Anda di halaman 1dari 3

SISTEM EVALUASI BANGUNAN DAN LINGKUNGAN YANG

BERKELANJUTAN

Oleh Dr Eng. Muhammad Sani Roychansyah, ST., M.Eng (2006)

Fenomena “akademis-praksis” dalam Sustainable Building Conference 2005 (SB05)


di Tokyo pada awal Oktober tahun lalu adalah banyaknya varian alat atau sistem
untuk menilai atau mengevaluasi bangunan dan lingkungan disesuaikan dengan
indikator ramah lingkungan atau pun indikator berkelanjutan (sustainable building
environmental assessment tool-SBEAT). 

Standar ramah lingkungan ini jika ditransformasikan ke dalam ukuran maupun sistem
baku meliputi beberapa aspek lainnya seperti resource consumption and energy
balance system, life cycle analysis, eco-efficiency standard, eco-scarcity and eco-
toxicology, dan sebagainya. Konferensi internasional bangunan berkelanjutan itu
sendiri diselenggarakan setiap 3 tahun sekali, dengan diselingi beberapa pertemuan
sejenis di tingkat regional. Tak kurang dari 2000 orang hadir untuk
mempresentasikan hasil riset atau temuan mereka.

Masing-masing negara atau kawasan mengusung alat atau sistem sejenis dengan
beragam nama. Di tataran Asia telah dipelopori oleh Hongkong dengan Hong Kong
Building Environmental Assessment Method (HK BEAM) dan Jepang
dengan Comprehensive Assessment System for Building Environmental
Efficiency (CASBEE). Untuk kawasan Eropa mereka mengandalkan Advanced Life
Cycle Assessment (Advanced-LCA), sedang Inggris memilih untuk
menggunakan Building Research Establishment’s Environmental Assessment
Method (BREEAM). Kanada banyak memanfaatkan Green Building Tool (GBTool)
yang diadopsi pula oleh Korsel dan 14 negara lain, sedang Amerika Serikat
menggunakan produk andalan mereka, Leadership in Energy and Environmental
Design (LEAD). 

Jika dicermati negara-negara maju berlomba-lomba mengaplikasikan SBEAT sebagai


alat atau nilai baru yang secara formal telah banyak diandalkan sebagai sistem
evaluasi bangunan dan lingkungan (building-environment benchmarking). Tulisan
singkat ini akan mengetengahkan latar belakang perlunya alat atau sistem evaluasi
ini, beberapa karakter dari SBEAT yang populer, dasar-dasar penilaiannya, dan
cakupan aplikasinya. 

Sistem nilai atau evaluasi untuk bangunan dan lingkungan telah berkembang seiring
dengan perkembangan hampir dua dasawarsa isu pembangunan berkelanjutan yang
dirilis oleh Komisi Dunia untuk Lingkungan dan Pembangunan (World Commission
for Environment and Development) pada tahun 1987. Satu dekade awal diawali
dengan studi-studi dalam memformulasikan beberapa kriteria dan aspek
pembangunan berkelanjutan, kemudian dilanjutkan dengan usaha penyusunan
indikator-indikatornya yang mencakup semua aspek kehidupan manusia. 

Kemudian dekade berikutnya mulai aplikasinya ke dalam alat atau sistem evaluasi
ini. Hal ini memang sedikit terlambat, sebab laju pembangunan pun relatif lebih
cepat. Satu poin penting dari alat-alat ini adalah cakupan penilaiannya, mulai dari pra
sampai pasca bangun pada umumnya bisa diatasi. Syaratnya hanya kelengkapan data
dari bangunan-lingkungan itu sendiri. Poin penting lainnya adalah berada di tataran
kebijakan, yakni upaya beberapa pemerintahan (negara) yang mengupayakan
penilaian ini sebagai prosedur resmi, didukung dengan sejumlah aturan-aturan untuk
ditaati, terutama untuk pembangunan baru atau pembangunan kembali
(rebuild,redevelopment). Dari beberapa alat atau sistem evaluasi itu rata-rata
mempunyai cara kerja yang hampir sama, yakni adanya kriteria dasar penilaian yang
dipakai. Masing-masing kriteria itu secara detil dijabarkan untuk diberi bobot
(skor/poin) sesuai standar yang berlaku. Misalnya untuk CASBEE Jepang yang
selesai didisain pada 2003 lalu, menggunakan enam kategori untuk dinilai,
yakni indoor environment, quality of service, outdoor environment on
site, energy, resource and materials, dan off-site environment (lihat Gambar 1).

Gambar 1. Klasifikasi penilaian ke dalam kategori kualitas (quality) dan beban


(loading) pada Building Environment Efficiency (BEE) (sumber: CASBEE for
New Construction, 2004)

Studi yang dilakukan Kawazu dkk. (2005), dengan menggunakan sebuah kasus sama
dengan 4 alat/sistem menunjukkan bahwa BREEAM (Inggris, 1990) dan CASBEE
(Jepang, 2003) menghasilkan hasil evaluasi yang sedikit lebih tinggi daripada
GBTool (Kanada, 1998) dan evaluasi terendah diberikan oleh LEAD (Amerika
Serikat, 1998). Ini tentu saja tergantung dari rangkaian sistem yang digunakan pada
sistem tersebut dan standar penilaian yang dapat dipengaruhi oleh referensi penilaian,
pertimbangan lokal, dan faktor konversi lainnya.

Dewasa ini, alat-alat ini lebih praktis berupa computer-aided assessment tool dan


dapat digunakan oleh berbagai kalangan, mulai masyarakat, akademisi, sampai
pemerintah untuk mengeluarkan sertifikasi bangunan-lingkungan. Cakupan
evaluasinya pun luas, mulai dari proyek skala single building sampai regional
development, dengan cakupan putaran atau proses tahapan proyek yang beragam:
mulai dari tahap awal disain, tahap konstruksi, tahap pemakaian, operasi dan
perawatan, sampai tahap penghancuran atau pembangunan kembali. 

Secara garis besar ada dua output yang dihasilkan, yakni quality danloading. Kualitas


(quality) berhubungan dengan performa bangunan-lingkungan untuk pengguna yang
diinduksi oleh berbagai faktor dan perhitungan dari data yang terdapat pada wilayah
“dalam” (private property). Sedangkan beban (loading) adalah
merepresentasikan output yang mempunyai dampak bagi lingkungan “luar” (public
property). Semua hasil evaluasi ini bisa diderivasi ke dalam banyak format penyajian.

Gambar 2. Shizuoka Taisei Junior/Senior High School di Shizuoka oleh Arsitek


Itsuko Hasegawa Atelier (sumber: Nikkei Architecture, 2005)

Dalam perkembangannya, alat atau sistem ini menjadi referensi awal simulasi
bangunan atau lingkungan dalam tahap disain awal (preliminary design). Namun
demikian, karena isu keberlanjutan ini tidak hanya mencakup satu-dua aspek, yakni
aspek lingkungan (fisik) dan aspek sosial, maka perlu pula dicari sebuah sistem
penilaian yang mampu menampung aspek ekonomi (lebih khusus pembiayaan
pembangunan) yang cenderung mahal pada bangunan-lingkungan yang didisain
untuk memenuhi syarat “berkelanjutan”. 

Sebagai contoh ditampilkan pada Gambar 2, sekolah baru di Kota Shizuoka Jepang
yang telah disertifikasi memenuhi standar keberlanjutan (menggunakan CASBEE),
namun dilaporkan biaya pembangunan yang melonjak untuk mencapai standar-
standar yang disyaratkan itu. Dampak positifnya adalah perancang atau pengembang
dihadapkan pada tantangan untuk berpikir strategis, komprehensif, dan inovatif untuk
meramu semua prasyarat berkelanjutan.

Anda mungkin juga menyukai