Islam
/u
zeoSc>S
Hukum
Islam
Pengantar Ilmu Hukum
dan Tata Hukum Islam
di Indonesia
Prof. H. Mohammad Daud All, S.H.
Perpustakaan Nasioml: Katalog dalam lerbitan (KDT)
Penvakilan:
Bandung-40243 Jl.H. Kurdi Timur No. 8 Komplek Kurdi Telp. (022) 5206202. Yogyakarta-Pondok Soragan
Indah Blok A-l, Jl. Soragan, Ngestiharjo, Kasihan Bantul, Telp. (0274) 625093. Surabaya-60118, Jl. Manyar
Jaya Blok. B 229 A, Komp. Wahana Wisma Permai, Telp. (031) 5949365. Palembang-30137, Jl. Kumbang III
No. 4459 Rt. 78, Kel. Demang Lebar Daun Telp. (0711) 445062. Padang-25156, Perum. Palm Griya Indah II No.
A. 9, KorongGadangTaruko, Telp. (0751) 498443. Medan-20215, Jl. Amaliun No. 72, Telp. (061) 7351395.
Makasar-90221, Jl. ST. Alauddin Blok A 9/3, Komp. Perum Bumi Permata Hijau, Telp. (0411) 861618.
Banjarmasin-70114, Jl. Bali No. 31 Rt. 9, Telp. (0511) 3352060. Denpasar, Jl. Serma Madepii No. 6A, Telp.
(0361) 262623
!■
untuk
yang tercinta
ayah ibu dan guru-guruku
serta
isteri dan anak-anakku
k
Tulisan ini adalah perluasan kuliah Asas-asas Hukum Islam
di Fakultas Hukum Universitas Indonesia Jakarta yang telah
diselaraskan dengan Keputusan Pertemuan Pengajar Mata- kuliah
sejenis yang diselenggarakan oleh Konsorsium Ilmu Hukum di
VII
Kata Pengantar
(Cetakan Kedua)
Kata Pengantar
(Cetakan Kedua)
Kata Pengantar
(Cetakan Ketiga)
Pada cetakan ketiga ini selain perbaikan salah cetak di sana
sini, isinya juga sudah disempurnakan sesuai dengan Keputusan
Rapat "Pakar Hukum" yang diselenggarakan oleh Konsorsium Ilmu
Hukum Direktorat Jenderal PerguruanTinggi Departemen
Pendidikan dan Kebudayaan di Jakarta 15 Juni 1993.
Dalam rapat tersebut telah diputuskan silabus Hukum Islam
sebagai kurikulum muatan nasional yang akan diajarkan di
fakultas-fakultas hukum di Indonesia. Menurut Ketua Konsorsium
Ilmu Hukum di hadapan Rapat Pakar Penyusun Silabus Kurikulum
Nasional Pendidikan Tinggi Hukum di Jakarta itu, jumlah SKS
Hukum Islam dalam SK Mendikbud No. 17/D/0/1993 tanggal 24
Februari 1993 sifatnya basic minimum, yang dapat dikembangkan
sesuai dengan perkem- bangan terakhir Hukum Islam di Indonesia.
Berdasarkan penjelasan Ketua Konsorsium Ilmu Hukum itu,
disusunlah silabus Hukum Islam, sebagai Pengantar Ilmu Hukum
dan Tata Hukum Islam di Indonesia, untuk 3 SKS, yang diuraikan
dalam buku ini.
Mudah-mudahan, sebagaimana halnya dengan cetakan pertama
dan kedua, cetakan ketiga yang memuat penjabaran Silabus
Konsorsium Ilmu Hukum (1993) ini, akan bermanfaat bagi studi
Hukum Islam di tanah air kita.
Kata Pengantar
(Cetakan Kelima)
Kata Pengantar
(Cetakan Keenam)
Mawaris 330
• Kodifikasi Hukum Kewarisan Islam dalam
Rangka Pembinaan Hukum Nasional 332
DAFTAR PUSTAKA 337
LAMPIRAN 347
INDEKS 359
BIODATA PENULIS 369
1Pendahuluan,
Islam
Islam, dan Hukum
pada kitab-kitab fiqih yang disebut dan menjadi bahan studi Snouck
Hurgronje itu.
Dari uraian tersebut di atas dapatlah disimpulkan bahwa
kekeliruan Snouck Hurgronje dalam memahami dan meng- analisis
hukum Islam disebabkan karena ia membaca buku- buku yang ditulis
di zaman kemunduran Islam dahulu. Di samping itu, sesuai dengan
kedudukannya sebagai Pena- sihat Pemerintah Kolonial Belanda, di
balik pendapat yang dikemukakannya itu, tentu ada tujuan-tujuan
tertentu yang hendak dicapainya, yaitu mengukuhkan kedudukan
pemerintah kolonial Belanda di bumi Indonesia yang penduduknya
mayoritas beragama Islam. Dalam hubungan ini, (2) sebagai perumus
Politik Islam (Islam Policy) yang dijalankan oleh Pemerintah Hindia
Belanda dahulu, dalam disertasinya yang berjudul The Crescent and the
Rising Sun (1958) yang telah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia
dengan nama Bulan Sabit dan Matahari Terbit (1980) H.J. Benda telah
menyoroti- nya secara luas dan mendalam. Politik Islam yang
disarankan oleh Snouck Hurgronje, diterima dan dilaksanakan oleh
pemerintah kolonial Belanda itu telah membawa pengaruh buruk
terhadap perkembangan Islam dan hukum Islam di Indonesia. Pokok-
pokok Politik Islam yang disusun oleh Snouck Hurgronje itu adalah
sebagai berikut:
1. Mengenai urusan ubudiyah (ibadah) yakni hubungan manusia
dengan Tuhan, pemerintah Hindia Belanda harus memberikan
kemerdekaan seluas-luasnya kepada orang- orang Islam Indonesia
untuk melakukannya. Menurut Snouck Hurgronje, potensial orang
Islam memang berbahaya bagi pemerintah jajahan. Potensi bahaya itu
baru benar-benar menjadi bahaya kalau kemerdekaan agama mereka
terganggu.
Kalau kemerdekaan agama itu tidak diganggu, tidak akan terjadi apa-
apa. Menurut Snouck, kalau orang Islam dilarang melakukan ibadah
agamanya, mereka akan menjadi sangat fanatik. Bahkan mungkin
mereka akan mengasingkan diri dari masyarakat biasa dan mendirikan
"perkumpulan tarikat" yang mengajarkan Perang Sabi!. Karena itu,
katanya, biarkan kaum Muslimin beribadah semerdeka-merdekanya.
Biarkan mereka sembahyang dan berpuasa dan jangan campuri urusan
salat Jumat mereka. Jangan sempitkan jalan mereka untuk pergi naik
haji ke Makkah, sehingga mereka benar-benar merasa merdeka dalam
urusan ubudiyah (ibadah) itu. Karena mereka merasa merdeka, mereka
akan lalai sendiri mengerjakannya, atau sekurang-kurangnya mereka
tidak merasa bahwa mereka diperintah oleh bangsa yang beragama
lain. Snouck Hurgronje mengingatkan pemerintahnya akan sebuah
dalil yang mengatakan bahwa "satu kerajaan mungkin saja tegak
dalam kekufuran, tetapi tidak mungkin tetap berdiri dalam
kezaliman."
2. Dalam urusan muamalah (kemasyarakatan), yakni mengenai
hubungan antara manusia dengan manusia lain dalam masyarakat,
pemerintah (Hindia) Belanda harus menghormati lembaga-lembaga
16 Hukum Islam
Orang yang secara bebas telah memilih untuk patuh dalam makna
menyesuaikan kehendaknya dengan kehendak Allah disebut Muslim.
Seorang Muslim adalah orang yang menerima petunjuk Tuhan dan
menyerahkan diri untuk mengikuti kemauan Ilahi. Artinya seorang
Muslim adalah orang yang melalui penggunaan 'akal dan
kebebasannya,' menerima dan mematuhi kehendak atau petunjuk
Tuhan (S.H. Nasr, 1981:11). Pengertian ini berlaku juga untuk semua
manusia yang menerima dan patuh pada ketentuan Tuhan yang disam-
paikan kepada umat manusia melalui para Nabi dan Rasul- Nya.
Dalam makna yang lebih luas, penamaan Muslim dapat pula diberikan
kepada semua makhluk yang menerima adanya ketentuan atau hukum
Tuhan dan tunduk kepada hukum-hukum Tuhan yang tidak terbantah
itu. Hukum- hukum Tuhan disebut di dunia Barat dengan istilah natural
law atau hukum alam (S.H. Nasr, 1981:12). Di dalam ajaran Islam, apa
yang disebut dengan natural law di dunia Barat itu dinamakan
sunnatullah. Sunnatullah adalah ketentuan atau hukum-hukum Allah yang
berlaku untuk alam semesta. Sunnatullah yang mengatur alam semesta
itulah yang menyebabkan ketertiban hubungan antara benda-benda
yang ada di alam raya ini. Di dalam Alquran banyak ayat yang
menunjukkan ada dan berlakunya sunnatullah atas alam semesta,
termasuk manusia di dalamnya.
Untuk memahami dan menerima sunnatullah, manusia telah
dipersiapkan Tuhan sendiri dengan berbagai bekal agar ia dapat
menentukan posisinya di alam semesta ini. Di antara perbekalan yang
diberikan Tuhan kepada manusia, yang paling berharga adalah
akalnya. Akal pulalah yang membeda- kan manusia dengan makhluk-
makhluk Tuhan lainnya. Dengan akalnya manusia dapat terangkat ke
derajat yang setinggi- tingginya, tetapi dengan mempergunakan
akalnya juga manusia dapat jatuh ke tingkat yang serendah-rendahnya.
Dengan akalnya manusia bisa menjadi Muslim, dengan akalnya pula
manusia dapat tidak tunduk kepada sunnatullah. Sesungguhnya,
demikian S.H. Nasr, segala sesuatu yang ada di alam semesta adalah
"Muslim", kecuali manusia yang dengan akal dan kebebasan yang
diberikan Tuhan kepadanya dapat menolak untuk menyesuaikan diri
dengan kehendak Tuhan. Tumbuh-tumbuhan, misalnya, akan tetap
menjadi tumbuh-tumbuhan sesuai dengan "hukum alam". Hewan akan
tetap menjadi hewan, sesuai dengan sunnatullah. Hanya manusia yang
dapat menjadi tidak Muslim dalam pengertian ini. Makhluk-makhluk
lain akan tetap Muslim dalam arti yang serupa, karena tunduk secara
mutlak kepada kehendak- Nya yang dinyatakan dalam hukum alam
atau sunnatullah itu (S.H. Nasr, 1981:12).
Sejak diturunkan, Islam terus-menerus berdasarkan dan
memusatkan perhatiannya kepada Tuhan. Ia didasarkan pada tauhid
(keesaan T uhan) .Islam sebagai agama yang berdasarkan
Pendahuluan, Islam, dan Hukum Islam 23 tauhid
(keesaan-kesatupaduan), tidak pernah memisahkan antara hal-hal yang
disebut spiritual (kerohanian) dan material (kebendaan), religious
(keagamaan) dengan profan (keduniaan) di dalam segala bidang. Di
dalam bahasa Islam (juga dalam bahasa Arab), karena itu, tidak ada
kata yang semakna dengan kata sekular seperti yang terdapat di dunia
Barat. Ini merupakan suatu petunjuk bahwa konsep sekular tidak ada
dalam Islam. Islam mengajarkan suatu jalan hidup yang menyeluruh,
yang tidak mengecualikan apa pun juga (S.H. Nasr, 1981:14).
Istilah sekular yang menjadi inti kata sekularisme dan sekularisasi itu
berasal dari bahasa Latin saeculum yang mempu- nyai dua pengertian,
yakni pengertian waktu dan pengertian lokasi. Pengertian waktu
menunjuk kepada sekarang atau kini, pengertian lokasi menunjuk pada
duniawi. Di antara kedua pengertian itu, tekanan makna sekular
diletakkan pada waktu atau periode tertentu di dunia yang dipandang
sebagai suatu proses sejarah (M. Al-Naquib Al-Attas, 1981:19).
Dari kata saeculum itu lahir istilah secularism pada tahun 1851.
Pada permulaan pertumbuhannya, sekularisme merupakan nama suatu
sistem etika dan filsafat yang bertujuan memberi interpretasi atau
pengaturan terhadap kehidupan manusia (1) tanpa kepercayaan atau
keyakinan kepada Tuhan,
(2) tidak mempercayai kitab-kitab suci dan (3) tidak percaya pada
hari akhir atau hari kiamat (H.M. Rasjidi, 1972:17). Ini berarti bahwa
sekularisme adalah paham atau aliran dalam filsafat yang secara sadar
menolak peranan Tuhan dan wahyu atau agama dalam mengatur hidup
dan kehidupan manusia dan memusatkan perhatiannya semata-mata
pada masalah dunia. Oleh karena itu, dalam kehidupan masyarakat
dan negara, menurut paham ini, diselenggarakan proses sekulari- sasi
yakni proses pembebasan manusia, pertama dari agama dan kedua dari
metafisika, yaitu ilmu yang mempelajari berbagai masalah
20 Hukum Islam
Esa, menurut ajaran Islam, tidak hanya berarti takut kepada Allah,
tetapi juga aktif membina dan memelihara berbagai hubungan yang
ada dalam kehidupan manusia. Hubungan-hubungan itu adalah (1)
hubungan manusia dengan Allah, Tuhan Yang Maha Esa, (2)
hubungan manusia dengan dirinya sendiri, (3) hubungan manusia
dengan manusia lain dalam masyarakat, dan (4) hubungan manusia
dengan lingkungan hidupnya. Keempat-empat tata hubungan ini harus
dikembangkan secara seimbang, baik, dan benar.
Hubungan (1) manusia dengan Allah, menurut ajaran Ketuhanan
Yang Maha Esa merupakan prima causa (sebab utama) hubungan-
hubungan yang lain. Oleh karena itu pula, pemeliharaan hubungan ini
harus diutamakan oleh manusia dan dikembangkan sebaik-baiknya.
Caranya adalah dengan melaksanakan perintah dan menjauhi semua
larangan-Nya. Ini dapat dilakukan, misalnya, dengan beribadah
kepada- Nya: melakukan salat, mengeluarkan zakat, berpuasa selama
bulan Ramadan dan menunaikan ibadah haji, menjauhi perzinaan,
penipuan, pembunuhan, memakan riba dan sebagainya. Dengan
melaksanakan perintah dan menjauhi larangan- larangan-Nya manusia
akan terkendali dalam hidupnya. Ia tidak, sekurang-kurangnya
enggan, melakukan kejahatan ter- hadap dirinya sendiri, terhadap
masyarakat dan lingkungan hidupnya. Hubungan (2) manusia dengan
dirinya sendiri dapat dipelihara antara lain dengan berlaku jujur, adil,
ikhlas, berani, sabar dan pemaaf. Hubungan (3) manusia dengan
manusia lain dalam kehidupan sosial dapat dipelihara dan
dikembangkan dengan antara lain, menghargai nilai dan menaati
norma yang berlaku dalam masyarakat, tolong- menolong, menepati
janji, menegakkan keadilan dan berlaku adil terhadap diri sendiri dan
orang lain. Hubungan (4) manusia dengan lingkungan hidupnya dapat
dikembangkan antara lain dengan memelihara dan menyayangi
binatang, tumbuh- tumbuhan, tanah, air dan udara serta semua isi
alam semesta yang sengaja diciptakan Allah untuk kepentingan
manusia dan makhluk lainnya. Keempat hubungan takwa itu harus
dilaksanakan dengan sebaik-baiknya agar tumbuh dan berkembang
'empat kesadaran tanggung jawab' dalam diri manusia. Tanggung
jawab tersebut adalah (1) tanggung jawab terhadap Allah, Tuhan
Yang Maha Esa, (2) tanggung jawab kepada hati nurani sendiri, (3)
tanggung jawab kepada manusia lain, dan (4) tanggung jawab untuk
Pendahuluan, Islam, dan Hukum Islam 23
kan segala yang baik bagi rakyat dan masyarakat." Selanjut- nya, kata
beliau dalam bukunya Pengertian Pancasila (1978), "Pengakuan kepada
dasar Ketuhanan Yang Maha Esa (itu) mengajak manusia
melaksanakan harmoni di dalam alam (yang) dilakukan terutama
dengan jalan memupuk persaha- batan dan persaudaraan antara
manusia dan bangsa. Pengakuan itu mewajibkan manusia di dalam
hidupnya membela kebenaran dengan kelanjutannya menentang segala
yang dusta. Pengakuan itu mewajibkan manusia di dalam hidupnya
membela keadilan dengan kelanjutannya menentang atau mencegah
kezaliman. Pengakuan itu mewajibkan manusia di dalam hidupnya
berbuat baik, dengan kelanjutannya memperbaiki kesalahan.
Pengakuan itu mewajibkan manusia di dalam hidupnya bersifat jujur
dengan kelanjutannya mem- basmi kecurangan. Pengakuan itu
mewajibkan manusia berlaku suci dengan kelanjutannya menentang
segala yang kotor baik perkataan maupun keadaan. Pengakuan itu
mewajibkan manusia di dalam hidupnya menikmati keindahan dengan
kelanjutannya melenyapkan segala yang buruk." Semua sifat-sifat itu,
kata Bung Hatta, wajib diamalkan karena kita mengakui dan
berpegang kepada dasar Ketuhanan Yang Maha Esa. Menerima
bimbingan Zat yang se- sempurna-sempurnanya, kata Bung Hatta pada
kesimpulan akhir uraiannya tentang Ketuhanan Yang Maha Esa, akan
memperkuat pembentukan karakter yang melahirkan manusia yang
mempunyai rasa tanggung jawab terhadap dirinya sendiri, masyarakat
dan Tuhan yang menciptakannya."
Kendatipun dalam sistematika tanggung jawab manusia menurut
24 Hukum Islam
saum atau puasa dan haji. Rukun Islam yang pertama yakni syahadat
(ikrar keyakinan) tidak dibahas dalam kitab yang membicarakan
kaidah-kaidah salat, zakat, saum dan haji, karena isinya merupakan
pernyataan keyakinan kepada Allah, Tuhan Yang Maha Esa dan
Muhammad sebagai Rasul-Nya. Soal ikrar keyakinan ini dibahas
dalam ilmu tentang keyakinan kepada Tuhan Yang Maha Esa yang
disebut ilmu kalam di atas. Kaidah-kaidah ibadah ini terdapat dalam
Alquran, dirinci dan diperjelas oleh Sunnah Nabi Muhammad.
Kaidah 'ibadah' (t), yakni norma yang mengatur cara dan tata cara
manusia berhubungan langsung dengan Tuhan, tidak boleh ditambah-
tambah atau dikurangi. Sebabnya karena tata hubungan dengan Tuhan
itu tetap, tidak boleh diubah- ubah. Ketentuannya telah pasti
ditetapkan oleh Allah sendiri dan dijelaskan kemudian secara rinci
oleh Rasul-Nya. Karena sifatnya 'tertutup,' dalam bidang ibadah
berlaku asas umum, yakni semua perbuatan ibadah dilarang dilakukan
kecuali kalau untuk perbuatan itu telah ada patokan yang ditetapkan
oleh Allah dari dicontohkan oleh Rasul-Nya. Kalau asas ini
dihubungkan dengan lima kaidah dalam sistem hukum Islam, 'kaidah
asal' ibadah, adalah larangan atau 'haram.' Artinya segala sesuatu yang
berada dalam ruang-lingkup ibadah khusus atau ibadah murni pada
dasarnya dilarang dilakukan, kecuali (seperti telah disebutkan di atas)
untuk hai-hal atau perbuatan itu telah ada perintah Allah yang
pelaksanaannya dicontohkan oleh Rasul-Nya. Dengan demikian, di
lapangan ibadah tidak mungkin ada pembaruan ( bid,'ah) atau apa yang
disebut modernisasi, yaitu proses yang membawa peru- bahan
(penambahan atau pengurangan) dan perombakan mengenai kaidah,
susunan, cara dan tata cara beribadah sesuai dengan perkembangan
zaman. Yang mungkin ada hanyalah penggunaan alat-alat modern
dalam pelaksanaannya.
Tentang (b) 'kaidah-kaidah muamalah' (t) hanya pokok- pokoknya
saja yang ditentukan dalam Alquran dan Sunnah Nab ; Muhammad.
Perinciannya 'terbuka' bagi akal manusia yang memenuhi syarat untuk
'berijtihad' (berusaha sungguh- sungguh dengan mempergunakan
seluruh kemampuan) mengaturnya lebih lanjut dan menentukan
kaidahnya menurut ruang dan waktu. Karena itu pula mengenai
hubungan
sosial manusia kaidahnya dapat saja berubah dan diadakan perubahan
melalui, misalnya, penafsiran (interpretasi) yang perumusannya
disesuaikan dengan masa dan tempat tertentu. Sebagai contoh dapat
dikemukakan misalnya mengenai (perubahan) kaidah yang
membolehkan seorang laki-laki beristri lebih dari seorang yang
tercantum dalam Alquran surat Al- Nisa' (4) ayat 3 dihubungkan
dengan ayat 129 surat yang sama, yang kini dapat dibaca dalam semua
undang-undang perkawinan umat Islam. Di Indonesia perubahan
kaidah itu dapat dilihat misalnya di dalam Pasal 3 dan 4 Undang-
Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1974 tentang
perkawinan, yang menentukan syarat-syarat yang harus dipenuhi oleh
seorang laki-laki kalau ia hendak beristri lebih dari seorang.
Ketetapan Allah yang langsung berhubungan dengan kehidupan
masyarakat (bidang muamalah) ini terbatas pada yang pokok-pokok
saja. Penjelasan Nabi, kalaupun ada, tidak pula terinci seperti dalam
bidang ibadah. Karena itu, seperti telah disinggung di atas, sifatnya
terbuka untuk dikembangkan melalui ijtihad manusia yang memenuhi
syarat untuk pengembangan itu. Karena sifatnya yang demikian,
dalam bidang muamalah, berlaku asas umum yaitu pada dasarnya
semua perbuatan 'boleh' dilakukan, kecuali kalau tentang perbuatan
itu telah ada larangan dalam Alquran dan Sunnah Nabi Muhammad.
Untuk menyebut sekadar contoh, misalnya, kaidah larangan
membunuh, mencuri, merampok, berzina, menuduh orang lain
melakukan perzinaan, meminum minuman yang memabukkan,
memakan riba (QS 2: 178-179, 5:39, 5:33, 24:4, 2:219, 3:130), dan
sebagainya.
Dengan demikian, 'kaidah asal' muamalah adalah kebo- lehan
(ja'iz atau ibahah). Artinya, semua perbuatan yang
Pendahuluan, Islam, dan Hukum Islam 37 termasuk
ke dalam kategori muamalah, boleh saja dilakukan asal saja tidak ada
larangan melakukan perbuatan itu. Karena sifatnya demikian, kecuali
mengenai yang dilarang itu, kaidah- kaidahnya dapat berubah sesuai
dengan perubahan zaman. Dalam bidang ini dapat saja dilakukan
pembaruan atau modernisasi, asal saja modernisasi atau pembaruan itu
sesuai, atau, sekurang-kurangnya, tidak bertentangan dengan jiwa
ajaran (agama) Islam pada umumnya.
Sekadar mengikuti pembagian hukum perdata dan hukum publik
30 Hukum Islam
seperti yang diajarkan di Fakultas Hukum di tanah air kita, kaidah-
kaidah muamalah ini dapat dibagi ke dalam dua bagian besar, yakni
(1) kaidah yang mengatur hubungan perdata, misalnya hukum-hukum,
(a) munakahat: hukum perkawinan, (b) wirasah: hukum kewarisan, (c)
dan lain-lain; (2) kaidah-kaidah yang mengatur hubungan publik,
misalnya hukum-hukum (a) jinayat: hukum pidana, (b) khilafah atau al-
ahkam as-sulthaniyah: hukum ketatanegaraan, (c) siyar: hukum
internasional, (d) dan sebagainya; serta (e) mukha- samat: hukum acara.
Sebagaimana halnya dengan lapangan akidah di atas, di lapangan
syariah, baik ibadah maupun muamalah ini pun berkembang satu ilmu
yang khusus memahami, mendalami dan merinci syariah agar dapat
menjadi pegangan (norma) hidup manusia Muslim baik sebagai
manusia pribadi maupun sebagai anggota kehidupan sosial. Ilmu
tersebut dinamakan 'ilmu fiqih' (ajaran Islam) yaitu ilmu khusus
memahami, mendalami syariah untuk dapat dirumuskan menjadi
kaidah konkret yang dapat dilaksanakan dalam masyarakat. Karena
syariah itu dapat dikelompokkan ke dalam dua kategori yakni syariah
ibadah dan syariah muamalah, maka ilmu fiqih yang mempelajari dan
mendalaminya pun dapat dibagi dua pula yakni ilmu fiqih ibadah dan
ilmu fiqih muamalah. Dan sebagai hasil pemikiran manusia, hasil
pemahaman tentang syariah yang disebut fiqih atau hukum fiqih itu,
dapat berbeda di suatu tempat dengan di tempat yang lain. Perbedaan
tersebut menimbulkan berbagai aliran pula baik di kalangan Ahlus
sunnah wal jama'ah (Sunni) maupun di kalangan Syi'ah (Syi'i).
Di samping akidah dan syariah, baik ibadah maupun muamalah
tersebut di atas, agama Islam meliputi juga (3) akhlak. Akhlak berasal
dari khuluk yang berarti perangai, sikap, tingkah- laku, watak, budi
pekerti. Perkataan itu mempunyai hubungan dengan sikap, perangai,
tingkah-laku atau budi pekerti manusia terhadap Khalik (pencipta alam
semesta) dan makhluk (yang diciptakan). Karena itu, sama halnya
dengan syariah, dalam garis-garis besarnya ajaran akhlak juga dapat
dibagi dua yakni yang berkenaan dengan sikap dan perbuatan manusia
terhadap (a) Khalik, Tuhan Maha Pencipta, dan (b) terhadap sesama
makhluk (segala yang diciptakan oleh Khalik itu). Sikap terhadap
sesama makhluk dapat dibagi dua pula, yaitu
(1) akhlak terhadap manusia yakni diri sendiri, keluarga, tetangga
dan masyarakat, dan (2) akhlak terhadap makhluk bukan manusia yang
ada di sekitar lingkungan hidup kita. Yang disebut terakhir ini dapat
dibagi lagi menjadi akhlak terhadap (a) tumbuh-tumbuhan dan akhlak
terhadap (b) hewan, bahkan (c) akhlak terhadap bumi dan air serta
udara yang ada di sekitar kita.
Sebagaimana halnya dengan akidah dan syariah tersebut di atas,
di bidang akhlak ini pun ada ilmu yang mempelajari, mendalami serta
mengembangkan ajaran akhlak yang terdapat
di dalam
Pendahuluan, Islam, dan Hukum Islam 39
Alquran dan Al-Hadis (atau As-Sunnah) itu, agar manusia (Muslim)
dapat bersikap, berbudi pekerti dan bertingkah laku seperti yang
ditetapkan dalam ke dua sumber agama Islam tersebut.
Mengenai (a) sikap terhadap Allah, Pencipta, Pemelihara dan
Penguasa alam semesta, ilmu yang mempelajarinya disebut 'ilmu
tasawuf (ajaran Islam). Perkataan tasawuf, yang di dalam bahasa
asing, disebut mystic atau sufism, berasal dari kata suf yakni wol kasar
yang dipakai oleh Muslim dan Muslimat yang berusaha dengan
berbagai upaya yang telah ditentukan untuk mendekatkan diri kepada
Allah. Orang yang melaku- kan upaya demikian disebut sufi dan ilmu
yang menjelaskan upaya-upaya serta tingkatan-tingkatan yang harus
ditempuh untuk mencapai tujuan dimaksud, dinamakan ilmu tasawuf.
Ilmu tasawuf adalah ilmu yang menjelaskan tata cara pengem- bangan
rohani manusia dalam rangka usaha mencari dan mendekatkan diri
dengan Allah. Dengan pengembangan rohani, kaum sufi ingin
menyelami makna syariat (tersebut di atas) secara lebih mendalam
dalam rangka menemukan hakikat agama Islam. Bagi kaum sufi yang
mementingkan syariat dan hakikat sekaligus, salat misalnya, tidaklah
hanya sekedar pengucapan sejumlah kata dalam gerakan tertentu,
tetapi adalah dialog spiritual antara manusia dengan Tuhan. Ibadah,
bagi para sufi, harus dilakukan dengan sepenuh hati, dengan
mencurahkan perhatian pada makna-makna rohaniah yang terkandung
di dalamnya. Sikap kaum sufi terhadap Tuhan, pada mulanya
didasarkan pada rasa takut, tetapi kemu- dian rasa takut itu diubah dan
dikembangkan oleh Rabi'ah al Adawiyah (m.d. 801 M), seorang sufiwati
dari Basrah, dengan rasa cinta kepada Allah melebihi cinta kepada apa
pun juga.
Seorang sufi yang mencari jalan untuk mendekatkan dirinya dengan
Allah melalui pengembangan rohani, menamakan dirinya salik, yakni
orang yang bepergian. Orangyangbepergian itu menempuh perjalanan
dengan langkah lambat dan teratur melalui tarikat tertentu, harus
melewati tujuh tingkatan, menuju ke satu tujuan yakni pertemuan
dengan kenyataan yaitu Allah sendiri. Jalan atau tarikat (tariqat) itu,
kemudian, menjadi organisasi sufi tersendiri, dipimpin oleh seorang
guru yang disebut syaikh, yang berfungsi sebagai petunjuk jalan.
Masing-masing tarikat mempunyai cara sendiri, misalnya dalam
Pendahuluan, Islam, dan Hukum Islam 33
HUKUM ISLAM'
Hukum Islam adalah hukum yang bersumber dari dan menjadi
bagian agama Islam. Sebagai sistem hukum ia mempunyai beberapa
istilah kunci yang perlu dijelaskan lebih dahulu, sebab, kadangkala
membingungkan, kalau tidak diketahui persis maknanya. Yang
dimaksud adalah istilah- istilah (1) hukum, (2) hukm dan ahkam, (3)
syariah atau syariat, (4) fiqih atau fiqh dan beberapa kata lain yang
berkaitan dengan istilah-istilah tersebut.
Pendahuluan, Islam, dan Hukum Islam 35
Hukum
Jika kita berbicara tentang hukum, secara sederhana segera
terlintas dalam pikiran kita peraturan-peraturan atau seperangkat
norma yang mengatur tingkah-laku manusia dalam suatu masyarakat,
baik peraturan atau norma itu berupa kenyataan yang tumbuh dan
berkembang dalam masyarakat maupun peraturan atau norma yang
dibuat dengan cara ter- tentu dan ditegakkan oleh penguasa.
Bentuknya mungkin berupa hukum yang tidak tertulis seperti hukum
adat, mungkin juga berupa hukum tertulis dalam peraturan
perundang- undangan seperti hukum Barat. Hukum Barat melalui asas
konkordansi, sejak pertengahan abad ke-19 (1855) berlaku di
Indonesia. Hukum dalam konsepsi seperti hukum Barat adalah hukum
yang sengaja dibuat oleh manusia untuk mengatur kepentingan
manusia sendiri dalam masyarakat tertentu. Dalam konsepsi hukum
perundang-undangan (Barat), yang diatur oleh hukum hanyalah
hubungan manusia dengan manusia lain dan benda dalam masyarakat.
Di samping itu, ada konsepsi hukum lain, di antaranya adalah
konsepsi hukum Islam. Dasar dan kerangka hukumnya ditetapkan
oleh Allah, tidak hanya mengatur hubungan manusia dengan manusia
lain dan benda dalam masyarakat, tetapi juga hubungan-hubungan
lainnya, karena manusia yang hidup dalam masyarakat itu
mempunyai berbagai hubungan. Hubungan-hubungan itu, seperti
telah berulang disinggung di muka, adalah hubungan manusia dengan
Tuhan, hubungan manusia dengan dirinya sendiri, hubungan manusia
dengan manusia lain dan hubungan manusia dengan benda dalam
masyarakat serta alam sekitarnya. Interaksi manusia dalam berbagai
tata hubungan itu diatur oleh
44 Hukum Islam
seperangkat ukuran tingkah-laku yang di dalam bahasa Arab, disebut
hukm jamaknya ahkam.
harga tertinggi yang terjadi antara barang itu dibeli dan dihilangkan
oleh A (Hasbullah Bakry, 1982: 3).
Dari contoh di atas jelas bahwa pendapat sebagai hasil dari
pemahaman manusia, mungkin berbeda-beda. Dan inilah yang disebut
dengan fiqih. Ketentuan hukum yang dirumuskan oleh para mujtahid (:
orang yang berijtihad) itulah, seperti telah berulang disebutkan di
atas, disebut hukum fiqih.
Hukum fiqih, sebagai hukum yang diterapkan pada kasus tertentu
dalam keadaan konkret, mungkin berubah dari masa ke masa dan
mungkin pula berbeda dari satu tempat ke tempat lain. Ini sesuai
dengan ketentuan yang disebut juga dengan kaidah hukum fiqih yang
menyatakan bahwa perubahan tempat dan waktu menyebabkan
perubahan hukum. Perubahan tempat dan waktu yang menyebabkan
perubahan hukum itu, dalam sistem hukum Islam disebut illat (latar
belakang yang menyebabkan ada atau tidak adanya hukum atas
sesuatu hal). Dari kaidah ini dapat ditarik kesimpulan bahwa hukum
fiqih itu cenderung relatif, tidak absolut seperti hukum syariat yang
menjadi sumber hukum fiqih itu sendiri. Sifatnya zanni, yakni
sementara belum dapat dibuktikan sebaliknya, ia cenderung dianggap
benar. Sifat ini terdapat pada hasil karya manusia dalam bidang apa
pun juga.
Berlawanan dengan hukum fiqih yang semuanya bersifat zanni
(dugaan), hukum syariat ada yang bersifat pasti. Yang pasti, karena
itu berlaku absolut, disebut qath'i, seperti misalnya ayat-ayat Alquran
yang menentukan kewajiban salat, zakat, puasa, haji, dan ayat-ayat
kewarisan. Juga sunnah Nabi yang mewajibkan manusia menuntut
ilmu pengetahuan.
Selain sifat tersebut, perlu dikemukakan pula bahwa hukum fiqih
tidak dapat menghapuskan sama sekali hukum syariat. Ambillah, soal
perceraian. Hukum syariat memboleh- kan perceraian. Para ahli
hukum Islam tidak boleh meng- gariskan ketentuan hukum fiqih yang
melarang perceraian. Demikian juga halnya dengan ketentuan
mengenai hak yang sama antara pria dan wanita untuk menjadi ahli
waris. Hukum syariat menentukan dengan tegas bahwa wanita dan pria
sama-sama menjadi ahli waris almarhum orang tua dan keluarganya.
Hukum fiqih tidak boleh merumuskan ketentuan yang menyatakan
bahwa wanita tidak berhak menjadi ahli waris seperti keadaan dalam
masyarakat Arab sebelum Islam (Ahmad A. Basyir, 1982: 1).
Dari contoh-contoh tersebut di atas jelas pula bahwa hukum fiqih
tidak boleh bertentangan dengan hukum syariat apalagi kalau
ketentuan hukum syariat itu telah tegas jelas bunyinya, yang tidak
mungkin diartikan lain dari makna yang disebutnya. Misalnya
mengenai bagian tertentu untuk orang-orang tertentu dalam keadaan
tertentu dalam ayat-ayat hukum kewarisan Islam.
Hukum Islam, baik dalam pengertian syariat maupun dalam
pengertian fiqih tersebut, seperti telah disebut di muka,
dan'diringkaskan'di sini, dapat dibagi dua (1) mengenai (bidang)
ibadah dan (2) mengenai (bidang) muamalah. Tatacara berhubungan
dengan Tuhan melaksanakan kewajiban sebagai seorang Muslim
dalam mendirikan (melakukan) salat, menge- luarkan zakat, berpuasa
selama bulan Ramadan dan menunaikan ibadah haji, termasuk dalam
kategori ibadah. Mengenai (1) 'ibadah' yakni cara dan tata cara
manusia berhubungan langsung dengan Tuhan, tidak boleh ditambah-
tambah atau dikurangi. Tata hubungan itu tetap, tidak mungkin dan
tidak
Pendahuluan, Islam, dan Hukum Islam 55 boleh
54 Hukum Islam
diubah-ubah. Ketentuannya telah pasti diatur oleh Allah sendiri dan
dijelaskan secara rinci oleh Rasul-Nya. Karena sifatnya yang tertutup
itu (seperti telah disebut di muka), dalam soal ibadah ini berlaku asas
umum yakni semua perbuatan ibadah dilarang dilakukan kecuali
perbuatan-perbuatan yang dengan tegas disuruh untuk dilakukan.
Petunjuk-petunjuk yang menyatakan bahwa itu adalah perbuatan
suruhan terdapat di dalam Alquran dan Al-Hadis yang memuat Sunnah
Rasulullah. Kalau dihubungkan dengan al-ahkam al-khamsah atau hukum
taklifi tersebut di muka, kaidah asal ibadah itu larangan (haram).
Dengan demikian, tidak mungkin ada apa yang disebut
modernisasi mengenai ibadah atau proses yang membawa perubahan
dan perombakan secara asasi mengenai hukum, susunan, cara, dan tata
cara ibadah itu sendiri seperti telah di atas. Yang mungkin berubah
hanyalah penggunaan alat-alat modern dalam pelaksanaannya.
Mengenai (2) muamalah dalam pengertian yang luas, yakni
ketetapan yang diberikan oleh Tuhan yang langsung berhu- bungan
dengan kehidupan sosial manusia, terbatas pada yang pokok-pokok
saja. Penjelasan nabi, kalaupun ada, tidak pula terinci seperti halnya
dalam bidang ibadah. Karena itu (seperti telah disebutkan di atas),
'terbuka' sifatnya untuk dikembangkan melalui ijtihad manusia yang
memenuhi syarat untuk melakukan usaha itu. Karena sifatnya yang
demikian, dalam soal muamalah berlaku asas umum yakni pada
dasarnya semua perbuatan 'boleh' dilakukan, kecuali kalau mengenai
perbuatan itu ada larangan di dalam Alquran dan Al-Hadis yang
memuat Sunnah Nabi Muhammad. Untuk menyebut sekedar contoh,
misalnya, larangan membunuh, mencuri, merampok, berzina, menuduh
orang lain melakukan perzinaan, meminum mi- numan yang
memabukkan (mibuk), memakan riba yang telah disebut di muka.
Dengan demikian, kalau dihubungkan dengan al-ahkam al- khamsah
atau hukum taklifi yang telah disinggung di muka, kaidah asal mengenai
muamalah ini adalah 'kebolehan.' Artinya, semua perbuatan yang
termasuk ke dalam kategori muamalah, boleh saja dilakukan asal saja
tidak ada larangan untuk melakukan perbuatan itu. Dan karena
sifatnya yang demikian, kecuali mengenai yang dilarang itu,
perumusan dan kaidah- kaidahnya dapat sajaberubah sesuai dengan
perubahan zaman. Dalam bidang ini dapat saja dilakukan modernisasi,
asal saja modernisasi itu sesuai, atau sekurang-kurangnya tidak
bertentangan dengan jiwa hukum Islam pada umumnya.
Ruang-Lingkup Hukum Islam
Jika kita bandingkan hukum Islam bidang muamalah ini dengan
hukum Barat yang membedakan antara hukum privat (hukum perdata)
dengan hukum publik, maka sama halnya dengan hukum adat di tanah
air kita, hukum Islam tidak membedakan (dengan tajam) antara
hukum perdata dengan hukum publik. Ini disebabkan karena menurut
sistem hukum Islam pada hukum perdata terdapat segi-segi publik dan
pada hukum publik ada segi-segi perdatanya.
Itulah sebabnya maka dalam hukum Islam tidak dibe- dakan
kedua bidang hukum itu. Yang disebutkan adalah bagian- bagiannya
saja seperti misalnya, (1) muriakahat, (2) wirasah, (3) mu'amalat dalam
arti khilsus, (4) jiriayat atau 'ukubat, (5) al- ahkam as-sulthaniyah (khilafah),
(6) siyar, dan (7) mukhasamat (H.M. Rasjidi, 1971:25).
Pendahuluan, Islam, dan Hukum Islam 56
Islam, disebut juga dengan istilah ar-ra'yu atau pendapat orang atau
pendapat orang-orang yang memenuhi syarat untuk menentukan nilai
dan norma (kaidah) pengukur tingkah-laku manusia dalam segala
bidang hidup dan kehidupan. Ketiga sumber hukum Islam itu
merupakan satu rangkaian kesatuan, dengan urutan keutamaan seperti
tercantum dalam kalimat tersebut di atas. Tidak boleh dibalik. Jika
dihubungkan dengan peringkatannya, Alquran dan As- Sunnah yang
terdapat dalam kitab-kitab hadis = Al-Hadis merupakan sumber utama,
sedang akal pikiran manusia yang memenuhi syarat untuk berijtihad
menentukan norma benar- salahnya suatu perbuatan merupakan
sumber tambahan atau sumber pengembangan. Selain itu, dari hadis
Mu'az bin Jabal itu pula kita dapat menyimpulkan (b) beberapa hal,
yaitu (1) Alquran bukanlah kitab hukum yang memuat kaidah-kaidah
hukum secara lengkap terinci. Pada umumnya hanya memuat kaidah-
kaidah hukum fundamental yang harus dikaji dengan teliti dan
dikembangkan oleh pikiran manusia yang memenuhi syarat untuk
diterapkan dalam masyarakat, (2) Sunnah . Nabi Muhammad dalam
Al-Hadis pun, sepanjang yang mengenai soal 'muamalah' yaitu soal
hubungan antara manusia dengan manusia lain dalam masyarakat,
pada umumnya, hanya mengandung kaidah-kaidah umum yang harus
dirinci oleh orang yang memenuhi syarat untuk dapat diterapkan pada
atau dalam kasus-kasus tertentu, (3) Hukum Islam yang terdapat dalam
Alquran dan As-Sunnah atau Al-Hadis itu perlu dikaji, dirinci lebih
lanjut, (4) Hakim (atau penguasa) tidak boleh menolak untuk
menyelesaikan suatu masalah atau sengketa dengan alasan bahwa
hukumnya tidak ada. Ia wajib memecahkan masalah atau
menyelesaikan sengketa yang disampaikan kepadanya dengan
berijtihad, melalui berbagai jalan (metode), cara atau upaya.
Muhammad Idris As-Syafi'i (767-820 M) yang terkenal dengan
panggilan kehormatan Imam Syafi'i, setelah lebih dari seabad Nabi
Muhammad wafat, dalam periode pembinaan, pengembangan dan
pembukuan hukum Islam di permulaan KhalifahAbbasiyah (750-
1258), atas permintaan Abdurrahman bin Mahdi, menyusun suatu
teori tentang sumber-sumber hukum Islam dalam sebuah buku yang
bernama Kitab al-Risala fi Usui al Fiqh, telah disebut di muka, biasa
disingkat dengan Kitab al-Risala atau al-Risala(h) (dibacaarrisala(h))
saja (Majid Khadduri, 1961:21). Menurut pendapat Syafi'i, dalam
buku tersebut, sumber hukum Islam ada empat, yaitu (1) Alquran,
(2) As-Sunnah atau Al-Hadis, (3) Al-Ijma1, dan (4)A l-Qiyas. Pendapat As-
Syafi'i ini disandarkan pada Alquran surat Al- Nisa' (4) ayat 59
tersebut di atas, yang terjemahannya (lebih kurang) berbunyi sebagai
berikut: "Hai orang-orang yang beriman: taatilah Allah, taatilah rasul
dan orang-orang yang memegang kekuasaan di antara kamu. Jika
kamu berbeda pendapat mengenai sesuatu, kembalikanlah (perbedaan
pendapat itu) kepada Allah dan rasul." Perkataan "taatilah Allah (dan)
taatilah rasul" dalam ayat tersebut menunjuk pada Alquran dari As-
72 Hukum Islam
empattingkat saja, yakni (1) mujtahid mutlak, (2) mujtahid mazhab, (3)
mujtahid fatwa dan (4) muqallid atau disebut juga dengan istilah ahli tarjih
(Asjmuni Abdurrahman, 1978:17- 24). Penjelasan tentang istilah-
istilah ini terdapat pada halaman 182, 183 dan 184.
Ijtihad perlu dilakukan oleh orang yang memenuhi syarat dari
masa ke masa, karena Islam dan umat Islam berkembang pula dari
zaman ke zaman sesuai dengan perkembangan masyarakat. Dalam
masyarakat yang berkembang itu, senan- tiasa muncul masalah-
masalah yang perlu dipecahkan dan ditentukan kaidah hukumnya. Hal
ini hanya dapat dilakukan dengan ijtihad. Dan karena pentingnya
ijtihad, seorang pemikir Islam terkemuka (yang menjadi salah seorang
pendorong berdirinya negara Islam Pakistan), yakni Muhammad Iqbal
(m.d. 1938 M) menyebut ijtihad sebagai the principle of movement dalam
struktur ajaran agama Islam (Nazaruddin Razak, 1977:113), karena
dengan ijtihad hukum Islam dapat dikembangkan untuk memenuhi
kebutuhan umat Islam di setiap zaman. Ijtihad Khalifah II Umar bin
Khattab (634-644 M) dalam berbagai aspek hukum Islam, adalah
model yang dapat dicontoh terus-menerus dalam melakukan ijtihad
dari masa ke masa, di setiap tempat dalam berbagai peristiwa. Contoh
ijtihad Umar diuraikan pada halaman 175-177 buku ini.
Metode-metode Berijtihad
buah-buahan) yang
Sumber, Asas-asas Hukum Islam dan al-Ahkam al-Khamsah 121
dibebankan pada benda atau harta, tidak pada tenaga atau pekerja,
(17) asas mengatur, sebagai petunjuk, dan (18) asas perjanjian
tertulis atau diucapkan di depan saksi. Selain asas-asas di
lapangan hukum perdata itu, khusus mengenai hukum
'perkawinan' asasnya adalah (1) kesukarelaan, (2) persetujuan
kedua belahpihak, (3) kebebasan memilih, (4) kemitraansuami-
istri, (5) untuk selama-lamanya, dan (6) monogami terbuka,
sedang mengenai hukum 'kewarisan' terdapat beberapa asas, yaitu
(1) ijbari (wajib dilaksanakan), (2) bilateral, (3) individual, (4)
keadilan yang berimbang, (5) akibat kematian (Amir Syarifuddin,
1984:18-23).
Asas-asas Umum
1. Asas Keadilan
Asas keadilan merupakan asas yang sangat penting dalam hukum
Islam. Demikian pentingnya, sehingga ia dapat disebut sebagai asas
semua asas hukum Islam. Di dalam Alquran, karena pentingnya
kedudukan dan fungsi kata itu, keadilan disebut lebih dari 1000 kali,
terbanyak setelah Allah dan ilmu pengetahuan (A.M. Saefuddin,
1983:45). Banyak ayat-ayat yang menyuruh manusia berlaku adil dan
menegakkan keadilan. Dalam surat Sad (38) ayat 26 Allah
memerintahkan penguasa, penegak hukum sebagai khalifah di bumi
menyelenggarakan hukum sebaik-baiknya, berlaku adil terhadap
semua manusia, tanpa, misalnya, memandang kedudukan, asal-usul
dan keyakinan yang dipeluk pencari keadilan itu. Dalam Alquran surat
Al-Nisa1 (4) ayat 135 Tuhan memerintahkan agar manusia
menegakkan keadilan, menjadi saksi yang adil walaupun terhadap diri
sendiri, orang tua dan keluarga dekat. Di dalam surat lain yakni surat
Al-Maidah (5) ayat 8 Tuhan menegaskan agar manusia berlaku adil
sebagai saksi, berlaku lurus dalam melaksanakan hukum, kendatipun
ada tekanan, ancaman atau rayuan dalam bentuk apa pun juga. Di
dalam ayat itu juga diingatkan para penegak hukum agar
kebenciannya terhadap seseorang atau sesuatu golongan tidak
menyebabkan ia tidak berlaku adil dalam penyelenggaraan hukum.
Dari uraian singkat ini dapat disimpulkan bahwa keadilan adalah asas,
titik-tolak, proses dan sasaran hukum Islam.
Sumber, Asas-asas Hukum Islam dan al-Ahkam al-Khamsah 123
2. Asas Kepastian Hukum
Asas kepastian hukum, antara lain disebut secara umum dalam
kalimat terakhir surat Bani Israil (17) ayat 15 yang terje- mahannya
(lebih kurang) sebagai berikut ". . . dan tidaklah Kami menjatuhkan
hukuman, kecuali setelah Kami mengutus seorang rasul untuk
menjelaskan (aturan dan ancaman) hukuman itu . . . ." Selanjutnya di
dalam surat Al-Maidah (5) ayat 95 terdapat penegasan Ilahi yang
menyatakan bahwa Allah memaafkan apa yang terjadi di masa yang
lalu. Dari ke dua bagian ayat-ayat tersebut disimpulkan asas kepastian
hukum
130 Hukum Islam
yang menyatakan bahwa tidak ada satu perbuatan pun dapat dihukum
kecuali atas kekuatan ketentuan hukum atau peraturan perundang-
undangan yang ada dan berlaku untuk perbuatan itu. Asas ini sangat
penting dalam ajaran hukum Islam (Anwar Harjono, 1968:155).
3. Asas Kemanfaatan
Asas kemanfaatan adalah asas yang mengiringi asas keadilan dan
kepastian hukum tersebut di atas. Dalam melaksanakan asas keadilan
dan kepastian hukum, seyogianya dipertimbangkan asas
kemanfaatannya, baik bagi yang ber- sangkutan sendiri maupun bagi
kepentingan masyarakat. Dalam menerapkan ancaman hukum mati
terhadap seseorang yang melakukan pembunuhan, misalnya, dapat
dipertimbangkan kemanfaatan penjatuhan hukuman itu bagi diri
terdakwa sendiri dan bagi masyarakat. Kalau hukuman mati yang
akan dijatuhkan itu lebih bermanfaat bagi kepentingan masyarakat,
hukuman itulah yang dijatuhkan. Kalau tidak menjatuhkan hukuman
mati lebih bermanfaat bagi terdakwa sendiri dan keluarga atau saksi
korban, ancaman hukuman mati dapat diganti dengan hukuman denda
yang dibayarkan kepada keluarga terbunuh. Asas ini ditarik dari
Alquran surat Al-Baqarah (2) ayat 178.
Asas-asas Hukum Pidana
Disamping asas-asas umum tersebut di atas, di lapangan hukum
pidana juga terdapat asas-asas hukum Islam. Di antaranya adalah:
1. Asas Legalitas
Yang dimaksud dengan asas legalitas adalah asas yang
Sumber, Asas-asas Hukum Islam dan al-Ahkam al-Khamsah 131 menyatakan
bahwa tidak ada pelanggaran dan tidak ada hukuman sebelum ada
undang-undang yang mengaturnya. Asas ini didasarkan pada Alquran
surat Al-Isra' (17) ayat 15 tersebut di atas, dihubungkan dengan anak
kalimat dalam surat Al-An'am (6) ayat 19 yang berbunyi . . Alquran
ini diwahyukan kepadaku, agar (dengannya) aku (Muhammad) dapat
menyampaikan peringatan (dalam bentuk aturan dan ancaman
hukuman) kepadamu —" Asas legalitas ini telah ada dalam hukum
Islam sejak Alquran diturunkan.
2. Asas larangan memindahkan kesalahan pada orang lain
Asas ini terdapat di dalam berbagai surat dan ayat Alquran
(6:164, 35:18, 39:7, 53:38, 74:38). Dalam ayat 38 surat Al-
Muddatstsir (74) misalnya dinyatakan bahwa setiap jiwa terikat pada
apa yang dia kerjakan, dan setiap orang tidak akan memikul dosa atau
kesalahan yang dibuat oleh orang lain (QS 74:38). Di bagian ayat 164
surat Al-An'am (6) Allah menyatakan bahwa setiap pribadi yang
melakukan sesuatu kejahatan akan menerima balasan kejahatan yang
dilakukannya. Ini berarti bahwa tidak boleh sekali-kali beban (dosa)
seseorang dijadi- kan beban (dosa) orang lain. Dari ayat-ayat yang
disebut, jelas bahwa orang tidak dapat diminta memikul tanggung
jawab mengenai kejahatan atau kesalahan yang dilakukan oleh orang
lain. Karena pertanggungjawaban pidana itu individual sifatnya,
kesalahan seseorang tidak dapat dipindahkan kepada orang lain.
3. Asas praduga tidak bersalah
Dari ayat-ayat yang menjadi sumber asas legalitas dan asas tidak
boleh memindahkan kesalahan kepada orang lain 132 Hukum Islam
tersebut di atas, dapat ditarik juga asas praduga tidak ber- salah.
Seseorang yang dituduh melakukan suatu kejahatan harus dianggap
tidak bersalah sebelum hakim dengan bukti- bukti yang meyakinkan
menyatakan dengan tegas kesalahan orang itu.
Asas-asas Hukum Perdata
Di lapangan hukum perdata terdapat asas-asas hukum Islam yang
menjadi tumpuan atau landasan untuk melindungi kepentingan pribadi
seseorang. Di antaranya adalah:
1. Asas kebolehan atau mubah
Asas ini menunjukkan kebolehan melakukan semua hubungan
perdata (sebagian dari hubungan muamalah) sepanjang hubungan itu
tidak dilarang oleh Alquran dan As-Sunnah. Dengan kata lain, pada
dasarnya segala bentuk hubungan perdata adalah boleh dilakukan,
kecuali kalau telah ditentukan lain dalam Alquran dan As-Sunnah. Ini
berarti bahwa Islam memberi kesempatan luas kepada yang
berkepentingan untuk mengembangkan bentuk dan macam hubungan
perdata (baru) sesuai dengan perkembangan zaman dan kebutuhan
masyarakat. Tuhan memudahkan dan tidak menyempitkan kehidupan
manusia seperti yang dinyatakan-Nya antara lain dalam Alquran surat
Al-Baqarah (2) ayat 185, 286.
2. Asas kemaslahatan hidup
Kemaslahatan hidup adalah segala sesuatu yang menda- tangkan
kebaikan, berguna, berfaedah bagi kehidupan. Asas kemaslahatan
hidup adalah asas yang mengandung makna bahwa hubungan perdata
apa pun juga dapat dilakukan asal
Sumber, Asas-asas Hukum Islam dan al-Ahkam al-Khamsah 133 hubungan itu
menurut Hazairin, (Hazairin, 1982, 68) mulai dari ja'iz atau mubah di
lapangan kehidupan pribadi, muamalah atau kehidupan sosial. Ja'iz
adalah ukuran penilaian bagi perbuatan dalam kehidupan kesusilaan
(akhlak atau moral) pribadi. Kalau mengenai benda, misalnya
makanan, disebut halal (bukan ja'iz); sunnat dan makruh adalah ukuran
penilaian bagi hidup kesusilaan (akhlak atau moral) masyarakat, wajib
dan haram adalah ukuran penilaian atau kaidah atau norma bagi
lingkungan hukum duniawi. Kelima kaidah atau komponen penilaian
ini berlaku di dalam ruang-lingkup keagamaan yang meliputi semua
lingkungan kehidupan itu. Pembagian ke dalam ruang hidup
kesusilaan, baik pribadi maupun masyarakat, ruang- lingkup hukum
duniawi dan ruang-lingkup keagamaan, adalah karena perbedaan
pemberi sanksi dan bentuk sanksinya. Ja'iz ialah ukuran penilaian
dalam lingkup hidup kesusilaan per- seorangan. Ukuran penilaian
tingkah-laku ini dikenakan bagi perbuatan-perbuatan yang sifatnya
pribadi yang semata-mata diserahkan kepada pertimbangan dan
kemauan orang itu sendiri untuk melakukannya. Ia bebas untuk
menentukan apakah ia akan atau tidak akan melakukan perbuatan itu.
Akibatnya mungkin akan mendatangkan kebahagiaan dan kepuasan
bagi dirinya, mungkin juga kesedihan atau kekecewaan yang diper-
olehnya, walaupun ia yakin benar pada mulanya bahwa tindakannya
itu akan membawa kebaikan bagi dirinya. Dari sini manusia
memperoleh pelajaran atau pengalaman bahwa ia bebas berbuat, tetapi
tidak bebas untuk menguasai hasil perbuatannya menurut keinginan
semula (Hazairin, 1974:31).
Pengalaman pahit yang dirasakannya menimbulkan kehendak
untuk mencari sebab mengapa terjadi demikian. Jawaban yang akan
diperolehnya tergantung kepada tingkat kerohanian dan derajat
pemikirannya. Mungkin jawaban penye- bab itu akan dicarinya pada
gejala-gejala alam di sekitarnya, mungkin juga pada kekuatan-
kekuatan gaib yang tidak atau belum dikenalnya. Bagi yang mencari
lebih jauh akan terbuka jendela keyakinan akan adanya Tuhan Yang
Maha Esa yang mengendalikan pertimbangan dan kemauannya. Dan ia
akan
Sumber, Asas-asas Hukum Islam dan al-Ahkam al-Khamsah 147 mendapat
jaiz
Hukum Islam
kawin dengan pria musyrik kenda- tipun ia mengagumkan kamu. Seorang budak
Muslim lebih baik dari pria musyrik, sebab mereka itu mengajak kamu ke
neraka, sedang Allah memang- gil kamu masuk ke dalam surga dan
keampunan.
Ayat ini sangat fundamental bagi perkawinan antaragama dan, pada
waktu membicarakan RUU Perkawinan tahun 1973 dahulu, pernah
menjadi masalah di dalam DPR kita, sebab ada orang yang
menganggap ayat ini bertentangan dengan hak asasi manusia. Akan
tetapi, kelompok Muslim, pada waktu itu diwakili PPP, menganggap
ayat hukum itu tak mungkin diubah oleh manusia. Karena alasan hak
asasi pun tak mungkin seorang wanita Islam kawin dengan pria yang
bukan Muslim. Dalam agama Islam, kewajiban lebih dahulu harus
dilaksanakan. Dan, adalah kewajiban asasi manusia, dalam hal ini
wanita, melaksanakan kewajiban asasinya lebih dahulu menaati
larangan Allah, sebelum menuntut hak asasinya.
Kasus janda Sa'ad bin Rabi'. Janda Sa'ad bin Rabi' mempunyai 2 orang
anak perempuan pada waktu Sa'ad gugur dalam peperangan membantu
Nabi Muhammad melawan orang Quraisy Makkah. Menurut adat
Arab, kalau seorang laki-laki meninggal dunia dan meninggalkan
janda serta anak-anak perempuan, janda dan anak-anak perempuan itu
tidak mendapat bagian apa-apa dari harta peninggalan suami/ayahnya.
Janda Sa'ad mengadukan nasibnya kepada Nabi dan menanyakan
tentang harta yang ditinggalkan suaminya, sebab menurut hukum
warisan adat pada waktu itu, harta peninggalan Sa'ad jatuh pada
saudara
laki-lakinya. Tatkala Nabi Muhammad berpikir memecah- kan
masalah Hukum
yang Islam
sulit tersebut turunlah ayat mengenai warisan/ayat
kewarisan, yang intinya antara lain sebagai berikut:
Berikan 2/3 (dari harta peninggalan Sa'ad itu) kepada
anak-anaknya, 1/8 untuk jandanya dan sisanya berikan
kepada saudara-saudaranya (' asabah).
Ayat ini merupakan bagian dari ayat-ayat kewarisan yang kini
terdapat di dalam surat 4 (Al-Nisa') ayat 11 dan 12. Dengan turunnya
ayat itu berubahlah antara lain kedudukan janda dan anak-anak
perempuan dalam pembagian harta peninggalan suami dan ayahnya.
Para wanita yang selama ini hanya mempunyai kewajiban dalam
keluarga kini diim- bangi dengan hak yang diperolehnya dari harta
peninggalan suami dan ayahnya. Dengan mengemukakan 2 contoh
tersebut di atas dapatlah dilihat bagaimana proses turunnya ayat-ayat
hukum yang sekarang menjadi sendi dasar hukum perkawinan dan
kewarisan Islam.
Sebagai contoh ayat hukum yang memberi jawaban terhadap
pertanyaan yang dikemukakan oleh seseorang kepada Nabi
Muhammad, dapat dikemukakan QS (Al- Nisa') ayat 176 yang bunyi
terjemahannya sebagai berikut:
Mereka bertanya kepadamu (Muhammad) tentang arti kalalah,
jawablah yang dimaksud dengan ka- lalah adalah orang (baik laki-
laki atau wanita) yang mad tidak meninggalkan anak (walad).
dari
Sejarah Pertumbuhan dan Perkembangan Hukum Islam 169 Selain
Nabi Muhammad memecahkan masalah yang timbul dalam
masyarakat melalui wahyu, beliau juga me- mutuskan sesuatu
berdasarkan pendapat beliau sendiri dengan sunnahnya, yang
sekarang telah dibukukan dalam kitab-kitab hadis.
MASA KHULAFA RASYIDIN (632 M - 662 M)
Dengan wafatnya Nabi Muhammad, berhentilah wahyu yang
turun selama 22 tahun 2 bulan 22 hari yang beliau terima melalui
malaikat Jibril baik waktu beliau masih berada di Makkah maupun
setelah hijrah ke Madinah. Demikian juga halnya dengan sunnah,
berakhir pula dengan meninggalnya Rasulullah itu.
Kedudukan Nabi Muhammad sebagai utusan Tuhan tidak
mungkin diganti, tetapi tugas beliau sebagai pemimpin masyarakat
Islam dan kepala negara harus dilanjutkan oleh orang lain. Pengganti
Nabi Muhammad sebagai kepala negara dan pemimpin umat Islam ini
disebut khalifah, suatu kata yang "dipinjam" dari Alquran (surat 2:30).
Di dalam Alquran selain dalam surat Al-Baqarah ayat 30 itu terdapat
perkataankhalifah yang tersebar dalam sebelas ayat. Ide yang dapat
disimpulkan dari ayat-ayat tersebut adalah bahwa manusia harus
mempunyai tujuan hidup menata dunia ini. Dan sebagai khalifah
(wakil) Tuhan di bumi ini, manusia harus menerjemahkan segala sifat-
sifat Tuhan ke dalam kenyataan hidup dan kehidupan dan wajib
mengatur bumi ini sesuai dengan pedoman yang telah ditetapkan-Nya.
Manuya wajib melakukan tugas untuk mencapai tujuan hidupnya
menurut pola yang telah ditentukan oleh Tuhan dalam ajaran-ajaran-
Nya.
Kata khalifah yang terdapat dalam Alquran, terutama kata
khalifah yang terdapat dalam ayat yang berhubungan dengan
pengangkatan Adam menjadi khalifah (Tuhan) di muka bumi ini (QS
2:30 di atas) dipinjam dan dijadikan gelar bagi orang yang
menggantikan kedudukan Nabi Muhammad sebagai pemimpin umat
Islam dan kepala negara.
Abu al-Hasan al-Mawardi (disingkat al-Mawardi) dalam bukunya
al-Ahkam as-Sultaniyah (Hukum Pemerintahan) menyatakan bahwa tugas
utama seorang khalifah, adalah men- jaga kesatuan umat dan
pertahanan negara. Untuk itu ia mempunyai beberapa hak tertentu. Ia
berhak memaklumkan perang dan membangun tentara untuk menjaga
keamanan dan batas negara. Ia harus menegakkan keadilan dan
kebenaran. Ia harus berusaha agar semua lembaga-lembaga negara
me- misahkan antara yang baik dengan yang tidak baik, melarang hal-
hal yang tercela, menurut ketentuan Alquran. Ia mengawasi jalannya
pemerintahan dan menarik pajak sebagai sumber keuangan negara. Ia
menjadi hakim
170 Hukum Islamyang mengadili sengketa hukum, menghukum mereka
bekas istri) kawin lebih dahulu dengan orang lain. Garis hukum ini
ditentukan oleh Umar berdasarkan kepentingan para wanita, karena di
zamannya banyak pria yang dengan mudah mengucapkan talak tiga
sekaligus kepada istrinya, untuk dapat bercerai dan kawin lagi dengan
wanita lain. Tujuannya adalah untuk melindungi kaum wanita dari
penyalahgunaan hak talak yang berada di tangan pria. Tindakan ini
dilakukan oleh Umar agar pria berhati-hati mempergunakan hak talak
itu dan tidak mudah mengucapkan talak tiga sekaligus yang di zaman
nabi dan Khalifah Abu Bakar dianggap (jatuh sebagai) talak satu.
Umar menetapkan garis hukum yang demikian, untuk mendidik suami
supaya tidak menyalahgunakan wewenang yang berada dalam tangan-
nya.
Alquran telah menetapkan golongan-golongan yang berhak menerima
zakat, termasuk muallaf di dalamnya, yaitu (di antaranya) orang-orang
yang baru memeluk agama Islam yang seyogianya dilindungi karena
masih lemah imannya dan karena ia memeluk agama Islam
hubungannya dengan keluarganya (mungkin) terputus. Pada zaman
Rasul Allah (baca: Rasulullah) golongan ini memperoleh bagian
zakat, tetapi Khalifah Umar menghentikan pemberian zakat kepada
muallaf berdasarkan pertimbangan bahwa Islam telah kuat, umat Islam
telah banyak sehingga tidak perlu lagi diberikan keistimewaan kepada
golongan khusus dalam tubuh umat Islam.
3. Menurut Alquran surat Al-Maidah (5) ayat 38 orang yang
mencuri diancam dengan hukuman potong tangan. Di masa
pemerintahan Umar terjadi kelaparan dalam masyarakat di
Semenanjung Arabia. Dalam keadaan masyarakat ditimpa oleh
bahaya kelaparan itu, ancaman hukuman terhadap pencuri yang
disebut dalam Alquran tidak dilaksanakan oleh Khalifah Umar
berdasarkan pertimbangan keadaan (darurat) dan kemaslahatan
(jiwa) masyarakat.
4. Di dalam Alquran (QS 5: 5) terdapat ketentuan yang
membolehkan pria Muslim menikahi wanita ahlul kitab (wanita
Yahudi dan Nasrani). Akan tetapi Khalifah Umar melarang
perkawinan campuran yang demikian, untuk melindungi
kedudukan wanita Islam dan keamanan (rahasia) negara (H.M.
Rasjidi: 1973).
Demikianlah 'beberapa' contoh ijtihad Khalifah Umar bin
Khattab. Di samping itu, Umar juga mengemukakan (b) pokok- pokok
Sejarah Pertumbuhan dan Perkembangan Hukum Islam 194
pikirannya mengenai peradilan seperti yang tercantum dalam suratnya
kepada Abu Musa Al-Asy'ari yang menjadi hakim (kadi) di Kufah,
Irak. Isinya antara lain sebagai berikut (M.S. Madkur, 1982: 43-46):
"Sesungguhnya tugas untuk memutuskan suatu perkara adalah
kewajiban seorang hakim. Apabila kepada Anda dimajukan suatu
perkara, hendaklah Anda pelajari dahulu (berkas) perkara itu sebaik-
baiknya. Setelah jelas benar duduk soalnya berilah keputusan seadil-
adilnya. Keadilan harus diwujudkan dalam praktik, sebab kalau ia
tidak diwujudkan, tidak akan ada artinya. Selain itu, dalam pandangan
dan keputusan Anda, para pihak haruslah Anda samakan
kedudukannya. Dengan demikian, orang yang kuat tidak akan dapat
mengharapkan sesuatu dan yang lemah tidak
akan sampai putus asa karena mendambakan keadilan Anda.
Anda boleh mendamaikan pihak-pihak yang bersangkutan, tetapi isi
perdamaian itu tidak boleh menghalalkan yang haram dan
mengharamkan yang halal. Dan apabila anda telah menja- tuhkan
suatu keputusan, janganlah Anda ragu-ragu untuk mengubahnya
kembali, apabila kemudian ternyata terdapat kekeliruan dalam
keputusan Anda
178 Hukum Islam itu.
Ketika dipilih, Usman telah tua (70 tahun) dengan kepribadian yang
agak lemah. Kelemahan ini dipergunakan oleh orang-orang di
sekitarnya untuk mengejar keuntungan pribadi, kemewahan dan
kekayaan. Hal ini dimanfaatkan terutama oleh keluarganya sendiri
dari golongan Umayyah. Banyak pangkat-pangkat tinggi dan jabatan-
jabatan penting dikuasai oleh familinya. Pelaksanaan pemerintahan
seperti ini, dalam bahasa orang sekarang, disebut nepotisme (kecende-
rungan untuk mengutamakan atau menguntungkan sanak saudara
(keluarga sendiri). Timbullah klik sistem dalam pemerintahan. Di
masa pemerintahannya perluasan daerah Islam diteruskan, ke Barat
sampai ke Maroko, ke Timur menuju India dan ke Utara bergerak ke
arah Konstantinopel. Pada umumnya perluasan wilayah Islam ini
dilakukan karena memenuhi kehendak jenderal-jenderalnya. Banyak
juga jasa-jasa Usman, namun yang relevan untuk diuraikan di sini
adalah tindakan- nya untuk menyalin dan membuat Alquran standar,
yang di dalam kepustakaan kadang-kadang disebut dengan kodifikasi
Alquran atau peresmian Alquran.
Standardisasi Alquran perlu diadakan, karena, pada masa
pemerintahannya wilayah Islam telah sangat luas dan didiami oleh
berbagai suku bangsa dengan berbagai bahasa dan dialek yang tidak
sama. Karena itu, di kalangan pemeluk agama Islam terjadi perbedaan
ungkapan dan ucapan tentang ayat-ayat Alquran yang disebarkan
melalui hafalan. Perbedaan cara meng- ucapkan itu menimbulkan
perbedaan arti. Berita tentang ini sampai pada Usman. la lalu
membentuk panitia yang kembali dipimpin oleh Zaid ibn Tsabit untuk
menyalin naskah Alquran yang telah dihimpun di masa Khalifah Abu
Bakar dahulu, disimpan oleh Hafsah, janda Nabi Muhammad. Panitia
ini bekerja dengan satu disiplin tertentu, menyalin naskah Alquran ke
dalam lima mushaf (: kumpulan lembaran-lembaran yang ditulis, dan
Alquran itu sendiri disebut pula mushaf), untuk dijadikan standar dalam
penulisan dan bacaan Quran di wilayah kekuasaan Islam pada waktu
itu. Semua naskah yang dikirim ke ibukota propinsi (Makkah, Kairo,
Damaskus, Bagdad) itu disimpan dalam masjid besarnya masing-
masing seperti umat Islam Indonesia menyimpan Alquran pusakanya
di masjid Baitur Rahim dalam kompleks Istana Merdeka Jakarta. Satu
naskah tinggal di Madinah dan untuk mengenang jasa Usman, naskah
yang disalin di masa pemerintahannya itu disebut Mushaf Usmany atau
al-Imam karena ia menjadi standar bagi Quran yang lain. Kemudian
disalin dan diberi tanda-tanda bacaan di Mesir seperti yang kita lihat
sekarang ini.
Penelitian terhadap kitab-kitab suci agama-agama dunia sekarang
menunjukkan bahwa di antara kitab-kitab suci yang ada, hanya
Alquran yang tidak dapat dibuktikan telah pernah dipalsukan oleh
tangan manusia. Ia tetap asli seperti waktu diturunkan dahulu, tanpa
perubahan sedikit pun baik dalam surah maupun dalam ayat dan
kalimat-kalimatnya.
4. Setelah Usman meninggal dunia, orang-orang terke- muka
memilih Ali bin Abi Thalib menjadi khalifah ke-4. la memerintah dari
tahun 656 sampai tahun 662 M. Sejak kecil ia diasuh dan dididik oleh
Nabi Muhammad, dan karena itu hubungannya rapat sekali dengan
Nabi. Selain itu ia adalah keponakan dan menantu Nabi Muhammad,
karena ia kawin dengan Siti Fatimah binti Muhammad. Ketika Nabi
Muhammad masih hidup, Ali seringkali ditunjuk oleh nabi
180 Hukum Islam
menggantikan beliau menyelesaikan masalah-masalah penting.
Mengenai hubungan Ali dengan Nabi Muhammad ini, nabi sendiri
pernah
Sejarah Pertumbuhan dan Perkembangan Hukum Islam 181 menyatakan
mujtahid mutlak ini seperti Abu Hanifah, Malik bin Anas, As-Syafi'i,
Ahmad bin Hambal dengan pengetahuannya yang sangat luas mampu
menetapkan garis-garis hukum melalui ijtihadnya. Untuk mazhab
Syafi'i misalnya mujtahid mutlaknya adalah As-Syafi'i sendiri dengan
bukunya antara lain al-Umm (Induk), Al-Risalah (Pengantar Dasar-dasar
Hukum Islam). (2) Mujtahid mazhab adalah orang yang meneruskan
dasar-dasar ajaran yang telah diberikan oleh mujtahid mutlak. Dengan
usaha mujtahid mazhab garis-garis hukum menjadi lebih jelas untuk
diterapkan pada suatu masalah tertentu, walaupun ia belum dapat
memecahkan setiap persoalan yang tumbuh dalam masyarakat. Dengan
ilmunya yang luas para mujtahid mazhab dapat menetapkan hukum
yang belum ditetapkan oleh mujtahid mutlak. Contohnya adalah Al-
Gazali dengan kitabnya al-Basith (ringkasan dari karya Syafi'i dalam
182 Hukum Islamyang dianggap sebagai qaul-jaddid (pendapat baru). (3)
buku-bukunya
Mujtahid fatwa yaitu orang yang melanjutkan pekerjaan mujtahid
mazhab untuk menentukan hukum suatu masalah melalui fatwa atau
nasihatnya. Dengan ilmunya yang cukup ia mem- bandingkan
pendapat para mujtahid mazhab dan menguatkan salah-satu di
antaranya atau membuat ketetapan baru yang dapat langsung
dipergunakan memecahkan suatu masalah yang timbul dalam
masyarakat. Sebagai contoh dapat dike- mukakan an~Nawawi dengan
bukunya Minhaj at-Talibin (Jalan bagi para siswa). (4) Ahli tarjih, yaitu
orang-orang yang dengan ilmu pengetahuan yang ada padanya dapat
membanding- bandingkan mana yang lebih "kuat" pendapat-pendapat
yang ada, serta memberi penjelasan atau komentar atas pendapat yang
berbeda yang dikemukakan oleh para mujtahid tersebut di atas. Untuk
mujtahid peringkat keempat ini 'kadang-kadang' dipergunakan istilah
muqallid kalau ia hanya mengikuti saja pendapat para mujtahid lainnya
dengan taklid. Ke dalam kelompok ini sekadar contoh dapat
disebutkan Ibnu Hajar Haitami dengan kitabnya Tuhfah (Hadiah). Di
Indonesia, sekarang ini, di kalangan NU dan Muhammadiyah ada
lembaga khusus yang mengembangkan hukum Islam. Pada organisasi
sosial keagamaan Muhammadiyah (1912 - ................ ) misalnya,
ada lembaga khusus yang melakukan tajdid (pembaruan), namanya
Majelis Tarjih yang bertugas merajih (membanding- bandingkan)
berbagai pendapat yang ada yang lebih sesuai dengan Alquran dan as-
Sunnah, untuk dijadikan pegangan para anggotanya. Namun, untuk
pendapat yang belum ada sebelumnya, majelis ini langsung menarik
garis hukumnya dari Alquran dan kitab-kitab hadis yang sahih. Di
kalangan NU ada lembaga serupa namanya Bahsul Masa'il.
Banyak faktor yang memungkinkan pembinaan dan
pengembangan hukum Islam pada periode ketiga ini. Di antara faktor-
faktor yang mendorong orang menetapkan hukum dan merumuskan
garis-garis hukum adalah: (a) Wilayah Islam sudah sangat luas,
terbentang dari perbatasan India—Tiongkok di Timur sampai ke
Spanyol (Eropa) di sebelah Barat. Di dalam wilayah yang sangat luas
itu tinggal berbagai suku bangsa dengan asal-usul, adat-istiadat, cara
hidup dan kepentingan- kepentingan yang berbeda. Untuk dapat
menyatukan mereka semua di dalam satu pola kehidupan hukum,
diperlukan pedoman yang jelas yang mengatur tingkah-laku mereka
dalam berbagai bidang hidup dan kehidupan. Ini mendorong para ahli
hukum untuk mengkaji dan mempelajari sumber- sumber hukum Islam
untuk ditarik garis-garis hukum dari dalamnya, menentukan kaidah
atau norma bagi suatu perbuatan
Sejarah Pertumbuhan dan Perkembangan Hukum Islam 185 tertentu
kalau dipandang dari sudut bahasa atau tata bahasa. Kalau semua
dipenuhi, hadis itu disebut sahih, satu atau dua kurang disebut hasan,
lebih dari dua disebut da'if. Orang yang mempergunakan hadis atau
Sunnah nabi sebagai sumber hukum, harus mengetahui benar tentang
seluk-beluk hadis atau Sunnah nabi, sekurang-kurangnya mengetahui
penge- lompokan atau derajat hadis atau Sunnah nabi tersebut.
Demikianlah, atas usaha para ahli, pada pertengahan abad ketiga
Hijriah atau akhir abad ke-9 dan permulaan abad ke-10 M tersusunlah
kitab-kitab
190 Hukumhadis
Islam yang terkenal dengan nama al- kutub as-sittah (enam
Keadaannya
Bentuknya
Tujuannya
Tidak ada satu uraian yang terinci dan jelas mengenai tujuan
hukum adat. Namun dari kata-kata yang terdapat dalam masyarakat
adat, dapat disimpulkan bahwa 'hukum adat' bertujuan untuk
menyelenggarakan kehidupan masyarakat yang aman, tenteram, dan
sejahtera. Hukum Islam mempunyai tujuan untuk melaksanakan perintah
dan kehendak Allah serta menjauhi larangan-Nya. Seorang ahli hukum
Islam terkemuka, Abu Ishaq As-Satibi (m.d. 790/1388 M), seperti
telah disebut di muka, merumuskan lima tujuan hukum Islam, yakni
memelihara (1) agama, (2) jiwa, (3) akal, (4) keturunan, dan (5) harta
benda, yang diterima oleh ahli-ahli hukum Islam lainnya. Menurut As-
Satibi, demikian juga pendapat ahli-ahli hukum Islam lainnya, dengan
terpeliharanya kelima tujuan ( al-maqasidu al-khamsah, baca: al maqasidul
khamsah) itu, manusia akan mencapai kebahagiaan hidup dunia
akhirat. Yang menjadi tujuan 'hukum Barat,' sebagaimana dinyatakan
oleh para ahli teori dan filsafat hukum Barat, adalah kepastian hukum
dan keadilan hukum.
Uraian ringkas mengenai masing-masing hukum ini tentu belum
memadai, namun dengan demikian, kita dapat melihat ciri-ciri khusus
yang terdapat pada ketiga hukum tersebut.
Hukum I slam di Indonesia 211
Sumbernya
Mengenai sumber ketiga sistem hukum tersebut, dapat di-
kategorikan lagi ke dalam (1) sumber pengenal, (2) sumber isi, dan (3)
sumber pengikat.
Sumber Pengenal
Menurut Betrand ter Haar, yang menjadi sumber pengenal Hukum
Adat adalah keputusan penguasa adat. Ini dibantah oleh Profesor
Mohammad Koesnoe tersebut. Menurut Koes- noe, hukum penguasa
adat yang tercermin dari keputusan penguasa itu, memang dijiwai oleh
hukum adat sebagai
212 Hukum Islam
yang terdapat dalam hukum adat. Karena itu, ke tiga sistem hukum
tersebut perlu dipelajari dengan seksama, khususnya tentang hukum
Islam dan hukum adat yang berlaku di tanah air kita. Dalam uraian
berikutnya kelak, hubungan kedua hukum ini akan disinggung
walaupun hanya sepintas lalu.
Kalau kita berbicara tentang hukum adat, kita akan teringat pada
penulis-penulis hukum adat masa silam seperti Snouck Hurgronje, van
Vollenhoven dan B. ter Haar. Ter Haar terutama, telah mempengaruhi
pola pemikiran dan pemahaman para sarjana hukum Indonesia tentang
hukum adat, padahal, kalau dikaji dengan teliti, apa yang telah
dilakukan ter Haar adalah usaha atau percobaan orang Barat dengan
latar-belakang jiwa dan peranan hukum Barat pula, untuk memahami
hukum adat di tanah air kita. Oleh karena itu, apa yang telah
dihasilkan oleh ter Haar perlu dikaji kembali secara kritis, harus ditera
kembali, untuk dapat melihat kekuatan dan kelemahan teorinya, untuk
melihat kebenaran dan kekeliruannya dalam memahami hukum adat
kita. Hal ini, agaknya, disadari sendiri oleh ter Haar, terutama sewaktu
ia berada dalam kamp konsentrasi di Buchenwald. Di tempat itu
menurut Moh. Koesnoe, rumusan- rumusannya yang begitu eksak
mengenai hukum adat pada masa yang lalu diragukan olehnya sendiri.
Hukum Islam di Indonesia 223
HUBUNGAN HUKUM ADAT DENGAN HUKUM ISLAM
Hubungan hukum adat dengan hukum Islam dalam makna kontak
antara kedua sistem hukum itu telah lama berlangsung di tanah air
kita. Hubungannya akrab dalam masyarakat. Keakraban itu tercermin
dalam berbagai pepatah dan ungkapan di beberapa daerah, misalnya
ungkapan dalam bahasa Aceh yang berbunyi: hukum ngon adat hantom ere,
lagee zat ngon sipeut. Artinya hukum Islam dengan hukum adat tidak
dapat dicerai- pisahkan karena erat sekali hubungannya seperti
hubungan zat dengan sifat sesuatu barang atau benda. Hubungan
demikian terdapat juga di Minangkabau yang tercermin dalam pepatah:
adat dan syara' sanda menyanda, syara' mengato adat memakai. Menurut Hamka
(Hamka, 1970:10) makna pepatah ini adalah hubungan (hukum) adat
dengan hukum Islam (syara') erat sekali, saling topang-menopang,
karena sesungguhnya yang dinamakan adat yang benar-benar adat
adalah syara' itu sendiri. Dalam hubungan ini perlu dijelaskan bahwa
adat dalam ungkapan ini adalah cara melaksanakan atau memakai
syara' itu dalam masyarakat. Dalam masyarakat Muslim Sulawesi
Selatan eratnya hubungan adat dengan hukum Islam dapat dilihat
dalam ungkapan yang berbunyi, "Adat hula-hulaa to syaraa, syaraa hula-hulaa
to adati". Artinya, kurang lebih, adat bersendi syara 1 dan syara’
bersendi adat (A. Gani Abdullah, 1987:89). Hubungan adat dan Islam
erat juga di Jawa. Ini mungkin disebabkan karena prinsip rukun dan
sinkretisme yang tumbuh dan berkembang dalam masyarakat Jawa,
terutama di daerah pedesaan (M. B. Hoeker, 1978: 97).
Berbeda dengan bunyi pepatah di atas, dalam buku-buku hukum
yang ditulis oleh para penulis Barat/Belanda dan mereka yang
sepaham dengan penulis-penulis Belanda itu,
222 Hukum Islam
Indonesia. Hal ini ditunjang pula oleh kesadaran beragama yang makin
tumbuh melalui pendidikan yang berkembang setelah kemerdekaan.
Masalah hubungan hukum adat dengan hukum Islam ini mungkin
pula dapat dilihat dari sudut al-ahkam al-khamsah, yakni lima kategori
kaidah hukum Islam yang telah diuraikan di atas, yang mengatur
semua tingkah-laku manusia Muslim di segala lingkungan kehidupan
dalam masyarakat. Kaidah- kaidah haram (larangan), fard (kewajiban),
makruh (celaan) dan sunnat (anjuran) jauh lebih sempit ruang-
lingkupnya kalau dibandingkan dengan kaidah ja'iz atau mubah. Ke
dalam kategori kaidah terakhir inilah (ja’iz atau mubah) agaknya adat
dan bagian-bagian hukum adat itu dapat dimasukkan baik yang telah
ada sebelum Islam datang ke tanah air kita maupun yang tumbuh
kemudian, asal saja tentunya tidak bertentangan dengan aqidah
(keyakinan) Islam.. Melihat hubungan hukum adat dengan hukum
Islam dari sudut pandangan ini, akan memudahkan kita mempertautkan
adat dengan Islam, hukum adat dengan hukum Islam. Menurut T.M.
Hasbi Ash-Shiddieqy, di dalam kitab-kitab fiqih Islam banyak sekali
garis-garis hukum yang dibina atas dasar 'urf atau adat karena para ahli
hukum telah menjadikan 'urf atau adat sebagai salah-satu alat atau
metode pembentukan hukum Islam (Hasbi Ash-Shiddieqy, 1975: 479).
Pernyataan Hasbi ini adalah sejalan dengan salah- satu patokan
pembentukan garis hukum dalam Islam, seperti telah disebut di muka,
yang berbunyi: al 'adatu muhakkamat. Artinya, adat dapat dijadikan
hukum Islam. Yang dimaksud dengan adat dalam hubungan ini adalah
kebiasaan dalam pergaulan hidup sehari-hari yang tercakup dalam
istilah muamalah (kemasyarakatan), bukan mengenai 'ibadah.' Sebab,
230 Hukum Islam
mengenai ibadah orang tidak boleh menambah atau mengurangi apa
yang telah ditetapkan oleh Allah seperti yang tertulis di dalam
Alquran dan yang telah diatur oleh Sunnah Rasul-Nya seperti yang
termuat dalam kitab-kitab Hadis yang sahih.
Agar adat dapat dijadikan hukum Islam, beberapa syarat harus
dipenuhi. Menurut Sobhi Mahmassani, syarat-syarat tersebut adalah:
1. Adat itu dapat diterima oleh perasaan dan akal sehat serta diakui
oleh pendapat umum;
2. Sudah berulangkali terjadi dan telah pula berlaku umum dalam
masyarakat yang bersangkutan;
3. Telah ada pada waktu transaksi dilangsungkan;
4. Tidak ada persetujuan atau pilihan lain antara kedua belah pihak;
5. Tidak bertentangan dengan nas (kata, sebutan yang jelas dalam)
Alquran dan Sunnah Nabi Muhammad. Atau dengan kata lain,
tidak bertentangan dengan syariat Islam.
Sambil lalu perlu dicatat bahwa syarat 1 dan 2 yang disebut oleh
Sobhi Mahmassani (Sobhi Mahmassani, 1977: 195-196) tersebut
sesungguhnya tidak perlu dinyatakan lagi karena telah termasuk ke
dalam defmisi adat itu sendiri, yakni sesuatu yang telah berulangkali
terjadi, diterima baik oleh perasaan dan akal sehat serta telah berlaku
umum di dalam suatu masyarakat di suatu tempat pada suatu ketika.
KEDUDUKAN HUKUM ISLAM .DALAM
TATA HUKUM INDONESIA
Sebelum uraian ini dilanjutkan ada beberapa kata yang perlu
dijelaskan lebih dahulu, yaitu kedudukan dan tata hukum. Yang
dimaksud dengan kedudukan adalah tempat dan keadaan, tata hukum
adalah susunan atau sistem hukum yang berlaku di suatu daerah atau
negara tertentu. Dengan demikian yang akan dilukiskan dalam bagian
ini adalah tempat dan keadaan hukum Islam dalam susunan atau sistem
hukum yang berlaku di Indonesia.
Sistem hukum Indonesia, sebagai akibat dari perkembangan
228 Hukum Islam
lain yang dibuat di zaman VOC yakni (2) Pepakem Cirebon yang berisi
kumpulan "hukum Jawa yang tua-tua" yang diterbitkan kembali oleh
Dr. Hazeu pada tahun 1905 (Soekanto, 1981: 24), dan (3) peraturan
yang dibuat untuk daerah Bone dan Goa di Sulawesi Selatan atas
prakarsa B.J.D. Clootwijk (Soekanto, 1981: 24).
Posisi Hukum Islam di zaman VOC ini berlangsung demikian,
selama lebih kurang dua abad lamanya (1602-1800).
Waktu pemerintahan VOC berakhir dan pemerintahan kolonial
Belanda menguasai sungguh-sungguh kepulauan Indonesia, sikapnya
terhadap hukum Islam mulai berubah, namun, perubahan itu
dilaksanakan secara perlahan, berangsur- angsur dan sistematis. Di
zaman Daendels (1808-1811) perubahan itu masih belum dimulai. Di
masa itu umumlah pendapat yang mengatakan bahwa hukum Islam
adalah hukum asli orang pribumi. Karena pendapat yang demikian,
Daendels mengeluarkan peraturan yang menyatakan bahwa perihal
(hukum) agama orang Jawa tidak boleh diganggu, juga hak-hak
penghulu mereka untuk memutus beberapa macam perkara tentang
perkawinan dan kewarisan harus diakui oleh alat kekuasaan
pemerintah Belanda. Di samping itu, ia juga menegaskan kedudukan
para penghulu sebagai tenaga ahli hukum Islam yaitu hukum asli orang
Jawa dalam susunan badan peradilan yang dibentuknya, sebagai
penasihat dalam suatu masalah atau perkara (Supomo-Djokosutono,
1955: 59).
Waktu Inggris menguasai Indonesia (1811-1816) keadaan tidak
berubah. Thomas S. Raffles yang menjadi Gubernur Jenderal Inggris
untuk kepulauan Indonesia pada waktu itu menyatakan bahwa hukum
yang berlaku di kalangan rakyat adalah hukum Islam. Ia mengatakan
the Koran . . . forms the general law ofjawa (Supomo-Djokosutono, 1955: 59).
Setelah Indonesia dikembalikan oleh Inggris kepada Belanda
berdasarkan konvensi yang ditandatangani di London pada tanggal 13
Agustus 1814, pemerintah kolonial Belanda membuat suatu undang-
undang tentang kebijaksanaan pemerintah, susunan pengadilan,
Hukum I slam di Indonesia 235
pertanian dan perdagangan dalam daerah jajahan(nya) di Asia.
Undang-undang ini mengakibatkan perubahan di hampir semua bidang
hidup dan kehidupan orang Indonesia, termasuk bidang hukum, yang
akan merugikan perkembangan hukum Islam selanjutnya.
Menurut H.J. Benda, pada abad ke-19, banyak orang Belanda,
baik di negerinya sendiri maupun di Hindia Belanda, sangat berharap
segera dapat menghilangkan pengaruh Islam dari sebagian besar orang
Indonesia dengan berbagai cara di antaranya melalui proses
Kristenisasi. Harapan itu didasarkan pada anggapan tentang
superioritas agama Kristen terhadap agama Islam dan sebagian lagi
berdasarkan kepercayaan bahwa sifat sinkretik agama Islam di
pedesaan Jawa akan memudahkan orang Islam Indonesia dikristenkan
jika dibandingkan dengan mereka yang berada di negara-negara
Muslim
lainnya (H.J. Benda, 1958:19). Banyak orang Belanda yang
©
undangan.
Dengan menunjuk pada Ketetapan MPRS 1960/11 yang
mengatakan bahwa dalam menyempurnakan undang-undang
perkawinan dan hukum waris supaya diperhatikan adanya faktor-faktor
agama, dan lain-lain, Hazairin menunjukkan bukti bahwa teori resepsi
telah tidak berlaku lagi. Beliau mengatakan pula bahwa IS sebagai
Konstitusi Hindia Belanda yang menjadi landasan legal teori resepsi,
dengan sendirinya tidak berlaku lagi karena telah terhapus oleh UUD
1945 (Hazairin, 1981:91).
Pendapat Hazairin mengenai teori resepsi yang mula- mula beliau
kemukakan dalam Konferensi Kementerian
Kehakiman di Salatiga (1950) di atas, dan kemudian dikembangkan
dalam tulisan, ceramah dan kuliah-kuliah beliau di Fakultas Hukum
UI, bergema pula dalam simposium masalah- masalah dasar hukum di
Indonesia yang diselenggarakan oleh Lembaga Ilmu Pengetahuan
Indonesia (1976). Dalam kesimpulan yang disepakati pada simposium
tersebut dinyatakan bahwa teori resepsi tidak dapat lagi dipergunakan
untuk melihat kenyataan dan masalah-masalah (dasar) hukum di
Indonesia (Kesimpulan simposium, 1978). Pernyataan ini
dikemukakan oleh peserta simposium setelah mempelajari isi
Undang'Undang Perkawinan (1974).
Dalam tulisan beliau Hukum Adat dan Hukum Islam di Indonesia setelah
Perang Dunia II (1978) Profesor Mahadi, mantan Ketua Pengadilan
Tinggi Sumatera Utara, Pengajar Ilmu Hukum USU dan Ketua Tim
Pengkajian Hukum Adat Badan Pembinaan Hukum Nasional, berkata
sebagai berikut (dikutip), "Penelitian terhadap Undang-Undang
Perkawinan membawa kami kepada pendapat, bahwa sejak berlakunya
undang- undang ini sampailah ajal teori 'resepsi', seperti yang telah
diajarkan di zaman Hindia Belanda. Apabila dahulu diteori- kan,
bahwa hukum Islam baru berlaku di Indonesia untuk penganut agama
Islam apabila sesuatu Hukum Islam telah nyata-nyata diresepsi
(diterima MDA) oleh dan dalam hukum adat, maka dengan misalnya,
Pasal 2 ayat (1) yang mengatakan bahwa perkawinan adalah sah
Hukum I slam di Indonesia 257
apabila dilakukan menurut agama, maka jelas, hukum Islam telah
langsung menjadi sumber hukum. Pengadilan dalam
mempertimbangkan per- mohonan seorang suami untuk beristri lebih
dari seorang, antara lain harus mengingat apakah hukum perkawinan
calon suami mengizinkan hal demikian. Penjelasan Pasal 3 undang-
undang tersebut, menurut beliau menunjuk kepada hukum Islam
sepanjang mengenai suami pemeluk agama Islam. Agama Islam pun
merupakan 'sumber hukum langsung tanpa melalui hukum adat' untuk
menilai apakah sesuatu perjanjian perkawinan boleh disahkan ataupun
tidak (Pasal 29 ayat 2). Bila perkawinan putus karena perceraian, harta
bersama diatur menurut hukum agama Islam, sepanjang mengenai diri
orang-orang pemeluk agama Islam (penjelasan Pasal 37). Dalam
undang-undang perkawinan disebutkan bahwa pengadilan bagi orang
yang beragama Islam ialah Pengadilan Agama. Dengan demikian kata
beliau, dapat diambil sebagai titik-tolak bahwa Pengadilan Agama
akan mempergunakan Hukum Islam, sekurang-kurangnya asas-asas
hukum Islam dalam menyelesaikan satu sengketa. Meskipun dapat
didalilkan bahwa melalui Pasal 37 jo penjelasannya, Pengadilan
Agama adakalanya mempergunakan hukum adat, namun yang diper-
gunakan itu tentulah bukan hukum adat yang bertentangan dengan
hukum Islam (contra legem), tetapi terbatas pada hukum adat yang serasi
dengan asas-asas hukum Islam." Selain itu, perlu dikemukakan bahwa
dalam rumusan wakaf, Pasal 1 Peraturan Pemerintah Republik
Indonesia No. 28 tahun 1977 menunjuk pada ajaran agama Islam.
Dalam hubungan ini demikian Prof. Mahadi lebih lanjut, perlu
disebut pula keputusan Mahkamah Agung tanggal 13-2- 1975 No. 172
K/Sip/1974 yang menyatakan bahwa, "Berdasarkan keterangan saksi-
saksi yang didengar tentang hukum kebiasaan yang berlaku, maka
apabila seorang pewaris meninggal dunia di kampung Hinako
Kabupaten Nias, untuk menentukan cara pembagian harta warisannya,
hukum warisan yang dipakai adalah bertitik-tolak kepada agama
Hukttm Islam di Indonesia 258
yang dianut oleh si pewaris yang meninggalkan harta warisan
tersebut, yakni: apabila si pewaris yang meninggal beragama Islam
maka pembagian hartanya dilakukan menurut hukum Islam dan
apabila si pewaris yang meninggal beragama Kristen maka pembagian
hartanya dilakukan menurut adat."
Keputusan ini diambil karena ada seseorang yang beragama
Kristen menuntut hak dalam sesuatu harta warisan berdasarkan hukum
adat sedangkan si pewaris menganut agama Islam. Ternyata di daerah
yang bersangkutan yakni di Nias, sudah menjadi kebiasaan bahwa
yang menjadi ukuran ialah agama si pewaris. Oleh karena dalam hal
ini pewaris beragama Islam, maka yang harus dipergunakan adalah
hukum kewarisan Islam.
Demikianlah, dalam keputusan tersebut baik Pengadilan Tinggi
Medan maupun Mahkamah Agung tidak lagi memakai istilah atau
kata-kata "hukum Islam yang telah diresepsi di dalam atau oleh
Hukum Adat setempat."
Selain yang telah dikemukakan di atas, perlu dikemukakan pula
bahwa berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Fakultas Hukum
Universitas Indonesia, bekerja sama dengan Badan Pembinaan Hukum
Nasional, pada tahun 1978 dan 1979 di empat belas daerah yang
tersebar di seluruh Indonesia meliputi pulau-pulau Sumatera, Jawa,
Kalimantan Selatan dan Nusa Tenggara Barat (lima daerah pada tahun
1978 dan sembilan daerah pada tahun 1979) terlihat kecenderungan
yang kuat di kalangan masyarakat untuk memberlakukan hukum Islam
bagi umat Islam. Delapan puluh persen (80%) jumlah responden yang
ditanyai dalam penelitian itu menun- jukkan keinginannya untuk
diberlakukannya hukum Islam bagi mereka daripada hukum yang lain.
Fakta ini membukti- kan bahwa hukum Islam sebagai hukum yang
berkembang di tengah-tengah masyarakat mereka, dipandang sebagai
hukum yang dapat memenuhi rasa keadilan, khususnya di lapangan
perkawinan dan kewarisan (Laporan Penelitian, 1978/1979:102).
Dari uraian tersebut di atas dapatlah disimpulkan, bahwa kini, di
Indonesia (1) hukum Islam yang disebut dan ditentukan oleh
Hukum I slam di Indonesia 259
peraturan perundang-undangan dapat berlaku langsung tanpa harus
melalui hukum adat, (2) Republik Indonesia dapat mengatur sesuatu
masalah sesuai dengan hukum Islam, sepanjang pengaturan itu hanya
berlaku bagi pemeluk agama Islam, (3) kedudukan hukum Islam
dalam sistem hukum Indonesia adalah sama dan sederajat dengan
hukum adat dan hukum Barat, karena itu (4) hukum Islam juga
menjadi sumber pembentukan hukum nasional yang akan datang Di
samping hukum adat, hukum Barat dan hukum lainnya yang tumbuh
dan berkembang dalam Negara Republik Indonesia.
HUKUM ISLAM DAN PEMBINAAN HUKUM NASIONAL
Hukum Islam adalah hukum yang bersifat universal, karena ia
merupakan bagian dari agama Islam yang universal sifatnya.
Sebagaimana halnya dengan agama Islam yang universal sifatnya itu,
hukum Islam berlaku bagi orang Islam di mana pun ia berada, apa pun
nasionalitasnya. Hukum nasional adalah hukum yang berlaku bagi
bangsa tertentu di suatu negara nasional tertentu. Dalam kasus
Indonesia, hukum nasional mungkin juga berarti hukum yang
dibangun oleh bangsa
Indonesia setelah Indonesia merdeka dan berlaku bagi pen- duduk
Indonesia, terutama warga Negara Republik Indonesia, sebagai
pengganti hukum kolonial dahulu.
Untuk membangun dan membina hukum nasional diperlukan
politik hukum tertentu. Politik hukum nasional Indonesia pokok-
pokoknya ditetapkan dalam Garis-Garis Besar Haluan Negara, dirinci
lebih lanjut oleh Menteri Kehakiman Republik Indonesia. Untuk
melaksanakannya, telah didirikan satu lembaga yang (kini) bernama
Badan Pembinaan Hukum Nasional, disingkat BPHN atau
Babinkumnas. Melalui koordinasi yang dilakukan oleh badan ini
diharap- kan, di masa yang akan datang, akan terwujud satu hukum
nasional di tanah air kita.
Untuk mewujudkan satu hukum nasional bagi bangsa Indonesia
yang terdiri dari berbagai suku bangsa dengan kebudayaan dan agama
260 Hukum Islam
keseluruhan).
Jika kalimat-kalimat di atas diterapkan ke dalam konteks hukum
nasional Indonesia, "keanekaragaman" hukum (fiqih) Islam untuk
negara-negara Islam dan negara-negara yang mayoritas penduduknya
beragama Islam akan menjadi satu dan merupakan kesatuan hukum
nasional yang dituangkan dalam kodifikasi-unifikasi yang berlaku bagi
semua warga negara dan penduduk (Indonesia), sedang yang
merupakan "kesatuan" bagi umat Islam di mana pun mereka berada,
jika diterapkan ke dalam situasi dan kondisi Indonesia, akan meru-
pakan keanekaragaman, karena keanekaragaman hukum agama yang
dipeluk oleh umat beragama dalam Negara Republik Indonesia.
Hukum keluarga, yang terdiri dari hukum perkawinan dan hukum
kewarisan, menurut almarhum
278 Hukum Islam
Profesor Supomo, karena berhubungan erat dengan agama, harus
berbeda, sesuai dengan perbedaan agama yang dipeluk oleh bangsa
Indonesia. Perkawinan adalah sah, sebagai contoh, apabila dilakukan
menurut 'hukum masing-masing agama' yang dianut oleh bangsa
Indonesia, demikian bunyi Pasal 2 ayat (1) Undang-
UndangPerkawinan (1974).Negara,menurut Pasal 29 ayat (2) Undang-
Undang Dasar 1945, menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk
memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut
agamanya dan kepercayaannya itu.
SKETSA PERADILAN AGAMA
Pendahuluan
Peradilan adalah proses pemberian keadilan di suatu lembaga
yang disebut pengadilan. Pengadilan adalah lembaga atau badan yang
bertugas menerima, memeriksa, mengadili dan menyelesaikan setiap
perkara yang diajukan kepadanya. Dalam "mengadili dan
menyelesaikan suatu perkara" itulah terletak proses pemberian
keadilan yang dilakukan oleh hakim baik tunggal maupun majelis.
Oleh karena itu, hakim merupakan unsur yang sangat penting dalam
penyelenggaraan peradilan.
Peradilan Agama adalah proses pemberian keadilan berdasarkan
hukum agama Islam kepada orang-orang Islam yang dilakukan di
Pengadilan Agama dan Pengadilan Tinggi Agama. Peradilan Agama,
dalam sistem peradilan nasional Indonesia, di samping Peradilan
Umum, Peradilan Militer dan Peradilan Tata Usaha Negara,
merupakan salah-satu pelaksana kekuasaan kehakiman dalam Negara
Republik Indonesia. Keempat lembaga peradilan itu mempunyai
kedudukan yang sama, sederajat dengan kekuasaan yang berbeda.
Sebagai lembaga peradilan, peradilan agama dalam bentuk- nya
yang sederhana berupa tahkim, yaitu lembaga penyelesaian sengketa
antara orang-orang Islam yang dilakukan oleh para ahli agama, telah
lama ada dalam masyarakat Indonesia yakni sejak agama Islam datang
270 Hukum Islam
oleh pihak yang dikalahkan atau kalau pihak yang kalah tidak mau
membayar ongkos perkara. Ketua Pengadilan Negeri (dahulu Landraad)
menyatakan putusan tersebut "dapat dijalankan," apabila ternyata tidak
ada pelanggaran terhadap ketentuan-ketentuan yang termaktub dalam
peraturan perundang-undangan pembentukan badan peradilan agama
tersebut. Kalau terdapat pelanggaran, Ketua Pengadilan Negeri
memberi pernyataan "tidak dapat dijalankan" pada putusan Pengadilan
Agama tersebut. Lembaga fiat eksekusi ini sengaja diciptakan oleh
pemerintah kolonial Belanda dahulu untuk mengendalikan dan
mengawasi badan peradilan agama, dengan antara lain tidak
melengkapi susunannya dengan jurusita, sehingga pengadilan agama
menjadi pengadilan semu, tidak mandiri melaksanakan putusan-
putusannya. Anehnya, "jiwa mengendalikan pengadilan agama itu,"
tetap dilanjutkan dalam Undang-Undang Perkawinan Nasional (1974)
yang menyatakan dalam Pasal 63 ayat (2)-nya bahwa setiap keputusan
Pengadilan Agama dikukuhkan oleh Pengadilan Umum (maksudnya
Pengadilan Negeri). Menurut ketentuan Undang- Undang Nomor 1
Tahun 1974, pengukuhan itu harus dilakukan, kendatipun sifatnya
administratif, terhadap semua putusan Pengadilan Agama yakni semua
putusan yang telah mempunyai kekuatan tetap, tidak terbatas hanya
pada putusan yang tidak dipatuhi oleh pihak yang dikalahkan atau
karena tidak mau membayar ongkos perkara saja seperti yang
ditentukan dalam ketiga aturan tentang fiat eksekusi tersebut di atas
(K. Wantjik Saleh, 1977: 70-71).
Berbagai kekurangan yang melekat pada diri Peradilan Agama
telah menyebabkan Peradilan Agama tidak mampu melaksanakan
tugasnya melakukan kekuasaan kehakiman secara mandiri seperti yang
dikehendaki oleh Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1974 yang
menjadi induknya kini. Selain itu ada pula masalah lain yang
menghambat gerak langkah seperti susunan, kekuasaan dan acara
Peradilan Agama belum diatur dalam undang-undang tersendiri
sebagaimana yang dikehendaki oleh Pasal 12 Undang-Undang
Kekuasaan Kehakiman. Untuk melaksanakan Undang-Undang Nomor
Hukum I slam di Indonesia 273
14 Tahun 1970 tersebut dan untuk menegakkan hukum Islam yang
berlaku secara yuridis formal dalam Negara Republik Indonesia, pada
tanggal 8 Desember 1988 Presiden Republik Indonesiamenyam-
paikan Rancangan Undang-Undang Peradilan Agama kepada Dewan
Perwakilan Rakyat untuk dibicarakan dan disetujui sebagai undang-
undang menggantikan semua peraturan per- undang-undangan tentang
Peradilan Agama yang tidak sesuai lagi dengan Undang-Undang Dasar
1945 dan Undang-Undang tentang Pokok-pokok Kekuasaan
Kehakiman dimaksud.
Setelah dibicarakan secara mendalam, dibahas, dan diuji dengan
berbagai wawasan dan peraturan perundang-undangan yang berlaku di
negara kita, akhirnya pada hari Kamis tanggal 14 Desember 1989,
Rancangan Undang-Undang Peradilan Agama disetujui oleh Dewan
Perwakilan Rakyat menjadi Undang-Undang Republik Indonesia
tentang 'Peradilan Agama.' Lima belas hari kemudian, yaitu tanggal 29
Desember 1989, undang-undang tersebut disahkan menjadi Undang-
Undang Nomor 7 Tahun 1989 oleh Presiden Republik Indonesia, diun-
dangkan pada tanggal yang sama oleh Menteri Sekretaris Negara dan
dimuat dalam Lembaran Negara Nomor 49 Tahun 1989.
Pengesahan Undang-Undang Peradilan Agama itu merupakan
peristiwa penting bukan hanya bagi pembangunan perangkat hukum
nasional, tetapi juga bagi umat Islam di Indonesia. Sebabnya adalah,
dengan disahkannya undang- undang tersebut semakin mantaplah
kedudukan Peradilan Agama sebagai salah-satu badan pelaksana
kekuasaan kehakiman yang mandiri di tanah air kita dalam
menegakkan hukum berdasarkan hukum Islam bagi pencari keadilan
yang beragama Islam mengenai perkara-perkara (perdata) di bidang
perkawinan, kewarisan, wasiat, hibah, wakaf dan sedekah yang telah
menjadi hukum positif di tanah air kita. Dengan undang-undang ini,
pemeluk agama Islam yang menjadi bagian terbesar penduduk
Indonesia, diberi kesempatan untuk menaad hukum Islam yang
menjadi bagian mutlak agamanya, sesuai dengan jiwa Pasal 29
Undang-Undang Dasar 1945 terutama ayat (2) nya.
274 Hukum Islam
Undang-Undang Peradilan Agama
Ketentuan-ketentuan Lain
Bab V menyebut 'ketentuan-ketentuan'lain mengenai admi-
nistrasi peradilan, pembagian tugas para hakim dan panitera dalam
melaksanakan pekerjaan masing-masing. Dalam bab ini disebut
dengan jelas 'jurusita' untuk (a) melaksanakan semua perintah yang
diberikan oleh ketua sidang, (b) menyampaikan pengumuman-
pengumuman, teguran-teguran dan pemberitahuan penetapan atau
putusan Pengadilan menurut cara-cara berdasarkan ketentuan-
ketentuan undang- undang, (c) melakukan penyitaan atas perintah
Ketua Pengadilan, (d) membuat berita acara penyitaan, yang salinan
resminya diserahkan kepada pihak-pihak yang berkepen- tingan.
Jurusita Pengadilan Agama berwenang melakukan tugasnya di daerah
hukum pengadilan yang bersangkutan.
'Jurusita tidak ada' dalam susunan Peradilan Agama 'sebelum'
undang-undang ini berlaku, sehingga dalam melaksanakan putusannya
yang tidak mau diterima oleh para pihak, terutama oleh mereka yang
kalah, Pengadilan Agama selalu harus meminta bantuan dan,
akibatnya, bergantung pada Pengadilan Negeri. Dengan kata lain,
Hukum I slam di Indonesia 281
karena tidak ada jurusita dalam tubuhnya sendiri, putusan Pengadilan
Agama tidak dapat dilaksanakannya sendiri, tetapi harus minta
persetujuan untuk dilaksanakan dari Ketua Pengadilan Negeri.
Persetujuan ini, dalam kepustakaan hukum di Indonesia, seperti telah
disebut, disebut fiat executie. Karena ketiadaan jurusita itu pula maka
setiap putusan Pengadilan Agama di bidang perkawinan selama ini
perlu dikukuhkan oleh Pengadilan Umum atau Pengadilan Negeri.
Dengan Undang-Undang Peradilan Agama ini, ketergantungan
Pengadilan Agama kepada Pengadilan Negeri yang telah berlangsung
sejak tahun 1830 di Jawa dan Madura, diakhiri. Melalui undang-
undang ini pula semua aturan yang menentukan ketergantungan
Peradilan Agama kepada Peradilan Umum, telah dihapuskan. Kini,
Peradilan Agama tidak lagi seakan-akan "peradilan semu," tetapi telah
benar-benar menjadi peradilan mandiri.
292 Hukum Islam
Ketentuan Peralihan
nikah. Pasal 20 menyebut siapa yang berhak menjadi wali nikah yaitu
wali nasab (yang mempunyai hubungan darah dengan calon mempelai
wanita) dan wali hakim. Di Pasal 21 diatur susunan keutamaan
kekerabatan wali nasab. Pasal 22 tentang pergeseran wali nasab, apabila
wali nasab yang paling berhak berhalangan menjadi wali nikah. Pasal
23 menyebut wali hakim (pejabat pemerintah yang ditunjuk oleh
Menteri Agama) menjadi wali nikah apabila wali nasab tidak ada,
berhalangan atau enggan melakukan pernikahan calon mempelai
wanita. Pasal 24 menyebut tentang saksi. Menurut ayat (2) pasal ini
setiap perkawinan harus disaksikan oleh dua orang. Pasal 25 tentang
syarat orang yang dapat menjadi saksi (Muslim, adil, akil balig, waras
dan tidak tuli). Di Pasal 26 dinyatakan bahwa saksi harus hadir
menyaksikan langsung akad nikah serta menandatangani Akta Nikah
pada waktu dan di tempat akad nikah dilangsungkan. Pasal 27
menyatakan bahwa ijab dan kabul antara wali dan calon mempelai pria
harus jelas beruntun, tidak berselang waktu. Di Pasal 28 dinyatakan
bahwa akad nikah dilaksanakan sendiri secara pribadi oleh wali nikah,
tetapi wali nikah dapat mewakilkannya kepada orang lain. Pasal 29
menyebut calon mempelai pria pribadi yang berhak mengucapkan
kabul. Namun, dalam hal- hal tertentu pengucapan kabul dapat
diwakilkan kepada pria lain dengan pemberian kuasa tertulis secara
tegas. Kalau calon mempelai wanita atau walinya keberatan calon
mempelai pria diwakili, akad nikah tidak boleh dilangsungkan. Bab V
mengenai Mahar (Pasal 30 sampai dengan Pasal 38). Dalam Pasal 30
disebutkan calon mempelai pria wajib membayar mahar kepada calon
mempelai wanita yang jumlah, bentuk dan jenis- nya disepakati oleh
kedua belah pihak. Pada butir d. Ketentuan Umum Buku I dikatakan
bahwa yang dimaksud dengan mahar adalah pemberian dari calon
mempelai pria kepada calon mempelai wanita, baik ber-bentuk barang,
uang atau jasa yang tidak bertentangan dengan hukum Islam. Pasal 31,
32, dan 33 menyebut tatacara penentuan mahar, pemberiannya kepada
calon mempelai wanita dan penyerahannya yang dapat tunai tetapi
boleh juga ditangguhkan baik untuk seluruhnya maupun untuk
Hukum I slam di Indonesia 289
sebagian. Di Pasal 34 dinyatakan bahwa mahar bukan merupakan
rukun dalam perkawinan. Kelalaian menyebut jenis dan jumlahnya
waktu akad nikah, tidak menyebabkan batalnya perkawinan. Dalam
Pasal 35 disebutkan penyelesaian mahar kalau suami menalak
isterinya atau meninggal dunia sebelum mereka berkumpul sebagai
suami isteri. Pasal 36, 37, dan 38 mengatur soal-soal mengenai mahar
dan pemecahan masalahnya kalau terjadi hal-hal teknis yang
disebutkan dalam pasal-pasal tersebut. Bab VI Larangan Kawin (Pasal 39
sampai dengan Pasal 44). Pada Pasal 39 dinyatakan seorang laki-laki
atau pria dilarang kawin dengan seorang wanita (1) Karena pertalian
darah (nasab) yaitu perkawinan antara seorang laki-laki dengan (a)
seorang wanita yang melahirkan atau yang menurunkannya atau
keturunannya, (b) dengan seorang wanita keturunan ayah atau ibu, (c)
dengan seorang wanita saudara yang melahirkannya. (2) Karena
pertalian perkawinan (kerabat, semenda) yakni perkawinan antara
seorang pria dengan (a) seorang wanita yang melahirkan isterinya atau
bekas isterinya, (b) dengan seorang wanita bekas isteri orang yang
menurunkannya, (c) dengan seorang wanita keturunan isteri atau bekas
isterinya, kecuali putusnya perkawinan dengan bekas isterinya itu
sebelum mereka berhubungan sebagai suami isteri, (d) dengan seorang
wanita bekas isteri keturunannya. (3) Karena pertalian sesusuan, yaitu
(a) dengan wanita yang menyusuinya dan seterusnya menurut garis
lurus ke atas, (b) dengan wanita sesusuan dan seterusnya menurut
garis lurus ke bawah, (c) dengan wanita saudara sesusuan, dan
kemenakan sesusuan ke bawah, (d) dengan wanita bibi sesusuan dan
nenek bibi sesusuan ke atas,
(e) dengan anak yang disusui oleh isterinya dan keturunannya. Pasal
40 menyatakan: dilarang perkawinan seorang pria (laki- laki) dengan
seorang wanita karena keadaan tertentu, yaitu (a) karena wanita
bersangkutan masih terikat perkawinan dengan pria lain, (b) wanita
yang masih berada dalam masa iddah dengan pria lain. Dalam Undang-
Undang Perkawinan, masa iddah atau idah disebut masa tunggu bagi
seorang wanita yang ditalak atau kematian suami atau hamil, sebelum
290 Hukum Islam
kawin lagi dengan pria lain, (c) seorang wanita yang tidak beragama
Islam. Pada Pasal 41 ditegaskan bahwa (1) seorang pria dilarang
memadu isterinya dengan seorang wanita yang mempunyai hubungan
pertalian darah atau susuan dengan isterinya, yaitu (a) saudara
kandung, seayah atau seibu serta keturunannya, (b) wanita dengan
bibinya atau kemenakannya.
(2) Larangan tersebut pada ayat (1) tetap berlaku meskipun isteri atau
isteri-isterinya telah ditalak raj'i (talak yang dapat dirujuk atau kembali
lagi sebagai suami isteri) tetapi masih dalam masa iddah. Pasal 42
menyebut larangan bagi seorang pria melangsungkan perkawinan
dengan seorang wanita apabila pria tersebut sedang terikat tali
perkawinan dengan lebih dari seorang isteri. Pasal 43 melarang
perkawinan seorang pria (a) dengan seorang wanita bekas
isterinyayang (telah) ditalak tiga kali, (b) dengan seorang wanita
bekas isterinya yang di/t'an (yaitu tuduhan dengan sumpah). Pada ayat
(2)-nya disebut gugurnya larangan tersebut pada huruf (a) kalau
mantan isteri itu telah kawin dengan dan bercerai lagi dari pria lain.
Dalam Pasal 44 ditegaskan bahwa seorang wanita Islam dilarang
melangsungkan perkawinan dengan seorang pria yang tidak beragama
Islam. Bab VII Perjanjian Perkawinan (Pasal 45 sampai dengan Pasal 52).
Dalam Pasal 45 disebut bahwa kedua mempelai dapat mengadakan
perjanjian perkawinan dalam bentuk (1) taklik talak. Taklik talak
adalah talak yang digantungkan pada hal atau keadaan tertentu yang
disebutkan dalam perjanjian perkawinan yang diucapkan pengantin
laki-laki setelah ijab kabul. Kendatipun taklik talak bukan merupakan
suatu perjanjian yang wajib diadakan pada setiap perkawinan, tetapi
biasanya dalam setiap perkawinan yang dilangsungkan di Indonesia
mempelai pria mengucapkan taklik talak itu. Dan, sekali taklik talak
sudah diucapkan, perjanjian itu tidak dapat dicabut kembali. (2)
Perjanjian lain yang tidak bertentangan dengan hukum Islam. Biasanya
perjanjian perkawinan bentuk ini adalah mengenai percampuran atau
pemisahan harta pencarian masing-masing, sepanjang tidak
bertentangan dengan hukum Islam. Rincian perjanjian perkawinan
Hukum I slam di Indonesia 291
diatur dalam Pasal-pasal 46,47, 48,49, 50, 51, dan 52 yang tidak
diuraikan dalam buku pengantar ini. Bab VIII Kawin Hamil diatur dalam
Pasal 53 sampai dengan Pasal 54. Bab IX mengenai Beristeri Lebih dari
Satu Orang (Pasal 55 sampai dengan Pasal 59). Bab X tentang
Pencegahan Perkawinan ditentukan dalam Pasal 60 sampai dengan Pasal
69. Bab XI Batalnya Perkawinan diatur dalam Pasal 70 sampai dengan
Pasal 76. Berhubung isi Bab-bab tersebut yang diatur dalam pasal-
pasalnya tidak begitu penting bagi mahasiswa, menurut hemat penulis,
ditunda saja pembicaraannya dalam Hukum Kekeluargaan Islam
semester yang akan datang. Karena itu, juga tidak diuraikan dalam
buku pengantar ini. Bab XII mengatur Hak dan Kewajiban Suami Isteri
(Pasal 77 sampai dengan Pasal 84). Dalam Pasal 77 diatur hal-hal yang
'umum' mengenai hak dan kewajiban suami isteri. Di Pasal 77 disebut
bahwa (1) suami isteri memikul kewajiban yangluhur untuk
menegakkan rumah tangga yang sakinah, mawaddah dan rahmah yang
menjadi sendi dasar susunan masyarakat. (2) Suami isteri wajib saling
cinta mencintai, hormat menghormati, serta setia dan mem- beri
bantuan lahir batin yang satu kepada yang lain. (3) Suami isteri
memikul kewajiban untuk mengasuh dan memelihara anak-anak
mereka, baik mengenai pertumbuhan jasmani, rohani maupun
kecerdasannya dan pendidikan agamanya. (4) Suami isteri wajib
memelihara kehormatan mereka. (5) Jika suami atau isteri melalaikan
kewajibannya, masing-masing dapat mengajukan gugatan kepada
Pengadilan Agama. Dalam Pasal 78 ditentukan (1) Suami isteri harus
mempunyai tempat kediaman yang tetap, (2) Rumah kediaman yang
dimaksud dalam ayat (1) ditentukan oleh suami isteri bersama.
Tentang 'Kedudukan Suami Isteri' diatur dalam Pasal 79, berbunyi (1)
Suami adalah kepala keluarga dan isteri ibu rumah tangga. (2) Hak
dan Kedudukan isteri adalah seimbang dengan hak dan kedudukan
suami dalam kehidupan rumah tangga dan per- gaulan hidup bersama
dalam masyarakat. (3) Masing- masing pihak berhak untuk melakukan
perbuatan hukum. Tentang 'kewajiban suami' disebut dalam Pasal 80.
Dalam pasal ini dinyatakan bahwa (1) Suami adalah pembimbing isteri
292 Hukum Islam
meninggal dunia. Ini dapat dilihat dari firman Allah dalam surat Al-
Nisa' (4) ayat 7. Dalam surat itu disebutkan bahwa bagi laki-laki dan
bagi perempuan ada nasib atau bagian (warisan) dari harta peninggalan
ibu bapa dan keluarga dekatnya. Dari kata 'nasib' itu dapat dipahami
bahwa dalam sejumlah harta yang ditinggalkan oleh pewaris, terdapat
bagian atau hak ahli waris. Karena itu pewaris tidak perlu menjanjikan
sesuatu yang akan diberikan kepada ahli warisnya sebelum ia
meninggal dunia. Demikian juga halnya dengan ahli waris, tidak perlu
meminta-minta haknya kepada (calon) pewaris. Unsur ijbari dapat
dilihat juga dari segi (b) jumlah harta yang sudah ditentukan bagi
masing-masing ahli waris. Ini tercermin dalam kata mafrudan yang
makna asalnya adalah “ditentukan atau diperhitungkan”. Apa yang
sudah ditentukan atau diperhitungkan oleh Allah wajib dilaksanakan
oleh hambaNya. Sifat wajib yang dikandung oleh kata itu memaksa
manusia untuk melaksanakan ketentuan yang sudah ditetapkan Allah
itu. Unsur ijbari lain yang ada dalam hukum kewarisan Islam adalah (c)
penerima harta peninggalan sudah ditentukan dengan pasti yakni
mereka yang mempunyai hubungan darah dan ikatan perkawinan
dengan pewaris seperti yang dirinci dalam pengelompokan ahli waris
di surat Al-Nisa' (4) ayat 11, 12, dan 176. Karena rincian yang sudah
pasti itu, maka tidak ada satu kekuasaan manusia pun yang dapat
mengubahnya. Dan, oleh karena unsurnya demikian, dalam
kepustakaan, hukum kewarisan Islam yang sui generis ini disebut juga
bersifat compulsary, bersifat wajib dilaksanakan sesuai dengan
ketetapan Allah itu.
Asas (ii) adalah asas 'bilateral.'Asas bilateral dalam hukum kewarisan
berarti seseorang menerima hak atau bagian
warisan dari kedua belah pihak: dari kerabat keturunan laki- laki dan
dari kerabat keturunan perempuan. Asas ini dapat dilihat dalam surat
Al-Nisa1 (4) ayat-ayat 7, 11, 12 dan 176. Di dalam (a) ayat 7
ditegaskan bahwa seorang laki-laki berhak mendapat warisan dari
ayahnya dan juga dari ibunya. Demikian juga halnya dengan
perempuan. Ia berhak mendapat warisan dari kedua orang tuanya. Di
Hukum I slam di Indonesia 303
dalam (b) ayat 11 ditegaskan bahwa (i) anak perempuan berhak
menerima warisan dari orang tuanya sebagaimana halnya dengan anak
laki-laki, seperti telah disebut di depan, dengan perbandingan bagian
seorang anak laki-laki sebanyak bagian dua orang anak perempuan;
(ii) ibu berhak mendapat warisan dari anaknya, baik laki- laki maupun
perempuan, sebesar seperenam. Demikian juga ayah berhak menerima
warisan dari anaknya, baik laki- laki maupun perempuan, sebesar
seperenam, bila pewaris meninggalkan anak. Di dalam (c) ayat 12
dijelaskan bahwa
(i) bila seorang laki-laki mati punah, saudaranya yang laki-
lakilah yang berhak atas harta peninggalannya, juga saudaranya yang
perempuan berhak mendapat harta warisannya itu;
(ii) bila pewaris yang mati punah itu seorang perempuan, maka
saudaranya, baik laki-laki maupun perempuan, berhak menerima harta
warisannya. Di dalam (d) surat Al-Nisa' (4) ayat 176 disebutkan
bahwa (i) seorang laki-laki yang tidak mempunyai keturunan,
sedangkan ia mempunyai saudara perempuan, maka saudaranya yang
perempuan itulah yang berhak menerima warisannya; (ii) seorang
perempuan yang tidak mempunyai keturunan, sedangkan dia
mempunyai saudara laki-laki, maka saudaranya yang laki-laki itulah
yang berhak menerima harta warisannya.
Ahli waris keluarga dekat (kerabat) lain yang tidak tersebut
secara nyata di dalam Alquran dapat diketahui dari penjelasan yang
diberikan oleh Rasulullah. Dapat juga diketahui dari 'perluasan'
pengertian ahli waris yang disebutkan dalam Alquran. Misalnya,
kewarisan kakek dapat diketahui dari kata abun dalam Alquran, yang,
dalam bahasa Arab, artinya kakek secara umum. Demikian juga halnya
dengan nenek, dapat dikembangkan dari perkataan ummi (maternal =
maternal grand mother - nenek dari pihak ibu) yang terdapat dalam
Alquran. Di samping itu terdapat juga penjelasan dari nabi tentang
kewarisan kakek dan kewarisan nenek. Dari perluasan pengertian itu
dapat pula diketahui garis kerabat ke atas melalui pihak laki-laki dan
melalui pihak perempuan.
304 Hukum Islam
adalah asas yang menyatakan bahwa kewarisan ada kalau ada yang
meninggal dunia. Ini berarti bahwa kewarisan semata-mata sebagai
'akibat kematian’ seseorang. Menurut hukum kewarisan Islam,
peralihan harta seseorang kepada orang lain yang disebut dengan nama
kewarisan, terjadi setelah orang yang mempunyai harta itu meninggal
dunia. Ini berarti bahwa harta seseorang tidak dapat beralih kepada
orang lain dan disebut sebagai harta warisan, selama orang yang
mempunyai harta itu masih hidup. Juga berarti bahwa segala bentuk
peralihan harta seseorang yang masih hidup kepada orang lain, baik
secara langsung maupun yang akan dilaksanakan kemudian sesudah
kematiannya, tidak termasuk ke dalam kategori kewarisan menurut
hukum Islam. Ini berarti bahwa hukum kewarisan Islam hanya
mengenai satu bentuk kewarisan saja, yaitu 'kewarisan sebagai akibat
kematian 1 seseorang atau yang disebut dalam hukum kewarisan
perdata Barat kewarisan ab intestato atau kewarisan karena kematian
atau kewarisan menurut undang-undang. Hukum kewarisan Islam,
karena itu, tidak mengenai kewarisan atas dasar wasiat atau kewarisan
karena diangkat atau ditunjuk dengan surat wasiat yang dilakukan oleh
seseorang pada waktu ia masih hidup, yang disebut dalam hukum
perdata Barat dengan istilah kewarisan secara testamen. Asas ini
mempunyai kaitan dengan asas ijbari tersebut di atas yakni seseorang
tidak sekehendaknya saja menentukan penggunaan hartanya setelah ia
mati kelak. Melalui wasiat, menurut hukum Islam, dalam batas-batas
tertentu, seseorang memang dapat menentukan pemanfaatan harta
kekayaannya setelah ia meninggal dunia, tetapi wasiat itu merupakan
ketentuan tersendiri terpisah dari ketentuan hukum kewarisan Islam.
Dalam kitab- kitab hukum fiqih, wasiat dibahas tersendiri di luar
hukum kewarisan. Namun, dalam Kompilasi Hukum Islam Wasiat
dimuat dalam Buku II Hukum Kewarisan, Bab V.
Asas kewarisan akibat kematian ini dapat digali dari pema- kaian
kata warasa yang banyak terdapat dalam Alquran. Dalam ayat-ayat
kewarisan, beberapa kali kata warasa itu dipergunakan. Dan, dari
308 Hukum Islam
(5) i,
GAMBAR 3. Ketetapan/Fatwa Waris PA Ja karta UtaraNo.59/C/1980,29 Oktober
1980.
ikatan, sitaan dan sengketa. Pada Pasal 218 ayat (1) disebut bahwa
wakif, yaitu orang atau orang-orang ataupun badan hukum yang
mewakafkan benda miliknya harus mengikrarkan kehendaknya secara
jelas dan tegas kepada nazir yaitu kelompok orang atau badan hukum
yang diserahi tugas pemeliharaan dan pengurusan benda wakaf. Dalam
Pasal 219 ayat (1) disebutkan syarat-syarat nazir, harus (a) warga
negara Indonesia, (b) beragama Islam, (c) sudah dewasa, (d) sehat
jasmani dan rohani, (e) tidak berada di bawah pengampuan, dan (f)
bertempat tinggal di kecamatan tempat letak benda yang diwakafkan.
Di ayat
(2) dikatakan bahwa jika nazir berbentuk badan hukum, harus (a) badan
hukum Indonesia dan berkedudukan di
Hukum Islam di Indonesia 335
Indonesia, (b) mempunyai perwakilan di kecamatan tempat letak
benda yang diwakafkan. Dalam Pasal 220, 221, dan 222 diuraikan
Kewajiban dan Hak-hak Nazir, antara lain: nazir berkewajiban mengurus
dan bertanggung jawab atas kekayaan wakaf serta hasilnya,
melaksanakan pengurusan wakaf sesuai dengan tujuannya. Nazir
berhak mendapat penghasilan dan fasilitas, yang jenis dan jumlahnya
ditentukan berdasarkan kelayakan setempat.
Bab III Tata Cara Perwakafan dan Pendaftaran Benda Wakaf
(Pasal 223 sampai dengan Pasal 224). Dalam Pasal 223 diatur Tata
Cara Perwakafan, sedang pada Pasal 224 disebut cara-cara
pendaftarannya. Bab IV tentang Perubahan, Penyelesaian dan
Pengawasan Benda Wakaf. Dalam Pasal 225 disebut tentang
Perubahan Benda Wakaf. Di Pasal 226 diatur Penyelesaian
Perselisihan Benda Wakaf, sedang di Pasal 227 disebut pengawasan
terhadap pelaksanaan tugas dan tanggung jawab nadzir dilakukan
secara bersama-sama oleh Kepala Kantor Urusan Agama Kecamatan,
Majelis Ulama Kecamatan dan Pengadilan Agama yang
mewilayahinya. Bab V Ketentuan Peralihan. Dalam Pasal 228
disebutkan perwakafan benda, demikian juga pengurusannya yang
terjadi sebelum dikeluarkannya ketentuan ini, harus dilaporkan dan
didaftarkan kepada Kantor Urusan Agama Kecamatan setempat untuk
disesuaikan dengan ketentuan-ketentuan ini. Ketentuan Penutup yang
terdapat dalam buku III, mungkin dimaksudkan untuk menutup ketiga
buku kompilasi. Rumusannya (Pasal 229), seperti telah disebut di
muka, berbunyi sebagai berikut, "Hakim dalam menyelesaikan
perkara-perkara yang diajukan kepadanya, wajib memperhatikan
dengan sungguh-sungguh nilai-nilai hukum yang hidup dalam
masyarakat, sehingga putusannya sesuai dengan rasa keadilan".
Setelah ketentuan penutup, kompilasi ini diiringi dengan Penjelasan
Umum, Penjelasan Pasal demi Pasal dan Indeks. Dalam Penjelasan
Umum disebutkan bahwa hukum materiil yang selama ini berlaku di
lingkungan Peradilan Agama adalah hukum Islam yang pada garis
320 Hukum Islam
SAP
HUKUM ISLAM
I. TUJUAN PERKULIAHAN
Setelah mengikuti kuliah ini diharapkan mahasiswa mengerti dan
memahami hukum Islam, sumber dan asas-asasnya secara baik dan
benar, sejarah pertumbuhan serta perkembangannya dari dahulu
sampai sekarang. Selain dari itu, diharapkan juga agar mahasiswa
memahami dan mampu menjelaskan kedudukan hukum Islam
sebagai hukum positif dalam sistem hukum di Indonesia dan
hubungannya dengan hukum-hukum lain yang berlaku di tanah air
kita.
II. GAMBARAN UMUM PERKULIAHAN
Kuliah ini dibagi dalam empat bagian. Dalam bagian pertama
dibicarakan Kedudukan hukum Islam dalam kurikulum fakultas
hukum, Islam, KerangkaDasar Agamalslam, Salah paham terhadap
Islam dan hukum Islam serta cara-cara mengatasinya. Dalam
bagian ini dibicarakan juga Hukum Islam dan beberapa istilah
kunci yang perlu dipahami lebih dahulu yakni Hukum, Hukm,
Syariat, Fiqih, Ruang-lingkup hukum Islam, Ciri-ciri dan Tujuan
hukum Islam; Di bagian kedua dibicarakan Sumber-sumber Hukum
Islam, Metode-metode berijtihad, Hukum Islam dan
348 Hukum Islam
Ming- Tujuan Instruksional Khusus Pokok Bahasan Materi Sumber Bahasan Keterangan
1. Agar mahasiswa mema Hukum Islam da Hukum Islam da 1. Hukum Islam (Mo
hami keberadaan hukum Is lam Kurikulum lam Kurikulum hammad Daud Ali,
lam dalam kurikulum fakul- Fakultas Hukum Fakultas Hukum 1998)
(Lanjutan Lampiran 1)
1
( )
(2) (3) (4) (5) ( 6)
Lampiran 353
Hukum Islam
(3) (4) (5)
(1) (2) LA
to
Hukum Islam: ruang- Ruang-lingkup, Ciri- 1- Hukum Islam (Mo- ciri dan Tujuan
4. Agar mahasiswa dapat memahami lingkup, ciri- ciri dan Hu- hammad Daud Ali, kum Islam 1998)
dan menjelaskan ruang-lingkup, tujuannya
ciri-ciri dan tujuan hukum Islam
5. Agar mahasiswa dapat memahami Sumber-sumber Hukum Pengertian Sumber- 1- sumber QA Al-Nisa': 59 Hadis
dan menjelaskan rincian sumber- Islam Hukum Islam 2. dan rinciannya Mu'az bin Jabal
sumber Kamus Besar Bahasa
Indonesia (1989)
(Lanjutan Lampiran 1)
Agar mahasiswa dapat me- Al-Ra'yu (Akal Pi- Ijtihad dan beberapa 1. Ijtihad dalam Sya-
nerangkan bahwa sumber kiran) metode ijtihad, serta riat Islam (Yusuf Al-
pengembangan Hukum Islam adalah hubungannya dengan Qardawi, 1987)
akal pikiran manusia yang perkembangan masyarakat 2. Cara-cara Ijtihad yang Mula-
memenuhi syarat untuk berijtihad. mula (Pintu Ijtihad Sebe-
lum Tertutup: Ahmad
Hasan, 1984)
9. Agar mahasiswa dapat memahami dan Asas-asas Hukum Islam Asas-asas Hukum Islam: Hukum Islam (Mo-
menjelaskan asas-asas hukum Islam asas-asas umum, pidana dan hammad Daud Ali, 1998)
perdata
10. Agar mahasiswa dapat memahami kaidah- Kaidah-kaidah Fiqih Islam Kaidah-kaidah Fiqih Islam, Hukum Islam (Mo-
kaidah fiqih Islam dan al-ahkam al- dan al-ahkam al-khamsah al-ahkam al- khamsah dan hammad Daud Ali, 1998)
khamsah ruang- lingkupnya Al-Ahkam al-Kham- sah
2 . (Hukum Kewa-
(Lanjutan Lampiran 1)
11. Agar mahasiswa dapat menjelaskan Sejarah Hukum Islam Tahap-tahap Pertumbuhan Hukum Islam (Mo-
sejarah pertumbuhan dan per- dan Perkembangan Hukum hammad Daud Ali,
kembangan hukum Islam Islam 1998)
12. Agar mahasiswa dapat menjelaskan Berbagai sistem hukum Hukum Adat, Hukum Islam Hukum Islam (Mo-
berbagai sistem hukum yang di Indonesia dan Hukum Barat hammad Daud Ali,
masih berlaku di Indonesia 1998)
13. Agar mahasiswa dapat menjelaskan Hukum Islam dan Hubungan Hukum Islam Hukum Islam (Mo-
hubungan Hukum Islam Hukum Adat di In- dengan Hukum A- dat hammad Daud Ali,
dengan Hukum Adat di tanah donesia 1998)
air kita 2. Receptio a Contra- ris
(Sayuti Thalib, 1984)
(Lanjutan Lampiran 1) O'
(4) (5) (6)
(1) (2) (3)
?s-
J=
3
14. Agar mahasiswa dapat Islam di Agama dan Kompilasi Islam
menjelaskan kedudukan Indonesia. Hukum Islam Kedudukan Hukum
hukum Islam dalam tata Hukum Islam dalam tata Kedudukan Hukum Islam Islam dalam sistem
hukum Indonesia hukum Indonesia dalam tata hukum di Hukum Indonesia
Indonesia (Mohammad Daud Ali,
15. Agarmahasiswa 1984)
mengetahui posisi
hukum Islam dalam Hukum Islam dan Hukum Islam (Mo-
pembinaan hukum Pembinaan Hukum Hukum Islam dalam hammad Daud Ali, 1998)
nasional Nasional pembinaan hukum nasional
16. Agarmahasiswa
mengetahui lembaga Hukum Islam (Mo-
penegak hukum Islam Gambaran umum Sketsa Peradilan Agama hammad Daud Ali, 1998)
dan Kompilasi Hukum tentang Peradilan dan Kompilasi Hukum
17. UJ1AN AKHIR SEMESTER
LAMPIRAN 2
358 Hukum Islam
LAMPIRAN 3
359
Indeks
163, 179, 180, 186, 214 al Umm, 49, 188 134 asas kemampuan berbuat atau
al urf, 193 Alatas, M Najib, 70 Ali bin bertindak, 135 asas kemampuan
Abi Thalib, 102, 158, 171, 180, berbuat, 128 asas kemanfaatan, 128,
Ali Said, 268 Ali 130 asas kemaslahatan hidup, 128,
Syaria'ti, 70 132
all comprehensive, 85 Allah, 26, 43, asas kepastian hukum, 127,129 asas
48, 76, 84, 93, 103, 156, 159, 219 larangan merugikan diri sendiri dan
orang lain, 128, 135
amaliyah, 84, 87 an Nasa'i, 108, 193
asas legalitas, 130 asas
an Nawawi, 111, 183, 211 aqidah, 10,
mendahulukan kewajiban dari hak,
229 ar ra’yu, 74, 77, 115, 116, 124, 125,
128, 135 asas mendapatkan hak
186 ar Rafi'i, 211 ar Ramli, 211 ar
karena usaha dan jasa, 128, 136
Risalah, 188 Arab, 66 Arafah, 92
asas mengatur sebagai petunjuk, 128,
arkanul iman, 33 arkanul Islam, 34 as 138
Shadbi, Abu Ishaq, 61 as Sunnah, 41, asas menolak mudharat dan
44, 74, 75, 76, 77, 101, 102, 181, 182, mengambil manfaat, 128
185 as Syafi'i, Muhammad Idris, 76, asas perjanjian tertulis atau
diucapkan di depan saksi, 128
77, 106, 188 as Syaibani, 186 as
asas perlindungan hak, 128,136 asas
Syairozi, 211 as Syarbini, 211 asas
praduga tak bersalah, 131 asas resiko
adil dan berimbang, 128, 134, 143
dibebankan pada benda atau harta,
asas-asas dalam lapangan tidak pada tenaga atau pekerja, 128,
hukum perdata, 127 asas-asas 138
dalam lapangan asas tertulis atau diucapkan di depan
hukum pidana, 127 saksi, 138
asas-asas hukum kewarisan, 141 asas yang beritikad baik harus
asas-asas hukum perdata, 132 dilindungi, 128, 137
asas-asas hukum perkawinan, 139 asasun, 126
asas-asas hukum pidana, 130 asas-
asbabun nuzul, 166
asas umum, 127 asas bilateral, 141
at Tarmidzi, 108, 193
asas hak milik berfungsi sosial, 128,
ayat Madaniyah, 165
137 asas hukum Islam, 127 asas
ayat Makkiyah, 165
individual, 142 asas keadilan, 128
asas kebajikan, 128, 134 asas B
kebebasan berusaha, 128, 136
BPHN, 267, 274 bacaan, 79 Badar, 92
asas kebebasan dan kesukarelaan,
Badui, 99, 156 Baitullah, 157 barzah,
128, 133 asas kebolehan, 128 asas
83 Benda, H.J., 238 berijtihad, 78
kekeluargaan, 128 asas kekeluargaan
Betrand ter Haar, 14, 222, 224, 245,
atau kebersa- maan yang sederajat,
248, 249, 258 bid'ah, 14, 15, 102
lndeks 361
Bidayatul Mujtahid, 190 bilateral,
128,
Budha (Gautama), 8, 31, 160, 260
362 Hukum Islam Bukhari, 106, 107, fiqih Islam, 49 fiqih, 42, 48, 58, 72
193 Burgelijk Wetboek, 212 fukaha, 48 furu', 194
C G
cerai (perceraian), 286 Charles C,
Adams, 198 Charles J. Adams, 13 G F Pijper, 252 H
Christian Snouck Hurgronje, 11, 14, H. A.R. Gibb, 13 Habibah
15, 16, 17, 18, 19, 241, 243 civil law, Daud, 253 hadis da'if, 110 hadis
207 Clifford Geerts, 69 Clive S
hasan, 110 hadis masyhur, 109 hadis
Kessler, 69 common law, 207
maudhu', 110 hadis mutawatir, 109
Compendium Freijer, 236 Confucius,
hadis qudsi, 101 Hafsah, 94, 179 hajar
160
al aswad, 157 Haji Wada', 92 haji, 8,
34
Cornells van Vollenhoven, 243 D
Hambali (mazhab), 52 Hamka, 97
D. W. Freijer, 236
Hanafi (mazhab), 53, 190, 242
da'if, 108, 110, 192
haram, 35, 45, 146, 148, 152, 221, 229
Daendels, 237 Harun al Rasyid, 186
Daniel S Lev, 253 Harun, 181
daruriyyat, 61, 62 hasan, 108, 192
De Atjehers, 243 Hasbi Ash Shieddieqy, 97, 229
Dekrit Presiden, 261 Hasyiah Fathul Qarib, 211
Deliar Noer, 70 Hatta, Mohammad, 10, 28
din al Islam, 31 haul, 46
Djajadiningrat, P. A. Hoesein, 245 Hazairin, 7, 116, 149, 163, 245, 258,
260, 261, 260 hibah, 254 Hijrah, 90,
E
9
ethic, 40 159 Hijriyah, 107, 108, 174 Hindu
executoire verklaring, 247, 248 Bali, 7, 260 Hindu, 30 Hira, 79, 159
F hisab, 174 hukm, 44
fakih, 48 Hukum Acara Peradilan Agama, 1,
289
fara'id, 57, 227, 245 fard, 221,
hukum Adat, 207, 210, 271, 276
229 fardu, 45
hukum Barat, 207, 219 hukum Islam,
Faruqi, Ismail Raji, 70 Fathul Mu'in,
1, 210. 213, 216, 218, 271, 275 hukum
211 Fatimah, Siti, 180 fatwa waris,
kekeluargaan Islam, 1-2 hukum
255 fatwa, 196, 253, 254, 255 Fazlur
keluarga, 163, 277
Rahman, 69, 70 fiat executie, 247, 291
hukum kewarisan, 8, 163, 258, 279
hukum kewarisan Islam, 1
Indeks 363
hajjiyat,perkawinan,
hukum 61 1, 8, 163, 279
hukum perorangan, 1-2 hukum
taklifi, 46 hukum wakaf, 8
I
i'tiqadiyah, 84, 85
I. S., 262
ibadah, 198, 229
ibadat, 54, 220
ibahah (ja'iz), 36, 221
Ibn Majah, 193
Ibnu Hajar, 209, 211
Ibnu Khaldun, 33
Ibnu Majah, 108
Ibnu Qayyim al Jauziah, 197
Ibnu Taimiyah, 197
Ibrahim, Nabi, 156
ijbari, 128
ijmak, 76, 120, 173, 189, 193
ijtihad, 35, 116, 117, 175, 218
ijtihad fardi, 117
ijtihad jama'i, 117
Ilahi, 150, 159
illat, 45, 53, 120, 145
ilm al jarh, 99
ilmu fikih, 233
ilmu kalam, 33, 233
ilmu tasawuf, 233
ilmu tauhid, 33
imamah, 102'
inovatif, 70
364 Hukum Islam khuluk, 38
yaum al akhirah, 86 Z
Biodata Penulis
Insya Allah akan menyusul: Hubungan Hukum Adat dan Hukum Islam di
Gayo (Aceh Tengah), Hukum Islam di Indonesia dan Masalahnya. Di samping
kegiatan mengajar dan menulis, beliau juga memangku berbagai
jabatan, antara lain: Ketua Pusat Studi Hukum Islam FA-UI,
Anggota Pengkajian Hukum Islam BPHN, Anggota Konsorsium
Ilmu Agama Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Koordinator
Mata Kuliah Hukuip Islam, Koordinator MKU Agama UI, Ketua
Program Kekhususan Hukum dan Ilmu Pengetahuan Islam
Pascasarjana Universitas ^Indonesia. Ikut serta mendirikan Ikatan
Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI) dan menjadi Anggota
Dewan Pakar ICMI Pusat serta Ketua Dewan Pakar ICMI
Koordinatorat Wilayah (Korwil) DKI Jakarta (1991-1996),
Anggota Majelis Ulama Indonesia (MUI) Daerah Khusus Ibukota
Jakarta (1991-1996 — 1996-2001), Anggota Badan Pembina
Baitulmal Umat Islam (Bamuis Bank BNI (1998...)-
370 Hukum Islam