KEGAWATDARURATAN
FTR 5091
DISUSUN OLEH:
SEMESTER 5 REGULER
Intervensi Fisioterapi dan melakukan tindakan-tindakan Life saving secara profesional sesuai
prioritas pada kegawat daruratan dengan memperhatikan aspek etik dan legal, yang disertai
dengan teknik komunikasi yang efektif, role play manajemen kasus-kasus fisioterapi pada
mahasiswa akan dapat mengikuti perkuliahan selanjutnya yang menggunakan sistem blok.
Penyusun
Visi
Menjadi Program studi yang unggul dan pilihan dibidang fisioterapi orthopedikmuskuloskeletal,
berbasis pada ilmu pengetahuan dan tekhnologi dengan nilai-nilai Islam Berkemajuan dan
memiliki daya saing di tingkat ASEAN pada Tahun 2028.
Misi
1. Menyelenggarakan Pendidikan, penelitian dan pengabdian kepada masyarakat dibidang
fisioterapi dengan unggulan ortopedikmuskuloskeletal yang berbasis nilai-nilai Islam
Berkemajuan dengan standar dan perkembangan fisioterapi di dunia.
2. Mengembangkan kajiann sikap profesional dan pemberdayaan perempuan untuk
mencerdaskan kehidupan bangsa dan meningkatkan pelayanan pada gangguan gerak dan
fungsi
Tujuan
1. Menghasilkan lulusan berakhlak mulia, menguasai ilmu pengetahuan dan teknologi
berwawasan kesehatan, profesional, berjiwa entrepreneur, dan menjadi kekuatan penggerak
(driving force) dalam memajukan kehidupan bangsa.
2. Menghasilkan karya-karya ilmiah berskala nasional, regional dan internasional khususnya
dalam bidang fisioterapi dengan unggulan ortopedikmuskuloskeletal yang menjadi rujukan
dalam pemecahan masalah.
3. Menghasilkan karya inovatif dan aplikatif di bidang fisioterapi dengan unggulan
ortopedimuskuloskeletal yang berkontribusi pada pemberdayaan dan pencerahan.
4. Menghasilkan model berbasis praksis pemberdayaan perempuan berlandaskan nilai-nilai
Islam Berkemajuan
5. Menghasilkan pemikiran Islam Berkemajuan dan sebagai penguat moral spiritual dalam
implementasi Tri Dharma Perguruan Tinggi
Modul ini akan dilaksanakan dalam 7 minggu. Modul ini akan dijalankan pada tahun
ketiga semester pertama. Pada modul ini mahasiswa akan belajar tentang Konsep Al-Qur‘an
Kegawatdaruratan, konsep fisioterapi pasien kritis, konsep fisioterapi prehospital dan
kegawatdaruratan, konsep fisioterapi syok dan gagal nafas, kegawatdaruratan syaraf,
kegawatdaruratan muskuloskletal dan melakukan tindakan-tindakan Life saving secara
profesional sesuai prioritas pada kegawat daruratan dengan memperhatikan aspek etik dan
legalsebagai seorang fisioterapis.Tindakan gawat darurat harus sesuai aspek Legal Tenaga medis
atau dokter yang membantu korban dalam situasi emergensi harus menyadari konsekuensi
hukum yang dapat terjadi sebagai akibat dari tindakan yang mereka berikan. Untuk itu
pengetahuan kegawatdaruratan dan keselamatan pasien penting dipelajari dan dikuasai.
Pengetahuan medis teknis yang harus diketahui adalah mengenal ancaman kematian yang
disebabkan oleh adanya gangguan jalan napas, gangguan fungsi pernapasan/ventilasi dan
gangguan sirkulasi darah dalam tubuh. Prinsip pada penanganan penderita gawat darurat harus
cepat, tepat dan harus dilakukan segera oleh setiap orang yang pertama menemukan/mengetahui
(orang awam, perawat, para medis, dokter, atau fisioterapis) baik di dalam maupun diluar rumah
sakit karena kejadian ini dapat terjadi setiap saat dan menimpa siapa sajatanggap darurat. Untuk
mencapai tujuan modul ini akan dilakukan pembelajaran dengan kuliah, tutorial, skill Lab dan
kuliah pakar. Modul ini memuat 1 skenario. Dengan memahami fisioterapi kegawatdaruratan
maka diharapkan mahasiswa akan dapat mengikuti perkuliahan selanjutnya dengan mudah dan
tepat. Diskusi tutorial pada masing-masing kelompok tutorial akan dibimbing oleh seorang tutor
sebagai fasilitator.
FISIOTERAPI KEGAWATDARURATAN
Fisioterapi pada
Konsep Fisoterapi pada pasien kegawatdaruratan sistem
kritis Prehospital dan manajemen muskuloskletal dan Integumen
kegawatdaruratan (Contusio, combusio, & Burn
wound skin)
D. Materi
Mampu melakukan
Pemeriksaan diagnostik: Introduction and
interpretasi hasil
EKG Intrepretation EKG
pemeriksaan
diagnostik: EKG
Mampumerencanaka
Kegawatdaruratan sistem n intervensi pada Fisioterapi pada
muskuloskeletal dan berbagai kondisi kegawatdaruratan
integumen pada kegawatan sistem
sistem muskuloskletal dan
muskuloskeletal dan Integumen (Contusio,
integumen combusio, & Burn
(Contusio, combusio wound skin)
,&Burn wound skin)
E. Pre asesment
Kegiatan pembelajaran harus diikuti mahasiswa sebagai pra syarat untuk mengikuti ujian
akhir. Minimal keikutsertaan dalam kegiatan pembelajaran adalah sebagai berikut:
1. Perkuliahan : 75%
2. Tutorial : 100%
3. Praktikum : 100%
F. STRATEGI
PEMBELAJARAN TEORI
NO TOPIC STRATEGY DEPARTMENT LECTURER DURATION
TUTORIAL
G. AKTIVITAS PEMBELAJARAN
Aktivitas pembelajaran berikut ini dipersiapkan untuk memandu pada mahasiswa agar dapat
mencapai tujuan pembelajaran blok ini.
1. Diskusi Kelompok Kecil (DKK) atau Tutorial
Tutorial
Dalam diskusi kelompok, mahasiswa diminta memecahkan masalah yang terdapat
pada skenario yaitu mengikuti metode ―Seven Jump-Steps”, terdiri dari 7 langkah
pemecahan masalah yaitu :
Step 3 : Brainstorming
Step 7 : Reporting
2. Kuliah Pakar
Kuliah diberikan dalam rangka penataan pengetahuan/informasi yang telah diperoleh oleh
mahasiswa. Kuliah pakar akan berhasil guna dan tepat guna apabila dalam suatu saat itu,
pertemuan mahasiswa dengan pakar, mahasiswa secara aktif mengungkapkan hal-hal
yang ingin dipahami.
―Allah tidak menghukum kamu disebabkan sumpah-sumpahmu yang tidak dimaksud (untuk bersumpah), tetapi Dia menghukum kamu
disebabkan sumpah-sumpah yang kamu sengaja, maka kaffarat (melanggar) sumpah itu, ialah memberi makan sepuluh orang miskin, yaitu dari
makanan yang biasa kamu berikan kepada keluargamu, atau memberi pakaian kepada mereka atau memerdekakan seorang budak. Barang siapa
tidak sanggup melakukan yang demikian, maka kaffaratnya puasa selama tiga hari. Yang demikian itu adalah kaffarat sumpah-sumpahmu bila
kamu bersumpah (dan kamu langgar). Dan jagalah sumpahmu. Demikianlah Allah menerangkan kepadamu hukum-hukum-Nya agar kamu
bersyukur (kepada-Nya).‖
―Dan janganlah orang-orang yang mempunyai kelebihan dan kelapangan di antara kamu
bersumpah bahwa mereka (tidak) akan memberi (bantuan) kepada kaum kerabat(nya), orang-
orang yang miskin dan orang-orang yang berhijrah pada jalan Allah, dan hendaklah mereka
mema'afkan dan berlapang dada. Apakah kamu tidak ingin bahwa Allah mengampunimu? Dan
Allah adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang‖ an-nur : 22
Jelaslah bahwa etika Fisioterapis, Tenaga Medis dan Paramedis pada saat menemui pasien kritis
dan butuh pertolongan harus mendahulukan kepentingan pasien sesuai dengan Sifat-sifat Tenaga
Medis dan Paramedis yang telah disebutkan diatas yaitu Beriman dan Tulus ikhlas karena Allah
dan juga dalam prinsip kode etik kedoketran dalam islam yaitu Tidak ada yang dirugikan (non-
malfeasance) dan Kebajikan. Pada pelayanan gawat darurat, rumah sakit adalah harus
Ketersediaan tenaga kesehatan dalam jumlah memadai sebagai syarat yang harus dipenuhi oleh
IGD. Selain dokter jaga yang siap di IGD, rumah sakit juga harus menyiapkan spesialis lain
(bedah, penyakit dalam, anak, dll) untuk memberikan dukungan tindakan medis spesialistis bagi
pasien yang memerlukannya. Dokter spesialis yang bertugas harus siap dan bersedia menerima
rujukan dari IGD. Jika dokter spesialis gagal memenuhi kewajibannya maka tanggungjawab
terletak pada dokter atau Fisioterapis itu
dan juga rumah sakit karena tidak mampu mendisiplinkan dokternya. Ketentuan tentang
pemberian pertolongan dalam keadaan darurat telah tegas diatur dalam pasal 51 UU No.29/ 2004
tentang Praktik Kedokteran, di mana seorang dokter wajib melakukan pertolongan darurat atas
dasar perikemanusiaan. Selanjutnya, walaupun dalam UU No.23/1992tentang Kesehatan tidak
disebutkan istilah pelayanan gawat darurat namun secara tersirat upaya penyelenggaraan
pelayanan tersebut sebenarnya merupakan hak setiap orang untuk memperoleh derajat kesehatan
yang optimal (pasal 4). Selanjutnya pasal 7 mengatur bahwa
Ada beberapa upaya penyelesaian masalah pelayanan gawat darurat, yaitu sebagai berikut:
1. Meningkatkan kegiatan pendidikan kesmas, sehingga satu pihak pemahaman masyarakat
terhadap pelayanan gawat darurat dapat ditingkatkan, dan dipihak lain keterampilan masyarakat
menanggulangi (self medication) masalah-masalah kesehatan sederhana dapat ditingkatkan
2. Menambah jumlah sarana kesehatan yang menyelenggarakan pelayanan rawat jalan, termasuk
pertolongan pertama.
3. Menggalakkkan program asuransi kesehatan, terutama yang menganut sistem pembayarab pra-
upaya.
MODUL FISIOTERAPI KEGAWATDARURATAN T.A 2019/2020 Page 21
Sudah jelaslah bahwa tidak ada perihal yang menghalangi seorang fisioterapis ataupun tim medis
untuk tidak memberikan pertolongan dan pelayanan medis kepada pasien gawat darurat. Selain
melanggar hukum dan UU yang telah ditetapkan, hal tersebut juga melanggar dari ketentuan
Allah yang memerintahkan bahkan mewajibkan untuk tolong-menolong.
Akan tetapi perlu juga manajemen rumah sakit yang betul-betul memperhatikan kedisiplinan
para tenaga medis dan memberlakukan hukuman ataupun sanksi tegas apabila melalaikan hak
pasien serta ketegasan dari UU tentang hak pasien gawat darurat dan kejelasan pembiayaan
karena tanpa didukung hukum yang kuat peraturan hanya tinggal kata-kata yang sesungguhnya
tidaklah mempunyai arti.
Physical therapy practice continues to evolve in the acute care setting from inpatient care
into the emergency department. Our roles in the emergency ward as a consultant is important and
is pertinent in the era of direct access. The American Physical Therapy Association‘s vision for
2020 is for consumers to have ―direct access for the diagnosis of, interventions for, and
prevention of impairments, activity limitations, participation restrictions, and environmental
barriers related to movement, function, and health.‖http://www.apta.org/vision2020/. We have
expertise in screening for problems that are not within our scope of practice as well as managing
conditions impacting the cardiopulmonary, integumentary, and the neuromusculoskeletal
systems. We often identify and treat acute and chronic musculoskeletal impairments (Fleming,
2010). Several studies have noted the following benefits of physical therapy in the ED: decreased
wait times in the emergency room for musculoskeletal injuries, decreased hospital costs for
management of low back pain, and lower incidence of advanced imaging, surgery, and opiodes
when a physical therapists screens the patient first for reports of back pain (Fritz, 2012).Physical
therapists are an appropriate consult service for the ED. Common complaints in the emergency
department that may be appropriate for physical therapy include dizziness, ankle sprains,
concussions, and back pain. The American Physical Therapy Association has ED starter kits,
resources, and continuing education courses to help enhance your current practice or to get
established in this setting. http://www.apta.org/EmergencyDepartment/.
The primary purpose of this administrative case report is to describe the process of
establishing a physical therapy service in a busy urban ED. Preliminary outcomes and
recommendations for further assessment of physical therapy impact on ED cost of care, length of
stay, pain, and patient and practitioner satisfaction are presented.
Findings indicated that these physicians found ED physical therapy services to be of value to
themselves, to their patients, and to the department as a whole and described specific manners in
which such consultations improved emergency care. Implementation and maintenance of the
program, however, presented various challenges.
Bridges
To start, a brief introduction of who comes into the emergency department. Fewer and
fewer are coming via ambulance, even fewer by life flight. People are using the ED in new and
different ways. For example, many have non-urgent and non-life threatening conditions. The
The ED physician spends an average of 11 minutes on direct care. That time includes research,
orders, and making referrals. Patient satisfaction with ED care is generally low. Management of
common musculoskeletal, pain, and soft tissue injury complaints is varied and poor. Individuals
are routinely given cervical soft collars for neck pain, immobilization including CASTS and or
instructions for non-weight bearing for ankle sprains, and MULTIPLE days of bed rest for low
back pain.
The fact of the matter is this that more and more individuals are utilizing the ER as their
primary stop for health conditions. By the time they seek care these conditions are more chronic
and less well controlled. Thus, more and more people seen in the ED are not necessarily in an
emergent state. And, I believe, more and more would benefit from the skills of a physical
therapist. Now, I also believe physical therapist‘s can play a vital role in deciding when imaging
of musculoskeletal conditions is and is not necessary. Further, the treatment they provide may
(again my belief) decrease imaging, medication prescription/usage, and decrease re-visit rates for
the same complaint. And maybe, just maybe, if we plug these people into physical therapy
sooner their conditions (pain, chronic medical diagnoses, etc) will be better managed and
controlled. And, I think, that all links back to the Physical Therapist‘s Role in Health, Wellness,
The data that does exists suggest that having PT‘s in the ED results in decreased wait
time and increased patient satisfaction. [Unfortunately, much of the data on PT‘s in the ED has
is placed on ―patient satisfaction.‖ [However, flawed that concept may be. Refer to Patient
Satisfaction is Useless Part I and Part II on the Evidence In Motion Blog]. Further, wait time in
the ED is directly related to the costs for that department. Therefore, decreasing wait time is a
very real way to decrease costs. Not surprisingly, wait time is inversely related to patient
satisfaction. So, already those are two powerful take home points regarding the positive effects
PT‘s ARE ALREADY having in the ED already. But, what does the future hold?
In expanding PT services in the ED, we can look to other sources of evidence and data to support
Diagnosis
conditions such as low back pain, neck pain, knee pain, ankle sprains, etc. Also, there are
innovative practice models where physical therapists are involved earlier in care providing
FRONT end intervention for painful episodes. Virginia Mason (out of my hometown of Seattle)
received a lot of publicity even aWall Street Journal Article for their model of sending patients
with work related musculoskeletal complaints to a PT FIRST. They decreased costs by over 50%
1. Readmissions
The talk was very interesting, and I think this practice area will continue to grow. It
actually reminds me of the growth of early mobility and rehabilitation of individuals in intensive
care units. I also think there is really good research and data from other areas of practice
supporting not only the treatment PT‘s can provide, but also our training, decision making, and
skills in medical screening and aiding in diagnosis. Not to mention, I did not even mention fall
risk screening and intervention, splinting, wound care, assistive device recommendations, and
aiding in discharge planning. PT working in the emergency department (ED) play an integral
role in the assessment, diagnosis, triage and management of patients with musculoskeletal
(MSK) injuries and frail elderly patients showing a decline in function. Physiotherapists assess
and treat mobility issues, provide instruction on appropriate mobility aids and facilitate safe
and function. The target population is primarily the frail elderly, however many other patient
populations require such services, including patients with MSK injuries (Mc.Clellan, 2006). The
purpose of the assessment is to determine the most effective treatment plan that allows the
patient to be discharged home safely including: 1) discharge from the ED; 2) remain for
transfer to respite care, placement or home with additional support services. Physiotherapists also
have a role as frontline primary health care providers, in the ED, in the assessment and diagnosis,
within scope, of patients with MSK injuries (Hoskins, 2010). Physiotherapy services provided in
the ED decreases wait times to access healthcare services and ultimately time spent by patients in
individualized treatment plans targeted to address their discharge concerns resulting in high
patient satisfaction.
length of stay (LOS) in the ED and wait times without any increase in adverse events
(Taylor, 2011)
acts as a bridge to community services that improve mobility and overall physical functioning.
1. Physiotherapy provided in the ED improves patient outcomes, such as pain control, and
disability and facilitates and ensures safe discharge home (Moo, 2008)
Impact on Health Care Costs Physiotherapy services in the ED for the management of
2010)
2. Access to physiotherapists in the ED results in early intervention and decreases future use
3. Comprehensive discharge planning, facilitating access to other health care services, and
Summary Physiotherapy in the ED improves patient outcomes and reduces the rate of
return visits to the ED. Patients also report high satisfaction with physiotherapy services in the
facilitates referrals to other inpatient and outpatient programs improving both the efficiency and
continuity of care. An improvement in the continuation of care supports a safe return home and
===========================================
Bencana tsunami di Aceh beberapa tahun silam membuat kita teperangah tak percaya.
Bumi Serambi Mekah dalam sekejap rata menyisakan kepiluan manakala hamparan jenazah
saudara-saudara menusuk mata kita. Berita pesawat terbang jatuh, silih berganti dengan kabar
duka lainnya : longsor, banjir bahkan bencana bom pernah melanda negeri ini. Sesaat kita
terdiam merenung akan hakikat hidup yang menyadarkan kita……. Semua sudah
kehendakNya. Takdir memang diluar kuasa kita sebagai manusia. Namun terbenrsit
pertanyaan besar, benarkah kita tidak berkontribusi terhadap tingginya jumlah kematian
karena bencana massal itu ???
Seminggu yang lalu seorang pria berusia 23 tahun dan baru menikah di Rumah Sakit
Fatmawati Jakarta. Pengendara motor yang tidak ngebut namun karena tidak hati-hati jatuh ke
dalam lembah curam sedalam 10 meter. Sangat miris karena cedera tulang thorakal dan
lumbal yang dialaminya cukup parah. Prognosa menyatakan dia bakal lumpuh seumur
hidupnya dari batas pusar ke bawah. Menurut cerita keluarga pertolongan di tempat kejadian
dilakukan oleh teman-temanya. Penulis membayangkan korban diangkat dari dasar jurang
entah dengan apa dan bagaimana, namun dapat diyakinkan bahwa mobilisasi dan tranportasi
korban sangatlah merugikan dan memperburuk cedera tulang belakangnya. Usia produktif
yang disia-siakan.
Kejadian gawat darurat dapat terjadi kapan saja, dimana saja dan menimpa siapa saja.
Orang lain, teman dekat, keluarga ataupun kita sendiri dapat menjadi korbannya. Kejadian
gawat darurat biasanya berlangsung cepat dan tiba-tiba sehingga sulit memprediksi kapan
terjadinya. Langkah terbaik untuk situasi ini adalah waspada dan melakukan upaya kongkrit
untuk mengantisipasinya. Harus dipikirkan satu bentuk mekanisme bantuan kepada korban
dari awal tempat kejadian, selama perjalanan menuju sarana kesehatan, bantuan di fasilitas
kesehatan sampai pasca kejadian cedera. Tercapainya kualitas hidup penderita pada akhir
bantuan harus tetap menjadi tujuan dari seluruh rangkai pertolongan yang diberikan.
Upaya Pertolongan terhadap penderita gawat darurat harus dipandang sebagai satu
system yang terpadu dan tidak terpecah-pecah. Sistem mengandung pengertian adanya
komponen-komponen yang saling berhubungan dan saling mempengaruhi, mempunyai
sasaran (output) serta dampak yang diinginkan (outcome). Sistem yang bagus juga harus
dapat diukur dengan melalui proses evaluasi atau umpan balik yang berkelanjutan. Alasan
kenapa upaya pertolongan penderita harus dipandang sebagai satu system dapat diperjelas
dengan skema di bawah ini :
MODUL FISIOTERAPI KEGAWATDARURATAN T.A 2019/2020 Page 32
Injury & Pre Hospital Stage Hospital Stage Rehabilitation
Dissaster
• First Responder • Emergency Room • Fisical
• Ambulance Service • Operating Room • Psycological
24 jam • Intensif Care Unit • Social
• Ward Care
Berdasarkan skema di atas, kualitas hidup penderita pasca cedera akan sangat bergantung
pada apa yang telah dia dapatkan pada periode Pre Hospital Stage bukan hanya tergantung
pada bantuan di fasilitas pelayanan kesehatan saja. Jika di tempat pertama kali kejadian
penderita mendapatkan bantuan yang optimal sesuai kebutuhannya maka resiko kematian dan
kecacatan dapat dihindari. Bisa diilustrasikan dengan penderita yang terus mengalami
perdarahan dan tidak dihentikan selama periode Pre Hospital Stage, maka akan sampai ke
Begitu cedera terjadi maka berlakulah apa yang disebut waktu emas (The Golden periode).
Satu jam pertama juga sangat menentukan sehingga dikenal istilah The Golden Hour. Setiap
detik sangat berharga bagi kelangsungan hidup penderita. Semakin panjang waktu terbuang
tanpa bantuan pertolongan yang memadai, semakin kecil harapan hidup korban. Terdapat 3
faktor utama di Pre Hospital Stage yang berperan terhadap kualitas hidup penderita nantinya
yaitu :
➢
siapa penolong pertamanya
➢
Berapa lama ditemukannya penderita,
➢
kecepatan meminta bantuan pertolongan
Penolong pertama seharusnya orang awam yang terlatih dengan dukungan pelayanan
ambulan gawat darurat 24 jam. Ironisnya penolong pertama di wilayah Indonesia sampai saat
Pada fase rumah sakit, Unit Gawat Darurat berperan sebagai gerbang utama jalan
masuknya penderita gawat darurat. Kemampuan suatu fasilitas kesehatan secara keseluruhan
dalam hal kualitas dan kesiapan dalam perannya sebagai pusat rujukan penderita dari pra rumah
tercermin dari kemampuan unit ini. Standarisasi Unit Gawat Darurat saat ini menjadi salah satu
komponen penilaian penting dalam perijinan dan akreditasi suatu rumah sakit. Penderita dari
ruang UGD dapat dirujuk ke unit perawatan intensif, ruang bedah sentral, ataupun bangsal
perawatan. Jika dibutuhkan, penderita dapat dirujuk ke rumah sakit lain.
7. Sistem komunikasi
Kejelasan kemana berita adanya kejadian gawat darurat disampaikan, akan memperpendek
masa pra rumah sakit yang dialami penderita. Pertolongan yang datang dengan segera akan
meminimalkan resiko-resiko penyulit lanjutan seperti syok hipovolemia akibat kehilangan
darah yang berkelanjutan, hipotermia akibat terpapar lingkungan dingin dan sebagainya.
Siapapun yang menemukan penderita pertama kali di lokasi harus tahu persis kemana
informasi diteruskan. Problemnya adalah bagaimana masyarakat dapat dengan mudah
8. Pendidikan
Penolong pertama seringkali orang awam yang tidak memiliki kemampuan menolong yang
memadai sehingga dapat dipahami jika penderita dapat langsung meninggal ditempat
kejadian atau mungkin selamat sampai ke fasilitas kesehatan dengan mengalami kecacatan
karena cara tranport yang salah. Penderita dengan kegagalan pernapasan dan jantung kurang
dari 4-6 menit dapat diselamatkan dari kerusakan otak yang ireversibel. Syok karena
kehilangan darah dapat dicegah jika sumber perdarahan diatasi, dan kelumpuhan dapat
dihindari jika upaya evakuasi & tranportasi cedera spinal dilakukan dengan benar. Karena itu
orang awam yang menjadi penolong pertama harus menguasai lima kemampuan dasar yaitu :
• Penyakit anak
• Penyakit dalam
• Penyakit saraf
• Penyakit Jiwa
• Penyakit Mata dan telinga
• Dan lainya sesuai kebutuhan sistem
Penyebarluasan kemampuan sebagai penolong pertama dapat diberikan kepada
masyarakat yang awam dalam bidang pertolongan medis baik secara formal maupun
9. Tranportasi
Alat tranportasi yang dimaksud adalah kendaraannya, alat-alatnya dan personalnya.
Tranportasi penderita dapat dilakukan melalui darat, laut dan udara. Alat tranportasi
penderita ke rumah sakit saat ini masih dilakukan dengan kendaraan yang bermacam-macam
kendaraan tanpa kordinasi yang baik. Hanya sebagian kecil yang dilakukan dengan ambulan,
itupun dengan ambulan biasa yang tidak memenuhi standar gawat darurat. Jenis-jenis
ambulan untuk suatu wilayah dapat disesuaikan dengan kondisi lokal untuk pelayanan harian
dan bencana.
10. Pendanaan
Sumber pendanaan cukup memungkinkan karena system asuransi yang kini berlaku di
Indonesia. Pegawai negeri punya ASKES, pegawai swasta memiliki jamsostek, masyarakat
miskin mempunyai ASKESKIN. Orang berada memiliki asuransi jiwa
PENDAHULUAN
Tujuan dari penatalaksanaan stroke secara umum adalah menurunkan morbiditas dan
menurunkan tingkat kematian serta menurunnya angka kecacatan. Salah satu upaya yang
berperan penting untuk mencapai tujuan tersebut adalah pengenalan gejala-gejala stroke dan
penanganan stroke secara dini yang dimulai dari penanganan prahospital yang cepat dan tepat.1
Keberhasilan penanganan stroke akut dimulai dari pengetahuan masyarakat dan petugas
kesehatan, bahwa stroke merupakan keadaan gawat darurat; seperti infark miokard akut atau
trauma. Filosopi yang harus dipegang adalah time is brain dan the golden hour. Dengan adanya
kesamaan pemahaman bahwa stroke dan TIA merupakan suatu medical emergency maka akan
berperan sekali dalam menyelamatkan hidup dan mencegah kecacatan jangka panjang. Untuk
mencapai itu, pendidikan dan penyuluhan perlu diupayakan terhadap masyarakat, petugas
ambulans dan terutama para dokter yang berada di ujung tombak pelayanan kesehatan seperti di
puskesmas, unit gawat darurat, atau tenaga medis yang bekerja di berbagai fasilitas kesehatan
lainnya. Tanggung jawab manajemen prahospital tergantung pada pelayanan ambulans dan
pelayanan kesehatan tingkat primer.1Keberadaan pre-hospital stage (tahap pra-rumah sakit) di
Indonesia tidak mendapatkan perhatian yang utama dalam strategi kebijakan kesehatan di
Indonesia. Penanganan tahap pra-rumah sakit di Indonesia masih sangat lemah, baik dari sisi
infrastruktur maupun sumber daya manusianya. Ambulans, sebagai elemen penting dalam tahap
ini misalnya, selama ini, hanya dianggap sebagai alat angkut pasien ke rumah sakit. Alih-alih
menempatkan sebagai bagian dari pre-hospital stage, di Indonesia, ambulans menjadi bagian dari
penanganan in-hospital stage. Dengan penanganan yang benar pada jam-jam pertama, angka
kecacatan stroke paling tidak akan berkurang sebesar 30%.
Definisi Stroke
1. Gangguan pembuluh darah (usia lanjut, hipertensi, thrombus, atherosclerosis, infeksi, Diabetes
Melitus)
2. Gangguan susunan darah (polycitemiavera, kadar fibrinogen tinggi , jumlah sel trombosit
tinggi, anemia)
3. Gangguan aliran darah ke otak (Penurunan aliran darah ke otak, peningkatan viskositas darah)
Klasifikasi Stroke
Berdasarkan etiologinya stroke diklasifikasikan menjadi stroke hemoragik dan stroke non
hemoragik.
Secara non hemoragik, stroke dapat dibagi berdasarkan manifestasi klinik dan proses patologik:
1. Serangan Iskemik Sepintas Transient Ischemic Attack (TIA). Gejala neurologik yang timbul
akibat gangguan peredaran darah di otak akan menghilang dalam waktu 24 jam.
2. Defisit Neurologik Iskemik Sepintas Reversible Ischemic Neurological Deficit (RIND). Gejala
neurologik yang timbul akan menghilang dalam waktu lebih lama dari 24 jam, tapi tidak lebih
dari seminggu.
1. Stroke Trombotik
Stroke trombotik terjadi karena adanya penggumpalan pada pembuluh darah di otak.
Trombotik dapat terjadi pada pembuluh darah yang besar dan pembuluh darah yang kecil. Pada
pembuluh darah besar trombotik terjadi akibat aterosklerosis yang diikuti oleh terbentuknya
gumpalan darah yang cepat. Selain itu, trombotik juga diakibatkan oleh tingginya kadar
kolesterol jahat atau Low Density Lipoprotein (LDL). Sedangkan pada pembuluh darah kecil,
trombotik terjadi karena aliran darah ke pembuluh darah arteri kecil terhalang. Ini terkait dengan
hipertensi dan merupakan indikator penyakit aterosklerosis.
Stroke emboli terjadi karena adanya gumpalan dari jantung atau lapisan lemak yang
lepas. Sehingga, terjadi penyumbatan pembuluh darah yang mengakibatkan darah tidak bisa
mengaliri oksigen dan nutrisi ke otak.
Gejala stroke non hemoragik yang timbul akibat gangguan peredaran darah di otak
bergantung pada berat ringannya gangguan pembuluh darah dan lokasi tempat gangguan
peredaran darah terjadi, maka gejala-gejala tersebut adalah:
Buta mendadak (amaurosis fugaks), ketidakmampuan untuk berbicara atau mengerti bahasa lisan
(disfasia) bila gangguan terletak pada sisi dominan, kelumpuhan pada sisi tubuh yang
berlawanan (hemiparesis kontralateral) dan dapat disertai sindrom Horner pada sisi sumbatan.5,6
Kelumpuhan di satu sampai keempat ekstremitas, gangguan dalam koordinasi gerakan tubuh,
gejala-gejala sereblum seperti gemetar pada tangan (tremor), kepala berputar (vertigo), disfagia,
disartria, kehilangan kesadaran sepintas (sinkop), penurunan kesadaran secara lengkap (stupor),
koma, pusing, gangguan daya ingat, kehilangan daya ingat terhadap lingkungan (disorientasi),
Gangguan penglihatan, seperti penglihatan ganda (diplopia), gerakan arah bola mata yang tidak
dikehendaki (nistagmus), penurunan kelopak mata (ptosis), kurangnya daya gerak mata,
kebutaan setengah lapang pandang pada belahan kanan atau kiri kedua mata (hemianopia
homonim).
Stroke Hemoragik
Perdarahan Intraserebral (PIS) adalah perdarahan yang primer berasal dari pembuluh darah
dalam parenkim otak dan bukan disebabkan oleh trauma. Perdarahan ini banyak disebabkan oleh
hipertensi, selain itu faktor penyebab lainnya adalah aneurisma kriptogenik, diskrasia darah,
penyakit darah seperti hemofilia, leukemia, trombositopenia, pemakaian antikoagulan
angiomatosa dalam otak, tumor otak yang tumbuh cepat, amiloidosis serebrovaskular. Gejala
yang sering djumpai pada perdarahan intraserebral adalah: nyeri kepala berat, mual, muntah dan
Kesadaran biasanya menurun dan cepat masuk koma (65% terjadi kurang dari setengahjam, 23%
antara 1/2-2 jam, dan 12% terjadi setelah 3 jam).
c. Perdarahan Subdural
Perdarahan subdural adalah perdarahan yang terjadi akibat robeknya vena jembatan (bridging
veins) yang menghubungkan vena di permukaan otak dan sinus venosus di dalam durameter atau
karena robeknya araknoidea. Pada penderita perdarahan subdural akan dijumpai gejala: nyeri
kepala, tajam penglihatan mundur akibat edema papil yang terjadi, tanda-tanda deficit neurologik
daerah otak yang tertekan. Gejala ini timbul berminggu-minggu hingga berbulan-bulan setelah
terjadinya trauma kepala.
Deteksi
Pengenalan cepat dan reaksi terhadap tanda-tanda stroke dan TIA. Keluhan pertama
kebanyakan pasien (95%) mulai sejak di luar rumah sakit. Hal ini penting bagi masyarakat luas
(termasuk pasien dan orang terdekat dengan pasien) dan petugas kesehatan profesional (dokter
umum dan resepsionisnya , perawat penerima telpon, atau petugas gawat darurat) untuk
mengenal stroke dan perawatan kedaruratan. Tenaga medis atau dokter terlibat di unit gawat
darurat atau pada fasilitas prahospital harus mengerti tentang gejala stroke akut dan penanganan
pertama yang cepat dan benar. Pendidikan berkesinambungan perlu dilakukan terhadap
masyarakat tentang pengenalan atau deteksi dini stroke.7 Konsep time is brain berarti
pengobatan stroke merupakan keadaan gawat darurat. Jadi, keterlambatan pertolongan pada fase
prahospital harus dihindari dengan pengenalan keluhan dan gejala stroke bagi pasien dan orang
terdekat. Pada setiap kesempatan, pengetahuan mengenai keluhan stroke, terutama pada
kelompok resiko tinggi (hipertensi, atrial fibrilasi, kejadian vaskuler lain dan diabetes) perlu
disebarluaskan. Keterlambatan manajemen stroke akut dapat terjadi pada beberapa tingkat. Pada
tingkat populasi, hal ini dapat terjadi karena ketidaktahuan keluhan stroke dan kontak pelayanan
gawat darurat.
Beberapa gejala atau tanda yang mengarah kepada diagnosis stroke antara lain
hemiparesis, gangguan sensorik satu sisi tubuh, hemianopia atau buta mendadak, diplopia,
vertigo, afasia, disfagia, disatria, ataksia, kejang atau penurunan kesadaran yang kesemuanya
terjadi secara mendadak. Untuk memudahkan digunakan istilah FAST (Fasial movement, Arm
movement, Speech, Test all three). Tes ini sangat mudah. Bila ada anggota keluarga, rekan,
kerabat, atau tetangga yang dicurigai tekena stroke, dan menunjukkan hasil tes yang positif
FAST TEST
OLOR
OLOR
FAST merupakan suatu metode deteksi dini pasien stroke yang bisa dilakukan secara
cepat. FAST terdiri dari Facial Movement, Arm movement dan Speech. 8 Facial movement
merupakan penilaian pada otot wajah, pemeriksaan ini dilakukan dengan tahapan sebagai
berikut7 :
b) Amati simetrisitas dari bibir pasien, tandai pilihan ―YES‖ bila terlihat ada deviasi dari sudut
mulut saat diam atau saat tersenyum.
c) Kemudian identifikasi sisi sebelah mana yang tertinggal atau tampak tertarik, lalu tandai
apakah di sebelah kiri ―L‖ atau sebelah kanan ―R‖
Arm movement merupakan penilaian pergerakan lengan untuk menentukan apakah terdapat
kelemahan pada ekstremitas, pemeriksaannya dilakukan dengan tahapan berikut :
a) Angkat kedua lengan atas pasien bersamaan dengan sudut 90o bila pasien duduk dan 45o bila
pasien terlentang. Minta pasien untuk menahannya selama 5 detik.
b) Amati apakah ada lengan yang lebih dulu terjatuh dibandingkan lengan lainnya
d) Dengarkan apakah ada kesulitan untuk mengungkapkan atau menemukan katakata. Hal ini
bias dikonfirmasi dengan meminta pasien untuk menyebutkan benda-benda yang terdapat di
sekitar, seperti pulpen, gelas, piring dan lain-lain.
e) Apabila terdapat gangguang penglihatan, letakkan barang tersebut di tangan pasien dan minta
pasien menyebutkan nama benda tersebut.
Pengiriman pasien
Bila seseorang dicurigai terkena serangan stroke, maka segera panggil ambulans gawat
darurat. Ambulans gawat darurat sangat berperan penting dalam pengiriman pasien ke fasilitas
yang tepat untuk penanganan stroke. Semua tindakan dalam ambulansi pasien hendaknya
berpedoman kepada protokol. Staff ambulans berperan dalam menilai apakah pasien dicurigai
menglami stroke akut dengan mengevaluasi melalui metode FAST dan jika pemeriksaannya
positif, segera menghubungi personel di pusat control ambulans di rumah sakit. Personel tersebut
yang kemudian menghubungi petugas unit gawat darurat untuk menyediakan tempat dalam
penanganan lebih lanjut.
Transportasi / ambulans
b. Tindakan stabilitas dan resusitasi (Airway Breathing Circulation / ABC). Intubasi perlu
dipertimbangkan pada pasien dengan koma yang dalam, hipoventilasi, dan aspirasi.
b. Jangan memberikan cairan berlebihan kecuali pada pasien syok dan hipotensi
d. Jangan menurunkan tekanan darah kecuali pada kondisi khusus. Hindari hipotensi,
hipoventilasi, atau anoksia.
RINGKASAN
1. Henti napas
Henti napas ditandai dengan tidak adanya gerakan dada dan aliran udara pernapasan dari
korban/pasien. Henti napas merupakan kasus yang harus dilakukan tindakan Bantuan Hidup
Dasar. Henti napas dapat terjadi pada keadaan:
• Tenggelam
• Stroke
• Obstruksi jalan napas
• Epiglotitis
• Overdosis obat-obatan
• Tersengat listrik
• Infark miokard
• Tersambar petir
• Koma akibat berbagai macam kasus.
Pada awal henti napas oksigen masih dapat masuk kedalam darah untuk beberapa menit
dan jantung masih dapat mensirkulasikan darah ke otak dan organ vital lainnya, jika pada
keadaan ini diberikan bantuan napas akan sangat bermanfaat agar korban dapat tetap hidup dan
mencegah henti jantung.
2. Henti jantug
Pada saat terjadi henti jantung, secara langsung akan terjadi henti sirkulasi. Henti
sirkulasi ini akan dengan cepat menyebabkan otak dan organ vital kekurangan oksigen.
Pernapasan yang terganggu (tersengal-sengal) merupakan tanda awal akan terjadinya henti
jantung. Bantuan hidup dasar merupakan bagian dari pengelolaan gawat darurat medik yang
bertujuan:
• Survei Primer (Primary Survey), yang dapat dilakukan oleh setiap orang
• Survei Sekunder (Secondary Survey), yang hanya dapat dilakukan oleh tenaga medis
dan paramedis terlatih dan merupakan lanjutan dari survei primer.
SURVEI PRIMER
Dalam survei primer difokuskan pada bantuan napas dan bantuan sirkulasi serta
defibrilasi. Untuk dapat mengingat dengan mudah tindakan survei primer dirumuskan
dengan abjad C, A, B, dan D, (AHA 2010) yaitu :
C circulation (sirkulasi)
A airway (jalan napas)
B breathing (bantuan napas)
D defibrilation (terapi listrik)
Sebelum melakukan tahapan A (airway), harus terlebih dahulu dilakukan prosedur
awal pada korban/pasien, yaitu :
1. Memastikan keamanan lingkungan bagi penolong
2. Memastikan kesadaran dari korban/pasien.
Untuk memastikan korban dalam keadaan sadar atau tidak penolong harus melakukan
upaya agar dapat memastikan kesadaran korban/pasien, dapat dengan cara menyentuh atau
menggoyangkan bahu korban/pasien dengan lembut dan mantap untuk mencegah pergerakan
yang berlebihan, sambil memanggil namanya atau Pak !!! / Bu!!! / Mas!!! /Mbak !!!.
1. Meminta pertolongan.
Jika ternyata korban/pasien tidak memberikan respon terhadap panggilan, segera minta
bantuan dengan cara berteriak “Tolong !!!” untuk mengaktifkan sistem pelayanan medis yang
lebih lanjut.
2. Memperbaiki posisi korban/pasien.
Untuk melakukan tindakan BHD yang efektif, korban/pasien harus dalam posisi
terlentang dan berada pada permukaan yang rata dan keras. jika korban ditemukan dalam posisi
miring atau tengkurap, ubahlah posisi korban ke posisi terlentang.Ingat! penolong harus
membalikkan korban sebagai satu kesatuan antara kepala, leher dan bahu digerakkan secara
bersama-sama. Jika posisi sudah terlentang, korban harus dipertahankan pada posisi horisontal
dengan alas tidur yang keras dan kedua tangan diletakkan di samping tubuh.
MODUL FISIOTERAPI KEGAWATDARURATAN T.A 2019/2020 Page 49
3. Mengatur posisi penolong.
Segera berlutut sejajar dengan bahu korban agar saat memberikan bantuan napas dan
sirkulasi, penolong tidak perlu mengubah posisi atau menggerakkan lutut.
Jika teraba denyutan nadi, penolong harus kembali memeriksa pernapasan korban dengan
melakukan manuver tengadah kepala topang dagu untuk menilai pernapasan korban/pasien. Jika
tidak bernapas lakukan bantuan pernapasan, dan jika bernapas pertahankan jalan napas.
Tindakan ini bertujuan untuk mengetahui ada tidaknya sumbatan jalan napas oleh benda
asing. Jika terdapat sumbatan harus dibersihkan dahulu, kalau sumbatan berupa cairan dapat
dibersihkan dengan jari telunjuk atau jari tengah yang dilapisi dengan sepotong kain, sedangkan
sumbatan oleh benda keras dapat dikorek dengan menggunakan jari telunjuk yang dibengkokkan.
Mulut dapat dibuka dengan tehnikCross Finger, dimana ibu jari diletakkan berlawanan dengan
jari telunjuk Pada mulut korban.
• Mulut ke mulut
Bantuan pernapasan dengan menggunakan cara ini merupakan cara yang tepat dan efektif
untuk memberikan udara ke paru-paru korban/pasien. Pada saat dilakukan hembusan napas dari
mulut ke mulut, penolong harus mengambil napas dalam terlebih dahulu dan mulut penolong
harus dapat menutup seluruhnya mulut korban dengan baik agar tidak terjadi kebocoran saat
mengghembuskan napas dan juga penolong harus menutup lubang hidung korban/pasien dengan
ibu jari dan jari telunjuk untuk mencegah udara keluar kembali dari hidung. Volume udara yang
diberikan pada kebanyakkan orang dewasa adalah 700 – 1000 ml (10 ml/kg). Volume udara yang
berlebihan dan laju inpirasi yang terlalu cepat dapat menyebabkan udara memasuki lambung,
sehingga terjadi distensi lambung.
• Mulut ke hidung
Teknik ini direkomendasikan jika usaha ventilasi dari mulut korban tidak
memungkinkan, misalnya pada Trismus atau dimana mulut korban mengalami luka yang berat,
dan sebaliknya jika melalui mulut ke hidung, penolong harus menutup mulut korban/pasien.
MODUL FISIOTERAPI KEGAWATDARURATAN T.A 2019/2020 Page 51
• Mulut ke Stoma
Pasien yang mengalami laringotomi mempunyai lubang (stoma) yang menghubungkan
trakhea langsung ke kulit. Bila pasien mengalami kesulitan pernapasan maka harus dilakukan
ventilasi dari mulut ke stoma.
• Dengan jari telunjuk dan jari tengah penolong menelusuri tulang iga kanan atau kiri
sehingga bertemu dengan tulang dada (sternum).
• Dari pertemuan tulang iga (tulang sternum) diukur kurang lebih 2 atau 3 jari ke atas.
Daerah tersebut merupakan tempat untuk meletakan tangan penolong dalam
memberikan bantuan sirkulasi.
• Letakkan kedua tangan pada posisi tadi dengan cara menumpuk satu telapak tangan di
atas telapak tangan yang lainnya, hindari jari-jari tangan menyentuh dinding dada
korban/pasien, jari-jari tangan dapat diluruskan atau menyilang.
• Dengan posisi badan tegak lurus, penolong menekan dinding dada korban dengan tenaga
dari berat badannya secara teratur sebanyak 15 kali dengan kedalaman penekanan
berkisar antara 1.5 – 2 inci (3,8 – 5 cm).
• Tekanan pada dada harus dilepaskan keseluruhannya dan dada dibiarkan
mengembang kembali ke posisi semula setiap kali melakukan kompresi dada. Selang
waktu yang dipergunakan untuk melepaskan kompresi harus sama dengan pada saat
melakukan kompresi. (50% Duty Cycle).
• Tangan tidak boleh lepas dari permukaan dada dan atau merubah posisi tangan pada
saat melepaskan kompresi.
• Rasio bantuan sirkulasi dan pemberian napas adalah 15 : 2, dilakukan baik oleh 1 atau
2 penolong jika korban/pasien tidak terintubasi dan kecepatan kompresi adalah 100 kali
permenit (dilakukan 4 siklus permenit), untuk kemudian dinilai apakah perlu dilakukan
siklus berikutnya atau tidak.
Tindakan kompresi yang benar hanya akan mencapai tekanan sistolik 60 – 80 mmHg, dan
diastolik yang sangat rendah, sedangkan curah jantung (cardiac output) hanya 25% dari curah
D (DEFIBRILATION)
Defibrilation atau dalam bahasa Indonesia diterjemahkan dengan istilah defibrilasi adalah
suatu terapi dengan memberikan energi listrik. Hal ini dilakukan jika penyebab henti jantung
(cardiac arrest) adalah kelainan irama jantung yang disebut dengan Fibrilasi Ventrikel. Dimasa
sekarang ini sudah tersedia alat untuk defibrilasi (defibrilator) yang dapat digunakan oleh orang
awam yang disebut Automatic External Defibrilation, dimana alat tersebut dapat mengetahui
korban henti jantung ini harus dilakukan defibrilasi atau tidak, jika perlu dilakukan defibrilasi
alat tersebut dapat memberikan tanda kepada penolong untuk melakukan defibrilasi atau
melanjutkan bantuan napas dan bantuan sirkulasi saja.
1. Penilaian korban
Tentukan kesadaran korban/pasien (sentuh dan goyangkan korban dengan lembut
dan mantap), jika tidak sadar, maka
a. Untuk orang awam dapat dilanjutkan dengan kompresi dada sebanyak 15 kali dan 2 kali
ventilasi, setiap kali membuka jalan napas untuk menghembuskan napas, sambil mencari
benda yang menyumbat di jalan napas, jika terlihat usahakan dikeluarkan.
b. Untuk petugas kesehatan yang terlatih dilakukan manajemen obstruksi jalan napas oleh
benda asing. Pastikan dada pasien mengembang pada saat diberikan bantuan pernapasan.
c. Setelah memberikan napas 12 kali (1 menit), nilai kembali tanda-tanda adanya sirkulasi
dengan meraba arteri karotis, bila nadi ada cek napas, jika tidak bernapas lanjutkan
kembali bantuan napas.
2. Sirkulasi (CIRCULATION)
a. jika ada tanda-tanda sirkulasi, dan ada denyut nadi tidak dilakukan kompresi dada, hanya
menilai pernapasan korban/pasien (ada atau tidak ada pernapasan)
b. Jika tidak ada tanda-tanda sirkulasi, denvut nadi tidak ada lakukan kompresi dada
• Letakkan telapak tangan pada posisi yang benar
• Lakukan kompresi dada sebanyak 15 kali dengan kecepatan 100 kali permenit
• Buka jalan napas dan berikan 2 kali bantuan pernapasan.
• Letakkan kembali telapak tangan pada posisi yang tepat dan mulai kembali
kompresi 15 kali dengan kecepatan 100 kali permenit.
• Lakukan 4 siklus secara lengkap (15 kompresi dan 2 kali bantuan pernapasan
• Penilaian Ulang
Sesudah 4 siklus ventilasi dan kompresi kemudian korban dievaluasi kembali, Jika tidak
ada nadi dilakukan kembali kompresi dan bantuan napas dengan rasio 15 : 2 Jika ada napas dan
denyut nadi teraba letakkan korban pada posisi mantap Jika tidak ada napas tetapi nadi teraba,
berikan bantuan napas sebanyak 10-12 kali permenit dan monitor nadi setiap saat. Jika sudah
terdapat pernapasan spontan dan adekuat serta nadi teraba, jaga agar jalan napas tetap terbuka
kemudian korban/pasien ditidurkan pada posisi sisi mantap.
Obstruksi jalan napas oleh benda asing pada orang dewasa sering terjadi pada saat
makan, daging merupakan penyebab utama obstruksi jalan napas meskipun demikian berbagai
macam bentuk makanan yang lain berpotensi menyumbat jalan napas pada anak-anak dan orang
dewasa.
Benda asing tersebut dapat menyebabkan obstruksi jalan napas sebagian (parsial) atau
komplit (total). Pada obstruksi jalan napas partial korban mungkin masih mampu melakukan
pernapasan, namun kualitas pernapasan dapat baik atau buruk. Pada korban dengan pernapasan
yang masih baik, korban biasanya masih dapat melakukan tindakan batuk dengan kuat, usahakan
agar korban tetap bisa melakukan batuk dengan kuat sampai benda asing tersebut dapat keluar.
Bila sumbatan jalan napas partial menetap, maka aktifkan sistem pelayanan medik darurat.
Obstruksi jalan napas partial dengan pernapasan yang buruk harus diperlakukan sebagai
Obstruksi jalan napas komplit.
Obstruksi jalan napas komplit (total), korban biasanya tidak dapat berbicara, bernapas,
atau batuk. Biasanya korban memegang lehernya diantara ibu jari dan jari lainya. Saturasi
oksigen akan dengan cepat menurun dan otak akan mengalami kekurangan oksigen sehingga
menyebabkan kehilangan kesadaran, dan kematian akan cepat terjadi jika tidak diambil tindakan
segera.
1. Manuver Heimlich
Untuk mengatasi obstruksi jalan napas oleh benda asing dapat dilakukan manuver
Heimlich (hentakan subdiafragmaabdomen). Suatu hentakan yang menyebabkan peningkatan
tekanan pada diafragma sehingga memaksa udara yang ada di dalam paru-paru untuk keluar
dengan cepat sehingga diharapkan dapat mendorong atau mengeluarkan benda asing yang
menyumbat jalan napas. Setiap hentakan harus diberikan dengan tujuan menghilangkan
obstruksi, mungkin dibutuhkan hentakan 6 – 10 kali untuk membersihkan jalan napas.
Pertimbangan penting dalam melakukan manuver Heimlichi adalah kemungkinan kerusakan
pada organ-organ besar.
2. Manuver Heimlich pada korban sadar dengan posisi berdiri atau duduk
MODUL FISIOTERAPI KEGAWATDARURATAN T.A 2019/2020 Page 55
Penolong harus berdiri di belakang korban, melingkari pinggang korban dengan kedua
lengan, kemudian kepalkan satu tangan dan letakkan sisi jempol tangan kepalan pada perut
korban, sedikit di atas pusar dan di bawah ujung tulang sternum. Pegang erat kepalan tangan
dengan tangan lainnya, Tekan kepalan ke perut dengan hentakan yang cepat ke arah atas. Setiap
hentakan harus terpisah dan dengan gerakan yang jelas.
5. Penyapuan jari
Manuver ini hanya dilakukan atau digunakan pada korban tidak sadar, dengan muka
menghadap keatas buka mulut korban dengan memegang lidah dan rahang diantara ibu jari dan
jari-jarinya, kemudian mengangkat rahang bawah. Tindakan ini akan menjauhkan lidah dari
kerongkongan serta menjauhkan benda asing yang mungkin menyangkut ditempat tersebut.
Masukkan jari telunjuk tangan lain menelusuri bagian dalam pipi, jauh ke dalam kerongkongan
di bagian dasar lidah, kemudian lakukan gerakan mengait untuk melepaskan benda asing serta
menggerakkan benda asing tersebut ke dalam mulut sehingga memudahkan untuk diambil. Hati-
hati agar tidak mendorong benda asing lebih jauh kedalam jalan napas.
Cara pemasangan
Cara pernasangan
• Pilih alat dengan ukurang yang tepat, lumasi dan masukkan menyusuri bagian tengah
dan dasar rongga hidung hingga mencapai daerah belakang lidah
• Apabila ada tahanan dengan dorongan ringan alat diputar sedikit.
Bahaya
• Alat vang terlalu panjang dapat masuk oesophagus dengan secgala akibatnya
• Alat ini dapat merangsang, muntah dan spasme laring
• Dapat menyebabkan perdarahan akibat kerusakan mukosa akibat pernasangan, oleh
sebab itu alat penghisap harus selalu siap saat pernasangan.
Ingat !!
• Selalu periksa apakah napas spontan timbul setelah pemasangan alat ini.
• Apabila tidak ada napas spontan lakukan napas buatan dengan alat bantu napas yang
memadai.
• Bila tidak ada alat bantu napas yang memadai lakukan pernapasan dari mulut ke mulut
6. Pernapasan buatan
Pernapasan mulut ke mulut dan mulut ke hidung. Cara ini merupakan tehnik dasar
bantuan napas. Upayakan memakai pelindung (barrier) antara mulut penolong dengan pasien
berupa lembar plastik/silikon berlubang ditengah atau memakai sungkup, sungkup khusus ini
dikenal dengan nama Pocketfacemask. Keterbatasan cara ini adalah konsentrasi oksigen
ekspirasi penolong rendah (16-17%).
MODUL FISIOTERAPI KEGAWATDARURATAN T.A 2019/2020 Page 58
Pernapasan mulut ke sungkup muka (pocket facemask). Memegang sungkup dengan
tepat memerlukan latihan dan konsentrasi, akan tetapi alat ini merupakan alat bantu efektif untuk
napas buatan. Sungkup muka ini memiliki beberapa ukuran, bening untuk memudahkan melihat
adanya regurgitasi dan memiliki lubang masuk untuk oksigen tambahan. Keuntungan dari
penggunaan sungkup muka ini adalah mencegah kontak langsung dengan pasien dan dapat
memberikan oksigen tambahan
Cara melakukan
Bila memungkinkan lakukan dengan dua penolong, posisi dan urutan tindakan sama
seperti tanpa menggunakan sungkup, kecuali pada tehnik ini digunakan sungkup sebagai
pelindung, Jadi diperlukan keterampilan memegang sungkup. Dengan dua penolong seorang
melakukan kompresi dada dan yang lain melakukan napas buatan. Bila tersedia berikan oksigen
tambahan dengan aliran 10 liter/menit (FiO2 =50%) dan 15 liter/menit (FiO2=80%). Bila tidak
ada penolakan pasang alat bantu jalan napas orofaring. Tengadahkan kepala dan pasang sungkup
pada mulut dan hidung pasien dengan cara ibu jari dan telunjuk kedua tangan menekan sungkup
sedangkan tiga jari kedua tangan menarik mandibula sambil tetap mempertahankan kepala dalam
posisi tengadah, sehingga tidak terjadi kebocoran. Berikan tiupan melalui lubang sungkup sambil
memperhatikan gerakan dada, tiup dengan lambat dan mantap dengan lama inspirasi 1-2 detik.
Pada pasien dengan henti jantung dengan jalan napas belum terlindungi lakukan 2 ventilasi
setiap 15 kompresi dada. Apabila jalan napas terlindungi (misalnya sudah terpasang ETT,
Laringeal Mask Airwayatau Combitube) lakukan kompresi 100 kali/menit dengan ventilasi
dilakukan. tanpa menghentikan kompresi (asingkron) tiap 5 detik (kecepatan 12 kali/menit).
Apabila ada penolong ketiga lakukan tekanan pada krikoid untuk mencegah distensi lambung
dan regurgitasi.
Bantuan napas dengan. menggunakan bagging sungkup dan alat bantu jalan napas lainnya.
Bagging telah lama digunakan sebagai alat bantu napas utama dikombinasikan. dengan
alat bantu jalan napas lainnya misalnya sungkup muka, ETT, LMA, dan Combitube. Penggunaan
bagging memungkinkan pemberian oksigen tambahan. Beberapa hal yang harus diperhatikan
saat menggunakan bagging :
• Volume tidal berkisar antara 10-15 ml/kg BB
• Bagging dewasa umum mempunyai volume 1600 ml.
• Bila memungkingkan bagging dilakukan oleh dua penolong untuk mencegah
kebocoran, seorang penolong mempertahankan sungkup dan kepala pasien, dan yang
lainnya melakukan pemijatan bagging
MODUL FISIOTERAPI KEGAWATDARURATAN T.A 2019/2020 Page 59
• Masalah kebocoran dan kesulitan mencapai volume tidal yang cukup tidak akan
terjadi jika dipasang ETT, LMA, atau Combitube.
7. Tahap lanjut membuka jalan napas.
Pernasangan pipa endotrakeal (ETT). Pemasangan pipa endotrakeal menjamin
terpeliharanya jalan napas dan sebaiknya dilakukan sesegera mungkin oleh penolong yang
terlatih.
Keuntungan :
Indikasi pemasangan :
• Henti jantung
• Pasien sadar yang tidak mampu bernapas dengan baik (edema paru, Guillan-
Bare syndrom, sumbatan jalan napas)
• Perlindungan jalan napas tidak memadai (koma, arefleksi)
• Penolong tidak mampu memberi bantuan napas dengan cara konvensional
Persiavan alat untuk pemasangan pipa endotrakeal (ETT)
Berbagai alat mekanik atau elektronis dapat digunakan untuk tujuan ini misalnva detektor end
tidal CO2 (kwantitatif dan kwalitatif).
Melakukan bantuan napas dengan ETT selama RJP.
Volume tidal napas berkisar antara 10-15 ml/kg BB, secara klinis keadaan dapat
diketahui dengan pengamatan dada. Dengan volume 10 ml/kg BB dada akan tampak mulai
mengembang dan dengan 15 ml/kg BB dada akan mengembang, lebih besar lagi (naik antara 4-6
cm). Bila tidak diberikan oksigen tambahan dan pada pasien gemuk berikan volume yang lebih
besar sedangkan bila diberikan oksigen tambahan atau pada pasien kurus berikan volume yang
lebih kecil. Kecepatan pemberian napas berkisar antara 10-12 kali/menit atau satu kali setiap 5-6
detik dengan lama inspirasi sekitar 2 detik. Pada keadaan ini tidak ada lagi perbandingan antara
kompresi dan ventilasi. Kecepatan kompresi berkisar 100 kali/menit, sedangkan ventilasi
diberikan setiap 5 detik (tidak perlu seirama dengan kompresi).
Gerakan kepala dan leher yang berlebihan pada pasien cedera leher dapat menyebabkan cedera
yang lebih hebat. Pasien trauma muka, multiple dan kepala harus dianggap disertai dengan
cedera leher.
1. Jangan tengadahkan kepala, hanya angkat rahang dan buka mulut pasien
2. Pertahankan kepala pada posisi netral selama nianipulasi jalan napas.
3. Pasien fraktur basis dan tulang muka lakukan pemasangan ETT dalam keadaan tulang
belakang distabilisasi.
4. Bila tidak dapat dilakukan intubasi lakukan krikotiroidektomi atau trakheostomi.
5. Bila diputuskan untuk dilakukan intubasi melalui hidung (blind nasal intubation) maka
harus dilakukan oleh penolong yang berpengalaman.
6. Bila pasien melawan dapat diberikan obat pelemas otot dan penenang.
Tehnik tambahan untuk penanganan jalan napas invasif dan ventilasi
Ada dua alat bantu jalan napas yang termasuk kelas IIb yaitu :
Kekurangan LMA adalah tidak dapat melindungi kemungkinan aspirasi sebaik ETT.
Combitube
Alat ini merupakan gabungan ETT dengan obturator oesophageal. Pada alat ini terdapat 2
daerah berlubang, satu lubang di distal dan beberapa lubang ditengah, lubang lubang ini
dihubungkan melalui 2 saluran yang terpisah dengan 2 lubang di proksimal yang merupakan
interface untuk alat bantu napas. Selain itu terdapat 2 buah balon, satu proksimal dari lubang
distal dan satu proksimal dari deretan lubang di tengah. Ventilasi melalui trakhea dapat
dilakukan melalui lubang distal (ETT) dan tengah (obtutator). Alat ini dimasukan tanpa
laringoskopi, dari penelitian dengan cara memasukan seperti ini 80% kemungkinan masuk ke
eosophagus. Setelah alat ini masuk kedua balon dikembangkan dan dilakukan pemompaan,
mula-mula pada obturator seraya dilakukan inspeksi dan auskultasi apabila ternyata dari
pengamatan ini tidak tampak adanya ventilasi paru pemonpaan dipindahkan pada ETT dan
lakukan kembali pemeriksaan klinis. Kinerja ventilasi, oksigenasi dan perlindungan terhadap
aspirasi alat ini sepadan dengan ETT dengan keunggulan lebih mudah dipasang dibanding ETT.
The literature provides some perspective on this matter. There is a substantial and
growing body of evidence supporting the benefits of early physical therapy intervention
(Ehrman,1996; Gatchel,2005; Hagen,2000; Lemstra,2003; Linton,1993; Rosenfeld,2000;
Schnabel,2004; Vassiliou,2006; Wand,2004; Zigenfus,2000) as can be provided in the ED.
Evidence suggests that ED practice may be enhanced by the physical therapist‘s perspective on
The purpose of this clinical commentary is to describe physical therapist practice in the
ED setting. A literature review provides a description of existing ED physical therapy practice
models. The need for ED physical therapist consultation and the value of this intervention
approach will be established through a discussion of the relevant evidence. And finally, the
recommended physical therapist qualifications for providing expertise in the ED will be
considered.
Various models describing how physical therapists in the United States can function in
the ED setting have been reported. The system utilized by therapist in the United States Army is
one historical model upon which subsequent ED physical therapy programs have been based.
While these practitioners do not function in a true ED environment, their experience has been
used to demonstrate that physical therapists may provide effective neuromuscular evaluation and
treatment at the patient‘s point of entry into the healthcare system (Greathouse, 1994). A
veteran‘s healthcare system in Salt Lake City, Utah, replicated and broadened this approach by
allocating a full-time physical therapist for consult with patients seeking both primary care and
emergency treatment (Murphy, 2005) A nonprofit healthcare system in Tucson, Arizona,
however, was among the first facilities to provide full-time physical therapist consultation in the
ED. In this model therapists are employed solely for the purpose of providing ED services during
the majority of operating hours, 7 days a week (Woods, 2000). Emergency physicians at this
hospital use a pager system to notify the ED therapist of patients who may benefit from
consultation. When finished working with a patient, the therapist briefly confers with the
referring physician, then immediately attends to the next individual in need. Through education
Finally, a narrative review published in 2007 (Anaf, 2007) attempted to summarize the
existing literature on physiotherapy ED services within the UK and Australia. Findings were
inclusive of and similar to those described above. The authors reported that the typical ED
physiotherapist managed aging adult populations with musculoskeletal injuries. Common
diagnoses included acute and subacute lower extremity and spinal trauma. Management
frequently focused on assessment of functional activities and discharge planning. Few authors
have attempted to define the value of these services by describing associated outcomes. Morris
and Hawes (2006) for example, determined that patients seen by a physiotherapist in an AE
department had shorter wait times between referral for outpatient physical therapy and their first
therapy visit. Another study reported higher satisfaction ratings when patients in the ED were
Investigations describing the relationship between patient recovery and this approach to
care are notably lacking. One study using a randomized design, however, did analyze patient
outcomes associated with ED-based physical therapy (Richardson, 2005) This study reported no
differences in patient outcomes between individuals receiving physical therapy intervention in
the ED and those who did not. Although a good first step, the design of this study places the
findings in question. While participants were limited to those with musculoskeletal problems, the
diagnoses included injuries of the cervical, thoracic, and lumbar spine, shoulder, wrist, hand, hip,
knee, ankle, and foot. From a research design perspective, including such a wide range of
conditions creates a nonhomogeneous population that can experience highly variable rates of
recovery based on the involved anatomical regions as well as the severity of the injury. Based on
these examples, it seems that a model for physical therapy ED services exists, but evidence
examining specific outcomes is deficient. This necessitates further exploration of the rationale
for implementing such a program. The following sections of this commentary will therefore
describe this rationale and present relevant supporting literature.
Oldmeadow et.al (2007) described how physiotherapists in the United Kingdom were
used to screen patients with musculoskeletal complaints prior to having them sent to orthopedic
surgeons. They found this to be a successful strategy, because the majority of patients did not
need surgical management, and there were high levels of diagnostic agreement between
therapists and orthopedists. Furthermore, significant levels of patient satisfaction for
physiotherapy services were achieved. A final perspective on how physical therapy
musculoskeletal expertise may be of benefit in the ED is with respect to movement dysfunction.
The classification of a movement dysfunction is nontraditional in comparison to the medical
pathology model, in that it considers the manifestations of a patient‘s injury on mobility and
function. The Guide to Physical Therapist Practice (APTA, 2001) outlines evaluation and
intervention to improve mobility and function as primary roles of the physical therapist. Because
such limitations can directly impact patients‘ lives, this perspective should be addressed by the
providers most qualified to do so. The notable absence of an expert in the realm of exercise and
mobility has been reported in the literature, and physical therapists have been identified as the
practitioners of choice to fill this void (Murphy, 2005) Therefore, whether the problem is due to
musculoskeletal injury or impairment of multiple systems, physical therapists are the most
qualified individuals to make recommendations regarding a patient‘s functional capacity and
potential.
One reason some have difficulty envisioning ED-based physical therapy services may be
the stigma associated with this treatment setting. For many, the ED summons images of life-or-
death situations, in which patients are transported by ambulance and then rushed via stretcher for
the purpose of treating extensive trauma. In reality, the increasing majority of patients seen in the
ED present with conditions of minor trauma or lower levels of urgency (Galeski,2008). This
trend is largely affected by issues of healthcare access. In one study, 45% of patients visiting the
ED cited problems accessing primary care as the reason for choosing this treatment setting, with
38% of these conveying that they would forego their ED visit if they could schedule a visit with
For those patients who do present in a stereotypically acute fashion, the body of evidence
suggests that physical therapy has much to offer. This is particularly true during the early stages
of the healing process. Various studies support the use of modalities commonly used by physical
therapists, such as electrical stimulation (Bertalanffy,2005; Lang,2007; Neeter,2003;
Taskaynatan,2007) for the purpose of managing acute pain and inflammation. Proper education
on the use of cryotherapy for self-management of acute injuries has also been shown to be of
benefit for increasing return to function (Hubbard, 2004) Perhaps of most benefit is the early
addition of therapeutic exercise. Properly prescribed early movement can facilitate the removal
of edema (Guidice, 1990), reduce pain (Eiff, 1994), prevent disuse atrophy (Akima,2003;
Berg,2007) and restore normal movement patterns (Taub, 2006) Clinical trials comparing early
introduction of exercise and ―treatment as usual‖ support the above conclusions. The authors of
the majority of these studies report that patients receiving early exercise instruction achieve
greater functional outcomes (Gatchel,2003; Lemstra,2003; Rosenfeld,2006; Vassilliou, 2006;
Verhagen,2007; Zigenfus,2000) though a few others conclude otherwise (Cote,2007;
Kongsted,2007) Lastly, recent evidence indicates that manual treatment, such as spinal
manipulation (Childs, 2004; Lebec,2006) and joint mobilization, has a positive impact on certain
patients after acute or subacute injury (Collins,2004; Korthals,2003; Vicenzino,2006)
The most definitive perspective on how physical therapists may enhance emergency care
comes from analysis of the typical recommendations given to patients in the ED after acute
musculoskeletal trauma. The medical literature provides excellent practice guidelines for
management of such patients. These include the use of protection, rest, ice, compression, and
elevation (PRICE) for acute soft tissue trauma (Chorley,2005; Johannsen,1997) while
minimizing excessive immobilization and encouraging these patients to return to activity as early
as possible (Eiff, 1994) As is true in many healthcare settings, the use of such contemporary
Studies examining recommendations for movement after spinal injury describe similar
patterns. For example, cervical collars have been recommended over movement by as many as 50%
of ED physicians (Logan,2003). Approximately 75% of ED physicians in another study advised
multiple days of bed rest for acute low back pain (Elam, 1995) Furthermore, it has been reported that
physicians‘ recommendations for exercise or mobility are often limited to very general instructions,
such as to ―be active‖ or ―walk more.‖ (Murphy,2005) Such directives may
Economics of an Individual Program The initial consideration for establishing the value of an
ED physical therapy program is fiscal sustainability. A program is feasible if it, at least, can
generate revenues sufficient to cover the costs of delivery. Obtaining effective reimbursement for
services rendered is, of course, fundamental to this process. Because ED physical therapy
services are a novel and unique form of care, a standard system for billing and reimbursement of
services may not exist. The financial structure of hospital systems and insurance plans are
complex and vary greatly by region and facility An extensive discussion of the potential to profit
through ED physical therapy programs is, therefore, premature and beyond the scope of this
manuscript. Instead, a general example illustrating how existing programs have addressed these
issues is provided. in Tucson, Arizona was among the first to consistently provide and charge for
physical therapist interventions in the ED (Woods,2000) In this facility, services are rendered as
needed, independent of the ED patient‘s insurance. Reimbursement for these services, however,
is dependent upon the individual‘s plan and varies greatly. Therefore, some patient encounters
generate significant revenue, some are reimbursed minimally, while others are not funded at all.
Additional revenue is often generated by the hospital when patients not normally referred to
outpatient physical therapy receive such recommendations. To maintain ethical standards, it is
made clear that patients have the freedom to choose where they seek follow-up intervention.
Profit or loss is thus a reflection of the fees, which have been reimbursed in relation to the cost of
providing the service. Fortunately, the direct expenditures associated with such programs are
minimal and consist solely of the wages paid for the physical therapist and supplies used during
The model utilized by the Virginia Mason Medical Center illustrates many of these ideas
in action (Fuhrmans,2007) This institution has implemented a system in which patients often
receive an initial physical therapy consultation, as opposed to being referred after seeing multiple
physicians and specialists or receiving other expensive services. For many conditions, this
arrangement has resulted in significantly reduced healthcare costs and decreased utilization of
expensive imaging by as much as one third. Such a program demonstrates how early physical
therapy intervention, as is provided in the ED, may positively affect overall costs. A final
perspective on the value of physical therapist consultation concerns intangible benefits, such as
Selecting physical therapist with appropriate profile may maximize the potential to
provide a specialist‘s perspective and aid in approaching the outcomes described in this
commentary. While the majority of ED consultation cases are orthopedic related, ED physical
therapists should be expected to assist in the diagnosis and management of multiple system
problems within the physical therapy scope of practice. reinforces this concept by illustrating the
varied distribution of cases seen in 1 ED physical therapy program over an extensive period
(Jogodka,2006) Therefore, an ED therapist should be a strong musculoskeletal practitioner and
also an effective physical therapy generalist prepared to encounter a wide range of impairments
for individuals of all ages, health statuses, or phases of injury. Because applying this knowledge
can be difficult for those with limited exposure to this unique setting, considerable mentoring
with an experienced ED physical therapist is strongly advised for those transitioning into this
environment. Ideally, future preparation would occur in a postgraduate ED residency given its
distinctive and broad reaching demands.
Equally important qualifications for consideration are personal characteristics and clinical
experience possessed by ED physical therapists. Self-confidence and a teamwork approach are
vital for building rapport with ED physicians and staff who often have limited experience
working with rehabilitation professionals. Overcrowding, patient acuity, and severe fluctuations
in patient flow increase the need for ED physical therapists to be flexible and efficient while
managing a swiftly varying schedule (Lebec,2006) The value of clinical experience for ED
therapists is undeniable and aids in making timely and accurate decisions regarding diagnoses
and patient management. Conversely, extensive clinical experience may hinder therapists who
are very accustomed to a certain practice setting. Because functioning within the ED involves a
comprehension of the associated culture and often requires a paradigm shift away from
traditional treatment philosophies, some individuals may have difficulty making this transition
(Landaeta,2007) Thus, perhaps the ideal candidate for ED practice is one who has accumulated
at least a few solid years of experience but has maintained the flexibility to adapt to practice
within this unique environment.
CONCLUSION
This clinical commentary provides support for the use of physical therapist consultation
as a means to enhance the management of patients with musculoskeletal dysfunction in the ED
setting. Physical therapists possess a level of expertise that is not commonly available in the ED
and present ED practice suggests that there is both a role and a need for such services. The
literature suggests that ED physical therapy has the potential to be a valuable and costeffective
service. To further evolve the role of ED physical therapists, future steps could include further
defining the required expertise, developing a special interest group, communicating specific
illustrations of existing practice model, and, perhaps most importantly, engaging in the
9. Arnold BL, Docherty CL. Bracing and rehabilitation--what‘s new. Clin Sports Med.
2004;23:83-95. http://dx.doi.org/10.1016/ S0278-5919(03)00086-3
10. Azrul, azwar. (1996). ―pengantar administrasi kesehatan‖, Jakarta, cet. Ke-3
emergency nurse practitioners and doctors investigate, treat and refer patients
2007; 24:185-88.
13. BEAM Trial Team. United Kingdom back pain exercise and manipulation (UK BEAM)
randomised trial: effectiveness of physical treatments for back pain in primary
care. BMJ. 2004;329:1377.
14. Berg HE, Eiken O, Miklavcic L, Mekjavic IB. Hip, thigh and calf muscle atrophy and
bone loss after 5-week bedrest inactivity. Eur J Appl Physiol. 2007;99:283-289.
http://dx.doi. org/10.1007/s00421-006-0346-y
16. Bindman AB. Triage in accident and emergency departments. BMJ. 1995;311:404.
17. Bradley MP, Tung G, Green A. Overutilization of shoulder magnetic resonance imaging
as a diagnostic screening tool in patients with chronic shoulder pain. J
Shoulder Elbow Surg. 2005;14:233-237. http://dx.doi.org/10.1016/j.
jse.2004.08.002
18. Browder DA, Erhard RE. Decision making for a painful hip: a case requiring referral. J
Orthop Sports Phys Ther. 2005;35:738–744.
19. Centers for Medicare and Medicaid Services. Medicare Program; Clarifying Policies
Related to the Responsibilities of Medicare-Participating Hospitals in
Treating Individuals with Emergency Medical Conditions. Department of Health
and Human Services. Fed Regist. 2003;68(174):53222-53264.
20. Childs JD, Fritz JM, Flynn TW, et al. A clinical prediction rule to identify patients with
low back pain most likely to benefit from spinal manipulation: a validation
study. Ann Intern Med. 2004;141:920-928.
21. Childs JD, Whitman JM, Sizer PS, Pugia ML, Flynn TW, Delitto A. A description of
physical therapists‘ knowledge in managing musculoskeletal conditions. BMC
Musculoskelet Disord. 2005;6:32. http://dx.doi.org/10.1186/1471- 2474-6-32
22. Childs JD, Whitman JM, Sizer PS, et al. A description of physical therapists‘ knowledge
in managing musculoskeletal conditions. BMC Musculoskelet
Disord. 2005;6:32.
24. Cleland JA, Childs JD, Fritz JM, Whitman JM, Eberhart SL. Development of a clinical
prediction rule for guiding treatment of a subgroup of patients with neck pain: use
of thoracic spine manipulation, exercise, and patient education. Phys Ther.
2007;87:9- 23. http://dx.doi. org/10.2522/ptj.20060155
25. Collins N, Teys P, Vicenzino B. The initial effects of a Mulligan‘s mobilization with
movement technique on dorsiflexion and pain in subacute ankle sprains. Man
Ther. 2004;9:77-82.
26. Commission for the Accreditation of Physical Therapy Education. Evaluative criteria for
accreditation of education programs for the preparation of physical therapists. In:
CAPTE Accreditation Handbook. Alexandria, VA: American Physical Therapy
Association; 2007.
28. Cote P, Hogg-Johnson S, Cassidy JD, Carroll L, Frank JW, Bombardier C. Early
aggressive care and delayed recovery from whiplash: isolated finding or
reproducible result? Arthritis Rheum. 2007;57:861-868. http://dx.doi.
org/10.1002/art.22775
30. Daker-White G, Carr AJ, Harvey I, et al. A randomised controlled trial: shifting
boundaries of doctors and physiotherapists in orthopaedic departments. outpatient
J Epidemiol Community Health. 1999;53:643–650.
31. Darwent M, Gamon A, McLoughlin F. Early physiotherapy within the accident and
emergency department. Physiotherapy. 1998;83:281.
32. Derlet RW, Kinser D, Ray L, et al. Prospective identification and triage of nonemergency
patients out of an emergency department: a 5-year study.Ann Emerg Med.
1995;25:215–223.
33. Deusinger RH. Demonstration project proposal: Physical therapy care within BJH
emergencyservices: a Washington University physical therapy clinics and
Barnes Jewish Hospital patient care innovation. March 15, 2005.
36. Eiff MP, Smith AT, Smith GE. Early mobilization versus immobilization in the treatment
of lateral ankle sprains. Am J Sports Med. 1994;22:83-88.
37. Elam KC, Cherkin DC, Deyo RA. How emergency physicians approach low back pain:
choosing costly options. J Emerg Med. 1995;13:143-150
38. Faidlullah, H. Z (2014). Peran Fisioterapi dalam Managemen Bencana dan Gawat
Darurat. UNIVERSITAS ‗Aisyiyah Yogyakarta. Semarang. Suara merdeka
42. Freedman KB, Bernstein J. The adequacy of medical school education in musculoskeletal
medicine. J Bone Joint Surg Am. 1998;80:1421- 1427.
43. Fuhrmans V. A novel plan helps hospital wean itself off pricey tests. New York, NY: The
Wall Street Journal; January 12, 2007.
44. Gaieski DF, Mehta S, Hollander JE, Shofer F, Bernstein J. Low-severity musculoskeletal
complaints evaluated in the emergency department. Clin Orthop Relat Res.
2008;466:1987- 1995. http://dx.doi.org/10.1007/ s11999-008-0277-5
45. Garbez R, Puntillo K. Acute musculoskeletal pain the emergency department: a review of
the literature and implications for the advanced practice nurse. AACN Clin Issues.
2005;16:310–319.
47. Giudice ML. Effects of continuous passive motion and elevation on hand edema. Am J
Occup Ther. 1990;44:914-921.
48. Graeme AC, Jones MB. Musculoskeletal problems at an accident and emergency
department and in general practice. NZ Med J. 1983;98:529–531.
49. Greathouse DG, Schreck RC, Benson CJ. The United States Army physical therapy
experience: evaluation and treatment of patients with neuromusculoskeletal
disorders. J Orthop Sports Phys Ther. 1994;19:261-266.
50. Griffin M, Melby V. Developing and advanced nurse practitioner service in emergency
care: attitudes of nurses and doctors. J Adv Nurs.2006;56:292–301.
51. Grumbach K, Keane D, Bindman A. Primary care and public emergency department
overcrowding. Am J Public Health. 1993;83:372- 378.
52. Guide to Physical Therapist Practice. 2nd ed. Phys Ther. 2001;81:9–746.
53. Hackett GI, Bundred P, Hutton JL, et al. Management of joint and soft tissue issues in
three general practices: value of on-site physiotherapy. Br J Gen Pract.
1993;43:61–64.
54. Hagen EM, Eriksen HR, Ursin H. Does early intervention with a light mobilization
program reduce long-term sick leave for low back pain? Spine. 2000;25:1973-
1976.
55. Handel DA, McConnell KJ, Allen H, et al. Outpatient follow-up in today's health care
environment. Ann Emerg Med. 2007;49:288–292.
56. Hayes K, Huckstadt A, Daggett D. Acute low back pain in the emergency department.
Advanc Emerg Nurse J. 2006;28:234-247.
57. Hoskins R. Evaluating new roles within emergency care: a literature review. International
Emergency Nursing. 2010; doi:10.1016/j.iejj.2010.09.003
58. Hourigan PG, Weatherly CR. Initial assessment and follow-up by a physiotherapist of : a
United Statesemergencydepartmentdatabase analysis. JEmerg
Med.2004;26:37–45.
60. Jibuike OO, Paul –Taylor G, Maulvi S, Richmond P, Fairclough J. Management of soft
62. Jogodka C. Physical therapist utilization in the emergency department: Experiences from
the first 15,000+ patient visits. American Physical Therapy Association National
Conference. Orlando, FL: 2006.
63. Johannsen F, Langberg H. The treatment of acute soft tissue trauma in Danish emergency
rooms. Scand J Med Sci Sports. 1997;7:178-181.
64. Jorgensen DJ. Fiscal analysis of emergency admissions for chronic back pain: a pilot
study from a Maine hospital. Pain Med. 2007;8:354–358.
65. Kannus P. Immobilization or early mobilization after an acute soft-tissue injury? Phys
Sport Med. 2000;28:1-8. http://dx.doi.org/10.3810/ psm.2000.03.775
66. Kay DB. The sprained ankle: current therapy. Foot Ankle. 1985;6:22-28.
67. Kebijakan kemenkes. Sistem penanggulangan gawat darurat terpadu spgdt dan bencana‖
penanggulangan-gawat-darurat-terpadu-spgdt-dan-bencana, diakses pada 25
oktober 2011, 21:00
68. Kempson SM. Physiotherapy in an accident and emergency department. Accid Emerg
Nurs. 1996;4:198-202.
69. Kilner E. What evidence is there that a physiotherapy service in the emergency
72. Korthals-de Bos IB, Hoving JL, van Tulder MW, et al. Cost effectiveness of
physiotherapy, manual therapy, and general practitioner care for neck pain:
economic evaluation alongside a randomised controlled trial. BMJ. 2003;326:911.
http://dx.doi.org/10.1136/ bmj.326.7395.911
73. Kuritzky L. Current management of acute musculoskeletal pain in the ambulatory care
setting. Am J Ther. 2008;15(supp 10):S7–S11.
74. Landaeta RE, Mun JH, Rabadi G, Levin D. Identifying sources of resistance to change in
healthcare. IJHTM. 2008;9:74-96.
75. Lang T, Barker R, Steinlechner B, et al. TENS relieves acute posttraumatic hip pain
during emergency transport. J Trauma. 2007;62:184-188; discussion 188.
http://dx.doi. org/10.1097/01.ta.0000197176.75598.fc
76. Lau PM, Chow DH, Pope MH. Early physiotherapy intervention in an accident and
emergency department reduces pain and improves satisfaction for patients with
acute low back pain: a randomized trial. Aust J Physiother.2008;54:243–249.
78. Lebec MT, Jogodka CE. The physical therapist as a musculoskeletal specialist in the
emergency department. J Orthop Sports Phys Ther.2009;39:221–229.
79. Lebec, MT,et al. Emergency Department Physical Therapist Service: A Pilot Study
Examining Physician Perceptions. The Internet Journal of Allied Health Sciences
and Practice. Jan 2010. Volume 8 Number 1
80. Lemstra M, Olszynski WP. The effectiveness of standard care, early intervention, and
occupational management in worker‘s compensation claims. Spine. 2003;28:299-
304. http://dx.doi. org/10.1097/01.BRS.0000042249.21349.22
82. Logan AJ, Holt MD. Management of whiplash injuries presenting to accident and
emergency departments in Wales. Emerg Med J. 2003;20:354-355.
83. Ma JO, Cline DM, Tintinalli JE, Kelen GD, Stapczynski JS. Emergency Medicine
Manual. 6th ed. Columbus, OH: McGraw-Hill Co Inc; 2003.
84. Manca A, Dumville JC, Torgerson DJ, et al. Randomized trial of two physiotherapy
interventions for primary care back and neck pain patients: cost effectiveness
analysis.Rheumatology(Oxford).2007;46:14951501.http://dx.doi.org/10.1093/rh
umatology/kem183
85. Manchikanti L. National drug control policy and prescription drug abuse: facts and
fallacies. Pain Physician. 2007;10:399-424.
86. Martin BI, Deyo RA, Mirza SK, et al. Expenditures and health status among adults with
back and neck problems. JAMA. 2008;299:656-664. http://dx.doi.org/10.1001/
jama.299.6.656
87. Mayer TA. Patient satisfaction: expectations, realities, and possibilities. In: Jensen K,
Mayer TA, Welch SJ, Haraden C, eds. Leadership for Smooth Patient Flow.
Chicago, IL: Health Administration Press; 2007.
88. McCaig LF, Ly N. National Hospital Ambulatory Medical Care Survey: 2000 Emergency
Department Summary. Advance Data From Vital and Health Statistics; no. 326.
Hyattsville, MD: National Center for Health statistics; 2002.
89. McCLellan CM, Cramp F, Powell J, Benger JR. Extended scope physiotherapists in the
emergency department: a literature review. Physical Therapy Review. 2010; 15
(2).
90. McClellan CM, Greenwood R, Benger JR. Effect of an extended scope physiotherapy
service on patient satisfaction and the outcome of soft tissue injuries in an adult
emergency department. Emergency Medicine Journal. 2006;23:384-387.
91. McClellan CM, Greenwood R, Benger JR. Effect of an extended scope physiotherapy
service on patient satisfaction and the outcome of soft tissue injuries in an adult
emergency department. Emerg Med J. 2006;23:384-387. http://
dx.doi.org/10.1136/emj.2005.029231
acute neck sprains following road-traffic accidents. Arch Emerg Med. 1989;6:27–
33.
94. Mitton G; Dionne F. 2012. Valuation of Physiotherapy Services in Canada; CPA report
using MCDA analysis for determining value of physiotherapy services;
95. Moore S, Gemmell I, Almond S, et al. Impact of specialist care on clinical outcomes for
medical emergencies. Clin Med. 2006;6:286-293.
96. Moore JH, McMillian DJ, Rosenthal MD, Weishaar MD. Risk determination for patients
with direct access to physical therapy in military health care facilities. J Orthop
Sports Phys Ther. 2005;35:674–678.
97. Morris CD, Hawes SJ. The value of accident and emergency based physiotherapy
services. J Accid Emerg Med. 1996;13:111-113.
98. Mo-Yee Lau P, Hung-Kay Chow D, Pope MH. Early physiotherapy intervention in an
accident and emergency department reduces pain and improves satisfaction for
patients with acute low back pain: a randomized trial. Australian Journal of
Physiotherapy. 2008;54:243-49.
99. Mueller MJ, Maluf KS. Tissue adaptation to physical stress: a proposed ―physical stress
theory‖ to guide physical therapist practice, education, and research. Phys Ther.
2002;82:383- 403.
100. Murphy BP, Greathouse D, Matsui I. Primary care physical therapy practice
models. J Orthop Sports Phys Ther. 2005;35:699-707.
http://dx.doi.org/10.2519/jospt.2005.2167
101. Nash CE, Mickan SM, Del Mar CB, Glasziou PP. Resting injured limbs delays
recovery: a systematic review. J Fam Pract. 2004;53:706-712.
102. National Clinical Guideline for diagnosis and Initial for Management of Acute
Stroke and Transient Ischemic Attack. 2008. Royal College of Physicians,
London,
103. Nawar EW, Niska RW, Xu J. National Hospital Ambulatory Medical Care
Survey: 2005 Emergency Department Summary (NHAMCS). Advance Data
106. Oldmeadow LB, Bedi HS, Burch HT, Smith JS, Leahy ES, Goldwasser M.
Experienced physiotherapists as gatekeepers to hospital orthopaedic outpatient c
are. Med J Aust. 2007;186:625-628.
107. Pal B, Quennell P, Hawes S. A review of accident and emergency attendances for
non-traumatic musculo-skeletal complaints. Rheumatol Int. 2000;19:171-175.
108. Paniagua MA, Malphurs JE, Phelan EA. Older patients presenting to a county
hospital ED after a fall: missed opportunities for prevention. Am J Emerg Med.
2006;24:413-417. http:// dx.doi.org/10.1016/j.ajem.2005.12.005
109. Perron AD. Musculoskeletal training: emergency medicine needs to take charge.
Am J Emerg Med. 2000;18:356-357.
114. Richardson B, Shepstone L, Poland F, et al. Randomised controlled trial and cost
consequences study comparing initial physiotherapy assessment and management
with routine practice for selected patients in an accident and emergency
department of an acute hospital. Emerg Med J.2005;22:87–92.
119. Sinclair SJ, Hogg-Johnson SH, Mondloch MV, Shields SA. The effectiveness of
an early active intervention program for workers with soft-tissue injuries. The
Early Claimant Cohort Study. Spine. 1997;22:2919-2931.
121. Taskaynatan MA, Ozgul A, Ozdemir A, Tan AK, Kalyon TA. Effects of steroid
iontophoresis and electrotherapy on bicipital tendonitis. J Musculoskel Pain.
2007;15:47-54.
122. Taub E, Uswatte G, Mark VW, Morris DM. The learned nonuse phenomenon:
implications for rehabilitation. Eura Medicophys. 2006;42:241- 256.
123. Taubenhaus LJ. The emergency department. Arch Environ Health. 1971;22:629-
630.UK
124. Taylor NF, Norman E, Roddy L, Tang C, Pagram A, Hearn K. Primary contact
physiotherapy in emergency departments can reduce length of stay for patients
with peripheral musculoskeletal injuries compared with secondary contact
physiotherapy:a prospective non-randomised controlled trial. Physiotherapy.
2011;97:107-114.
125. The European Stroke Organisation (ESO) Executive Committee and the ESO
Writing Committee. Guidelines for Management of Ischemic Attack 2008.
Cerebrovascular Disease 2008;25:457-507
128. Verhagen AP, Karels C, Bierma-Zeinstra SM, et al. Exercise proves effective in a
systematic review of work-related complaints of the arm, neck, or shoulder. J Clin
Epidemiol. 2007;60:110-117. http://dx.doi.org/10.1016/j. jclinepi.2006.05.006
131. Wand BM, Bird C, McAuley JH, Dore CJ, MacDowell M, De Souza LH. Early
intervention for the management of acute low back pain: a single-blind
randomized controlled trial of biopsychosocial education, manual therapy, and
exercise. Spine. 2004;29:2350- 2356.
132. Williams JM, Chinnis AC, Gutman D. Health promotion practices of emergency
physicians. Am J Emerg Med. 2000;18:17-21.
133. Wilsey BL, Fishman SM, Crandall M, et al. A qualitative study of the barriers to
chronic pain management in the ED. Amer J Emerg Med.2008;26:255–26
134. Wilsey BL, Fishman SM, Ogden C, et al. Chronic pain management in the
emergency department: a survey of attitudes and beliefs. Pain Med.2008;9:1073–
1080.
135. Woods EN. The emergency department: a new opportunity for physical therapy.
PT Magazine. 2000;8:42-48.
136. Zigenfus GC, Yin J, Giang GM, Fogarty WT. Effectiveness of early physical
therapy in the treatment of acute low back musculoskeletal disorders. J Occup
Environ Med. 2000;42:35- 39