Anda di halaman 1dari 338

Hukum

Islam
/u
zeoSc>S

Hukum
Islam
Pengantar Ilmu Hukum
dan Tata Hukum Islam
di Indonesia
Prof. H. Mohammad Daud All, S.H.
Perpustakaan Nasioml: Katalog dalam lerbitan (KDT)

Divisi Buku Perguruan Tinggi PT


RajaGrafindo Persada
ALI, Mohammad Daud, Haji
Hukum Islam: Pengantar ilmu hukum dan tata hukum Islam di Indonesia/ oleh H. Mohammad
Daud Ali.—
Ed. 6,—13.—Jakarta:PT RajaGrafindo Persada, 2006. xx, 370
him., 21 cm.
Bibliografi him: 337
ISBN 979-421-261-x

1. Hukum Islam I. Judul.


297.4
06-13-10

Hak cipta 1990, pada Mohammad Daud Ali


Dilarang mengutip sebagian atau seluruh isi buku ini dengan cara apa pun, termasuk dengan cara
penggunaan mesin fotokopi, tanpa izin sah dari penerbit
90. 0357 RAJ
Prof. H. Mohammad Daud ALi, S.H.
HUKUM ISLAM
Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Islam di Indonesia
Hak penerbitan pada PT RajaGrafindo Persada, Jakarta Desain cover oleh Rahmatika Dicetak di Fajar
Interpratama Offset PT RAJAGRAFINDO PERSADA
Kantor Pusat:
Jl. Pelepah Hijau IV TN.l. No. 14-15, Kelapa Gading Permai, Jakarta 14240 Tel/Fax : (021)
4520951 -4529409
E-mail : rajapers@indo.net.id Http : //www.rajagrafindopersada.com

Penvakilan:

Bandung-40243 Jl.H. Kurdi Timur No. 8 Komplek Kurdi Telp. (022) 5206202. Yogyakarta-Pondok Soragan
Indah Blok A-l, Jl. Soragan, Ngestiharjo, Kasihan Bantul, Telp. (0274) 625093. Surabaya-60118, Jl. Manyar
Jaya Blok. B 229 A, Komp. Wahana Wisma Permai, Telp. (031) 5949365. Palembang-30137, Jl. Kumbang III
No. 4459 Rt. 78, Kel. Demang Lebar Daun Telp. (0711) 445062. Padang-25156, Perum. Palm Griya Indah II No.
A. 9, KorongGadangTaruko, Telp. (0751) 498443. Medan-20215, Jl. Amaliun No. 72, Telp. (061) 7351395.
Makasar-90221, Jl. ST. Alauddin Blok A 9/3, Komp. Perum Bumi Permata Hijau, Telp. (0411) 861618.
Banjarmasin-70114, Jl. Bali No. 31 Rt. 9, Telp. (0511) 3352060. Denpasar, Jl. Serma Madepii No. 6A, Telp.
(0361) 262623

!■

untuk
yang tercinta
ayah ibu dan guru-guruku
serta
isteri dan anak-anakku
k
Tulisan ini adalah perluasan kuliah Asas-asas Hukum Islam
di Fakultas Hukum Universitas Indonesia Jakarta yang telah
diselaraskan dengan Keputusan Pertemuan Pengajar Mata- kuliah
sejenis yang diselenggarakan oleh Konsorsium Ilmu Hukum di
VII

Kata Pengantar
(Cetakan Kedua)

Bandungan Semarang tahun 1989. Namanya Asas- asas Hukum


Islam, sesuai dengan nama yang dipakai dalam kurikulum Fakultas
Hukum Universitas Indonesia sejak tahun 1982 sampai sekarang,
yang sama dengan Hukum Islam I, nama yang dipakai dalam daftar
mata kuliah Keahlian Hukum Kurikulum Inti Program Pendidikan
Sarjana Hukum (1983), dengan anak judul Pengantar Ilmu Hukum dan
Tata Hukum Islam di Indonesia. Pada anak judul ini tercermin isi yang
dikandungnya.
Kepada para rekan pengajar Asas-asas Hukum Islam atau
Hukum Islam I yang telah memakai fotokopian naskah buku ini
sebelum diperluas dan diterbitkan, penulis menyam- paikan terima
kasih yang tidak terhingga atas perhatian dan saran-saran yang
Anda berikan. Kritik membangun dan saran untuk lebih
menyempurnakan buku ini, di masa-masa yang akan datang, tetap
penulis harapkan.
Ucapan terima kasih yang tulus, penulis sampaikan pada
Asia Foundation yang telah membantu penulis menyelesaikan
VIII Hukum Islam
naskahini. Hal yang sama penulis sampaikanjugapadaSaudara
Mardjono Reksodiputro S.H., M.A. mantan Dekan Fakultas Hukum
Universitas Indonesia untuk kemudahan dan bantuan yang
diberikan kepada penulis untuk menyelesaikan buku ini. Juga
kepada Maryatno yang dengan sabar mengetik dan mengetik ulang
halaman demi halaman serta para rekan yang telah membantu
penyusunan indeks, menyiapkan lampiran dan pengetikan, tanpa
menyebutkan namanya satu per satu, penulis sampaikan terima
kasih yang tidak berhingga. Dan akhirnya pada Habibah Daud dan
anak-anak penulis, atas dorongan dan kesabaran mereka menanti
terbitnya buku ini.
Mudah-mudahan karya ini ada manfaatnya bagi studi dan
pengembangan Hukum Islam di Indonesia pada khusus- nya, studi
hukum di tanah air kita pada umumnya.

Rawamangun, Jakarta 16 Agustus 1990


Penulis s dto
H. Mohammad Daud Ali
Alhamdulillah, cetakan kedua buku ini dilakukan setahun
setelah terbit cetakan pertama, Kepada rekan-rekan pengajar Asas-
asas Hukum Islam (Hukum Islam I) yang telah memakai dan
memberikan penilaian terhadap buku ini penulis sampai- kan
terima kasih yang tulus.
Mungkin tidak ada salahnya untuk dikemukakan, bahwa
karena buku ini harus segera dicetak ulang, yang dapat dilakukan
IX

Kata Pengantar
(Cetakan Kedua)

dalam waktu yang terbatas, hanyalah perbaikan salah cetak di sana


sini. Namun demikian, pada halaman-halaman terakhir
ditambahkan catatan tentang Kompilasi Hukum Islam mengenai (1)
Perkawinan, (2) Kewarisan dan (3) Perwakafan yang menurut
Instruksi Presiden Republik Indonesia nomor 1 tahun 1991 tanggal
1 Juni 1991, perlu disebar- luaskan agar instansi pemerintah,
terutama Peradilan Agama di seluruh Indonesia dan masyarakat
yang memerlukannya dapat mempergunakan kompilasi itu dalam
menyelesaikan masalah-masalah di ketiga bidang hukum tersebut.
Jakarta, 20 Oktober 1991 Penulis sdto
H. Mohammad Daud Ali
X

Kata Pengantar
(Cetakan Ketiga)
Pada cetakan ketiga ini selain perbaikan salah cetak di sana
sini, isinya juga sudah disempurnakan sesuai dengan Keputusan
Rapat "Pakar Hukum" yang diselenggarakan oleh Konsorsium Ilmu
Hukum Direktorat Jenderal PerguruanTinggi Departemen
Pendidikan dan Kebudayaan di Jakarta 15 Juni 1993.
Dalam rapat tersebut telah diputuskan silabus Hukum Islam
sebagai kurikulum muatan nasional yang akan diajarkan di
fakultas-fakultas hukum di Indonesia. Menurut Ketua Konsorsium
Ilmu Hukum di hadapan Rapat Pakar Penyusun Silabus Kurikulum
Nasional Pendidikan Tinggi Hukum di Jakarta itu, jumlah SKS
Hukum Islam dalam SK Mendikbud No. 17/D/0/1993 tanggal 24
Februari 1993 sifatnya basic minimum, yang dapat dikembangkan
sesuai dengan perkem- bangan terakhir Hukum Islam di Indonesia.
Berdasarkan penjelasan Ketua Konsorsium Ilmu Hukum itu,
disusunlah silabus Hukum Islam, sebagai Pengantar Ilmu Hukum
dan Tata Hukum Islam di Indonesia, untuk 3 SKS, yang diuraikan
dalam buku ini.
Mudah-mudahan, sebagaimana halnya dengan cetakan pertama
dan kedua, cetakan ketiga yang memuat penjabaran Silabus
Konsorsium Ilmu Hukum (1993) ini, akan bermanfaat bagi studi
Hukum Islam di tanah air kita.

Jakarta, 5 Oktober 1993 Penulis sdto


H. Mohammad Daud Ali
Pada cetakan kelima ini diadakan perbaikan salah cetak di
11

Kata Pengantar
(Cetakan Kelima)

sana-sini, tulisan yang sama tetapi tersebar di berbagai halaman


dikaitkan, dan diadakan perumusan kembali beberapa kalimat
untuk lebih mudah dimengerti.
Mudah-mudahan bermanfaat untuk memahami Hukum Islam,
terutama di tanah air kita, Indonesia. Untuk saran-saran yang
disampaikan, penulis ucapkan terima kasih yang tulus.

Jakarta, Maret 1996 Penulis sdto


H. Mohammad Daud Ali
XII

Kata Pengantar
(Cetakan Keenam)

Pada cetakan keenam ini diadakan revisi, peninjauan kembali


untuk perbaikan dan pembaruan. Yang diperbaiki, di sana-sini,
adalah salah cetak dan kalimat-kalimat bahasa Indonesia untuk
memudahkan pemahaman. Isinya diperbarui dengan penambahan di
beberapa bagian. Revisi menyeluruh dilakukan terhadap Kompilasi
Hukum Islam. Dengan revisi itu diharapkan buku ini dapat memenuhi
fungsinya sebagai Pengantar Ilmu dan Tata Hukum Islam di
Indonesia.
Kepada rekan yang menyampaikan saran perbaikan dan memakai
buku ini sebagai "pegangan", penulis ucapkan terima- kasih yang
tulus. Kepada Neneng juga diucapkan terima kasih untuk koreksian
dan penyusunan indeks. Khusus kepada Baitulmal Umat Islam
(Bamuis)/Bapekis BNI diucapkan terima kasih untuk bantuan
penerbitan buku ini.
Akhirnya perlu dikemukakan, penulisan kata-kata Arab yang
telah menjadi bahasa Indonesia, sebagai pedoman, dipergunakan
Kamus Besar Bahasa Indonesia, Depdikbud: Balai Pustaka, Cetakan
kedua 1989, sedang yang belum menjadi bahasa Indonesia sedapat
XIII

mungkin dipergunakan Pedoman


XVI Hukum Islam
Transliterasi Arab-Latin SKB Menag - Mendikbud No. 158 Tahun
1987 dan No. 0543-b/U/1987.
Jakarta, 24 April 1998 Penulis
H. Mohammad Daud Ali
Daftar Isi

KATA PENGANTAR (Cetakan Pertama) VII


KATA PENGANTAR (Cetakan Kedua) IX
KATA PENGANTAR (Cetakan Ketiga) XI
KATA PENGANTAR (Cetakan Kelima) XIII
KATA PENGANTAR (Cetakan Keenam) XV
BAB 1. PENDAHULUAN, ISLAM, DAN
HUKUM ISLAM 1
Pendahuluan: Hukum Islam dalam Kurikulum Fakultas Hukum 1
Islam 20
• Kerangka Dasar Agama danAjaran Islam 32
Hukum Islam 42
• Hukum 43
• Hukm dan Ahkam 44
• Syariat 46
• Fiqih 48
• Ruang-Lingkup Hukum Islam 56
Daftar Isi XV

XVIII Hukum Islam


• Ciri-ciri Hukum Islam 58
• Hukum Islam dan Hak Asasi Manusia 59
• Tujuan Hukum Islam 61
• Salah Paham Terhadap Islam dan Hukum
Islam 65
BAB 2. SUMBER, ASAS-ASAS HUKUM ISLAM DAN
AL-AHKAM AL-KHAMSAH 73
Pengertian Sumber Hukum Islam 73
Sumber-sumber Hukum Islam 78
• Alquran 78
• As-Sunnah atau Al-Hadis 97
• Akal Pikiran (al-Ra'yu atau Ijtihad) 111
• Metode-metode Berijtihad 119
• Hukum Islam dan Perkembangan
Masyarakat 124
Asas-asas Hukum Islam 126
• Pengertian Asas 126
• Beberapa Asas Hukum Islam 127
• Asas-asas Umum 128
• Asas-asas Hukum Pidana 130
• Asas-asas Hukum Perdata 132
• Asas-asas Hukum Perkawinan 139
• Asas-asas Hukum Kewarisan 141
• Kaidah-kaidah Fiqih 144
Al-Ahkam al-Khamsah 145
BAB 3. SEJARAH PERTUMBUHAN DAN
PERKEMBANGAN HUKUM ISLAM 153
Tahap-tahap Pertumbuhan dan Perkembangan 153
Masa Nabi Muhammad 154
Masfl Khulafa Rasyidin 169
Masa Pembiriaan, Pengembangan, dan Pembukuan 181
Masa Kelesuan Pemikiran 194
Masa Kebangkitan Kembali (Abad ke-19
sampai sekarang) 197

BAB 4. HUKUM ISLAM DI INDONESIA 207


Hukum Adat, Hukum Islam, dan Hukum Barat 207
• Keadaannya 208
• Bentuknya 210
• Tujuannya 212
• Sumbernya 213
• Strukturnya 216
• Lingkup Masalah 219
• Pembidangan 220
• Hak dan Kewajiban 221
• Norma atau Kaidah Hukum 221
Hubungan Hukum Adat dengan Hukum Islam 223
Kedudukan Hukum Islam dalam Tata Hukum Indonesia 230
Hukum Islam dan Pembinaan Hukum Nasional 266
XX Hukum Islam
Sketsa Peradilan Agama 278
• Pendahuluan 278
• Undang-undang Peradilan Agama 283
• Susunannya 284
• Kekuasaan Peradilan Agama 285
• Hukum Acara 289
• Ketentuan-ketentuan Lain 290
• Ketentuan Peralihan 292
• Ketentuan Penutup 292
Kompilasi Hukum Islam 294
• Asas-asas Hukum Kewarisan Islam 313
• Asas-asas Kewarisan Islam dalam
Kompilasi Hukum Islam 322
• Kompilasi Hukum Islam dan Fiqih
Daftar Isi XVII

Mawaris 330
• Kodifikasi Hukum Kewarisan Islam dalam
Rangka Pembinaan Hukum Nasional 332
DAFTAR PUSTAKA 337
LAMPIRAN 347
INDEKS 359
BIODATA PENULIS 369
1Pendahuluan,
Islam
Islam, dan Hukum

PENDAHULUAN: HUKUM ISLAM DALAM


KURIKULUM FAKULTAS HUKUM
Di dalam beberapa tulisan, bahkan di dalam daftar nama mata
kuliah Keahlian Hukum Kurikulum Inti Program Pendidikan Sarjana
Hukum (1983), mata kuliah Hukum Islam dinamakan Hukum Islam I.
Ini disebabkan karena dahulu dalam kurikulum fakultas hukum,
Hukum Islam dibagi dua. Bagian satu disebut Hukum Islam I dan
bagian II disebut Hukum Islam II. Hukum Islam I adalah dasar atau
pengantar Hukum Islam II, Hukum Islam II adalah lanjutan Hukum
Islam I. Kedua-duanya merupakan bagian Hukum Islam. Isi Hukum
Islam II adalah Hukum Perkawinan dan Kewarisan Islam. Namun,
dalam perkembangannya kemudian, materi Hukum Islam II, di
Fakultas Hukum Universitas Indonesia, ditambah dengan susunan,
wewenang dan hukum acara Pendilan Agama serta zakat, kendatipun,
karena keku- rangan waktu, hanya disinggung sepintas lalu.
Dalam pelaksanaan Sistem Kredit Semester di Fakultas Hukum
Universitas Indonesia (sejak tahun 1982) perkem- bangan itu
dimekarkan menjadi mata kuliah-mata kuliah (1)
2 Hukum Islam

Hukum Perorangan dan Kekeluargaan Islam, (2) Hukum Kewarisan


Islam, (3) Zakat dan Wakaf, (4) Hukum Acara Perdata Peradilan
Agama. Sejak tahun 1992, diajarkan pula Bank, Asuransi, dan Hukum
Islam. Hukum Islam I menjadi Asas-asas Hukum Islam dengan materi
yang diperluas dan dimekarkan. Mulai tahun ajaran 1993/1994,
perkataan asas- asas dihilangkan sehingga menjadi Hukum Islam saja.
Walaupun namanya telah berubah, namun hubungan mata kuliah-
mata kuliah itu tetap. Hukum Islam yang diberi- kan lebih dahulu
dalam tahap satu tetap menjadi dasar atau pengantar bagi mata
kuliah-mata kuliah Hukum Islam lainnya. Ini berarti bahwa seorang
mahasiswa, baru dapat mengikuti mata kuliah-mata kuliah Hukum
Islam lain, setelah ia mengikuti kuliah dan ujian Hukum Islam.
Seperti disebutkan dalam silabus mata kuliah Asas-asas Hukum
Islam Fakultas Hukum Universitas Indonesia (HPE 10201) tahun
1982, tujuan mata kuliah Hukum Islam ini adalah agar mahasiswa (1)
mengerti dan memahami hukum Islam, dapat menyebutkan dan
menjelaskan sumber, asas-asas hukum Islam dan al-ahkam al-khamsah,
serta mampu melukis- kan dan memaparkan sejarah pertumbuhan dan
perkembangan hukum Islam dari dahulu sampai sekarang. Selain dari
itu, tujuan mata kuliah ini adalah agar (2) mahasiswa memahami dan
mampu menjelaskan hubungan hukum Islam dengan hukum-hukum
lain di tanah air kita dan menunjukkan dengan tepat kedudukan
hukum Islam dalam sistem hukum di Indonesia dan tempatnya dalam
pembinaan hukum nasional. Karena itu, pokok-pokok bahasan materi
yang akan diberikan dalam mata kuliah ini adalah (I) Pendahuluan,
Islam, hukum Islam, ruang-lingkup, ciri-ciri, dan tujuann^a, (II)
Sumber dan
Pendahuluan, Islam, dan Hukum Islam 3 Asas-asas

hukum Islam serta al-ahkam al-khamsah, (III) Sejarah pertumbuhan dan


perkembangan hukum Islam, (IV) Hukum Islam di Indonesia, antara
lain: kedudukannya dalam sistem hukum Indonesia, pembinaan hukum
nasional, peradilan agama, dan kompilasi hukum Islam.
Satuan AcaraPengajaran (SAP) Hukum Islam yang memuat
uraian lebih lanjut tentang pokok-pokok materi tersebut, dicantumkan
dalam lembaran tersendiri (lampiran I). Di dalam lembaran itu
disebutkan pula daftar bacaan wajib yang menjadi sumber dan bahan
pengembangan lebih lanjut materi kuliah-kuliah yang diberikan yang
harus dipelajari oleh maha- siswa baik dalam kegiatan mandiri
maupun dalam kegiatan terstruktur di bawah bimbingan Staf Pengajar
Hukum Islam.
Namun, sebelum kita melanjutkan pembicaraan kita me- ngenai
hukum Islam, ada baiknya, sebagai pendahuluan, kita singgung lebih
dahulu kedudukan hukum Islam dalam kurikulum fakultas hukum.
Sebagaimana telah disebutkan di atas, dalam Kurikulum Inti
Program Pendidikan Sarjana Hukum (1983) mata kuliah ini
merupakan mata kuliah keahlian hukum yang menjadi mata kuliah
wajib fakultas secara nasional, sedang mata kuliah Hukum Islam
lainnya menjadi mata kuliah penda- laman yang menjadi mata kuliah
wajib program kekhususan sebagai muatan lokal.
Dahulu, di semua Sekolah Tinggi Hukum (Rechts Hogeschool) yang
didirikan oleh Pemerintah Belanda, baik di negeri Belanda maupun di
daerah jajahannya (Batavia) tercantum mata kuliah Hukum Islam
dalam kurikulumnya. Di samping itu, diajarkan juga Lembaga-
lembaga Islam. Kedua-
4 Hukum Islam
duanya digabungkan menjadi satu dengan nama: Moham- medaansch
Recht en Instellingen van den Islam.
Setelah Indonesia merdeka, kurikulum RH atau Rechts Hogeschool
diambil alih oleh Pemerintah Indonesia. Demi- kianlah, misalnya,
pada Fakultas Hukum dan Pengetahuan Masyarakat Universitas
Indonesia yang didirikan oleh Pemerintah Republik Indonesia Serikat
pada tahun 1950, Hukum Islam dan Lembaga-lembaga Islam diajarkan
juga di Fakultas tersebut. Ketika Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu
Politik atau FISIP Universitas Indonesia (nama sekarang) menjadi
fakultas yang berdiri sendiri pada tahun 196.9, Hukum Islam dan
Lembaga-lembaga Islam dipisahkan. Lembaga-lembaga Islam
dimasukkan ke dalam Kurikulum Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu
Politik, Hukum Islam tetap menjadi bagian dan berada di dalam
Kurikulum Fakultas Hukum.
Apa sebabnya Hukum Islam ada di dalam Kurikulum Fakultas
Hukum?
Jawabnya, antara lain, adalah sebagai berikut:
Karena Alasan Sejarah
Di semua Sekolah Tinggi (Fakultas) Hukum yang didirikan oleh
Pemerintah Belanda dahulu, seperti telah dikemu- kakan di atas,
diajarkan Hukum Islam atau yang mereka sebut Mohammedaansch Recht.
Tradisi ini dilanjutkan oleh fakultas hukum yang didirikan setelah
Indonesia merdeka.
Sementara itu, perlu dicatat bahwa penamaan Mohammedaansch
Recht untuk Hukum Islam, tidaklah tepat, sebab ber- beda dengan
hukum-hukum yang lain, hukum Islam adalah hukum yang bersumber
dari agama Islam yang berasal dari
Allah, Tuhan Yang Maha Esa. Dan berbeda juga dengan agama-
agama yang lain, agama Islam bukanlah agama yang didasarkan
pada pribadi penyebarnya, tetapi pada Allah sendiri. Di dalam
Islam, Tuhanlah yang menjadi pusat segala-galanya. Peranan Nabi
Muhammad sebagai Utusan Allah hanyalah menyam- paikan ajaran
dan pokok-pokok hukum yang berasal dari Allah.
Oleh karena itu, tidaklah benar kalau orang menyebut Agama
Islam sebagai Mohammedanism dan Hukum Islam sebagai „ Mohammedan
Pendahuluan, Islam, dan Hukum Islam 5

Law seperti yang terdapat di dalam kepustakaan berbahasa Inggris,


misalnya. Tidaklah pula tepat, karenanya, menyebut Hukum Islam
sebagai Mohammedaansch Recht seperti yang terdapat dalam Kurikulum
Perguruan Tinggi Hukum sebelum perang dunia kedua dahulu.
Karena Alasan Penduduk
Menurut sensus, hampir sembilan puluh persen (tepat- nya
88,09% menurutsensus 1980), penduduk Indonesia menga- ku
beragama Islam. Ini berarti bahwa mayoritas manusiayang
mendiami kepulauan Nusantara ini adalah pemeluk agama Islam.
Kalau dibandingkan dengan negara-negara lain yang juga
penduduknya beragama Islam, jumlah pemeluk agama Islam di
tanah air kita ini, adalah juga yang terbesar.
Karena penduduk Indonesia ini mayoritas beragama Islam,
maka sejak dahulu, para pegawai, para pejabat peme- rintahan dan
atau para pemimpin yang akan bekerja di Indonesia selalu dibekali
dengan pengetahuan keislaman, baik mengenai lembaganya
maupun mengenai hukumnya yang tumbuh dan berkembang di
dalam masyarakat Muslim Indonesia.
6 Hukum Islam
Karena Alasan Yuridis
Di tanah air kita, hukum Islam berlaku (a) secara normatif dan
(b) secara formal yuridis. Yang berlaku (a) secara normatif adalah
(bagian) hukum Islam yang mempunyai sanksi kema- syarakatan
apabila norma-normanya dilanggar. Kuat tidaknya sanksi
kemasyarakatan dimaksud tergantung pada kuat lemahnya kesadaran
umat Islam akan norma-norma hukum Islam yang bersifat normatif
itu. Hukum Islam yang berlaku secara normatif, di Indonesia, banyak
sekali. Di antaranya dalam pelaksanaan ibadah salat, puasa, zakat dan
haji. Hampir semua bagian hukum Islam yang mengatur hubungan
manusia dengan Tuhan, bersifat normatif. Bahkan keinsyafan akan
haram dan halalnya sesuatu, merupakan sumber kesadaran hukum
bangsa Indonesia yang beragama Islam untuk tidak melakukan
kejahatan terutama yang berkenaan dengan kejahatan perzinaan,
pencurian, riba, dan sebagainya. Dipa- tuhi tidaknya hukum Islam
yang berlaku secara normatif dalam masyarakat Muslim Indonesia
ini, seperti disinggung di atas, tergantung pada kesadaran iman umat
Islam sendiri. Pelaksanaannya pun diserahkan kepada keinsyafan
orang Islam yang bersangkutan. Hukum Islam yang berlaku (b) secara
formal yuridis adalah (bagian) hukum Islam yang mengatur hubungan
manusia dengan manusia lain dan benda dalam masyarakat. Bagian
hukum Islam ini menjadi hukum positif berdasarkan atau karena
ditunjuk oleh peraturan perundang-undangan, seperti hukum
perkawinan, hukum kewarisan, hukum wakaf yang telah
dikompilasikan (1988), hukum zakat, dan sebagainya. Untuk
menegakkan hukum Islam yang telah menjadi bagian hukum positif
itu, sejak tahun 1882 didirikan Pengadilan Agama di Jawa dan
Madura.
Dalam
Pendahuluan, Islam, dan Hukum Islam 7
sistem peradilan di Indonesia kedudukan pengadilan agama ini
semakin kokoh, terutama setelah Undang-Undang Republik Indonesia
No. 14 Tahun 1970 dan Undang-Undang No.l Tahun 1974 tentang
Perkawinan, berlaku. Untuk me- nyempurnakan susunan perlengkapan
pengadilan agama dan melaksanakan Ketentuan-ketentuan Pokok
Kekuasaan Kehakiman termuat dalam Undang-Undang No. 14 Tahun
1970 itu, bulan Januari 1989 pemerintah menyampaikan RUU
Peradilan Agama pada DPR RI untuk disetujui. Tanggal 29 Desember
1989 RUU-PA itu disahkan oleh presiden menjadi Undang-Undang
Peradilan Agama, dengan Undang- Undang Nomor 7 Tahun 1989.
Oleh karena itu, orang yang akan menjadi penegak atau pelaksana
hukum dalam masyarakat Islam Indonesia, harus mempelajari hukum
Islam, dan perangkat penegakan hukum tersebut, agar ia berhasil
dalam melaksanakan tugasnya kelak di tengah-tengah masyarakat
Muslim.
Alasan Konstitusional

Di bawah Bab Agama, dalam Pasal 29 ayat (1) Undang- Undang


Dasar 1945 dinyatakan bahwa Negara (Republik Indonesia)
berdasarkan atas Ketuhanan YangMahaEsa. Menurut Hazairin, semasa
hayatnya Guru Besar Hukum Islam dan Hukum Adat Fakultas Hukum
Universitas Indonesia, norma dasar yang tersebut dalam Pasal 29 ayat
(1) itu tafsirannya antara lain hanya mungkin (Demokrasi Pancasila,
1981:18):
(1) Dalam Negara Republik Indonesia tidak boleh terjadi atau
berlaku sesuatu yang bertentangan dengan kaidah- kaidah Islam bagi
umat Islam, atau yang bertentangan dengan kaidah-kaidah agama
Nasrani bagi umat Nasrani, atau yang bertentangan dengan kaidah-
kaidah agama Hindu-Bali bagi orang-orang Hindu-Bali atau yang
bertentangan dengan kesu- silaan agama Budha bagi orang-orang
Budha. Ini berarti bahwa di dalam Negara Republik Indonesia tidak
boleh berlaku atau diberlakukan hukum yang bertentangan dengan
norma- norma (hukum) agama dan norma kesusilaan bangsa Indo-
nesia; (2) Negara Republik Indonesia wajib menjalankan syariat Islam
bagi orang Islam, syariat Nasrani bagi orang Nasrani dan syariat
Hindu Bali bagi orang Bali, sekadar menjalankan syariat tersebut
8 Hukum Islam

memerlukan perantaraan kekuasaan negara.


Makna tafsiran ke (2) ini adalah Negara Republik Indonesia
wajib menjalankan dalam makna menyediakan fasilitas agar hukum
yang berasal dari agama yang dipeluk bangsa Indonesia dapat
terlaksana sepanjang pelaksanaan hukum agama itu memerlukan
bantuan alat kekuasaan atau penye- lenggara negara. Artinya,
penyelenggara negara berkewajiban menjalankan syariat agama yang
dipeluk oleh bangsa Indonesia untuk kepentingan pemeluk agama
bersangkutan. Syariat yang berasal dari agama Islam misalnya, yang
disebut syariat Islam, tidak hanya memuat hukum-hukum salat atau
sem- bahyang, zakat a:tau puasa, tetapi juga mengandung hukum
dunia baik perdata maupun publik yang memerlukan kekuasaan negara
untuk menjalankannya secara sempurna. Yang dimaksud adalah
misalnya, hukum harta kekayaan, hukum wakaf, penyelenggaraan
ibadah haji, pelanggaran-pelanggaran hukum perkawinan dan
kewarisan, pelanggaran-pelanggaran pidana (Islam) seperti zina, yang
memerlukan kekuasaan kehakiman atau peradilan khusus (Peradilan
Agama) untuk menjalankannya yang hanya dapat diadakan oleh
negara dalam rangka pelaksanaan kewajibannya menjalankan syariat
yang berasal dari agama Islam untuk kepentingan umat Islam yang
menjadi warga negara Republik Indonesia; (3) Syariat yang tidak
memerlukan bantuan kekuasaan negara untuk melaksanakannya
karena dapat dijalankan sendiri oleh setiap pemeluk agama yang
bersangkutan, menjadi kewajiban pribadi pemeluk agama itu sendiri
menjalankannya menurut agamanya masing-masing.
Ini berarti bahwa hukum yang berasal dari suatu agama yang
diakui di negara kita ini yang dapat dijalankan sendiri oleh masing-
masing pemeluk agama bersangkutan (misalnya hukum-hukum yang
berkenaan dengan ibadah, yaitu hukum yang pada umumnya mengatur
hubungan manusia dengan Tuhan) biarkan pemeluk agama itu sendiri
melaksanakannya menurut kepercayaan agamanya masing-masing.
Mengenai perkataan kepercayaan dan Ketuhanan Yang Maha Esa
yang tercantum dalam Pasal 29 Undang-Undang Dasar 1945 yang
terletak dalam Bab Agama itu perlu dikemukakan hal-hal berikut: (1)
Tatkala menjelaskan arti perkataan "kepercayaan'' yang termuat dalam
ayat (2) Pasal 29 UUD 1945, Dr. Mohammad Hatta almarhum yang
ikut serta merancang, me- rumuskan dan mensahkan UUD 1945,
Pendahuluan, Islam, dan Hukum Islam 9

menyatakan pada tahun 1974 (Bung Hatta Menjawab, 1974: 25),


bahwa arti perkataan kepercayaan dalam pasal tersebut adalah
kepercayaan agama. Kuncinya adalah perkataan itu yang terdapat di ujung
ayat (2) Pasal 29 dimaksud. Kata "itu" menunjuk pada kata agama
yang terletak di depan kata kepercayaan tersebut. Penjelasan ini
sangat logis karena kata-kata agama dan kepercayaan itu
digandengkan dalam satu kalimat dan diletakkan di bawah bab
Agama. Keterangan Bung Hatta di atas sesuai benar dengan
keterangan H.A. Salim, salah seorang perumus UUD 1945 yang lain,
yang menyatakan pada tahun 1953 bahwa pada waktu merancang dan
merumuskan UUD 1945, tidak ada seorang pun di antara kami yang
ragu-ragu bahwa "dasar Ketuhanan Yang Maha Esa itu adalah aqidah,
kepercayaan agama ..." (Ketuhanan Yang Maha Esa, 1953:10); (2)
Ketikamemberi penjelasan mengenai ayat (1) Pasal 29 UUD 1945,
dalam rangka kembali ke Undang-Undang Dasar 1945 tahun 1959
dahulu, pemerintah Republik Indonesia menyatakan bahwa ayat (1)
Pasal 29 UUD 1945 yang berbunyi "Negara berdasar- kan atas
Ketuhanan Yang Maha Esa" merupakan dasar kehidupan hukum
bidang keagamaan; (3) Pada tahun 1970, perkataan Ketuhanan Yang
Maha Esa yang tercantum dalam Pasal 29 UUD '45 itu dijadikan
landasan dan sumber keadilan hukum dalam Negara Republik
Indonesia. Menurut Pasal 4 Undang-Undang No. 4 Tahun 1970
peradilan di Indonesia harus dilakukan Demi Keadilan Berdasarkan
Ketuhanan Yang Maha Esa.
Alasan Ilmiah

Sebagai bidang ilmu, hukum Islam telah lama dipelajari secara


ilmiah, bukan saja oleh orang-orang Islam sendiri tetapi juga oleh
orang-orang non-Muslim. Orang Barat non-Muslim ini, yang biasa
disebut dengan istilah orientalis, mempelajari hukum Islam dengan
berbagai tujuan yang senantiasa ber- ubah-ubah. Mula-mula mereka
mempelajari agama Islam dan hukum Islam untuk mempertahankan
kesatuan wilayah negara mereka dari pengaruh kekuasaan Islam.
Seperti dike- tahui, pada pertengahan abad ke-16, Turki adalah negara
Islam yang mempunyai wilayah kekuasaan sampai ke Eropa (Timur)
sekarang. Selanjutnya, mungkin karena bend dan dendam akibat
perang salib yang berlangsung lebih kurang dua ratus tahunlamanya
10 Hukum Islam

(1095-1270M), orangEropamempelajari Islam dan hukum Islam untuk


menyerang Islam dari dalam dengan cara mencari-cari atau mengada-
adakan kelemahannya. "Penemuan" mereka ini lalu diterbitkan dalam
bentuk buku yang diberi predikat karya ilmiah. Hasilnya masih
membekas sampai sekarang, karena karya-karya mereka itu masih
juga dibaca orang. Dalam perkembangan lebih lanjut, orang Barat
mempelajari Islam secara ilmiah untuk tujuan-tujuan politik guna
mengukuhkan penjajahan Barat di benua Afrika, Timur Tengah dan
Asia yang penduduknya mayoritas beragama Islam. Contoh klasik
generasi ini adalah Christian Snouck Hurgronje yang sangat terkenal
dengan teori resepsi dan Politik Islamnya yang memuat garis-garis
besar kebijaksanaan Pemerintah Hindia Belanda dahulu dalam
menghadapi dan mengendalikan Islam di Indonesia. Dalam periode
berikutnya muncullah kelompok orientalis yang mengadakan
pengkajian Islam dan hukum Islam dengan tujuan untuk memahami
Islam dan umat Islam guna pengembangan kerja sama dengan negara
Islam dan negara-negara yang penduduknya mayoritas beragama
Islam. Aliran ini tumbuh dan berkembang terutama setelah Perang
Dunia II, waktu hubungan ekonomi dan perdagangan antara negara-
negara Barat dengan negara- negara Islam di Timur Tengah dan
Afrika Utara semakin meningkat. Tujuan pengkajian Islam dan hukum
Islam, sejak saat itu, adalah untuk kepentingan politik negara-negara
yang bersangkutan. Oleh karena itu, setelah Perang Dunia II dan
terutama setelah krisis energi tahun 1973, di berbagai perguruan
tinggi terkemuka di Eropa, Amerika, dan juga di Asia diadakan
mimbar atau jurusan khusus studi Islam.
Dalam rangka pengkajian hukum Islam khususnya, perlu dicatat
bahwa di luar wilayah negeri atau negara Islam, selain dari mimbar
kuliah tersendiri, telah diselenggarakan berbagai seminar ilmiah. Di
antaranya adalah seminar hukum Islam yang diadakan di negeri
Belanda pada tahun 1932, 1937, dan 1948. Dalam seminar lanjutan
yang diselenggarakan di Paris pada tahun 1952 para peserta yang
menghadiri The Week of Islamic Law (Pekan Hukum Islam) itu, yang
terdiri dari para ahli perbandingan hukum, menyatakan bahwa (1)
Asas-asas Hukum Islam mempunyai nilai (tinggi) yang tidak dapat
dipertikaikan lagi. Di dalam keputusan lain dinyatakan pula bahwa (2)
dalam berbagai mazhab yang ada di dalam ling- kungan besar hukum
Pendahuluan, Islam, dan Hukum Islam 11

Islam terdapat kekayaan pemikiran hukum serta teknik yang


mengagumkan yang memberi ke- mungkinan kepada hukum Islam
untuk berkembang meme- nuhi semua kebutuhan dan penyesuaian
yang dituntut oleh kehidupanmodern (SaidRamadan, 1970:20).
Pertemuanilmiah mengenai hukum Islam, pada tahun tujuh puluhan
dan sesu- dahnya, telah pula diselenggarakan, di antaranya di Roma,
Paris, Genewa, dan Strasbourg.
Mengenai kedudukan dan peranan hukum Islam dalam
masyarakat Muslim, beberapa sarjana non-Muslim telah pula
mengemukakan pendapatnya. Tidak ada salahnya kalau pen- dapat
mereka itu disebutkan di sini. Menurut Rene David, Guru Besar Ilmu
Hukum dan Ekonomi Universitas Paris, tidak mungkin orang
memperoleh gambaran yang jelas mengenai Islam sebagai satu
kebulatan, kalau orang tidak mempelajari hukumnya (Rene David,
1966:386). Pendapat yang sama dikemukakan pula oleh Charles J.
Adams Profesor dan Direktur Islamic Studies Montreal, Canada.
Menurut Guru Besar Studi
Islam ini, hukum Islam merupakan subjek yang terpenting dalam
pengkajian Islam. Karena sifatnya yang menyeluruh, yang meliputi
semua bidang hidup dan kehidupan seorang Muslim, maka, berbeda
dengan cara mempelajari hukum- hukum lain, studi tentang hukum
Islam memerlukan pende- katan dan pemahaman khusus. Sebab,
katanya, yang termasuk ke dalam bidang hukum Islam itu bukan
hanya apa yang disebut dengan istilah law dalam sistem hukum Eropa,
tetapi juga tentang soal-soal lain di luar wilayah apa yang biasanya
dikatakan law itu. Orang-orang Islam sendiri, kata Charles J. Adams,
bukan saja telah memberikan kedudukan yang isti- mewa kepada
hukum Islam, tetapi juga telah mempelajarinya dengan saksama dan
telah berhasil pula merumuskannya menjadi garis-garis atau kaidah
hukum yang mengatur tingkah-laku manusia dalam segala bidang
hidup dan kehidupan (Charles J. Adams, 1965:316). Dalam
perkembangan sejarah, kata H.A.R. Gibb, seorang sarjana non-Muslim
lain, hukum Islam telah memegang perana yang sangat penting dalam
membentuk serta membina ketertiban sosial umat Islam dan
mempengaruhi segala segi kehidupannya. Karena ia memiliki
landasan-landasan keagamaan, katanya melanjut- kan, hukum Islam
telah berfungsi sebagai pengatur kehidupan rohani dan sekaligus pula
12 Hukum Islam

menjadi suara hati nurani umat Islam (H.A.R. Gibb, 1955:191).


Karena alasan itu pulalah, mungkin, seperti telah dike- mukakan
di atas, selain dari studi Islam, studi hukum Islam dilakukan juga di
berbagai perguruan tinggi di luar negara atau negeri yang
penduduknya beragama Islam. Sebagai disiplin ilmu yang berdiri
sendiri, namanya dapat dijumpai dalam daftar Kode Bidang atau
Disiplin Ilmu dan Teknologi
UNESCO (LIPI, 1973) di bawah judul Islamic Law dengan nomor kode:
5606.01.
Sebagai penutup uraian tentang hukum Islam dalam kurikulum
fakultas hukum ini, patut juga disebutkan, walaupun sepintas lalu,
peranan yang dilakukan oleh Christian Snouck Hurgronje, tokoh
orientalis yang disebutkan di atas, dalam menentukan kedudukan
Islam dan hukum Islam di Indonesia.
Sebagai Penasihat Pemerintah Hindia Belanda dalam bahasa
Timur dan hukum Islam, sejak bulan Maret tahun 1891 sampai ia
meninggal dunia pada tahun 1936, peranan yang dilakukannya besar
sekali. Melalui pengetahuan Islam yang dikuasainya ia telah berhasil
menyemaikan benih teori- resepsi (akan dijelaskan kemudian) dan
merumuskan Politik Islam (Islam Policy) yang dijalankan oleh
pemerintah Kolonial Belanda dahulu di Indonesia.
Tentang (1) peranan Snouck Hurgronje sebagai penyemai benih
teori resepsi yang kemudian ditumbuhkan dan dikem- bangkan oleh
van Vollenhoven dan B. ter Haar, dapat ditelusuri dalam tulisan-
tulisannya. Menurut (pendapat) Snouck, walaupun diterima dalam
teori, hukum Islam sering dilanggar dalam praktik. Dalam masyarakat
Islam, katanya, hukum Islam tidak berlaku; yang berlaku adalah
hukum adat. Ke dalam hukum adat memang telah masuk unsur-unsur
hukum Islam, tetapi hukum Islam yang berlaku dalam masyarakat
adat, bukan lagi hukum Islam karena telah menjadi hukum adat.
Karena itu, menurut Snouck Hurgronje, hukum Islam tidak perlu
dikodifikasikan karena selain pengkodifikasian hukum itu merupakan
sesuatu yang bid'ah (pembaruan agama Islam, tanpa berpedoman pada
Alquran dan Al-Hadis), juga akan menghambat berlakunya hukum
adat.
Dalam pidato pengukuhannya sebagai Guru Besar Hukum Islam
dan Lembaga-lembaga Islam di Universitas Indonesia, tanggal 20
Pendahuluan, Islam, dan Hukum Islam 13

April 1968, H.M. Rasjidi, menyoroti berbagai pokok pikiran Snouck


Hurgronje tentang Islam dan hukum Islam. Menurut H.M. Rasjidi,
dalam bidang Ethnographie (: sekarang disebut Antropologi) Snouck
Hurgronje mempunyai kepan- daian yang luar biasa. Ia pandai
menganalisis dan mengeva- luasi sesuatu keadaan. Tetapi, dalam
memahami Islam dan menganalisis hukum Islam, Snouck telah keliru
kalau tidak dapat dikatakan gagal. Kekeliruan Snouck Hurgronje itu
dipaparkan oleh H.M. Rasjidi dalam pidato pengukuhannya itu yang
kemudian diterbitkan menjadi buku dengan judul Islam dan Indonesia di
Zaman Modern (1968). Menurut H.M. Rasjidi, untuk mengurangi nilai
hukum Islam Snouck Hurgronje sengaja mengemukakan dalil bahwa
walaupun diterima dalam teori, hukum Islam sering dilanggar dalam
praktik. Terhadap dalil Snouck ini, H.M. Rasjidi berkata bahwa di
mana pun juga, termasuk di dalam negara kita, hukum itu diterima
dalam teori tetapi karena berbagai faktor sering dilanggar dalam
praktik, bukan saja oleh rakyat yang tidak mengetahui dan memahami
hukum tetapi juga oleh mereka yang menjadi penegaknya. Ini terjadi
dan berlaku untuk semua sistem hukum, tidak hanya di dalam hukum
Islam saja.
Tentang bid'ah yang dipergunakan oleh Snouck Hurgronje untuk
menguatkan keberatannya mengenai kodifikasi hukum Islam bagi
kepentingan umat Islam Indonesia, disoroti juga oleh H.M. Rasjidi.
Menurut Snouck Hurgronje kodifikasi (hukum Islam) adalah bid'ah (:
pembaruan). Setiap bid’ah, katanya, adalah kesesatan dan setiap
kesesatan akan menye- babkan manusia masuk neraka. Menurut H.M!
Rasjidi alasan
14 Hukum Islam

Snouck Hurgronje ini adalah lemah, karena tidak semua pembaruan


adalah bid'ah. Yang bid'ah adalah pembaruan dalam ibadah seperti
misalnya sembahyang atau salat subuh tiga rakaat.
Menurut penilaian H.M. Rasjidi, Snouck Hurgronje yang
meninggal dunia pada tahun 1936 itu, tampaknya tidak mempelajari
hasil karya penulis-penulis Muslim zaman ke- bangkitan kembali
(pemikiran) hukum Islam yang dipelopori oleh Ibnu Taimiyah dan
muridnya Ibnu Qayyim Al-Jauziyah pada abad ke-14 M, yang
dilanjutkan oleh Mohammad bin Abdul Wahab pada abad ke-18 M,
diteruskan lagi oleh Jamaluddin Al-Afghani pada abad ke-19 dan oleh
orang-orang yang hidup sezaman dengan Snouck Hurgronje sendiri
seperti Mohammad Abduh (m.d. 1905) dan Mohammad Rasyid Rida
(m.d. 1935) yang tumbuh dan kemudian berkembang. Yang
dipergunakannya sebagai bahan untuk mengenal dan menganalisis
hukum Islam adalah kitab-kitab fiqih yang ditulis di zaman
kemunduran Islam dahulu, yang memang banyak dipelajari di
pesantren dan madrasah-madrasah serta lembaga pendidikan Islam
lainnya pada abad ke-19 dan awal abad ke-20 ini. Berlainan dengan
pendapat Snouck Hurgronje yang menganjurkan mempergunakan
kitab-kitab fiqih, bukan Alquran dan As-Sunnah atau Al-Hadis, untuk
mem- peroleh pengertian tentang Islam dan masyarakat Islam, para
penganjur dan pemikir kebangkitan kembali hukum Islam yang hidup
sezaman dengan Snouck Hurgronje menganjurkan orang kembali
mempelajari Alquran dan As-Sunnah atau Al-Hadis untuk memahami
Islam dan memperoleh pengertian tentang masyarakat Islam yang
sebenarnya, tidak hanya
Pendahuluan, Islam, dan Hukum Islam 17 terpaku

pada kitab-kitab fiqih yang disebut dan menjadi bahan studi Snouck
Hurgronje itu.
Dari uraian tersebut di atas dapatlah disimpulkan bahwa
kekeliruan Snouck Hurgronje dalam memahami dan meng- analisis
hukum Islam disebabkan karena ia membaca buku- buku yang ditulis
di zaman kemunduran Islam dahulu. Di samping itu, sesuai dengan
kedudukannya sebagai Pena- sihat Pemerintah Kolonial Belanda, di
balik pendapat yang dikemukakannya itu, tentu ada tujuan-tujuan
tertentu yang hendak dicapainya, yaitu mengukuhkan kedudukan
pemerintah kolonial Belanda di bumi Indonesia yang penduduknya
mayoritas beragama Islam. Dalam hubungan ini, (2) sebagai perumus
Politik Islam (Islam Policy) yang dijalankan oleh Pemerintah Hindia
Belanda dahulu, dalam disertasinya yang berjudul The Crescent and the
Rising Sun (1958) yang telah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia
dengan nama Bulan Sabit dan Matahari Terbit (1980) H.J. Benda telah
menyoroti- nya secara luas dan mendalam. Politik Islam yang
disarankan oleh Snouck Hurgronje, diterima dan dilaksanakan oleh
pemerintah kolonial Belanda itu telah membawa pengaruh buruk
terhadap perkembangan Islam dan hukum Islam di Indonesia. Pokok-
pokok Politik Islam yang disusun oleh Snouck Hurgronje itu adalah
sebagai berikut:
1. Mengenai urusan ubudiyah (ibadah) yakni hubungan manusia
dengan Tuhan, pemerintah Hindia Belanda harus memberikan
kemerdekaan seluas-luasnya kepada orang- orang Islam Indonesia
untuk melakukannya. Menurut Snouck Hurgronje, potensial orang
Islam memang berbahaya bagi pemerintah jajahan. Potensi bahaya itu
baru benar-benar menjadi bahaya kalau kemerdekaan agama mereka
terganggu.
Kalau kemerdekaan agama itu tidak diganggu, tidak akan terjadi apa-
apa. Menurut Snouck, kalau orang Islam dilarang melakukan ibadah
agamanya, mereka akan menjadi sangat fanatik. Bahkan mungkin
mereka akan mengasingkan diri dari masyarakat biasa dan mendirikan
"perkumpulan tarikat" yang mengajarkan Perang Sabi!. Karena itu,
katanya, biarkan kaum Muslimin beribadah semerdeka-merdekanya.
Biarkan mereka sembahyang dan berpuasa dan jangan campuri urusan
salat Jumat mereka. Jangan sempitkan jalan mereka untuk pergi naik
haji ke Makkah, sehingga mereka benar-benar merasa merdeka dalam
urusan ubudiyah (ibadah) itu. Karena mereka merasa merdeka, mereka
akan lalai sendiri mengerjakannya, atau sekurang-kurangnya mereka
tidak merasa bahwa mereka diperintah oleh bangsa yang beragama
lain. Snouck Hurgronje mengingatkan pemerintahnya akan sebuah
dalil yang mengatakan bahwa "satu kerajaan mungkin saja tegak
dalam kekufuran, tetapi tidak mungkin tetap berdiri dalam
kezaliman."
2. Dalam urusan muamalah (kemasyarakatan), yakni mengenai
hubungan antara manusia dengan manusia lain dalam masyarakat,
pemerintah (Hindia) Belanda harus menghormati lembaga-lembaga
16 Hukum Islam

(hukum) yang telah ada, sambil membuka kesempatan kepada orang-


orang Islam untuk berjalan ber- angsur-angsur ke arah Belanda. Usaha
ini harus digalakkan, katanya. Menurut Snouck Hurgronje, roh Islam
mungkin saja akan bangkit, kalau orang Islam merasa diganggu
mengenai (hukum) perkawinan, kewarisan mereka dan yang berhu-
bungan dengan itu. Karena itu, katanya, hormatilah lembaga- lembaga
(hukum) mereka yang diletakkan di bawah penga- wasan kepala-
kepala (adat) dan raja-raja mereka sendiri.
Pendahuluan, Islam, dan Hukum Islam 19 Dengan

jalan begitu, demikian Snouck meneruskan nasihatnya, orang-orang


Islam akan merasa diperintah oleh hukum dan raja-raja mereka
sendiri. Dengan demikian tidak akan timbul cita-cita kenegaraan
dengan mendirikan pemerintahan secara Islam. Apalagi kalau
ditetapkan, sekurang-kurangnya dian- jurkan dengan cara setengah
resmi, agar dalam mengurus perkawinan, perceraian dan kewarisan
dipergunakan kitab- kitab yang tidak kemasukan pengaruh "modern"
yang menim- bulkan semangat. Dan, demikian Snouck Hurgronje
melan- jutkan nasihatnya, kalau anak-anak orang Islam (itu) diberi
lagi didikan Barat yang menjauhkan mereka dari agamanya, mereka
akan terlepas dari genggaman (unsur-unsur) Islam (geemancipeerd van het
Islam stelsel). Dengan demikian, besar harapan mereka akan menyatukan
perasaannya dengan golongan yang memerintah mereka dan akan
terjadilah 'satu asosiasi' hubungan peradaban, kebudayaan dan politik
antara yang memerintah (Belanda) dengan yang diperintah (Bumi-
putera). Bila asosiasi ini tercapai, tidak adalah lagi yang akan
menyusahkan pemerintah (Belanda). Dan manakala telah tercapai
hubungan yang rapat antara penduduk bumiputera dengan kecerdasan
Belanda, maka tidak adalah lagi yang akan disusahkan karena
'masalah kaum Muslimin' (di Hindia Belanda), kata Snouck
Hurgronje.
3. Urusan yang berhubungan dengan soal politik harus ditolak.
Pemerintah (Hindia Belanda) harus memberantas cita-cita yang
bersifat Pan-Islamisme yang hendak membukakan pintu bagi kekuatan-
kekuatan asing untuk mempengaruhi hubungan Pemerintah Belanda
dengan rakyatnya orang Timur. Oleh karena itu, kata Snouck, jagalah
agar jangan ada pengaruh luar yang masuk. Untuk mencegah itu
pemerintah harus mempergunakan seluruh aparat dan alat kekuasaan-
nya (M. Natsir, 1955: 186).
Demikianlah pokok-pokok pikiran Snouck Hurgronje mengenai
Islam, hukum Islam dan umat Islam Indonesia. Pokok-pokok pikiran
ini seperti disebutkan di atas, terkenal dengan Politik Islam atau Islam
Policy Pemerintah (Hindia) Belanda dalam mengendalikan dan
menghadapi umat Islam Indonesia, yang mempunyai pengaruh
terhadap perkem- bangan Islam dan hukum Islam di tanah air kita.
ISLAM
Sebelum kita berbicara tentang hukum Islam yang menjadi pusat
perhatian kajian ini, kita harus memahami terlebih dahulu makna Islam
(sebagai agama) yang menjadi induk atau sumber hukum Islam itu
sendiri. Sebabnya adalah karena berbeda dengan hukum Eropa yang
memisahkan iman atau agama dari hukum, hukum dari kesusilaan,
dalam sistem hukum Islam pemisahan yang demikian tidak mungkin
dilakukan karena selain hukum Islam itu bersumber dari agama Islam,
juga dalam sistem ajaran Islam, hukum adalah bagian yang tidak dapat
dipisahkan dari iman atau agama dalam arti sempit seperti dipahami
dalam sistem hukum Eropa. Dalam sistem hukum Islam, selain dengan
agama atau iman, hukum juga tidak boleh dicerai pisahkan dari
kesusilaan atau akhlak. Sebabnya adalah karena ketiga komponen inti
ajaran Islam itu, yakni iman atau agama dalam arti sempit, hukum dan
akhlak atau kesusilaan merupakan satu rangkaian kesatuan yang
membentuk agama Islam. Agama Islam tanpa hukum dan kesusilaan,
bukanlah agama Islam. Sementara itu perkataan Islam yang ada di
belakang
Pendahuluan, Islam, dan Hukum Islam 21 kata agama

itu perlu dijelaskan lebih dahulu. Arti perkataan agamanya akan


menyusul kemudian.
Perkataan Islam terdapat dalam Alquran, kata benda yang berasal
dari kata kerja salima. Akarnya adalah sin lam mim:s-l-m. Dari akar kata
ini terbentuk kata-kata salm, silm, dan seba- gainya. Arti yang
dikandung perkataan Islam adalah kedamai- an, kesejahteraan,
keselamatan, penyerahan (diri) dan kepa- tuhan. Dari kata salm
tersebut, timbul ungkapan assalamu- 'alaikum yang telah membudaya
dalam masyarakat Indonesia. Artinya semoga Anda selamat, damai,
sejahtera.
18 Hukum Islam

Orang yang secara bebas telah memilih untuk patuh dalam makna
menyesuaikan kehendaknya dengan kehendak Allah disebut Muslim.
Seorang Muslim adalah orang yang menerima petunjuk Tuhan dan
menyerahkan diri untuk mengikuti kemauan Ilahi. Artinya seorang
Muslim adalah orang yang melalui penggunaan 'akal dan
kebebasannya,' menerima dan mematuhi kehendak atau petunjuk
Tuhan (S.H. Nasr, 1981:11). Pengertian ini berlaku juga untuk semua
manusia yang menerima dan patuh pada ketentuan Tuhan yang disam-
paikan kepada umat manusia melalui para Nabi dan Rasul- Nya.
Dalam makna yang lebih luas, penamaan Muslim dapat pula diberikan
kepada semua makhluk yang menerima adanya ketentuan atau hukum
Tuhan dan tunduk kepada hukum-hukum Tuhan yang tidak terbantah
itu. Hukum- hukum Tuhan disebut di dunia Barat dengan istilah natural
law atau hukum alam (S.H. Nasr, 1981:12). Di dalam ajaran Islam, apa
yang disebut dengan natural law di dunia Barat itu dinamakan
sunnatullah. Sunnatullah adalah ketentuan atau hukum-hukum Allah yang
berlaku untuk alam semesta. Sunnatullah yang mengatur alam semesta
itulah yang menyebabkan ketertiban hubungan antara benda-benda
yang ada di alam raya ini. Di dalam Alquran banyak ayat yang
menunjukkan ada dan berlakunya sunnatullah atas alam semesta,
termasuk manusia di dalamnya.
Untuk memahami dan menerima sunnatullah, manusia telah
dipersiapkan Tuhan sendiri dengan berbagai bekal agar ia dapat
menentukan posisinya di alam semesta ini. Di antara perbekalan yang
diberikan Tuhan kepada manusia, yang paling berharga adalah
akalnya. Akal pulalah yang membeda- kan manusia dengan makhluk-
makhluk Tuhan lainnya. Dengan akalnya manusia dapat terangkat ke
derajat yang setinggi- tingginya, tetapi dengan mempergunakan
akalnya juga manusia dapat jatuh ke tingkat yang serendah-rendahnya.
Dengan akalnya manusia bisa menjadi Muslim, dengan akalnya pula
manusia dapat tidak tunduk kepada sunnatullah. Sesungguhnya,
demikian S.H. Nasr, segala sesuatu yang ada di alam semesta adalah
"Muslim", kecuali manusia yang dengan akal dan kebebasan yang
diberikan Tuhan kepadanya dapat menolak untuk menyesuaikan diri
dengan kehendak Tuhan. Tumbuh-tumbuhan, misalnya, akan tetap
menjadi tumbuh-tumbuhan sesuai dengan "hukum alam". Hewan akan
tetap menjadi hewan, sesuai dengan sunnatullah. Hanya manusia yang
dapat menjadi tidak Muslim dalam pengertian ini. Makhluk-makhluk
lain akan tetap Muslim dalam arti yang serupa, karena tunduk secara
mutlak kepada kehendak- Nya yang dinyatakan dalam hukum alam
atau sunnatullah itu (S.H. Nasr, 1981:12).
Sejak diturunkan, Islam terus-menerus berdasarkan dan
memusatkan perhatiannya kepada Tuhan. Ia didasarkan pada tauhid
(keesaan T uhan) .Islam sebagai agama yang berdasarkan
Pendahuluan, Islam, dan Hukum Islam 23 tauhid
(keesaan-kesatupaduan), tidak pernah memisahkan antara hal-hal yang
disebut spiritual (kerohanian) dan material (kebendaan), religious
(keagamaan) dengan profan (keduniaan) di dalam segala bidang. Di
dalam bahasa Islam (juga dalam bahasa Arab), karena itu, tidak ada
kata yang semakna dengan kata sekular seperti yang terdapat di dunia
Barat. Ini merupakan suatu petunjuk bahwa konsep sekular tidak ada
dalam Islam. Islam mengajarkan suatu jalan hidup yang menyeluruh,
yang tidak mengecualikan apa pun juga (S.H. Nasr, 1981:14).
Istilah sekular yang menjadi inti kata sekularisme dan sekularisasi itu
berasal dari bahasa Latin saeculum yang mempu- nyai dua pengertian,
yakni pengertian waktu dan pengertian lokasi. Pengertian waktu
menunjuk kepada sekarang atau kini, pengertian lokasi menunjuk pada
duniawi. Di antara kedua pengertian itu, tekanan makna sekular
diletakkan pada waktu atau periode tertentu di dunia yang dipandang
sebagai suatu proses sejarah (M. Al-Naquib Al-Attas, 1981:19).
Dari kata saeculum itu lahir istilah secularism pada tahun 1851.
Pada permulaan pertumbuhannya, sekularisme merupakan nama suatu
sistem etika dan filsafat yang bertujuan memberi interpretasi atau
pengaturan terhadap kehidupan manusia (1) tanpa kepercayaan atau
keyakinan kepada Tuhan,
(2) tidak mempercayai kitab-kitab suci dan (3) tidak percaya pada
hari akhir atau hari kiamat (H.M. Rasjidi, 1972:17). Ini berarti bahwa
sekularisme adalah paham atau aliran dalam filsafat yang secara sadar
menolak peranan Tuhan dan wahyu atau agama dalam mengatur hidup
dan kehidupan manusia dan memusatkan perhatiannya semata-mata
pada masalah dunia. Oleh karena itu, dalam kehidupan masyarakat
dan negara, menurut paham ini, diselenggarakan proses sekulari- sasi
yakni proses pembebasan manusia, pertama dari agama dan kedua dari
metafisika, yaitu ilmu yang mempelajari berbagai masalah
20 Hukum Islam

fundamental tentang pengetahuan dan kenyataan nonfisik, di


antaranya masalah eksistensi sesuatu yang disebut ketuhanan. Proses
sekularisasi itu menyangkut segala aspek kehidupan.
Sekularisme kini telah menjadi suatu ideologi. Sebagai ideologi
ia mengembangkan sistem nilai sendiri yang diang- gapnya benar
mutlak dan final. Dalam bentuknya sekarang, sekularisme ada dua.
Yang pertama seperti yang berkembang di Eropa Barat dan Amerika
juga di negara-negara ketiga. Sekularisme di bagian dunia ini, secara
formal (resmi) masih tetap membiarkan pengakuan tentang adanya
Tuhan, tetapi hukum-hukum Tuhan atau moral yang berasal dari
agama tidak boleh dipergunakan untuk mengatur hidup dan kehidupan
manusia dan masyarakat. Yang dipergunakan untuk mengatur
kehidupan manusia dalam masyarakat hanyalah akal manusia saja,
tanpa wahyu atau ajaran agama. Menurut paham sekular, manusia itu
bebas, mandiri dan mempunyai otonomi, lepas dari ketergantungan
pada Tuhan dan ajaran agama. Dalam lapangan politik
(ketatanegaraan) menurut paham ini, agama harus dipisahkan dari
negara. Yang dimaksud dengan agama, dalam hubungan ini, adalah
organisasi yang menyelenggarakan kehidupan keagamaan dalam
masyarakat Eropa dan Amerika, yaitu gereja. Kekuasaan gereja harus
dipisahkan dari kekuasaan negara. Kekuasaan gereja (hanya boleh)
mengurus soal-soal rohani manusia saja yang tercakup dalam istilah
religion atau agama menurut ajaran Nasrani, sedang soal-soal duniawi
yakni soal-soal sekular diatur oleh
Pendahuluan, Islam, dan Hukum Islam 21

negara. Agama harus dipisahkan dari kehidupan dunia. Menurut


paham sekular atau sekularisme, dalam kehidupan masyarakat dan
negara, seperti telah disinggung di atas, harus diadakan proses
sekularisasi yang meliputi segala aspek kehidupan politik, hukum,
sosial budaya, dan sebagainya. Dalam masyarakat sekular, negara
hanya mengurus soal-soal duniawi saja, soal-soal kehidupan
kebendaan manusia sekarang ini saja.
Sekularisme bentuk kedua kita jumpai di Rusia, Tiongkok dan
negara-negara yang berada di bawah kekuasaan komu- nisme (dulu
dan sekarang) yang didasarkan pada materialis- me kesejarahan. Di
bagian dunia ini sekularisme itu menam- pakkan dirinya dalam bentuk
ateisme, yakni paham yang mengingkari adanya Tuhan. Kalau Tuhan
tidak diakui, ajaran- Nya pun tidak boleh sama sekali mengatur hidup
dan kehidupan manusia. Untuk kepentingan politik luar negerinya dan
sekadar secara formal menghormati hak manusia yang mau juga
bertuhan, dalam UUD negara-negara komunis itu, disebut juga tentang
kemerdekaan beragama, tetapi segera disusul dengan rumusan bahwa
negara melindungi kegiatan propaganda antiagama. Dan, biasanya
yang dimenangkan adalah kegiatan antiagama, karena kegiatan
tersebut digerakkan oleh alat kekuasaan negara sendiri. Contohnya
dapat dilihat pada Konstitusi Uni Soviet (dahulu).
Negara Republik Indonesia bukan negara sekular dan bukan pula
negara agama, yaitu negara yang didasarkan pada agama tertentu.
Republik Indonesia, menurut Pasal 29 ayat (1) UUD 1945, adalah
negara yang berdasarkan atas Ketuhan- an Yang Maha Esa. Ketuhanan
Yang Maha Esa adalah sila pertama dan terutama Pancasila yang
menjadi dasar negara kita.
Menurut Ketetapan MPR Nomor II/MPR/1978 salah-satu wujud
pengamalan sila Ketuhanan Yang Maha Esa itu adalah, "Percaya dan
takwa kepada Tuhan Yang Maha Esa sesuai dengan agama dan
kepercayaannya masing-masing menurut dasar kemanusiaan yang adil
dan beradab." Menurut ajaran agama Islam, percaya kepada Tuhan
Yang Maha Esa berarti mengakui dan meyakini Kemahaesaan Allah
mengatur hidup dan kehidupan alam semesta termasuk manusia di
dalamnya. Pengaturan itu dilakukan-Nya melalui hukum-hukum-Nya
baik yang tertera dalam wahyu (syariah) maupun yang terdapat dalam
alam semesta (sunnatullah). Dan takwa kepada Tuhan Yang Maha
22 Hukum Islam

Esa, menurut ajaran Islam, tidak hanya berarti takut kepada Allah,
tetapi juga aktif membina dan memelihara berbagai hubungan yang
ada dalam kehidupan manusia. Hubungan-hubungan itu adalah (1)
hubungan manusia dengan Allah, Tuhan Yang Maha Esa, (2)
hubungan manusia dengan dirinya sendiri, (3) hubungan manusia
dengan manusia lain dalam masyarakat, dan (4) hubungan manusia
dengan lingkungan hidupnya. Keempat-empat tata hubungan ini harus
dikembangkan secara seimbang, baik, dan benar.
Hubungan (1) manusia dengan Allah, menurut ajaran Ketuhanan
Yang Maha Esa merupakan prima causa (sebab utama) hubungan-
hubungan yang lain. Oleh karena itu pula, pemeliharaan hubungan ini
harus diutamakan oleh manusia dan dikembangkan sebaik-baiknya.
Caranya adalah dengan melaksanakan perintah dan menjauhi semua
larangan-Nya. Ini dapat dilakukan, misalnya, dengan beribadah
kepada- Nya: melakukan salat, mengeluarkan zakat, berpuasa selama
bulan Ramadan dan menunaikan ibadah haji, menjauhi perzinaan,
penipuan, pembunuhan, memakan riba dan sebagainya. Dengan
melaksanakan perintah dan menjauhi larangan- larangan-Nya manusia
akan terkendali dalam hidupnya. Ia tidak, sekurang-kurangnya
enggan, melakukan kejahatan ter- hadap dirinya sendiri, terhadap
masyarakat dan lingkungan hidupnya. Hubungan (2) manusia dengan
dirinya sendiri dapat dipelihara antara lain dengan berlaku jujur, adil,
ikhlas, berani, sabar dan pemaaf. Hubungan (3) manusia dengan
manusia lain dalam kehidupan sosial dapat dipelihara dan
dikembangkan dengan antara lain, menghargai nilai dan menaati
norma yang berlaku dalam masyarakat, tolong- menolong, menepati
janji, menegakkan keadilan dan berlaku adil terhadap diri sendiri dan
orang lain. Hubungan (4) manusia dengan lingkungan hidupnya dapat
dikembangkan antara lain dengan memelihara dan menyayangi
binatang, tumbuh- tumbuhan, tanah, air dan udara serta semua isi
alam semesta yang sengaja diciptakan Allah untuk kepentingan
manusia dan makhluk lainnya. Keempat hubungan takwa itu harus
dilaksanakan dengan sebaik-baiknya agar tumbuh dan berkembang
'empat kesadaran tanggung jawab' dalam diri manusia. Tanggung
jawab tersebut adalah (1) tanggung jawab terhadap Allah, Tuhan
Yang Maha Esa, (2) tanggung jawab kepada hati nurani sendiri, (3)
tanggung jawab kepada manusia lain, dan (4) tanggung jawab untuk
Pendahuluan, Islam, dan Hukum Islam 23

memelihara lingkungan hidup. Keempat harus berkembang secara


berim- bang, sesuai dengan pola takwa tersebut di atas yang menem-
patkan tanggung jawab kepada Allah sebagai yang pertama dan
terakhir dari tanggung jawab yang harus disadari dan karena itu
dikembangkan oleh manusia.
Berbicara soal tanggung jawab dalam kerangka takwa dan
Ketuhanan Yang Maha Esa, seperti yang telah disinggung di atas, ada
baiknya kalau kita ikuti pula pendapat Dr. Mohammad Hatta salah
seorang penyusun dan perumus Undang-Undang Dasar 1945. Menurut
beliau Ketuhanan Yang Maha Esa yang menjadi sila pertama
Pancasila itu adalah "dasar yang memimpinr cita-cita kenegaraan kita
untuk menyelenggara- J

kan segala yang baik bagi rakyat dan masyarakat." Selanjut- nya, kata
beliau dalam bukunya Pengertian Pancasila (1978), "Pengakuan kepada
dasar Ketuhanan Yang Maha Esa (itu) mengajak manusia
melaksanakan harmoni di dalam alam (yang) dilakukan terutama
dengan jalan memupuk persaha- batan dan persaudaraan antara
manusia dan bangsa. Pengakuan itu mewajibkan manusia di dalam
hidupnya membela kebenaran dengan kelanjutannya menentang segala
yang dusta. Pengakuan itu mewajibkan manusia di dalam hidupnya
membela keadilan dengan kelanjutannya menentang atau mencegah
kezaliman. Pengakuan itu mewajibkan manusia di dalam hidupnya
berbuat baik, dengan kelanjutannya memperbaiki kesalahan.
Pengakuan itu mewajibkan manusia di dalam hidupnya bersifat jujur
dengan kelanjutannya mem- basmi kecurangan. Pengakuan itu
mewajibkan manusia berlaku suci dengan kelanjutannya menentang
segala yang kotor baik perkataan maupun keadaan. Pengakuan itu
mewajibkan manusia di dalam hidupnya menikmati keindahan dengan
kelanjutannya melenyapkan segala yang buruk." Semua sifat-sifat itu,
kata Bung Hatta, wajib diamalkan karena kita mengakui dan
berpegang kepada dasar Ketuhanan Yang Maha Esa. Menerima
bimbingan Zat yang se- sempurna-sempurnanya, kata Bung Hatta pada
kesimpulan akhir uraiannya tentang Ketuhanan Yang Maha Esa, akan
memperkuat pembentukan karakter yang melahirkan manusia yang
mempunyai rasa tanggung jawab terhadap dirinya sendiri, masyarakat
dan Tuhan yang menciptakannya."
Kendatipun dalam sistematika tanggung jawab manusia menurut
24 Hukum Islam

Bung Hatta ini berbeda dengan sistematik urutan tanggung jawab


manusia seperti yang diuraikan di atas, namun kalau dikaji dengan
teliti tidak terdapat perbedaan yang asasi dalam kedua sistematik itu.
Yang berlainan hanya- lah soal penempatannya saja. Yang pertama
meletakkam pertang- gungjawaban manusia kepada Allah sebagai
yang pertama karena ia merupakan prima causa tanggung jawab lainnya,
yang kedua menempatkannya pada yang terakhir, sebagai puncak
tanggung jawab manusia.
Dicantumkannya dasar Ketuhanan Yang Maha Esa di dalam
pembukaan dan batang tubuh Undang-Undang Dasar 1945
mengandung makna bahwa para penyusun Undang-Undang Dasar
1945 dan pembentuk negara kita dahulu meyakini dan mengakui
kepercayaan bangsa Indonesia kepada Tuhan Yang Maha Esa. Dalam
penjelasannya dikatakan bahwa Pasal 29 ayat (1) UUD 1945 itu
menyatakan kepercayaan bangsa Indonesia terhadap Tuhan Yang
Maha Esa. Karena pernyataan itu dicantumkan dalam bab agama,
artinya adalah bahwa kepercayaan dimaksud adalah kepercayaan
agama yang dianut oleh bangsa Indonesia. H.A. Salim, salah seorang
perancang Undang-Undang Dasar 1945 dalam tulisannya Ketuhanan
Yang Maha Esa (1953, diterbitkan kembali 1977) yang telah disebut di
atas, menegaskan hal itu dengan kata- kata, "Saya ingat betul-betul
bahwa di masa itu (maksudnya pada tahun 1945:MDA) tidak ada di
antara kita seorang pun yang ragu-ragu bahwa dengan pokok dasar
Ketuhanan Yang
Maha Esa itu kita maksudkan (adalah) "akidah, kepercayaan agama."
Hal ini semakin jelas kalau perkataan Ketuhanan Yang Maha Esa
dalam Pasal 29 ayat (1) UUD 1945 itu dihu- bungkan dengan ayat (2)-
nya yang berbunyi, "Negara men- jamin kemerdekaan tiap-tiap
penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk
beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu."
Kalau kita perhatikan komposisi pemeluk agama di Indonesia
segera kita memperoleh kenyataan bahwa sebagian besar penduduk
Indonesia beragama Islam. Agama Islam yang dipeluk oleh mayoritas
penduduk Indonesia itu adalah induk atau asal hukum Islam. Dengan
kata lain, hukum Islam adalah bagian agama Islam. Keadaan unik
(lain dari yang lain, ter- sendiri dalam jenisnya) inilah yang
membedakan agama Islam dari agama-agama lain di tanah air kita.
Pendahuluan, Islam, dan Hukum Islam 25

Keadaan ini dengan tepat dirumuskan oleh seorang orientalis


terkemuka Christian Snouck Hurgronje, dengan kata-kata, Islam is a
religion of law in the full meaning of the word. Artinya, lebih kurang, Islam
adalah agama hukum dalam arti kata yang sebenarnya. Ini berarti
bahwa selain agama Islam mengandung norma-norma hukum baik
kaidah-kaidah hukum yang mengatur hubungan manusia dengan Allah,
Tuhan Yang Maha Esa yang sepenuhnya dapat dilaksanakan oleh
pemeluk agama Islam secara pribadi maupun kaidah-kaidah hukum
yang mengatur hubungan manusia dengan manusia lain dan benda
dalam kehidupan masyarakat yang memerlukan bantuan
penyelenggara negara untuk dapat dilaksanakan oleh pemeluk agama
Islam dengan sem- purna, juga bermakna bahwa agama Islam dan
hukum Islam tidak dapat diceraipisahkan. Dalam hubungan ini ada
baik- nya dikemukakan bahwa perkataan agama Islam dalam tulisan
ini adalah padanan din al Islam (baca: dinul Islam) dalam bahasa Arab
yang sistem dan ruang-lingkupnya berbeda jika diban- dingkan dengan
agama Hindu dan Budha yang mendahuluinya dan agama Nasrani
yang menyusulnya kemudian datang ke Nusantara ini. Agama Hindu
dan Budha yang digolongkan oleh para ahli sebagai agama budaya
diselenggarakan berdasarkan ajaran dan tradisi atau kebiasaan yang
berkembang dalam agama itu. Agama Islam yang diklasifikasikan oleh
para ahli sebagai agama wahyu bersama dengan agama Yahudi dan
Nasrani mempunyai ruang-lingkup dan sistem ajaran yang berbeda
dengan agama wahyu yang lain itu. Agama Islam sebagai agama
wahyu terakhir mengandung ajaran yang merupakan satu sistem,
terdiri dari akidah (iman, keyakinan), syariah (hukum) dan akhlak
(moral) yang mengatur segala tingkah-laku manusia dalam berbagai
hubungan, baik hubungan manusia dengan Tuharmya maupun
hubungan manusia dengan dirinya sendiri, masyarakat, benda atau
makhluk lainnya. Kerangka dasar dan ruang-lingkup ajaran inilah
yang membedakan secara mendasar agama Islam dengan agama
Nasrani, misalnya.
Istilah religion yang berasal dari kata religio dalam bahasa Latin
yang erat hubungannya dengan ajaran Nasrani, menunjuk- kan ruang-
lingkup agama itu yang mengatur hubungan tetap antara rnanusia
dengan Tuhan saja. Perkataan religion, yang sekarang diindonesiakan
menjadi religi yang diartikan sebagai sistem kepercayaan dalam
26 Hukum Islam

masyarakat, dipergunakan oleh para intelektual kita terutama para


ahli antropologi dan sosiologi yang dipengaruhi oleh pandangan Barat
untuk semua agama. Bagi sebagian besar orang Barat, terutama bagi
penganut sekularisme, seperti telah disinggung di atas, me- mang,
religion, kalau mereka akui eksistensinya, hanyalah mengatur
hubungan antara manusia dengan Tuhan belaka. Menurut ajaran
Islam, istilah din yang tercantum dalam Alquran (5:3) tidak hanya
mengandung pengertian penga- turan hubungan manusia dengan
Tuhan saja (bersifat vertikal) tetapi juga mengandung pengaturan
hubungan manusia dengan manusia lain dalam masyarakat dan alam
lingkungan hidupnya (yang bersifat horizontal). Kedua tata hubungan
ini merupakan komponen yang berjalan dan berjalin dalam sistem
ajaran Islam.

Kerangka Dasar Agama dan Ajaran Islam


Ruang-lingkup agama dan ajaran Islam tersebut didukung dan
jelas kelihatan pada kerangka dasarnya. Oleh karena itu, ada baiknya
kalau kerangka dasar agama dan ajaran Islam dijelaskan pula di sini.
Yang penting dipahami ialah agama Islam bersumber dari wahyu
(Alquran) dan sunnah (Al- Hadis), Ajaran Islam bersumber dari ra'yu
(akal pikiran) manusia melalui ijtihad. Ajaran Islam adalah penjelasan
agama Islam.
Dengan mengikuti sistematik Iman, Islam, dan Ikhsan yang
berasal dari hadis Nabi Muhammad, kerangka dasar agama Islam,
seperti telah disinggung di atas, terdiri dari (1) akidah, (2) syariah dan
(3) akhlak. Pada komponen syariah dan akhlak ruang-lingkupnya jelas
mengenai ibadah, mua- malah dan sikap terhadap Khalik (Allah) serta
makhluk. Pada komponen akidah, ruang-lingkup itu akan tampak pula
jika dihubungkan dengan iman kepada Allah dan para Nabi serta
Rasul-Nya.
Yangdimaksud dengan (I) akidah, secaraetimologis (menurut ilmu
bahasa yang menyelidiki asal-usul kata serta perubahan-perubahan
dalam bentuk dan makna) adalah ikatan, sangkutan. Dalam pengertian
teknis makna akidah adalah iman, keyakinan yang menjadi pegangan
hidup setiap pemeluk agama Islam. Akidah, karena itu, selalu
ditautkan dengan rukun iman atau arkanul iman yang merupakan asas
seluruh ajaran Islam.
Pendahuluan, Islam, dan Hukum Islam 27

Pembahasan tentang akidah dilakukan oleh ilmu ter- sendiri yang


disebut 'ilmu kalam' (ajaran Islam) yakni ilmu yang membahas dan
menjelaskan tentang kalam Ilahi (mengenai akidah), atau 'ilmu tauhid'
karena membahas tentang keesaan Allah (tauhid) atau 'usuluddin'
karena membahas dan memperjelas asas agama Islam (lihat Lampiran
2).
Akidah Islam sebagaimana yang tercantum dalam Alquran dan
Al-Hadis yang memuat Sunnah Nabi Muhammad perlu dirinci lebih
lanjut oleh orang yang memenuhi syarat agar dapat dijadikan
pegangan oleh umat Islam. Dalam sejarah Islam yang sudah berjalan
selama empat belas abad ini, para ahli yang memenuhi syarat yaitu
para ulama (orang-orang yang berilmu) telah berusaha memahami,
mendalami, menafsirkan dan membahas akidah Islam dengan ilmu
Kalam. Menurut Ibnu Khaldun, ilmu kalam adalah ilmu yang
membahas akidah untuk mempertahankan iman dengan
mempergunakan akal pikiran (Gazalba, 1975:213). Hasil pemahaman,
pendalaman, penafsiran serta perincian mereka tentang akidah, karena
hasil pemikiran manusia mem- punyai kecenderungan berbeda-beda
yang menimbulkan aliran-aliran atau mazhab-mazhab dengan nama
tertentu di kalangan umat Islam. Aliran-aliran ilmu kalam (kini orang
sering mempergunakan istilah teologi) di lapangan akidah, ada
beberapa. Yang terpenting, karena banyak penganutnya, adalah Ahlus-
sunnah wal jama'ah atau Sunni (yang dianut oleh mayoritas umat Islam di
seluruh dunia, termasuk Indonesia) dan Syi'ah atau Syi'i (yang dianut di
Iran, misalnya).
Yang dimaksud dengan (2) syariah, dalam pengertian eti- mologis
adalah jalan yang harus ditempuh (oleh setiap umat Islam). Dalam arti
teknis, syariah adalah seperangkat norma Ilahi yang mengatur
hubungan manusia dengan Allah, hubungan manusia dengan manusia
lain dalam kehidupan sosial, hubungan manusia dengan benda dan
alam lingkungan hidupnya. Norma Ilahi yang mengatur tata hubungan
itu berupa (a) 'kaidah ibadah' dalam arti khusus atau yang disebut juga
kaidah ibadah murni, mengatur cara dan upacara hubungan langsung
manusia dengan Tuhan, dan (b) 'kaidah muamalah' (t) yang mengatur
hubungan manusia dengan manusia lain dan benda dalam masyarakat.
Pembahasan mengenai (a) 'kaidah-kaidah ibadah' berkisar sekitar
bersuci (taharah) dan rukun Islam atau arkanul Islam yakni salat, zakat,
28 Hukum Islam

saum atau puasa dan haji. Rukun Islam yang pertama yakni syahadat
(ikrar keyakinan) tidak dibahas dalam kitab yang membicarakan
kaidah-kaidah salat, zakat, saum dan haji, karena isinya merupakan
pernyataan keyakinan kepada Allah, Tuhan Yang Maha Esa dan
Muhammad sebagai Rasul-Nya. Soal ikrar keyakinan ini dibahas
dalam ilmu tentang keyakinan kepada Tuhan Yang Maha Esa yang
disebut ilmu kalam di atas. Kaidah-kaidah ibadah ini terdapat dalam
Alquran, dirinci dan diperjelas oleh Sunnah Nabi Muhammad.
Kaidah 'ibadah' (t), yakni norma yang mengatur cara dan tata cara
manusia berhubungan langsung dengan Tuhan, tidak boleh ditambah-
tambah atau dikurangi. Sebabnya karena tata hubungan dengan Tuhan
itu tetap, tidak boleh diubah- ubah. Ketentuannya telah pasti
ditetapkan oleh Allah sendiri dan dijelaskan kemudian secara rinci
oleh Rasul-Nya. Karena sifatnya 'tertutup,' dalam bidang ibadah
berlaku asas umum, yakni semua perbuatan ibadah dilarang dilakukan
kecuali kalau untuk perbuatan itu telah ada patokan yang ditetapkan
oleh Allah dari dicontohkan oleh Rasul-Nya. Kalau asas ini
dihubungkan dengan lima kaidah dalam sistem hukum Islam, 'kaidah
asal' ibadah, adalah larangan atau 'haram.' Artinya segala sesuatu yang
berada dalam ruang-lingkup ibadah khusus atau ibadah murni pada
dasarnya dilarang dilakukan, kecuali (seperti telah disebutkan di atas)
untuk hai-hal atau perbuatan itu telah ada perintah Allah yang
pelaksanaannya dicontohkan oleh Rasul-Nya. Dengan demikian, di
lapangan ibadah tidak mungkin ada pembaruan ( bid,'ah) atau apa yang
disebut modernisasi, yaitu proses yang membawa peru- bahan
(penambahan atau pengurangan) dan perombakan mengenai kaidah,
susunan, cara dan tata cara beribadah sesuai dengan perkembangan
zaman. Yang mungkin ada hanyalah penggunaan alat-alat modern
dalam pelaksanaannya.
Tentang (b) 'kaidah-kaidah muamalah' (t) hanya pokok- pokoknya
saja yang ditentukan dalam Alquran dan Sunnah Nab ; Muhammad.
Perinciannya 'terbuka' bagi akal manusia yang memenuhi syarat untuk
'berijtihad' (berusaha sungguh- sungguh dengan mempergunakan
seluruh kemampuan) mengaturnya lebih lanjut dan menentukan
kaidahnya menurut ruang dan waktu. Karena itu pula mengenai
hubungan
sosial manusia kaidahnya dapat saja berubah dan diadakan perubahan
melalui, misalnya, penafsiran (interpretasi) yang perumusannya
disesuaikan dengan masa dan tempat tertentu. Sebagai contoh dapat
dikemukakan misalnya mengenai (perubahan) kaidah yang
membolehkan seorang laki-laki beristri lebih dari seorang yang
tercantum dalam Alquran surat Al- Nisa' (4) ayat 3 dihubungkan
dengan ayat 129 surat yang sama, yang kini dapat dibaca dalam semua
undang-undang perkawinan umat Islam. Di Indonesia perubahan
kaidah itu dapat dilihat misalnya di dalam Pasal 3 dan 4 Undang-
Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1974 tentang
perkawinan, yang menentukan syarat-syarat yang harus dipenuhi oleh
seorang laki-laki kalau ia hendak beristri lebih dari seorang.
Ketetapan Allah yang langsung berhubungan dengan kehidupan
masyarakat (bidang muamalah) ini terbatas pada yang pokok-pokok
saja. Penjelasan Nabi, kalaupun ada, tidak pula terinci seperti dalam
bidang ibadah. Karena itu, seperti telah disinggung di atas, sifatnya
terbuka untuk dikembangkan melalui ijtihad manusia yang memenuhi
syarat untuk pengembangan itu. Karena sifatnya yang demikian,
dalam bidang muamalah, berlaku asas umum yaitu pada dasarnya
semua perbuatan 'boleh' dilakukan, kecuali kalau tentang perbuatan
itu telah ada larangan dalam Alquran dan Sunnah Nabi Muhammad.
Untuk menyebut sekadar contoh, misalnya, kaidah larangan
membunuh, mencuri, merampok, berzina, menuduh orang lain
melakukan perzinaan, meminum minuman yang memabukkan,
memakan riba (QS 2: 178-179, 5:39, 5:33, 24:4, 2:219, 3:130), dan
sebagainya.
Dengan demikian, 'kaidah asal' muamalah adalah kebo- lehan
(ja'iz atau ibahah). Artinya, semua perbuatan yang
Pendahuluan, Islam, dan Hukum Islam 37 termasuk

ke dalam kategori muamalah, boleh saja dilakukan asal saja tidak ada
larangan melakukan perbuatan itu. Karena sifatnya demikian, kecuali
mengenai yang dilarang itu, kaidah- kaidahnya dapat berubah sesuai
dengan perubahan zaman. Dalam bidang ini dapat saja dilakukan
pembaruan atau modernisasi, asal saja modernisasi atau pembaruan itu
sesuai, atau, sekurang-kurangnya, tidak bertentangan dengan jiwa
ajaran (agama) Islam pada umumnya.
Sekadar mengikuti pembagian hukum perdata dan hukum publik
30 Hukum Islam
seperti yang diajarkan di Fakultas Hukum di tanah air kita, kaidah-
kaidah muamalah ini dapat dibagi ke dalam dua bagian besar, yakni
(1) kaidah yang mengatur hubungan perdata, misalnya hukum-hukum,
(a) munakahat: hukum perkawinan, (b) wirasah: hukum kewarisan, (c)
dan lain-lain; (2) kaidah-kaidah yang mengatur hubungan publik,
misalnya hukum-hukum (a) jinayat: hukum pidana, (b) khilafah atau al-
ahkam as-sulthaniyah: hukum ketatanegaraan, (c) siyar: hukum
internasional, (d) dan sebagainya; serta (e) mukha- samat: hukum acara.
Sebagaimana halnya dengan lapangan akidah di atas, di lapangan
syariah, baik ibadah maupun muamalah ini pun berkembang satu ilmu
yang khusus memahami, mendalami dan merinci syariah agar dapat
menjadi pegangan (norma) hidup manusia Muslim baik sebagai
manusia pribadi maupun sebagai anggota kehidupan sosial. Ilmu
tersebut dinamakan 'ilmu fiqih' (ajaran Islam) yaitu ilmu khusus
memahami, mendalami syariah untuk dapat dirumuskan menjadi
kaidah konkret yang dapat dilaksanakan dalam masyarakat. Karena
syariah itu dapat dikelompokkan ke dalam dua kategori yakni syariah
ibadah dan syariah muamalah, maka ilmu fiqih yang mempelajari dan
mendalaminya pun dapat dibagi dua pula yakni ilmu fiqih ibadah dan
ilmu fiqih muamalah. Dan sebagai hasil pemikiran manusia, hasil
pemahaman tentang syariah yang disebut fiqih atau hukum fiqih itu,
dapat berbeda di suatu tempat dengan di tempat yang lain. Perbedaan
tersebut menimbulkan berbagai aliran pula baik di kalangan Ahlus
sunnah wal jama'ah (Sunni) maupun di kalangan Syi'ah (Syi'i).
Di samping akidah dan syariah, baik ibadah maupun muamalah
tersebut di atas, agama Islam meliputi juga (3) akhlak. Akhlak berasal
dari khuluk yang berarti perangai, sikap, tingkah- laku, watak, budi
pekerti. Perkataan itu mempunyai hubungan dengan sikap, perangai,
tingkah-laku atau budi pekerti manusia terhadap Khalik (pencipta alam
semesta) dan makhluk (yang diciptakan). Karena itu, sama halnya
dengan syariah, dalam garis-garis besarnya ajaran akhlak juga dapat
dibagi dua yakni yang berkenaan dengan sikap dan perbuatan manusia
terhadap (a) Khalik, Tuhan Maha Pencipta, dan (b) terhadap sesama
makhluk (segala yang diciptakan oleh Khalik itu). Sikap terhadap
sesama makhluk dapat dibagi dua pula, yaitu
(1) akhlak terhadap manusia yakni diri sendiri, keluarga, tetangga
dan masyarakat, dan (2) akhlak terhadap makhluk bukan manusia yang
ada di sekitar lingkungan hidup kita. Yang disebut terakhir ini dapat
dibagi lagi menjadi akhlak terhadap (a) tumbuh-tumbuhan dan akhlak
terhadap (b) hewan, bahkan (c) akhlak terhadap bumi dan air serta
udara yang ada di sekitar kita.
Sebagaimana halnya dengan akidah dan syariah tersebut di atas,
di bidang akhlak ini pun ada ilmu yang mempelajari, mendalami serta
mengembangkan ajaran akhlak yang terdapat
di dalam
Pendahuluan, Islam, dan Hukum Islam 39
Alquran dan Al-Hadis (atau As-Sunnah) itu, agar manusia (Muslim)
dapat bersikap, berbudi pekerti dan bertingkah laku seperti yang
ditetapkan dalam ke dua sumber agama Islam tersebut.
Mengenai (a) sikap terhadap Allah, Pencipta, Pemelihara dan
Penguasa alam semesta, ilmu yang mempelajarinya disebut 'ilmu
tasawuf (ajaran Islam). Perkataan tasawuf, yang di dalam bahasa
asing, disebut mystic atau sufism, berasal dari kata suf yakni wol kasar
yang dipakai oleh Muslim dan Muslimat yang berusaha dengan
berbagai upaya yang telah ditentukan untuk mendekatkan diri kepada
Allah. Orang yang melaku- kan upaya demikian disebut sufi dan ilmu
yang menjelaskan upaya-upaya serta tingkatan-tingkatan yang harus
ditempuh untuk mencapai tujuan dimaksud, dinamakan ilmu tasawuf.
Ilmu tasawuf adalah ilmu yang menjelaskan tata cara pengem- bangan
rohani manusia dalam rangka usaha mencari dan mendekatkan diri
dengan Allah. Dengan pengembangan rohani, kaum sufi ingin
menyelami makna syariat (tersebut di atas) secara lebih mendalam
dalam rangka menemukan hakikat agama Islam. Bagi kaum sufi yang
mementingkan syariat dan hakikat sekaligus, salat misalnya, tidaklah
hanya sekedar pengucapan sejumlah kata dalam gerakan tertentu,
tetapi adalah dialog spiritual antara manusia dengan Tuhan. Ibadah,
bagi para sufi, harus dilakukan dengan sepenuh hati, dengan
mencurahkan perhatian pada makna-makna rohaniah yang terkandung
di dalamnya. Sikap kaum sufi terhadap Tuhan, pada mulanya
didasarkan pada rasa takut, tetapi kemu- dian rasa takut itu diubah dan
dikembangkan oleh Rabi'ah al Adawiyah (m.d. 801 M), seorang sufiwati
dari Basrah, dengan rasa cinta kepada Allah melebihi cinta kepada apa
pun juga.
Seorang sufi yang mencari jalan untuk mendekatkan dirinya dengan
Allah melalui pengembangan rohani, menamakan dirinya salik, yakni
orang yang bepergian. Orangyangbepergian itu menempuh perjalanan
dengan langkah lambat dan teratur melalui tarikat tertentu, harus
melewati tujuh tingkatan, menuju ke satu tujuan yakni pertemuan
dengan kenyataan yaitu Allah sendiri. Jalan atau tarikat (tariqat) itu,
kemudian, menjadi organisasi sufi tersendiri, dipimpin oleh seorang
guru yang disebut syaikh, yang berfungsi sebagai petunjuk jalan.
Masing-masing tarikat mempunyai cara sendiri, misalnya dalam
Pendahuluan, Islam, dan Hukum Islam 33

berzikir, untuk mencapai tujuan akhir yakni merasakan kehadiran


Ilahi dalam hatinya. Timbullah aliran-aliran di lapangan tasawuf
seperti halnya aliran-aliran di lapangan akidah dan syariah tersebut.
Mengenai (b) sikap terhadap sesamamakhluk dapat dibagi dua,
yakni (1) sikap terhadap sesama manusia, dan (2) sikap terhadap
makhluk yang bukan manusia. Sikap terhadap sesama manusia disebut
akhlak. Padanannya dalam bahasa asing adalah ethic. Ilmu yang
menjelaskan sikap terhadap sesama manusia disebut ilmu akhlak
(ajaran Islam) atau ethics (R.Rachmat Djatnika, 1985:31). Dalam ilmu
akhlak terdapat istilah-istilah baik dan buruk. Istilah-istilah itu dan
istilah- istilah keakhlakan yang lain, dijelaskan oleh ilmu akhlak agar
dapat dijadikan pegangan manusia. Berdasarkan uraian singkat itu
dapatlah dirumuskan bahwa yang dimaksud dengan ilmu akhlak dalam
tulisan ini adalah ilmu yang menjelaskan arti baik dan buruk, serta
segala sesuatu yang berke- naan dengan sikap yang seyogianya
diperlihatkan manusia terhadap manusia lain, dirinya sendiri dan
lingkungan hidupnya.
Sumber akhlak Islami adalah Alquran dan Al-Hadis yang
memuat Sunnah Nabi Muhammad. Kedua sumber agama Islam itu
penuh dengan nilai-nilai serta norma yang menjadi ukuran sikap
manusia apakah itu baik, buruk. Allah menyu- ruh manusia (Muslim)
mengikuti Nabi Muhammad, karena seperti diungkapkan oleh Siti
Aisyah, akhlak Nabi Muhammad adalah (seluruh isi) Alquran itu
sendiri. Sikap (1) terhadap sesama manusia dalam kehidupan sosial
menurut nilai dan norma Islam adalah, misalnya, sikap mau dan
mampu menu- naikan kewajiban dan menerima hak, mau dan mampu
mengendalikan diri, selalu berusaha menegakkan keadilan dan
kebenaran baik bagi dirinya sendiri maupun bagi kepen- tingan
masyarakat; bersedia menolong yang lemah dengan kekuasaan, ilmu
dan harta yang dititipkan Tuhan kepada- nya. Akhlak terhadap (2)
bukan manusia yang biasanya diistilahkan dengan lingkungan hidup
sekarang, dapat dilakukan dengan jalan misalnya, menyadari bahwa
semua yang terdapat di langit dan di bumi serta yang ada di antara
keduanya adalah anugrah Allah kepada manusia yang harus dijaga
kelestariannya, dipelihara dan dimanfaatkan bukan saja untuk
kepentingan manusia, tetapi juga untuk kepentingan makhluk lainnya.
Isi Alquran dan Al-Hadis yang memuat Sunnah Nabi Muhammad
34 Hukum Islam
penuh dengan akhlak Islami yang perlu diteladani dan dilaksanakan
dalam hidup dan kehidupan sehari-hari setiap Muslim dan Muslimat.
Uraian sistematik bagian-bagian kerangka dasar agama dan
ajaran Islam di atas, dipandang dari segi pertumbuhan kesadaran
hukum, dapat saja diubah dengan susunan lain, yakni (1) akidah, (2)
akhlak, dan (3) syariah dengan penjelasan isi (dengan sedikit
perubahan) seperti yang telah diuraikan.
Dari paparan tersebut dapatlah ditarik kesimpulan bahwa Islam
sebagai agama mempunyai sistem sendiri yang bagian- bagiannya
saling bekerja sama untuk mencapai suatu tujuan. Sumbernya adalah
tauhid yang menjadi inti akidah. Dari akidah itu mengalir syariah dan
akhlak Islami. Ketiganya (akidah, syariah dan akhlak) laksana bejana
yang berhu- bungan. Syariah dan akhlak, seperti telah disebut di muka
mengatur perbuatan dan sikap seseorang baik di lapangan ibadah
maupun di lapangan muamalah.
Dari ketiga komponen agama Islam yang menjadi kerangka dasar
agama dan ajaran Islam itu dikembangkan sistem-sistem Islam, seperti
misalnya, untuk menyebut beberapa sebagai contoh, sistem filsafat
Islam, sistem hukum Islam, sistem pen- didikan Islam, sistem
ekonomi Islam, sistem budaya Islam. Disebut sistem, seperti
disinggung di atas, karena sebagai kesatuan ia terdiri dari bagian-
bagian yang saling menopang dan bekerja sama untuk mencapai satu
tujuan baik tujuan masing-masing sistem itu sendiri maupun tujuan
sistem agama dan ajaran Islam secara keseluruhan (lihat Lampiran 3).

HUKUM ISLAM'
Hukum Islam adalah hukum yang bersumber dari dan menjadi
bagian agama Islam. Sebagai sistem hukum ia mempunyai beberapa
istilah kunci yang perlu dijelaskan lebih dahulu, sebab, kadangkala
membingungkan, kalau tidak diketahui persis maknanya. Yang
dimaksud adalah istilah- istilah (1) hukum, (2) hukm dan ahkam, (3)
syariah atau syariat, (4) fiqih atau fiqh dan beberapa kata lain yang
berkaitan dengan istilah-istilah tersebut.
Pendahuluan, Islam, dan Hukum Islam 35
Hukum
Jika kita berbicara tentang hukum, secara sederhana segera
terlintas dalam pikiran kita peraturan-peraturan atau seperangkat
norma yang mengatur tingkah-laku manusia dalam suatu masyarakat,
baik peraturan atau norma itu berupa kenyataan yang tumbuh dan
berkembang dalam masyarakat maupun peraturan atau norma yang
dibuat dengan cara ter- tentu dan ditegakkan oleh penguasa.
Bentuknya mungkin berupa hukum yang tidak tertulis seperti hukum
adat, mungkin juga berupa hukum tertulis dalam peraturan
perundang- undangan seperti hukum Barat. Hukum Barat melalui asas
konkordansi, sejak pertengahan abad ke-19 (1855) berlaku di
Indonesia. Hukum dalam konsepsi seperti hukum Barat adalah hukum
yang sengaja dibuat oleh manusia untuk mengatur kepentingan
manusia sendiri dalam masyarakat tertentu. Dalam konsepsi hukum
perundang-undangan (Barat), yang diatur oleh hukum hanyalah
hubungan manusia dengan manusia lain dan benda dalam masyarakat.
Di samping itu, ada konsepsi hukum lain, di antaranya adalah
konsepsi hukum Islam. Dasar dan kerangka hukumnya ditetapkan
oleh Allah, tidak hanya mengatur hubungan manusia dengan manusia
lain dan benda dalam masyarakat, tetapi juga hubungan-hubungan
lainnya, karena manusia yang hidup dalam masyarakat itu
mempunyai berbagai hubungan. Hubungan-hubungan itu, seperti
telah berulang disinggung di muka, adalah hubungan manusia dengan
Tuhan, hubungan manusia dengan dirinya sendiri, hubungan manusia
dengan manusia lain dan hubungan manusia dengan benda dalam
masyarakat serta alam sekitarnya. Interaksi manusia dalam berbagai
tata hubungan itu diatur oleh
44 Hukum Islam
seperangkat ukuran tingkah-laku yang di dalam bahasa Arab, disebut
hukm jamaknya ahkam.

Hukm dan Ahkam

Perkataan hukum yang kita pergunakan sekarang dalam bahasa


Indonesia berasal dari kata hukm (tanpa u antara huruf k dan m) dalam
bahasa Arab. Artinya, norma atau kaidah yakni ukuran, tolok ukur,
patokan, pedoman yang dipergunakan untuk menilai tingkah-laku atau
perbuatan manusia dan benda. Hubungan antara perkataan hukum
dalam bahasa Indonesia tersebut di atas dengan hukm dalam pengertian
norma dalam bahasa Arab itu, memang erat sekali, sebab, setiap
peraturan, apa pun macam dan sumbernya mengandung norma atau
kaidah sebagai intinya (Hazairin, 1982: 68). Dalam ilmu hukum Islam
kaidah itu disebut hukm. Itulah sebabnya maka di dalam perkataan
sehari-hari orang berbicara tentang hukum suatu benda atau
perbuatan. Yang dimaksud, seperti telah disebutkan di atas, adalah
patokan, tolok ukur, ukuran atau kaidah mengenai perbuatan atau
benda itu.
Dalam sistem hukum Islam ada lima hukm atau kaidah yang
dipergunakan sebagai patokan mengukur perbuatan manusia baik di
bidang ibadah maupun di lapangan muamalah. Kelima jenis kaidah
tersebut, disebut al-ahkam al-khamsah atau penggolongan hukum yang
lima (Sajuti Thalib, 1985: 16), yaitu (1) ja'izataumubah atau ibahah,
(2) sunnat, (3 ) makruh, (4) wajib dan (5) haram.
Penggolongan hukum yang lima atau yang disebut juga lima
kategori hukum atau lima jenis hukum ini, di dalam kepustakaan
hukum Islam disebut juga hukum taklifi (Masyfuk
Zuhdi,
Pendahuluan, Islam, dan Hukum Islam 45
1987: 5) yakni norma atau kaidah hukum Islam yang mungkin
mengandung kewenangan terbuka, yaitu kebebasan memilih untuk
melakukan atau tidak melakukan sesuatu perbuatan, yang disebut ja'iz,
mubah atau ibahah. Mungkin juga hukum taklifi itu mengandung anjuran
untuk dilakukan karena jelas manfaatnya bagi pelaku (sunnat). Mungkin
juga mengandung kaidah yang seyogianya tidak dilakukan karena
jelas tidak berguna dan akan merugikan orang yang melakukannya
(makruh). Mungkin juga mengandung perintah yang wajib dilakukan
(fardu atau wajib), dan mengandung larangan untuk dilakukan (haram).
Masing-masing penggolongan, penjenisan dan kategori hukum ini
dibagi lagi oleh para ahli hukum Islam ke dalam beberapa bagian yang
lebih rinci dengan tolok ukur tertentu yang dapat dipelajari dalam
kitab-kitab 'ilmu usul fiqih' yaitu ilmu pengetahuan yang membahas
dasar-dasar pembentukan hukum fiqih Islam. Penjelasan lebih lanjut
tentang hukum taklifi yang merupakan bagian hukum syara' atau hukum
syar'i ini akan diuraikan nanti dalam al-ahkam al- khamsah (di bawah).
Hukum syara' atau hukum syar'i ini disebut juga hukum syariat. Selain
dari (1) hukum taklifi tersebut di atas, hukum syariat itu terdiri juga
dari (2) hukum wadh'i yakni hukum yang mengandung 'sebab', 'syarat'
dan 'halangan' terjadinya hukum dan hubungan hukum. Ketiga
kandungan hukum wadh'i itu adalah: (1) 'Sebab', yang menurut
rumusan- nya, merupakan sesuatu yang tampak yang dijadikan tanda
adanya hukum. Misalnya (a) kematian menjadi sebab adanya (hukum)
kewarisan, (b) akad nikah menjadi sebab halalnya hubungan suami-
istri. Karena rumusannya yang demikian itu, banyak ahli yang
menyamakan sebab dengan illat, yaitu keadaan yang mempengaruhi
ada atau tidak adanya suatu hukum.
Namun, ada juga yang membedakannya, karena dalam 'sebab' ada
hubungan sebab-akibat, seperti contoh di atas, sedang dalam illat
hubungan sebab-akibat itu tidak jelas. Yang ada adalah hubungan
relevansi antara sebab dengan hukum; misalnya hubungan relevansi
antara bepergian dengan hukum yang tidak mewajibkan orang
melakukan ibadah puasa. (2) 'Syarat' adalah sesuatu yang kepadanya
tergantung suatu hukum. Misalnya, (a) syarat wajib mengeluarkan
zakat harta adalah kalau telah mencapai nisab (jumlah tertentu) dan
haul (waktu tertentu), (b) berwudu dan menghadap kiblat syarat
38 Hukum Islam
sempurnanya salat seorang Muslim. (3) Halangan atau mani' adalah
sesuatu yang dapat menghalangi hubungan hukum. Misalnya (a)
pembunuhan menghalangi hubungan kewarisan, (b) keadaan gila
merupakan halangan bagi seseorang melakukan tindakan atau
hubungan hukum (Masjfuk Zuhdi, 1987: 16-19).
Syariat

Selain dari perkataan hukum, hukm dan al-ahkam al-khamsah atau


hukum taklifi di atas, perlu dipahami juga istilah syariat. Yang dimaksud
dengan syariat atau ditulis juga syariah, secara harfiah adalah jalan ke
sumber (mata) air yakni jalan lurus yang harus diikuti oleh setiap
Muslim. Syariat merupakan jalan hidup Muslim. Syariat memuat
ketetapan-ketetapan Allah dan ketentuan Rasul-Nya, baik berupa
larangan maupun berupa suruhan, meliputi seluruh aspek hidup dan
kehidupan manusia.
Dilihat dari segi ilmu hukum, syariat merupakan norma hukum
dasar yang ditetapkan Allah, yang wajib diikuti oleh orang Islam
berdasarkan iman yang berkaitan dengan akhlak, baik dalam
hubungannya dengan Allah maupun dengan sesama manusia dan
benda dalam masyarakat. Norma hukum dasar ini dijelaskan dan atau
dirinci lebih lanjut oleh Nabi Muhammad sebagai Rasul-Nya. Karena
itu, syariat terdapat di dalam Alquran dan di dalam kitab-kitab Hadis.
Menurut sunnah ( al-qauliyah atau perkataan) Nabi Muhammad, umat
Islam tidak pernah akan sesat dalam perjalanan hidupnya di dunia ini
selama mereka berpegang teguh atau berpedoman kepada Alquran dan
Sunnah Rasulullah. Dengan perkataan lain, umat Islam tidak pernah
akan sesat dalam perjalanan hidupnya di dunia ini selama ia
mempergunakan pola hidup, pedoman hidup, tolok ukur hidup dan
kehidupan yang terdapat dalam Alquran dan kitab-kitab hadis yang
sahih (sahih = otentik, benar).
Karena norma-norma hukum dasar yang terdapat di dalam
Alquran itu masih bersifat umum, demikian juga hal- nya dengan
aturan yang ditentukan oleh Nabi Muhammad terutama mengenai
muamalah, maka setelah Nabi Muhammad wafat, norma-norma hukum
dasar yang masih bersifat umum itu perlu dirinci lebih lanjut.
Perumusan dan penggolongan norma-norma hukum dasar yang
bersifat umum itu ke dalam kaidah-kaidah yang lebih konkret agar
Pendahuluan, Islam, dan Hukum Islam 39

dapat dilaksanakan dalam praktik, memerlukan disiplin ilmu dan cara-


cara tertentu. Muncullah ilmu pengetahuan baru yang khusus
menguraikan syariat dimaksud. Dalam kepustakaan, seperti telah
disebut juga di muka, ilmu tersebut dinamakan 'ilmu fiqih' yang ke
dalam bahasa Indonesia diterjemahkan dengan ilmu hukum (fiqih)
Islam. 'Ilmu fiqih' adalah ilmu yang mempelajari atau memahami
syariat dengan memusatkan perhatiannya pada perbuatan (hukum)
manusia mukallaf, yaitu manusia yang berkewajiban melaksanakan
hukum Islam karena telah dewasa dan berakal sehat. Orang yang
paham tentang ilmu fiqih disebut fakih atau fukaha (jamaknya). Artinya
ahli atau para ahli hukum (fiqih) Islam.
Kata yang sangat dekat hubungannya dengan perkataan syariat
seperti telah disebut di atas adalah syara' dan syar'i yang diterjemahkan
dengan agama. Oleh karena itu, seringkali, jika orang berbicara
tentang hukum syara’ yang dimaksudnya adalah hukum agama yaitu
hukum yang ditetapkan oleh Allah dan dijelaskan oleh Rasul-Nya,
yakni hukum syariat, kendatipun kadang-kadang isinya hukum fiqih.
Dari perkataan syariat lahir kemudian perkataan tasyri', artinya
pembuatan peraturan perundang-undangan yang bersumber dari wahyu
dan sunnah yang disebut tasyri' samawi dalam kepustakaan ( samawi =
langit), dan peraturan perundang-undangan yang bersumber dari
pemikiran manusia, yang disebut tasyri' wadh'i ( wadhdha’a = membuat
sesuatu menjadi lebih jelas dengan karya manusia). Membicarakan
soal pemikiran atau penalaran manusia dalam bidang hukum, kita
telah membicarakan soal fiqih.
Fiqih

Di dalam bahasa Arab, perkataan fiqh yang ditulis fiqih atau


kadang-kadang fekih setelah diindonesiakan, artinya paham atau
pengertian. Kalau dihubungkan dengan perkataan ilmu tersebut di
atas, dalam hubungan ini dapat juga dirumuskan (dengan kata-kata
lain), ilmu fiqih adalah ilmu yang bertugas menentukan dan
menguraikan norma-norma hukum dasar yang terdapat di dalam
Alquran dan ketentuan- ketentuan umum yang terdapat dalam Sunnah
Nabi yang direkam dalam kitab-kitab hadis. Dengan kata lain, ilmu
Pendahuluan, Islam, dan Hukum Islam 49 fiqih, selain
rumusan di atas, adalah ilmu yang berusaha memahami hukum-hukum
yang terdapat di dalam Alquran dan Sunnah Nabi Muhammad untuk
diterapkan pada perbuatan manusia yang telah dewasa yang sehat
akalnya yang berkewajiban melaksanakan hukum Islam. Hasil
pemahaman tentang hukum Islam itu disusun secara sistematis dalam
kitab-kitab fiqih dan disebut hukum fiqih. Contoh hukum fiqih Islam
yang ditulis dalam bahasa Indonesia oleh orang Indonesia adalah,
misalnya, Fiqh Islam karya H. Sulaiman Rasjid yang sejak diterbitkan
pertama kali tahun 1954 sampai kini (1998) telah puluhan kali dicetak
ulang. Beberapa kitab hukum fiqih yang ditulis dalam bahasa Arab
telah juga diterje- mahkan ke dalam bahasa Indonesia. Di antaranya
adalah karya Mohammad Idris As-Syafi'i, salah seorang pendiri
mazhab hukum fiqih Islam, yang bernama: al-Umm, artinya (kitab)
Induk, dialihbahasakan oleh Tengku Ismail Ya'cub.
Dari uraian tersebut di atas jelas bahwa ada dua istilah yang
dipergunakan untuk menunjukkan hukum Islam, yakni
(1) Syariat Islam dan (2) Fiqih Islam. Di dalam kepustakaan hukum
Islam berbahasa Inggris, Syariat Islam disebut Islamic Law, sedang
Fiqih Islam Islamic Jurisprudence. Di dalam bahasa Indonesia, untuk
syariat Islam, sering, dipergunakan kata-kata hukum syariat atau
hukum syara', untuk fiqih Islam dipergunakan istilah hukum fiqih atau
kadang-kadang hukum (fiqih) Islam. Dalam praktik, seringkali, kedua
istilah itu dirangkum dalam kata hukum Islam, tanpa menjelaskan apa
yang dimaksud. Ini dapat dipahami karena hubungan keduanya
memang sangat erat, dapat dibedakan, tetapi tidak mungkin dicerai
pisahkan. Syariat adalah landasan fiqih, fiqih adalah pemahaman
tentang syariat. Perkataan syariat dan fiqih kemasyarakatan, pada
umumnya memuat ketentuan-ketentuan pokoknya saja yang harus
diterapkan pada kasus tertentu yang hadir atau ada dalam ruang dan
waktu tertentu. Misalnya, A menerima titipan barang dari B, atau A
meminjam barang dari B. Barang titipan atau barang pinjaman itu
kemudian hilang di tangan A.
Mengenai masalah ini di dalam Alquran ada ketentuan
hukumnya, tercantum dalam surat Al-Baqarah (2): 283 yang intinya
berbunyi sebagai berikut . . .jika seorang dipercayai oleh orang lain,
hendaklah orang yang dipercayai itu menunaikan amanat atau kepercayaan yang
52 Hukum Islam
diberikan kepadanya itu . . . .
Di dalam ayat ini disebutkan bahwa orang yang diberi amanat
harus menunaikan amanat itu sebaik-baiknya. Artinya, kalau ia diberi
titipan ia harus mengembalikan titipan itu dan kalau ia memperoleh
pinjaman (karena orang lain percaya padanya) haruslah ia
mengembalikan pinjaman itu. Kalau barang itu hilang, atau dalam
contoh tadi, A tidak mengembalikan barang titipan atau pinjaman itu
kepada B ketentuannya tidak disebutkan dalam ayat tersebut.
Timbullah permasalahan fiqih, permasalahan pemahaman maksud
ketentuan syariat itu. Orang yang memenuhi syarat lalu ber- ijtihad
tentang ganti-rugi yang harus dipikul oleh A karena barang dimaksud
hilang sewaktu berada di tangannya. Timbullah bermacam-macam
pendapat. Menurut pendapat mazhab Hanafi, A harus mengganti
kerugian yang diderita oleh B sejumlah harga barang itu waktu dibeli
oleh B. Menurut pendapat mazhab Hambali, A harus mengganti
kerugian pada B sebesar harga barang itu ketika hilang di tangannya.
Mazhab Syafi'i berpendapat lain, A harus membayar kerugian pada B
Pendahuluan, Islam, dan Hukum Islam 53 menurut

harga tertinggi yang terjadi antara barang itu dibeli dan dihilangkan
oleh A (Hasbullah Bakry, 1982: 3).
Dari contoh di atas jelas bahwa pendapat sebagai hasil dari
pemahaman manusia, mungkin berbeda-beda. Dan inilah yang disebut
dengan fiqih. Ketentuan hukum yang dirumuskan oleh para mujtahid (:
orang yang berijtihad) itulah, seperti telah berulang disebutkan di
atas, disebut hukum fiqih.
Hukum fiqih, sebagai hukum yang diterapkan pada kasus tertentu
dalam keadaan konkret, mungkin berubah dari masa ke masa dan
mungkin pula berbeda dari satu tempat ke tempat lain. Ini sesuai
dengan ketentuan yang disebut juga dengan kaidah hukum fiqih yang
menyatakan bahwa perubahan tempat dan waktu menyebabkan
perubahan hukum. Perubahan tempat dan waktu yang menyebabkan
perubahan hukum itu, dalam sistem hukum Islam disebut illat (latar
belakang yang menyebabkan ada atau tidak adanya hukum atas
sesuatu hal). Dari kaidah ini dapat ditarik kesimpulan bahwa hukum
fiqih itu cenderung relatif, tidak absolut seperti hukum syariat yang
menjadi sumber hukum fiqih itu sendiri. Sifatnya zanni, yakni
sementara belum dapat dibuktikan sebaliknya, ia cenderung dianggap
benar. Sifat ini terdapat pada hasil karya manusia dalam bidang apa
pun juga.
Berlawanan dengan hukum fiqih yang semuanya bersifat zanni
(dugaan), hukum syariat ada yang bersifat pasti. Yang pasti, karena
itu berlaku absolut, disebut qath'i, seperti misalnya ayat-ayat Alquran
yang menentukan kewajiban salat, zakat, puasa, haji, dan ayat-ayat
kewarisan. Juga sunnah Nabi yang mewajibkan manusia menuntut
ilmu pengetahuan.
Selain sifat tersebut, perlu dikemukakan pula bahwa hukum fiqih
tidak dapat menghapuskan sama sekali hukum syariat. Ambillah, soal
perceraian. Hukum syariat memboleh- kan perceraian. Para ahli
hukum Islam tidak boleh meng- gariskan ketentuan hukum fiqih yang
melarang perceraian. Demikian juga halnya dengan ketentuan
mengenai hak yang sama antara pria dan wanita untuk menjadi ahli
waris. Hukum syariat menentukan dengan tegas bahwa wanita dan pria
sama-sama menjadi ahli waris almarhum orang tua dan keluarganya.
Hukum fiqih tidak boleh merumuskan ketentuan yang menyatakan
bahwa wanita tidak berhak menjadi ahli waris seperti keadaan dalam
masyarakat Arab sebelum Islam (Ahmad A. Basyir, 1982: 1).
Dari contoh-contoh tersebut di atas jelas pula bahwa hukum fiqih
tidak boleh bertentangan dengan hukum syariat apalagi kalau
ketentuan hukum syariat itu telah tegas jelas bunyinya, yang tidak
mungkin diartikan lain dari makna yang disebutnya. Misalnya
mengenai bagian tertentu untuk orang-orang tertentu dalam keadaan
tertentu dalam ayat-ayat hukum kewarisan Islam.
Hukum Islam, baik dalam pengertian syariat maupun dalam
pengertian fiqih tersebut, seperti telah disebut di muka,
dan'diringkaskan'di sini, dapat dibagi dua (1) mengenai (bidang)
ibadah dan (2) mengenai (bidang) muamalah. Tatacara berhubungan
dengan Tuhan melaksanakan kewajiban sebagai seorang Muslim
dalam mendirikan (melakukan) salat, menge- luarkan zakat, berpuasa
selama bulan Ramadan dan menunaikan ibadah haji, termasuk dalam
kategori ibadah. Mengenai (1) 'ibadah' yakni cara dan tata cara
manusia berhubungan langsung dengan Tuhan, tidak boleh ditambah-
tambah atau dikurangi. Tata hubungan itu tetap, tidak mungkin dan
tidak
Pendahuluan, Islam, dan Hukum Islam 55 boleh
54 Hukum Islam
diubah-ubah. Ketentuannya telah pasti diatur oleh Allah sendiri dan
dijelaskan secara rinci oleh Rasul-Nya. Karena sifatnya yang tertutup
itu (seperti telah disebut di muka), dalam soal ibadah ini berlaku asas
umum yakni semua perbuatan ibadah dilarang dilakukan kecuali
perbuatan-perbuatan yang dengan tegas disuruh untuk dilakukan.
Petunjuk-petunjuk yang menyatakan bahwa itu adalah perbuatan
suruhan terdapat di dalam Alquran dan Al-Hadis yang memuat Sunnah
Rasulullah. Kalau dihubungkan dengan al-ahkam al-khamsah atau hukum
taklifi tersebut di muka, kaidah asal ibadah itu larangan (haram).
Dengan demikian, tidak mungkin ada apa yang disebut
modernisasi mengenai ibadah atau proses yang membawa perubahan
dan perombakan secara asasi mengenai hukum, susunan, cara, dan tata
cara ibadah itu sendiri seperti telah di atas. Yang mungkin berubah
hanyalah penggunaan alat-alat modern dalam pelaksanaannya.
Mengenai (2) muamalah dalam pengertian yang luas, yakni
ketetapan yang diberikan oleh Tuhan yang langsung berhu- bungan
dengan kehidupan sosial manusia, terbatas pada yang pokok-pokok
saja. Penjelasan nabi, kalaupun ada, tidak pula terinci seperti halnya
dalam bidang ibadah. Karena itu (seperti telah disebutkan di atas),
'terbuka' sifatnya untuk dikembangkan melalui ijtihad manusia yang
memenuhi syarat untuk melakukan usaha itu. Karena sifatnya yang
demikian, dalam soal muamalah berlaku asas umum yakni pada
dasarnya semua perbuatan 'boleh' dilakukan, kecuali kalau mengenai
perbuatan itu ada larangan di dalam Alquran dan Al-Hadis yang
memuat Sunnah Nabi Muhammad. Untuk menyebut sekedar contoh,
misalnya, larangan membunuh, mencuri, merampok, berzina, menuduh
orang lain melakukan perzinaan, meminum mi- numan yang
memabukkan (mibuk), memakan riba yang telah disebut di muka.
Dengan demikian, kalau dihubungkan dengan al-ahkam al- khamsah
atau hukum taklifi yang telah disinggung di muka, kaidah asal mengenai
muamalah ini adalah 'kebolehan.' Artinya, semua perbuatan yang
termasuk ke dalam kategori muamalah, boleh saja dilakukan asal saja
tidak ada larangan untuk melakukan perbuatan itu. Dan karena
sifatnya yang demikian, kecuali mengenai yang dilarang itu,
perumusan dan kaidah- kaidahnya dapat sajaberubah sesuai dengan
perubahan zaman. Dalam bidang ini dapat saja dilakukan modernisasi,
asal saja modernisasi itu sesuai, atau sekurang-kurangnya tidak
bertentangan dengan jiwa hukum Islam pada umumnya.
Ruang-Lingkup Hukum Islam
Jika kita bandingkan hukum Islam bidang muamalah ini dengan
hukum Barat yang membedakan antara hukum privat (hukum perdata)
dengan hukum publik, maka sama halnya dengan hukum adat di tanah
air kita, hukum Islam tidak membedakan (dengan tajam) antara
hukum perdata dengan hukum publik. Ini disebabkan karena menurut
sistem hukum Islam pada hukum perdata terdapat segi-segi publik dan
pada hukum publik ada segi-segi perdatanya.
Itulah sebabnya maka dalam hukum Islam tidak dibe- dakan
kedua bidang hukum itu. Yang disebutkan adalah bagian- bagiannya
saja seperti misalnya, (1) muriakahat, (2) wirasah, (3) mu'amalat dalam
arti khilsus, (4) jiriayat atau 'ukubat, (5) al- ahkam as-sulthaniyah (khilafah),
(6) siyar, dan (7) mukhasamat (H.M. Rasjidi, 1971:25).
Pendahuluan, Islam, dan Hukum Islam 56

Kalau bagian-bagian hukum Islam itu disusun menurut sistematik


hukum Barat yang membedakan antara hukum perdata dengan hukum
publik seperti yang diajarkan dalam Pengantar Ilmu Hukum di tanah
air kita, yang telah pula disinggung di muka, susunan hukum
muamalah dalam arti luas itu adalah sebagai berikut:
'Hukum perdata' (Islam) adalah (1) munakahat mengatur segala
sesuatu yang berhubungan dengan perkawinan, per- ceraian serta
akibat-akibatnya; (2) wirasah mengatur segala masalah yang
berhubungan dengan pewaris, ahli waris, harta peninggalan serta
pembagian warisan. Hukum Kewarisan Islam ini disebut juga hukum
fara'id; (3) muamalat dalam arti yang khusus, mengatur masalah
kebendaan dan hak-hak atas benda, tata hubungan manusia dalam soal
jual-beli, sewa-menyewa, pinjam-meminjam, perserikatan, dan
sebagainya.
'Hukum publik' (Islam) adalah (4) jinayat yang memuat aturan-
aturan mengenai perbuatan-perbuatan yang diancam dengan hukuman
baik dalam jarimah hudud maupun dalam jarimah ta'zir. Yang dimaksud
dengan jarimah adalah perbuatan pidana. Jarimah hudud adalah
perbuatan pidana yang telah ditentukan bentuk dan batas hukumannya
dalam Alquran dan Sunnah Nabi Muhammad (hudud jamak dari hadd =
batas). Jarimah ta'zir adalah perbuatan pidana yang bentuk dan ancaman
hukumannya ditentukan oleh penguasa sebagai pelajaran bagi
pelakunya ( ta'zir = ajaran atau pengajaran); (5) ah-ahkam as-sulthahiyah
membicarakan soal-soal yang berhubungan dengan kepala negara,
pemerintahan, baik pemerintah pusat maupun daerah, tentara, pajak
dan sebagainya; (6) siyar mengatur urusan perang dan damai, tata
hubungan dengan pemeluk agama dan negara lain; (7) mukhasamat
mengatur soal peradilan, kehakiman, dan hukum acara.
Jika bagian-bagian hukum Islam bidang muamalah dalam arti
luas di atas dibandingkan dengan susunan hukum Barat seperti yang
telah menjadi tradisi diajarkan dalam Pengantar Ilmu Hukum di tanah
air kita, maka butir (1) dapat disama- kan dengan hukum perkawinan,
butir (2) dengan hukum kewarisan, butir (3) dengan hukum benda dan
hukum perjanjian, perdata khusus, butir (4) dengan hukum pidana,
butir (5) dengan hukum ketatanegaraan yakni tata negara dan
administrasi negara, butir (6) dengan hukum interna- sional, dan butir
(7) dengan hukum acara.
Ciri-ciri Hukum Islam

Dari uraian di atas dapat ditandai ciri-ciri (utama) hukum Islam,


yakni (1) merupakan bagian dan bersumber dari agama Islam; (2)
mempunyai hubungan yang erat dan tidak dapat dipisahkan dari iman
atau akidah dan kesusilaan atau akhlak Islam; (3) mempunyai dua
istilah kunci yakni (a) syariat dan (b) fiqih. Syariat terdiri dari wahyu
Allah dan Sunnah Nabi Muhammad, fiqih adalah pemahaman dan
hasil pemahaman manusia tentang syariah; (4) terdiri dari dua bidang
utama yakni (a) ibadah dan (b) muamalah dalam arti yang luas.
Ibadah bersifat tertutup karena telah sempurna dan muamalah dalam
arti khusus dan luas bersifat terbuka untuk dikembangkan oleh
manusia yang memenuhi syarat dari masa ke masa; (5) strukturnya
berlapis, terdiri dari (a) nas atau teks Alquran, (b) Sunnah Nabi
Muhammad (untuk syariat), (c) hasil ijtihad manusia yang memenuhi
syarat tentang wahyu dan sunnah, (d) pelaksanaannya dalam praktik
baik (i) berupa
Pendahuluan, Islam, dan Hukum Islam 59 keputusan

hakim, maupun (ii) berupa amalan-amalan umat Islam dalam


masyarakat (untuk fiqih); (6) mendahulukan kewajiban dari hak, amal
dari pahala; (7) dapat dibagi menjadi (a) hukum taklifi atau hukum
taklif yakni al-ahkam al-khamsah yang terdiri dari lima kaidah, lima jenis
hukum, lima kategori hukum, lima penggolongan hukum yakni ja'iz,
sunnat, makruh, wajib dan haram, dan (b) hukum wadh'i yang
mengandung sebab, syarat, halangan terjadi atau terwujudnya
hubungan hukum.
Dalam bukunya Falsafah Hukum Islam, T.M. Hasbi Ash
Shiddieqy (1975:156-212), menyebut ciri-ciri khas hukum Islam.
Yang relevan untuk dicatat di sini adalah, hukum Islam (8) berwatak
universal, berlaku abadi untuk umat Islam di mana pun mereka
berada, tidak terbatas pada umat Islam di suatu tempat atau negara
pada suatu masa saja; (9) menghormati martabat manusia sebagai
kesatuan jiwa dan raga, rohani dan jasmani serta memelihara
kemuliaan manusia dan kemanusiaan secara keseluruhan; (10)
pelaksa- naannya dalam praktik digerakkan oleh iman (akidah) dan
akhlak umat Islam.
58 Hukum Islam
Hukum Islam dan Hak Asasi Manusia

Hukum Islam, sebagai bagian agama Islam, melindungi hak asasi


manusia. Hal ini dapat dilihat pada tujuan hukum Islam yang akan
dibicarakan di bawah. Kalau hukum Islam dibandingkan dengan
pandangan atau pemikiran (hukum) Barat (Eropa, terutama Amerika)
tentang hak asasi manusia, akan kelihatan perbedaannya. Perbedaan
itu terjadi karena pemikiran (hukum) Barat memandang hak asasi
manusia semata-mata antroposentris, artinya berpusat pada manusia.
Dengan pemikiran itu manusia sangat dipentingkan. Sebalik- nya,
pandangan hukum Islam yang bersifat teosentris. Artinya berpusat pada
Tuhan. Manusia adalah penting, tetapi yang lebih utama adalah Allah.
Allahlah pusat segala sesuatu.
Oleh karena perbedaan pandangan itu, terdapat perbedaan pokok
antara Deklarasi Hak-hak Asasi Manusia yang disponsori Barat
dengan Deklarasi Hak-hak Asasi Manusia yang dikeluar- kan oleh
umat Islam. Deklarasi Kairo tahun 1990, misalnya, yang dikeluarkan
oleh Organisasi Konferensi Islam (OKI), di dalamnya termasuk juga
Indonesia, merupakan pendirian resmi umat Islam mengenai Hak-hak
Asasi Manusia; berbeda kerangka acuannya dengan Deklarasi atau
Pernyataan Hak- hak Asasi Manusia yang dikeluarkan atau disponsori
oleh negara-negara Barat. Dinyatakan dalam deklarasi itu bahwa
semua hak dan kebebasan yang terumus dalam deklarasi tunduk pada
syariat atau hukum Islam. Satu-satunya ukuran, mengenai Hak-hak
Asasi Manusia, adalah syariat Islam.
Hak-hak yang dirumuskan dalam deklarasi itu, kebanyakan hak
ekonomi. Hak politik, seperti hak untuk mengutarakan pendapat
secara bebas, tidak boleh bertentangan dengan asas- asas syariah.
Dinyatakan pula bahwa semua individu sama di muka hukum.
Ketentuan lain adalah keluarga merupakan dasar masyarakat, wanita
dan pria sama dalam martabat kemanusiaan. Hak atas hidup, dijamin.
Pekerjaan adalah hak individu yang dijamin oleh negara. Demikian
juga hak atas pelayanan kesehatan, sosial dan kehidupan yang layak.
Ditegaskan pula bahwa tidak ada sanksi, kecuali sanksi yang
ditentukan dalam syariat atau hukum Islam.
Pendahuluan, Islam, dan Hukum Islam 59
Tujuan Hukum Islam
Kalau kita pelajari dengan saksama ketetapan Allah dan
ketentuan Rasul-Nya yang terdapat di dalam Alquran dan kitab-kitab
hadis yang sahih, kita segera dapat mengetahui tujuan hukum Islam.
Secara umum sering dirumuskan bahwa tujuan hukum Islam adalah
kebahagiaan hidup manusia di dunia ini dan di akhirat kelak, dengan
jalan mengambil (segala) yang bermanfaat dan mencegah atau
menolak yang mudarat, yaitu yang tidak berguna bagi hidup dan
kehidupan. Dengan kata lain, tujuan hukum Islam adalah
kemaslahatan hidup manusia, baik rohani maupun jasmani, individual
dan sosial. Kemaslahatan itu tidak hanya untuk kehidupan di dunia ini
saja tetapi juga untuk kehidupan yang kekal di akhirat kelak. Abu
Ishaq al Shatibi (m.d. 790/1388) meru- rnuskan lima tujuan hukum
Islam, yakni memelihara (I) agama, (2) jiwa, (3) akal, (4) keturunan,
dan (5) harta, yang (kemudian) disepakati oleh ilmuwan hukum Islam
lainnya. Kelima tujuan hukum Islam itu di dalam kepustakaan disebut
al-maqasid al-khamsah atau al-maqasid al-shari'ah (baca: al-maqasidis syari'ah
kadang-kadang disebut al-maqadis syar'iyah) (tujuan- tujuan hukum
Islam).
Tujuan hukum Islam tersebut di atas dapat dilihat dari dua segi
yakni (1) segi 'Pembuat Hukum Islam' yaitu Allah dan Rasul-Nya dan
(2) segi manusia yang menjadi pelaku dan pelaksana hukum Islam itu.
Kalau dilihat dari (1) Pembuat Hukum Islam, tujuan hukum Islam itu
adalah: Pertama, untuk memenuhi keperluan hidup manusia yang
bersifat primer, sekunder dan tertier, yang dalam kepustakaan hukum
Islam masing-masing disebut dengan istilah daruriyyat, hajjiyat dan
tahsimyyat. Kebutuhan primer ( daruriyyat) adalah kebutuhan utama yang
harus dilindungi dan dipelihara sebaik-baiknya oleh hukum Islam agar
kemaslahatan hidup manusia benar- benarterwujud (penjelasannyadi
halamanberikut). Kebutuhan sekunder ( hajjiyat) adalah kebutuhan yang
diperlukan untuk mencapai kehidupan primer, seperti misalnya
kemerdekaan, persamaan.dan sebagainya, yang bersifat menunjang
eksisten- si kebutuhan primer. Kebutuhan tertier ( tahsiniyyat) adalah
kebutuhan hidup manusia selain dari yang sifatnya primer dan
sekunder itu yang perlu diadakan dan dipelihara untuk kebaik- an
hidup manusia dalam masyarakat misalnya sandang, pangan,
perumahan dan lain-lain. Kedua, tujuan hukum Islam adalah untuk
ditaati dan dilaksanakan oleh manusia dalam kehidupannya sehari-
60 Hukum Islam
hari. Ketiga, supaya dapat ditaati dan dilaksanakan dengan baik dan
benar, manusia wajib mening- katkan kemampuannya untuk
memahami hukum Islam dengan mempelajari usul alfiqh (baca; usulul
fiqih) yakni dasar pem- bentukan dan pemahaman hukum Islam
sebagai metodologinya. Di samping itu, dari segi (2) pelaku hukum
Islam yakni manusia sendiri, tujuan hukum Islam adalah untuk
mencapai kehidupan yang berbahagia dan sejahtera. Caranya adalah,
seperti telah disinggung di muka, dengan mengambil yang bermanfaat,
mencegah atau menolak yang mudarat bagi kehidupan. Dengan kata
lain, tujuan hakiki hukum Islam, jika dirumuskan secara umum,
adalah tercapainya keridaan Allah dalam kehidupan manusia di dunia
ini dan di akhirat kelak (Juhaya S. Praja, 1988: 196).
Kepentingan hidup manusia yang bersifat primer yang disebut
dengan istilah daruriyyat tersebut di atas merupakan tujuan utama yang
harus dipelihara oleh hukum Islam. Kepen- tingan-kepentingan yang
harus dipelihara itu, yang juga telah disinggung di atas, adalah lima,
yaitu pemeliharaan (1) agama,
(2) jiwa, (3) akal, (4) keturunan, dan (5) harta.
Pemeliharaan (1) agama merupakan tujuan pertama hukum Islam.
Sebabnya adalah karena agama merupakan pedoman hidup manusia,
dan di dalam agama Islam selain komponen- komponen akidah yang
merupakan pegangan hidup setiap Muslim serta akhlak yang
merupakan sikap hidup seorang Muslim, terdapat juga syariah (t) yang
merupakan jalan hidup seorang Muslim baik dalam berhubungan
dengan Tuhannya maupun dalam berhubungan dengan manusia lain
dan benda dalam masyarakat. Ketiga komponen itu, dalam agama
Islam, berjalin berkelindan. Karena itulah maka hukum Islam wajib
melindungi agama yang dianut oleh seseorang dan menjamin
kemerdekaan setiap orang untuk beribadah menurut keyakinan
(agama)-nya.
Pemeliharaan (2) jiwa merupakan tujuan kedua hukum Islam.
Karena itu hukum Islam wajib memelihara hak manusia untuk hidup
dan mempertahankan kehidupannya. Untuk itu hukum Islam melarang
pembunuhan (QS 17:33) sebagai upaya menghilangkan jiwa manusia
dan melindungi berbagai sarana yang dipergunakan oleh manusia
untuk dan mempertahankan kemaslahatan hidupnya.
Pemeliharaan (3) akal sangat dipentingkan oleh hukum Islam,
Pendahuluan, Islam, dan Hukum Islam 61

karena dengan mempergunakan akalnya, manusia dapat berpikir


tentang Allah, alam semesta dan dirinya sendiri. Dengan
mempergunakan akalnya manusia dapat mengem- bangkan ilmu
pengetahuan dan teknologi. Tanpaakal, manusia tidak mungkin pula
menjadi pelaku dan pelaksana hukum Islam. Oleh karena itu,
pemeliharaan akal menjadi salah-satu tujuan hukum Islam. Penggunaan
akal itu harus diarahkan pada hal-hal atau sesuatu yang bermanfaat
bagi kepentingan hidup manusia, tidak untuk hal-hal yang merugikan
kehidupan. Dan untuk memelihara akal itulah maka hukum Islam
melarang orang meminum setiap minuman yang memabukkan yang
disebut dengan istilah khamar dalam Alquran (5: 90) dan menghukum
setiap perbuatan yang dapat merusak akal manusia.
Pemeliharaan (4) keturunan, agar kemurnian darah dapat dijaga
dan kelanjutan umat manusia dapat diteruskan, merupakan tujuan
keempat hukum Islam. Hal ini tercermin dalam hubungan darah yang
menjadi syarat untuk dapat saling mewarisi (QS 4: 11), larangan-
larangan perkawinan yang disebut secara rinci dalam Alquran (4: 23),
dan larangan berzina (QS 17: 32). Hukum kekeluargaan dan kewarisan
Islam adalah hukum-hukum yang secara khusus diciptakan Allah
untuk memelihara kemurnian darah dan kemaslahatan keturunan.
Dalam hubungan ini perlu dicatat bahwa dalam Alquran, ayat-ayat
hukum mengenai kedua bagian hukum Islam ini diatur lebih rinci dan
pasti dibandingkan dengan ayat-ayat hukum lainnya. Maksudnya
adalah agar pemeliharaan dan kelanjutan keturunan dapat berlangsung
dengan sebaik-baiknya.
Pemeliharaan (5) harta adalah tujuan kelima hukum Islam.
Menurut ajaran Islam, harta adalah pemberian Tuhan kepada manusia,
agar manusia dapat mempertahankan hidup dan melangsungkan
kehidupannya. Oleh karena itu, hukum Islam melindungi hak manusia
untuk memperoleh harta dengan cara-cara yang halal dan sah serta
melindungi kepentingan harta seseorang, masyarakat dan negara,
misalnya dari penipuan
Pendahuluan, Islam, dan Hukum Islam 65

(QS 4: 29), penggelapan (QS 4: 58), perampasan (QS 5: 33),


pencurian (QS 5: 38), dan kejahatan lain terhadap harta orang lain.
Peralihan harta seseorang setelah ia meninggal dunia pun diatur
secara rinci oleh hukum Islam agar peralihan itu dapat berlangsung
dengan baik dan adil berdasarkan fungsi dan tanggung jawab
seseorang dalam kehidupan rumah tangga dan masyarakat (QS 4: 7,
11, 12, 176 dan lain-lain).
Salah Paham Terhadap Islam dan Hukum Islam
Islam sebagai agama dan sebagai hukum, sering disalah- pahami
bukan hanya oleh orang-orang non-Muslim, tetapi juga oleh orang-
orang Islam sendiri. Oleh karena itu, ada baiknya kalau di ruangan ini
kita kaji sebab-sebab kesalah- pahaman itu kendati pun secara
sepintas lalu.
Kesalahpahaman terhadap Islam disebabkan karena banyak hal,
namun, yang relevan dengan kajian ini adalah karena (1) salah
memahami ruang-lingkup ajaran Islam, (2) salah menggambarkan
kerangka dasar ajaran Islam, dan (3) salah mempergunakan metode
mempelajari Islam. Yang dimaksud dengan Islam dalam kalimat-
kalimat terakhir ini adalah agama Islam.
Kesalahpahaman (1) mengenai ruang-lingkup ajaran Islam
terjadi, misalnya, karena orang menganggap semua agama itu sama
dan ruang-lingkupnya sama juga. Dipengaruhi ajaran agama Nasrani
yang ruang-lingkupnya hanya mengatur hubungan manusia dengan
Tuhan saja, orang menganggap agama Islam pun demikian juga
halnya. Tetapi, seperti telah disebutkan di muka, dinul Islam atau
agama Islam itu tidaklah hanya mengatur hubungan antara manusia
dengan Tuhan belaka, seperti yang dikandung oleh istilah religion,
tetapi juga mengatur hubungan manusia dengan dirinya sendiri,
dengan masyarakat dan dengan benda dan alam sekitarnya. Sebagai
satu sistem ia mengatur hidup dan kehidupan manusia dalam berbagai
dimensi dan karena itu ruang-lingkup ajarannya pun mencakup
berbagai tata hubungan itu. Untuk 'menghindari salah paham' orang
harus mempelajari Islam dari sumbernya yang asli, yaitu Alquran dan
Al-Hadis. Jika kita pelajari agama Islam itu dari sumbernya yang asli,
yaitu Alquran dan Al- Hadis yang memuat Sunnah Nabi Muhammad
Pendahuluan, Islam, dan Hukum Islam 63

kita akan memperoleh gambaran yang jelas mengenai tata hubungan


itu, sebab Alquran sebagai sumber pertama dan utama agama Islam
tidak hanya memuat ajaran tentang iman dan ibadah atau akidah dan
syariah saja, tetapi memuat juga akhlak entang bagaimana manusia
harus bersikap dan berbuat dalam hidup dan kehidupannya di dunia ini
terhadap dirinya sendiri, manusia lain dan lingkungan hidupnya.
Mempelajari agama Islam dari kedua sumbernya yang asli yang
memuat ruang lingkup agama Islam itu tidaklah menjadi masalah lagi
sekarang, karena kalaupun orang tidak atau belum menguasai bahasa
Arab, kedua sumber ajaran Islam itu, sekarang, telah dapat dipelajari
dengan mempergunakan bahasa Indonesia sendiri atau bahasa Inggris,
misalnya. Di tanah air kita, tafsir Alquran dan atau syarah (penjelasan)
kitab-kitab hadis dan buku-buku penuntun mempelajari Alquran dan
Al-Hadis telah banyak ditulis orang dan dengan mudah dapat
diperoleh.
Dalam hubungan ini, agaknya perlu diingatkan, mempelajari
Islam tanpa bantuan guru sebaiknya dilakukan melalui karya atau
kepustakaan yang ditulis oleh mereka yang telah mengkaji dan
memahami Islam secara baik dan benar. Pada umumnya mereka adalah
para ahli atau ulama, cendekiawan dan sarjana Muslim yang diakui
otoritasnya di bidang kajian itu. Analisis dan kesimpulan para
orientalis, kecuali karya mereka yang terkenal kejujurannya terhadap
Islam atau karya mereka yang diberi catatan pembenaran atau koreksi
oleh sarjana Muslim, sebaiknya dihindari oleh orang yang 'baru'
belajar Islam, terutama tulisan para orientalis sebe- lum perang dunia
kedua, untuk mencegah kesalahpahaman. Akan tetapi, jika
pengetahuan seseorang tentang keislaman telah cukup, membaca
analisis dan kesimpulan para orientalis malah perlu untuk bahan studi
perbandingan. Yang dimaksud dengan orientalis' adalah orang Barat
yang khusus mempelajari agama (dalam hal ini Islam), budaya dan
bahasa-bahasaTimur untuk tujuan-tujuan tertentu yang berubah dari
masa ke masa.
Kesalahpahaman (2) terjadi karena orang salah menggam- barkan
kerangka dasar ajaran Islam. Orang menggambarkan bagian-bagian
agama Islam itu tidak secara menyeluruh sebagai satu kesatuan, tetapi
sepotong-sepotong atau sebagian-sebagian saja. Misalnya orang
menggambarkan atau membuat gambaran yang memberi kesan seakan-
64 Hukum Islam
akan agama Islam isinya hanyalah mengenai akidah atau iman saja,
atau agama Islam itu hanya tentang syariah atau hukum belaka, atau
agama Islam itu hanyalah ajaran akhlak semata-mata, tanpa
meletakkan dan menghubungkan bagian-bagian itu dalam kerangka
dasar keterpaduan agama Islam secara menyeluruh. Menggambarkan
agama Islam dengan cara sepotong-sepotong inilah yang telah
menyebabkan Islam disalahpahami di dunia ini. Penggam- baran
agama Islam seperti ini sering dilakukan oleh orang Islam sendiri
tanpa disadari dan dengan sadar karena maksud- maksud tertentu
dilakukan oleh para orientalis, terutama di masa-masa sebelum perang
dunia kedua dahulu.
Untuk 'menghindari kesalahpahaman' karena salah meng-
gambarkan bagian-bagian ajaran Islam itu, maka hendaklah
komponen-komponen ajaran Islam yang menjadi kerangka dasar
agama Islam itu digambarkan seluruhnya dalam satu kesatuan yang
padu, seperti yang telah dicoba diuraikan di muka. Setdah itu,
pelajarilah secara terpadu pula. Dalam hubungan ini perlu
dikemukakan bahwa mempelajari Islam tidak boleh dilakukan
sepotong-sepotong tetapi terpadu dalam kesatuan yang bulat.
Mempelajari dan memahami Islam secara sepotong-sepotong saja
tanpa menghubungkannya dengan yang lain dalam kerangka sistem
agama Islam akan menghasilkan pemahaman yang salah terhadap
Islam.
Selain itu, untuk memperoleh wawasan yang baik dan benar
tentang agama Islam, dan 'menghindari salah paham,' kajian dan
pemahamannya harus dihubungkan dengan berbagai persoalan asasi
yang dihadapi oleh manusia dalam masyarakat dan dilihat relasi serta
relevansinya dengan masalah- masalah politik, ekonomi, sosial,
budaya sepanjang sejarah, terutama sejarah umat Islam. Mempelajari
dan memahami Islam dengan bantuan ilmu-ilmu pengetahuan yang
berkem- bang sampai sekarang, akan memperluas wawasan kita
tentang Islam. Ilmu-ilmu alamiah, ilmu-ilmu sosial dan budaya, ilmu-
ilmu kemanusiaan atau humaniora beserta cabang dan rantingnya
adalah ilmu-ilmu bantu dalam kajian Islam untuk memperoleh
pemahaman yang baik dan benar.
Kesalahpahaman ke-(3) terjadi karena salah mempergunakan
metode mempelajari Islam. Metode yang dipergunakan oleh orientalis,
Pendahuluan, Islam, dan Hukum Islam 65

terutama sebelum perang dunia kedua, adalah pendekatan yang tidak


benar, karena mereka, pada umumnya, menjadikan bagian-bagian
bahkan seluruh ajaran (agama) Islam semata-mata sebagai objek studi
dan analisis. Laksana dokter bedah mayat, kata Fazlur Rahman, para
orientalis itu meletak- kan Islam di atas meja operasinya,
memotongnya bagian demi bagian dan menganalisis bagian-bagian itu
dengan mempergunakan norma-norma atau ukuran-ukuran mereka
sendiri yang un Islamic (Fazlur Rahman, 1966:44). Artinya, mereka
mempergunakan metode mempelajari dan menganalisis ajaran (agama)
Islam dengan metode dan analisis serta ukuran- ukuran yang tidak
Islami, tidak sesuai dengan ajaran (agama) Islam. Hasilnya, tentu saja
tidak memuaskan dan pasti menim- bulkan salah paham terhadap
Islam.
Para orientalis yang mempelajari Islam, seringkali pula
melakukan pendekatan menyamakan agama Islam dengan keadaan
umat Islam di suatu tempat pada suatu masa. Keadaan umat Islam
yang miskin, terbelakang di suatu tempat pada kurun waktu sekarang
ini mereka pergunakan sebagai data untuk menarik kesimpulan bahwa
agama Islam menganjurkan atau membiarkan kemiskinan dan
keterbelakangan. Atau mereka menganggap kemiskinan dan
keterbelakangan itu terjadi di kalangan umat Islam karena agama
Islam tidak mendorong para pemeluknya untuk maju dan berkembang.
Pendapat para ahli ilmu-ilmu sosial Barat (Amerika) yang
menyamakan ajaran Islam dengan umat Islam, dapat dilihat misalnya
pada karya Clifford Geerts, Clive S. Kessler dan Max Weber
(Mohammad Kamal Hasan, 1979:94, 136).
Metode atau pendekatan yang dilakukan oleh para orientalis ini
tidak sesuai dengan agama Islam. Oleh karena itu, untuk mempelajari
Islam secara baik dan benar dan agar 'tidak salah paham terhadap
Islam,' pelajarilah Islam dengan metode yang sesuai dengan ajaran
Islam. Metode mempelajari Islam telah lama ada di kalangan orang
Islam sendiri, tetapi masih perlu dikembangkan sesuai dengan
perkembangan ilmu dan studi Islam sekarang. Beberapa sarjana
Muslim telah mengemukakan pendapatnya mengenai berbagai metode
yang sesuai dengan ajaran Islam. Di antaranya, sekedar menyebut
beberapa nama sebagai contoh, Ismail R. Faruqi, M. Najib Alatas, S.
Hossein Nasr, Fazlur Rahman, Ali Syariati, Deliar Noer, A. Mukti
66 Hukum Islam
Ali. Menurut Ali Syariati, dari sekian banyak metode yang dapat
dipergunakan, orang tidak dapat memilih hanya satu metode saja dari
sekian banyak metode yang ada, karena Islam bukanlah agama uni
dimensional (agama satu dimensi) tetapi multi dimensional (berdimensi
banyak). Oleh karena itu, untuk mempelajari Islam yang banyak
dimensi- nya itu orang harus mempergunakan banyak metode yang
sesuai dengan dimensi yang dikaji itu. Selain dari memakai metode
filosofis, kata Ali Syariati, orang harus juga mempergunakan metode-
metode yang terdapat dalam ilmu yang dikembangkan oleh manusia
dewasa ini. Ali Syariati menyebut, sebagai contoh, metode sejarah dan
sosiologi, dua metode dalam bidang studi dan spesialisasinya. Soal-
soal yang bersifat kosmologis (yang berkaitan dengan ilmu-ilmu alam
serta gejala- gejala alam) kata Ali Syariati, harus dipelajari dan
dipahami dengan mempergunakan metodologi ilmu-ilmu alam (Ali
Syariati, 1982 :73). Dalam hubungan dengan penggunaan metode-
metode ilmiah yang berasal dari Eropa, Ali Syariati mengingatkan
keharusan inovatif (bersifat pembaruan = kreasi baru) dan 'selektif
dalam memilih metode-metode itu. Tidak semua metode yang
dikembangkan di Eropa dan Amerika perlu diikuti, karena ada di
antaranya yang tidak sesuai dengan agama Islam. Hal ini disebabkan,
menurut Deliar Noer, karena pada umumnya metode yang
dipergunakan oleh penulis-penulis Barat itu dipengaruhi oleh dua
aliran pikiran, yakni (1) aliran liberal kapitalis dan atau (2) aliran
Marxis. Aliran liberal kapitalis mengutamakan benda dan bersifat
duniawi semata- mata. Akal dan perasaan manusia yang
dikembangkan secara bebas merdeka, oleh aliran ini, diputuskan
hubungannya dengan sumber-sumber 'samawi' (langit) yaitu sumber
ajaran yang datang dari Tuhan, baik sumber itu sumber masa lalu
maupun tujuan masa yang akan datang yang disebut akhirat. Aliran
Marxis yang tumbuh kemudian, menolak aliran liberal-kapitalis itu
dan menolak segala sesuatu yang bersangkut paut dengan Tuhan,
agama dan akhirat (ingat sekularisme yang dibicarakan di muka:
MDA). Di samping kedua aliran besar itu ada aliran
(3) yang memasukkan ke dalam metode yang dipergunakan- nya
pengertian-pengertian yang berasal dari agama (Kristen dan Yahudi)
yang dianutnya. Oleh karena itu, diperlukan pendekatan bukan Barat
terhadap pengkajian agama Islam dan terhadap masyarakat yang
Pendahuluan, Islam, dan Hukum Islam 67

mayoritas penduduknya beragama Islam seperti masyarakat Indonesia,


misalnya (Deliar Noer, 1982:31-32). Menurut A. Mukti Ali metode
mempelajari agama Islam tidak cukup dengan hanya mempergunakan
metode ilmiah saja, tetapi perlu juga pendekatan doktriner (ajaran
bersifat keyakinan menerima agama sebagai suatu kebenaran). Mukti
Ali menawarkan metode mempelajari agama dengan pendekatan
saintifik-doktriner, yang dinamakannya metode sintetis (Nourouzzaman
Shiddiqi, 1993: 603-604).
Demikianlah beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam
mengkaji dan memahami (ajaran) Islam. Mutatis mutandis (dengan
perubahan-perubahan yang diperlukan di sana-sini) hal itu berlaku
juga dalam mengkaji dan memahami hukum
Islam. Ini berarti bahwa hukum Islam (1) harus dipelajari dalam
kerangka dasar ajaran Islam, yang menempatkan hukum Islam sebagai
salah-satu bagian agama Islam, (2) harus dihu- bungkan dengan iman
(akidah) dan kesusilaan (akhlak, etika atau moral), karena dalam
sistem hukum Islam, iman, hukum dan kesusilaan tidak dapat
diceraipisahkan. Karena itu, (3) tidak dapat dikaji dan dipahami
dengan mempergunakan ilmu hukum Barat (baik kontinental maupun
Anglosakson) yang sifatnya sekular; (4) harus dikaitkan dengan
beberapa istilah kunci, di antaranya adalah syariah dan fiqih yang
dapat dibedakan tetapi tidak mungkin diceraipisahkan. Untuk pem-
baruan dan pengembangan hukum Islam, kedua istilah ini harus
dipahami benar maknanya; syariah adalah ketetapan Allah dan
ketentuan Rasul-Nya sedang fiqih adalah pemahaman dan hasil karya
manusia tentang syariah; (5) mengatur seluruh tata hubungan manusia,
baik dengan Tuhan, dengan diri sendiri, dengan manusia lain dan
benda dalam masyarakat serta alam sekitarnya; (6) dikaji dan
dipelajari dengan mempergunakan metodologi hukum Islam sendiri
yang disebut usul fiqih. Dalam hubungan ini perlu segera dicatat
bahwa kendatipun hukum Islam mempunyai hubungan yang erat
dengan iman atau akidah yakni komponen dasar agama Islam, tetapi
hal-hal yang berhubungan dengan iman (akidah) atau keyakinan
seorang Muslim tidaklah dibicarakan dalam kuliah ini. Demikian juga
halnya dengan hukum Islam bidang ibadah, yakni upacara dan tata
cara pengabdian langsung manusia kepada Tuhannya. Juga soal
kesusilaan atau akhlak. Yang dipelajari dalam kuliah ini adalah
68 Hukum Islam
(hanya) hukum Islam bidang muamalah dalam pengertian umum yaitu
pengaturan tata hubungan manusia dengan manusia lain dan benda
dalam kehidupan masyarakat.
69

Sumber, Asas-asas Hukum Islam


dan al-Ahkam al-Khamsah

PENGERTIAN SUMBER HUKUM ISLAM


Menurut Kamus Umum Bahasa Indonesia (Poerwadar- minta,
1976:974) sumber adalah asal sesuatu. Sumber hukum Islam
adalah asal (tempat pengambilan) hukum Islam. Dalam
kepustakaan hukum Islam di tanah air kita, sumber hukum Islam,
kadang-kadang disebut 'dalil' hukum Islam atau 'pokok' hukum
Islam atau 'dasar' hukum Islam (M. Tolchah Mansoer, 1980, 24;
Mukhtar Yahya, 1979:21). Allah telah menentukan sendiri sumber
hukum (agama dan ajaran) Islam yang wajib diikuti oleh setiap
Muslim. Menurut Alquran surat Al-Nisa'-
(4) ayat 59, setiap Muslim wajib mentaati (mengikuti) kemauan
atau kehendak Allah, kehendak rasul dan kehendak ulil amri yakni
orang yang mempunyai kekuasaan atau "penguasa". Kehendak
Allah berupa ketetapan kini tertulis dalam Alquran, kehendak rasul
berupa sunnah terhimpun sekarang dalam kitab-kitab hadis,
kehendak "penguasa" kini dimuat dalam peraturan perundang-
undangan (dulu dan sekarang) atau dalam hasil karya orang yang
memenuhi syarat untuk berijtihad karena mempunyai "kekuasaan"
berupa ilmu pengetahuan
70 Hukum Islam

untuk mengalirkan (ajaran) hukum Islam dari dua sumber utamanya


yakni dari Alquran dan dari kitab-kitab hadis yang memuat Sunnah
Nabi Muhammad. Yang ditetapkan Allah dalam Alquran itu
dirumuskan dengan jelas dalam percakapan Nabi Muhammad dengan
sahabat Beliau Mu'az bin Jabal, yang di dalam kepustakaan terkenal
dengan hadis Mu'az. Demi- kianlah, menurut riwayat, pada suatu
ketika Nabi Muhammad mengirimkan seorang sahabatnya ke Yaman
(dari Madinah) untuk menjadi gubernur di sana. Sebelum berangkat,
nabi Muhammad menguji sahabatnya yang bernama Mu'az bin Jabal
itu, dengan menanyakan sumber hukum yang akan diperguna- kannya
kelak untuk memecahkan berbagai masalah dan atau sengketa yang
dijumpainya di daerah baru itu. Pertanyaan itu dijawab oleh Mu'az
dengan mengatakan bahwa dia akan mempergunakan Alquran.
Jawaban tersebut disusul oleh nabi dengan pertanyaan: "Jika tidak
terdapat petunjuk khusus (mengenai suatu masalah) dalam Alquran
bagaimana?" Mu'az menjawab: "saya akan mencarinya dalam Sunnah
nabi. Nabi bertanya lagi: "Kalau engkau tidak menemukan petunjuk
pe- mecahannya dalam Sunnah nabi, bagaimana?" Mu'az menjawab:
"Jika demikian, saya akan berusaha sendiri mencari sumber
pemecahannya dengan mempergunakan ra'yu atau akal saya dan akan
mengikuti pendapat saya itu." Nabi sangat senang atas jawaban Mu'az
tersebut dan berkata: Aku bersyukur kepada Allah yang telah
menuntun utusan rasul-Nya (H.M. Rasjidi, 1980: 456).
Dari hadis Mu'az bin Jabal di atas, dapatlah disimpulkan bahwa
(a) sumber hukum Islam ada tiga, yaitu (1) 'Alquran,' (2) 'As-Sunnah, 1
dan (3) 'akal pikiran' manusia yang memenuhi syarat untuk berijtihad.
Akal pikiran ini, dalam kepusta-
Sumber, Asas-asas Hukum Islam dan al-Akkam al-Khamsah 75 kaan hukum

Islam, disebut juga dengan istilah ar-ra'yu atau pendapat orang atau
pendapat orang-orang yang memenuhi syarat untuk menentukan nilai
dan norma (kaidah) pengukur tingkah-laku manusia dalam segala
bidang hidup dan kehidupan. Ketiga sumber hukum Islam itu
merupakan satu rangkaian kesatuan, dengan urutan keutamaan seperti
tercantum dalam kalimat tersebut di atas. Tidak boleh dibalik. Jika
dihubungkan dengan peringkatannya, Alquran dan As- Sunnah yang
terdapat dalam kitab-kitab hadis = Al-Hadis merupakan sumber utama,
sedang akal pikiran manusia yang memenuhi syarat untuk berijtihad
menentukan norma benar- salahnya suatu perbuatan merupakan
sumber tambahan atau sumber pengembangan. Selain itu, dari hadis
Mu'az bin Jabal itu pula kita dapat menyimpulkan (b) beberapa hal,
yaitu (1) Alquran bukanlah kitab hukum yang memuat kaidah-kaidah
hukum secara lengkap terinci. Pada umumnya hanya memuat kaidah-
kaidah hukum fundamental yang harus dikaji dengan teliti dan
dikembangkan oleh pikiran manusia yang memenuhi syarat untuk
diterapkan dalam masyarakat, (2) Sunnah . Nabi Muhammad dalam
Al-Hadis pun, sepanjang yang mengenai soal 'muamalah' yaitu soal
hubungan antara manusia dengan manusia lain dalam masyarakat,
pada umumnya, hanya mengandung kaidah-kaidah umum yang harus
dirinci oleh orang yang memenuhi syarat untuk dapat diterapkan pada
atau dalam kasus-kasus tertentu, (3) Hukum Islam yang terdapat dalam
Alquran dan As-Sunnah atau Al-Hadis itu perlu dikaji, dirinci lebih
lanjut, (4) Hakim (atau penguasa) tidak boleh menolak untuk
menyelesaikan suatu masalah atau sengketa dengan alasan bahwa
hukumnya tidak ada. Ia wajib memecahkan masalah atau
menyelesaikan sengketa yang disampaikan kepadanya dengan
berijtihad, melalui berbagai jalan (metode), cara atau upaya.
Muhammad Idris As-Syafi'i (767-820 M) yang terkenal dengan
panggilan kehormatan Imam Syafi'i, setelah lebih dari seabad Nabi
Muhammad wafat, dalam periode pembinaan, pengembangan dan
pembukuan hukum Islam di permulaan KhalifahAbbasiyah (750-
1258), atas permintaan Abdurrahman bin Mahdi, menyusun suatu
teori tentang sumber-sumber hukum Islam dalam sebuah buku yang
bernama Kitab al-Risala fi Usui al Fiqh, telah disebut di muka, biasa
disingkat dengan Kitab al-Risala atau al-Risala(h) (dibacaarrisala(h))
saja (Majid Khadduri, 1961:21). Menurut pendapat Syafi'i, dalam
buku tersebut, sumber hukum Islam ada empat, yaitu (1) Alquran,
(2) As-Sunnah atau Al-Hadis, (3) Al-Ijma1, dan (4)A l-Qiyas. Pendapat As-
Syafi'i ini disandarkan pada Alquran surat Al- Nisa' (4) ayat 59
tersebut di atas, yang terjemahannya (lebih kurang) berbunyi sebagai
berikut: "Hai orang-orang yang beriman: taatilah Allah, taatilah rasul
dan orang-orang yang memegang kekuasaan di antara kamu. Jika
kamu berbeda pendapat mengenai sesuatu, kembalikanlah (perbedaan
pendapat itu) kepada Allah dan rasul." Perkataan "taatilah Allah (dan)
taatilah rasul" dalam ayat tersebut menunjuk pada Alquran dari As-
72 Hukum Islam

Sunnah atau Al-Hadis sebagai sumber hukum Islam. Perkataan "dan


(taatilah) orang-orang yang memegang kekuasaan di antara kamu,"
menunjuk kepada al-Ijma sebagai sumber hukum. Sedang kata-kata
"jika kamu berbeda pendapat mengenai sesuatu, kembalikanlah
kepada Allah dan rasul" menunjuk kepada al-qiyas sebagai sumber
hukum Islam (Hasbi Ash-Shiddieqy, 1953:50).
Sumber, Asas-asas Hukum Islam dan al-Ahkam al-Khamsah 96
Selain bertitik-tolak dari Alquran surat An-Nisa' (4) ayat 59 di
atas, pendapat Syafi'i itu juga dimaksudkannya untuk menautkan
pendapat Abu Hanifah yang mengutamakan akal pikiran atau ar-ra'yu,
setelah Alquran, sebagai sumber hukum Islam dengan pendapat Malik
bin Anas yang mengutamakan As-Sunnah atau Al-Hadis setelah
Alquran, sebagai sumber hukum. Perbedaan pendapat antara para
pendiri mazhab ini, mengenai peringkat sumber hukum setelah
Alquran disebabkan karena faktor lingkungan, tersedianya nara
sumber mengenai hadis dan tempat mereka berijtihad: Abu Hanifah di
Kufah (di Irak sekarang) sedang Malik bin Anas di Madinah (di Saudi
Arabia sekarang). Keadaan dan lingkungannya berbeda.
Keempat sumber hukum Islam yang disebut oleh Syafi'i ini
disepakati oleh para ahli hukum (mazhab) yang lain. Karena itu,
Syafi'i dianggap sebagai arsitek agung, pemba- ngunan (teori) ilmu
pengetahuan hukum Islam. Istidal yang disebut juga sebagai sumber
hukum Islam dalam mazhab Syafi'i, tidak disepakati oleh mazhab lain.
Sama halnya dengan istihsan, istisKab dan 'urf yang dipergunakan oleh
mazhab Hanafi serta al-masalih al-mursalah (akan dijelaskan di bawah)
yang dikemukakan oleh mazhab Maliki.
Di tanah air kita, ke dua susunan sumber-sumber hukum Islam
tersebut, tertulis dalam kepustakaan hukum Islam. Jika kita teliti
dengan saksama, antara kedua sistematik sumber hukum Islam
tersebut, sesungguhnya, pada hakikatnya adalah sama. Baik yang
menyebut tiga berdasarkan Alquran surat 4:59 dan hadis Mu'az bin
Jabal, maupun yang memerincinya menjadi empat berdasarkan ayat
Alquran yang sama dan perumusan Syafi'i itu, sama-sama berpendapat
bahwa sumber utama dan terutama adalah Alquran dan As-Sunnah
atau 78 Hukum Islam
Al-Hadis. Sumber tambahan atau sumber pengembangan hukum Islam
yang lain, pada hakikatnya juga sama, karena apa yang disebut Syafi'i
sebagai al-Ijma' dan al-Qiyas itu sesung- guhnya adalah jalan atau
metode atau cara yang dipergunakan oleh akal pikiran manusia, baik
sendiri-sendiri melakukan analogi (qiyas) maupun secara bersama-sama
mencapai suatu konsensus (ijmak) dalam usaha menemukan atau
menentukan kaidah hukum untuk diterapkan pada satu kasus tertentu.
SUMBER-SUMBER HUKUM ISLAM
Dari uraian di atas dapatlah disimpulkan bahwa sumber- sumber
hukum Islam adalah (1) Alquran dan (2) As-Sunnah ( Al- Hadis) serta (3)
akal pikiran (ra'yu) manusia yang memenuhi syarat untuk berijtihad karena
pengetahuan dan peng- alamannya, dengan mempergunakan berbagai
jalan (metode) atau cara, 'di antaranya' adalah (a) ijmak, (b) qiyas, (c)
istidal, (d) al-masalih al-mursalah, (e) istihsan, (f) istishab, dan (g) 'urf.
Dalam uraian berikut, secara ringkas dan hanya dilihat dari
beberapa seginya saja, akan disebut sumber-sumber hukum Islam
tersebut.
Alquran
Alquran adalah sumber hukum Islam pertama dan utama. Ia
memuat kaidah-kaidah hukum fundamental (asasi) yang perlu dikaji
dengan teliti dan dikembangkan lebih lanjut. Menurut keyakinan umat
Islam, yang dibenarkan oleh penelitian ilmiah terakhir (Maurice
Bucaille, 1979: 185), Alquran adalah kitab suci yang memuat wahyu
(firman) Allah, Tuhan Yang Maha Esa, asli seperti yang disampaikan
oleh malaikat
Sumber, Asas-asas Hukum Islam dan al-Ahkam al-Khamsah 79

Jibril kepada Nabi Muhammad sebagai rasul- Nya sedikit demi


sedikit selama 22 tahun 2 bulan 22 hari, mula-mula di Makkah
kemudian di Madinah untuk menjadi pedoman atau petunjuk bagi
umat manusia dalam hidup dan kehidupannya mencapai kesejahteraan
di dunia ini dan kebahagiaan di akhirat kelak.
Perkataan Alquran berasal dari kata kerja qara-a artinya (dia
telah) membaca. Kata kerja qara-a ini berubah menjadi kata kerja
suruhan iqra' artinya bacalah, dan berubah lagi menjadi kata benda
qur'an, yang secara harfiah berarti bacaan atau sesuatu yang harus
dibaca atau dipelajari. Makna perkataan itu sangat erat hubungannya
dengan arti ayat Alquran yang pertama diturunkan di gua Hira' yang
dimulai dengan perkataan iqra' (kata kerja suruhan) artinya 'bacalah.'
Membaca adalah salah-satu usaha untuk menambah ilmu pengetahuan
yang sangat penting bagi hidup dan kehidupan manusia. Dan ilmu
pengetahuan (itu) hanya dapat diperoleh dan dikembangkan dengan
jalan membaca dalam arti kata yang seluas- luasnya. Menurut S.H.
Nasr (SH. Nasr, 1981:27) yang terdapat dalam Alquran adalah
prinsip-prinsip segala ilmu pengetahuan, termasuk di dalamnya
kosmologi (cabang astronomi = ilmu tentang matahari, bulan,
bintang, dan planet lainnya, yang menyelidiki asal-usul, susunan, dan
hubungan ruang- waktu di alam semesta) dan pengetahuan alam.
Dalam ajaran Islam, demikian S. Hossein Nasr, Alquran adalah
inti sari semua pengetahuan. Namun, pengetahuan yang terkandung di
dalam Alquran hanyalah benih-benih atau prinsip-prinsipnya saja.
Adalah sama sekali tidakberguna, dan bakal mustahil, apabila kita
mencoba untuk mencari penjelasan ilmiah yang 'terinci' di dalam
Alquran seperti yang dilakukan oleh beberapa penafsir. Sama sia-
sianya dengan percobaan di dunia Barat untuk mencari hubungan
antara penemuan ilmiah dengan keterangan yang ada di dalam Injil.
Kita akan dihadapkan pada situasi yang mencengangkan, apa- bila
kita mencoba untuk membandingkan petunjuk yang abadi itu dengan
pengetahuan yang fana (yang temporer sifatnya), sebab pada saat kita
menemukan hubungan antara pengetahuan tertentu dengan teks
Alquran, pengetahuan itu sendiri telah berubah sesuai dengan
sifatnya yang fana. Yang ada di dalam Alquran adalah 'prinsip segala
pengetahuan' termasuk kosmologi dan pengetahuan tentang alam.
80 Hukum Islam

Untuk menemukan prinsip ini, orang harus menghayati arti


sebenarnya umm- al-kitab, (baca: umul kitab = kitab induk atau induk
kitab): kitab induk yang memuat pokok-pokok ketetapan Allah.
Dengan penghayatan demikian, kita akan menemukan dasar, bukan
rincian ilmu pengetahuan dalam Alquran.
Dari uraian di atas, jelas agaknya bahwa Alquran bukan saja
sumber pengetahuan metafisis dan sumber ajaran keaga- maan, tetapi
juga sumber segala ilmu pengetahuan. Peranan Alquran di dalam
filsafat Islam dan ilmu pengetahuan, karena itu, sangat penting.
Begitu pula dalam 'hukum' dan metafisika, meskipun seringkali
diabaikan oleh para peneliti masa kini bahwa Alquran adalah
pedoman dan sekaligus kerangka segala kegiatan intelektual Islam.
Selanjutnya, Sayyid Husein Nasr berkata: "Sebagai pedoman
abadi, Alquran mempunyai tiga petunjuk bagi manusia:
Pertama, adalah ajaran yang memberi pengetahuan tentang
struktur (susunan) kenyataan alam semesta dan posisi berbagai
makhluk, termasuk manusia, serta benda di jagad raya. Ia juga
Sumber, Asas-asas Hukum Islam dan al-Ahkam al-Khamsah 81 mengandung

metafisika tentang Tuhan, kosmologi dan pembahasan tentang


kehidupan akhirat. Ia berisi segala pelajaran yang diperlukan manusia
untuk mengetahui siapa dirinya, di mana ia berada sekarang (dunia)
dan ke mana ia akan pergi (akhirat). Ia berisi petunjuk tentang iman
atau keyakinan, syariat atau hukum, akhlak atau moral yang perlu
dipedomani manusia dalam kehidupan sehari-hari. Alquran, karena
itu, menjadi dasar hukum Tuhan, memberi pengetahuan tentang
metafisika (ilmu pengetahuan yang berhubungan dengan hal-hal yang
nonfisik atau tidak kelihatan), struktur alam semesta, dan kedudukan
berbagai makhluk, termasuk manusia, di dalamnya.
Kedua, Alquran berisi petunjuk yang menyerupai sejarah manusia,
rakyat biasa, raja-raja, orang-orang suci, para nabi sepanjang zaman
dan segala cobaan yang menimpa mereka. Meskipun petunjuk ini
berupa sejarah, sebenarnyaiaditujukan pada jiwa manusia. Petunjuk
itu diturunkan kepada jiwa manusia di sini dan sekarang, kendatipun
ia mengambil tempat dan waktu yang telah lalu. Para pendusta atau
orang- orang munafik yang menyebarkan kebohongan tentang agama
selalu ada setiap saat, begitu pula mereka yang mengingkari Tuhan
atau mereka yang berada di jalan yang lurus. Mereka yang (akan)
dijatuhi siksa-Nya dan yang diberi karunia-Nya selalu ada pada setiap
ruang dan waktu. Demikianlah, Alquran adalah petunjuk tentang
kehidupan manusia, yang dimulai dengan kelahiran, diakhiri dengan
kematian, berasal dari-Nya dan pasti kembali kepada-Nya.
Ketiga, Alquran berisi sesuatu yang sulit untuk dijelaskan dalam
bahasa biasa. Ayat-ayat Alquran, karena berasal dari firman Tuhan,
mengandung kekuatan yang berbeda dari apa yang dapat kita pelajari
secara rasional. Ayat-ayat itu mempunyai kekuatan melindungi
manusia. Itulah sebabnya mengapa kehadiran fisik Alquran sendiri
membawa berkat bagi manusia. Apabila seorang Muslim menghadapi
kesulitan, ia membaca ayat-ayat Alquran tertentu untuk menenangkan
dan menghibur hatinya. Menurut agama Islam, membaca Alquran,
adalah salah-satu jalan mendekatkan diri kepada Allah dan merupakan
ibadah. Dan apabila ia sangat membu- tuhkan sesuatu, misalnya,
seorang Muslim membaca ayat-ayat yang lain. Atau apabila ia
berjumpa sesama Muslim di mana pun juga di dunia, ia memberi
salam dengan kata-kata yang diambil dari Alquran.
Di samping berisi hukum Tuhan, Alquran juga mengandung
ajaran tentang dunia dan akhirat, dalam ekspresi dan formasi apa
adanya. Ada ahli Barat yang mengajukan kritik terhadap Alquran,
terutama karena formulasinya tentang surga dan neraka, sebagai
sesuatu yang bersifat sangat inderawi. Ini mungkin disebabkan karena
penekanan berlebihan terhadap aspek mental manusia, sehingga
terjadi pengabaian terhadap simbolisme. Dalam hubungan ini harus
diingat bahwa Alquran bukan saja diturunkan untuk orang-orang yang
menyukai kontemplasi (perenungan) dan spekulasi metafisik, tetapi
juga untuk orang-orang yang sederhana, yang tidak mengenai
kegembiraan dalam perenungan, sehingga diperlukan penggambaran
inderawi bagi mereka. Sedangkan bagi golongan yang pertama, di
dalam Alquran terdapat kete- rangan yang paling mendalam tentang
kehidupan dunia akhirat dalam bahasa yang paling konkret, yaitu
'simbolisme.'
Dalam hubungan ini perlu dikemukakan bahwa komentar
tradisional yang menerangkan simbolisme dan memperluas
Sumber, Asas-asas Hukum Islam dan al-Ahkam al-Khamsah 82
formulasi Alquran untuk menerangkan kehidupan alam barzah
dan akhirat, menyediakan substansi intelektual yang mencakup untuk
ahli ilmu kalam dan metafisika sekalipun Alquran diturunkan baik
untuk petani sederhana maupun untuk ahli metafisika, sehingga
Alquran mengandung berbagai tingkat pengertian bagi semua jenis
pembacanya. Adalah sia-sia untuk mengajukan kritik terhadap
Alquran hanya karena kita tidak bisa menerima diskripsi (pelukisan)
harfiah di dalam Alquran atau karena tidak bisa memahami
simbolisme yang terdapat di dalamnya. Mungkin ada yang
mengatakan bahwa pemahaman Alquran yang serupa itu tidak akan
mempunyai arti apa-apa selain cerita tentang perang, perintah dan
larangan, surga dan neraka dan seterusnya. Memang banyak orang
yang membaca Alquran tanpa menda- patkan apa-apa, kecuali
petunjuk harfiah. Ini disebabkan karena tidak ada kitab suci yang
menjelaskan rahasia yang terkandung di dalamnya secara begitu
mudah. Lagi pula Alquran mengandung berbagai tingkat arti, karena
itu orang harus dipersiapkan agar dapat memahami arti Alquran secara
baik dan benar. Manusia menemukan arti Alquran yang jelas melalui
pengkajian terhadap hal yang secara implisit (tersirat) terdapat di
dalamnya, demikian S.H. Nasr.
Alquran adalah kitab yang paling banyak dibaca bahkan dihafal
oleh manusia. Setiap Muslim yang melakukan ibadah salat paling
tidak menghafal tiga buah surat (pendek) yang terdapat dalam
Alquran.'Ia dibaca oleh orang Islam selama dan setiap bulan Ramadan
atau pada malam-malam tertentu sepanjang tahun. Menurut para ahli,
pada garis-garis besarnya Alquran memuat soal-soal yang berkenaan
dengan (1) akidah,
(2) syariah baik (a) ibadah maupun (b) muamalah, (3) akhlak dalam
semua ruang-lingkupnya, (4) kisah-kisah umat manusia di masa lalu,
(5) berita-berita tentang zaman yang akan datang (kehidupan akhirat),
dan (6) benih atau prinsip-prinsip ilmu pengetahuan, dasar-dasar
hukum atau hukum-hukum dasar yang berlaku bagi alam semesta,
termasuk manusia di dalamnya.
Abdul Wahab Khallaf menyebut macam-macam "hukum" dalam
Alquran, yang tidak termasuk ke dalam bidang hukum menurut apa
yang biasa kita pelajari baik menurut hukum adat maupun menurut
hukum Barat. Menurut pandangan Islam, "hu-kum-hukum" yang
terkandung dalam Alquran adalah (I) hukum-hukum i'tiqadiyah, yaitu
hukum-hukum yang berkaitan dengan kewajiban para subjek hukum
untuk mempercayai Allah, malaikat-malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya,
rasul-rasul- Nya, hari pembalasan, kada dan kadar, (2) hukum-hukum
akhlak, yaitu hukum-hukum Allah yang berhubungan dengan kewajiban
seorang subjek hukum untuk "menghiasi" dirinya dengan sifat-sifat
keutamaan dan menjauhkan diri dari sifat- sifat yang tercela, (3)
hukum-hukum amaliyah yakni hukum- hukum yang bersangkutan
dengan perkataan, perbuatan, perjanjian, dan hubungan kerja sama
antarsesama manusia. Macam hukum yang ketiga ini dibagi lagi ke
dalam dua jenis yaitu (a) hukum ibadah yakni hukum yang mengatur
hubungan antara manusia dengan Allah dalam mendirikan salat,
melaksanakan ibadah puasa, mengeluarkan zakat dan melakukan
ibadah haji dan (b) hukum-hukum muamalah, yakni semua hukum
yang mengatur hubungan manusia dengan manusia, baik hubungan
antarpribadi maupun hubungan antarorang perorangan dengan
masyarakat. Dilihat dari isi hukum-hukum muamalah dalam kategori
ini, hukum-hukum muamalah tidak hanya mengenai hukum perdata,
menurut
Sumber, Asas-asas Hukum Islam dan al-Ahkam al-Khamsah 85 konsep dan

pengertian hukum Barat, tetapi termasuk juga ke dalamnya apa yang


disebut hukum pidana. Menurut pengertian hukum Alquran, semua
hukum dalam kategori hukum- hukum amaliah tersebut di atas, selain
hukum-hukum yang berkenaan dengan ibadah, adalah hukum
muamalah. Hukum muamalah dalam pengertian ini, menurut Abdul
Wahab Khallaf, meliputi juga, selain hukum perdata, juga hukum
pidana, hukum tata negara, hukum internasional, hukum ekonomi-
keuangan bahkan juga hukum acara (Abdul Wahab Khallaf, 1980: 44-
46).
Dari uraian tersebut di atas dapatlah diketahui bahwa konsep
"hukum" dalam Alquran, jauh lebih luas dari konsep hukum menurut
hukum Barat. Sebab, selain kaidah-kaidah yang mengatur hubungan
antara manusia dengan Allah dan hubungan antara manusia dengan
manusia lain dalam masyarakat (syariah), meliputi juga hukum yang
berkenaan dengan keyakinan dan sikap manusia terhadap
lingkungannya yang biasa disebut dengan akidah, akhlak atau moral.
Dengan demikian, konsep hukum menurut Alquran adalah all compre-
84 Hukum Islam

hensive: meliputi segala-galanya sesuai dengan sifat Pencipta- nya


yaitu Allah Penguasa alam semesta yang menguasai semuanya. Ini
berarti bahwa hukum, menurut konsep Alquran, tidak dapat dicerai
pisahkan dengan iman (keyakinan, akidah, i'dqadiyah) dan akhlak seperti
yang terdapat dalam ilmu hukum Barat yang memisahkan agama dan
kesusilaan atau moral dari hukum. Dengan kata lain, dalam konsep
hukum Alquran, iman, akhlak, dan hukum berjalin berkelindan; dapat
dibeda- kan, tetapi tidak dapat dicerai pisahkan. Hal ini mempertebal
ketaatan dan kepatuhan hukum seseorang karena sebagai orang yang
beriman, yang yakin bahwa segala gerak-gerik dan tingkah-lakunya
dicatat oleh malaikat dan akan dipertang- gungjawabkan di akhirat
kelak dalam mahkamah yang dipimpin oleh Hakim Yang Maha Adil,
ia akan mentaati kewajiban- kewajiban yang dibebankan kepadanya
oleh Allah dan mema- tuhi segala larangan-Nya seperti berzina,
membunuh, mencuri dan sebagainya. Demikian juga halnya dengan
orang yang berakhlak atau bermoral. Kendatipun perbuatannya tidak
termasuk dalam kategori melanggar kaidah hukum, ia tidak mau
berdusta, melakukan sikap-sikap yang tidak baik, karena ia percaya
bahwa sikapnya itu melanggar "hukum" atau kete- tapan Allah
mengenai akhlak manusia yang baik, dan pasti akan dimintai dan
harus dipertanggungjawabkan kelak di mahkamah yaum al-akhirah (baca:
yaumul akhirah = hari akhir) di hadapan Allah pemberi patokan
(kaidah) akhlak yang disebut di dalam Alquran itu. Beriman kepada
adanya hari akhirat waktu manusia dibangkitkan lagi nanti untuk
mempertang- gungjawabkan segala sikap dan perbuatannya selama
hidup di dunia ini, merupakan salah satu faktor yang menyebabkan
orang mematuhi hukum-hukum yang langsung datang dari Allah,
Tuhan Yang Maha Esa, seperti hukum (syariat) Islam yang kita
bicarakan ini, misalnya. Itulah sebabnya, maka kaidah-kaidah hukum
(syariat) Islam yang bersifat normatif, yang walaupun tidak diberi
padahan atau sanksi oleh penguasa karena belum menjadi hukum
positif di tanah air kita, ditaati oleh seorang Muslim (yang baik)
karena ia yakin bahwa semua kaidah-kaidah hukum (syariat) Islam
baik yang bersifat normatif maupun yang telah menjadi hukum positif,
merupakan hukum baginya yang harus ditaati dan dilaksanakan
sebaik- baiknya menurut kemampuan yang ada padanya.
Menurut Abdul Wahab Khallaf pula (Abdul Wahab Khallaf,
1980:46)
Sumber, Asas-asas Hukum Islam dan al-Ahkam al-Khamsah 87
jumlah ayat-ayat Alquran mengenai hukum amaliyah, yaitu hukum-
hukum mengenai perbuatan, perjanjian dan hubungan kerja sama
antara sesama manusia dan yang mengatur hubungan manusia dengan
Allah tidak banyak jumlahnya, jika dibandingkan dengan keseluruhan
ayat-ayat Alquran. Ayat hukum mengenai ibadah, menurut Khallaf,
berjumlah 140, sedang ayat-ayat hukum mengenai muamalah (dalam
pengertian tersebut di atas) berjumlah 228. Jumlah seluruh ayat-ayat
hukum itu, menurut penelidan beliau, 368, atau lebih kurang 5-6 atau
5,8% saja. Yang benar-benar mengatur hubungan antara manusia
dengan manusia dalam masyarakat sekitar 3% dari seluruh ayat-ayat
Alquran.
Menurut penelitian para ahli, ayat-ayat Alquran yang
berhubungan dengan ibadah dan ayat-ayat hukum yang berkenaan
dengan keluarga sudah terinci dan pada umumnya adalah jelas dan
pasti. Karena sifatnya ta'abudy (harus diikuti seperti apa adanya)
hukum-hukum yang berkenaan dengan ibadah tidak banyak dianalisis
dan dikembangkan oleh pikiran manusia. Sifatnya tetap, tidak berubah
karena perubahan waktu, suasana dan lingkungan. Hukum keluarga,
termasuk hukum perkawinan dan kewarisan di dalamnya, juga terinci
dan jelas dalam Alquran. Jumlahnya pun lebih banyak (70 ayat) jika
dibandingkan dengan hukum-hukum di bidang yang lain, misalnya
hukum tata negara (10 ayat) dan hukum internasional (25 ayat).
Mengenai kelompok hukum-hukum muamalah tersebut terakhir
ini, yaitu hukum-hukum perdata (70 ayat), pidana (30 ayat), tata
negara (10 ayat), internasional (25 ayat), ekonomi keuangan (10 ayat)
dan hukum acara (13 ayat), ketentuan- ketentuannya masih bersifat
dasar dan umum. Hanya sedikit yang rinci. Ini disebabkan karena
kaidah-kaidah hukum fundamental itu bersifat "terbuka" dan taaqully
(dapat dipikirkan) untuk dikembangkan oleh akal manusia dan
dirumuskan sesuai dengan perkembangan masyarakat, kebutuhan
hukum dan keadilan pada suatu masa, tempat dan lingkungan. Dalam
hal atau bidang muamalah ini, Alquran hanya memberi ketentuan-
ketentuan fundamental yang bersifat umum saja, agar "penguasa"
dapat mengatur dan merumuskannya lebih lanjut di dalam peraturan
perundang- undangan dan melaksanakannya sesuai dengan
kemaslahatan yang diharapkan manusia pada suatu saat dan tempat,
86 Hukum Islam

asal saja pengaturan itu tidak bertentangan dengan ketentuan-


ketentuan Alquran dan jiwa syariat (hukum) Islam sendiri (Mukhtar
Yahya, 1979:32-33).
Menurut surat al-Imran (3) ayat 7, ayat-ayat Alquran ada yang
(a) muhkam(at)ada pula yang (b) mutasyabih(at). Ayat (a) muhkam (at)
adalah ayat yang memuat ketentuan-ketentuan pokok yang jelas
artinya, dapat dipahami dengan mudah oleh semua orang yang
mempelajarinya. Ayat (b) mutasyabih (at) adalah ayat perumpamaan,
yang mengandung kiasan. Ia hanya dapat dipahami oleh orang-orang
yang mempunyai pengetahuan yang luas dan mendalam tentang
Alquran. Nas atau teks Alquran mengenai hukum tercantum dalam
ayat-ayat muhkam, tidak pada ayat-ayat mutasyabih atau mutasyabihat
(Dusuki Haji Ahmad, 1976:227, 244).
Ayat-ayat hukum di dalam Alquran yakni ayat-ayat muhkam (at)
tersebut di atas, mungkin teksnya menunjukkan pengertian yang qath'i,
mungkin pula zhanni sifatnya. Yang dimaksud dengan nas atau teks
yang qath’i adalah kata atau kalimat yang mengandung arti yang jelas,
sehingga tidak
Sumber, Asas-asas Hukum Islam dan al-Ahkam al-Khamsah 89 mungkin

ditafsirkan lain dari yang tersebut dalam teks tersebut. Contohnya


adalah kalimat yang tercantum dalam surat Al-Nisa' (4) ayat 12 yang
berbunyi, "Dan bagimu (suami) adalah seperdua harta peninggalan
istrimu, jika istrimu tidak mempunyai anak." Teks Alquran mengenai
(garis) hukum kewarisan ini adalah qath'i, jelas artinya sehingga tidak
mungkin ditafsirkan lain dari apa yang dimaksud dalam ayat tersebut.
Dengan demikian, bagian suami dari harta peninggalan istrinya yang
tidak mempunyai anak adalah seperdua harta peninggalan mendiang
istrinya itu. Yang dimaksud dengan teks atau nas Alquran yang zhanni
sifatnya adalah kata atau kalimat yang menunjukkan arti atau
pengertian lebih dari satu, masih mungkin ditafsirkan oleh orang yang
berbeda dengan makna yang berbeda pula. Dalam kepustakaan hukum,
yang sering dijadikan contoh adalah perkataan quru' yang terdapat
dalam surat Al-Baqarah (2) ayat 228. Dalam ayat tersebut dikatakan
bahwa "perempuan yang ditalak (oleh suaminya) harus menunggu tiga
quru' (tiga masa)." Kata quru' yang menyangkut masa iddah (masa
tunggu) wanita yang diceraikan melalui talak oleh suaminya, mungkin
diartikan tiga kali masa suci atau tiga kali 'menstruasi' (haid). Kedua-
duanya benar. Kalau diartikan tiga kali masa suci, lamanya masa
tunggu atau masa iddah wanita itu akan berbeda dengan kalau tiga quru'
itu diartikan tiga (kali) menstruasi atau haid (Mukhtar Yahya,
1979:34).
Alquran yang menjadi sumber nilai dan norma umat Islam itu
terbagi dalam 30 juz (bagian), 114 surah (surat: bab), lebih dari 6.000
ayat, 74.499 kata atau 325.345 huruf (atau lebih tepat dikatakan
325.345 suku kata kalau dilihat dari segi bahasa Indonesia). Tentang
jumlah ayat ada perbedaan pendapat antara para ahli ilmu Alquran.
Ada ahli yang memandang 3 ayat tertentu sebagai satu ayat, ada pula
yang memandang 2 ayat tertentu sebagai satu ayat, karena masalah
koma dan titik yang diletakkan di antara ayat-ayat itu. Namun
demikian, 'jumlah kata' dan suku kata yang mereka hitung adalah
'sama.' Di Indonesia, misalnya, yang mengikuti perhi- tungan
Muhammadiyah menyebut jumlah ayat dalam Alquran 6666, sedang
masjid Agung al-Azhar menghitungnya 6236 ayat sesuai dengan
jumlah ayat di dalam Alquran yang dicetak di Mesir (Gazalba,
1976:54). Surah pertama disebut Al-Fatihah (Pembukaan), surat ke-
114 terakhir = penutup adalah surat Al-Nas (Manusia). Alquran tidak
disusun secara kronologis. Lima ayat pertama yang diturunkan di gua
Hira' pada malam 17 Ramadan atau pada malam Nuzulul Quran ketika
Nabi Muhammad berusia 40-41 tahun, sekarang terletak di surat Al-
'Alaq (9 6): 1 -5. Ayat terakhir yang diturunkan di padang Arafah,
ketika Nabi Muhammad berusia 63 tahun pada tanggal 9 Zulhijjah
tahun ke-10 Hijrah, kini terletak di surat Al-Maidah (5): 3.
Ayat-ayat Alquran yang diturunkan selama lebih kurang 23 tahun
itu disampaikan oleh malaikat Jibril kepada Nabi Muhammad lebih
kurang 13 tahun, waktu nabi masih tinggal di Makkah sebelum Hijrah
dan 10 tahun sesudah Nabi hijrah ke Madinah. Penurunannya
berangsur-angsur, mungkin beberapa ayat sebuah surat, mungkin juga
sebuah surat lengkap sekaligus seperti surat Al-Fatihah, misalnya.
Ayat- ayat yang diturunkan di Makkah (sebelum Hijrah) disebut ayat-
ayat Makkiyah, merupakan 19/30 Alquran, banyaknya 86 surat (h).
Surat dan ayatnya pendek-pendek dengan gaya bahasa yang singkat
dan padat. Pada umumnya mengenai
88 Hukum Islam
tauhid atau
Sumber, Asas-asas Hukum Islam dan al-Ahkam al-Khamsah 91
Ketuhanan Yang Maha Esa, akhlak dan hari akhir. Ayat-ayat yang
diturunkan di Madinah (sesudah Hijrah) disebut ayat-ayat Madaniyah,
merupakan 11/30 Alquran, banyaknya 28 surat (h). Surat dan ayat-
ayatnya panjang-panjang, gaya bahasanya jelas dan lugas. Isinya,
pada umumnya, adalah norma-norma hukum untuk pembentukan dan
pembinaan suatu masyarakat Islam, negara yang baik, adil dan
sejahtera yang diridai Allah.
Menurut Surat Keputusan Menteri Agama tanggal 6 Desem- ber
1946, ayat Quran pertama yang diturunkan pada Nabi Muhammad
ketika beliau berumur 40 tahun, terjadi pada tanggal 17 Ramadan
bertepatan dengan 6 Agustus 610 M, sekarang terdapat dalam surat
Al-'Alaq atau surat Al-Iqra' (96) ayat (1) sampai dengan 5.
Disampaikan oleh malaikat Jibril kepada Muhammad bin Abdullah di
gua Hira' di bukit Cahaya (Jabal Nur) sebelah utara kota Makkah.
Malam turunnya ayat Alquran yang pertama itu disebut Nuzl Alquran
(baca: nuzulul Quran) artinya turunnya Alquran yang sejak
kemerdekaan diperingati setiap tahun di Indonesia. Malam Nuzl Alquran
ini, dalam kepustakaan disebut juga malam Lait al Qadr (baca Lailatul
Qadar) atau malam ketentuan karena pada malam itu, Allah
menentukan ataumemutuskan (1) mengangkat Muhammad bin
Abdullah menjadi Utusan atau rasul Allah (Rasulullah) dan (2) Allah
menentukan (permulaan) turunnya Alquran untuk menjadi pedoman
dan pegangan hidup umat manusia.
Penentuan tanggal 17 Ramadan sebagai saat permulaan turunnya
ayat Alquran oleh Menteri Agama Republik Indonesia di atas
disandarkan pada Alquran surat Al-Baqarah (2) ayat 185, surat Al-
Qadar (97) ayat 1, surat Al-Dukhan (44) ayat 3, dan surat Al-Anfal (8)
ayat 41. Dalam surat Al-Anfal (8) ayat 41 terdapat kalimat yang
menyatakan . . jika memang kamu beriman kepada Allah dan (kepada)
apa yang Kami turunkan kepada hamba Kami pada hari pembedaan,
(yakni) hari bertemu(nya) dua golongan . . . Menurut para ahli
(sejarah) turunnya Alquran, yang dimaksud dengan (a) hari
pembedaan dan atau sekaligus pemisahan itu adalah pemisahan antara
zaman Jahiliyah dengan zaman Islam, dan yang dimaksud dengan (b)
bertemunya dua golongan adalah pertemuan dalam suatu peperangan
antara pengikut Nabi Muhammad (yang telah memeluk agama Islam)
dengan golongan orang- orang Quraish Makkah yang memerangi Nabi
Muhammad dalam suatu pertempuran yang dalam sejarah terkenal
dengan perang Badar. Perang Badar, menurut sejarah, terjadi pada
tanggal 17 Ramadan (tahun II Hijriah).
Wahyu yang terakhir yang disampaikan malaikat Jibril kepada
Nabi Muhammad kini terdapat dalam Alquran surat Al-Maidah (5)
ayat 3, ketika nabi berumur 63 tahun, waktu sedang wukuf di Arafah
tatkala melakukan Haji Wada' pada tanggal 9 Zulhijjah tahun X
Hijriah, bertepatan dengan tanggal 7 Maret 632 M. Antara wahyu
pertama sampai dengan wahyu terakhir, berlalu waktu, selama lebih
kurang, seperti telah disebutkan di atas, 23 tahun lamanya atau
tepatnya selama 22 tahun 2 bulan 22 hari.
Wahyu yang disampaikan kepada Nabi Muhammad secara
berangsur-angsur, sedikit demi sedikit itu, disusun tidak menurut
urutan turunnya, dilakukan oleh Nabi Muhammad sendiri atas
petunjuk Allah yang disampaikan kepada beliau melalui malaikat
Jibril. Susunannya adalah unique (berbeda dengan susunan kitab mana
pun jua) menurut sistem tertentu. Ayat-ayat yang tersusun rapi itu
dihafal oleh banyak orang dan
Sumber, Asas-asas Hukum Islam dan al-Ahkam al-Khamsah 93 ditulis oleh

para penulis wahyu 40 orang jumlahnya. Para penulis wahyu itu


menuliskan setiap wahyu yang diterima Nabi Muhammad di depan
nabi sendiri pada tulang-tulang unta, kulit binatang, pelepah korma
dan benda-benda lain yang dapat ditulis pada masa itu, yang kemudian
disimpan di rumah nabi sendiri. Di samping "arsip" lembaran ayat-
ayat Quran yang berada di rumah nabi ini, para penulis wahyu sendiri
juga menyimpan catatan ayat-ayat Alquran yang mereka tulis sebagai
"arsip pribadi". Catatan-catatan ini, di samping para sahabat nabi yang
menjadi penghafal Alquran yang banyak sekali jumlahnya
menyebabkan Alquran tetap terpelihara secara lengkap sejak semula.
Kenyataan itu di- tambah lagi dengan jaminan Allah sendiri yang
menyatakan bahwa Dialah yang menurunkan Alquran dan Dia pulalah
yang memeliharanya (QS Ai-Hijr (15): 9), menyebabkan Alquran
tetap asli.
Setelah Nabi Muhammad wafat, Abu Bakar yang dipilih menjadi
khalifah (pengganti) Nabi Muhammad sebagai pemim- pin masyarakat
Islam, atas saran Umar bin Khattab, meminta Zaid ibn Tsabit, salah
90 Hukum Islam
seorang penulis wahyu yang menjadi sekretaris nabi, menghimpun
ayat-ayat Alquran yang telah dicatat di zaman nabi dahulu ke dalam
satu mus-haf (kumpulan lembaran-lembaran tertulis). Zaid
melaksanakan tugasnya secara hati-hati dan cermat dengan (1) hanya
mengumpulkan ayat-ayat Alquran yang telah ditulis di depan nabi
dahulu dan yang disimpan di rumah nabi sendiri (2) disesuaikan
dengan ayat-ayat Alquran yang dihafal oleh para sahabat.
Dalam waktu kurang dari satu tahun, sebelum Abu Bakar
meningga! dunia (634), Zaid telah menyelesaikan tugasnya
mengumpulkan ayat-ayat Alquran ke dalam satu naskah. Dan dengan
demikian tercatatlah dalam sejarah Alquran bahwa Abu Bakar adalah
orang yang pertama (memerintahkan) mengumpulkan Alquran ke
dalam satu mus-haf Umar merupakan orang yang pertama mempunyai
gagasan dan menyarankan agar ayat-ayat Alquran dihimpun ke dalam
satu kitab, sedang Zaid ibn Tsabit adalah orang yang pertama
melaksanakan penulisan dan penghimpunan Alquran ke dalam satu
naskah.
Mus-haf Alquran himpunan Zaid ibn Tsabit itu kemudian disimpan
oleh Khalifah Abu Bakar. Setelah ia meninggal dunia, disimpan oleh
penggantinya Khalifah Umar. Berdasarkan pesan Umar, setelah ia
meninggal dunia, naskah itu diserahkan kepada Hafsah, karena selain
dari ia adalah janda Nabi Muhammad, ia adalah wanita hafal Alquran
dan pandai pula tulis baca.
Pada masa pemerintahan Khalifah Usman bin Affan (64,4- 655
M) penganut agama Islam semakin banyak dan daerah yang mereka
diami telah meluas ke luar Semenanjung Arab. Di daerah yang telah
menjadi luas itu, kendatipun mereka semua memakai bahasa Arab,
terdapat dialek yang berbeda. Untuk memelihara kesatuan bacaan
Alquran, atas anjuran Huzaifah, Khalifah Usman membentuk panitia
empat orang yang di- ketuai oleh Zaid ibn Tsabit, bekas sekretaris
Nabi Muhammad yang telah menghimpun Alquran ke dalam satu
naskah tersebut di atas. Panitia Zaid ibn Tsabit ini ditugaskan
menyalin suhuf (lembaran-lembaran) Alquran yang disimpan oleh
Hafsah ke dalam beberapa naskah untuk dijadikan Quran standar di
daerah-daerah yang telah memeluk agama Islam. Panitia ini dapat
menyelesaikan tugasnya pada tahun 25 H (Masyfuk
Sumber, Asas-asas Hukum Islam dan al-Ahkam al-Khamsah 95 Zuhdi,
1980:15-18). Dengan demikian, beberapa tahun setelah Nabi
Muhammad wafat Alquran sudah dibukukan.
Alquran adalah sumber nilai dan norma agama dan ajaran Islam.
Ia menjadi pedoman hidup setiap Muslim, yang harus dikaji, dipahami
makna yang dikandungnya. Timbullah gerakan untuk mempelajari
Alquran secara baik dan benar. Akibatnya muncullah disiplin ilmu
tersendiri yang khusus mempelajari Alquran yang disebut 'Ulum Alquran
(baca: 'Ulumul Quran, artinya ilmu-ilmu Alquran). Ulumul Quran
adalah ilmu-ilmu yang ada hubungannya dengan Alquran seperti ilmu
yang berkenaan dengan ilmu sebab-sebab turunnya ayat-ayat, ilmu
tentang cara membaca Alquran dengan baik dan benar, ilmu tentang
penafsiran Alquran, dan ilmu-ilmu lain yang berkaitan dengan
Alquran.
Alquran memuat firman Tuhan sendiri dalam kata-kata yang
padat dan mengandung makna yang tidak mudah dipahami. Karena itu
ia memerlukan penjelasan dan penafsiran. Penjelasan yang terbaik,
otentik dan sempurna adalah penjelasan yang diberikan oleh Nabi
Muhammad dengan sunnahnya. Penjelasan mengenai makna yang
dikandung oleh Alquran dilakukan melalui tafsiran orang-orang yang
memenuhi syarat. Selain dengan bahasa Arab sendiri, Alquran telah
ditafsirkan dengan bahasa-bahasa lain, termasuk dengan bahasa
Indonesia. Tafsir Alquran itu berkembang terus dari masa ke masa
mengikuti perkembangan pemikiran dan pengetahuan manusia,
kendatipun teks Alqurannya tetap sama. Ia berubah menuruti
perubahan kecerdasan manusia Muslim yang menafsirkannya,
mencerminkan pula sudut pandang atau aspek yang menjadi pusat
perhatian atau bidang studi para penafsirnya. Ia menggambarkan juga
aliran-aliran pemikiran dalam ilmu kalam, ilmu fiqih dan sebagainya.
Untuk menyebut sekadar contoh tafsir Alquran dalam bahasa Arab
yang banyak dipakai di tanah air kita dapat disebut misalnya tafsir
Jalalainy (baca Jalalen) yang ditulis oleh dua Jalaluddin, yaitu Jala-
luddin al Mahally dan Jalaluddin as-Suyuthy, tafsir al-Manar yang
disusuri oleh Muhammad Rasyid Rida, murid Muhammad Abduh,
tafsir al-Jawahir yang ditulis oleh Thanthawi Jauhari, tafsir al-Maragi
yang ditulis oleh Ahmad Mustafa al- Maraghi dan yang baru Fi Zilalil
Qur'an (Di Bawah Naungan Alquran) tafsir yang ditulis oleh Said
Qutub.
92 Hukum Islam
Selain ditafsirkan, Alquran juga diterjemahkan ke dalam
berbagai bahasa. Terjemahan ke dalam bahasa Inggris dengan
komentarnya yang banyak dibaca di tanah air kita adalah The Holy
Quran, karya A. Yusuf Ali. Kini (tafsir Yusuf Ali ini) sudah
diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia. Terjemahan Alquran ke
dalam bahasa Indonesia-Melayu dilakukan oleh seorang ulama Aceh
bernama Abdul Ra'uf as-Singkili, pada perte- ngahan abad ke-17 M,
ke dalam bahasa Sunda, ditulis oleh KH Iskandar Idris dengan nama
Tafsir Hibarna. Selain Quran kejawen yang terjemahannya dilakukan
oleh Kemajuan Islam Yogyakarta sebelum perang, pada permulaan
tahun 1980-an terbit pula terjemahan Alquran dalam bahasa Jawa
yang dilakukan oleh Bakri Syahid. Tafsir Quran ke dalam bahasa
Indonesia dilakukan oleh Mahmud Yunus pada tahun 1935, kemudian
disusul oleh A. Halim Hasan dan kawan-kawan, pada tahun 1936, A.
Hasan selesai dengan tafsir al-Furqannya tahun 1956. Setelah itu
banyak terbit tafsir atau terjemahan Alquran di dalam bahasa
Indonesia, di antaranya Alquran dan Terjemahnya oleh Tim Ahli
Departemen Agama (1971), dilanjutkan dengan Alquran dan Tafsirnya
(1984), Tafsir al-
Sumber, Asas-asas Azhar oleh
Hukum Islam dan al-Ahkam al-Khamsah 97
Hamkapada tahun 1966, T afsir an-Nur oleh Tengku Hasbi Ash-
Shiddieqy (1972). Terjemahan secarapuitis dilakukan oleh H.B. Jassin
dengan nama Alquranu'l Karim Bacaan Mulia pada tahun 1978.
Akhirnya perlu ditegaskan bahwa bagaimanapun baiknya
penjelasan, tafsiran atau terjemahan Alquran, tafsiran atau terjemahan
Alquran bukanlah Alquran. Tafsiran atau terjemahan Alquran,
bagaimanapun baiknya, tidak sama dan tidak boleh disamakan dengan
Alquran.
As-Sunnah atau Al-Hadis

As-Sunnah atau Al-Hadis (kadang-kadang dalam buku ini ditulis


As-Sunnah saja), adalah sumber hukum Islam kedua setelah Alquran,
berupa perkataan (sunnah qauliyah), perbuatan (sunnah fi'liyah) dan sikap
diam (sunnah taqririyah atau sunnah sukutiyah) Rasulullah yang tercatat
(sekarang) dalam kitab- kitab hadis. Ia merupakan penafsiran serta
penjelasan otentik tentang Alquran.
Ucapan, perbuatan dan sikap diam nabi dikumpulkan tepat pada
awal penyebaran Islam. Orang-orang yang me- ngumpulkan Sunnah
nabi (dalam kitab-kitab hadis) mene- lusuri seluruh jalur riwayat
ucapan, perbuatan dan pendiaman nabi. Hasilnya, di kalangan Sunni
terdapat enam kumpulan hadis utama, seperti yang dikumpulkan
antara lain oleh Bukhari dan Muslim yang dengan segera mendapatkan
pengakuan di kalangan Sunni (ahlus sunnah waljama'ah) sebagai sumber
nilai dan norma kedua sesudah kitab suci Alquran.
Di kalangan Syi'ah juga terjadi proses serupa tetapi di sam- ping
ucapan-ucapan nabi ditambahkan pula ucapan para dengan cara yang
sulit untuk ditandingi oleh para sarjana di zaman modern ini. Melalui
proses itu beberapa hadis diterima dan beberapa yang lain ditolak
karena diragukan sumbernya atau sama sekali tidak otentik.
Sesungguhnya para pengumpul hadis adalah orang-orang yang penuh
pengabdian dan pengor- banan, yang sering berkelana dari satu tempat
ke tempat lain, dari Asia Tengah (bagian Selatan Rusia sekarang) ke
Madinah atau ke Irak atau ke Syria, semata-mata untuk menyelidiki
kebenaran suatu hadis. Sepanjang sejarah Islam, para pengumpul
hadis (muhadisin) ini dikenal sebagai ilmuwan yang penuh pengabdian,
dan karena kepercayaan masyarakat sangat dibutuhkan sebelum orang
mendapat pengakuan di lapangan ini, maka jumlah ahli hadis selalu
lebih kecil jika dibandingkan dengan jumlah ahli di bidang
pengetahuan keislaman lainnya.
Melalui kitab-kitab hadis, seorang Muslim mengenai nabi dan isi
Alquran. Tanpa As-Sunnah sebagian besar isi Alquran akan
tersembunyi dari mata manusia. Di dalam Alquran tertulis misalnya
100 Hukum
perintah untuk
Islammendirikan salat. Tanpa As-Sunnah orang tidak akan

tahu bagaimana cara mengerjakannya. Salat, yang menjadi tiang pusat


semua ibadah Islam, tidak akan dapat dikerjakan tanpa petunjuk
berupa perbuatan nabi sehari-hari. Ini berlaku pula pada seribu satu
hal lain sehingga hampir tidak perlu lagi untuk menyatakan hubungan
yang vital antara Alquran dengan Sunnah Rasulullah, yang telah
dipilih Tuhan untuk menjadi pembawa dan penerang petun- juk-Nya.
Itulah sebabnya maka kedua sumber nilai dan norma Islam ini tidak
boleh dicerai pisahkan. Seorang Muslim yang baik akan selalu
mempergunakan Alquran dan As-Sunnah atau Al-Hadis sebagai
pegangan hidupnya, mengikuti pesan
Sumber, Asas-asas Hukum Islam dan al-Ahkam al-Khamsah 101 nabi pada

waktu melakukan haji perpisahan sebelum beliau wafat.


"Kutinggalkan pada kalian dua pusaka yang sangat berharga. Kalian
tidak akan sesat selama-lamanya selama kalian berpegang teguh
kepada kedua pusaka yang sangat berharga itu yaitu Alquran dan
Sunnahku."
Sebelum mengakhiri pembahasan umum tentang As- Sunnah,
perlu ditegaskan adanya ucapan-ucapan nabi yang disebut Hadis Qudsi
yang tidak menjadi bagian Alquran, tetapi di dalamnya Tuhan
berbicara melalui nabi. Hadis Qudsi adalah hadis suci yang isinya
berasal dari Tuhan, disampaikan dengan kata-kata nabi sendiri.
Meskipun Hadis Qudsi berjumlah sedikit, tetapi peranannya sangat
penting sehingga menjadi dasar kehidupan spiritual umat Islam
bersama dengan beberapa surat tertentu di dalam Alquran. Sufisme
didasarkan pada Hadis Qudsi dan banyak Sufi (ahli tasawuf) yang
meng- ingatnya di dalam kepala dan terus-menerus mengingatnya
sepanjang hidup mereka. Hadis Qudsi berisi petunjuk tentang
kehidupan spiritual dan tidak membahas soal-soal politik dan sosial
dalam kehidupan. Isi Hadis Qudsi kebanyakan tentang hubungan
langsung antara manusia dan Tuhan seperti tersirat dalam sebuah
Hadis Qudsi yang terkenal, yang sering diucapkan berulang-ulang
oleh para sufi sepanjang masa:
"Hambaku tidak pernah berhenti mendekatkan dirinya
kepadaKu melalui pengabdian yang bebas sampai Kucintai
dia. Dan apabila telah Kucintai dia, maka Akulah
pendengaran alatnya mendengar, mata alatnya melihat,
tangan alatnya memegang, dan kaki sarana- nya berjalan."
Hadis Qudsi menunjukkan betapa dalamnya akar spiritu- alitas
Islam tertanam dalam sumber petunjuk Tuhan. Islam bukanlah suatu
tata hukum dan masyarakat saja yang tidak memiliki dimensi spiritual,
demikian S.H. Nasr menutup uraiannya tentang As-Sunnah (S.H. Nasr,
1981:48-50).
Di dalam kepustakaan Islam, sering kita jumpai perkataan sunnah
dalam makna yang berbeda-beda, tergantung pada penggunaan kata itu
dalam hubungan kalimat. Kita akan menemui (1) perkataan sunnah
dalam istilah sunnatullah yang berarti hukum atau ketentuan-ketentuan
Allah mengenai alam semesta, yang di dalam dunia ilmu pengetahuan
disebut "hukum alam" atau natural law. Kita akan bertemu dengan (2)
perkataan sunnah dalam istilah sunnatur rasul yakni perkataan,
perbuatan dan sikap diam Nabi Muhammad sebagai Rasulullah yang
menjadi sumber hukum Islam kedua setelah Alquran, yang akan kita
bicarakan lebih lanjut kelak. Kita akan berjumpa dengan (3) perkataan
sunnah atau sunat dalam hubungannya dengan al-ahkam al-khamsah yang
merupakan salah-satu kaidah dari lima kaidah hukum Islam yang
bermakna anjuran, jika dikerjakan mendapat pahala (kebaikan), kalau
tidak dilakukan tidak berdosa atau tidak apa-apa. Kita akan
menjumpai juga
(4) perkataan sunnah dalam ungkapan ahlus sunnah waljama'ah (sering
disingkat dengan Sunni saja) yaitu golongan umat Islam yang
berpegang kepada Sunnah Nabi Muhammad, yang berbeda, terutama
dalam ajaran kepemimpinan politiknya (imamah), dengan golongan
Syi'ah atau ditulis Shiit dalam kepustakaan atau media massa, yaitu
golongan umat Islam yang setia dan menjadi pengikut Ali bin Abi
Thalib serta ketu- runannya. Selain itu terdapat juga perkataan (5)
sunnah dalam arti beramal ibadah sesuai dengan contoh yang diberikan
nabi, sebagai lawan dari bid'ah yakni pembaruan atau cara baru
Sumber, Asas-asas Hukum Islam dan al-Ahkam al-Khamsah 103 dalam
beribadah yang tidak pernah dilakukan oleh nabi dan para sahabatnya.
Sunnatur rasul atau Sunnah Nabi Muhammad, seperti telah disebut
di atas, menjadi sumber kedua hukum Islam. Dasar hukumnya adalah
(1) syahadatain (baca: syahadaten): ucapan dua kalimat syahadat yaitu
ikrar keyakinan yang menyatakan bahwa tidak ada Tuhan lain yang
patut disembah selain Allah dan Muhammad adalah rasul-Nya. Ikrar
keyakinan merupakan janji diam-diam (pactum taciturn) dan sepihak
102 HukuminiIslam
yang dibuat oleh orang yang mengucapkannya bahwa selama hayat
dikandung badan, ia akan hidup sesuai dengan pedoman dan
ketetapan-ketetapan Allah seperti yang terdapat dalam Alquran dan
mengikuti suri teladan yang diberikan oleh Nabi Muhammad melalui
Sunnahnya. Dasar hukum lainnya adalah
(2) Alquran. Selain surat Al-Nisa' (4) ayat 59 yang telah disebut di
atas, juga Alquran surat Al-Imran (3) ayat 132 menjadi dasar hukum
sunnah. Di sana Allah dengan tegas menyuruh orang-orang beriman
"mentaati perintah Allah dan mentaati ketentuan rasul-Nya," dan
"barangsiapa taat kepada (ketentuan) Rasulullah, sesungguhnya ia
telah taat kepada ketetapan Allah" (QS Al-Nisa' (4):80). Dalam ayat
lain Allah memerintahkan kepada hamba-Nya "agar mengambil atau
menjalankan apa yang dibawa atau diteladankan rasul dan
menghentikan atau tidak melakukan apa yang dilarangnya" (QS Al-
Hasyr (59):7). Selain pesan Nabi mengenai Alquran beserta
Sunnahnya yang telah dikemukakan di atas, dasar menjadikan As-
Sunnah sebagai sumber hukum Islam kedua adalah juga (3) Sunnah
nabi yang menyatakan bahwa "apa yang diharamkan Rasulullah, sama
dengan apa yang diharam- kan Allah" (HR Ahmad dan Hakim).
Semasa Nabi Muhammad masih hidup, orang-orang Islam
bertanya langsung kepada beliau tentang apa saja yang tidak jelas
jawabannya dalam Alquran atau orang-orang itu mena- nyakan kepada
nabi tentang makna wahyu yang disampaikan oleh malaikat Jibril
kepadanya. Nabi menjawab pertanyaan- pertanyaan itu atau
menjelaskan sesuatu dengan memberikan contoh. Kadang-kadang
kalau para sahabatnya melaporkan sesuatu, Nabi Muhammad diam
saja, setelah mendengar laporan itu. Demikianlah, semuayang datang
dari Nabi Muhammad dalam kedudukan beliau sebagai rasulullah baik
berupa perkataan, perbuatan maupun persetujuan (: diam tanda setuju)
diikuti oleh umat Islam. Perkataan-perkataannya masih tetap
dipelihara dan diikuti sampai kini (juga di masa-masa yang akan
datang), perbuatannya (misalnya dalam mendirikan salat) tetap
diteladani oleh umat Islam, sedang persetujuannya mengenai sesuatu
menjadi pedoman umat Islam dalam memecahkan berbagai kenyataan
sosial yang telah ada dalam masyarakat. Yang dimaksud dengan
persetujuan itu adalah pendiaman Nabi Muhammad apabila beliau
melihat sesuatu dikerjakan orang lain atau tidak menyatakan sesuatu
sebagai pernyataan keberatan terhadap perbuatan dan atau kata-kata
yang diucapkan orang lain didekatnya. Sikap diam demikian,
menunjukkan bahwa beliau menyetujui perbuatan atau perkataan itu.
Persetujuan beliau adalah terutama mengenai adat- istiadat (Arab)
yang tidak bertentangan dengan jiwa ajaran atau hukum (syariat)
Islam. Persetujuan ini kemudian dijadi- kan modal dalam menilai
adat-istiadat dan hukum-hukum yang ada dalam masyarakat di negeri-
negeri Muslim sepanjang kebiasaan-kebiasaan itu tidak bertentangan
dengan jiwa hukum Islam (H.M. Rasjidi, 1980:454-455).
Demikianlah,
Sumber, Asas-asas Hukum Islam dan al-Ahkam al-Khamsah 105 Sunnah Nabi

Muhammad mempunyai fungsi sebagai petunjuk pelaksanaan kaidah-


kaidah fundamental yang terdapat dalam Alquran atau sebagai
penjelasan atau tafsiran yang otentik mengenai ayat-ayat Alquran atau
sebagai kaidah-kaidah hukum baru yang perlu dikembangkan atau
dirumuskan lebih lanjut oleh akal pikiran manusia (yang memenuhi
syarat merumuskannya).
Oleh karena pentingnya kedudukan sunnah sebagai sumber nilai
dan norma hukum Islam, terjadilah gerakan untuk mencatat dan
mengumpulkan Sunnah nabi yang disampaikan secara lisan turun-
temurun dari satu generasi ke generasi berikutnya. Muncullah
kemudian satu disiplin ilmu tersendiri mengenai ini yang disebut
dengan istilah Ulum Al-Hadis. Ulumul hadis adalah ilmu-ilmu yang
berkenaan dengan hadis. Dalam perkataan sehari-hari, hadis dan
sunnah adalah sama. Namun, para ahli, ada yang membedakan kedua
istilah tersebut. Sebab, menurut mereka, arti perkataan sunnah adalah
adat- istiadat atau tradisi. Jika dikaitkan dengan nabi, istilah itu,
seperti telah disinggung di atas, berarti perkataan, perbuatan dan
sikap diam beliau tanda setuju. Hadis artinya kabar, berita atau baru.
jika dihubungkan dengan nabi artinya kabar mengenai sesuatu dari
nabi. Sunnah, menurut beberapa ahli hukum Islam (Aghnides,
1984:28), adalah kebiasaan yang terdapat dalam masyarakat Arab.
Dalam uraian di atas sunnah dalam pengertian ini disebut Sunatut taqrir
(sunnah dalam bentuk pendiaman nabi tanda menyetujui sesuatu
perbuatan atau hal). Setelah Islam berkembang, kebiasaan orang Arab
ini ada yang didiamkan ada pula yang diubah nabi dan kemudian oleh
para 104sahabatnya.
Hukum Islam Perubahan itu mengenai isinya, sedang bentuknya

tetap dan dijadikan sarana untuk mengatur tingkah-laku manusia.


Hadis adalah keterangan resmi yang berasal dari nabi yang
disampaikan secara lisan dari satu generasi ke generasi berikutnya.
Perbedaan makna secara etimologis ini, seperti disebutkan di
atas, tidak mengurangi pentingnya arti sunnah atau hadis itu, sebab
mayoritas ahli hadis, berdasarkan penelitian mereka, menyamakan
hadis dan sunnah (Nasruddin Razak, 1977:102).
Kompilasi Sunnah Nabi Muhammad ke dalam kitab, baru mulai
dilaksanakan pada akhir abad pertama Hijriyah, ketika Khalifah Umar
bin Abdul Aziz dari dinasti Umayyah, pada tahun 718 M
memerintahkan para gubernurnya untuk mem- bukukan Sunnah Nabi
Muhammad agar tidak hilang atau dilupakan orang. Perintah ini
dilaksanakan oleh Muhammad Syihab az-Zuhri di Madinah. Kompilasi
ini masih sangat sederhana, belum jelas klasifikasi dan sistematiknya,
masih bercampur, misalnya hadis yang berkenaan dengan haji dengan
hadis yang berkenaan dengan nikah, jual-beli dan sebagainya. Baru
pada pemerintahan Al-Mansyur dari dinasti Abbasiyah (754-774 M)
kompilasi sunnah ke dalam kitab- kitab hadis dilakukan secara teratur
dengan sistematik yang rapi. Satu setengah abad setelah Nabi
Muhammad wafat, tersusunlah kitab-kitab hadis, misalnya karya Abu
Hanifah bernama al Fiqhi, kemudian disusul oleh karya Malik bin Anas
dengan judul al-Muwaththa, sebuah himpunan hadis hukum Islam yang
masih dipakai sampai sekarang, juga oleh Pengadilan Agama di
Indonesia. Sesudah itu muncul bertUrut-turut kompilasi hadis yang
bernama as-Sunan susunan Mohammad Idris as-Syafi'i dan al-Musnad
karya Ahmad bin Hambal (Nazaruddin Razak, 1977:104-105).
Keempat imam mazhab ini mempunyai karya sendiri tentang hadis-
hadis hukum.
Sumber, Asas-asas Hukum Islam dan al-Ahkam al-Khamsah 105
Pembukuan hadis yang tersusun secara sempurna dilakukan
dalam abad ketiga Hijriyah atau abad kesembilan Masehi, setelah para
imam yang mendirikan mazhab yang empat itu meninggal dunia. Ini
dilakukan oleh para ahli yang mengkhu- suskan diri mengkaji Sunnah
Nabi Muhammad dengan suatu sistem tersendiri. Bukhari dan Muslim,
misalnya, dua di antara tokoh terkemuka dalam penyusunan hadis
menentukan syarat-syarat yang berat untuk menilai hadis-hadis yang
dapat di terima dan ditetapkan sebagai valid atau sahih (sah). Syarat-
syarat itu dihubungkan dengan pribadi orang-orang yang
menyampaikan hadis itu yakni harus mempunyai watak yang terpuji,
jujur, teliti, cermat dan kuat ingatannya. Selain itu
matarantairangkaian (nama) orang-orang yang menyampaikan atau
meriwayatkan hadis secara lisan turun-temurun haruslah tidak
terputus-putus dari generasi ke generasi. Orang yang segenerasi
(seangkatan) dengan nabi disebut para sahabat, angkatan kedua
dinamai tabi'in (pengikut), angkatan ketiga disebut tabi’ tabi'in (pengikut
dari pengikut). Hadis yang di- riwayatkan oleh tabi'in saja misalnya,
tidak akan diterima (oleh Bukhari) karena mata rantai orang yang
meriwayatkan hadis itu terputus satu angkatan. Pada masa itu, syarat-
syarat mengukur sahih tidaknya suatu hadis hanya dikenakan pada
kepribadian orang yang meriwayatkannya, tidak pada materi hadis itu
sendiri (H.M. Rasjidi, 1980: 457).
Bukhari (m.d. 870 M), penyusun kitab yang terkenal dengan
sebutan Sahih Bukhari itu, menyusun kitabnya selama 16 tahun.
Waktu menyaring sekian banyak hadis yang dikum- pulkannya dari
sekian banyak orang di tempat yang berbeda- beda, ia berpegang
teguh pada kriteria yang ditetapkannya dan sebelum menuliskan hadis
yang kemudian dikategorikannya sebagai hadis sahih, ia salat
istikharah (salat memohon petunjuk Allah) lebih dahulu. 'Muslim,' ahli
hadis yang lain, yang me- ninggal dunia pada tahun 875 M, menyusun
kitab hadis lain yang terkenal dengan nama Sahih Muslim. Kedua
kitab hadis sahih yang disusun oleh Bukhari dan Muslim itu
dipercayai keotentikannya oleh umat Islam dan dijadikan sumber
hukum Islam kedua setelah Alquran. Bukhari dan Muslim mempergu-
nakan lima kategori dalam melakukan klasifikasi hadis-hadis yang
dikumpulkannya. Kategori-kategori itu adalah (1) kekuatan ingatan
dan ketelitian perawinya, (2) integritas pribadi orang yang
menyampaikannya, (3) tidak terputus mata rantai penghubungnya dari
generasi ke generasi, (4) tidak terdapat cacat mengenai isinya dan (5)
tidak janggal dilihat dari susunan bahasanya. Kriteria inilah yang
menentukan kualitas hadis itu apakah ia sahih (otentik), hasan (baik)
atau da'if (lemah). Disebut sahih, kalau sebuah hadis memenuhi kelima
kriteria tersebut.
Dalam
106 Hukumabad
Islam ketiga Hijriyah, selain Bukhari dan Muslim ada juga

ahli yang memusatkan perhatiannya pada penelitian hadis. Mereka


adalah Ibnu Majah, Abu Daud, At-Tarmizi dan An-Nasa’i (dan lain-
lain). Kumpulan hadis keenam ahli ini, dalam kepustakaan, disebut al-
kutub as-sittah, baca kutubus sittah, (enam kitab hadis), masing-masing
disusun (menurut tahun meninggalnya) oleh (1) Bukhari, m.d. 870 M,
(2) Muslim, m.d. 875 M, (3) Ibnu (Ibn) Majah, m.d. 886 M, (4) Abu
Daud, m.d. 888 M, (5) At-Tarmizi, m.d. 892 M, dan (6) An-Nasa'i,
m.d. 915 M.
As-Sunnah yang dikumpulkan dalam kitab-kitab hadis itu, pada
garis-garis besarnya, dapat digolong-golongkan menurut (a) jumlah
orang yang meriwayatkan atau memberitakannya
Sumber, Asas-asas Hukum Islam dan al-Ahkam al-Khamsah 109 dan (b)

menurut kualitas pribadi (kepribadian) perawinya.


Menurut (a) jumlah (sedikit atau banyaknya) orang yang
meriwayatkan Sunnah nabi itu, mulai dari Rasulullah sampai pada
para peneliti yang mengumpulkannya, sunnah yang disebut juga hadis
itu dibagi tiga yaitu (1) sunnah atau hadis mutawatir, (2) sunnah atau
hadis masyhur dan (3) sunnah atau hadis ahad. (1) Sunnah mutawatirah
atau hadis mutawatir adalah segala sesuatu yang datang dari
Rasulullah yang diriwayatkan oleh sekian banyak sahabat, sehingga,
karena banyaknya, mustahil mereka akan bersepakat untuk berdusta
bersama-sama. Jumlah orang yang meriwayatkan hadis harus dapat
dibuktikan baik dalam generasi pertama, maupun dalam generasi
kedua dan ketiga tersebut, (2) Sunnah masyhurah atau hadis masyhur
adalah segala sesuatu yang berasal dari Rasulullah yang diriwayatkan
oleh seorang, dua orang atau lebih sahabat, namun jumlahnya tidak
sebanyak yang meriwayatkan hadis mutawatir. Akan tetapi pada
generasi kedua dan ketiga jumlah orang yang meriwayatkan hadis
masyhurah sama dengan orang yang meriwayatkan hadis mutawatir.
Perbedaan antara kedua hadis ini, karenanya, adalah bahwa pada hadis
mutawatir sejak generasi pertama yaitu generasi sahabat, tabi'in
(pengikut, generasi kedua yang menerima ilmu dari para sahabat atau
generasi pertama) dan tabi' tabi’in (pengikut dari pengikut, yang
menerima ilmu dari generasi kedua) yang meriwayatkannya sudah
banyak sekali, sedang pada hadis masyhur baru pada generasi tabi'in
dan seterusnya yang meriwayatkannya sama banyaknya seperti orang
yang meriwayatkan hadis mutawatir. Hadis masyhur lebih rendah
peringkatnya dari hadis mutawatir, tetapi lebih tinggi dari hadis ahad.
(3) Sunnah atau hadis ahad ialah segala sesuatu yang datang dari
Rasulullah yang diriwayatkan oleh seorang, dua orang atau lebih
sahabat, tetapi jumlahnya tidak sama dengan yang meriwayatkan hadis
mutawatir. Sesudah generasi sahabat tersebut, hadis itu diriwayatkan
oleh seorang, dua orang atau lebih generasi tabi'in dan seterusnya sama
oleh generasi tabi’ tabi'in. Sunnah atau hadis ahad adalah yang
terbanyak jumlahnya dalam kitab-kitab hadis (Mukhtar Yahya, 1979:
52).
Dilihat (b) dari kualitas atau integritas pribadi orang- orang yang
meriwayatkannya secara lisan dari generasi ke generasi berikutnya,
sunnah atau hadis yang terdapat dalam kitab-kitab hadis, dapat
diklasifikasikan ke dalam tiga kelom- pok yaitu (1) sahih, (2) hasan dan
(3) da'if (lemah). Hadis atau sunnah (1) sahih adalah hadis yang
diriwayatkan oleh perawi yang adil, yaitu orang yang senantiasa
berkata benar dan menjauhi perbuatan terlarang, mempunyai ketelitian
yang sempurna, sanad (mata rantai yang menghubungkannya)
bersambung sampai kepada Nabi Muhammad, tidak mempunyai cacat
dan tidak pula berbeda bahkan bertentangan dengan periwayatan
orang-orang yang terpercaya, (2) hadis hasan ialah hadis yang
diriwayatkan oleh perawi yang adil (dapat dipercaya), tetapi kurang
ketelitiannya, sanadnya bersambung sampai pada Nabi Muhammad,
tidak mempunyai cacat dan tidak pula berbeda atau bertentangan
dengan periwayatan yang disam- paikan oleh orang yang terpercaya,
(3) hadis da'if atau lemah adalah hadis yang tidak memenuhi syarat
yang dipunyai oleh hadis sahih dan hadis hasan. Hadis da'if banyak
macamnya, yangterlemah adalah hadis maudhu' (Mukhtar Yahya,
1979:53) yaitu hadis yang mempunyai ciri-ciri tidak masuk akal,
bertentangan dengan ayat Alquran, tidak sesuai dengan akidah Islam
Sumber, Asas-asas Hukum Islam dan al-Ahkam al-Khamsah 108
dan bertentangan pula dengan hadis-hadis yang lain (Mahmud
Yunus, 1984:84).
Sunnah atau hadis, yang sekarang terdapat dalam kitab- kitab
hadis terdiri dari dua bagian yaitu (1) bagian isnad dan (2) bagian
matan (matn). (1) Isnad atau sanad adalah sandaran untuk menentukan
kualitas suatu hadis, merupakan rangkaian orang-orang yang
menyampaikan (meriwayatkan) sunnah secara lisan turun-temurun
dari generasi ke generasi (sampai sunnah itu dibukukan). (2) Matan
atau matn adalah materi atau isi sunnah.
Sebagaimana halnya dengan ayat Alquran, Sunnah nabi yang
terdapat dalam kitab-kitab hadis, mungkin qath'i mungkin juga zhanni.
Disebut qath'i kalau sunnah itu, baik sanad maupun matannya sudah
jelas dan terinci sehingga tidak memungkinkan perbedaan dalam
memahaminya. Dinama- kan zhanni kalau masih umum, belum jelas
dan terinci. Oleh karena itu, ia memerlukan penjelasan. Penjelasan
tentang Sunnah nabi, dinamakan syarah (penjelasan). Banyak ahli yang
mengkhususkan diri menjelaskan Sunnah nabi yang telah dihimpun
oleh tokoh-tokoh hadis tersebut di atas. Sebagai contoh, yang banyak
dipakai di tanah air kita, dapat disebut misalnya karya-karya an-
Nawawi mengenai Syarah Bukhari dan Syarah Muslim, yaitu
penjelasan tentang matan hadis yang telah dihimpun oleh Bukhari dan
Muslim dalam kitab hadisnya.

Akal Pikiran (al-Ra'yu atau Ijtihad)


Sumber hukum Islam ketiga adalah akal pikiran manusia yang
memenuhi syarat untuk berusaha, berikhtiar dengan
seluruh kemampuan yang ada padanya memahami kaidah- kaidah
hukum yang fundamental yang terdapat dalam Alquran, kaidah-kaidah
hukum yang bersifat umum yang terdapat dalam Sunnah nabi dan
merumuskannya menjadi garis-garis hukum yang dapat diterapkan
pada suatu kasus tertentu. Atau berusaha merumuskan garis-garis atau
kaidah-kaidah hukum yang "pengaturannya" tidak terdapat di dalam
kedua sumber utama hukum Islam itu.
Sebelum dibicarakan soal akal dan usaha manusia dengan
mempergunakan akalnya, perlu disinggung, kendatipun secara
sepintas lalu, tentang akal manusia dan hubungannya dengan wahyu.
Menurut ajaran Islam, hubungannya erat.
Di dalam bahasa Arab, perkataan al-'aql yang kemudian menjadi
akal dalam bahasa Indonesia, mempunyai beberapa makna. Selain
berarti pikiran dan intelek, kata itu juga bermakna sesuatu yang
mengikatkan manusia dengan Tuhan, sebab arti lain perkataan 'aql
dalam bahasa Arab adalah ikatan. Di dalam Alquran kita dapat
menjumpai perkataan akal dalam kaitan dengan kata lain misalnya
kata-kata ya'qilun artinya mereka yang berakal, ta'qilun artinya kamu
(yang) berakal dan ayat- ayat yang menyuruh orang mempergunakan
akalnya. Mereka yang ingkar yakni orang-orang yang tidak bisa
berpikir disebut oleh Alquran la ya'qilun, artinya mereka yang tidak
dapat mempergunakan akalnya dengan baik. Menurut Alquran,
runtuhnya iman tidak sama dengan timbulnya kehendak yang buruk,
tetapi karena tidak adanya atau tidak dipergunakannya akal secara
baik dan benar (S.H. Nasr, 1981:6).
Akal adalah kunci untuk memahami agama, ajaran dan hukum
Islam. Kita tidak akan dapat memahami Islam tanpa
Sumber, Asas-asas Hukum Islam dan al-Ahkam al-Khamsah 113
mempergunakan akal. Oleh karena itu, Nabi Muhammad menyatakan
dengan jelas bahwa agama adalah akal, tidak ada agama bagi orang
yang tidak berakal. Jika ungkapan ini dihubungkan dengan hukum,
berarti bahwa hukum dan hukuman itu berkaitan dengan akal, tidak
ada hukum atau hukuman bagi orang yang tidak berakal atau gila.
Akal, karena itu, mempunyai kedudukan yang tinggi dalam sistem
agama Islam, karena akal adalah wadah yang menampung aqidah,
syariah dan akhlak.
Akal adalah ciptaan Allah untuk mengembangkan dan
menyempurnakan sesuatu. Kemajuan umat manusia dapat ter- wujud
karena manusia mempergunakan akalnya. Untuk kesejahteraan hidup
manusialah akal itu diciptakan Tuhan. Oleh karena itu, dalam ajaran
Islam ada ungkapan yang menyatakan: al-'aqlu huwa-l-hayah, wal faqdu
huwa-l-maut. Artinya, akal adalah kehidupan (life), kalau akal hilang
terjadi- lah kematian. Ada akal berarti hidup, tidak berakal (lagi)
berarti mati (Osman Raliby, 1981:30).
Akal yang mempunyai fungsi sangat penting dalam kehidupan
manusia, tumbuh dan berkembang menuju kesem- purnaan melalui
suatu proses. Oleh karena itu, anak-anak yang belum sempurna
akalnya atau orang sakit yang kehilangan akal, dibebaskan dari
pertanggungjawaban. Menurut ajaran hukum Islam, orang yang
dimintai pertanggungjawaban hanyalah orang yang berakal dan
sempurna akalnya.
Bagaimanapun posisi dan peranan akal dalam ajaran Islam,
namun perlu ditegaskan bahwa ia tidak boleh bergerak dan berjalan
tanpa bimbingan, tanpa petunjuk. Petunjuk itu datang dari Allah
110 Hukum
berupa 'wahyu'
Islam yang membetulkan akal dalam geraknya kalau ia

menjurus ke jalan yang nyata-nyata salah karena pengaruh


lingkungan, misalnya.
Sesungguhnya manusia yang mempunyai akal membutuh- kan
petunjuk Tuhan. Sebabnya adalah karena selain manusia itu lemah,
pelupa dan acuh tak acuh, pada dirinya sendiri ada hambatan-
hambatan yang menyebabkan ia tidak mampu mempergunakan akalnya
secara baik dan benar. Sifat pelupa dan acuh tak acuh yang ada pada
manusia menyebabkan manusia terlena dalam impian, lupa diri dan
lalai tidak melakukan apa yang harus dia kerjakan di dunia ini. Karena
itulah Allah menurunkan petunjuk-Nya berupa wahyu untuk
membangunkan manusia dari impiannya dan mengingatkan- nya akan
arti eksistensi (keberadaan)nya dan tugasnya sebagai khalifah Allah di
dunia ini. Sebagai khalifah (dan sekaligus abdi) Allah di bumi,
manusia wajib mengatur kehidupan diri dan lingkungannya sesuai
dengan petunjuk Allah dan taat patuh mengikuti petunjuk yang
diberikan Allah dalam wahyu. Dengan demikian, akal dan wahyu,
wahyu dan akal mempunyai hubungan yang erat dan merupakan soko-
guru ajaran, agama Islam. Namun demikian, perlu ditegaskan bahwa
wahyu dan akal tidak sama dan tidak pula sederajat. Wahyu
mempunyai kedudukan jauh lebih tinggi dari akal manusia. Wahyulah
yang menuntun, membimbing dan meng- ukur akal manusia, bukan
sebaliknya. Jika dihubungkan dengan hukum, maka bagi orang yang
beriman yang yakin pada Tuhan Yang Maha Esa dengan segala
atributnya, hukum Allah yang disampaikan dengan wahyu,
kedudukannya lebih tinggi dan lebih utama dari hukum hasil ciptaan
manusia. Ini berarti pula bahwa hukum yang dihasilkan oleh akal
pikiran
Sumber, Asas-asas Hukum Islam dan al-Ahkam al-Khamsah 115 manusia tidak

boleh bertentangan dengan hukum yang disampaikan melalui wahyu.


Akal pikiran manusia yang memenuhi syarat untuk berijtihad
yang menjadi sumber hukum Islam yang ketiga ini, dalam kepustakaan
disebut arra'yu atau ijtihad saja (A. Azhar Basyir, 1983:6).
Secara harfiah ra'yu berarti pendapat dan pertimbangan.
Seseorang yang memiliki persepsi mental dan pertimbangan yang
bijaksana disebut orang yang mempunyai ra'yu (dzu’l ra'y). Alquran
sendiri, seperti disebutkan di atas, berulang-ulang berseru agar
manusia berpikir dalam-dalam dan merenungkan ayat-ayat-Nya. Dia
mengajak manusia untuk mempergunakan pikiran dan penalarannya
mengenai persoalan-persoalan hukum. Dalam hadis Mu'az bin Jabal
tersebut, Nabi Muhammad senang sekali mendengar jawaban Mu'az
yang menyata- kan bahwa ia akan berijtihad dengan ra'yunya., bila
tidak terdapat pemecahan suatu masalah dalam Alquran dan As-
Sunnah. Umar bin Khattab, mempergunakan ra'yunya untuk berijtihad,
bahkan, mengenai pelaksanaan hukum yang petun- juknya telah
terdapat di dalam Alquran dan Sunnah Nabi Muhammad, antara lain
dalam kasus pelaksanaan ancaman hukuman bagi seorang yang
mencuri dalam keadaan paceklik dan ikrar talak tiga yang diucapkan
sekaligus menyebabkan jatuhnya talak tiga (Ahmad Hasan, 1984:105,
107, 108) yang akan dijelaskan di bawah.
Dasar hukum untuk mempergunakan akal pikiran atau ra'yu untuk
berijtihad dalam pengembangan hukum Islam adalah (1) Alquran surat
Al-Nisa' (4) ayat 59 (yang telah disebut di atas) yang mewajibkan
juga orang mengikuti ketentuan ulil amri (orang yang mempunyai
kekuasaan atau "penguasa") mereka, (2) hadis Mu'az binjabal yang
menjelaskan bahwa Mu'az sebagai penguasa (ulil amri) di Yaman
dibenarkan oleh nabi mempergunakan ra'yunya untuk berijtihad, dan
(3) contoh yang diberikan oleh ulil amri lain yakni Khalifah II Umar
bin Khattab, beberapa tahun setelah Nabi Muhammad wafat, dalam
memecahkan berbagai persoalan hukum yang tumbuh dalam
masyarakat, pada awal perkembangan Islam.
Dalam pertumbuhannya lebih lanjut, ketentuan yang berasal dari
ijtihad ulil amri itu, menurut Hazairin dapat dibagi dua yaitu (a) yang
berwujud pemilihan atau penunjukan garis hukum yang setepat-
tepatnya untuk diterapkan pada suatu perkara atau kasus tertentu yang
mungkin langsung diambil dari ayat-ayat hukum dalam Alquran,
mungkin pula ditimbul- kan dari perkataan (penjelasan) atau teladan
yang diberikan oleh Nabi Muhammad, dan (b) ketentuan yang
berwujud penciptaan atau pembentukan garis hukum baru bagi
keadaan- keadaan baru menurut tempat dan waktu, dengan
berpedoman kepada kaidah hukum y«uig telah ada dalam Alquran dan
Sunnah rasul (Hazairin, 1984:65).
Perkataan ijtihad (dalam bahasa Arab) berasal dari kata jahada
artinya bersungguh-sungguh atau mencurahkan segala daya dalam
112 Hukum(Othman
berusaha Islam Ishak, 1980:1). Dalam hubungannya dengan
hukum, ijtihad adalah usaha atau ikhtiar yang sungguh-sungguh dengan
mempergunakan segenap kemam- puan yang ada dilakukan oleh orang
(ahli hukum) yang memenuhi syarat untuk merumuskan garis hukum
yang belum jelas atau tidak ada ketentuannya di dalam Alquran dan
Sunnah Rasulullah. Orang yang berijtihad disebut mujtahid.
Sumber, Asas-asas Hukum Islam dan al-Ahkam al-Khamsah 113
Ijtihad merupakan dasar dan sarana pengembangan hukum Islam.
Ia adalah kewajiban umat Islam yang memenuhi syarat (karena
pengetahuan dan pengalamannya) untuk menunai- kannya. Kewajiban
itu tercermin dalam Sunnah Nabi Muhammad yang mendorong
mujtahid untuk berijtihad. Muj- tahid yang berijtihad, dan (hasil)
ijtihadnya itu benar; kata Nabi, akan memperoleh dua pahala. Kalau
ijtihadnya salah, dia akan mendapat (juga) satu pahala (Othman Ishak,
1980:16).
Ayat dan hadis hukum yang qath'i sifatnya baik yang terdapat di
dalam Alquran maupun yang ada dalam kitab- kitab hadis, bukanlah
menjadi lapangan atau objek ijtihad. Yang sudah jelas teks atau
nasnya, seperti misalnya bagian tertentu untuk orang tertentu dalam
keadaan tertentu dalam hukum kewarisan Islam yang terdapat dalam
Alquran, adalah qath’i sifatnya. Nas atau teks yang zhanni sifatnya
merupakan objek ijtihad, untuk mendapatkan artinya yang paling
tepat dalam konteks tertentu.
Dilihat dari (1) jumlah pelakunya, ijtihad dapat dibagi dua yakni
(a) ijtihad individual (ijtihad fardi) dan (b) ijtihad kolektif (ijtihad jama’i).
Yang dimaksud dengan (a) ijtihad individual adalah ijtihad yang
dilakukan oleh seorang mujtahid saja. Yang dimaksud dengan (b)
ijtihad kolektif adalah ijtihad yang dilakukan bersama-sama oleh
banyak ahli tentang satu persoalan hukum tertentu. Di samping
jumlah orang yang melakukannya, ijtihad juga dapat dilihat dari objek
atau lapangannya. Dilihat dari (2) objek atau lapangannya, ijtihad
dapat dilakukan terhadap (a) persoalan-persoalan hukum yang zhanni
sifatnya, (b) hal-hal yang tidak terdapat keten- tuannya di dalam
Alquran dan Al-Hadis dan (c) mengenai masalah-masalah hukum baru
yang tumbuh dan berkembang dalam masyarakat.
Tidak semua orang dapat berijtihad. Yang dapat menjadi mujtahid
yakni orang yang berhak berijtihad adalah mereka yang memenuhi
antara lain syarat-syaratberikut: (1) menguasai bahasa Arab untuk
dapat memahami Alquran dan kitab- kitab hadis yang tertulis dalam
bahasa Arab, (2) mengetahui isi dan sistem hukum Alquran serta
ilmu-ilmu untuk memahami Alquran, (3) mengetahui hadis-hadis
hukum dan ilmu- ilmu hadis yang berkenaan dengan pembentukan
hukum, (4) menguasai sumber-sumber hukum Islam dan cara-cara
(metode) menarik garis-garis hukum dari sumber-sumber hukum
Islam, (5) mengetahui dan menguasai kaidah-kaidah fiqih ( qawa'id-al-
fiqhiyyah, baca: qawaidul fikkiyah), (6) mengetahui rahasia dan tujuan-
tujuan hukum Islam, (7) jujur, dan ikhlas. Syarat-syarat ini diperlukan
untuk seorang mujtahid mutlak di masa lampau, namun kini untuk
melakukan ijtihad yang peringkatnya lebih rendah dari mujtahid
mutlak syarat-syarat yang berat di atas, dapat diringankan. Selain
syarat-syarat tersebut yang dapat diperingan, untuk melakukan ijtihad
pada114waktu
Hukum ini,
Islam seorang mujtahid seyogia- nya (8) menguasai ilmu-

ilmu sosial (antropologi, sosiologi) dan ilmu-ilmu yang relevan


dengan masalah yang diijtihadi,
(9) serta dilakukan secara kolektif (jama'i) bersama para ahli (disiplin
ilmu) lain.
Dalam sejarah, banyak para mujtahid yang muncul dan berjasa
mengembangkan hukum Islam. Para penulis sejarah hukum
mengadakan klasifikasi dan menentukan peringkat mereka
berdasarkan kriteria yang mereka adakan. Ibnul Qayyim Al-Jauziyah
(1292-1356 M) menggolongkannya ke
Sumber, Asas-asas Hukum Islam dan al-Ahkam al-Khamsah 119 dalam

empattingkat saja, yakni (1) mujtahid mutlak, (2) mujtahid mazhab, (3)
mujtahid fatwa dan (4) muqallid atau disebut juga dengan istilah ahli tarjih
(Asjmuni Abdurrahman, 1978:17- 24). Penjelasan tentang istilah-
istilah ini terdapat pada halaman 182, 183 dan 184.
Ijtihad perlu dilakukan oleh orang yang memenuhi syarat dari
masa ke masa, karena Islam dan umat Islam berkembang pula dari
zaman ke zaman sesuai dengan perkembangan masyarakat. Dalam
masyarakat yang berkembang itu, senan- tiasa muncul masalah-
masalah yang perlu dipecahkan dan ditentukan kaidah hukumnya. Hal
ini hanya dapat dilakukan dengan ijtihad. Dan karena pentingnya
ijtihad, seorang pemikir Islam terkemuka (yang menjadi salah seorang
pendorong berdirinya negara Islam Pakistan), yakni Muhammad Iqbal
(m.d. 1938 M) menyebut ijtihad sebagai the principle of movement dalam
struktur ajaran agama Islam (Nazaruddin Razak, 1977:113), karena
dengan ijtihad hukum Islam dapat dikembangkan untuk memenuhi
kebutuhan umat Islam di setiap zaman. Ijtihad Khalifah II Umar bin
Khattab (634-644 M) dalam berbagai aspek hukum Islam, adalah
model yang dapat dicontoh terus-menerus dalam melakukan ijtihad
dari masa ke masa, di setiap tempat dalam berbagai peristiwa. Contoh
ijtihad Umar diuraikan pada halaman 175-177 buku ini.
Metode-metode Berijtihad

Ada beberapa metode atau cara untuk melakukan ijtihad, baik


ijtihad dilakukan sendiri-sendiri maupun bersama-sama dengan orang
lain. Di antara metode atau cara berijtihad adalah (1) ijmak, (2) qiyas,
(3) istidal, (4) al-masalih al-mursalah, (5) istihsan, (6) istishab, (7) 'urf dan
(8) lain-lain.
1. Ijmak adalah persetujuan atau kesesuaian pendapat para ahli
mengenai suatu masalah pada suatu tempat di suatu masa. Persetujuan
itu diperoleh dengan suatu cara di tempat yang sama. Namun, kini
sukar dicari suatu cara dan sarana yang dapat dipergunakan untuk
memperoleh persetujuan seluruh ahli mengenai suatu masalah pada
suatu ketika di tempat yang berbeda. Ini disebabkan karena luasnya
bagian dunia yang didiami oleh umat Islam, beragamnya sejarah,
budaya dan lingkungannya. Ijmak yang hakiki hanya mungkin terjadi
pada masa kedua khulafaur rasyidin (Abu Bakar dan Umar) dan
sebagian masa pemerintahan khalifah yang ketiga (Usman). Sekarang
ijmak hanya berarti persetujuan atau kesesuaian pendapat di suatu
tempat mengenai tafsiran ayat-ayat (hukum) tertentu dalam Alquran
(H.M. Rasjidi, 1980:457). Di Indonesia misalnya, ijmak mengenai
kebolehan beristri lebih dari seorang berdasarkan ayat Alquran surat
Al-Nisa' (4) ayat 3, dengan syarat-syarat tertentu, selain dari
kewajiban berlaku adil yang disebut dalam ayat tersebut, dituangkan
dalam UU Perkawinan.
2. Qiyas adalah menyamakan hukum suatu hal yang tidak
terdapat ketentuannya di dalam Alquran dan As-Sunnah atau Al-Hadis
dengan hal (lain) yang hukumnya disebut dalam Alquran dan Sunnah
rasul (yang terdapat dalam kitab-kitab hadis) karena persamaan illat
(penyebab atau alasan) nya. Qiyas adalah ukuran, yang dipergunakan
oleh akal budi untuk membanding suatu hal dengan hal lain (H.M.
Rasjidi, 1980: 457). Sebagai contoh dapat dikemukakan larangan
meminum khamar (sejenis minuman yang memabukkan yang dibuat
dari
116 Hukum Islam

buah-buahan) yang
Sumber, Asas-asas Hukum Islam dan al-Ahkam al-Khamsah 121

terdapat dalam Alquran surat Al-Maidah


(5) ayat 90. Yang menyebabkan minuman itu dilarang adalah illat-nya
yakni memabukkan. Sebab minuman yang mema- bukkan, dari apa
pun ia dibuat, hukumnya sama dengan khamar yaitu dilarang untuk
diminum. Dan untuk menghindari akibat buruk meminum minuman
yang memabukkan itu, maka dengan qiyas pula ditetapkan semua
minuman yang memabukkan (mibuk), apa pun namanya, dilarang
diminum dan diperjualbelikan untuk umum.
3. Istidal (baca: istidal) adalah menarik kesimpulan dari dua hal
yang berlainan. Misalnya menarik kesimpulan dari adat-istiadat dan
hukum agama yang diwahyukan sebelum Islam. Adat yang telah lazim
dalam masyarakat dan tidak bertentangan dengan hukum Islam (gono-
gini atau harta bersama) dan hukum agama yang diwahyukan sebelum
Islam tetapi tidak dihapuskan oleh syariat Islam, dapat ditarik garis-
garis hukumnya untuk dijadikan hukum Islam (A. Siddik, 1982:225).
4. Masalih al-mursalah atau disebut juga maslahat mursalah adalah
cara menemukan hukum sesuatu hal yang tidak terdapat ketentuannya
baik di dalam Alquran maupun dalam kitab- kitab hadis, berdasarkan
pertimbangan kemaslahatan masyarakat atau kepentingan umum.
Sebagai contoh dapat dikemukakan pembenaran pemungutan pajak
penghasilan untuk kemaslahatan atau kepentingan masyarakat dalam
rangka pemerataan pendapatan atau pengumpulan dana yang diper-
lukan untuk memelihara kepentingan umum, yang sama sekali tidak
disinggung di dalam Alquran dan Sunnah rasul (yang terdapat dalam
kitab-kitab hadis) (A. Azhar Basyir, 1983:3).
5. Istihsan adalah cara menentukan hukum dengan jalan
menyimpang dari ketentuan yang sudah ada demi keadilan dan
kepentingan sosial. Istihsan merupakan metode yang unik dalam
mempergunakan akal pikiran dengan mengesamping- kan analogi yang
ketat dan bersifat lahiriah demi kepentingan masyarakat dan keadilan.
Di dalam praktik, seorang ahli hukum seringkali terpaksa melepaskan
diri dari aturan yang mengikat karena pertimbangan-pertimbangan
tertentu yang lebih berat dan lebih perlu diperhatikan. Istihsan adalah
suatu cara untuk mengambil keputusan yang tepat menurut suatu
keadaan (Ahmad Hasan, 1984:136). Misalnya, hukum Islam
melindungi dan menjamin hak milik seseorang. Hak milik seseorang
hanya dapat dicabut kalau disetujui oleh pemiliknya. Dalam keadaan
tertentu, untuk kepentingan umum yang mendesak, penguasa dapat
mencabut hak milik seseorang dengan paksa, dengan ganti-kerugian
tertentu kecuali kalau ganti-rugi itu tidak dimungkinkan. Contohnya
adalah penca- butan hak milik seseorang atas tanah untuk pelebaran
jalan, pembuatan irigasi untuk mengairi sawah-sawah dalam rangka
meningkatkan kesejahteraan sosial (A. Azhar Basyir, 1983: 3-4).
6. Istisab adalah menetapkan hukum sesuatu hal menurut
keadaan yang terjadi sebelumnya, sampai ada dalil yang
mengubahnya. Atau dengan perkataan lain dapat dikatakan istisab
adalah melangsungkan berlakunya hukum yang telah ada karena
belum ada ketentuan lain yang membatalkannya. Contohnya (a) A
(pria) mengawini B (wanita) secara sah. A kemudian meninggalkan
istrinya tanpa proses perceraian. C (pria) melamar B yang menurut
kenyataannya tidak mempunyai suami. Walaupun B menerima lamaran
itu, perkawinan
Sumber, Asas-asas Hukum Islam dan al-Ahkam al-Khamsah 123 antara C dan

B tidak dapat dilangsungkan karena status B adalah (masih) istri A.


Selama tidak dapat dibuktikan bahwa B telah diceraikan oleh A
selama itu pula status hukum B adalah istri A. Contoh lain, (b) A
mengadakan perjanjian utang-piutang dengan B. Menurut A utangnya
telah dibayar kembali, tanpa menunjukkan suatu bukti atau saksi.
Dalam kasus seperti ini berdasarkan istisab dapat ditetapkan bahwa A
masih belum membayar utangnya dan perjanjian itu masih tetap
berlaku selama belum ada bukti yang menyatakan bahwa perjanjian
utang piutang tersebut telah berakhir (Mukhtar Yahya, 1979:121, A.
Azhar Basyir, 1983:4).
7. Adat-istiadat atau 'urf yang tidak bertentangan dengan hukum
Islam dapat dikukuhkan tetap terus berlaku bagi masyarakat yang
bersangkutan. Adat-istiadat ini tentu saja yang berkenaan dengan soal
muamalah. Contohnya adalah kebiasaan yang berlaku di dunia
perdagangan pada masyarakat tertentu melalui inden misalnya, jual-
beli buah- buahan di pohon yang dipetik sendiri oleh pembelinya,
melamar wanita dengan memberikan sebuah tanda (pengikat),
pembayaran mahar secara tunai atau utang atas persetujuan kedua
belah pihak dan lain-lain (Mukhtar Yahya, 1979:119, A. Azhar
Basyir, 1983:4), harta bersama suami-istri dalam masyarakat Muslim
118 Hukum Islam

Indonesia (tersebut di atas). Sepanjang adat-istiadat itu tidak


bertentangan dengan ketentuan Alquran dan As-Sunnah atau Al-Hadis,
dan transaksi di bidang muamalah itu didasarkan atas persetujuan
kedua belah pihak serta tidak melanggar asas-asas hukum perdata
Islam di bidang muamalah (kehidupan sosial), menurut kaidah hukum
Islam yang menyatakan "adat dapat dikukuhkan menjadi hukum" (al-
'adatu muhakkamah (t)), hukum adat yang demikian dapat berlaku bagi
umat Islam.
Hukum Islam dan Perkembangan Masyarakat

Jika ijtihad dengan berbagai metodenya tersebut di atas mampu


dikembangkan oleh ra’yu manusia Muslim yang memenuhi syarat
secara baik dan benar, tidak ada masalah yang timbul dalam
masyarakat yang tidak dapat dipecahkan dan ditentukan hukumnya.
Masalah bayi tabung, pencangkokan kornea mata, misalnya, dan
masalah-masalah baru yang timbul sebagai akibat perkembangan ilmu
dan teknologi dapat saja ditentukan hukumnya berdasarkan hukum
Islam.
Hukum Islam, sebagaimana disebutkan di atas adalah hukum
Allah yang menciptakan alam semesta ini, termasuk manusia di
dalamnya. Hukumnya pun meliputi semua ciptaan- Nya itu. Hanya,
ada yang jelas sebagaimana yang 'tersurat' dalam Alquran, ada pula
yang 'tersirat' di balik hukum yang tersurat dalam Alquran itu. Selain
yang tersurat dan tersirat itu, ada lagi hukum Allah yang 'tersembunyi'
di balik Alquran. Hukum yang tersirat dan tersembunyi inilah yang
harus dicari, digali dan ditemukan oleh manusia yang memenuhi
syarat melalui penalarannya. Pada hukum tersurat yang bersifat zhanni
dalam Alquran dan As-Sunnah atau Al-Hadis serta pada hukum Allah
yang tersirat dan tersembunyi di balik lafaz atau kata-kata di dalam
Alquran dan As-Sunnah atau Al-Hadis itulah ra’yu atau ijtihad
manusia yang memenuhi syarat ber-peran tanpa batas mengikuti dan
mengarahkan perkembangan masyarakat manusia, menentukan hukum
dan mengatasi berbagai masalah yang timbul sebagai akibat
perkembangan zaman, ilmu, dan teknologi yang diciptakannya.
Sumber, Asas-asas Hukum Islam dan al-Ahkam al-Khamsah 119
Untuk menemukan hukum yang tersirat dan tersembunyi tersebut
di atas diperlukan wawasan yang jelas dan kemampuan untuk mencari
dan menggali hakikat hukum Ilahi serta tujuan Allah menciptakan
hukum-hukum-Nya. Jika dikaji dengan teliti hukum-hukum Ilahi yang
tersurat dalam Alquran dapatlah diambil suatu kesimpulan bahwa
tujuan Allah menciptakan dan menetapkan hukum-Nya adalah untuk
keselamatan atau kemaslahatan hidup manusia, baik kemaslahatan itu
berupa manfaat maupun untuk menghindari mudarat (kerugian) bagi
kehidupan manusia. Hakikat tujuan hukum Ilahi inilah yang harus
senantiasa dijadikan pegangan dan pedoman oleh para mujtahid dalam
berijtihad merumuskan hukum tersurat yang bersifat zhanni dalam
Alquran dan As-Sunnah atau Al-Hadis, menemukan hukum yang
tersirat dan tersembunyi itu. Dengan berpedoman kepada
kemaslahatan manusia tersebut di atas, para mujtahid akan dapat
selalu mengikuti dan mengendali- kan perkembangan masyarakat,
menemukan hukum bagi satu masalah baru yang muncul dan
merumuskan atau merumuskan kembali garis-garis hukum mengenai
hukum tersurat yang bersifat zhanni yang terdapat dalam Alquran dan
As-Sunnah atau Al-Hadis.
Dari uraian tersebut di atas dapatlah disimpulkan bahwa sumber
hukum Islam adalah tiga (1) Alquran merupakan sumber utama dan
terutama, memuat kaidah-kaidah fundamental baik mengenai ibadah
maupun mengenai muamalah, (2) As- Sunnah atau Al-Hadis
merupakan sumber kedua, memuat kaidah-kaidah umum dan
penjelasan terinci terutama mengenai ibadah, (3) Akal pikiran atau
ra’yu yang dilaksanakan melalui ijtihad sebagai sumber pengembangan.
Dengan mempergunakan berbagai metode penentuan garis-garis
hukum untuk 126 Hukum Islam
diterapkan pada kasus tertentu, sumber hukum Islam yang ketiga ini
sangat diperlukan dalam bidang muamalah untuk menampung
pertumbuhan dan perkembangan masyarakat yang senantiasa berubah
dari masa ke masa
ASAS-ASAS HUKUM ISLAM
Pengertian Asas

Perkataan asas berasal dari bahasa Arab, asasun. Artinya dasar,


basis, pondasi. Kalau dihubungkan dengan sistem berpikir, yang
dimaksud dengan asas adalah landasan berpikir yang sangat mendasar.
Oleh karena itu, di dalam bahasa Indonesia, asas mempunyai arti (1)
dasar, alas, pondamen (Poerwadarminta, 1976:60). Asas dalam
pengertian ini dapat dilihat misalnya, dalam urutan yang disesuaikan
pada kata- kata: . . ." batu ini baik benar untuk pondamen atau
pondasi rumah"; (2) kebenaran yang menjadi tumpuan berpikir atau
pendapat. Makna ini terdapat misalnya dalam ungkapan: "pernyataan
itu bertentangan dengan asas-asas hukum pidana";
(3) cita-cita yang menjadi dasar organisasi atau negara. Hal ini jelas
dalam kalimat: "Dasar Negara Republik Indonesia adalah Pancasila."
Jika kata asas dihubungkan dengan hukum, yang dimaksud
dengan asas adalah kebenaran yang dipergunakan sebagai tumpuan
berpikir dan alasan pendapat, terutama, dalam penegakan dan
pelaksanaan hukum. Asas hukum pidana, misalnya, seperti disinggung
di atas adalah tolok ukur dalam pelaksanaan hukum pidana. Asas
hukum, pada umumnya, berfungsi sebagai rujukan untuk
mengembalikan segala masalah yang berkenaan dengan hukum.
hukum
Sumber, Asas-asas Hukum Islam dan al-Ahkam al-Khamsah 127 Asas
Islam berasal dari sumber hukum Islam terutama Alquran dan Al-
Hadis yang dikembangkan oleh akal pikiran orang yang memenuhi
syarat untuk berijtihad. Asas- asas hukum Islam banyak, disamping
asas-asas yang berlaku umum, masing-masing bidang dan lapangan
mempunyai asas- nya sendiri-sendiri.
Beberapa Asas Hukum Islam
Yang dibicarakan dalam kesempatan ini hanya beberapa asas
hukum Islam. Tim Pengkajian Hukum Islam Badan Pembinaan Hukum
Nasional Departemen Kehakiman, dalam laporannya tahun 1983/1984
(Laporan 1983/1984:14-27) menyebut beberapa asas hukum Islam
yang (1) bersifat umum, (2) dalam lapangan hukum pidana, dan (3)
dalam lapangan hukum perdata, sebagai contoh. Asas-asas hukum di
lapangan hukum tata negara, internasional dan lapangan-lapangan
hukum Islam lainnya tidak disebutkan dalam laporan itu.
Sebagai sumbangan dalam penyusunan asas-asas hukum nasional,
Tim itu hanya mengedepankan:
1. Asas-asas umum
Asas-asas umum hukum Islam yang meliputi semua bidang dan
segala lapangan hukum Islam adalah (1) asas keadilan, (2) asas
kepastian hukum, dan (3) asas kemanfaatan.
2. Asas-asas dalam lapangan hukum pidana
Asas-asas dalam lapangan hukum pidana Islam antara lain adalah
(1) asas legalitas, (2) asas larangan memindahkan kesalahan pada
orang lain, (3) asas praduga tidak bersalah.
3. Asas-asas dalam lapangan hukum perdata
Asas-asas dalam lapangan hukum perdata Islam antara lain adalah
(1) asas kebolehan atau mubah, (2) asas kemaslahatan hidup, (3)
asas kebebasandankesukarelaan,
(4) asas menolak mudarat, mengambil manfaat, (5) asas
kebajikan, (6) asas kekeluargaan, (7) asas adil dan berimbang, (8)
asas mendahulukan kewajiban dari hak,
(9) asas larangan merugikan diri sendiri dan orang lain,
(10) asas kemampuan berbuat, (11) asas kebebasan
berusaha, (12) asas mendapatkan hak karena usaha dan jasa, (13)
asas perlindungan hak, (14) asas hak milik berfungsi sosial, (15)
asas yang beriktikad baik harus dilindungi, (16) asas risiko
122 Hukum Islam

dibebankan pada benda atau harta, tidak pada tenaga atau pekerja,
(17) asas mengatur, sebagai petunjuk, dan (18) asas perjanjian
tertulis atau diucapkan di depan saksi. Selain asas-asas di
lapangan hukum perdata itu, khusus mengenai hukum
'perkawinan' asasnya adalah (1) kesukarelaan, (2) persetujuan
kedua belahpihak, (3) kebebasan memilih, (4) kemitraansuami-
istri, (5) untuk selama-lamanya, dan (6) monogami terbuka,
sedang mengenai hukum 'kewarisan' terdapat beberapa asas, yaitu
(1) ijbari (wajib dilaksanakan), (2) bilateral, (3) individual, (4)
keadilan yang berimbang, (5) akibat kematian (Amir Syarifuddin,
1984:18-23).
Asas-asas Umum

1. Asas Keadilan
Asas keadilan merupakan asas yang sangat penting dalam hukum
Islam. Demikian pentingnya, sehingga ia dapat disebut sebagai asas
semua asas hukum Islam. Di dalam Alquran, karena pentingnya
kedudukan dan fungsi kata itu, keadilan disebut lebih dari 1000 kali,
terbanyak setelah Allah dan ilmu pengetahuan (A.M. Saefuddin,
1983:45). Banyak ayat-ayat yang menyuruh manusia berlaku adil dan
menegakkan keadilan. Dalam surat Sad (38) ayat 26 Allah
memerintahkan penguasa, penegak hukum sebagai khalifah di bumi
menyelenggarakan hukum sebaik-baiknya, berlaku adil terhadap
semua manusia, tanpa, misalnya, memandang kedudukan, asal-usul
dan keyakinan yang dipeluk pencari keadilan itu. Dalam Alquran surat
Al-Nisa1 (4) ayat 135 Tuhan memerintahkan agar manusia
menegakkan keadilan, menjadi saksi yang adil walaupun terhadap diri
sendiri, orang tua dan keluarga dekat. Di dalam surat lain yakni surat
Al-Maidah (5) ayat 8 Tuhan menegaskan agar manusia berlaku adil
sebagai saksi, berlaku lurus dalam melaksanakan hukum, kendatipun
ada tekanan, ancaman atau rayuan dalam bentuk apa pun juga. Di
dalam ayat itu juga diingatkan para penegak hukum agar
kebenciannya terhadap seseorang atau sesuatu golongan tidak
menyebabkan ia tidak berlaku adil dalam penyelenggaraan hukum.
Dari uraian singkat ini dapat disimpulkan bahwa keadilan adalah asas,
titik-tolak, proses dan sasaran hukum Islam.
Sumber, Asas-asas Hukum Islam dan al-Ahkam al-Khamsah 123
2. Asas Kepastian Hukum
Asas kepastian hukum, antara lain disebut secara umum dalam
kalimat terakhir surat Bani Israil (17) ayat 15 yang terje- mahannya
(lebih kurang) sebagai berikut ". . . dan tidaklah Kami menjatuhkan
hukuman, kecuali setelah Kami mengutus seorang rasul untuk
menjelaskan (aturan dan ancaman) hukuman itu . . . ." Selanjutnya di
dalam surat Al-Maidah (5) ayat 95 terdapat penegasan Ilahi yang
menyatakan bahwa Allah memaafkan apa yang terjadi di masa yang
lalu. Dari ke dua bagian ayat-ayat tersebut disimpulkan asas kepastian
hukum
130 Hukum Islam

yang menyatakan bahwa tidak ada satu perbuatan pun dapat dihukum
kecuali atas kekuatan ketentuan hukum atau peraturan perundang-
undangan yang ada dan berlaku untuk perbuatan itu. Asas ini sangat
penting dalam ajaran hukum Islam (Anwar Harjono, 1968:155).
3. Asas Kemanfaatan
Asas kemanfaatan adalah asas yang mengiringi asas keadilan dan
kepastian hukum tersebut di atas. Dalam melaksanakan asas keadilan
dan kepastian hukum, seyogianya dipertimbangkan asas
kemanfaatannya, baik bagi yang ber- sangkutan sendiri maupun bagi
kepentingan masyarakat. Dalam menerapkan ancaman hukum mati
terhadap seseorang yang melakukan pembunuhan, misalnya, dapat
dipertimbangkan kemanfaatan penjatuhan hukuman itu bagi diri
terdakwa sendiri dan bagi masyarakat. Kalau hukuman mati yang
akan dijatuhkan itu lebih bermanfaat bagi kepentingan masyarakat,
hukuman itulah yang dijatuhkan. Kalau tidak menjatuhkan hukuman
mati lebih bermanfaat bagi terdakwa sendiri dan keluarga atau saksi
korban, ancaman hukuman mati dapat diganti dengan hukuman denda
yang dibayarkan kepada keluarga terbunuh. Asas ini ditarik dari
Alquran surat Al-Baqarah (2) ayat 178.
Asas-asas Hukum Pidana
Disamping asas-asas umum tersebut di atas, di lapangan hukum
pidana juga terdapat asas-asas hukum Islam. Di antaranya adalah:
1. Asas Legalitas
Yang dimaksud dengan asas legalitas adalah asas yang
Sumber, Asas-asas Hukum Islam dan al-Ahkam al-Khamsah 131 menyatakan

bahwa tidak ada pelanggaran dan tidak ada hukuman sebelum ada
undang-undang yang mengaturnya. Asas ini didasarkan pada Alquran
surat Al-Isra' (17) ayat 15 tersebut di atas, dihubungkan dengan anak
kalimat dalam surat Al-An'am (6) ayat 19 yang berbunyi . . Alquran
ini diwahyukan kepadaku, agar (dengannya) aku (Muhammad) dapat
menyampaikan peringatan (dalam bentuk aturan dan ancaman
hukuman) kepadamu —" Asas legalitas ini telah ada dalam hukum
Islam sejak Alquran diturunkan.
2. Asas larangan memindahkan kesalahan pada orang lain
Asas ini terdapat di dalam berbagai surat dan ayat Alquran
(6:164, 35:18, 39:7, 53:38, 74:38). Dalam ayat 38 surat Al-
Muddatstsir (74) misalnya dinyatakan bahwa setiap jiwa terikat pada
apa yang dia kerjakan, dan setiap orang tidak akan memikul dosa atau
kesalahan yang dibuat oleh orang lain (QS 74:38). Di bagian ayat 164
surat Al-An'am (6) Allah menyatakan bahwa setiap pribadi yang
melakukan sesuatu kejahatan akan menerima balasan kejahatan yang
dilakukannya. Ini berarti bahwa tidak boleh sekali-kali beban (dosa)
seseorang dijadi- kan beban (dosa) orang lain. Dari ayat-ayat yang
disebut, jelas bahwa orang tidak dapat diminta memikul tanggung
jawab mengenai kejahatan atau kesalahan yang dilakukan oleh orang
lain. Karena pertanggungjawaban pidana itu individual sifatnya,
kesalahan seseorang tidak dapat dipindahkan kepada orang lain.
3. Asas praduga tidak bersalah
Dari ayat-ayat yang menjadi sumber asas legalitas dan asas tidak
boleh memindahkan kesalahan kepada orang lain 132 Hukum Islam
tersebut di atas, dapat ditarik juga asas praduga tidak ber- salah.
Seseorang yang dituduh melakukan suatu kejahatan harus dianggap
tidak bersalah sebelum hakim dengan bukti- bukti yang meyakinkan
menyatakan dengan tegas kesalahan orang itu.
Asas-asas Hukum Perdata
Di lapangan hukum perdata terdapat asas-asas hukum Islam yang
menjadi tumpuan atau landasan untuk melindungi kepentingan pribadi
seseorang. Di antaranya adalah:
1. Asas kebolehan atau mubah
Asas ini menunjukkan kebolehan melakukan semua hubungan
perdata (sebagian dari hubungan muamalah) sepanjang hubungan itu
tidak dilarang oleh Alquran dan As-Sunnah. Dengan kata lain, pada
dasarnya segala bentuk hubungan perdata adalah boleh dilakukan,
kecuali kalau telah ditentukan lain dalam Alquran dan As-Sunnah. Ini
berarti bahwa Islam memberi kesempatan luas kepada yang
berkepentingan untuk mengembangkan bentuk dan macam hubungan
perdata (baru) sesuai dengan perkembangan zaman dan kebutuhan
masyarakat. Tuhan memudahkan dan tidak menyempitkan kehidupan
manusia seperti yang dinyatakan-Nya antara lain dalam Alquran surat
Al-Baqarah (2) ayat 185, 286.
2. Asas kemaslahatan hidup
Kemaslahatan hidup adalah segala sesuatu yang menda- tangkan
kebaikan, berguna, berfaedah bagi kehidupan. Asas kemaslahatan
hidup adalah asas yang mengandung makna bahwa hubungan perdata
apa pun juga dapat dilakukan asal
Sumber, Asas-asas Hukum Islam dan al-Ahkam al-Khamsah 133 hubungan itu

mendatangkan kebaikan, berguna serta berfaedah bagi kehidupan


manusia pribadi dan masyarakat, kendatipun tidak ada ketentuannya
dalam Alquran dan As-Sunnah. Asas ini sangat berguna untuk
pengembangan berbagai lembaga hubungan perdata dan dalam menilai
lembaga-lembaga hukum non-Islam yang ada dalam sesuatu
masyarakat. Menurut Ibnu Taimiyah (1263-1328 M) setiap norma atau
lembaga non- Islam yang bersifat kultural yang akan dimanfaatkan
oleh masyarakat Islam harus dilihat manfaat atau mudarat (kerugian)
yang akan dibawanya. Jika bermanfaat, lembaga itu dapat diterima,
jika merusak atau merugikan masyarakat lembaga demikian harus
ditolak. Untuk menentukan itu, peranan ijtihad penting sekali. Melalui
asas ini kaidah hukum al-'adatu muhak- kamat, kebiasaan yang baik dalam
suatu masyarakat, berlaku sebagai hukum (Islam) bagi umat Islam,
mendapat pembe- naran.
3. Asas kebebasan dan kesukarelaan
Asas ini mengandung makna bahwa setiap hubungan perdata
harus dilakukan secara bebas dan sukarela. Kebebasan kehendak para
pihak yang melahirkan kesukarelaan dalam persetujuan harus
senantiasa diperhatikan. Asas ini juga mengandung arti bahwa selama
teks Alquran dan Sunnah Nabi Muhammad tidak mengatur suatu
hubungan perdata, selama itu pula para pihak bebas mengaturnya atas
dasar kesukarelaan masing-masing. Asas ini bersumber dari Alquran
surat Al- Nisa' (4) ayat 29.
4. Asas menolak mudarat dan mengambil manfaat
Asas ini mengandung makna bahwa harus dihindari segala bentuk
hubungan perdata yang mendatangkan kerugian 134 Hukum Islam
(mudarat) dan mengembangkan (hubungan perdata) yang bermanfaat
bagi diri sendiri dan masyarakat. Dalam asas ini terkandung juga
pengertian bahwa menghindari kerusakan harus diutamakan dari
memperoleh (meraih) keuntungan dalam suatu transaksi seperti
perdagangan narkotika, prostitusi, dan mengadakanperjudian misalnya
(A. Azhar Basjir, 1983:11).
5. Asas kebajikan (kebaikan)
Asas ini mengandung arti bahwa setiap hubungan perdata
seyogyanya mendatangkan kebajikan (kebaikan) kepada kedua belah
pihak dan pihak ketiga dalam masyarakat. Kebajikan yang akan
diperoleh seseorang haruslah didasarkan pada kesadaran
pengembangan kebaikan dalam rangka kekeluar- gaan (QS Al-Maidah
(5):90).
6. Asas kekeluargaan atau asas kebersamaan yang sederajat
Asas kekeluargaan atau asas kebersamaan yang sederajat adalah
asas hubungan perdata yang disandarkan pada hormat menghormati,
kasih mengasihi serta tolong-menolong dalam mencapai tujuan
bersama. Asas ini menunjukkan suatu hubungan perdata antara para
pihak yang menganggap diri masing-masing sebagai anggota satu
keluarga, kendatipun, pada hakikatnya, bukan keluarga. Asas ini
dialirkan dari bagian ayat 2 surat Al-Maidah (5) dan hadis yang
menyatakan bahwa umat manusia berasal dari satu keluarga.
7. Asas adil dan berimbang
Asas keadilan mengandung makna bahwa hubungan perdata tidak
boleh mengandung unsur-unsur penipuan, penindasan, pengambilan
kesempatan pada waktu pihak lain
Sumber, Asas-asas Hukum Islam dan al-Ahkam al-Khamsah 135 sedang

kesempitan. Asas ini juga mengandung arti bahwa hasil yang


diperoleh harus berimbang dengan usaha atau ikhtiar yang dilakukan.
8. Asas mendahulukan kewajiban dari hak
Asas ini mengandung arti bahwa dalam pelaksanaan hubungan
perdata, para pihak harus mengutamakan penunaian kewajibannya
lebih dahulu dari menuntut hak. Dalam sistem ajaran Islam, orang
baru memperoleh haknya, misalnya men- dapat imbalan (pahala),
setelah ia menunaikan kewajibannya lebih dahulu. Asas penunaian
kewajiban lebih dahulu dari penuntutan hak merupakan kondisi hukum
yang mendorong terhindarnya wanprestasi atau ingkar janji.
9. Asas larangan merugikan diri sendiri dan orang lain
Asas ini mengandung arti bahwa para pihak yang mengada- kan
hubungan perdata tidak boleh merugikan diri sendiri dan orang lain
dalam hubungan perdatanya. Merusak harta, kendatipun tidak
merugikan diri sendiri, tetapi merugikan orang lain, tidak dibenarkan
dalam hukum Islam. Ini berarti bahwa menghancurkan atau
memusnahkan barang, untuk mencapai kemantapan harga atau
keseimbangan pasar, tidak dibenarkan oleh hukum Islam (QS 2:188,
2:195, 3:130,4:2, 4:29, 5:2, 66:6).
10. Asas kemampuan berbuat atau bertindak
Pada dasarnya setiap manusia dapat menjadi subjek dalam
hubungan perdata jika ia memenuhi syarat untuk bertindak
mengadakan hubungan itu. Dalam hukum Islam, manusia yang
dipandang mampu berbuat atau bertindak melakukan hubungan
perdata adalah mereka yang mukallaf, yaitu mereka 136 Hukum Islam
yang mampu memikul kewajiban dan hak, sehat rohani dan
jasmaninya. Hubungan perdata yang dibuat oleh orang yang tidak
mampu memikul kewajiban dan hak, dianggap melanggar asas ini,
karena itu hubungan perdatanya batal karena dipandang bertentangan
dengan salah satu asas hukum Islam.
11. Asas kebebasan berusaha
Asas ini mengandung makna bahwa pada prinsipnya setiap orang
bebas berusaha untuk menghasilkan sesuatu yang baik bagi dirinya
sendiri dan keluarganya. Asas ini juga mengandung arti bahwa setiap
orang mempunyai kesempatan yang sama untuk berusaha tanpa
batasan, kecuali yang telah ditentukan batasannya (dilarang) oleh
hukum Islam.
12. Asas mendapatkan hak karena usaha danjasa
Asas ini mengandung makna bahwa seseorang akan menda- pat
hak, misalnya, berdasarkan usaha dan jasa, baik yang dilakukannya
sendiri maupun yang diusahakannya bersama- sama orang lain. Usaha
dan jasa haruslah usaha dan jasa yang baik yang mengandung
kebajikan, bukan usaha dan jasa yang mengandung unsur kejahatan,
keji dan kotor. Usaha dan jasa yang dilakukan melalui kejahatan,
kekejian dan kekotoran tidak dibenarkan oleh hukum Islam. Asas ini
bersumber dari Alquran antara lain surat 6:164, 8:26, 16:72, 17:15,
17:19, 35:18, 39:7, 40:64, 53:38, 53:59.
13. Asas perlindungan hak
Asas ini mengandung arti bahwa semua hak yang diperoleh
seseorang dengan jalan halal dan sah, harus dilindungi. Bila hak itu
dilanggar oleh salah-satu pihak dalam hubungan perdata, pihak yang
dirugikan berhak untuk menuntut pe-
Sumber, Asas-asas Hukum Islam dan al-Ahkam al-Khamsah 137 ngembalian

hak itu atau menuntut kerugian pada pihak yang merugikannya.


14. Asas hak milik berfungsi sosial
Asas ini menyangkut pemanfaatan hak milik yang dipunyai oleh
seseorang. Menurut ajaran Islam hak milik tidak boleh dipergunakan
hanya untuk kepentingan pribadi pemiliknya saja, tetapi juga harus
diarahkan untuk meningkatkan kesejahteraan sosial. Agama Islam
mengajarkan bahwa harta yang telah dapat dikumpulkan oleh
seseorang dalam jumlah tertentu, wajib, dalam jangka waktu tertentu,
dikeluarkan zakatnya untuk kepentingan delapan golongan masyarakat
(di antaranya fakir miskin) yang berhak juga atas kekayaan seseorang
(QS Al-Taubah (9):60). Fungsi sosial hak milik dengan tegas pula
disebutkan Allah dalam bagian surat Al- Hasyr (59) ayat 7 yang
terjemahannya berbunyi"... agar harta benda (seseorang) tidak hanya
beredar di antara (dalam kekuasaan) orang-orang kaya saja. Karena, di
dalam harta kekayaan (orang yang punya) terdapat hak peminta-minta
dan (orang) terlantar" (QS Al-Dzarriyat (51): 19).
15. Asas yang beriktikad baik harus dilindungi
Asas ini berkaitan erat dengan asas lain yang menyatakan bahwa
orang yang melakukan perbuatan tertentu bertanggung jawab atau
menanggung risiko perbuatannya. Namun, jika ada pihak yang
melakukan suatu hubungan perdata tidak mengetahui cacat yang
tersembunyi dan mempunyai iktikad baik dalam hubungan perdata,
kepentingannya harus dilindungi dan berhak untuk menuntut sesuatu
jika ia dirugikan karena iktikad baiknya.
138 Hukum Islam
IB. Asas risiko dibebankan pada harta, tidak pada pekerja
Asas ini mengandung pernilaian yang tinggi terhadap kerja dan
pekerjaan, berlaku terutama di perusahaan-peru- sahaan yang
merupakan persekutuan antara pemilik modal (harta) dan pemilik
tenaga (kerja). Jika perusahaan merugi, maka, menurut asas ini,
kerugian hanya dibebankan pada pemilik modal atau harta saja, tidak
pada pekerjanya. Ini berarti bahwa pemilik tenaga dijamin haknya
untuk menda- patkan upah, sekurang-kurangnya untuk jangka waktu
tertentu, setelah ternyata perusahaan menderita kerugian.
17. Asas mengatur dan memberi petunjuk
Sesuai dengan sifat hukum keperdataan pada umumnya, dalam
hukum Islam berlaku asas yang menyatakan bahwa ketentuan-
ketentuan hukum perdata, kecuali yang bersifat ijbari karena
ketentuannya telah qath'i, hanyalah bersifat mengatur dan memberi
petunjuk saja kepada orang-orang yang akan memanfaatkannya dalam
mengadakan hubungan perdata. Para pihak dapat memilih ketentuan
lain berdasarkan kesukarelaan, asal saja ketentuan itu tidak
bertentangan dengan hukum Islam.
18. Asas tertulis atau diucapkan di depan saksi
Asas ini mengandung makna bahwa hubungan perdata selayaknya
dituangkan dalam perjanjian tertulis di hadapan saksi-saksi (QS Al-
Baqarah (2):282). Namun, dalam keadaan tertentu, perjanjian itu
dapat saja dilakukan secara lisan di hadapan saksi-saksi yang
memenuhi syarat baik mengenai jumlahnya maupun mengenai kualitas
orangnya.
Sumber, Asas-asas Hukum Islam dan al-Ahkam al-Khamsah 139
Asas-asas Hukum Perkawinan
Dalam ikatan 'perkawinan' sebagai salah-satu bentuk perjanjian
(suci) antara seorang pria dengan seorang wanita, yang mempunyai
segi-segi perdata, berlaku beberapa asas (seperti telah disebut di
muka), di antaranya adalah (1) kesukarelaan, (2) persetujuan kedua
belah pihak, (3) kebebasan memilih, (4) kemitraan suami-istri, (5)
untuk selama-lamanya, dan (6) monogami terbuka (karena darurat).
Asas (1) 'kesukarelaan'merupakan asas terpenting perkawinan
Islam. Kesukarelaan itu tidak hanya harus terdapat antara kedua calon
suami-istri, tetapi juga antara kedua orang tua kedua belah pihak. Ke-
(suka) -relaan orang tua yang menjadi wali seorang wanita,
merupakan sendi asasi perkawinan Islam. Dalam berbagai hadis nabi,
asas ini dinyatakan dengan tegas.
Asas (2) persetujuan kedua belah pihak merupakan kon- sekuensi
logis asas pertama tadi. Ini berarti bahwa tidak boleh ada paksaan
dalam melangsungkan perkawinan. Persetujuan seorang gadis untuk
dinikahkan dengan seorang pemuda, misalnya, harus diminta lebih
dahulu oleh wali atau orang tuanya. Menurut Sunnah nabi, persetujuan
itu dapat disim- pulkan dari diamnya gadis tersebut. Dari berbagai
Sunnah nabi dapat diketahui bahwa perkawinan yang dilangsungkan
tanpa persetujuan kedua belah pihak, dapat dibatalkan oleh
pengadilan.
Asas (3) 'kebebasan memilih pasangan,' juga disebutkan dalam
Sunnah nabi. Diceritakan oleh Ibnu Abbas bahwa pada suatu ketika
seorang gadis bernama Jariyah menghadap Rasulullah dan menyatakan
bahwa ia telah dikawinkan oleh ayahnya dengan seseorang yang tidak
disukainya. Setelah mendengar pengaduan itu, nabi menegaskan
bahwa ia (Jariyah) dapat memilih untuk meneruskan perkawinan
dengan orang yang tidak disukainya itu atau meminta supaya
perkawinan- nya dibatalkan untuk dapat memilih pasangan dan kawin
dengan orang lain yang disukainya.
Asas (4)'kemitraan suami-istri' dengan tugas dan fungsi yang
berbeda karena perbedaan kodrat (sifat asal, pembawaan) disebut
dalam Alquran surat Al-Nisa' (4) ayat 34 dan surat Al-Baqarah (2)
ayat 187. Kemitraan ini menyebabkan kedudukan suami-istri dalam
beberapa hal sama, dalam hal yang lain berbeda: suami menjadi
132 Hukum Islam

kepala keluarga, istri menjadi kepala dan penanggung jawab


pengaturan rumah tangga, misalnya.
Asas (5) 'untuk selama-lamanya,' menunjukkan bahwa
perkawinan dilaksanakan untuk melangsungkan keturunan dan
membina cinta serta kasih sayang selama hidup (QS Al-Rum (30):21).
Karena asas ini pula maka perkawinan mut'ah yakni perkawinan
sementara untuk bersenang- senang selama waktu tertentu saja, seperti
yang terdapat dalam masyarakat Arab Jahiliyah dahulu dan beberapa
waktu setelah Islam, dilarang oleh Nabi Muhammad.
Asas (6) 'monogami terbuka,' disimpulkan dari Alquran surat Al-
Nisa' (4) ayat 3 jo ayat 129. Di dalam ayat 3 dinyatakan bahwa
seorang pria Muslim dibolehkan atau boleh beristri lebih dari seorang,
asal memenuhi beberapa syarat tertentu, di antaranya adalah syarat
mampu berlaku adil terhadap semua wanita yang menjadi istrinya.
Dalam ayat 129 surat yang sama Allah menyatakan bahwa manusia
tidak mungkin berlaku adil terhadap istri-istrinya walaupun ia ingin
berbuat demikian.
Sumber, Asas-asas Hukum Islam dan al-Ahkam al-Khamsah 141 Oleh karena

ketidakmungkinan berlaku adil terhadap istri- istri itu maka Allah


menegaskan bahwa seorang laki-laki lebih baik kawin dengan seorang
wanita saja. Ini berarti bahwa beristri lebih dari seorang merupakan
jalan darurat yang baru boleh dilalui oleh seorang laki-laki Muslim
kalau terjadi bahaya, antara lain, untuk menyelamatkan dirinya dari
berbuat dosa, kalau, istrinya misalnya, tidak mampu memenuhi
kewajibannya sebagai istri.
Selain asas perkawinan di atas, asas dalam bidang hukum perdata
yang perlu diketahui juga adalah asas hukum kewarisan.
Asas-asas Hukum Kewarisan
Asas hukum 'kewarisan' Islam yang dapat disalurkan dari
Alquran dan Al-Hadis, seperti yang disinggung di muka, di antaranya
adalah (1) ijbari, (2) bilateral, (3) individual, (4) keadilan berimbang, dan (5)
akibat kemadan.

Asas (1) ijbari yang terdapat dalam hukum kewarisan Islam


mengandung arti bahwa peralihan harta seorang yang meninggal dunia
kepada ahli warisnya berlaku dengan sendirinya menurut ketetapan
Allah tanpa digantungkan kepada kehendak pewaris atau ahli waris.
Unsur keharusan (ijbari = compulsory) dalam hukum kewarisan Islam
terutama terlihat dari segi: ahli waris harus (tidak boleh tidak)
menerima ber- pindahnya harta pewaris kepadanya sesuai dengan
jumlah yang telah ditentukan oleh Allah. Oleh karena itu, calon pewa-
ris yaitu orang yang akan meninggal dunia pada suatu ketika, tidak
perlu merencanakan penggunaan hartanya setelah ia meninggal dunia
kelak, karena dengan kematiannya, secara otomatis hartanya akan
beralih kepada ahli warisnya dengan perolehan yang sudah dipastikan.
Asas ijbari hukum kewarisan Islam dapat pula dilihat dari beberapa
segi lain yaitu (a) dari segi peralihan harta yang pasti terjadi setelah
orang meninggal dunia, (b) dari jumlah harta yang sudah ditentukan
untuk masing-masing ahli waris, dan (c) dari mereka yang akan
menerima peralihan harta peninggalan, yang sudah ditentukan dengan
pasti yakni mereka yang mempunyai hubungan darah dan ikatan
perkawinan dengan pewaris.
Asas (2) adalah asas 'bilateral,' berarti bahwa seseorang
menerima hak kewarisan dari kedua belah pihak yaitu dari pihak
kerabat keturunan laki-laki dan dari pihak kerabat keturunan
perempuan. Asas ini dapat dilihat dalam surat Al- Nisa' (4) ayat 7, 11,
12 dan 176. Di dalam ayat 7 surat tersebut ditegaskan bahwa seorang
laki-laki berhak mendapat warisan dari ayahnya dan juga dari ibunya.
Demikian juga halnya dengan perempuan. Ia berhak mendapat warisan
dalam kewarisan bilateral. Secara terinci asas itu disebutkan juga
dalam ayat-ayat lain di atas.
Asas (3) adalah asas 'individual.' Asas ini menyatakan bahwa
harta warisan dapat dibagi-bagi pada masing-masing ahli waris untuk
dimiliki secara perorangan. Dalam pela- ksanaannya seluruh harta
warisan dinyatakan dalam nilai tertentu yang kemudian dibagikan
kepada setiap ahli waris yang berhak menerimanya menurut kadar
bagian masing- masing. Dalam hal ini setiap ahli waris berhak atas
bagian yang didapatnya tanpa terikat kepada ahli waris yang lain,
karena bagian masing-masing sudah ditentukan. Bentuk kewarisan
kolektif yang terdapat dalam masyarakat tertentu, karena itu tidak
sesuai dengan ajaran Islam. Sebab, dalam pelaksanaan
Sumber, Asas-asas Hukum Islam dan al-Ahkam al-Khamsah 143 sistem

kewarisan kolektif itu, mungkin terdapat harta anak yatim yang


134 Hukum Islam

dikhawatirkan akan termakan, sedang memakan harta anak yatim


merupakan perbuatan yang sangat dilarang oleh ajaran Islam.
Asas (4) adalah asas 'keadilan yang berimbang.' Asas ini
mengandung arti bahwa harus senantiasa terdapat keseim- bangan
antara hak dan kewajiban, antara hak yang diperoleh seseorang,
dengan kewajiban yang harus ditunaikannya. Laki- laki dan
perempuan misalnya, mendapat hak yang sebanding dengan kewajiban
yang dipikulnya masing-masing (kelak) dalam kehidupan keluarga dan
masyarakat. Dalam sistem kewarisan Islam, harta peninggalan yang
diterima oleh ahli waris dari pewaris pada hakikatnya adalah
pelanjutan tanggung jawab pewaris terhadap keluarganya. Oleh karena
itu, perbedaan bagian yang diterima oleh masing-masing ahli waris
berimbang dengan perbedaan tanggung jawab masing-masing terhadap
keluarga. Seorang laki-laki menjadi penanggung jawab kehidupan
keluarga, mencukupi keperluan hidup anak dan istrinya (QS 2:233)
menurut kemampuannya (QS 65:7). Tanggung jawab itu merupakan
kewajiban agama yang harus dilaksanakannya, terlepas dari persoalan
apakah istrinya mampu atau tidak, anaknya memerlukan bantuan atau
tidak. Terhadap kerabat lain, tanggung jawab seorang laki-laki
hanyalah tambahan saja, sunnat hukumnya, kalau ia mau dan mampu
melaksanakannya. Berdasarkan keseimbangan antara hak yang
diperoleh dan kewajiban yang harus ditunaikan, sesungguhnya apa
yang diperoleh seorang laki-laki dan seorang perempuan dari harta
peninggalan, manfaatnya akan sama mereka rasakan.
Asas (5) adalah asas yang menyatakan bahwa kewarisan ada
kalau ada yang meninggal duni a. Ini berarti bahwa kewari san
semata-mata sebagai 'akibat kematian' seseorang. Menurut ketentuan
hukum kewarisan Islam, peralihan harta seseorang kepada orang lain
yang disebut dengan nama kewarisan, terjadi setelah orang yang
mempunyai harta meninggal dunia. Ini berarti bahwa harta seseorang
tidak dapat beralih kepada orang lain dan disebut sebagai harta
kewarisan, selama orang yang mempunyai harta masih hidup. Juga
berarti bahwa segala bentuk peralihan harta seseorang yang masih
hidup kepada orang lain, baik secara langsung maupun yang akan
dilaksanakan kemudian sesudah kematiannya, tidak termasuk ke dalam
kategori kewarisan menurut hukum Islam. Ini berarti bahwa kewarisan
Islam adalah akibat kematian seseorang atau yang disebut dalam
hukum kewarisan perdata Barat kewarisan ab intestato dan tidak
mengenai kewarisan atas dasar wasiat yang dibuat oleh seseorang pada
waktu ia masih hidup yang disebut dalam hukum perdata Barat dengan
istilah kewarisan secara testamen. Asas ini mempunyai kaitan dengan
asas ijbari tersebut di atas yakni seseorang tidak sekehendaknya saja
menentukan penggunaan hartanya setelah ia mati kelak. Melalui
wasiat, menurut hukum Islam, dalam batas-batas tertentu, seseorang
memang dapat menentukan pemanfaatan harta kekayaannya setelah ia
meninggal dunia, tetapi wasiat mempunyai ketentuan tersendiri
terpisah dari ketentuan hukum kewarisan Islam. Dalam kitab hukum
fiqih Islam, wasiat dibahas tersendiri di luar hukum kewarisan (Amir
Syarifuddin, 1984 : 18-25).
Kaidah-kaidah Fiqih

Asas-asas hukum Islam (beberapa di antaranya telah disebutkan) di


atas, mengalirkan garis-garis hukum yang dalam
Sumber, Asas-asas Hukum Islam dan al-Ahkam al-Khamsah 145 kepustakaan

hukum Islam disebut kaidah-kaidah fiqih yang dapat diterapkan ke


dalam kasus tertentu dalam masyarakat. Garis-garis hukum yang
dapat dipergunakan untuk meme- cahkan berbagai persoalan dalam
masyarakat, banyak. Asjmuni A. Rahman, misalnya, menyebut 160
buah dalam bukunya Qaidah-qaidah Fiqih (Qawa'idatul Fiqhiyyah, Jakarta,
1976) yang bunyinya, sekadar contoh, adalah sebagai berikut (1)
hukum berputar di sekitar illat-nya. Ada illat ada hukum, tidak ada illat
tidak ada hukumnya, (2) hukum berubah karena peru- bahan waktu
dan perbedaan tempat, (3) adat yang baik dapat dijadikan hukum
(Islam), (4) orang yang menuntut sesuatu hak atau menuduh seseorang
melakukan sesuatu harus membuktikan hak atau tuduhannya itu, (5)
tertuduh dapat mengingkari tuduhan yang ditujukan padanya dengan
sumpah.
AL-AHKAM AL-KHAMSAH
Ahkam adalah jamak perkataan hukm. Khamsah artinya lima.
Dengan demikian, yang dimaksud dengan al-ahkam al- khamsah (baca:
ahkamul khamsah) yang disebut juga hukum taklifi adalah lima macam
kaidah atau lima kategori penilaian mengenai benda dan tingkah-laku
manusia dalam Islam.
Menurut sistem al-ahkam al-khamsah ada lima kemungkin- an
penilaian mengenai benda atau perbuatan manusia. Penilaian itu,
136 Hukum Islam

menurut Hazairin, (Hazairin, 1982, 68) mulai dari ja'iz atau mubah di
lapangan kehidupan pribadi, muamalah atau kehidupan sosial. Ja'iz
adalah ukuran penilaian bagi perbuatan dalam kehidupan kesusilaan
(akhlak atau moral) pribadi. Kalau mengenai benda, misalnya
makanan, disebut halal (bukan ja'iz); sunnat dan makruh adalah ukuran
penilaian bagi hidup kesusilaan (akhlak atau moral) masyarakat, wajib
dan haram adalah ukuran penilaian atau kaidah atau norma bagi
lingkungan hukum duniawi. Kelima kaidah atau komponen penilaian
ini berlaku di dalam ruang-lingkup keagamaan yang meliputi semua
lingkungan kehidupan itu. Pembagian ke dalam ruang hidup
kesusilaan, baik pribadi maupun masyarakat, ruang- lingkup hukum
duniawi dan ruang-lingkup keagamaan, adalah karena perbedaan
pemberi sanksi dan bentuk sanksinya. Ja'iz ialah ukuran penilaian
dalam lingkup hidup kesusilaan per- seorangan. Ukuran penilaian
tingkah-laku ini dikenakan bagi perbuatan-perbuatan yang sifatnya
pribadi yang semata-mata diserahkan kepada pertimbangan dan
kemauan orang itu sendiri untuk melakukannya. Ia bebas untuk
menentukan apakah ia akan atau tidak akan melakukan perbuatan itu.
Akibatnya mungkin akan mendatangkan kebahagiaan dan kepuasan
bagi dirinya, mungkin juga kesedihan atau kekecewaan yang diper-
olehnya, walaupun ia yakin benar pada mulanya bahwa tindakannya
itu akan membawa kebaikan bagi dirinya. Dari sini manusia
memperoleh pelajaran atau pengalaman bahwa ia bebas berbuat, tetapi
tidak bebas untuk menguasai hasil perbuatannya menurut keinginan
semula (Hazairin, 1974:31).
Pengalaman pahit yang dirasakannya menimbulkan kehendak
untuk mencari sebab mengapa terjadi demikian. Jawaban yang akan
diperolehnya tergantung kepada tingkat kerohanian dan derajat
pemikirannya. Mungkin jawaban penye- bab itu akan dicarinya pada
gejala-gejala alam di sekitarnya, mungkin juga pada kekuatan-
kekuatan gaib yang tidak atau belum dikenalnya. Bagi yang mencari
lebih jauh akan terbuka jendela keyakinan akan adanya Tuhan Yang
Maha Esa yang mengendalikan pertimbangan dan kemauannya. Dan ia
akan
Sumber, Asas-asas Hukum Islam dan al-Ahkam al-Khamsah 147 mendapat

pelajaran dari pengalaman yang dirasakannya (Hazairin, 1974: 32).


Dari uraian di atas jelaslah bahwa ja'iz mampu membuka- kan
kalbu ke alam gaib dan kekuasaan gaib, yang kemudian baru
dikenalnya betul setelah datang utusan-Nya (nabi atau rasul)
menyampaikan kepada manusia pedoman untuk mem- bedakan antara
yang baik dan buruk dan cara-cara mencapai atau menghindarinya
dalam rangka usaha menghasilkan sesuatu yang bermanfaat bagi
hidupnya di dunia ini dan di akhirat kelak. Pengalaman hidup itu,
biasanya, disampaikan melalui berbagai cara pada generasi-generasi
berikutnya.
Himpunan pengalaman-pengalaman pribadi itu menim- bulkan
berbagai anjuran dan cegahan atau celaan terhadap perbuatan orang
lain dalam masyarakat. Melembagalah ukuran- ukuran penilaian yang
disebut sunnat dan makruh, yakni ukuran penilaian bagi perbuatan yang
dianjurkan, digemari, disukai dalam masyarakat karena baik tujuannya
(sunnat), sedangkan makruh adalah ukuran penilaian bagi perbuatan
yang tidak diingini, dibenci, dicela oleh masyarakat karena tujuannya
adalah buruk. Akibatnya, orang yang melakukan perbuatan yang
kaidahnya makruh, mendapat celaan umum, yang mungkin bentuknya
berupa perkataan atau mungkin pula berupa sikap yang tidak
menyenangkan, bahkan mungkin sampai pada sikap pemboikotan dari
pergaulan.
Kalau dibandingkan dengan ja'iz, mengenai sunnat atau makruh ini
dapat dikemukakan bahwa walaupun perbuatan itu didasarkan pada
kemerdekaan pribadi, namun telah berada di bawahpengawasan
masyarakat, dengan padahan (sanksi) pujian bagi perbuatan sunnat atau
celaan bagi perbuatan yang kaidahnya makruh.
Bila perbuatan yang ukurannya sunnat dirasakan kebaikan- nya
dalam kehidupan masyarakat, dan masyarakat ingin mengu-
kuhkannya menjadi perbuatan yang tidak boleh diabaikan, masyarakat
akan meningkatkannya menjadi wajib. Jika telah demikian, siapa yang
meninggalkannya akan mendapat hukuman berupa penderitaan atas
harta, badan, martabat, kehormatan diri, kemerdekaan bergerak
bahkan sampai pada ancaman hukuman mati. Demikian juga halnya
dengan perbuatan yang berkaidah makruh. Ia dapat ditingkatkan
menjadi haram, jika masyarakat memandang perbuatan tercela itu
demikian kejinya sehingga lebih baik menjadi perbuatan yang
terlarang. Dan barangsiapa melanggar larangan itu ia akan dikenakan
ganjaran hukuman pula.
138 Hukum Islam

Kendatipun perbuatan yang berkaidah haram atau wajib masih juga


ada sangkut-pautnya dengan kemerdekaan seseorang untuk berbuat,
namun kemerdekaan itu kini bukan lagi hanya dikendalikan oleh
masyarakat saja tetapi telah dibendung oleh penguasa dalam satu
kesatuan hidup kenegaraan (Hazairin, 1974:33).
Dari uraian di atas jelaslah bahwa wajib adalah pening- katan
sunnat sedang haram adalah kelanjutan peningkatan makruh. Atau dengan
perkataan lain wajib berasal dari sunnat dan haram bersumber dari
makruh. Dan karena sunnat dan makruh bersumber dari ja'iz, maka wajib
dan haram berpokok pangkal pada ja’iz pula.
Di dalam sistem tata norma Islam, ajaran al-ahkam al- khamsah ini
meliputi seluruh kehidupan manusia, di dalam segala lingkungannya:
kesusilaan pribadi, masyarakat dan hukum duniawi. Lingkungan
hukum duniawi adalah masya-
Daftar Isi 139

Sumber, Asas-asas Hukum Islam dan al-Ahkam al-Khamsah haram wajib

jaiz

rakat yang dibentuk dengan penguasa sebagai pengelolanya. Ketiga-


tiganya merupakan satu rangkaian kesatuan, dan bertautan satu
dengan yang lain. Pertautan antara kesusilaan dan hukum merupakan
hal yang sangat penting dalam ajaran lima kategori penilaian menurut
ajaran Islam.
Mengenai hubungan antara kesusilaan dan hukum secara luas
telah diuraikan oleh Profesor Hazairin dalam pidato pelantikan beliau
sebagai Guru Besar Hukum Adat dan Hukum Islam di Fakultas Hukum
Universitas Indonesia, 13 September 1952. Dalam tulisan beliau yang
lain mengenai kesusilaan (Hazairin, 1973:69) beliau berkata antara lain
sebagai berikut (dikutip dengan penyesuaian di sana-sini): "Negara
Republik Indonesia adalah sebuah negara yang berdiri atas keinsafan
bahwa hukum dan kesusilaan (moral) tidak dapat dipisah- pisahkan.
Hukum tanpa kesusilaan (moral) adalah kezaliman. Moral tanpa
hukum adalah anarki dan utopi yang dapat menjurus kepada
perikebinatangan. Hanya hukum yang dipeluk oleh kesusilaan atau
moral dan berakar kepada kesusilaan atau moral dapat mendirikan
perikemanusiaan. Kein- safan persenyawaan antara hukum dan
kesusilaan atau moral terpampang dalam UUD 1945 dalam Pasal 29
ayat 1 (yang berbunyi): Negara berdasarkan atas Ketuhanan Yang
Maha Esa. Ayat ini mengandung arti bahwa negara, bangsa dan
masyarakat mematuhi norma-norma Ilahi, yang meliputi norma-norma
hukum dan norma-norma kesusilaan atau moral. Oleh karena itu, maka
dalam Negara Republik Indonesia, tidak boleh dipediarkan
(dibiarkan:MDA) ada hukum yang bertentangan dengan norma Ilahi
dan tidak boleh dibiar- kan ada kesusilaan atau moral yang
140 Hukum Islam
berlawanan dengan sesuatu norma Ilahi. Menambah garis-garis hukum
dan menam- bah garis-garis kesusilaan atau moral kepada norma Ilahi
tetapi tidak bertentangan dengan norma-norma Ilahi, adalah bebas
leluasa. Dalam menilai manusia, kata beliau lebih lanjut, orang hanya
dapat memperhatikan perkataan, perbuatan dan laku perangai manusia
itu. Manusia yang tidak berkesesuaian perkataannya dengan perbuatan
dan tingkah lakunya, disebut munafik, sangat berbahaya bagi negara,
bangsa dan masyarakat. Orang yang demikian, kata beliau, tidak layak
untuk dijadikan pemimpin dalam urusan negara, bangsa dan
masyarakat, walau- pun dia tidak pernah melakukan pelanggaran
hukum."
"Siapakah yang berkewajiban mengawasi kesusilaan (moral atau
akhlak) dalam negara dan masyarakat?" tanya beliau.
Pertanyaan itu beliau jawab sendiri dengan kata-kata berikut:
"Pada prinsipnya setiap orang. Tetapi yang 'resmi' berkewajiban
(mengawasi kesusilaan (moral atau akhlak) dalam negara dan
masyarakat) ialah setiap petugas dalam urusan kenegaraan dan
kemasyarakatan. Mereka berkewajiban untuk menegur dan memberi
nasihat tentang kesusilaan (moral atau akhlak buruk) baik secara
preventif maupun repressif. Tentu saja petugas-petugas negara dan
masyarakat yang berkewajiban mengawasi kesusilaan (moral atau
akhlak) itu wajib pula berkesusilaan (bermoral atau berakhlak baik).
Dan karena kesusilaan (moral) dalam Negara Republik Indonesia ini
harus bersesuaian dengan norma Ilahi, maka semua petugas mesti pula
terdiri dari orang-orang yang bukan saja beragama, tetapi juga benar-
benar hidup menurut norma-norma agamanya, yang di dalam Islam
disebut orang yang bertakwa" (Hazairin, 1973:70). Norma-norma Ilahi
dan norma-norma yang dimaksud oleh Profesor Hazairin itu, selain
norma syariah adalah juga norma akhlak mengenai sikap atau
perbuatan yang baik dan buruk. Dalam perkataan sehari-hari orang
sering menyebut kesusilaan, moral, dan akhlak secara bergantian,
karena diang- gap sepadan (sama). Namun perlu segera dicatat: antara
ketiganya terdapat perbedaan. Kesusilaan atau moral adalah hasil
pemikiran manusia yang disepakati oleh suatu masyarakat tertentu
pada suatu masa mengenai buruk dan baik (budaya), sedang akhlak
adalah istilah agama dan bagian agama Islam yang ditetapkan Allah
dan ditentukan rasul-Nya sebagai ukuran bagi sikap dan perbuatan
Sumber, Asas-asas Hukum Islam dan al-Ahkam al-Khamsah 141
manusia yang baik atau buruk. Kesusilaan atau moral dapat berubah
dan dapat bertentangan dengan norma Ilahi atau norma agama, sedang
akhlak sifatnya tetap, senantiasa sejalan dan tidak mungkin berten-
tangan dengan norma Ilahi atau norma agama.
Dari uraian tersebut di atas, dapat ditarik kesimpulan berikut:
Al-ahkam al-khamsah adalah lima pernilaian yang disebut norma atau
kaidah dalam ajaran Islam. Al-ahkam al-khamsah (1) meliputi seluruh
lingkungan hidup dan kehidupan. (2) Di dalam lingkungan hidup
kesusilaan pribadi, berlaku satu kaidah (ja'iz). Di lingkungan
kesusilaan umum atau disebut juga dengan istilah moral sosial
terdapat dua kategori kaidah yakni sunnat dan makruh. Di lingkungan
hukum duniawi terdapat dua kaidah yang disebut dengan istilah wajib
dan haram. (3) Kelima- limanya berlaku di ruang-lingkup keagamaan
yang meliputi semua lingkungan hidup di atas. Ia menjadi ukuran
perbuatan manusia baik di bidang ibadah maupun di lapangan
muamalah. (4) Di lingkungan hidup kesusilaan dan hukum, ukuran itu
dapat berubah-ubah. Penguasa, misalnya, dapat mengubah ukuran
perbuatan sunnat menjadi (diindonesiakan) wajib, makruh menjadi
haram. (5) Di ruang-lingkup keagamaan dilarang mengubah yang halal
menjadi haram, haram menjadi halal. Perintah Allah baik suruhan
maupun larangan-Nya, tidak boleh digeser-geser. Yang haram tetap
haram, yang wajib tetap wajib. Ia berlaku abadi sepanjang masa, tidak
terbatas pada ruang dan waktu tertentu. (6) Pengelompokan ke dalam
lingkungan hidup kesusilaan, hukum dan keagamaan di atas adalah
untuk memudahkan pemahaman dipandang dari segi 'siapa' yang
memberi sanksi (padahan) jika norma-norma itu dilanggar. Dalam
kesusilaan (pribadi dan masyarakat) yang memberi sanksi adalah diri
sendiri berupa kepuasan atau kekecewaan, anggota masyarakat berupa
pujian atau celaan. Dalam lingkungan hukum duniawi yang memberi
sanksi adalah penguasa berupa ganti kerugian atau denda atau hu-
kuman pidana. Dalam lingkup keagamaan yang meliputi kesusilaan
dan hukum duniawi yang memberi sanksi adalah Tuhan, baik di dunia
ini maupun di akhirat kelak berupa pahala dan dosa (Hazairin, 1982:
73, 74, Kemal Faruki, 1966: 43).
Sejarah Pertumbuhan dan Perkembangan

Hukum Islam

TAHAP-TAHAP PERTUMBUHAN DAN PERKEMBANGAN


Penulis-penulis sejarah hukum Islam telah mengadakan
pembagian tahap-tahap pertumbuhan dan perkembangan hukum Islam.
Pembagian ke dalam beberapa tahap itu tergantung pada tujuan dan
ukuran yang mereka pergunakan dalam mengadakan pertahapan itu.
Ada yang membaginya ke dalam 5, 6 atau 7 tahapan. Namun, pada
umumnya, tahap- tahap pertumbuhan dan perkembangan hukum Islam
adalah 5 masa berikut ini:
I. Masa Nabi Muhammad (610 M - 632 M)
II. Masa Khulafa Rasyidin (632 M - 662 M)
III. Masa Pembinaan, Pengembangan dan Pembukuan (abad VII - X
M)
IV. Masa Kelesuan Pemikiran (abad X M - XIX M)
V. Masa Kebangkitan Kembali (abad XIX M sampai sekarang).
Daftar Isi 143

154 Hukum Islam


MASA NABI MUHAMMAD (610 M —632 M)
Latar Belakang
Sebelum mengkaji pertumbuhan hukum Islam di zaman Nabi
Muhammad ini sebagai latar-belakangnya, kita bicara- kan dahulu
masyarakat Arab sebelum Islam.
Agama Islam sebagai induk hukum Islam muncul di Se-
menanjung Arab, di satu daerah tandus yang dikelilingi oleh laut pada
ketiga sisinya dan lautan pasir pada sisi keempat. Daerah ini adalah
daerah yang sangat panas, di tengah-tengah gurun pasir yang amat
luas yang mempengaruhi cara hidup dan cara berpikir orang-orang
Badui yang tinggal di tempat itu. Untuk memperoleh air bagi makanan
ternaknya, mereka selalu berpindah-pindah dari suatu tempat ke
tempat lain. Alam yang begitu keras membentuk manusia-manusia
indivi- dualistis. Perjuangan memperoleh air dan padang rumput
merupakan sumber-sumber perselisihan antar mereka. Dan karena itu
pula mereka hidup dalam klen-klen yang disusun berdasarkan garis
patrilineal, yang saling bertentangan (Philip K. Hitti, 1970: 13-16).
Ikatan anggota klen ini didasarkan pada pertalian darah dan ada
juga yang didasarkan pada pertalian adat. Pertalian adat terjadi
apabila anggota suatu klen lain diangkat menjadi anggota klen yang
bersangkutan dalam suatu upacara, antara lain dengan meminum
beberapa tetes darah anggota klen yang asli. Klen merupakan ikatan
anggota-anggotanya yang berkewajiban melindungi seluruh
kepentingan para anggota klennya. Kalau salah seorang anggota klen
berkelahi dengan anggota klen yang lain, biasanya seluruh anggota
klen yang bersangkutan terlibat ke dalamnya. Dan karena keadaan
yang
demikian, kepala klen dalam suatu daerah ikut campur tangan dan
menentukan*'
penyelesaian yang harusPertumbuhan
Sejarah
ditempuhdanoleh klen-klen yang
Perkembangan Hukum Islam 144
berselisih itu (Philip K. Hitti, 1970: 21).
Susunan klen yang demikian menuntut kesetiaan mutlak para
anggotanya, dan karena itu, kalau ada seorang anggota klen
melepaskan diri dari ikatan klennya, ia dianggap telah memutuskan
hubungan dengan klen asalnya, dan sebagai akibatnya ia tidak lagi
dilindungi oleh anggota klennya. Inilah latar-belakang penjelasan,
mengapa Nabi Muhammad, setelah pindah dari Makkah ke Madinah
dengan melakukan Hijrah dahulu dianggap telah memutuskan
hubungan dengan klennya yang asli dan karena itu pula ia diperangi
oleh anggota klen asalnya.
Klen dipimpin oleh seorang yang diberi gelar Sayyid atau Syaikh
yang dipilih berdasarkan kelahiran, keberanian atau kearifannya.
Kalau terjadi perselisihan antara anggota-anggota klen, biasanya
kepala klen itulah yang berfungsi sebagai arbitratornya. Dalam
melaksanakan fungsinya itu ia didampingi oleh sebuah majlis sebagai
badan penasihat yang anggota- anggotanya terdiri dari orang-orang
tua klen yang bersangkutan. Karena corak masyarakatnya yang
unilateral patrilinial, kedu- dukan anak laki-laki sangat penting dalam
keluarga. Melalui anak laki-laki inilah garis keturunan ditarik dan dia
pulalah di dalam keluarga yang dianggap akan meneruskan keturunan
dan membawa nama baik keluarganya. Dan karena statusnya yang
demikian itu, maka laki-laki mempunyai kekuasaan yang amat besar
dalam keluarga dan rumah tangga. Sebagaimana juga dalam
masyarakat patrilineal yang lain, karenanya, kedudukan wanita
dipandang sangat rendah. Wanita hanya dibebani kewajiban tanpa
imbalan hak sama sekali. (Philip K.
Hitti, 1970: 23). Karena itu pula, kalau lahir anak perempuan dalam
satu rumah tangga, seluruh keluarga menjadi malu karena melahirkan
anak yang kelak tidak bisa mempertahan- kan nama klennya. Karena
itu keluarga yang bersangkutan, berusaha untuk melenyapkan nyawa
bayi wanita atau mem- bunuhnya kemudian setelah ia berumur
beberapa tahun.
Demikian rendahnya kedudukan wanita pada waktu itu sehingga
laki-laki dengan mudah mengucapkan satu dua patah kata saja untuk
menceraikan istrinya. Di dalam hukum kewarisan misalnya,
kedudukan wanita dianggap tidak ada. Karena itu seorang anak
perempuan tidak mendapat bagian dari harta peninggalan orang tuanya
seperti halnya saudaranya yang laki-laki. Istri tidak menjadi ahli waris
mendiang suaminya.
Tentang hidup keagamaannya dapat dikemukakan hal-hal berikut:
Orang Badui yang mengembara itu mempunyai dewa- dewa sendiri
yang dipuja oleh masing-masing klennya. Dewa- dewa itu
digambarkan dalam bentuk patung yang biasanya diletakkan di rumah
kepala klen sebagai simbul identitas klennya. Namun, berbeda dengan
orang-orang itu, ada yang telah menetap yang mempunyai
kepercayaan yang berlainan dengan para pengembara itu. Mereka
percaya kepada Yang Maha Esa yang mereka sebut Allah, di samping
dewa atau dewi yang banyak itu. Allah inilah yang menjadi pencipta,
pemelihara manusia dalam hidup dan kehidupannya. Ajaran tentang
Allah Maha Esa dan Maha Pencipta itu berasal dari Nabi Ibrahim.
Nabi Ibrahim adalah nenek moyang orang Arab yang disuruh Tuhan
membangun kembali Ka'bah di kota Makkah lebih kurang empat ribu
tahun yang lalu. Ajaran tentang Allah yang diajarkan oleh Nabi
Ibrahim itu adalah sama dengan ajaran tauhid: keesaan Tuhan yang
disampaikan
Sejarah Pertumbuhan dan Perkembangan Hukum Islam 157 oleh Nabi

Muhammad kemudian (Philip K. Hitti, 1970: 33).


Orang-orang yang menetap di kota Makkah adalah para pedagang
yang berintikan klen Quraish yang telah mengadakan hubungan
perdagangan perantara dengan orang-orang Abessinia di Selatan,
dengan orang-orang Romawi di Barat dan orang-orang Persia di Timur
Laut.
Pemerintahan di kota Makkah dijalankan oleh suatu majlis yang
beranggotakan kepala-kepala keluarga yang dipilih berdasarkan
kekayaan dan pengaruh mereka di dalam masyarakat. Banyak di antara
mereka yang mempunyai kekayaan yang dipinjamkan kepada orang-
orang yang memerlukannya dengan bunga yang tinggi. Transaksi
perdagangan uang yang demikian merupakan pemerasan manusia atas
manusia, yang kemudian dikualifikasikan sebagai 'riba' dan dilarang
oleh Allah. Solidaritas para pedagang kaya ini sangat besar dan
kesetiakawanan mereka ditunjukkan dalam menentang Nabi
Muhammad (kelak) ketika menyampaikan wahyu Allah di Makkah.
Sejak dahulu sampai sekarang kedudukan kota Makkah sangat
penting dalam kehidupan manusia. Di samping ia terletak di
persimpangan jalan perdagangan transito seperti dikemukakan di atas,
di sana juga terletak rumah suci yang disebut Baitullah atau Ka'bah
yang sengaja dibuat untuk tempat manusia tawaf: berjalan
mengelilingi Ka'bah dengan tubuh bagian kiri berada di arah Ka'bah.
Di sana juga Islam
146 Hukum terdapat makam Ibrahim yaitu batu tempat Nabi Ibrahim
meletak- kan kakinya ketika membangun Ka'bah itu dahulu.
Di salah-satu sudut Ka'bah terletak batu yang disebut Hajar al
aswad, baca: hajarul aswad, (: batu hitam), tempat arah manusia mulai
melakukan tawaf. Tidak jauh dari Ka'bah terdapat Air zam-zam yang
sangat erat hubungannya dengan kehidupan Nabi Ismail dan ibunya
Siti Hajar. Tidak jauh dari Ka'bah juga terdapat dua bukit kecil yang
bernama Safa dan Marwah yang kini dijalani orang tujuh kali pulang
pergi waktu melakukan ibadah haji atau umrah. Perjalanan pulang
pergi antara Safa dan Marwah yang disebut sa'i ini juga mempunyai
hubungan yang erat dengan cerita Ismail dan Hajar manusia-manusia
pertama yang mendiami lembah Makkah itu.
Di sinilah lahir seorang bayi yang oleh ibunya Aminah diberi
nama Ahmad, dan oleh kakeknya Abdul Muthalib dinamakan Muhammad.
Kedua nama ini berasal dari satu akar kata yang di dalam bahasa Arab
berarti: terpuji atau (yang) dipuji (Hazairin, 1955).
Muhammad (nama yang populer kemudian) lahir pada bulan
Rabi'ulawwal tahun Gajah. Para penulis sejarah Nabi Muhammad
menyebut kelahiran itu pada tanggal 12 Rabi'ulawwal (bulan ketiga
tahun hijrah) bersamaan dengan tanggal 20 April tahun 571 Masehi.
Tapi ada pula yang menyamakan bulan Rabi'ulawwal itu dengan bulan
Agustus, tahun 570 M (Muhammad Husain Haikal, 1979: 55).
Setelah ibunya meninggal dunia beberapa tahun kemudian,
Muhammad dipelihara oleh kakeknya Abdul Muthalib dan setelah
kakeknya meninggal dunia pula, Muhammad diasuh oleh pamannya
Abi Thalib ayah Ali bin Abi Thalib. Muhammad berasal dari keluarga
terhormat tetapi tidak kaya dan sebagai seorang pemuda ia hidup di
kalangan mereka yang berkuasa di Makkah. Sejarah mengatakan
bahwa dalam
usia yang masih muda, Muhammad sudah dikenal dalam
pergaulan. KarenaSejarah
sifatnya yang suka membantu orang-orang yang
Pertumbuhan dan Perkembangan Hukum Islam 147
lemah dan karena ia selalu memperhatikan soal per- damaian
antarsuku serta senantiasa membela kebenaran dan menegakkan
keadilan ia dipercayai oleh penduduk Makkah. Pada usia 25 tahun,
beliau kawin dengan seorang janda kaya bernama Khadijah yang
umurnya lima belas tahun lebih tua dari beliau dan masih mempunyai
hubungan kekerabatan. Khadijah tertarik kepada Muhammad karena
sifatnya yang mulia, jujur dan dapat dipercaya.
Perkawinan ini memberi kelapangan materi baginya. Karena itu
dalam waktu-waktu senggang dari aktivitas perdagangan, beliau
sering menyendiri merenungkan antara lain sebab-sebab kemerosotan
(akhlak) orang Arab. Tiga tahun sebelum mendapat wahyu,
Muhammad biasa mengasingkan dirinya di gua Hira' selama bulan
Ramadan. Ketika beliau mencapai umur 40 tahun, pada tahun 610 M,
beliau menerima wahyu pertama. Pada waktu itu pula beliau
ditetapkan Tuhan menjadi rasul atau Utusan-Nya. Tiga tahun
kemudian, malaikat Jibril membawa perintah Allah untuk
menyebarluaskan wahyu yang diterimanya kepada umat manusia.
Dalam melaksanakan tugasnya sebagai rasul menyampaikan wahyu
Ilahi, beliau dimusuhi, dianiaya dan dikejar oleh kaumnya sendiri.
Atas petunjuk Allah beliau pindah atau hijrah dari Makkah ke Yathrib
yang kemudian berubah nama menjadi Madinat al-Nabi (dibaca
Madinatun Nabi) artinya Kota Nabi. Sebelum hijrah, beliau isra' dan
mi'raj pada tanggal 27 Rajab. Isra 1 artinya perjalanan malam dari
Masjidil Haram di Makkah ke Masjidil Aqsa di Yerussalam
(Palestina). Mi'raj artinya naik ke langit sampai ke Sidrat al-Muntaha
(baca Sidratul Muntaha) dengan kendaraan Bouraq (: Bouraq adalah
alat yang mempunyai kecepatan yang luar biasa). Pada peristiwa yang
sangat unik ini beliau menerima perintah salat (sembahyang) wajib
lima kali sehari semalam. Di Madinah beliau menyebar- kan wahyu-
wahyu Tuhan yang isinya agak berbeda dengan wahyu-wahyu yang
beliau terima di Makkah. beliau wafat dalam usia 63 tahun, pada
tahun 632 M setelah berhasil melakukan tugasnya sebagai Rasulullah
selama 13 tahun di Makkah dan 10 tahun di Madinah (Hazairin,
1955).
Dalam bukunya The 100, a Ranking of the Most Influential Persons in
History (: 1978) Michael H. Hart menempatkan nama Nabi Muhammad
dalam urutan nomor satu dari seratus nama- nama orang besar dalam
sejarah umat manusia. Sesudah itu menyusul nama-nama Issac
Newton, Jesus Kristus, Budha Gautama, Confusius dan seterusnya.
Yang dipergunakan Michael H. Hart dalam menentukan peringkat
(ranking) itu adalah pengaruh mereka masing-masing kepada umat
manusia dalam
148 Hukum Islamsejarah.

Menurut Hart, seorang non-Muslim ahli astronomi dan sejarah,


di antara sekian banyak orang besar yang pernah hidup di dunia, yang
paling terkemuka adalah Nabi Muhammad, karena "hanya dialah
manusia dalam sejarah yang paling berhasil menyebarkan ajaran
agama dan membina kehidupan dunia" (he was the only man in history who
was supremely successful on both the religious and secular levels). Majalah
Newsweek tanggal 31 Juli 1978 membicarakan buku Michael H. Hart
tersebut dan di bawah judul All-Stars of History dimuat daftar urutan
nama orang-orang yang diteliti oleh Michael H. Hart itu. Buku
Michael H. Hart ini sudah diterjemahkan oleh Mahbub
Sejarah Pertumbuhan dan Perkembangan Hukum Islam 161 Djunaidi ke

dalam bahasa Indonesia dengan judul Seratus Tokoh (1982).


Mengenai peranan dan tempat Nabi Muhammad dalam sejarah
umat manusia, tidak ada salahnya kalau disebutkan pula, pendapat
Philip Kurie Hitti dalam bukunya Islam a Way of Life (1970). Pada
halaman 2 dan 3 bukunya itu Philip Kurie Hitti menyatakan bahwa
Islam yang dibawa Nabi Muhammad untuk umat manusia itu adalah
satu pandangan hidup (a way of life) dengan tiga aspek utamanya, yaitu
agama, politik, dan budaya.
Sejarah, memang, telah mencatat nama-nama manusia yang
membawa atau membangun suatu agama, yang lain disebut-sebut
sebagai bapak suatu bangsa. Di samping itu ada pula orang-orang
besar yang berhasil membangun suatu masyarakat atau negara. Jika
ada orang lain yang berhasil membangun ketiga-tiganya sekaligus,
maka mungkin kedu- dukan Nabi Muhammad tidak sangat istimewa
dalam sejarah umat manusia, terutama bagi umat Islam, dan orang
mungkin akan mudah melupakan namanya. Akan tetapi, sejarah telah
menunjukkan bahwa ke tiga institusi atau lembaga itu dalam
bentuknya yang sangat unik (lain dari yang lain) telah berhasil
dibangun oleh Nabi Muhammad dalam waktu yang relatif singkat,
yakni dalam masa kurang dari 23 tahun. Manusia yang dijadikan
Tuhan menjadi Utusan-Nya itu telah dapat menu- naikan tugasnya
dengan baik, membangun suatu agama dalam arti kata yang seluas-
luasnya, membina suatu umat yang kemudian menjelma menjadi suatu
bangsa serta mendirikan suatu masyarakat politik atau negara, serta
meletakkan dasar- dasar budaya yang kemudian berkembang menjadi
budaya Islam. Oleh karena itulah kedudukannya menjadi sangat
penting, terutama bagi umat Islam. Pengakuan terhadap Tuhan Yang
Maha Esa tidaklah lengkap bagi seorang Muslim tanpa pengakuan
terhadap kerasulan Muhammad. Dan ini mem- bawa konsekuensi
bahwa umat Islam harus mengikuti firman- firman Tuhan yang
terdapat dalam Alquran dan Sunnah Nabi Muhammad yang dicatat
dalam kitab-kitab hadis. Melalui wahyu-Nya Allah menegaskan posisi
Nabi Muhammad dalam rangka agama Islam, dengan kata-kata antara
lain sebagai berikut: (1) Kami mengutus Muhammad untuk menjadi
rahmat bagi alam semesta (QS 21: 107). (2) Hai orang-orang yang
beriman, ikutilah Allah dan ikutilah rasul-Nya (QS 4: 59). (3)
Barangsiapa yang taat kepada rasul berarti dia taat kepada Allah (QS
4: 80). (4) Pada diri Rasulullah terdapat suri teladan yang baik (QS
33: 21) dan karena itu (5) Apa yang dibawanya ikutilah dan apa yang
dilarangnya, jauhilah (QS 59: 7).
Yang dibawa oleh Nabi Muhammad adalah wahyu-wahyu Tuhan.
Di antara wahyu-wahyu itu terdapat ayat-ayat hukum. Menurut
penelitian Abdul Wahab Khallaf, seperti telah disebut di atas, Guru
Besar Hukum Islam di Universitas Kairo (A.W. Khallaf, 1975:30)
ayat-ayat hukum mengenai soal-soal ibadah jumlahnya 140 dalam
Alquran. Ayat-ayat ibadah ini berkenaan dengan soal salat, zakat,
puasa dan haji. Sedang ayat-ayat hukum mengenai muamalah
jumlahnya 228, lebih kurang 3% dari jumlah seluruh ayat-ayat yang
terdapat dalam Alquran. Ayat-ayat hukum ini tersebar di dalam
berbagai surat sehingga untuk memahaminya secara baik diperlukan
suatu metode dan keahlian khusus. Menurut almarhum Prof. Hazairin
(Guru Besar Hukum Adat dan Hukum Islam Universitas Indonesia),
metode yang terbaik untuk memahami ayat-ayat hukum dalam Alquran
itu adalah 'metode otentik' yakni
Sejarah Pertumbuhan dan Perkembangan Hukum Islam 163 metode

perbandingan langsung antara semua ayat-ayat yang ada sangkut-


pautnya satu dengan yang lain dengan persoalan pokok masalah yang
dibicarakan, misalnya ayat-ayat mengenai perkawinan, warisan dan
sebagainya harus dihubungkan sedemikian rupa walaupun letaknya
berbeda dalam jarak yang jauh di dalam konteks ayat-ayat yang
bersangkutan (Hazairin, 1975:3). Dengan mempergunakan metode ini,
dalam kepustakaan disebut metode tematik atau madhu'i, orang akan
mudah memahami
150 Hukum Islam ayat-ayat Alquran. Dengan perkataan lain supaya
ayat-ayat yang tersebar itu dapat dipahami maksud- nya dengan
sebaik-baiknya harus diadakan pengelompokan dan klasifikasi ayat-
ayat yang mempunyai hubungan satu dengan yang lain. Klasifikasi
228 ayat hukum yang terdapat dalam Alquran itu menurut penelitian
Prof. Abdul Wahab Khallaf seperti yang telah disinggung juga pada
halaman 79 dan 81 di atas adalah sebagai berikut:
1. Hukum Keluarga yang terdiri dari hukum perkawinan dan hukum
kewarisan sebanyak 70 ayat:
• Mengenai hukum perkawinan misalnya (hanya diambil
sebagai contoh), terdapat dalam Alquran surah 2 ayat 221,
230, 232, 235; surah 4 ayat 3, 4, 22, 23,24 dan 25, 129;
surah 24 ayat 32, 33; surah 60 ayat 10 dan 11; surah 65 ayat
1 dan 2.
• Mengenai hukum kewarisan terdapat dalam beberapa ayat
Quran, misalnya dalam surah 2 ayat 180 dan 240, surah 4
ayat 7 sampai dengan 12, 32, 33 dan 176, surah 33 ayat 6.
2. Mengenai Hukum Perdata lainnya, di antaranya hukum
perjanjian (perikatan) terdapat 70 ayat, contohnya dalam surah 2
ayat 280, 282, 283; surah 8 ayat 56 dan 58.
3. Mengenai Hukum Ekonomi Keuangan termasuk hukum dagang
terdiri dari 10 ayat antara lain dalam surah 2 ayat 275, 282, 284;
surah 3 ayat 130; surah 4 ayat 29; surah 83 ayat 1-3.
4. Hukum Pidana terdiri dari 30 ayat antara lain dalam surah 2 ayat
178 dan 179; surah 4 ayat 92 dan 93; surah 5 ayat 33, 38 dan 39;
surah 24 ayat 2; surah 42 ayat 40.
5. Mengenai Hukum Tata Negara ada 10 ayat antara lain dalam
surah 3 ayat 110, 159; surah 3 ayat 104; surah 4 ayat 59; surah 42
ayat 38.
6. Mengenai Hukum Internasional terdapat 25 ayat antara lain
dalam surah 2 ayat 190 sampai dengan 193; surah 8 ayat 39 dan
41; surah 9 ayat 29 dan 123; surah 22 ayat 39 dan 40.
7. Mengenai Hukum Acara dan Peradilan terdapat 13 ayat antara
lain dalam surah 2 ayat 282; surah 4 ayat 65 dan 105; surah 5
ayat 8; surah 38 ayat 26.
Ayat-ayat hukum ini pada umumnya berupa prinsip-prinsip saja
yang harus dikembangkan lebih lanjut. Waktu Nabi Muhammad masih
hidup, tugas untuk mengembangkan dan menafsirkan ayat-ayat hukum
ini terletak pada diri beliau sendiri melalui ucapan, perbuatan dan
sikap diam beliau yang disebut sunnah yang kini dapat dibaca dalam
kitab-kitab hadis. Menurut penelitian Abdul Wahab Khallaf pula,
hadis- hadis hukum berjumlah ± 4500 buah. Dengan mempergunakan
Alquran sebagai norma dasar, Nabi Muhammad memecah- kan setiap
masalah yang timbul pada masanya dengan sebaik- baiknya. Kalau
kita perhatikan dan bandingkan ayat-ayat Quran yang turun di
Makkah dengan ayat-ayat Quran yang
Sejarah Pertumbuhan dan Perkembangan Hukum Islam 165 turun di

Madinah (ayat-ayat Quran yang turun di Makkah dinamakan ayat


Makkiyah, sedang ayat-ayat yang turun di Madinah dinamakan ayat
Madaniyah), dengan mudah kita membedakan ayat-ayat tersebut.
Cirinya antara lain adalah sebagai berikut:
1. ayat-ayat yang turun di Makkah didahului dengan ya ayyuhan nas
(hai, manusia), sedang ayat-ayat yang turun di Madinah didahului
dengan kata-kata ya ayyuhal lazi na amanu (hai orang-orang yang
beriman);
2. ayat-ayat yang turun di Makkah sekarang terdapat di bagian
belakang Alquran, sedang ayat-ayat yang turun di Madinah
terdapat di bagian depan Alquran;
3. ayat-ayat yang diturunkan di Makkah kalimatnya pendek-
pendek, penuh dengan sanjak-sanjak, dengan irama kata yang
kuat sekali, sedang ayat-ayat yang diturunkan di Madinah
kalimatnya panjang-panjang, dan bahasanya tenang, dalam bahasa
hukum.
4. ayat-ayat yang diturunkan di Makkah pada umumnya berisi soal-
soal iman, keesaan Tuhan, hari kiamat dan akhlak, sedang ayat-
ayat yang diturunkan di Madinah pada umumnya memuat soal-
soal hukum, sosial, politik, dan soal-soal kemasyarakatan
lainnya.
Demikianlah, dengan mempergunakan Alquran dan as- Sunnah
setiap masalah yang timbul dalam masa Nabi Muhammad dapat
diatasi. Kalau kita perhatikan ayat-ayat hukum yang turun di Madinah
kita melihat bahwa turunnya ayat- ayat itu mungkin disebabkan
karena (1) ada masalah-masalah tertentu, yang ditanyakan jawabannya
kepada Nabi. Sebab- sebab turunnya ayat-ayat tersebut dalam
kepustakaan hukum
152 Hukum Islam
Islam disebut asbabun nuzul (sebab-sebab turunnya suatu ayat). Karena
pentingnya asbabun nuzul, untuk memahami makna yang dikandung
dalam suatu ayat, orang telah berusaha menyusun buku pegangan
mengenai asbabun nuzul dimaksud. Buku ini banyak ditulis dalam
bahasa Arab tetapi di waktu terakhir ini buku yang penting itu telah
ada pula dalam bahasa Indonesia. Satu di antaranya adalah terjemahan
dari bahasa Arab, yang dilakukan oleh K.H. Qamaruddin Shaleh, dan
kawan-kawan diterbitkan oleh penerbit Diponegoro Bandung (1975).
Pada penerbit yang sama dapat juga diperoleh kum- pulan ayat-ayat
tentang hukum Islam. Tentang turunnya ayat-ayat hukum dapat
dikemukakan dalam peristiwa berikut (sebagai contoh):
1. Peristiwa Mursid Ghanawi. Mursid Ghanawi adalah utusan Nabi
Muhammad dari Madinah ke Makkah. Sesampai di kota itu ia
dilamar oleh seorang wanita kaya dan cantik. Tatkala wanita itu
meminang Mursid, Mursid tidak segera memberikan putusan
untuk menerima atau menolak pinangan tersebut karena ada
masalah yakni wanita bersangkutan belum memeluk agama Islam.
Setelah ia kembali ke Madinah ditanyakannya pendapat Nabi
mengenai masalah itu. Ia bertanya apakah ia boleh kawin dengan
wanita tersebut. Nabi Muhammad tidak segera memberi jawaban.
Pada saat demikian turunlah ayat hukum yang kini terdapat pada
surat 2 (Al-Baqarah) ayat 221 yang terjemahannya berbunyi
sebagai berikut:
Janganlah kamu (Mursid) mengawini wanita musy- rik
sebelum ia beriman, sesungguhnya seorang budak belian yang
Muslim lebih baik dari wanita musyrik, walaupun ia
mempesonakan kamu. Jangan pula
Sejarah Pertumbuhan dan Perkembangan Hukum Islam 167 wanita Muslim

kawin dengan pria musyrik kenda- tipun ia mengagumkan kamu. Seorang budak
Muslim lebih baik dari pria musyrik, sebab mereka itu mengajak kamu ke
neraka, sedang Allah memang- gil kamu masuk ke dalam surga dan
keampunan.
Ayat ini sangat fundamental bagi perkawinan antaragama dan, pada
waktu membicarakan RUU Perkawinan tahun 1973 dahulu, pernah
menjadi masalah di dalam DPR kita, sebab ada orang yang
menganggap ayat ini bertentangan dengan hak asasi manusia. Akan
tetapi, kelompok Muslim, pada waktu itu diwakili PPP, menganggap
ayat hukum itu tak mungkin diubah oleh manusia. Karena alasan hak
asasi pun tak mungkin seorang wanita Islam kawin dengan pria yang
bukan Muslim. Dalam agama Islam, kewajiban lebih dahulu harus
dilaksanakan. Dan, adalah kewajiban asasi manusia, dalam hal ini
wanita, melaksanakan kewajiban asasinya lebih dahulu menaati
larangan Allah, sebelum menuntut hak asasinya.
Kasus janda Sa'ad bin Rabi'. Janda Sa'ad bin Rabi' mempunyai 2 orang
anak perempuan pada waktu Sa'ad gugur dalam peperangan membantu
Nabi Muhammad melawan orang Quraisy Makkah. Menurut adat
Arab, kalau seorang laki-laki meninggal dunia dan meninggalkan
janda serta anak-anak perempuan, janda dan anak-anak perempuan itu
tidak mendapat bagian apa-apa dari harta peninggalan suami/ayahnya.
Janda Sa'ad mengadukan nasibnya kepada Nabi dan menanyakan
tentang harta yang ditinggalkan suaminya, sebab menurut hukum
warisan adat pada waktu itu, harta peninggalan Sa'ad jatuh pada
saudara
laki-lakinya. Tatkala Nabi Muhammad berpikir memecah- kan
masalah Hukum
yang Islam
sulit tersebut turunlah ayat mengenai warisan/ayat
kewarisan, yang intinya antara lain sebagai berikut:
Berikan 2/3 (dari harta peninggalan Sa'ad itu) kepada
anak-anaknya, 1/8 untuk jandanya dan sisanya berikan
kepada saudara-saudaranya (' asabah).
Ayat ini merupakan bagian dari ayat-ayat kewarisan yang kini
terdapat di dalam surat 4 (Al-Nisa') ayat 11 dan 12. Dengan turunnya
ayat itu berubahlah antara lain kedudukan janda dan anak-anak
perempuan dalam pembagian harta peninggalan suami dan ayahnya.
Para wanita yang selama ini hanya mempunyai kewajiban dalam
keluarga kini diim- bangi dengan hak yang diperolehnya dari harta
peninggalan suami dan ayahnya. Dengan mengemukakan 2 contoh
tersebut di atas dapatlah dilihat bagaimana proses turunnya ayat-ayat
hukum yang sekarang menjadi sendi dasar hukum perkawinan dan
kewarisan Islam.
Sebagai contoh ayat hukum yang memberi jawaban terhadap
pertanyaan yang dikemukakan oleh seseorang kepada Nabi
Muhammad, dapat dikemukakan QS (Al- Nisa') ayat 176 yang bunyi
terjemahannya sebagai berikut:
Mereka bertanya kepadamu (Muhammad) tentang arti kalalah,
jawablah yang dimaksud dengan ka- lalah adalah orang (baik laki-
laki atau wanita) yang mad tidak meninggalkan anak (walad).
dari
Sejarah Pertumbuhan dan Perkembangan Hukum Islam 169 Selain
Nabi Muhammad memecahkan masalah yang timbul dalam
masyarakat melalui wahyu, beliau juga me- mutuskan sesuatu
berdasarkan pendapat beliau sendiri dengan sunnahnya, yang
sekarang telah dibukukan dalam kitab-kitab hadis.
MASA KHULAFA RASYIDIN (632 M - 662 M)
Dengan wafatnya Nabi Muhammad, berhentilah wahyu yang
turun selama 22 tahun 2 bulan 22 hari yang beliau terima melalui
malaikat Jibril baik waktu beliau masih berada di Makkah maupun
setelah hijrah ke Madinah. Demikian juga halnya dengan sunnah,
berakhir pula dengan meninggalnya Rasulullah itu.
Kedudukan Nabi Muhammad sebagai utusan Tuhan tidak
mungkin diganti, tetapi tugas beliau sebagai pemimpin masyarakat
Islam dan kepala negara harus dilanjutkan oleh orang lain. Pengganti
Nabi Muhammad sebagai kepala negara dan pemimpin umat Islam ini
disebut khalifah, suatu kata yang "dipinjam" dari Alquran (surat 2:30).
Di dalam Alquran selain dalam surat Al-Baqarah ayat 30 itu terdapat
perkataankhalifah yang tersebar dalam sebelas ayat. Ide yang dapat
disimpulkan dari ayat-ayat tersebut adalah bahwa manusia harus
mempunyai tujuan hidup menata dunia ini. Dan sebagai khalifah
(wakil) Tuhan di bumi ini, manusia harus menerjemahkan segala sifat-
sifat Tuhan ke dalam kenyataan hidup dan kehidupan dan wajib
mengatur bumi ini sesuai dengan pedoman yang telah ditetapkan-Nya.
Manuya wajib melakukan tugas untuk mencapai tujuan hidupnya
menurut pola yang telah ditentukan oleh Tuhan dalam ajaran-ajaran-
Nya.
Kata khalifah yang terdapat dalam Alquran, terutama kata
khalifah yang terdapat dalam ayat yang berhubungan dengan
pengangkatan Adam menjadi khalifah (Tuhan) di muka bumi ini (QS
2:30 di atas) dipinjam dan dijadikan gelar bagi orang yang
menggantikan kedudukan Nabi Muhammad sebagai pemimpin umat
Islam dan kepala negara.
Abu al-Hasan al-Mawardi (disingkat al-Mawardi) dalam bukunya
al-Ahkam as-Sultaniyah (Hukum Pemerintahan) menyatakan bahwa tugas
utama seorang khalifah, adalah men- jaga kesatuan umat dan
pertahanan negara. Untuk itu ia mempunyai beberapa hak tertentu. Ia
berhak memaklumkan perang dan membangun tentara untuk menjaga
keamanan dan batas negara. Ia harus menegakkan keadilan dan
kebenaran. Ia harus berusaha agar semua lembaga-lembaga negara
me- misahkan antara yang baik dengan yang tidak baik, melarang hal-
hal yang tercela, menurut ketentuan Alquran. Ia mengawasi jalannya
pemerintahan dan menarik pajak sebagai sumber keuangan negara. Ia
menjadi hakim
170 Hukum Islamyang mengadili sengketa hukum, menghukum mereka

yang melanggar hukum dan melarang segala macam penindasan. Ia


mensahkan soal-soal akidah dan hukum yang sudah disepakati oleh
ahli-ahli hukum. Ia tidak berhak mencampuri kekuasaan legislatif.
Dengan kekuasaan eksekutif yang dimilikinya ia melakukan sentra-
lisasi untuk menjaga persatuan umat.
Pengangkatan seorang khalifah dapat terjadi (1) dengan
persetujuan masyarakat sebagaimana yang terjadi dalam kasus Abu
Bakar, atau dengan (2) penunjukan khalifah sebelumnya seperti dalam
kasus Umar. Jika diperlukan pemilihan, dapat dibentuk suatu badan
khusus menyelenggarakan pemilihan itu. Sesudah dipilih, khalifah
harus berjanji bahwa ia akan
Sejarah Pertumbuhan dan Perkembangan Hukum Islam 171 memenuhi

kewajiban yang dipercayakan kepadanya. Ia harus melaksanakan


janjinya dengan setia, sebab tanggung jawab dan kewajibannya
sebagai kepala negara, jauh lebih berat dari hak-hak istimewa yang
ada padanya. Ia mendapat janji setia (bay'at) dari rakyat atau wakil-
wakilnya yang memenuhi syarat.
Demikianlah, untuk menggantikan kedudukan Nabi Muhammad
sebagai pemimpin umat dan kepala negara, dipilihlah seorang
pengganti yang disebut khalifah dari kalangan sahabat nabi sendiri.
(Sahabat artinya: teman, rekan, kawan. Sahabat nabi adalah orang
hidup semasa dengan nabi, menjadi teman atau kawan Nabi
Muhammad dalam menyebarluaskan ajaran Islam).
Dari kalangan sahabat nabi yang terkemuka pada waktu itu
terpilih Abu Bakar Siddiq menjadi khalifah pertama. Setelah beliau
meninggal dunia, berturut-turut menjadi khalifah kedua, ketiga dan
keempat adalah Umar bin Khattab, Usman bin Affan dan Ali bin Abi
Thalib. Pemerintahan keempat para khalifah ini berlangsung selama
30 tahun, dari tahun 632 sampai dengan tahun 662 M. Dalam sejarah
Islam, para khalifah yang empat ini terkenal dengan sebutan al-khulafa
rasyidin (baca: khulafa rasyidin). Artinya, para khalifah yang
memimpin umat Islam ke jalan yang benar.
Masa pemerintahan khulafaur rasyidin ini sangat penting dilihat
dari perkembangan hukum Islam karena dijadikan model atau contoh
oleh generasi-generasi berikutnya, terutama generasi ahli hukum
Islam di zaman mutakhir ini, tentang cara mereka menemukan dan
menerapkan hukum Islam pada waktu itu.
1. Abu Bakar Siddiq. Beliau adalah ahli hukum yang tinggi
mutunya. Ia memerintah dari tahun 632 sampai 634 M. Sebelum
masuk Islam, dia terkenal sebagai orang yang jujur dan disegani. Ikut
aktif mengembangkan dan menyiarkan Islam. Atas usaha dan
seruannya banyak orang-orang terkemuka memeluk agama Islam yang
kemudian terkenal sebagai pahlawan-pahlawan Islam yang ternama.
Dan karena hu- bungannya yang sangat dekat dengan Nabi
Muhammad, beliau mempunyai pengertian yang dalam tentang jiwa
Islam lebih dari yang lain. Karena itu pula pemilihannya sebagai
khalifah pertama adalah tepat sekali (Hazairin, 1955).
Banyak tindakannya yang dicatat dalam sejarah Islam, namun
yang penting dalam tulisan ini adalah: (1) pidato pelantikannya yang
antara lain berbunyi sebagai berikut: "Aku telah kalian pilih sebagai
khalifah, kepala negara, tetapi aku bukanlah yang terbaik di antara
kita sekalian. Karena itu, jika aku melakukan sesuatu yang benar ikuti
dan bantulah aku, tetapi jika aku melakukan kesalahan, perbaikilah,
sebab, — menurut pendapatku— menyatakan yang benar adalah
amanat, membohongi rakyat adalah pengkhianatan." Selanjutnya
beliau berkata, "Ikutilah perintahku selama aku mengikuti perintah
Allah dan rasul-Nya. Jika aku tidak mengikuti perintah Allah dan
rasul-Nya, kalian berhak untuk tidak patuh kepadaku dan aku pun
tidak akan menuntut kepatuhan kalian."
Kata-kata Abu Bakar ini sangat penting artinya dipandang dari
sudut hukum ketatanegaraan dan pemikiran politik Islam, sebab kata-
katanya itu dapat dijadikan dasar dalam menentukan hubungan antara
rakyat dengan penguasa, antara pemerintah dengan warga negara.
Selain pidato pelantikannya itu, yang relevan dengan pem-
bicaraan kita ini adalah (2) cara yang dilakukan oleh Abu Bakar
Sejarah Pertumbuhan dan Perkembangan Hukum Islam 173 dalam

memecahkan persoalan hukum yang timbul dalam masyarakat. Mula-


mula pemecahan masalah itu dicarinya dalam wahyu Tuhan. Kalau
tidak terdapat di sana, dicarinya dalam Sunnah nabi. Kalau dalam
Sunnah Rasulullah ini pemecahan masalah tidak diperoleh, Abu Bakar
bertanya kepada para sahabat nabi yang dikumpulkannya dalam satu
majlis. Mereka yang duduk dalam majlis itu melakukan ijtihad
bersama ( jama'i) atau ijtihad kolektif. Timbullah keputusan atau
konsensus bersama yang disebut ijmak mengenai masalah tertentu.
Dalam masa Islam
172 Hukum pemerintahan Abu Bakar inilah sering dicapai apa yang
disebut dalam kepustakaan sebagai ijmak sahabat.
Dalam masa pemerintahan Abu Bakar ini pula, sebagaimana telah
diuraikan dahulu, (3) atas anjuran Umar, dibentukpanitia khusus yang
bertugas mengumpulkan catatan ayat-ayat Quran yang telah ditulis di
zaman nabi pada bahan-bahan darurat seperti pelepah-pelepah kurma,
tulang-tulang unta, dan seba- gainya dan menghimpunnya ke dalam
satu naskah. Panitia ini dipimpin oleh Zaid bin Tsabit salah seorang
pencatat wahyu dan Sekretaris Nabi Muhammad ketika beliau masih
hidup. Sebelum diserahkan kepada Abu Bakar, himpunan naskah
Alquran itu diuji dahulu ketepatan pencatatannya dengan hafalan para
penghafal Alquran yang selalu ada dari masa ke masa. Setelah Abu
Bakar meninggal dunia, naskah itu disimpan oleh Umar bin Khattab
dan sesudah Khalifah II ini meninggal dunia pula, naskah Alquran itu
disimpan dan dipelihara oleh Hafsah janda Nabi Muhammad (Hazairin,
1955).
Demikianlah, di masa Abu Bakar ini telah diletakkan dasar-dasar
pengembangan hukum Islam selanjutnya.
2. Setelah Abu Bakar meninggal dunia, Umar menggan- tikan
kedudukannya sebagai Khalifah II. Pemerintahan Umar bin Khattab ini
berlangsung dari tahun 634 sampai tahun 644 M. Sebagai sahabat
nabi, (1) Umar turut aktif menyiarkan agama Islam. Ia melanjutkan
usaha Abu Bakar meluaskan daerah Islam sampai ke Palestina, Sirya,
Irak, dan Persia di sebelah Utara serta ke Mesir di Barat Daya. Ia (2),
menetapkan tahun Islam yang terkenal dengan tahun Hijriyah
berdasarkan peredaran bulan (Qamariyah). Dibandingkan dengan tahun
Masehi (Maladiyah) yang didasarkan pada peredaran matahari atau ■
Syamsiyah, tahun Hijriah lebih pendek. Perbedaannya setiap tahun
adalah 11 hari, sekian jam, sekian menit (Hazairin, 1955). Oleh
karena itu, tiap tahun permulaan puasa, misalnya, bergeser 11 hari
lebih dahulu dari tahun sebelumnya. Pene- tapan tahun Hijriyah ini
dilakukan Umar pada tahun 638 M dengan bantuan para ahli ilmu hisab
(hitung) pada waktu itu. Dimulai sejak Nabi Muhammad hijrah ke
Madinah. Selain itu (3) penetapan Umar yang diikuti oleh umat Islam
di seluruh dunia sampai sekarang (dan juga di masa yang akan datang)
adalah membiasakan salat at-tarawih, yaitu salat sunnat malam yang
dilakukan sesudah salat Isa, selama bulan Ramadan. Di samping itu,
yang perlu dicatat mengenai Khalifah Umar ini adalah sikap
tolerannya terhadap pemeluk agama lain. Ini terbukti ketika beliau
hendak mendirikan masjid (yang sekarang terkenal dengan masjid
Umar) di Jerussalem (Palestina) di suatu tempat dari sana—menurut
keyakinan beliau— Nabi Muhammad dahulu mi’raj ke langit. Karena di
dekat tempat itu telah berdiri tempat ibadah orang Kristen dan
Yahudi, sebelum mendirikan masjid tersebut, Khalifah Umar terlebih
dahulu memberitahukan maksudnya dan meminta
Sejarah Pertumbuhan dan Perkembangan Hukum Islam 175 izin kepada

pemimpin agama golongan Kristen dan Yahudi di tempat itu, padahal


sebagai penguasa atas seluruh daerah baru tersebut, ia tidak wajib
melakukan hal itu (Hazairin, 1955). Namun, ia melakukan hal tersebut
karena sikapnya yang toleran terhadap pemeluk agama lain.
Karena usianya yang relatif masih muda dibandingkan dengan
Abu Bakar, Umar lama memegang pemerintahan. Sifatnya keras dan
sebagaimana biasanya, orang yang mempunyai sifat keras selalu
berusaha bertindak adil melaksanakan hukum. Terkenal keberaniannya
dalam menafsirkan ayat-ayat Alquran berdasarkan keadaan-keadaan
yang nyata pada suatu waktu tertentu. Ia mengikuti cara Abu Bakar
dalam menemukan hukum. Namun demikian, Khalifah Umar terkenal
keberanian dan kebijaksanaannya dalam menerapkan ketentuan hukum
yang terdapat dalam Alquran untuk mengatasi sesuatu masalah yang
timbul dalam masyarakat berdasarkan kemaslahatan atau kepentingan
umum.
Sepintas lalu keputusan-keputusan (dalam kepustakaan terkenal
dengan ijtihad) Umar itu seakan-akan bertentangan dengan ketentuan-
ketentuan Alquran, namun kalau dikaji sifat hakikat ayat-ayat tersebut
dalam kerangka tujuan hukum Islam keseluruhannya, ijtihad yang
dilakukan oleh Umar bin Khattab itu tidak bertentangan dengan
maksud ayat-ayat hukum tersebut.
Banyak tindakan Umar di lapangan hukum, namun yang akan
dikemukakan adalah (a) contoh-contoh ijtihad Umar yang telah
disinggung juga dalam pembicaraan yang lalu, yakni:
1. Talak tiga yang diucapkan sekaligus di suatu tempat pada

174 Hukum Islam


suatu ketika, dianggap sebagai talak yang tidak mungkin rujuk
(kembali)Hukum
sebagai
Islam suami-istri, kecuali salah-satu pihak (dalam hal ini

bekas istri) kawin lebih dahulu dengan orang lain. Garis hukum ini
ditentukan oleh Umar berdasarkan kepentingan para wanita, karena di
zamannya banyak pria yang dengan mudah mengucapkan talak tiga
sekaligus kepada istrinya, untuk dapat bercerai dan kawin lagi dengan
wanita lain. Tujuannya adalah untuk melindungi kaum wanita dari
penyalahgunaan hak talak yang berada di tangan pria. Tindakan ini
dilakukan oleh Umar agar pria berhati-hati mempergunakan hak talak
itu dan tidak mudah mengucapkan talak tiga sekaligus yang di zaman
nabi dan Khalifah Abu Bakar dianggap (jatuh sebagai) talak satu.
Umar menetapkan garis hukum yang demikian, untuk mendidik suami
supaya tidak menyalahgunakan wewenang yang berada dalam tangan-
nya.
Alquran telah menetapkan golongan-golongan yang berhak menerima
zakat, termasuk muallaf di dalamnya, yaitu (di antaranya) orang-orang
yang baru memeluk agama Islam yang seyogianya dilindungi karena
masih lemah imannya dan karena ia memeluk agama Islam
hubungannya dengan keluarganya (mungkin) terputus. Pada zaman
Rasul Allah (baca: Rasulullah) golongan ini memperoleh bagian
zakat, tetapi Khalifah Umar menghentikan pemberian zakat kepada
muallaf berdasarkan pertimbangan bahwa Islam telah kuat, umat Islam
telah banyak sehingga tidak perlu lagi diberikan keistimewaan kepada
golongan khusus dalam tubuh umat Islam.
3. Menurut Alquran surat Al-Maidah (5) ayat 38 orang yang
mencuri diancam dengan hukuman potong tangan. Di masa
pemerintahan Umar terjadi kelaparan dalam masyarakat di
Semenanjung Arabia. Dalam keadaan masyarakat ditimpa oleh
bahaya kelaparan itu, ancaman hukuman terhadap pencuri yang
disebut dalam Alquran tidak dilaksanakan oleh Khalifah Umar
berdasarkan pertimbangan keadaan (darurat) dan kemaslahatan
(jiwa) masyarakat.
4. Di dalam Alquran (QS 5: 5) terdapat ketentuan yang
membolehkan pria Muslim menikahi wanita ahlul kitab (wanita
Yahudi dan Nasrani). Akan tetapi Khalifah Umar melarang
perkawinan campuran yang demikian, untuk melindungi
kedudukan wanita Islam dan keamanan (rahasia) negara (H.M.
Rasjidi: 1973).
Demikianlah 'beberapa' contoh ijtihad Khalifah Umar bin
Khattab. Di samping itu, Umar juga mengemukakan (b) pokok- pokok
Sejarah Pertumbuhan dan Perkembangan Hukum Islam 194
pikirannya mengenai peradilan seperti yang tercantum dalam suratnya
kepada Abu Musa Al-Asy'ari yang menjadi hakim (kadi) di Kufah,
Irak. Isinya antara lain sebagai berikut (M.S. Madkur, 1982: 43-46):
"Sesungguhnya tugas untuk memutuskan suatu perkara adalah
kewajiban seorang hakim. Apabila kepada Anda dimajukan suatu
perkara, hendaklah Anda pelajari dahulu (berkas) perkara itu sebaik-
baiknya. Setelah jelas benar duduk soalnya berilah keputusan seadil-
adilnya. Keadilan harus diwujudkan dalam praktik, sebab kalau ia
tidak diwujudkan, tidak akan ada artinya. Selain itu, dalam pandangan
dan keputusan Anda, para pihak haruslah Anda samakan
kedudukannya. Dengan demikian, orang yang kuat tidak akan dapat
mengharapkan sesuatu dan yang lemah tidak
akan sampai putus asa karena mendambakan keadilan Anda.
Anda boleh mendamaikan pihak-pihak yang bersangkutan, tetapi isi
perdamaian itu tidak boleh menghalalkan yang haram dan
mengharamkan yang halal. Dan apabila anda telah menja- tuhkan
suatu keputusan, janganlah Anda ragu-ragu untuk mengubahnya
kembali, apabila kemudian ternyata terdapat kekeliruan dalam
keputusan Anda
178 Hukum Islam itu.

Bila suatu perkara yang dimajukan kepada Anda tidak terdapat


ketentuan hukumnya dalam Alquran, dan tidak pula terdapat dalam
Sunnah nabi, bandingkanlah (qiyaskan) perkara itu dengan perkara
serupa sebelumnya. Apabila dalam kasus yang sama telah ada
penyelesaiannya, maka pergunakanlah kaidah hukum yang telah ada
itu untuk menyelesaikan kasus tersebut. Pilihlah di antaranya yang
menurut pendapat Anda yang paling diridai Allah, yang lebih sesuai
serta lebih men- dekati kebenaran. Hindari diri dari perasaan marah
dan ragu- ragu dalam menyelesaikan sesuatu serta jangan menyakiti
hati orang-orang yang berperkara. Menyelesaikan perkara dengan adil
dan benar, termasuk di antara perbuatan yang diridai Allah dengan
imbalan pahala berlipat-ganda, baik yang segera akan Anda peroleh
maupun yang disimpan dalam perbendaharaan rahmat-Nya."
Demikianlah cuplikan surat Khalifah Umar bin Khattab kepada
salah seorang hakim di masa pemerintahannya. Isi dan makna surat
itu, agaknya, masih tetap aktual dan berlaku juga untuk hakim zaman
sekarang.
3. Panitia pemilihan khalifah, memilih Usman menjadi khalifah
ketiga menggantikan Umar bin Khattab. Pemerintahan Usman bin Affan
ini berlangsung dari tahun 644 sampai tahun
Sejarah Pertumbuhan dan Perkembangan Hukum Islam 179 656 M.

Ketika dipilih, Usman telah tua (70 tahun) dengan kepribadian yang
agak lemah. Kelemahan ini dipergunakan oleh orang-orang di
sekitarnya untuk mengejar keuntungan pribadi, kemewahan dan
kekayaan. Hal ini dimanfaatkan terutama oleh keluarganya sendiri
dari golongan Umayyah. Banyak pangkat-pangkat tinggi dan jabatan-
jabatan penting dikuasai oleh familinya. Pelaksanaan pemerintahan
seperti ini, dalam bahasa orang sekarang, disebut nepotisme (kecende-
rungan untuk mengutamakan atau menguntungkan sanak saudara
(keluarga sendiri). Timbullah klik sistem dalam pemerintahan. Di
masa pemerintahannya perluasan daerah Islam diteruskan, ke Barat
sampai ke Maroko, ke Timur menuju India dan ke Utara bergerak ke
arah Konstantinopel. Pada umumnya perluasan wilayah Islam ini
dilakukan karena memenuhi kehendak jenderal-jenderalnya. Banyak
juga jasa-jasa Usman, namun yang relevan untuk diuraikan di sini
adalah tindakan- nya untuk menyalin dan membuat Alquran standar,
yang di dalam kepustakaan kadang-kadang disebut dengan kodifikasi
Alquran atau peresmian Alquran.
Standardisasi Alquran perlu diadakan, karena, pada masa
pemerintahannya wilayah Islam telah sangat luas dan didiami oleh
berbagai suku bangsa dengan berbagai bahasa dan dialek yang tidak
sama. Karena itu, di kalangan pemeluk agama Islam terjadi perbedaan
ungkapan dan ucapan tentang ayat-ayat Alquran yang disebarkan
melalui hafalan. Perbedaan cara meng- ucapkan itu menimbulkan
perbedaan arti. Berita tentang ini sampai pada Usman. la lalu
membentuk panitia yang kembali dipimpin oleh Zaid ibn Tsabit untuk
menyalin naskah Alquran yang telah dihimpun di masa Khalifah Abu
Bakar dahulu, disimpan oleh Hafsah, janda Nabi Muhammad. Panitia
ini bekerja dengan satu disiplin tertentu, menyalin naskah Alquran ke
dalam lima mushaf (: kumpulan lembaran-lembaran yang ditulis, dan
Alquran itu sendiri disebut pula mushaf), untuk dijadikan standar dalam
penulisan dan bacaan Quran di wilayah kekuasaan Islam pada waktu
itu. Semua naskah yang dikirim ke ibukota propinsi (Makkah, Kairo,
Damaskus, Bagdad) itu disimpan dalam masjid besarnya masing-
masing seperti umat Islam Indonesia menyimpan Alquran pusakanya
di masjid Baitur Rahim dalam kompleks Istana Merdeka Jakarta. Satu
naskah tinggal di Madinah dan untuk mengenang jasa Usman, naskah
yang disalin di masa pemerintahannya itu disebut Mushaf Usmany atau
al-Imam karena ia menjadi standar bagi Quran yang lain. Kemudian
disalin dan diberi tanda-tanda bacaan di Mesir seperti yang kita lihat
sekarang ini.
Penelitian terhadap kitab-kitab suci agama-agama dunia sekarang
menunjukkan bahwa di antara kitab-kitab suci yang ada, hanya
Alquran yang tidak dapat dibuktikan telah pernah dipalsukan oleh
tangan manusia. Ia tetap asli seperti waktu diturunkan dahulu, tanpa
perubahan sedikit pun baik dalam surah maupun dalam ayat dan
kalimat-kalimatnya.
4. Setelah Usman meninggal dunia, orang-orang terke- muka
memilih Ali bin Abi Thalib menjadi khalifah ke-4. la memerintah dari
tahun 656 sampai tahun 662 M. Sejak kecil ia diasuh dan dididik oleh
Nabi Muhammad, dan karena itu hubungannya rapat sekali dengan
Nabi. Selain itu ia adalah keponakan dan menantu Nabi Muhammad,
karena ia kawin dengan Siti Fatimah binti Muhammad. Ketika Nabi
Muhammad masih hidup, Ali seringkali ditunjuk oleh nabi
180 Hukum Islam
menggantikan beliau menyelesaikan masalah-masalah penting.
Mengenai hubungan Ali dengan Nabi Muhammad ini, nabi sendiri
pernah
Sejarah Pertumbuhan dan Perkembangan Hukum Islam 181 menyatakan

bahwa hubungan mereka dapat dimisalkan seperti hubungan Harun


dengan Musa. Dan karena itu pula orang berkata bahwa Ali telah
mengambil suri teladan, ilmu pengetahuan, budi pekerti dan
kebersihan hati Nabi Muhammad.
Semasa pemerintahannya Ali tidak banyak dapat berbuat untuk
mengembangkan hukum Islam, karena keadaan negara tidak stabil. Di
sana sini timbul bibit-bibit perpecahan yang serius dalam tubuh umat
Islam yang bermuara pada perang saudarayangkemudian menimbulkan
kelompok-kelompok, di antaranya dua kelompok besar umat Islam
sekarang ini, yakni ahlus sunnah waljama'ah (Sunni), yaitu kelompok atau
jamaah umat Islam yang berpegang teguh pada Sunnah Nabi Muham-
mad dan Syi'ah yaitu pengikut Ali bin Abi Thalib. Perpecahan antara
kedua kelompok ini dimulai dengan perbedaan pendapat mengenai
'masalah politik' yakni siapa yang berhak menjadi khalifah, kemudian
disusul dengan masalah pemahaman akidah, pelaksanaan ibadah,
sistem hukum dan kekeluargaan. Golongan Syi'ah sekarang banyak
terdapat di Libanon, Iran, Irak, Pakistan, India dan Afrika Timur.
Bekas pengaruhnya terdapat juga di Tanjung Priok, Indonesia. Di
sana terdapat satu pasar yang disebut pasar Koja (Khoja: Pedagang
Syi'ah). Sumber hukum Islam di masa Khulafa Rasyidin ini adalah
Alquran, as-Sunnah, Ijma' sahabat dan Qiyas.
MASA PEMBINAAN, PENGEMBANGAN, DAN PEMBUKUAN
(ABAD VII -X M)
Di samping periode Nabi Muhammad dan periode Khulafa
Rasyidin yang telah diuraikan di atas, periode Pembinaan,
Pengembangan, dan Pembukuan Hukum Fiqih Islam perlu dikaji dan
dipahami dengan baik, karena dalam periode inilah hukum Islam
dikembangkan lebih lanjut. Periode ini ber- langsung lebih kurang
dua ratus lima puluh tahun lamanya, dimulai pada bagian kedua abad
VII sampai dengan abad X Masehi. Dilihat dari kurun waktu ini,
pembinaan dan pengem- bangan hukum Islam dilakukan di masa
pemerintahan Khalifah Umayyah (662-750) dan Khalifah Abbasiyah
(750-1258). Dan oleh karena itu pula dalam kepustakaan sering
dikatakan bahwa hukum fiqih Islam berkembang di masa Umayyah
dan berbuah di zaman Abbasiyah (Hazairin, 1955).
Hukum fiqih Islam sebagai salah-satu aspek kebudayaan Islam
mencapai puncak perkembangannya di zaman Khalifah Abbasiyah
yang memerintah selama lebih kurang lima ratus tahun. Di masa inilah
(1) lahir para ahli hukum Islam yang menemukan dan merumuskan
garis-garis hukum fiqih Islam serta (2) muncul berbagai teori hukum
yang masih dianut dan dipergunakan oleh umat Islam sampai
sekarang. Gerakan ijtihad yakni gerakan untuk mempergunakan
seluruh kemampuan pikiran dalam memahami ketentuan hukum Islam
yang tercantum di dalam ayat-ayat hukum dalam Alquran dan Sunnah
Nabi Muhammad dan merumuskannya menjadi garis-garis hukum
yang mengatur segala bidang hidup dan kehidupan manusia oleh
orang-orang yang memenuhi syarat, dilakukan di mana-mana. Orang
yang melakukan usaha yang demikian itu disebut mujtahid yakni orang
yang berijtihad, seperti yang telah disinggung di muka halaman 118.
Menurut kualitas dan hasil karyanya para mujtahid itu dapat
diklasifikasikan menjadi (1) mujtahid mutlak yaitu para ulama (jamak
dari alim = orang berilmu) yang pertama kali mengusahakan terben-
tuknya hukum fiqih Islam berdasarkan ijtihad mereka tentang ayat-
ayat hukum dalam Alquran dan Sunnah Nabi Muhammad.
Sejarah Pertumbuhan dan Perkembangan Hukum Islam L83 Para

mujtahid mutlak ini seperti Abu Hanifah, Malik bin Anas, As-Syafi'i,
Ahmad bin Hambal dengan pengetahuannya yang sangat luas mampu
menetapkan garis-garis hukum melalui ijtihadnya. Untuk mazhab
Syafi'i misalnya mujtahid mutlaknya adalah As-Syafi'i sendiri dengan
bukunya antara lain al-Umm (Induk), Al-Risalah (Pengantar Dasar-dasar
Hukum Islam). (2) Mujtahid mazhab adalah orang yang meneruskan
dasar-dasar ajaran yang telah diberikan oleh mujtahid mutlak. Dengan
usaha mujtahid mazhab garis-garis hukum menjadi lebih jelas untuk
diterapkan pada suatu masalah tertentu, walaupun ia belum dapat
memecahkan setiap persoalan yang tumbuh dalam masyarakat. Dengan
ilmunya yang luas para mujtahid mazhab dapat menetapkan hukum
yang belum ditetapkan oleh mujtahid mutlak. Contohnya adalah Al-
Gazali dengan kitabnya al-Basith (ringkasan dari karya Syafi'i dalam
182 Hukum Islamyang dianggap sebagai qaul-jaddid (pendapat baru). (3)
buku-bukunya
Mujtahid fatwa yaitu orang yang melanjutkan pekerjaan mujtahid
mazhab untuk menentukan hukum suatu masalah melalui fatwa atau
nasihatnya. Dengan ilmunya yang cukup ia mem- bandingkan
pendapat para mujtahid mazhab dan menguatkan salah-satu di
antaranya atau membuat ketetapan baru yang dapat langsung
dipergunakan memecahkan suatu masalah yang timbul dalam
masyarakat. Sebagai contoh dapat dike- mukakan an~Nawawi dengan
bukunya Minhaj at-Talibin (Jalan bagi para siswa). (4) Ahli tarjih, yaitu
orang-orang yang dengan ilmu pengetahuan yang ada padanya dapat
membanding- bandingkan mana yang lebih "kuat" pendapat-pendapat
yang ada, serta memberi penjelasan atau komentar atas pendapat yang
berbeda yang dikemukakan oleh para mujtahid tersebut di atas. Untuk
mujtahid peringkat keempat ini 'kadang-kadang' dipergunakan istilah
muqallid kalau ia hanya mengikuti saja pendapat para mujtahid lainnya
dengan taklid. Ke dalam kelompok ini sekadar contoh dapat
disebutkan Ibnu Hajar Haitami dengan kitabnya Tuhfah (Hadiah). Di
Indonesia, sekarang ini, di kalangan NU dan Muhammadiyah ada
lembaga khusus yang mengembangkan hukum Islam. Pada organisasi
sosial keagamaan Muhammadiyah (1912 - ................ ) misalnya,
ada lembaga khusus yang melakukan tajdid (pembaruan), namanya
Majelis Tarjih yang bertugas merajih (membanding- bandingkan)
berbagai pendapat yang ada yang lebih sesuai dengan Alquran dan as-
Sunnah, untuk dijadikan pegangan para anggotanya. Namun, untuk
pendapat yang belum ada sebelumnya, majelis ini langsung menarik
garis hukumnya dari Alquran dan kitab-kitab hadis yang sahih. Di
kalangan NU ada lembaga serupa namanya Bahsul Masa'il.
Banyak faktor yang memungkinkan pembinaan dan
pengembangan hukum Islam pada periode ketiga ini. Di antara faktor-
faktor yang mendorong orang menetapkan hukum dan merumuskan
garis-garis hukum adalah: (a) Wilayah Islam sudah sangat luas,
terbentang dari perbatasan India—Tiongkok di Timur sampai ke
Spanyol (Eropa) di sebelah Barat. Di dalam wilayah yang sangat luas
itu tinggal berbagai suku bangsa dengan asal-usul, adat-istiadat, cara
hidup dan kepentingan- kepentingan yang berbeda. Untuk dapat
menyatukan mereka semua di dalam satu pola kehidupan hukum,
diperlukan pedoman yang jelas yang mengatur tingkah-laku mereka
dalam berbagai bidang hidup dan kehidupan. Ini mendorong para ahli
hukum untuk mengkaji dan mempelajari sumber- sumber hukum Islam
untuk ditarik garis-garis hukum dari dalamnya, menentukan kaidah
atau norma bagi suatu perbuatan
Sejarah Pertumbuhan dan Perkembangan Hukum Islam 185 tertentu

guna memecahkan masalah-masalah yang timbul dalam masyarakat;


(b) Telah ada karya-karya tulis tentang hukum yang dapat
dipergunakan sebagai bahan dan landasan untuk membangun serta
mengembangkan hukum fiqih Islam; (c) Telah tersedia pula para ahli
yang mampu berijtihad memecahkan berbagai masalah hukum dalam
masyarakat.
Dalam periode inilah timbul para mujtahid atau imam tersebut di
atas. Dulu jumlahnya banyak, tetapi kini yang masih mempunyai
pengikut adalah empat, yakni:
1. Abu Hanifah (Al-Nukman ibn Tsabit): 700-767 M.
la hidup di Kufah, Irak yang letaknya jauh dari Madinah tempat
Nabi Muhammad hidup dahulu. Berbeda dengan Madinah, di tempat
banyak orang mendengar dan mengetahui Sunnah nabi, di Kufah (a)
tidak banyak orang yang mengetahui benar tentang Sunnah Nabi
Muhammad. Selain itu (b) keadaan masyarakat Kufah jauh berbeda
dengan keadaan masyarakat Madinah. Di Madinah penduduknya
homogen dan hidup dalam suasana agraris. Di Kufah masyarakatnya
heterogen, hidup dalam suasana kota yang terdiri dari berbagai suku
bangsa. Perbedaan keadaan di antara kedua tempat tersebut,
menyebabkan perbedaan masalah yang timbul dalam masyarakat. Ini
menyebabkan pemecahan masalah hukumnya pun menjadi berbeda
pula.
Selain itu, (c) intensitas penggunaan sumber hukum pun berbeda.
Di Madinah, seperti telah disebut di atas, banyak orang yang
mengetahui Sunnah Nabi Muhammad. Selain yang menuliskannya
sebagai catatan pribadi banyak yang menyampaikan atau
memberitakannya secara lisan dari seorang ke orang (orang) lain.
Karena itu, kalau terjadi suatu masalah yang memerlukan pemecahan,
orang mempergunakan Sunnah nabi untuk menyelesaikan persoalan
itu. Di Kufah lain keadaannya. Karena mereka tidak banyak
mengetahui tentang Sunnah Nabi Muhammad, untuk memecahkan
masalah masyarakat
184 Hukum Islam mereka yang relatif lebih kompleks itu, mereka
lebih banyak mempergunakan pendapat atau pemikiran sendiri dengan
qiyas atau analogi sebagai alatnya.
Perbedaan intensitas dalam mempergunakan symber- sumber
hukum ini, menyebabkan perbedaart-perbedaan pendapat yang
akhirnya menimbulkan aliran-aliran pemikiran dalam hukum fiqih
Islam. Karena Abu Hanifah (dan kemudian murid-muridnya) banyak
mempergunakan pikiran atau ra'yu dalam memecahkan masalah hukum,
dalam kepustakaan, mazhab Hanafi ini dikenal dengan sebutan ahlur
ra'yu.
Banyak murid-muridnya yang menjadi mujtahid mazhab yang
mengembangkan pendapat mujtahid mutlaknya itu. Di antaranya yang
terkenal adalah (1) Abu Yusuf (774-824) yang pernah menjadi Hakim
Agung dalam pemerintahan Khalifah Harun Al-Rasyid. Selain Abu
Yusuf, terkenal pula (2) As- Syaibani (724-811) yang menulis buku
memuat himpunan pendapat yang pernah dikemukakan oleh Abu
Hanifah.
Mazhab ini dianut sekarang di Turki, Syria, Irak, Afganistan,
Pakistan, India, Cina, dan Uni Soviet. Di beberapa negeri Islam,
seperti Syria, Libanon dan Mesir, mazhab Hanafi menjadi mazhab
hukum resmi. Sumber hukum yang mereka pergunakan adalah Alquran,
Sunnah dan Ra'yu, dengan Ijmak, Qiyas, Istihsan serta Urf atau adat
kebiasaan yang baik masyarakat setempat sebagai metode menemukan
hukum.
Sejarah Pertumbuhan dan Perkembangan Hukum Islam 187

2. Malik bin Anas: 713-795 M.


Malik bin Anas, hidup dan mengembangkan pahamnya di
Madinah di mana banyak orang yang mengetahui Sunnah nabi. Oleh
karena itu, Malik banyak mempergunakan Sunnah dalam memecahkan
persoalan hukum. Malik sendiri menjadi pengumpul Sunnah nabi. Ia
menyusunnya dalam kitab hadis yang terkenal dengan nama al-Muwatta'
(al-Muwaththak: jejak langkah, perintis). Karena isi kitabnya itu,
Khalifah Harun Al- Rasyid pernah menyatakan keinginannya agar
buku himpunan hadis hukum yang disusun oleh Malik bin Anas itu
dijadikan buku resmi sumber hukum fiqih Islam. Malik sendiri
keberatan atas maksud khalifah itu dengan alasan bahwa di setiap
tempat telah ada ahli hukum yang mempunyai pandangan sendiri
tentang sumber hukum fiqih Islam, selain Alquran. Penolakan ini
berarti pula bahwa Malik bin Anas menghargai keaneka- ragaman
sumber hukum dalam pemecahan masalah pada situasi dan kondisi
yang berbeda. Walaupun demikian, al-Muwatta' dipakai juga oleh para
hakim dalam menyelesaikan suatu perkara. Hakim Pengadilan
Agamajakarta, misalnya, mempergunakan al-Muwatta' sebagai sumber
pengenal hukum Islam dalam memutuskan perkawinan Megawati-
Hasan Gamal pada tanggal 17 Juli 1972. Kasus Megawati itu ramai
dibicarakan oleh para ahli hukum Islam pada akhir tahun 1972 sampai
awal tahun 1973.
Mazhab Maliki (yang dihubungkan pada Malik bin Anas) dianut
sekarang di Maroko, Aljazair, Libya, Mesir Selatan, Sudan, Bahrain,
dan Kuwait. Sumber hukumnya adalah Alquran dan Sunnah nabi, dengan
Ijmak penduduk Madinah, Qiyas dan Masalih al-mursalah (kemaslahatan
atau kepentingan umum) 188 Hukum Islam
sebagai metodenya atau alat menemukan hukum untuk diterapkan
pada suatu kasus yang konkret.
3. Muhammad Idris As-Syafi’i: 767-820 M.
Ia belajar hukum fiqih Islam dari para mujtahid mazhab Hanafi
dan Malik bin Anas. Karena itu pula ia mengenai baik kedua aliran
hukum itu baik tentang sumber hukum maupun mengenai metode yang
mereka pergunakan. Karena itu pula ia dapat menyatukan kedua aliran
itu dan merumuskan sumber- sumber hukum (fiqih) Islam (baru).
Dalam kepustakaan hukum Islam ia disebut sebagai master architect
(arsitek agung) sumber-sumber hukum (fiqih) Islam karena dialah ahli
hukum Islam pertama yang menyusun ilmu usl al-fiqh (usul fiqih) yakni
ilmu tentang sumber-sumber hukum fiqih Islam dalam bukunya yang
terkenal ar-Risalah (Pengantar Dasar-dasar Hukum Islam). Dalam buku
itu dikemukakannya bahwa sumber-sumber hukum (fiqih) Islam
adalah Alquran, Sunnah, Ijmak dan Qiyas. Syafi'i banyak menulis
buku, di antaranya yang terkenal adalah al-Umm (Induk) dan Ar-Risalah
tersebut di atas. Ia terkenal pula mempunyai dua pendapat mengenai
masalah yang sama atau hampir bersamaan yang dikeluarkannya di
dua tempat yang berbeda karena perbedaan waktu, situasi dan kondisi.
Pendapat yang dikemukakannya ketika ia berada di Bagdad (Irak)
terkenal dengan nama qaulqadim (pendapat lama), dan pendapat yang
dikeluarkannya di Kairo (Mesir) di tempat ia meninggal dunia dikenal
dengan pendapat baru (qaul jaddid). Di sini kelihatan bahwa faktor
waktu dan tempat mempengaruhi pemikiran dan hasil pemikiran
hukum, walaupun sumbernya adalah sama.
Mazhab Syafi'i sekarang diikuti di Mesir, Palestina, (juga di
beberapa tempat Sejarah
di Syria dan Libanon, Irak, dan India), Muangthai,
Pertumbuhan dan Perkembangan Hukum Islam 187
Filipina, Malaysia, dan Indonesia. Sumber hukumnya adalah Alquran,
Sunnah, Ijmak, Qiyas, dan Istishab, yaitu penerusan berlakunya ketentuan
hukum yang telah ada, karena tidak terlihat adanya dalil yang
mengubah ketentuan hukum tersebut.
4. Ahmad bin Hambal (Hanbal): 781-855 M.
Ia belajar hukum dari beberapa ahli, termasuk Syafi'i, di
beberapa tempat. Selain ahli hukum ia ahli pula tentang Hadis Nabi.
Berdasarkan keahliannya itu, seperti halnya dengan Malik bin Anas,
ia menyusun kitab hadis terkenal bernama al- Musnad atau (kadang-
kadang ditulis) al-Masnad. Pendapat Ahmad bin Hambal ini menjadi
pendapat resmi (negara) di Saudi Arabia (sekarang). Dibandingkan
dengan aliran-aliran hukum tersebut di atas mazhab Hambali ini yang
paling sedikit penganutnya. Sumber hukumnya adalah sama dengan
Syafi'i dengan menekankan atau mengutamakan Alquran dan Sunnah.
Keempat pendiri mazhab yang disebut 'imam' ini menyatakan
bahwa sumber-sumber (pengambilan) hukum mereka adalah Alquran
dan Sunnah nabi. Karena itu pula mereka menganjurkan agar para ahli
yang datang kemudian, mengambil hukum dari sumber yang sama
yaitu Alquran dan Sunnah. Sementara itu mereka menemukan juga
cara atau metode pembentukan hukum melalui ijmak dan qiyas yang
kemudian diakui dan dinyatakan oleh Syafi'i sebagai sumber hukum
ketiga dan keempat. Dan sebagai pendapat manusia, hasil ijmak dan
qiyas ini tidak terhindar dari kemungkinan salah, karena itu tidak
dapat dianggap sebagai pendapat yang final dan mutlak yang tidak
mungkin berubah atau diubah lagi.
Keempat mazhab tersebut di atas mempunyai pendapat sendiri
tentang hukum atau garis-garis hukum mengenai berbagai masalah
hukum baik di bidang ibadah maupun muamalah. Telah mereka
rumuskan pula garis-garis hukumnya sampai ke soal yang sekecil-
kecilnya. Untuk mengetahui berbagai pendapat dalam ke empat aliran
hukum di kalangan Sunni ini oleh Ibnu Rusyd telah disusun sebuah
buku pegangan perbandingan pendapat dalam ke empat mazhab itu
dalam bukunya yang terkenal: Bidayatul Mujtahid.
Seorang Islam, merdeka memilih salah-satu aliran (mazhab)
tersebut. Namun demikian, dalam praktik, umumnya orang mengikuti
mazhab yang berlaku atau yang dianut di daerahnya sendiri. Dengan
demikian, misalnya, orang yang lahir dan tinggal di Indonesia akan
mengikuti mazhab Syafi'i, orang Turki mengikuti mazhab Hanafi,
orang Maroko mengikuti mazhab Maliki, orang Arab Saudi mengikuti
mazhab Hambali.
Pengaruh
188 Hukum Islamtempat kelahiran ini demikian besarnya sehingga
banyak orang Islam yakin bahwa pada waktu ini, seseorang,
kendatipun ia memenuhi syarat untuk berijtihad, tidak usah melihat
kembali Alquran dan Sunnah sebagai sumber peng- ambilan dan
penetapan hukum karena mereka percaya secara keliru bahwa tidak
seorang pun dari generasi yang datang kemudian mempunyai
kemampuan berpikir yang sama dengan keempat imam besar pendiri
mazhab tersebut. Dan karena sikap yang demikian, mereka menjadi
peniru, mungkin dalam arti ittiba' (mengikuti pendapat imam dan tahu
dasar pendapat
Sejarah Pertumbuhan dan Perkembangan Hukum Islam 191 imam

tersebut) atau taqlid (mengikuti) saja orang-orang sebelumnya tanpa


mengetahui dasar pemikirannya.
Sikap untuk meniru dalam arti taqlid saja kepada orang- orang
dahulu itu mencerminkan sikap yang tidak percaya kepada diri sendiri
dan kemampuan orang-orang yang hidup kemudian. Inilah salah satu
faktor yang menyebabkan kemunduran pemikiran hukum (Islam) di
masa yang lampau. Alquran dan Sunnah nabi sebagai sumber-sumber
hukum (fiqih) Islam tetap perlu dipahami kembali dan dipergunakan
terus-menerus. Isinya masih dan akan tetap berlaku baik untuk masa
sekarang maupun di zaman yang akan datang. Yang berubah hanyalah
cara orang memahaminya menurut petunjuk-petunjuk ilmu
pengetahuan yang terus berkembang. Dan karena itu, salah-satu tugas
berat yang dihadapi para ahli hukum Islam sekarang dan di masa-
masa yang akan datang adalah menggali kembali hukum-hukum
(fiqih) Islam dari sumber pokoknya benar (yakni Alquran dan
Sunnah) dengan bantuan akal, cara dan ilmu pengetahuan modern,
serta merumuskannya (kembali) sesuai dengan situasi dan kondisi
waktu ini.
Selain perkembangan pemikiran hukum di atas, dalam periode ini
pulalah lahir teori penilaian mengenai baik-buruk- nya suatu
perbuatan yang dilakukan oleh manusia yang terkenal dengan nama al-
ahkam al-khamsah (hukum taklifi) yang telah diuraikan di muka.
Dan, sebagaimana diketahui, sumber utama hukum Islam adalah
Alquran dan Sunnah Nabi Muhammad. Alquran sudah dicatat di masa
Nabi Muhammad, dihimpun dalam satu naskah di zaman Khalifah
Abu Bakar, dua tahun setelah
Nabi Muhammad meninggal dunia dan disalin serta dibakukan dalam
satu mus-haf Alquran standar di zaman Khalifah Usman.
Ketika Nabi Muhammad masih hidup, Sunnah beliau tidak resmi
dicatat seperti Alquran, walaupun ada yang menulis- kannya sebagai
catatan pribadi. Setelah beliau meninggal dunia, Sunnah nabi itu
disampaikan orang secara lisan turun-temurun, sampai pada suatu
ketika secara resmi beberapa ahli mencatat dan mengumpulkannya di
dalam satu kitab seperti yang dilakukan misalnya oleh Malik bin Anas
dan Ahmad bin Hambal di atas. Dan karena pentingnya kedudukan
'Sunnah nabi' sebagai sumber hukum Islam, maka pada periode ketiga
ini pula muncul beberapa ahli yang khusus mempelajari, meneliti dan
mencatat Sunnah nabi dengan cara tertentu.
Sebagaimana telah dikemukakan di muka, berdasarkan cara
pemberitaan atau 'jumlah' orang yang menyampaikannya secara lisan
turun-temurun, hadis atau Sunnah nabi dapat dibagi ke dalam (1)
mutawatir, (2) masyhur dan (3) ahad (: ada juga yang
mengelompokkannyake dalam: mutawatir, dan ahad). Dan berdasarkan
kualitas atau tingkat sanad-nya yakni mata rantai (rangkaian) nama
orang-orang yang meriwayatkan sesuatu hadis, hadis atau Sunnah nabi
dibagi ke dalam tiga kategori yakni (a) sahih (sehat), (b) hasan (baik,
bagus), (c) da'if (lemah). Bukhari, seperti telah disebutkan juga di
depan, mengemukakan lima kategori untuk menentukan pengelom-
pokan hadis atau Sunnah nabi itu ke dalam sahih, hasan dan da'if.
Kelima kategori itu adalah (1) kekuatan ingatan para perawinya yakni
orang yang menyampaikan hadis atau Sunnah nabi itu secara lisan
turun-temurun, (2) kejujurannya, (3) tidak terputus-putus mata rantai
perawi hadis bersangkutan (sanad-nya), (4) isinya tidak cacat, dan (5)
tidak ada
Sejarah Pertumbuhan dan Perkembangan Hukum Islam 193 kejanggalan

kalau dipandang dari sudut bahasa atau tata bahasa. Kalau semua
dipenuhi, hadis itu disebut sahih, satu atau dua kurang disebut hasan,
lebih dari dua disebut da'if. Orang yang mempergunakan hadis atau
Sunnah nabi sebagai sumber hukum, harus mengetahui benar tentang
seluk-beluk hadis atau Sunnah nabi, sekurang-kurangnya mengetahui
penge- lompokan atau derajat hadis atau Sunnah nabi tersebut.
Demikianlah, atas usaha para ahli, pada pertengahan abad ketiga
Hijriah atau akhir abad ke-9 dan permulaan abad ke-10 M tersusunlah
kitab-kitab
190 Hukumhadis
Islam yang terkenal dengan nama al- kutub as-sittah (enam

buah kitab hadis) masing-masing karya:


1. Bukhari, meninggal tahun 256 H/870 M.
2. Muslim, meninggal tahun 261 H/875 M.
3. Ibn Majah, meninggal tahun 273 H/877 M.
4. Abu Daud, meninggal tahun 275 H/889 M.
5. At-Tarmizi, meninggal tahun 279 H/892 M.
6. An-Nasa'i, meninggal tahun 303 H/915 M.
Dari angka-angka tahun meninggalnya para penyusun kitab-kitab
hadis di atas, dapat diketahui bahwa mazhab atau aliran hukum Islam
telah terbentuk sebelum al-kutub as- sittah (enam buah kitab hadis) itu
disusun.
Selain itu, perlu dicatat pula bahwa pada periode ini pulalah
metode-metode tertentu pengambilan hukum dari Alquran dan Sunnah,
penetapan dan penemuan hukum yang tidak ada ketentuannya dalam
kedua sumber utama hukum Islam itu dikembangkan. Yang terpenting
di antaranya adalah: ijmak, qiyas, masalih al-mursalah, istihsan, isdshab, al-urf
yang telah disebutkan di atas (Hazairin, 1955, Ahmad Salabi, 1964,
Hasbi Ash-Shiddieqy, 1971, H.M. Rasjidi, 1973 dan penulis sejarah
(hukum) Islam lain tersebut dalam kepustakaan).
MASA KELESUAN PEMIKIRAN (ABAD X - XI - XIX M)
Sejak permulaan abad ke-4 Hijriah atau abad ke-10 - 11 Masehi,
ilmu hukum Islam mulai berhenti berkembang. Ini terjadi di akhir
(penghujung) pemerintahan atau dinasti Abbasiyah. Pada masa ini
para ahli hukum hanya membatasi diri mempelajari pikiran-pikiran
para ahli sebelumnya yang telah dituangkan ke dalam buku berbagai
mazhab. Yang diper- masalahkan tidak lagi soal-soal dasar atau soal-
soal pokok tetapi soal-soal kecil yang biasa disebut dengan istilah furu'
(ranting).
Sejak itu, mulailah gejala untuk mengikuti saja pendapat para
ahli sebelumnya (ittiba' -taqlid). Para ahli hukum dalam masa ini, tidak
lagi menggali hukum (fiqih) Islam dari sumbernya yang asli, tetapi
hanya sekedar mengikuti pen- dapat-pendapat yang telah ada dalam
mazhabnya masing- masing. Kalau orang menulis tentang masalah
hukum, tulisannya itu biasanya hanya merupakan komentar atau
catatan-catatan terhadap pikiran-pikiran hukum yang terdapat dan
telah ada dalam mazhabnya sendiri.
Dengan kata lain, yang menjadi ciri umum pemikiran hukum
dalam periode ini adalah para ahli hukum tidak lagi memusatkan
usahanya untuk memahami prinsip-prinsip atau ayat-ayat hukum yang
terdapat dalam Alquran dan Sunnah Nabi Muhammad, tetapi
pikirannya ditumpukan pada pemahaman perkataan-perkataan,
pikiran-pikiran hukum para imam- imamnya saja. Perkembangan
masyarakat yang berjalan terus
Sejarah Pertumbuhan dan Perkembangan Hukum dan
Islam 195
persoalan-persoalan hukum yang ditumbuhkannya pada masa ini tidak
lagi diarahkan dengan hukum dan dipecahkan sebaik-baiknya seperti
zaman-zaman sebelumnya. Dinamika masyarakat yang terjadi terus-
menerus itu tidak lagi ditampung dengan pengembangan pemikiran
hukum pula. Dengan kata lain, masyarakat terus berkembang sedang
pemikiran hukumnya berhenti. Terjadilah "kemunduran" dalam
perkembangan hukum Islam.
Perkembangan pemikiran seseorang selalu dipengaruhi oleh
berbagai faktor. Perkembangan pemikiran hukum Islam ini pun
dipengaruhi oleh berbagai keadaan atau faktor pula. Di antara faktor-
faktor atau keadaan yang menyebabkan "kemunduran" atau kelesuan
pemikiran hukum Islam di masa itu adalah hal-hal berikut:
1. Kesatuan wilayah Islam yang luas, telah retak dengan munculnya
beberapa negara baru, baik di Eropa (Spanyol), Afrika Utara, di
kawasan Timur Tengah, dan Asia. Munculnya negara-negara baru
itu membawa ketidak- stabilan politik. Hal ini mempengaruhi
pula kegiatan pemikiran dan pemantapan hukum.
2. Ketidakstabilan politik menyebabkan pula ketidakstabilan
kebebasan berpikir. Artinya orang tidak bebas meng- utarakan
pendapatnya. Dan karena pada zaman sebelumnya telah terbentuk
aliran-aliran pemikiran hukum yang disebut dengan mazhab-
mazhab (yang empat) itu, para ahli hukum dalam periode ini
tinggal memilih (ittiba’) atau mengikuti (taqlid) saja pada salah-satu
di antaranya, memperkuat, memperjelas hal-hal yang terdapat
dalam mazhabnya itu dengan berbagai penafsiran dan cara.
Sikap yang seperti ini menyebabkan "jiwa atau ruh ijtihad" yang
menyala-nyala di zaman-zaman sebelumnya menjadi padam dan para
ahli mengikuti saja paham yang telah ada dalam mazhabnya.
Pecahnya kesatuan kenegaraan/pemerintahan itu menyebabkan
merosotnya pula kewibawaan pengendalian perkembangan hukum.
Dan bersamaan dengan itu muncul pula orang-orang yang sebenarnya
tidak mempunyai kelayakan untuk berijtihad, namun mengeluarkan
berbagai garis hukum dalam bentuk 'fatwa' yang membingungkan
masyarakat. Kesimpangsiuran pendapat yang seringkali bertentangan,
menyebabkan pihak yang berkuasa meme- rintahkan para mufti serta
kadi-kadi (para hakim) untuk mengikuti saja pemikiran-pemikiran
yang telah Hukumada
Islam sebelumnya. Dengan langkah ini dimaksudkan

"kesimpangsiuran" pemikiran hukum akan dihentikan, tetapi justru


dengan itu "kebekuan" pemikiran hukum terjadi. Bersamaan dengan
itu pula dikumandangkan pendapat bahwa "pintu ijtihad atau bab al-
ijtihad (baca: babul ijtihad) telah tertutup."
Timbullah gejala kelesuan berpikir di mana-mana. Karena kelesuan
berpikir itu, para ahli tidak mampu lagi meng- hadapi perkembangan
keadaan dengan mempergunakan akal pikiran yang merdeka dan
bertanggung jawab. Dan dengan demikian pula perkembangan hukum
Islam pada periode ini menjadi lesu, tidak berdaya lagi menghadapi
dan menjawab tantangan-tantangan zamannya (A. Hanafi, 1970: 174-
175).
Sejarah Pertumbuhan dan Perkembangan Hukum Islam 197
MASA KEBANGKITAN KEMBALI (ABAD KE-19 SAMPAI
SEKARANG)
Setelah mengalami kelesuan, kemunduran beberapa abad
lamanya, pemikiran Islam bangkit kembali. Ini terjadi pada bagian
kedua abad ke-19. Kebangkitan kembali pemikiran Islam timbul
sebagai reaksi terhadap sikap taqlid tersebut di atas yang telah
membawa kemunduran hukum Islam. Mun- cullah gerakan-gerakan
baru di antara gerakan para ahli hukum yang menyarankan kembali
kepada Alquran dan Sunnah. Gerakan ini, dalam kepustakaan disebut
gerakan salaf (salafiyah) yang ingin kembali kepada kemurnian ajaran
Islam di zaman salaf (= permulaan), generasi awal dahulu.
Sebagai reaksi terhadap sikap taqlid di atas, sesungguhnya pada
periode kemunduran itu sendiri telah muncul beberapa ahli yang ingin
tetap melakukan ijtihad, untuk menampung dan mengatasi persoalan-
persoalan dan perkembangan masyarakat. Pada abad ke-14 telah
timbul seorang mujtahid besar yang menghembuskan udara baru dan
segar dalam dunia pemikiran agama dan hukum. Namanya Ibnu
Taimiyyah (1263- 1328) dan muridnya Ibnu Qayyim al-Jauziah (1292-
1356). Pola pemikiran mereka dilanjutkan pada abad ke-17 oleh
Muhammad Ibnu Abdul Wahab (1703-1787) yang terkenal dengan
gerakan Wahabi yang mempunyai pengaruh pada gerakan Padri di
Minangkabau (Indonesia). Usaha ini dilanjutkan kemudian oleh
Jamaluddin Al-Afghani (1839-1897) terutama di lapangan politik (H.
M. Rasjidi, 1976:20). Dialah yang memasyhurkan ayat Quran (surat
13:11) yang mengatakan bahwa Allah tidak akan mengubah nasib sesuatu
bangsa kalau bangsa itu sendiri tidak (terlebih dahulu) berusaha mengubah nasibnya
sendiri. Ayat ini dipakainya untuk menggerakkan kebangkitan
umat Islam yang pada umumnya dijajah oleh bangsa Barat pada
waktu itu. Ia
198 Hukum Isiammenilai kemunduran umat Islam disebabkan antara lain
karena penjajahan Barat. Karena itu, agar umat Islam dapat maju
kembali, penyebabnya yaitu penjajahan Barat harus dilenyapkan lebih
dahulu. Untuk itu ia meng- galang persatuan seluruh umat Islam yang
terkenal dengan nama Pan Islamisme.
Cita-cita Jamaluddin mempengaruhi pemikiran Mohammad
Abduh (1849-1905) yang kemudian dilanjutkan oleh muridnya
Mohammad Rasjid Ridha (1865-1935). Pikiran- pikiran Mohammad
Abduh dan Mohammad Rasjid Ridha mempengaruhi pemikiran umat
Islam di seluruh dunia. Di Indonesia, pikiran-pikiran Abduh diikuti
antara lain oleh gerakan sosial dan pendidikan Muhammadiyah yang
didiri- kan oleh K.H. Ahmad Dahlan di Yogyakarta tahun 1912.
Paham Ibnu Taimiyah, seorang tokoh pemikir abad ke-14 M
tersebut, yang membagi ruang-lingkup agama Islam ke dalam dua
bidang besar yakni ibadah dan mu'amalah, dikembangkan lebih lanjut
oleh Mohammad Abduh. Selain dari itu ia banyak pula mengemukakan
ide-ide baru melalui buku-buku yang ditulisnya. Dr. Charles C. Adam
dalam bukunya Islam and Modernism in Egypt (1933) menyebutkan
beberapa program pembaruan pemikiran yang dilakukan oleh
Mohammad Abduh. Di antaranya adalah: (1) membersihkan Islam dari
pengaruh-pengaruh dan kebiasaan-kebiasaan yang bukan Islam; (2)
mengadakan pembaruan dalam sistem pendidikan Islam, terutama di
tingkat perguruan tinggi; (3) merumuskan dan menyatakan kembali
ajaran Islam menurut alam pikiran modern; (4)
mempertahankan/membela (ajaran) Islam dari pengaruh Barat dan
serangan agama lain; (5) membebaskan
Sejarah Pertumbuhan dan Perkembangan Hukum Islam 199 negeri-

negeri yang penduduknya beragama Islam dari belenggu penjajahan.


Melihat program-program tersebut di atas, dapat disimpulkan
bahwa ide pembaharuan pemikiran yang dikemukakan oleh
Mohammad Abduh meliputi seluruh sektor kehidupan umat Islam.
Dalam bidang hukum umpamanya, yang penting dicatat adalah
bahwa ia tidak terikat pada sesuatu paham (mazhab) yang ada. Karena
itu wawasannya mengenai hukum Islam menjadi luas. Ia berani
mengambil keputusan-keputusan hukum secara bebas dari pendapat
yang ada, dengan penuh tanggung jawab. Hal ini tampak sekali dalam
keputusan- keputusannya ketika ia menjadi Mufti Mesir (: mufti adalah
jabatan tertinggi dalam urusan agama Islam yang berwenang
memberikan keputusan atau fatwa mengenai masalah-masalah agama
pada umumnya dan hukum pada khususnya).
Menurut Mohammad Abduh, dalam kehidupan sosial, kemiskinan
dan kebodohan merupakan sumber kelemahan umat dan masyarakat
Islam. Oleh karena, itu kemiskinan dan kebodohan harus di "perangi"
melalui pendidikan. Dalam kebodohan ini termasuk juga kebodohan
memahami ajaran dan hukum Islam. Menurut Mohammad Abduh,
poligami (: poliginy) yang tidak bertanggung jawab merupakan
bencana bagi masyarakat. Karena itu ia mencoba memahami kembali
ayat yang memberikan kemungkinan bagi laki-laki untuk beristri lebih
dari seorang apabila dipenuhi beberapa syarat yang telah ditentukan.
Kalau syarat-syarat itu (antara lain adil, dan sebagainya) tidak
dipenuhi maka laki-laki itu, menurut Abduh, tidak boleh kawin lagi
dengan wanita lain. la menghubungkan QS Al-Nisa' (4): 3 itu dengan
ayat 127 jo. 129 di surat yang sama. Menurut Abduh, poligami adalah
pintu darurat yang hanya dapat dilalui kalau terjadi sesuatu yang
dapat membahayakan kehidupan perkawinan dan keluarga.
Pemahaman Mohammad Abduh mengenai ayat ini sekarang tercermin
dalam semua undang-undang perkawinan umat Islam di seluruh dunia,
termasuk Indonesia.
Mengenai mazhab, Abduh mengatakan bahwa aliran- aliran
pikiran yang berbeda dalam suatu masyarakat adalah biasa. Namun
kefanatikan terhadap salah-satu aliran atau mazhab itulah yang keliru
karena dapat membahayakan persatuan dan kesatuan umat Islam.
Kefanatikan (buta) terhadap salah-satu mazhab dan menganggap
hanya pendapat dalam mazhabnya saja yang benar menyebabkan
terpecah- pecahnya umat Islam ke dalam pecahan-pecahan (firkah-
firkah) yang terpisah satu dengan yang lain, saling bermusuhan bahkan
saling cela-mencela sehingga mereka tidak lagi bersatu dan berjalan
ke tujuan yang sama.
Karena itu (setelah ia mempelajari aliran-aliran yang ada) ia
tidak memberikan penilaian dan kecenderungan kepada salah-satu di
antaranya. Semua aliran-aliran pemikiran itu, menurut Abduh—adalah
pendapat atau pandangan saja, paham terhadap dasar-dasar ajaran
Islam. Dan setiap pendapat atau pemahaman tentang sesuatu, bisa
salah bisa juga benar. Karena itu, katanya, tidaklah seyogyanya
pengikut sesuatu mazhab mengklaim aliran pemikiran dalam
mazhabnya saja yang mutlak benar.
Dengan mengemukakan ini Mohammad Abduh bermak- sud
hendak menghapuskan dinding pemisah antarmazhab,
200 Hukum Islam Sejarah Pertumbuhan dan Perkembangan Hukum Islam 201
sekurang-kurangnya mengurangi kalau tidak dapat meng- hapuskan
kefanatikan mazhab sekaligus dan menganjurkan agar umat Islam
yang memenuhi syarat kembali lagi menggali hukum Islam dari
sumbernya yang asli, yakni Alquran dan Sunnah Muhammad
(Rasulullah), sebagaimana yang pernah terjadi dalam sejarah
(hukum) Islam.
Dan dengan mengajak seorang Muslim membebaskan diri dari
kefanatikan mazhab, ia bermaksud pula mengembalikan fungsi akal
pikiran ke tempatnya yang benar dan memperguna- kannya secara
baik untuk memecahkan berbagai masalah dalam hidup dan
kehidupan manusia pada zamannya. Ia menyerukan kepada umat
Islam yang memenuhi syarat untuk berijtihad, berusaha mengkaji
dan memecahkan berbagai masalah dalam masyarakat yang terus
berkembang. Ia menganjurkan orang berijtihad dan menolak taqlid.
Sebagaimana telah juga dikemukakan di atas, Mohammad
Abduh dengan pengikut-pengikutnya yang terkenal dengan ge-
rakan salaf (gerakan salafiyah) mempunyai pengaruh yang besar di
negara-negara Islam dan negara-negara yang penduduknya
beragama Islam, termasuk Indonesia. Sekarang banyak buku-buku
dan disertasi yang telah ditulis mengenai gerakan ini dalam
berbagai bahasa, di antaranya oleh Malcolm H. Kerr yang berjudul
Islamic Reform: the political and legal theories of Mohammad Abduh and Rasyid
Rida, University of California Press, Berkeley, 1966.
Zaman kebangkitan pemikiran hukum Islam ini dilanjutkan
sekarang dengan sistem baru dalam mempelajari dan menulis
hukum Islam. Kalau dahulu studi hukum Islam hanya terbatas pada
pemikiran yang terdapat dalam salah-satu
mazhab saja, kini keadaannya telah berubah. Di Fakultas- fakultas
Hukum Islam (syariah), sekarang diadakan mata kuliah baru yang
bernama perbandingan mazhab; di sana tidak hanya satu, tetapi
keempat aliran hukum yang terdapat dalam golongan Ahlus sunnah wal
jama'ah (Hanafi, Maliki, Syafi'i dan Hambali) misalnya, diajarkan.
Bahkan diajarkan juga aliran-aliran hukum yang ada dalam golongan
Syi'ah (Itsna 'Asyari atau Imam dua belas, Ismaili dan Zaidi). Di
samping perbandingan hukum antarmazhab dalam Islam ini, diban-
dingkan juga hukum Islam dengan hukum Barat dan hukum- hukum
lainnya yang terdapat dan berkembang di dunia ini sebagai satu
sistem. Dengan cara ini ruang-lingkup ajaran masing-masing hukum
dapat dilihat secara jelas. Demikian juga halnya dengan sumber-
sumber serta asas-asasnya, dapat pula dikaji secara mendalam.
Di samping sistem pemberian materi kuliah yang telah berubah
tersebut di atas, juga diadakan cara-cara baru dalam menuliskan
(melukiskan) hukum Islam. Kini, kalau orang menulis tentang hukum
Islam, orang tidak lagi melukiskan hukum Islam secara umum, tetapi
telah membicarakannya secara khusus, mengenai bidang-bidang
tertentu saja. Dengan demikian, analisis tentang bidang-bidang
tertentu itu menjadi lebih tajam dan mendalam. Dan dipengaruhi oleh
spesialisasi dan cara penulisan hukum di zaman modern, dapat pula
kita baca buku-buku Islam dalam bidangnya masing-masing, sekarang.
Cara-cara pemberian materi kuliah dan penulisan hukum Islam
seperti yang dikemukakan di atas, terdapat juga kini dalam
kepustakaan hukum Islam di tanah air kita.
Selain kebangkitan pemikiran hukum Islam di kalangan orang-
orang Islam sendiri, terutama di masa akhir-akhir ini, perhatian dunia
Sejarah Pertumbuhan dan Perkembangan Hukum Islam 202
terhadap perkembangan hukum Islam menjadi bertambah. Banyak
faktor yang menyebabkan perhatian itu, di antaranya adalah seperti
yang dikemukakan oleh beberapa ahli hukum tersebut di bawah ini:
justice Robert Jackson, seorang Hakim Agung pada Mahkamah
Agung Amerika Serikat menyebutkan beberapa motif yang mendorong
para ahli hukum Barat mempelajari hukum Islam. Menurut Robert
Jackson (1) negara-negara Barat yang gelisah itu telah menemukan
dalam dunia Islam sekutu (dahulu) melawan paham komunis. Selain
itu, (2) pandangan dunia Barat kini lebih objektif terhadap dunia
Islam, sejarah dan perbedaan-perbedaan agama. Disebutkannya pula
bahwa (3) perdagangan dengan Timur Tengah merupakan unsur baru
yang mendorong orang-orang Barat mempelajari hukum dan
perundang-undangan Islam (Majid Khadduri, 1955-.V).
Didorong oleh apa yang telah dikemukakan di atas dan kesadaran
akan pentingnya arti hukum Islam bagi ilmu pengetahuan, di Eropa
sekarang, beberapa Fakultas Hukum Prancis misalnya, mengajarkan
hukum Islam. Di antara tokohnya adalah (Edward Lambert dan) Rene
David, Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Paris. Yang mendorong
mereka mengadakan mata kuliah tersendiri untuk hukum Islam adalah
kenyataan bahwa hukum Islam merupakan satu di antara sistem-sistem
hukum besar yang hidup di dunia sekarang (Rene David, 1966:19). D. De
Santilana, seorang ahli hukum terkenal bangsa Italia, menyebutkan
bahwa yang mendorong orang Barat mempelajari hukum Islam adalah
karena hukum Islam merupakan sumber pasti dan positif bagi prinsip-
prinsip hukum Eropa modern. Menurut beliau, hukum Islam telah
meminjamkan kepada masyarakat Barat kaidah-kaidah hukum teknis
dalam dunia perdagangan dan perseroan- perseroan terbatas. Ingat
misalnya perkataan cheque yang berasal dari perbendaharaan hukum
Islam yaitu sakk yang berarti dokumen tertulis (Joseph Schacht,
1974:401).
Perhatian terhadap hukum Islam tidak hanya terdapat di dunia
Eropah saja, tetapi juga di Inggris dan Amerika Serikat. Di University
of London, School of Oriental and African Studies misalnya,
diajarkan juga hukum Islam. Di Universitas Harvard, Oxford, McGill,
Temple, Chicago dan lain-lain, juga diajarkan Islamic law di samping
Studi Islam lainnya.
Pendapat sarjana-sarjana Barat tentang hukum Islam, juga
dikumandangkan dalam berbagai seminar yang diadakan khusus untuk
mengkaji hukum Islam. Di antara seminar-seminar yang pernah
diadakan itu adalah seminar hukum Islam di Den Haag tahun 1937, di
Den Haag lagi pada tahun 1948, di Paris pada tahun 1951. Keputusan
seminar yang tersebut terakhir ini (Seminar Paris, 1951) berbunyi
antara lain sebagai berikut:
. . .” Dari pembicaraan-pembicaraan yang berlangsung selama Pekan
Hukum Islam ini, dengan nyata telah terbukti bahwa (1) prinsip-
prinsip hukum Islam mempunyai nilai-nilai yang tidak dapat
dipertikaikan lagi dan bahwa (2) pelbagai ragam mazhab yang ada
dalam lingkungan besar sistem hukum itu mengandung suatu kekayaan
pemikiran hukum dan kekayaan teknik yang mengagumkan yang
memberikan kemungkinan kepada hukum ini memenuhi semua
kebutuhan yang dituntut oleh kehidupan modern." Seminar Paris tahun
1951 ini (3) menganjurkan juga agar dibentuk suatu panitia untuk
mem- buat Kamus Hukum Islam yang disusun secara modern untuk
Sejarah Pertumbuhan dan Perkembangan Hukum Islam 205
memudahkan orang memperoleh keterangan-keterangan tentang
pengertian-pengertian hukum Islam (Said Ramadan, 1970:21)
Konperensi Islam Asia-Afrika yang diadakan di Bandung pada
tahun 1956 dalam salah-satu resolusinya juga menganjurkan agar
disusun dan diterbitkan Ensiklopedia Hukum Islam, yang dapat
dipergunakan oleh umat Islam sebagai pegangan dalam hidup dan
kehidupannya sehari-hari. Usaha ke arah ini telah dilakukan di Syria
sejak tahun 1956, dan menurut berita terakhir Ensiklopedia Hukum
Islam tersebut diterbitkan oleh Kuwait. Di Indonesia, pada tahun 1997
telah terbit Ensiklopedi Hukum Islam, terdiri atas 6 jilid.
Sebagai penutup uraian mengenai bab ini, perlu dicatat bahwa
kini terdapat kecenderungan kuat dan arus yang deras di kalangan
umat Islam, terutama di Timur Tengah, Afrika dan Pakistan untuk
kembali kepada hukum Islam sebagai salah- satu identitasnya (Tanzil-
ur-Rahman, 1978:1, Said Ramadan, 1970:23). Kecenderungan ini
terdapat juga di Asia Tenggara (Indonesia dan Malaysia).
Dalam rangka kembali kepada hukum Islam itu, di Lybia
204 Hukum Islam
dibentuk suatu Panitia Ilmiah Hukum yang akan mempelajari hukum
Islam secara mendalam, di bawah pimpinan seorang ahli hukum
terkenal bernama Ali Ali Mansur. Panitia ini bertugas meneliti dan
mempelajari hukum Islam dalam segala bidang. Untuk itu mereka
kumpulkan beribu-ribu buku yang berkenaan dengan hukum Islam.
Mereka hubungi berbagai negara meminta bantuan tenaga ahli, untuk
menyusun taqnin (kodifikasi) hukum Islam dalam semua bidang.
Mereka bandingkan juga hukum Islam yang telah ada dalam sejarah
pertumbuhan dan perkembangan di masa yang lalu dengan hukum
yang berasal dari Eropa.
Bahan-bahan hukum yang mereka pergunakan dalam menyusun
kodifikasi hukum Islam itu bukan hanya bahan- bahan yang terdapat
di kalangan ahlus sunnah waljama’-ah saja, tetapi juga dari aliran lain
yang terdapat dalam semua bahan- bahan hukum itu, dan memilih
dengan hati-hati pemikiran- pemikiran yang sesuai dengan kondisi dan
situasi umat Islam di abad ke-20 ini.
Di Indonesia atas kerja sama Mahkamah Agung dengan
Departemen Agama telah dikompilasikan Hukum Islam mengenai
perkawinan, kewarisan, dan perwakafan. Kompilasi ini telah disetujui
oleh para ulama dan ahli hukum Islam pada bulan Februari 1988 dan
(tahun 1991) telah diberlakukan bagi umat Islam Indonesia yang
menyelesaikan sengketa mereka di Peradilan Agama (salah-satu unsur
kekuasaan kehakiman di tanah air kita) sebagai hukum terapan.
205

Hukum Islam di Indonesia

Dalam membicarakan Hukum Islam di Indonesia, pusat perhatian


akan ditujukan pada kedudukan hukum Islam dalam sistem hukum
Indonesia. Yang dimaksud dengan sistem hukum Indonesia adalah
sistem hukum yang berlaku di Indonesia. Sistem hukum Indonesia
adalah sistem hukum yang majemuk, karena di tanah air kita berlaku
berbagai sistem hukum yakni Adat, Islam dan Barat (kontinental).
Untuk itu akan dibicarakan (1) Hukum Adat, Hukum Islam dan Hukum
Barat, (2) hubungan Hukum Adat dengan Hukum Islam, (3) Hukum
Islam dalam tata hukum Indonesia, (4) Hukum Islam dan pembinaan
hukum nasional (5) Peradilan Agama, (6) Kompilasi Hukum Islam.
HUKUM ADAT, HUKUM ISLAM, DAN HUKUM BARAT
Di dunia sekurang-kurangnya ada lima sistem hukum besar yang
hidup dan berkembang. Sistem-sistem hukum tersebut adalah (1)
sistem Common Law yang dianut di Inggris dan bekas jajahannya yang
kini, pada umumnya, bergabung dalam negara-negara persemakmuran,
(2) sistem Civil Law
208 Hukum Islam
yang berasal dari hukum Romawi, yang dianut di Eropa Barat
kontinental dan dibawa ke negeri-negeri jajahan atau bekas
jajahannya oleh pemerintah kolonial Barat dahulu, (3) sistem Hukum
Adat di negara-negara Asia dan Afrika, (4) sistem Hukum Islam yang
dianut oleh orang-orang Islam di mana pun mereka berada, baik di
negara-negara Islam maupun di negara- negara lain yang penduduknya
beragama Islam di Afrika Utara, Timur, Timur Tengah (Asia Barat)
dan Asia, dan (5) sistem Hukum Komunis/Sosialis yang dilaksanakan
di negara-negara komunis/sosialis seperti Uni Soviet dan satelit-
satelitnya dahulu.
Pada waktu ini, tiga dari kelima sistem hukum tersebut terdapat
di tanah air kita yakni sistem-sistem hukum adat, hukum Islam dan
hukum Barat (disebut berturut-turut menurut "umurnya" berlaku di
negeri kita). Ketiganya akan dibandingkan mengenai apa yang
kelihatan dan berlaku jdi Indonesia, dalam garis-garis besarnya saja.
Caranya adalah dengan melihat hal-hal yang sama dan dengan
menyebut hal yang sama, akan kelihatan perbedaannya. Profesor
Mohammad Koesnoe mantan Guru Besar Hukum Adat Universitas
Airlangga pernah membandingkan ketiga sistem hukum tersebut.
Pokok-pokok uraian beliau (1980) dengan perubahan di sana-sini,
adalah sebagai berikut:

Keadaannya

Ketiga sistem hukum tersebut telah berlaku di Indonesia


walaupun keadaan dan saat mulai berlakunya tidaklah sama.
Hukum Adat telah lama berlaku di tanah air kita. Bila mulai
berlakunya tidak dapat ditentukan dengan pasti, tetapi dapat dikatakan
bahwa, jika dibandingkan dengan kedua sistem hukum lainnya, hukum
adatlah yang tertua umurnya. Sebelum tahun 1927 keadaannya biasa
saja, hidup dan berkembang dalam masyarakat Indonesia. Sejak tahun
1927 dipelajari dan diperhatikan dengan seksama dalam rangka
pelaksanaan politik hukum pemerintah Belanda, setelah teori resepsi
dikukuhkan dalam Pasal 134 ayat (2) IS 1925 (1929), yang akan
dijelaskan di bawah.
Hukum Islam baru dikenal di Indonesia setelah agama Islam
disebarkan di tanah air kita. Bila Islam datang ke tanah air kita belum
Hukum I slam di Indonesia 207
ada kata sepakat di antara para ahli sejarah Indonesia. Ada yang
mengatakannya pada abad ke-1 Hijriah atau abad ke-7 Masehi, ada
pula yang mengatakannya pada abad ke-7 Hijriah atau abad ke-13
Masehi, Islam baru masuk ke Nusantara ini. Walaupun para ahli itu
berbeda pendapat mengenai bila Islam datang ke Indonesia, namun
dapat dikatakan bahwa setelah Islam datang ke Indonesia hukum
Islaiji telah diikuti dan dilaksanakan oleh para pemeluk agama Islam
di Nusantara ini. Hal itu dapat dilihat pada studi para pujangga yang
hidup pada masa itu mengenai hukum Islam dan peranannya dalam
menyelesaikan perkara-perkara yang timbul dalam masyarakat. Hasil
studi dan karya ahli hukum Islam Indonesia, kemudian dapat disebut
sebagai contoh, misalnya Miratul Tullab, oleh Abdurrauf Singkel, Siratal
Mustaqim, oleh Nuruddin ar Raniri, Sabilal Muhtadin, oleh Syaikh Arsyad
Banjar, dan lain-lain, di samping studi mengenai hukum Islam yang
ditulis oleh bukan orang Indonesia seperti misalnya Muharrar karangan
Ar-Rafi'i, Tuhfah karangan Ibnu Hajar, Nihayah karangan Ar-Ramli dan
kitab-kitab hukum mazhab Syafi'i lainnya. Setelah Belanda menjajah
Nusantara
210 Hukum Islam
ini, perkembangan hukum Islam "dikendalikan" dan sesudah tahun
1927, tatkala teori resepsi mendapat landasan pera- turanperundang-
undangan (IS 1925,1929), menurut Hazairin, perkembangan hukum
Islam dihambat di tanah air kita.
'Hukum Barat' diperkenalkan di Indonesia bersamaan dengan
kedatangan orang-orang Belanda untuk berdagang di Nusantara ini.
Mula-mula hanya diperlakukan bagi orang Belanda dan Eropa saja,
tetapi kemudian melalui berbagai upaya peraturan perundang-
undangan (pernyataan berlaku, penundukan dengan sukarela, pilihan
hukum dan sebagainya), hukum Barat itu dinyatakan berlaku juga bagi
mereka yang disamakan dengan orang Eropa, orang Timur Asing
(terutama Cina) dan orang Indonesia. Sebagai hukum golongan yang
berkuasa pada waktu itu di Nusantara kita ini keadaan hukum Barat
jauh lebih baik dan menguntungkan dari keadaan kedua sistem hukum
di atas.
Hukum Adat dan Hukum Islam adalah hukum bagi orang- orang
Indonesia asli dan mereka yang disamakan dengan penduduk
bumiputera. Keadaan itu diatur oleh Pemerintah Hindia Belanda
dahulu, sejak tahun 1854 sampai dengan mereka meninggalkan
Indonesia pada tahun 1942.

Bentuknya

Pada dasarnya, 'hukum adat' adalah hukum yang tidak tertulis. Ia


tumbuh, berkembang dan hilang sejalan dengan pertumbuhan dan
perkembangan masyarakat. Pada waktu ini sedang diadakan usaha-
usaha untuk mengangkat hukum adat menjadi hukum perundang-
undangan dan dengan begitu di- ikhtiarkan memperoleh bentuk
tertulis. Contohnya dapat dilihat pada Undang-Undang Pokok Agraria
Tahun 1960. Tetapi, hukum adat yang telah menjadi hukum tertulis itu
menjadi lain bentuknya dari hukum adat sebelumnya. Ia telah menjadi
hukum perundang-undangan.
Hukum I slam di Indonesia 209
Hukum Islam (: dalam kepustakaan hukum Islam di Indonesia,
istilah hukum Islam mungkin dipergunakan untuk hukum fiqih Islam
mungkin juga dipergunakan untuk hukum syariat Islam, seperti
diuraikan di atas), juga tidak tertulis seperti halnya hukum adat.
Artinya, hukum Islam tidak tertulis dalam peraturan perundang-
undangan. Hukum Islam dalam makna hukum fiqih Islam adalah
hukum yang bersumber dan disalurkan dari hukum syariat Islam yang
terdapat dalam Alquran dan Sunnah Nabi Muhammad, dikembangkan
melalui ijtihad oleh para ulama atau ahli hukum Islam yang memenuhi
syarat untuk berijtihad dengan cara-cara yang telah ditentukan. Hasil
ijtihad para ahli itu terdapat dalam kitab- kitab fiqih. Kitab-kitab fiqih
karya ahli hukum mazhab Syafi'i yang banyak dipakai di Indonesia,
misalnya, (1) Muharrar karangan Ar-Rafi'i, (2) Minhajut Talibin karangan
An-Nawawi, (3) Tuhfah karangan Ibnu Hajar, (4) Nihayah karangan Ar-
Ramli, (5) Mugni al-Muhtaj dan (6) al-Iqna (kedua-duanya) karangan As-
Syarbini, (7) Mukhtasar karangan Abu Suja, (8) Ha-syiah Fatul Qarib
karangan Al-Bajuri, (9) Fatul Mu'in karangan Al-Malabari, (10) Al-
Muhazzab karangan As-Syairozi, dan lain-lain.
Walaupun hukum Islam (dalam pengertian hukum fiqih) ini tidak
diberi padahan atau sanksi oleh penguasa, namun ia dipatuhi oleh
masyarakat Islam karena kesadaran dan keyakinan mereka, terutama
keyakinan para pemimpin atau ulama Islam, bahwa hukum Islam
adalah hukum yang benar. Kini, hukum Islam, seperti halnya hukum
adat telah memperoleh bentuk tertulis dalam Kompilasi Hukum Islam
(1991).
'Hukum Barat,' yang kita bandingkan adalah hukum perda- tanya,
tertulis dalam bahasa Belanda di dalam undang-undang atau kitab
undang-undang, misalnya Burgerlijk Wetboek (B.W.). Namun karena
bahasa yang dipakai oleh hukum tersebut telah menjadi rintangan bagi
berlakunya hukum itu sebagai hukum yang tertulis dalam perundang-
undangan aslinya, maka hukum eks-Barat itu, kini, diterjemahkan ke
dalam bahasa Indonesia, misalnya B.W. dengan nama Kitab Undang-
Undang Hukum Perdata. Karena terjemahannya merupakan karya
210 Hukum Islam

pribadi seseorang, dan, karena itu, tidak mempunyai kekuatan


mengikat seperti undang-undang, maka sesungguhnya di dalam praktik
di Indonesia, hukum (perdata) Barat telah berubah menjadi hukum
tidak tertulis secara tidak dinyatakan dengan sadar. Suasana
kehidupan hukum di Indonesia telah menjadikan hukum eks-Barat
sebagai hukum yang 'semu' tertulis. Dan karena terjemahannya ditulis
dalam bahasa Indonesia, maka isi dan makna pasal-pasalnya pun telah
agak berbeda dengan konsep atau pengertiannya semula.
Selain keadaan, bentuk hukum Adat, hukum Islam dan hukum
Barat yang telah dikemukakan secara ringkas di atas, ketiga sistem
hukum itu mempunyai tujuan masing-masing.

Tujuannya
Tidak ada satu uraian yang terinci dan jelas mengenai tujuan
hukum adat. Namun dari kata-kata yang terdapat dalam masyarakat
adat, dapat disimpulkan bahwa 'hukum adat' bertujuan untuk
menyelenggarakan kehidupan masyarakat yang aman, tenteram, dan
sejahtera. Hukum Islam mempunyai tujuan untuk melaksanakan perintah
dan kehendak Allah serta menjauhi larangan-Nya. Seorang ahli hukum
Islam terkemuka, Abu Ishaq As-Satibi (m.d. 790/1388 M), seperti
telah disebut di muka, merumuskan lima tujuan hukum Islam, yakni
memelihara (1) agama, (2) jiwa, (3) akal, (4) keturunan, dan (5) harta
benda, yang diterima oleh ahli-ahli hukum Islam lainnya. Menurut As-
Satibi, demikian juga pendapat ahli-ahli hukum Islam lainnya, dengan
terpeliharanya kelima tujuan ( al-maqasidu al-khamsah, baca: al maqasidul
khamsah) itu, manusia akan mencapai kebahagiaan hidup dunia
akhirat. Yang menjadi tujuan 'hukum Barat,' sebagaimana dinyatakan
oleh para ahli teori dan filsafat hukum Barat, adalah kepastian hukum
dan keadilan hukum.
Uraian ringkas mengenai masing-masing hukum ini tentu belum
memadai, namun dengan demikian, kita dapat melihat ciri-ciri khusus
yang terdapat pada ketiga hukum tersebut.
Hukum I slam di Indonesia 211
Sumbernya
Mengenai sumber ketiga sistem hukum tersebut, dapat di-
kategorikan lagi ke dalam (1) sumber pengenal, (2) sumber isi, dan (3)
sumber pengikat.

Sumber Pengenal
Menurut Betrand ter Haar, yang menjadi sumber pengenal Hukum
Adat adalah keputusan penguasa adat. Ini dibantah oleh Profesor
Mohammad Koesnoe tersebut. Menurut Koes- noe, hukum penguasa
adat yang tercermin dari keputusan penguasa itu, memang dijiwai oleh
hukum adat sebagai
212 Hukum Islam

hukum rakyat, tetapi keputusan penguasa adat belumlah meng-


gambarkan sepenuhnya hukum adat sebagai hukum rakyat. Oleh
karena itu, menurut Koesnoe, yang menjadi sumber pengenal hukum
adat ialah apa yang benar-benar terlaksana di dalam pergaulan hukum
di dalam masyarakat yang bersangkutan. Yang dimaksud oleh Koesnoe
dengan pergaulan hukum adalah segala gejala sosial yang secara
dikehendaki atau tidak (dikehendaki) oleh para pihak ada dalam
masyarakat yang bersangkutan yang di dalam dirinya terkandung
gejala-gejala sosial lain menyertainya. Sumber pengenal (hukum adat)
ini ada di dalam kehidupan sehari-hari berupa tingkah-laku nyata baik
yang "sekali" sifatnya maupun yang berulang sepanjang waktu.
Dengan begitu, menurut Koesnoe, dapat juga dikata- kan bahwa
sumber pengenal hukum adat adalah konsep hukum adat sendiri.
Sumber pengenal 'hukum Islam 1 dalam pengertian hukum syariat
adalah Alquran dan kitab-kitab Hadis yang mengandung firman Allah
dan Sunnah Nabi Muhammad. Sumber pengenal hukum Islam dalam
pengertian hukum fiqih adalah kitab-kitab fiqih yang memuat hasil
ijtihad para ahli hukum Islam berdasarkan Alquran dan kitab- kitab
Hadis tersebut. Dengan demikian, sumber pengenal hukum Islam
tersimpan dengan baik di dalam dokumen- dokumen yang dipelihara
dari masa ke masa. Sumber pengenal 'Hukum Barat’ adalah segala
peraturan perundang-undangan sejak zaman kolonial dahulu beserta
segala perubahannya yang dinyatakan dalam Staatsblad atau Lembaran
Negara.
Sambil lalu dapat dicatat bahwa sumber pengenal hukum Islam
dan hukum Barat hampir sama yakni "tulisan", atau do- kumen
tertulis. Namun, perbedaannya adalah tulisan dalam peraturan
perundang-undangan dalam hukum Barat sifatnya
Hukum Islam di Indonesia 215 mengikat

karena diberi sanksi oleh negara, sedang tulisan dalam kitab-kitab


hukum Islam tidak semuanya mempunyai kekuatan mengikat dalam
makna diberi sanksi oleh negara.
Sumber Isi
Mengenai sumber isi masing-masing hukum tersebut dapat
dijelaskan sebagai berikut: Sumber isi 'hukum adat' adalah kesadaran
hukum yang hidup dalam masyarakat adat. Namun, perlu dicatat,
orang sering meragukan adanya homogenitas kesadaran hukum rakyat
Indonesia yang tersebar dalam berbagai lingkungan adat di seluruh
kepulauan Nusantara ini. Sumber isi 'hukum Islam' (syariat) adalah
kemauan Allah berupa wahyu yang kini terdapat dalam Alquran dan
Sunnah Nabi Muhammad yang sekarang tertulis dalam kitab-kitab
Hadis. Di samping itu, terdapat sumber isi ketiga (bagi hukum Islam
dalam makna hukum fiqih) yakni akal pikiran atau ra'yu orang yang
memenuhi syarat untuk berijtihad dengan mempergunakan ijma', qiyas
dan lain-lain sebagai metode untuk menentukan hukum atau menarik
garis-garis hukum. Sumber isi 'hukum Barat' adalah kemauan
pembentuk undang-undang di negeri Belanda di masa lalu. Kemauan
ini dapat dipelajari dengan memperhatikan bahan-bahan yang tertulis
dalam bahasa Belanda yang ada sangkut-pautnya dengan pembentukan
undang-undang dimaksud. Namun, tuntutan ini tidak dapat lagi
dilaksanakan karena petugas dan penegak hukum kita banyak yang
tidak menguasai lagi bahasa yang dipergunakan oleh pembentuk
hukum Barat itu.
Sumber Pengikat
Yang dimaksud dengan sumber pengikat adalah sumber yang
menjadi kekuatan mengikat orang untuk melaksanakan atau tidak
melanggar hukum tersebut. Sumber pengikat 'hukum adat' adalah rasa
malu yang ditimbulkan oleh karena berfung- sinya sistem nilai dalam
masyarakat adat yang bersangkutan atau karena upaya-upaya lain yang
pada akhirnya akan mengenai orang yang bersangkutan apabila ia tidak
mematuhi hukum yang ada. Dengan kata lain, kekuatan mengikat
hukum adat adalah kesadaran hukum anggota masyarakat adat yang
bersangkutan. Sumber pengikat 'hukum Islam' adalah iman dan tingkat
ketakwaan seorang Muslim. Sumber kekuatan mengikat 'hukum Barat'
adalah kekuasaan negara yang membentuk undang-undang itu dahulu
214 Hukum Islam

yang melalui Aturan Peralihan Undang Undang Dasar kita kini


dilanjutkan oleh alat kekuasaan Negara Republik Indonesia.
Struktumya
Yang dimaksud dengan struktur dalam hubungan pem- bicaraan
ini adalah tumpukan logis lapisan-lapisan yang ada pada sistem hukum
yang bersangkutan.
Di dalam 'hukum Adat' di Minangkabau, misalnya, ada teori
struktur menurut pandangan ahli-ahli adat setempat. Menurut teori itu,
hukum adat atau adat dapat dibedakan dalam (1) Adat nan sabana adat
(adat yang sebenar-benarnya) dan (2) Adat Pusaka.
(1) Adat nan sabana adat adalah adat yang tidak dibuat oleh
manusia atau nenek moyang manusia, tetapi oleh dan berasal dari
"alam". Adat nan sabana adat merupakan guru bagi kehidupan manusia. Ia
sering disamakan dengan hukum alam atau sering dikatakan sebagai
undang-undang alam. Karena "alam yang terkembang jadi guru", maka
dari adat nan
Hukum Islam di Indonesia 217 sabana
adat dapat ditarik pelajaran melalui pengalaman dan pemikiran nenek
moyang yang berlanjut sampai kini. Hasilnya disebut adat pusaka.
(2) 'Adat pusaka,' dengan demikian, adalah adat atau hukum
adat positif yang disusun sejak nenek moyang sampai pada angkatan
sekarang. Hukum adat positif, yang disebut juga adat pusaka,
dibedakan ke dalam tiga kategori, yakni 'adat-istiadat,' 'adat nan
teradat' dan 'adat nan diadatkan.' Di luar kategori ini ada satu kategori
lain yang terletak di luar lingkungan teori adat tersebut di atas, yang
disebut 'pemakaian.'
'Adat-istiadat' adalah segala dalil dan ajaran mengenai bagaimana
orang bertingkah-laku dalam masyarakat. Rumusannya sangat abstrak,
karena itu memerlukan usaha untuk memahami dan merincinya lebih
lanjut. Adat dalam pengertian ini berfungsi sebagai dasar
pembangunan hukum adat positif yang lain.
'Adat nan teradat' adalah ajaran dan dalil yang dituangkan ke
dalam bentuk bangunan-bangunan adat yang lebih nyata yang menjadi
kebutuhan masyarakat sehari-hari seperti (bangunan adat) perkawinan,
kewarisan, jual-beli, dan seba- gainya.
'Adat nan diadatkan' adalah suatu kategori tempat bangunan-
bangunan adat dalam kategori kedua di atas mendapat lingkungan adat
dan diwujudkan di dalam kehidupan sehari-hari. Dari adat nan
diadatkan inilah muncul 'pemakaian' dalam masyarakat adat
bersangkutan. Karena itu dapat juga dikatakan bahwa adat nan
diadatkan inilah motif yang berdiri di belakang tingkah-laku manusia
yang disebut perwujudan adat di dalam masyarakat.
Mengenai 'hukum Islam' dalam makna hukum syariat susunannya
terdiri dari wahyu dan sunnah. Lapisan pertama adalah wahyu yang
tidak dapat diganggu-gugat. Ia berlaku mutlak terlepas dari ruang dan
waktu, tidak tunduk pada kemauan dan cita-cita manusia. Rumusannya
ringkas, padat dan pada umumnya menyinggung soal-soal pokok saja.
Karena itu perlu penjelasan. Penjelasan ini, yakni Sunnah Rasulullah
bersifat mutlak pula dalam makna tidak dapat diganti dengan dan oleh
bahan lain. Di luar Sunnah Rasulullah yang merupakan lapisan kedua
itu terdapat lapisan ketiga, yakni pendapat para ahli hukum atau ulama
(ulama adalah jamak dari alim yaitu orang yang berilmu). Pendapat-
pendapat ini yang dinamakan hukum fiqih yang merupakan hasil studi
yang penuh rasa tanggung jawab dan ketakwaan kepada Allah yang
dilakukan oleh para ahli hukum dengan mengikuti suri teladan yang
diberikan oleh Nabi Muhammad. Dalam perwujudannya hasil studi
yang disebut dengan (hasil) ijtihad itu adalah suatu pemahaman atau
perumusan ilmiah yang bersifat teknis mengenai apa yang terkandung
atau yang tidak disebut oleh kedua lapisan utama itu. Lapisan ketiga
ini adalah karya manusia berupa garis-garis hukum atau kaidah-kaidah
hukum tertentu yang dikelompokkan menurut masalah yang
dibicarakan, diatur secara sistematis. Hasil karya ini kini terhimpun
dan dapat dibaca dalam kitab- kitab fiqih berbagai aliran hukum atau
mazhab dalam Islam. Dari kitab-kitab fiqih inilah parapetugas hukum
Islam mengam- bil garis-garis hukum untuk diterapkan dalam kasus
216 Hukum Islam

tertentu dalam kenyataan (in concreto). Perwujudan dalam kenyataan ini


merupakan lapisan keempat struktur hukum Islam.
Dengan demikian, struktur hukum Islam terdiri dari (1)
Hukum I slam di Indonesia 217
nas Alquran yakni apa yang disebut dalam Alquran, (2) Sunnah
Rasulullah (bagi hukum syariat) ditambah (3) hasil ijtihad (pemahaman)
manusia yang memenuhi syarat, dan (4) pelaksanaannya dalam
konkreto oleh masyarakat Islam baik yang berupa keputusan-keputusan
(hakim) maupun berupa amalan-amalan umat Islam (mengenai hukum
Islam). Struktur 'hukum Barat' adalah sebagai berikut: Pertama adalah
kitab undang-undang yang dibuat oleh lembaga legislatif. Dari kitab
undang-undang itu ditarik kesimpulan-kesimpulan berupa keputusan
hukum oleh para petugas hukum dalam arti yang luas. Dari keputusan
hukum ini, lahirlah amalan keputusan tersebut.
Struktur hukum tersebut di atas jelas menunjukkan bagaimana
masing-masing hukum menarik garis hukum dari lapisan pangkal
sampai pada lapisan-lapisan berikutnya secara logis dalam kesatuan
keseluruhan lapisan-lapisan itu. Masing-masing mempunyai aturan dan
watak sendiri.
Lingkup Masalah

Lingkup masalah yang diatur oleh ke tiga sistem hukum tersebut


berbeda pula. Antara 'hukum adat' dan 'hukum Barat' pada dasarnya
terdapat kesamaan ruang-lingkup karena kedua-duanya hanya
mengatur hubungan antara manusia dengan manusia serta penguasa
dalam masyarakat. Ruang- lingkup yang diatur oleh 'hukum Islam'
tidak hanya masalah hubungan antara manusia dengan manusia lain
serta penguasa dalam masyarakat, tetapi juga mengatur hubungan
antara manusia dengan Allah, Tuhan Yang Maha Esa. Dengan kata
lain, hukum adat dan hukum Barat mengarahkan pandangan- nya
terbatas pada konsekuensi-konsekuensi kehidupan
220 Hukum Islam
duniawi saja, sedang hukum Islam tidak terbatas pandangannya pada
konsekuensi-konsekuensi duniawi saja tetapi juga memandang
konsekuensi-konsekuensi akhirat, yakni konse- kuensi hidup setelah
kehidupan di dunia ini berakhir kelak.
Pembidangan
Mengenai pembidangan ketiga sistem hukum tersebut dapat
dikemukakan hal-hal berikut:
'Hukum adat' yang mengenai asas-asas kerukunan, kepatutan,
keselarasan dalam pergaulan dan yang bersifat religio magis, tidak
mengenai pembidangan hukum perdata dan hukum publik seperti
halnya dengan hukum Barat. Dalam hukum adat tidak ada pemisahan
yang tajam antara kepentingan pribadi (perdata) dengan kepentingan
umum (publik). Manusia dalam konsep hukum adat dipandang sebagai
pribadi- pribadi yang merupakan bagian yang tidak dapat dipisahkan
dari masyarakat. Dalam 'hukum Islam' terdapat pembidangan antara
(1) 'ibadah'dan (2) 'muamalah.'Bidang ibadah mengatur hubungan
manusia dengan Tuhan, bidang muamalah mengatur hubungan manusia
dengan manusia dan benda dalam kehidupan masyarakat. Sama halnya
dengan hukum adat, dalam hukum yang mengatur hubungan manusia
dengan manusia di dalam masyarakat, hukum Islam yang merupakan
bagian agama Islam itu, tidak membedakan antara hukum perdata
dengan hukum publik, sebab dalam soal perdata terdapat segi-segi
publik, dalam soal publik ada segi-segi perdatanya. Di dalam 'hukum
Barat' yang bersifat individualis dan liberalistis serta terlepas dari
ketentuan-ketentuan agama seperti terlihat pada Pasal 26 B.W. yang
menyatakan bahwa "undang-undang memandang soal perkawinan
hanyalah
Hukum Islam di Indonesia 221
hubungan perdata saja," dikenal pembidangan: hukum private (yang
diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia dengan perdata) dan hukum
'publik.' Hukum perdata adalah aturan hukum yang mengatur serta
melindungi kepentingan perdata yang dipertahankan oleh masing-
masing individu, hukum publik adalah aturan hukum yang mengatur
dan melindungi kepentingan umum yang dipertahankan oleh (alat
kekuasaan) negara.

Hak dan Kewajiban

Mengenai hak dan kewajiban, yang akan dibandingkan hanyalah


hukum Islam dengan hukum Barat. Dalam sistem 'hukum Islam'
kewajiban lebih diutamakan dari hak, sedang dalam 'hukum Barat' hak
didahulukan dari kewajiban.

Norma atau Kaidah Hukum


Dalam sistem 'hukum Barat' yang berasal dari hukum Romawi itu,
dikenal tiga norma atau kaidah yakni (1) impere (perintah), (2) prohibere
(larangan), dan (3) permittere (yang dibolehkan). Dalam sistem hukum
Islam ada lima macam kaidah atau norma hukum yang dirangkum
dalam istilah al-ahkam al-khamsah. Kelima kaidah itu adalah (1) fard
(kewajiban), (2) sunnat (anjuran), (3) ja'iz atau mubah atau ibahah
(kebolehan), (4) makruh (celaan) dan (5) haram (larangan), seperti telah
dijelaskan di muka.
Demikianlah dalam garis-garis besarnya telah dibandingkan
ketiga sistem hukum yang berlaku sekarang di tanah air kita.
Sebelum uraian mengenai hukum adat, hukum Islam dan hukum
Barat ini diakhiri tidak ada salahnya dikemukakan pula catatan
berikut. Di dalam kehidupan masyarakat Indonesia sekarang, ketiga
sistem hukum tersebut tumbuh dan berkem- bang. Ketiga-tiganya telah
saling pengaruh mempengaruhi dalam konsep dan pengertian.
Berbagai konsep dan pengertian yang berasal dari hukum Islam dan
hukum Barat telah ditafsirkan menurut perasaan dan kesadaran hukum
220 Hukum Islam

yang terdapat dalam hukum adat. Karena itu, ke tiga sistem hukum
tersebut perlu dipelajari dengan seksama, khususnya tentang hukum
Islam dan hukum adat yang berlaku di tanah air kita. Dalam uraian
berikutnya kelak, hubungan kedua hukum ini akan disinggung
walaupun hanya sepintas lalu.
Kalau kita berbicara tentang hukum adat, kita akan teringat pada
penulis-penulis hukum adat masa silam seperti Snouck Hurgronje, van
Vollenhoven dan B. ter Haar. Ter Haar terutama, telah mempengaruhi
pola pemikiran dan pemahaman para sarjana hukum Indonesia tentang
hukum adat, padahal, kalau dikaji dengan teliti, apa yang telah
dilakukan ter Haar adalah usaha atau percobaan orang Barat dengan
latar-belakang jiwa dan peranan hukum Barat pula, untuk memahami
hukum adat di tanah air kita. Oleh karena itu, apa yang telah
dihasilkan oleh ter Haar perlu dikaji kembali secara kritis, harus ditera
kembali, untuk dapat melihat kekuatan dan kelemahan teorinya, untuk
melihat kebenaran dan kekeliruannya dalam memahami hukum adat
kita. Hal ini, agaknya, disadari sendiri oleh ter Haar, terutama sewaktu
ia berada dalam kamp konsentrasi di Buchenwald. Di tempat itu
menurut Moh. Koesnoe, rumusan- rumusannya yang begitu eksak
mengenai hukum adat pada masa yang lalu diragukan olehnya sendiri.
Hukum Islam di Indonesia 223
HUBUNGAN HUKUM ADAT DENGAN HUKUM ISLAM
Hubungan hukum adat dengan hukum Islam dalam makna kontak
antara kedua sistem hukum itu telah lama berlangsung di tanah air
kita. Hubungannya akrab dalam masyarakat. Keakraban itu tercermin
dalam berbagai pepatah dan ungkapan di beberapa daerah, misalnya
ungkapan dalam bahasa Aceh yang berbunyi: hukum ngon adat hantom ere,
lagee zat ngon sipeut. Artinya hukum Islam dengan hukum adat tidak
dapat dicerai- pisahkan karena erat sekali hubungannya seperti
hubungan zat dengan sifat sesuatu barang atau benda. Hubungan
demikian terdapat juga di Minangkabau yang tercermin dalam pepatah:
adat dan syara' sanda menyanda, syara' mengato adat memakai. Menurut Hamka
(Hamka, 1970:10) makna pepatah ini adalah hubungan (hukum) adat
dengan hukum Islam (syara') erat sekali, saling topang-menopang,
karena sesungguhnya yang dinamakan adat yang benar-benar adat
adalah syara' itu sendiri. Dalam hubungan ini perlu dijelaskan bahwa
adat dalam ungkapan ini adalah cara melaksanakan atau memakai
syara' itu dalam masyarakat. Dalam masyarakat Muslim Sulawesi
Selatan eratnya hubungan adat dengan hukum Islam dapat dilihat
dalam ungkapan yang berbunyi, "Adat hula-hulaa to syaraa, syaraa hula-hulaa
to adati". Artinya, kurang lebih, adat bersendi syara 1 dan syara’
bersendi adat (A. Gani Abdullah, 1987:89). Hubungan adat dan Islam
erat juga di Jawa. Ini mungkin disebabkan karena prinsip rukun dan
sinkretisme yang tumbuh dan berkembang dalam masyarakat Jawa,
terutama di daerah pedesaan (M. B. Hoeker, 1978: 97).
Berbeda dengan bunyi pepatah di atas, dalam buku-buku hukum
yang ditulis oleh para penulis Barat/Belanda dan mereka yang
sepaham dengan penulis-penulis Belanda itu,
222 Hukum Islam

hubungan hukum adat dengan hukum Islam di Indonesia, terutama


di Minangkabau, selalu digambarkan sebagai dua unsur yang
bertentangan. Ini dapat dipahami, karena teori konflik yang mereka
pergunakan untuk mendekati masalah hubungan kedua sistem hukum
itu dengan sadar mereka pergunakan untuk memecah-belah dan
mengadu-dombarakyat Indonesia guna mengukuhkan kekuasaan
Belanda di tanah air kita. Karena itu pula sikap penguasa jajahan
terhadap kedua sistem hukum itu dapat diumpamakan seperti sikap
orang yang membelah bambu, mengangkat belahan yang satu (adat)
dan menekan belahan yang lain (Islam). Sikap ini jelas tergambar
dalam salah-satu kalimat van Vollenhoven, seorang ahli hukum adat
yang terkenal, ketika ia berpolemik dengan pemerintahnya mengenai
politik hukum yang akan dilaksanakan di Hindia Belanda. Menurut
van Vollenhoven, hukum adat harus dipertahankan sebagai hukum
bagi golongan bumiputera, tidak boleh didesak oleh hukum Barat.
Sebab, kalau hukum adat didesak (oleh hukum Barat), hukum Islam
yang akan berlaku. Ini tidak boleh terjadi di Hindia Belanda (Bustanul
Arifin dalam Muchtar Na'im, 1968:171).
Karena itu ada yang mengatakan bahwa apa yang disebut sebagai
konflik antara hukum Islam dengan hukum adat pada hakikatnya
adalah isu buatan politikus hukum kolonial saja. Salah seorang di
antaranya adalah B. ter Haar yang menjadi master architect pembatasan
wewenang Pengadilan Agama di Jawa dan Madura. Menurut ter Haar,
antara hukum adat dengan hukum Islam tidak mungkin bersatu,
apalagi bekerja sama, karena titik-tolaknya berbeda. Hukum adat
bertitik- tolak dari kenyataan hukum dalam masyarakat, sedang hukum
Islam bertitik tolak dari kitab-kitab hukum (hasil penalaran manusia,
MDA) saja. Karena perbedaan titik-tolak itu, timbullah pertentangan
yang kadang-kadang dapat diperlunak tetapi seringkali tidak. Karena
itu, secara teoretis hukum Islam tidak dapat diterima. Karena itu
wewenang Pengadilan Agama di Jawa dan Madura, "dibatasi sampai
ke bidang yang sekecil-kecilnya" (ter Haar, 1973: 29).
Dalam menggambarkan hubungan adat dengan Islam di Aceh,
Hukum I slam di Indonesia 223
Minangkabau dan Sulawesi Selatan di atas, umpamanya, para penulis
Barat/Belanda selalu menggambarkan kelanjutannya dalam
pertentangan antara kalangan adat dan kalangan agama (Islam).
Keduanya seakan-akan merupakan dua kelompok yang terpisah yang
tidak mungkin bertemu atau dipertemukan. Padahal dalam
kenyataannya tidaklah demikian, karena di kalangan adat terdapat
orang-orang alim dan di kalangan ulama dijumpai orang yang tahu
tentang adat (Deliar Noer, 1979:19). Gambaran "pertentangan" antara
kalangan adat dengan kalangan agama mereka konstruksi- kan dalam
"pertentangan" antara hukum perdata adat dengan hukum perdata
Islam dalam perkawinan dan kewarisan. Mereka gambarkan seakan-
akan "pertentangan" itu tidak mungkin diselesaikan.
Menurut penglihatan penulis-penulis Barat/Belanda, perkawinan
yang dilangsungkan menurut ketentuan hukum Islam hanyalah kontrak
antara pribadi-pribadi yang melangsung- kan pernikahan itu saja,
sedang perkawinan yang dilakukan menurut hukum adat adalah ikatan
yang menghubungkan dua keluarga, yang tampak dari upacara waktu
melangsungkan perkawinan itu. Karena penglihatan yang demikian,
mereka lebih menghargai dan menghidup-hidupkan perkawinan
menurut hukum adat saja daripada perkawinan yang dilang- sungkan
menurut hukum Islam. Mereka tidak mau melihat ke dalam tradisi
Islam di mana keluarga (terutama orang tua) ikut bertanggung jawab
mengenai hubungan kedua mempelai tidak hanya waktu mencari
jodoh, tetapi juga waktu melang- sungkan perkawinan. Bahkan
keluarga akan turut berperan pula untuk menyelesaikan perselisihan
kalau kemudian hari terjadi kekusutan dalam kehidupan rumah tangga
orang yang menikah itu. Mereka tidak tahu, karena tidak mempe-
lajarinya, bahwa pernikahan menurut hukum Islam adalah sarana
pembinaan rasa cinta dan kasih sayang dalam dan antarkeluarga
(Deliar Noer, 1979:20).
Menurut penulis-penulis Barat/Belanda, masalah kewarisan
adalah contoh yang paling klasik yang menampakkan pertentangan
antara hukum Islam dengan hukum adat di Minangkabau. Seperti yang
224 Hukum Islam

telah dikemukakan di atas, secara teoretis, menurut mereka, konflik ini


tidak mungkin diselesai- kan. Akan tetapi, kenyataan menunjukkan
tidaklah demikian halnya. Kesepakatan antara ninik mamak dan alim
ulama di Bukit Marapalam dalam Perang Paderi di abad ke-19 dahulu
telah melahirkan rumusan yang mantap mengenai hubungan hukum
adat dengan hukum Islam. Rumusan itu antara lain berbunyi
(dilndonesiakan): adat bersendi syara', syara’ bersendi kitabullah (Alquran).
Rumusan itu diperkuat oleh Rapat (orang) Empatjenis (ninik mamak,
imam-khotib, cerdik-pandai, manti- dubalang) Alam Minangkabau
yang diadakan di Bukittinggi tahun 1952 dan dipertegas lagi oleh
Kesimpulan Seminar Hukum Adat Minangkabau yang diadakan di
Padang bulan Juli 1968. Dalam rapat dan seminar itu ditegaskan
bahwa pembagian warisan orang Minangkabau, untuk (1) harta pusaka
tinggi yang diperoleh turun-temurun dari nenek moyang menurut garis
keibuan dilakukan menurut adat, dan (2) harta pencaharian, yang
disebut pusaka rendah, diwariskan menurut syara 1 (hukum Islam).
Dengan kata lain, sejak tahun 1952 kalau terjadi perselisihan
mengenai harta pusaka tinggi maka penyelesaiannya berpedoman pada
garis kesepakatan hukum adat, sedang terhadap harta pencaharian
berlaku hukum fara'id (hukum kewarisan Islam). Oleh seminar Hukum
Adat Minangkabau tahun 1968 itu juga diserukan kepada seluruh
hakim di Sumatera Barat dan Riau agar memperhatikan kesepakatan
tersebut (Muchtar Na'im, 1968:241).
Demikianlah, hubungan hukum adat dengan hukum Islam yang
dianggap oleh penulis-penulis Barat/Belanda sebagai pertentangan
yang tidak dapat terselesaikan, telah diselesai- kan oleh orang
Minangkabau sendiri dengan kesepakatan di Bukit Marapalam, Rapat
(orang) Empat Jenis Alam Minangkabau di Bukittinggi dan Seminar di
Padang seperti yang telah dikemukakan di atas. Hal yang sama terjadi
pula di Aceh dengan pembentukan provinsi (1959) mempunyai status
istimewa, sesuai dengan keinginan orang Aceh sendiri, untuk
mengembangkan agama, termasuk hukumnya, adat-istiadat dan
pendidikan.
Hukum I slam di Indonesia 225
Sementara itu perlu dicatat bahwa setelah Indonesia merdeka,
khusus di alam Minangkabau telah berkembang pula suatu ajaran yang
mengatakan bahwa "hukum Islam adalah penyempurnaan hukum adat"
(Nasrun, 1957:23-29). Karena itu, kalau terjadi perselisihan antara
keduanya, yang dijadikan ukuran adalah yang sempurna yakni hukum
Islam. Dalam masyarakat Aceh pun terjadi perkembangan yang sama
yakni: soal-soal perkawinan, harta benda termasuk harta peninggalan
dikehendaki agar diatur menurut ketentuan hukum Islam. Bahkan
dalam masyarakat di daerah ini telah berkembang pula satu garis
hukum yang mengatakan bahwa adat atau hukum adat hanya dapat
berlaku dan dilaksanakan dalam masyarakat kalau tidak bertentangan
dengan hukum Islam. Ini merupakan kebalikan dari teori resepsi yang
mengatakan hukum Islam bukanlah hukum kalau belum diterima oleh
hukum adat, yang akan diuraikan lebih lanjut. Karena itu, sekarang,
demikian SajutiThalib (SajutiThalib, 1980:49) yang ada ialah receptio a
contrario. Artinya, hukum adat baru berlaku kalau tidak bertentangan
dengan hukum Islam. Dalam hubungan ini perlu dicatat pula pendapat
Mahadi yang mengatakan bahwa dalam melaksanakan Pasal 37
Undang-Undang Perkawinan, dapat didalilkan bahwa Pengadilan
Agama adakalanya dapat mempergunakan hukum adat sebagai dasar
untuk mengambil sesuatu keputusan. Namun, yang dipergunakan itu
tentulah bukan hukum adat yang bertentangan dengan hukum Islam
(contra legem), tetapi terbatas pada hukum adat yang serasi dengan asas-
asas hukum Islam (Mahadi, 1978:32). Ini sesuai dengan ajaran
mengenai sumber hukum Islam di atas yang mengatakan bahwa adat
yang baik dapat dijadikan sebagai salah-satu sarana atau cara
pembentukan hukum Islam. Artinya, adat yang baik dapat dipandang
sebagai hukum Islam.
Selain dari apa yang telah diutarakan di atas dapat dikemukakan
pula bahwa merenggangnya ikatan-ikatan tradisi- onal, perubahan
nilai-nilai dan pola organisasi masyarakat di daerah-daerah pedesaan,
terutama karena penggantian keluarga besar dengan keluarga kecil,
telah menguatkan kedudukan hukum Islam dalam masyarakat di
226 Hukum Islam

Indonesia. Hal ini ditunjang pula oleh kesadaran beragama yang makin
tumbuh melalui pendidikan yang berkembang setelah kemerdekaan.
Masalah hubungan hukum adat dengan hukum Islam ini mungkin
pula dapat dilihat dari sudut al-ahkam al-khamsah, yakni lima kategori
kaidah hukum Islam yang telah diuraikan di atas, yang mengatur
semua tingkah-laku manusia Muslim di segala lingkungan kehidupan
dalam masyarakat. Kaidah- kaidah haram (larangan), fard (kewajiban),
makruh (celaan) dan sunnat (anjuran) jauh lebih sempit ruang-
lingkupnya kalau dibandingkan dengan kaidah ja'iz atau mubah. Ke
dalam kategori kaidah terakhir inilah (ja’iz atau mubah) agaknya adat
dan bagian-bagian hukum adat itu dapat dimasukkan baik yang telah
ada sebelum Islam datang ke tanah air kita maupun yang tumbuh
kemudian, asal saja tentunya tidak bertentangan dengan aqidah
(keyakinan) Islam.. Melihat hubungan hukum adat dengan hukum
Islam dari sudut pandangan ini, akan memudahkan kita mempertautkan
adat dengan Islam, hukum adat dengan hukum Islam. Menurut T.M.
Hasbi Ash-Shiddieqy, di dalam kitab-kitab fiqih Islam banyak sekali
garis-garis hukum yang dibina atas dasar 'urf atau adat karena para ahli
hukum telah menjadikan 'urf atau adat sebagai salah-satu alat atau
metode pembentukan hukum Islam (Hasbi Ash-Shiddieqy, 1975: 479).
Pernyataan Hasbi ini adalah sejalan dengan salah- satu patokan
pembentukan garis hukum dalam Islam, seperti telah disebut di muka,
yang berbunyi: al 'adatu muhakkamat. Artinya, adat dapat dijadikan
hukum Islam. Yang dimaksud dengan adat dalam hubungan ini adalah
kebiasaan dalam pergaulan hidup sehari-hari yang tercakup dalam
istilah muamalah (kemasyarakatan), bukan mengenai 'ibadah.' Sebab,
230 Hukum Islam
mengenai ibadah orang tidak boleh menambah atau mengurangi apa
yang telah ditetapkan oleh Allah seperti yang tertulis di dalam
Alquran dan yang telah diatur oleh Sunnah Rasul-Nya seperti yang
termuat dalam kitab-kitab Hadis yang sahih.
Agar adat dapat dijadikan hukum Islam, beberapa syarat harus
dipenuhi. Menurut Sobhi Mahmassani, syarat-syarat tersebut adalah:
1. Adat itu dapat diterima oleh perasaan dan akal sehat serta diakui
oleh pendapat umum;
2. Sudah berulangkali terjadi dan telah pula berlaku umum dalam
masyarakat yang bersangkutan;
3. Telah ada pada waktu transaksi dilangsungkan;
4. Tidak ada persetujuan atau pilihan lain antara kedua belah pihak;
5. Tidak bertentangan dengan nas (kata, sebutan yang jelas dalam)
Alquran dan Sunnah Nabi Muhammad. Atau dengan kata lain,
tidak bertentangan dengan syariat Islam.
Sambil lalu perlu dicatat bahwa syarat 1 dan 2 yang disebut oleh
Sobhi Mahmassani (Sobhi Mahmassani, 1977: 195-196) tersebut
sesungguhnya tidak perlu dinyatakan lagi karena telah termasuk ke
dalam defmisi adat itu sendiri, yakni sesuatu yang telah berulangkali
terjadi, diterima baik oleh perasaan dan akal sehat serta telah berlaku
umum di dalam suatu masyarakat di suatu tempat pada suatu ketika.
KEDUDUKAN HUKUM ISLAM .DALAM
TATA HUKUM INDONESIA
Sebelum uraian ini dilanjutkan ada beberapa kata yang perlu
dijelaskan lebih dahulu, yaitu kedudukan dan tata hukum. Yang
dimaksud dengan kedudukan adalah tempat dan keadaan, tata hukum
adalah susunan atau sistem hukum yang berlaku di suatu daerah atau
negara tertentu. Dengan demikian yang akan dilukiskan dalam bagian
ini adalah tempat dan keadaan hukum Islam dalam susunan atau sistem
hukum yang berlaku di Indonesia.
Sistem hukum Indonesia, sebagai akibat dari perkembangan
228 Hukum Islam

sejarahnya bersifat majemuk. Disebut demikian karena sampai


sekarang di dalam Negara Republik Indonesia berlaku beberapa sistem
hukum yang mempunyai corak dan susunan sendiri. Yang dimaksud
adalah sistem hukum adat, sistem hukum Islam dan sistem hukum
Barat. Ketiga sistem hukum itu mulai berlaku di Indonesia pada waktu
yang berlainan. Hukum adat telah lama ada dan berlaku di Indonesia,
walaupun sebagai sistem hukum baru dikenal pada permulaan abad ke-
20. Hukum Islam telah ada di kepulauan Indonesia sejak orang Islam
datang dan bermukim di Nusantara ini. Menurut pendapat yang
disimpulkan oleh Seminar Masuknya Islam ke Indonesia yang
diselenggarakan di Medan 1963, Islam telah masuk ke Indonesia pada
abad pertama Hijriah atau pada abad ketujuh/kedelapan Masehi.
Pendapat lain mengatakan bahwa Islam baru sampai ke Nusantara ini
pada abad ke-13 Masehi (P.A. HoeseinDjajadiningrat, 1961:119).
Daerah yang pertama didatanginya adalah pesisir Utara pulau
Sumatera dengan pembentukan masyarakat Islam pertama di Peureulak
Aceh Timur dan kerajaan Islam pertama di Samudera Pasei, Aceh
Utara. Hukum Barat mulai diperkenalkan di Indonesia oleh pemerintah
VOC setelah menerima kekuasaan untuk berdagang dan "menguasai"
kepulauan Indonesia dari pemerintah Belanda pada tahun 1602. Mula-
mula hukum Barat hanya diberlakukan terhadap orang-orang Belanda
dan Eropa saja, tetapi kemudian, seperti telah dikemukakan pada
bagian yang lain, dengan berbagai peraturan dan upaya, dinyatakan
berlaku bagi orang Asia dan dianggap berlaku juga bagi orang
Indonesia yang menundukkan dirinya pada hukum Barat dengan
sukarela atau karena melakukan suatu perbuatan hukum tertentu di
lapangan keuangan, perdagangan dan ekonomi pada umumnya. Ketiga
sistem hukum itu diakui oleh peraturan perundang-undangan, tumbuh
dalam masyarakat, dikembangkan oleh ilmu pengetahuan dan praktik
peradilan.
Mengenai kedudukan hukum Islam dalam sistem hukum Indonesia
yang bersifat majemuk itu dapat ditelusuri dalam uraian berikut:
Ketika singgah di Samudera Pasai pada tahun 1345 Masehi, Ibnu
Hukum I slam di Indonesia 229
Batutah, seorang pengembara, mengagumi perkembangan Islam di
negeri tersebut. Ia mengagumi kemampuan Sultan Al-Malik Al-Zahir
berdiskusi tentang berbagai masalah Islam dan ilmu fiqih. Menurut
pengembara Arab Islam Maroko itu, selain sebagai seorang raja, Al-
Malik Al-Zahir yang menjadi Sultan Pasai ketika itu adalah juga
seorang fukaha (ahli hukum) yang mahir tentang hukum Islam. Yang
dianut di kerajaan Pasai pada waktu itu adalah hukum Islam mazhab
Syafi'i (Syaifuddin Zuhri, 1979:204-205). Menurut Hamka, dari
Pasailah disebarkan paham Syafi'i ke kerajaan-kerajaan Islam lainnya
di Indonesia. Bahkan setelah kerajaan Islam Malaka berdiri (1400-
1500 M) para ahli hukum Islam Malaka datang ke Samudera Pasai
untuk meminta kata putus mengenai berbagai masalah hukum yang
mereka jumpai dalam masyarakat (Hamka, 1976:53).
Hukum I slam di Indonesia 230
Dalam proses Islamisasi kepulauan Indonesia yang dilakukan oleh
para saudagar melalui perdagangan dan perkawinan, peranan hukum
Islam adalah besar (Al-Naguib Al-Attas, 1981: 247). Ini dapat dilihat
dari kenyataan bahwa kalau seorang saudagar Muslim hendak menikah
dengan seorang wanita pribumi, misalnya, wanita itu diislamkan lebih
dahulu dan pernikahannya kemudian dilangsungkan menurut ketentuan
hukum Islam. Keluarga yang tumbuh dari perkawinan ini mengatur
hubungan antar anggota-anggota- nya dengan kaidah-kaidah hukum
Islam atau kaidah-kaidah lama yang disesuaikan dengan nilai-nilai
Islam. Kalau salah seorang anggota keluarga itu meninggal dunia,
harta pening- galannya dibagi menurut hukum kewarisan Islam.
Pembentukan keluarga yang kemudian berkembang menjadi
masyarakat Muslim yang baru itu memerlukan peng- ajaran agama
baik untuk anak-anak maupun bagi orang-orang yang telah dewasa.
Secara tradisional biasanya, ilmu agama yang diberikan adalah (1)
ilmu kalam, (2) ilmu fiqih, dan (3) ilmu tasawuf. Namun, karena
sejarah masuknya dan keadaan di Indonesia, ilmu agama yang
diajarkan pada waktu itu dimulai dari (1) ilmu tasawuf, (2) ilmu fiqih
dan (3) ilmu kalam. Dengan sistem pendidikan dan perkawinan yang
demikian, secara damai menyebarlah ajaran Islam ke seluruh
kepulauan Indonesia (Hamka,1974:320).
Setelah agama Islam berakar dalam masyarakat, peranan saudagar
dalam penyebaran Islam digantikan oleh para ulama yang bertindak
sebagai guru dan pengawal Hukum Islam (S. Soebardi, 1978: 66).
Untuk menyebut sekadar contoh, sebagaimana telah disinggung juga
dalam uraian di muka, dapat dikemukakan nama Nuruddin Ar-Raniri
(yang hidup di abad ke-17) menulis buku hukum Islam dengan judul
Siratal Mustaqim (Jalan Lurus)*pada tahun 1628. Menurut Hamka, kitab
hukum Islam yang ditulis oleh Ar-Raniri ini merupakan kitab hukum
Islam pertama yang disebarkan ke seluruh Indonesia. Oleh Syaikh
Muhammad Arsyad Al-Banjari, yang menjadi Mufti di Banjarmasin,
kitab hukum Siratal Mustaqim itu diperluas dan diperpanjang uraiannya
dan dijadikan pegangan dalam menyelesaikan sengketa antara umat
Islam di daerah kesultanan Banjar. Namanya Sabilal Muhtadin, yang kini
menjadi nama sebuah masjid besar (Sabilal Muhtadin) di Banjarmasin.
Sabilal Muhtadin yang ditulis dengan tulisan Arab ini sekarang sudah
dapat dibaca dalam bahasa Indonesia, diterbitkan oleh Bina Ilmu
Surabaya (1985). Di daerah kesultanan Palembang dan Banten, terbit
pula beberapa kitab hukum Islam yang dijadikan pegangan oleh umat
Islam dalam menyelesaikan berbagai masalah dalam hidup dan
kehidupan mereka ditulis oleh Syaikh Abdu Samad dan Syaikh
Nawawi Al-Bantani (Hamka, 1974: 323).
Hukum Islam diikuti dan dilaksanakan juga oleh para pemeluk
agama Islam dalam kerajaan-kerajaan Demak, Jepara, Tuban, Gresik,
Ngampel dan kemudian Mataram. Ini dapat dibuktikan dari karya para
pujangga yang hidup di masa itu. Di antara karya tersebut dapat
disebut misalnya Sajinatul Hukum (Moh. Koesnoe, 1982: 2).
Dari beberapa contoh dan uraian singkat tersebut di atas dapatlah
ditarik suatu kesimpulan bahwa sebelum Belanda mengukuhkan
kekuasaannya di Indonesia, hukum Islam sebagai hukum yang berdiri
sendiri telah ada dalam masyarakat, tumbuh dan berkembang di
samping kebiasaan atau adat penduduk yang mendiami kepulauan
Nusantara ini.
Hukum Islam di Indonesia 235 Menurut

Soebardi, terdapat bukti-bukti yang menunjukkan bahwa Islam


berakar dalam kesadaran penduduk kepulauan Nusantara dan
mempunyai pengaruh yang bersifat normatif dalamkebudayaan
Indonesia (S. Soebardi, 1978:66). Pengaruh itu merupakan penetration
pasifique, tolerante et constructive (penetrasi secara damai, toleran dan
membangun) (de Josselin de Jong dalam Kusumadi, 1960:50).
Padaakhir abadkeenambelas (1596) organisasiperusahaan dagang
Belanda (VOC) merapatkan kapalnya di pelabuhan Ban ten, Jawa
Barat. Maksudnya semula adalah untuk ber- dagang, namun kemudian
haluannya berubah untuk mengua- sai kepulauan Indonesia. Untuk
mencapai maksud tersebut, pemerintah Belanda memberi kekuasaan
kepada perusahaan dagang Belanda yang bernama VOC (Vereenigde Oost
232 Hukum Islam

Indische Compagnie = Gabungan Perusahaan Dagang Belanda Hindia


Timur) itu untuk mendirikan benteng-benteng dan mengadakan
perjanjian dengan raja-raja Indonesia. Karena hak yang diperolehnya
itu, VOC mempunyai dua fungsi, pertama sebagai pedagang dan
kedua sebagai badan pemerintahan (Supomo Djokosutono, 1955: 1).
Untuk memantapkan pelaksanaan kedua fungsinya itu VOC
mempergunakan hukum Belanda yang dibawanya. Untuk itu di
daerah-daerah yang dikuasainya kemudian, VOC mem- bentuk badan-
badan peradilan untuk bangsa Indonesia. Namun, karena di dalam
praktik susunan badan peradilan yang disandarkan pada hukum
Belanda itu tidak dapat berjalan, VOC membiarkan lembaga-lembaga
asli yang ada dalam masyarakat berjalan terus seperti keadaan
sebelumnya (Supomo Djokosutono, 1955:8). Demikianlah misalnya,
karena di kota Jakarta dan sekitarnya hukum Belanda yang dinyatakan
berlaku untuk semua bangsa itu tidak dapat dilaksanakan, pemerintah
V OC terpaksa harus memperhatikan hukum yang hidup dan diikuti
oleh rakyat dalam kehidupan mereka sehari-hari (Supomo-
Djokosutono, 1955: 22). Dalam Statuta Jakarta (Batavia) tahun 1642
disebutkan bahwa mengenai soal kewarisan bagi orang Indonesia yang
beragama Islam harus dipergunakan hukum Islam, yakni hukum yang
dipakai oleh rakyat sehari-hari.
Berdasarkan pola pemikiran tersebut, pemerintah VOC meminta
kepada D.W. Freijer untuk menyusun suatu compendium (intisari atau
ringkasan) yang memuat hukum perkawinan dan hukum kewarisan
Islam. Setelah diperbaiki dan disempur- nakan oleh para penghulu dan
ulama Islam, ringkasan kitab hukum tersebut diterima oleh pemerintah
VOC (1760) dan dipergunakan oleh pengadilan dalam menyelesaikan
seng- keta yang terjadi di kalangan umat Islam di daerah-daerah yang
dikuasai VOC. Ringkasan kitab hukum yang disusun oleh Freijer itu
dalam kepustakaan terkenal dengan nama Compendium Freijer (Supomo-
Djokosutono, 1955:26).
Di samping Compendium Freijer banyak lagi kitab hukum yang
dibuat di zaman VOC, di antaranya ialah (1) kitab hukum Mogharraer
untuk Pengadilan Negeri Semarang. Kitab hukum ini adalah kitab
perihal hukum-hukum Jawa yang dialirkan dengan teliti dari kitab
hukum Islam Muharrar karangan Ar- Rafi'i, di dalamnya dikumpulkan
hukum Tuhan, hukum alam dan hukum anak negeri untuk
dipergunakan oleh Landraad (Pengadilan Negeri) Semarang
memutuskan perkara perdata dan pidana yang terjadi di kalangan
rakyat penduduk daerah itu. Mogharraer memuat sebagian besar hukum
pidana Islam (Supomo-Djokosutono, 1955:30). Selain itu ada juga
kitab
Hukum Islam di Indonesia 237 hukum

lain yang dibuat di zaman VOC yakni (2) Pepakem Cirebon yang berisi
kumpulan "hukum Jawa yang tua-tua" yang diterbitkan kembali oleh
Dr. Hazeu pada tahun 1905 (Soekanto, 1981: 24), dan (3) peraturan
yang dibuat untuk daerah Bone dan Goa di Sulawesi Selatan atas
prakarsa B.J.D. Clootwijk (Soekanto, 1981: 24).
Posisi Hukum Islam di zaman VOC ini berlangsung demikian,
selama lebih kurang dua abad lamanya (1602-1800).
Waktu pemerintahan VOC berakhir dan pemerintahan kolonial
Belanda menguasai sungguh-sungguh kepulauan Indonesia, sikapnya
terhadap hukum Islam mulai berubah, namun, perubahan itu
dilaksanakan secara perlahan, berangsur- angsur dan sistematis. Di
zaman Daendels (1808-1811) perubahan itu masih belum dimulai. Di
masa itu umumlah pendapat yang mengatakan bahwa hukum Islam
adalah hukum asli orang pribumi. Karena pendapat yang demikian,
Daendels mengeluarkan peraturan yang menyatakan bahwa perihal
(hukum) agama orang Jawa tidak boleh diganggu, juga hak-hak
penghulu mereka untuk memutus beberapa macam perkara tentang
perkawinan dan kewarisan harus diakui oleh alat kekuasaan
pemerintah Belanda. Di samping itu, ia juga menegaskan kedudukan
para penghulu sebagai tenaga ahli hukum Islam yaitu hukum asli orang
Jawa dalam susunan badan peradilan yang dibentuknya, sebagai
penasihat dalam suatu masalah atau perkara (Supomo-Djokosutono,
1955: 59).
Waktu Inggris menguasai Indonesia (1811-1816) keadaan tidak
berubah. Thomas S. Raffles yang menjadi Gubernur Jenderal Inggris
untuk kepulauan Indonesia pada waktu itu menyatakan bahwa hukum
yang berlaku di kalangan rakyat adalah hukum Islam. Ia mengatakan
the Koran . . . forms the general law ofjawa (Supomo-Djokosutono, 1955: 59).
Setelah Indonesia dikembalikan oleh Inggris kepada Belanda
berdasarkan konvensi yang ditandatangani di London pada tanggal 13
Agustus 1814, pemerintah kolonial Belanda membuat suatu undang-
undang tentang kebijaksanaan pemerintah, susunan pengadilan,
Hukum I slam di Indonesia 235
pertanian dan perdagangan dalam daerah jajahan(nya) di Asia.
Undang-undang ini mengakibatkan perubahan di hampir semua bidang
hidup dan kehidupan orang Indonesia, termasuk bidang hukum, yang
akan merugikan perkembangan hukum Islam selanjutnya.
Menurut H.J. Benda, pada abad ke-19, banyak orang Belanda,
baik di negerinya sendiri maupun di Hindia Belanda, sangat berharap
segera dapat menghilangkan pengaruh Islam dari sebagian besar orang
Indonesia dengan berbagai cara di antaranya melalui proses
Kristenisasi. Harapan itu didasarkan pada anggapan tentang
superioritas agama Kristen terhadap agama Islam dan sebagian lagi
berdasarkan kepercayaan bahwa sifat sinkretik agama Islam di
pedesaan Jawa akan memudahkan orang Islam Indonesia dikristenkan
jika dibandingkan dengan mereka yang berada di negara-negara
Muslim
lainnya (H.J. Benda, 1958:19). Banyak orang Belanda yang
©

berpendapat bahwa pertukaran agama penduduk menjadi Kristen akan


menguntungkan negeri Belanda karena penduduk pribumi yang
mengetahui eratnya hubungan agama mereka dengan agama
pemerintahnya, setelah mereka masuk Kristen, akan menjadi warga
negara yang loyal lahir batin kepada pemerintahnya (Deliar Noer,
1980: 27).
Selain itu, untuk mengekalkan kekuasaannya di Indonesia, pada
bagian kedua pertengahan abad yang lalu, pemerintah kolonial
Belanda mulai melaksanakan apa yang disebut dengan 'politik hukum yang
sadar' terhadap Indonesia. Yang dimaksud dengan politik hukum yang
sadar adalah politik hukum yang dengan sadar hendak menata dan
mengubah kehidupan hukum di Indonesia dengan hukum Belanda.
Politik ini didorong oleh keinginan untuk melaksanakan di Indonesia
kodifikasi hukum yang terjadi di negeri Belanda pada tahun 1838
berdasarkan anggapan bahwa hukum Eropa jauh lebih baik dari hukum
yang telah ada di Indonesia.
Untuk melaksanakan maksud tersebut pemerintah Belanda
mengangkat suatu komisi yang diketuai oleh Mr. Scholten van Oud
236 Hukum Islam

Haarlem yang bertugas antara lain untuk melakukan penyesuaian


undang-undang Belanda itu dengan keadaan istimewa di Hindia
Belanda.
Mengenai kedudukan hukum Islam dalam usaha pembaruan tata
hukum di Hindia Belanda, Mr. Scholten van Oud Haarlem yang
menjadi ketua komisi tersebut menulis sebuah nota kepada pemerintah
Belanda, yang berbunyi antara lain bahwa, "Untuk mencegah
timbulnya keadaan yang tidak menyenangkan,—mungkin juga
perlawanan—jika diadakan pelanggaran terhadap orang bumi putera
dan agama Islam, maka harus diikhtiarkan sedapat-dapatnya agar
mereka itu dapat tinggal tetap dalam lingkungan (hukum) agama serta
adat-istiadat mereka" (Jamaluddin Dt. Singo- mangkuto, 1978:53).
Mungkin pendapat Scholten inilah yang menyebabkan Pasal 75
R.R. atau Regeering Reglement (Peraturan yang menjadi dasar bagi
pemerintah Belanda menjalankan kekuasaannya di Indonesia, S.
1855:2) menginstruksikan kepada pengadilan untuk mempergunakan
"undang-undang agama, lembaga- lembaga dan kebiasaan" mereka,
kalau golongan bumi putera yang bersengketa, sejauh "undang-undang
agama, lembaga- lembaga dan kebiasaan-kebiasaan itu tidak
bertentangan dengan asas-asas kepatutan dan keadilan yang diakui
umum." Asas-asas kepatutan dan keadilan yang diakui umum itu
adalah asas-asas kepatutan dan keadilan hakim-hakim Belanda yang
menguasai pengadilan pada masa itu. Di samping Pasal 75 R.R dan
pendapat yang umum mengatakan bahwa hukum Islam berlaku bagi
mereka yang beragama Islam di Nusantara ini, mungkin, pendapat
Scholten van Oud Haarlem di atas pulalah yang mendorong
pemerintah Hindia Belanda men- dirikan Pengadilan Agama dijawa
dan Madura (1882) karena di dalam Pasal 78 ayat 2 R.R ditegaskan
bahwa dalam hal terjadi perkara perdata antara sesama orang bumi
putera atau dengan mereka yang disamakan dengan mereka, maka
mereka itu tunduk pada putusan hakim agama atau kepala masyarakat
mereka yang menyelesaikan perkara itu menurut undang-undang
agama atau ketentuan-ketentuan lama mereka (Sajuti Thalib, 1980:
Hukum I slam di Indonesia 237
25).
Pengadilan Agama, akan diuraikan lebih lanjut di bagian lain,
yang lahir dengan nama yang salah, yakni Priesterraad (Majelis atau
Pengadilan Pendeta) pada tahun 1882 didirikan di setiap tempat di
mana terdapat Pengadilan Negeri atau Landraad. Wewenangnya tidak
ditentukan secara jelas dalam Staatsblad 1882 nomor 152 yang
menjadi dasar eksistensinya. Oleh karena itu, pengadilan agama
sendiri yang menentukan perkara-perkara yang dipandangnya termasuk
ke dalam
Hukum Islam di Indonesia 241
lingkungan kekuasaannya yakni perkara-perkara yang berhubungan
dengan pernikahan, segala jenis perceraian, mahar, nafkah, sah
tidaknya anak, pewalian, kewarisan, hibah, sadakah, baitulmal dan
wakaf (Notosusanto, 1963:10). Dengan demikian, secara singkat dapat
dikatakan bahwa yang menjadi inti wewenang Pengadilan Agama pada
waktu itu adalah hal-hal yang berhubungan dengan hukum perkawinan
dan hukum kewarisan Islam. Penentuan lingkungan wewenang yang
dilakukan sendiri oleh Pengadilan Agama ini adalah kelanjutan praktik
peradilan dalam masyarakat bumiputera yang beragama Islam yang
telah berlangsung sejak zaman pemerintahan VOC dan kerajaan-
kerajaan Islam sebelumnya. Pembentukan Pengadilan agama dengan
Staatsblad 1882 nomor 152 itu sesungguhnya adalah pengakuan resmi
dan pengu- kuhan sesuatu yang telah ada, tumbuh dan berkembang
dalam masyarakat (Habibah Daud, 1982: 2).
Sepanjang abad ke-19, sebelum Christian Snouck Hurgronje
mengemukakan pendapatnya pada akhir abad itu (1893), di kalangan
ahli hukum dan ahli kebudayaan Hindia Belanda dianut suatu pendapat
yang mengatakan bahwa di Indonesia berlaku hukum Islam. Pendapat
ini dikemukakan antara lain oleh Salomon Keyzer (1823-1868),
seorang ahli bahasa dan ahli kebudayaan Hindia Belanda. Ia banyak
menulis tentang (hukum) Islam di Jawa dan bahkan mener- jemahkan
Alquran ke dalam bahasa Belanda (Moh. Daud Ali, 1982: 4).
Pendapat Salomon Keyzer tentang hukum Islam yang berlaku di
kalangan orang-orang Jawa (Indonesia) itu dikuatkan oleh Lodewijk
Willem Christian van den Berg (1845-1927). Menurut ahli hukum
Belanda ini hukum mengikuti agama yang dianut seseorang. Jika orang
itu memeluk agama Islam, hukum Islamlah yang berlaku baginya
(Moh. Daud Ali, 1982: 4).
Karena pendapatnya itu, maka untuk memudahkan para pejabat
pemerintah Hindia Belanda mengenai hukum Islam yang berlaku di
kalangan rakyat pemeluk agama Islam di Jawa terutama, pada tahun
1884 ia menulis asas-asas hukum Islam menurut ajaran Hanafi dan
Hukum I slam di Indonesia 239
Syafi'i. Delapan tahun kemudian (1892) terbit pula tulisannya tentang
hukum keluarga dan hukum kewarisan Islam di Jawa dan Madura
dengan beberapa penyimpangan. Diusahakannya juga agar hukum
Islam dijalankan oleh hakim-hakim Belanda dengan bantuan penghulu
atau kadi Islam (Sajuti Thalib, 1980:6).
Karena pendapat dan karyanya itu, LWC van den Berg disebut
sebagai orang yang menemukan dan memperlihatkan berlakunya
hukum Islam di Indonesia. Menurut van den Betg, orang Islam
Indonesia telah melakukan resepsi hukum Islam dalam keseluruhannya
dan sebagai satu kesatuan: receptio in complexu. Ini berarti bahwa
menurut van den Berg yang diterima oleh orang Islam Indonesia tidak
hanya bagian-bagian hukum Islam tetapi keseluruhannya sebagai satu
kesatuan. Karena itu pula pendapat van den Berg ini disebut teori
receptio in complexu.*

'Istilah receptio atau receptie dalam kepustakaan hukum mengandung arti


bahwa norma hukum tertentu atau seluruh aturan hukum tertentu diambil-alih dari
perangkat hukum lain. Dalam hubungan ini menurut sejarah hukum Eropa, resepsi
telah dilakukan oleh hukum Romawi sebelumnya dan hukum Romawi telah diresepsi
pula oleh hukum banyak negara di Eropa, ada yang banyak ada pula yang sedikit
(sebagian).
Christian Snouck Hurgronje (1857-1936) Penasihat Pemerintah
Hindia Belanda urusan Islam dan bumi putera, menentang teori receptio
in complexu yang dikemukakan oleh LWC van den Berg tersebut di atas.
Berdasarkan penyelidi- kannya terhadap orang-orang Aceh dan Gayo
di Banda Aceh sebagaimana termuat dalam bukunya De Atjehers (yang
telah diterjemahkan oleh Sullivan ke dalam bahasa Inggris dengan
judul The Achehnese yang kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa
Indonesia dengan judul: Aceh di Mata Kolonialis (1985) oleh Ng.
Singarimbun, dan kawan-kawan) dan Het Gajoland, yang sudah
diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia dengan Tanah Gayo dan
Penduduknya (1966) ia berpendapat bahwa yang berlaku bagi orang
Islam di kedua daerah itu bukanlah hukum Islam, tetapi hukum adat.
Ke dalam hukum adat memang telah masuk pengaruh hukum Islam,
240 Hukum Islam

tetapi pengaruh itu baru mempunyai kekuatan hukum kalau telah


benar-benar diterima oleh hukum adat.
Pendapat ini kemudian terkenal dengan receptie theorie (teori resepsi)
yang mempunyai banyak pengikut di kalangan para sarjana hukum,
lebih-lebih setelah teori itu dikembangkan secara sistematis dan ilmiah
oleh Cornelis van Vollenhoven dan Betrand ter Haar serta
dilaksanakan dalam praktik oleh murid-murid dan pengikut-
pengikutnya (Moh. Daud Ali, 1982:4).
Teori resepsi yang mula-mula dicetuskan oleh Christian Snouck
Hurgronje ini mendapat tantangan dari tokoh dan pemikir hukum
Islam di Indonesia. Menurut mereka, teori yang dikemukakan oleh
Snouck Hurgronje itu mempunyai maksud-maksud politik untuk
menghapuskan hukum Islam dari Indonesia dan mematahkan
perlawanan bangsa Indonesia terhadap kekuasaan pemerintah kolonial
yang dijiwai oleh hukum Islam. Dengan teori tersebut, kata mereka,
Belanda hendak mematikan pertumbuhan hukum Islam dalam masya-
rakat yang dilaksanakan sejalan dengan pengejaran, pembu- angan,
dan pembunuhan pemuka dan ulama-ulama besar Islam seperti di
Aceh, Sumatera Timur dan Barat misalnya (Sajuti Thalib, 1980:19).
Oleh karena itu, tidaklah mengherankan kalau setelah Indonesia
merdeka banyak kritik yang dialamatkan pada teori resepsi itu dan
pada tokohnya, terutama Betrand ter Haar. Profesor Hazairin
almarhum (1905-1975) seorang ahli Hukum Adat dan Hukum Islam
terkemuka dari Fakultas Hukum Universitas Indonesia, salah seorang
murid ter Haar tetapi tidak sepaham dengan ajaran yang
dikembangkan oleh guru- nya itu menyatakan bahwa 'teori resepsi'
yang diciptakan oleh kekuasaan kolonial Belanda untuk merintangi
kemajuan Islam di Indonesia itu adalah 'teori iblis' karena mengajak
orang Islam untuk tidak mematuhi dan melaksanakan perintah Allah
dan Sunnah Rasul-Nya. Menurut teori resepsi, demikian Hazairin,
hukum Islam ansich (itu sendiri) bukanlah hukum kalau hukum Islam
itu belum diterima ke dalam dan menjadi hukum adat. Dan kalau telah
diterima oleh hukum adat (se- tempat), hukum Islam yang demikian,
Hukum I slam di Indonesia 241
tidak lagi dikatakan hukum Islam, tetapi hukum adat. Hukum adatlah
yang menentukan apakah hukum Islam itu hukum atau bukan
(Hazairin, 1964: 4).
Profesor Hazairin lalu menunjuk teori resepsi mengenai
kewarisan di Jawa yang sangat mengganggu dan menentang iman
orang Islam. Menurut penganut teori resepsi, orang Islam di Jawa dan
Madura hanya ditundukkan pada hukum fara'id kalau mereka berbagi
warisan di depan Raad atau Pengadilan Agama. Kalau mereka berbagi
warisan di bawah tangan di desanya, mereka membagi harta
peninggalan itu menurut hukum adat. Kenyataan ini dijadikan bukti
oleh penganut teori resepsi untuk mengatakan bahwa hukum
kewarisan Islam belum diterima oleh hukum adat Jawa.
Karena pandangan dan saran penganut teori resepsi inilah pada
tahun 1922 pemerintah Belanda membentuk sebuah komisi untuk
meninjau kembali wewenang Priesterraad atau Raad Agama di Jawa dan
Madura yang tahun 1882 secara resmi berwenang mengadili perkara
kewarisan orang-orang Islam menurut ketentuan hukum Islam. Komisi
yang dipimpin oleh P.A. Hoesein Djajadiningrat tetapi di bawah
pengaruh ter Haar Bzn ini memberi rekomendasi kepada Gubernur
Jenderal Hindia Belanda untuk meninjau kembali wewenang
Pengadilan Agama. Dengan alasan bahwa hukum kewarisan Islam
belum diterima sepenuhnya oleh hukum adat, maka melalui Pasal 2a
ayat (1) S. 1937: 116 dicabutlah wewenang Raad atau Pengadilan
Agama di Jawa dan Madura untuk mengadili perkara warisan. Dan,
demikianlah, kata Hazairin, dengan Staatsblad tahun 1937 No. 116 itu,
usaha giat raja-raja Islam di Jawa menyebarkan hukum Islam di
kalangan rakyat- nya distop oleh pemerintah kolonial sejak 1 April
1937 (Hazairin, 1964: 6).
Pengadilan adalah tempat penegakan hukum yang berlaku di
suatu tempat pada suatu masa. Pengadilan Agama adalah tempat
penegakan hukum Islam dalam Negara Republik Indonesia. Sebagai
perwujudan lembaga peradilan, Pengadilan Agama telah sejak lama
ada di Nusantara ini. Bentuknya mengalami perubahan dan
242 Hukum Islam

perkembangan. Dalam masa-masa permulaan Islam datang di


Indonesia, ketika pemeluk agama Islam hidup di dalam masyarakat
yang belum sepenuhnya mengenai ajaran Islam, jika terjadi sengketa
antara pemeluk agama Islam, mereka menyerahkan penyelesaian
sengketa itu kepada orang yang mempunyai ilmu pengetahuan
keislaman yang dianggap mampu menyelesaikan sengketa. Ini dapat
juga terjadi mengenai soal-soal yang bukan persengketaan, seperti
misalnya pelaksanaan akad nikah seorang wanita yang tidak
mempunyai wali dalam perkawinan. Dalam Islam, penyelesaian
masalah seperti ini, disebut t ahkim (Z.A. Nuh, 1982: 9).
Setelah kelompok-kelompok masyarakat Islam mengatur dirinya
dalam susunan pemerintahan di dalam kerajaan- kerajaan Islam di
Nusantara, para raja atau sultan mengangkat orang-orang yang
mempunyai pengetahuan tertentu untuk menyelesaikan suatu sengketa.
Bentuk peradilannya ber- macam-macam yang dapat dilihat misalnya
dalam susunan pengadilan di daerah-daerah peradilan adat dahulu di
Aceh, Sumatera Timur, Sumatera Selatan, dan lain-lain. Demikian
juga halnya dengan di Kalimantan Barat, Selatan dan Timur, Sulawesi
Selatan dan Nusa Tenggara.
Dalam kerajaan Mataram di Jawa, jabatan keagamaan merupakan
bagian yang tidak terpisahkan dari jabatan pemerintahan pada
umumnya. Ditingkat kecamatan, kabupaten dan di pusat kerajaan ada
pejabat keagamaan yang disebut 'penghulu.' Para penghulu berfungsi
juga sebagai hakim atau kadi yang bertugas menyelesaikan sesuatu
sengketa. Oleh karena mereka menyelenggarakan sidang-sidangnya di
serambi masjid, pengadilan itu disebut "pengadilan surambi". Fungsi
penghulu ini tetap ada kendatipun kemudian secara berangsur-angsur
wilayah Mataram jatuh ke tangan pemerintahan kolonial Belanda
(Z.A. Nuh, 1982:9).
Mulai tahun 1830, setelah pemerintah Belanda menguasai
kepulauan Indonesia, Pengadilan Agama yang diselenggara- kan oleh
para penghulu dan telah ada di Jawa sejak abad ke enambelas itu
ditempatkan di bawah pengawasan pengadilan kolonial, yakni Landraad
Hukum I slam di Indonesia 243
atau Pengadilan Negeri melalui ketentuan bahwa keputusan
Pengadilan Agama tidak dapat dilaksanakan sebelum Ketua Landraad
menyatakan perse- tujuannya atas pelaksanaan keputusan itu dengan
executoire verklaring (pernyataan dapat dijalankan).
Pada tahun 1882 pemerintah kolonial Belanda menata Pengadilan
Agama di atas. Pengadilan yang diselenggarakan oleh para penghulu
disebut priesterraad karena Belanda menganggap penghulu sama dengan
pendeta dalam agama Kristen. Didirikan di setiap kabupaten di mana
terdapat Pengadilan Negeri atau Landraad.
Dalam percakapan sehari-hari priesterraad disebut Raad Agama,
suatu istilah yang sampai sekarang masih terdengar di sana-sini.
Susunan hakimnya kolegial, terdiri dari seorang penghulu sebagai
ketua dengan tiga sampai delapan penghulu lainnya sebagai anggota.
Wewenangnya tidak disebutkan dalam Staatsblad tahun 1882 nomor 153
tersebut, mungkin karena dianggap sudah jelas yakni menyelesaikan
soal-soal yang berkenaan dengan masalah keluarga (perkawinan dan
kewarisan) serta wakaf. Keputusannya tetap tidak boleh dilaksanakan
sendiri, tetapi harus dengan fiat executie (setuju untuk dilaksanakan)
Ketua Pengadilan Negeri.
Adanya Pengadilan Agama di samping Pengadilan Negeri itu
dikecam oleh Snouck Hurgronje (pencipta teori resepsi). Menurut
Snouck Hurgronje kebijaksanaan pemerintah Belanda untuk mengakui
dan mengadakan Pengadilan Agama di samping Pengadilan Negeri
merupakan "kekeliruan yang patut disesalkan," karena dengan
demikian, menurut Snouck Hurgronje, perkembangan hukum Islam
akan terarah dan diakui, sedang ia sendiri menghendaki hukum Islam
harus dibiarkan begitu saja tanpa suatu pengakuan resmi secara tertulis
dari pejabat peradilan negara yang dibebani tugas mengawasinya
melalui executoire verklaring (Z.A. Nuh, 1982: 1).
Kritikyang dilancarkan oleh Christian Snouck Hurgronje
mengenai Pengadilan Agama mempengaruhi para pejabat kolonial.
Sementara itu para ahli hukum adat seperti van Vollenhoven, ter Haar
yang menguasai arena politik hukum Belanda pada bagian pertama
244 Hukum Islam

abad ke-20 telah pula berhasil meletakkan landasan pengembangan


hukum adat dan menarik simpati orang Belanda yang tidak senang
kepada hukum Islam.
Oleh karena itu, atas pengaruh kelompok ini, pada tahun 1922 —
seperti telah dikemukakan di atas—pemerintah Belanda membentuk
sebuah komisi yang bertugas meninjau kembali kedudukan dan
wewenang Raad Agama. Tugas dan susunan komisi ini tidak disenangi
umat Islam, sebab selain anggota yang mewakili kepentingan umat
Islam yang duduk dalam komisi itu tidak seimbang dengan wakil-
wakil Belanda dan orang-orang Indonesia yang diangkat oleh Belanda
untuk mewakili kepentingannya, juga dalam komisi tersebut duduk
Betrand ter Haar penyebar dan pembela aktif teori resepsi.
Demikianlah, komisi yang pada hakikatnya dikuasai sepe- nuhnya
oleh Betrand ter Haar itu berhasil melaksanakan tugasnya dan
memberi rekomendasi kepada Gubernur Jenderal Hindia Belanda
untuk meninjau kembali wewenang Pengadilan Agama. Nama
Priesterraad mereka anjurkandiganti dengan Penghulu Gerecht (Pengadilan
Penghulu) yang terdiri dari penghulu sebagai hakim, dibantu oleh
sebanyak-banyaknya dua orang penasihat dan seorang panitera.
Pegawai peradilan akan mendapat gaji tetap untuk mencegah
pemungutan biaya tambahan yang sering dilakukan oleh para pejabat
Pengadilan Agama dari mereka yang bersengketa sekadar untuk meme-
nuhi kebutuhan hidup mereka yang tidak digaji tetap pada waktu itu.
Disarankan juga oleh komisi untuk membentuk sebuah Mahkamah
Islam Tinggi sebagai peradilan banding bagi keputusan-keputusan
semua Pengadilan Agama di Jawa dan Madura.
Yang menjadi masalah adalah, inti saran yang dikemuka- kan oleh
komisi tersebut karena menyangkut wewenang Pengadilan Agama.
Yang dimaksud adalah pencabutan wewenang Pengadilan Agama
mengadili masalah wakaf dan masalah kewarisan. Menurut pendapat para
pemimpin Islam, pencabutan wewenang Pengadilan Agama mengadili
masalah kewarisan merupakan langkah mundur ke zaman "jahiliyah"
dan dipandang menentang sendi-sendi iman orang Islam.
Hukum I slam di Indonesia 245
Menurut Daniel S. Lev yang menjadi kekuatan penggerak di
belakang usaha mengubah wewenang Pengadilan Agama itu adalah ter
Haar dan para peminat ahli hukum adat yang berkerumun di sekitarnya
di Sekolah Tinggi Hukum (RHS) di Jakarta (Batavia) dan di sekitar
van Vollenhoven di Leiden. Dengan mempergunakan momentum yang
tepat untuk mene- gakkan hukum adat dan merubuhkan hukum Islam,
ter Haar dan teman-temannya mengemukakan dalih bahwa dalam
kenyataannya hukum Islam tidak mendalam pengaruhnya pada aturan-
aturan kewarisan di Jawa dan di mana pun juga di Indonesia. Menurut
mereka hukum Islam mengenai kewarisan sedikit sekali hubungannya
dengan rasa keadilan hukum masyarakat Indonesia, karena Hukum
Kewarisan Islam itu bersifat individual sedang Hukum Kewarisan
Adat bersifat komunal. Menurut mereka, karena hukum Islam
mengenai kewarisan belum sepenuhnya diresepsi atau diterima oleh
hukum adat Jawa, maka wewenang untuk mengadili soal kewarisan
yang selama ini berada pada Pengadilan Agama di Jawa dan Madura,
diserahkan kepada Landraad (Pengadilan Negeri) yang akan mengadili
dan memutus perkara kewarisan menurut hukum adat yang sesuai
dengan perasaan keadilan hukum masyarakat setempat (Daniel S. Lev,
1972: 20).
Staatsblad nomor 153 tahun 1931 yang menjadi dasar pembentukan
Pengadilan Penghulu dan yang mengubah susunan serta wewenang
Pengadilan Agama mengikuti rekomendasi yang dimajukan oleh
komisi tersebut di atas, pelaksanaannya ditangguhkan, karena
pemerintah kolonial Belanda merasa tidak mempunyai uang untuk
menggaji para hakim agama. Selain itu, juga karena reaksi-reaksi
kalangan Islam.
Namun, setelah reaksi-reaksi itu mereda, pada tahun 1937,
dengan S. 1937 nomor 116, wewenang mengadili perkara kewarisan
dialihkan dari Pengadilan Agama ke Pengadilan Negeri. Tetapi,
menurut penelitian Daniel S. Lev, setelah pengalihan wewenang itu
dilaksanakan, tidak terdapat bukti- bukti yang menunjukkan bahwa
Landraad lebih tepat mengadili perkara kewarisan dari Pengadilan
246 Hukum Islam

(Raad) Agama. Tidak pula dapat dibuktikan bahwa Landraad-Landraad itu


dalam kenyataannya lebih,^mampu menerapkan hukum adat yang
sesuai dengan perasaan keadilan hukum masyarakat setempat dari
Pengadilan Agama. Ini disebabkan antara lain karena keba- nyakan
para hakim Landraad adalah orang-orang Belanda yang tidak
mengetahui hukum adat yang sebenarnya, sehingga dalam
keputusannya selalu terlihat kecenderungan untuk menyelipkan
konsep-konsep keadilan ala Eropa (Daniel S. Lev, 1972: 21).
Demikianlah, begitu penyerahan wewenang itu dilakukan, segera
timbul masalah. Landraad atau Pengadilan Negeri Bandung yang
kebanyakan hakimnya adalah orang Belanda memutuskan suatu
perkara dalam kasus kewarisan seorang yang meninggal dunia tidak
mempunyai anak kandung, tetapi mempunyai anak angkat dan
beberapa orang kemenakan. Anak angkatnya itu menuntut seluruh
harta peninggalan bapak angkatnya. Ia menyatakan dirinya sebagai
satu-satunya ahli waris bapak angkatnya yang telah meninggal dunia
itu. Pengadilan Negeri Bandung mengabulkan tuntutan tersebut dan
memberikan seluruh harta peninggalan kepadanya. Dengan demikian,
sebagai anak angkat, ia mengesampingkan semua kemenakan pewaris
baik kemenakan laki-laki maupun kemenakan perempuan.
Keputusan Landraad Bandung ini menimbulkan heboh. Timbullah
reaksi dari organisasi Islam. Sebagai contoh, misalnya, reaksi
Perhimpunan Penghulu dan Pegawainya (PPDP) yang mengadakan
kongres di Surakarta pada tanggal 16 Mei 1937. Dalam kongresnya itu
para penghulu dengan tegas menyatakan bahwa keputusan Landraad
Bandung itu jelas-jelas bertentangan dengan hukum Islam. Gabungan
organisasi- organisasi Islam, Majelis Islam A'la Indonesia (MIAI)-pun
memprotes kehadiran S. 1937 nomor 116 yang menjadi sumber
kehebohan tersebut. Menurut MIA I, Staatsblad 1937 nomor 116 itu
telah menggoyahkan kedudukan hukum Islam dalam masyarakat
Muslim Indonesia. Pada muktamarnya di Surabaya tahun 1938, MIAI
menyatakan dengan tegas bahwa "mempersempit kaum Muslimin
menjalankan (hukum) agamanya merupakan perkosaan terhadap Islam"
Hukum I slam di Indonesia 247
(Z.A. Nuh, 1980: 21).
Kiyai R.M. Adnan, seorang hakim agama terkemuka yang
menjadi salah seorang pimpinan PPDP dalam salah-satu ke- sempatan
bertemu dengan Dr. G.F. Pijper yang menjadi penasihat Belanda
urusan pribumi pada waktu itu (22 Juli 1940) dengan tegas
menyatakan bahwa (1) penerapan hukum adat dalam perkara-perkara
kewarisan bagi masyarakat Muslim Indonesia, merusak hubungan
hidup kekeluargaan Islam. Selain itu, katanya pula, (2) menurut
Sunnah Nabi Muhammad, aturan-aturan kewarisan merupakan bagian
agama Islam. Karena itu kalau seorang Muslim tidak dapat mengikuti
atau melaksanakan hukum kewarisan yang merupakan bagian
agamanya itu, ini berarti bahwa kemerdekaan- nya untuk
melaksanakan agamanya telah dibatasi (Daniel S. Lev, 1972: 23).
Pembicaraan Kiyai Adnan dan usaha PPDP serta MIAI untuk
mencegah pelaksanaan S. 1937 nomor 116 itu lebih lanjut, ternyata
tidak dihiraukan oleh pemerintah Belanda. Staatsblad baru tersebut tetap
berlaku dan dilaksanakan walau- pun mendapat protes dan tantangan
dari kalangan Islam.
Walaupun secara resmi Pengadilan Agama telah kehilangan
kekuasaannya atas perkara kewarisan sejak tahun 1937, namun
demikian Daniel S. Lev, Pengadilan Agama di Jawa masih tetap
menyelesaikan perkara-perkara kewarisan dengan cara-cara yang
sangat mengesankan. Dalam kenyataan, banyak Pengadilan Agama
yang menyisihkan satu atau dua hari dalam seminggu khusus untuk
menerima masalah-masalah kewarisan. Di beberapa daerah,
Pengadilan Agama bahkan menerima perkara kewarisan lebih banyak
dari Pengadilan Negeri (Daniel S. Lev, 1972:199). Ungkapan Daniel
S. Lev itu dibuktikan juga oleh penelitian Ny. Habibah Daud, di
Daerah Khusus Ibukota Jakarta Raya. Menurut hasil penelitian itu,
pada tahun 1976, dari 1081 orang yang mengajukan masalah kewarisan
pada pengadilan di Jakarta, 47 orang (4,35%) memajukan masalah-
nya pada Pengadilan Negeri, 1034 orang (96,65%) pada Pengadilan
Agama (Habibah Daud, 1982:10).
248 Hukum Islam

Ada dua kategori masalah kewarisan yang dihadapkan kepada


Pengadilan Agama di Indonesia. Kategori pertama adalah perkara yang
sebetulnya tidak ada persengketaan yang terjadi di dalamnya. Bila
seorang meninggal dunia, keluarga yang ditinggalkannya memohon
bantuan Pengadilan Agama. Pengadilan Agama akan memberikan fatwa
(nasihat) kepada para pemohon dengan menentukan siapa atau siapa-
siapa yang menjadi ahli waris dan berapa bagiannya masing-masing.
Tidak ada peraturan mengenai fatwa waris ini. Ia tumbuh dan
berkembang dari kebiasaan untuk memenuhi kebutuhan masyarakat.
Mula-mula tidak mempunyai bentuk, tapi kemudian fatwa itu diberi
bentuk tertulis dan disebut Surat Keterangan Ahli Waris atau Surat
Keterangan Tentang Pembagian Malwaris (harta warisan) dengan
Perdamaian.
249 Hukum Isiam
Fatwa-fatwa yang dikeluarkan oleh Pengadilan Agama dapat
mencakup dan menyelesaikan jenis-jenis persoalan kewarisan apa saja
yang dimohonkan oleh yang berkepentingan. Bukan hanya tentang
siapa dan berapa bagian masing-masing, tetapi juga kalau para ahli
waris itu menghendakinya, Hakim Pengadilan Agama dapat membantu
mereka melaksanakan pembagiannya bagian demi bagian. Hibah dan
wasiat juga dapat diselesaikan dengan bantuan hakim Pengadilan
Agama. Ini semua berjalan, walaupun secara formal Pengadilan
Agama di Jawa dan Madura tidak mempunyai wewenang hukum untuk
melakukan tindakan hukum atas perkara-perkara itu. Namun, atas
dasar bantuan (hukum) tidak resmi ini Pengadilan Agama mampu dan
benar-benar dapat menyelesaikan tugasnya atas perkara-perkara
kewarisan. Dan fatwa- fatwa Pengadilan Agama itu selalu didasarkan
pada hukum Islam (Daniel S. Lev, 1972: 200).
Sementara itu perlu dicatat bahwa di Jawa sudah sejak lama fatwa
Pengadilan Agama diterima oleh notaris dan para hakim Pengadilan
Negeri sebagai alat pembuktian yang sah atas hak milik dan tuntutan
yang berkenaan dengan itu. Demikian juga halnya dengan pejabat
pendaftaran tanah di Kantor Agraria.
Kategori kedua adalah yang benar-benar bersifat perseng- ketaan.
Pada Pengadilan Agama di Jawa dan Madura, di sana hakim dan
paniteranya bersikap formal-birokratis, perseng- ketaan kewarisan
yang dimajukan kepada mereka biasanya segera diteruskan kepada
Pengadilan Negeri. Namun, sering terjadi, para hakim agama
menerima perkara-perkara itu dan mencoba memutuskannya. Hasil
penyelesaiannya, yang terbaca, tetap berupa fatwa, tetapi dalam
penyelesaian ini ada yang kalah ada yang menang. Yang kalah
mungkin akan mengambil keputusan untuk memajukan
persengketaannya ke Pengadilan Negeri. Para hakim agama yang
menyelesaikan masalah kewarisan yang dimajukan kepadanya, dalam
praktik, sering berperanan sebagai pemutus perkara bukan sebagai
pemberi fatwa/nasihat saja. Akibatnya, fatwa waris sering tampak
sebagai suatu keputusan dan memang demikianlah dianggap oleh para
250 Hukum Islam

pihak yang berkepentingan. Namun, karena fatwa itu sendiri tidak


dapat dipaksakan, Pengadilan Agama di Jawa selalu berusaha
mempertemukan para pihak yang berkepentingan pada suatu bentuk
perdamaian, sehingga fatwa itu mempunyai kekuatan hukum untuk
dilaksanakan. Sebagai suatu bentuk perdamaian dan bukan semacam
keputusan yang dikeluarkan oleh Pengadilan, fatwa waris dalam
bentuk ini dapat dikuatkan oleh Pengadilan Negeri (Daniel S. Lev,
1972: 201).
Peranan hakim agama seperti yang dikemukakan di atas,
disebabkan karena mereka yakin bahwa wewenang mengadili perkara
kewarisan seyogianya ada pada Pengadilan Agama seperti sebelum 1
April 1937.
Dari uraian di atas jelas agaknya bahwa Pengadilan Agama benar-
benar telah menyelesaikan banyak sekali soal kewarisan. Karena itu
dapat dimajukan pertanyaan, mengapa rakyat Indonesia yang beragama
Islam pergi ke Pengadilan Agama, tidak hanya sekadar meminta fatwa
tetapi juga meminta keputusan tentang kewarisan?
Jawabannya mungkin terletak pada keadaan dan sikap masyarakat
sendiri terhadap masalah tersebut. Berikut ini beberapa jawaban dapat
dikemukakan: pertama, karena di
Jawa pada umumnya orang tidak mempermasalahkan wewenang
hukum Pengadilan Negeri atau Pengadilan Agama. Kenang-kenangan
bahwa Raad Agama dahulu, nama yang masih sering disebut
masyarakat, biasa memeriksa dan memutuskan perkara kewarisan
belum terhapus sama sekali. Lagi pula, pola-pola umum lalu-lintas
hukum tidak sepenuhnya diketahui oleh masyarakat. Kalau Pengadilan
Agama mereka kenal sebagai tempat menyelesaikan perkara
pernikahan, Pengadilan Negeri mereka anggap sebagai tempat
berperkara pidana. Karena itu, kecuali kalau dilarang oleh pengacara
atau penasihat hukum atau diberi penjelasan oleh pamongpraja, rakyat
tetap akan menghadap pada pengadilan yang lebih mereka kenal dalam
(menyelesaikan) masalah-masalah keke- luargaan. Kedua, pengalihan
wewenang mengadili soal kewarisan yang dilakukan oleh pemerintah
Hukum I slam di Indonesia 251
kolonial Belanda dahulu dari Pengadilan Agama ke Pengadilan Negeri
ternyata hanya kebetulan saja efektif pada beberapa keadaan dan
beberapa tempat tertentu di Jawa. Di tempat yang pengaruh Islamnya
kuat, rakyat senantiasa menghadap Pengadilan Agama yang mereka
anggap tepat dan benar dalam menyelesaikan perkara kewarisan,
walaupun Pengadilan Agama sendiri mungkin akan meneruskan
perkara-perkara itu ke Pengadilan Negeri. Dalam hal ini, lingkungan
sosial, agama dan politik sangat berpengaruh dalam memilih
pengadilan mana yang akan dimintai bantuannya. Karena sanksi-
sanksi keagamaan, tampaknya kedudukan Pengadilan Agama jauh
lebih kuat dari penetapan peraturan-peraturan yang berlaku. Lagi pula,
bagi mereka yang meminta bantuan Pengadilan Agama, apa pun yang
dilakukan dan diputuskan di sana, dianggap bersifat Islam. Ketiga, cara-
cara penyelesaian masalah kewarisan di Pengadilan Agama dirasakan
enak dan fleksibel. Pengadilan Agama jauh lebih informal,
kekeluargaan dan "tidak menakutkan" kalau dibandingkan dengan
Pengadilan Negeri. Bersamaan dengan kelebihan lain yang ada pada
mereka, Pengadilan Agama dapat bertindak cepat. Jarang sekali Peng-
adilan Agama memerlukan waktu lebih dari beberapa hari untuk
menyelesaikan satu masalah kewarisan, sedang di Pengadilan Negeri
penyelesaian perkara bisa berlangsung berbulan-bulan, bahkan sampai
bertahun-tahun kalau salah- satu pihak naik banding atau kasasi
(Daniel S. Lev, 1972:212).
Dari uraian di atas jelas bahwa pendapat pendukung teori resepsi
yang menyatakan bahwa Hukum Islam tidak mencerminkan rasa
keadilan rakyat Indonesia dan bukan merupakan kenyataan hukum
dalam masyarakat, tidaklah benar. Memang, pendapat tertera pada
kalimat terakhir ini hanyalah alasan belaka, sedang tujuannya, seperti
yang dikemukakan oleh Hazairin, mencabut atau menghapuskan
kedudukan hukum Islam dari lingkungan tata hukum Hindia Belanda.
Pendapat ter Haar yang senantiasa mempertentang- kan hukum Islam
dengan hukum adat secara tajam, tidaklah pula didukung oleh
kenyataan masyarakat. Di semua daerah di seluruh Nusantara rakyat
252 Hukum Islam

sendiri tidak mempertentangkan adat dengan Islam. Di Minangkabau


sendiri misalnya, adat dan Islam dapat hidup berdampingan dan telah
ditentukan pula tempat dan kedudukannya masing-masing dalam ma-
syarakat. Oleh karena itu, maka ada penulis yang mengatakan bahwa,
"Sebenarnya konflik hukum Islam dengan hukum adat adalah isu
buatan rezim kolonial untuk mengukuhkan penjajahan Belanda di
Indonesia" (Dahlan Ranumihardjo, 1978:83).
Dalam hubungan dengan tujuan teori resepsi ini perlu di-
kemukakan bahwa menentukan hukum yang berlaku adalah tindakan
politik hukum. Ter Haar sebagai orang yang menguasai pelaksanaan
politik hukum pemerintah kolonial pada bagian kedua permulaan abad
keduapuluh menyatakan dengan tegas bahwa hukum adat, bukan
Hukum Kewarisan Islam yang berlaku bagi orang Islam di Jawa dan
Madura. Pendapat ter Haar ini diterima oleh pemerintah Belanda,
yang tercermin dalam Pasal 134 ayat (2) I.S. baru (1929) yang
berbunyi: "Akan tetapi sekadar tidak diatur secara lain dengan
ordonansi, maka perkara perdata antara orang Islam dengan orang
Islam, harus diperiksa oleh hakim agama, kalau dikehendaki oleh
hukum adat." Ini berarti bila terjadi perkara perdata antara sesama
orang Islam, akan diselesaikan oleh hakim agama Islam 'apabila
hukum adat mereka menghendakinya’ dan sejauh tidak ditentukan lain
dengan suatu ordonansi. Bermulalah suatu masa di tanah air kita: para
ahli dan sarjana hukum menganggap hukum Islam bukanlah hukum di
Indonesia yang sembilan puluh persen penduduknya beragama Islam.
Pasal 134: (2) I.S. (Indische Staatsregeling: "Undang-undang Dasar
Hindia Belanda tahun 1929) inilah, menurut Hazairin, yang menjadi
landasan legal teori resepsi yang sudah mulai dikembangkan secara
sistematis pada permulaan abad ke-20, dilaksanakan melalui S. 1931:
53 tentang perubahan susunan dan kekuasaan Pengadilan Penghulu jo
S. 1937: 116 mengenai susunan dan kekuasaan Pengadilan Agama di
Jawa dan Madura. Seperti telah dikatakan di atas, teori tersebut meng-
ajarkan bahwa hukum Islam baru boleh dijalankan bilamana telah
menjadi hukum yang hidup di dalam masyarakat adat sedangkan
Hukum I slam di Indonesia 253
menurut Alquran, hukum Islam berlaku dan mesti dilaksanakan oleh
pemeluk agama Islam atau diberlakukan terhadap seseorang sejak ia
masuk agama Islam, semenjak dia mengucapkan syahadatain (dua
kalimat syahadat).
Usaha untuk mengendalikan dan menempatkan hukum Islam
dalam kedudukannya semula, seperti telah disebutkan di muka, terus
dilakukan oleh para pemimpin Islam dalam berbagai kesempatan yang
terbuka. Ketika Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan
terbentuk dan bersidang di zaman pemerintahan Jepang untuk
merumuskan dasar negara dan menentukan hukum dasar bagi negara
Indonesia merdeka di kemudian hari, para pemimpin Islam yang
menjadi anggota badan tersebut terus berusaha untuk "men- dudukkan"
hukum Islam dalam Negara Republik Indonesia kelak. Demikianlah,
setelah bertukar pikiran melalui musya- warah, para pemimpin
Indonesia yang menjadi perancang dan perumus Undang-Undang
Dasar Republik Indonesia yang kemudian dikenal dengan UUD 1945
mencapai persetujuan yang dituangkan ke dalam suatu piagam yang
kelak terkenal dengan nama Piagam Jakarta (22-6-1945). Di dalam
Piagam Jakarta yang kemudian diterima oleh Badan Penyelidik Usaha
Kemerdekaan Indonesia sebagai Pembukaan atau Mukad- dimah
Undang-Undang Dasar, dinyatakan antara lain bahwa negara
'berdasarkan kepada Ketuhanan, dengan kewajiban menjalankan
syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya' (Endang
S. Anshari, 1981:143). Tujuh kata terakhir ini, yang semula tercantum
dalam Piagam Jakarta, oleh Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia
tanggal 18-8-1945 diganti dengan kata 'Yang Maha Esa' dan
ditambahkan pada perkataan 'Ketuhanan,' sehingga susunan
rumusannya dalam Pembukaan tersebut menjadi 'Ketuhanan Yang
Maha Esa.' Kata-kata Ketuhanan Yang Maha Esa di dalam Pembukaan
tersebut ditegaskan kedudukannya dalam Batang Tubuh UUD 1945
Pasal 29 ayat (1). Sebagai garis hukum rumusan tafsirnya antara lain
telah diberikan oleh Hazairin. Menurut Prof. Hazairin, negara
berdasarkan atas Ketuhanan Yang Maha Esa yang tercantum dalam
254 Hukum Islam

Pasal 29 ayat (1) hanya mungkin ditafsirkan dalam 'enam'


kemungkinan tafsiran. Tiga di antaranya (mengulangi apa yang telah
disebut dalam uraian di muka) yang berhubungan langsung dengan
pembicaraan ini adalah: (1) "Dalam Negara RI tidak boleh terjadi atau
berlaku sesuatu yang bertentangan dengan kaidah-kaidah Islam bagi
umat Islam, atau yang bertentangan dengan kaidah-kaidah agama
Nasrani bagi umat Nasrani, atau yang bertentangan dengan kaidah-
kaidah agama Hindu Bali bagi orang-orang Hindu Bali, atau yang
bertentangan dengan kesusilaan agama Budha bagi orang-orang
Budha, (2) Negara RI wajib menjalankan syariat Islam bagi orang
Islam, syariat Nasrani bagi orang Nasrani dan syariat Hindu Bali bagi
orang Hindu Bali, sekadar menjalankan syariat tersebut memerlukan
peran- taraan kekuasaan Negara, (3) Syariat yang tidak memerlukan
bantuan kekuasaan Negara untuk menjalankannya dan karena itu dapat
dijalankan sendiri oleh setiap pemeluk agama yang bersangkutan,
menjadi kewajiban pribadi terhadap Allah bagi setiap orang itu, yang
dijalankannya sendiri menurut agamanya masing-masing (Hazairin,
1981:30).
Menurut Hazairin isi Piagam Jakarta itu diperkuat oleh Dekrit
Presiden tanggal 5 Juli 1959. Dalam Dekrit tersebut Soekarno yang
ikut menandatangani Piagam Jakarta, selaku Presiden Republik
Indonesia/Panglima Tertinggi Angkatan
Perang, menyatakan keyakinannya bahwa Piagam Jakarta tertanggal 22
Juni 1945 menjiwai Undang-Undang Dasar 1945 dan merupakan satu
rangkaian kesatuan dengan konstitusi tersebut. Keyakinan presiden itu
bukan semata-mata keyakinan, tetapi pernyataan (constatering) dari
rangkaian fakta- fakta yang sesungguhnya dan sebenarnya terjadi.
Dengan merujuk pada Dekrit itu pula, Profesor Notonago- ro
berpendapat bahwa "kata-kata Ketuhanan Yang Maha Esa dalam
Pembukaan UUD 1945, setelah tanggal 5 Juli 1959, tanggal
ditetapkannya dan berlakunya Dekrit Presiden, isi artinya mendapat
tambahan, dan lengkapnya dengan tam- bahan itu adalah
"(ber)kesesuaian dengan hakikat Tuhan Yang Maha Esa dengan
Hukum I slam di Indonesia 255
kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya
menurut dasar kemanusiaan yang adil dan beradab (Notonagoro,
1971:70). Begitulah juga halnya dengan isi arti Pasal 29 ayat (1)
Undang-Undang Dasar 1945. Dan memang di dalam kehidupan hukum,
kata Profesor Notonagoro dikenal pembentukan hukum dengan jalan
inter- pretasi atau tafsir. "Pengakuan adanya Piagam Jakarta sebagai
dokumen historis," demikian Perdana Menteri Juanda pada tahun
1957, "bagi pemerintah berarti pengakuan pula akan pengaruhnya
terhadap Undang-Undang Dasar 1945. Pengaruh tersebut tidak hanya
mengenai Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 saja, tetapi juga
mengenai Pasal 29 Undang- Undang Dasar 1945, pasal itu selanjutnya
harus menjadi dasar bagi kehidupan hukum di bidang keagamaan"
(Kembali ke UUD 1945, 1959: 85).
Dalam rangka pembicaraan kedudukan hukum Islam dalam sistem
hukum Indonesia, pada tahun 1950 dalam konperensi Kementerian
Kehakiman di Salatiga, Profesor
Hazairin telah mengemukakan pandangan beliau mengenai masalah
hubungan hukum agama (Islam) dengan hukum adat. Kata Hazairin
(dikutip): "Hukum agama masih terselip di dalam hukum adat yang
memberikan tempat dan persandaran kepadanya, tetapi sekarang kita
lihat hukum agama itu sedang bersiap hendak membongkar dirinya
dari ikatan adat itu. Selanjutnya kata beliau, "Arti istimewanya hukum
agama itu ialah bahwa hukum agama itu bagi rakyat Islam
dirasakannya sebagai bagian dari perkara imannya. Jika berhasil
hukum agama itu melepaskan persandarannya pada hukum adat, maka
hukum agama itu akan mencari persandarannya kepada sesuatu
undang-undang, sebagaimana juga hukum adat itu bagi berlakunya
secara resmi mempunyai persandaran pada undang-undang (Hazairin,
1974:93). Dengan kata-kata itu Hazairin hendak mengatakan agar
berlakunya hukum Islam untuk orang Islam Indonesia tidak
disandarkan pada hukum adat, tetapi pada penunjukan peraturan
perundang-undangan sendiri. Sama halnya dengan berlakunya hukum
adat di Indonesia berdasarkan sokongan peraturan perundang-
256 Hukum Islam

undangan.
Dengan menunjuk pada Ketetapan MPRS 1960/11 yang
mengatakan bahwa dalam menyempurnakan undang-undang
perkawinan dan hukum waris supaya diperhatikan adanya faktor-faktor
agama, dan lain-lain, Hazairin menunjukkan bukti bahwa teori resepsi
telah tidak berlaku lagi. Beliau mengatakan pula bahwa IS sebagai
Konstitusi Hindia Belanda yang menjadi landasan legal teori resepsi,
dengan sendirinya tidak berlaku lagi karena telah terhapus oleh UUD
1945 (Hazairin, 1981:91).
Pendapat Hazairin mengenai teori resepsi yang mula- mula beliau
kemukakan dalam Konferensi Kementerian
Kehakiman di Salatiga (1950) di atas, dan kemudian dikembangkan
dalam tulisan, ceramah dan kuliah-kuliah beliau di Fakultas Hukum
UI, bergema pula dalam simposium masalah- masalah dasar hukum di
Indonesia yang diselenggarakan oleh Lembaga Ilmu Pengetahuan
Indonesia (1976). Dalam kesimpulan yang disepakati pada simposium
tersebut dinyatakan bahwa teori resepsi tidak dapat lagi dipergunakan
untuk melihat kenyataan dan masalah-masalah (dasar) hukum di
Indonesia (Kesimpulan simposium, 1978). Pernyataan ini
dikemukakan oleh peserta simposium setelah mempelajari isi
Undang'Undang Perkawinan (1974).
Dalam tulisan beliau Hukum Adat dan Hukum Islam di Indonesia setelah
Perang Dunia II (1978) Profesor Mahadi, mantan Ketua Pengadilan
Tinggi Sumatera Utara, Pengajar Ilmu Hukum USU dan Ketua Tim
Pengkajian Hukum Adat Badan Pembinaan Hukum Nasional, berkata
sebagai berikut (dikutip), "Penelitian terhadap Undang-Undang
Perkawinan membawa kami kepada pendapat, bahwa sejak berlakunya
undang- undang ini sampailah ajal teori 'resepsi', seperti yang telah
diajarkan di zaman Hindia Belanda. Apabila dahulu diteori- kan,
bahwa hukum Islam baru berlaku di Indonesia untuk penganut agama
Islam apabila sesuatu Hukum Islam telah nyata-nyata diresepsi
(diterima MDA) oleh dan dalam hukum adat, maka dengan misalnya,
Pasal 2 ayat (1) yang mengatakan bahwa perkawinan adalah sah
Hukum I slam di Indonesia 257
apabila dilakukan menurut agama, maka jelas, hukum Islam telah
langsung menjadi sumber hukum. Pengadilan dalam
mempertimbangkan per- mohonan seorang suami untuk beristri lebih
dari seorang, antara lain harus mengingat apakah hukum perkawinan
calon suami mengizinkan hal demikian. Penjelasan Pasal 3 undang-
undang tersebut, menurut beliau menunjuk kepada hukum Islam
sepanjang mengenai suami pemeluk agama Islam. Agama Islam pun
merupakan 'sumber hukum langsung tanpa melalui hukum adat' untuk
menilai apakah sesuatu perjanjian perkawinan boleh disahkan ataupun
tidak (Pasal 29 ayat 2). Bila perkawinan putus karena perceraian, harta
bersama diatur menurut hukum agama Islam, sepanjang mengenai diri
orang-orang pemeluk agama Islam (penjelasan Pasal 37). Dalam
undang-undang perkawinan disebutkan bahwa pengadilan bagi orang
yang beragama Islam ialah Pengadilan Agama. Dengan demikian kata
beliau, dapat diambil sebagai titik-tolak bahwa Pengadilan Agama
akan mempergunakan Hukum Islam, sekurang-kurangnya asas-asas
hukum Islam dalam menyelesaikan satu sengketa. Meskipun dapat
didalilkan bahwa melalui Pasal 37 jo penjelasannya, Pengadilan
Agama adakalanya mempergunakan hukum adat, namun yang diper-
gunakan itu tentulah bukan hukum adat yang bertentangan dengan
hukum Islam (contra legem), tetapi terbatas pada hukum adat yang serasi
dengan asas-asas hukum Islam." Selain itu, perlu dikemukakan bahwa
dalam rumusan wakaf, Pasal 1 Peraturan Pemerintah Republik
Indonesia No. 28 tahun 1977 menunjuk pada ajaran agama Islam.
Dalam hubungan ini demikian Prof. Mahadi lebih lanjut, perlu
disebut pula keputusan Mahkamah Agung tanggal 13-2- 1975 No. 172
K/Sip/1974 yang menyatakan bahwa, "Berdasarkan keterangan saksi-
saksi yang didengar tentang hukum kebiasaan yang berlaku, maka
apabila seorang pewaris meninggal dunia di kampung Hinako
Kabupaten Nias, untuk menentukan cara pembagian harta warisannya,
hukum warisan yang dipakai adalah bertitik-tolak kepada agama
Hukttm Islam di Indonesia 258
yang dianut oleh si pewaris yang meninggalkan harta warisan
tersebut, yakni: apabila si pewaris yang meninggal beragama Islam
maka pembagian hartanya dilakukan menurut hukum Islam dan
apabila si pewaris yang meninggal beragama Kristen maka pembagian
hartanya dilakukan menurut adat."
Keputusan ini diambil karena ada seseorang yang beragama
Kristen menuntut hak dalam sesuatu harta warisan berdasarkan hukum
adat sedangkan si pewaris menganut agama Islam. Ternyata di daerah
yang bersangkutan yakni di Nias, sudah menjadi kebiasaan bahwa
yang menjadi ukuran ialah agama si pewaris. Oleh karena dalam hal
ini pewaris beragama Islam, maka yang harus dipergunakan adalah
hukum kewarisan Islam.
Demikianlah, dalam keputusan tersebut baik Pengadilan Tinggi
Medan maupun Mahkamah Agung tidak lagi memakai istilah atau
kata-kata "hukum Islam yang telah diresepsi di dalam atau oleh
Hukum Adat setempat."
Selain yang telah dikemukakan di atas, perlu dikemukakan pula
bahwa berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Fakultas Hukum
Universitas Indonesia, bekerja sama dengan Badan Pembinaan Hukum
Nasional, pada tahun 1978 dan 1979 di empat belas daerah yang
tersebar di seluruh Indonesia meliputi pulau-pulau Sumatera, Jawa,
Kalimantan Selatan dan Nusa Tenggara Barat (lima daerah pada tahun
1978 dan sembilan daerah pada tahun 1979) terlihat kecenderungan
yang kuat di kalangan masyarakat untuk memberlakukan hukum Islam
bagi umat Islam. Delapan puluh persen (80%) jumlah responden yang
ditanyai dalam penelitian itu menun- jukkan keinginannya untuk
diberlakukannya hukum Islam bagi mereka daripada hukum yang lain.
Fakta ini membukti- kan bahwa hukum Islam sebagai hukum yang
berkembang di tengah-tengah masyarakat mereka, dipandang sebagai
hukum yang dapat memenuhi rasa keadilan, khususnya di lapangan
perkawinan dan kewarisan (Laporan Penelitian, 1978/1979:102).
Dari uraian tersebut di atas dapatlah disimpulkan, bahwa kini, di
Indonesia (1) hukum Islam yang disebut dan ditentukan oleh
Hukum I slam di Indonesia 259
peraturan perundang-undangan dapat berlaku langsung tanpa harus
melalui hukum adat, (2) Republik Indonesia dapat mengatur sesuatu
masalah sesuai dengan hukum Islam, sepanjang pengaturan itu hanya
berlaku bagi pemeluk agama Islam, (3) kedudukan hukum Islam
dalam sistem hukum Indonesia adalah sama dan sederajat dengan
hukum adat dan hukum Barat, karena itu (4) hukum Islam juga
menjadi sumber pembentukan hukum nasional yang akan datang Di
samping hukum adat, hukum Barat dan hukum lainnya yang tumbuh
dan berkembang dalam Negara Republik Indonesia.
HUKUM ISLAM DAN PEMBINAAN HUKUM NASIONAL
Hukum Islam adalah hukum yang bersifat universal, karena ia
merupakan bagian dari agama Islam yang universal sifatnya.
Sebagaimana halnya dengan agama Islam yang universal sifatnya itu,
hukum Islam berlaku bagi orang Islam di mana pun ia berada, apa pun
nasionalitasnya. Hukum nasional adalah hukum yang berlaku bagi
bangsa tertentu di suatu negara nasional tertentu. Dalam kasus
Indonesia, hukum nasional mungkin juga berarti hukum yang
dibangun oleh bangsa
Indonesia setelah Indonesia merdeka dan berlaku bagi pen- duduk
Indonesia, terutama warga Negara Republik Indonesia, sebagai
pengganti hukum kolonial dahulu.
Untuk membangun dan membina hukum nasional diperlukan
politik hukum tertentu. Politik hukum nasional Indonesia pokok-
pokoknya ditetapkan dalam Garis-Garis Besar Haluan Negara, dirinci
lebih lanjut oleh Menteri Kehakiman Republik Indonesia. Untuk
melaksanakannya, telah didirikan satu lembaga yang (kini) bernama
Badan Pembinaan Hukum Nasional, disingkat BPHN atau
Babinkumnas. Melalui koordinasi yang dilakukan oleh badan ini
diharap- kan, di masa yang akan datang, akan terwujud satu hukum
nasional di tanah air kita.
Untuk mewujudkan satu hukum nasional bagi bangsa Indonesia
yang terdiri dari berbagai suku bangsa dengan kebudayaan dan agama
260 Hukum Islam

yang berbeda ditambah lagi dengan keanekaragaman hukum yang


ditinggalkan oleh penguasa kolonial dahulu, bukanlah pekerjaan yang
mudah. Pemba- ngunan hukum nasional yang akan berlaku bagi semua
warga negara tanpa memandang agama yang dipeluknya, haruslah
dilakukan dengan hati-hati, karena di antara agama yang dipeluk oleh
warga negara Republik Indonesia ada agama yang tidak dapat dicerai
pisahkan dari hukum. Agama Islam, misalnya, adalah agama yang
mengandung hukum yang mengatur hubungan manusia dengan
manusia lain dan benda dalam masyarakat. Oleh karena eratnya
hubungan antara agama (dalam arti sempit) dengan hukum dalam
Islam, ada sarjana yang mengatakan, seperti telah disebut di muka,
bahwa Islam adalah agama hukum dalam arti kata yang sesungguhnya.
Oleh karena itu, dalam pembangunan hukum nasional di negara yang
mayoritas penduduknya beragama Islam, unsur hukum agama harus
benar-benar diperhatikan. Untuk itu perlu wawasan dan kebijaksanaan
yang jelas. Uraian berikut adalah langkah-langkah kebijaksanaan
pembangunan hukum nasional dan kedudukan hukum Islam dalam
pembinaan hukum tersebut.
Tentang kedudukan hukum Islam dalam pembangunan hukum
nasional, baru jelas tempatnya dalam pidato pengarahan Menteri
Kehakiman Ali Said (waktu cetakan ini diterbitkan telah pula menjadi
man tan Ketua Mahkamah Agung Republik Indonesia dan almarhum)
pada upacara pembukaan Sim- posium Pembaruan Hukum Perdata
Nasional di Yogyakarta tanggal 21 Desember 1981. Menurut beliau,
di samping hukum adat dan hukum eks-Barat, hukum Islam yang
merupakan salah-satu komponen tata hukum Indonesia, menjadi salah-
satu sumber bahan baku bagi pembentukan hukum nasional. Kata-kata
Menteri Kehakiman Ali Said ini, dijelas- kan secara rinci delapan
tahun kemudian (1989) oleh peng- gantinya Menteri Kehakiman
Ismail Saleh. Namun, sebelum mengetahui tempat hukum Islam dalam
pembangunan hukum nasional, ada baiknya kalau diikuti lebih dahulu
langkah- langkah kebijaksanaan pembangunan hukum nasional,
menurut Menteri Kehakiman Republik Indonesia.
Hukum I slam di Indonesia 261
Dalam tiga bagian tulisannya di harian Kompas awal Juni 1989,
Menteri Kehakiman Ismail Saleh telah merinci langkah- langkah
kebijaksanaan pembangunan hukum nasional itu. Tulisan tersebut
sangat menarik untuk dikaji, karena merupakan rincian dimensi dan
wawasan pembangunan hukum nasional yang secara jelas pernah
dikemukakan oleh Menteri
Kehakiman yang memegang kebijaksanaan politik hukum di tanah air
kita. Oleh karena itu, perlu dikutip agak panjang dalam buku ini,
supaya intinya tetap, tidak terbuang.
Menurut Ismail Saleh, sepanjang yang dapat penulis tang- kap,
ada tiga dimensi pembangunan hukum nasional. Dimensi pertama
adalah 'dimensi pemeliharaan' yaitu dimensi untuk memelihara tatanan
hukum yang ada, walaupun sudah tidak sesuai lagi dengan
perkembangan keadaan. Dimensi ini perlu ada untuk mencegah
kekosongan hukum dan merupakan konsekuensi logis Pasal II Aturan
Peralihan Undang-Undang Dasar 1945. Upaya pembangunan hukum
dalam dimensi ini, menurut Menteri Kehakiman, berorientasi pada
kemaslahatan bersama. Dimensi kedua adalah 'dimensi pembaruan'
yaitu dimensi yang merupakan usaha untuk lebih meningkatkan dan
menyempurnakan pembangunan hukum nasional. Kebijaksanaan yang
dianut dalam dimensi ini adalah, Di samping pembentukan peraturan
perundang-undangan yang 'baru,' akan diusahakan 'penyempurnaan'
peraturan perundang-undangan yang ada sehingga sesuai dengan
kebutuhan baru di bidang- bidang yang bersangkutan. Ini berarti
"melengkapi apa yang belum ada dan menyempurnakan yang sudah
ada." Undang- Undang Peradilan Agama, misalnya (MDA), yang telah
disahkan oleh Presiden Republik Indonesia akhir tahun 1989 termasuk
ke dalam dimensi pembaharuan. Dimensi ketiga adalah 'dimensi
penciptaan' yaitu dimensi dinamika dan kreativitas. Dalam dimensi ini
diciptakan suatu perangkat peraturan perundang-undangan yang baru,
yang sebelumnya memang belum pernah ada. Undang-undang tentang
lingkungan hidup, misalnya, dapat dikemukakan sebagai contoh
perangkat hukum dalam dimensi penciptaan.
262 Hukum Islam

Karena hukum nasional kita harus mampu mengayomi dan


memayungi seluruh bangsa dan negara dalam segala aspek
kehidupannya, maka, menurut Menteri Kehakiman, dalam
merencanakan pembangunan hukum nasional, kita wajib menggunakan
satu wawasan nasional yang mendukung kehidupan berbangsa dan
bernegara dalam Negara Republik Indonesia. 'Wawasan nasional' itu
terdiri dari tiga segi yang bersama-sama merupakan tritunggal yang
tidak dapat dipi- sahkan satu dari yang lain, yaitu: 'wawasan
kebangsaan, wawasan nusantara dan wawasan bhinneka tunggal ika.'
Dipandang dari 'wawasan kebangsaan' sistem hukum nasional itu
harus berorientasi penuh pada aspirasi serta 'kepentingan' bangsa serta
mencerminkan cita-cita hukum, tujuan dan fungsi hukum, ciri dan
tujuan kehidupan berbangsa dan bernegara Indonesia. Dilihat dari
sudut pandang ini, hukum nasional Indonesia yang akan datang
haruslah merupakan hukum modern, sesuai dengan perkembangan
serta kebutuhan zaman, namun tetap berpijak pada kepribadian bangsa.
Pengertian 'kepentingan bangsa' di atas, menurut Menteri Kehakiman,
adalah kepentingan seluruh bangsa Indonesia yang menyatu dalam
kehidupan berbangsa dan bernegara. Wawasan kebangsaan yang
dimaksud di sini, demikian Menteri Kehakiman lebih lanjut, bukanlah
wawasan kebangsaan yang sempit dan tertutup, tetapi wawasan ke-
bangsaan yang terbuka untuk memperhatikan kepentingan generasi
yang akan datang dan mampu menyerap nilai-nilai hukum modern.
Karena wawasan yang dianut dalam pembinaan hukum nasional
adalah 'wawasan nusantara' yang menginginkan adanya satu kesatuan
hukum nasional, maka usaha unifikasi di bidang hukum harus sejauh
mungkin dilaksanakan. Untuk itu perlu diciptakan iklim kehidupan di
segala bidang yang dapat mendorong tumbuhnya kesadaran hidup di
bawah satu hukum bagi semua golongan masyarakat. Ini berarti bahwa
seluruh golongan masyarakat akan diatur oleh 'satu sistem' hukum
yang sama, yaitu 'sistem hukum nasional.'
Berdasarkan dua wawasan itu, maka walaupun unifikasi hukum
merupakan tujuan pembangunan hukum nasional, akan tetapi demi
Hukum I slam di Indonesia 263
keadilan, hukum nasional yang akan diwujudkan itu harus juga
memperhatikan perbedaan latar belakang sosial budaya dan perbedaan
kebutuhan hukum yang dimiliki oleh kelompok-kelompok tertentu
dalam masyarakat. Oleh karena itu, di samping wawasan nusantara
tersebut, pengembangan, pembangunan dan pembinaan hukum
nasional harus juga memperhatikan kebutuhan-kebutuhan hukum
khusus golongan rakyat tertentu, sehingga kelompok masyarakat
tersebut merasa mendapat perlakuan yang seadil- adilnya. Oleh karena
itu, di samping wawasan kebangsaan dan wawasan nusantara perlu
'wawasan bineka tunggal ika' dalam pembangunan hukum nasional.
Dengan mempergunakan wawasan bineka tunggal ika berdampingan
dengan wawasan nusantara dan wawasan kebangsaan dalam usaha
pembangunan hukum, maka unifikasi hukum yang diusaha- kan itu
sekaligus juga menjamin tertuangnya aspirasi, nilai- nilai dan
kebutuhan hukum kelompok masyarakat ke dalam sistem hukum
nasional, yang dengan sendirinya harus sesuai, setidak-tidaknya tidak
bertentangan dengan aspirasi dan kehidupan berbangsa dan bernegara.
Dengan mempergunakan ketiga wawasan itu secara serentak dan
terpadu berbagai asas dan kaidah hukum Islam dan hukum adat akan
menjadi bagian integral hukum nasional, baik hukum nasional yang
tertulis maupun hukum nasional yang tidak tertulis.
Dari inti uraian Menteri Kehakiman di atas, jelas agaknya wujud
pembangunan hukum nasional di masa yang akan datang dan sistem
hukum nasional kita. Tidak perlu lagi tambahan keterangan.
Mengenai 'kedudukan hukum Islam,' secara khusus telah pula
disebutkan oleh Menteri Kehakiman. Dalam bagian terakhir tiga
tulisan tersebut yang berjudul Eksistensi Hukum Islam dan Sumbangannya
Terhadap Hukum Nasional, beliau menyatakan antara lain ". . . tidak dapat
dipungkiri bahwa sebagian terbesar rakyat Indonesia terdiri dari
pemeluk agama Islam." Agama Islam, kata beliau lebih lanjut,
mempunyai hukum Islam dan secara substansi, terdiri dari dua bidang
yaitu (1) bidang ibadah dan (2) bidang muamalah. Pengaturan hukum
yang bertalian dengan bidang ibadah bersifat rinci, sedang pengaturan
264 Hukum Islam

mengenai muamalah atau mengenai 'segala aspek kehidupan


masyarakat' (huruf miring dari saya: MDA) tidak bersifat rinci. Yang
ditentukan dalam bidang terakhir ini hanya prinsip-prinsipnya saja.
Pengembangan dan aplikasi prinsip-prinsip tersebut diserahkan
sepenuhnya kepada para penyelenggara negara dan pemerintahan
yakni para ulil 'amri. Dan oleh karena hukum Islam memegang peranan
penting dalam membentuk serta membina ketertiban sosial umat Islam
dan mempengaruhi segala segi kehidupannya, maka jalan terbaik yang
dapat ditempuh ialah mengusaha- kan secara ilmiah adanya
transformasi norma-norma hukum Islam ke dalam hukum nasional,
sepanjang ia, menurut Menteri Kehakiman, sesuai dengan Pancasila
dan Undang- Undang Dasar 1945 dan relevan dengan kebutuhan
hukum khusus umat Islam. Menurut Menteri Kehakiman, cukup
banyak asas yang bersifat universal terkandung dalam hukum Islam
yang dapat digunakan dalam menyusun hukum nasional.
Dengan kutipan yang panjang ini, jelas kiranya langkah- langkah
yang akan diambil dalam mewujudkan hukum nasional. Dan jelas pula
kedudukan hukum Islam didalamnya. Dengan kata lain, dalam
pembangunan hukum nasional, hukum Islam, di samping hukum-
hukum yang lain akan menjadi sumber bahan baku penyusunan hukum
nasional.
Ini berarti bahwa sesuai dengan kedudukannya sebagai salah-satu
sumber bahan baku dalam pembentukan hukum nasional, hukum Islam
sesuai dengan kemauan dan kemampuan yang ada padanya, dapat
berperan aktif dalam proses pembinaan hukum nasional. Kemauan dan
kemampuan hukum Islam itu harus ditunjukkan oleh setiap orang
Islam, baik pribadi maupun kelompok, yang mempunyai komitmen
terhadap Islam dan ingin hukum Islam berlaku bagi umat Islam dalam
Negara Republik Indonesia ini.
Dalam tahap perkembangan pembinaan hukum nasional sekarang
(tahun sembilan puluhan), yang diperlukan oleh Badan Pembinaan
Hukum Nasional yakni badan yang ber- wenang merancang dan
menyusun hukum nasional yang akan datang adalah asas-asas dan
Hukum I slam di Indonesia 265
kaidah-kaidah hukum Islam dalam segala bidang, baik yang bersifat
umum maupun yang bersifat khusus. Yang bersifat umum adalah
misalnya keten- tuan-ketentuan umum mengenai peraturan perundang-
undangan yang akan berlaku di tanah air kita, sedang yang bersifat
khusus, misalnya untuk menyebut sekadar contoh, adalah asas-asas
hukum perdata Islam terutama mengenai hukum kewarisan, asas-asas
hukum ekonomi terutama mengenai hak milik, perjanjian dan utang-
piutang, asas-asas hukum pidana Islam, asas-asas hukum tata negara
dan administrasi pemerintahan, asas-asas hukum acara dalam Islam,
asas-asas hukum internasional dan hubungan antarbangsa dalam Islam.
Yang dimaksud dengan asas dalam pembicaraan ini adalah kebenaran
yang menjadi dasar atau tumpuan berpikir.
Kita yakin, bahwa asas yang diperlukan itu ada dalam hukum
syariat dan fiqih Islam. Namun yang menjadi masalah utama adalah
merumuskan asas-asas tersebut dalam kata- kata yang jelas yang dapat
diterima, baik oleh golongan yang bukan Islam maupun oleh golongan
yang beragama Islam sendiri. Merumuskan asas-asas tersebut ke
dalam bahasa atau kata-katayang dapat dipahami, memang merupakan
suatu masalah.
Tim Pengkajian Hukum Islam Badan Pembinaan Hukum Nasional
Babinkumnas atau BPHN telah berusaha menemukan asas-asas
dimaksud dan merumuskannya ke dalam kaidah- kaidah untuk
dijadikan bahan pembinaan hukum nasional. Caranya adalah dengan
mengundang tokoh-tokoh yang ahli dalam hukum Islam semua aliran,
baik dari kalangan ulama maupun dari kalangan sarjana untuk
mengemukakan penda- patnya mengenai suatu masalah tertentu dalam
suatu forum ilmiah yang sengaja diadakan untuk itu. Di samping
perte- muan-pertemuan ilmiah ini, diadakan juga penelitian serta
penulisan makalah yang dilakukan oleh sarjana atau ulama yang
dianggap dapat menyumbangkan sesuatu mengenai hukum Islam yang
menjadi bidang keahliannya. Berbagai asas dan kaidah hukum Islam
dapat juga dikembangkan melalui jurisprudensi peradilan agama.
Asas-asas dan kaidah hukum Islam yang dikembangkan melalui
266 Hukum Islam

jurisprudensi ini lebih mudah diterima, karena ia dirumuskan dari


keadaan konkret di tanah air kita.
Dalam hubungan ini tidak ada salahnya kalau dikemukakan bahwa
karena bangsa Indonesia mayoritas beragama Islam, ada pendapat
yang mengatakan seyogianya kaidah-kaidah hukum Islamlah yang
menjadi norma-norma hukum nasional. Dilihat dari segi normatif,
sebagai konsekuensi pengucapan dua kalimat syahadat, demikianlah
hendaknya. Namun dipandang dari sudut kenyataan dan politik hukum
tersebut, tidaklah begitu. Menurut politik hukum yang dilaksanakan
oleh pemerintah di Indonesia tidaklah karena mayoritas rakyat
Indonesia beragama Islam, norma-norma hukum Islam secara
'otomatis' menjadi norma-norma hukum nasional. Norma-norma
hukum Islam baru dapat dijadikan norma hukum nasional
(ditransformasikan menjadi hukum nasional), menurut politik hukum
itu, apabila norma-norma hukum Islam sesuai dan dapat menampung
kebutuhan seluruh lapisan rakyat Indonesia. Ketentuan tersebut dalam
kalimat terakhir ini berlaku juga bagi hukum adat dan hukum eks-
Barat yang juga menjadi bahan baku dalam proses pembinaan hukum
nasional.
Di samping apa yang telah dikemukakan di atas, ada baiknya juga
dikemukakan bahwa dalam mengolah asas-asas dan kaidah-kaidah
hukum Islam menjadi asas-asas dan norma- norma hukum nasional,
ada masalah lain yakni masalah yang melekat pada "hukum Islam " itu
sendiri dan pada sikap umat Islam terhadap hukum fiqih Islam yang
ada sekarang. Ada yang berpendapat bahwa kaidah-kaidah hukum
Islam harus diikuti semua dari A sampai Z, ada pula yang beranggapan
bahwa dalam mengkaji dan mengolah asas-asas serta kaidah- kaidah
hukum Islam, harus dibedakan antara asas-asas dan kaidah-kaidah
hukum Islam yang abadi sifatnya yakni asas- asas dan kaidah-kaidah
yang terdapat dalam hukum syariat Islam dan asas-asas serta kaidah-
kaidah hukum Islam yang tidak abadi sifatnya, yang terdapat dalam
hukum fiqih Islam. Yang pertama harus diikuti dari A sampai Z, sedang
yang kedua, menurut A. Zaki Yamani (1978) tidak wajib diikuti dari A
Hukum I slam di Indonesia 267
sampai Z, karena mungkin ada di antara asas-asas dan kaidah itu
sangat sesuai untuk keadaan masa lampau, tetapi tidak cocok lagi
untuk masa sekarang atau khusus misalnya untuk keadaan dan tempat
tertentu seperti Indonesia ini.
Dari uraian di atas, dengan beberapa masalah yang dapat
dipecahkan, jelas prospek hukum Islam dalam pembinaan hukum
nasional. Dan karena ia telah diterima sebagai salah- satu sumber
bahan baku dalam pembangunan hukum nasional, maka jelas pula
kedudukan dan peranannya dalam proses pembangunan hukum
nasional tersebut.
Sementara itu patut juga dicatat bahwa transformasi hukum
agama menjadi hukum nasional terjadi juga di beberapa negara
Muslim seperti Mesir, Syria, Irak, Jordania dan Lybia. Yang berbeda
adalah kadar unsur-unsur hukum Islam dalam hukum nasional negara-
negara yang bersangkutan. Di negara- negara tersebut, menurut Majid
Khadduri (1966), hukum nasional mereka merupakan perpaduan antara
asas-asas hukum Barat dengan asas-asas hukum Islam. Di tanah air
kita, hukum nasional di masa yang akan datang akan merupakan
perpaduan antara hukum adat, hukum Islam dan hukum eks-Barat.
Perkembangan hukum Islam di negara-negara Islam dan negara-
negara yang penduduknya mayoritas beragama Islam di masa yang
akan datang, menunjukkan keanekaragaman dan kesatuan. Jika dilihat
dari segi hukum Islam sendiri, 'keanekaragaman itu akan terlihat pada
bidang-bidang hukum ekonomi, perdagangan internasional, asuransi,
perhubungan (laut, darat dan udara), perburuhan, acara, susunan dan
kekuasaan peradilan, administrasi dan lain-lain bidang hukum yang
kurang lebih bersifat netral. Namun, mengenai 'hukum keluarga' yakni
hukum perkawinan dan hukum kewarisan, kendatipun di sana sini akan
terdapat atau kelihatan nuansa- nuansa, secara keseluruhan akan
menunjukkan ciri-ciri 'kesatuan.' Di bidang hukum ini bagaimanapun
besarnya pengaruh sekularisasi akibat penetrasi hukum Barat selama
berabad-abad di negara-negara yang penduduknya beragama Islam,
hukum Islam mengenai keluarga akan tetap kelihatan in toto (dalam
268 Hukum Islam

keseluruhan).
Jika kalimat-kalimat di atas diterapkan ke dalam konteks hukum
nasional Indonesia, "keanekaragaman" hukum (fiqih) Islam untuk
negara-negara Islam dan negara-negara yang mayoritas penduduknya
beragama Islam akan menjadi satu dan merupakan kesatuan hukum
nasional yang dituangkan dalam kodifikasi-unifikasi yang berlaku bagi
semua warga negara dan penduduk (Indonesia), sedang yang
merupakan "kesatuan" bagi umat Islam di mana pun mereka berada,
jika diterapkan ke dalam situasi dan kondisi Indonesia, akan meru-
pakan keanekaragaman, karena keanekaragaman hukum agama yang
dipeluk oleh umat beragama dalam Negara Republik Indonesia.
Hukum keluarga, yang terdiri dari hukum perkawinan dan hukum
kewarisan, menurut almarhum
278 Hukum Islam
Profesor Supomo, karena berhubungan erat dengan agama, harus
berbeda, sesuai dengan perbedaan agama yang dipeluk oleh bangsa
Indonesia. Perkawinan adalah sah, sebagai contoh, apabila dilakukan
menurut 'hukum masing-masing agama' yang dianut oleh bangsa
Indonesia, demikian bunyi Pasal 2 ayat (1) Undang-
UndangPerkawinan (1974).Negara,menurut Pasal 29 ayat (2) Undang-
Undang Dasar 1945, menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk
memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut
agamanya dan kepercayaannya itu.
SKETSA PERADILAN AGAMA
Pendahuluan
Peradilan adalah proses pemberian keadilan di suatu lembaga
yang disebut pengadilan. Pengadilan adalah lembaga atau badan yang
bertugas menerima, memeriksa, mengadili dan menyelesaikan setiap
perkara yang diajukan kepadanya. Dalam "mengadili dan
menyelesaikan suatu perkara" itulah terletak proses pemberian
keadilan yang dilakukan oleh hakim baik tunggal maupun majelis.
Oleh karena itu, hakim merupakan unsur yang sangat penting dalam
penyelenggaraan peradilan.
Peradilan Agama adalah proses pemberian keadilan berdasarkan
hukum agama Islam kepada orang-orang Islam yang dilakukan di
Pengadilan Agama dan Pengadilan Tinggi Agama. Peradilan Agama,
dalam sistem peradilan nasional Indonesia, di samping Peradilan
Umum, Peradilan Militer dan Peradilan Tata Usaha Negara,
merupakan salah-satu pelaksana kekuasaan kehakiman dalam Negara
Republik Indonesia. Keempat lembaga peradilan itu mempunyai
kedudukan yang sama, sederajat dengan kekuasaan yang berbeda.
Sebagai lembaga peradilan, peradilan agama dalam bentuk- nya
yang sederhana berupa tahkim, yaitu lembaga penyelesaian sengketa
antara orang-orang Islam yang dilakukan oleh para ahli agama, telah
lama ada dalam masyarakat Indonesia yakni sejak agama Islam datang
270 Hukum Islam

ke Indonesia. Lembaga tahkim yang menjadi asal-usul peradilan agama


itu, tumbuh dan berkembang bersama dengan perkembangan
masyarakat Muslim di kepulauan Nusantara ini. Ia telah lama
berfungsi sebagai sarana pemenuhan kebutuhan dasar penduduk yang
memeluk agama Islam dalam beribadah (terutama) melaksanakan
hukum perkawinan dan hukum kewarisan yang merupakan rangkaian
kesatuan dengan dan menjadi komponen agama Islam. Peradilan
agama yang telah ada sejak agama Islam datang ke Indonesia itulah
yang kemudian diakui dan diman- tapkan kedudukannya di Jawa dan
Madura tahun 1882, di sebagian besar residensi Kalimantan Selatan
dan Timur tahun 1937 dan di luar kedua wilayah itu tahun 1957
dengan peraturan perundang-undangan pembentukannya.
Pengadilan Agama, seperti ternyata dari tahun-tahun pen-
diriannya di atas, dibentuk dalam suasana yang berbeda. Pengadilan
Agama di Jawa dan Madura serta di sebagian bekas residensi
Kalimantan Selatan dan Timur, lahir dan tumbuh dalam suasana
kolonial, sedang Pengadilan Agama di luar daerah- daerah itu lahir
dan tumbuh dalam suasana kemerdekaan. Perbedaan suasana
pembentukan, sejarah pertumbuhan dan perkembangannya itu
menyebabkan nama dan kekuasaan atau wewenangnya juga berbeda.
Perbedaan nama (Priesterraad atau Raad Agama di Jawa dan Madura,
Kerapatan Qadhi di sebagian bekas residensi Kalimantan Selatan dan
Timur serta Mahkamah Syar'iyah di daerah lain dari kedua wilayah
itu) dinamakan oleh Undang-Undang No. 14Tahun 1970 (Tentang
Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman) dengan sebutan
Pengadilan Agama. Itulah mungkin yang menjadi dasar mengapa
Menteri Agama pada tahun 1980 mengeluarkan keputusan untuk
menyeragamkan nama-nama pengadilan dalam lingkungan peradilan
agama dengan sebutan pengadilan agama saja di seluruh Indonesia.
Namun, kendatipun nama- nya telah sama, kekuasaannya tetap
berbeda. Pengadilan Agama di Jawa dan Madura serta di sebagian
bekas residensi Kalimantan Selatan dan Timur tidak berwenang
mengadili perkara kewarisan dan wakaf. Sebagai akibat teori resepsi
Hukum I slam di Indonesia 271
yang dianut oleh ilmuwan dan pemerintah kolonial Belanda dahulu,
sejak 1 April 1937, Pengadilan Agama di wilayah-wilayah tersebut
tidak berwenang lagi mengadili perkara kewarisan dan perwakafan,
seperti yang telah dijelaskan di depan. Di luar Jawa, Madura dan
sebagian bekas residensi Kalimantan Selatan dan Timur, Pengadilan
Agama berwenang mengadili perkara perwakafan dan kewarisan yang
disebut dengan istilah waris mal-waris.
Selain kekuasaannya berbeda, pengadilan-pengadilan agama itu
tidak pula dapat melaksanakan keputusannya sendiri, karena dalam
susunannya tidak terdapat jurusita. Ketiga macam perundang-
undangan yang membentuk peradilan agama (1882: di Jawa dan
Madura, 1937: di sebagian bekas residensi Kalimantan Selatan dan
Timur, 1957: di luar wilayah-wilayah tersebut), menyatakan bahwa
putusan-putusan badan peradilan agama memerlukan pernyataan dapat
dijalankan (fiat eksekusi) dari Pengadilan Negeri jika putusan tersebut
tidak
Hukum Islam di Indonesia 281 dipatuhi

oleh pihak yang dikalahkan atau kalau pihak yang kalah tidak mau
membayar ongkos perkara. Ketua Pengadilan Negeri (dahulu Landraad)
menyatakan putusan tersebut "dapat dijalankan," apabila ternyata tidak
ada pelanggaran terhadap ketentuan-ketentuan yang termaktub dalam
peraturan perundang-undangan pembentukan badan peradilan agama
tersebut. Kalau terdapat pelanggaran, Ketua Pengadilan Negeri
memberi pernyataan "tidak dapat dijalankan" pada putusan Pengadilan
Agama tersebut. Lembaga fiat eksekusi ini sengaja diciptakan oleh
pemerintah kolonial Belanda dahulu untuk mengendalikan dan
mengawasi badan peradilan agama, dengan antara lain tidak
melengkapi susunannya dengan jurusita, sehingga pengadilan agama
menjadi pengadilan semu, tidak mandiri melaksanakan putusan-
putusannya. Anehnya, "jiwa mengendalikan pengadilan agama itu,"
tetap dilanjutkan dalam Undang-Undang Perkawinan Nasional (1974)
yang menyatakan dalam Pasal 63 ayat (2)-nya bahwa setiap keputusan
Pengadilan Agama dikukuhkan oleh Pengadilan Umum (maksudnya
Pengadilan Negeri). Menurut ketentuan Undang- Undang Nomor 1
Tahun 1974, pengukuhan itu harus dilakukan, kendatipun sifatnya
administratif, terhadap semua putusan Pengadilan Agama yakni semua
putusan yang telah mempunyai kekuatan tetap, tidak terbatas hanya
pada putusan yang tidak dipatuhi oleh pihak yang dikalahkan atau
karena tidak mau membayar ongkos perkara saja seperti yang
ditentukan dalam ketiga aturan tentang fiat eksekusi tersebut di atas
(K. Wantjik Saleh, 1977: 70-71).
Berbagai kekurangan yang melekat pada diri Peradilan Agama
telah menyebabkan Peradilan Agama tidak mampu melaksanakan
tugasnya melakukan kekuasaan kehakiman secara mandiri seperti yang
dikehendaki oleh Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1974 yang
menjadi induknya kini. Selain itu ada pula masalah lain yang
menghambat gerak langkah seperti susunan, kekuasaan dan acara
Peradilan Agama belum diatur dalam undang-undang tersendiri
sebagaimana yang dikehendaki oleh Pasal 12 Undang-Undang
Kekuasaan Kehakiman. Untuk melaksanakan Undang-Undang Nomor
Hukum I slam di Indonesia 273
14 Tahun 1970 tersebut dan untuk menegakkan hukum Islam yang
berlaku secara yuridis formal dalam Negara Republik Indonesia, pada
tanggal 8 Desember 1988 Presiden Republik Indonesiamenyam-
paikan Rancangan Undang-Undang Peradilan Agama kepada Dewan
Perwakilan Rakyat untuk dibicarakan dan disetujui sebagai undang-
undang menggantikan semua peraturan per- undang-undangan tentang
Peradilan Agama yang tidak sesuai lagi dengan Undang-Undang Dasar
1945 dan Undang-Undang tentang Pokok-pokok Kekuasaan
Kehakiman dimaksud.
Setelah dibicarakan secara mendalam, dibahas, dan diuji dengan
berbagai wawasan dan peraturan perundang-undangan yang berlaku di
negara kita, akhirnya pada hari Kamis tanggal 14 Desember 1989,
Rancangan Undang-Undang Peradilan Agama disetujui oleh Dewan
Perwakilan Rakyat menjadi Undang-Undang Republik Indonesia
tentang 'Peradilan Agama.' Lima belas hari kemudian, yaitu tanggal 29
Desember 1989, undang-undang tersebut disahkan menjadi Undang-
Undang Nomor 7 Tahun 1989 oleh Presiden Republik Indonesia, diun-
dangkan pada tanggal yang sama oleh Menteri Sekretaris Negara dan
dimuat dalam Lembaran Negara Nomor 49 Tahun 1989.
Pengesahan Undang-Undang Peradilan Agama itu merupakan
peristiwa penting bukan hanya bagi pembangunan perangkat hukum
nasional, tetapi juga bagi umat Islam di Indonesia. Sebabnya adalah,
dengan disahkannya undang- undang tersebut semakin mantaplah
kedudukan Peradilan Agama sebagai salah-satu badan pelaksana
kekuasaan kehakiman yang mandiri di tanah air kita dalam
menegakkan hukum berdasarkan hukum Islam bagi pencari keadilan
yang beragama Islam mengenai perkara-perkara (perdata) di bidang
perkawinan, kewarisan, wasiat, hibah, wakaf dan sedekah yang telah
menjadi hukum positif di tanah air kita. Dengan undang-undang ini,
pemeluk agama Islam yang menjadi bagian terbesar penduduk
Indonesia, diberi kesempatan untuk menaad hukum Islam yang
menjadi bagian mutlak agamanya, sesuai dengan jiwa Pasal 29
Undang-Undang Dasar 1945 terutama ayat (2) nya.
274 Hukum Islam
Undang-Undang Peradilan Agama

Undang-Undang Peradilan Agama yang telah disahkan dan


diundangkan itu terdiri dari VII bab, 108 pasal dengan 'sistematik' dan
'garis garis besar' isinya sebagai berikut: Bab I tentang ketentuan
umum, Bab II sampai dengan Bab III mengenai susunan dan kekuasaan
Peradilan Agama, Bab IV tentang hukum acara, Bab V ketentuan-
ketentuan lain, Bab VI ketentuan peralihan dan Bab VII ketentuan
penutup (Undang- Undang Nomor 7: 1989).
Pada uraian berikut akan dikemukakan 'beberapa hal pokok' yang
dimuat dalam bab dan bagian-bagiannya. Dalam Bab I disebutkan
bahwa Peradilan Agama adalah peradilan bagi orang-orang yang
beragama Islam, terdiri dari (1) 'Pengadilan Agama' sebagai
pengadilan tingkat pertama dan (2) 'Pengadilan Tinggi Agama' sebagai
pengadilan tingkat banding. Kedua- duanya merupakan pelaksana
kekuasaan kehakiman bagi rakyat pencari keadilan yang beragama
Islam mengenai perkara perdata tersebut di atas. Pengadilan Agama
berkedudukan di kotamadya atau di ibukota kabupaten, sedang
Pengadilan Tinggi Agama berkedudukan di ibukota provinsi.
Keduanya berpuncak pada Mahkamah Agung sebagai pengadilan
negara tertinggi di Jakarta. Pembinaan teknis peradilannya, karena itu,
dilakukan oleh Mahkamah Agung, di bawah pimpinan Ketua Muda
Mahkamah Agung Bidang Lingkungan Peradilan Agama. Pembinaan
organisasi, administrasi dan keuangan- nya, seperti halnya dengan
badan-badan peradilan lain, dilakukan oleh Departemen Teknis yaitu
Departemen Agama yang dipimpin oleh Menteri Agama.
Susunannya
Mengenai susunannya diatur dalam tiga bagian di Bab II. 'Bagian
Pertama' atau 'bagian umum' menyebut susunan Pengadilan Agama
yang terdiri dari pimpinan, yakni seorang ketua dan seorang wakil
ketua, hakim anggota, panitera, sekretaris dan jurusita. Susunan
Pengadilan Tinggi Agama terdiri dari pimpinan yaitu seorang ketua
dan seorang wakil ketua, hakim tinggi (agama) sebagai hakim anggota,
Hukum I slam di Indonesia 275
panitera dan sekretaris. 'Bagian kedua' mengatur tentang syarat, tata
cara pengangkatan dan pemberhentian ketua, wakil ketua, hakim,
panitera dan jurusita Peradilan Agama. Disebutkan dalam bagian
kedua ini bahwa untuk dapat diangkat ke dalam jabatan yang ada
dalam susunan pengadilan dalam lingkungan Peradilan Agama,
seorang harus memenuhi syarat tertentu. Selain dari syarat- syarat
umum yang berlaku bagi pengangkatan pegawai negeri dan pegawai di
badan-badan peradilan lain, untuk para
pejabat di lingkungan Peradilan Agama ada syarat khusus yakni
harus beragama Islam. Syarat ini tidaklah dimaksudkan untuk
mengadakan diskriminasi, tetapi kualifikasi, diperlukan agar
pencari keadilan yang beragama Islam yang datang ke Pengadilan
Agama merasa mantap hati dan perasaannya melaksanakan ibadah
umum berurusan dengan orang yang seagama dengan dia. Dan,
karena sifat pekerjaan yang khusus di lingkungan Peradilan
Agama, kecuali untuk juru- sita, syarat lain yang ditentukan untuk
dapat diangkat ke dalam jabatan-jabatan dalam lingkungan
Peradilan Agama adalah berijazah sarjana syariah atau sarjana
hukum yang menguasai hukum Islam. 'Bagian ketiga' mengatur
tentang sekretaris yang memimpin Sekretariat Pengadilan dalam
lingkungan Peradilan Agama. Panitera Pengadilan Agama merang-
kap sebagai Sekretaris Pengadilan Agama. Dalam melaksanakan
tugas kesekretariatan ia dibantu oleh seorang wakil sekretaris.
Untuk dapat diangkat menjadi wakil sekretaris baik di Pengadilan
Agama maupun di Pengadilan Tinggi Agama, seorang calon harus
memenuhi syarat-syarat tersebut di atas. Selain beragama Islam,
untuk Pengadilan Agama ia harus berijazah serendah-rendahnya
sarjana muda syariah atau sarjana muda hukum yang menguasai
hukum Islam atau sarjana muda administrasi. Untuk Pengadilan
Tinggi Agama, berijazah sarjana syariah atau sarjana hukum yang
menguasai hukum Islam.
Kekuasaan Peradilan Agama
Bab III mengatur 'kekuasaan' Pengadilan dalam lingkungan
276 Hukum Islam

Peradilan Agama. Dalam Pasal 49 ayat (1) disebutkan bahwa


Pengadilan Agama bertugas dan berwenang memeriksa,
memutus dan menyelesaikan perkara-perkara di tingkat pertama antara
orang-orang yang beragama Islam di bidang (a) perkawinan, (b)
kewarisan, wasiat, dan hibah yang dilakukan berdasarkan hukum
Islam, (c) wakaf dan shadaqah. Dalam Penjelasan Undang-Undang
Peradilan Agama, Pasal 49 ayat
(1) di atas dinyatakan cukup jelas. Mengenai 'bidang perkawinan,’
Pasal 49 ayat (2) menyebutkan bahwa yang dimaksud ialah hal-hal
yang diatur dalam atau berdasarkan Undang- Undang mengenai
Perkawinan yang berlaku. Pasal 49 ayat (2) ini dalam penjelasannya
dirinci lebih lanjut ke dalam 22 butir, yaitu (I) izin beristri lebih dari
seorang; (2) izin melangsung- kan perkawinan bagi orang yang belum
berusia 21 (dua puluh satu) tahun, dalam hal orang tua atau wali atau
keluarga dalam garis lurus ada perbedaan pendapat; (3) dispensasi
kawin; (4) pencegahan perkawinan; (5) penolakan perkawinan oleh
Pegawai Pencatat Nikah; (6) pembatalan perkawinan; (7) gugatan
kelalaian atas kewajiban suami atau istri; (8) perceraian karena talak;
(9) gugatan perceraian; (10) 'penye- lesaian harta bersama;' (11)
penguasaan anak; (12) pemeliharaan dan pendidikan anak bila bapak
yang seharusnya bertanggung jawab tidak mampu memenuhinya; (13)
penen- tuan kewajiban memberi biaya penghidupan oleh suami kepada
bekas istri atau penentuan suatu kewajiban bagi bekas istri; (14)
putusan tentang sah atau tidaknya seorang anak; (15) putusan tentang
pencabutan kekuasaan orang tua; (16) pencabutan kekuasaan wali;
(17) penunjukan orang lain sebagai wali oleh pengadilan dalam hal
seorang anak yang belum cukup berumur 18 (delapan belas) tahun
yang diting- galkan oleh kedua orang tuanya padahal tidak ada penun-
jukan wali oleh orang tuanya; (19) pembebanan kewajiban ganti
kerugian terhadap wali yang telah menyebabkan kerugian atas harta
benda anak yang berada di bawah kekuasaannya; (20) penetapan asal-
usul anak; (21) putusan tentang peno- lakan pemberian keterangan
untuk melakukan perkawinan campuran; dan (22) pernyataan tentang
Hukum I slam di Indonesia 277
sahnya perkawinan yang terjadi sebelum Undang-Undang Nomor 1
Tahun 1974 tentang Perkawinan berlaku yang dijalankan menurut
peraturan yang lain.
Mengenai butir (10) tersebut di atas perlu dijelaskan bahwa
penyelesaian harta bersama yang kini menjadi wewenang Peradilan
Agama dan diselesaikan di Pengadilan Agama saja, penting artinya
bagi bekas istri dan bekas suami bersangkutan. Juga bagi asas
peradilan sederhana, cepat dan biaya ringan. Sebabnya adalah dengan
penyelesaian persoalan harta bersama di Pengadilan Agama, persoalan
bekas suami dengan bekas istrinya menjadi selesai sekaligus.
Penyelesaian harta bersama dilakukan oleh pengadilan baik karena
perceraian maupun atas permohonan pihak-pihak yang berkepentingan
di luar sengketa. Dalam Pasal 66 ayat (5), dan Pasal 86 ayat (1)
Undang-Undang Peradilan Agama, permohonan atau gugatan soal
harta bersama dirumuskan dengan jelas dan dapat dilakukan bersama-
sama dengan permohonan atau gugatan soal penguasaan anak, nafkah
anak dan nafkah istri. Ini perubahan penting dan mendasar dalam
sistem peradilan Indonesia kalau dibandingkan dengan keadaan selama
ini. Di waktu yang lalu, soal harta bersama baru dapat dimajukan
kemudian dan diselesaikan oleh Pengadilan Negeri, bukan oleh
Pengadilan Agama. Menurut Pasal 49 ayat (3), kewe- nangan
Pengadilan Agama di 'bidang kewarisan,' yang disebut dalam Pasal 49
ayat (1) huruf b di atas, adalah mengenai (a) penentuan siapa-
siapayang menjadi ahli waris, (b) penentuan harta peninggalan, (c)
bagian masing-masing ahli waris, dan
(d) melaksanakan pembagian harta peninggalan. Dengan demikian,
kewenangan Pengadilan Agama di Jawa dan Madura serta sebagian
bekas residensi Kalimantan Selatan dan Timur mengenai perkara-
perkara kewarisan yang dicabut oleh Pemerintah Belanda pada tahun
1937, melalui undang- undang ini dikembalikan lagi menjadi
wewenang Pengadilan Agama. Dengan demikian, kewenangan
Pengadilan Agama di Jawa, Madura dan di sebagian bekas residensi
Kalimantan Selatan dan Timur disamakan dengan kewenangan Penga-
278 Hukum Islam

dilan Agama di daerah-daerah lainnya di Indonesia. Pasal 49 ayat (3)


ini dalam penjelasan pasal demi pasalnya dinyatakan cukup jelas.
Hanya, dalam penjelasan umum disebutkan bahwa 'para pihak sebelum
berperkara dapat mempertimbang- kan untuk memilih hukum’ apa
yang dipergunakannya dalam pembagian warisan.Mempertimbangkan
untuk memilih hukum yang dipergunakan dalam pembagian warisan
adalah mempertimbangkan kepentingan atau kemaslahatan ahli waris.
Dalam mempertimbangkan kemaslahatan ahli waris, sebelum
berperkara, hukum Islam membuka peluang bagi ahli waris untuk
’berdamai, 1 bermusyawarah untuk mencapai mufakat dalam
menentukan perolehan masing-masing berdasarkan kerelaan,
keikhlasan dan kekeluargaan. Mengenai pemilihan hukum ini agaknya
adalah tepat dan sesuai dengan martabat Peradilan Agama, kalau
pemilihan hukum oleh para pihak hanya mungkin dilakukan 'di luar
pengadilan, 1 dalam lingkungan keluarga para pihak yang berperkara
itu sendiri.
Hukum Islam di Indonesia 279
Hukum
Hukum Acara
Acara Peradilan Agama diatur dalam Bab IV. Bagian
pertama mengatur hal-hal yang bersifat 'umum.' Di antaranya
disebutkan bahwa hukum acara yang berlaku pada Pengadilan dalam
lingkungan Peradilan Agama adalah Hukum Acara Perdata yang
berlaku pada pengadilan dalam lingkungan Peradilan Umum, kecuali
tentang hal-hal yang telah diatur secara khusus dalam undang-undang
ini. Hal-hal yang 'diatur secara khusus' dalam Undang-Undang
Peradilan Agama, disebutkan dalam bagian kedua undang-undang ini
yaitu 'pemeriksaan sengketa perkawinan,' mengenai (a) cerai talak
yang datang dari pihak suami, (b) cerai gugat yang datang dari istri
atau dari suami, dan (c) cerai karena alasan zina.
Kalau diperhatikan proses pemeriksaan sengketa perkawinan di
Pengadilan Agama yang diatur dalam undang-undang ini, jelas bahwa
undang-undang ini berupaya melindungi dan 'meningkatkan
kedudukan wanita' dengan jalan memberikan hak yang sama kepada
istri dalam memajukan gugatan dan melakukan pembelaan di muka
Pengadilan. Untuk melindungi pihak istri, misalnya, gugatan
perceraian yang dimajukannya pada suami yang menjadi tergugat
'tidak' harus ditujukan ke pengadilan di daerah hukum kediaman
tergugat tersebut seperti yang telah menjadi prinsip dalam hukum
acara perdata umum, tetapi, dalam Hukum Acara Perdata Peradilan
Agama ini, gugatan ditujukan kepada pengadilan yang daerah
hukumnya meliputi tempat kediaman istri (penggugat) bersangkutan.
Sementara itu perlu dicatat pula bahwa di bagian pertama Bab IV ini
disebutkan pula bahwa tiap penetapan dan putusan Peradilan Agama
(harus) dimulai dengan kalimat
Bismillahirrahmanirrahim diikuti dengan kata-kata Demi Keadilan
Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Penyebutan kata-kata
Bismillahirrahmanirrahim pada setiap penetapan dan putusan
Peradilan Agama, selain menunjukkan ciri khusus pelaksana
kekuasaan kehakiman yang satu ini, kata-kata itu juga dapat
dihubungkan langsung dengan kata-kata "Atas berkat rahmat Allah
Yang Maha Kuasa" yang tercantum dalam Pembukaan Undang-
280 Hukum Islam

Undang Dasar 1945. Selain merupakan penjabaran kalimat yang


terdapat dalam Pembukaan Undang- Undang Dasar 1945 kata-kata
tersebut mempunyai fungsi dan makna tersendiri bagi hakim dan para
pejabat di lingkungan Peradilan Agama dalam melaksanakan
tugasnya. Melalui kalimat pendek yang mencakup maknanya itu,
mereka diingatkan agar selalu teliti dan hati-hati bekerja, sebab semua
(isi) penetapan dan putusan yang mereka tentu- kan dan mereka
laksanakan yang diawali dengan asma (nama) Allah itu, sesungguhnya,
berada dalam tilikan Allah Yang Maha Mengetahui, Maha Adil dan
Maha Bijaksana, yang pasti, menurut keyakinan seorang Muslim, akan
dimintai pertang- gungjawabannya kelak di akhirat. Bagian lain yakni
bagian ketiga Bab IV ini menyebut soal biaya perkara yang diatur oleh
Menteri Agama dengan persetujuan Mahkamah Agung berdasarkan
asas peradilan sederhana, cepat dan biaya ringan.

Ketentuan-ketentuan Lain
Bab V menyebut 'ketentuan-ketentuan'lain mengenai admi-
nistrasi peradilan, pembagian tugas para hakim dan panitera dalam
melaksanakan pekerjaan masing-masing. Dalam bab ini disebut
dengan jelas 'jurusita' untuk (a) melaksanakan semua perintah yang
diberikan oleh ketua sidang, (b) menyampaikan pengumuman-
pengumuman, teguran-teguran dan pemberitahuan penetapan atau
putusan Pengadilan menurut cara-cara berdasarkan ketentuan-
ketentuan undang- undang, (c) melakukan penyitaan atas perintah
Ketua Pengadilan, (d) membuat berita acara penyitaan, yang salinan
resminya diserahkan kepada pihak-pihak yang berkepen- tingan.
Jurusita Pengadilan Agama berwenang melakukan tugasnya di daerah
hukum pengadilan yang bersangkutan.
'Jurusita tidak ada' dalam susunan Peradilan Agama 'sebelum'
undang-undang ini berlaku, sehingga dalam melaksanakan putusannya
yang tidak mau diterima oleh para pihak, terutama oleh mereka yang
kalah, Pengadilan Agama selalu harus meminta bantuan dan,
akibatnya, bergantung pada Pengadilan Negeri. Dengan kata lain,
Hukum I slam di Indonesia 281
karena tidak ada jurusita dalam tubuhnya sendiri, putusan Pengadilan
Agama tidak dapat dilaksanakannya sendiri, tetapi harus minta
persetujuan untuk dilaksanakan dari Ketua Pengadilan Negeri.
Persetujuan ini, dalam kepustakaan hukum di Indonesia, seperti telah
disebut, disebut fiat executie. Karena ketiadaan jurusita itu pula maka
setiap putusan Pengadilan Agama di bidang perkawinan selama ini
perlu dikukuhkan oleh Pengadilan Umum atau Pengadilan Negeri.
Dengan Undang-Undang Peradilan Agama ini, ketergantungan
Pengadilan Agama kepada Pengadilan Negeri yang telah berlangsung
sejak tahun 1830 di Jawa dan Madura, diakhiri. Melalui undang-
undang ini pula semua aturan yang menentukan ketergantungan
Peradilan Agama kepada Peradilan Umum, telah dihapuskan. Kini,
Peradilan Agama tidak lagi seakan-akan "peradilan semu," tetapi telah
benar-benar menjadi peradilan mandiri.
292 Hukum Islam
Ketentuan Peralihan

Bab VI mengenai 'ketentuan peralihan.' Dalam bab ini disebutkan


antara lain bahwa (1) semua Badan Peradilan Agama yang telah ada
dinyatakan sebagai Badan Peradilan Agama menurut undang-undang
ini. Di seluruh Indonesia, Peradilan Agama, pada waktu undang-
undang ini berlaku, berjumlah 321 buah, terdiri dari 303 Pengadilan
Agama dan 18 Pengadilan Tinggi Agama. Ketentuan peralihan ini
menyatakan pula bahwa (2) semua peraturan pelaksanaan yang telah
ada mengenai Peradilan Agama dinyatakan tetap berlaku sepanjang
peraturan itu tidak bertentangan dengan undang-undang ini dan selama
ketentuan baru berdasarkan undang-undang ini belum dikeluarkan.
Ketentuan Penutup
Bab VII tentang 'ketentuan penutup.' Dalam bab terakhir ini
ditegaskan bahwa pada saat mulai berlakunya Undang- Undang
Peradilan Agama, semua peraturan tentang Peradilan Agama di Jawa
dan Madura, di sebagian (bekas) Residen Kalimantan Selatan dan
Timur, dan di bagian lain wilayah Republik Indonesia, dinyatakan
tidak berlaku lagi. Dengan demikian, terciptalah kesatuan hukum yang
mengatur Peradilan Agama di seluruh Indonesia, sebagai penerapan
Wawasan Nusantara. Di samping itu dinyatakan juga bahwa aturan
mengenai pengukuhan yang disebut Pasal 63 ayat (2) Undang-Undang
Perkawinan, yang disinggung di atas, tidak berlaku lagi. Disebutkan
pula dalam ketentuan penutup ini bahwa 'pembagian harta peninggalan
di luar sengketa' antara orang-orang yang beragama Islam yang
dilakukan berdasarkan hukum Islam diselesaikan (juga) oleh
Pengadilan Agama.
Dengan disahkannya Undang-Undang Peradilan Agama,
perubahan penting dan mendasar telah terjadi dalam lingkungan
Peradilan Agama. Di antaranya dapat disebut hal-hal berikut:
1. Peradilan Agama telah menjadi peradilan mandiri, kedu-
dukannya benar-benar telah sejajar dan sederajat dengan
Hukum I slam di Indonesia 283
Peradilan Umum, Peradilan Militer, dan Peradilan Tata Usaha
Negara.
2. Nama, susunan, wewenang (kekuasaan) dan hukum acara- nya
telah sama dan seragam di seluruh Indonesia. Tercipta- nya
unifikasi Hukum Acara Peradilan Agama akan me- mudahkan
terwujudnya ketertiban dan kepastian hukum yang berintikan
keadilan dalam lingkungan Peradilan Agama.
3. Perlindungan terhadap wanita lebih ditingkatkan, dengan jalan,
antara lain, memberikan hak yang sama kepada istri dalam
berproses dan membela kepentingannya di muka Pengadilan
Agama.
4. Lebih memantapkan upaya penggalian berbagai asas dan kaidah
hukum Islam sebagai salah-satu bahan baku dalam penyusunan
dan pembinaan hukum nasional melalui jurisprudensi.
Di samping itu, dapat dicatat pula bahwa dengan Undang- Undang
Peradilan Agama,
5. Ketentuan-ketentuan dalam Undang-Undang Pokok Kekuasaan
Kehakiman (1970) terutama yang disebut pada Pasal 10 ayat (1)
mengenai kedudukan pengadilan dalam lingkungan Peradilan
Agama dan Pasal 12 tentang susunan, kekuasaan dan (hukum)
acaranya, telah terwujud.
6. Pembangunan hukum nasional berwawasan nusantara yang
sekaligus pula berwawasan bineka tunggal ika dalam bentuk
Undang-Undang Peradilan Agama telah terlaksana (Moh. Daud
Ali, 1989: 12).
KOMPILASI HUKUM ISLAM
Rancangan Kompilasi Hukum Islam yang terdiri dari tiga buku
yaitu buku I tentang Hukum Perkawinan, buku II tentang Hukum
Kewarisan, dan buku III tentang Hukum Perwakafan, selaras dengan
wewenang utama Peradilan Agama, yang telah diterima baik oleh para
ulama dan sarjana hukum Islam seluruh Indonesia dalam lokakarya
284 Hukum Islam

yang diselenggarakan di Jakarta tanggal 2 sampai dengan 5 Februari


1988, melalui Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1991 tanggal lOJuni
1991 telah ditentukan sebagai pedoman bagi instansi pemerintah dan
masyarakat yang memerlukannya dalam menyelesaikan masalah-
masalah di ketiga bidang hukum tersebut. Menteri Agama, sebagai
Pembantu Presiden, dalam Surat Keputusannya Nomor 154 Tahun
1991 tanggal 22 Juli 1991, dalam rangka melaksanakan Instruksi
Presiden tersebut, meminta kepada seluruh instansi Departemen
Agama, termasuk Peradilan Agama di dalamnya, dan instansi
pemerintah lainnya yang terkait agar menyebarluaskan Kompilasi
Hukum Islam dimaksud. Dalam bagian kedua diktum Keputusan
Menteri Agama tentang pelaksanaan Instruksi Presiden itu disebutkan
pula bahwa seluruh lingkungan instansi itu, terutama Peradilan Agama
(MDA), agar 'menerapkan' Kompilasi Hukum Islam ter-sebut di
samping peraturan perundang-undangan lainnya dalam menyelesaikan
masalah-masalah di bidang hukum perkawinan, kewarisan dan
perwakafan.
Sebagaimana diketahui, selain kesadaran hukum masyarakat dan
penegak hukum yang baik dan benar dalam menjalankan tugasnya,
penyelenggaraan hukum di dalam suatu masyarakat dan negara
ditentukan pula oleh kejelasan peraturan hukumnya. Peraturan hukum
yang jelas ini selain berguna untuk kepastian hukum, juga sangat
diperlukan dalam penegakan keadilan hukum. Di lingkungan
Peradilan Agama di tanah air kita di masa yang lampau, hukum yang
diterapkan dalam menyelesaikan suatu perkara tidaklah begitu jelas,
karena selain terpencar di dalam berbagai kitab fiqih yang banyak
jumlahnya juga tercantum dalam aneka pendapat yang berbeda. Biro
Peradilan Agama, yang kini bernama Direktorat Pembinaan Badan
Peradilan Agama, dalam Surat Edarannya Nomor 8/1/735 Tahun 1958
menentukan tiga belas kitab fiqih yang menjadi pegangan hakim
agama dalam menyelesaikan sengketa yang dimajukan padanya.
Selain tersebar di tiga belas kitab fiqih tercantum dalam Surat
Edaran Biro Peradilan Agama itu, hasil penalaran para fuqaha (para
Hukum I slam di Indonesia 285
ahli hukum fiqih Islam) dalam kitab-kitab dimaksud juga berbeda satu
dengan yang lain walaupun mereka berada dalam satu aliran hukum
atau mazhab yang sama: Syafi'i. Perbedaan itu disebabkan karena selain
pengalaman dan pengetahuan mereka berbeda, juga karena ditulis
dalam kurun waktu yang tidak sama di tempat yang berlainan pula.
Hal ini tidak menguntungkan perkembangan hukum Islam di tanah air
kita, sebab selain menimbulkan ketidakpastian hukum juga
menyebabkan umat Islam Indonesia berpaling pada hukum lain yang
disusun secara sistematis dan jelas di dalam kitab undang-undang atau
peraturan perundang-undangan.
Itulah mungkin yang menjadi salah satu pertimbangan mengapa
pada tanggal 21 Maret 1984 Ketua Mahkamah Agung dan Menteri
Agama Republik Indonesia mengeluarkan Surat Keputusan Bersama
membentuk sebuah panitia yang ber- tugas mengumpulkan bahan-
bahan dan merancang Kompilasi Hukum Islam mengenai Hukum
Perkawinan, Kewarisan dan Perwakafan yang akan dipergunakan oleh
Peradilan Agama sebagai hukum terapan dalam melaksanakan tugas
dan wewe- nangnya. Kompilasi yang akan disusun itu, diharapkan,
selain akan tetap sesuai dengan ajaran Islam juga mampu menam-
pung nilai-nilai serta norma-norma hukum yang tumbuh, hidup dan
berkembang dalam masyarakat. Untuk memenuhi harapan itu, Panitia
dimaksud menempuh empat jalur dalam melaksanakan kegiatannya.
Jalur pertama adalah jalur peng- kajian kitab-kitab fiqih dengan
bantuan beberapa (tenaga pengajar) Fakultas Syariah IAIN di
Indonesia. Jalur ke dua adalah jalur pendapat ulama, khususnya ulama
fiqih di tanah air kita. Beberapa ulama fiqih terkemuka dihubungi,
diwawan- carai dan dicatat pendapat mereka mengenai beberapa hal
tertentu dan dijadikan bahan masukan dalam penyusunan kom-pilasi
itu. Jalur ke tiga adalah jalur jurisprudensi yang terhimpun dalam
putusan-putusan Pengadilan Agama seluruh Indonesia se-jak zaman
penjajahan Belanda dahulu sampai dengan kompilasi itu tersusun
(1987). Jalur keempat adalah studi perbandingan mengenai
pelaksanaan dan penegakan hukum Islam di negara-negara Muslim,
terutama negara- negara tetangga (misalnya Malaysia) yang
penduduknya beragama Islam.
286 Hukum Islam

Setelah bahan-bahan diperoleh melalui ke empat jalur tersebut,


panitia perumus lalu bekerja menyusun bahan-bahan di-maksud secara
'logis sistematis,' dituangkan ke dalam pasal- pasal dengan bahasa
peraturan perundang-undangan yang berlaku di tanah air kita. Oleh
panitia perumus telah diupayakan menyusun pasal-pasal kompilasi itu
dengan bahasa yang sederhana, mudah dipahami, singkat, walaupun,
sebagai karya manusia, tentu saja terdapat kekurangan di sana sini.
Dalam menyusun kompilasi ini pertimbangan-pertim- bangan
'kemaslahatan' amat diperhatikan oleh panitia, terutama mengenai hal-
hal yang termasuk ke dalam kategori ijtihadi. Dengan begitu,
diharapkan, selain akan dapat memelihara dan menampung aspirasi
hukum serta keadilan masyarakat, kompilasi itu juga akan mampu
berperan sebagai perekayasa (social engineering) masyarakat Muslim
Indonesia.
Berdasarkan catatan singkat tersebut di atas, Kompilasi Hukum
Islam (diharapkan) dapat menyatukan wawasan hakim- hakim
Peradilan Agama di Indonesia dalam memecahkan berbagai masalah
yang dimajukan kepada mereka. Selain itu, seperti yang dikemukakan
oleh almarhum Wasit Aulawi, Kompilasi Hukum Islam ini, mudah-
mudahan dapat (1) memenuhi asas manfaat dan keadilan berimbang
yang terdapat dalam hukum Islam, (2) mengatasi berbagai masalah
khilafiyah (perbedaan pendapat) untuk menjamin kepastian hukum, dan
(3) mampu menjadi bahan baku dan berperan aktif dalam pembinaan
hukum nasional (HA Wasit Aulawi, 1989:12).
Kompilasi Hukum Islam, yakni kumpulan atau himpunan kaidah-
kaidah hukum Islam yang disusun secara sistematis tersebut di atas
terdiri dari tiga buku. Masing-masing buku dibagi ke dalam beberapa
bab dan pasal, dengan sistematika sebagai berikut. Buku I Hukum
Perkawinan terdiri dari 19 bab dengan 170 pasal. Bab I adalah Ketentuan
Umum berisi rumusan penjelasan mengenai kata-kata penting yang
terdapat dalam buku tersebut. Dalam Pasal 1 dirumuskan arti:
peminangan, wali hakim, akad nikah, mahar, taklik talak, harta
kekayaan dalam perkawinan atau harta bersama, pemeliharaan anak,
Hukum I slam di Indonesia 287
perwalian, khuluk dan mut'ah (pemberian mantan suami kepada
isteriyang ditalak berupa benda atau uang, dan sebagainya sebagai
bekal hidup, penghibur had, mantan isterinya). Bab II Dasar-dasar
Perkawinan (Pasal 2 sampai 10). Dalam Pasal 2 bab ini disebut
pernikahan sebagai akad yang sangat kuat dan melaksanakannya
merupakan ibadah. Pasal 3 menyebut tujuan perkawinan untuk
mewujudkan kehidupan rumah tangga yang sakinah (sejahtera-bahagia),
yang dibina dengan mawaddah (cinta) dan rahmah (kasih sayang). Dalam
Pasal 4 disebut sahnya perkawinan bila dilakukan menurut hukum
Islam. Pada Pasal 5 ditegaskan bahwa setiap perkawinan harus dicatat
oleh Pegawai Pencatat Nikah. Karena itu, dalam Pasal 6 dinyata- kan
bahwa setiap perkawinan harus dilangsungkan di hadapan dan di
bawah pengawasan Pegawai Pencatat Nikah. Dan, perkawinan yang
dilakukan di luar pengawasan pencatat nikah tidak mempunyai
kekuatan hukum. Di dalam Pasal 7 disebutkan bahwa perkawinan
hanya dapat dibuktikan dengan Akta Nikah yang dibuat oleh Pegawai
Pencatat Nikah. Demikian antara lain isi beberapa pasal Kompilasi
Hukum Islam dalam Bab II. Bab III Peminangan (Pasal 11 sampai
dengan Pasal 13). Dalam Pasal 11 disebut tata cara peminangan. Di
Pasal 12 disebut wanita yang dapat atau boleh dipinang (gadis atau
janda yang telah habis masa iddahnya), sedang wanita yang tidak
boleh dipinang adalah wanita yang sedang dipinang pria lain, wanita
yang ditalak tetapi yang mungkin rujuk atau kembali bersatu dengan
suaminya (dalam masa iddah raj'iah).
Pasal 13 menyebut peminangan belum menimbulkan akibat hukum dan
pemutusan peminangan dilakukan sesuai dengan tuntunan agama dan
kebiasaan setempat. Bab IV (Pasal 14 sampai dengan 29) 'Rukun dan
Syarat Perkawinan.' Pasal 14 menyebut rukun nikah yaitu (1) calon
suami, (2) calon isteri, (3) wali nikah, (4) dua orang saksi, dan (5) ijab
dan kabul. Pasal 15 sampai dengan 18 menjelaskan tentang calon
mem- pelai (calon suami-isteri), batas umur untuk menikah (19-16
tahun), persetujuan mereka untuk dinikahkan yang harus ditanya
sebelum pernikahan dilangsungkan. Pasal 19 menyebut tentang wali
288 Hukum Islam

nikah. Pasal 20 menyebut siapa yang berhak menjadi wali nikah yaitu
wali nasab (yang mempunyai hubungan darah dengan calon mempelai
wanita) dan wali hakim. Di Pasal 21 diatur susunan keutamaan
kekerabatan wali nasab. Pasal 22 tentang pergeseran wali nasab, apabila
wali nasab yang paling berhak berhalangan menjadi wali nikah. Pasal
23 menyebut wali hakim (pejabat pemerintah yang ditunjuk oleh
Menteri Agama) menjadi wali nikah apabila wali nasab tidak ada,
berhalangan atau enggan melakukan pernikahan calon mempelai
wanita. Pasal 24 menyebut tentang saksi. Menurut ayat (2) pasal ini
setiap perkawinan harus disaksikan oleh dua orang. Pasal 25 tentang
syarat orang yang dapat menjadi saksi (Muslim, adil, akil balig, waras
dan tidak tuli). Di Pasal 26 dinyatakan bahwa saksi harus hadir
menyaksikan langsung akad nikah serta menandatangani Akta Nikah
pada waktu dan di tempat akad nikah dilangsungkan. Pasal 27
menyatakan bahwa ijab dan kabul antara wali dan calon mempelai pria
harus jelas beruntun, tidak berselang waktu. Di Pasal 28 dinyatakan
bahwa akad nikah dilaksanakan sendiri secara pribadi oleh wali nikah,
tetapi wali nikah dapat mewakilkannya kepada orang lain. Pasal 29
menyebut calon mempelai pria pribadi yang berhak mengucapkan
kabul. Namun, dalam hal- hal tertentu pengucapan kabul dapat
diwakilkan kepada pria lain dengan pemberian kuasa tertulis secara
tegas. Kalau calon mempelai wanita atau walinya keberatan calon
mempelai pria diwakili, akad nikah tidak boleh dilangsungkan. Bab V
mengenai Mahar (Pasal 30 sampai dengan Pasal 38). Dalam Pasal 30
disebutkan calon mempelai pria wajib membayar mahar kepada calon
mempelai wanita yang jumlah, bentuk dan jenis- nya disepakati oleh
kedua belah pihak. Pada butir d. Ketentuan Umum Buku I dikatakan
bahwa yang dimaksud dengan mahar adalah pemberian dari calon
mempelai pria kepada calon mempelai wanita, baik ber-bentuk barang,
uang atau jasa yang tidak bertentangan dengan hukum Islam. Pasal 31,
32, dan 33 menyebut tatacara penentuan mahar, pemberiannya kepada
calon mempelai wanita dan penyerahannya yang dapat tunai tetapi
boleh juga ditangguhkan baik untuk seluruhnya maupun untuk
Hukum I slam di Indonesia 289
sebagian. Di Pasal 34 dinyatakan bahwa mahar bukan merupakan
rukun dalam perkawinan. Kelalaian menyebut jenis dan jumlahnya
waktu akad nikah, tidak menyebabkan batalnya perkawinan. Dalam
Pasal 35 disebutkan penyelesaian mahar kalau suami menalak
isterinya atau meninggal dunia sebelum mereka berkumpul sebagai
suami isteri. Pasal 36, 37, dan 38 mengatur soal-soal mengenai mahar
dan pemecahan masalahnya kalau terjadi hal-hal teknis yang
disebutkan dalam pasal-pasal tersebut. Bab VI Larangan Kawin (Pasal 39
sampai dengan Pasal 44). Pada Pasal 39 dinyatakan seorang laki-laki
atau pria dilarang kawin dengan seorang wanita (1) Karena pertalian
darah (nasab) yaitu perkawinan antara seorang laki-laki dengan (a)
seorang wanita yang melahirkan atau yang menurunkannya atau
keturunannya, (b) dengan seorang wanita keturunan ayah atau ibu, (c)
dengan seorang wanita saudara yang melahirkannya. (2) Karena
pertalian perkawinan (kerabat, semenda) yakni perkawinan antara
seorang pria dengan (a) seorang wanita yang melahirkan isterinya atau
bekas isterinya, (b) dengan seorang wanita bekas isteri orang yang
menurunkannya, (c) dengan seorang wanita keturunan isteri atau bekas
isterinya, kecuali putusnya perkawinan dengan bekas isterinya itu
sebelum mereka berhubungan sebagai suami isteri, (d) dengan seorang
wanita bekas isteri keturunannya. (3) Karena pertalian sesusuan, yaitu
(a) dengan wanita yang menyusuinya dan seterusnya menurut garis
lurus ke atas, (b) dengan wanita sesusuan dan seterusnya menurut
garis lurus ke bawah, (c) dengan wanita saudara sesusuan, dan
kemenakan sesusuan ke bawah, (d) dengan wanita bibi sesusuan dan
nenek bibi sesusuan ke atas,
(e) dengan anak yang disusui oleh isterinya dan keturunannya. Pasal
40 menyatakan: dilarang perkawinan seorang pria (laki- laki) dengan
seorang wanita karena keadaan tertentu, yaitu (a) karena wanita
bersangkutan masih terikat perkawinan dengan pria lain, (b) wanita
yang masih berada dalam masa iddah dengan pria lain. Dalam Undang-
Undang Perkawinan, masa iddah atau idah disebut masa tunggu bagi
seorang wanita yang ditalak atau kematian suami atau hamil, sebelum
290 Hukum Islam

kawin lagi dengan pria lain, (c) seorang wanita yang tidak beragama
Islam. Pada Pasal 41 ditegaskan bahwa (1) seorang pria dilarang
memadu isterinya dengan seorang wanita yang mempunyai hubungan
pertalian darah atau susuan dengan isterinya, yaitu (a) saudara
kandung, seayah atau seibu serta keturunannya, (b) wanita dengan
bibinya atau kemenakannya.
(2) Larangan tersebut pada ayat (1) tetap berlaku meskipun isteri atau
isteri-isterinya telah ditalak raj'i (talak yang dapat dirujuk atau kembali
lagi sebagai suami isteri) tetapi masih dalam masa iddah. Pasal 42
menyebut larangan bagi seorang pria melangsungkan perkawinan
dengan seorang wanita apabila pria tersebut sedang terikat tali
perkawinan dengan lebih dari seorang isteri. Pasal 43 melarang
perkawinan seorang pria (a) dengan seorang wanita bekas
isterinyayang (telah) ditalak tiga kali, (b) dengan seorang wanita
bekas isterinya yang di/t'an (yaitu tuduhan dengan sumpah). Pada ayat
(2)-nya disebut gugurnya larangan tersebut pada huruf (a) kalau
mantan isteri itu telah kawin dengan dan bercerai lagi dari pria lain.
Dalam Pasal 44 ditegaskan bahwa seorang wanita Islam dilarang
melangsungkan perkawinan dengan seorang pria yang tidak beragama
Islam. Bab VII Perjanjian Perkawinan (Pasal 45 sampai dengan Pasal 52).
Dalam Pasal 45 disebut bahwa kedua mempelai dapat mengadakan
perjanjian perkawinan dalam bentuk (1) taklik talak. Taklik talak
adalah talak yang digantungkan pada hal atau keadaan tertentu yang
disebutkan dalam perjanjian perkawinan yang diucapkan pengantin
laki-laki setelah ijab kabul. Kendatipun taklik talak bukan merupakan
suatu perjanjian yang wajib diadakan pada setiap perkawinan, tetapi
biasanya dalam setiap perkawinan yang dilangsungkan di Indonesia
mempelai pria mengucapkan taklik talak itu. Dan, sekali taklik talak
sudah diucapkan, perjanjian itu tidak dapat dicabut kembali. (2)
Perjanjian lain yang tidak bertentangan dengan hukum Islam. Biasanya
perjanjian perkawinan bentuk ini adalah mengenai percampuran atau
pemisahan harta pencarian masing-masing, sepanjang tidak
bertentangan dengan hukum Islam. Rincian perjanjian perkawinan
Hukum I slam di Indonesia 291
diatur dalam Pasal-pasal 46,47, 48,49, 50, 51, dan 52 yang tidak
diuraikan dalam buku pengantar ini. Bab VIII Kawin Hamil diatur dalam
Pasal 53 sampai dengan Pasal 54. Bab IX mengenai Beristeri Lebih dari
Satu Orang (Pasal 55 sampai dengan Pasal 59). Bab X tentang
Pencegahan Perkawinan ditentukan dalam Pasal 60 sampai dengan Pasal
69. Bab XI Batalnya Perkawinan diatur dalam Pasal 70 sampai dengan
Pasal 76. Berhubung isi Bab-bab tersebut yang diatur dalam pasal-
pasalnya tidak begitu penting bagi mahasiswa, menurut hemat penulis,
ditunda saja pembicaraannya dalam Hukum Kekeluargaan Islam
semester yang akan datang. Karena itu, juga tidak diuraikan dalam
buku pengantar ini. Bab XII mengatur Hak dan Kewajiban Suami Isteri
(Pasal 77 sampai dengan Pasal 84). Dalam Pasal 77 diatur hal-hal yang
'umum' mengenai hak dan kewajiban suami isteri. Di Pasal 77 disebut
bahwa (1) suami isteri memikul kewajiban yangluhur untuk
menegakkan rumah tangga yang sakinah, mawaddah dan rahmah yang
menjadi sendi dasar susunan masyarakat. (2) Suami isteri wajib saling
cinta mencintai, hormat menghormati, serta setia dan mem- beri
bantuan lahir batin yang satu kepada yang lain. (3) Suami isteri
memikul kewajiban untuk mengasuh dan memelihara anak-anak
mereka, baik mengenai pertumbuhan jasmani, rohani maupun
kecerdasannya dan pendidikan agamanya. (4) Suami isteri wajib
memelihara kehormatan mereka. (5) Jika suami atau isteri melalaikan
kewajibannya, masing-masing dapat mengajukan gugatan kepada
Pengadilan Agama. Dalam Pasal 78 ditentukan (1) Suami isteri harus
mempunyai tempat kediaman yang tetap, (2) Rumah kediaman yang
dimaksud dalam ayat (1) ditentukan oleh suami isteri bersama.
Tentang 'Kedudukan Suami Isteri' diatur dalam Pasal 79, berbunyi (1)
Suami adalah kepala keluarga dan isteri ibu rumah tangga. (2) Hak
dan Kedudukan isteri adalah seimbang dengan hak dan kedudukan
suami dalam kehidupan rumah tangga dan per- gaulan hidup bersama
dalam masyarakat. (3) Masing- masing pihak berhak untuk melakukan
perbuatan hukum. Tentang 'kewajiban suami' disebut dalam Pasal 80.
Dalam pasal ini dinyatakan bahwa (1) Suami adalah pembimbing isteri
292 Hukum Islam

dan rumah tangganya, akan tetapi mengenai hal-hal urusan rumah


tangga yang penting-penting diputuskan oleh suami isteri bersama. (2)
Suami wajib melindungi isterinya dan mem- berikan segala sesuatu
keperluan hidup berumah tangga sesuai dengan kemampuannya. (3)
Suami wajib memberikan pendidikan agama kepada isterinya dan
memberi kesempatan kepada isterinya mempelajari pengetahuan yang
berguna dan bermanfaat bagi (dirinya sendiri, keluarga) agama, nusa,
dan bangsa. (4) Sesuai dengan penghasilannya, suami menang- gung
(a) nafkah, pakaian, dan tempat kediaman isteri, (b) biaya rumah
tangga, biaya perawatan dan biaya pengobatan isteri dan anak, (c)
biaya pendidikan anak. (7) Kewajiban suami tersebut dalam huruf (a)
dan (b) ayat (4) di atas gugur apabila isteri nusyuz (membangkang tidak
memenuhi kewajibannya sebagai isteri tanpa alasan yang dibenarkan
oleh hukum Islam). Ayat (5) dan (6) Pasal 80 tidak dikutip, karena
tidak begitu relevan disebut dalam pengantar ini. Tentang 'tempat
kediaman, 1 diatur dalam Pasal 81. Pada ayat (1) pasal ini disebutkan
bahwa suami wajib menyediakan tempat kediaman bagi isteri dan
anak-anaknya atau isteri yang sudah dicerai tetapi masih dalam masa
iddah. (2) Tempat kediaman adalah tempat tinggal yang layak untuk
isteri selama dalam ikatan perkawinan atau dalam iddah talak atau iddah
wafat. (3) Tempat kediaman disediakan untuk melindungi isteri dan
anak-anak dari gangguan pihak lain, sehingga mereka merasa aman
dan tenteram. Tempat kediaman juga berfungsi sebagai tempat
menyimpan harta kekayaan, sebagai tempat menata dan mengatur alat-
alat rumah tangga. (4) Suami wajib melengkapi tempat kediaman
sesuai dengan kemampuannya serta diselaraskan dengan keadaan
lingkungan tempat tinggal, baik berupa alat perlengkapan rumah
tangga maupun sarana penunjang lainnya. Kewajiban suami yang
beristeri lebih dari seorang yang disebut dalam Pasal 82 tidak
dicantumkan dalam pengantar ini. Dalam Pasal 83 dan 84 disebut
Kewajiban Isteri. Pada Pasal 83 ayat (1) dinyatakan bahwa kewajiban
utama seorang isteri ialah setia lahir dan batin kepada suami di dalam
batas-batas yang dibenarkan oleh hukum Islam. (2) Menyelenggarakan
Hukum I slam di Indonesia 293
dan mengatur keperluan rumah tangga sehari-hari dengan sebaik-
baiknya. Di Pasal 84 dinyatakan bahwa (1) Isteri dapat dianggap nusyuz
jika ia tidak mau melaksanakan kewajiban-kewajiban sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 83 ayat (1) kecuali dengan alasan yang sah. (2)
Selama isteri dalam nusyuz, kewajiban suami terhadap isterinya
tersebut pada Pasal 80 ayat (4) huruf (a) dan (b) tidak berlaku, kecuali
hal-hal yang berhubungan dengan kepentingan anaknya.
(3) Kewajiban suami tersebut pada ayat (2) di atas berlaku kembali
sesudah isteri tidak (lagi) nusyuz. (4) Ketentuan tentang ada atau tidak
adanya nusyuz isteri harus didasarkan atas bukti yang sah. Bab XIII
Harta Kekayaan dalam Perkawinan (Pasal 85 sampai dengan Pasal 97).
Dalam Pasal 85 dinyatakan adanya 'harta bersama' dalam perkawinan
(dengan) tidak menutup kemungkinan adanya harta masing-masing
suami isteri. Pasal 86, 87, 88, 89, 90, 91 menyebut tentang prinsip
adanya harta
294 Hukum Islam

bersama dan harta masing-masing suami isteri, tanggung jawab


menjaga harta bersama, harta isteri dan harta suami, bentuk- nya
berwujud atau tidak berwujud, pengelolaannya, per- tanggung jawaban
dan soal-soal teknis lainnya. Pasal 92, 93, 94, dan 95 tidak
dicantumkan dalam buku pengantar ini. Dalam Pasal 96 dinyatakan
bahwa (1) apabila terjadi cerai mati, separuh harta bersama menjadi
hak pasangan yang hidup lebih lama. (2) Pembagian harta bersama
seorang suami atau isteri yang hilang harus ditangguhkan sampai
kepastian matinya yang hakiki atau matinya secara hukum atas
putusan Pengadilan Agama. Dalam Pasal 97 dinyatakan bahwa janda
atau duda cerai hidup masing-masing berhak seperdua harta bersama
sepanjang tidak ditentukan lain dalam perjanjian perkawinan. Bab XIV
mengenai 'Pemeliharaan Anak' (Pasal 98 sampai dengan Pasal 106).
Yang dianggap penting dibicarakan dalam pengantar ini hanyalah
Pasal 99, 100, 101, 103 dan 105. Dalam Pasal 99 disebutkan bahwa
anak yang sah adalah (a) anak yang dilahirkan dalam atau akibat
perkawinan yang sah, (b) hasil pembuahan suami isteri yang sah di
luar rahim dan dilahirkan oleh isteri tersebut. Pasal 100 menyatakan
bahwa anak yang lahir di luar perkawinan hanya mempunyai hubungan
darah ( nasab) dengan ibunya dan keluarga ibunya. Pasal 101 menyebut:
seorang suami yang mengingkari sahnya anak, sedang isterinya tidak
menyangkalnya, dapat meneguh- kan pengingkarannya dengan li'an
(tuduhan dengan sumpah tersebut di depan). Dalam ayat (1) Pasal 103
ditegaskan bahwa asal usul seorang anak hanya dapat dibuktikan
dengan akta kelahiran atau alat bukti lainnya. Dalam Pasal 105 diatur,
dalam hal terjadi perceraian: (a) pemeliharaan anak yang belum
mumayyiz atau belum berumur 12 tahun adalah hak
Hukum Islam di Indonesia 307 ibunya,

(b) pemeliharaan anak yang sudah mumayyiz (sudah berumur 12 tahun)


diserahkan kepada anak bersangkutan untuk memilih ayah atau
ibunyakah yang berhak atas pemeliharaannya, (c) biaya pemeliharaan
(anak) ditanggung oleh ayahnya. Bab XV Perwalian (Pasal 107 sampai
dengan Pasal 112). Bab XVI Putusnya Perkawinan (Pasal 113 sampai
dengan Pasal 148). Bab XVII Akibat Putusnya Perkawinan (Pasal 149
sampai dengan Pasal 162). Bab XVIII Rujuk (Pasal 163 sampai dengan
Pasal 169). Bab XIX Masa Berkabung (Pasal 170). Isi Bab-bab tersebut
terakhir ini (XV sampai dengan XIX) tidak dicantumkan dalam buku
atau kitab pengantar ini.
Buku II Hukum Kewarisan terdiri dari 6 bab dengan 44 pasal (dari
Pasal 171 sampai dengan Pasal 214). Bab I adalah Ketentuan Umum
(Pasal 171). Seperti halnya dengan ketentuan umum di buku I, memuat
penjelasan singkat tentang kata-kata penting yang dimuat dalam buku
II. Kata-kata tersebut adalah hukum kewarisan, pewaris, ahli waris,
harta peninggalan, (harta) warisan, wasiat, hibah, anak angkat dan
baitul mal. Bab II tentang Ahli Waris (Pasal 172 sampai dengan Pasal
175). Bab III Besarnya Bagian (Pasal 176 sampai dengan Pasal 191). Bab
IV Aul dan Rad (Pasal 192 sampai dengan Pasal 193). Bab V Wasiat
(Pasal 194 sampai dengan Pasal 209). Bab VI Hibah (Pasal 210 sampai
dengan Pasal 214). Karena rumusan dalam pasal-pasal mengenai
Hukum Kewarisan ini tidak begitu baik dan yang dimuat hanya
beberapa hal saja, maka tidak ada salahnya kalau dalam pengantar ini
dicantumkan beberapa hal penting yang sifatnya mendasar tentang
kewarisan. Dalam hukum kewarisan ada unsur-unsur yang
memungkinkan peralihan harta peninggalan seseorang berlangsung
sebagaimana mesti- nya. Unsur-unsur tersebut adalah (1) pewaris, (2)
harta warisan atau harta peninggalan, dan (3) ahli waris.
Yang dimaksud (1) pewaris adalah seseorang yang telah meninggal
dunia, meninggalkan sesuatu untuk keluarganya yang masih hidup.
Berdasarkan asas ijbari (wajib dilaksanakan, yang akan dijelaskan di
bawah), pewaris pada waktu akan meninggal tidak berhak menentukan
siapa-siapa yang akan memperoleh harta yang ditinggalkannya, berapa
bagian masing-masing dan bagaimana cara mengalihkan harta itu.
Sebab, semuanya telah ditentukan Alah secara pasti yang wajib
dilaksanakan. Kalau adapun kemerdekaan yang diberikan Allah
kepadanya (kepada calon pewaris) mengenai harta yang akan
ditinggalkannya, kemerdekaan itu hanya terbatas pada pengalihan
296 Hukum Islam

sepertiga harta yang akan ditinggalkannya untuk seseorang yang


dikehendakinya. Batas itu ditentukan, untuk menjaga agar hak ahli
waris yang telah ditentukan Allah tidak terlanggar. Yang dimaksud
dengan (2) 'harta warisan 1 atau 'harta peninggalan' adalah segala
sesuatu yang ditinggal- kan pewaris yang secara hukum dapat beralih
kepada ahli warisnya. Oleh karena itu, harta peninggalan tersebut
haruslah harta yang sepenuhnya merupakan milik pewaris. Benda yang
bukan sepenuhnya milik pewaris, tidak dapat dialihkan kepada ahli
warisnya. Bentuknya mungkin benda bergerak, benda tidak bergerak,
berwujud atau berupa hak-hak tertentu. Mengenai hutang-hutang
pewaris, ahli waris hanya bertang- gung jawab terbatas pada jumlah
harta peninggalan pewaris saja. Artinya ahli waris tidak wajib
membayar hutang-hutang pewaris dengan harta pribadinya, melebihi
harta yang diting- galkan pewaris. Namun, di dalam praktik kematian
di tanah air kita, anak yang baik selalu melunasi hutang orang tuanya
Hukum Islam di Indonesia 309 yang

telah meninggal dunia berdasarkan pertimbangan akhlak: bakti atau


berbuat baik kepada orang tua. Unsur ke (3) adalah ahli waris dan hak
atau bagian mereka masing-masing. Yang dimaksud dengan ahli waris
adalah orang atau orang-orang yang berhak atas harta warisan yang
ditinggalkan oleh orang yang meninggal dunia. Di samping karena
hubungan keke- rabatan (darah atau nasab) dan perkawinan, yang akan
dijelas- kan di bawah, seseorang baru dapat menjadi ahli waris kalau
memenuhi syarat-syarat berikut (a) masih hidup pada waktu pewaris
meninggal dunia, (b) tidak ada sebab-sebab yang menghalanginya
menjadi ahli waris, dan (3) tidak tertutup (terdinding atau terhijab, yang
akan dijelaskan di bawah) oleh ahli waris yang lebih utama. Pada
pokoknya perincian ahli waris adalah sebagai berikut: (i) anak laki-
laki dan anak perempuan, (ii) cucu, baik laki-laki maupun perempuan,
(iii) ayah, (iv) ibu, (v) kakek, (vi) nenek, (vii) saudara laki-laki dan
saudara perempuan kandung, seayah atau seibu, (viii) anak saudara,
(ix) paman dan bibi (x) anak paman dan anak bibi. Semuanya (dari i
sampai dengan x) adalah ahli waris karena hubungan darah, sedang
ahli waris karena hubungan perkawinan adalah suami atau isteri.
Kedudukan suami isteri sebagai ahli waris ditetapkan dengan tegas
dalam Alquran surat Al-Nisa' (4) ayat 12. Hubungan perkawinan tidak
menyebabkan atau mengakibatkan hak kewarisan apa pun bagi kerabat
suami dan atau kerabat isteri.
Dilihat dari perolehan atau 'bagian' masing-masing, dalam hukum
kewarisan Islam dapat dibedakan dua macam ahli waris. Yaitu (1) ahli
waris yang sudah ditentukan bagiannya secara pasti dan (2) ahli waris
yang tidak ditentukan bagiannya secara pasti. Ahli waris yang 'sudah
ditentukan bagiannya'
298 Hukum Islam

secara pasti, adalah ahli waris yang mendapat bagian pasti,


mungkin setengah, seperempat, seperdelapan, sepertiga, dua pertiga,
dan seperenam. Ahli waris ini disebut ahli waris zul fara'id atau dzawil
furud yaitu (i) anak perempuan, (ii) cucu perempuan, (iii) ibu, (iv)
nenek, (v) saudara perempuan kandung, (vi) saudara perempuan
seayah, (vii) saudara perempuan seibu, (viii) isteri, (ix) ayah, (x)
kakek, (xi) saudara laki-laki seibu dan (xii) suami. Ahli waris (2) yang
'tidak ditentukan bagiannya' dalam kasus tertentu dalam keadaan
tertentu adalah mereka yang mendapat bagian 'keseluruhan' harta
warisan bila tidak ada ahli waris zul fara'id lainnya, yaitu mereka yang
memperoleh bagian tertentu dalam keadaan tertentu tersebut atau
mereka mendapat sisa harta sesudah dikeluarkan bagian zul fara'id
dengan pembagian yang bersifat terbuka. Misalnya dalam Alquran
disebutkan kewarisan anak laki-laki, tetapi tidak dirinci jumlahnya.
Bila anak laki-laki mewaris bersama anak perempuan disebutkan
bandingan bagiannya yakni bagian seorang anak laki-laki dua kali
bagian seorang anak perempuan. Dari ketentuan ini diambil garis
hukum bahwa bila anak laki-laki mewaris bersama-sama dengan anak
perempuan, mereka berhak atas seluruh harta peninggalan bila tidak
ada ahli waris yang lain. Hasil yang mereka peroleh dibagi dengan
perbandingan satu anak laki- laki sama bagiannya dengan dua anak
perempuan. Hal yang sama berlaku juga kalau yang menjadi ahli waris
adalah anak pewaris yang hanya terdiri dari anak laki-laki saja.
Menurut Hukum Kewarisan Islam, ada beberapa hal yang
menyebabkan seseorang dapat menjadi ahli waris orang lain.
Penyebabnya adalah (1) hubungan darah dan hubungan keke- rabatan
atau hubungan nasab, dan (2) hubungan perkawinan.
Penyebab pertama yaitu (1) hubungan darah adalah (a) ke bawah: anak-
anak, baik anak laki-laki maupun anak perempuan serta keturunannya,
(b) ke atas: orang tua, baik ibu maupun ayah dan yang
menurunkannya, (c) ke samping anak ayah atau anak ibu atau anak
kakek atau nenek, sambung menyambung satu dengan yang lain yang
menentukan jarak dekatnya hubungan masing-masing para pewaris
Hukum I slam di Indonesia 299
yang telah dirinci dalam uraian di atas. Di samping hubungan darah,
(2) hubungan perkawinan merupakan penyebab seseorang menjadi ahli
waris orang lain. Yang termasuk ke dalam kelompok ini adalah suami
isteri. Menurut hukum Islam, karena itu, suami isteri saling mewarisi.
Di samping sebab-sebab tersebut di atas yang memungkin- kan
seseorang menjadi ahli waris orang lain, ada sebab-sebab yang
'menghalangi' orang menjadi ahli waris orang lain. Sebab yang
menjadi penghalang orang menjadi ahli waris adalah (1) 'pembunuhan'
yang dilakukan oleh (calon) ahli waris terhadap (calon) pewaris. Ke
(2) adalah 'perbedaan agama.' Ini berarti seorang Muslim atau
Muslimat tidak bisa menjadi ahli waris seorang yang non-Muslim.
Sebaliknya, seorang yang bukan Muslim tidak dapat mewarisi harta
peninggalan seorang Muslim atau Muslimat (Al-Hadis). Ke (3) karena
kelompok 'keutamaan' dan 'hijab.' Dalam sistem kewarisan Islam
dipakai prinsip keutamaan yang menentukan jarak dekatnya seseorang
dengan pewaris. Dalam kelompok keutamaan pertama bergabung anak-
anak pewaris dan orang tuanya. Di kelompok kedua, bergabung
saudara-saudara pewaris. Hubungan pewaris dengan anak-anak dan
kedua orang tuanya, menurut hukum Islam, lebih dekat dibandingkan
hubungan pewaris dengan saudara-saudaranya, hubungan pewaris
dengan anaknya lebih dekat daripada dengan cucunya. Selain karena
kelompok keutamaan itu, seseorang mungkin juga terhalang menjadi
ahli waris karena terhijab. Menurut istilah hukum kewarisan Islam, hijab
artinya menutup, mendindingi, menghalangi seseorang menjadi ahli
waris karena ada ahli waris lain yang lebih utama yang lebih berhak
menerima harta peninggalan. Misalnya, cucu terhijab oleh anak, nenek
oleh ibu dan sebagainya. Ini namanya (a) hijab penuh. Di samping itu
ada pula hijab kurang. Misalnya ibu dihijab oleh anak atau cucu baik
laki-laki maupun perempuan, bagiannya akan berkurang daripada
kalau ia tidak dihijab (Amir Syarifuddin, 1984: 28-68).
Masalah ahli waris, besarnya bagian masing-masing diuraikan
dalam pasal-pasal Kompilasi Hukum Islam. Juga di sana dibicarakan,
soal ahli waris pengganti (ahli waris yang "meng- gantikan"
300 Hukum Islam

kedudukan seseorang yang meninggal lebih dahulu dari pewaris),


wasiat wajibah, suatu ketentuan yang menyatakan calon pewaris wajib
membuat wasiat mengenai bagian tertentu harta peninggalannya.
Wasiat wajibah dalam kompilasi tidak mengenai cucu yang ditampung
masalahnya dalam ahli waris pengganti, tetapi mengenai anak angkat
yang diatur dalam Pasal 209 Bab V mengenai 'wasiat,' yang memuat
beberapa pasal mulai Pasal 194 sampai dengan Pasal 209, wasiat
adalah pemberian suatu benda dari pewaris kepada orang lain atau
lembaga yang akan berlaku setelah pewaris meninggal dunia. Dalam
Kompilasi Hukum Islam pada Bab VI diatur tentang Hibah (mulai Pasal
210 sampai dengan Pasal 214). Hibah, menurut kompilasi, adalah
pemberian suatu benda secara sukarela dan tanpa imbalan dari
seseorang kepada orang lain yang masih hidup untuk dimiliki.
Pelaksanaan pembagian warisan kepada ahli waris dilakukan
dengan cara dan teknik yang memungkinkan semua harta peninggalan
dibagi habis menurut ketetapan Allah dan ketentuan Nabi Muhammad
yang dirumuskan lebih lanjut oleh para mujtahid. Cara dan teknik-
teknik pembagian warisan tidak akan dibicarakan dalam buku
pengantar ini. Namun, perlu diingatkan bahwa pelaksanaan pembagian
itu, harus sesuai dengan asas-asas hukum kewarisan Islam. Asas,
seperti telah disebutkan di muka adalah kebenaran yang dipergunakan
sebagai tumpuan berpikir atau alasan pendapat. Asas hukum
kewarisan Islam adalah kebenaran yang dipergunakan dalam
pelaksanaan pembagian warisan menurut hukum Islam.
Asas-asas Hukum Kewarisan Islam

Hukum Kewarisan Islam (seperti telah disebut juga di muka)


adalah hukum yang mengatur segala sesuatu yang berkenaan dengan
peralihan hak dan atau kewajiban atas harta kekayaan seseorang
setelah ia meninggal dunia kepada ahli warisnya. Hukum Kewarisan
Islam disebut juga hukum fara’id, jamak dari kata farida, erat sekali
hubungannya dengan kata fard yang berarti kewajiban yang harus
dilaksanakan. Sumbernya adalah Alquran, terutama surat An- Nisa' (4)
Hukum I slam di Indonesia 301
ayat 11, 12, 176 dan, Al-Hadis yang memuat Sunnah Rasulullah yang
kemudian dikembangkan secara rinci oleh ahli hukum fiqih Islam
melalui ijtihad orang yang memenuhi syarat, sesuai dengan ruang dan
waktu, situasi dan kondisi tempatnya berijtihad. Sebagai hukum yang
bersumber dari wahyu Ilahi yang disampaikan dan dijelaskan oleh
Nabi Muhammad dengan sunnahnya, hukum kewarisan Islam
mengandung asas-asas yang di antaranya terdapat juga dalam hukum
kewarisan buatan akal manusia di suatu daerah atau tempat tertentu.
Namun, karena sifatnya yang sui generis (berbeda dalam jenisnya),
hukum kewarisan Islam mempunyai corak tersendiri. Ia merupakan
bagian agama Islam dan pelaksanaannya tidak dapat dipisahkan dari
iman atau akidah seorang Muslim. Asas hukum Kewarisan Islam yang
dapat disalurkan dari Alquran dan Al-Hadis, menurut Amir
Syarifuddin (1984) adalah (i) ijbari, (ii) bilateral, (iii) individual, (iv)
keadilan berimbang, dan (v) akibat kematian, seperti yang telah disebut
waktu membicarakan Asas-asas Hukum Islam di depan. Namun, di
bagian ini, untuk dapat memahaminya lebih baik, diulang kembali dan
di sana-sini agak dikembangkan.
Asas(i) ijbari yang terdapat dalam hukum kewarisan Islam
mengandung arti bahwa peralihan harta dari seorang yang meninggal
dunia kepada ahli warisnya berlaku dengan sen- dirinya menurut
ketetapan Allah tanpa digantungkan kepada kehendak pewaris atau
ahli warisnya. Unsur “memaksa" (ijbari = compulsary) dalam hukum
kewarisan Islam itu terlihat, terutama, dari kewajiban ahli waris untuk
menerima perpin- dahan harta peninggalan pewaris kepadanya sesuai
dengan jumlah yang telah ditentukan Allah di luar kehendaknya
sendiri. Oleh karena itu, calon pewaris yaitu orang yang akan
meninggal dunia pada suatu ketika, tidak perlu merencana- kan
penggunaan hartanya setelah ia meninggal dunia kelak, karena dengan
kematiannya, secara otomatis hartanya akan beralih kepada ahli
warisnya dengan perolehan yang sudah dipastikan.
Asas ijbari hukum kewarisan Islam dapat dilihat dari beberapa segi,
yakni (a) dari segi peralihan harta yang pasti terjadi setelah orang
302 Hukum Islam

meninggal dunia. Ini dapat dilihat dari firman Allah dalam surat Al-
Nisa' (4) ayat 7. Dalam surat itu disebutkan bahwa bagi laki-laki dan
bagi perempuan ada nasib atau bagian (warisan) dari harta peninggalan
ibu bapa dan keluarga dekatnya. Dari kata 'nasib' itu dapat dipahami
bahwa dalam sejumlah harta yang ditinggalkan oleh pewaris, terdapat
bagian atau hak ahli waris. Karena itu pewaris tidak perlu menjanjikan
sesuatu yang akan diberikan kepada ahli warisnya sebelum ia
meninggal dunia. Demikian juga halnya dengan ahli waris, tidak perlu
meminta-minta haknya kepada (calon) pewaris. Unsur ijbari dapat
dilihat juga dari segi (b) jumlah harta yang sudah ditentukan bagi
masing-masing ahli waris. Ini tercermin dalam kata mafrudan yang
makna asalnya adalah “ditentukan atau diperhitungkan”. Apa yang
sudah ditentukan atau diperhitungkan oleh Allah wajib dilaksanakan
oleh hambaNya. Sifat wajib yang dikandung oleh kata itu memaksa
manusia untuk melaksanakan ketentuan yang sudah ditetapkan Allah
itu. Unsur ijbari lain yang ada dalam hukum kewarisan Islam adalah (c)
penerima harta peninggalan sudah ditentukan dengan pasti yakni
mereka yang mempunyai hubungan darah dan ikatan perkawinan
dengan pewaris seperti yang dirinci dalam pengelompokan ahli waris
di surat Al-Nisa' (4) ayat 11, 12, dan 176. Karena rincian yang sudah
pasti itu, maka tidak ada satu kekuasaan manusia pun yang dapat
mengubahnya. Dan, oleh karena unsurnya demikian, dalam
kepustakaan, hukum kewarisan Islam yang sui generis ini disebut juga
bersifat compulsary, bersifat wajib dilaksanakan sesuai dengan
ketetapan Allah itu.
Asas (ii) adalah asas 'bilateral.'Asas bilateral dalam hukum kewarisan
berarti seseorang menerima hak atau bagian
warisan dari kedua belah pihak: dari kerabat keturunan laki- laki dan
dari kerabat keturunan perempuan. Asas ini dapat dilihat dalam surat
Al-Nisa1 (4) ayat-ayat 7, 11, 12 dan 176. Di dalam (a) ayat 7
ditegaskan bahwa seorang laki-laki berhak mendapat warisan dari
ayahnya dan juga dari ibunya. Demikian juga halnya dengan
perempuan. Ia berhak mendapat warisan dari kedua orang tuanya. Di
Hukum I slam di Indonesia 303
dalam (b) ayat 11 ditegaskan bahwa (i) anak perempuan berhak
menerima warisan dari orang tuanya sebagaimana halnya dengan anak
laki-laki, seperti telah disebut di depan, dengan perbandingan bagian
seorang anak laki-laki sebanyak bagian dua orang anak perempuan;
(ii) ibu berhak mendapat warisan dari anaknya, baik laki- laki maupun
perempuan, sebesar seperenam. Demikian juga ayah berhak menerima
warisan dari anaknya, baik laki- laki maupun perempuan, sebesar
seperenam, bila pewaris meninggalkan anak. Di dalam (c) ayat 12
dijelaskan bahwa
(i) bila seorang laki-laki mati punah, saudaranya yang laki-
lakilah yang berhak atas harta peninggalannya, juga saudaranya yang
perempuan berhak mendapat harta warisannya itu;
(ii) bila pewaris yang mati punah itu seorang perempuan, maka
saudaranya, baik laki-laki maupun perempuan, berhak menerima harta
warisannya. Di dalam (d) surat Al-Nisa' (4) ayat 176 disebutkan
bahwa (i) seorang laki-laki yang tidak mempunyai keturunan,
sedangkan ia mempunyai saudara perempuan, maka saudaranya yang
perempuan itulah yang berhak menerima warisannya; (ii) seorang
perempuan yang tidak mempunyai keturunan, sedangkan dia
mempunyai saudara laki-laki, maka saudaranya yang laki-laki itulah
yang berhak menerima harta warisannya.
Ahli waris keluarga dekat (kerabat) lain yang tidak tersebut
secara nyata di dalam Alquran dapat diketahui dari penjelasan yang
diberikan oleh Rasulullah. Dapat juga diketahui dari 'perluasan'
pengertian ahli waris yang disebutkan dalam Alquran. Misalnya,
kewarisan kakek dapat diketahui dari kata abun dalam Alquran, yang,
dalam bahasa Arab, artinya kakek secara umum. Demikian juga halnya
dengan nenek, dapat dikembangkan dari perkataan ummi (maternal =
maternal grand mother - nenek dari pihak ibu) yang terdapat dalam
Alquran. Di samping itu terdapat juga penjelasan dari nabi tentang
kewarisan kakek dan kewarisan nenek. Dari perluasan pengertian itu
dapat pula diketahui garis kerabat ke atas melalui pihak laki-laki dan
melalui pihak perempuan.
304 Hukum Islam

Demikian juga halnya dengan garis kerabat ke bawah. Walaupun


tidak secara jelas disebut dalam Alquran, namun, garis kerabat ke
bawah itu dapat diketahui dari 'perluasan 1 pengertian walad: anak, baik
anak laki-laki maupun anak perempuan dan keturunannya. Hanya, di
kalangan Sunni makna anak itu dibatasi pada anak laki-laki dan
keturunannya saja (seperti yang biasanya terdapat dalam masyarakat
patrilinial). Di kalangan Syi’ah (Syi'i) makna anak diperluas kepada
anak laki-laki dan anak perempuan serta cucu melalui anak laki-laki
dan anak perempuan.
Kekerabatan bilateral ini berlaku juga untuk kerabat garis ke
samping. Ini dapat dilihat pada surat Al-Nisa' (4) ayat 12 dan 176.
Ayat 12 surat Al-Nisa 1 (4) menetapkan kewarisan saudara laki-laki
dan saudara perempuan dengan pembagian yang berbeda dengan hak
atau bagian yang diperoleh saudara dalam ayat 176 surat yang sama.
Perbedaan itu menunjukkan adanya perbedaan dalam hal (orang) yang
berhak menerima warisan.
Dengan mendalami makna ayat 12 dan 176 surat Al-Nisa' (4)
tersebut diperoleh satu kesimpulan bahwa pada garis kerabat ke
samping pun berlaku kewarisan dua arah, melalui arah ayah dan arah
ibu.
Demikianlah penjelasan tentang asas bilateral dalam kewarisan
Islam.
Asas (iii) adalah asas 'individual.' Dengan asas ini dimak- sudkan
bahwa dalam hukum kewarisan Islam harta warisan dapat dibagi-bagi
kepada ahli waris untuk dimiliki secara perorangan. Untuk itu, dalam
pelaksanaannya, seluruh harta warisan dinyatakan dalam nilai tertentu
yang kemudian dibagikan kepada setiap ahli waris yang berhak
menerimanya menurut kadar bagian masing-masing. Dalam hal ini,
setiap ahli waris berhak atas bagian yang didapatnya tanpa terikat
kepada ahli waris yang lain, karena bagian masing-masing sudah
ditentukan.
Asas individual hukum kewarisan Islam ini diperoleh dari kajian
aturan Alquran mengenai pembagian harta warisan. Ayat 7 surat Al-
Hukum I slam di Indonesia 305
Nisa' (4), misalnya, dalam garis-garis besar telah menjelaskan tentang
hak laki-laki untuk menerima warisan dari orang tua atau keluarga
dekatnya. Demikian juga halnya dengan perempuan berhak menerima
harta warisan orang tua atau kerabatnya baik sedikit maupun banyak.
Bagian mereka (masing-masing) sudah ditentukan.
Ayat 11, 12 dan 176 surat Al-Nisa 1 (4) menjelaskan secara rinci
hak masing-masing ahli waris menurut bagian tertentu dan pasti.
Dalam bentuk yang tidak tentu pun seperti bagian anak laki-laki
bersama dengan anak perempuan seperti disebutkan dalam surat Al-
Nisa' (4) ayat 11 dan bagian saudara laki-laki bersama saudara
perempuan dalam surat Al-Nisa' (4) ayat 176, dijelaskan perimbangan
pembagiannya, yaitu bagian laki-laki sama dengan bagian dua orang
perempuan. Dari perimbangan ini jelas bagian masing-masing ahli
waris. Ketentuan ini mengikat dan wajib dijalankan oleh setiap
Muslim dan Muslimat.
Bila pembagian menurut asas individual ini telah ter- laksana,
maka setiap ahli waris berhak untuk berbuat atau bertindak atas harta
yang diperolehnya kalau ia telah mempunyai kemampuan untuk
bertindak. Bila belum, maka untuk mereka yang tidak atau belum
mampu bertindak itu, diangkat wali untuk mengurus hartanya menurut
ketentuan perwa- lian. Wali bertanggung jawab mengurus harta orang
yang belum dapat bertindak mengurus hartanya, memberikan
pertanggungjawaban dan mengembalikan harta itu bila pemiliknya
telah mampu bertindak sepenuhnya mengurus miliknya yang (selama
ini) berada di bawah perwalian itu. Mencampuradukkan harta yang di
bawah perwalian dengan harta kekayaan orang yang mengurusnya
(wali), sehingga sifat individualnya berubah menjadi kolektif, adalah
bertentangan dengan asas individual kewarisan Islam. Oleh karena itu,
pula bentuk kewarisan kolektif yang terdapat dalam masyarakat adat
tertentu, tidak sesuai dengan ajaran Islam. Sebabnya adalah, karena
dalam pelaksanaan kewarisan kolektif itu, mungkin, sengaja atau
tidak, termakan harta anak yatim yang sangat dilarang oleh ajaran
Islam.
306 Hukum Islam

Asas (iv) adalah asas 'keadilan berimbang.' Perkataan adil


terdapat banyak dalam Alquran. Oleh karena itu, kedudukan- nya
sangat penting dalam sistem hukum Islam, termasuk hukum kewarisan
di dalamnya. Oleh karena itu pula, dalam sistem ajaran Islam, keadilan
adalah titik tolak, proses dan tujuan segala tindakan manusia.
Dalam hubungannya dengan materi, yang diatur dalam hukum
kewarisan, keadilan dapat diartikan sebagai keseim- bangan antara hak
dan kewajiban, keseimbangan antara yang diperoleh dengan keperluan
dan kegunaannya.
Dengan demikian, asas ini mengandung arti bahwa harus
senantiasa terdapat keseimbangan antara hak dan kewajiban, antara
hak yang diperoleh seseorang, dengan kewajiban yang harus
ditunaikannya. Laki-laki dan perempuan misalnya, mendapat hak yang
sama sebanding dengan kewajiban yang dipikulnya masing-masing
dalam kehidupan keluarga dan masyarakat. Dalam sistem kewarisan
Islam, harta peninggalan yang diterima oleh ahli waris dari pewaris
pada hakikatnya adalah pelanjutan tanggung jawab pewaris terhadap
keluarga- nya. Oleh karena itu, bagian yang diterima oleh masing-
masing ahli waris berimbang dengan perbedaan tanggung jawab
masing-masing terhadap keluarga. Seorang laki-laki menjadi
penanggung jawab kehidupan keluarga, mencukupi keperluan hidup
anak dan isterinya (QS Al-Baqarah (2) ayat 233) menurut
kemampuannya (QS Al-Talaq (65) ayat 7). Tanggung jawab itu
merupakan kewajiban agama yang harus dilaksanakan- nya, terlepas
dari persoalan apakah isterinya mampu atau tidak, anaknya
memerlukan bantuan atau tidak. Terhadap kerabat lain, tanggung
jawab seorang laki-laki juga ada (QS Al-Baqarah (2) ayat 177 ).
Berdasarkan keseimbangan antara hak yang diperoleh dan kewajiban
yang harus ditunaikan, sesungguhnya manfaat yang dirasakan oleh
seorang laki-laki dan seorang perempuan dari harta peninggalan yang
mereka peroleh adalah sama.
Hukum Islam di Indonesia 321 Asas (v)

adalah asas yang menyatakan bahwa kewarisan ada kalau ada yang
meninggal dunia. Ini berarti bahwa kewarisan semata-mata sebagai
'akibat kematian’ seseorang. Menurut hukum kewarisan Islam,
peralihan harta seseorang kepada orang lain yang disebut dengan nama
kewarisan, terjadi setelah orang yang mempunyai harta itu meninggal
dunia. Ini berarti bahwa harta seseorang tidak dapat beralih kepada
orang lain dan disebut sebagai harta warisan, selama orang yang
mempunyai harta itu masih hidup. Juga berarti bahwa segala bentuk
peralihan harta seseorang yang masih hidup kepada orang lain, baik
secara langsung maupun yang akan dilaksanakan kemudian sesudah
kematiannya, tidak termasuk ke dalam kategori kewarisan menurut
hukum Islam. Ini berarti bahwa hukum kewarisan Islam hanya
mengenai satu bentuk kewarisan saja, yaitu 'kewarisan sebagai akibat
kematian 1 seseorang atau yang disebut dalam hukum kewarisan
perdata Barat kewarisan ab intestato atau kewarisan karena kematian
atau kewarisan menurut undang-undang. Hukum kewarisan Islam,
karena itu, tidak mengenai kewarisan atas dasar wasiat atau kewarisan
karena diangkat atau ditunjuk dengan surat wasiat yang dilakukan oleh
seseorang pada waktu ia masih hidup, yang disebut dalam hukum
perdata Barat dengan istilah kewarisan secara testamen. Asas ini
mempunyai kaitan dengan asas ijbari tersebut di atas yakni seseorang
tidak sekehendaknya saja menentukan penggunaan hartanya setelah ia
mati kelak. Melalui wasiat, menurut hukum Islam, dalam batas-batas
tertentu, seseorang memang dapat menentukan pemanfaatan harta
kekayaannya setelah ia meninggal dunia, tetapi wasiat itu merupakan
ketentuan tersendiri terpisah dari ketentuan hukum kewarisan Islam.
Dalam kitab- kitab hukum fiqih, wasiat dibahas tersendiri di luar
hukum kewarisan. Namun, dalam Kompilasi Hukum Islam Wasiat
dimuat dalam Buku II Hukum Kewarisan, Bab V.
Asas kewarisan akibat kematian ini dapat digali dari pema- kaian
kata warasa yang banyak terdapat dalam Alquran. Dalam ayat-ayat
kewarisan, beberapa kali kata warasa itu dipergunakan. Dan, dari
308 Hukum Islam

keseluruhan pemakaian itu terlihat bahwa peralihan harta berlaku


sesudah yang mempunyai harta itu mati. Ini berarti bahwa warasa
mengandung makna peralihan harta setelah kematian.
Asas-asas Kewarisan Islam dalam Kompilasi Hukum Islam

Asas-asas hukum Kewarisan Islam tersebut di atas berlaku juga


bagi Kompilasi Hukum Islam Indonesia.
Asas (i) ijbari, secara umum, terlihat pada ketentuan umum
mengenai perumusan pengertian kewarisan, pewaris dan ahli waris.
Secara khusus, asas ijbari mengenai cara peralihan harta warisan, juga
disebut dalam ketentuan umum tersebut dan pada Pasal 187 ayat (2)
yang berbunyi sebagai berikut, “Sisa pengeluaran dimaksud di atas
adalah merupakan harta warisan yang harus dibagikan kepada ahli
waris yang berhak". Perkataan 'harus’ dalam pasal ini menunjukkan
asas ijbari. Tentang 'bagian masing-masing' ahli waris dinyatakan
dalam Bab III, Pasal 176 sampai dengan Pasal 182. Mengenai 'siapa-
siapa' yang menjadi 'ahli waris' disebutkan dalam Bab II, Pasal 174
ayat (1) dan(2).
Asas (ii) bilateral dalam Kompilasi Hukum Islam dapat dibaca
pada 'pengelompokan ahli waris' seperti tercantum dalam Pasal 174
ayat (1) yaitu ayah, anak laki-laki, saudara laki-laki, paman dan kakek
(golongan laki-laki), serta ibu, anak perempuan, saudara perempuan
dan nenek (golongan perempuan) menurut hubungan darah. Dengan
disebutkannya secara tegas golongan laki-laki dan golongan
perempuan serempak menjadi ahli waris dalam pasal tersebut, jelas
asas bilateralnya. Duda atau janda menjadi ahli waris berdasarkan
hubungan perkawinan adalah juga ciri kewarisan bilateral. Dalam
hubungan ini, mungkin tidak ada salahnya untuk dicatat bahwa asas
bilateral dalam hukum kewarisan di Indonesia, untuk pertama kali,
dikemukakan oleh almarhum Profesor Hazairin mantan Gurubesar
Hukum Islam dan Hukum Adat Fakultas Hukum Universitas Indonesia.
Dalam kuliah umumnya di aula Universitas Indonesia ketika
memperingati hari ulang tahun Perguruan Tinggi Islam Jakarta
Hukum I slam di Indonesia 309
(sekarang Universitas Islam Jakarta) tanggal 17 Nopember 1957 beliau
katakan bahwa sistem kekeluargaan (perkawinan dan kewarisan)
dalam Alquran adalah bilateral. Kesimpulan itu beliau kemukakan
setelah beliau mempelajari ayat-ayat perkawinan dan kewarisan
(kekeluargaan) dalam Aquran. “Semenjak tahun 1950, kata beliau
dalam bukunya Hukum Kewarisan Bilateral menurut al-Qur’an, makin tebal
keyakinan saya bahwa Quran adalah anti kepada masyarakat yang
unilateral, yaitu masyarakat yang berklan- klan menurut sistem
kekeluargaan secara matrilineal dan patrilineal. Menurut keyakinan
saya, kata beliau lebih lanjut, Quran hanya meredai masyarakat yang
bilateral." Keyakinan itu beliau peroleh setelah mempelajari dengan
seksama surat Al-Nisa' (4) ayat 23 dan 24 mengenai larangan-larangan
perkawinan. Di dalam ayat-ayat tersebut Allah tidak melarang
perkawinan cross cousins dan parallel cousins (menurut istilah antropologi
sosial) antara seorang laki-laki dengan seorang wanita. Ini
mengandung makna bahwa tidaklah wajib orang melakukan
perkawinan eksogami untuk mempertahankan klan (matrilineal dan
patrilineal) dalam masyarakat unilateral dan bermakna pula tidak
dilarang orang melakukan perkawinan endogami dalam klan atau
usbahnya. Karena sistem kekeluargaan dalam Alquran adalah bilateral,
maka asas kewarisan yang merupakan bagian sistem kekeluargaan
bilateral itu, juga bilateral seperti yang telah diuraikan di muka, yang
dianut pula oleh Kompilasi Hukum Islam, ter- cermin dalam Pasal 174
ayat (1) di atas.
Asas (iii) individual. Asas ini juga tercermin dalam pasal- pasal
mengenai besarnya bagian ahli waris dalam Kompilasi Hukum Islam,
Bab III Pasal 176 sampai dengan Pasal 180 tersebut di atas. Dan,
khusus bagi ahli waris yang memperoleh harta warisan sebelum ia
dewasa atau tidak mampu bertindak melaksanakan hak dan
kewajibannya atas harta yang diper- olehnya dari kewarisan, baginya
diangkat wali berdasarkan putusan hakim atas usul anggota
keluarganya. Ini diatur dalam Pasal 184 Kompilasi Hukum Islam.
Asas (iv) keadilan berimbang. Asas ini dalam Kompilasi Hukum
310 Hukum Islam

Islam terdapat, terutama, dalam pasal-pasal mengenai besarnya bagian


yang disebut dalam Pasal 176 dan Pasal 180. Juga dikembangkan
dalam penyesuaian perolehan yang dilakukan pada waktu penyelesaian
pembagian warisan melalui (1) pemecahan secara aul dengan
membebankan kekurangan harta yang akan dibagi kepada semua ahli
waris yang berhak menurut kadar bagian masing-masing. Ini disebut
dalam Pasal 192 dengan menaikkan angka penyebut sesuai atau sama
dengan angka pembilangnya. Selain itu, agar asas keadilan berimbang
dapat diwujudkan waktu penyelesaian pembagian warisan,
penyesuaian dapat dilakukan melalui (2) rad yakni mengembalikan sisa
(kelebihan) harta kepada ahli waris yang ada sesuai dengan kadar
bagian masing-masing. Dalam hubungan ini perlu dicatat bahwa
terdapat perbedaan pendapat mengenai siapa yang berhak menerima
pengembalian itu. Namun, jumhur (kebanyakan = pada umumnya)
ulama mengatakan bahwa yang berhak menerima pengembalian sisa
harta itu hanyalah ahli waris karena hubungan darah, bukan ahli waris
karena hubungan perkawinan. Dalam Kompilasi Hukum Islam soal rad
ini dirumuskan dalam Pasal 193, dengan kata-kata, “Apabila dalam
pembagian harta warisan di antara para ahli waris dzawil furud
menunjukkan bahwa angka pembilang lebih kecil daripada angka
penyebut, sedangkan tidak ada ahli waris asabah (berhubungan darah
karena seklen) maka pembagian harta warisan tersebut dilakukan
secara rad, sesuai dengan hak masing-masing ahli waris, sedang
sisanya dibagi secara berimbang di antara mereka". Dalam rumusan ini
“tidak dibedakan antara ahli waris karena hubungan darah dengan ahli
waris karena hubungan perkawinan” yang dibedakan oleh pendapat
jumhur ulama dalam fiqih mawaris di buku- buku fiqih kewarisan.
Penyelesaian pembagian warisan dapat juga dilakukan dengan (3)
takharuj atau tasaluh (damai) berdasarkan kesepakatan bersama. Di
dalam Kompilasi Hukum Islam hal ini dirumuskan di dalam Pasal 183
dengan kata-kata, “Para ahli waris dapat bersepakat melakukan
perdamaian dalam pembagian harta warisan, setelah masing- masing
menyadari bagiannya” .
Hukum I slam di Indonesia 311
Ke dalam asas 'keadilan' yang berimbang ini, dapat juga di-
masukkan soal ahli waris pengganti yang dikedepankan oleh Hazairin,
yang dirumuskan dalam Pasal 185 dengan kata- kata “ (1) Ahli waris
yang meninggal dunia lebih dahulu daripada si pewaris maka
kedudukannya dapat digantikan oleh anaknya, kecuali mereka yang
tersebut dalam Pasal 173 yaitu orang yang dihukum karena (a)
dipersalahkan telah membunuh atau mencoba membunuh atau
menganiaya berat pewaris, atau (b) dipersalahkan secara memfitnah
telah mengajukan pengaduan bahwa pewaris telah melakukan suatu
kejahatan yang diancam dengan hukuman 5 tahun penjara atau
hukuman yang lebih berat. (2) Bagian bagi ahli waris pengganti tidak
boleh melebihi bagian ahli waris yang sederajat dengan yang diganti“.
Alasan memasukkan soal ahli waris pengganti ini ke dalam asas
keadilan yang berimbang adalah karena masalah cucu yang orang
tuanya meninggal lebih dahulu dari pewaris, menjadi masalah keadilan
benar, seperti dapat dibaca dalam artikel Panji Masyarakat nomor 653/
1990 mengenai beberapa fatwa Pengadilan Agama di Daerah Khusus
Ibukota Jakarta.

GAMBAR 1. Keterangan/Fatwa Waris PA Jakarta


Pusat No. 287/C/1980, 22 juni 1980

P adalah pewaris atau orang yang meninggal dunia. A adalah anak


laki-laki yang telah meninggal dunia lebih dahulu dari pewaris. B
adalah anak perempuan yang telah meninggal dunia lebih dahulu dari
pewaris. C dan D adalah cucu laki-laki dan perempuan melalui anak
laki-laki A. E dan F adalah cucu laki-laki dan perempuan melalui anak
perempuan B.
312 Hukum Islam

Pengadilan Agama Jakarta Pusat menetapkan bahwa C dan D


mewarisi seluruh harta peninggalan kakeknya berbanding 2:1.
Sedangkan E dan F tak berhak mewaris dari kakeknya karena
keduanya adalah dzawil arham. Jadi, C mendapat 2/3 bagian, dan D
mendapat 1/3 bagian.
Jika ajaran kewarisan bilateral Hazairin diterapkan pada kasus
tersebut di atas, maka C, D, E, dan F memperoleh harta peninggalan
sebagai ahli waris pengganti (mawali) orang tuanya atas dasar Alquran
surat Al-Nisa' (4) ayat 33 dengan formula 2:1. Jadi, C mendapat 2/3 x
2/3 = 4/9; D mendapat 1/3 x 2/3 = 2/9. Keduanya, yakni C dan D,
adalah mawali (dari) A. Sedangkan E mendapat 2/3 x 1/3 = 2/9. F
mendapat 1/3 x 1/3 = 1/9. Keduanya adalah mawali (dari) B.
P adalah orang yang meninggal dunia atau pewaris. A adalah anak
laki-laki pewaris yang telah meninggal dunia

GAMBAR 2. Keterangan/Fatwa Waris PA Jakarta S


1980.

lebih dahulu. B adalah anak laki-laki pewaris; C adalah anak laki-laki


A; dan D anak perempuan A.
Pengadilan Agama Jakarta Selatan menetapkan bahwa B
memperoleh seluruh harta peninggalan pewaris. Sedangkan C dan D
tidak mendapat apa-apa karena keduanya terhijab (tertutup =
terdinding) oleh B yang masih hidup.
Jika ajaran kewarisan bilateral Hazairin diterapkan dalam kasus
ini, maka C dan D memperoleh harta peninggalan pewaris
menggantikan bagian bapaknya yang telah meninggal dunia lebih
dahulu dari pewaris atas dasar surat Al-Nisa' (4) ayat 33. Rinciannya
Hukum I slam di Indonesia 313
adalah sebagai berikut: A dan B masing-masing mendapat 1/2 sebagai
dzu al-qarabat (asabah). Karena A telah meninggal lebih dahulu, maka
bagiannya diteruskan kepada C dan D sebagai mawali (ahli waris
pengganti) dengan perban- dingan 2:1. Jadi, C memperoleh 2/3 x 1/2 =
2/6 dan D mendapat 1/3 x 1/2 = 1/6.
P adalah pewaris. A adalah anak perempuan pewaris yang telah
meninggal dunia lebih dahulu dari pewaris. B dan C adalah cucu laki-
laki dan cucu perempuan melalui anak perempuan (A) yang telah
meninggal dunia.

(5) i,
GAMBAR 3. Ketetapan/Fatwa Waris PA Ja karta UtaraNo.59/C/1980,29 Oktober
1980.

Pengadilan Agama Jakarta Utara menetapkan bahwa B dan C


tidak mewarisi harta peninggalan kakeknya karena keduanya adalah
dzawil arham (melalui wanita, berlainan klen dengan pewaris). Harta
peninggalan tersebut harus diserahkan kepada bait al-mal (baca:
baitulmal) atau kas negara.
Fatwa tersebut di atas tentu saja, menurut hemat penulis (Panji
Masyarakat) tidak memenuhi rasa keadilan. B dan C tidak berhak
mewarisi hanya karena penghubungnya perempuan. Mengapa harus
dibedakan antara cucu melalui anak laki- laki dan cucu melalui anak
perempuan? Dalam kasus-kasus seperti inilah barangkali orang lebih
suka datang ke Pengadilan Negeri agar dapat diberlakukan ketentuan
Kitab Undang- undang Hukum Perdata (Burgerlijk Wetboek). Sebab, bila
KUHPer atau BW tersebut diterapkan pada kasus di atas, maka kedu-
dukan B dan C akan lebih baik. Padahal, jika Pengadilan Agama
menerapkan ajaran kewarisan bilateral Hazairin, B dan C akan
314 Hukum Islam

memperoleh harta peninggalan sebagai mawali (ahli waris pengganti)


atas dasar surat Al-Nisa' (4) ayat 33. Artinya, B dan C tidak perlu
mencari saluran lain untuk mencari keadilan.
Jadi, bila diselesaikan berdasarkan ajaran kewarisan bilateral
Hazairin, maka rinciannya adalah: A mendapat 1/2 atas dasar surat Al-
Nisa' (4) ayat 11. Karena A telah meninggal dunia lebih dahulu dari si
pewaris, maka bagiannya diterus- kan kepada B dan C sebagai mawali
atas dasar surat Al-Nisa' (4) ayat 33 dengan perbandingan 2:1. B
mendapat 2/3 x 1/2 = 2/6 dan C mendapat 1/3 x 1/2 = 1/6. Sisanya = 1
- (2/6 + 1/6) = 3/6. Sisa bagi ini kemudian diradkan (dikembalikan)
kepada B dan C secara berimbang. Jadi, hasil akhirnya adalah:
B mendapat 2/6 + (2/3 x 3/6) = 4/6; dan C mendapat 1/6 + (1/3 x 3/6)
= 2/6.
Mengenai perkataan 'ahli waris pengganti' itu sendiri, seperti
dapat dibaca dalam kepustakaan hukum Indonesia, berasal dari
almarhum Profesor Hazairin tersebut di atas yang beliau angkat dari
perbendaharaan Hukum Adat Indonesia. Dalam buku beliau yang telah
disebut di atas beliau katakan bahwa “garis pokok penggantian tidak
ada sangkut-pautnya dengan ganti-mengganti. Dia hanyalah 'cara
untuk menunjuk- kan siapa-siapa ahli waris.' Tiap-tiap ahli waris
berdiri sendiri sebagai ahli waris. Dia bukan menggantikan ahli waris
yang lain, sebab penghubung yang tidak ada lagi itu bukan ahli waris,
sehingga soal representasi ataupun substitusi tidak ada di sini.”
Asas (v) yakni asas yang menyatakan bahwa kewarisan ada kalau
'ada yang meninggal dunia' tercermin dalam rumusan berbagai istilah
yaitu hukum kewarisan, pewaris, ahli waris dan harta peninggalan
dalam Pasal 171 pada bab ketentuan umum. Hanya, agak berbeda
dengan kitab-kitab fiqih selama ini, seperti telah disinggung di muka,
soal wasiat, dibicara-kan dalam buku II Hukum Kewarisan Bab V.
Kompilasi Hukum Islam dan Fiqih Mawaris

Kalau dibandingkan Kompilasi Hukum Islam mengenai Hukum


Kewarisan dengan kitab Fiqhul Mawaris karangan Prof. T. M.Hasbi Ash
Hukum I slam di Indonesia 315
Shiddieqy, misalnya, maka yang tercantum dalam Buku II Kompilasi
Hukum Islam, hanyalah yang penting- penting saja, berupa pokok-
pokoknya saja. Ini disebabkan karena garis-garis hukum yang
dihimpun dalam ‘dokumentasi yustisia’ yang disebut Kompilasi
Hukum Islam itu hanyalah pedoman dalam menyelesaikan perkara-
perkara di bidang hukum perkawinan, kewarisan dan perwakafan.
Pengem- bangannya diserahkan kepada hakim (agama) yang wajib
memperhatikan dengan sungguh-sungguh nilai-nilai hukum yang hidup
dalam masyarakat, sehingga putusannya sesuai dengan rasa keadilan,
seperti yang diharapkan oleh Pasal penutup (229) kompilasi.
Kendatipun demikian, beberapa catatan berikut perlu
dikemukakan. Pertama, karena garis-garis hukum mengenai kewarisan
sudah ditentukan dalam Alquran, maka rumusan kompilasi mengikuti
saja garis rumusan yang terdapat dalam Alquran. Mengenai ini tidak
ada perbedaan antara Kompilasi dengan Fiqhul Mawaris. Sementara itu
perlu dicatat bahwa kendatipun semangat perumusan kompilasi
mengarah ke sistem bilateral, namun modifikasi dalam masalah
kewarisan ini, dibandingkan dengan Fiqhul Mawaris, tampaknya,
dilakukan secara hati-hati. Kedua, kedudukan anak angkat tetap diletak-
kan di luar ahli waris, sama dengan yang terdapat dalam fiqih mawaris
selama ini, namun dengan mengadaptasi nilai hukum adat secara
terbatas ke dalam nilai hukum Islam karena beralihnya tanggung
jawab orang tua asal kepada orang tua angkat mengenai pemeliharaan
kehidupan sehari-hari dan biaya pendidikan berdasarkan putusan
pengadilan, seperti yang disebutkan dalam hurufh, Pasal 171 di
ketentuan umum, maka “terhadap anak angkat yang tidak menerima
wasiat diberi wasiat wajibah sebanyak-banyaknya sepertiga harta waris-
an orang tua angkatnya”. Demikian disebutkan dalam Pasal 209 ayat
(2) Kompilasi. Dalam fiqih mawaris selama ini, lembaga wasiat
wajibah itu diperuntukkan bagi cucu yang orang tuanya telah
meninggal lebih dahulu dari pewaris, yang dalam kompilasi ini
ditampung oleh lembaga ahli waris pengganti. Ketiga, tentang warisan
yang diperoleh anak yang belum dewasa dan karena itu belum atau
316 Hukum Islam

tidak mampu mengurus hartanya sendiri, berbeda dengan fiqih


mawaris, Kompilasi Hukum Islam mengatur soal itu secara rinci yang
tertuang dalam beberapa pasal, misalnya, Pasal 184 yang menyatakan
bahwa untuk menjamin terpeliharanya harta warisan anak yang belum
dewasa, diangkat wali berdasarkan keputusan hakim. Menurut Buku I
Pasal 107'perwalian' mengenai diri dan harta kekayaan anak
berlangsung sampai anak itu berumur 21 tahun. Walinya sedapat
mungkin dari keluarga anak bersangkutan. Wali bertanggung jawab
terhadap harta (anak) yang berada di bawah perwaliannya, dilarang
mengikat, membebani dan mengasingkan harta anak yang berada di
bawah perwaliannya serta wajib mempertanggungjawabkan perwalian
yang dipercayakan kepadanya dengan pembukuan, sebagai bukti, yang
ditutup setiap akhir tahun.
Demikianlah beberapa hal yang perlu dikemukakan ber- kenaan
dengan Kompilasi Hukum Islam dan Fiqih Mawaris (Fiqhul Mawaris).
Kodifikasi Hukum Kewarisan Islam dalam Rangka Pembinaan Hukum
Nasional
Kodifikasi hukum nasional dalam bidang-bidang tertentu
ditetapkan dalam Garis-garis Besar Haluan Negara dan telah menjadi
komitmen kita sebagai bangsa untuk melaksanakannya. Namun,
kodifikasi hukum kewarisan dalam bentuk 'unifikasi' yang berlaku
bagi semua warga negara, agaknya, akan merupakan masalah. Ini
disebabkan karena hukum kewarisan
Islam adalah bagian agama Islam. Dari uraian yang telah dikemukakan
di atas, agaknya, jelas bahwa sumber garis-garis hukum kewarisan
adalah sumber agama Islam yaitu Alquran yang dijelaskan dengan
Sunnah Rasulullah. Dalam kerangka dasar agama Islam digambarkan
bahwa iman dan hukum merupakan bejana yang berhubungan, saling
isi mengisi. Keduanya, tidak mungkin diceraipisahkan. Juga dengan
akhlak. Oleh karena hukum kewarisan merupakan bagian agama Islam
(kecuali beberapa hal yang dikembangkan oleh pemahaman manusia
yang disebut fiqih), dan pelaksanaannya merupakan ibadah dalam arti
Hukum I slam di Indonesia 317
yang luas, maka, pada pendapat penulis, pemeluk agama Islam di
Indonesia, seyogianya, diberi kesempatan dan benar-benar dijamin
kemerdekaannya untuk beribadah menurut agamanya dan
kepercayaannya itu. Ini berarti, kalau kelak di kemudian hari diadakan
kodifikasi mengenai hukum kewarisan bangsa Indonesia, pola
kodifikasi hukum perkawinan dalam Undang-Undang Perkawinan,
seyogianya dijadikan model. Sebabnya adalah, selain langkah untuk
menghasilkan pola demikian adalah tepat, juga logis, karena hukum
perkawinan dan hukum kewarisan merupakan ‘dwitunggaF yang
menyatu dalam hukum keluarga, yang pelaksanaan kedua-duanya,
merupakan ibadah umat Islam yang dijamin penyelenggaraannya oleh
Undang-Undang Dasar 1945, Pasal 29 ayat (2).
Buku III Hukum Perwakafan, terdiri dari 5 Bab dengan 14 pasal
(dari Pasal 215 sampai dengan Pasal 228). Bab I Ketentuan Umum
memuat penjelasan singkat tentang kata-kata penting yang dimuat
dalam buku III itu. Pada Pasal 215 dirumuskan apa yang dimaksud
dengan: wakaf, wakif, ikrar, benda wakaf, nadzir, pejabat pembuat
akta ikrar wakaf yang diangkat dan diberhentikan oleh Menteri
Agama. Bab II mengatur Fungsi, Unsur-unsur dan Syarat-syarat Wakaf
(Pasal 216 sampai dengan Pasal 222). Pada Pasal 216 dinyatakan
bahwa fungsi wakaf adalah mengekalkan manfaat benda wakaf sesuai
dengan tujuan wakaf. Di Pasal 217 disebutkan Unsur-unsur dan
Syarat- syarat Wakaf. Pasal 217 ayat (1) ditentukan bahwa Badan-
badan hukum Indonesia dan orang atau orang-orang yang telah dewasa
dan sehat akalnya serta oleh hukum tidak terhalang untuk melakukan
perbuatan hukum, atas kehendak sendiri dapat mewakafkan benda
miliknya dengan memperhatikan peraturan perundang-undangan yang
berlaku. Di ayat (2) disebutkan bahwa yang bertindak untuk dan atas
nama badan- badan hukum itu adalah pengurusnya yang sah menurut
hukum. Di ayat (3) Pasal 217 ditegaskan bahwa benda wakaf (segala
benda, baik benda bergerak atau tidak bergerak yang memiliki daya
tahan yang tidak hanya sekali pakai dan bernilai menurut ajaran Islam)
harus merupakan benda milik yang bebas dari segala pembebanan,
318 Hukum Islam

ikatan, sitaan dan sengketa. Pada Pasal 218 ayat (1) disebut bahwa
wakif, yaitu orang atau orang-orang ataupun badan hukum yang
mewakafkan benda miliknya harus mengikrarkan kehendaknya secara
jelas dan tegas kepada nazir yaitu kelompok orang atau badan hukum
yang diserahi tugas pemeliharaan dan pengurusan benda wakaf. Dalam
Pasal 219 ayat (1) disebutkan syarat-syarat nazir, harus (a) warga
negara Indonesia, (b) beragama Islam, (c) sudah dewasa, (d) sehat
jasmani dan rohani, (e) tidak berada di bawah pengampuan, dan (f)
bertempat tinggal di kecamatan tempat letak benda yang diwakafkan.
Di ayat
(2) dikatakan bahwa jika nazir berbentuk badan hukum, harus (a) badan
hukum Indonesia dan berkedudukan di
Hukum Islam di Indonesia 335
Indonesia, (b) mempunyai perwakilan di kecamatan tempat letak
benda yang diwakafkan. Dalam Pasal 220, 221, dan 222 diuraikan
Kewajiban dan Hak-hak Nazir, antara lain: nazir berkewajiban mengurus
dan bertanggung jawab atas kekayaan wakaf serta hasilnya,
melaksanakan pengurusan wakaf sesuai dengan tujuannya. Nazir
berhak mendapat penghasilan dan fasilitas, yang jenis dan jumlahnya
ditentukan berdasarkan kelayakan setempat.
Bab III Tata Cara Perwakafan dan Pendaftaran Benda Wakaf
(Pasal 223 sampai dengan Pasal 224). Dalam Pasal 223 diatur Tata
Cara Perwakafan, sedang pada Pasal 224 disebut cara-cara
pendaftarannya. Bab IV tentang Perubahan, Penyelesaian dan
Pengawasan Benda Wakaf. Dalam Pasal 225 disebut tentang
Perubahan Benda Wakaf. Di Pasal 226 diatur Penyelesaian
Perselisihan Benda Wakaf, sedang di Pasal 227 disebut pengawasan
terhadap pelaksanaan tugas dan tanggung jawab nadzir dilakukan
secara bersama-sama oleh Kepala Kantor Urusan Agama Kecamatan,
Majelis Ulama Kecamatan dan Pengadilan Agama yang
mewilayahinya. Bab V Ketentuan Peralihan. Dalam Pasal 228
disebutkan perwakafan benda, demikian juga pengurusannya yang
terjadi sebelum dikeluarkannya ketentuan ini, harus dilaporkan dan
didaftarkan kepada Kantor Urusan Agama Kecamatan setempat untuk
disesuaikan dengan ketentuan-ketentuan ini. Ketentuan Penutup yang
terdapat dalam buku III, mungkin dimaksudkan untuk menutup ketiga
buku kompilasi. Rumusannya (Pasal 229), seperti telah disebut di
muka, berbunyi sebagai berikut, "Hakim dalam menyelesaikan
perkara-perkara yang diajukan kepadanya, wajib memperhatikan
dengan sungguh-sungguh nilai-nilai hukum yang hidup dalam
masyarakat, sehingga putusannya sesuai dengan rasa keadilan".
Setelah ketentuan penutup, kompilasi ini diiringi dengan Penjelasan
Umum, Penjelasan Pasal demi Pasal dan Indeks. Dalam Penjelasan
Umum disebutkan bahwa hukum materiil yang selama ini berlaku di
lingkungan Peradilan Agama adalah hukum Islam yang pada garis
320 Hukum Islam

besarnya meliputi bidang Hukum Perkawinan, Hukum Kewarisan dan


Hukum Perwakafan. Hukum materiil tersebut, demikian Penjelasan
Umum itu lebih lanjut, perlu dihimpun dan diletakkan dalam suatu
dokumentasi yustisia atau Buku Kompilasi Hukum Islam sehingga
dapat dijadikan pedoman bagi hakim di lingkungan Peradilan Agama
sebagai hukum terapan dalam menyelesaikan perkara- perkara yang
diajukan kepadanya.
Kalau pasal-pasal Kompilasi Hukum Islam tersebut dipe- lajari
dengan saksama, segera terasa bahwa isinya selain mengandung garis-
garis hukum atau bagian-bagian hukum Islam yang sudah 'merenap'
(meresap) ke dalam dan menjadi kesadaran hukum masyarakat
Muslim, juga mengandung hal- hal baru yang 'bercorak Indonesia,'
misalnya untuk menyebut sekadar contoh ahli waris pengganti, wasiat
wajibah untuk anak angkat.
Dari uraian tersebut di atas, dapat juga disimpulkan bahwa
sumber penyusunan hukum Islam dalam kompilasi ini selain (1) wahyu
yang terdapat dalam Alquran, (2) Sunnah Rasulullah yang terdapat
dalam kitab-kitab hadis, juga (3) ra'yu (akal pikiran) melalui ijtihad
yang tercermin dalam (i) kitab-kitab fiqih, (ii) pendapat para ulama
Indonesia, (iii) yurisprudensi Peradilan Agama, (iv) hasil studi
perbandingan dengan negara-negara lain, serta (v) peraturan
perundang- undangan mengenai perkawinan dan perwakafan tanah
milik di Indonesia.***
Daftar Pustaka

Abdullah, Abdul Gani. Badan Hukum Syara' Kesultanan Bima 1947-1957,


Disertasi (Jakarta: IAIN Syarif Hidayatullah, 1987).
321
Abdurrahman, Asjmuni, H. Pengantar kepada Ijtihad (Jakarta: Bulan
Bintang, 1978).
Adams, CharlesJ. "Islam" dalam The Great Religions (New York: The
Free Press, 1965).
Aghnides, Nicholas, P. Pengantar Ilmu Hukum Islam (Solo: Siti Syamsiah,
1984).
Ahmad, Dasuki. Kamus Pengetahuan Islam (Kuala Lumpur: Pustaka,
1976).
Al-Attas, M. Al-Naquib. Islam and Secularism atau Islam dan Sekularisme
(Kuala Lumpur: Abim, 1978, Bandung: Pustaka, 1981).
Ali, Mohammad Daud. Bangunan-bangunan Islam (Jakarta: Bintang, 1968).
Anderson, Norman. Law Reform in the Muslim World (University of London
the Athlone Press, 1976).
338 Hukum Islam
Anshari, Endang Saifuddin. Piagam Jakarta 22 Jutii 1945 (Bandung,
Pustaka, 1981).
Ash-Shiddieqy, Hasbi TM. Sejarah Pertumbuhan dan Perkembangan Hukum
Islam (Jakarta: Bulan Bintang, 1971).
. Falsafah Hukum Islam (Jakarta: Bulan Bintang, 1975).
Aulawi, Wasit HA. Kompilasi Hukum Islam Dalam Sistem Hukum Nasional
(Pidato Pengukuhan, Jakarta, IAIN, 1989).
Basyir, Ahmad Azhar. Asas-asas Hukum Mu'amalat (Yogyakarta: UII,
1983).
Benda, H.J. The Crescent and the Rising Sun (The Hague and Bandung:
van Hoeve, 1958).
Coulson, N.J. A History of Islamic Law (Edinburg: Edinburg University,
Press, 1964).
David, Rene dan John E.C. Bierley. Major Legal Systems in the World Today
(London: Stevens & Sons Ltd., 1968).
Denffer, Ahmad Von. 'JJlum al-Qur'an atau Ilmu Al-Qur'an (Jakarta:
Rajawali, 1989).
Djatnika, R. Rachmat. Sistem Ethika Islami (Surabaya: Pustaka Islam,
1985).
Faruki, Ismail. Al-Ahkam Al-Khamsah, the five values, dalam Islamic
Studies (Journal), Vol. V, Maret 1966 No. 1 Rawalpindi, Pakistan.
Gazalba. Asas Ajaran Islam (Jakarta: Bulan Bintang, 1975).
Gibb, H.A.R. Mohammedanism (London: Oxford University Press,
1969).
Daftar Pustaka 339
Haekal, Muhammad Husein. Sejarah Hidup Muhammad (Jakarta: Pustaka
Jaya, 1979).
Hamka. Antara Fakta dan Khayal "Tuanku Rao” (Jakarta: Bulan Bintang,
1974).
. "Hubungan timbal balik antara Adat dan Syara’ di
dalam kebudayaan Minangkabau", Panji Masyarakat nomor
61/IV/1970.
Hanafi, A. Pengantar dan Sejarah Hukum Islam (Jakarta: Bulan Bintang,
1970).
Hart, Michael H. Hart. The 100, a Ranking of the Most Influential Persons in
History (New York: Hart Publishing Company Inc., 1978).
Haryono, Anwar. Hukum Islam Keluasan dan Keadilannya (Jakarta: Bulan
Bintang, 1968).
Hasan, Ahmad. Pintu Ijtihad Sebelum Tertutup (Bandung: Pustaka, 1984).
. al-Furqan (Jakarta: DDII, 1962).
Hassan, Mohd. Kamal. "Beberapa Pengamatan Umum T entang Ilmu-
ilmu Kemasyarakatan dan Pengajian Islam dalam Konteks
Pembangunan Negara," Makalah dalam Seminar Islam di Pusat-
pusat Pengajian Tinggi Asean (Bangi: UKM, 1978).
Hatta, Mohammad. Pengertian Pancasila (Jakarta: Idayu, 1978).
Hazairin. Kuliah Hukum Islam I 1954/1955, disusun oleh Mohammad Daud
(Ali), 1955.
. Hukum Kekeluargaan Nasional (Jakarta: Tintamas, 1968).
340 Hukum Islam
. Demokrasi Pancasila (Jakarta: Tintamas, 1973)
. Tujuh Serangkai Tentang Hukum (Jakarta: Tintamas,
1974).
—. Demokrasi Pancasila Qakarta: Bina Aksara, 1981).
. Tujuh Serangkai Tentang Hukum (Jakarta: Tintamas,
1982).
. Hukum Kewarisan Bilateral Menurut Qur'an dan Hadits
(Jakarta: Tintamas, 1982).
Hitti, Philip K. Dunia Arab (Bandung: Sumur Bandung, 1970).
. Islam A Way of Life (Mineapolis: University of Minnesota Press, 1970).
Hoeker, M.B. Adat Law in Modern Indonesia (Kuala Lumpur: Oxford
University Press, 1978).
Hoesin, Mohammad. Adat Atjeh (Banda Aceh: Dinas P dan K Aceh,
1978).
Ibrahim, Ahmad bin Mohammad. Sources and Development of Muslim Law
(Singapore: Malayan Law Journal, 1965).
. Islamic Law in Malaya (Singapore: Malayan Law Journal,
1965).
Ishak, Othman. Ijtihad Dalam Perundangan Islam (Kuala Lumpur: 1982).
Jasni, Zainul. Bung Hatta Menjawab (Jakarta: Tintamas, 1974).
Khalllaf, Abd. Wahab. Kaidah-kaidah Hukum Islam, Jilid I (Yogyakarta:
Balai Ilmu, 1980).
— ---- . Kaidah-kaidah Hukum Islam (Bandung: Risalah, 1983).
Daftar Pustaka 341
Kerr, Malcolm H. Islamic Reform. The Political and Legal Theories of
Muhammad Abduh and Rashid Rida (Berkeley: University of California
Press, 1966).
Lev, Daniel S. Islamic Courts in Indonesia (London: University of
California, 1972).
Madkur, M. Salam. Peradilan Dalam Islam (Surabaya: Bina Ilmu, 1982).
Mahmassani, Sobhi. Filsafat Hukum dalam Islam, terjemahan Ahmad
Sujono (Bandung: al-Maarif, 1977).
Matdawam, M. Noor. Lintasan Sejarah Pembentukan dan Pembinaan Hukum
Islam (Yogyakarta: Bina Usaha, 1983).
Morgan, Kenneth W. Islam the Straight Path, New York, The Ronald
Press Company, 1958, terjemahan Indonesianya: Islam Jalan Mutlak
(Jakarta: Pustaka Jaya, 1961).
Na’im, Mochtar. Menggali Hukum Tanah dan Hukum Waris Minangkabau,
(Padang: Centre for Minangkabau Studies, 1968).
Nasr, S.H. Islam dalam Cita dan Fakta (Jakarta: Leppenas, 1981).
Nasrun, M. Dasar Falsafah Adat Minangkabau Qakarta, 1971).
Natsir, Moh. Capita Selecta (I) (Bandung: van Hoeve, 1955).
Noeh, Zaini Ahmad. Sebuah Perspektif Sejarah Lembaga Islam di Indonesia
(Bandung: al-Maarif, 1980).
Noer, Deliar. Gerakan Modern Islam di Indonesia, 1900-1942 (Jakarta:
LP3ES, 1980).
. "Kajian Masyarakat Islam Indonesia," PanjiMasyarakat
nomor 279, 280/1979.
342 Hukum Islam
Notosoesanto. Organisasi dan Jurisprudensi Peradilan Agama di Indonesia
(Yogyakarta: Penerbit Gajah Mada, 1963).
Poerwadarminta. Kamus Umum Bahasa Indonesia (Jakarta: Balai Pustaka,
1976).
Praja, Juhana, S. Epistimologi Hukum Islam, Disertasi (Jakarta: IAIN, 1988).
Rachman, Fazlur. Islam (New York: Anchor Book, 1968).
Rahman, Tanzil-us. Islamization of Pakistan Law, Hamdrad Academy,
Karachi, 1978.
Raliby, Osman. "Akal dan Wahyu" dalam Media Dakwah, (Jakarta,
1981).
Ramadhan, Said. Islamic Law Its Scope and Equity (Geneva: Dr. Said
Ramadhan, 1970).
Rasjidi, H.M. Islam dan Indonesia di zaman Modern (Jakarta: Bulan Bintang,
1968).
. Keutamaan Hukum Islam (Jakarta: Bulan Bintang, 1971).
. Kuliah Hukum Islam I, 1972/1973.
. "Kesatuan dan Keragaman dalam Islam," dalam
Kenneth W. Morgan Islam Jalan Lurus (Jakarta: Pustaka Jaya, 1980).
Razak, Nasruddin. Dienul Islam (Bandung: Al-Maarif, 1977).
Saefuddin, A.M. "Sistem Ekonomi Islam" dalam Panjimas no. 411
(1983).
Saleh, Ismail. Wawasan Pembangunan Hukum Nasional (Jakarta: Kompas, 1-2-
3 Juni 1989).
Daftar Pustaka 343
Saleh, Wantjik. Kehakiman dan Peradilan (Jakarta: Ghalia Indonesia,
1977).
Salim, H. Agus. Ketuhanan Yang Maha Esa (Jakarta: Bulan Bintang,
1977).
Schacht, Joseph. "Islamic Religious Law" dalam The Legacy of Islam
(Oxford University Press, 1974).
Siddik, Abdullah, H. Asas-asas Hukum Islam (Jakarta: Widjaja, 1982).
Sjalabi, Ahmad. Pembinaan Hukum Islam (Jakarta: Jayamurni, 1964).
Soekanto, Soerjono. Meninjau Hukum Adat Indonesia (Jakarta: Rajawali,
1981).
Soelaiman. "Pilihan Hukum dalam Pasal 49 ayat (1) Undang- Undang
No. 7 Tahun 1989" dalam Suara Masjid No. 186 Maret 1990.
Supomo-Djokosutono. Sejarah Politik Hukum Adat (Jakarta: Djambatan,
1955).
Syafi'i. Islamic Jurisprudence (Baltimore: John Hapkins, 1961).
Syari'ati, Ali. On the Sociology of Islam atau Tentang Sosiologi Islam
(Berkeley: Mizan, 1979, Yogyakarta: Ananda, 1982).
Syarifuddin, Amir. Pelaksanaan Hukum Kewarisan Islam dalam Lingkungan
Adat Minangkabau (Jakarta: Gunung Agung, 1984).
ter Haar. Hukum Adat dalam Polemik Ilmiah (Jakarta: Bhratara,
1973).
344 Hukum Islam
Thalib, Sayuti. Hukum Kekeluargaan Indonesia (Jakarta: UI Press,
1974).
. Receptio a Contrario (Jakarta: Academica, 1980).
Yahya, Mukhtar. Dasar-dasar Pembinaan Hukum Fiqh-Islamy Jilid I (Jakarta:
Pustaka Alhusna, 1979).
Yunus, Mahmud H. Ilmu Musthalah Hadis (Jakarta: Karya Hidaya Agung,
1984).
Zuhdi, Masjfuk. Pengantar Ulumul Qur'an (Surabaya: Binallmu, 1980).
. Pengantar Hukum Syari'ah (Jakarta: Haji Mas Agung,
1977).
Zuhri, Saifuddin. Sejarah Kebangkitan Islam dan Perkem-bangannya di
Indonesia (Bandung: al-Maarif, 1979).

Laporan Hasil Pengkajian Hukum Islam Badan Pembinaan Hukum


Nasional, Jakarta, 1983/1984.

Makalah atau Artikel dan Peraturan Perundang-undangan.


Ali, Mohammad Daud. Teori Resepsi Dalam Pemikiran Hukum Indonesia.
Ceramah pada Penataran Lokakarya Dosen Pendidikan Agama
Islam se-Indonesia, di Jakarta 8 Januari 1982.
. Kedudukan Hukum Islam dalam Sistem Hukum Indonesia
(Jakarta: Yayasan Risalah, 1984).
. RUU-PA dalam GBHN, Wawasan Nusantara dan
Daftar Pustaka 345
Pembangunan Hukum Nasional, Makalah (Jakarta: LSAF, 1989).
. Hijrah, Kemerdekaan Beragama dan Repelita V Qakarta:
Departemen Agama RI, 1989).
. Kedudukan Hukum Peradilan Agama dalam UUD 45
(Jakarta: Dewan Da'wah Islamiyah Indonesia, 1989).
. Peranan Hukum Islam dalam Pembangunan Hukum
Nasional, Makalah (Lampung: Unila, 1990).
Daud, Ny. Habibah. Peranan Pengadilan Agama Dalam Menyelesaikan Masalah
Kewarisan. Prasaran pada Seminar Hukum Waris Islam (Bogor;
Cisarua, 1982).
Jamaluddin Dt. Singomangkuto. Proses Penyelesaian Kewarisan. Prasaran
Hukum Waris Bagi Ummat Islam Qakarta, 1978).
Departemen Agama, Kompilasi Hukum Islam di Indonesia, (1992).
Koesnoe, Moch. H. Perbandingan Antara Hukum Islam, Hukum Eropa dan
Hukum Adat. Prasaran Seminar PTIS, Kali-urang, 1980.
Mahadi. Hukum Adat dan Hukum Islam di Indonesia Setelah Perang Dunia II,
Fakultas Hukum USU-BPHN, 1978.
Undang-Undang No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama.
347
LAMP1RAN1

SAP
HUKUM ISLAM

Kelompok Matakuliah (MKKH) Kurikulum


Status Bobot SKS Nasional
Semester 3 (tiga)
Keahlian Hukum Genap/Ganjil

I. TUJUAN PERKULIAHAN
Setelah mengikuti kuliah ini diharapkan mahasiswa mengerti dan
memahami hukum Islam, sumber dan asas-asasnya secara baik dan
benar, sejarah pertumbuhan serta perkembangannya dari dahulu
sampai sekarang. Selain dari itu, diharapkan juga agar mahasiswa
memahami dan mampu menjelaskan kedudukan hukum Islam
sebagai hukum positif dalam sistem hukum di Indonesia dan
hubungannya dengan hukum-hukum lain yang berlaku di tanah air
kita.
II. GAMBARAN UMUM PERKULIAHAN
Kuliah ini dibagi dalam empat bagian. Dalam bagian pertama
dibicarakan Kedudukan hukum Islam dalam kurikulum fakultas
hukum, Islam, KerangkaDasar Agamalslam, Salah paham terhadap
Islam dan hukum Islam serta cara-cara mengatasinya. Dalam
bagian ini dibicarakan juga Hukum Islam dan beberapa istilah
kunci yang perlu dipahami lebih dahulu yakni Hukum, Hukm,
Syariat, Fiqih, Ruang-lingkup hukum Islam, Ciri-ciri dan Tujuan
hukum Islam; Di bagian kedua dibicarakan Sumber-sumber Hukum
Islam, Metode-metode berijtihad, Hukum Islam dan
348 Hukum Islam

Perkembangan masyarakat. Di bagian ini juga dibicarakan Asas-


asas Hukum Islam baik asas-asas umum maupun asas-asas dalam
hukum publik dan perdata, Kaidah-kaidah fiqih serta Al- Ahkam
Al-Khamsah. Dalam bagian ketiga dibicarakan Sejarah Pertumbuhan
dan Perkembangan Hukum Islam melalui priode- priode Nabi
Muhammad, Khulafaur Rasyidin, Pembinaan, Pengembangan dan
Pembukuan Hukum Islam serta aliran-aliran hukumnya, Kebekuan
Pemikiran Hukum Islam serta Kebang- kitan Kembali Pemikiran
hukum Islam. Di bagian keempat dibicarakan Hukum Islam di
Indonesia. Di bagian ini dibicarakan tentang Hukum Adat, Hukum
Islam dan Hukum Barat, Hubungan Hukum Adat dengan Hukum
Islam, Kedudukan Hukum Islam dalam tatahukum Indonesia,
Hukum Islam dan Pembinaan Hukum Nasional, Sketsa Peradilan
Agama dan Kompilasi Hukum Islam.
III. BACAAN
A. Buku wajib
1. Abdurrauf: Al-Qur'an dan Ilmu Hukum (Jakarta: Bulan Bintang
1970).
2. Ali, Mohammad Daud: Hukum Islam, Pengantar Ilmu Hukum dan
Tatahukum Islam di Indonesia. Edisi Revisi (Jakarta: Rajawali Press,
1998).
3. Coulson, NoelJ: Hukum Islam dalam Perspektif Sejarah (Jakarta: P3M,
1987).
4. Hanafi, A: Pengantar dan Sejarah Hukum Islam (Jakarta: Bulan
Bintang, 1970).
5. Hazairin: Hukum Kewarisan Bilateral Menurut al-Qur'an dan Hadis,
Khusus mengenai al-Ahkam al-Khamsah (Jakarta; Tintamas,
1970).
6. , Demokrasi Pancasila (Jakarta: Tintamas, 1981).
7. Rasjidi, H.M.: Hukum Islam dan Pelaksanaannya dalam Sejarah
(Jakarta: Bulan Bintang, 1976).
B. Buku Anjuran
1. Ali, Mohammad Daud: Hukum Islam dan Peradilan Agama (Jakarta,
Rajawali Pers, 1997)
Lampiran 349
2. Azhary, M. Tahir. Negara Hukum Bab I, II dan III (Jakarta, Bulan
Bintang, 1992).
3. Harjono, Anwar: Hukum Islam: Keluasan dan Keadilannya (Jakarta:
Bulan Bintang, 1968).
4. Hazairin: Tujuh Serangkai Tentang Hukum (Jakarta: Bulan Bintang,
1974).
5. Yahya, Muchtar dan Fatchur Rahman: Dasar-dasar Pembinaan
Hukum Fiqih Islamy (Jakarta: Sa’adiyah Putra, 1979).
6. Gauhar, Altaf: Tantangan Islam (Bandung: Pustaka, 1983).
7. Mahmassani, Sobhi: Filsafat Hukum dalam Islam (Bandung: al-
Maarif, 1987).
8. Morgan, Kenneth W: Islam Jalan Lurus (Jakarta: Pustaka Jaya,
1971).
9. Praja, Juhaya S: (Pengantar) Hukum Islam di Indonesia Pemikiran
danPraktek. Kumpulan Karangan Beberapa Penulis (Bandung:
Rosda Karya, 1991).
10. Hukum Islam di Indonesia: Perkembangan dan Pertumbuhan.
Kumpulan Karangan Beberapa Penulis. (Bandung: Rosda
Karya, 1991).
11. Qardawy, Yusuf: Ijtihad dalam Syari’at Islam (Jakarta: Bulan
Bintang, 1987).
12. Pustaka lain yang relevan dengan silabus.
(Lanjutan Lampiran 1)
LO
LA
O

Matakuliah : Hukum Islam SATUAN ACARA PERKULIAHAN (SAP)


Status : Matakuliah
Keahlian Media:
Hukum a. papan tulis
(MKKH) b. kertas test
Jumlah SKS : 3 (tiga) c. overhead pro-
Proses belajar-mengajar: jector
a. Dosen : menjelaskan,
sumber danmemberi contoh,secara baik dan benar,
asas-asasnya
mendiskusikan, memberikan tugas sejarah pertumbuhan serta perkembangannya dari
terstruktur dahulu sampai sekarang.
b. Mahasiswa : Evaluasi:
2. Agar mahasiswa memahami dan mampu a. hasil test
mendengarkan, mencatat, mem menjelaskan kedudukan hukum Islam sebagai b.
pelajari, berdiskusi, mengerja- kan hasil ujian
hukum positif dalam sistem hukum Indonesia dan c. penilaian
tugas terstruktur hubungannya dengan hukum-hukum lain yang
Tujuan Instruksional Umum: hasil penugasan
berlaku di tanah air kita. d. kehadiran
1. Agar mahasiswa mengetahui, memahami hukum Islam,

Ming- Tujuan Instruksional Khusus Pokok Bahasan Materi Sumber Bahasan Keterangan

(D (2) (3) (4) (5) (6)

1. Agar mahasiswa mema Hukum Islam da Hukum Islam da 1. Hukum Islam (Mo
hami keberadaan hukum Is lam Kurikulum lam Kurikulum hammad Daud Ali,
lam dalam kurikulum fakul- Fakultas Hukum Fakultas Hukum 1998)

(Lanjutan Lampiran 1)
1
( )
(2) (3) (4) (5) ( 6)

tas hukum di tanah air kita


Agar mahasiswa dapat memahami Islam, dan Hukum Islam. Cara meng- atasi (Islam Jalan Lurus: Ken-
dan menjelaskan pengertian Salah Faham terhadap kesalahfaham- an neth W. Morgan, 1963)
Agama Islam, Hukum Islam dan Islam dan hukum Islam terhadap Islam dan 2. Apakah Arti Islam
mengapa Agama Islam dan hukum Islam (Tantangan Islam Al- taf
hukum Islam disalahpahami Gauhar, 1983)
3. Islam: Prinsip-prinsip
Dasar dan Karakte- ristik-
karakteristiknya (Pesan
Islam: Khur- shid Ahmad,
1983)
4. Hukum Islam (Mo-
hammad Daud Ali, 1998)
1. Hukum Islam (Mohammad
Daud Ali, 1998)
Agar mahasiswa dapat mengerti Hukum Islam dan be- Hukum Islam, Hukum,
dan memahami hukum Islam dan berapa istilah kunci Hukm, Syariat, dan
beberapa istilah kunci hukum hukum Islam Fiqih
Islam Islam, dan Hukum Islam. 1. Asal-usul Islam
(Lanjutan Lampiran 1)
(6 )

Lampiran 353
Hukum Islam
(3) (4) (5)
(1) (2) LA
to

2. Hukum Islam (Ke-


utamaan Hukum Islam:
H.M. Ra- sjidi, 1971)
3. Syari'ah (Islam dalam
Cita dan Fakta: S.H.
Nasr, 1981)
4. Hukum Islam (Tan-
tangan Islam: Altaf
Gauhar, 1983)

Hukum Islam: ruang- Ruang-lingkup, Ciri- 1- Hukum Islam (Mo- ciri dan Tujuan
4. Agar mahasiswa dapat memahami lingkup, ciri- ciri dan Hu- hammad Daud Ali, kum Islam 1998)
dan menjelaskan ruang-lingkup, tujuannya
ciri-ciri dan tujuan hukum Islam
5. Agar mahasiswa dapat memahami Sumber-sumber Hukum Pengertian Sumber- 1- sumber QA Al-Nisa': 59 Hadis
dan menjelaskan rincian sumber- Islam Hukum Islam 2. dan rinciannya Mu'az bin Jabal
sumber Kamus Besar Bahasa
Indonesia (1989)

(Lanjutan Lampiran 1)

(1) (2) (3) (4) (5) (6)

hukum Islam 6. Agai Alquran Sejarah turunnya, 1. Keaslian Alquran (Bibel,


mahasiswa mengetahui dan dapat menje- Sistematik dan Hu- kum- Quran dan Sains Modern:
laskan bahwa sumber hukum Islam yang hukum di da- lamnya Maurice Bucaille, 1979)
pertama dan utama adalah Alquran 2. Alquran (Dasar-dasar
Pembinaan Hukum Fiqh
Islami: Mukhtar Yahya,
1979)
1. As-Sunnah (Dasar- dasar
As-Sunnah Pengertian Sunnah, Pembinaan Hukum Fiqih
7. Agar mahasiswa menge (Al-Hadis) Hadis, fungsi Sunnah Islam: Mukhtar
tahui dan dapat menjelaskan terhadap Quran dan Yahya,1979)
sumber hukum Islam kedua pengumpulan Sunnah ke 2. Metodologi Kritik Hadis
yaitu as- Sunnah (Al-Hadis) dalam kitab-kitab Sadis (M.M. Azami, 1992)
(Lanjutan Lampiran 1)(2)
(6)
(1) (3) (4) (5)

UJIAN TENGAH SEMESTER

Agar mahasiswa dapat me- Al-Ra'yu (Akal Pi- Ijtihad dan beberapa 1. Ijtihad dalam Sya-
nerangkan bahwa sumber kiran) metode ijtihad, serta riat Islam (Yusuf Al-
pengembangan Hukum Islam adalah hubungannya dengan Qardawi, 1987)
akal pikiran manusia yang perkembangan masyarakat 2. Cara-cara Ijtihad yang Mula-
memenuhi syarat untuk berijtihad. mula (Pintu Ijtihad Sebe-
lum Tertutup: Ahmad
Hasan, 1984)

9. Agar mahasiswa dapat memahami dan Asas-asas Hukum Islam Asas-asas Hukum Islam: Hukum Islam (Mo-
menjelaskan asas-asas hukum Islam asas-asas umum, pidana dan hammad Daud Ali, 1998)
perdata

10. Agar mahasiswa dapat memahami kaidah- Kaidah-kaidah Fiqih Islam Kaidah-kaidah Fiqih Islam, Hukum Islam (Mo-
kaidah fiqih Islam dan al-ahkam al- dan al-ahkam al-khamsah al-ahkam al- khamsah dan hammad Daud Ali, 1998)
khamsah ruang- lingkupnya Al-Ahkam al-Kham- sah
2 . (Hukum Kewa-

(Lanjutan Lampiran 1)

(1) (2) (3) (4) (5) (6)

risan Bilateral menurut


Alquran dan hadis:
Hazairin,
1982)

11. Agar mahasiswa dapat menjelaskan Sejarah Hukum Islam Tahap-tahap Pertumbuhan Hukum Islam (Mo-
sejarah pertumbuhan dan per- dan Perkembangan Hukum hammad Daud Ali,
kembangan hukum Islam Islam 1998)

12. Agar mahasiswa dapat menjelaskan Berbagai sistem hukum Hukum Adat, Hukum Islam Hukum Islam (Mo-
berbagai sistem hukum yang di Indonesia dan Hukum Barat hammad Daud Ali,
masih berlaku di Indonesia 1998)

13. Agar mahasiswa dapat menjelaskan Hukum Islam dan Hubungan Hukum Islam Hukum Islam (Mo-
hubungan Hukum Islam Hukum Adat di In- dengan Hukum A- dat hammad Daud Ali,
dengan Hukum Adat di tanah donesia 1998)
air kita 2. Receptio a Contra- ris
(Sayuti Thalib, 1984)
(Lanjutan Lampiran 1) O'
(4) (5) (6)
(1) (2) (3)
?s-
J=
3
14. Agar mahasiswa dapat Islam di Agama dan Kompilasi Islam
menjelaskan kedudukan Indonesia. Hukum Islam Kedudukan Hukum
hukum Islam dalam tata Hukum Islam dalam tata Kedudukan Hukum Islam Islam dalam sistem
hukum Indonesia hukum Indonesia dalam tata hukum di Hukum Indonesia
Indonesia (Mohammad Daud Ali,
15. Agarmahasiswa 1984)
mengetahui posisi
hukum Islam dalam Hukum Islam dan Hukum Islam (Mo-
pembinaan hukum Pembinaan Hukum Hukum Islam dalam hammad Daud Ali, 1998)
nasional Nasional pembinaan hukum nasional
16. Agarmahasiswa
mengetahui lembaga Hukum Islam (Mo-
penegak hukum Islam Gambaran umum Sketsa Peradilan Agama hammad Daud Ali, 1998)
dan Kompilasi Hukum tentang Peradilan dan Kompilasi Hukum
17. UJ1AN AKHIR SEMESTER

LAMPIRAN 2
358 Hukum Islam
LAMPIRAN 3
359

Indeks

A ahlul kitab, 177


A Yusuf Ali, 95 A Zaki Yamani, 276 ahlur ra'yu, 186
ab intestato, 144 Abbasiyah, 106, 182, Ahlus sunnah wal jama'ah, 34, 38, 97,
194 Abdu Shamad, Syaikh, 234 102, 181, 202, 206 Ahmad bin
Abduh, Mohammad, 16, 198 Abdul Hambal, 183 Ahmad, 158 air zam-
Muthalib, 158 Abdul Rauf as zam, 158 akal pikiran, 74, 78 akhlak,
Singkili, 96 Abdul Wahab Khallaf, 32, 38, 41, 85, 113 akidah, 31, 32, 41 al
84, 85 162, 163 Abdurrahman al 'adatu muhakkamah, 124, 133, 229
Mahdi, 76 Abessinia, 157 Abi Thalib, al ahka" m al khamsah, 2, 3, 45, 46, 55,
59, 102, 145, 151, 191, 229
158 Abu al Hasan al Mawardi, 170
al ahkam as sulthaniyah, 37, 57, 170
Abu Bakar Siddiq, 93, 171 Abu Daud,
al aql, 112 al Azhar (tafsir), 96 al
108, 193 Abu Hanifah, 77,106,183, 185,
Bajuri, 211 al Baqarah, 52 al furqan,
186
96 al Hadis, 76 al Ijma', 76, 78 al
Abu Ishaq as Shatibi, 213 Abu Musa
Imam, 180 al Iqna, 211 al kutub as
al Asy'ari, 177 Abu Suja, 211 Abu
sittah, 108 al Malabari, 211 al Malik
Yusuf, 186 adat-istiadat, 217
al Zahir, 232 al Manar, 96
adat nan diadatkan, 217
al maqasid al khamsah, 61, 213 al
adat nan sabana adat, 216
maqasid al shari'ah, 61 al Maraghi,
adat nan teradat, 217
Ahmad Mustafa, 96 al mashalih al
adat pusaka, 217
mursalah, 11,120 Al Muhazzab, 211
Adnan, R.M, 252
al Musnad, 189 al Muwaththa', 106,
ahad, 109, 192
187 al qauliyah, 47 al Qiyas, 76, 78
ahli tarjih, 183
Alquran, 41, 66, 73-85, 94-98, 125, 162,
ahli waris, 288
360 Hukum Islam

163, 179, 180, 186, 214 al Umm, 49, 188 134 asas kemampuan berbuat atau
al urf, 193 Alatas, M Najib, 70 Ali bin bertindak, 135 asas kemampuan
Abi Thalib, 102, 158, 171, 180, berbuat, 128 asas kemanfaatan, 128,
Ali Said, 268 Ali 130 asas kemaslahatan hidup, 128,
Syaria'ti, 70 132
all comprehensive, 85 Allah, 26, 43, asas kepastian hukum, 127,129 asas
48, 76, 84, 93, 103, 156, 159, 219 larangan merugikan diri sendiri dan
orang lain, 128, 135
amaliyah, 84, 87 an Nasa'i, 108, 193
asas legalitas, 130 asas
an Nawawi, 111, 183, 211 aqidah, 10,
mendahulukan kewajiban dari hak,
229 ar ra’yu, 74, 77, 115, 116, 124, 125,
128, 135 asas mendapatkan hak
186 ar Rafi'i, 211 ar Ramli, 211 ar
karena usaha dan jasa, 128, 136
Risalah, 188 Arab, 66 Arafah, 92
asas mengatur sebagai petunjuk, 128,
arkanul iman, 33 arkanul Islam, 34 as 138
Shadbi, Abu Ishaq, 61 as Sunnah, 41, asas menolak mudharat dan
44, 74, 75, 76, 77, 101, 102, 181, 182, mengambil manfaat, 128
185 as Syafi'i, Muhammad Idris, 76, asas perjanjian tertulis atau
diucapkan di depan saksi, 128
77, 106, 188 as Syaibani, 186 as
asas perlindungan hak, 128,136 asas
Syairozi, 211 as Syarbini, 211 asas
praduga tak bersalah, 131 asas resiko
adil dan berimbang, 128, 134, 143
dibebankan pada benda atau harta,
asas-asas dalam lapangan tidak pada tenaga atau pekerja, 128,
hukum perdata, 127 asas-asas 138
dalam lapangan asas tertulis atau diucapkan di depan
hukum pidana, 127 saksi, 138
asas-asas hukum kewarisan, 141 asas yang beritikad baik harus
asas-asas hukum perdata, 132 dilindungi, 128, 137
asas-asas hukum perkawinan, 139 asasun, 126
asas-asas hukum pidana, 130 asas-
asbabun nuzul, 166
asas umum, 127 asas bilateral, 141
at Tarmidzi, 108, 193
asas hak milik berfungsi sosial, 128,
ayat Madaniyah, 165
137 asas hukum Islam, 127 asas
ayat Makkiyah, 165
individual, 142 asas keadilan, 128
asas kebajikan, 128, 134 asas B
kebebasan berusaha, 128, 136
BPHN, 267, 274 bacaan, 79 Badar, 92
asas kebebasan dan kesukarelaan,
Badui, 99, 156 Baitullah, 157 barzah,
128, 133 asas kebolehan, 128 asas
83 Benda, H.J., 238 berijtihad, 78
kekeluargaan, 128 asas kekeluargaan
Betrand ter Haar, 14, 222, 224, 245,
atau kebersa- maan yang sederajat,
248, 249, 258 bid'ah, 14, 15, 102
lndeks 361
Bidayatul Mujtahid, 190 bilateral,
128,
Budha (Gautama), 8, 31, 160, 260
362 Hukum Islam Bukhari, 106, 107, fiqih Islam, 49 fiqih, 42, 48, 58, 72
193 Burgelijk Wetboek, 212 fukaha, 48 furu', 194

C G
cerai (perceraian), 286 Charles C,
Adams, 198 Charles J. Adams, 13 G F Pijper, 252 H
Christian Snouck Hurgronje, 11, 14, H. A.R. Gibb, 13 Habibah
15, 16, 17, 18, 19, 241, 243 civil law, Daud, 253 hadis da'if, 110 hadis
207 Clifford Geerts, 69 Clive S
hasan, 110 hadis masyhur, 109 hadis
Kessler, 69 common law, 207
maudhu', 110 hadis mutawatir, 109
Compendium Freijer, 236 Confucius,
hadis qudsi, 101 Hafsah, 94, 179 hajar
160
al aswad, 157 Haji Wada', 92 haji, 8,
34
Cornells van Vollenhoven, 243 D
Hambali (mazhab), 52 Hamka, 97
D. W. Freijer, 236
Hanafi (mazhab), 53, 190, 242
da'if, 108, 110, 192
haram, 35, 45, 146, 148, 152, 221, 229
Daendels, 237 Harun al Rasyid, 186
Daniel S Lev, 253 Harun, 181
daruriyyat, 61, 62 hasan, 108, 192
De Atjehers, 243 Hasbi Ash Shieddieqy, 97, 229
Dekrit Presiden, 261 Hasyiah Fathul Qarib, 211
Deliar Noer, 70 Hatta, Mohammad, 10, 28
din al Islam, 31 haul, 46
Djajadiningrat, P. A. Hoesein, 245 Hazairin, 7, 116, 149, 163, 245, 258,
260, 261, 260 hibah, 254 Hijrah, 90,
E
9
ethic, 40 159 Hijriyah, 107, 108, 174 Hindu
executoire verklaring, 247, 248 Bali, 7, 260 Hindu, 30 Hira, 79, 159
F hisab, 174 hukm, 44
fakih, 48 Hukum Acara Peradilan Agama, 1,
289
fara'id, 57, 227, 245 fard, 221,
hukum Adat, 207, 210, 271, 276
229 fardu, 45
hukum Barat, 207, 219 hukum Islam,
Faruqi, Ismail Raji, 70 Fathul Mu'in,
1, 210. 213, 216, 218, 271, 275 hukum
211 Fatimah, Siti, 180 fatwa waris,
kekeluargaan Islam, 1-2 hukum
255 fatwa, 196, 253, 254, 255 Fazlur
keluarga, 163, 277
Rahman, 69, 70 fiat executie, 247, 291
hukum kewarisan, 8, 163, 258, 279
hukum kewarisan Islam, 1
Indeks 363
hajjiyat,perkawinan,
hukum 61 1, 8, 163, 279
hukum perorangan, 1-2 hukum
taklifi, 46 hukum wakaf, 8

I
i'tiqadiyah, 84, 85
I. S., 262
ibadah, 198, 229
ibadat, 54, 220
ibahah (ja'iz), 36, 221
Ibn Majah, 193
Ibnu Hajar, 209, 211
Ibnu Khaldun, 33
Ibnu Majah, 108
Ibnu Qayyim al Jauziah, 197
Ibnu Taimiyah, 197
Ibrahim, Nabi, 156
ijbari, 128
ijmak, 76, 120, 173, 189, 193
ijtihad, 35, 116, 117, 175, 218
ijtihad fardi, 117
ijtihad jama'i, 117
Ilahi, 150, 159
illat, 45, 53, 120, 145
ilm al jarh, 99
ilmu fikih, 233
ilmu kalam, 33, 233
ilmu tasawuf, 233
ilmu tauhid, 33
imamah, 102'
inovatif, 70
364 Hukum Islam khuluk, 38

iqra', 79 klen, 155, 157

Islam Policy, 14, 20 Islam, 7, 19, 20, Koja, 181


21, 31, 32, 41, 260 Kufah, 77
Islamic jurisprudence, 49 Kulaini, 98

Islamic Law, 14, 49 Ismail, 158 kutub as sittah, 193

isnad, 111 isra', 159


L
Issac Newton, 160 istidlal, 78, 120, 121
Lait al Qadr, 91 Landraad, 235,
istihsan, 78, 120, 122, 186, 193 247,251 Lodewijk Willem Christian
istishhab, 78, 120, 189 isytikharah, van dern Berg, 241
108 ittiba'-taqlid, 190, 194, 195
M
J MIAI, 252 Mahadi, 228, 264 Majid
Khadduri, 276 majlis tarjih, 184
ja'iz, 36, 44, 145, 146, 148, 221
makhluk, 38
jahiliyah, 249 Jalalainy, 96
makruh, 44,145,147, 152,221, 229
Jalaluddin as Suyuthy, 96
Maladiyah, 174 Malik bin Anas, 77,
Jamaluddin al Afgani, 197
183 malwaris, 253 Marwah, 158
jarimah hudud, 57 jarimah
Marxis, 71
ta'zir, 57 Jesus Kristus, 160
mashalih al mursalah, 121, 193
Jibril, 79, 92, 104 jinayat, 37, 57
master architect, 188
Juanda (perdana menteri), 261
masyhur, 192
jurusita, 291
matan, 111
Max Weber, 69
K mazahib, 51
K. H. Ahmad Dahlan, 198
mazhab, 51, 77
Ka'bah, 157 kaidah ibadah, 34
mazhab Hambali, 190'
kaidah mu'amalah, 34 kaidah-kaidah
mazhab Hanafi, 190
fikih, 144 kawin (perkawinan), 18,
mazhab Maliki, 170
87, 286 Khadijah, 159
mazhab Syafi'i, 52, 189, 190, 209, 211
Khalifah Abbasiyah, 76, 182 Madinah, 155, 170
Khalifah Umar bin Abdul Aziz, 106
Medinat al Nabi, 159
Khalifah Umayyah, 182 khalifah,
Makkah, 90, 155, 157, 159
114, 169 Khalik, 38 khamar, 64, 120
mi'raj, 159, 174
khilafah, 37
Michael H. Hart, 160
Khulafaur Rasyidin, 153, 169
Indeks 365
Minhaj at Talibin, 183, 211 Nawawi al Bantani, Syaikh, 234
Mirathul Thullab, 209 Newsweek, 160
Mogharraer, 236 Nihayah, 209, 211
Mohammad Koesnoe, 213, 222 nisab, 46
Mohammedaansch Recht, 4, 5 Notonagoro, 261
Mohammedan Law, 5 Nuzl al Qur'an, 91
Mohammedanism, 5 orientalis, 9, 30
mu'amalah, 18, 75, 198, 229
P
muallaf, 176
pactum taciturn, 103 Pan Islamisme,
Mu'az bin Jabal, 74, 75, 77, 116
19, 198 Pancasila, 28
mubah, 44, 229 mudharat, 125 mufti,
Pengadilan Agama, 229, 245, 249,
196
253, 254, 255, 281, 283, 287, 291
Mughni al Muhtaj, 211 muhaditsin, Pengadilan Negeri, 247, 291
100 Muhammad (Nabi), 5, 32, 41, 47, Pengadilan Penghulu, 249
58, 75, 79, 90, 91, 92, 94, 102, 103, 154, Pengadilan Tinggi Agama, 283
156, 157, 158, 159, 160, 170, 173, 174, Pengadilan Umum, 291 penghulu,
218 Muhammad bin Abdullah, 91
247 Penghulu Gerecht, 249 Pepakem
Muhammad Ibnu Abdul Wahab, 197
Cirebon, 235 Peradilan Agama, 282,
Muhammad Syihab az Zuhri, 106
283 Perang Paderi, 226 perang sabil,
Muharrar, 209, 211 muhkamat, 88
18 Philip Kurie Hitti, 161 Piagam
mujtahid, 53, 117, 118, 182 mujtahid
Jakarta, 261 politik hukum yang
fatwa, 119, 183 mujtahid mazhab, 119
sadar, 238 Priesterraad, 240, 245, 247,
mujtahid mutlak, 119, 182 mukallaf,
249, 279 prima causa, 26
47 mukhashamat, 37, 56 Mukhtasar,
private, 221 profan, 23 puasa,
211 multidimensional, 70
34, 54 publik, 221
munakahat, 37, 56 muqallid, 119
Murshid Ghanawi, 166 Musa, 121 CI
mushhaf, 93, 180 mushhaf Usmany, Qamariyah, 174 qara-a, 79
180 Muslim, 107, 108, 193 qath'i, 53, 88, 111, 117 qaul
mutasyabihat (mutasyabihah), 87, 88 qadim, 188 qaul-jaddid, 183,
mutatis mutandis, 71 mutawatir, 192 188 qawa'id al fiqhiyyah, 118
mystic, 39 366 Hukum Islam N qiyas, 120, 186, 189, 193
Nasr, S Hossein, 70, 79 qur'an, 79 Quraish, 156 quru',
Nasrani, 7, 260 89
natural law, 21, 102
R
Raad, 245 nasional, 270 Siti 'Aisyah, 41 Siti
Raad Agama, 245, 248 Hajar, 158 siyar, 37, 56
Rabi'ah al Adawiyah, 39 Sobhi Mahmassani, 230
Ramadan, 54, 174 Soebardi, 235
Rasjidi, H.M, 15 Staatsblad, 214, 245, 247, 252 Sufi, 39,
Rasul, 76 101 sufism, 39 suhuf, 94
Rasul Allah, 91 sunatullah, 21, 102 sunatur Rasul,
Rasulullah, 102, 103 102 sunnah, 109, 116, 161, 188 sunnah
Rasyid Ridha, Mohammad, 16, 96 masyhurah, 109 sunnah mutawatir,
receptio a contrario, 228 receptio in 109 sunnah sukutiyah, 97 sunnah
complexu, 242 Rechts Hogeschool, 3 taqririyah, 97 sunat, 44, 148, 152, 221,
Regeering Reglement, 239 religio, 31 229 sunnat al qaul, 99 Sunni, 34
religion, 24, 31, 65 religious, 23 Rene' syahadatain, 103, 259 Syamsiyah, 174
David, 12, 203 riba, 27 syara', 45, 48 syarah, 66 syarah
Bukhari, 111 syarah Muslim, 111
Robert Jackson, 203 S
syariah (syariat), 7, 8, 31, 32, 37, 41,
Sa’ad bin Rabi1, 167 Sabilal 46, 47, 49, 72, 113 syi'ah, 97, 102, 181,
Muhtadin, 209, 234 saeculum, 23 202
Safa, 158 sahabat, 171, 173 sahih, 47,
107, 110 salaf, 197 salafiyah, 197 salik, T
40 ta'abudy, 87 tabi'in, 109, 110 tabi'
Salim, H A, 9, 29 tabi'in, 109 taharah, 34 tahkim, 246,
Salomon Keyzer, 241 279 368 Hukum Islam
samawi, 48, 71 tahun Gajah, 158
sanad, 110 taklifi (hukum), 44, 55, 145
saum, 34 taqlid, 191, 195
Sajuti Thalib, 228 taqnin, 205
Scholten van Oud Haarlem, 239 tarikat (tariqat), 18, 40 tasawuf, 39
sekularisme, 23, 24, 31 tasyri', 48 tasyri' wadh'i, 48
sekular, 23, 25 tauhid, 22, 42, 156 teori iblis, 244
sakk, 204 theori receptie, 243 Thomas S
salat at tarawih, 174 salat, 26, 34, 54, Raffles, 237 Tuhfah, 184, 209, 211
100, 162 Shiit, 102
Sidrat al Muntaha, 159 Sirathal U
Mustaqim, 209, 234 sistem hukum ubudiyah (ibadah), 18 ukubat, 56
Indeks 367
ulil amri, 73, 116 ulum Al-Hadis, 105
ulum Alquran, 95 Umar bin Khattab,
116, 171, 173, 175, 178 '
Umayyah, 106, 179, 182 un Islamic,
69
Undang-Undang Peradilan Agama,
269, 282, 283, 291 Undang-Undang
Perkawinan, 120, 228
uni dimensional, 70
unique, 92
urf, 77, 78, 120, 123, 186, 229 usl al
fiqh (usul fikih), 188 Usman bin
Affan, 171 Usul il kafi, 98

VOC, 235-37, 241 W

wadh'i (hukum), 45, 59 wahyu, 114


wajib, 44, 146
waris (kewarisan), 54, 87, 249, 255,
280 wasiat, 254
wawasan nusantara, 270 wirasah, 37,
56, 57 wukuf, 92

yaum al akhirah, 86 Z

Zaid bin Tsabit, 173, 179 zakat, 1, 5,


26, 34, 54, 162, 176 zhanni, 53, 88, 111,
117, 125
Daftar Isi 368

Biodata Penulis

H. MOHAMMAD DAUD ALI dilahirkan di sebuah


desa di Bintang, Takengon Aceh Tengah 4 April
1930 - 6 Oktober 1998. Beliau adalah Gurubesar
Fakultas Hukum UI dan beberapa fakultas lain di
Jakarta. Beliau menyelesaikan studinya di Fakultas
Hukum dan Pengetahuan Masyarakat Universitas
Indonesia tahun 1960 — dan The Institute of
Islamic Studies McGill University Montreal
Canada tahun 1971. Tulisan beliau dapat dibaca di
berbagai harian dan majalah di Jakarta, sedang beberapa buku
beliau yang telah diterbitkan antara lain adalah Hukum Islam dan
Pembangunan Nasional (dalam HM Rasjidi, Hukum Islam dan
Pelaksanaannya dalam Sejarah 1976), Kedudukan Hukum Islam dalam Sistem
Hukum Indonesia (1984) — versi Inggrisnya dimuat dalam Islam and
Society in Southeast Asia (Ed. by Taufik Abdullah, Sharon Siddique:
1986), Islam untuk Disiplin Ilmu Hukum, Sosial dan Politik (1986), Sistem
Ekonomi Islam, Zakat dan Wakaf (1988), Agama Islam (1989), Asas-asas
Hukum Islam (1990) yang disempumakan dengan judul Hukum Islam:
Pengantar Ilmu dan Tata Hukum Islam di Indonesia (1993), Lembaga-lembaga
Islam di Indonesia (1995), Hukum Islam dan Peradilan Agama (Kumpulan
Tulisan) tahun 1997, Pendidikan Agama Islam (1998),
369 Hukum Islam

Insya Allah akan menyusul: Hubungan Hukum Adat dan Hukum Islam di
Gayo (Aceh Tengah), Hukum Islam di Indonesia dan Masalahnya. Di samping
kegiatan mengajar dan menulis, beliau juga memangku berbagai
jabatan, antara lain: Ketua Pusat Studi Hukum Islam FA-UI,
Anggota Pengkajian Hukum Islam BPHN, Anggota Konsorsium
Ilmu Agama Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Koordinator
Mata Kuliah Hukuip Islam, Koordinator MKU Agama UI, Ketua
Program Kekhususan Hukum dan Ilmu Pengetahuan Islam
Pascasarjana Universitas ^Indonesia. Ikut serta mendirikan Ikatan
Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI) dan menjadi Anggota
Dewan Pakar ICMI Pusat serta Ketua Dewan Pakar ICMI
Koordinatorat Wilayah (Korwil) DKI Jakarta (1991-1996),
Anggota Majelis Ulama Indonesia (MUI) Daerah Khusus Ibukota
Jakarta (1991-1996 — 1996-2001), Anggota Badan Pembina
Baitulmal Umat Islam (Bamuis Bank BNI (1998...)-
370 Hukum Islam

Anda mungkin juga menyukai