Anda di halaman 1dari 50

BAB II

TINJAUAN KEPUSTAKAAN

2.1 Definisi Sepsis

Sepsis merupakan suatu respon inflamasi sistemik terhadap infeksi, dimana

patogen atau toksin dilepaskan ke dalam sirkulasi darah sehingga terjadi aktivasi

proses inflamasi. Sepsis ditandai dengan perubahan temperatur tubuh, perubahan

jumlah leukosit, takikardi dan takipnu (PERDACI, 2014).

Sepsis adalah adanya sindroma respons inflamasi sistemik (Systemic

Inflammatory Response Syndrome / SIRS) ditambah dengan adanya infeksi pada

organ tertentu berdasarkan hasil biakan positif di tempat tersebut. Definisi lain

menyebutkan bahwa sepsis merupakan respon sistemik terhadap infeksi, berdasarkan

adanya SIRS ditambah dengan infeksi yang dibuktikan atau dengan suspek infeksi

secara klinis. Bukti klinisnya berupa suhu tubuh yang abnormal (> 38 oC atau < 36◦C);

takikardi; asidosis metabolik; biasanya disertai dengan alkalosis respiratorik

terkompensasi dan takipneu; dan peningkatan atau penurunan jumlah sel darah putih..

Sepsis juga dapat disebabkan oleh infeksi virus atau jamur (Guntur,2008).

Berdasarkan Bone et al, SIRS adalah pasien yang memiliki dua atau lebih

kriteria :

1. Suhu > 38◦ atau < 36 ◦C

2. Denyut jantung > 90 kali/ menit

3. Laju respirasi > 20 kali/ menit atau PaCO2 < 32 mmHg


4. Hitung leukosit > 12.000/ mm3 atau >10% sel imatur/ band (Bone,1997).

Society for Critical Care Medicine (SCCM) Concensus Conference on

Standarized Definitions of Sepsis (1992), telah mempublikasikan konsensus

dengan defenisi baru dan kriteria diagnosis untuk sepsis dan keadaan- keadaan

yang berkaitan dan menetapkan kriteria SIRS, sepsis berat dan syok septik sebagai

berikut :

 Bakteriemia : adanya bakteri dalam darah, yang dibuktikan dengan

kultur darah positif.

 SIRS : respon tubuh terhadap inflamasi sistemik, ditandai dua atau

lebih keadaan berikut :

1. Suhu > 38◦ C atau < 36◦ C.

2. Takikardia (HR > 90 x/menit).

3. Takipnu ( RR > 20 x/ menit) atau PaCO2 < 32 mmHg.

4. Leukosit darah > 12.000/ µL atau neutrofil batang > 10%.

 Sepsis : SIRS yang dibuktikan atau diduga penyebab kuman.

 Sepsis berat : sepsis yang disertai dengan disfungsi organ,

hipoperfusi atau hipotensi termasuk asidosis laktat, oliguria dan

penurunan kesadaran.

 Syok sepsis : sepsis dengan hipotensi meskipun telah diberikan

resusitasi cairan secara adekuat, bersama dengan disfungsi organ.

 Hipotensi : tekanan darah sistolik < 90 mmHg atau berkurang 40

mmHg dari tekanan darah normal pasien.


 Multiple organ Disfunction syndrome : disfungsi satu organ atau

lebih, memerlukan intervensi untuk mempertahankan homeostatis.

(PERDACI,2014).

Pada International Sepsis Definition Conference (ISDC) (2001)

menambahkan beberapa kriteria diagnosis baru dari yang sebelumnya untuk

sepsis. Dimana bagian yang terpenting adalah dengan memasukkan petanda

biomolekular yaitu PCT dan CRP, sebagai langkah awal dalam diagnosa sepsis.

Rekomendasi yang utama adalah implementasi dari suatu sistem tingkatan

Predisposition, Insult Infection, Response, and Organ Disfunction (PIRO) untuk

menentukan pengobatan secara maksimum berdasarkan karakteristik pasien

dengan stratifikasi gejala dan resiko yang individual (Levy Mm, 2003).

Sepsis berbeda dengan septikemia. Septikemia (nama lain untuk blood

poisoning) mengacu pada infeksi dari darah, sedangkan sepsis tidak hanya terbatas

pada darah, tapi dapat mempengaruhi seluruh tubuh, termasuk organ-organ (Runge

MS, 2009).

Sepsis berat adalah sepsis yang disertai dengan satu atau lebih tanda disfungsi

organ, hipotensi, atau hipoperfusi. Kelainan hipoperfusi meliputi:

1. menurunnya fungsi ginjal

2. hipoksemia

3. asidosis laktat

4. oliguria

5. perubahan status mental.


Syok septik merupakan sepsis dengan tekanan darah arteri < 90 mmHg

atau 40 mmHg di bawah tekanan darah normal pasien tersebut selama sekurang-

kurangnya 1 jam meskipun telah dilakukan resusitasi cairan atau dibutuhkan

vasopressor untuk mempertahankan agar tekanan darah sistolik tetap ≥ 90 mmHg

atau tekanan arterial rata-rata ≥ 70 mmHg (Fauci AS, 2009) (Caterino JM,2012).

SIRS, sepsis dan syok septik biasanya berhubungan dengan infeksi bakteri,

tetapi tidak selalu harus terdapat bakteriemia. Hal ini karena di dalam darah

kemungkinan terdapat endo maupun eksotoksemia, sedangkan bakterinya berada

di jaringan. Bakteriemia adalah keberadaan bakteri hidup dalam komponen cairan

darah. Bakteriemia bersifat sepintas, seperti biasanya dijumpai setelah jejas pada

permukaan mukosa, primer (tanpa fokus infeksi terindentifikasi) atau seringkali

sekunder terhadap fokus infeksi intravaskuler atau ekstravaskuler, sehingga

biakan darah tidak harus positif (Guntur, 2008).

2.2 Epidemiologi

Sepsis menempati urutan ke-10 sebagai penyebab utama kematian di

Amerika Serikat dan penyebab utama kematian pada pasien sakit kritis. Sekitar

80% kasus sepsis berat di unit perawatan intensif di Amerika Serikat dan Eropa

selama tahun 1990-an terjadi setelah pasien masuk untuk penyebab yang tidak

terkait. Kejadian sepsis meningkat hampir empat kali lipat dari tahun 1979-2000,

menjadi sekitar 660.000 kasus (240 kasus per 100.000 penduduk) sepsis atau syok

septik per tahun di Amerika Serikat (Runge MS, 2009).


Dari tahun 1999 sampai 2005 ada 16.948.482 kematian di Amerika

Serikat. Dari jumlah tersebut, 1.017.616 dikaitkan dengan sepsis (6% dari semua

kematian). Sebagian besar kematian terkait sepsis terjadi di rumah sakit, klinik

dan pusat kesehatan (86,9%) dan 94,6% dari ini adalah pasien rawat inap tersebut

(Melamed A, 2009).

Pada tahun 2001 dilaporkan bahwa insidens sepsis di Amerika terjadi pada

3 dari 1000 populasi, 51,1 % dirawat di ICU dan 17,3 % mendapat bantuan

ventilasi mekanik. Dari tahun1979 sampai tahun 2000, terjadi peningkatan

insidens sepsis 13,7 % pertahun ( Angus DC, 2001).

Di beberapa negara seperti di Inggris dan Taiwan dilaporkan bahwa

insidens sepsis terus meningkat dengan angka kematian yang juga meningkat.

Pada tahun 2004 dilaporkan di Inggris bahwa 27% pasien yang masuk rumah sakit

menderita sepsis berat dalam 24 jam pertama, walaupun angka kematiannya

menurun dari 48,3% p pada tahun1996 menjadi 44,7% pada tahun 2004, tetapi

total kematian pada populasi meningkat dari 9.000 menjadi 14.000. Di Taiwan

pada tahun 2006 didapatkan insidensi sepsis meningkat 1,6 kali dari 135 per

100.000 pasien, pada tahun 1997 menjadi 217 per 1000 pasien pada tahun 2006

(Shen HN, 2006).

Dalam 10 – 15 tahun terakhir terjadi penurunan angka kematian yang

disebabkan oleh sepsis, walaupun masih tetap tinggi (30 – 50%). Early goal

direct therapy (EGDT) yang dikembangkan oleh Rivers tahun 2001 dapat

menurunkan angka kematian dari 46,5% menjadi 30,5 %. Dr. Liu melaporkan

data yang menarik dari Kaiser Permanente Northern California (KPNC) quality
improvment program bahwa lebih dari 25% pasien yang masuk rumah sakit

memenuhi kriteria sepsis ( kadar laktat darah > 4mmol/L) yang harus dilakukan

EGDT, akan tetapi dari 2536 pasien hanya 12000 pasien yang dilakukan tindakan

EGDT. Angka kematian pada pasien yang tanpa dilakukan EGDT adalah 28,7%

dibandingkan dengan 17,8% pada pasien yang dilakuka EGDT. Pasien yang telah

dilakukan EGDT di ruang gawat darurat, 90% pasien tersebut langsungdi rawat di

ICU, sedangkan yang tidak dilakukan EGDT hanya sekitar 43% yang masih hidup

dan mendapatkan perawatan ICU. Dari data tersebut menunjukkan bahwa

keterlambatan penanganan pasien akan meningkatkan angka kematian (Kula R,

2009).

CDC National Center of Hospital Statistics tahun 2011 melaporkan bahwa

beban ekonomi sangat tinggi pada pasien sepsis berat dan syok septik ini pada

tahun 2008, diperkirakan 14,6 juta dolar telah dihabiskan untuk perawatan

septikemia, dan sejak tahun 1997 sampai 2008 terjadi peningkatan biaya

perawatan pasien di rumah sakit sekitar rata- rata 11,9% (CDC, 2011).

2.3 Etiologi Sepsis

Sepsis biasanya disebabkan oleh infeksi bakteri (meskipun sepsis dapat

disebabkan oleh virus, atau semakin sering, disebabkan oleh jamur).

Mikroorganisme kausal yang paling sering ditemukan pada orang dewasa adalah

Escherichia coli, Staphylococcus aureus, dan Streptococcus pneumonia. Spesies

Enterococcus, Klebsiella, dan Pseudomonas juga sering ditemukan. Umumnya,

sepsis merupakan suatu interaksi yang kompleks antara efek toksik langsung dari
mikroorganisme penyebab infeksi dan gangguan respons inflamasi normal dari

host terhadap infeksi (Caterino JM, 2012).

Kultur darah positif pada 20- 40% kasus sepsis dan pada 40- 70% kasus

syok septik. Dari kasus-kasus dengan kultur darah yang positif, terdapat hingga

70% isolat yang ditumbuhi oleh satu spesies bakteri gram positif atau gram

negatif saja; sisanya ditumbuhi fungus atau mikroorganisme campuran lainnya.

Kultur lain seperti sputum, urin, cairan serebrospinal, atau cairan pleura dapat

mengungkapkan etiologi spesifik, tetapi daerah infeksi lokal yang memicu proses

tersebut mungkin tidak dapat diakses oleh kultur (Fauci AS, 2009).

Insidensi sepsis yang lebih tinggi disebabkan oleh bertambah tuanya

populasi dunia, pasien-pasien yang menderita penyakit kronis dapat bertahan

hidup lebih lama, terdapat frekuensi sepsis yang relatif tinggi di antara pasien-

pasien AIDS, terapi medis (misalnya dengan glukokortikoid atau antibiotika),

prosedur invasif (misalnya pemasangan kateter), dan ventilasi mekanis (Fauci AS,

2009).

Sepsis dapat dipicu oleh infeksi di bagian manapun dari tubuh. Daerah

infeksi yang paling sering menyebabkan sepsis adalah paru-paru, saluran kemih,

perut, dan panggul. Jenis infeksi yang sering dihubungkan dengan sepsis yaitu:

1. Infeksi paru-paru (pneumonia)

2. Flu (influenza)

3. Appendiksitis

4. Infeksi lapisan saluran pencernaan (peritonitis)


5. Infeksi kandung kemih, uretra, atau ginjal (infeksi traktus urinarius)

6. Infeksi kulit, seperti selulitis, sering disebabkan ketika infus atau kateter

telah dimasukkan ke dalam tubuh melalui kulit

7. Infeksi pasca operasi

8. Infeksi sistem saraf, seperti meningitis atau encephalitis.

Sekitar pada satu dari lima kasus, infeksi dan sumber sepsis tidak dapat

terdeteksi (National Heart UK, 2014).

2.4 Patofisiologi Sepsis

Infeksi adalah istilah untuk menamakan keberadaan berbagai kuman yang

masuk ke dalam tubuh manusia. Bila kuman berkembang biak dan menyebabkan

kerusakan jaringan disebut penyakit infeksi. Pada penyakit infeksi terjadi jejas

sehingga timbul reaksi inflamasi. Meskipun dasar proses inflamasi sama, namun

intensitas dan luasnya tidak sama, tergantung luas jejas dan reaksi tubuh.

Inflamasi akut dapat terbatas pada tempat jejas saja atau dapat meluas serta

menyebabkan tanda dan gejala sistemik. (Rijal I, 2011)

Manifestasi klinik inflamasi sistemik disebut SIRS, sedangkan sepsis

adalah SIRS ditambah tempat infeksi yang diketahui. Meskipun sepsis biasanya

berhubungan dengan infeksi bakteri, namun tidak harus terdapat bakteriemia.

Berdasarkan konferensi internasional tahun 2001 memasukkan petanda PCT

sebagai langkah awal dalam mendiagnosa sepsis. Purba D (2010) di Medan, pada

penelitian PCT sebagai petanda sepsis mendapatkan nilai PCT 0,80 ng/ml sesuai
untuk sepsis akibat infeksi bakteri dan kadarnya semakin meningkat berdasarkan

keparahan penyakit (Burdette SD, 2014).(purba usu repository).

Ketika jaringan terluka atau terinfeksi, akan terjadi pelepasan faktor-faktor

proinflamasi dan anti inflamasi secara bersamaan. Keseimbangan dari sinyal yang

saling berbeda ini akan membantu perbaikan dan penyembuhan jaringan. Ketika

keseimbangan proses inflamasi ini hilang akan terjadi kerusakan jaringan yang

jauh, dan mediator ini akan menyebabkan efek sistemik yang merugikan tubuh.

Proses ini dapat berlanjut sehingga menimbulkan multiple organ dysfunction

syndrome (MODS) (Rizal I, 2011).

Sitokin sebagai mediator inflamasi tidak berdiri sendiri dalam sepsis,

masih banyak faktor lain (non sitokin) yang sangat berperan dalam menentukan

perjalanan penyakit. Respon tubuh terhadap patogen melibatkan berbagai

komponen sistem imun dan sitokin, baik yang bersifat proinflamasi maupun

antiinflamasi. Termasuk sitokin proinflamasi adalah Tumor necrosis factor (TNF),

Interleukin-1 (IL-1), dan Interferon-γ (IFN-γ) yang bekerja membantu sel untuk

menghancurkan mikroorganisme yang menginfeksi. Termasuk sitokin anti

inflamasi adalah IL- 1 reseptor antagonis (IL-1ra), IL-4, dan IL-10 yang bertugas

untuk memodulasi, koordinasi atau represi terhadap respon yang berlebihan.

Sedangkan IL-6 dapat bersifat sebagai sitokin pro- dan anti-inflamasi sekaligus (Rijal

I, 2011).

Penyebab sepsis paling banyak berasal dari stimulasi toksin, baik dari

endotoksin gram (-) maupun eksotoksin gram (+). Komponen endotoksin utama

yaitu lipopolisakarida (LPS) atau endotoksin glikoprotein kompleks dapat secara


langsung mengaktifkan sistem imun seluler dan humoral, bersama dengan

antibodi dalam serum darah penderita membentuk lipopolisakarida antibodi

(LPSab). LPSab yang berada dalam darah penderita dengan perantaraan reseptor

CD14+ akan bereaksi dengan makrofag yang kemudian mengekspresikan

imunomudulator (Rijal I, 2011).

Pada sepsis akibat kuman gram (+), eksotoksin berperan sebagai super-

antigen setelah difagosit oleh monosit atau makrofag yang berperan sebagai

antigen processing cell dan kemudian ditampilkan sebagai antigen presenting cell

(APC). Antigen ini membawa muatan polipeptida spesifik yang berasal dari major

+
histocompatibility complex (MHC), kemudian berikatan dengan CD4 (limfosit

Th1 dan Th2) dengan perantaraan T cell receptor (TCR) (Rizal I, 2011).

Sebagai usaha tubuh untuk bereaksi terhadap sepsis maka limposit T akan

mengeluarkan substansi dari Th1 yang berfungsi sebagai imunomodulator yaitu:

IFN-γ, IL-2,dan macrophage colony stimulating factor (M-CSF). Limfosit Th2

akan mengeluarkan IL-4, IL-5, IL-6, dan IL-10. IFN-γ merangsang makrofag

mengeluarkan IL-1ß dan TNF-α. Pada sepsis IL-2 dan TNF-α dapat merusak

endotel pembuluh darah. IL-1ß juga berperan dalam pembentukan prostaglandin

E2 (PG-E)2 dan merangsang ekspresi intercellular adhesionmolecule-1 (ICAM-

1). ICAM-1 berperan pada proses adhesi neutrofil dengan endotel (Rijal I , 2011).

Neutrofil yang beradhesi dengan endotel akan mengeluarkan lisosim yang

menyebabkan dinding endotel lisis. Neutrofil juga membawa superoksi dan

radikal bebas yang akan mempengaruhi oksigenasi mitokondria. Akibat proses


tersebut terjadi kerusakan endotel pembuluh darah. Kerusakan endotel akan

menyebabkan gangguan vaskuler sehingga terjadi kerusakan organ multipel

(Rizal I, 2011).

2.4.1. Kaskade inflamasi (Inflammatory Cascade)

Bakteri merupakan patogen yang sering dikaitkan dengan perkembangan

sepsis. Patofisiologi sepsis dapat dimulai oleh komponen membran luar organisme

gram negatif (misalnya, lipopolisakarida, lipid A, endotoksin) atau organisme

gram positif (misalnya, asam lipoteichoic, peptidoglikan), serta jamur, virus, dan

komponen parasit.

Sepsis leads to organ failure and death via a cascade of inflammation and coagulation. Activated protein C

(APC) blocks the cascade at several points. A formulation of recombinant human APC has been approved for

treating sepsis. IL-1, interleukin 1; TNF-α, tumor necrosis factor α.

Gambar 1. Gambaran klinis Sepsis (LaRosa SP, 2013)


Umumnya, respons imun terhadap infeksi mengoptimalkan kemampuan sel-sel

imun (neutrophil, limfosit, dan makrofag) untuk meninggalkan sirkulasi dan

memasuki tempat infeksi. Signal oleh mediator ini terjadi melalui sebuah reseptor

trans-membran yang dikenal sebagai Toll-like receptors. Dalam monosit, nuclear

factor-kB (NF-kB) diaktifkan, yang mengarah pada produksi sitokin pro-

inflamasi, tumor necrosis factor α (TNF-α), dan IL-1. TNF-α dan IL-1 memacu

produksi toxic downstream mediators, termasuk prostaglandin, leukotrien,

platelet-activating factor, dan fosfolipase A2. Mediator ini merusak lapisan

endotel, yang menyebabkan peningkatan kebocoran kapiler. Selain itu, sitokin ini

menyebabkan produksi molekul adhesi pada sel endotel dan neutrofil. Interaksi

endotel neutrofilik menyebabkan cedera endotel lebih lanjut melalui pelepasan

komponen neutrofil. Akhirnya, neutrofil teraktivasi melepaskan oksida nitrat

(NO), vasodilator kuat. Dengan demikian memungkinkan neutrofil dan cairan

mengalami ekstravasasi ke dalam ruang ekstravaskular yang terinfeksi.yang

mengarah ke syok septik.

Oksida nitrat dapat mengganggu adhesi leukosit, agregasi trombosit, dan

mikrotrombosis, serta permeabilitas mikrovaskular. Peningkatan NO tampaknya

memberikan manfaat dalam arti meningkatkan aliran di tingkat mikrosirkulasi,

meskipun tentu saja vasodilatasi di tingkat makrosirkulasi merupakan penyebab

hipotensi yang membahayakan dan refrakter yang dapat mengakibatkan gangguan

fungsi organ dan kematian (Caterino JM, 2012) (LaRosa SP, 2013).

2.4.2. Tahapan perkembangan sepsis


Sepsis berkembang dalam tiga tahap:

1) Uncomplicated sepsis, disebabkan oleh infeksi, seperti flu atau abses

gigi. Hal ini sangat umum dan biasanya tidak memerlukan perawatan

rumah sakit.

2) Sepsis berat, terjadi ketika respons tubuh terhadap infeksi sudah mulai

mengganggu fungsi organ-organ vital, seperti jantung, ginjal, paru-paru

atau hati.

3) Syok septik, terjadi pada kasus sepsis yang parah, ketika tekanan darah

turun ke tingkat yang sangat rendah dan menyebabkan organ vital tidak

mendapatkan oksigen yang cukup.

Jika tidak diobati, sepsis dapat berkembang dari uncomplicated sepsis ke

syok septik dan akhirnya dapat menyebabkan kegagalan organ multiple dan

kematian (National Health Service UK, 20013).


Gambar 2 .Hubungan antar SIRS, sepsis dan infeksi (Chest, 1992)

2.5. Faktor Risiko

2.5.1. Usia

Pada usia muda dapat memberikan respon inflamasi yang lebih baik

dibandingkan usia tua. Orang kulit hitam memiliki kemungkinan peningkatan

kematian terkait sepsis di segala usia, tetapi risiko relatif mereka terbesar dalam

kelompok umur 35 sampai 44 tahun dan 45 sampai 54 tahun. Pola yang sama

muncul di antara orang Indian Amerika / Alaska Pribumi. Sehubungan dengan

kulit putih, orang Asia lebih cenderung mengalami kematian yang berhubungan

dengan sepsis di masa kecil dan remaja, dan kurang mungkin selama masa dewasa

dan tua usia. Ras Hispanik sekitar 20% lebih mungkin dibandingkan kulit putih

untuk meninggal karena penyebab yang berhubungan dengan sepsis di semua

kelompok umur (Melamed A, 2006).


Age-specific rate-ratios for sepsis-associated death by race/ethnicity category in the United

States, 1999 to 2005. Non-Hispanic whites were used as the referent group. AI/AN = American

Indian/Alaska Native.

Gambar 3. Angka kematian akibat sepsis berdasarkan umur pada ras tertentu

(Melamed A, 2006)

2.5.2. Jenis kelamin

Perempuan kurang mungkin untuk mengalami kematian yang

berhubungan dengan sepsis dibandingkan laki-laki di semua kelompok

ras / etnis. Laki-laki 27% lebih mungkin untuk mengalami kematian

terkait sepsis. Namun, risiko untuk pria Asia itu dua kali lebih besar,

sedangkan untuk laki-laki Amerika Indian / Alaska Pribumi kemungkinan

mengalami kematian berhubungan dengan sepsis hanya 7% (Melamed A,

2006).

2.5.3. Ras

Tingkat mortalitas terkait sepsis tertinggi di antara orang kulit

hitam dan terendah di antara orang Asia (Melamed A, 2005).

2.5.4. Penyakit Komorbid

Kondisi komorbiditas kronis yang mengubah fungsi kekebalan

tubuh (gagal ginjal kronis, diabetes mellitus, HIV, penyalah gunaan

alkohol) lebih umum pada pasien sepsis non kulit putih, dan komorbiditas
kumulatif dikaitkan dengan disfungsi organ akut yang lebih berat (Esper,

2006).

A, distribution of chronic comorbid medical conditions in sepsis patients according to race. B,

distribution of chronic comorbid medical conditions in sepsis patients according to gender.

COPD, chronic obstructive pulmonary disease; ESRD, end-stage renal disease; EtOH, chronic

alcohol abuse; HIV, human immunodeficiency virus.

Gambar 4. Distribusi penyakit komorbid berdasarkan ras dan jenis kelamin

(Esper, 2006).
2.5.5. Genetik

Pada penelitian Hubacek JA, et al menunjukkan bahwa polimorfisme

umum dalam gen untuk lipopolysaccharide binding protein (LBP) dalam

kombinasi dengan jenis kelamin laki-laki berhubungan dengan peningkatan risiko

untuk pengembangan sepsis dan, lebih jauh lagi, mungkin berhubungan dengan

hasil yang tidak menguntungkan. Penelitian ini mendukung peran

imunomodulator penting dari LBP di sepsis Gram-negatif dan menunjukkan

bahwa tes genetik dapat membantu untuk identifikasi pasien dengan respon yang

tidak menguntungkan untuk infeksi Gram-negatif (Hubeck JA, 2001).

2.5.6. Terapi kortikosteroid

Pasien yang menerima steroid kronis memiliki peningkatan kerentanan

terhadap berbagai jenis infeksi. Risiko infeksi berhubungan dengan dosis steroid

dan durasi terapi. Meskipun bakteri piogenik merupakan patogen yang paling

umum, penggunaan steroid kronis meningkatkan risiko infeksi dengan patogen

intraseluler seperti Listeria, jamur, virus herpes, dan parasit tertentu. Gejala klinis

yang dihasilkan dari sebuah respon host sistemik terhadap infeksi mengakibatkan

sepsis (Klein NC, 2001).

2.5.7. Kemoterapi

Obat-obatan yang digunakan dalam kemoterapi tidak dapat

membedakan antara sel-sel kanker dan jenis sel lain yang tumbuh

cepat, seperti sel-sel darah, sel-sel kulit. Orang yang menerima


kemoterapi beresiko untuk terkena infeksi ketika jumlah sel darah

putih mereka rendah. Sel darah putih adalah pertahanan utama tubuh

terhadap infeksi. Kondisi ini, yang disebut neutropenia, adalah umum

setelah menerima kemoterapi. Untuk pasien dengan kondisi ini,

setiap infeksi dapat menjadi serius dengan cepat. Menurut Penack O,

et al., sepsis merupakan penyebab utama kematian pada pasien

kanker neutropenia (National Health Service UK, 2014).

2.5.8. Obesitas

Obesitas dikaitkan dengan peningkatan morbiditas dan mortalitas pada

pasien dengan sepsis akut. Menurut penelitian Henry Wang, Russell Griffin, et

al. didapatkan hasil bahwa obesitas pada tahap stabil kesehatan secara

independen terkait dengan kejadian sepsis di masa depan. Lingkar pinggang

adalah prediktor risiko sepsis di masa depan yang lebih baik daripada BMI.

Namun pada penelitian Kuperman EF, et al diketahui bahwa obesitas bersifat

protektif pada mortalitas sepsis rawat inap dalam studi kohort, tapi sifat

protektif ini berhubungan dengan adanya komorbiditas resistensi insulin dan

diabetes (Henry W, 2012) (Kuperman EF, 2013).

2.6. Gejala Klinik

Gejala klinik sepsis tidak spesifik, biasanya didahului oleh tanda –

tanda sepsis non spesifik, meliputi demam, menggigil, dan gejala konstitutif

seperti lelah, malaise, gelisah atau kebingungan. Gejala tersebut tidak khusus
untuk infeksi dan dapat dijumpai pada banyak macam kondisi inflamasi non-

infeksius ( PERDACI, 2014).

Gejala klinik sepsis tidak spesifik, biasanya didahului oleh tanda –

tanda sepsis non spesifik, meliputi demam, menggigil, dan gejala konstitutif

seperti lelah, malaise, gelisah atau kebingungan. Gejala tersebut tidak khusus

untuk infeksi dan dapat dijumpai pada banyak macam kondisi inflamasi non-

infeksius (PERDACI 2014).

Tempat infeksi yang paling sering : paru, traktus digestifus, traktus

urinaria, kulit, jaringan lunak dan saraf pusat. Sumber infeksi merupakan

determinan penting untuk terjadi berat atau tidaknya gejala – gejala sepsis.

Gejala sepsis tersebut akan menjadi lebih berat pada penderita usia lanjut,

penderita diabetes, kanker, gagal organ utama. Yang sering diikuti gejala

Multiple Organ Dysfunction Syndrome (MODS) sampai terjadinya syok

sepsis.

Tanda –tanda MODS dengan terjadinya komplikasi :

 Sindroma distres pernafasan pada dewasa

 Koagulasi intravaskular

 Gagal ginjal akut

 Perdarahan usus

 Gagal hati

 Disfungsi sistem saraf pusat

 Gagal jantung
 Kematian (PERDACI, 2014)

2.7. Diagnosa

Diagnosis infeksi dan sepsis pada pasien yang dirawat di ICU sering sulit

karena tanda dan gejala yang ditimbulkan tidak spesifik. Ditambah lagi, sering

kali sebelum masuk ke ICU, pasien sudah mendapatkan antibiotik terlebih

dahulu.(Vincent JL, 2008)

Tanda dan hasil pemeriksaan laboratorium yang ada pada pasien sepsis

mempunyai sensitivitas dan spesifisitas yang bervariasi, misalnya demam bisa

terjadi pada pasien infeksi ataupun tanpa infeksi. Demikian juga dengan

takikardi, bisa merupakan tanda infeksi atau kompensasi berbagai syok. Jadi

diagnosis sepsis sering kali didasarkan secara klinis ditambah dengan

beberapa pemeriksaan penunjang (Vincent JL, 2008).

Oleh karena itu, dalam menegakkan diagnosis sepsis, riwayat perjalanan

penyakit menjadi hal yang penting, apalagi pasien dengan gangguan sistem

imun, maka gejala sepsis tidak spesifik. Riwayat perjalanan penyakit berguna

juga untuk mencari sumber infeksi (Cruz K, 2002).

2.8. Gambaran Klinis Dalam Mendiagnosis

Manifestasi klinis sepsis sangat bervariasi tergantung sumber infeksi,

kuman penyebab, pola gangguan fungsi organ yang akut, kondisi kesehatan

pasien sebelum sakit dan lama pengobatan awal yang sudah diberikan (Angus

DC, 2013).

1. Tanda Vital
 Demam

Salah atu tanda kerdinal sepsis adalah demam. Disebut demam bila

suhu lebih dari 38 ◦C. Hipotermia juga bisa terjadi pada sepsis.

Pengukuran suhu dengan termomoter sebaiknya mengukur suhu

core, misalnya suhu rektal karena pengukuran secara oral pada

pasien yang hiperventilasi akan menghasilkan suhu yang tidak

mencerminkan suhu di dalam (Asstiz, 1998) (PERDACI, 2014).

 Laju napas

Pada awal sepsis takipnea paling sering terjadi. Banyak hal yang

bisa menjelaskan terjadinya takipnea, antara lain sebagai

kompensasi asidosis laktat, pengaruh sitokin, dan hipoksemia

(Asstiz, 1998) (PERDACI, 2014).

 Takikardia dan Hipotensi

Takikardia merupakan tanda awal sepsis. Pada penelitian

dilaporkan rerata laju jantung awal pada pasien sepsis adalah 120x/

menit. Penurunan laju jantung menjadi 106x/ menit dalam 24 jam

pertama memperbaiki angka kehidupan (Asstiz, 1998)

(PERDACI,2014).

Pada sepsis berat terjadi depresi miokard dan gangguan preload

ventrikel kiri karena venodilatasi dan kebocoran kapiler sehingga peningkatan left

end diastolic volume dan laju jantung diperlukan untuk mempertahankan tekanan

darah yang adekuat. Namun dengan memberatnya sepsis, kemampuan kompensasi

terbatas sehingga akan timbul hipotensi sampai syok yang memerlukan bantuan

vasopresor untuk menjaga perfusi jaringan (Asstiz, 1998) (PERDACI,2014).


2. Manifestasi Sistemik Sepsis

Susunan Saraf Pusat

Ensefalopati sering ditemukan pada sepsis. Ensefalopati bisa berupa

letargi, somnolen, agitasi, disorientasi, dan bingung. Pasien sepsis dengan

tanpa ensefalopati (PERDACI, 2014).

Penurunan kesadaran pada sepsis sulit dibedakan dengan akibat

penyakit lain. Berbagai teori diajukan untuk mencari penyebab

ensefalopati antara lain efek langsung Penurunan kesadaran pada sepsis

sulit dibedakan dengan akibat penyakit lain. Berbagai teori diajukan untuk

mencari penyebab ensefalopati antara lain efek langsung akibat beredarnya

sitokin dan toksin, atau efek tidak langsung akibat hipotensi dan

hipoglikemia. Kelainan metabolisme asam amino dan transfor asam amino

melalui sawar darah otak juga bisa penyebab ensefalopati (PERDACI,

2014).

Kelainan Kardiopulmoner

Perubahan hemodinamik pada sepsis ditandai dengan menurunnya

systemic vascular resistance (SVR) dan meningkatnya cardiac indeks (CI)

untuk menjaga agar tekanan darah dan pasokan oksigen tetap tercukupi.

Bila sepsis berlanjut dan terjadi dekompensasi, maka akan timbul

hipotensi dan syok.

Asidosis metabolik terjadi akibat meningkatnya produksi laktat dan

penurunan bersihan laktat merupakan salah satu tanda kunci dari sepsis

berat dan atau syok septik. Produksi laktat yang berlebihan adalah akibat

metabolisme anaerob.
Keadaan tersebut di atas adalah akibat gangguan metabolisme tingkat

seluler yang dihipotesakan akibat gangguan perfusi baik secara regional

ataupun sistemik.

Parameter yang bisa menunjukkan gangguan tersebut adalah dengan

mengukur perbandingan NADH/ NAD+ secara tak langsung, yaitu dengan

mengukur perbandingan laktat/ piruvat. Perbandingan laktat/ piruvat yang

meningkat >10, merupakan tanda prognosis yang jelek (PERDACI,

2014).

Gangguan perfusi tingkat gastrointestinal bisa dipantau dengan

tonometri, ph intramukosal berkorelasi morbiditas dan mortalitas.

Manifestasi gangguan pernafasan secara klasik sebagai acute

respiratory distress syndrome (ARDS), yang ditandai dengan hipoksemia,

infiltrat bilateral dan edema paru yang bukan karena jantung (PERDACI,

2014).

Gangguan Ginjal

Gangguan fungsi ginjal akibat sepsis ditandai dengan penurunan

produksi urin, meningkatnya blood nitrogen urea (BUN), dan kreatinin.

Dari penelitian menunjukkan kejadian gagal ginjal akut pada pasien

bakteriemia hampir 24% yang ditandai dengan meningkatnya kreatinin 2x

lipat. Kematian pada pasien bakteriemia yang mengalami gagal ginjal akut

adalah 50%. Penyebab gangguan ginjal pada sepsis adalah penurunan laju

filtrasi glomerulus fasodilatasi sistemik hipotensi, dan koagulasi

disseminata intravaskular (PERDACI, 2014).


Kelainan Gastrointestinal

Ileus merupakan gambaran yang paling sering terjadi, ileus

menyebabkan terlambatnya pemberian makanan, gangguan absorbsi obat,

aspirasi atau perforasi. Penyebab ileus adalah multifaktorial dan dapat pula

akibat pengaruh obat dan gangguan elektrolit (PERDACI, 2014).

Gangguan fungsi hati bervariasi antar 0,6 % sampai 50/ 60%.

Gangguan fungsi hati sering terjadi pada pasien paska bedah peritonitis.

Gangguan berupa kolestasis yang disertai hiperbilirubinemia penyebab

terbanyak adalah sepsis gram negatif.

Gambaran laboratorium kolestasis intrahepatik berupa peningkatan

bilirubin direk, transaminase yang tak lebih dari 2- 3x nilai normal dan

peningkatan alkali fosfat tak lebih dari 3x normal. Peningkatan ini akan

kembali normal dalam waktu 2 – 6 minggu seiiring membaiknya sepsis

(PERDACI, 2014).

Kelainan Kulit

Penyebab gangguan kulit pada sepsis bisa akibat koagulasi diseminata

intravaskular dan koagulopati, akibat langsung invasi bakteri pada

pembuluh darah, pembentukan kompleks imun dan vaskulitis, atau emboli

akibat endokarditis. Gambaran gangguan tersebut berupa akrosianosis

keabuan dan terlokalisasi pada ekstremitas, gangren perifer simetris dan

purpura fulminans (PERDACI, 2014).

Saraf meningitides sering menyebabkan purpura, ekimosis atau akra

sianosis yang bisa berkembang menjadi gangren perifer simetris. Purpura

fulminans ditandai dengan perdarahan pada lesi kulit yang nekrotik.


Semua perubahan ini berhubungan dengan koagulasi intravaskular

diseminata dan secara histologik tidak dijumpai adanya bukti invasi

kuman.

Infiltrasi pada dinding pembuluh darah oleh bakteri yang sering terjadi

berupa lesi purpura yang dimulai dengan adanya makula. Hal ini terjadi

miningococcemia akibat pseudomonas (PERDACI, 2014).

Bentuk lain dapat berupa infeksi karena sreptococcus dan

staphylococcus seperti syok toksik sindrom (PERDACI, 2014).

Gangguan Metabolik

Hiperglikemia maupun hipoglikemia dapat dijumpai pada sepsis.

Hipoglikemia lebih dulu timbul bisa karena gangguan kesadara. Gangguan

produksi hati dan peningkatan uptake oleh sel. Hiperglikemi sering

dijumpai pada waktu sepsis karena hormon stress seperti epineprin,

kortikosteroid dan glukagon (PERDACI, 2014).

Gangguan Hematologik

Leukositosis merupakan gambaran yang paling sering dijumpai, namun

bila nilai leukosit normal bukan berarti sepsis dapat disingkirkan. Nilai

leukosit biasanya > 10.000 mmk dan cenderung bergeser ke kiri dan

imatur neutrofil. Dalam perjalanan selanjutnya bisa terjadi leukopenia

akibat penekanan pada sumsum tulang dengan prognosis jelek.

Trombositopenia sering dijumapi pada sepsis berkisar antara 18 – 50 %.

Trombositopenia bisa disebabkan faktor imun atau terjadinya koagulasi


intravaskular diseminata. Petanda koagulasi intravaskular diseminata

adalah meningkatnya D- Dimer dan penurunan fibrinogen (PERDACI,

2014).

2.8.2. Peranan Biomarker

Melihat sulitnya diagnosis sepsis dan pentingnya pengenalan dini

supaya dapat diberikan terapi secara dini pula, maka perlu suatu biomarker

untuk mendeteksi sepsis secara dini. Biomarker ideal untuk infeksi harus

sensitif bahkan pada pasien tanpa respon imun, dan harus spesifik, yaitu

bisa membedakan infeksi atau non infeksi, dapat diukur secara cepat dan

mudah serta mempunyai nilai prognostik. Biomarker yang potensial antara

lain protein fase akut seperti CRP atau PCT, sitokin seperti IL-6, IL-8, IL-

10 dan kadar endotoksin, gelombang bifasik aPTT. Sayangnya biomarker

tersebut tak memenuhi kriteria ideal sehingga, disarankan untuk

menggunakan kombinasi dari biomarker.

Sehubungan dengan bervariasinya tanda dan gejala sepsis, maka

Surviving Sepsis Campaign membuat kriteria dengan diagnosis sepsis,

sepsis berat dan syok septik agar bila dijumpai tanda- tanda dan gejala

tersebut bisa segera terdeteksi (PERDACI, 2014).

2.8.3. Kriteria Sepsis

Kriteria SIRS berkembang sejak konferensi tahun 1991 telah mengalami

revisi. Tahun 2001, berlangsung konferensi konsensus yang kedua yang diikuti

oleh SCCM, European Society of Intensive Care Medicine (ESICM), ACCP,

American Thoracic Society (ATS), and Surgical Infection Society (SIS) dan

dihasilkan satu daftar kriteria diagnosis untuk sepsis.


Tabel 1 Kriteria Sepsis

Sepsis (documented or suspected infection plus ≥1 of the following)

General parameters

Fever (> 38.3°C)

Hypothermia (<36°C)

Heart rate >90/min or >2 SD above normal value

Tachypnoe > 20/min


Altered mental status

Significant oedema or positive fluid balance (>20 ml/kg over 24 h)

Hyperglycaemia (plasma glucose >120 mg/dl) in the ansence of diabetes

Inflammatory parameters

Leukocytosis ( > 12000/µl)

Leukopenia ( < 4000/µl)

Normal white blood cells count with > 10% immature forms

Plasma C reactive protein > 2 SD above normal value

Plasma calcitonin > 2 SD above the normal value

Haemodynamic parameters

Arterial hypotension (SBP < 90 mmHg, MAP < 65 mmHg, or decrease in SBP >

40 mmHg in adults or < 2 SD below normal for age)

Mixed venous oxygen saturation < 65%

Central venous oxygen saturation < 70%

Cardiac index > 3.5 l/min


Organ dysfunction parameters

Arterial hypoxaemia (PaO2/FiO2 < 300)

Acute oliguria (urine output < 0.5 ml/kg/h for ≥ 2 h)

Creatinine > 176.8 mmol/l

Coagulation abnormalities (INR > 1.5 or aPTT > 60 s)

Ileus

Thrombocytopenia (platelet count < 100000/µl)

Hyperbilirubinemia (plasma total bilirubin > 34.2 mmol/l)

Tissue perfusion parameters

Hyperlactatemia (>2mmol/l)

Decreased capillary refill or mottling

Severe sepsis (sepsis plus organ dysfunction)

Septic shock (sepsis plus either hypotension [refractory to intravenous fluids] or

hyperlactatemia

Tabel. 2. Kriteria diagnosis sepis ( Intensive Care Med, 2003)

Step 1 – Kenali SIRS: Di sini diperlukan dua atau lebih kriteria diagnostik untuk

SIRS.
Temperature > 38,3oC or < 36oC

Heart rate >90/min

Respiratory rate >20/min

White cells < 4 or > 12 x 109/l

Acutely altered mental status

Hyperglycaemia (glucose > 6.6 mmol/l)(unless diabetic)

Tabel. 3. Kriteria diagnostik untuk SIRS (Intensive Care Med, 2003)

Step 2 – Pastikan adanya sumber infeksi: Tabel di bawah ini menunjukan

kemungkinan yang paling sering sumber infeksi. Jika ditemukan dua atau lebih

kriteria SIRS , dan adanya sumber infeksi yang kita curigai ataupun nyata, ini

menunjukan adanya sepsis, atau suatu respon inflamasi sistemik yang disebabkan

oleh suatu proses infeksi.

Pneomonia,Empyema

Urinary tract infection

Acute abdominal infection

Meningitis

Skin/soft tissue infection


Bone/joint infection

Wound infection

Bloodstream catheter infection

Tabel. 4. Kemungkinan sumber infeksi (Intensive Care Med, 2003)

SIRS + Infeksi = Sepsis

Step 3 – Evaluasi munculnya disfungsi organ: Kriteria untuk menentukan muncul

atau tidaknya disfungsi organ terlihat di table 2 . Munculnya satu kriteria saja dari

disfungsi organ disebut sepsis berat.

Sepsis + Disfungsi Organ = Sepsis Berat

Gambar. 5. Kriteria Bone’s untuk mengenali sepsis berat dan spektrum

penyakitnya (Willey, 2010).


2.9. Diagnosis Banding

Diagnosis banding yang perlu dipikirkan antara lain yang disebabkan

oleh non infeksi seperti toksin, salisilat, kokain, badai tiroid,sindrom

neuroleptik maligna, heat stroke, demam sentral. Gambaran sistemis yang

menyerupai sepsis bisa terjadi pada penyakit kolagen vaskular atau

sindrom vaskulitis, keganasan, over dosis obat dan toksin. Pasien syok dan

asidosis dapat ditemui pada infark miokard akut, emboli paru, hemoragik

akut, insufisiensi adrenal, reaksi anafilaksis atau reaksi obat.

Penurunan kesadaran pada sepsis sulit dibedakan dengan akibat

penyakit lain. Berbagai teori diajukan untuk mencari penyebab

ensefalopati antara lain efek langsung (PERDACI, 2014).

2.10. KOMPLIKASI

Kematian karena sepsis berat dan syok septik cukup tinggi. Sudah

dijelaskan sebelumnya, spektrum penyakit sepsis dapat berkembang dari SIRS

sampai ke disfungsi multiorgan (MODS) (Daniels R, 2010) (Cavaillon, 2009).

Pada umumnya SIRS akan reversibel apabila diobati dengan cepat, namun

apabila sudah terjadi MODS maka akan dibutuhkan waktu yang cukup lama untuk

pemulihannya. Konsekuensi yang paling serius dari sepsis adalah kematian.


Apabila tidak terobati, sepsis akan menyebabkan gangguan fisiologi dan biokimia

yang berat (Daniels R, 2010) (Cavaillon, 2009).

2.9.1. Kardiovaskular

Di sini terjadi perubahan aliran darah ke organ tubuh. Volume darah

intravaskular berkurang yang disebabkan oleh karena dilatasi pembuluh vena dan

arteri dan peningkatan permeabilitas endotel sehingga akan terjadi penurunan

tekanan darah dan cardiac output (syok septik). Semuanya ini menyebabkan

terjadinya hipoperfusi perifer, dan mengakibatkan peningkatan serum asam laktat

dan berperan dalam depresi myokardial (Russels JA, 2006).

Jatuhnya tekanan diastol akan mengurangi aliran darah distal dan

menyebabkan infark pada jaringan tersebut. Selanjutnya, apabila cardiac output

meningkat, juga akan meningkatkan kerja jantung, sehingga kondisi ini akan

membahayakan pasien yang dengan penyakit jantung iskemik (Russel JA, 2006).

Selain itu terjadi dilatasi biventrikular dan penurunan ejection fraction.

Depresi myokardial meskipun sudah dilakukan resusitasi cairan yang muncul

pada pasien syok septik. Disfungsi myokardial terjadi bukan disebabkan oleh

hipoperfusi myokardial tetapi oleh karena faktor-faktor sirkulasi depresan,

misalnya TNF dan IL-1β (Russels JA, 2006).

2.9.2. Respiratori

Komplikasi yang paling sering terjadi adalah kegagalan pernafasan, dan

terjadi pada 18-38% pasien sepsis berat. Kegagalan nafas ini sebenarnya
merupakan proses yang tidak langsung tetapi karena sekunder dari infeksi dan

trauma dari ventilasi mekanik dan eksaserbasi lung injury (Russels JA, 2006).

Secara patologi dijumpai adanya diffuse alveolar damage (DAD) yang

disebabkan oleh respon inflamasi intra dan perivaskular terhadap adanya

endotoksin dalam darah. DAD dibagi menjadi 3 fase, yaitu fasi eksudatif,

regeneratif, dan fase perbaikan. Proses inflamasi akan menyebabkan dinding

alveolar rusak dan memungkinkan infiltrasi netrofil. Pada fase eksudatif, cairan

eksudat akan merusak alveolar, yang akan ditandai dengan:

 Kolaps alveolar, pendarahan, dan edema

 Formasi membran hyalin pada pada permukaan epitel bronkiolus dan

duktus alveolar. Biasanya membran itu terdiri dari tumpukan fibrin dan

sel-sel epitel yang nekrotik.

 Akumulasi netrofil dalam kapiler alveolar.

Jika dibiarkan tidak diobati, maka pasien tersebut akan berkembang

menjadi oedem pulmonal berat dan gangguan difusi oksigen dan

karbondioksida progresif. Ini yang disebut dengan acute respiratory

distress syndrome (ARDS).

Pada fase regeneratif, terjadi penyembuhan paru-paru ke struktur normall

ataupun berkembang menjadi fibrosis via fase perbaikan (Russels JA,

2006).
2.9.3. Renal

Gagal ginjal sering muncul pada sepsis berat dengan angka insidensi

sebanyak 23%. Angka kematian pada sepsis akibat komplikasi ginjal dapat

mencapai 70%. Acute tubular necrosis (ATN) disebabkan oleh hipotensi,

dehidrasi intravaskular, pelepasan sitokin dan vasokokstriksi renal (Ronco C,

2006).

2.9.4. Koagulasi

Hipoperfusi relatif pada jaringan yang disebabkan oleh penumpukan

fibrin oleh karena ketidakseimbangan antara trombogenesis dan trombolisis

pada sepsis. DIC (disseminated intravascular coagulation), disebut juga

consumptive coagulopathy menyebabkan konsumsi platelet dan faktor-faktor

koagulasi sehingga timbul trombosis yang berkepanjangan dan pendarahan.

Komplikasi yang paling sering dari DIC adalah oklusi pembuluh darah, infark

hati, gagal ginjal akut, koma, pendarahan subarachnoid, pendarahan dan

infark kortikal multipel dan batang otak (Ronco C, 2006).

2.9.5. Susunan syaraf pusat

Sepsis-associated encephalopathy (SAE) juga merupakan komplikasi

sepsis berat yang sering timbul, di mana hampir 71% pasien sepsis

menunjukan paling sedikit derajat ringan disfungsi serebral. Delirium sering

muncul pada septik enseflopati, tetapi etiologinya masih belum diketahui,

namun demikian mungkin disebabkan oleh rusaknya blood-brain barrier,

abnormalitas aliran darah serebral, pendarahan otak oleh karena koagulopati,


mikroinfark, hypoxic-ischaemic encephalopathy (HIE), metastatic cerebral

abscess an/or meningitis, dan cytokine storm.(Ronco C, 2006)

2.9.6. Gastrointestinal

Pada umumnya, hati pada syok septik tidak memiliki gambaran yang

spesifik. Jika sumber sepsis berasal dari traktus biliaris (kolangitis), maka

abses bisa terdapat di bagian portal dari traktus. Hipotensi dapat

mengakibatkan iskemik hepatik; secara biokimiawi akan dijumpai

peningkatan serum transaminase (Ronco C, 2006).

2.9.7. Polineuropati

Polineuropati kadang susah didiagnosa pada sepsis berat, oleh karena

pemakaian neuromuscular blocking agent untuk memfasilitasi pemakaian

ventilator. Kondisi ini biasanya baru terlihat apabila pasien berhenti memakai

ventilasi mekanik. Gejala yang terlihat biasanya kelemahan ekstremitas

dengan hilangnya refleks tendon otot dalam. Penyebabnya adalah terjadinya

degenerasi axon sensoris dan motoris. Prognosanya tergantung pada tingkat

keparahan dari penyakit dan umur pasien (Russels JA, 2006).

2.9.8. Kulit dan ekstremitas

Sering terjadi purpura fulminan, yaitu suatu kondisi pendarahan yang

ditandai dengan pendarahan kutaneus dan nekrosis, biasanya muncul karena

adanya DIC. Disebabkan oleh karena trombus mikrovaskular di dermis.


Sepsis berat dapat disertai dengan vasokonstriksi yang berat yang dapat

menyebabkan infark jari-jari. Apabila pasien sepsis yang mendapat resusitasi

cairan yang tidak adekuat akan menyebabkan infark pada kulit dan ekstremitas

dan mengakibatkan autoamputasi (Daniels R, 2010).

2.9.9. Psikologis

Lamanya waktu menginap di ICU akan meningkatkan insidensi terjadinya

depresi dan anxietas. Lebih dari 20% pasien ARDS didapati post traumatic

stress disorder (PTSD) (Daniels R, 2010).

2.10. Procalcitonin (PCT)

PCT dikenal sebagai protein yang dirangsang oleh inflamasi ditemukan

sejak tahun 1993.37 Sejak saat itu banyak penelitian yang menunjukkan

peningkatan protein ini pada plasma yang berhubungan dengan infeksi

berat, sepsis dan septic shock. PCT juga dapat membantu dalam diagnosa

banding penyakit infeksi atau bukan, menilai keparahan sepsis dan juga

respon dari pengobatan (Viallon A, 2005).

2.10.1. Struktur PCT

PCT merupakan prekursor hormon kalsitonin dan disintesis secara

fisiologis oleh sel C tiroid. PCT merupakan protein yang terdiri dari 116 asam

amino dengan berat molekul 13 kDa. Kalsitonin dihasilkan oleh sel C tiroid dan

punya peran penting dalam homeostasis kalsium. Gen yang mengkode


prokalsitonin dikenal sebagai CALC-I yang terletak di lengan pendek kromosom

11 (Meissner ,1996).

49

Gambar 6 Struktur PCT (Buchori, 2006)

2.10.2. Peran PCT dalam Diagnosis Sepsis Bakterialis

Pada keadaan normal kadar PCT meningkat pada kasus septikemia,

meningitis, pneumonia dan infeksi saluran kemih dan sangat sensitif sebagai

penanda infaksi bakteri. Pelepasan prokalsitonin ke dalam sirkulasi dalam

kepekatan besar dalam berbagai keadaan penyakit tidak disertai dengan

peningkatan kadar calcitonin secara bermakna (Sastre JBL, 2007).

Pemeriksaan prokalsitonin sangat bermanfaat dan lebih baik dari marker

inflamasi lainnya, seperti TNF α, IL- 6, IL- 1 dan CRP dalam hal memprediksi

prognosis pada pasien penyakit kritis. Pengukuran PCT secara berkala dapat
digunakan untuk memonitor perjalanan penyakit dan sebagai tindak lanjut

(monitoring) dari terapi pada semua infeksi yang disebabkan oleh bakteri.

Peningkatan nilai PCT atau nilai yang tetap konsisten tinggi menunjukkan

aktivitas penyakit yang berkelanjutan. Penurunan nilai PCT menunjukkan

menurunnya reaksi inflamasi dan terjadi penyembuhan infeksi. (Buchori, 2006)

Pada keadaan fisiologis, kadar PCT rendah bahkan tidak dijumpai, tetapi

akan meningkat bila terjadi bakterimia dan fungimia yang timbul sesuai dengan

beratnya infeksi. Tetapi pada temuan beberapa peneliti peningkatan prokalsitonin

terdapat juga pada keadaan bukan infeksi, selain itu juga PCT merupakan

pengukuran yang lebih sensitif dibandingkan dengan beberapa uji laboratorik lain,

misalnya laju endap darah (LED) (Lopez, 2011).

Gambar 7 Perbandingan waktu dan kepekatan prokalsitonin dibanding

dengan beberapa petanda sepsis lain. (Buchori, 2006)


PCT diinduksi oleh endotoksin yang dihasilkan bakteri selama infeksi

sistemik. Infeksi yang disebabkan protozoa, infeksi non-bakteri (virus) dan

penyakit autoimun tidak menginduksi PCT. Kadar PCT muncul cepat dalam 2 jam

setelah rangsangan, puncaknya setelah 12 sampai 48 jam dan secara perlahan

menurun dalam 48 sampai 72 jam, sedangkan CRP tidak terdapat dalam 6 jam,

seperti terlihat pada Gambar 2.2 diatas (Buchori, 2006).

Pemeriksaan PCT merupakan suatu tes imunologi yang pada mulanya

pengukuran PCT hanya dimungkinkan di laboratorium khusus, dimana hasil tes

diperoleh jauh lebih lama. Belakangan ini sebuah alat tes Cobas 601 ( Cobas

6000) merupakan suatu alat tes untuk mendeteksi kadar prokalsitonin. PCT dapat

diukur secara cepat dan tepat, dengan menggunakan serum yang diperoleh dari

sampel darah yang telah disentrifugasi.

2.3. Vitamin D

Vitamin D adalah unik karena bisa disintesis di kulit dari paparan sinar matahari. Vitamin

D ada dalam dua bentuk yaitu vitamin D2 (ergocalciferol) dan D3 (cholecalciferol).

Vitamin D2 dapat dijumpai pada jamur yang terpapar sinar matahari. Manusia

mensintesis vitamin D3 setelah terpapar dengan sinar ultraviolet, sehingga hal ini

merupakan bentuk alami. Tanpa adanya vitamin D, hanya 10% sampai 15% dari kalsium

dan sekitar 60% fosfor yang diserap di usus. 16 Vitamin D, selain berasal dari produk

konversi sinar ultraviolet terhadap 7-dehydrocholesterol di kulit, juga dapat diperoleh

dari asupan makanan, seperti telur, ikan, mentega, produk susu difortifikasi dan

suplemen yang mengandung vitamin D. Vitamin D kemudian dikonversi ke bentuk

sirkulasi utama, 25-hydroxyvitamin D (calcifediol) oleh hati dengan enzim 25-


hydroxylase (CYP2R1) dan kemudian diubah menjadi 1,25-dihydroxyvitamin D atau

calcitriol oleh ginjal dengan enzim 1-α-hydroxylase (CYP27B1) untuk meningkatkan

efisiensi penyerapan usus terhadap kalsium sebagai fungsi klasik (Gambar 2.2). 7,10,17

Gambar 2.2. Sintesis vitamin D16

Kadar calcifediol merupakan penanda yang digunakan secara luas untuk

menentukan status vitamin D di dalam tubuh kita karena calcifediol mewakili sintesis

vitamin D endogen di kulit setelah terpapar sinar ultraviolet dan juga asupan makanan

yang mengandung vitamin D.18


Institute of Medicine (IOM) melaporkan risiko terjadinya rickets, fraktur, dan

kelainan tulang lainnya lebih tinggi pada orang dengan kadar calcifediol < 12 ng/mL.

Institute of Medicine mengestimasi bahwa kadar calcifediol sebesar 16 ng/mL adalah

sasaran yang perlu dicapai untuk anak-anak dan dewasa. Kadar calcifediol sebesar 20

ng/mL digunakan sebagai batasan yang dapat melindungi kesehatan tulang dari 97.5%

populasi.4,18 Menurut pedoman Endocrine Society, status vitamin D didefinisikan sebagai

sufisiensi bila kadar calcifediol 31 sampai 60 ng/mL, insufisiensi bila kadar calcifediol 21

sampai 30 ng/mL dan defisiensi bila kadar calcifediol ≤ 20 ng/mL. 19

Kekurangan vitamin D mempengaruhi hampir 50% dari populasi di seluruh

dunia.16 Diperkirakan 1 miliar orang di seluruh dunia, semua etnis dan kelompok usia,

mengalami kekurangan vitamin D.16,20 Ini pandemi hipovitaminosis D yang terutama

dikaitkan dengan gaya hidup dan faktor lingkungan dimana kurangnya paparan terhadap

sinar matahari untuk mensintesis vitamin D di kulit. 16 Kekurangan vitamin D dapat

dijumpai pada orang yang menggunakan tabir surya, sindrom malabsorpsi lemak,

sarkoidosis, tuberkulosis, infeksi jamur kronis, beberapa limfoma, hiperparatiroidisme

primer, obesitas, sindrom nefrotik, penggunaan antikonvulsan, antikolesterol, obat

HIV.21,22

Sumber utama vitamin D untuk anak-anak dan orang dewasa adalah paparan

sinar matahari alami. Dengan demikian, penyebab utama dari kekurangan vitamin D

adalah kurangnya paparan sinar matahari. 16,21,23 Menggunakan tabir surya dengan faktor

perlindungan sinar matahari 30 mengurangi pembentukan vitamin D di kulit lebih dari

95%.16 Ada hubungan terbalik antara calcifediol dan indeks massa tubuh > 30 kg/m2,

sehingga obesitas berhubungan dengan kekurangan vitamin D. 16,24 Pasien dengan

sindrom malabsorpsi lemak sering tidak dapat menyerap vitamin D yang larut dalam
lemak, dan pasien dengan sindrom nefrotik kehilangan calcifediol yang terikat pada

protein pengikat vitamin D melalui urin. 16,21 Pasien yang mengonsumsi berbagai obat-

obatan, termasuk antikonvulsan dan obat-obatan untuk mengobati AIDS/HIV, berisiko

kekurangan vitamin D karena obat ini meningkatkan katabolisme calcifediol dan

calcitriol.16,25 Pasien dengan sarkoidosis, tuberkulosis, dan infeksi jamur kronis, beberapa

limfoma, dan hiperparatiroidisme primer yang mengalami peningkatan metabolisme

calcifediol menjadi calcitriol juga berisiko tinggi untuk kekurangan vitamin D. 16,26

2.4. Vitamin D dan Sepsis

Pengetahuan tentang kemampuan vitamin D untuk berfungsi di luar perannya sebagai

homeostasis tulang bukanlah fenomena yang baru. Kadar calcitriol dalam sirkulasi

terutama ditentukan oleh aktivitas enzim CYP27B1 ginjal. Namun, tipe sel lainnya

termasuk sel-sel imun juga mengekspresikan enzim CYP27B1 dan mampu untuk

mengubah calcifediol menjadi calcitriol.27

Peran penting vitamin D dalam sistem imun manusia pada awalnya ditunjukkan

dengan ditemukannya reseptor vitamin D di hampir semua tipe sel imun, termasuk CD4+

dan CD8+ dari sel T yang teraktivasi, sel B, neutrofil, makrofag dan sel dendritik. Sel-sel

ini memicu respon pertahanan tubuh bawaan dan adaptif terhadap patogen yang

menyebabkan sepsis. Hubungan tersebut yang ditemukan oleh para ilmuwan adalah

kompleks, namun tema yang mendasari adalah modulasi respon imun adaptif dan juga

mengaktifkan imunitas bawaan. Untuk imunitas adaptif, vitamin D mempengaruhi

proliferasi dan diferensiasi sel T dan B dan memodulasi produksi imunoglobulin. 8


Sistem pertahanan bawaan bertindak cepat untuk mengidentifikasi organisme

yang menginvasi dan merespon dengan mekanisme pertahanan humoral dan seluler

untuk menahan, menetralisir dan mematikan patogen yang masuk. Patogen-patogen ini

diidentifikasi sebagai pathogen-associated molecular patterns yang berikatan dengan

pattern recognition receptors pada sel-sel imun. Sel-sel yang berperan dalam respon

pertahanan bawaan ini termasuk neutrofil dan monosit serta sel-sel epitel yang tidak

hanya berfungsi sebagai barier tetapi juga memiliki aktivitas antipatogen. 8,28

Monosit (makrofag) berperan penting dalam sistem pertahanan bawaan sebagai

sel yang berhadapan dengan antigen dan juga dalam hal fagositosis. Monosit manusia

mengenali pathogen-associated molecular patterns melalui toll-like receptors yang

merupakan salah satu tipe pattern recognition receptors. Bakteri gram negatif yang

merupakan salah satu penyebab sepsis akan melepaskan endotoksin yang merupakan

lipopolisakarida dan kemudian berikatan dengan toll-like receptors 4 sehingga

mengaktivasi kaskade inflamasi sepsis. Makrofag dan sel dendritik dengan toll-

like receptors pada permukaan selnya yang berikatan dengan patogen atau toksin

kemudian mempresentasikan MHC kelas II yang nantinya dibawa ke sel T. Patogen yang

berikatan dengan toll-like receptors akan memicu sintesis calcitriol dari calcifediol di

dalam sel imun. Sel dendritik dan makrofag yang disebut sebagai APC juga

mengekspresikan reseptor vitamin D yang akan berikatan dengan calcitriol untuk

menginduksi proliferasi monosit, meningkatkan produksi IL-1, IL-6, TNF-α dan juga

meningkatkan pembentukan cathelicidin (peptida antimikroba: LL-37) dan defensin-β

dari makrofag, sehingga berperan dalam respon pertahanan bawaan terhadap patogen.

Cathelicidin dan defensin-β memiliki aktivitas antimikroba yang luas terhadap bakteri

gram positif dan gram negatif, serta virus tertentu dan jamur. Calcitriol juga
menghambat aktivasi lipopolisakarida dan vasodilatasi endotel pembuluh darah pada

sepsis sehingga mencegah terjadi koagulasi intravaskular diseminata. 8,10,29-31

Calcitriol menurunkan maturasi sel dendritik, menghambat peningkatan MHC

kelas II, CD40, CD80 dan CD86. Selain itu, calcitriol juga menurunkan produksi IL-12 dari

sel dendritik dan menginduksi produksi IL-10. Makrofag dan sel dendritik matur dapat

menginduksi imunitas yang dimediasi oleh sel T dan sel B adaptif setelah berinteraksi

dengan patogen sehingga terjadi respon imun adaptif. Makrofag dan sel dendritik matur

juga mengekspresikan enzim CYP27B1 dan akan mensintesis calcitriol dari calcifediol.

Salah satu tipe sel T adalah sel T helper (Th). Calcitriol dapat menekan proliferasi sel Th

serta memodulasi produksi sitokin dari sel Th. Aktivasi sel Th setelah berinteraksi dengan

antigen dan MHC kelas II menimbulkan generasi Th dengan profil sitokin yang berbeda:

Th1 (IL-2, interferon gamma, TNF-α) dan Th2 (IL-3, IL-4, IL-5, IL-10) yang masing-masing

mendukung imunitas seluler dan humoral. 32,33

Calcitriol akan menurunkan sitokin Th1 dan meningkatkan respon sel Th2. Sel

Th2 akan berinteraksi dengan sel B yang berikatan dengan antigen dan mengaktivasinya

sehingga terjadi proses proliferasi dan diferensiasi sel B. Sel B (antibody secreting

cells/ASC) yang telah berdiferensiasi akan menghasilkan antibodi (imunoglobulin) untuk

melawan patogen. Calcitriol berperan untuk menurunkan proliferasi sel B sehingga

mengontrol secara efisien proses respon imun. Sel Th lain yang dipengaruhi oleh vitamin

D adalah effector, memory dan sel Th17 yang mensekresi IL-17. Studi terbaru

menunjukkan bahwa calcitriol menekan produksi IL-17 melalui penekanan transkripsi

langsung dari ekspresi gen IL-17. Sel T lainnya yang juga diinduksi oleh calcitriol adalah

sel T regulator (Treg). Treg berperan untuk menekan respon imun yang distimulasi oleh
sel T lainnya sebagai bagian dari mencegah respon imun yang berlebihan maupun

respon autoimun (Gambar 2.3).27,32,33

Gambar 2.3. Efek dari vitamin D terhadap imunitas bawaan dan adaptif 33
Beberapa penelitian melaporkan bahwa pada pasien sepsis dijumpai insufisiensi

vitamin D (kadar calcifediol < 30 ng/mL) disertai penurunan kadar LL-37 sebagai peptida

antimikroba. LL-37 adalah peptida kecil yang berperan penting dalam mekanisme

pertahanan bawan terhadap infeksi dan membunuh patogen dengan cara merusak

membran sel. Pada pasien sepsis, protein pengikat vitamin D (Gc-globulin) selain

berfungsi sebagai pembawa calcifediol dan calcitriol juga berfungsi mengikat actin

monomer sehingga mencegah polimerisasi menjadi F-actin. Polimerisasi actin yang

dilepaskan oleh jaringan cedera pada sepsis akan menimbulkan agregasi trombosit

sehingga terjadi emboli mikro pada end-organs. Hal inilah yang dicegah oleh Gc-globulin.

Actin yang berikatan dengan Gc-globulin menyebabkan berkurangnya kadar Gc-globulin

sehingga vitamin D dan metabolitnya terbuang melalui ginjal dan hal inilah yang

menjelaskan terjadinya insufisiensi vitamin D pada sepsis. 9,10,34

Kadar calcifediol yang rendah saat masuk ke rumah sakit adalah prediktor

yang signifikan dari sepsis pada pasien dengan penyakit kritis. Selain itu, pasien

dengan sepsis yang kekurangan vitamin D memiliki peningkatan risiko kematian.

Mekanisme potensial untuk peningkatan risiko sepsis pada pasien dengan

kekurangan vitamin D berhubungan dengan efek stimulasi pada sistem pertahanan

bawaan dan supresi reaktivitas imun. Bukti adanya cacat dalam fungsi makrofag,

seperti kemotaksis, fagositosis, produksi sitokin proinflamasi dan pembentukan

cathelicidin. Mekanisme lainnya yang meningkatkan risiko kematian pada pasien

sepsis dengan kekurangan vitamin D yaitu adanya vasodilatasi dan inflamasi

endotel pembuluh darah disertai berkurangnya Gc-globulin.35

2.5. Kerangka Konseptual


Gambar 2.4. Kerangka konseptual

Anda mungkin juga menyukai