Anda di halaman 1dari 14

MODEL-MODEL INTERVENSI KOMUNITAS

Disusun Untuk Memenuhi Syarat Tugas Mata Kuliah Intervensi Pekerjaan


Sosial Dengan Organisasi dan Masyarakat

Dosen
Drs. Bambang Sugeng, M.P
Admiral Nelson Aritonang, Ph.D

Kelompok 5
Kelas: 3A Pekerjaan Sosial

Disusun Oleh:

1. Firkhatul Ulia 18.04.053


2. Rievandy Tiar Hudhilah 18.04.107
3. Dhea Maretta K 18.04.196
4. Inna Justitita Pratiwi 18.04.222
5. Evi Meliyana 18.04.235
6. Nopy Khaisa 18.04.266
7. Muhammad Baarik Rizqullah 18.04.282
8. Agil Gusty Prawanda Ismuyanto 18.04.308

PROGRAM PENDIDIKAN SARJANA TERAPAN PEKERJAAN SOSIAL

POLITEKNIK KESEJAHTERAAN SOSIAL

BANDUNG

2020
KATA PENGANTAR

Dengan menyebut nama Allah SWT yang Maha Pengasih lagi Maha
Penyayang, Kami panjatkan puja dan puji syukur atas kehadirat-Nya, yang telah
melimpahkan rahmat, hidayah, dan inayah-Nya kepada kami, sehingga kami dapat
menyelesaikan makalah.

Makalah ini telah kami susun dengan maksimal dan mendapatkan bantuan
dari berbagai pihak sehingga dapat memperlancar pembuatan makalah ini. Oleh
sebab itu kami mengucapkan banyak terima kasih atas segala kontribusi dalam
membantu penyusunan makalah ini. Terlepas dari semua itu, Kami menyadari
sepenuhnya bahwa makalah ini masih ada kekurangan baik dari segi susunan
kalimat maupun tata bahasanya. Oleh karena itu dengan tangan terbuka kami
menerima segala saran dan kritik dari pembaca agar kami dapat memperbaiki
makalah ini.

Akhir kata kami berharap semoga makalah ini dapat memberikan manfaat,
memperluas wawasan.

Bandung, September 2020

Penulis

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR.................................................................................... i

DAFTAR ISI................................................................................................... ii

BAB I  PENDAHULUAN.............................................................................. 1
1.1 Latar Belakang.......................................................................................... 1
1.2 Rumusan Masalah.................................................................................... 2
1.3 Tujuan........................................................................................................ 2

BAB II Pembahasan....................................................................................... 3
2.1 Pengertian Model Intervensi Komunitas................................................ 3
2.2 Model Model Intervensi Komunitas....................................................... 3

BAB III Penutup............................................................................................. 10


3.1 Kesimpulan................................................................................................ 10

Daftar Pustaka ............................................................................................... 11

ii
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Pekerjaan Sosial menurut International Federation of Social


Worker (Miftahul Huda, 2009; 3) adalah sebuah profesi yang mendorong
perubahan sosial, memecahkan masalah dalam kaitannya dengan relasi
kemanusiaan, memberdayakan dan membebaskan masyarakat untuk
meningkatkan kesejahteraannya. Dalam menjalankan aktifitas profesionalnya
seorang pekerja sosial akan melaksanakan tahap-tahap intervensi yang
berdasarkan jenis pertolongannya. Tahapan intervensi atau biasa disebut dengan
pelaksanaan program pertolongan merupakan serangkaiann kegiatan proses
pemberian pertolongan dalam pekerjaan sosial setelah melakukan kegiatan
perencanaan program. Tahap intervensi merupakan tindak lanjut dari perencanaan
yang telah disusun bersama dengan masyarakat sebagai tindakan nyata dan
hasilnya diharapakan  dapat dirasakan oleh semua pihak. Bentuk nyata dari
kegiatan praktik yang dilakukan oleh pekerja sosial bersama masyarakat atau
klien disebut dengan pelaksanaan intervensi. Pelaksanaan intervensi  sendiri
menurut Huraerah (2008: 66) adalah tindakan nyata atau tindakan konkrit yang
berada didalam masyarakat untuk melaksanakan program tersebut secara
konsisten, termasuk didalamnya dukungan ketersediaan anggaran dan
profesionalisme pelaksanaan rencana. Metode intervensi pekerja sosial beragam
sesuai dengan focus kelompok sasaran yang diintervensi. Dimana pembagian
metode intervensi menurut Zastrow dalam Isbandi (2013, 162) terdapat tiga
bagian yang meliputi pertama,intervensi mikro di level individu; kedua intervensi
mezzo di level keluarga dan kelompok; ketiga,intervensi makro di level organisasi
dan komunitas.  Berkaitan dengan metode intervensi di atas, makalah ini akan
memfokuskan kajiannya terhadap metode di level makro yaitu intervensi
komunitas (perubahan terencana di level komunitas).

1
Intervensi komunitas merupakan tindakan dalam upaya perubahan yang diambil
dan dilaksanakan praktikan bersama dengan masyarakat/komunitas untuk
memenuhi kebutuhan-kebutuhan dan mengatasi masalah yang dialami
masyarakat/komunitas dengan berdasarkan pada rencana yang telah disusun
secara bersama dan disepakati dalam bentuk program. Gambaran pelaksanaan
intervensi dapat dibagi menjadi dua kegiatan pokok, yaitu bekerja bersama dengan
masyarakat/komunitas sasaran dan bekerja bersama system di luar komunitas

Model-model intervensi komunitas pun dalam upaya pemberdayaan di level


komunitas berbagai macam, sebagaimana Rothman (1995) dalam Isbandi
(2012:15) menyebutkan bahwa terdapat tiga model intervensi komunitas yaitu
model locality development (pengembangan masyarakat local), social
planing (perencanaan sosial) dan social action (aksi sosial). Berdasarkan
pernyataan-pernyataan di atas maka makalah ini akan membahas model-model
intervensi komunitas dengan judul “Deskripsi Model-Model Intervensi Komunitas
Menurut Rothman”.

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang makalah di atas maka rumusan masalah


makalah ini adalah sebagai berikut :

“Bagaimana model-model intevensi komunitas dan Organisasi dalam


pemberdayaan masyarakat”.

1.3 Tujuan

Berdasarkan latar belakang dan rumusan masalah di atas maka tujuan


penulisan makalah ini adalah: Untuk mengetahui dan memahami apa saja model-
model intevensi Komunitas.

2
BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Pengertian Model Intervensi Komunitas

Terkait dengan pembahasan tentang intervensi komunitas, dikenal dengan


adanya model intervensi komunitas. Model intervensi adalah suatu model analisis
data dengan jangka waktu yang pada awalnya banyak digunakan untuk
mengekplorasi dampak dari kejadian – kejadian eksternal yang di luar dugaan
terhadap variabel yang menjadi obyek pengamatan, sehingga pada hal ini model
intervensi berada pada level komunitas.

Model intervensi komunitas memainkan peran penting dalam


pembangunan sosial di Indonesia, dalam pemberdayaan terhadap suatu kelompok
masyarakat atau komunitas tertentu.

2.2 Model-Model dalam Intervensi Komunitas

Dalam hal ini terdapat dua ahli yang mengemukakan tentang model pendekatan
dalam intervensi komunitas , yaitu:

A. Menurut Rothman dan Tropman mengemukakan 3 model intervensi dalam


pengorganisasian masyarakat , yaitu:
1) Pengembangan Masyarakat Lokal (Locality Development)
Pengembangan pada hal ini lebih bertujuan pada proses. Dimana suatu
komunitas di kembangkan kemampuan/kapasitasnya sehingga
komunitas tersebut mampu berupaya dalam memecahkan masalah
warga komunitas secara kooperatif (bekerja sama) berdasarkan
kemampuan nya menolong diri sendiri. Komunitas lokal seringkali
menjadi suatu komunitas minoritas dimana tertutupi oleh masyarakat
luas sehingga menyebabkan suatu kesenjangan. Kesenjangan tersebut
dapat terjadi pada relasi antar pribadi dan keterampilan dalam
memecahkan masalah. Sehingga dapat menimbulkan anomie,
keterasingan dan terkadang menimbulkan kelainan jiwa antara warga

3
komunitas. Selain itu, komunitas juga seringkali dipandang sebagai
ikatan tradisional dipimpin oleh kelompok kecil pemimpin-pemimpin
konvensional, terdiri dari populasi yang buta huruf dan mempunyai
kesenjangan dalam keterampilan memecahkan masalah.
Dalam pengembangan komunitas lokal, adanya upaya dalam
mengembangkan keterlibatan warga komunitas dalam menentukan
kebutuhan yang dirasakan dan memecahkan masalah mereka. Taktik
dalam pengembangan masyarakat lebih menekankan pada pencapaian
konsensus. Biasanya dilakukan melalui komunikasi dan proses diskusi
yang melibatkan berbagai macam individu dan kelompok. Dalam hal
ini ditekankan pentingnya teknik-teknik deliberatif (menimbang atau
konsultasi) dan kooperatif (kerja sama) pada penerapan pengembangan
komunitas lokal karena teknik-teknik tersebut membedakan peranannya
dengan peranan seorang aktivis (yang lebih berpotensi pada aksi sosial),
dimana mereka lebih menekankan pada pendekatan konflik.
Peranan yang dilakukan oleh CW (Community Work) lebih banyak
merujuk sebagai “enabler”, yaitu seorang CW yang membantu warga
komunitas agar dapat mengetahui apa saja kebutuhan warga komunitas;
mengidentifikasikan masalah mereka; dan mengembangkan kapasitas
komunitas agar dapat menangani masalah yang mereka hadapi secara
lebih efektif. Media perubahannya adalah melalui penciptaan atau
kreasi kelompok-kelompok kecil yang berorientasi pada tugas. Hal ini
tentunya membutuhkan kemampuan untuk membimbing kelompok-
kelompok tesebut ke arah penemuan dan pemecahan masalah secara
kolaboratif.
Struktur kekuasaan sudah tercakup didalam konsep mengenai
komunitas itu sendiri. Setiap segmen komunitas dianggap sebagai
bagian dari sistem klien. Selain itu, anggota-anggota dari struktur
kekuasaan ditempatkan pada posisi sebagai kolaborator dari ventura
(usaha) yang bersifat umum. Dalam pengembangan komunitas lokal,

4
total komunitas biasanya didasarkan pada kesatuan geografis seperti
daerah pantai, dusun, kampung atau desa.
Kepentingan kelompok dalam komunitas bersifat umum atau
mendasar. Oleh karena itu diperlukan permufakatan yang responsif
terhadap pengaruh dari pemikiran yang rasional, komunikasi, dan niat
baik bersama. Pengembangan komunitas mempunyai asumsi bahwa
warga komunitas akan mampu menangani masalah yang mereka hadapi
melalui upaya berkelompok. Dalam hal ini, tentu dibutuhkan kejujuran
dalam berkomunikasi dan memberikan umpan balik.
Klien dipandang sebagai warga yang sederajat yang memiliki kekuatan-
kekuatan yang perlu diperhatikan , belum semua kekuatan yang ada
pada di diri klien dapat dikembangkan dengan baik.
Community Work di sini berusaha mengembangkan apa yang belum
dikembangkan secara optimal tersebut dengan memfokuskan pada
kemampuan klien. Dari pandangan ini terlihat bahwa setiap warga
komunitas adalah sumber daya yang berharga.
Peran klien dalam pengembangan komunitas lokal dipandang sebagai
partisipan aktif dalam proses interaksi satu dengan yang lainnya, juga
dengan community work nya. Penekanan utama diberikan pada
kelompok dalam komunitas, di mana warga komunitas bersama
berusaha belajar dan mengembangkan diri.
2) Kebijakan Sosial/Perencanaan Sosial (Social Planning )
Perencanaan sosial, kategori tujuannya lebih ditekankan pada task goal
(tujuan yang berorientasi pada penyelesaian tugas). Pengorganisasian
perencanaan sosial biasanya berhubungan dengan masalah-masalah
sosial yang konkrit dan nama-nama bagian (departemen) yang juga
mencirikan hal ini. Seorang perencana sosial cenderung melihat
komunitas sebagai sejumlah kondisi masalah sosial yang inti, atau
masalah inti yang bersifat khusus dengan minat dan kepentingan
tertentu. Strategi dasar dari pola ini tergambar dalam ungkapan
”marilah kita kumpulkan fakta dan lakukan langkah-langkah logis

5
berikutnya”. Dengan kata lain, seorang perencana biasanya berusaha
untuk mengumpulkan fakta-fakta mengenai masalah yang dihadapi
sebelum warga komunitas memilih tindakan yang rasional dan tepat
dilakukan. Perencanaan dalam pengumpulan dan analisis fakta bisa saja
menggunakan tenaga di luar komunitas tersebut, begitupula dalam
upaya mengembangkan program dan kegiatan yang dilakukan.
Meskipun demikian, mereka tetap mendasari tugasnya berdasarkan
fakta dari warga komunitas tersebut. Sehingga pemufakatan ataupun
konflik dapat ditolerir dalam pendekatan ini, selama tidak menghalangi
proses pencapaian tujuan. Dalam perencanaan sosial klien lebih dilihat
sebagai konsumen dari suatu pelayanan dan mereka akan menerima
serta memanfaatkan program dan pelayanan sebagai hasil dari proses
perencanaan. Meskipun demikian, klien memainkan peranan sebagai
penerima pelayanan. Klien aktif mengkonsumsi pelayanan-pelayanan
yang diberikan, tetapi bukan dalam proses menentukan tujuan dan
kebijakan. Fungsi pembuatan kebijakan dijalankan oleh si perencana
setelah melakukan konsesus dengan elit.
3) Aksi Sosial (Social Action)
Pendekatan aksi sosial mengarah pada task goal dan process goal.
Beberapa organisasi aksi sosial memberi penekanan pada upaya
terbentuknya peraturan yang baru atau mengubah praktek-praktek
tertentu. Biasanya tujuan ini mengakibatkan adanya modifikasi
kebijakan organisasi-organisasi formal. Seorang praktisi aksi sosial
mempunyai cara berpikir yang berbeda. Mereka lebih melihat
komunitas sebagai hirarki dan privilage dan kekuasaan, Target dari para
praktisi aksi sosial adalah warga komunitas yang mendapat tekanan,
diabaikan, tidak mendapat keadilan, dieksploitasi oleh pihak tertentu,
dan sebagainya. Strategi perubahan dari pola aksi sosial terlihat dari
ungkapan ”Mari kita mengorganisir diri agar dapat melawan para
penekan kita”. Ungkapan tersebut merupakan kristalisasi isu-isu yang
dihadapi warga komunitas, yang kemudian membuat warga komunitas

6
menegenali ”musuhnya” dan mengorganisir diri dan membentuk aksi
massa untuk ganti memberikan tekanan terhadap kelompok sasaran
warga komunitas. Para praktisi aksi sosial lebih menekankan pada
taktik konflik sesuai dengan peran mereka sebagai activist/ developer,
dengan cara melakukan konfrontasi dan aksi-aksi langsung. Selain itu
dibutuhkan pula kemampuan untuk memobilisir massa sebanyak
mungkin untuk melaksanakan demonstrasi bahkan kalau perlu dengan
melakukan pemboikotan.
Taktik dan teknik yang sangat berperan dalam perencanaan sosial
adalah teknik pengumpulan data dan ketrampilan untuk menganalisis.
Taktik konsensus maupun konflik mungkin saja diterapkan, tetapi
semua itu tergantung dengan hasil analisis perencana tersebut terhadap
situasi yang ada. Peran yang biasa digunakan oleh perencana sosial
adalah peranan sebagai expert (pakar). Peran ini lebih menekankan pada
penemuan fakta, implementasi program, dan relasi dengan berbagai
macam birokrasi, serta tenaga profesional dari berbagai disiplin. Peran
sebagai pakar setidak-tidaknya terdiri dari bebrapa komponen, yaitu: (1)
diagnosis komunitas; (2) ketrampilan melakukan penelitian; (3)
Informasi mengenai komunitas yang lain; (4) saran terhadap metode
dan prosedur organisasi; (5) informasi teknis; dan (6) kemampuam
mengevaluasi. Media perubahannya adalah menipulasi organisasi
(termasuk di dalamnya adalah relasi antar organisasi) seperti juga
dengan pengumpulan dan analisis data.
Pada perencanaan sosial, struktur kekuasaan biasanya muncul sebagai
sponsor atau ”boss” (employer) dari praktisi (perencana). Oleh karena
itu, sangatlah sulit bagi seorang untuk membedakan antara para
perencana dengan organisasi yang mempekerjakannya. Para perencana
biasanya merupakan tenaga profesional yang terlatih dengan baik.
Dalam memberikan pelayanan, ia membutuhkan dukungan perangkat
keras dan perangkat lunak, serta bantuan dana dan fasilitas. Biasanya
seorang perencana hanya bisa mendapat dukungan itu dari orang yang

7
memiliki kekuasaan. Oleh karena itu dalam perencanaan perlu
dilakukan konsensus dengan kelompok elit, sebagai pembuat kebijakan
dalamsuatu perencanaan organisasi. Konsensus ini biasanya baru dapat
tercapai bila ada dukungan data yang faktual karena perencana sangat
mementingkan data yang faktual.
Klien dari perencana sosial bisa merupakan kesatuan geografis, tetapi
dapat pula merupakan kesatuan fungsionalnya, misalnya kelompok
penyandang cacat, kelompok profesi, kelompok pecinta buku, dan
kelompok-kelompok lainnya. Pada perencana sosial tidak ada asumsi
yang permasif mengenai tingkat konflik kepentingan. Pendekatan yang
mereka lakukan lebih bersifat pragmatis, dan berorientasi untuk
menangani masalah tertentu, sehingga aktor kurang memainkan peranan
di sini. Pada pola aksi sosial, peran yang dilakukan oleh CW lebih
mengarah pada peran sebagai advokat dan aktivis. Media perubahannya
adalah dengan menciptakan pengorganisasian dan pergerakan massa
untuk mempengaruhi proses politis. Oleh karena itu, pengorganisasian
massa pada aksi sosial menjadi isu yang penting.
Struktur kekuasaan oleh para praktisi aksi sosial dianggap sebagai
target eksternal dari suatu tindakan, sehingga dapat dikatakan bahwa
struktur kekuasaan berada di luar sistem klien. Struktur kekuasaan
seringkali dianggap sebagai kekuatan antitesis yang akan menekan
klien. Klien dari praktisi aksi sosial biasanya merupakan bagian dari
warga komunitas yang membutuhkan bantuan. Mereka dapat dikatakan
sebagai kelompok yang membutuhkan pelayanan tetapi tidak terjangkau
oleh pelayanan tersebut; ataupun ditolak untuk mendapatkan pelayanan
tersebut. Dalam pola aksi sosial, para praktisi lebih melihat
kelompokkelompok tersebut sebagai ”teman-teman partisan”
dibandingkan sekelompok klien.
 Pada pola aksi sosial ada asumsi bahwa kepentingan dari masing-
masing bagian dalam warga komunitas sanagt bervariasi dan sulit
diambil kata mufakat. Seringkali cara-cara koersif harus dilaksanakan

8
seperti melakukan pemboikotan, perundang-undangan, dan sebagainya
sebelum penyesuaian dapat terjadi. Mereka yang mempunyai kekuasaan
dan privilage dari/ terhadap kelompok-kelompok yang kurang
diuntungkan tersebut seringkali tidak mau melepaskan keuntungan yang
mereka dapat. Dorongan-dorongan dari kepentingan pribadilah yang
menyebabkan mereka merasa bodoh kalau mereka melepaskan apa
yang sudah mereka miliki. Dalam pola ini, klien atau warga komunitas
lebih dilihat sebagai ”korban” dari suatu sistem.
Dalam pola aksi sosial, klien biasanya merupakan ”bawahan” bersama
dengan praktisi aksi sosial, dan mereka berusaha ”mendobrak” sistem
yang ada. Praktisi di sini juga memainkan peranan sebagai ”bawahan”
dan ”pelayan” warga komunitas, bersama dengan ”teman-teman
praktisan” mereka menjadi kelompok penekan yang mencoba
memberikan tekanan terhadap kelompok elit. Disamping ketiga pola
pengorganisasian warga komunitas di atas, dalam pengembangan
masyarakat, terdapat pula pola pengorganisasian yang lain, yang
diadopsi dari disiplin pemasaran, yaitu Pendekatan Pemasaran Sosial.
Pendekatan ini memfokuskan pada upaya memasarkan suatu produk
sosial kepada kelompok sasarannya.

9
BAB III

PENUTUP

3.1 Kesimpulan

Intervensi komunitas merupakan upaya perubahan yang diambil dan


dilaksanakan praktikan bersama dengan masyarakat/komunitas untuk memenuhi
kebutuhan-kebutuhan dan mengatasi masalah yang dialami masyarakat/komunitas
berdasarkan pada rencana yang telah disusun secara bersama dan disepakati dalam
bentuk program. Model-model intervensi komunitas menurut Rothman (1995)
yaitu : pertama model locality development (pengembangan masyarakat local)
adalah suatu proses untuk menciptakan kemajuan sosial dan ekonomi bagi
masyarakat melalui pertisipasi aktif serta inisiatif dari masyarakat itu sendiri.

Kedua, social planing (perencanaan sosial) merupakan model intervensi


komunitas yang berorientasi pada tugas, dimana pekerja komunitas bertugas
melakukan penelitian, analisa masalah dan kebutuhan masyarakat, identifikasi,
melaksanakan dan mengevaluassi program pelayanan kemanusiaan.

Ketiga, social action (aksi sosial) merupakan intervensi yang dilakukan


dengan proses penyadaran, pemberdayaan dan tindakan-tindakan actual terhadap
masyarakat untuk mengubah struktur kekuasaan.

10
DAFTAR PUSTAKA

Adi, Isbandi Rukminto. 2012. Intervensi Komunitas & Pengembangan


Masyarakat : Sebagai Upaya Pemberdayaan Masyarakat. Jakarta : PT
RajaGrafindo Persada

http://yurikamaha.blogspot.com/2015/11/intervensi-komunitas.html?m=1

11

Anda mungkin juga menyukai