Anda di halaman 1dari 89

MODUL FISIOTERAPI

KEGAWATDARURATAN
FTR 5091

DISUSUN OLEH:

Hilmi Zadah Faidlullah, SST.Ft., M.Sc


Tri Laksono, S.Ft, M.S Pt

PROGRAM STUDI S1 FISIOTERAPI

FAKULTAS ILMU KESEHATAN

UNIVERSITAS ‘AISYIYAH YOGYAKARTA

TAHUN AJARAN 2019-2020


HALAMAN PENGESAHAN

MODUL FISIOTERAPI KEGAWATDARURATAN

SEMESTER 5 REGULER

BUKU MODUL FISIOTERAPI KEGAWATDARURATAN DIGUNAKAN SEBAGAI PANDUAN


DALAM PELAKSANAAN MODUL PADA SEMESTER 5 REGULER

PROGRAM STUDI FISIOTERAPI

UNIVERSITAS ‘ASIYIYAH YOGYAKARTA

YOGYAKARTA, 15 Agustus 2019

DISETUJUI OLEH DISUSUN OLEH

M.Irfan, M.Fis TRI LAKSONO, S.Ft, M.S PT

MODUL FISIOTERAPI KEGAWATDARURATAN T.A 2019/2020 Page 2


DAFTAR ISI

Kata Pengantar .....................................................................................................................2


Daftar Isi ..................................................................................................................................3
I. Deskripsi Modul .........................................................................................................4
II. Topik Tree ......................................................................................................................5
III. Kompetensi Dasar .....................................................................................................6
IV. Rancangan Pembelajaran……………………………………… 6
A. TUJUAN MODUL ...............................................................................................6
B. KARAKTERISTIK MAHASISWA ...........................................................6
C. LEARNING OUTCOME ..................................................................................6
D. MATERI .....................................................................................................................7
E. PRE ASSESMENT ...............................................................................................12
F. STRATEGI PEMBELAJARAN ...................................................................12
G. AKTIFITAS PEMBELAJARAN.................................................................16
H. PENILAIAN .............................................................................................................18
V. Penjabaran Modul (Skenario)............................................................................20
VI. Kumpulan Materi .......................................................................................................21

MODUL FISIOTERAPI KEGAWATDARURATAN T.A 2019/2020 Page 3


KATA PENGANTAR

Assalamualaikum Warahmatullahi Wabarakatuh

Alhamdulillahirobbil‘alamin, puji syukur kami panjatkan ke hadirat Allah SWT dapat

menyelesaikan buku modul Fisioterapi Kegawatdaruratan sehingga dapat digunakan mahasiswa

semester 5 Reguler Program Studi S1Fisioterapi Universitas ‗Aisyiyah Yogyakarta.

Buku modul Fisioterapi Kegawatdaruratan berguna untuk memperkuat dasar keilmuan.

Diharapkan mahasiswa mampu memahami tentang konsep mampu menyusun Rencana

Intervensi Fisioterapi dan melakukan tindakan-tindakan Life saving secara profesional sesuai

prioritas pada kegawat daruratan dengan memperhatikan aspek etik dan legal, yang disertai

dengan teknik komunikasi yang efektif, role play manajemen kasus-kasus fisioterapi pada

kondisi gawat darurat dengan mengintegrasikan nilai-nilai Islam didalamnya sehingga

mahasiswa akan dapat mengikuti perkuliahan selanjutnya yang menggunakan sistem blok.

Semoga buku ini bermanfaat bagi kita semua. Amin.

Wassalamu‟alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh

Yogyakarta, 15 Agustus 2019

Penyusun

MODUL FISIOTERAPI KEGAWATDARURATAN T.A 2019/2020 Page 4


BAB I
VISI, MISI, KEUNGGULAN DAN TUJUAN PROGRAM
STUDI S1 FISIOTERAPI UNIVERSITAS ‘AISYIYAH
YOGYAKARTA

Visi
Menjadi Program studi yang unggul dan pilihan dibidang fisioterapi orthopedikmuskuloskeletal,
berbasis pada ilmu pengetahuan dan tekhnologi dengan nilai-nilai Islam Berkemajuan dan
memiliki daya saing di tingkat ASEAN pada Tahun 2028.

Misi
1. Menyelenggarakan Pendidikan, penelitian dan pengabdian kepada masyarakat dibidang
fisioterapi dengan unggulan ortopedikmuskuloskeletal yang berbasis nilai-nilai Islam
Berkemajuan dengan standar dan perkembangan fisioterapi di dunia.
2. Mengembangkan kajiann sikap profesional dan pemberdayaan perempuan untuk
mencerdaskan kehidupan bangsa dan meningkatkan pelayanan pada gangguan gerak dan
fungsi

Tujuan
1. Menghasilkan lulusan berakhlak mulia, menguasai ilmu pengetahuan dan teknologi
berwawasan kesehatan, profesional, berjiwa entrepreneur, dan menjadi kekuatan penggerak
(driving force) dalam memajukan kehidupan bangsa.
2. Menghasilkan karya-karya ilmiah berskala nasional, regional dan internasional khususnya
dalam bidang fisioterapi dengan unggulan ortopedikmuskuloskeletal yang menjadi rujukan
dalam pemecahan masalah.
3. Menghasilkan karya inovatif dan aplikatif di bidang fisioterapi dengan unggulan
ortopedimuskuloskeletal yang berkontribusi pada pemberdayaan dan pencerahan.
4. Menghasilkan model berbasis praksis pemberdayaan perempuan berlandaskan nilai-nilai
Islam Berkemajuan
5. Menghasilkan pemikiran Islam Berkemajuan dan sebagai penguat moral spiritual dalam
implementasi Tri Dharma Perguruan Tinggi

MODUL FISIOTERAPI KEGAWATDARURATAN T.A 2019/2020 Page 5


I. DESKRIPSI MODUL

Modul ini akan dilaksanakan dalam 7 minggu. Modul ini akan dijalankan pada tahun
ketiga semester pertama. Pada modul ini mahasiswa akan belajar tentang Konsep Al-Qur‘an
Kegawatdaruratan, konsep fisioterapi pasien kritis, konsep fisioterapi prehospital dan
kegawatdaruratan, konsep fisioterapi syok dan gagal nafas, kegawatdaruratan syaraf,
kegawatdaruratan muskuloskletal dan melakukan tindakan-tindakan Life saving secara
profesional sesuai prioritas pada kegawat daruratan dengan memperhatikan aspek etik dan
legalsebagai seorang fisioterapis.Tindakan gawat darurat harus sesuai aspek Legal Tenaga medis
atau dokter yang membantu korban dalam situasi emergensi harus menyadari konsekuensi
hukum yang dapat terjadi sebagai akibat dari tindakan yang mereka berikan. Untuk itu
pengetahuan kegawatdaruratan dan keselamatan pasien penting dipelajari dan dikuasai.

Pengetahuan medis teknis yang harus diketahui adalah mengenal ancaman kematian yang
disebabkan oleh adanya gangguan jalan napas, gangguan fungsi pernapasan/ventilasi dan
gangguan sirkulasi darah dalam tubuh. Prinsip pada penanganan penderita gawat darurat harus
cepat, tepat dan harus dilakukan segera oleh setiap orang yang pertama menemukan/mengetahui
(orang awam, perawat, para medis, dokter, atau fisioterapis) baik di dalam maupun diluar rumah
sakit karena kejadian ini dapat terjadi setiap saat dan menimpa siapa sajatanggap darurat. Untuk
mencapai tujuan modul ini akan dilakukan pembelajaran dengan kuliah, tutorial, skill Lab dan
kuliah pakar. Modul ini memuat 1 skenario. Dengan memahami fisioterapi kegawatdaruratan
maka diharapkan mahasiswa akan dapat mengikuti perkuliahan selanjutnya dengan mudah dan
tepat. Diskusi tutorial pada masing-masing kelompok tutorial akan dibimbing oleh seorang tutor
sebagai fasilitator.

MODUL FISIOTERAPI KEGAWATDARURATAN T.A 2019/2020 Page 6


II. TOPIC TREE
BLOK DISASTER

FISIOTERAPI KEGAWATDARURATAN

Konsep fisioterapi pada Fisioterapi syok dan


Kegawatdaruratan kegawatdaruratan
kardiovaskulerpulmonal
introduction EKG &
interpretation EKG

Fisioterapi pada
Konsep Fisoterapi pada pasien kegawatdaruratan sistem
kritis Prehospital dan manajemen muskuloskletal dan Integumen
kegawatdaruratan (Contusio, combusio, & Burn
wound skin)

Bantuan Hidup dasar Fisioterapi pada


Fisioterapi kegawatdaruratan
neuromuskuler dan trauma
vertebrata
Fisioterapi pada
kegawatdaruratan trauma
Thoraks dan Kepala

MODUL FISIOTERAPI KEGAWATDARURATAN T.A 2019/2020 Page 7


III. KOMPETENSI DASAR

Pada akhir pembelajaran, mahasiswa akan mampu memahami dan menjelaskan


serta mengimplementasikan fisioterapi pada kondisi gawat darurat. Pada akhir modul ini
diharapkan mahasiswa memahami konsep dasar menurut Al-qur‘an tentang
kegawatdaruratan dan dapat menjadi seorang fisioterapis yang menggunakan Al-qur‘an
sebagai pegangan untuk memahami modul ini.

IV. RANCANGAN PENGAJARAN


A. Tujuan Modul
Mahasiswa mampu memahami, menganalisis berbagai permasalahan berkenaan dengan
kompetensi fisioterapi hingga mampu mengaplikasikan dalam situasi sulit dan gawat darurat
B. Karakteristik Mahasiswa
Mahasiswa yang akan menyelesaikan modul Fisioterapi kegawatdaruratan ini adalah
mahasiswa pada semester 5 reguler.
C. Capaian Pembelajaran
Setelah mempelajari modul Fisioterapi Kegawatdaruratan ini mahasiswa mampu:
1. Memahami dan menjelaskan konsep fisioterapi pada
Kegawatdaruratan

2. Memahami, menjelaskan dan melakukan Konsep fisioterapi pada


pasien kritis, Pre-hospital dan manjemen kegawatdaruratan

3. Mampu memahami, menjelaskan dan melakukan proses


Fisioterapi Syok dan kegawat daruratan kardiovaskulerpulmonal,
Introduction EKG &Interpretation EKG

4. Mampu memahami, menjelaskan dan melakukan Bantuan


Hidup dasar Fisioterapi

5. Mampu memahami, menjelaskan dan melakukan proses


Fisioterapi pada kegawatdaruratan sistem muskuloskletal dan
Integumen (Contusio, combusio, & Burn wound skin)

6. Mampu memahami, , menjelaskan dan melakukan Fisioterapi


pada kegawatdaruratan trauma Thoraks dan Kepala

7. Mampu memahami, menjelaskan dan melakukan proses Fisioterapi

MODUL FISIOTERAPI KEGAWATDARURATAN T.A 2019/2020 Page 8


pada kegawatdaruratan neuromuskuler dan trauma vertebrata

D. Materi

Area Kompetensi Kompetensi Inti Kegiatan Topik


Konsep-konsep dasar Memahami ayat-ayat Kuliah Konsep fisioterapi
pada fisoterapi gawat dalam Al-Quran Tutorial pada
darurat tentang gawat Skil Lab kegawatdaruratan
darurat Praktikum
Sistem triage

Masalah-masalah Konsep fisioterapi


pada fisioterapi kritis prehospital dan
manajemen
Rencana intervensi kegawatdaruratan
fisioterapi gawat
Intervensi fisioterapi darurat Penatalaksanaan
pada area fisioterapi Syok: syok
Mampu menjelaskan hipovolemik,kardiog
gawat darurat
mekanisme syok dan enik,distributif,
penatalaksanaannya
obstruktif

Berbagai kondisi Mampu menjelaskan Kuliah Intervensi fisioterapi


kegawatdaruratan sistem intervensi fisioterapi Tutoral gagal nafas dan
pernafasan dan vaskuler dan pemeriksaan Skil Lab Trauma thoraks
diagnostik serta Praktikum
penatalaksanaan
pada berbagai
kondisi kegawatan
sistem pernafasan
dan vaskuler

Mampu melakukan
Pemeriksaan diagnostik: Introduction and
interpretasi hasil
EKG Intrepretation EKG
pemeriksaan
diagnostik: EKG

Kegawatdaruratan sistem Mampumerencanaka Fisioterapi pada


n intervensi
kegawatdaruratan

MODUL FISIOTERAPI KEGAWATDARURATAN T.A 2019/2020 Page 9


persyarafan fisioterapi pada neuromuskuler dan
berbagai kondisi trauma vertebrata
pada kegawatan serta tramua kepala
sistem persyarafan

Mampumerencanaka
Kegawatdaruratan sistem n intervensi pada Fisioterapi pada
muskuloskeletal dan berbagai kondisi kegawatdaruratan
integumen pada kegawatan sistem
sistem muskuloskletal dan
muskuloskeletal dan Integumen (Contusio,
integumen combusio, & Burn
(Contusio, combusio wound skin)
,&Burn wound skin)

E. Pre asesment
Kegiatan pembelajaran harus diikuti mahasiswa sebagai pra syarat untuk mengikuti ujian
akhir. Minimal keikutsertaan dalam kegiatan pembelajaran adalah sebagai berikut:
1. Perkuliahan : 75%
2. Tutorial : 100%
3. Praktikum : 100%

F. STRATEGI
PEMBELAJARAN TEORI
NO TOPIC STRATEGY DEPARTMENT LECTURER DURATION

1 Konsep Lecture Emergency TimDosen 100 minute


fisioterapi pada

MODUL FISIOTERAPI KEGAWATDARURATAN T.A 2019/2020 Page 10


Kegawatdarurat Physical Therapy Kegawatdarura
an Department tan
2 Konsep Lecture Emergency Tim Dosen 100 minute
fisioterapi pada Physical Therapy Kegawatdarura
pasien kritis,
Department tan
Pre-hospital dan
manjemen
kegawatdarurata
n

3 Fisioterapi Syok Lecture Emergency Tim Dosen 100 minute


dan kegawat Physical Therapy Kegawatdarura
daruratan
Department tan
kardiovaskulerp
ulmonal,
Introduction
EKG
&Interpretation
EKG

4 Bantuan Hidup Lecture Lailatuz Zaidah, Tim Dosen 100 minute


dasar Fisioterapi M.Or Kegawatdarura
tan
5 Fisioterapi pada Lecture Emergency Tim Dosen 100 minute
kegawatdarurata Physical Therapy Kegawatdarura
tan
n sistem Department
muskuloskletal
dan Integumen
(Contusio,
combusio, &
Burn wound
skin)
6 Fisioterapi pada Lecture Emergency Tim Dosen 100 minute
kegawatdarurata Physical Therapy Kegawatdarura
n trauma Department tan

MODUL FISIOTERAPI KEGAWATDARURATAN T.A 2019/2020 Page 11


Thoraks dan
Kepala
7 Fisioterapi pada Lecture Emergency Tim Dosen 100 minute
kegawatdarurata Physical Therapy Kegawatdarura
n neuromuskuler Department tan
dan trauma
vertebrata

TUTORIAL

NO TOPIC STRATEGY DEPARTMENT LECTURER DURATION


1 Tutorial 1.1 Focus Group Emergency Tim Dosen 100 minute
( Konsep Fisioterapi Kegawatdaru
Discussion Physical Therapy
pasien kritis, syok, ratan
kegawatdaruratan (Tutorial) Department
kardiovaskulerpulmo
nal, BHD,
kegawatdaruratan
sistem
muskuloskletal,
Neuromuskuler,
integumen, cidera
kepala, trauma
thoraks, dan
vertebra)

2 Tutorial 1.2 Focus Group Emergency 100 minute


( Konsep Fisioterapi
Discussion Physical Therapy
pasien kritis,syok,
kegawatdaruratan (Tutorial) Department
kardiovaskulerpulmo
nal, BHD, Tim Dosen
kegawatdaruratan Kegawatdaru
sistem ratan
muskuloskletal,
Neuromuskuler,
integumen, cidera
kepala, trauma
thoraks,dan vertebra)

MODUL FISIOTERAPI KEGAWATDARURATAN T.A 2019/2020 Page 12


Praktikum

NO TOPIC STRATEGY DEPARTMENT LECTURER DURATION


1 Skill Lab 1 Skill Lab Emergency Tim Dosen 100 minute
( Konsep Fisioterapi Kegawatdaru
Physical Therapy
kegawatdaruratan ratan
kardiovaskulerpulmo Department
nal Trauma thoraks,
syok & gagal nafas,
BHD)
2 Praktikum 1 Practice Emergency Tim Dosen 100 minute
( Konsep Fisioterapi Kegawatdaru
Physical Therapy
kegawatdaruratan ratan
kardiovaskulerpulmo Department
nal, Trauma thoraks,
syok & gagal nafas,
BHD)
3 Skill Lab 2 Skill Lab Emergency 100 minute
( Konsep Fisioterapi
Physical Therapy
kegawatdaruratan Tim Dosen
sistem Department Kegawatdaru
muskuloskletal & ratan
Integumen)

4 Praktikum 2 Practice Emergency 100 minute


( Konsep Fisioterapi
Physical Therapy
kegawatdaruratan
Tim Dosen
sistem Department
Kegawatdaru
muskuloskletal &
ratan
Integumen)

5 Skill Lab 3 Skill Lab Emergency 100 minute


( Konsep Fisioterapi
Physical Therapy
kegawatdaruratan
sistem Department Tim Dosen
Neuromuskuler, Kegawatdaru
Cidera kepala & ratan
Vertebra)

6 Praktikum 3 Practice Emergency 100 minute


( Konsep Fisioterapi Physical Therapy Tim Dosen
kegawatdaruratan Kegawatdaru
sistem Department ratan

MODUL FISIOTERAPI KEGAWATDARURATAN T.A 2019/2020 Page 13


Neuromuskuler,
Cidera kepala &
vertebra)

7 Practice Emergency Tim Dosen 100 minute


Kegawatdaru
Praktikum 4 Physical Therapy
ratan
( Ujian Praktikum )
Department

G. AKTIVITAS PEMBELAJARAN
Aktivitas pembelajaran berikut ini dipersiapkan untuk memandu pada mahasiswa agar dapat
mencapai tujuan pembelajaran blok ini.
1. Diskusi Kelompok Kecil (DKK) atau Tutorial
Tutorial
Dalam diskusi kelompok, mahasiswa diminta memecahkan masalah yang terdapat
pada skenario yaitu mengikuti metode ―Seven Jump-Steps”, terdiri dari 7 langkah
pemecahan masalah yaitu :

Step 1 : Clarifying unfamiliar terms

Mengklarifikasi istilah atau konsep; istilah-istilah dalam


skenario yang belum jelas atau yang menyebabkan banyak
interpretasi ditulis dan diklarifikasi terlebih dahulu

Step 2 : Problem definition

Masalah yang ada dalam skenario diidentifikasi dan


dirumuskan dengan jelas (bisa dalam bentuk pertanyaan)

Step 3 : Brainstorming

Pada langkah ini setiap anggota kelompok melakukan


brainstorming mengemukakan penjelasan tentative terhadap
permasalahan yang sudah dirumuskan di step 2 dengan
menggunakan pre-exiting knowledge

Step 4 : Analyzing the problem

Mahasiswa memberikan penjelasan secara sistematis


terhadap jawaban pada step 3, bisa juga dengan saling
menghubungkan antar konsep, klasifikasikan jawaban atas

MODUL FISIOTERAPI KEGAWATDARURATAN T.A 2019/2020 Page 14


pertanyaan, menarik kesimpulan dari masalah yang sudah
dianalisis pada step 3

Step 5 : Formulating learning issues

Mennetapkan tujuan belajar (learning objective); informasi


yang dibutuhkan untuk menjawab permasalahan
dirumuskaan dan disusun secara sistematis sebagai tujuan
belajar

Step 6 : Self study

Mengumpulkan informasi tambahan dengan belajar mandiri;


kegiatan mengumpulkan informasi tambahan dilakukan
dengan mengakses informasi dari internet, jurnal,
perpustakaan, kuliah dan konsultasi pakar

Step 7 : Reporting

Mensintesis atau menguji


informasi baru; mensintesis,
mengevaluasi dan menguji
informasi baru hasil belajar setiap
anggota kelompok

Sedangkan teknis pelaksanaan kegiatan pembelajaran tutorial sebagai berikut :

1) Setiap skenario diselesaikan dalam dua minggu dengan 2 kali pertemuan


2) Step 1-5 dilaksanakan pada pertemuan pertama dihadiri oleh tutor
3) Step 6 dilaksanakan antara pertemuan pertama dan kedua, dengan belajar
mandiri tanda kehadiran tutor
4) Step 7 dilaksanakan pada pertemuan kedua bersama dengan tutor
5) Pentingnya learning atmosphere : keterbukaan dan kebersamaan dalam belajar
kelompok, mahasiswa berperan aktif dalam setiap diskusi, bebas
mengemukakan pendapat, tanpa khawatir dianggap salah, diremehkan atau
pendapatnya dinilai tidak bermutu oleh temen-temennya.

2. Kuliah Pakar
Kuliah diberikan dalam rangka penataan pengetahuan/informasi yang telah diperoleh oleh
mahasiswa. Kuliah pakar akan berhasil guna dan tepat guna apabila dalam suatu saat itu,
pertemuan mahasiswa dengan pakar, mahasiswa secara aktif mengungkapkan hal-hal
yang ingin dipahami.

MODUL FISIOTERAPI KEGAWATDARURATAN T.A 2019/2020 Page 15


3. Aktivitas Laboratorium (Praktikum)
Aktivitas ini merupakan aktivitas pembelajaran dalam rangka memahami sesuatu
informasi secara jelas. Mahasiswa diberi kesempatan untuk melihat secara nyata melalui
serangkaian percobaan yang dilakukan di dalam laboratorium.
4. Konsultasi Pakar
Pada kesempatan ini mahasiswa diberikan kesempatan, secara perorangan atau kelompok,
untuk mendiskusikan secara khusus mengenai suatu informasi dengan pakar yang
bersangkutan. Diharapkkan mahasiswa akan mendapatkan pemahaman yang lebih baik
dan jelas sesuai dengan informasi yang didiskusikan.
5. Pembelajaran mandiri
Aktivitas pembelajaran mandiri merupakan inti dari kegiatan pembelajaran yang
didasarkan pada paradigma pembelajaran mahasiswa aktif (student-center learning-SCL)
Dalam hal ini secara bertahap mahasiswa dilatih dan dibiasakan untuk belajar secara
mandiri (tidak harus manunggu saat ujian atau atas permintaan dosen).
6. Diskusi Kelas
Diskusi ini dilakukan dengan peserta seluruh mahasiswa dalam kelas. Diskusi ini akan
dihadiri oleh dosen pakar. Tujuan aktivitas pembelajaran ini ialah untuk lebih
mematangkan pemahaman semua informasi yang telah ditelaah.
Langkah 1 sampai dengan langkah 5 dilaksanakan pada pertemuan pertama, yaitu minggu
pertama suatu skenario. Langkah 6 dilakukan secara mandiri dan langkah 7 dilakukan
pada pertemuan kedua, yaitu minggu kedua suatu skenario.
H.PENILAIAN
Hasil penilaian, baik dinyatakan secara absolut maupun secara huruf untuk menggambarkan
mutu, didasarkan pada perolehan nilai:
NO KEGIATAN YANG DINILAI NILAI ABSOLUT
1 Kuliah teori 35 %
2 Tutorial 17,5 %
3 Praktikum/skill lab 17,5 %
4 Kehadiran 10 %
5 Tugas 20 %
Jumlah 100 %

MODUL FISIOTERAPI KEGAWATDARURATAN T.A 2019/2020 Page 16


NO NILAI SKOR BOBOT KUALITATIF
1 A 80-100 4.00 Pujian (Sangat Baik)
2 A- 77-79 3.75 Lebih dari Baik
3 AB 75-76 3.50
4 B+ 73-74 3.25
5 B 70-72 3.00 Baik
6 B- 66-69 2.75 Lebih dari Cukup
7 BC 63-65 2.50
8 C+ 59-62 2.25
9 C 55-58 2.00 Cukup
10 C- 51-54 1.75 Hampir Cukup
11 CD 48-50 1.50
12 D 41-47 1.00 Kurang
13 E ≤40 0.00 Sangat Kurang

MODUL FISIOTERAPI KEGAWATDARURATAN T.A 2019/2020 Page 18


MATERI MODUL FISIOTERAPI
KEGAWATDARURATAN
Materi I

PANDANGAN AL-QUR‘AN TENTANG ETIKA PELAYANAN MEDIS PADA


KEGAWATDARURATAN

Etika Fisioterapis Muslim terhadap Khalik adalah Seorang Fisioterapis Muslim


haruslah benar-benar menyadari bahwa dirinya adalah hamba Allah semata. Dan betapa tidak
berarti dirinya beserta ilmunya tanpa izin Allah Swt. Sedangkan Etika Fisioterapis muslim
terhadap pasien adalah hubungan antar manusia dan manusia Sanksi yg dapat jika melanggar
sumpah Fisioterapis:

a)Dari Allah SWT= Al-Maidah ayat 89

―Allah tidak menghukum kamu disebabkan sumpah-sumpahmu yang tidak dimaksud (untuk bersumpah), tetapi Dia menghukum kamu

disebabkan sumpah-sumpah yang kamu sengaja, maka kaffarat (melanggar) sumpah itu, ialah memberi makan sepuluh orang miskin, yaitu dari

makanan yang biasa kamu berikan kepada keluargamu, atau memberi pakaian kepada mereka atau memerdekakan seorang budak. Barang siapa

tidak sanggup melakukan yang demikian, maka kaffaratnya puasa selama tiga hari. Yang demikian itu adalah kaffarat sumpah-sumpahmu bila

kamu bersumpah (dan kamu langgar). Dan jagalah sumpahmu. Demikianlah Allah menerangkan kepadamu hukum-hukum-Nya agar kamu

bersyukur (kepada-Nya).‖

MODUL FISIOTERAPI KEGAWATDARURATAN T.A 2019/2020 Page 19


b)NegaraRI

―Dan janganlah orang-orang yang mempunyai kelebihan dan kelapangan di antara kamu
bersumpah bahwa mereka (tidak) akan memberi (bantuan) kepada kaum kerabat(nya), orang-
orang yang miskin dan orang-orang yang berhijrah pada jalan Allah, dan hendaklah mereka
mema'afkan dan berlapang dada. Apakah kamu tidak ingin bahwa Allah mengampunimu? Dan
Allah adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang‖ an-nur : 22

Jelaslah bahwa etika Fisioterapis, Tenaga Medis dan Paramedis pada saat menemui pasien kritis
dan butuh pertolongan harus mendahulukan kepentingan pasien sesuai dengan Sifat-sifat Tenaga
Medis dan Paramedis yang telah disebutkan diatas yaitu Beriman dan Tulus ikhlas karena Allah
dan juga dalam prinsip kode etik kedoketran dalam islam yaitu Tidak ada yang dirugikan (non-
malfeasance) dan Kebajikan. Pada pelayanan gawat darurat, rumah sakit adalah harus
Ketersediaan tenaga kesehatan dalam jumlah memadai sebagai syarat yang harus dipenuhi oleh
IGD. Selain dokter jaga yang siap di IGD, rumah sakit juga harus menyiapkan spesialis lain
(bedah, penyakit dalam, anak, dll) untuk memberikan dukungan tindakan medis spesialistis bagi
pasien yang memerlukannya. Dokter spesialis yang bertugas harus siap dan bersedia menerima
rujukan dari IGD. Jika dokter spesialis gagal memenuhi kewajibannya maka tanggungjawab
terletak pada dokter atau Fisioterapis itu
dan juga rumah sakit karena tidak mampu mendisiplinkan dokternya. Ketentuan tentang
pemberian pertolongan dalam keadaan darurat telah tegas diatur dalam pasal 51 UU No.29/ 2004
tentang Praktik Kedokteran, di mana seorang dokter wajib melakukan pertolongan darurat atas
dasar perikemanusiaan. Selanjutnya, walaupun dalam UU No.23/1992tentang Kesehatan tidak
disebutkan istilah pelayanan gawat darurat namun secara tersirat upaya penyelenggaraan
pelayanan tersebut sebenarnya merupakan hak setiap orang untuk memperoleh derajat kesehatan
yang optimal (pasal 4). Selanjutnya pasal 7 mengatur bahwa

MODUL FISIOTERAPI KEGAWATDARURATAN T.A 2019/2020 Page 20


―Pemerintah bertugas menyelenggarakan upaya kesehatan yang merata dan terjangkau oleh
masyarakat‖ termasuk fakir miskin, orang terlantar dan kurang mampu.6 Tentunya upaya ini
menyangkut pula pelayanan gawat darurat, baik yang diselenggarakan oleh pemerintah maupun
masyarakat (swasta). Rumah sakit di Indonesia memiliki kewajiban untuk menyelenggarakan
pelayanan gawat darurat 24 jam sehari sebagai salah satu persyaratan ijin rumah sakit. Dalam
pelayanan gawat darurat tidak diperkenankan untuk meminta uang muka sebagai persyaratan
pemberian pelayanan. Dalam pelayanan kesehatan prestasi yang diberikan tenaga kesehatan
sewajarnyalah diberikan kontra-prestasi, paling tidak segala biaya yang diperlukan untuk
menolong seseorang. Hal itu diatur dalam hukum perdata. Kondisi tersebut umumnya berlaku
pada fase pelayanan gawat darurat di rumah sakit. Pembiayaan pada fase ini diatasi pasien tetapi
dapat juga diatasi perusahaan asuransi kerugian, baik pemerintah maupun swasta. Di sini nampak
bahwa jasa pelayanan kesehatan tersebut merupakan private goods sehingga masyarakat (pihak
swasta) dapat diharapkan ikut membiayainya. Kondisi tersebut berbeda dengan pelayanan gawat
darurat fase pra-rumah sakit yang juga berupa jasa, namun lebih merupakan public goods. Jasa
itu dapat disejajarkan dengan prasarana umum (misalnya jalan raya) yang harus diselenggarakan
dan dibiayai oleh pemerintah. Pihak swasta sulit diharapkan untuk membiayai sesuatu yang
bersifat
prasarana umum. Dengan demikian pelayanan gawat darurat pada fase pra-rumah sakit
sewajarnyalah dibiayai dari pajak yang dibayarkan oleh rakyat. Realisasi pembiayaan melalui
pengaturan secara hukum yang mewajibkan anggaran untuk pelayanan yang bersifat public
goods tersebut. Bentuk peraturan perundang-undangan tersebut
dapat berupa peraturan pemerintah yang merupakan jabaran dari UU No.23/ 1992 dan atau
peraturan daerah tingkat I (Perda Tk.I).
Dipandang dari segi hukum, pelayanan gawat darurat berbeda dengan pelayanan non-gawat
darurat karena memiliki karakteristik khusus. Beberapa isu khusus dalam pelayanan gawat
darurat membutuhkan pengaturan hukum yang khusus dan akan menimbulkan hubungan hukum
yang berbeda dengan keadaan bukan gawat darurat.

Ada beberapa upaya penyelesaian masalah pelayanan gawat darurat, yaitu sebagai berikut:
1. Meningkatkan kegiatan pendidikan kesmas, sehingga satu pihak pemahaman masyarakat
terhadap pelayanan gawat darurat dapat ditingkatkan, dan dipihak lain keterampilan masyarakat
menanggulangi (self medication) masalah-masalah kesehatan sederhana dapat ditingkatkan
2. Menambah jumlah sarana kesehatan yang menyelenggarakan pelayanan rawat jalan, termasuk
pertolongan pertama.
3. Menggalakkkan program asuransi kesehatan, terutama yang menganut sistem pembayarab pra-
upaya.
MODUL FISIOTERAPI KEGAWATDARURATAN T.A 2019/2020 Page 21
Sudah jelaslah bahwa tidak ada perihal yang menghalangi seorang fisioterapis ataupun tim medis
untuk tidak memberikan pertolongan dan pelayanan medis kepada pasien gawat darurat. Selain
melanggar hukum dan UU yang telah ditetapkan, hal tersebut juga melanggar dari ketentuan
Allah yang memerintahkan bahkan mewajibkan untuk tolong-menolong.

Akan tetapi perlu juga manajemen rumah sakit yang betul-betul memperhatikan kedisiplinan
para tenaga medis dan memberlakukan hukuman ataupun sanksi tegas apabila melalaikan hak
pasien serta ketegasan dari UU tentang hak pasien gawat darurat dan kejelasan pembiayaan
karena tanpa didukung hukum yang kuat peraturan hanya tinggal kata-kata yang sesungguhnya
tidaklah mempunyai arti.

The Role of the Physical Therapist in the Emergency Department (ED)

Physical therapy practice continues to evolve in the acute care setting from inpatient care
into the emergency department. Our roles in the emergency ward as a consultant is important and
is pertinent in the era of direct access. The American Physical Therapy Association‘s vision for
2020 is for consumers to have ―direct access for the diagnosis of, interventions for, and
prevention of impairments, activity limitations, participation restrictions, and environmental
barriers related to movement, function, and health.‖http://www.apta.org/vision2020/. We have
expertise in screening for problems that are not within our scope of practice as well as managing
conditions impacting the cardiopulmonary, integumentary, and the neuromusculoskeletal
systems. We often identify and treat acute and chronic musculoskeletal impairments (Fleming,
2010). Several studies have noted the following benefits of physical therapy in the ED: decreased
wait times in the emergency room for musculoskeletal injuries, decreased hospital costs for
management of low back pain, and lower incidence of advanced imaging, surgery, and opiodes
when a physical therapists screens the patient first for reports of back pain (Fritz, 2012).Physical
therapists are an appropriate consult service for the ED. Common complaints in the emergency
department that may be appropriate for physical therapy include dizziness, ankle sprains,
concussions, and back pain. The American Physical Therapy Association has ED starter kits,
resources, and continuing education courses to help enhance your current practice or to get
established in this setting. http://www.apta.org/EmergencyDepartment/.

MODUL FISIOTERAPI KEGAWATDARURATAN T.A 2019/2020 Page 22


Background and Purpose The American Physical Therapy Association's Vision 2020
advocates that physical therapists be integral members of health care teams responsible for
diagnosing and managing movement and functional disorders. This report details the design and
early implementation of a physical therapist service in the emergency department (ED) of a
large, urban hospital and presents recommendations for assessing the effectiveness of physical
therapists in this setting. Case Description Emergency departments serve multiple purposes in
the American health care system, including care of patients with non–life-threatening illnesses.
Physical therapists have expertise in screening for problems that are not amenable to physical
therapy and in addressing a wide range of acute and chronic musculoskeletal pain problems. This
expertise invites inclusion into the culture of ED practice. This administrative case report
describes planning and early implementation of a physical therapist practice in an ED, shares
preliminary outcomes, and provides suggestions for expansion and effectiveness testing of
practice in this novel venue. Outcomes Referrals have increased and length of stay has
decreased for patients receiving physical therapy. Preliminary surveys suggest high patient and
practitioner satisfaction with physical therapy services. Outpatient physical therapy follow-up
options were developed. Educating ED personnel to triage patients who show deficits in pain and
functional mobility to physical therapy has challenged the usual culture of ED processes.
Discussion Practice in the hospital ED enables physical therapists to fully use their knowledge,
diagnostic skills, and ability to manage acute pain and musculoskeletal injury. Recommendations
for future action are made to encourage more institutions across the country to incorporate
physical therapy in EDs to enhance the process and outcome of nonemergent care.
The hospital emergency department (ED) has become a common entry point into the
health system for individuals with urgent, but noncritical, care needs.1Estimates project that
more than 80% of people seen in EDs have non–life-threatening conditions, many involving
chronic pain.2 Physical therapy intervention in the ED has been suggested to positively influence
patient satisfaction and pain management for acute low back pain (LBP)3 and to shorten waiting
time for referral to outpatient care.4 However, few studies have demonstrated the impact
physical therapy could have in managing nonemergent patient cases, thus reducing unnecessary
hospital admissions, costs, waiting time, elopement and frequent returns, and improvement of
patient satisfaction and outcomes. Although physical therapist practice in the ED has been

MODUL FISIOTERAPI KEGAWATDARURATAN T.A 2019/2020 Page 23


reported in a few locations in the United States,4 most reports regarding this practice paradigm
are from other countries.3–6
Traditionally, EDs have relied exclusively on nurses and physicians (MDs) whose short-
term provider relationship with patients and training for emergent care may make managing
acute and chronic pain difficult.7 As new roles have emerged in health care, advanced nurse
practitioners (NPs) and physician assistants (PAs) have been integrated into the ED culture to
improve care of patients with nonemergent conditions. Griffin and Melby8 demonstrated that
NPs could be integrated effectively into the ED provider team as long as roles and
responsibilities were clear and education and experience sufficiently enabled competence in this
complex environment. Similarly, incorporating physical therapists into this setting requires the
same careful personnel selection and role delineation. It also offers opportunities to enhance
satisfaction of patients with nonemergent conditions who are seen in the ED. Because
physicians‘ education focuses on diagnosing medical illness, MDs may not be adequately
prepared to manage musculoskeletal conditions without prescribing medications or surgery. This
situation may be exaggerated in the ED setting, where quickly relieving symptoms and
determining referral routes to fully address patients‘ musculoskeletal problems are imperative.7
As recently as 2003, DiCaprio et al9 documented that nearly 50% of the 122 US medical schools
required no training in musculoskeletal medicine. Childs et al10 showed that physical therapists
are better prepared to manage common musculoskeletal conditions seen in primary care than
other medical practitioners, except orthopedic surgeons, who typically provide only consultation
in most EDs. In any ED, it is essential to rapidly identify primary movement impairments and
provide specific interventions to relieve pain and improve function. Studies support that physical
therapists can be effective and safe in collaborating with other primary care team members in
diagnosing and managing musculoskeletal and neuromuscular disorders.11 This creates an ideal
opportunity for partnership with other ED providers.
Managing pain conditions in the ED can become costly, especially because these
conditions may result in multiple ED visits by patients needing more than a short-term
solution.12 Jorgensen13 suggested that costs associated with ED management of nonmalignant
back pain may be unnecessarily high, especially for patients returning repeatedly for the same
condition, and concluded that ED physicians may not be sufficiently prepared to address the
functional problems associated with acute or chronic pain. In a retrospective study of data from

MODUL FISIOTERAPI KEGAWATDARURATAN T.A 2019/2020 Page 24


the National Hospital Ambulatory Medical Care Survey (NHAMCS), Isaacs et al14 found that
17.8% of patients with uncomplicated cases of LBP received unnecessary radiographs in the ED.
Some authors have suggested that physical therapy intervention may be more cost-effective if
more expensive options are avoided.11,15–17 Daker-White et al11 found the costs of managing
specific musculoskeletal conditions by physical therapy to be less than if care was provided by
an orthopedic surgeon because fewer radiographs were ordered or fewer referrals for surgery
were made. Patients with chronic pain may wait longer in the ED due to their lower triage
priority,18 an indirect health care cost. Time limitations felt throughout the ED, attitudes toward
patients who return repeatedly, and limited primary care options outside the ED may cause tests
to be ordered or pain medications prescribed inside the ED as short-term solutions to patients‘
symptoms. These conditions invite including physical therapists into the provider team managing
the myriad conditions seen in busy EDs.
Historically, physical therapists may have not initiated hospital ED services because of 2
concerns. The first concern is that serious medical conditions could be overlooked without MD
involvement. Contemporary practice requires physical therapists to screen for conditions not
amenable to physical therapy intervention by identifying signs of medical pathology that do not
fit the patterns of musculoskeletal impairments.19 Stowell et al20 showed that physical
therapists can independently distinguish medical conditions from problems of musculoskeletal
origin and manage these pain problems in first-contact situations. Physical therapists have been
able to associate complaints of LBP with medical pathologies, including endometriosis,21 hip
pain with lymphoma,22 and hip pain and weakness with cervical cord compression.23 Each case
resulted in referral to a more appropriate practitioner. The second concern is that patients would
be at greater risk for adverse events without being first screened by a physician. However, Moore
et al24 found no such risk in a pool of 50,799 patients. There were no reports of patient injury,
adverse events, disciplinary action, revocation of licensure, or litigation. These results increase
the confidence that physical therapists could be productive ED providers. Managing
nonemergent acute and chronic pain is a primary obligation for physical therapists.19 A 2005
NHAMCS report documented a 23% increase in hospital ED visits over 10 years, despite a 15%
decrease in the number of EDs operating nationally.1 Patients with musculoskeletal sprains,
strains, and neck and back injuries accounted for 13.9% of ED visits, a 2% increase from

MODUL FISIOTERAPI KEGAWATDARURATAN T.A 2019/2020 Page 25


2002.1 These data suggest that EDs likely care for numerous patients with conditions appropriate
for physical therapy intervention.
Using physical therapy in the ED increases patient satisfaction with management of
LBP3 and other musculoskeletal conditions compared to when NPs or MDs are involved.12,25
Overall waiting times have been shown to decrease, even though patients may spend more time
receiving care from a physical therapist.25 When physical therapy is provided in the ED, patients
are more likely to be referred for further outpatient care,4 creating the possibility of earlier return
to work.26 At least one study showed that outcomes of physical therapy intervention in the ED
can last beyond the single intervention provided there. McClellan et al25 showed that improved
function and decreased pain persisted 1 month after physical therapy intervention in the ED.
However, neither Lau et al3 nor Richardson et al12found such benefits lasted beyond an acute
phase, even though satisfaction with the one-time encounter was high. These findings suggest
that managing acute and chronic pain is a continuous process requiring not only episodic care in
the ED but also appropriate referral to achieve follow-up.18,27

The primary purpose of this administrative case report is to describe the process of
establishing a physical therapy service in a busy urban ED. Preliminary outcomes and
recommendations for further assessment of physical therapy impact on ED cost of care, length of
stay, pain, and patient and practitioner satisfaction are presented.

Physical Therapists (PT) in the Emergency Department (ED)

Findings indicated that these physicians found ED physical therapy services to be of value to
themselves, to their patients, and to the department as a whole and described specific manners in
which such consultations improved emergency care. Implementation and maintenance of the
program, however, presented various challenges.

Emergency Department Physical Therapist Service: Removing Barriers and Building

Bridges

To start, a brief introduction of who comes into the emergency department. Fewer and

fewer are coming via ambulance, even fewer by life flight. People are using the ED in new and

different ways. For example, many have non-urgent and non-life threatening conditions. The

MODUL FISIOTERAPI KEGAWATDARURATAN T.A 2019/2020 Page 26


average wait is upwards of 1 hour, with the average length of stay in the ED upwards of 4 hours.

The ED physician spends an average of 11 minutes on direct care. That time includes research,

orders, and making referrals. Patient satisfaction with ED care is generally low. Management of

common musculoskeletal, pain, and soft tissue injury complaints is varied and poor. Individuals

are routinely given cervical soft collars for neck pain, immobilization including CASTS and or

instructions for non-weight bearing for ankle sprains, and MULTIPLE days of bed rest for low

back pain.

What do the PATIENTS want? Answers, instructions, and to feel better!

What do the patients receive? Imaging. Medications. Prescriptions. No follow up.

The fact of the matter is this that more and more individuals are utilizing the ER as their

primary stop for health conditions. By the time they seek care these conditions are more chronic

and less well controlled. Thus, more and more people seen in the ED are not necessarily in an

emergent state. And, I believe, more and more would benefit from the skills of a physical

therapist. Now, I also believe physical therapist‘s can play a vital role in deciding when imaging

of musculoskeletal conditions is and is not necessary. Further, the treatment they provide may

(again my belief) decrease imaging, medication prescription/usage, and decrease re-visit rates for

the same complaint. And maybe, just maybe, if we plug these people into physical therapy

sooner their conditions (pain, chronic medical diagnoses, etc) will be better managed and

controlled. And, I think, that all links back to the Physical Therapist‘s Role in Health, Wellness,

and Prevention as per Healthy People 2020.

The data that does exists suggest that having PT‘s in the ED results in decreased wait

time and increased patient satisfaction. [Unfortunately, much of the data on PT‘s in the ED has

MODUL FISIOTERAPI KEGAWATDARURATAN T.A 2019/2020 Page 27


been obtained outside the United States.] At the large, academic hospital I practice high priority

is placed on ―patient satisfaction.‖ [However, flawed that concept may be. Refer to Patient

Satisfaction is Useless Part I and Part II on the Evidence In Motion Blog]. Further, wait time in

the ED is directly related to the costs for that department. Therefore, decreasing wait time is a

very real way to decrease costs. Not surprisingly, wait time is inversely related to patient

satisfaction. So, already those are two powerful take home points regarding the positive effects

PT‘s ARE ALREADY having in the ED already. But, what does the future hold?

In expanding PT services in the ED, we can look to other sources of evidence and data to support

PT treatment of individuals in the emergency department:

1. PT Management and Evidence for Specific Musculoskeletal Conditions

2. Outcomes when PT is involved earlier in care of painful episodes

3. Outcomes when PT is delayed

4. Future healthcare costs with advanced, and over, imaging

5. Physical Therapist‘s Knowledge and Decision Making In Medical Screening and

Diagnosis

Specifically, there is evidence supporting specific PT approaches to common orthopaedic

conditions such as low back pain, neck pain, knee pain, ankle sprains, etc. Also, there are

innovative practice models where physical therapists are involved earlier in care providing

FRONT end intervention for painful episodes. Virginia Mason (out of my hometown of Seattle)

received a lot of publicity even aWall Street Journal Article for their model of sending patients

with work related musculoskeletal complaints to a PT FIRST. They decreased costs by over 50%

and decreased time away from work.

MODUL FISIOTERAPI KEGAWATDARURATAN T.A 2019/2020 Page 28


Future Research and Data Tracking

1. Readmissions

2. Time between ER visits

3. Medication Prescription and Usage

4. Imaging Utilization and Costs

5. Falls and Injury from Falls

The talk was very interesting, and I think this practice area will continue to grow. It

actually reminds me of the growth of early mobility and rehabilitation of individuals in intensive

care units. I also think there is really good research and data from other areas of practice

supporting not only the treatment PT‘s can provide, but also our training, decision making, and

skills in medical screening and aiding in diagnosis. Not to mention, I did not even mention fall

risk screening and intervention, splinting, wound care, assistive device recommendations, and

aiding in discharge planning. PT working in the emergency department (ED) play an integral

role in the assessment, diagnosis, triage and management of patients with musculoskeletal

(MSK) injuries and frail elderly patients showing a decline in function. Physiotherapists assess

and treat mobility issues, provide instruction on appropriate mobility aids and facilitate safe

discharge planning from the ED.

Role of Physiotherapy in the Emergency Department


The primary responsibility of physiotherapists in the ED is the assessment of mobility

and function. The target population is primarily the frail elderly, however many other patient

populations require such services, including patients with MSK injuries (Mc.Clellan, 2006). The

purpose of the assessment is to determine the most effective treatment plan that allows the

patient to be discharged home safely including: 1) discharge from the ED; 2) remain for

MODUL FISIOTERAPI KEGAWATDARURATAN T.A 2019/2020 Page 29


observation, treatment, and re-assessment prior to discharge; 3) admission to the hospital; or 4)

transfer to respite care, placement or home with additional support services. Physiotherapists also

have a role as frontline primary health care providers, in the ED, in the assessment and diagnosis,

within scope, of patients with MSK injuries (Hoskins, 2010). Physiotherapy services provided in

the ED decreases wait times to access healthcare services and ultimately time spent by patients in

the ED (Taylor, 2011).

Impact on Patient Experience Physiotherapy in the ED provides patients with

individualized treatment plans targeted to address their discharge concerns resulting in high

patient satisfaction.

1. Physiotherapy management of soft tissue injuries in the ED results in high levels of

patient satisfaction (Hoskins,2010)

2. Physiotherapy assessment and management of patients presenting to the ED decreases

length of stay (LOS) in the ED and wait times without any increase in adverse events

(Taylor, 2011)

3. Physiotherapy management of MSK injuries in the ED reduces disability (Kilner, 2011)

Impact on Population Health Physiotherapy in the ED improves patient outcomes and

acts as a bridge to community services that improve mobility and overall physical functioning.

1. Physiotherapy provided in the ED improves patient outcomes, such as pain control, and

disability and facilitates and ensures safe discharge home (Moo, 2008)

2. Improvements in safety and function resulting from physiotherapy interventions in the

ED allow patients to live in the community longer (Mitton, 2012)

MODUL FISIOTERAPI KEGAWATDARURATAN T.A 2019/2020 Page 30


3. Physiotherapy in the ED facilitates discharge planning and access to other services and

provides community information and mobility aids to patients in a timely manner

resulting in a more efficient system (Jibuike, 2003)

Impact on Health Care Costs Physiotherapy services in the ED for the management of

MSK injuries results in clinicallyequivalent outcomes, when compared to physicians, for

equivalent or less cost (Ball, 2007)

1. Physiotherapists provide high standard care in the ED at an affordable cost (Mc.Clellan,

2010)

2. Access to physiotherapists in the ED results in early intervention and decreases future use

of health care services (Mitton, 2012)

3. Comprehensive discharge planning, facilitating access to other health care services, and

effective management of presenting condition, by the physiotherapist, reduces return rate

to the ED (Mitton, 2012)

Summary Physiotherapy in the ED improves patient outcomes and reduces the rate of

return visits to the ED. Patients also report high satisfaction with physiotherapy services in the

ED secondary to the improvements in function. Inclusion of physiotherapy services in the ED

facilitates referrals to other inpatient and outpatient programs improving both the efficiency and

continuity of care. An improvement in the continuation of care supports a safe return home and

return to the community.

MODUL FISIOTERAPI KEGAWATDARURATAN T.A 2019/2020 Page 31


Materi II

PELAYANAN GAWAT DARURAT DI INDONESIA

===========================================

Bencana tsunami di Aceh beberapa tahun silam membuat kita teperangah tak percaya.
Bumi Serambi Mekah dalam sekejap rata menyisakan kepiluan manakala hamparan jenazah
saudara-saudara menusuk mata kita. Berita pesawat terbang jatuh, silih berganti dengan kabar
duka lainnya : longsor, banjir bahkan bencana bom pernah melanda negeri ini. Sesaat kita
terdiam merenung akan hakikat hidup yang menyadarkan kita……. Semua sudah
kehendakNya. Takdir memang diluar kuasa kita sebagai manusia. Namun terbenrsit
pertanyaan besar, benarkah kita tidak berkontribusi terhadap tingginya jumlah kematian
karena bencana massal itu ???
Seminggu yang lalu seorang pria berusia 23 tahun dan baru menikah di Rumah Sakit
Fatmawati Jakarta. Pengendara motor yang tidak ngebut namun karena tidak hati-hati jatuh ke
dalam lembah curam sedalam 10 meter. Sangat miris karena cedera tulang thorakal dan
lumbal yang dialaminya cukup parah. Prognosa menyatakan dia bakal lumpuh seumur
hidupnya dari batas pusar ke bawah. Menurut cerita keluarga pertolongan di tempat kejadian
dilakukan oleh teman-temanya. Penulis membayangkan korban diangkat dari dasar jurang
entah dengan apa dan bagaimana, namun dapat diyakinkan bahwa mobilisasi dan tranportasi
korban sangatlah merugikan dan memperburuk cedera tulang belakangnya. Usia produktif
yang disia-siakan.
Kejadian gawat darurat dapat terjadi kapan saja, dimana saja dan menimpa siapa saja.
Orang lain, teman dekat, keluarga ataupun kita sendiri dapat menjadi korbannya. Kejadian
gawat darurat biasanya berlangsung cepat dan tiba-tiba sehingga sulit memprediksi kapan
terjadinya. Langkah terbaik untuk situasi ini adalah waspada dan melakukan upaya kongkrit
untuk mengantisipasinya. Harus dipikirkan satu bentuk mekanisme bantuan kepada korban
dari awal tempat kejadian, selama perjalanan menuju sarana kesehatan, bantuan di fasilitas
kesehatan sampai pasca kejadian cedera. Tercapainya kualitas hidup penderita pada akhir
bantuan harus tetap menjadi tujuan dari seluruh rangkai pertolongan yang diberikan.
Upaya Pertolongan terhadap penderita gawat darurat harus dipandang sebagai satu
system yang terpadu dan tidak terpecah-pecah. Sistem mengandung pengertian adanya
komponen-komponen yang saling berhubungan dan saling mempengaruhi, mempunyai
sasaran (output) serta dampak yang diinginkan (outcome). Sistem yang bagus juga harus
dapat diukur dengan melalui proses evaluasi atau umpan balik yang berkelanjutan. Alasan
kenapa upaya pertolongan penderita harus dipandang sebagai satu system dapat diperjelas
dengan skema di bawah ini :
MODUL FISIOTERAPI KEGAWATDARURATAN T.A 2019/2020 Page 32
Injury & Pre Hospital Stage Hospital Stage Rehabilitation

Dissaster
• First Responder • Emergency Room • Fisical
• Ambulance Service • Operating Room • Psycological
24 jam • Intensif Care Unit • Social
• Ward Care

Berdasarkan skema di atas, kualitas hidup penderita pasca cedera akan sangat bergantung

pada apa yang telah dia dapatkan pada periode Pre Hospital Stage bukan hanya tergantung

pada bantuan di fasilitas pelayanan kesehatan saja. Jika di tempat pertama kali kejadian

penderita mendapatkan bantuan yang optimal sesuai kebutuhannya maka resiko kematian dan

kecacatan dapat dihindari. Bisa diilustrasikan dengan penderita yang terus mengalami

perdarahan dan tidak dihentikan selama periode Pre Hospital Stage, maka akan sampai ke

rumah sakit dalam kondisi gagal ginjal.

Begitu cedera terjadi maka berlakulah apa yang disebut waktu emas (The Golden periode).

Satu jam pertama juga sangat menentukan sehingga dikenal istilah The Golden Hour. Setiap

detik sangat berharga bagi kelangsungan hidup penderita. Semakin panjang waktu terbuang

tanpa bantuan pertolongan yang memadai, semakin kecil harapan hidup korban. Terdapat 3

faktor utama di Pre Hospital Stage yang berperan terhadap kualitas hidup penderita nantinya

yaitu :


siapa penolong pertamanya

Berapa lama ditemukannya penderita,

kecepatan meminta bantuan pertolongan

Penolong pertama seharusnya orang awam yang terlatih dengan dukungan pelayanan
ambulan gawat darurat 24 jam. Ironisnya penolong pertama di wilayah Indonesia sampai saat

MODUL FISIOTERAPI KEGAWATDARURATAN T.A 2019/2020 Page 33


tulisan ini dibuat adalah orang awam yang tidak terlatih dan minim pengetahuan tentang
kemampuan pertolongan bagi penderita gawat darurat.. Kecepatan penderita ditemukan sulit kita
prediksi tergantung banyak faktor seperti geografi, teknologi, jangkauan sarana tranport dan
sebagainya. Akan tetapi kualitas bantuan yang datang dan penolong pertama di tempat kejadian
dapat kita modifikasi.

Pada fase rumah sakit, Unit Gawat Darurat berperan sebagai gerbang utama jalan
masuknya penderita gawat darurat. Kemampuan suatu fasilitas kesehatan secara keseluruhan
dalam hal kualitas dan kesiapan dalam perannya sebagai pusat rujukan penderita dari pra rumah
tercermin dari kemampuan unit ini. Standarisasi Unit Gawat Darurat saat ini menjadi salah satu
komponen penilaian penting dalam perijinan dan akreditasi suatu rumah sakit. Penderita dari
ruang UGD dapat dirujuk ke unit perawatan intensif, ruang bedah sentral, ataupun bangsal
perawatan. Jika dibutuhkan, penderita dapat dirujuk ke rumah sakit lain.

Uraian singkat di atas kiranya cukup memberikan gambaran bahwa keberhasilan


pertolongan bagi penderita dengan criteria gawat darurat yaitu penderita yang terancam nyawa
dan kecacatan, akan dipengaruhi banyak factor sesuai fase dan tempat kejadian cederanya.
Pertolongan harus dilakukan secara harian 24 jam (daily routine) yang terpadu dan terkordinasi
dengan baik dalam satu system yang dikenal dengan Sistem Pelayanan gawat Darurat Terpadu
(SPGDT). Jika bencana massal terjadi dengan korban banyak, maka pelayanan gawat darurat
harian otomatis ditingkatkan fungsinya menjadi pelayanan gawat darurat dalam bencana
(SPGDB). Tak bisa ditawar-tawar lagi, pemerintah harus mulai memikirkan terwujudnya
penerapan system pelayanan gawat darurat terpadu.

Komponen penting yang harus disiapkan diantaranya :

7. Sistem komunikasi
Kejelasan kemana berita adanya kejadian gawat darurat disampaikan, akan memperpendek
masa pra rumah sakit yang dialami penderita. Pertolongan yang datang dengan segera akan
meminimalkan resiko-resiko penyulit lanjutan seperti syok hipovolemia akibat kehilangan
darah yang berkelanjutan, hipotermia akibat terpapar lingkungan dingin dan sebagainya.
Siapapun yang menemukan penderita pertama kali di lokasi harus tahu persis kemana
informasi diteruskan. Problemnya adalah bagaimana masyarakat dapat dengan mudah

MODUL FISIOTERAPI KEGAWATDARURATAN T.A 2019/2020 Page 34


meminta tolong, bagaimana cara membimbing dan mobilisasi sarana tranportasi (Ambulan),
bagaimana kordinasi untuk mengatur rujukan, dan bagaimana komunikasi selama bencana
berlangsung.

8. Pendidikan
Penolong pertama seringkali orang awam yang tidak memiliki kemampuan menolong yang
memadai sehingga dapat dipahami jika penderita dapat langsung meninggal ditempat
kejadian atau mungkin selamat sampai ke fasilitas kesehatan dengan mengalami kecacatan
karena cara tranport yang salah. Penderita dengan kegagalan pernapasan dan jantung kurang
dari 4-6 menit dapat diselamatkan dari kerusakan otak yang ireversibel. Syok karena
kehilangan darah dapat dicegah jika sumber perdarahan diatasi, dan kelumpuhan dapat
dihindari jika upaya evakuasi & tranportasi cedera spinal dilakukan dengan benar. Karena itu
orang awam yang menjadi penolong pertama harus menguasai lima kemampuan dasar yaitu :

• Menguasai cara meminta bantuan pertolongan


• Menguasai teknik bantuan hidup dasar (resusitasi jantung paru)
• Menguasai teknik mengontrol perdarahan
• Menguasai teknik memasang balut-bidai
• Menguasai teknik evakuasi dan tranportasi
Golongan orang awam lain yang sering berada di tempat umum karena bertugas
sebagai pelayan masyarakat seperti polisi, petugas kebakaran, tim SAR atau guru harus
memiliki kemampuan tambahan lain yaitu menguasai kemampuan menanggulangi keadaan
gawat darurat dalam kondisi :

• Penyakit anak
• Penyakit dalam
• Penyakit saraf
• Penyakit Jiwa
• Penyakit Mata dan telinga
• Dan lainya sesuai kebutuhan sistem
Penyebarluasan kemampuan sebagai penolong pertama dapat diberikan kepada
masyarakat yang awam dalam bidang pertolongan medis baik secara formal maupun

MODUL FISIOTERAPI KEGAWATDARURATAN T.A 2019/2020 Page 35


informal secara berkala dan berkelanjutan. Pelatihan formal di intansi-intansi harus
diselenggarakan dengan menggunakan kurikulum yang sama, bentuk sertifikasi yang sama
dan lencana tanda lulus yang sama. Sehingga penolong akan memiliki kemampuan yang
sama dan memudahkan dalam memberikan bantuan dalam keadaan sehari-hari ataupun
bencana masal.

9. Tranportasi
Alat tranportasi yang dimaksud adalah kendaraannya, alat-alatnya dan personalnya.
Tranportasi penderita dapat dilakukan melalui darat, laut dan udara. Alat tranportasi
penderita ke rumah sakit saat ini masih dilakukan dengan kendaraan yang bermacam-macam
kendaraan tanpa kordinasi yang baik. Hanya sebagian kecil yang dilakukan dengan ambulan,
itupun dengan ambulan biasa yang tidak memenuhi standar gawat darurat. Jenis-jenis
ambulan untuk suatu wilayah dapat disesuaikan dengan kondisi lokal untuk pelayanan harian
dan bencana.

10. Pendanaan
Sumber pendanaan cukup memungkinkan karena system asuransi yang kini berlaku di
Indonesia. Pegawai negeri punya ASKES, pegawai swasta memiliki jamsostek, masyarakat
miskin mempunyai ASKESKIN. Orang berada memiliki asuransi jiwa

11. Quality Control


Penilaian, perbaikan dan peningkatan system harus dilakukan secara periodic untuk
menjamin kualitas pelayanan sesuai tujuan.

MODUL FISIOTERAPI KEGAWATDARURATAN T.A 2019/2020 Page 36


Materi III
MANAJEMEN GAWAT DARURAT PREHOSPITAL PADA STROKE AKUT

PENDAHULUAN

Tujuan dari penatalaksanaan stroke secara umum adalah menurunkan morbiditas dan
menurunkan tingkat kematian serta menurunnya angka kecacatan. Salah satu upaya yang
berperan penting untuk mencapai tujuan tersebut adalah pengenalan gejala-gejala stroke dan
penanganan stroke secara dini yang dimulai dari penanganan prahospital yang cepat dan tepat.1
Keberhasilan penanganan stroke akut dimulai dari pengetahuan masyarakat dan petugas
kesehatan, bahwa stroke merupakan keadaan gawat darurat; seperti infark miokard akut atau
trauma. Filosopi yang harus dipegang adalah time is brain dan the golden hour. Dengan adanya
kesamaan pemahaman bahwa stroke dan TIA merupakan suatu medical emergency maka akan
berperan sekali dalam menyelamatkan hidup dan mencegah kecacatan jangka panjang. Untuk
mencapai itu, pendidikan dan penyuluhan perlu diupayakan terhadap masyarakat, petugas
ambulans dan terutama para dokter yang berada di ujung tombak pelayanan kesehatan seperti di
puskesmas, unit gawat darurat, atau tenaga medis yang bekerja di berbagai fasilitas kesehatan
lainnya. Tanggung jawab manajemen prahospital tergantung pada pelayanan ambulans dan
pelayanan kesehatan tingkat primer.1Keberadaan pre-hospital stage (tahap pra-rumah sakit) di
Indonesia tidak mendapatkan perhatian yang utama dalam strategi kebijakan kesehatan di
Indonesia. Penanganan tahap pra-rumah sakit di Indonesia masih sangat lemah, baik dari sisi
infrastruktur maupun sumber daya manusianya. Ambulans, sebagai elemen penting dalam tahap
ini misalnya, selama ini, hanya dianggap sebagai alat angkut pasien ke rumah sakit. Alih-alih
menempatkan sebagai bagian dari pre-hospital stage, di Indonesia, ambulans menjadi bagian dari
penanganan in-hospital stage. Dengan penanganan yang benar pada jam-jam pertama, angka
kecacatan stroke paling tidak akan berkurang sebesar 30%.

Definisi Stroke

MODUL FISIOTERAPI KEGAWATDARURATAN T.A 2019/2020 Page 37


Stroke adalah suatu penyakit defisit neurologic fokal karena Gangguan fungsi otak akut
yang disebabkan oleh gangguan peredaran darah otak.2 Secara umum, stroke digunakan sebagai
sinonim Cerebro Vascular Disease (CVD).

Penyebab stroke pada dasarnya ada 3 hal2 :

1. Gangguan pembuluh darah (usia lanjut, hipertensi, thrombus, atherosclerosis, infeksi, Diabetes
Melitus)

2. Gangguan susunan darah (polycitemiavera, kadar fibrinogen tinggi , jumlah sel trombosit
tinggi, anemia)

3. Gangguan aliran darah ke otak (Penurunan aliran darah ke otak, peningkatan viskositas darah)

Klasifikasi Stroke

Berdasarkan etiologinya stroke diklasifikasikan menjadi stroke hemoragik dan stroke non
hemoragik.

Stroke Non Hemoragik

Secara non hemoragik, stroke dapat dibagi berdasarkan manifestasi klinik dan proses patologik:

a. Berdasarkan manifestasi klinik

1. Serangan Iskemik Sepintas Transient Ischemic Attack (TIA). Gejala neurologik yang timbul
akibat gangguan peredaran darah di otak akan menghilang dalam waktu 24 jam.

2. Defisit Neurologik Iskemik Sepintas Reversible Ischemic Neurological Deficit (RIND). Gejala
neurologik yang timbul akan menghilang dalam waktu lebih lama dari 24 jam, tapi tidak lebih
dari seminggu.

3. Stroke Progresif (Progressive Stroke/Stroke In Evaluation). Gejala neurologik makin lama


makin berat.

4. Stroke komplet (Completed Stroke/Permanent Stroke). Kelainan neurologik sudah menetap,


dan tidak berkembang lagi.

MODUL FISIOTERAPI KEGAWATDARURATAN T.A 2019/2020 Page 38


b. Berdasarkan Kausal:

1. Stroke Trombotik

Stroke trombotik terjadi karena adanya penggumpalan pada pembuluh darah di otak.
Trombotik dapat terjadi pada pembuluh darah yang besar dan pembuluh darah yang kecil. Pada
pembuluh darah besar trombotik terjadi akibat aterosklerosis yang diikuti oleh terbentuknya
gumpalan darah yang cepat. Selain itu, trombotik juga diakibatkan oleh tingginya kadar
kolesterol jahat atau Low Density Lipoprotein (LDL). Sedangkan pada pembuluh darah kecil,
trombotik terjadi karena aliran darah ke pembuluh darah arteri kecil terhalang. Ini terkait dengan
hipertensi dan merupakan indikator penyakit aterosklerosis.

2. Stroke Emboli/Non Trombotik

Stroke emboli terjadi karena adanya gumpalan dari jantung atau lapisan lemak yang
lepas. Sehingga, terjadi penyumbatan pembuluh darah yang mengakibatkan darah tidak bisa
mengaliri oksigen dan nutrisi ke otak.

Gejala Stroke Non Hemoragik

Gejala stroke non hemoragik yang timbul akibat gangguan peredaran darah di otak
bergantung pada berat ringannya gangguan pembuluh darah dan lokasi tempat gangguan
peredaran darah terjadi, maka gejala-gejala tersebut adalah:

a. Gejala akibat penyumbatan arteri karotis interna.

Buta mendadak (amaurosis fugaks), ketidakmampuan untuk berbicara atau mengerti bahasa lisan
(disfasia) bila gangguan terletak pada sisi dominan, kelumpuhan pada sisi tubuh yang
berlawanan (hemiparesis kontralateral) dan dapat disertai sindrom Horner pada sisi sumbatan.5,6

b. Gejala akibat penyumbatan arteri serebri anterior.

Hemiparesis kontralateral dengan kelumpuhan tungkai lebih menonjol, gangguan mental,


gangguan sensibilitas pada tungkai yang lumpuh, ketidakmampuan dalam mengendalikan buang
air, bisa terjadi kejang-kejang.

c. Gejala akibat penyumbatan arteri serebri media.

MODUL FISIOTERAPI KEGAWATDARURATAN T.A 2019/2020 Page 39


Bila sumbatan di pangkal arteri, terjadi kelumpuhan yang lebih ringan.Bila tidak di pangkal
maka lengan lebih menonjol, gangguan saraf perasa pada satu sisi tubuh, hilangnya kemampuan
dalam berbahasa (afasia).

d. Gejala akibat penyumbatan sistem vertebrobasilar.

Kelumpuhan di satu sampai keempat ekstremitas, gangguan dalam koordinasi gerakan tubuh,
gejala-gejala sereblum seperti gemetar pada tangan (tremor), kepala berputar (vertigo), disfagia,
disartria, kehilangan kesadaran sepintas (sinkop), penurunan kesadaran secara lengkap (stupor),
koma, pusing, gangguan daya ingat, kehilangan daya ingat terhadap lingkungan (disorientasi),
Gangguan penglihatan, seperti penglihatan ganda (diplopia), gerakan arah bola mata yang tidak
dikehendaki (nistagmus), penurunan kelopak mata (ptosis), kurangnya daya gerak mata,
kebutaan setengah lapang pandang pada belahan kanan atau kiri kedua mata (hemianopia
homonim).

e. Gejala akibat penyumbatan arteri serebri posterior

Koma, hemiparesis kontra lateral, ketidakmampuan membaca (aleksia), kelumpuhan saraf


kranialis ketiga, gejala akibat gangguan fungsi luhur.

Stroke Hemoragik

Klasifikasi Stroke Hemoragik Menurut WHO, dalam International Statistical


Classification of Diseases and Related Health Problem 10th Revision, stroke hemoragik dibagi
atas:

a. Perdarahan Intraserebral (PIS)

Perdarahan Intraserebral (PIS) adalah perdarahan yang primer berasal dari pembuluh darah
dalam parenkim otak dan bukan disebabkan oleh trauma. Perdarahan ini banyak disebabkan oleh
hipertensi, selain itu faktor penyebab lainnya adalah aneurisma kriptogenik, diskrasia darah,
penyakit darah seperti hemofilia, leukemia, trombositopenia, pemakaian antikoagulan
angiomatosa dalam otak, tumor otak yang tumbuh cepat, amiloidosis serebrovaskular. Gejala
yang sering djumpai pada perdarahan intraserebral adalah: nyeri kepala berat, mual, muntah dan

MODUL FISIOTERAPI KEGAWATDARURATAN T.A 2019/2020 Page 40


adanya darah di rongga subarakhnoid pada pemeriksaan pungsi lumbal merupakan gejala
penyerta yang khas. Serangan sering kali di siang hari, waktu beraktivitas dan saat emosi/marah.

Kesadaran biasanya menurun dan cepat masuk koma (65% terjadi kurang dari setengahjam, 23%
antara 1/2-2 jam, dan 12% terjadi setelah 3 jam).

b. Perdarahan Subarakhnoidal (PSA)

Perdarahan Subarakhnoidal (PSA) adalah keadaan terdapatnya/masuknya darah ke dalam


ruangan subarakhnoidal. Perdarahan ini terjadi karena pecahnya aneurisma (50%), pecahnya
malformasi arteriovena atau MAV (5%), berasal dari PIS (20%) dan 25% kausanya tidak
diketahui. Pada penderita PSA dijumpai gejala: nyeri kepala yang hebat, nyeri di leher dan
punggung, mual, muntah, fotofobia. Pada pemeriksaan fisik dapat dilakukan dengan pemeriksaan
kaku kuduk, Lasegue dan Kernig untuk mengetahui kondisi rangsangan selaput otak, jika terasa
nyeri maka telah terjadi gangguan pada fungsi saraf. Pada gangguan fungsi saraf otonom terjadi
demam setelah 24 jam. Bila berat, maka terjadi ulkus pepticum karena pemberian obat
antimuntah disertai peningkatan kadar gula darah, glukosuria, albuminuria, dan perubahan pada
EKG.

c. Perdarahan Subdural

Perdarahan subdural adalah perdarahan yang terjadi akibat robeknya vena jembatan (bridging
veins) yang menghubungkan vena di permukaan otak dan sinus venosus di dalam durameter atau
karena robeknya araknoidea. Pada penderita perdarahan subdural akan dijumpai gejala: nyeri
kepala, tajam penglihatan mundur akibat edema papil yang terjadi, tanda-tanda deficit neurologik
daerah otak yang tertekan. Gejala ini timbul berminggu-minggu hingga berbulan-bulan setelah
terjadinya trauma kepala.

Tabel 1. Perbedaan stroke hemoragik dan non hemoragik.

Stroke Hemoragik Stroke Non Hemoragik


Awitan Hiperakut Subakut
Kesadaran Koma Baik
Tensi Darah Hipertensi Normotensi

MODUL FISIOTERAPI KEGAWATDARURATAN T.A 2019/2020 Page 41


Muntah Ada Tidak ada
Kaku Kuduk Ada Tidak ada
Liquor Berdarah Normal
CT Scan Hiperdens Hipodens
Frekuensi Pertama kali Beberapa kali

Penanganan Stroke Prahospital

Deteksi

Pengenalan cepat dan reaksi terhadap tanda-tanda stroke dan TIA. Keluhan pertama
kebanyakan pasien (95%) mulai sejak di luar rumah sakit. Hal ini penting bagi masyarakat luas
(termasuk pasien dan orang terdekat dengan pasien) dan petugas kesehatan profesional (dokter
umum dan resepsionisnya , perawat penerima telpon, atau petugas gawat darurat) untuk
mengenal stroke dan perawatan kedaruratan. Tenaga medis atau dokter terlibat di unit gawat
darurat atau pada fasilitas prahospital harus mengerti tentang gejala stroke akut dan penanganan
pertama yang cepat dan benar. Pendidikan berkesinambungan perlu dilakukan terhadap
masyarakat tentang pengenalan atau deteksi dini stroke.7 Konsep time is brain berarti
pengobatan stroke merupakan keadaan gawat darurat. Jadi, keterlambatan pertolongan pada fase
prahospital harus dihindari dengan pengenalan keluhan dan gejala stroke bagi pasien dan orang
terdekat. Pada setiap kesempatan, pengetahuan mengenai keluhan stroke, terutama pada
kelompok resiko tinggi (hipertensi, atrial fibrilasi, kejadian vaskuler lain dan diabetes) perlu
disebarluaskan. Keterlambatan manajemen stroke akut dapat terjadi pada beberapa tingkat. Pada
tingkat populasi, hal ini dapat terjadi karena ketidaktahuan keluhan stroke dan kontak pelayanan
gawat darurat.

Beberapa gejala atau tanda yang mengarah kepada diagnosis stroke antara lain
hemiparesis, gangguan sensorik satu sisi tubuh, hemianopia atau buta mendadak, diplopia,
vertigo, afasia, disfagia, disatria, ataksia, kejang atau penurunan kesadaran yang kesemuanya
terjadi secara mendadak. Untuk memudahkan digunakan istilah FAST (Fasial movement, Arm
movement, Speech, Test all three). Tes ini sangat mudah. Bila ada anggota keluarga, rekan,
kerabat, atau tetangga yang dicurigai tekena stroke, dan menunjukkan hasil tes yang positif

MODUL FISIOTERAPI KEGAWATDARURATAN T.A 2019/2020 Page 42


segeralah minta pertolongan medis. Tindakan yang tepat dan cepat diharapkan akan
membuahkan hasil yang lebih baik pula.

FAST TEST

FACIAL PALSY O YES O NO O ?

OLOR

ARM WEAKNESS O YES O NO O ?

OLOR

SPEECH IMPAIREMENT O YES O NO O ?

FAST merupakan suatu metode deteksi dini pasien stroke yang bisa dilakukan secara
cepat. FAST terdiri dari Facial Movement, Arm movement dan Speech. 8 Facial movement
merupakan penilaian pada otot wajah, pemeriksaan ini dilakukan dengan tahapan sebagai
berikut7 :

a) Minta pasien untuk tersenyum atau menunjukkan giginya.

b) Amati simetrisitas dari bibir pasien, tandai pilihan ―YES‖ bila terlihat ada deviasi dari sudut
mulut saat diam atau saat tersenyum.

c) Kemudian identifikasi sisi sebelah mana yang tertinggal atau tampak tertarik, lalu tandai
apakah di sebelah kiri ―L‖ atau sebelah kanan ―R‖

Arm movement merupakan penilaian pergerakan lengan untuk menentukan apakah terdapat
kelemahan pada ekstremitas, pemeriksaannya dilakukan dengan tahapan berikut :

a) Angkat kedua lengan atas pasien bersamaan dengan sudut 90o bila pasien duduk dan 45o bila
pasien terlentang. Minta pasien untuk menahannya selama 5 detik.

b) Amati apakah ada lengan yang lebih dulu terjatuh dibandingkan lengan lainnya

MODUL FISIOTERAPI KEGAWATDARURATAN T.A 2019/2020 Page 43


c) Jika ada tandai lengan yang terjatuh tersebut sebelah kiri atau kanan. Speech merupakan
penilaian bicara yang meliputi cara dan kualitas bicara. Pemeriksaannya dilakukan dengan
tahapan berikut :

a) Perhatikan jika pasien berusaha untuk mengucapkan sesuatu

b) Nilai apakah ada Gangguan dalam berbicara

c) Dengarkan apakah ada suara pelo

d) Dengarkan apakah ada kesulitan untuk mengungkapkan atau menemukan katakata. Hal ini
bias dikonfirmasi dengan meminta pasien untuk menyebutkan benda-benda yang terdapat di
sekitar, seperti pulpen, gelas, piring dan lain-lain.

e) Apabila terdapat gangguang penglihatan, letakkan barang tersebut di tangan pasien dan minta
pasien menyebutkan nama benda tersebut.

Pengiriman pasien

Bila seseorang dicurigai terkena serangan stroke, maka segera panggil ambulans gawat
darurat. Ambulans gawat darurat sangat berperan penting dalam pengiriman pasien ke fasilitas
yang tepat untuk penanganan stroke. Semua tindakan dalam ambulansi pasien hendaknya
berpedoman kepada protokol. Staff ambulans berperan dalam menilai apakah pasien dicurigai
menglami stroke akut dengan mengevaluasi melalui metode FAST dan jika pemeriksaannya
positif, segera menghubungi personel di pusat control ambulans di rumah sakit. Personel tersebut
yang kemudian menghubungi petugas unit gawat darurat untuk menyediakan tempat dalam
penanganan lebih lanjut.

Transportasi / ambulans

Utamakan transportasi (termasuk transportasi udara) untuk pengiriman pasien ke rumah


sakit yang dituju. Petugas ambulans gawat darurat harus mempunyai kompetensi dalam penilaian
pasien stroke pra rumah sakit. Fasilitas ideal yang harus ada dalam ambulans yaitu personil yang
terlatih, mesin EKG, peralatan dan obat-obatan resusitasi dan gawat darurat, obat-obat
neuroprotektan, telemedisin, ambulans yang dilengkapidengan peralatan gawat darurat, antara

MODUL FISIOTERAPI KEGAWATDARURATAN T.A 2019/2020 Page 44


lain, pemeriksaan glukosa (glukometer), kadar saturasi O2 (pulse oximeter).8 Personil pada
ambulans gawat darurat yang terlatih mampu mengerjakan :

a. Memeriksa dan menilai tanda-tanda vital

b. Tindakan stabilitas dan resusitasi (Airway Breathing Circulation / ABC). Intubasi perlu
dipertimbangkan pada pasien dengan koma yang dalam, hipoventilasi, dan aspirasi.

c. Bila kardiopulmuner stabil, pasien diposisikan setengah duduk

d. Memeriksa dan menilai gejala dan tanda stroke.

e. Pemasangan kateter intravena, memantau tanda-tanda vital dan keadaan jantung

f. Berikan oksigen untuk menjamin saturasi > 95%

g. Memeriksa kadar gula darah

h. Menghubungi unit gawat darurat secepatnya (stroke is emergency)

i. Transportasi secepatnya (time is brain)

Beberapa hal yang harus diperhatikan oleh petugas pelayan ambulans :

a. Jangan terlambat membawa ke rumah sakit yang tepat.

b. Jangan memberikan cairan berlebihan kecuali pada pasien syok dan hipotensi

c. Hindari pemberian cairan glukosa / dekstrose kecuali pada pasien hipoglikemia

d. Jangan menurunkan tekanan darah kecuali pada kondisi khusus. Hindari hipotensi,
hipoventilasi, atau anoksia.

e. Catat waktu onset serangan.

Kriteria Pusat Pelayanan Stroke Primer meliputi ketersediaan CT Scan, ketersediaan


terapi t-PA, ketersediaan dokter spesialis saraf, Door to CT time kurang dari 20 menit, melayani
cakupan masyarakat sekitar yang terdekat dengan pusat pelayanan stroke primer. Kriteria pusat
pelayanan stroke komprehensif meliputi ketersediaan CT Scan, ketersediaan terapi t-PA,

MODUL FISIOTERAPI KEGAWATDARURATAN T.A 2019/2020 Page 45


ketersediaan dokter spesialis saraf, ketersediaan dokter spesialis bedah saraf, tim
penanggulanagan stroke on site, Door to CT time kurang dari 20 menit, pusat rujukan dari pusat
pelayanan stroke primer.

Gambar 1. Algoritma prinsip pelayanan dan cakupan penanganan stroke prehospital

dan penanganan kegawat daruratan

RINGKASAN

Stroke merupakan suatu kegawatdaruratan medis yang memerlukan penanganan yang


cepat untuk mencegah terjadinya kematian dan kecacatan. Untuk dapat memberikan penanganan
yang cepat dan tepat pada orang yang terserang stroke, waktu adalah hal yang utama. Semakin
lama penanganan stroke ditunda semakin berat kerusakan otak yang akan muncul. Karena itulah
pengenalan awal gejala stroke, demi mempercepat proses rujukan dan pengantaran pasien ke
rumah sakit menjadi hal yang sangat penting di dalam penanganan stroke.

MODUL FISIOTERAPI KEGAWATDARURATAN T.A 2019/2020 Page 46


Salah satu cara yang mudah digunakan adalah metode FAST. Metoda FAST, yakni
mengetahui adanya gejala gangguan pada otot wajah, kelemahan anggota gerak dan adanya
gangguan bicara, memberikan cara pengenalan gejala awal stroke yang mudah untuk dimengerti
dan diaplikasikan oleh masyarakat. Dengan ini diharapkan masyarakat cepat dan tanggap akan
adanya gejala stroke dan cepat membawa penderita ke pusat rujukan terdekat atau segera
menghubungi ambulans. Hal lain yang tidak boleh terlupakan adalah pengadaan fasilitas
ambulan standar untuk penanganan stroke serta petugasnya yang terlatih dalam pemberian
pertolongan pertama pada kegawatdaruratan medis juga sangat diperlukan untuk penanganan
awal di tingkat prehospital dalam penanganan stroke dan diharapkan semakin banyak waktu
yang dapat dihemat, semakin banyak sel otak yang dapat diselamatkan.

MODUL FISIOTERAPI KEGAWATDARURATAN T.A 2019/2020 Page 47


Materi IV

BANTUAN HIDUP DASAR ( BHD )


INDIKASI

1. Henti napas

Henti napas ditandai dengan tidak adanya gerakan dada dan aliran udara pernapasan dari
korban/pasien. Henti napas merupakan kasus yang harus dilakukan tindakan Bantuan Hidup
Dasar. Henti napas dapat terjadi pada keadaan:

• Tenggelam
• Stroke
• Obstruksi jalan napas
• Epiglotitis
• Overdosis obat-obatan
• Tersengat listrik
• Infark miokard
• Tersambar petir
• Koma akibat berbagai macam kasus.
Pada awal henti napas oksigen masih dapat masuk kedalam darah untuk beberapa menit
dan jantung masih dapat mensirkulasikan darah ke otak dan organ vital lainnya, jika pada
keadaan ini diberikan bantuan napas akan sangat bermanfaat agar korban dapat tetap hidup dan
mencegah henti jantung.

2. Henti jantug

Pada saat terjadi henti jantung, secara langsung akan terjadi henti sirkulasi. Henti
sirkulasi ini akan dengan cepat menyebabkan otak dan organ vital kekurangan oksigen.
Pernapasan yang terganggu (tersengal-sengal) merupakan tanda awal akan terjadinya henti
jantung. Bantuan hidup dasar merupakan bagian dari pengelolaan gawat darurat medik yang
bertujuan:

1. Mencegah berhentinya sirkulasi atau berhentinya respirasi.

MODUL FISIOTERAPI KEGAWATDARURATAN T.A 2019/2020 Page 48


2. Memberikan bantuan eksternal terhadap sirkulasi dan ventilasi dari korban yang
mengalami henti jantung atau henti napas melalui Resusitasi Jantung Paru (RJP).
Resusitasi jantung Paru terdiri dari 2 tahap, yaitu :

• Survei Primer (Primary Survey), yang dapat dilakukan oleh setiap orang
• Survei Sekunder (Secondary Survey), yang hanya dapat dilakukan oleh tenaga medis
dan paramedis terlatih dan merupakan lanjutan dari survei primer.
SURVEI PRIMER

Dalam survei primer difokuskan pada bantuan napas dan bantuan sirkulasi serta
defibrilasi. Untuk dapat mengingat dengan mudah tindakan survei primer dirumuskan
dengan abjad C, A, B, dan D, (AHA 2010) yaitu :

C circulation (sirkulasi)
A airway (jalan napas)
B breathing (bantuan napas)
D defibrilation (terapi listrik)
Sebelum melakukan tahapan A (airway), harus terlebih dahulu dilakukan prosedur
awal pada korban/pasien, yaitu :
1. Memastikan keamanan lingkungan bagi penolong
2. Memastikan kesadaran dari korban/pasien.
Untuk memastikan korban dalam keadaan sadar atau tidak penolong harus melakukan
upaya agar dapat memastikan kesadaran korban/pasien, dapat dengan cara menyentuh atau
menggoyangkan bahu korban/pasien dengan lembut dan mantap untuk mencegah pergerakan
yang berlebihan, sambil memanggil namanya atau Pak !!! / Bu!!! / Mas!!! /Mbak !!!.
1. Meminta pertolongan.
Jika ternyata korban/pasien tidak memberikan respon terhadap panggilan, segera minta
bantuan dengan cara berteriak “Tolong !!!” untuk mengaktifkan sistem pelayanan medis yang
lebih lanjut.
2. Memperbaiki posisi korban/pasien.
Untuk melakukan tindakan BHD yang efektif, korban/pasien harus dalam posisi
terlentang dan berada pada permukaan yang rata dan keras. jika korban ditemukan dalam posisi
miring atau tengkurap, ubahlah posisi korban ke posisi terlentang.Ingat! penolong harus
membalikkan korban sebagai satu kesatuan antara kepala, leher dan bahu digerakkan secara
bersama-sama. Jika posisi sudah terlentang, korban harus dipertahankan pada posisi horisontal
dengan alas tidur yang keras dan kedua tangan diletakkan di samping tubuh.
MODUL FISIOTERAPI KEGAWATDARURATAN T.A 2019/2020 Page 49
3. Mengatur posisi penolong.
Segera berlutut sejajar dengan bahu korban agar saat memberikan bantuan napas dan
sirkulasi, penolong tidak perlu mengubah posisi atau menggerakkan lutut.

C (CIRCULATION) tahap I (Periksa sirkulasi)


1. Memastikan ada tidaknya denyut jantung korban/pasien.
Ada tidaknya denyut jantung korban/pasien dapat ditentukan dengan meraba arteri karotis
di daerah leher korban/ pasien, dengan dua atau tiga jari tangan (jari telunjuk dan tengah)
penolong dapat meraba pertengahan leher sehingga teraba trakhea, kemudian kedua jari digeser
ke bagian sisi kanan atau kiri kira-kira 1 – 2 cm raba dengan lembut selama 5 – 10 detik.

Jika teraba denyutan nadi, penolong harus kembali memeriksa pernapasan korban dengan
melakukan manuver tengadah kepala topang dagu untuk menilai pernapasan korban/pasien. Jika
tidak bernapas lakukan bantuan pernapasan, dan jika bernapas pertahankan jalan napas.

A (AIRWAY) Jalan Napas


Setelah selesai melakukan prosedur dasar, kemudian dilanjutkan dengan melakukkan tindakan :

1. Pemeriksaan jalan napas.

Tindakan ini bertujuan untuk mengetahui ada tidaknya sumbatan jalan napas oleh benda
asing. Jika terdapat sumbatan harus dibersihkan dahulu, kalau sumbatan berupa cairan dapat
dibersihkan dengan jari telunjuk atau jari tengah yang dilapisi dengan sepotong kain, sedangkan
sumbatan oleh benda keras dapat dikorek dengan menggunakan jari telunjuk yang dibengkokkan.
Mulut dapat dibuka dengan tehnikCross Finger, dimana ibu jari diletakkan berlawanan dengan
jari telunjuk Pada mulut korban.

2. . Membuka jalan napas.


Setelah jalan napas dipastikan bebas dari sumbatan benda asing, biasa pada korban tidak
sadar tonus otot-otot menghilang, maka lidah dan epiglotis akan menutup farink dan larink,
inilah salah satu penyebab sumbatan jalan napas. Pembebasan jalan napas oleh lidah dapat
dilakukan dengan cara Tengadah kepala topang dagu(Head tild – chin lift) dan Manuver
Pendorongan Mandibula. Teknik membuka jalan napas yang direkomendasikan untuk orang
awam dan petugas, kesehatan adalah tengadah kepala topang dagu, namun demikian petugas
kesehatan harus dapat melakukan manuver lainnya.

MODUL FISIOTERAPI KEGAWATDARURATAN T.A 2019/2020 Page 50


B (BREATHING) Bantuan napas
Terdiri dari 2 tahap :

1. Memastikan korban/pasien tidak bernapas.


Dengan cara melihat pergerakan naik turunnva dada, mendengar bunyi napas dan
merasakan hembusan napas korban/pasien. Untuk itu penolong harus mendekatkan telinga di
atas mulut dan hidung korban/pasien, sambil tetap mempertahankan jalan napas tetap terbuka.
Prosedur ini dilakukan tidak boleh melebihi 10 detik.

2. Memberikan bantuan napas.


Jika korban/pasien tidak bernapas, bantuan napas dapat dilakukkan melalui mulut ke
mulut, mulut ke hidung atau mulut ke stoma (lubang yang dibuat pada tenggorokan) dengan cara
memberikan hembusan napas sebanyak 2 kali hembusan, waktu yang dibutuhkan untuk tiap kali
hembusan adalah 1,5 – 2 detik dan volume udara yang dihembuskan adalah 7000 – 1000 ml (10
ml/kg) atau sampai dada korban/pasien terlihat mengembang. Penolong harus menarik napas
dalam pada saat akan menghembuskan napas agar tercapai volume udara yang cukup.
Konsentrasi oksigen yang dapat diberikan hanya 16 – 17%. Penolong juga harus memperhatikan
respon dari korban/pasien setelah diberikan bantuan napas.

Cara memberikan bantuan pernapasan :

• Mulut ke mulut
Bantuan pernapasan dengan menggunakan cara ini merupakan cara yang tepat dan efektif
untuk memberikan udara ke paru-paru korban/pasien. Pada saat dilakukan hembusan napas dari
mulut ke mulut, penolong harus mengambil napas dalam terlebih dahulu dan mulut penolong
harus dapat menutup seluruhnya mulut korban dengan baik agar tidak terjadi kebocoran saat
mengghembuskan napas dan juga penolong harus menutup lubang hidung korban/pasien dengan
ibu jari dan jari telunjuk untuk mencegah udara keluar kembali dari hidung. Volume udara yang
diberikan pada kebanyakkan orang dewasa adalah 700 – 1000 ml (10 ml/kg). Volume udara yang
berlebihan dan laju inpirasi yang terlalu cepat dapat menyebabkan udara memasuki lambung,
sehingga terjadi distensi lambung.

• Mulut ke hidung
Teknik ini direkomendasikan jika usaha ventilasi dari mulut korban tidak
memungkinkan, misalnya pada Trismus atau dimana mulut korban mengalami luka yang berat,
dan sebaliknya jika melalui mulut ke hidung, penolong harus menutup mulut korban/pasien.
MODUL FISIOTERAPI KEGAWATDARURATAN T.A 2019/2020 Page 51
• Mulut ke Stoma
Pasien yang mengalami laringotomi mempunyai lubang (stoma) yang menghubungkan
trakhea langsung ke kulit. Bila pasien mengalami kesulitan pernapasan maka harus dilakukan
ventilasi dari mulut ke stoma.

C (Circulation) tahap II (Bantuan sirkulasi atau Resusitasi Jantung Paru)


1. Memberikan bantuan sirkulasi.
Jika telah dipastikan tidak ada denyut jantung, selanjutnya dapat diberikan bantuan
sirkulasi atau yang disebut dengan kompresi jantung luar, dilakukan dengan teknik sebagai
berikut :

• Dengan jari telunjuk dan jari tengah penolong menelusuri tulang iga kanan atau kiri
sehingga bertemu dengan tulang dada (sternum).
• Dari pertemuan tulang iga (tulang sternum) diukur kurang lebih 2 atau 3 jari ke atas.
Daerah tersebut merupakan tempat untuk meletakan tangan penolong dalam
memberikan bantuan sirkulasi.
• Letakkan kedua tangan pada posisi tadi dengan cara menumpuk satu telapak tangan di
atas telapak tangan yang lainnya, hindari jari-jari tangan menyentuh dinding dada
korban/pasien, jari-jari tangan dapat diluruskan atau menyilang.
• Dengan posisi badan tegak lurus, penolong menekan dinding dada korban dengan tenaga
dari berat badannya secara teratur sebanyak 15 kali dengan kedalaman penekanan
berkisar antara 1.5 – 2 inci (3,8 – 5 cm).
• Tekanan pada dada harus dilepaskan keseluruhannya dan dada dibiarkan
mengembang kembali ke posisi semula setiap kali melakukan kompresi dada. Selang
waktu yang dipergunakan untuk melepaskan kompresi harus sama dengan pada saat
melakukan kompresi. (50% Duty Cycle).
• Tangan tidak boleh lepas dari permukaan dada dan atau merubah posisi tangan pada
saat melepaskan kompresi.
• Rasio bantuan sirkulasi dan pemberian napas adalah 15 : 2, dilakukan baik oleh 1 atau
2 penolong jika korban/pasien tidak terintubasi dan kecepatan kompresi adalah 100 kali
permenit (dilakukan 4 siklus permenit), untuk kemudian dinilai apakah perlu dilakukan
siklus berikutnya atau tidak.

Tindakan kompresi yang benar hanya akan mencapai tekanan sistolik 60 – 80 mmHg, dan
diastolik yang sangat rendah, sedangkan curah jantung (cardiac output) hanya 25% dari curah

MODUL FISIOTERAPI KEGAWATDARURATAN T.A 2019/2020 Page 52


jantung normal. Selang waktu mulai dari menemukan pasien dan dilakukan prosedur dasar
sampai dilakukannya tindakan bantuan sirkulasi (kompresi dada) tidak boleh melebihi 30 detik.

D (DEFIBRILATION)
Defibrilation atau dalam bahasa Indonesia diterjemahkan dengan istilah defibrilasi adalah
suatu terapi dengan memberikan energi listrik. Hal ini dilakukan jika penyebab henti jantung
(cardiac arrest) adalah kelainan irama jantung yang disebut dengan Fibrilasi Ventrikel. Dimasa
sekarang ini sudah tersedia alat untuk defibrilasi (defibrilator) yang dapat digunakan oleh orang
awam yang disebut Automatic External Defibrilation, dimana alat tersebut dapat mengetahui
korban henti jantung ini harus dilakukan defibrilasi atau tidak, jika perlu dilakukan defibrilasi
alat tersebut dapat memberikan tanda kepada penolong untuk melakukan defibrilasi atau
melanjutkan bantuan napas dan bantuan sirkulasi saja.

MELAKUKAN BHD 1 DAN 2 PENOLONG


Orang awam hanya mempelajari cara melakukan BHD 1 penolong. Teknik BHD yang
dilakukan oleh 2 penolong menyebabkan kebingungan koordinasi. BHD 1 penolong pada orang
awam lebih efektif mempertahankan sirkulasi dan ventilasi yang adekuat, tetapi konsekuensinya
akan menyebabkan penolong cepat lelah.

BHD 1 penolong dapat mengikuti urutan sebagai berikut :

1. Penilaian korban
Tentukan kesadaran korban/pasien (sentuh dan goyangkan korban dengan lembut
dan mantap), jika tidak sadar, maka

a. Minta pertolongan serta aktifkan sistem emergensi.


b. Periksa Nadi (Circulation)
c. Jalan napas (AIRWAY)
d. Posisikan korban/pasien
e. Buka jalan napas dengan manuver tengadah kepala-topang dagu.
f. Pernapasan (BREATHING)
Nilai pernapasan untuk melihat ada tidaknya pernapasan dan adekuat atau tidak
pernapasan korban/pasien. Jika korban/pasien dewasa tidak sadar dengan napas spontan, serta
tidak ada trauma leher (trauma tulang belakang) posisikan korban pada posisi mantap (Recovery
positiotion), dengan tetap menjaga jalan napas tetap terbuka. Jika korban/pasien dewasa tidak
sadar dan tidak bernapas, lakukkan bantuan napas. Di Amerika serikat dan di negara lainnya
MODUL FISIOTERAPI KEGAWATDARURATAN T.A 2019/2020 Page 53
dilakukan bantuan napas awal sebanyak 2 kali, sedangkandi Eropa,Australia,New
Zealanddiberikan 5 kali. Jika pemberian napas awal terdapat kesulitan, dapat dicoba dengan
membetulkan posisi kepala korban/pasien, atau ternyata tidak bisa juga maka dilakukan :

a. Untuk orang awam dapat dilanjutkan dengan kompresi dada sebanyak 15 kali dan 2 kali
ventilasi, setiap kali membuka jalan napas untuk menghembuskan napas, sambil mencari
benda yang menyumbat di jalan napas, jika terlihat usahakan dikeluarkan.
b. Untuk petugas kesehatan yang terlatih dilakukan manajemen obstruksi jalan napas oleh
benda asing. Pastikan dada pasien mengembang pada saat diberikan bantuan pernapasan.
c. Setelah memberikan napas 12 kali (1 menit), nilai kembali tanda-tanda adanya sirkulasi
dengan meraba arteri karotis, bila nadi ada cek napas, jika tidak bernapas lanjutkan
kembali bantuan napas.
2. Sirkulasi (CIRCULATION)

Periksa tanda-tanda adanya sirkulasi setelah memberikan 2 kali bantuan pernapasan


dengan cara melihat ada tidaknva pernapasan spontan, batuk atau pergerakan. Untuk petugas
kesehatan terlatih hendaknya memeriksa denyut nadi pada arteri Karotis.

a. jika ada tanda-tanda sirkulasi, dan ada denyut nadi tidak dilakukan kompresi dada, hanya
menilai pernapasan korban/pasien (ada atau tidak ada pernapasan)
b. Jika tidak ada tanda-tanda sirkulasi, denvut nadi tidak ada lakukan kompresi dada
• Letakkan telapak tangan pada posisi yang benar
• Lakukan kompresi dada sebanyak 15 kali dengan kecepatan 100 kali permenit
• Buka jalan napas dan berikan 2 kali bantuan pernapasan.
• Letakkan kembali telapak tangan pada posisi yang tepat dan mulai kembali
kompresi 15 kali dengan kecepatan 100 kali permenit.
• Lakukan 4 siklus secara lengkap (15 kompresi dan 2 kali bantuan pernapasan
• Penilaian Ulang
Sesudah 4 siklus ventilasi dan kompresi kemudian korban dievaluasi kembali, Jika tidak
ada nadi dilakukan kembali kompresi dan bantuan napas dengan rasio 15 : 2 Jika ada napas dan
denyut nadi teraba letakkan korban pada posisi mantap Jika tidak ada napas tetapi nadi teraba,
berikan bantuan napas sebanyak 10-12 kali permenit dan monitor nadi setiap saat. Jika sudah
terdapat pernapasan spontan dan adekuat serta nadi teraba, jaga agar jalan napas tetap terbuka
kemudian korban/pasien ditidurkan pada posisi sisi mantap.

PENATALAKSANAAN OBSTRUKSI JALAN NAPAS OLEH BENDA ASING .


MODUL FISIOTERAPI KEGAWATDARURATAN T.A 2019/2020 Page 54
Pengertian obstruksi jalan napas oleh benda asing :

Obstruksi jalan napas oleh benda asing pada orang dewasa sering terjadi pada saat
makan, daging merupakan penyebab utama obstruksi jalan napas meskipun demikian berbagai
macam bentuk makanan yang lain berpotensi menyumbat jalan napas pada anak-anak dan orang
dewasa.

Benda asing tersebut dapat menyebabkan obstruksi jalan napas sebagian (parsial) atau
komplit (total). Pada obstruksi jalan napas partial korban mungkin masih mampu melakukan
pernapasan, namun kualitas pernapasan dapat baik atau buruk. Pada korban dengan pernapasan
yang masih baik, korban biasanya masih dapat melakukan tindakan batuk dengan kuat, usahakan
agar korban tetap bisa melakukan batuk dengan kuat sampai benda asing tersebut dapat keluar.
Bila sumbatan jalan napas partial menetap, maka aktifkan sistem pelayanan medik darurat.
Obstruksi jalan napas partial dengan pernapasan yang buruk harus diperlakukan sebagai
Obstruksi jalan napas komplit.

Obstruksi jalan napas komplit (total), korban biasanya tidak dapat berbicara, bernapas,
atau batuk. Biasanya korban memegang lehernya diantara ibu jari dan jari lainya. Saturasi
oksigen akan dengan cepat menurun dan otak akan mengalami kekurangan oksigen sehingga
menyebabkan kehilangan kesadaran, dan kematian akan cepat terjadi jika tidak diambil tindakan
segera.

Penatalaksanaan obstruksi jalan napas oleh benda asing:

1. Manuver Heimlich

Untuk mengatasi obstruksi jalan napas oleh benda asing dapat dilakukan manuver
Heimlich (hentakan subdiafragmaabdomen). Suatu hentakan yang menyebabkan peningkatan
tekanan pada diafragma sehingga memaksa udara yang ada di dalam paru-paru untuk keluar
dengan cepat sehingga diharapkan dapat mendorong atau mengeluarkan benda asing yang
menyumbat jalan napas. Setiap hentakan harus diberikan dengan tujuan menghilangkan
obstruksi, mungkin dibutuhkan hentakan 6 – 10 kali untuk membersihkan jalan napas.
Pertimbangan penting dalam melakukan manuver Heimlichi adalah kemungkinan kerusakan
pada organ-organ besar.

2. Manuver Heimlich pada korban sadar dengan posisi berdiri atau duduk
MODUL FISIOTERAPI KEGAWATDARURATAN T.A 2019/2020 Page 55
Penolong harus berdiri di belakang korban, melingkari pinggang korban dengan kedua
lengan, kemudian kepalkan satu tangan dan letakkan sisi jempol tangan kepalan pada perut
korban, sedikit di atas pusar dan di bawah ujung tulang sternum. Pegang erat kepalan tangan
dengan tangan lainnya, Tekan kepalan ke perut dengan hentakan yang cepat ke arah atas. Setiap
hentakan harus terpisah dan dengan gerakan yang jelas.

3. Manuver Heimlich pada korban yang tergeletak (tidak sadar)


Korban harus diletakkan pada posisi terlentang dengan muka keatas. Penolong berlutut
disisi paha korban. Letakkan salah satu tangan pada perut korban di garis tengah sedikit di atas
pusat dan jauh dibawah ujung tulang sternum, tangan kedua diletakkan diatas tangan pertama.
Penolong menekan kearah perut dengan hentakan yang cepat kearah atas. Manuver ini dapat
dilakukan pada korban sadar jika penolongnya terlampau pendek untuk memeluk pinggang
korban.

4. Manuver Heimlich pada yang dilakukan sendiri :


Pengobatan diri sendiri terhadap obstruksi jalan napas. Kepalkan sebuah tangan, letakkan
sisi ibu jari pada perut diatas pusat dan dibawah tulang sternum, genggam kepalan itu dengan
kuat dan berikan tekanan ke atas ke arah diafragma dengan gerakan cepat, jika tidak berhasil
dapat dilakukan tindakan dengan menekan perut pada tepi meja atau belakang kursi.

5. Penyapuan jari

Manuver ini hanya dilakukan atau digunakan pada korban tidak sadar, dengan muka
menghadap keatas buka mulut korban dengan memegang lidah dan rahang diantara ibu jari dan
jari-jarinya, kemudian mengangkat rahang bawah. Tindakan ini akan menjauhkan lidah dari
kerongkongan serta menjauhkan benda asing yang mungkin menyangkut ditempat tersebut.
Masukkan jari telunjuk tangan lain menelusuri bagian dalam pipi, jauh ke dalam kerongkongan
di bagian dasar lidah, kemudian lakukan gerakan mengait untuk melepaskan benda asing serta
menggerakkan benda asing tersebut ke dalam mulut sehingga memudahkan untuk diambil. Hati-
hati agar tidak mendorong benda asing lebih jauh kedalam jalan napas.

PENATALAKSANAAN JALAN NAPAS

1. Mengenali adanya sumbatan jalan napas


Penyebab utama jalan napas pada pasien tidak sadar adalah hilangnya tonus otot
tenggorokan sehingga pangkal lidah jatuh menyumbat farink dan epiglotis menutup larink. Bila
MODUL FISIOTERAPI KEGAWATDARURATAN T.A 2019/2020 Page 56
pasien masih bernapas sumbatan partial menyebabkan bunyi napas saat inspirasi bertambah
(stridor), sianosis (tanda lanjut) dan retraksi otot napas tambahan. Tanda ini akan hilang pada
pasien yang tidak bernapas.

2. Tahap dasar membuka jalan napas tanpa alat


Tengadahkan kepala pasien disertai dengan mengangkat rahang bawah ke depan. Bila ada
dugaan cedera pada leher lakukan pengangkatan rahang bawah ke depan disertai dengan
membuka rahang bawah (Jaw thrust), jangan lakukan ekstensi kepala. Apabila pasien masih
bernapas spontan, untuk menjaga jalan napas tetap terbuka posisikan kepala pada kedudukan
yang tepat. Pada keadaan yang meragukan untuk mempertahankan jalan napas pasanglah
oral/nasal airway.

3. Tahap dasar membuka jalan napas dengan alat


Apabila manipulasi posisi kepala tidak dapat membebaskan jalan napas akibat sumbatan
oleh pangkal lidah atau epiglotis maka lakukan pemasangan alat bantu jalan napas oral/nasal.
Sumbatan oleh benda asing diatasi dengan perasat Heimlich atau laringoskopi disertai dengan
pengisapan atau menjepit dan menarik keluar benda asing yang terlihat.

4. Alat bantu jalan napas orofaring (oropharyngeal airway)


Alat bantu jalan napas orofaring menahan pangkal lidah dari dinding belakang faring.
Alat ini berguna pada pasien yang masih bernapas spontan atau saat dilakukan ventilasi dengan
sungkup dan bagging dimana tanpa disadari penolong menekan dagu ke bawah sehingga jalan
napas tersumbat. Alat ini juga membantu saat dilakukan pengisapan lendir dan mencegah pasien
mengigit pipa endotrakheal (ETT).

Cara pemasangan

• Bersihkan mulut dan faring dari segala kotoran


• Masukan alat dengan ujung mengarah ke chefalad
• Saat didorong masuk mendekati dinding belakang faring alat diputar 180°
• Ukuran alat dan penempatan yang tepat menghasilkan bunyi napas yang nyaring
pada auskultasi paru saat dilakukan ventilasi
• Pertahankan posisi kepala yang tepat setelah alat terpasang
Bahaya

MODUL FISIOTERAPI KEGAWATDARURATAN T.A 2019/2020 Page 57


• Cara pemasangan yang tidak tepat dapat mendorong lidah ke belakang atau apabila ukuran
terlampau panjang epiglotis akan tertekan menutup rimaglotis sehingga jalan napas
tersumbat
• Hindarkan terjepitnya lidah dan bibir antara gigi dan alat
• Jangan gunakan alat ini pada pasien dimana refleks faring masih ada karena
dapat menyebabkan muntah dan spasme laring
5. Alat bantu napas nasofaring (nasopharyngeal airway)
Alat ini berbentuk pipa polos terbuat dari karet atau plastik. Biasanya digunakan pada
pasien yang menolak menggunakan alat bantu jalan napas orofaring atau apabila secara tehnis
tidak mungkin. memasang alat bantu jalan napas orofaring (misalnya trismus, rahang mengatup
kuat dan cedera berat daerah mulut).

Cara pernasangan

• Pilih alat dengan ukurang yang tepat, lumasi dan masukkan menyusuri bagian tengah
dan dasar rongga hidung hingga mencapai daerah belakang lidah
• Apabila ada tahanan dengan dorongan ringan alat diputar sedikit.
Bahaya

• Alat vang terlalu panjang dapat masuk oesophagus dengan secgala akibatnya
• Alat ini dapat merangsang, muntah dan spasme laring
• Dapat menyebabkan perdarahan akibat kerusakan mukosa akibat pernasangan, oleh
sebab itu alat penghisap harus selalu siap saat pernasangan.
Ingat !!

• Selalu periksa apakah napas spontan timbul setelah pemasangan alat ini.
• Apabila tidak ada napas spontan lakukan napas buatan dengan alat bantu napas yang
memadai.
• Bila tidak ada alat bantu napas yang memadai lakukan pernapasan dari mulut ke mulut
6. Pernapasan buatan

Pernapasan mulut ke mulut dan mulut ke hidung. Cara ini merupakan tehnik dasar
bantuan napas. Upayakan memakai pelindung (barrier) antara mulut penolong dengan pasien
berupa lembar plastik/silikon berlubang ditengah atau memakai sungkup, sungkup khusus ini
dikenal dengan nama Pocketfacemask. Keterbatasan cara ini adalah konsentrasi oksigen
ekspirasi penolong rendah (16-17%).
MODUL FISIOTERAPI KEGAWATDARURATAN T.A 2019/2020 Page 58
Pernapasan mulut ke sungkup muka (pocket facemask). Memegang sungkup dengan
tepat memerlukan latihan dan konsentrasi, akan tetapi alat ini merupakan alat bantu efektif untuk
napas buatan. Sungkup muka ini memiliki beberapa ukuran, bening untuk memudahkan melihat
adanya regurgitasi dan memiliki lubang masuk untuk oksigen tambahan. Keuntungan dari
penggunaan sungkup muka ini adalah mencegah kontak langsung dengan pasien dan dapat
memberikan oksigen tambahan

Cara melakukan

Bila memungkinkan lakukan dengan dua penolong, posisi dan urutan tindakan sama
seperti tanpa menggunakan sungkup, kecuali pada tehnik ini digunakan sungkup sebagai
pelindung, Jadi diperlukan keterampilan memegang sungkup. Dengan dua penolong seorang
melakukan kompresi dada dan yang lain melakukan napas buatan. Bila tersedia berikan oksigen
tambahan dengan aliran 10 liter/menit (FiO2 =50%) dan 15 liter/menit (FiO2=80%). Bila tidak
ada penolakan pasang alat bantu jalan napas orofaring. Tengadahkan kepala dan pasang sungkup
pada mulut dan hidung pasien dengan cara ibu jari dan telunjuk kedua tangan menekan sungkup
sedangkan tiga jari kedua tangan menarik mandibula sambil tetap mempertahankan kepala dalam
posisi tengadah, sehingga tidak terjadi kebocoran. Berikan tiupan melalui lubang sungkup sambil
memperhatikan gerakan dada, tiup dengan lambat dan mantap dengan lama inspirasi 1-2 detik.
Pada pasien dengan henti jantung dengan jalan napas belum terlindungi lakukan 2 ventilasi
setiap 15 kompresi dada. Apabila jalan napas terlindungi (misalnya sudah terpasang ETT,
Laringeal Mask Airwayatau Combitube) lakukan kompresi 100 kali/menit dengan ventilasi
dilakukan. tanpa menghentikan kompresi (asingkron) tiap 5 detik (kecepatan 12 kali/menit).
Apabila ada penolong ketiga lakukan tekanan pada krikoid untuk mencegah distensi lambung
dan regurgitasi.
Bantuan napas dengan. menggunakan bagging sungkup dan alat bantu jalan napas lainnya.

Bagging telah lama digunakan sebagai alat bantu napas utama dikombinasikan. dengan
alat bantu jalan napas lainnya misalnya sungkup muka, ETT, LMA, dan Combitube. Penggunaan
bagging memungkinkan pemberian oksigen tambahan. Beberapa hal yang harus diperhatikan
saat menggunakan bagging :
• Volume tidal berkisar antara 10-15 ml/kg BB
• Bagging dewasa umum mempunyai volume 1600 ml.
• Bila memungkingkan bagging dilakukan oleh dua penolong untuk mencegah
kebocoran, seorang penolong mempertahankan sungkup dan kepala pasien, dan yang
lainnya melakukan pemijatan bagging
MODUL FISIOTERAPI KEGAWATDARURATAN T.A 2019/2020 Page 59
• Masalah kebocoran dan kesulitan mencapai volume tidal yang cukup tidak akan
terjadi jika dipasang ETT, LMA, atau Combitube.
7. Tahap lanjut membuka jalan napas.
Pernasangan pipa endotrakeal (ETT). Pemasangan pipa endotrakeal menjamin
terpeliharanya jalan napas dan sebaiknya dilakukan sesegera mungkin oleh penolong yang
terlatih.

Keuntungan :

• Terpeliharanya jalan napas


• Dapat memberikan oksigen dengan konsentrasi tinggi
• Menjamin tercapainya volume tidal yang, diinginkan
• Mencegah teriadinya aspirasi
• Mempermudah penghisapan lendir di trakea
• Merupakan jalur masuk beberapa obat-obat resusitasi
Karena kesalahan letak pipa endotrakeal dapat menyebabkan kematian maka tindakan
ini sebaiknya dilakukan oleh penolong yang terlatih

Indikasi pemasangan :

• Henti jantung
• Pasien sadar yang tidak mampu bernapas dengan baik (edema paru, Guillan-
Bare syndrom, sumbatan jalan napas)
• Perlindungan jalan napas tidak memadai (koma, arefleksi)
• Penolong tidak mampu memberi bantuan napas dengan cara konvensional
Persiavan alat untuk pemasangan pipa endotrakeal (ETT)

• Laringoskop, lengkap dengan handle dan bladenya


• Pipa endotrakeal (ETT) dengan ukuran :
• Perempuan : No 7,0 ; 7,5 ; 8,0
• Laki laki : No 8,0 ; 8,5
• Keadaan emergensi : No 7,5
• Stilet (mandrin)
• Forsep margil
• Jeli
• Spuit 20 atau 10 cc
MODUL FISIOTERAPI KEGAWATDARURATAN T.A 2019/2020 Page 60
• Stetoskop
• Bantal
• Plester dan gunting
• Alat penghisap lendir (Suction aparatus)
Tekhnik pemasangan

• Cek alat-alat yang diperlukan dan pilih ETT sesuai ukuran


• Lakukan hiperventilasi minimal 30 detik sambil dilakukan sellick maneuver
• Beri pelumas pada ujung ETTsampai daerah cuff
• Letakkan bantal setinggi ± 10 cm di oksiput dan pertahankan kepala tetap ekstensi
• Bila perlu lakukan penghisapan lendir pada mulut dan faring
• Buka mulut dengan cara cross finger dan tangan kiri memegang laringoskop
• Masukan bilah laringoskop menelusuri mulut sebelah kanan, sisihkan lidah ke kiri.
Masukan bilah sampai sampai mencapai dasar lidah, perhatikan agar lidah atau bibir
tidak terjepit diantara bilah dan gigi pasien
• Angkat laringoskop ke atas dan ke depan dengan kemiringan 30° – 40°, jangan
sampai menggunakan gigi sebagai titik tumpu
• Bila pita suara sudah terlihat, masukan ETT sambil memperhatikan bagian proksimal
dari cuff ETT melewati pita suara ± 1-2 cm atau pada orang dewasa kedalaman ETT ±
19-23 cm
• Waktu untuk intubasi tidak boleh lebih dari 30 detik
• Lakukan ventilasi dengan menggunakan bagging dan lakukan auskultasi pertama pada
lambung kemudian pada paru kanan dan kiri sambil memperhatikan pengembangan dada
• Bila terdengar suara gargling pada lambung dan dada tidak mengembang, lepaskan ETT
dan lakukan hiperventilasi ulang selama 30 detik kemudian lakukan intubasi kembali
• Kembangkan balon cuff dengan menggunakan spuit 20 atau 10 cc dengan volume
secukupnya sampai tidak terdengar lagi suara kebocoran di mulut pasien saat
dilakukan ventilasi
• Lakukan fiksasi ETT dengan plester agar tidak terdorong atau tercabut
• Pasang orofaring untuk mencegah pasien menggigit ETT jika mulai sadar
• Lakukan ventilasi terus dengan oksigen 100 % (aliran 10 – 12 liter/menit)
8. Penekanan krikoid (Sellick Manuever) :
Perasat ini dikerjakan saat intubasi untuk mencegah distensi lambung, regurgitasi isi
lambung dan membantu dalam proses intubasi. Perasat ini dipertahankan sampai balon ETT
sudah dikembangkan.

MODUL FISIOTERAPI KEGAWATDARURATAN T.A 2019/2020 Page 61


Cara melakukan Sellick maneuver :

• Cara puncak tulang tiroid (Adam’s Apple)


• Geser jari sedikit ke kaudal sepanjang garis median sampai menemukan lekukkan kecil
(membran krikotiroid)
• Geser lagi jari sedikit ke bawah sepanjang garis median hingga ditemukan tonjolan
kecil tulang (kartilago krikoid)
• Tekan tonjolan ini diantara ibu jari dan telunjuk ke arah dorsokranial. Gerakan ini akan
menyebabkan oesophagus terjepit diantara bagian belakang kartilago krikoid dengan
tulang belakang dan lubang trakhea/rimaglotis akan terdorong ke arah dorsal sehingga
lebih mudah terlihat.
Memastikan letak ETT dengan menggunakan alat

Berbagai alat mekanik atau elektronis dapat digunakan untuk tujuan ini misalnva detektor end
tidal CO2 (kwantitatif dan kwalitatif).
Melakukan bantuan napas dengan ETT selama RJP.

Volume tidal napas berkisar antara 10-15 ml/kg BB, secara klinis keadaan dapat
diketahui dengan pengamatan dada. Dengan volume 10 ml/kg BB dada akan tampak mulai
mengembang dan dengan 15 ml/kg BB dada akan mengembang, lebih besar lagi (naik antara 4-6
cm). Bila tidak diberikan oksigen tambahan dan pada pasien gemuk berikan volume yang lebih
besar sedangkan bila diberikan oksigen tambahan atau pada pasien kurus berikan volume yang
lebih kecil. Kecepatan pemberian napas berkisar antara 10-12 kali/menit atau satu kali setiap 5-6
detik dengan lama inspirasi sekitar 2 detik. Pada keadaan ini tidak ada lagi perbandingan antara
kompresi dan ventilasi. Kecepatan kompresi berkisar 100 kali/menit, sedangkan ventilasi
diberikan setiap 5 detik (tidak perlu seirama dengan kompresi).

Komplikasi pemasangan ETT

• ETT masuk kedalam oesophagus, yang dapat menyebabkan hipoksia.


• Luka pada bibir dan lidah akibat terjepit antara laringoskop dengan gigi.
• Gigi patah.
• Laserasi pada faring dan trakhea akibat stilet (mandrin) dan ujung ETT.
• Kerusakan pita suara.
• Perforasi pada faring dan oesophagus.
• Muntah dan aspirasi.
MODUL FISIOTERAPI KEGAWATDARURATAN T.A 2019/2020 Page 62
• Pelepasan adrenalin dan noradrenalin akibat rangsangan intubasi sehingga terjadi
hipertensi, takikardi dan aritmia.
• ETT masuk ke salah satu bronkus. Umumnya masuk kebronkus kanan, untuk
mengatasinya tarik ETT 1-2 cm sambil dilakukan inspeksi gerakan dada dan
auskultasi bilateral.

Penanganan jalan napas pada pasien trauma

Gerakan kepala dan leher yang berlebihan pada pasien cedera leher dapat menyebabkan cedera
yang lebih hebat. Pasien trauma muka, multiple dan kepala harus dianggap disertai dengan
cedera leher.

Langkah pernanganan pada pasien atau tersangka cedera leher.

1. Jangan tengadahkan kepala, hanya angkat rahang dan buka mulut pasien
2. Pertahankan kepala pada posisi netral selama nianipulasi jalan napas.
3. Pasien fraktur basis dan tulang muka lakukan pemasangan ETT dalam keadaan tulang
belakang distabilisasi.
4. Bila tidak dapat dilakukan intubasi lakukan krikotiroidektomi atau trakheostomi.
5. Bila diputuskan untuk dilakukan intubasi melalui hidung (blind nasal intubation) maka
harus dilakukan oleh penolong yang berpengalaman.
6. Bila pasien melawan dapat diberikan obat pelemas otot dan penenang.
Tehnik tambahan untuk penanganan jalan napas invasif dan ventilasi

Ada dua alat bantu jalan napas yang termasuk kelas IIb yaitu :

• Laryngeal Mask airway (LMA)


• Esophageal Tracheal Combitube

Laryngeal Mask airway (LMA)


LMA berupa sebuah pipa dengan ujung distal yang menyerupai sungkup dengan tepi
yang mempunvai balon sekelilingnya. Pada terpasang bagian sungkup ini harus berada di daerah
hipofaring, sehingga saat balon dikembangkan maka bagian terbuka dari sungkup akan
menghadap kearah lubang trakhea membentuk bagian dari jalan napas.

Beberapa kelebihan LMA sebagai alat bantu jalan napas adalah :


MODUL FISIOTERAPI KEGAWATDARURATAN T.A 2019/2020 Page 63
• Dapat dipasang tanpa laringoskopi.
• Sehingga menguntungkan pada pasien dengan cedera leher atau pada pasien yang
sulit dilakukan visualisasi lubang trakhea.
• Karena LMA tidak perlu masuk kedalam trakhea maka resiko kesalahan intubasi
dengan segala akibatnya tidak ditemukan pada LMA.

Kekurangan LMA adalah tidak dapat melindungi kemungkinan aspirasi sebaik ETT.

Combitube
Alat ini merupakan gabungan ETT dengan obturator oesophageal. Pada alat ini terdapat 2
daerah berlubang, satu lubang di distal dan beberapa lubang ditengah, lubang lubang ini
dihubungkan melalui 2 saluran yang terpisah dengan 2 lubang di proksimal yang merupakan
interface untuk alat bantu napas. Selain itu terdapat 2 buah balon, satu proksimal dari lubang
distal dan satu proksimal dari deretan lubang di tengah. Ventilasi melalui trakhea dapat
dilakukan melalui lubang distal (ETT) dan tengah (obtutator). Alat ini dimasukan tanpa
laringoskopi, dari penelitian dengan cara memasukan seperti ini 80% kemungkinan masuk ke
eosophagus. Setelah alat ini masuk kedua balon dikembangkan dan dilakukan pemompaan,
mula-mula pada obturator seraya dilakukan inspeksi dan auskultasi apabila ternyata dari
pengamatan ini tidak tampak adanya ventilasi paru pemonpaan dipindahkan pada ETT dan
lakukan kembali pemeriksaan klinis. Kinerja ventilasi, oksigenasi dan perlindungan terhadap
aspirasi alat ini sepadan dengan ETT dengan keunggulan lebih mudah dipasang dibanding ETT.

MODUL FISIOTERAPI KEGAWATDARURATAN T.A 2019/2020 Page 64


Materi V

The Physical Therapist as a Musculoskeletal Specialist in the


Emergency Department

Patients with musculoskeletal complaints are increasingly using the emergency


department (ED) as their primary access to healthcare (Freedman,1998; Galeski,2008).
Considering emergency medicine physicians are skilled generalists who regularly utilize
specialist consults (Moore,2006; Verhagen,2007), it is possible to envision how a practitioner
with musculoskeletal expertise might be beneficial in this practice setting. While orthopedic
surgeons can provide this level of expertise, consultation of these specialists is traditionally
reserved for critical cases. Specific situations cited as necessitating orthopedic consult include
patients with unstable fractures, complex dislocations, circulatory compromise, or those in need
of emergency surgical intervention (Ma, 2003). This traditional pattern of orthopedist
involvement creates a large subset of less severely affected patients with musculoskeletal
problems who could benefit from more specialized intervention. Existing literature supports the
concept that specialist intervention is a treatment adjunct that improves patient care in the ED
(Moore, 2006). Because physical therapists have specialized knowledge of musculoskeletal
dysfunction (Childs,2005; APTA,2001) it is proposed that their consultation would be beneficial
for patients receiving emergency care. Currently, only a handful of EDs have physical therapists
as part of their personnel. One possible reason for this may bea limited understanding of how
physical therapists may be of benefit for the ED patient population. Due to the complexities of
healthcare delivery, establishing the value of any new service or intervention is important. Thus,
clinicians considering implementing ED-based physical therapy need to provide justification for
introducing such a unique service.

The literature provides some perspective on this matter. There is a substantial and
growing body of evidence supporting the benefits of early physical therapy intervention
(Ehrman,1996; Gatchel,2005; Hagen,2000; Lemstra,2003; Linton,1993; Rosenfeld,2000;
Schnabel,2004; Vassiliou,2006; Wand,2004; Zigenfus,2000) as can be provided in the ED.
Evidence suggests that ED practice may be enhanced by the physical therapist‘s perspective on

MODUL FISIOTERAPI KEGAWATDARURATAN T.A 2019/2020 Page 65


education and prescriptive exercise for patients with musculoskeletal impairments (Elam,1995;
Johannsen,1997; Kay,1985; Logan,2003) Though it may be argued that patients presenting to the
ED who need therapy can simply be referred for outpatient management, multiple barriers
complicate this process. Many of these individuals are either not referred (Pal, 2000) or lack the
resources or the resolve to pursue additional treatment (Taubenhaus,1971; Grumbach,1993)
Thus, physical therapy provided in the ED may be the only opportunity for these patients to
receive such care.

The purpose of this clinical commentary is to describe physical therapist practice in the
ED setting. A literature review provides a description of existing ED physical therapy practice
models. The need for ED physical therapist consultation and the value of this intervention
approach will be established through a discussion of the relevant evidence. And finally, the
recommended physical therapist qualifications for providing expertise in the ED will be
considered.

Emergency Department of Physical Therapy

Various models describing how physical therapists in the United States can function in
the ED setting have been reported. The system utilized by therapist in the United States Army is
one historical model upon which subsequent ED physical therapy programs have been based.
While these practitioners do not function in a true ED environment, their experience has been
used to demonstrate that physical therapists may provide effective neuromuscular evaluation and
treatment at the patient‘s point of entry into the healthcare system (Greathouse, 1994). A
veteran‘s healthcare system in Salt Lake City, Utah, replicated and broadened this approach by
allocating a full-time physical therapist for consult with patients seeking both primary care and
emergency treatment (Murphy, 2005) A nonprofit healthcare system in Tucson, Arizona,
however, was among the first facilities to provide full-time physical therapist consultation in the
ED. In this model therapists are employed solely for the purpose of providing ED services during
the majority of operating hours, 7 days a week (Woods, 2000). Emergency physicians at this
hospital use a pager system to notify the ED therapist of patients who may benefit from
consultation. When finished working with a patient, the therapist briefly confers with the
referring physician, then immediately attends to the next individual in need. Through education

MODUL FISIOTERAPI KEGAWATDARURATAN T.A 2019/2020 Page 66


of ED staff and continuing exposure to therapists‘ skills, requests for consultations are now
frequent and in demand (Jogodka,2006; Lebec,2006).

Other literature describes international programs utilizing ED-based physical therapists.


Kempson (1996) illustrated the role of a physiotherapist in an accident and emergency (AE)
department in the United Kingdom. Therapists in this program commonly provided education on
the nature of patients‘ injuries and initial advice on self-management. They also stressed the
importance of early exercise and graded activity. A recent observational pilot study by Anaf and
Sheppard (Anaf, 2007) described the ED-based physiotherapist as a provider who primarily
treats aged individuals and patients with musculoskeletal deficits by addressing problems of
pain, decreased mobility, and limited range of motion. Jibuike et.al (2003) described the role of
an AE-based physiotherapist in screening and managing knee injuries. These authors highlighted
the role that ED-based therapists play in discharge planning. Ball et.al (2007) described practice
trends among ED physiotherapists, nurse practitioners, and physicians. As compared to the other
ED practitioners, these physiotherapists were more likely to give patients written instructions for
self-management, to provide structural support, such as crutches, less often, and to refer
significantly more patients for outpatient physical therapy. While the authors do not elaborate on
the circumstances surrounding these outpatient physical therapy referrals, this outcome should be
considered within the context of ethical referral patterns. That is, while facilitating the provision
of follow-up services for patients in need of physical therapy may enhance health outcomes for
these individuals, promotion of selfreferral for the purpose of financial gains should be avoided.

Finally, a narrative review published in 2007 (Anaf, 2007) attempted to summarize the
existing literature on physiotherapy ED services within the UK and Australia. Findings were
inclusive of and similar to those described above. The authors reported that the typical ED
physiotherapist managed aging adult populations with musculoskeletal injuries. Common
diagnoses included acute and subacute lower extremity and spinal trauma. Management
frequently focused on assessment of functional activities and discharge planning. Few authors
have attempted to define the value of these services by describing associated outcomes. Morris
and Hawes (2006) for example, determined that patients seen by a physiotherapist in an AE
department had shorter wait times between referral for outpatient physical therapy and their first
therapy visit. Another study reported higher satisfaction ratings when patients in the ED were

MODUL FISIOTERAPI KEGAWATDARURATAN T.A 2019/2020 Page 67


seen by a physiotherapist (Mc.Clellan, 2005) The veterans‘ healthcare system in Salt Lake City
reported that their program reduced the amount of time patients waited to see an orthopedic or
neurological specialist from 90 to 30 days (Murphy, 2005)

Investigations describing the relationship between patient recovery and this approach to
care are notably lacking. One study using a randomized design, however, did analyze patient
outcomes associated with ED-based physical therapy (Richardson, 2005) This study reported no
differences in patient outcomes between individuals receiving physical therapy intervention in
the ED and those who did not. Although a good first step, the design of this study places the
findings in question. While participants were limited to those with musculoskeletal problems, the
diagnoses included injuries of the cervical, thoracic, and lumbar spine, shoulder, wrist, hand, hip,
knee, ankle, and foot. From a research design perspective, including such a wide range of
conditions creates a nonhomogeneous population that can experience highly variable rates of
recovery based on the involved anatomical regions as well as the severity of the injury. Based on
these examples, it seems that a model for physical therapy ED services exists, but evidence
examining specific outcomes is deficient. This necessitates further exploration of the rationale
for implementing such a program. The following sections of this commentary will therefore
describe this rationale and present relevant supporting literature.

Qualifications of Physical Therapist as ED Musculoskeletal Specialist

A brief description of the emergency medicine scope of practice provides some


perspective on how physical therapists may bring expertise to this setting. Physicians of
emergency medicine screen and provide initial treatment for conditions affecting multiple
physiologic systems (Ma, 2003) Because these doctors manage patients presenting with disorders
of the nervous, cardiopulmonary, lymphatic, digestive, genitourinary, integumentary,
musculoskeletal, as well as other physiologic systems, their initial focus is often on recognizing
red-flag situations and the presence of serious disorders (Hayes, 2006) Thus, these physicians
may be described as professionals with general knowledge of all body systems and the skills to
screen, evaluate, and manage a diverse set of patients. With these extensive expectations, it is
difficult to expect these individuals to possess advanced knowledge in a specialty area such as

MODUL FISIOTERAPI KEGAWATDARURATAN T.A 2019/2020 Page 68


musculoskeletal practice. The literature supports this challenge in describing entry-level training
in musculoskeletal medicine and traditional musculoskeletal practice in the ED as areas with
potential for improvement (Freedman, 1998; Pal,2000; Perron,2000) Conversely, physical
therapy practice and entry-level educational content are reflective of a comprehensive systems
approach, with a significant focus on the basic and clinical sciences of musculoskeletal disorders.
The Guide to Physical Therapist Practice (APTA, 2001) lists musculoskeletal disorders as 1 of 4
primary practice patterns that physical therapists are qualified to evaluate and manage. The
Normative Model of Physical Therapy Professional Education (APTA, 2004) states that entry-
level education must be reflective of the principles outlined in The Guide to Physical Therapist
Practice (APTA, 2001) thus programs must establish curricula proportionally reflective of
musculoskeletal content. Analysis of the normative model indicates that required curricular
content includes multiple aspects of musculoskeletal management. Examples of such required
content includes a primary focus on physiology, injury, and regeneration of muscle, skeletal, and
connective tissue, as well as examination, diagnosis, prognosis, and management of
musculoskeletal conditions. The recommended curriculum is multisystem in scope and includes
the differential diagnosis and pathophysiology of neuromuscular, cardiopulmonary, and
integumentary disorders. Therefore, professional degree physical therapy training encompasses
the management of patients with these conditions, musculoskeletal problems, or both.
Ultimately, physical therapy program accreditation is dependent upon the didactic and clinical
experiences being both inclusive and comprehensive of all of this content (CAPTE, 2007)
Musculoskeletal competency is then further assessed by the National Physical Therapy
Examination. Eighteen percent of this licensure examination is specifically dedicated to
musculoskeletal practice with up to an additional 40% of the examination having the potential to
further assess this domain (Knapp, 2007) Empirical data provide further support for the premise
that physical therapists have expertise in the management of musculoskeletal conditions. Childs
et.al (Childs, 2005) designed a study in which a validated musculoskeletal examination
previously administered to physicians of varying backgrounds was also given to physical
therapists and physical therapy students. In comparison to all groups of medical practitioners,
with the exception of orthopedic surgeons, physical therapists achieved superior outcomes.
While future concomitant studies are needed to confirm these findings, the current evidence

MODUL FISIOTERAPI KEGAWATDARURATAN T.A 2019/2020 Page 69


suggests that the baseline musculoskeletal knowledge of practicing therapists is at least
comparable to, and frequently exceeds, that of other medical practitioners.

Oldmeadow et.al (2007) described how physiotherapists in the United Kingdom were
used to screen patients with musculoskeletal complaints prior to having them sent to orthopedic
surgeons. They found this to be a successful strategy, because the majority of patients did not
need surgical management, and there were high levels of diagnostic agreement between
therapists and orthopedists. Furthermore, significant levels of patient satisfaction for
physiotherapy services were achieved. A final perspective on how physical therapy
musculoskeletal expertise may be of benefit in the ED is with respect to movement dysfunction.
The classification of a movement dysfunction is nontraditional in comparison to the medical
pathology model, in that it considers the manifestations of a patient‘s injury on mobility and
function. The Guide to Physical Therapist Practice (APTA, 2001) outlines evaluation and
intervention to improve mobility and function as primary roles of the physical therapist. Because
such limitations can directly impact patients‘ lives, this perspective should be addressed by the
providers most qualified to do so. The notable absence of an expert in the realm of exercise and
mobility has been reported in the literature, and physical therapists have been identified as the
practitioners of choice to fill this void (Murphy, 2005) Therefore, whether the problem is due to
musculoskeletal injury or impairment of multiple systems, physical therapists are the most
qualified individuals to make recommendations regarding a patient‘s functional capacity and
potential.

Improving ED Through Physical Therapist Consultation

One reason some have difficulty envisioning ED-based physical therapy services may be
the stigma associated with this treatment setting. For many, the ED summons images of life-or-
death situations, in which patients are transported by ambulance and then rushed via stretcher for
the purpose of treating extensive trauma. In reality, the increasing majority of patients seen in the
ED present with conditions of minor trauma or lower levels of urgency (Galeski,2008). This
trend is largely affected by issues of healthcare access. In one study, 45% of patients visiting the
ED cited problems accessing primary care as the reason for choosing this treatment setting, with
38% of these conveying that they would forego their ED visit if they could schedule a visit with

MODUL FISIOTERAPI KEGAWATDARURATAN T.A 2019/2020 Page 70


their physician in a reasonable period (Grumbach, 1993) Other sources state that as many as 30%
of patients seen in the ED use this setting as their only accessible form of healthcare
(Taubenhaus, 1971) In light of this information, it appears that a large percentage of patients
treated in the ED present with no greater acuity than those being treated in other healthcare
environments and are similar in health status to a number of patients commonly referred to
physical therapy.

For those patients who do present in a stereotypically acute fashion, the body of evidence
suggests that physical therapy has much to offer. This is particularly true during the early stages
of the healing process. Various studies support the use of modalities commonly used by physical
therapists, such as electrical stimulation (Bertalanffy,2005; Lang,2007; Neeter,2003;
Taskaynatan,2007) for the purpose of managing acute pain and inflammation. Proper education
on the use of cryotherapy for self-management of acute injuries has also been shown to be of
benefit for increasing return to function (Hubbard, 2004) Perhaps of most benefit is the early
addition of therapeutic exercise. Properly prescribed early movement can facilitate the removal
of edema (Guidice, 1990), reduce pain (Eiff, 1994), prevent disuse atrophy (Akima,2003;
Berg,2007) and restore normal movement patterns (Taub, 2006) Clinical trials comparing early
introduction of exercise and ―treatment as usual‖ support the above conclusions. The authors of
the majority of these studies report that patients receiving early exercise instruction achieve
greater functional outcomes (Gatchel,2003; Lemstra,2003; Rosenfeld,2006; Vassilliou, 2006;
Verhagen,2007; Zigenfus,2000) though a few others conclude otherwise (Cote,2007;
Kongsted,2007) Lastly, recent evidence indicates that manual treatment, such as spinal
manipulation (Childs, 2004; Lebec,2006) and joint mobilization, has a positive impact on certain
patients after acute or subacute injury (Collins,2004; Korthals,2003; Vicenzino,2006)

The most definitive perspective on how physical therapists may enhance emergency care
comes from analysis of the typical recommendations given to patients in the ED after acute
musculoskeletal trauma. The medical literature provides excellent practice guidelines for
management of such patients. These include the use of protection, rest, ice, compression, and
elevation (PRICE) for acute soft tissue trauma (Chorley,2005; Johannsen,1997) while
minimizing excessive immobilization and encouraging these patients to return to activity as early
as possible (Eiff, 1994) As is true in many healthcare settings, the use of such contemporary

MODUL FISIOTERAPI KEGAWATDARURATAN T.A 2019/2020 Page 71


evidence-based principles is not always reflected in ED practice. For example, one study
indicated that the majority of patients presenting to Danish EDs with ankle sprains and muscle
contusions were not treated with or informed about rest, ice, compression, or elevation
(Johannsen, 1997) A more recent study performed in the United States supported these findings,
indicating that proper instructions for managing acute ankle sprains were given inconsistently
with respect to use of ice (given to 41% of patients), compression (43%), and elevation (55%)
(Chorley,2005). Recommendations for early mobilization after injury are also poorly understood
and inconsistently provided in the ED setting. When surveyed, only 43% of a group of American
emergency physicians reported that they felt prepared to recommend exercise for patients, while
just 37% viewed themselves as successful in this practice (Berg,2007) This was illustrated by an
investigation showing that cast immobilization was suggested for grade II and III ankle sprains
by 28% to 61% of physicians, while early mobilization was advocated by less than 3% of
providers (Kay,1985) Furthermore, it has been reported that less than 10% of patients presenting
to the ED after soft tissue injury receive any written instructions utilizing rehabilitation
principles for self-management (Johannsen,1997) In the previously reported US-based study
examining management of ankle injuries, only 5% of patients sustaining ankle sprains received
instructions for rangeof-motion exercises, while less than 1% received recommendations for
strengthening or proprioception (Chorley,2005) In contrast, ED physiotherapists gave
significantly greater amounts of oral or written instructions for self-care than what was provided
by other ED practitioners (Ball, 2007) These results also indicated that therapists encouraged
early mobility in patients bbeing less likely to provide structural support, such as crutches. This
practice is consistent with current guidelines for management of acute musculoskeletal injuries,
as it is frequently reported that early weight bearing and movement are more beneficial than
delayed weight bearing and immobilization (Arnold,2004; Eiff,1994; Kannus,2000;
Mueller,2002; Nash,2004)

Studies examining recommendations for movement after spinal injury describe similar
patterns. For example, cervical collars have been recommended over movement by as many as 50%
of ED physicians (Logan,2003). Approximately 75% of ED physicians in another study advised
multiple days of bed rest for acute low back pain (Elam, 1995) Furthermore, it has been reported that
physicians‘ recommendations for exercise or mobility are often limited to very general instructions,
such as to ―be active‖ or ―walk more.‖ (Murphy,2005) Such directives may

MODUL FISIOTERAPI KEGAWATDARURATAN T.A 2019/2020 Page 72


have limited value when placed in the context of a patient with a complex acute injury. While the
extent to which these studies reflect standard ED practice in the United States may be debated,
they are examples of situations in which patient management can be improved. Reasons for such
disparities may range from the typical lag time associated with the emergence of proper
guidelines and their actual use in practice to the possibility that ED physicians are too
overburdened to consistently provide comprehensive patient education (Perron,2000) Regardless,
the coupling of physical therapists‘ knowledge of musculoskeletal practice and appropriate
recommendations for acute to subacute injury management can greatly improve the present ED
system and benefit many of the patients accessing it.

Value, Utility, and Cost: Is ED Physical Therapy an Effective Use of Resources

Economics of an Individual Program The initial consideration for establishing the value of an
ED physical therapy program is fiscal sustainability. A program is feasible if it, at least, can
generate revenues sufficient to cover the costs of delivery. Obtaining effective reimbursement for
services rendered is, of course, fundamental to this process. Because ED physical therapy
services are a novel and unique form of care, a standard system for billing and reimbursement of
services may not exist. The financial structure of hospital systems and insurance plans are
complex and vary greatly by region and facility An extensive discussion of the potential to profit
through ED physical therapy programs is, therefore, premature and beyond the scope of this
manuscript. Instead, a general example illustrating how existing programs have addressed these
issues is provided. in Tucson, Arizona was among the first to consistently provide and charge for
physical therapist interventions in the ED (Woods,2000) In this facility, services are rendered as
needed, independent of the ED patient‘s insurance. Reimbursement for these services, however,
is dependent upon the individual‘s plan and varies greatly. Therefore, some patient encounters
generate significant revenue, some are reimbursed minimally, while others are not funded at all.
Additional revenue is often generated by the hospital when patients not normally referred to
outpatient physical therapy receive such recommendations. To maintain ethical standards, it is
made clear that patients have the freedom to choose where they seek follow-up intervention.
Profit or loss is thus a reflection of the fees, which have been reimbursed in relation to the cost of
providing the service. Fortunately, the direct expenditures associated with such programs are
minimal and consist solely of the wages paid for the physical therapist and supplies used during

MODUL FISIOTERAPI KEGAWATDARURATAN T.A 2019/2020 Page 73


treatment. In this program, the physical therapist functions quite independently within the
confines of the existing ED environment, without additional support or administrative staff. This
arrangement helps minimize the expenses of providing the program. Due to the uncertainty with
which services rendered are reimbursed, the success of the program is reliant on sufficient
quantities of appropriate patients visiting the ED, as well as having physicians consistently seek
physical therapist consultations. Societal Cost Effectiveness: Justifying Expense on a Grander
Scale Justifying widespread implementation of a new service such as ED physical therapy
requires considering not only the operational costs but also the effects it has on societal
healthcare expenses. This perspective on a service‘s value is often described as its cost
effectiveness (Korthals,2003; UK Beam,2004) and considers both the direct costs of care and the
savings produced by the introduction of an intervention, when indirect expenditures, such as time
off work, medication use, and surgery, are avoided (Martin, 2008) There is substantial evidence
that illustrates the relationship between the types of services provided by physical therapists in
the ED and the cost effectiveness of these approaches. For example, physical therapist
interventions have been shown to be effective and cost effective for the management of cervical
pain (Korthals,2003; Linton,1993; Manca,2007) low back pain (Gatchel,2003; Manca,2007; UK
Beam,2004) and whiplash-associated disorders (Rosenfeld, 2006) Specific benefits and indirect
cost savings shown to be associated with early physical therapy intervention have included
decreased narcotic use (Gatchel,2003) reduced healthcare visits (Gatchel,2003; Zigenfus,2000)
less time away from work (Ehrmann,1996; Hagen,2000; Linton,1993; Zigenfus,2000) and a
reduction in the development of chronic conditions (Linton,1993) Though the nature of this
research limits direct conclusions about cost effectiveness to the above situations, there are
reasons to hypothesize that other aspects of the service may result in indirect savings and may
therefore be worthy of further investigation. For example, pain management provided by ED
physical therapists may help avoid costs associated with prescribing medications and treating
addictions resulting from overuse (Manchikanti,2007) A physical therapist‘s functional
assessment could circumvent costs associated with an unnecessary inpatient admission or an
injury resulting from an inappropriate discharge to the home setting (Paniagua,2006) And
because ED physical therapy consultation often inaugurates the patient into the rehabilitation
track of the healthcare system at the earliest opportunity, there is better potential to prevent
chronic progression and its high associated costs. For many patients with acute musculoskeletal

MODUL FISIOTERAPI KEGAWATDARURATAN T.A 2019/2020 Page 74


conditions, there is evidence that an earlier referral of this nature produces such benefits
(Ehrmann,1996; Linton,1993)

Similar considerations for improving ED cost effectiveness through physical therapist


involvement exist with respect to patient triage and musculoskeletal imaging. Because triage
policy in the ED is controversial and in flux (Bindman,1995; Mayer,2007) physical therapists
have an opportunity to improve this process by reducing the extensive backlog of patients
(Bindman,1995; Grumbach,1993) with nonemergency musculoskeletal injuries (Galeski,2008;
Mc.Caig,2002) This approach could conserve resources if a hospital elects to designate physical
therapists as ―qualified providers‖ for the sake of screening conditions within the physical
therapy scope of practice and avoiding the expenses of multiple-practitioner involvement (Center
Medicare,2003) Multiple publications describing international ED practice support these ideas
and outline the potential roles for physiotherapists in patient triage (Ball, 2007). Likewise, the
unique examination and evaluation skills of physical therapists may limit expenses associated
with overutilized and expensive services, such as diagnostic imaging (Bradley,2005; Elam,1995)
In existing programs in the United States, official orders for imaging are submitted by physicians
or designated staff. However, as is the case in the model program described in Tucson, Arizona
(Woods,2000) physicians frequently solicit or entertain physical therapist recommendations
whether or not imaging will be beneficial for certain patients. Thus, for many noncritical patient
diagnoses, physical therapist knowledge of musculoskeletal pathology and existing plain film
radiographic utilization guidelines may help direct imaging decisions to clarify a patient‘s
diagnosis or eliminate the use of unnecessary imaging in cases where these tests would not in
any way alter the clinical outcome.

The model utilized by the Virginia Mason Medical Center illustrates many of these ideas
in action (Fuhrmans,2007) This institution has implemented a system in which patients often
receive an initial physical therapy consultation, as opposed to being referred after seeing multiple
physicians and specialists or receiving other expensive services. For many conditions, this
arrangement has resulted in significantly reduced healthcare costs and decreased utilization of
expensive imaging by as much as one third. Such a program demonstrates how early physical
therapy intervention, as is provided in the ED, may positively affect overall costs. A final
perspective on the value of physical therapist consultation concerns intangible benefits, such as

MODUL FISIOTERAPI KEGAWATDARURATAN T.A 2019/2020 Page 75


its effect on patient satisfaction in the ED. Due to long wait times, overcrowding, and the nature
of ED conditions, satisfaction is a commonly cited problem (Cooke,2006; Grumbach,1993) To
this end, authors have reported that having a physical therapist participate in ED care
significantly increases patient satisfaction as compared to traditional ED practice
(Mc.Clellan,2006; Richardson,2005) Specifically, the service has been found to reduce ED wait
times and increase patient flow. Furthermore, emergency medicine physicians have reported the
perception that their patients receive better care and are more satisfied when managed by a
physical therapist (Lebec,2006) Because the literature clearly states that policymakers should
invest in maximizing the perception of the ED experience and hold patient satisfaction as a top
priority (Cooke,2006; Mayer,2007; Waisman,2003) the manner in which physical therapy
services may affect this issue should be considered.

Qualifications and Skill Required of ED Physical Therapist

Selecting physical therapist with appropriate profile may maximize the potential to
provide a specialist‘s perspective and aid in approaching the outcomes described in this
commentary. While the majority of ED consultation cases are orthopedic related, ED physical
therapists should be expected to assist in the diagnosis and management of multiple system
problems within the physical therapy scope of practice. reinforces this concept by illustrating the
varied distribution of cases seen in 1 ED physical therapy program over an extensive period
(Jogodka,2006) Therefore, an ED therapist should be a strong musculoskeletal practitioner and
also an effective physical therapy generalist prepared to encounter a wide range of impairments
for individuals of all ages, health statuses, or phases of injury. Because applying this knowledge
can be difficult for those with limited exposure to this unique setting, considerable mentoring
with an experienced ED physical therapist is strongly advised for those transitioning into this
environment. Ideally, future preparation would occur in a postgraduate ED residency given its
distinctive and broad reaching demands.

Another necessity for the ED physical therapist is knowledge of evidence-based


principles, such as clinical decision rules (CDRs). These tools can be particularly useful in the
ED to allow expedient bedside decisions, while decreasing the uncertainty of clinical judgments.
Furthermore, they may facilitate greater standardization of ED physical therapy practice, which

MODUL FISIOTERAPI KEGAWATDARURATAN T.A 2019/2020 Page 76


can be quite beneficial in this unique and developing environment. Physical therapists must also
understand the limitations of CDRs within this practice setting. These include the fact that many
of these tools have not been validated for ED use and that many lengthy self-reporting tools are
not practical for the pace of this department. Developing shortened formats of these tools and
investigating their validity with patients in the ED could aid this process and would likely be of
benefit for many areas of physical therapy and medical practice.

Equally important qualifications for consideration are personal characteristics and clinical
experience possessed by ED physical therapists. Self-confidence and a teamwork approach are
vital for building rapport with ED physicians and staff who often have limited experience
working with rehabilitation professionals. Overcrowding, patient acuity, and severe fluctuations
in patient flow increase the need for ED physical therapists to be flexible and efficient while
managing a swiftly varying schedule (Lebec,2006) The value of clinical experience for ED
therapists is undeniable and aids in making timely and accurate decisions regarding diagnoses
and patient management. Conversely, extensive clinical experience may hinder therapists who
are very accustomed to a certain practice setting. Because functioning within the ED involves a
comprehension of the associated culture and often requires a paradigm shift away from
traditional treatment philosophies, some individuals may have difficulty making this transition
(Landaeta,2007) Thus, perhaps the ideal candidate for ED practice is one who has accumulated
at least a few solid years of experience but has maintained the flexibility to adapt to practice
within this unique environment.

CONCLUSION

This clinical commentary provides support for the use of physical therapist consultation
as a means to enhance the management of patients with musculoskeletal dysfunction in the ED
setting. Physical therapists possess a level of expertise that is not commonly available in the ED
and present ED practice suggests that there is both a role and a need for such services. The
literature suggests that ED physical therapy has the potential to be a valuable and costeffective
service. To further evolve the role of ED physical therapists, future steps could include further
defining the required expertise, developing a special interest group, communicating specific
illustrations of existing practice model, and, perhaps most importantly, engaging in the

MODUL FISIOTERAPI KEGAWATDARURATAN T.A 2019/2020 Page 77


generation of specific evidence that ED physical therapist intervention improves patient
outcomes. Through these and other pathways, ED practice offers a novel opportunity for
physical therapists to serve as pioneers attempting to simultaneously advance both quality of care
and the direction of their profession.

MODUL FISIOTERAPI KEGAWATDARURATAN T.A 2019/2020 Page 78


DAFTAR PUSTAKA
1. Adams and Victor's. (2005). Cerebrovascular Disease. Principles of Neurology. Mc
Graw- Hill: New York. p. 700-4
2. AHA/ASA Guideline. (2007). Guidelines for the early management of adults with
ischemic stroke. Stroke 38:1655-1711

3. Akima H, Ushiyama J, Kubo J, et al. Resistance training during unweighting maintains


muscle size and function in human calf. Med Sci Sports Exerc. 2003;35:655-662.
http://dx.doi. org/10.1249/01.MSS.0000058367.66796.35

4. American Physical Therapy Association. A Normative Model of Physical Therapist


Professional Education: Version 2004. Alexandria, VA: American Physical
Therapy Association; 2004.

5. American Physical Therapy Association. Guide to Physical Therapist Practice. Second


Edition. Phys Ther. 2001;81:9-746.

6. Anaf S, Sheppard LA. Describing physiotherapy interventions in an emergency


department setting: an observational pilot study. Accid Emerg Nurs. 2007;15:34-
39. http://dx.doi. org/10.1016/j.aaen.2006.09.005

7. Anaf S, Sheppard LA. Physiotherapy as a clinical service in emergency departments: a


narrative review. Physiotherapy. 2007;93:243-252.

8. Anaf S, Sheppard LA. Describing physiotherapy interventions in an emergency


department setting: an observational pilot study. Accid Emerg
Nurs. 2007;15:34–39.

9. Arnold BL, Docherty CL. Bracing and rehabilitation--what‘s new. Clin Sports Med.
2004;23:83-95. http://dx.doi.org/10.1016/ S0278-5919(03)00086-3

10. Azrul, azwar. (1996). ―pengantar administrasi kesehatan‖, Jakarta, cet. Ke-3

11. Ball ST, Walton K, Hawes S. Do emergency department physiotherapy practitioner‘s,


emergency nurse practitioners and doctors investigate, treat and refer patients
with closed musculoskeletal injuries differently? Emerg Med J. 2007;24:185-
188. http://dx.doi. org/10.1136/emj.2006.039537

12. Ball STE, Walton K, Hawes S. Do emergency department physiotherapy practitioners,

emergency nurse practitioners and doctors investigate, treat and refer patients

MODUL FISIOTERAPI KEGAWATDARURATAN T.A 2019/2020 Page 79


with closed musculoskeletal injuries differently? Emergency Medicine Journal.

2007; 24:185-88.

13. BEAM Trial Team. United Kingdom back pain exercise and manipulation (UK BEAM)
randomised trial: effectiveness of physical treatments for back pain in primary
care. BMJ. 2004;329:1377.

14. Berg HE, Eiken O, Miklavcic L, Mekjavic IB. Hip, thigh and calf muscle atrophy and
bone loss after 5-week bedrest inactivity. Eur J Appl Physiol. 2007;99:283-289.
http://dx.doi. org/10.1007/s00421-006-0346-y

15. Bertalanffy A, Kober A, Bertalanffy P, et al. Transcutaneous electrical nerve stimulation


reduces acute low back pain during emergency transport. Acad Emerg Med.
2005;12:607-611. http://dx.doi.org/10.1197/j.aem.2005.01.013

16. Bindman AB. Triage in accident and emergency departments. BMJ. 1995;311:404.

17. Bradley MP, Tung G, Green A. Overutilization of shoulder magnetic resonance imaging
as a diagnostic screening tool in patients with chronic shoulder pain. J
Shoulder Elbow Surg. 2005;14:233-237. http://dx.doi.org/10.1016/j.
jse.2004.08.002

18. Browder DA, Erhard RE. Decision making for a painful hip: a case requiring referral. J
Orthop Sports Phys Ther. 2005;35:738–744.

19. Centers for Medicare and Medicaid Services. Medicare Program; Clarifying Policies
Related to the Responsibilities of Medicare-Participating Hospitals in
Treating Individuals with Emergency Medical Conditions. Department of Health
and Human Services. Fed Regist. 2003;68(174):53222-53264.

20. Childs JD, Fritz JM, Flynn TW, et al. A clinical prediction rule to identify patients with
low back pain most likely to benefit from spinal manipulation: a validation
study. Ann Intern Med. 2004;141:920-928.

21. Childs JD, Whitman JM, Sizer PS, Pugia ML, Flynn TW, Delitto A. A description of
physical therapists‘ knowledge in managing musculoskeletal conditions. BMC
Musculoskelet Disord. 2005;6:32. http://dx.doi.org/10.1186/1471- 2474-6-32

22. Childs JD, Whitman JM, Sizer PS, et al. A description of physical therapists‘ knowledge
in managing musculoskeletal conditions. BMC Musculoskelet
Disord. 2005;6:32.

MODUL FISIOTERAPI KEGAWATDARURATAN T.A 2019/2020 Page 80


23. Chorley JN. Ankle sprain discharge instructions from the emergency department. Pediatr
Emerg Care. 2005;21:498-501.

24. Cleland JA, Childs JD, Fritz JM, Whitman JM, Eberhart SL. Development of a clinical
prediction rule for guiding treatment of a subgroup of patients with neck pain: use
of thoracic spine manipulation, exercise, and patient education. Phys Ther.
2007;87:9- 23. http://dx.doi. org/10.2522/ptj.20060155

25. Collins N, Teys P, Vicenzino B. The initial effects of a Mulligan‘s mobilization with
movement technique on dorsiflexion and pain in subacute ankle sprains. Man
Ther. 2004;9:77-82.

26. Commission for the Accreditation of Physical Therapy Education. Evaluative criteria for
accreditation of education programs for the preparation of physical therapists. In:
CAPTE Accreditation Handbook. Alexandria, VA: American Physical Therapy
Association; 2007.

27. Cooke T, Watt D, Wertzler W, Quan H. Patient expectations of emergency department


care: phase II--a cross-sectional survey. CJEM. 2006;8:148-157.

28. Cote P, Hogg-Johnson S, Cassidy JD, Carroll L, Frank JW, Bombardier C. Early
aggressive care and delayed recovery from whiplash: isolated finding or
reproducible result? Arthritis Rheum. 2007;57:861-868. http://dx.doi.
org/10.1002/art.22775

29. Crocco T, Gullet T, Davis SM et al. feasibility of Neuroprotective Agent Administration


by Prehospital Personnel in Urban setting. Stroke 2003;34: 1918- 1919

30. Daker-White G, Carr AJ, Harvey I, et al. A randomised controlled trial: shifting
boundaries of doctors and physiotherapists in orthopaedic departments. outpatient
J Epidemiol Community Health. 1999;53:643–650.

31. Darwent M, Gamon A, McLoughlin F. Early physiotherapy within the accident and
emergency department. Physiotherapy. 1998;83:281.

32. Derlet RW, Kinser D, Ray L, et al. Prospective identification and triage of nonemergency
patients out of an emergency department: a 5-year study.Ann Emerg Med.
1995;25:215–223.

33. Deusinger RH. Demonstration project proposal: Physical therapy care within BJH
emergencyservices: a Washington University physical therapy clinics and
Barnes Jewish Hospital patient care innovation. March 15, 2005.

MODUL FISIOTERAPI KEGAWATDARURATAN T.A 2019/2020 Page 81


34. DiCaprio MR, Covey A, Bernstein J. Curricular requirements for musculoskeletal
medicine in American medical schools. J Bone Joint Surg Am.2003;85:565–
567.

35. Ehrmann-Feldman D, Rossignol M, Abenhaim L, Gobeille D. Physician referral to


physical therapy in a cohort of workers compensated for low back pain.
Phys Ther. 1996;76:150-156; discussion 156-157.

36. Eiff MP, Smith AT, Smith GE. Early mobilization versus immobilization in the treatment
of lateral ankle sprains. Am J Sports Med. 1994;22:83-88.

37. Elam KC, Cherkin DC, Deyo RA. How emergency physicians approach low back pain:
choosing costly options. J Emerg Med. 1995;13:143-150

38. Faidlullah, H. Z (2014). Peran Fisioterapi dalam Managemen Bencana dan Gawat
Darurat. UNIVERSITAS ‗Aisyiyah Yogyakarta. Semarang. Suara merdeka

39. Finch E, Brooks D, Stratford P, Mayo N. Physical Rehabilitation Outcome Measures: A


Guide to Enhanced Clinical Decision Making. 2nd ed. Baltimore, MD: Lippincott,
Williams & Wilkins; 2002.

40. Fleming-McDonald D et al. 2010. Physical Therapy in the Emergency Department:


Development of a Novel Practice Venue. Physical Therapy; 90 (3): 420-426.
http://ptjournal.apta.org/content/90/3/420.full.pdf+html
41. Fritz J et al. 2012. Primary Care Referral of Patients with Low Back Pain to Physical
Therapy: Impact on Future Health Care Utilization and Costs. Spine; 37(25):
2114-2121.

42. Freedman KB, Bernstein J. The adequacy of medical school education in musculoskeletal
medicine. J Bone Joint Surg Am. 1998;80:1421- 1427.

43. Fuhrmans V. A novel plan helps hospital wean itself off pricey tests. New York, NY: The
Wall Street Journal; January 12, 2007.

44. Gaieski DF, Mehta S, Hollander JE, Shofer F, Bernstein J. Low-severity musculoskeletal
complaints evaluated in the emergency department. Clin Orthop Relat Res.
2008;466:1987- 1995. http://dx.doi.org/10.1007/ s11999-008-0277-5

45. Garbez R, Puntillo K. Acute musculoskeletal pain the emergency department: a review of
the literature and implications for the advanced practice nurse. AACN Clin Issues.
2005;16:310–319.

MODUL FISIOTERAPI KEGAWATDARURATAN T.A 2019/2020 Page 82


46. Gatchel RJ, Polatin PB, Noe C, Gardea M, Pulliam C, Thompson J. Treatment- and
costeffectiveness of early intervention for acute low-back pain patients: a one-
year prospective study. J Occup Rehabil. 2003;13:1-9.

47. Giudice ML. Effects of continuous passive motion and elevation on hand edema. Am J
Occup Ther. 1990;44:914-921.

48. Graeme AC, Jones MB. Musculoskeletal problems at an accident and emergency
department and in general practice. NZ Med J. 1983;98:529–531.

49. Greathouse DG, Schreck RC, Benson CJ. The United States Army physical therapy
experience: evaluation and treatment of patients with neuromusculoskeletal
disorders. J Orthop Sports Phys Ther. 1994;19:261-266.

50. Griffin M, Melby V. Developing and advanced nurse practitioner service in emergency
care: attitudes of nurses and doctors. J Adv Nurs.2006;56:292–301.

51. Grumbach K, Keane D, Bindman A. Primary care and public emergency department
overcrowding. Am J Public Health. 1993;83:372- 378.

52. Guide to Physical Therapist Practice. 2nd ed. Phys Ther. 2001;81:9–746.

53. Hackett GI, Bundred P, Hutton JL, et al. Management of joint and soft tissue issues in
three general practices: value of on-site physiotherapy. Br J Gen Pract.
1993;43:61–64.

54. Hagen EM, Eriksen HR, Ursin H. Does early intervention with a light mobilization
program reduce long-term sick leave for low back pain? Spine. 2000;25:1973-
1976.

55. Handel DA, McConnell KJ, Allen H, et al. Outpatient follow-up in today's health care
environment. Ann Emerg Med. 2007;49:288–292.

56. Hayes K, Huckstadt A, Daggett D. Acute low back pain in the emergency department.
Advanc Emerg Nurse J. 2006;28:234-247.

57. Hoskins R. Evaluating new roles within emergency care: a literature review. International
Emergency Nursing. 2010; doi:10.1016/j.iejj.2010.09.003

58. Hourigan PG, Weatherly CR. Initial assessment and follow-up by a physiotherapist of : a
United Statesemergencydepartmentdatabase analysis. JEmerg
Med.2004;26:37–45.

MODUL FISIOTERAPI KEGAWATDARURATAN T.A 2019/2020 Page 83


59. Hubbard TJ, Aronson SL, Denegar CR. Does cryotherapy hasten return to participation?
A systematic review. J Athl Train. 2004;39:88-94.

60. Jibuike OO, Paul –Taylor G, Maulvi S, Richmond P, Fairclough J. Management of soft

tissue injuries in an accident and emergency department: the effect of the

introduction of a physiotherapy practitioner. Emerg Med J. 2003:20:37-9.

61. Jibuike OO, Paul-Taylor G, Maulvi S, Richmond P, Fairclough J. Management of soft


tissue knee injuries in an accident and emergency department: the effect of the
introduction of a physiotherapy practitioner. Emerg Med J. 2003;20:37-39

62. Jogodka C. Physical therapist utilization in the emergency department: Experiences from
the first 15,000+ patient visits. American Physical Therapy Association National
Conference. Orlando, FL: 2006.

63. Johannsen F, Langberg H. The treatment of acute soft tissue trauma in Danish emergency
rooms. Scand J Med Sci Sports. 1997;7:178-181.

64. Jorgensen DJ. Fiscal analysis of emergency admissions for chronic back pain: a pilot
study from a Maine hospital. Pain Med. 2007;8:354–358.

65. Kannus P. Immobilization or early mobilization after an acute soft-tissue injury? Phys
Sport Med. 2000;28:1-8. http://dx.doi.org/10.3810/ psm.2000.03.775

66. Kay DB. The sprained ankle: current therapy. Foot Ankle. 1985;6:22-28.

67. Kebijakan kemenkes. Sistem penanggulangan gawat darurat terpadu spgdt dan bencana‖
penanggulangan-gawat-darurat-terpadu-spgdt-dan-bencana, diakses pada 25
oktober 2011, 21:00

68. Kempson SM. Physiotherapy in an accident and emergency department. Accid Emerg
Nurs. 1996;4:198-202.

69. Kilner E. What evidence is there that a physiotherapy service in the emergency

department improves health outcomes? A systematic review. J Health Serv Res

Policy. 2011 Jan;16(1):51-8.

MODUL FISIOTERAPI KEGAWATDARURATAN T.A 2019/2020 Page 84


70. Knapp DJ, Russell TL, Byrum C, Waters S. Entry-Level Practice Analysis Update for
Physical Therapist Licensure Examinations Offered by the Federation of State
Boards of Physical Therapy. Alexandria, VA: HumRRO; 2007.

71. Kongsted A, Qerama E, Kasch H, et al. Neck collar, ―act-as-usual‖ or active


mobilization for whiplash injury? A randomized parallel-group trial. Spine.
2007;32:618-626. http://dx.doi. org/10.1097/01.brs.0000257535.77691.bd

72. Korthals-de Bos IB, Hoving JL, van Tulder MW, et al. Cost effectiveness of
physiotherapy, manual therapy, and general practitioner care for neck pain:
economic evaluation alongside a randomised controlled trial. BMJ. 2003;326:911.
http://dx.doi.org/10.1136/ bmj.326.7395.911

73. Kuritzky L. Current management of acute musculoskeletal pain in the ambulatory care
setting. Am J Ther. 2008;15(supp 10):S7–S11.

74. Landaeta RE, Mun JH, Rabadi G, Levin D. Identifying sources of resistance to change in
healthcare. IJHTM. 2008;9:74-96.

75. Lang T, Barker R, Steinlechner B, et al. TENS relieves acute posttraumatic hip pain
during emergency transport. J Trauma. 2007;62:184-188; discussion 188.
http://dx.doi. org/10.1097/01.ta.0000197176.75598.fc

76. Lau PM, Chow DH, Pope MH. Early physiotherapy intervention in an accident and
emergency department reduces pain and improves satisfaction for patients with
acute low back pain: a randomized trial. Aust J Physiother.2008;54:243–249.

77. Lebec M, Cernohous S, Raddack B. Physician perceptions of physical therapy services in


the emergency department [abstract]. National Conference of the American
Physical Therapy Association. Orlando, FL: 2006.

78. Lebec MT, Jogodka CE. The physical therapist as a musculoskeletal specialist in the
emergency department. J Orthop Sports Phys Ther.2009;39:221–229.

79. Lebec, MT,et al. Emergency Department Physical Therapist Service: A Pilot Study
Examining Physician Perceptions. The Internet Journal of Allied Health Sciences
and Practice. Jan 2010. Volume 8 Number 1

80. Lemstra M, Olszynski WP. The effectiveness of standard care, early intervention, and
occupational management in worker‘s compensation claims. Spine. 2003;28:299-
304. http://dx.doi. org/10.1097/01.BRS.0000042249.21349.22

MODUL FISIOTERAPI KEGAWATDARURATAN T.A 2019/2020 Page 85


81. Linton SJ, Hellsing AL, Andersson D. A controlled study of the effects of an early
intervention on acute musculoskeletal pain problems. Pain. 1993;54:353-359.

82. Logan AJ, Holt MD. Management of whiplash injuries presenting to accident and
emergency departments in Wales. Emerg Med J. 2003;20:354-355.

83. Ma JO, Cline DM, Tintinalli JE, Kelen GD, Stapczynski JS. Emergency Medicine
Manual. 6th ed. Columbus, OH: McGraw-Hill Co Inc; 2003.

84. Manca A, Dumville JC, Torgerson DJ, et al. Randomized trial of two physiotherapy
interventions for primary care back and neck pain patients: cost effectiveness
analysis.Rheumatology(Oxford).2007;46:14951501.http://dx.doi.org/10.1093/rh
umatology/kem183

85. Manchikanti L. National drug control policy and prescription drug abuse: facts and
fallacies. Pain Physician. 2007;10:399-424.

86. Martin BI, Deyo RA, Mirza SK, et al. Expenditures and health status among adults with
back and neck problems. JAMA. 2008;299:656-664. http://dx.doi.org/10.1001/
jama.299.6.656

87. Mayer TA. Patient satisfaction: expectations, realities, and possibilities. In: Jensen K,
Mayer TA, Welch SJ, Haraden C, eds. Leadership for Smooth Patient Flow.
Chicago, IL: Health Administration Press; 2007.

88. McCaig LF, Ly N. National Hospital Ambulatory Medical Care Survey: 2000 Emergency
Department Summary. Advance Data From Vital and Health Statistics; no. 326.
Hyattsville, MD: National Center for Health statistics; 2002.

89. McCLellan CM, Cramp F, Powell J, Benger JR. Extended scope physiotherapists in the
emergency department: a literature review. Physical Therapy Review. 2010; 15
(2).
90. McClellan CM, Greenwood R, Benger JR. Effect of an extended scope physiotherapy
service on patient satisfaction and the outcome of soft tissue injuries in an adult
emergency department. Emergency Medicine Journal. 2006;23:384-387.

91. McClellan CM, Greenwood R, Benger JR. Effect of an extended scope physiotherapy
service on patient satisfaction and the outcome of soft tissue injuries in an adult
emergency department. Emerg Med J. 2006;23:384-387. http://
dx.doi.org/10.1136/emj.2005.029231

MODUL FISIOTERAPI KEGAWATDARURATAN T.A 2019/2020 Page 86


92. McClellan CM, Greenwood R, Benger JR. Effect of an extended scope physiotherapy
service on patient satisfaction and the outcome of soft tissue injuries in an adult
emergency department. Emerg Med J. 2006;23:384–387
93. McKinney LA, Dornan JO, Ryan M. The role of physiotherapy in the management of

acute neck sprains following road-traffic accidents. Arch Emerg Med. 1989;6:27–
33.

94. Mitton G; Dionne F. 2012. Valuation of Physiotherapy Services in Canada; CPA report
using MCDA analysis for determining value of physiotherapy services;

95. Moore S, Gemmell I, Almond S, et al. Impact of specialist care on clinical outcomes for
medical emergencies. Clin Med. 2006;6:286-293.
96. Moore JH, McMillian DJ, Rosenthal MD, Weishaar MD. Risk determination for patients

with direct access to physical therapy in military health care facilities. J Orthop
Sports Phys Ther. 2005;35:674–678.

97. Morris CD, Hawes SJ. The value of accident and emergency based physiotherapy
services. J Accid Emerg Med. 1996;13:111-113.

98. Mo-Yee Lau P, Hung-Kay Chow D, Pope MH. Early physiotherapy intervention in an
accident and emergency department reduces pain and improves satisfaction for
patients with acute low back pain: a randomized trial. Australian Journal of
Physiotherapy. 2008;54:243-49.

99. Mueller MJ, Maluf KS. Tissue adaptation to physical stress: a proposed ―physical stress
theory‖ to guide physical therapist practice, education, and research. Phys Ther.
2002;82:383- 403.

100. Murphy BP, Greathouse D, Matsui I. Primary care physical therapy practice
models. J Orthop Sports Phys Ther. 2005;35:699-707.
http://dx.doi.org/10.2519/jospt.2005.2167

101. Nash CE, Mickan SM, Del Mar CB, Glasziou PP. Resting injured limbs delays
recovery: a systematic review. J Fam Pract. 2004;53:706-712.

102. National Clinical Guideline for diagnosis and Initial for Management of Acute
Stroke and Transient Ischemic Attack. 2008. Royal College of Physicians,
London,

103. Nawar EW, Niska RW, Xu J. National Hospital Ambulatory Medical Care
Survey: 2005 Emergency Department Summary (NHAMCS). Advance Data

MODUL FISIOTERAPI KEGAWATDARURATAN T.A 2019/2020 Page 87


from Vital and Health Statistics—Centers for Disease Control and Prevention,
Department of Health and Human Services. No. 386, June 2007

104. Neeter C, Thomee R, Silbernagel KG, Thomee P, Karlsson J. Iontophoresis with


or without dexamethazone in the treatment of acute Achilles tendon pain. Scand J
Med Sci Sports. 2003;13:376-382.

105. Nuartha, 2008. Penanganan Terkini Stroke. Laboratorium Neurologi Fakultas


Kedokteran Universitas Udayana, Denpasar

106. Oldmeadow LB, Bedi HS, Burch HT, Smith JS, Leahy ES, Goldwasser M.
Experienced physiotherapists as gatekeepers to hospital orthopaedic outpatient c
are. Med J Aust. 2007;186:625-628.

107. Pal B, Quennell P, Hawes S. A review of accident and emergency attendances for
non-traumatic musculo-skeletal complaints. Rheumatol Int. 2000;19:171-175.

108. Paniagua MA, Malphurs JE, Phelan EA. Older patients presenting to a county
hospital ED after a fall: missed opportunities for prevention. Am J Emerg Med.
2006;24:413-417. http:// dx.doi.org/10.1016/j.ajem.2005.12.005

109. Perron AD. Musculoskeletal training: emergency medicine needs to take charge.
Am J Emerg Med. 2000;18:356-357.

110. Pre-hospital Stroke Guidelines Group – Recognition of stroke / TIA. Developed


by the Pre-hospital Stroke Guidelines Group and the Intercollegiate stroke. 2006.
Working Party: www.britishparamedic.org/clin/strokeguidelines 2006. Pdf
111. Price, S & Wilson, L, 2005. Patofisiologi: Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit.
Edisi 6. EGC, Jakarta
112. Pusponegoro, Aryono D. 1995 : Organisasi PPGD. IKABI Jakarta

113. Richardson B, Shepstone L, Poland F, Mugford M, Finlayson B, Clemence N.


Randomised controlled trial and cost consequences study comparing initial
physiotherapy assessment and management with routine practice for selected
patients in an accident and emergency department of an acute hospital. Emerg
Med J. 2005;22:87-92. http://dx.doi.org/10.1136/ emj.2003.012294

114. Richardson B, Shepstone L, Poland F, et al. Randomised controlled trial and cost
consequences study comparing initial physiotherapy assessment and management
with routine practice for selected patients in an accident and emergency
department of an acute hospital. Emerg Med J.2005;22:87–92.

MODUL FISIOTERAPI KEGAWATDARURATAN T.A 2019/2020 Page 88


115. Rosenfeld M, Gunnarsson R, Borenstein P. Early intervention in whiplash-
associated disorders: a comparison of two treatment protocols. Spine.
2000;25:1782-1787.

116. Rosenfeld M, Seferiadis A, Gunnarsson R. Active involvement and intervention


in patients exposed to whiplash trauma in automobile crashes reduces costs: a r
andomized,controlled clinical trial and health economic evaluation. Spine.
2006;31:1799-1804. http://dx.doi. org/10.1097/01.brs.0000225975.12978.6c

117. Sasaki M. Cervical cord compression secondary to ossification of the posterior


longitudinal ligament. J Orthop Sports Phys Ther.2005;35:722–729.

118. Schnabel M, Ferrari R, Vassiliou T, Kaluza G. Randomised, controlled outcome


study of active mobilisation compared with collar therapy for whiplash injury.
Emerg Med J. 2004;21:306- 310.

119. Sinclair SJ, Hogg-Johnson SH, Mondloch MV, Shields SA. The effectiveness of
an early active intervention program for workers with soft-tissue injuries. The
Early Claimant Cohort Study. Spine. 1997;22:2919-2931.

120. Stowell T, Cioffredi W, Greiner A, Cleland J. Abdominal differential diagnosis in


a patient referred to a physical therapy clinic for low back pain. J Orthop Sports
Phys Ther. 2005;35:755–764.

121. Taskaynatan MA, Ozgul A, Ozdemir A, Tan AK, Kalyon TA. Effects of steroid
iontophoresis and electrotherapy on bicipital tendonitis. J Musculoskel Pain.
2007;15:47-54.

122. Taub E, Uswatte G, Mark VW, Morris DM. The learned nonuse phenomenon:
implications for rehabilitation. Eura Medicophys. 2006;42:241- 256.

123. Taubenhaus LJ. The emergency department. Arch Environ Health. 1971;22:629-
630.UK

124. Taylor NF, Norman E, Roddy L, Tang C, Pagram A, Hearn K. Primary contact
physiotherapy in emergency departments can reduce length of stay for patients
with peripheral musculoskeletal injuries compared with secondary contact
physiotherapy:a prospective non-randomised controlled trial. Physiotherapy.
2011;97:107-114.

125. The European Stroke Organisation (ESO) Executive Committee and the ESO
Writing Committee. Guidelines for Management of Ischemic Attack 2008.
Cerebrovascular Disease 2008;25:457-507

MODUL FISIOTERAPI KEGAWATDARURATAN T.A 2019/2020 Page 89


126. Troyer MR. Differential diagnosis of endometriosis in a young adult woman with
nonspecific low back pain. Phys Ther. 2007;87:801–810

127. Vassiliou T, Kaluza G, Putzke C, Wulf H, Schnabel M. Physical therapy and


active exercises--an adequate treatment for prevention of late whiplash syndrome?
Randomized controlled trial in 200 patients. Pain. 2006;124:69-76.
http://dx.doi.org/10.1016/j. pain.2006.03.017

128. Verhagen AP, Karels C, Bierma-Zeinstra SM, et al. Exercise proves effective in a
systematic review of work-related complaints of the arm, neck, or shoulder. J Clin
Epidemiol. 2007;60:110-117. http://dx.doi.org/10.1016/j. jclinepi.2006.05.006

129. Vicenzino B, Branjerdporn M, Teys P, Jordan K. Initial changes in posterior talar


glide and dorsiflexion of the ankle after mobilization with movement in
individuals with recurrent ankle sprain. J Orthop Sports Phys Ther. 2006;36:464
471. http://dx.doi.org/10.2519/ jospt.2006.2265

130. Waisman Y, Siegal N, Chemo M, et al. Do parents understand emergency


department discharge instructions? A survey analysis. Isr Med Assoc J.
2003;5:567-570.

131. Wand BM, Bird C, McAuley JH, Dore CJ, MacDowell M, De Souza LH. Early
intervention for the management of acute low back pain: a single-blind
randomized controlled trial of biopsychosocial education, manual therapy, and
exercise. Spine. 2004;29:2350- 2356.

132. Williams JM, Chinnis AC, Gutman D. Health promotion practices of emergency
physicians. Am J Emerg Med. 2000;18:17-21.

133. Wilsey BL, Fishman SM, Crandall M, et al. A qualitative study of the barriers to
chronic pain management in the ED. Amer J Emerg Med.2008;26:255–26

134. Wilsey BL, Fishman SM, Ogden C, et al. Chronic pain management in the
emergency department: a survey of attitudes and beliefs. Pain Med.2008;9:1073–
1080.

135. Woods EN. The emergency department: a new opportunity for physical therapy.
PT Magazine. 2000;8:42-48.

136. Zigenfus GC, Yin J, Giang GM, Fogarty WT. Effectiveness of early physical
therapy in the treatment of acute low back musculoskeletal disorders. J Occup
Environ Med. 2000;42:35- 39

MODUL FISIOTERAPI KEGAWATDARURATAN T.A 2019/2020 Page 90

Anda mungkin juga menyukai