Dosen pengampu:
Akhmad Munif Mubarok S.sos., M.Si
a. Pengertian Intervensi
Model intervensi adalah suatu model analisis data dengan jangka waktuyang pada
awalnya banyak digunakan untuk mengekplorasi dampak dari kejadian– kejadian
eksternal yang di luar dugaan terhadap variabel yang menjadi obyekpengamatan,
sehingga pada hal ini model intervensi berada pada level komunitas.Model
intervensi komunitas memainkan peran penting dalampembangunan sosial di
Indonesia, dalam pemberdayaan terhadap suatu kelompokmasyarakat atau
komunitas tertentu. Berikut merupakan beberapa contoh modelpendekatan dalam
intervensi komunitas:
Pengembangan pada hal ini lebih bertujuan pada proses. Dimana suatu
komunitas di kembangkan kemampuan/kapasitasnya sehingga komunitas tersebut
mampu berupaya dalam memecahkan masalah warga komunitas secara kooperatif
(bekerja sama) berdasarkan kemampuannya menolong diri sendiri. Komunitas
lokal seringkali menjadi suatu komunitas minoritas dimana tertutupi oleh
masyarakat luas sehingga menyebabkan suatu kesenjangan. Kesenjangan tersebut
dapat terjadi pada relasi antar pribadi dan keterampilan dalam memecahkan
masalah. Sehingga dapat menimbulkan anomie, keterasingan dan terkadang
menimbulkan kelainan jiwa antara warga komunitas. Selain itu, komunitas juga
seringkali dipandang sebagai ikatan tradisional dipimpin oleh kelompok kecil
pemimpin-pemimpin konvensional, terdiri dari populasi yang buta huruf dan
mempunyai kesenjangan dalam keterampilan memecahkan masalah. Dalam
pengembangan komunitas lokal, adanya upaya dalam mengembangkan
keterlibatan warga komunitas dalam menentukan kebutuhan yang dirasakan dan
memecahkan masalah mereka. Taktik dalam pengembangan masyarakat lebih
menekankan pada pencapaian konsensus. Biasanya dilakukan melalui komunikasi
dan proses diskusi yang melibatkan berbagai macam individu dan kelompok.
Dalam hal ini ditekankan pentingnya teknik-teknik deliberatif (menimbang atau
konsultasi) dan kooperatif (kerja sama) pada penerapan pengembangan komunitas
lokal karena teknik-teknik tersebut membedakan peranannya dengan peranan
seorang aktivis (yang lebih berpotensi pada aksi sosial), dimana mereka lebih
menekankan pada pendekatan konflik. Peranan yang dilakukan oleh CW
(Community Work) lebih banyak merujuk sebagai enabler, yaitu seorang CW
yang membantu warga komunitas agar dapat mengetahui apa saja kebutuhan
warga komunitas; mengidentifikasikan masalah mereka; dan mengembangkan
kapasitas komunitas agar dapat menangani masalah yang mereka hadapi secara
lebih efektif. Media perubahannya adalah melalui penciptaan atau kreasi
kelompok-kelompok kecil yang berorientasi pada tugas. Hal ini tentunya
membutuhkan kemampuan untuk membimbing kelompok-kelompok tesebut ke
arah penemuan dan pemecahan masalah secara kolaboratif. Struktur kekuasaan
sudah tercakup didalam konsep mengenai komunitas itu sendiri. Setiap segmen
komunitas dianggap sebagai bagian dari sistem klien. Selain itu, anggota-anggota
dari struktur kekuasaan ditempatkan pada posisi sebagai kolaborator dari ventura
(usaha) yang bersifat umum. Dalam pengembangan komunitas lokal, total
komunitas biasanya didasarkan pada kesatuan geografis seperti daerah pantai,
dusun, kampung atau desa. Kepentingan kelompok dalam komunitas bersifat
umum atau mendasar. Oleh karena itu diperlukan permufakatan yang responsif
terhadap pengaruh dari pemikiran yang rasional, komunikasi, dan niat baik
bersama. Pengembangan komunitas mempunyai asumsi bahwa warga komunitas
akan mampu menangani masalah yang mereka hadapi melalui upaya
berkelompok. Dalam hal ini, tentu dibutuhkan kejujuran dalam berkomunikasi
dan memberikan umpan balik. Klien dipandang sebagai warga yang sederajat
yang memiliki kekuatan-kekuatan yang perlu diperhatikan , belum semua
kekuatan yang ada pada di diri klien dapat dikembangkan dengan baik.
Community Work di sini berusaha mengembangkan apa yang belum
dikembangkan secara optimal tersebut dengan memfokuskan pada kemampuan
klien. Dari pandangan ini terlihat bahwa setiap warga komunitas adalah sumber
daya yang berharga. Peran klien dalam pengembangan komunitas lokal dipandang
sebagai partisipan aktif dalam proses interaksi satu dengan yang lainnya, juga
dengan community work nya. Penekanan utama diberikan pada kelompok dalam
komunitas, di mana warga komunitas bersama berusaha belajar dan
mengembangkan diri.
Pendekatan aksi sosial mengarah pada task goal dan process goal.Beberapa
organisasi aksi sosial memberi penekanan pada upayaterbentuknya peraturan yang
baru atau mengubah praktek-praktek tertentu.Biasanya tujuan ini mengakibatkan
adanya modifikasi kebijakanorganisasi-organisasi formal. Seorang praktisi aksi
sosial mempunyai caraberpikir yang berbeda. Mereka lebih melihat komunitas
sebagai hirarki danprivilage dan kekuasaan, Target dari para praktisi aksi sosial
adalah wargakomunitas yang mendapat tekanan, diabaikan, tidak mendapat
keadilan,dieksploitasi oleh pihak tertentu, dan sebagainya. Strategi perubahandari
pola aksi sosial terlihat dari ungkapan ”Mari kita mengorganisir diriagar dapat
melawan para penekan kita”. Ungkapan tersebut merupakankristalisasi isu-isu
yang dihadapi warga komunitas, yang kemudianmembuat warga komunitas
menegenali ”musuhnya” dan mengorganisirdiri dan membentuk aksi massa untuk
ganti memberikan tekanan terhadapkelompok sasaran warga komunitas. Para
praktisi aksi sosial lebihmenekankan pada taktik konflik sesuai dengan peran
mereka sebagaiactivist/ developer, dengan cara melakukan konfrontasi dan aksi-
aksilangsung. Selain itu dibutuhkan pula kemampuan untuk memobilisir
massasebanyak mungkin untuk melaksanakan demonstrasi bahkan kalau
perludengan melakukan pemboikotan.Taktik dan teknik yang sangat berperan
dalam perencanaan sosialadalah teknik pengumpulan data dan ketrampilan untuk
menganalisis.Taktik konsensus maupun konflik mungkin saja diterapkan, tetapi
semuaitu tergantung dengan hasil analisis perencana tersebut terhadap situasiyang
ada. Peran yang biasa digunakan oleh perencana sosial adalahperanan sebagai
expert (pakar). Peran ini lebih menekankan padapenemuan fakta, implementasi
program, dan relasi dengan berbagaimacam birokrasi, serta tenaga profesional dari
berbagai disiplin. Peran sebagai pakar setidak-tidaknya terdiri dari bebrapa
komponen, yaitu:
1) diagnosis komunitas;
2) ketrampilan melakukan penelitian;
3) Informasi mengenai komunitas yang lain;
4) saran terhadap metode dan prosedur organisasi;
5) informasi teknis; dan
6) kemampuam mengevaluasi. Media perubahannya adalah
menipulasi organisasi (termasuk di dalamnya adalah relasi antar
organisasi) seperti juga dengan pengumpulan dan analisis data.
Klien dari perencana sosial bisa merupakan kesatuan geografis,tetapi dapat pula
merupakan kesatuan fungsionalnya, misalnya kelompokpenyandang cacat,
kelompok profesi, kelompok pecinta buku, dankelompok-kelompok lainnya. Pada
perencana sosial tidak ada asumsi yangpermasif mengenai tingkat konflik
kepentingan. Pendekatan yang merekalakukan lebih bersifat pragmatis, dan
berorientasi untuk menanganimasalah tertentu, sehingga aktor kurang memainkan
peranan di sini. Padapola aksi sosial, peran yang dilakukan oleh CW lebih
mengarah pada peransebagai advokat dan aktivis. Media perubahannya adalah
denganmenciptakan pengorganisasian dan pergerakan massa untukmempengaruhi
proses politis. Oleh karena itu, pengorganisasian massapada aksi sosial menjadi
isu yang penting.Struktur kekuasaan oleh para praktisi aksi sosial dianggap
sebagaitarget eksternal dari suatu tindakan, sehingga dapat dikatakan
bahwastruktur kekuasaan berada di luar sistem klien. Struktur
kekuasaanseringkali dianggap sebagai kekuatan antitesis yang akan menekan
klien.Klien dari praktisi aksi sosial biasanya merupakan bagian dari
wargakomunitas yang membutuhkan bantuan. Mereka dapat dikatakan
sebagaikelompok yang membutuhkan pelayanan tetapi tidak terjangkau
olehpelayanan tersebut; ataupun ditolak untuk mendapatkan pelayanantersebut.
Dalam pola aksi sosial, para praktisi lebih melihatkelompok – kelompok tersebut
sebagai ”teman-teman partisan”dibandingkan sekelompok klien.Pada pola aksi
sosial ada asumsi bahwa kepentingan dari masing – masing bagian dalam warga
komunitas sanagt bervariasi dan sulit diambilkata mufakat. Seringkali cara-cara
koersif harus dilaksanakan sepertimelakukan pemboikotan, perundang-undangan,
dan sebagainya sebelumpenyesuaian dapat terjadi. Mereka yang mempunyai
kekuasaan danprivilage dari/ terhadap kelompok-kelompok yang kurang
diuntungkantersebut seringkali tidak mau melepaskan keuntungan yang mereka
dapat.Dorongan-dorongan dari kepentingan pribadilah yang menyebabkanmereka
merasa bodoh kalau mereka melepaskan apa yang sudah merekamiliki. Dalam
pola ini, klien atau warga komunitas lebih dilihat sebagai”korban” dari suatu
sistem.Dalam pola aksi sosial, klien biasanya merupakan ”bawahan”bersama
dengan praktisi aksi sosial, dan mereka berusaha ”mendobrak”sistem yang ada.
Praktisi di sini juga memainkan peranan sebagai”bawahan” dan ”pelayan” warga
komunitas, bersama dengan ”teman-teman praktisan” mereka menjadi kelompok
penekan yang mencobamemberikan tekanan terhadap kelompok elit. Disamping
ketiga polapengorganisasian warga komunitas di atas, dalam
pengembanganmasyarakat, terdapat pula pola pengorganisasian yang lain, yang
diadopsidari disiplin pemasaran, yaitu Pendekatan Pemasaran Sosial.
Pendekatanini memfokuskan pada upaya memasarkan suatu produk sosial
kepadakelompok sasarannya.
d. Peran Pekerja Sosial dalam Intervensi Sosial
Spergel (1975: 315-319), Zastrow (2010: 70-72) dan adi (2013) melihatbahwa
banyak peran dapat dijalankan oleh community worker ketika
melakukanintervensi komunitas. Meskipun demikian secara konvensional,
sekurang-kurangnya ada tujuh peran yang sering kali diadopsi dan dikembangkan
olehcomunity worker, yaitu sebagai:
2. Perantara (Broker)
3. Pendidik (Educator)
Dalam menjalankan peran sebagai pendidik, community worker
diharpkanmempunyai kemampuan menyampaikan informasi dengan baik dan
jelas,serta mudah ditangkap oleh komunitas yang menjadi sasaran perubahan.Di
samping itu, ia harus mempunyai pengetahuan yang cukup memadaimengenai
topik yang akan dibicarakan. Dalam kaitan dengan hal ini,seorang community
worker tidak jarang harus menghubungi rekan dariprofesi lain yang menguasai
materi tersebut.
6. Advokat (Advocate)
Peran sebagai advokat dalam community work dicangkok dari profesihukum.
Peran advokat pada satu sisi berpijak pada tradisi pembaharuansosial, dan pada
sisi lainnya berpijak pada tradisi pelayanan sosial. Peranini merupakan peran aktif
dan terarah (directive), dimana communityworker menjalankan fungsi advokasi
atau pembelaan yang mewakilikelompok masyarakat yang membutuhkan suatu
bantuan ataupun layanan,tetapi institusi yang seharusnya memberikan bantuan
ataupun layanantersebut tidak mememdulikan (bersifat negatif ataupun menolak
tuntutanwarga). Dalam menjalankan fungsi advokasi, seseorang community
workertidak jarang harus melakukan persuasi terhadap kelompok
profesionalataupun kelompok elit tertentu, agar dapat mencapai tujuan
yangdiharapkan (dalam kaitan dengan upaya mengembangkan suatukomunitas).
7. Aktivis (Activist)
2. Tahapan intervensi
A. Tahap persiapan
a. Persiapan lokasi
Dimana dalam persiapan lokasi pekerja sosial akan menguji kelayakan terhadap
daerah yang menjadi sasaran, seperti :
Profil komunitas :
Pekalongan telah lama dikenal sebgai kota batik, batik sendiri selain sebagai
salah satu mata pencaharian pokok warga Pekalongan juga termasuk singkatan
dari Bersih, Aman, Tertib, Indah dan Komunikatif. Batik pun telah mendarah
daging bagi warganya, mereka menggunakan batik dalam kehidupan sehar-hari.
Jantung kehidupan kota Pekalongan adalah Batik. Industri Batik menggerakkan
lebih dari 1000 keluarga untuk bertahan hidup. Industri ini sendiri semacam turun
temurun. Jadi jika satu keluarga sudah menjalankan usaha batik maka keturunan
lainya pun akan bergerak dalam bidang ini. Sementara orang-orang yang tidak
bergerak dalam industri batik dapat membuka usaha lainnya seperti usaha kain,
benang, jin, industry rumah tangga dan lain sebagainya. Pengusaha batik yang ada
dipekalongan bukan hanya pengusaha batik jadi atau yang biasanya dijual ditoko
– toko namun pengusaha batik yang berada di derah kabupaten pekalongan adalah
pengusaha batik setengah jadi seperti yang ada di Desa Pekuncen Kecamatan
Wiradesa Kabupaten Pekalongan.
Pengusaha kain batik di Desa Pekuncen ini kebanyakan adalah usaha turun
temurun yang sudah dilakukan keluarga, kondisi kesejahteraan pengusaha kain
batik yang mengikuti komunitas yang ada pada desa pekuncen dikatakan sejahtera
dan maju karena para pengusaha sudah memilki karyawan yang membantunya
dalam memproduksi. Menurut pengakuan salah satu anggota komunitas dalam
melakukan pekerjaannya para pengusaha akan mengambil kain batik yang akan
dicetak kepada agen kain dan akan dicap sesuai motif yang diminta lalu dijual
kembali para pengepul biasanya para pengusaha kain batik ini dapat
menyelesaikan omset ± 240 kodi setiap bulannya yang perkodinya dihargai sesuai
ukuran misalnya ukuran 1,85 meter dihargai Rp 13.000/potong kain dengan harga
kain itu pengusaha batik dapat membayar upah para karyawannya dengan upah 50
– 70 rb perhari dengan jam kerja mulai pukul 07.00 – 14.00 WIB dengan jumlah
karyawan 10 orang. Cara pembatikan sendiri tidak selamanya menggunakan batik
cap melainkan sesuai permintaan pasar, jika pasar sedang menginginkan batik
tulis para pengrajin atau pengusaha kain batik akan membatik dengan tulis namun
pada saat ini batik yang sedang diminta adalah batik cap.
Dalam komunitas pengusaha batik ini setiap bulan selalu rutin melakukan
pertemuan untuk membahas masalah – masalah yang dihadapi, salah satu masalah
yang terus dihadapi para pengusaha batik ini adalah masalah pembuangan limbah
batik selain pembahasan masalah komunitas ini juga sering mengadakan kegiatan
bagi – bagi THR yang di adakan setiap tahun yang dibagikan untuk anggotanya.
B. Tahap Assessment
Proses assessment yang dilakukan disini adalah dengan mengidentifikasi masalah
ataupun kebutuhan yang di ekspresikan dan juga sumber daya atau potensi yang
dimiliki oleh komunitas tersebut, seperti komunitas ini :
a. Permasalahan / Potensi Komunitas
E. Tahap pelaksanaan
Dalam evaluasi ini sebagai proses pengawasan dari warga dan petugas terhadap
program yang sedang berjalan. Proses ini melibatkan warga karena dengan
keterlibatan warga pada tahp ini untuk melakukan pengawasan secara internal
sehingga perencanaan atau implementasi dari program yang sedang dilakukan
dapat dimanfaatkan oleh komunitas dan warga secara maksimal. Maka dari itu
jika program dapat berjalan dengan lancar dan komunitas serta warga sekitar
dapat merasakan manfaat yang ada maka program yang sudah dilaksanakan
dikatakan berhasil sehingga pekerja sosial serta tenaga ahli yang lain dapat
melepas komunitas tersebut secara mandiri untuk merawat dan menjaga
implementasi atau perewujudan program ( mesin – mesin) dan juga tanaman –
tanaman tersebut.
G. Tahap Terminasi
Pada tahap ini, merupakan tahap dimana sudah selesainya hubungan secara formal
dengan komunitas sasaran, Sehingga pada tahapan ini komunitas sudah dikatakan
mandiri.
3. Kesimpulan
Selain itu, karakteristik taktik dan teknik perubahan yang digunakan untuk
mewujudkan pengolahan limbah pewarna batik ini melalui program pengadaan
mesin UPL ini ialah membentuk konsensus atau kesepakatan bersama serta
komunikasi antar kelompok kepentingan di masyarakat yang terlibat dalam
implementasi program. Misalnya musyawarah dan kesepakatan penentuan lokasi
di sekitar lingkungan warga untuk lokasi pengolahan dan pembuangan akhir
limbah pewarna batik.
Dari sisi peran praktisi yang sudah dijelaskan menonjolkan peran yang dominan
dari para pelaku perubahan yaitu sebagai expert ( Pakar ) yang ditekankan
penemuan analisis ini melalui cara pemetaan sosial, implementasi program dan
abagimana relasi dengan berbagai macam biroraksi khususnya didalam
pemecahan masalah pengolahan dan pembuangan akhir limbah pewarna tekstil
batik di desa Wiradesa Kabupaten Pekalongan. Relasi dengan birokrasi di daerah
yakni antara komunitas pengusaha batik dengan Badan Lingkungan Hidup
Pemerintah Kabupaten Pekalongan dapat dilihat dalam kacamata peran antar
lembaga dalam tahap implementasi kegiatan pengolahan dan pembuangan akhir
limbah pewarna tekstil batik di komunitas pengusaha batik.
Selain itu diketahui pula bahwa faktor yang mendorong beneficiaries tertarik
untuk melakukan kegiatan tersebut untuk menjalin hubungan yang baik antar
warga sekitar sehingga tidak ada lagi konflik akibat limbah. Dengan demikian
maka dapat dikatakan bahwa penerima manfaat merupakan konsumen dari suatu
layanan (services) dimana mereka akan memanfaatkan program dan layanan yang
telah direncanakan. Secara ringkas uraian mengenai model intevensi komunitas
yang digunakan dalam program pengolahan limbah dan pembuangan akhir limbah
pewarna teksti batik di desa Wiradesa Kabupaten pekalongan ini dapat dilihat
pada tabel dibawah ini
4. Rekomendasi
Rekomandasi dari hasil intervensi dan analisis yang sudah dijelaskan bahwa
dalam melakukan atau mendirikan suatu pabrik memang seharusnya diimbangi
dengan pengetahuan yang lain, seperti dalam komunitas ini komunitas ini
seharusnya bisa lebih mengetahui akibat – akibat adanya limbah pabrik yang
mereka jalankan sehingga tidak ada pihak yang merasa dirugikan dan juga
keterampilan lain seperti halnya dalam halpemanfaatan lain. Batik adalah sebuah
warisan budaya, batik sendiri sudah dikenal di seluruh dunia namun di kotanya
sendiri yaitu pekalongan masih kurang adanya wisata edukasi tentang masalah
perbatikan, sehingga menurut penulis wisata edukasi yang berada di kota batik
sendiri perlu diadakan dan dampak dari adanya wisata ini juga dapat
menguntungkan bagi warga sekitar dalam mencari penghasilan tambahan.
Daftar Pustaka
Buku;
Website :
http://justinlase.blogspot.co.id/2013/01/intervensi-dalam-pekerjaan-sosial.html
http://wawachayoo.blogspot.co.id/2012/07/pengertian-fungsi-dan-peran-pekerja.html
http://citraanestasha-049.blogspot.co.id/2014/11/normal-0-false-false-false-in-x-none-
x.html