PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Anemia merupakan salah satu masalah gizi dengan prevalensi yang tinggi di
dunia (Jackson dan Al-Mousa, 2009). Di Indonesia, kejadian anemia sekitar 56%
dari perkiraan populasi 265 juta orang dan lebih banyak terjadi di negara yang
wanita masih merupakan salah satu masalah gizi utama yang membutuhkan
Di Indonesia terdapat empat masalah gizi yang utama yaitu Kurang Kalori
Protein (KKP), Kurang Vitamin A (KVA), gondok endemik dan kretin serta anemia
gizi (Bapelkes Bengkulu, 2016). Anemia gizi merupakan masalah gizi yang paling
utama di Indonesia, yang disebabkan karena kekurangan zat besi. Berdasarkan hasil
Survei Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) pada tahun 2017 menunjukkan 57,1%
remaja putri; 39,5% wanita usia subur dan 50,9% ibu hamil menderita anemia
Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) pada tahun 2017 menunjukkan pada tahun 2001
menunjukkan 26,5% remaja putri; 40% WUS dan 47% anak usia 0-5 tahun
1
2
Kecukupan gizi sangat diperlukan oleh setiap individu, sejak janin yang
masih dalam kandungan, bayi, anak-anak, remaja, dewasa sampai usia lanjut. Ibu
atau calon ibu merupakan kelompok rawan sehingga harus dijaga status gizi dan
Bengkulu Utara terhadap remaja putri (siswi SMP dan SMA) menunjukkan 25,33%
(tahun 2015); 20,33% (tahun 2016); 25,55% (tahun 2017) dan 31,13% (tahun 2018)
Secara umum tingginya prevalensi anemia gizi besi antara lain disebabkan
oleh beberapa faktor yaitu: kehilangan darah secara kronis, asupan zat besi tidak
cukup, penyerapan yang tidak adekuat dan peningkatan kebutuhan akan zat besi
(Arisman, 2014).
Remaja putri menderita anemia, hal ini dapat dimaklumi karena masa remaja
adalah masa pertumbuhan yang membutuhkan zat gizi lebih tinggi termasuk zat
besi. Disamping itu remaja putri mengalami menstruasi setiap bulan sehingga
3
membutuhkan zat besi lebih tinggi, sementara jumlah makanan yang dikonsumsi
lebih rendah daripada pria, karena faktor ingin langsing (Kemenkes, 2018).
4