuhan menjadi faktor kurang perdulinya keluarga terhadap tumbuh
kembang balita.

Pendidikan kesehatan tentang kesehatan adalah salah satu bentuk intervensi untuk
meningkatkan pengetahuan keluarga (Allender, Warner, & Rector, 2012). Metode ini
memungkinkan keluarga dapat mengekspresikan fikiran dan pengetahuannya secara
lebih leluasa. Intervensi ini diharapkan agar keluarga dapat lebih termotivasi dan
mengambil keputusan untuk merawat anggota keluarga. Proses perubahan perilaku
dari individu terlebih dahulu perlu merubah elemen yang mendasari perilaku. Bloom
(1968) membagi perilaku menjadi tiga elemen yaitu pengetahuan, sikap, dan
kelakuan (psikomotor). Pengetahuan sebagai unsur perilaku merupakan faktor
penting berkontribusi pada terjadinya perubahan perilaku. Untuk itu, penambahan
pengetahuan dapat dikatakan sebagai dasar perubahan perilaku tersebut.

Universitas Indonesia

Penerapan bina..., Neti Hartaty, FIK UI, 2015


84

Pemberian gizi yang tidak seimbang sangat mempengaruhi terjadinya permasalah


gizi dan tumbuh kembang balita. Gizi kurang terlebih gizi buruk pada balita akan
menurunkan derajat kesehatan balita dan menurunkan kemampuan otak balita dalam
mencatat, menyerap, memproduksi dan merekonstruksi informasi (Susanto, 2011).

Implementasi asuhan keperawatan keluarga :


1). Perawat memulai dengan melakukan TUK 1 dan 2 yakni melakukan diskusi
bersama keluarga terkait kemampuan keluarga mengenal masalah gizi pada balita
dengan menggunakan media lembar balik dan leaflet. Menjelaskan gizi seimbang
untuk balita, penyebab gizi kurang pada balita, tanda dan gejala gizi kurang pada
balita, cara mengatasi kurang gizi pada balita dan akibat lanjut kurang gizi pada
balita, 2). Meminta keluarga untuk menyebutkan kembali tanda gejala dan akibat gizi
kurang pada balita, 3). Memberikan reinforcement positif atas kemampuan keluarga
dapat menyebutkan tanda gejala dan akibat lanjut dari gizi kurang, 4). Memberi
motivasi pada keluarga untuk mengambil keputusan dalam melakukan perawatan
anggota keluarga yang mengalami masalah gizi kurang, 5).Memberikan
reinforcement positif atas keputusan yang diambil oleh keluarga.

Setelah keluarga mampu mencapai tujuan khusus 2 dilanjutkan dengan tujuan khusus
3 yaitu kemampuan keluarga merawat anggota keluarganya yaitu : 6).
Mendemonstrasikan kepada keluarga cara pemilihan menu gizi seimbang pada balita,
7). Memberikan kesempatan kepada keluarga untuk mengulangi kembali apa yang
telah diajarkan, 8).Memberikan reinforcement positif terhadap usaha yang telah
dilakukan keluarga.

Setelah keluarga mampu mencapai tujuan khusus 3 dilanjutkan dengan tujuan khusus
4 dan 5 yaitu kemampuan keluarga memodifikasi lingkungan dan memanfaatkan
fasilitas kesehatan yaitu : 9). Mendiskusikan bersama keluarga cara memodifikasi
lingkungan agar mudah mendapatkan makanan bergizi yang beragam, sehat, mudah
dijangkau dan dapat menghemat pengeluaran keuangan keluarga, 10). Memberikan
kesempatan pada keluarga untuk dapat mengungkapkan pendapat keluarga tentang
cara memodifikasi lingkungan, 11). Memberikan pujian atas kemampuan keluarga
memberikan pendapatnya, 12). Membantu keluarga dalam memodifikasi
lingkungannya.

Universitas Indonesia

Penerapan bina..., Neti Hartaty, FIK UI, 2015


85

Tindakan selanjutnya yaitu dengan 13). Memotivasi keluarga untuk menciptakan


modifikasi lingkungan seperti yang telah didiskusikan sebelumnya, 14).
Mendiskusikan bersama keluarga tentang jenis dan manfaat fasilitas kesehatan yang
dapat digunakan untuk memantau serta meningkatkan berat badan anak Ir. 15).
Menganjurkan keluarga untuk memanfaatkan fasilitas pelayanan kesehatan yang ada
dimasyarakat seperti memantau pertumbuhan berupa berat badan dan tinggi badan
anak Ir di posyandu secara rutin setiap bulannya serta ke Puskesmas untuk
mendapatkan suplemen vitamin, 16). Melakukan kunjungan tidak terencana untuk
menilai pelaksanaan oleh keluarga atas intervensi yang telah dilakukan.

Hasil Evaluasi :
Pertemuan kedua dan ketiga keluarga telah dapat mencapai tujuan 1 dan 2 yaitu
mampu mengenal masalah dan memutuskan untuk segera merawat anggota
keluarganya yang mengalami gizi kurang. Ibu I mengatakan “gizi seimbang adalah
makanan yang diperlukan tubuh sesuai umur anak”. Ibu I mengatakan penyebab
kurang gizi adalah “karena jumlah makan yang kurang, jenis makanan yang tidak
seimbang dan makan tidak teratur”. Ibu I mengatakan tanda dan gejala gizi kurang
adalah “badan kurus, rambut tipis dan mudah tercabut, kulit kering dan kusam”.

Pertemuan keempat keluarga dapat menyebutkan cara pencegahan dan perawatan


anak dengan gizi kurang. Ibu I mengatakan cara mengatasi kurang gizi yaitu “makan
yang teratur, memberi jenis makan yg seimbang, memberi makanan yang bervariasi
dan menyajikan semenarik mungkin”. Ibu I mengatakan akibat lanjut dari kurang
gizi adalah “tumbuh kembang anak terganggu, anak mudah sakit, anak menjadi
kurang cerdas”.

Pertemuan kelima dan keenam Ibu I, Nenek N dan Ibu C dapat memilih menu gizi
seimbang dengan baik. Pertemuan keenam perawat melihat ibu I menyediakan menu
seimbang sederhana dan menyajikannya dengan menarik agar anak Ir mau makan,
perawat melihat anak Ir menghabiskan makanannya.

Pertemuan ketujuh dan kedelapan kakek E, nenek N, ibu I dan ibu C memodifikasi
lingkungan untuk menunjang penyediaan gizi seimbang untuk anak Ir khususnya dan
untuk keluarga pada umumnya. Keluarga kakek E bersama-sama menanam tanaman

Universitas Indonesia

Penerapan bina..., Neti Hartaty, FIK UI, 2015


86

dan sayur-sayuran berupa ubi, singkong, sayur bayam, sayur kangkung, tomat.
Pertemuan selanjutnya perawat mengunjungi keluarga di hari bertepatan dengan hari
posyandu di RW 4, perawat melihat ibu I sedang bersiap-siap membawa anak Ir ke
posyandu.

Rencana tindak lanjut : perawat melakukan kunjungan tidak terencana untuk melihat
adanya perubahan perilaku keluarga dalam menyelesaikan permasalahan gizi anak Ir.
Dan melihat kehadiran Ibu I saat berlangsungnya pelaksanaan kegiatan posyandu.

Diagnosa keperawatan 2 pada keluarga Ibu I : Keterlambatan perkembangan pada


anak Ir. Tujuan umum : setelah dilakukan intervensi keperawatan selama 3 bulan,
keterlambatan perkembangan anak Ir dapat teratasi. Tujuan khusus : setelah
dilakukan intervensi keperawatan selama 3 bulan, keluarga mampu : 1). Mengenal
masalah keterlambatan perkembangan dan mengidentifikasi anggota keluarga yang
mengalami masalah keterlambatan perkembangan; 2). Mengambil keputusan untuk
melakukan perawatan pada anggota keluarga yang mengalami permasalahan
keterlambatan perkembangan; 3). Melakukan perawatan pada anggota keluarga yang
mengalami keterlambatan perkembangan; 4). Memodifikasi lingkungan untuk
mendukung pencapaian perkembangan anggota keluarga yang mengalami
keterlambatan; 5). Memanfaatkan pelayanan kesehatan untuk mengatasi masalah
keterlambatan perkembangan.

Rencana Intervensi Keperawatan :


1). Lakukan diskusi bersama keluarga Ibu I untuk mengenali tentang tumbuh
kembang balita, 2). Lakukan diskusi bersama keluarga mengenai permasalahan
keterlambatan perkembangan, 3). Diskusikan bersama keluarga cara mengambil
keputusan dalam melakukan perawatan pada anggota keluarga yang teridentifikasi
mengalami keterlambatan perkembangan, 4). Jelaskan kepada keluarga mengenai
cara merawat anggota keluarga dengan masalah keterlambatan perkembangan, 5).
Ajarkan kepada keluarga cara melakukan stimulasi perkembangan dan mendeteksi
perkembangan balita dengan menggunakan KPSP, 6). Bantu keluarga dalam
memodifikasi lingkungan untuk mendukung perkembangan balita, 7). Anjurkan
keluarga untuk memanfaatkan fasilitas pelayanan kesehatan khususnya pelayanan
yang ada di masyarakat.

Universitas Indonesia

Penerapan bina..., Neti Hartaty, FIK UI, 2015


87

Pembenaran : Kementerian Kesehatan Republik Indonesia (Kemenkes RI) (2010)


menyatakan masa lima tahun pertama kehidupan merupakan golden period (masa
keemasan), window of opportunity (jendela kesempatan) dan critical period (masa
kritis). Selama beberapa tahun pertama kehidupan, pertumbuhan yang cepat dan
pembangunan terjadi pada semua domain membentuk fondasi yang kuat untuk
belajar keterampilan berikutnya (Riset Nasional Dewan Institute of Medicine, 2000).
Pada masa balita perkembangan kemampuan berbahasa, kreativitas, kesadaran sosial,
emosional dan intelegensia berjalan sangat cepat, perkembangan moral dan dasar-
dasar kepribadian juga dibentuk pada masa ini, sehingga setiap kelainan atau
penyimpangan sekecil apapun bila tidak terdeteksi dan tidak tertangani akan
mengurangi kualitas sumber daya manusia kelak (Adriana, 2011).

Masa anak di bawah usia lima tahun (balita) merupakan masa kritis yang akan
menentukan kemampuan intelektual, sikap, nilai dan perilaku di kemudian hari. Pada
masa ini tumbuh kembang baik fisik, mental dan sosial akan terwujud bila
mendapatkan rangsangan atau stimulasi dan perawatan yang tepat. Anak yang
mendapatkan stimulasi yang terarah dan teratur akan lebih cepat berkembang
dibandingkan anak yang kurang bahkan tidak mendapatkan stimulasi (Nugroho,
2009).

Pemberian stimulasi dapat meningkatkan kemampuan bicara berkat kemampuan


plastisitas otak, penelitian yang dilakukan oleh Fitra, Purwanti dan Puruhita (2011)
membuktikan bahwa stimulasi berpengaruh terhadap peningkatan perkembangan
bicara anak. Bowden dan Greenberg (2010) menyatakan tumbuh kembang balita
sangat dipengaruhi oleh faktor lingkungan yaitu nutrisi dan stimulasi. Penelitian yang
dilakukan oleh Irmawati (2009) menyatakan bahwa stimulasi mempunyai peranan
penting untuk meningkatkan pertumbuhan dan perkembangan anak, terutama fungsi
kognitif, afektif dan psikomotor.

Bornstein, Putnick, Heslington, Gini, Suwalsky dan Venuti (2008) serta Shonkoff,
Boyce dan McEwen (2009) mengemukakan praktek perawatan keluarga pada anak di
usia lima tahun pertama kehidupannya memiliki pengaruh yang kuat terhadap
perkembangan motorik, bahasa, kognitif dan sosio emosional anak usia balita dan hal
ini merupakan landasan bagi pembangunan masa depan anak. Stimulasi yang

Universitas Indonesia

Penerapan bina..., Neti Hartaty, FIK UI, 2015


88

dilakukan oleh keluarga baik dari aspek kognitif, afektif maupun psikomotorik akan
membawa dampak positif bagi perkembangan balita (Susanto, 2011).

Keluarga memegang peranan penting dalam menciptakan suasana lingkungan yang


penuh dengan kasih sayang, memiliki kemampuan memahami balita sebagai individu
yang unik yang memiliki potensi-potensi yang berbeda satu sama lain serta mampu
menghargai potensi yang dimiliki oleh balita. Setiap anak perlu mendapat stimulasi
rutin sedini mungkin dan terus menerus pada setiap kesempatan. Kariger (2012)
menyatakan bahwa perawatan keluarga yang meliputi dukungan untuk belajar atau
stimulasi dan sumber daya pengasuhan merupakan dukungan yang sangat penting
bagi tumbuh kembang balita. Bradley dan Caldwell (1995) menggambarkan
perawatan keluarga sebagai “serangkaian tindakan lingkungan dilakukan oleh
pengasuh atau kondisi lingkungan diatur oleh pengasuh yang memungkinkan anak
untuk beradaptasi dan mengejar tujuan”. Selain itu keluarga juga membantu
psychobiological balita sehingga setiap anak mendapatkan kesempatan serta
pengalaman terbaik untuk tumbuh kembang ke arah yang positif.

Intervensi Keperawatan :
1). Perawat memulai dengan melakukan TUK 1 dan 2 yakni melakukan diskusi
bersama keluarga terkait kemampuan keluarga mengenal masalah tumbuh kembang
balita dengan menggunakan media lembar balik dan leaflet. Menjelaskan terkait
tumbuh kembang balita, empat kemampuan dasar balita yang harus dipantau,
tahapan perkembangan anak menurut usia, penyebab keterlambatan perkembangan
pada balita, tanda dan gejala keterlambatan perkembangan pada balita, cara
mengatasi keterlambatan perkembangan balita dan akibat dari keterlambatan
perkembangan yang tidak diatasi, 2). Meminta keluarga untuk menyebutkan kembali
empat kemampuan dasar yang harus dipantau pada balita dan cara mengatasi
keterlambatan perkembangan balita, 3). Memberikan reinforcement positif atas
kemampuan keluarga dapat menyebutkan empat kemampuan dasar yang harus
dipantau pada balita dan cara mengatasi keterlambatan perkembangan balita, 4).
Memberi motivasi pada keluarga untuk mengambil keputusan dalam melakukan
perawatan anggota keluarga yang mengalami masalah keterlambatan perkembangan,
5).Memberikan reinforcement positif atas keputusan yang diambil oleh keluarga.

Universitas Indonesia

Penerapan bina..., Neti Hartaty, FIK UI, 2015


89

Setelah keluarga mampu mencapai tujuan khusus 2 dilanjutkan dengan tujuan khusus
3 yaitu kemampuan keluarga merawat anggota keluarga dengan masalah
keterlambatan perkembangan yaitu : 6). Mendemonstrasikan kepada keluarga cara
mengatasi keterlambatan perkembangan balita yaitu dengan melakukan stimulasi
perkembangan, 7). Mengajarkan kepada keluarga cara mendeteksi perkembangan
balita dengan menggunakan Kuesioner Pra Skrining Perkembangan (KPSP), 8).
Memberikan kesempatan kepada keluarga untuk mengulangi kembali apa yang telah
diajarkan, 9).Memberikan reinforcement positif terhadap usaha yang telah dilakukan
keluarga.

Setelah keluarga mampu mencapai tujuan khusus 3 dilanjutkan dengan tujuan khusus
4 dan 5 yaitu kemampuan keluarga memodifikasi lingkungan dan memanfaatkan
fasilitas kesehatan yaitu : 10). Mendiskusikan bersama keluarga cara memodifikasi
lingkungan untuk mendukung mengatasi permasalahan keterlambatan perkembangan
balita, 11). Memberikan kesempatan pada keluarga untuk dapat mengungkapkan
pendapat keluarga tentang cara memodifikasi lingkungan yaitu dengan cara seluruh
anggota keluarga ikut serta bersama melakukan stimulasi perkembangan pada
keempat aspek perkembangan sesuai usia anak Ir, 12). Memberikan pujian atas
kemampuan keluarga memberikan pendapatnya, 13). Membantu keluarga dalam
memodifikasi lingkungannya.

Tindakan selanjutnya yaitu dengan 14). Memotivasi keluarga untuk menciptakan


modifikasi lingkungan seperti yang telah didiskusikan sebelumnya, 15).
Mendiskusikan bersama keluarga tentang jenis dan manfaat fasilitas kesehatan dan
pelayanan masyarakat yang dapat digunakan untuk memantau dan mendukung
perkembangan anak Ir. 16). Menganjurkan keluarga untuk memanfaatkan fasilitas
pelayanan kesehatan dan pelayanan yang ada di masyarakat seperti ikut serta menjadi
anggota kelompok Bina Keluarga Balita plus (BKB+) dan memasukkan anak Irk e
Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD), 16). Melakukan kunjungan tidak terencana
untuk menilai pelaksanaan oleh keluarga atas intervensi yang telah dilakukan.

Hasil Evaluasi :
Pertemuan kedua dan ketiga keluarga telah dapat mencapai tujuan 1 dan 2 yaitu
mampu mengenal masalah dan memutuskan untuk segera merawat anggota

Universitas Indonesia

Penerapan bina..., Neti Hartaty, FIK UI, 2015


90

keluarganya yang mengalami masalah keterlambatan perkembangan. Ibu I


mengatakan “pertumbuhan adalah yang bisa dilihat dari fisik anak yaitu berat badan
dan tinggi badan, perkembangan dilihat dari kemampuan anak seperti merangkak,
duduk, bicara dan tidak takut lagi dengan orang lain”. Ibu I mengatakan “empat
kemampuan dasar balita yang harus dipantau adalah gerak kasar, gerak halus, bicara
bahasa dan sosialisasi kemandirian”.

Pertemuan keempat keluarga dapat menyebutkan cara pencegahan dan perawatan


anak dengan masalah keterlambatan perkembangan. Ibu I mengatakan “cara
mengatasi keterlambatan perkembangan balita adalah dengan melakukan stimulasi
atau merangsang perkembangan anak dari empat aspek kemampuan”.

Pertemuan kelima dan keenam keluarga Ibu I dapat melakukan stimulasi


perkembangan bicara dan bahasa serta stimulasi sosialisasi dan kemandirian. Perawat
melihat anak Ir sedang bermain bersama anak-anak yang lainnya di halaman rumah
dengan didampingi oleh Ibu I, seluruh anggota keluarga duduk di teras rumah, saat
anak Ir selesai bermain dan ikut duduk di teras, terlihat keluarga berbicara dengan
anak Ir dengan pelan dan jelas, ibu T mengajak anak Ir bernyanyi. Pertemuan
keenam keluarga sudah dapat menggunakan KPSP.

Pertemuan ketujuh dan kedelapan keluarga ibu I memodifikasi lingkungan dengan


menyediakan mainan-mainan sederhana seperti bola kaki yang diletakkan di halaman
rumah, buku cerita dan kertas beserta pensil. Pertemuan selanjutnya perawat
melakukan kunjungan tidak terencana pada saat hari pelaksanaan BKB+, perawat
tidak mendapati ibu I dirumah, ternyata ibu I dan anak Ir sudah berada dib alai
koperasi tempat penyelenggaraan BKB+.

Rencana tindak lanjut : perawat melakukan kunjungan tidak terencana untuk melihat
adanya perubahan perilaku keluarga dalam mendukung perkembangan anak Ir dan
melihat kehadiran rutin ibu I dan anak Ir pada saat kegiatan BKB+.

Evaluasi kuantitatif dilakukan melalui pencapaian keluarga dalam pelaksanaan lima


tugas kesehatan keluarga dalam perkembangan keluarga dengan masalah tumbuh
kembang balita yang dapat dilakukan penilaian terhadap kemandirian keluarga.

Universitas Indonesia

Penerapan bina..., Neti Hartaty, FIK UI, 2015


91

Pembinaan keluarga pada masing-masing dilakukan selama kurang lebih 4 bulan


dengan kunjungan rata-rata tiap keluarga 14-16 kali kunjungan selama 45-60 menit
setiap kali kunjungan. Setiap kali kunjungan dilakukan implementasi untuk
mengatasi satu atau dua tujuan intruksional khusus masalah keluarga.

Intervensi yang terkait dengan permasalahan tumbuh kembang balita yang perawat
laksanakan kepada 10 keluarga binaan sebagian besar berkisar pada pendidikan
kesehatan, psikomotor dan terapi modalitas. Pendidikan kesehatan tentang tumbuh
kembang balita, tentang stimulasi perkembangan pada balita, gizi seimbang, ASI
ekslusif dan Makanan Pendamping ASI. Psikomotor berupa stimulasi perkembangan
oleh keluarga dalam kehidupan sehari-hari, cara pengisian KPSP oleh keluarga
terhadap balita di rumah. Terapi modalitas yang diberikan berupa terapi bermain dan
pijat bayi.

Kemandirian Keluarga :
Setelah dilakukan pembinaan pada sepuluh keluarga binaan residen maka terjadi
peningkatan perkembangan balita. Sepuluh orang balita yang pada saat skrining awal
KPSP mempunyai hasil meragukan, saat di skrining akhir, delapan orang balita
perkembangannya sudah sesuai dengan usianya. Dalam hal kemandirian keluarga,
terjadi peningkatan tingkat kemandirian pada 10 keluarga. Hasil yang diperoleh
dicerminkan dalam tingkat kemandirian keluarga pada rentang tingkat kemandirian
III hingga IV. Sebanyak 40 % keluarga berada pada tingkat kemandirian III
(keluarga mampu mengidentifikasi masalah yang dialami dan melakukan perawatan
sederhana yaitu menyelesaikan masalah yang dialami), 60% keluarga berada pada
tingkat kemandirian IV (mampu melakukan pencegahan dengan melakukan
komunikasi secara terbuka dalam keluarga dan mampu melakukan promosi
kesehatan dengan mampu memberikan stimulasi perkembangan pada balita.
Berdasarkan ketuntasan diagnosis keperawatan yang ditemukan dan keberhasilan
kemandirian keluarga pada 10 keluarga binaan selama diberikan asuhan keperawatan
keluarga. Telah terjadi peningkatan kemandirian yang signifikan 6 keluarga pada
kemandirian IV dan 4 keluarga pada tingkat kemandirian III. Tingkat kemandirian I
sudah meningkat ke kemandirian III dan IV, dapat dilihat dalam tabel 4.1 berikut:

Universitas Indonesia

Penerapan bina..., Neti Hartaty, FIK UI, 2015


92

Tabel 4.2
Indikator Dampak Askep Keluarga Berdasarkan Tingkat Kemandirian
Keluarga Kelurahan Sukamaju Baru
Tahun 2014-2015

No. Kriteria Keluarga Binaan


1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
1. Menerima √ √ √ √ √ √ √ √ √ √
petugas
kesehatan
2. Menerima √ √ √ √ √ √ √ √ √ √
pelayanan
kesehatan
sesuai rencana
keperawatan
3. Tahu dan dapat √ √ √ √ √ √ √ √ √ √
mengungkapkan
masalah
kesehatannya
secara benar
4. Memanfaatkan √ √ √ √ √ √ √ √ √ √
fasilitas
pelayanan
kesehatan
sesuai anjuran
5. Melakukan √ √ √ √ √ √ √ √ √ √
tindakan
keperawatan
sederhana
sesuai anjuran
6. Melakukan √ √ √ √ √ √ √ √ √ √
tindakan
pencegahan
secara aktif
7. Melakukan √ √ √ - - √ - √ - √
tindakan
peningkatan
kesehatan
(promotif)
secara aktif
Tingkat kemandirian 4 4 4 3 3 4 3 4 3 4

Kemandirian keluarga dinilai berdasarkan dilaksanakannya kelima tugas kesehatan


keluarga (Depkes RI, 2006) yang diukur melalui 7 aspek dalam pelaksanaan tindakan
keperawatan keluarga, yaitu (1) penerimaan keluarga terhadap petugas kesehatan dan
pengetahuan keluarga tentang tumbuh kembang balita; (2) penerimaan keluarga
untuk memutuskan tindakan keperawatan terhadap masalah keterlambatan
perkembangan pada balita (3) mampu mengungkapkan permasalahan yang dihadapi
keluarga tentang perawatan keterlambatan perkembangan pada balita; (4) keluarga
mampu memanfaatkan fasilitas pelayanan kesehatan seperti puskesmas, posyandu
dan BKB+; (5) Keluarga melakukan tindakan keperawatan sesuai anjuran perawat
termasuk terapi modalitas (6) Keluarga mampu mengambil keputusan yang tetap
untuk mengatasi masalah keterlambatan perkembangan pada balita; dan (7) Keluarga

Universitas Indonesia

Penerapan bina..., Neti Hartaty, FIK UI, 2015


93

mampu meningkatkan status kesehatan keluarganya melalui latihan atau tindakan


promotif.

Peningkatan tingkat kemandirian keluarga pada 10 keluarga binaan di Kelurahan


Sukamaju Baru dapat dilihat pada tabel 4.2 sebagai berikut :

Tabel 4.3
Tingkat Kemandirian Keluarga Binaan di Kelurahan Sukamaju Baru
Tahun 2014-2015

Tingkat Tingkat
Kemandirian Kemandirian
Keluarga Binaan Keterangan
Sebelum Setelah
Intervensi Intervensi
1 I IV Kelolaan
2 II IV Resume
3 I IV Resume
4 I III Resume
5 I III Resume
6 I IV Kelolaan
7 I III Resume
8 II IV Resume
9 I III Resume
10 II IV Resume

Tabel 4.2 didapatkan data hasil pencapaian tingkat kemandirian keluarga pada 10
keluarga yang menjadi binaan melalui asuhan keperawatan keluarga yaitu sebesar 6
keluarga (60 %) mencapai tingkat kemandirian IV dan 4 keluarga (40%) pada tingkat
kemandirian III. Rata-rata perubahan tingkat kemandirian keluarga sebesar 2 tingkat
(level). Jika dilihat dari posisi awal tingkat kemandirian keluarga sebelum diberikan
asuhan keperawatan keluarga yaitu 60% pada tingkat kemandirian I dan 40 % tingkat
kemandirian II, maka rerata perubahan tingkat kemandirian keluarga sebesar 2,2
tingkat.

Jumlah keluarga yang hanya mencapai tingkat kemandirian III sebanyak empat
keluarga. Keluarga tersebut belum secara aktif melaksanakan kegiatan promotif
terkait tumbuh kembang balita seperti aktif mencari informasi tentang tumbuh
kembang balita dan antusias bertanya kepada mahasiswa residen saat kunjungan
rumah. Selain itu, keluarga belum aktif melakukan stimulasi perkembangan pada
balitanya yang sehat. Keempat keluarga dengan tingkat kemandirian III tersebut

Universitas Indonesia

Penerapan bina..., Neti Hartaty, FIK UI, 2015


94

merupakan keluarga dengan tingkat pendapatan ekonomi yang rendah dan


mempunyai lebih dari tiga orang anak dengan jarak antara satu balita dengan balita
lainnya sangat dekat.

4.3. Asuhan Keperawatan Komunitas.


Pengkajian pada praktik ini menggunakan model teori konseptual Betty Neuman
pada tahun 1972 dan telah dikembangkan oleh Anderson dan Mc Farlane. 1988,
yaitu model pengkajian Community As Partner. Model ini sangat cocok dipakai pada
aplikasi keperawatan komunitas dengan luas wilayah, lokasi, sumber sumber yang
dimiliki atau karakteristik populasi tertentu. Model ini memiliki dua fokus yaitu
komunitas sebagai partner dan proses keperawatan. Selain itu model ini metodenya
melibatkan masyarakat untuk berpartisipasi aktif dalam upaya meningkatkan
kesehatannya. Model pengkajian ini memiliki dua komponen utama yaitu inti
masyarakat (core community) dan 8 sub sistem. Pengkajian pada inti masyarakat
difokuskan pada data demografi (karakteristik balita yang terdiri dari umur, jenis
kelamin), vital statistik, etnik, nilai dan kepercayaan. Sedangkan pada sub sistem
difokuskan pada pelayanan kesehatan dan sosial, komunikasi, ekonomi, pendidikan,
lingkungan fisik, keamanan dan transportasi, politik dan pemerintahan serta rekreasi.

4.3.1. Pengumpulan Data.


Pengkajian komunitas merupakan suatu proses atau upaya untuk dapat mengenal
masyarakat. Metode pengumpulan data yang telah dilakukan dalam pengkajian
komunitas di Kelurahan Sukamaju Baru Kecamatan Tapos Kota Depok diuraikan
sebagai berikut :
4.3.1.1. Windshield Survey (WS).
Metoda WS adalah survey dengan cara mengelilingi lingkungan komunitas.
Obsevasi dengan menggunakan seluruh panca indera yang meliputi penglihatan,
pendengaran, penciuman, perabaan dan pengecapan. Melihat komunitas secara
keseluruhan pada lingkungan tempat tinggal balita dengan masalah risiko
keterlambatan perkembangan adalah langkah pertama yang penting untuk
mengarahkan pengkajian dan mempelajari komunitas secara keseluruhan. Tujuan
WS adalah untuk mengetahui kekuatan dan kelemahan komunitas, yang dapat
dijadikan faktor yang mendukung terjadinya masalah keterlambatan perkembangan
pada balita. Pengkajian ini mengidentifikasi hal yang berkaitan dengan pelayanan

Universitas Indonesia

Penerapan bina..., Neti Hartaty, FIK UI, 2015


95

kesehatan yang mendukung tumbuh kembang balita di wilayah. Residen melihat


papan nama posyandu di beberapa RW namun tidak semua RW terlihat mempunyai
bangunan posyandu. Selain itu dari lima belas RW yang residen lihat, hanya
sebagian kecil RW yang mempunyai PAUD. Bahkan residen tidak menemukan
bangunan BKB.
4.3.1.2. Literatur review (LR).
LR dapat memberikan kesempatan untuk mengenal masalah berdasarkan laporan. LR
diintegrasikan dengan metoda pengkajian lainnya. LR dapat mengenali masalah
utama pada komunitas, selain itu dapat juga menjelaskan hubungan atar variabel
masalah kesehatan komunitas. Literatur yang relevan dapat berupa laporan ilmiah
atau artikel. Residen mengumpulkan beberapa jurnal yang berhubungan dengan
tumbuh kembang balita, stimulasi perkembangan pada balita dan lainnya. Residen
juga memperoleh beberapa sumber atau laporan yang berasal dari Dinas Kesehatan
Kota Depok dan dari Badan Pemberdayaan masyarakat dan keluarga (BPMK) Kota
Depok.
4.3.1.3. Interview Key Informant (KI).
KI adalah orang-orang dengan posisi yang penting pada komunitas yang memberikan
pandangan pada komunitasnya baik masalah maupun kebutuhan. KI juga dapat
mengidentifikasi hambatan-hambatan program dan bagaimana menurunkan
hambatan atau mengetahui orang yang dapat dihubungi untuk membantu program
komunitas terutama yang berkaitan dengan kesehatan balita khususnya dengan
tumbuh kembang balita. Beberapa KI mungkin sebagai Pegawai/petugas
pemerintahan, pendidik, profesional kesehatan, kader posyandu, aparat pemerintahan
daerah, pelaku bisnis, pemuka agama, politikus, pemimpin proyek dan penceramah
yang mengetahui banyak atau paham tentang komunitas. Dalam hal ini residen
banyak mendapatkan informasi dari kader posyandu senior yang juga sekaligus
sebagai pengurus pokja IV PKK Kelurahan Sukamaju Baru sekaligus Kecamatan
Tapos.
4.3.1.4. Angket.
Pengumpulan data dalam pengkajian komunitas ini adalah menggunakan instrumen
berupa kuesioner. Kuesioner sebagai alat pengumpul data dalam penelitian ini
berisikan sejumlah item pertanyaan untuk mengukur variabel dalam inti komunitas
dan 8 sub sistem dari model community as partner yang berkaitan dengan tumbuh
kembang balita.

Universitas Indonesia

Penerapan bina..., Neti Hartaty, FIK UI, 2015


96

Instrumen yang digunakan dalam melakukan pengkajian pada populasi keluarga


balita dengan permasalahan tumbuh kembang ini adalah pengembangan dari model
community as partner. Instrumen ini terdiri dari variabel core yaitu inti komunitas
dan subsistem.
4.3.1.5. Uji Instrumen.
Instrumen pengkajian yang telah disusun dalam suatu angket ini akan dilakukan
suatu uji keabsahan instrumen. Uji coba ini dimaksudkan untuk mengetahui apakah
angket yang disebarkan dapat dipahami oleh responden atau tidak. Uji validitas
dimaksudkan untuk mengetahui apakah item mempunyai kemampuan mengukur apa
yang akan diukur oleh peneliti. Uji reliabilitas dimaksudkan apakah item-item
tersebut konsisten untuk mengukur apa yang hendak diukur (Sugiyono, 2002). Uji
validitas dilakukan untuk mengetahui apakah alat ukur tersebut benar-benar
mengukur apa yang perlu diukur yaitu dengan melihat korelasi antara skor tiap butir
dengan skor total (Sugiyono, 2002). Uji coba kuesioner dilakukan terhadap 20 orang
responden di Kelurahan Sukatani yang berbatasan dengan Kelurahan Sukamaju
Baru.
4.3.1.6. Populasi dan Sampel.
Populasi adalah keseluruhan unit yang akan diteliti. Populasi pada praktik ini adalah
seluruh balita dengan risiko keterlambatan tumbuh kembang di Kelurahan Sukamaju
Baru Kecamatan Tapos Kota Depok Provinsi Jawa Barat. Dari populasi tersebut
selanjutnya dihitung besar sampel. Sampel adalah sebagian dari populasi yang nilai
atau karakteristiknya dapat menduga karakteristik populasi. Metode pemilihan
sampel menggunakan teknik random sampling, yaitu pemilihan subjek penelitian
dimana semua individu dalam populasi mempunyai peluang yang sama untuk dipilih
sebagai sampel. Dikarenakan besar populasi balita dengan risiko keterlambatan
tumbuh kembang (N) tidak diketahui atau (N-n)/(N-1)=1 maka besar sampel dihitung
dengan rumus sebagai berikut :

Z2 p q Z2 p (1-p)
n = ---------- = --------------
d2 d2

Keterangan :
n = jumlah sampel minimal yang diperlukan

Universitas Indonesia

Penerapan bina..., Neti Hartaty, FIK UI, 2015


97

α = derajat kepercayaan
p = proporsi balita dengan risiko keterlambatan tumbuh kembang
d = limit dari error atau presisi absolut
Jika ditetapkan =0,05 atau Z1- /2 = 1,96 atau Z21- /2 = 1,962 atau dibulatkan menjadi
4, maka rumus untuk besar N yang diketahui :
4pq
n = ----------
d2
maka hasil perhitungan didapatkan :
1,962 . 0,025 . 0,828
n = -------------------------
0,05 2
= 32

Melalui perhitungan tersebut, maka didapatkan besar sampel yang akan


dilakukan pengkajian sebesar 32 orang sampel.
4.3.1.7. Sumber Data.
Sumber data yang digunakan untuk menganalisis permasalahan dalam penelitian ini
adalah : 1).Data primer : data primer merupakan data yang didapatkan secara
langsung di lapangan dengan menggunakan alat bantu kuesioner yang telah
dipersiapkan terlebih dahulu oleh residen. Data dikumpulkan secara langsung dari
berbagai pihak yang terkait dengan permasalahan tumbuh kembang balita; 2).Data
sekunder : data sekunder merupakan data yang didapatkan secara tidak langsung
melalui Dinas Kesehatan dan BPMK yang terkait dengan permasalahan tumbuh
kembang balita.

4.3.2. Analisis Situasi.


Kesulitan penentuan sampel residen alami pada saat pengkajian awal dikarenakan
Puskesmas tidak memiliki data tentang permasalahan tumbuh kembang balita.
Puskesmas hanya memiliki data terkait pelayanan pengobatan secara umum, tidak
ada data khusus terkait pengobatan balita, terlebih data terkait permasalahan tumbuh
kembang balita.

Terkait dengan hal itu juga residen mengalami kesulitan dalam mengidentifikasi
kantong masalah permasalahan tumbuh kembang pada balita di Kelurahan Sukamaju
Baru. Identifikasi permasalahan tumbuh kembang balita residen peroleh melalui

Universitas Indonesia

Penerapan bina..., Neti Hartaty, FIK UI, 2015


98

pendekatan dengan key informan yaitu salah seorang ketua kader posyandu yang
senior yang juga merangkap sebagai ketua pokja IV PKK Kelurahan Sukamaju Baru.
Selain itu beberapa data juga residen dapatkan dari guru PAUD dan TK di Wilayah
Kelurahan Sukamaju Baru Kecamatan Tapos yaitu PAUD dan TK RW 13 dan RW
14. residen melakukan pengkajian secara langsung dari rumah ke rumah untuk
menggali lebih dalam terkait permasalahan tumbuh kembang balita. Wilayah yang
menjadi fokus pengkajian adalah RW 2, RW 4, RW 6, RW 7, RW 10. Penentuan
lokasi tersebut berdasarkan hasil wawancara dengan ketua kader kesehatan di
Kelurahan Sukamaju Baru Kecamatan Tapos Kota Depok yang menyatakan bahwa
di wilayah tersebut terdapat banyak balita.

Berdasarkan hasil survey dan wawancara yang peneliti lakukan saat praktik residensi
di Kelurahan Sukamaju Baru Kecamatan Tapos Kota Depok didapatkan sebanyak
54,2% keluarga belum mengetahui tentang tumbuh kembang balita, keluarga belum
pernah mendapatkan penyuluhan khusus mengenai tumbuh kembang balita, hanya
sedikit yang disinggung tentang tumbuh kembang balita pada saat kegiatan
penyuluhan gizi pada balita. 57,2% keluarga balita mempunyai sikap yang kurang
baik terhadap tumbuh kembang balita, keluarga menganggap tumbuh kembang pada
balita adalah sesuatu yang biasa dan pasti berjalan seiring waktu sehingga tidak perlu
dihiraukan. 49,6% keluarga berperilaku kurang baik terhadap tumbuh kembang
balita, salah satu contoh tertinggi adalah perilaku keluarga yang terbiasa berbicara
“cadel” kepada balita. Hasil wawancara juga didapatkan jarangnya keluarga
menemani balita bermain bahkan mengurangi waktu balita untuk bermain karena
ingin balita terfokus untuk belajar baca tulis hitung.

Saat melakukan survey, residen juga menggunakan format Kuesioner Pra Skrining
Perkembangan (KPSP) dalam melakukan skrining atau memeriksa perkembangan
anak dengan tujuan untuk mengetahui perkembangan balita normal atau adanya
penyimpangan. Penulis mendapatkan 54,5% balita di Kelurahan Sukamaju Baru
mengalami risiko keterlambatan tumbuh kembang.

4.3.3. Diagnosa Keperawatan komunitas.


1. Kurang pengetahuan masyarakat terkait tumbuh kembang balita di wilayah
Kelurahan Sukamaju Baru Kecamatan Tapos Kota Depok.

Universitas Indonesia

Penerapan bina..., Neti Hartaty, FIK UI, 2015


99

2. Risiko terjadinya peningkatan permasalahan keterlambatan tumbuh kembang


pada balita di wilayah Kelurahan Sukamaju Baru Kecamatan Tapos Kota Depok.

4.3.4. Penyelesaian masalah keperawatan komunitas :


Diagnosa keperawatan komunitas 1 : Kurang pengetahuan masyarakat terkait tumbuh
kembang balita di wilayah Kelurahan Sukamaju Baru Kecamatan Tapos Kota Depok.
Tujuan umum : terlaksananya kegiatan penyuluhan kesehatan terkait tumbuh
kembang balita, stimulasi tumbuh kembang balita. Tujuan khusus : 1). Memberikan
pengetahuan tentang tumbuh kembang balita; 2). Meningkatkan kesadaran peserta
untuk memperhatikan tumbuh kembang balitanya; 3). Terjadinya perubahan sikap
dan perilaku positif masyarakat mengenai pemantauan tumbuh kembang balita.

Rencana intervensi keperawatan : 1). Memberikan pendidikan kesehatan terkait


tumbuh kembang balita; 2). Memberikan pendidikan kesehatan terkait stimulasi
tumbuh kembang balita; 3). Kampanye mengenai pentingnya memantau tumbuh
kembang balita melalui penyebaran leaflet.

Pembenaran :
Berbeda halnya dengan gizi, permasalahan tumbuh kembang balita selama ini masih
dianggap sebagai hal yang tidak perlu dihiraukan karena akan berjalan seiring waktu.
Keluarga yang diharapkan dapat memenuhi kebutuhan asah, asuh dan asih pada
balita didalam kehidupan sehari-hari, masih kurang menyadari arti pentingnya
pemantauan perkembangan balita. Penelitian yang dilakukan oleh Ginsburg (2007)
melaporkan banyak orangtua yang melewatkan kesempatannya untuk terlibat penuh
bersama anak, orangtua lebih fokus pada peningkatan akademisi, padahal bermain
sangat penting untuk perkembangan kognitif, fisik, sosial dan emosional anak.
Penelitian Pan, Rowe, Singer dan Snow (2005) mengidentifikasi perkembangan
kosakata bahasa pada tiap anak berbeda-beda, salah satunya terkait dengan keaktifan
orangtua dalam melakukan komunikasi dengan balita juga harus berdasarkan
keterampilan komunikasi dan psikologis yang sehat pada orangtua.

Implementasi, Evaluasi dan Rencana Tindak Lanjut.


Implementasi kegiatan komunitas yang telah dilakukan : 1). Pendidikan kesehatan
terkait tumbuh kembang balita di RW 4, RW 10, RW 6, RW 8, RW 13 Kelurahan

Universitas Indonesia

Penerapan bina..., Neti Hartaty, FIK UI, 2015


100

Sukamaju Baru Kecamatan Tapos; 2). Pendidikan kesehatan terkait stimulasi tumbuh
kembang balita di RW 4, RW 10, RW 6, RW 8, RW 9, RW 13 Kelurahan Sukamaju
Baru Kecamatan Tapos; 3). Kampanye pentingnya pemantauan tumbuh kembang
balita di seluruh posyandu kelurahan Sukamaju Baru Kecamatan Tapos.

Evaluasi : 1). Adanya peningkatan pengetahuan masyarakat tentang tumbuh


kembang balita dari 54,2% menjadi 78,5%; 2). Adanya peningkatan pengetahuan
masyarakat tentang stimulasi tumbuh kembang balita dari 49,6% menjadi 78,2%; 3).
Mulai munculnya kesadaran masyarakat dalam memantau tumbuh kembang
balitanya, terlihat dengan sebagian besar ibu-ibu yang mengunjungi posyandu
berkonsultasi mengenai perkembangan anaknya.

Rencana tindak lanjut : 1). Penyuluhan secara berkala mengenai tumbuh kembang
balita oleh kader sehingga kegiatan ini berkelanjutan, dapat dilakukan saat posyandu
balita di meja keempat; 2). Dilaksanakannya kegiatan kampanye secara berkala; 3).
Perlunya dipasang beberapa spanduk terkait tumbuh kembang balita pada tempat-
tempat strategis yang mudah dilihat oleh masyarakat.

Diagnosa keperawatan komunitas 2 : risiko terjadinya peningkatan permasalahan


keterlambatan tumbuh kembang pada balita di wilayah Kelurahan Sukamaju Baru
Kecamatan Tapos Kota Depok. Tujuan umum : tidak terjadinya peningkatan
permasalahan keterlambatan tumbuh kembang. Tujuan khusus : 1). Tersosialisasinya
kegiatan stimulasi tumbuh kembang balita; 2). Dilaksanakannya stimulasi tumbuh
kembang oleh keluarga balita; 3). Tersosialisasinya pentingnya kegiatan bermain
bagi balita. 4). Terlaksana dengan rutinnya kegiatan terapi bermain di PAUD dan TK
di wilayah Kelurahan Sukamaju Baru Kecamatan Tapos.

Rencana intervensi keperawatan : 1). Demontrasi kegiatan stimulasi tumbuh


kembang; 2). Terapi bermain bagi siswa PAUD dan TK. Pembenaran : Bornstein,
(2008) dan Shonkoff (2009) mengemukakan praktek perawatan keluarga pada anak
di usia lima tahun pertama kehidupannya memiliki pengaruh yang kuat terhadap
perkembangan motorik, bahasa, kognitif dan sosio emosional anak usia balita dan hal
ini merupakan landasan bagi pembangunan masa depan anak. Bradley dan Caldwell
(1995) menggambarkan perawatan keluarga sebagai “serangkaian tindakan

Universitas Indonesia

Penerapan bina..., Neti Hartaty, FIK UI, 2015


101

lingkungan dilakukan oleh pengasuh atau kondisi lingkungan diatur oleh pengasuh
yang memungkinkan anak untuk beradaptasi dan mengejar tujuan”. Selain itu
keluarga juga membantu psychobiological balita sehingga setiap anak mendapatkan
kesempatan serta pengalaman terbaik untuk tumbuh kembang ke arah yang positif.
Kariger, Frongillo, Engle, Britto, Sywulka dan Menon (2012) menyatakan bahwa
perawatan keluarga yang meliputi dukungan untuk belajar atau stimulasi dan sumber
daya pengasuhan merupakan dukungan yang sangat penting bagi tumbuh kembang
balita.

Implementasi, Evaluasi dan Rencana Tindak Lanjut.


Implementasi kegiatan komunitas yang telah dilakukan : 1). Demonstrasi dan
simulasi stimulasi tumbuh kembang balita di RW 6, RW 8, RW 10 dan RW 13; 2).
Terapi bermain bagi anak usia pra sekolah di PAUD dan TK RW 13. Evaluasi :
peserta dapat mendemonstrasikan cara menstimulasi perkembangan balita
berdasarkan empat aspek perkembangan; 2). 100% siswa PAUD mengikuti kegiatan
terapi bermain. Rencana tindak lanjut : 1). Perlu dilakukan kegiatan rutin untuk
bersama-sama melakukan stimulasi terhadap balita masing-masing; 2). Pelaksanaan
kegiatan stimulasi dipisahkan sesuai dengan rentang usia.

4.4.Evaluasi Akhir Praktik Keperawatan Komunitas.

Tabel.4.4.
Tingkat Pengetahuan Responden Tentang Tumbuh kembang Balita
Di Kelurahan Sukamaju Baru Kecamatan Tapos Kota Depok
Oktober 2014-Mei 2015

No Pengetahuan Sebelum Sesudah


f % F %
1. Baik 23 46 39 78
2. Kurang 27 54 11 22
Jumlah 50 100 50 100

Berdasarkan tabel 4.4 diatas dapat dilihat adanya peningkatan pengetahuan


responden saat sebelum dilakukan intervensi yaitu 54% responden mempunyai
pengetahuan kurang terkait tumbuh kembang balita, saat setelah dilakukan intervensi
menjadi kategori pengetahuan baik yakni 78%.

Universitas Indonesia

Penerapan bina..., Neti Hartaty, FIK UI, 2015


102

Tabel.4.5.
Sikap Responden Tentang Tumbuh kembang Balita
Di Kelurahan Sukamaju Baru Kecamatan Tapos Kota Depok
Oktober 2014-Mei 2015

No Pengetahuan Sebelum Sesudah


F % F %
1. Baik 17 34 40 80
2. Kurang 33 66 10 20
Jumlah 50 100 50 100

Berdasarkan tabel 4.5 diatas terlihat terjadi peningkatan sikap keperdulian responden
tentang tumbuh kembang balita yang saat sebelum dilakukan intervensi sebesar 56%,
setelah dilakukan intervensi meningkat menjadi kategori baik yakni 80%.

Tabel.4.6.
Perilaku Responden Terkait Tumbuh kembang Balita
Di Kelurahan Sukamaju Baru Kecamatan Tapos Kota Depok
Oktober 2014-Mei 2015

No Pengetahuan Sebelum Sesudah


f % F %
1. Baik 22 44 37 74
2. Kurang 28 56 13 26
Jumlah 50 100 50 100

Berdasarkan tabel 4.6 diatas terlihat terjadi peningkatan perilaku yang baik dari
responden dalam mengasuh balitanya sehari-hari yang sebelumnya hanya 66% saat
ini meningkat menjadi kategori baik yaitu 74%.

Universitas Indonesia

Penerapan bina..., Neti Hartaty, FIK UI, 2015


103

BAB V
PEMBAHASAN

Bab ini akan menguraikan perbandingan kesenjangan dan pencapaian hasil dengan
teori, konsep, maupun penelitian terkait. Item yang dibahas dalam bab ini meliputi
analisis kesenjangan dan pencapaian dalam pelaksanaan manajemen pelayanan
keperawatan komunitas, asuhan keperawatan keluarga dan asuhan keperawatan
komunitas pada aggregat balita dengan tumbuh kembang. Selain itu, residen juga
akan membahas keterbatasan serta implikasi hasil praktik terhadap pelayanan dan
penelitian dalam keperawatan komunitas.

5.1. Pengelolaan Manajemen Pelayanan Keperawatan Komunitas.


5.1.1. Planning (perencanaan).
Meskipun perencanaan program SDIDTK telah direncanakan dengan baik, namun
program SDIDTK masih dinomorduakan karena masih memprioritaskan program
gizi pada balita. memprioritaskan program gizi memang merupakan suatu hal yang
penting. WHO yang dikutip dalam Global Post Amerika memperkirakan lebih dari
200 juta balita gagal dalam memenuhi potensi mereka secara maksimal dikarenakan
banyak dari kebutuhan yang paling dasar mereka tidak terpenuhi. Sebesar 25% anak-
anak di negara berkembang kekurangan nutrisi penting.

Menurut Balitbangkes Kemenkes RI (2013), prevalensi gizi buruk balita di Indonesia


meningkat dari 4,9% pada tahun 2010 menjadi 5,7% di tahun 2013. Balita dengan
gizi kurang juga meningkat dari 13% di tahun 2010 menjadi 13,9% pada tahun 2013.
Data Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2007, 2010 dan 2013 menunjukkan enam
provinsi yang sejak tahun 2007 sampai dengan tahun 2013 tidak pernah absen
dengan prevalensi gizi kurang, yakni (1) NTT, (2) Papua Barat, (3) Maluku, (4)
Aceh, (5) Gorontalo dan (6) Nusa Tenggara Barat (NTB).

Permasalahan gizi kurang khususnya di Kota Depok masih mengalami peningkatan


dari tahun 2009 sebesar 2,95% naik menjadi 3,78% pada tahun 2010 dan di tahun
2011 naik lagi menjadi 4,29% dari 4.940 balita, bahkan masih ditemukannya

Universitas Indonesia

Penerapan bina..., Neti Hartaty, FIK UI, 2015


104

prevalensi gizi buruk sebesar 129 balita (0,11%) (Profil Kesehatan Kota Depok,
2011).

Melihat dari data-data terkait gizi balita di dunia, Indonesia, Jawa Barat dan
khususnya Kota Depok, tidak mengherankan jika pemerintah Kota Depok khususnya
Dinas Kesehatan masih berfokus pada penuntasan permasalahan kasus gizi kurang
dan buruk pada balita. Karena pemasukan gizi pada masa balita akan berdampak
pada kesehatan dan pertumbuhannya. Hal ini sesuai dengan pernyataan Depkes RI
(2007) yang menyatakan bahwa status gizi merupakan indikator dari pertumbuhan
seorang balita, karena pertumbuhan balita dapat dinilai dari status gizinya.

Hal ini didukung oleh hasil penelitian yang dilakukan oleh Cohen (2008) yang
menyimpulkan bahwa tahun pertama kehidupan seorang anak ternyata lebih
memiliki efek jangka panjang bagi pertumbuhan fisik dan perkembangan. Hal ini
terkait dengan pemasukan gizi yang didapat pada tahun pertama kehidupannya.
UNICEF (2013) mengidentifikasi 165 juta anak di seluruh dunia terhambat
pertumbuhan dan perkembangannya dikarenakan permasalahan gizi.

Namun pada dasarnya pertumbuhan dan perkembangan pada balita seharusnya


sesuatu yang tidak dapat dipisahkan. Wong (2001) menyatakan pertumbuhan dan
perkembangan merupakan proses yang simultan, tidak terpisahkan dan terjadi secara
terus menerus. Proses ini tergantung pada genetik, nutrisi dan lingkungan. Semakin
bertambah besarnya ukuran tubuh anak, maka kepribadian juga berkembang dengan
kompleks.

Alangkah baiknya jika Dinas Kesehatan menjalankan program pembinaan kegiatan


gizi dan tumbuh kembang secara beriringan. Karena pada dasarnya tumbuh kembang
dan gizi adalah dua hal yang saling mendukung. Hal ini sesuai dengan penelitian
yang dilakukan oleh Nahar (2012) yang menyatakan bahwa pemberian makanan
yang sehat serta ditunjang oleh pemberian stimulasi sangat dibutuhkan oleh anak,
terlebih bagi anak-anak yang menderita malnutrisi.

Kegiatan posyandu yang selama ini sudah sangat berjalan dengan baik dan telah
berfokus pada pemantauan pertumbuhan balita dapat dijadikan langkah awal dalam

Universitas Indonesia

Penerapan bina..., Neti Hartaty, FIK UI, 2015


105

mengajak partisipasi seluruh kader yang telah aktif untuk membentuk kembali suatu
wadah yang berfokus bagi perkembangan balita. Keluarga yang memiliki balita dapat
disosialisasikan bahwa selain hadir pada kegiatan posyandu, keluarga balita juga
diharapkan hadir pada saat kegiatan BKB+.

5.1.2. Organizing (pengorganisasian).


Dalam hal melakukan pembinaan tumbuh kembang balita serta mendukung peraturan
daerah pemerintahan kota Depok terkait penyelenggaraan kota layak anak,
menghimpun semua sumber daya yang dimiliki oleh daerah menjadi hal penting.
Pengorganisasian merupakan upaya untuk menghimpun semua sumber daya yang
dimiliki daerah dan memanfaatkannya secara efisien guna mencapai goals (tujuan)
yang telah ditetapkan (Marquis & Huston, 2013). Fungsi pengorganisasian sangatlah
penting karena fungsi tersebut dapat memberi kerangka kerja untuk melaksanakan
rencana-rencana yang telah ditetapkan. Pengorganisasian merupakan pengelompokan
aktivitas yang penting untuk mencapai sasaran-sasaran yang telah ditetapkan. Pada
tahapan ini juga dilakukan pembagian kerja, tanggung jawab dan wewenang serta
hubungan kerja (Marquis & Huston, 2013; Gilles, 2000).

Pemerintah telah melaksanakan beberapa program sebagai upaya peningkatan


kualitas hidup dan perlindungan kesehatan anak. Di lingkungan masyarakat telah ada
berbagai kegiatan yang memberikan layanan kebutuhan dasar anak (yang meliputi
pendidikan, pelayanan kesehatan dasar, imunisasi, makanan tambahan dan lain-lain)
seperti Pos Pelayanan Terpadu (Posyandu), Tempat Penitipan Anak (TPA) dan
Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD), Namun penyelenggaraan pelayanan bagi anak
usia dini tersebut masih bersifat sektoral, parsial dan belum terintegrasi dengan baik.
Diperlukan program yang terintegrasi meliputi pemeliharaan kesehatan, pemenuhan
gizi, pendidikan, pengasuhan, dan perlindungan guna memenuhi semua kebutuhan
dasar anak.

Dalam hal melakukan pembinaan tumbuh kembang balita serta mendukung peraturan
daerah pemerintahan kota Depok terkait penyelenggaraan kota layak anak,
menghimpun semua sumber daya yang dimiliki oleh daerah menjadi hal penting.
Salah satu yang dapat dilakukan adalah mempererat kerjasama lintas sektoral antara
Dinas Kesehatan Kota Depok dengan Badan Pemberdayaan Masyarakat dan

Universitas Indonesia

Penerapan bina..., Neti Hartaty, FIK UI, 2015


106

Keluarga (BPMK) Kota Depok. Hal ini mengingat balita tidak dapat lepas dari
keluarganya. Membina tumbuh kembang balita berarti memberdayakan keluarga
agar mampu mendampingi anak pada masa tumbuh kembangnya. Terkait hal tersebut
koordinasi antara Dinas Kesehatan dan BPMK menjadi hal penting, agar program
masing-masing dinas dan badan tidak berjalan sendiri-sendiri sehingga tidak
terlaksana dengan baik pada tatanan tingkat bawah.

BKB+ merupakan suatu wadah yang dapat mempersatukan antara kedua program.
Program ini melakukan berbagai aktivitas peningkatan pengetahuan dan
keterampilan orangtua dalam mengasuh dan membina tumbuh kembang anak sebagai
bagian dari upaya mempersiapkan keluarga yang berkualitas. Residen memodifikasi
program ini dengan menerapkan penggunaan KPSP kepada keluarga, terlebih dahulu
perawat mengenalkan dan mengajarkan cara penggunaan KPSP, selanjutnya perawat
meminta keluarga untuk mendeteksi perkembangan balitanya setiap minggu dengan
menggunakan KPSP tersebut, disamping pendeteksian menggunakan KKA oleh
kader pendukung saat pertemuan BKB. Selain itu, dalam kegiatan BKB perawat juga
mengajarkan stimulasi perkembangan sesuai rentang usia, selanjutnya perawat
meminta keluarga setiap hari melakukan stimulasi tersebut di rumah. Selanjutnya
kader maupun petugas kesehatan melakukan kunjungan rumah untuk melihat
pelaksanaan kegiatan stimulasi dan penerapan KPSP yang telah dilakukan oleh
keluarga anggota BKB+ sehari-hari.

5.1.3. Staffing (ketenagaan/personalia).


Terhambatnya pengembangan pendidikan formal SDM Dinas Kesehatan maupun
puskesmas sangat disayangkan. Gillies (2000) menyatakan SDM merupakan aset
paling besar dan penting bagi berjalannya sebuah organisasi. Tersedianya SDM
dengan latar belakang pendidikan yang lebih tinggi tentunya dapat menjadikan
kinerja lebih baik lagi.

Terkait belum optimalnya peran dan fungsi kader dalam melakukan pembinaan
tumbuh kembang balita, Dinas terkait harus lebih intens dalam melakukan
pembinaan tentang hal tersebut. Hal ini karena kader sebagai mediator terdepan
dalam menyampaikan pesan kepada masyarakat khususnya kepada orang tua balita,

Universitas Indonesia

Penerapan bina..., Neti Hartaty, FIK UI, 2015


107

menjadi sosok sentral dan ujung tombak dalam melakukan pendekatan, pembinaan,
mentransfer pengetahuan plus memberikan konseling kepada orang tua balita.

Kegiatan manajemen pelayanan masih bisa terselenggara dengan baik meskipun


dengan keterbatasan sumber daya, melalui pembagian tugas dan peran yang jelas
serta garis komando yang jelas. Hal ini sesuai dengan Marquis dan Houston (2000)
yang menyatakan bahwa melalui fungsi pengorganisasian, seluruh sumber daya yang
dimiliki oleh organisasi (manusia maupun bukan manusia) seharusnya dapat
dipadukan dan diatur seefisien mungkin untuk mencapai tujuan organisasi yang telah
ditetapkan. Salah satu hal yang dapat dilakukan adalah melalui pengoptimalan fungsi
kader.

5.1.4. Directing (pengarahan).


Permasalahan pada fungsi pengarahan ini yang belum berjalan dengan baik yaitu
belum adanya pengarahan terkait pembinaan tumbuh kembang balita dan belum
dilaksanakannya kegiatan supervisi terkait pembinaan tumbuh kembang balita.

Organisasi tidak mungkin berada tanpa komunikasi. Apabila tidak ada komunikasi,
para pegawai tidak dapat mengetahui apa yang dilakukan rekan sekerjanya, pimpinan
tidak dapat menerima masukan informasi, dan para penyedia tidak dapat memberikan
instruksi, koordinasi kerja tidak mungkin dilakukan, dan organisasi akan runtuh
karena ketiadaan komunikasi. Oleh karena itu, komunikasi dalam organisasi
memiliki peranan yang sangat penting dalam mencapai tujuan organisasi.

Fungsi pengarahan menitik beratkan pada kemampuan seorang pimpinan untuk


menggerakan dan mengarahkan semua sumber daya yang ada untuk mencapai tujuan
dari organisasi (Marquis & Huston, 2011; Gilles, 2000). Pengarahan berfungsi untuk
membuat organisasi kerja yang efisien, mengembangkan potensi, keterampilan, rasa
memiliki dan mencintai staf pada pekerjaannya serta menciptakan suasana kerja yang
memotivasi kerja ((Marquis & Huston, 2011; Gilles, 2000).

5.1.5. Controlling (pengawasan).


Selama ini pengawasan hanya dilaksanakan pada akhir tahun. Jika merujuk pada
teori dinyatakan bahwa pengawasan adalah program evaluasi dari suatu proses

Universitas Indonesia

Penerapan bina..., Neti Hartaty, FIK UI, 2015


108

manajemen, jadi pengawasan bukan hanya akhir dari pengawasan itu tapi
dilaksanakan di seluruh fase dari manajemen.

Pengawasan yang dilaksanakan terhadap program pembinaan tumbuh kembang


balita di tingkat Puskesmas dan Kelurahan diharapkan dapat menjadi acuan bagi
Dinas dan badan terkait untuk mengevaluasi kembali terkait apa yang terjadi di
lapangan sehingga program pembinaan tumbuh kembang balita belum optimal.
Sehingga kedepannya dapat dilakukan revitalisasi agar program yang berkaitan
dengan pembinaan tumbuh kembang balita dapat berjalan dengan baik.

Marquis dan Huston (2011) menyatakan melalui pengawasan diharapkan kekurangan


atau kesalahan dari program yang dibuat dapat segera diperbaiki sehingga tujuan dari
program dapat dicapai dengan lebih baik. Pengawasan jangan dipandang sebagai
sarana untuk menilai keberhasilan atau kegagalan suatu program tapi sarana untuk
belajar dan tumbuh dengan baik secara personal atau professional.

5.2. Asuhan Keperawatan Keluarga.


Asuhan keperawatan keluarga residen lakukan terhadap 10 keluarga binaan di
Kelurahan Sukamaju Baru Kecamatan Tapos Kota Depok. Keluarga yang menjadi
binaan adalah keluarga yang mempunyai anak balita dengan permasalahan tumbuh
kembang. Pelaksanaan asuhan keperawatan pembinaan keluarga dibagi dalam dua
periode pelaksanaan yaitu untuk periode pertama dilakukan sejak Bulan Oktober
sampai dengan Bulan Desember 2014 terhadap lima keluarga dan lima keluarga
berikutnya pada periode kedua yang dilakukan sejak Bulan Februari sampai dengan
Mei 2015. Kegiatan asuhan keperawatan keluarga dilakukan dengan kunjungan
rumah sebanyak 2 kali dalam seminggu atau minimal 1 kali seminggu, tergantung
kontrak dengan keluarga atau masalah yang dialami keluarga. Asuhan keperawatan
dilaksanakan melalui pendekatan proses keperawatan keluarga Family Centered
Nursing (FCN). Proses asuhan keperawatan keluarga dimulai dari pengkajian,
merumuskan diagnosis, menyusun rencana intervensi, melakukan implementasi, dan
melakukan evaluasi asuhan keperawatan keluarga.

Diagnosis Keperawatan Keluarga I : Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari


kebutuhan tubuh; Permasalahan tumbuh kembang pada anak Ir sangat berkaitan

Universitas Indonesia

Penerapan bina..., Neti Hartaty, FIK UI, 2015


109

dengan asupan gizi yang didapat, terlebih asupan gizi pada usianya saat ini.
Kemenkes RI (2010) menyatakan masa lima tahun pertama kehidupan merupakan
golden period (masa keemasan), window of opportunity (jendela kesempatan) dan
critical period (masa kritis). Masa anak di bawah usia lima tahun (balita) merupakan
masa kritis yang akan menentukan kemampuan intelektual, sikap, nilai dan perilaku
di kemudian hari.

Balita yang dalam kehidupannya sedang mengalami tahapan tumbuh kembang sangat
berisiko mengalami keterlambatan tumbuh kembang bahkan kegagalan tumbuh
kembang jika keluarga tidak menyediakan gizi yang baik dan memberikan stimulasi
yang memadai. Permasalahan yang dialami oleh keluarga ibu I tidak hanya karena
anak Ir yang susah makan, namun juga terkendala oleh keuangan.

Grantham dan The International Child Development Steering Group (2007)


memperkirakan lebih dari 200 juta balita di negara berkembang tidak mencapai
potensi perkembangan karena kemiskinan, masalah kesehatan dan gizi buruk. Anak-
anak ini cenderung berprestasi buruk di sekolah dan memiliki ekonomi yang terbatas
di masa dewasa, yang tentunya akan melanggengkan siklus kemiskinan dan
berkontribusi terhadap rantai kemiskinan antar generasi, kesehatan yang buruk dan
pembangunan yang gagal.

Siklus tersebut harus dihentikan. Intervensi yang diberikan yaitu untuk peningkatan
pengetahuan dengan metode diskusi dan penyuluhan langsung. Pencapaian yang
diharapkan dari keluarga pada ranah kognitif efektif melalui metode
penyuluhan/ceramah dan diskusi. Hal ini ditegaskan Notoatmodjo (2007) yaitu
metode ceramah dan diskusi dapat terjadi proses perubahan perilaku kearah yang
diharapkan melalui peran aktif sasaran dan saling tukar pengalaman sesama sasaran.
Penelitian Juhri (2009) melaporkan pendidikan kesehatan melalui metode
penyuluhan langsung berpengaruh signifikan terhadap peningkatan pengetahuan.

Tidak hanya melibatkan ibu I, keluarga besar Ibu I juga terlibat dalam proses ini.
Metode ceramah, selain sederhana juga efektif dalam upaya penyampaian informasi
secara cepat kepada kelompok sasaran yang cukup besar, sedangkan metode diskusi
kelompok dapat digunakan untuk penyampaian informasi dengan lebih memberikan

Universitas Indonesia

Penerapan bina..., Neti Hartaty, FIK UI, 2015


110

kesempatan pada keluarga untuk mengumpulkan pendapat, membuat kesimpulan


atau menyusun berbagai alternatif pemecahan masalah (Sofa, 2008).

Keluarga ibu I sepakat mengambil keputusan untuk memodifikasi lingkungan


sebagai salah satu langkah untuk menunjang penyediaan gizi seimbang bagi anak Ir
khususnya dan untuk keluarga pada umumnya. Keluarga ibu I bersama-sama
menanam tanaman dan sayur-sayuran berupa ubi, singkong, sayur bayam, sayur
kangkung, tomat.

United Nations Millennium Development Goals (UN MDGs) (2013) menyatakan


enam dari delapan pencapaian tujuan MDGs yang telah ditandatangani oleh negara-
negara anggota Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) saat Deklarasi Millenium PBB
pada Bulan September 2000 berkaitan dengan keberlangsungan hidup balita.
Makanan, air, sanitasi dan perawatan kesehatan merupakan kebutuhan dasar yang
secara langsung berkaitan dengan keberlangsungan hidup balita. Menjaga dan
memelihara kelangsungan hidup balita akan menentukan nasib suatu bangsa di masa
mendatang. Investasi pada balita berarti mencapai tujuan pembangunan lebih cepat
karena balita merupakan kekayaan paling berharga yang menentukan masa depan
suatu bangsa. Hal tersebut dapat dilakukan dengan membantu balita mencapai
potensi mereka secara penuh, untuk itu penting melakukan intervensi dalam
perkembangan fisik, intelektual dan emosional balita. Setiap anak lahir dengan hak
untuk hidup, mendapatkan pangan, gizi, kesehatan, tempat tinggal dan pendidikan
yang layak.

Diagnosis Keperawatan Keluarga 2 : Keterlambatan perkembangan. Keluhan yang


dirasakan oleh ibu I terkait permasalahan keterlambatan perkembangan anak Ir tidak
dapat diabaikan. Berbeda halnya dengan gizi, permasalahan tumbuh kembang balita
selama ini sebagian besar masih dianggap sebagai hal yang tidak perlu dihiraukan
karena akan berjalan seiring waktu oleh keluarga. Keluarga yang diharapkan dapat
memenuhi kebutuhan asah, asuh dan asih pada balita didalam kehidupan sehari-hari,
masih kurang menyadari arti pentingnya pemantauan dan pemberian stimulasi bagi
perkembangan balita.

Universitas Indonesia

Penerapan bina..., Neti Hartaty, FIK UI, 2015


111

Pada masa balita perkembangan kemampuan berbahasa, kreativitas, kesadaran sosial,


emosional dan intelegensia berjalan sangat cepat, perkembangan moral dan dasar-
dasar kepribadian juga dibentuk pada masa ini, sehingga setiap kelainan atau
penyimpangan sekecil apapun bila tidak terdeteksi dan tidak tertangani akan
mengurangi kualitas sumber daya manusia kelak (Adriana, 2011).

Masa anak di bawah usia lima tahun (balita) merupakan masa kritis yang akan
menentukan kemampuan intelektual, sikap, nilai dan perilaku di kemudian hari. Pada
masa ini tumbuh kembang baik fisik, mental dan sosial akan terwujud bila
mendapatkan rangsangan atau stimulasi dan perawatan yang tepat.

Pemberian stimulasi dapat meningkatkan kemampuan bicara berkat kemampuan


plastisitas otak, penelitian yang dilakukan oleh Fitra, Purwanti dan Puruhita (2011)
membuktikan bahwa stimulasi berpengaruh terhadap peningkatan perkembangan
bicara anak. Bowden dan Greenberg (2010) menyatakan tumbuh kembang balita
sangat dipengaruhi oleh faktor lingkungan yaitu nutrisi dan stimulasi. Penelitian yang
dilakukan oleh Irmawati (2009) menyatakan bahwa stimulasi mempunyai peranan
penting untuk meningkatkan pertumbuhan dan perkembangan anak, terutama fungsi
kognitif, afektif dan psikomotor.

5.3. Asuhan Keperawatan Komunitas.


Kurang pengetahuan masyarakat terkait tumbuh kembang balita di wilayah
Kelurahan Sukamaju Baru Kecamatan Tapos Kota Depok; Pendidikan kesehatan
merupakan bagian dari program kesehatan, sehingga harus mengacu pada program
kesehatan yang sedang berjalan. Penyusunan perencanaan program penyuluhan harus
diperhatikan bahwa perencanaan yang dibuat harus sesuai dengan kebutuhan sasaran,
mudah diterima, bersifat praktis, dapat dilaksanakan sesuai dengan situasi setempat,
dan sesuai dengan program yang ditunjang dan didukung oleh kebijaksanaan yang
ada (Suliha, 2001).

Penekanan konsep pendidikan kesehatan lebih pada upaya mengubah perilaku


sasaran agar berperilaku sehat terutama pada aspek kognitif (pengetahuan dan
pemahaman sasaran), sehingga pengetahuan sasaran pendidikan telah sesuai dengan
yang diharapkan oleh pendidikan kesehatan maka pendidikan berikutnya akan

Universitas Indonesia

Penerapan bina..., Neti Hartaty, FIK UI, 2015


112

dijalankan sesuai dengan program yang telah direncanakan (Nasution, 2004). Bloom
(1956) menegaskan perilaku terdiri tida elemen yang mengusunnya yaitu
pengetahuan (kognitif), sikap (afektif), dan kelakuan / keterampilan (psikomotor).
Elemen awal bagi terciptanya perilaku individu.

Menurut Yazachew dan Alem (2004) tujuan pendidikan kesehatan adalah


memotivasi individu untuk mengadopsi perilaku sehat melalui promosi kesehatan
dengan memberikan pengetahuan yang tepat dan membantu untuk mengembangkan
sikap positif dan membantu individu membuat keputusan tentang kesehatan dan
memperoleh kepercayaan diri dan keterampilan untuk mengambil keputusan yang
diperlukan (Yazachew & Alem, 2004). Berdasarkan penjelasan tersebut, pencapaian
target pendidikan dibagi menjadi tujuan jangka pendek yaitu tercapainya perubahan
pengetahuan, tujuan jangka menengah hasil yang diharapkan adalah adanya
peningkatan pengertian, sikap, dan keterampilan yang akan mengubah perilaku ke
arah perilaku sehat, dan tujuan jangka panjang adalah dapat menjalankan perilaku
sehat dalam kehidupan sehari-harinya.

Risiko terjadinya peningkatan permasalahan keterlambatan tumbuh kembang pada


balita di wilayah Kelurahan Sukamaju Baru Kecamatan Tapos Kota Depok. Hasil
wawancara didapatkan jarangnya keluarga menemani balita bermain bahkan
mengurangi waktu balita untuk bermain karena ingin balita terfokus untuk belajar
baca tulis hitung. Penelitian yang dilakukan oleh Ginsburg (2007) melaporkan
banyak orangtua yang melewatkan kesempatannya untuk terlibat penuh bersama
anak, orangtua lebih fokus pada peningkatan akademisi, padahal bermain sangat
penting untuk perkembangan kognitif, fisik, sosial dan emosional anak.

Dunia balita yang seharusnya adalah dunia bermain sambil belajar, mengeksplorasi
lingkungan serta menciptakan kreativitas, sangat disayangkan sering terlewatkan
begitu saja tanpa keterlibatan keluarga dalam mendampingi, mengarahkan dan
membimbing balita sesuai dengan potensi yang dimilikinya.

Aspek perkembangan anak dapat ditumbuhkan secara optimal dan maksimal melalui
kegiatan bermain. Mengajak anak-anak bermain pada usia pra sekolah telah terbukti
mampu meningkatkan perkembangan mental dan kecerdasan anak, bahkan jika anak

Universitas Indonesia

Penerapan bina..., Neti Hartaty, FIK UI, 2015


113

tersebut mengalami malnutrisi. Melalui kegiatan bermain, daya pikir anak terangsang
untuk mendayagunakan aspek emosional, sosial serta fisik dan psikisnya, bermain
dapat melatih keberanian dan ekspresi emosionalnya dalam segala situasi dan
kondisi. Anak-anak bermain dengan menggunakan seluruh emosinya, perasaannya
dan pikirannya. Kesenangan merupakan salah satu elemen pokok dalam bermain.
Anak akan terus bermain sepanjang aktivitas tersebut menghiburnya.

5.4. Keterbatasan.
Keterbatasan alat permainan edukatif sebagai fasilitas dalam melakukan stimulasi
perkembangan balita. Pelaksanaan stimulasi perkembangan pada balita lebih baik
dengan menggunakan alat permainan edukatif.

Dibutuhkan pendampingan rutin dari petugas kesehatan yang berhubungan dengan


program pembinaan tumbuh kembang balita pada setiap pelaksanaan BKB+ agar
menambah motivasi dan rasa percaya diri kader dalam menjalankan kegiatan BKB+.

5.5. Implikasi Terhadap Praktik Keperawatan Komunitas.


5.5.1. Pembuat Kebijakan Pelayanan Keperawatan Komunitas.
Dinas Kesehatan dan BPMK sebaiknya turun langsung ke masyarakat untuk
melakukan peninjauan sekaligus mengevaluasi kembali keefektifan pelaksanaan
program pembinaan tumbuh kembang yang selama ini dijalankan masing-masing.
Untuk selanjutnya melakukan koordinasi lintas sektor dalam mempersiapkan suatu
program pembinaan tumbuh kembang balita yang terintegrasi sehingga program
tersebut menjadi efektif dan efisien sehingga program tersebut dapat berjalan.
5.5.2. Pelayanan Keperawatan Komunitas.
Adanya pendampingan pada setiap pelaksanaan kegiatan BKB+ dan pendampingan
kader saat melakukan kunjungan rumah keluarga anggota BKB+ untuk melihat
sejauh mana keluarga melakukan stimulasi dan deteksi tumbuh kembang balita.
5.5.3. Institusi Pendidikan Keperawatan.
Institusi keperawatan dan psikologi berkoordinasi dalam membuat suatu buku
pedoman praktis yang berisikan tentang segala aspek tumbuh kembang balita baik
dari segi pola pengasuhan maupun kesehatan balita agar dapat diberikan kepada
seluruh anggota BKB+ sebagai pegangan dalam kehidupan sehari-hari.

Universitas Indonesia

Penerapan bina..., Neti Hartaty, FIK UI, 2015


DAFTAR PUSTAKA

Adriana, D. (2011). Tumbuh Kembang dan Terapi Bermain Pada Anak. Jakarta :
Salemba Medika.

Afiyanti, Y., & Rachmawati, I.N. (2014). Metodelogi Penelitian Kualitatif Dalam
Riset Keperawatan. Jakarta : Rajawali Pers.

Allender, J.A., & Spradley, B.W. (2005). Community Health Nursing : Promoting
and Protecting The Public Health. 6nd Ed. Philadephia : Lippincott.

Ashar, H., & Latifah, L. (2010). Hambatan Perkembangan Anak Balita di daerah
Endemik GAKY. Magelang.

Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Kementerian Kesehatan RI.


(2013) Laporan Nasional Hasil Riset Kesehatan Dasar 2013,
(http://depkes.go.id/downloads/riskesdas2013.pdf. diperoleh 13 Januari
2014).

Behrman, Kliegman & Arvin, Nelson. (1996). Nelson Textbook Of Pediatrics.


W.B. Saunders Company, Philadelphia, Pennsylvania.

Bittikaka, F. (2011). Pos Balita Sehat Sebagai Upaya Pemberdayaan Dalam


Meningkatkan Status Gizi Balita. Tugu : Tidak dipublikasikan.

BKKBN. (2009). Panduan Operasional Bina Keluarga Balita (BKB). Jakarta :


Bidang Keluarga Sejahtera dan Pemberdayaan Keluarga.

. (2013). Panduan Pelaksanaan Kegiatan Bina Keluarga Balita (BKB)


Yang Terintegrasi Dalam Rangka Penyelenggaraan Pengembangan
Anak usia Dini Holistik Integratif. Jakarta : Bidang Keluarga Sejahtera
dan Pemberdayaan Keluarga.

Bornstein, M.H., Putnick, D.L., Heslington, M., Gini, M., Suwalsky, J.T., Venuti
P. (2008). Mother-child emotional availability in ecological perspective:
three countries, two regions, two genders. Development Psychologhy
44:666-80.

Bowden, V.R., & Greenberg, S.M. (2010). Children And Their Families The
Continuum Of Care. 2nd Ed. Philadelphia : Lippincot.

Bradley, R.H., Caldwell, B.M. (1995). Caregiving and the regulation of child
growth and development: describing proximal aspects of caregiving
systems. 15:38-85.

Universitas Indonesia

Penerapan bina..., Neti Hartaty, FIK UI, 2015


Burn & Grove. (2009). The Practice of Nursing Research: Appraisal,
Synthesis,and generation of Evidence, Ed 6 nd, St.Louis : Saunders
Elsevier.

Caldwell, B., Bradley, R. (1984). Home observation for measurement of the


environment (HOME) inventory. Little Rock, AR : University of
Arkansas.

Cary & Tomas, C. (2009). A Delphi Study : The Future Of Continuity Of Care In
Infant/ Toddler Childcare Programs. La Verne, California.

Cohen, N.J., Lojkasek, M., Zadeh, Z.Y., Pugliese, M., dan Kiefer, H. (2008).
Children adopted from China : a prospective study of their growth and
development. Journal of Child Psychology and Psychiatry 49:4 458–468

Cresswell, J.W. (2012). Qualitatif Inquiry And Reseach Design : Choosing


Among Five Approaches, Ed 3 nd. Washington DC : Sage.

Depkes, RI. (2007). Buku Kesehatan Ibu Dan Anak. Jakarta : Departemen
Kesehatan.

Direktorat Jenderal Bina Gizi Dan Kesehatan Ibu Dan Anak Kementerian
Kesehatan RI. Enam Provinsi Sulit Keluar Dari Permasalahan
Kemiskinan Dan Prevalensi Gizi Kurang. (2014
http://gizi.depkes.go.id/. diperoleh 27 maret, 2014).

______ . Kelainan Tumbuh Kembang. (2010 http://www.depkes.go.id/. diperoleh


12 April, 2014).

Divisi Tumbuh Kembang RSIA KMC. (2014). Permasalahan Perkembangan


Pada Anak.

Dreyer, B.P. (2011). Early Childhood Stimulation in the Developing and


Developed World: If Not Now, When?. Pediatrics : American Academy
of Pediatrics.

Effendi, K. (2010). Memadukan Metode Kuantitatif Dan Kualitatif. Bandung :


CV. Indra Prahasta.

Fitra, S., Purwanti A., & Puruhita, N. (2011). Pengaruh Stimulasi terhadap
Perkembangan Bicara Anak 1-3 tahun di Daerah GAKY dan Non
GAKY. Sari Pediatri 2013;15(1):10-6.

Universitas Indonesia

Penerapan bina..., Neti Hartaty, FIK UI, 2015


Friedman, M.M., Bowden, V.R., & Jones, E.G. (2003). Family Nursing :
Research Theory And Practice. New Jersey : Person Education Inc.

Ginsburg, K.R. (2007). The Importance of Play in Promoting Healthy Child


Development and Maintaining Strong Parent-Child Bonds. American
Academy of Pediatrics 119;182.

Globalpost America’s world news site. Issues That Affect Children In Early
Chillhood Development. (2014 http://everydaylife.globalpost.com/html.
diperoleh 21 Januari, 2014).

Grantham-McGregor, S., Cheung, Y., Cueto, S., Glewwe, P., Richter, L., Strupp,
B.,& The International Child Development Steering Group. (2007).
Developmental potential in the first 5 years for children in developing
countries. The Lancet, 369, 60-70.

Hartaty, N. (2013). Laporan Akhir Aplikasi Keperawatan Komunitas Tumbuh


Kembang Balita. Curug : Tidak dipublikasikan.

Hartaty, N. (2014). Pengalaman Keluarga Dalam Menstimulasi Perkembangan


Balita di Kelurahan Curug, Kecamatan Cimanggis, Kota Depok,
Provinsi Jawa Barat.

Helvie, C.O. (1998). Advance Practice Nursing In The Community. United States
of America : SAGE Publication.

Hidayat, A.A.A. (2010). Optimalisasi Penggunaan KPSP Pada Keluarga sebagai


Upaya Pencegahan Gangguan Perkembangan Anak. Surabaya :
Fakultas Ilmu Kesehatan.

Hitchcock, J.E., Schubert & Thomas. (1999). Community Health Nursing :


Caring ini Action. New York : Delmar Publisher.

Hockenberry, M.J. & Wilson, D. (2008). Wong’s Essentials Pediatric Nursing.


8nd Ed. St. Louis Missouri : Mosby Inc.

Irianti, E.S (2013). Buku Psikologi Anak : Cara Memberikan Pendidikan Terbaik
Dalam Keluarga Sejak Dini. Jakarta : Academia.Edu

Kadi, F.A., Garna, H & Fadlyana, E. (2008). Kesetaraan Hasil Skrining Risiko
Penyimpangan Perkembangan Menurut Cara Kuesioner Pra Skrining
Perkembangan (KPSP) dan Denver II Pada Anak Usia 12-14 Bulan
Dengan Berat Lahir Rendah. Bandung : Ilmu Kesehatan Anak, Unpad.

Universitas Indonesia

Penerapan bina..., Neti Hartaty, FIK UI, 2015


Kariger, P., Frongillo, E.A., Engle, P., Britto, P.M.R, Sywulka, S.M., Menon P.
(2012). Indicators of Family Care for Development for Use in
Multicountry Surveys. J Health Popul Nutr. 30(4):472-486.

Kementerian Kesehatan, RI. (2010). Pedoman Pelaksanaan Stimulasi, Deteksi


dan Intervensi Dini Tumbuh Kembang Anak Ditingkat Pelayanan
Kesehatan Dasar. Jakarta : Departemen Kesehatan RI.

Kemensos. (2011). Pedoman Program Kesejahteraan Sosial Anak (PKSA).


Jakarta : Direktorat Kesejahteraan Sosial Anak.

. (2012). Taman Sejahtera Anak (TSA). Jakarta : Direktorat


Kesejahteraan Sosial Anak.

Kusnaningsih, A. (2008). Peran Keluarga Dalam Stimulasi Dini Pada Anak Usia
1-3 Tahun Di Dukuh Bakungan Kelurahan Jenar Wetan Kecamatan
Purwodadi Kabupaten Purworejo. Universitas Diponegoro.

Latifah, M., Alfiasari., Hernawati, N. (2009).


Kualitas tumbuh kembang pengasuhan orang tua dan faktor risiko
komunitas pada anak usia prasekolah wilayah pedesaan di Bogor.
Bogor : Jurnal ilmu keluarga dan konsumen.

Lundy, S.K., & Janes.S. (2009). Community Health Nursing Caring for the
public’s Health. 2nd ed. Canada : Jones and Barlett Publishers.

Maritalia, D. (2009). Analisis Pelaksanaan Program Stimulasi, Deteksi dan


Intervensi Dini Tumbuh Kembang (SDIDTK) Balita dan Anak
Prasekolah Di Puskesmas Kota Semarang. Semarang : Magister Ilmu
Kesehatan Masyarakat Universitas Diponegoro.

Muharyani, P.W. (2012). Hubungan Praktik Pemberian Makan Dalam Keluarga


Dengan Kejadian Sulit Makan Pada Populasi Balita Di Kelurahan Kuto
Batu Kota Palembang. Depok : Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas
Indonesia.

Nahar, B., Hossain, M.I., Hamadani, J.D., Ahmed, T., Huda, S.N., Gregor, S.N.,
& Persson, L.A. (2012). Effects of a community-based approach of food
and psychosocial stimulation on growth and development of severely
malnourished children in Bangladesh: a randomised trial. European
Journal of Clinical Nutrition (2012) 66, 701–709 & 2012 Macmillan
Publishers Limited.

Universitas Indonesia

Penerapan bina..., Neti Hartaty, FIK UI, 2015


National Research Council and Institute of Medicine. (2000) From neurons to
neighborhoods. The science of early child development. Washington
D.C. : National Academy Press.

Nugroho, H.S.W. (2009). Denver Developmental Screening Test. Jakarta : EGC.

Pan, B.A., Rowe, M.L., Singer, J.D., dan Snow, C.E. (2005). Maternal Correlates
of Growth in Toddler Vocabulary Production in Low-Income Families.
Child Development, July/August 2005, Volume 76, Number 4, Pages
763 – 782.

Polit & Beck. (2012) Nursing Research : generating and Assessing Evidence for
nursing practice, 9nd Ed, Lippincott : Walters Kluwer.

Potter, P.A., & Perry, A.G. (2003). Fundamentals of Nursing : Concepts,


Proccess and Practice. St.Louis : Mosby Year Book Inc.

Potts, N.L., & Mandleco , B.L. (2012). Pediatric Nursing : Caring For Children
And Their Families. USA : Delmar.

Profil Kesehatan Kota Depok. (2011).

Rahmadiyah, D.C. (2013). Laporan Akhir Aplikasi Keperawatan Komunitas Gizi


Balita. Curug : Tidak dipublikasikan.

Roizen, M.F., & Oz (2010). Raising Your Child : The Owners’s Manual From
First Breath to First Grade. New York : Free Press Published.

Santrock, W.J. (2004). Life-Span Development. 9nd Ed. Americas : The McGraw-
Hill Companies.

Shonkoff, J.P., Boyce, W.T., McEwen, B.S. (2009). Neuroscience, molecular


biology, and the childhood roots of health disparities: building a new
framework for health promotion and disease prevention. JAMA
301:2252-9.

Situmorang, L.F. (2010). Pengaruh Pemberian Stimulasi Auditori-Visual-Taktil-


Kinestetik Terhadap Perkembangan Perilaku Neonatus Prematur Di
Ruang Perinatologi RS Cipto Mangunkusumo Jakarta. Depok : Fakultas
Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia.

Universitas Indonesia

Penerapan bina..., Neti Hartaty, FIK UI, 2015


Solihin, R.D.M., Anwar, F., dan Sukandar, D. (2013). Kaitan Antara Status Gizi,
Perkembangan Kognitif Dan Perkembangan Motorik Pada Anak Usia
Prasekolah. Penelitian Gizi dan Makanan. Vol. 36 (1): 62-72

Stanhope, M., & Lancaster, J. (2010). Community Health Nursing : Promoting


Health of aggregates, families and individuals. 4nd Ed. St.Louis:
Mosby,inc.

Streubert, H.J., & Carpenter, D.R. (2003). Qualitatif Research in Nursing,


Advancing the Humanistic Imperative. 3nd Ed. Philadelphia: Lippincott
Williams & Wilkins.

Subianto, T. (2008). Pengembangan Sistem Informasi Pemantauan Gangguan


Tumbuh Kembang Anak Program Stimulasi Deteksi Dan Intervensi Dini
Tumbuh Kembang (SDIDTK) Anak Tingkat pelayanan Kesehatan Dasar
Di Dinas Kesehatan Kabupaten Nunukan. Depok : Fakultas Kesehatan
Masyarakat Universitas Indonesia.

Susanto. (2011). Pendidikan Anak usia Dini. Jakarta : Salemba Medica.

Undang-undang No.52 tahun (2009) : Amandemen dari UU No.10 tahun 1992


Tentang Perkembangan Kependudukan dan Pembangunan Keluarga.
Jakarta

UN MDGs. The Millenium Development Goals Report. (2013


http://www.un.org/millenniumgoals/pdf/report-2013/mdg-report-2013-
english.pdf. diperoleh 10 Februari, 2014).

UNICEF Indonesia. The early years, from birth to 5 years old. (2013
http://www.unicef.org/indonesia/children.html. diperoleh 18 Februari,
2014).

UNICEF. Early Childhood Development : the key to a full and productive live.
(2013 http://www.unicef.org/. diperoleh 4 April, 2014).

UNICEF-Millennium Development Goals. About the MDGs. (2013


http://www.unicef.org/mdg. diperoleh 15 Februari, 2014).

Walker, S., Chang, S., Powell, C., Simonoff, E., & Grantham-McGregor, S.
(2006). Effects of psychosocial stimulation and dietary supplementation
in early childhood on psychosocial functioning in late adolescence:
Follow-up of randomized controlled trial. British Medical Journal, 333,
472.

Universitas Indonesia

Penerapan bina..., Neti Hartaty, FIK UI, 2015


WHO-Millennium Development Goals. MDGs 4 : reduce child mortality. (2013
http://www.who.int/topics/millennium_development_goals/child
mortality/en/. diperoleh 12 Februari, 2014).

WHO. Child Growth Standart : Technical Report. (2006


http://www.who.int/childgrowth/standart/technicalreport.pdf. diperoleh
20 Maret, 2014).

Wong, D.L., & Whaley (2001). Nursing Care Of Infants And Children. Sixth
Edition. St.Louis : Mosby.

Universitas Indonesia

Penerapan bina..., Neti Hartaty, FIK UI, 2015


DAFTAR RIWAYAT HIDUP MAHASISWA RESIDEN

Nama : Neti Hartaty.


Jenis Kelamin : Perempuan.
Tempat/Tgl Lahir : Banda Aceh/ 10 April 1985.
Agama : Islam.
Alamat : Jln. Prof. Ali Hasymi Lorong Seulanga No.6A Gampong Lamteh
Kecamatan Ulee Kareng Kota Banda Aceh 23118.
No.Hp : 085277800070.
E-mail : netihartaty@yahoo.com.

Riwayat Pendidikan
1. Tk Adhyaksa 14 Banda Aceh.
2. SD Negeri 4 Banda Aceh.
3. SLTP Negeri 9 Banda Aceh.
4. SMU Negeri 3 Banda Aceh.
5. S1 Keperawatan PSIK FK Unsyiah Banda Aceh.
6. Program K3S Profesi Ners Banda Aceh.
7. S2 magister keperawatan komunitas Universitas Indonesia (UI).
8. Program spesialis keperawatan komunitas Universitas Indonesia (UI).

Riwayat Pekerjaan
1. Tahun 2007 s/d 2008 : Volunteer Community Health Development Project Program Studi
Ilmu Keperawatan Fakultas Kedokteran Universitas Syiah Kuala
kerjasama dengan Nursing Faculty Prince of Songklha University
Thailand.
2. Tahun 2007 s/d sekarang : Dosen Akper Kesdam Iskandar Muda Banda Aceh.
3. Tahun 2007 s/d sekarang : Dosen PSIK FK Universitas Abulyatama Aceh.

Penerapan bina..., Neti Hartaty, FIK UI, 2015

Anda mungkin juga menyukai