Anda di halaman 1dari 21

LAPORAN

SMALL GROUP DISCUSSION LBM 1


BLOK KARDIOVASKULAR 2
“NGOS-NGOSAN”

DISUSUN OLEH :
KELOMPOK SGD 6
I Wayan Agus Merta Wiguna (019.06.0043)
Irawati Sofia (019.06.0044)
Kadek Artana Kusumajaya (019.06.0045)
Lalu Muhamad Hafis Al Alim (019.06.0051)
Linda Irma Septiana (019.06.0052)
Dedi Sutomo (014.06.0069)
Dimas Agung Okoputra (015.06.0015)
Lilik Indrawati (015.06.0016)
Ardian Ansari (016.06.0018)

Tutor : dr. Aulia Mahdaniyati S.,S. Ked

FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS ISLAM AL-AZHAR MATARAM
2020/2021

Laporan LBM 1 Kardiovaskular | 1


KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis sampaikan ke-hadirat Tuhan Yang Maha Esa karena atas rahmat-
Nya penulis dapat melaksanakan dan menyusun makalah LBM 1 yang berjudul “Ngos
Ngosan” ini tepat pada waktunya.
Makalah ini penulis susun untuk memenuhi prasyaratan sebagai syarat nilai SGD
(Small Group Discussion). Dalam penyusunan makalah ini, penulis mendapat banyak
bantuan, masukan, bimbingan, dan dukungan dari berbagai pihak. Untuk itu, melalui
kesempatan ini penulis menyampaikan terima kasih kepada :
1. dr. Aulia Mahdaniyati S., S.Ked, selaku tutor dan fasilitator SGD (Small Group
Discussion) kelompok penulis.
2. Bapak/Ibu Dosen Universitas Islam Al-Azhar yang telah memberikan masukan terkait
makalah yang penulis buat.
Penulis menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari sempurna dan perlu
pendalaman lebih lanjut. Oleh karena itu, penulis mengharapkan kritik dan saran yang
konstruktif demi kesempurnaan makalah ini. Akhirnya, penulis berharap semoga makalah ini
dapat bermanfaat bagi berbagai pihak.

Mataram, 15 Desember 2020


Hormat kami

Penulis

DAFTAR ISI

Laporan LBM 1 Kardiovaskular | 2


DISUSUN OLEH : KELOMPOK SGD 6..........................................................................................1
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS ISLAM AL-AZHAR MATARAM......................1
BAB I PENDAHULUAN....................................................................................................................4
4.1 Skenario LBM 1...................................................................................................................4
4.2 Identifikasi Masalah............................................................................................................4
4.3 Rangkuman masalah...........................................................................................................5
4.4 Definisi, Etiologi dan Gejala Klinis dari Aritmia..............................................................6
2.2 Definisi, Etiologi dan Gejala Klinis dari FA......................................................................6
2.3 Definisi, Etiologi dan Gejala Klinis Dari Jantung Koroner..............................................7
2.4 Definisi, Etiologi dan Gejala Klinis dari CHF atau Gagal Jantung.................................8
2.5 Diagnosis Tetap pada Skenario...........................................................................................8
2.6 Epidemologi Diagnosis Tetap pada Skenario....................................................................9
2.7 Patofisiologi Diagnosis Tetap pada Skenario...................................................................10
2.8 Pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang Diagnosis Tetap pada Skenario.........16
2.9 Penatalaksanaan dari Diagnosis Tetap pada Skenario...................................................16
2.10 Komplikasi dan Prognosis dari Diagnosis Tetap pada Skenario....................................17
a. Komplikasi.........................................................................................................................17
1. Irama jantung tidak normal.............................................................................................17
2. Kerusakan pada katup jantung........................................................................................17
3. Gagal atau kerusakan pada ginjal....................................................................................18
4. Kerusakan pada organ hati...............................................................................................18
5. Kerusakan pada paru-paru...............................................................................................18
6. Anemia................................................................................................................................18
7. Penurunan berat badan dan massa otot yang ekstrem...................................................19
3.1 Kesimpulan.........................................................................................................................20

Laporan LBM 1 Kardiovaskular | 3


BAB I
PENDAHULUAN
4.1 Skenario LBM 1
“NGOS-NGOSAN”

Tn. X berusia 60 tahun datang ke puskesmas dengan keluhan sesak nafas sejak
sebulan yang lalu. Keluhan ini hilang timbul sejak setahun yang lalu. Pasien
mengeluhkan jika berjalan ringan keluhan semakin memberat dan sedikit
berkurang jika beristirahat. Selain itu juga saat malam hari tiba-tiba sering
terbangun karena timbul sesak. Sewaktu-waktu pasien juga mengeluhkan nyeri
dada sebelah kiri menjalar hingga ke tengkuk serta lengan kiri sehingga pasien
juga merasa keringat dingin sehingga pasien segera dilarikan ke UGD.
Pasien pernah diberi obat digoksin 0,25 mg dan merasa keluhannya berkurang.
Pasien memiliki tekanan darah tinggi tidak terkontrol. Hasil pemeriksaan fisik
ditemukan JVP meningkat, ronki basah basal paru kanan dan kiri, batas jantung
bergeser ke kaudolateral, pitting oedem kedua kaki.

4.2 Identifikasi Masalah


1. Apa definisi, etiologi dan gejala klinis dari Aritmia?
2. Apa definisi, etiologi dan gejala klinis dari FA?
3. Apa definisi, etiologi dan gejala klinis dari JANTUNG KORONER?
4. Apa definisi, etiologi dan gejala klinis dari CHF (Gagal Jantung) ?
5. Menentukan Dx?
6. Epidemologi Dx?
7. Patofisiologi Dx?
8. Pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang Dx?
9. Penatalaksanaan dari Dx?
10. Komplikasi dan Prognosis dari Dx?

Laporan LBM 1 Kardiovaskular | 4


4.3 Rangkuman masalah

ETIOLOGI

DD DEFINISI

GEJALA KLINIS

EPIDEMOLOGI
Ngos-ngosan
P FISIK

DIAGNOSIS

P. PENUNJANG

PATOFISIOLOGI

DX

KOMPLIKASI

PROGNOSIS

FARMAKOLOGI

TATA LAKSANA

NONFARMAKOLOGI

Laporan LBM 1 Kardiovaskular | 5


BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Definisi, Etiologi dan Gejala Klinis dari Aritmia


Aritmia adalah variasi-variasi di luar irama normal jantung yang kelainannya
mungkin mengenai kecepatan, keteraturan, tempat asal impuls atau urutan aktivasi,
dengan atau tanpa adanya penyakit jantung structural yang mendasari.
a. Gejala :
1. Jantung berdetak lebih cepat dari normal (takikardia)
2. Jantung berdetak lebih lambat dari normal (bradikardia)
3. Pusing
4. Pingsan
5. Cepat lelah
6. Sesak napas
7. Nyeri dada
b. Etiologi :
1. Konsumsi obat pilek atau obat alergi
2. Hipertensi
3. Diabetes
4. Gangguan elektrolit, seperti kelebihan atau kekurangan kalium.
5. Gangguan tiroid, misalnya hipertiroidisme
6. Kelainan katup jantung
7. Penyakit jantung bawaan
8. Penyakit jantung koroner
9. Serangan jantung
10. Kardiomiopati

2.2 Definisi, Etiologi dan Gejala Klinis dari FA


a. Definisi
Fibrilasi atrium merupakan takiaritmia supraventrikel dengan karakteristik
aktivasi atrium tidak terkoordinasi sehingga menyebabkan gangguan fungsi mekanik
atrium. Pada elektrokardiogram, gelombang P normal digantikan dengan gelombang
osilasi/fibrilasi yang memiliki waktu, amplitudo, dan frekuensi berbeda-beda.
b. Etiologi
Fibrilasi atrium sangat terkait dengan faktor-faktor risiko berikut: stres
hemodinamik, iskemia atrial, peradangan, penyebab pernapasan non-kardiovaskuler,

Laporan LBM 1 Kardiovaskular | 6


alkohol dan penggunaan narkoba, gangguan endokrin, gangguan neurologis, faktor
genetik, dan usia lanjut.18 Fibrilasi atrium terjadi karena meningkatnya kecepatan dan
tidak terorganisasinya sinyalsinyal listrik di atrium sehingga menyebabkan kontraksi
sangat cepat dan tidak teratur (fibrilasi). Sebagai akibatnya, darah terkumpul di atrium
dan tidak benar-benar dipompa ke ventrikel. Hal ini ditandai dengan heart rate yang
sangat cepat sehingga gelombang P di dalam EKG tidak dapat dilihat.
c. Gejala Klinis
Fibrilasi atrium dapat tidak menimbulkan gejala, penderita fibrilasi atrium
proksismal, biasanya tidak menyadari kelainannya. Pada 10%-25% penderita,
diagnosis fibrilasi atrium ditemukan tanpa gejala atau didiagnosis setelah terjadi
komplikasi. Gejala fibrilasi atrium bergantung pada banyak factor, seperti laju
ventrikuler, durasi fibrilasi atrium, serta ada atau tidaknya gangguan struktur
jantung. Mayoritas penderita mengeluhkan palpitasi, rasa tidak nyaman di dada,
dispnea, kelemahan atau pusing. Palpitasi merupakan gelaja yang paling sering
dikeluhkan.

2.3 Definisi, Etiologi dan Gejala Klinis Dari Jantung Koroner


a. Definisi
suatu keadaan dimana terjadi penyempitan, penyumbatan atau kelainan pembuluh
darah coroner. Penyempitan atau penyumbatan ini dapat menghentikan aliran darah
ke otot jantung yang sering ditandai dengan rasa nyeri. Kondisi lebih parah
kemampuan jantung memompa darah akan hilang, sehingga sistem kontrol irama
jantung akan terganggu dan selanjutnya bisa menyebabkan kematian.
b. Etiologi
disebabkan oleh dua faktor utama yaitu
1. Aterosklerosis
Aterosklerosis pembuluh coroner merupakan penyebab penyakit arteri coroner
yang paling sering ditemukan. Aterosklerosis menyebabkan penimbunan lipid
dan jaringan fibrosa dalam arteri coroner, sehingga secara progresif
mempersempit lemen pembuluh darah.
2. Trombosis
Trombosis ini menyebabkan sumbatan di dalam pembuluh darah jantung,
dapat menyebabkan serangan jantung mendadak, dan bila sumbatan terjadi di
pembuluh darah otak menyebabkan stroke.

Laporan LBM 1 Kardiovaskular | 7


c. Gejala klinis
rasa sakit tidak enak seperti ditindih beban berat di dada bagian tengah, rasa tidak
nyaman di hulu hati, sesak nafas dan mengeluh rasa lemah bahkan pingsan.
2.4 Definisi, Etiologi dan Gejala Klinis dari CHF atau Gagal Jantung
a. Definisi
Congestve Heart Failure ( CHF ) atau yang disebut juga gagal jantung adalah
penghentian sirkulasi normal darah dikarenakan kegagalan darai ventrikel jantung
untuk berkontraksi secara efektif pada saat sistole ( Triswati, 2016 ).Gagal jantung
adalah keadaan patofisiologi dimana jantung sebagai pompa tidak mampu memenuhi
kebutuhan dara untuk metabolisme jaringan ( Ufara, 2016 ).
b. Etiologi
Adapun faktor penyebab dari CHF atau gagal jantung diantaranya adalah
kebiasaan merokok, diabetes, hipertensi, kolestrol, kelebihab berat badan hingga stres
( Triswanti, 2016 ).Menurut beberapa penelitian penyakit jantung terutama pada
kasus gagal jantung memiliki penyebabya diantara lain seperti usia, jenis kelamin,
konsumsi garam berlebih, keturunan, stress, obesitas, olahraga tidak teratur, merokok,
hipertensi dan lain-lain ( Astuti, 2017).
c. Gejala klinis
Tanda dan gejala dari gagal jantung yakni :
1. Tipikal: sesak nafas, ortopneu, paroxymal nocturnal dyspnoe, toleransi
aktifitas yang berkurang, cepat lelah, bengkak dipergelangan kaki.
2. Spesifik: peningkatan JPV, refluks hepatojugular, suara jantung S3 ( gallop),
apex jantung bergeser ke latral dan bising jantung

Di sumber menerangkan bahwa untuk gejala khas gagal jantung yakni : sesak
nafas saat istirahat atau aktifitas, kelelahan, edema tungkai dan tanda khas gagal
jantung yakni: takikardia, takipnu, ronki paru, efusi pleura, peningkatan tekanan
vena jugularis dan hepatomegali ( PERKI, 2015)
2.5 Diagnosis Tetap pada Skenario
Kelompok kami mengambil diagnosis kerja yakni Gagal Jantung. Dimana
berdasarkan anamnesis pasien diskenario didapatkan Tn. X berusia 60 tahun dengan
keluhan sesak nafas sejak satu bulan yang lalu lalu dan semakin memberat saat
berjalan ringan serta berkurang jika istirahat,dimana juga akan semakin memberat
saat beristirahat. Pada pemeriksaan fisik didaparkan JVP meningkat, ronki basah basal

Laporan LBM 1 Kardiovaskular | 8


paru kanan dan kiri, batas jantung bergeser ke kaudolateral dan pitting oedem kedua
kaki. Yang lebih mengarah dan mirip dengan tanda dan gejala pada gagal jantung
atau CHF (Congestve Heart Failure) ( PREKI. 2015).
2.6 Epidemologi Diagnosis Tetap pada Skenario
Studi epidemiologi menunjukkan bahwa prevalensi dan insidens gagal jantung
global mengalami peningkatan dari waktu ke waktu. Hal ini didukung tak hanya oleh
peningkatan jumlah pasien yang dirawat di rumah sakit akibat gagal jantung, tapi juga
pertambahan kematian akibat gagal jantung serta beban biaya kesehatan yang terkait
gagal jantung.
a. Global
Data global mengungkap bahwa prevalensi gagal jantung telah meningkat dalam
beberapa dekade terakhir. Hal tersebut diduga berkaitan dengan peningkatan
kesadaran masyarakat dan angka diagnosis gagal jantung, pertambahan jumlah
populasi lansia, peningkatan insidens gagal jantung, serta perbaikan tata laksana
penyakit kardiovaskuler dan layanan kesehatan secara umum. Insidens gagal jantung
bervariasi antara 1-32 kasus per 1000 orang-tahun. Rentang estimasi insidens yang
lebar tersebut sangat dipengaruhi oleh karakteristik populasi yang diteliti dan kriteria
diagnosis yang dipakai. Sebagai contoh,  Bahrami et al memperkirakan bahwa
insidens gagal jantung antara tahun 2000-2002 pada populasi kulit hitam, Hispanik,
Kaukasian, dan Tiongkok-Amerika berdasarkan kriteria MESA (Multi Ethnic Study of
Atherosclerosis) masing-masing sebesar 4,6; 3,5; 2,4; dan 1,0 per 1000 orang-tahun.
b. Indonesia
Prevalensi gagal jantung di Indonesia mencapai 5% dari total populasi. Angka
prevalensi ini lebih tinggi dibandingkan data prevalensi gagal jantung di populasi
Eropa dan Amerika yang berkisar antara 1-2%. Karakteristik lain yang menonjol dari
data epidemiologi gagal jantung di Indonesia adalah rerata usia saat pertama
perawatan di RS akibat gagal jantung, perbedaan proporsi pria dan wanita yang
menderita gagal jantung, serta proporsi faktor risiko gagal jantung yang
teridentifikasi.
Rerata usia saat perawatan akibat gagal jantung di Indonesia cenderung lebih
muda (58 tahun) dibandingkan data yang sama di beberapa negara Asia Tengara
seperti Malaysia, Filipina, Singapura, dan Thailand (masing-masing 62, 60, 67, dan
67 tahun). Selain itu, jumlah pria penderita gagal jantung 2 kali lipat lebih banyak
dibandingkan wanita yang mengalami gagal jantung. Proporsi sejumlah faktor risiko

Laporan LBM 1 Kardiovaskular | 9


utama gagal jantung yang teridentifikasi seperti penyakit jantung iskemik dan
hipertensi tidak sebanyak proporsi faktor risiko tersebut pada penderita gagal jantung
di negara Asia Tenggara lainnya. Namun, kegemukan dikenali sebagai salah satu
faktor risiko gagal jantung yang teridentifikasi pada hampir separuh penderita. Hal ini
mengisyaratkan bahwa terdapat kemungkinan deteksi penyakit jantung iskemik dan
hipertensi yang masih rendah pada populasi yang berisiko gagal jantung di Indonesia.
c. Mortalitas
Tingkat mortalitas pada pasien dengan gagal jantung yang bergejala (stadium
AHA/ACC C dan D) masih cukup tinggi, yakni mencapai 25% pada 1 tahun dan 50%
pada 5 tahun pertama pasca diagnosis. Sementara itu, data dari Eropa menunjukkan
bahwa laju mortalitas dalam kurun 12 bulan sejak terdiagnosis lebih tinggi pada
pasien yang dirawat di RS dibandingkan pasien gagal jantung dengan kondisi klinis
yang stabil (17% banding 7%). Data dari pengalaman klinis di Pusat Jantung Nasional
dan beberapa pusat layanan jantung regional di Indonesia menunjukkan bahwa tingkat
kematian akibat gagal jantung pada pasien yang dirawat di RS mencapai 6,7% dan
angka tersebut lebih tinggi dibandingkan estimasi tingkat kematian akibat gagal
jantung di rumah sakit di kawasan Asia Pasifik dan Amerika Serikat (secara berturut-
turut 4,8% dan 3,0%). Hal tersebut mungkin berkaitan dengan proporsi pasien dengan
presentasi klinis buruk (diwakili oleh ejeksi fraksi <40%) yang lebih tinggi di
Indonesia dibandingkan Amerika Serikat (62% banding 54%).
2.7 Patofisiologi Diagnosis Tetap pada Skenario
a. Mekanisme Neurohormonal Progresivitas Gagal Jantung
Mekanisme neurohormonal kompensatorik yang terlibat dalam kejadian gagal
jantung mencakup aktivasi sistem saraf simpatik, sistem renin angiotensin (renin
angiotensin system/RAS), perubahan neurohormonal pada ginjal dan vaskuler perifer.
1. Akitvasi Sistem Saraf Simpatik
Aktivasi saraf simpatik yang disertai penurunan tonus parasimpatik
merupakan mekanisme adaptasi yang muncul pada fase dini gagal jantung. Hal ini
dipicu oleh hilangnya input inhibitorik dari refleks baroreseptor arterial dan
kardiopulmoner. Pada pasien dengan gagal jantung, input inhibitorik dari
baroreseptor dan mekanoreseptor menurun sedangkan input eksitatorik terhadap
jaras simpatik meningkat sehingga terjadi peningkatan aktivitas saraf simpatik dan
penumpulan respons parasimpatik. Sebagai akibatnya, variabilitas denyut jantung
menurun dan resistensi vaskuler perifer meningkat.

Laporan LBM 1 Kardiovaskular | 10


Dampak dari peningkatan tonus simpatik tersebut adalah peningkatan
kadar norepinefrin (NE) yang bersirkulasi dalam darah. Pada pasien dengan gagal
jantung, kadar NE di sinus koronarius juga melebihi kadar NE di arteri yang
mengisyaratkan adanya stimulasi adrenergik di dalam jantung. Namun, seiring
peningkatan keparahan gagal jantung, konsentrasi NE di dalam miokard akan
menurun yang diduga berkaitan dengan kelelahan adrenergik akibat aktivasi
sistem saraf simpatik di jantung yang berkepanjangan.
Di sisi lain, peningkatan aktivitas simpatik dari reseptor adrenergik
beta1 memicu peningkatan denyut jantung dan kekuatan kontraksi miokard
sehingga terjadi peningkatan curah jantung. Hal ini juga memicu reseptor
adrenergik alfa1 di miokard yang memiliki efek inotropik positif serta
vasokonstriksi perifer di arteri. Di satu sisi, NE dapat meningkatkan kapasitas
kontraksi dan relaksasi miokard sehingga mampu menjaga tekanan darah. Namun,
apabila kebutuhan energi miokard meningkat di tengah keterbatasan pengiriman
oksigen di miokard, risiko iskemia tak dapat dielakkan. Dengan demikian, aktivasi
saraf simpatik mungkin berperan untuk menunjang sirkulasi dalam jangka pendek
namun berpotensi merusak miokard dalam jangka panjang.
2. Aktivasi Sistem Renin Angiotensin (Renin Angiotensin System / RAS)
Berbeda dengan sistem saraf simpatik, aktivasi RAS mulai terjadi ketika
keparahan gagal jantung semakin memberat. Mekanisme diduga yang mendasari
aktivasi RAS antara lain hipoperfusi ginjal, penurunan jumlah sodium yang
mencapai makula densa di tubulus distal, serta peningkatan aktivitas saraf
simpatik di ginjal. Berbagai faktor tersebut memicu peningkatan jumlah renin
yang dilepaskan dari aparatus jukstraglomerular. Angiotensin II yang teraktivasi
secara kronik oleh jaras RAS bersifat maladaptif dan dapat menyebabkan fibrosis
jantung, ginjal, dan organ lainnya. Selain itu, angiotensin II juga dapat
memperparah aktivasi neurohormonal dengan meningkatkan pelepasan NE dari
ujung saraf simpatik dan merangsang zona glomerulosa korteks adrenal untuk
memproduksi aldosteron. Ekspresi aldosteron yang berkepanjangan dapat memicu
hipertrofi dan fibrosis vaskuler dan miokard sehingga menurunkan kepatuhan
vaskuler dan meningkatkan kekakuan dinding ventrikel. Sementara itu, aldosteron
yang berlebihan juga merangsang terjadinya disfungsi endotel, baroreseptor,
inhibisi ambilan NE, yang semakin memperburuk perjalanan gagal jantung.
Seiring dengan bertambahnya keparahan gagal jantung, terjadi

Laporan LBM 1 Kardiovaskular | 11


peningkatan retensi garam dan air oleh ginjal. Hal ini timbul akibat penurunan
volume darah arteri yang efektif. Walaupun terjadi ekspansi volume darah pada
kondisi gagal jantung, curah jantung yang menurun yang dideteksi oleh
baroreseptor vaskuler memicu serangkaian adaptasi neurohormonal yang mirip
dengan respons terhadap perdarahan akut. Bukti yang ada menunjukkan bahwa
kelebihan beban cairan pada gagal jantung terjadi akibat perubahan fisiologi ginjal
sebagai respons terhadap faktor-faktor yang menyebabkan reabsorpsi natrium,
aktivasi saraf simpatik, aktivasi RAS, penurunan tekanan perfusi ginjal, dan
penumpulan respons ginjal terhadap peptida natriuretic.
3. Perubahan Neurohormonal pada Ginjal dan Vaskuler Perifer
Di sisi lain, interaksi sistem saraf otonom dan mekanisme neurohormonal
cenderung melindungi perfusi ke otak dan jantung sedangkan aliran darah ke kulit,
otot rangka, dan organ visera menurun. Hal ini berkontribusi terhadap hipoperfusi
ginjal dan saluran cerna yang diperantarai oleh berbagai vasokonstriktor seperti
NE, endotelin, urotensin II, tromboksan A2, dan arginin vasopresin (AVP).
Rangsangan simpatik terhadap arteri perifer serta peningkatan kadar
vasokonstriktor di dalam sirkulasi menyebabkan vasokonstriksi arteriol sedangkan
efek keduanya terhadap vena menimbulkan peningkatan tonus vena untuk
menjaga aliran balik vena dan pengisian ventrikel.
Peningkatan neurohormon yang merangsang vasokonstriksi arteriol
tersebut mengaktifkan mekanisme vasodilatorik, antara lain pelepasan peptida
natriuretik, NO, bradikinin, adrenomedulin, apelin, serta prostaglandin PGI2 dan
PGE2. Pada kondisi normal, respons vasodilatasi dari endotel tersebut mampu
melawan efek vasokonstriksi khususnya pada saat beraktivitas. Namun, pada
gagal jantung berat, respons vasodilatasi tersebut hilang sehingga vasokonstriksi
arteri perifer tidak terbendung.
b. Remodelisasi Ventrikel Kiri
Remodelisasi ventrikel kiri merupakan perubahan struktur ventrikel kiri yang
terjadi sebagai respons terhadap jejas kardiovaskuler, aktivasi neurohormonal, dan
kelainan beban hemodinamik.
1. Perubahan pada Miosit Jantung
Perubahan pada miosit jantung pada remodelisasi ventrikel dapat memiliki
dua macam fenotip, yakni hipertrofi konsentrik dan eksentrik. Pada hipertrofi
konsentrik, seperti ditemukan dalam kasus hipertensi maupun stenosis aorta,

Laporan LBM 1 Kardiovaskular | 12


kenaikan tekanan sistolik pada dinding ventrikel merangsang penambahan jumlah
sarkomer pada konfigurasi paralel sehingga mempertebal dinding ventrikel kiri.
Sementara itu, hipertrofi eksentrik sebagaimana terjadi pada regurgitasi mitral dan
aorta disebabkan oleh peningkatan tekanan dinding pada fase diastolik yang
menyebabkan perpanjangan miosit serta susunan sarkomer pada posisi seri yang
kemudian memicu terjadinya dilatasi ventrikel kiri. Karakteristik ventrikel kiri
pada pasien dengan gagal jantung umumnya mengalami dilatasi dengan atau tanpa
penipisan dinding ventrikel.
Pada tingkat molekuler, hipertrofi miosit jantung memicu reaktivasi
beragam gen fetal dan penurunan ekspresi gen yang banyak ditemukan pada
jantung orang dewasa. Mekanisme pemrograman gen fetal ini berdampak pada
regangan mekanik miosit, ekspresi neurohormon (NE, angiotensin II), sitokin
inflamasi, endotelin, dan pembentukan spesies oksigen reaktif yang terjadi secara
lokal di miokardium dan sistemik.
Selain itu, gangguan sambungan eksitasi-kontraksi miosit juga dapat
terjadi pada gagal jantung yang tampak nyata pada denyut jantung yang cepat
dengan manifestasi berupa penekanan pada asosiasi gaya-frekuensi. Pada kondisi
normal, seiring dengan peningkatan frekuensi kontraksi miosit, performa jantung
turut meningkat akibat akumulasi kalsium intraseluler temporer yang dipengaruhi
frekuensi. Namun, pada gagal jantung, penurunan jumlah kalsium intraseluler,
peningkatan kadar kalsium diastolik, serta penurunan jumlah Ca2+ transien
menyebabkan kelemahan pembentukan gaya yang dihasilkan otot jantung.
Peran beberapa jenis protein sitoskeletal seperti titin, desmin, vinculin, dan
dystrophin dalam patogenesis gagal jantung juga mulai banyak dipelajari. Pada
pasien dengan kardiomiopati dilatasi, titin mengalami penurunan sementara
desmin, vinculin, dan dystrophin mengalami peningkatan [20]. Mengingat
protein-protein tersebut merupakan fondasi mikroarsitektur miosit, gangguan
integritas seluler akibat ketidakseimbangan ekspresi protein sitoskeletal tersebut
dapat diprediksi mengganggu hubungan antara sarkomer dan sarkolema serta
matriks ekstraseluler yang berujung pada disfungsi kontraksi miosit.
2. Perubahan Miokardium
Perubahan terkait miokardium pada kondisi gagal jantung dapat meliputi
perubahan volume miosit jantung serta perubahan pada volume dan komposisi
matriks ekstraseluler. Pada gagal jantung, miosit jantung pada miokardium dapat

Laporan LBM 1 Kardiovaskular | 13


mengalami nekrosis, apoptosis, serta kematian sel secara autofagi yang berujung
pada hilangnya jumlah miosit progresif, disfungsi jantung, dan remodelisasi
ventrikel kiri [8]. Sementara itu, matriks ekstraseluler menunjukkan perubahan
sintesis dan degradasi kolagen berserat, hilangnya penyangga kolagen yang
menghubungkan antar miosit, dan kerusakan anyaman kolagen.
Metaloproteinase matriks (matrix metalloproteinase/MMP) juga memiliki
peran penting dalam remodelisasi ventrikel sebab MMP teraktivasi dan meningkat
pada kondisi gagal jantung. Namun, progresivitas remodelisasi ventrikel
sebenarnya lebih dipengaruhi oleh ketidakseimbangan antara MMP dan
glikoprotein regulatornya, yakni TIMP (tissue inhibitors of matrix
metalloproteinase). Evaluasi pada berbagai studi mengisyaratkan bahwa aktivasi
MMP memicu progresivitas dilatasi ventrikel kiri sedangkan ekspresi TIMP
berperan pada fibrosis miokard.
3. Perubahan Struktur Ventrikel Kiri
Segala perubahan pada tingkat molekuler, seluler, dan jaringan miokard
bertanggung jawab terhadap perubahan struktur ventrikel kiri pada gagal jantung.
Pada prinsipnya, ventrikel yang mengalami remodelisasi mengalami perubahan
geometri dari bentuk elips yang memanjang dari kutubnya menjadi bentuk yang
lebih sferis. Hal ini berdampak pada peningkatan tahanan dinding ventrikel pada
sumbu meridien yang memicu beban energi baru pada dinding jantung yang sudah
payah tersebut [17]. Mengingat bahwa beban ventrikel di akhir diastole
berkontribusi terhadap beban ventrikel pada awal sistole, maka dapat dipahami
bahwa dilatasi ventrikel kiri akan meningkatkan kebutuhan energi ventrikel. Hal
ini akan semakin memperparah penggunaan energi pada ventrikel jantung yang
sudah gagal.

Laporan LBM 1 Kardiovaskular | 14


 
Gambar 1. Patofisiologi remodelisasi ventrikel kiri. Sumber: dr. Sunita, 2018.

c. Patofisiologi Gagal Jantung dengan Fraksi Ejeksi Normal


Patofisiologi gagal jantung dengan fraksi ejeksi normal (heart failure with
preserved ejection fraction/HFpEF) melibatkan perubahan pada relaksasi dan
pengisian ventrikel kiri, remodelisasi ventrikel kiri beserta perubahan geometrinya,
dan perubahan pada kepatuhan ventrikel dan vaskuler.
Disfungsi diastolik ventrikel kiri merupakan temuan yang umum pada HFpEF
dan diduga menjadi faktor utama pada kelainan hemodinamik dan gejala HFpEF.
Disfungsi diastolik adalah ketidakmampuan jantung dalam mengisi
volume preload ventrikel (volume akhir diastolik) secara adekuat pada tekanan yang
relatif rendah. Fungsi diastolik sangat dipengaruhi oleh pelepasan miofilamen,
ambilan kalsium, kekakuan pasif dinding ventrikel akibat interaksi matriks
ekstraseluler, ruang ventrikel, dan perikardium. Segala faktor yang mengubah
komponen tersebut secara langsung berpengaruh terhadap volume akhir diastolik dan
tekanan ventrikel.
Pada HFpEF, penurunan tekanan ventrikel kiri selama fase relaksasi
isovolumik terjadi dalam waktu yang relatif lebih lama. Selain itu, fungsi relaksasi

Laporan LBM 1 Kardiovaskular | 15


dinding ventrikel tidak mengalami peningkatan pada saat terjadi peningkatan denyut
jantung dan aktivitas. Akibatnya, pengisian ventrikel dilakukan dengan mengandalkan
peningkatan tekanan atrium kanan sehingga memaksa darah dari atrium masuk ke
ventrikel.
Penderita dengan HFpEF umumnya mengalami remodelisasi ventrikel dengan
pola konsentrik tanpa disertai hipertrofi maupun perubahan berarti pada geometri
ventrikel. Kardiomiosit umumnya lebih tebal dan tidak terlalu memanjang seperti
yang terjadi pada gagal jantung dengan penurunan fraksi ejeksi. Peningkatan kolagen
berserat di matriks ekstraseluler jantung pasien dengan HFpEF dan penurunan
aktivitas MMP berkontribusi pada deposisi kolagen di miokard dan fibrosis
interstisial. Molekul titin, yang merupakan pegas miosit untuk menahan distensi
ventrikel, mengalami perubahan menjadi bentuk isoform N2B serta terfosforilasi.
Segala faktor-faktor tersebut berkontribusi pada peningkatan kekakuan diastolik pada
ventrikel kiri.
2.8 Pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang Diagnosis Tetap pada Skenario
a. EKG atau rekam jantung yang dapat mendeteksi kelistrikan jantung, pembesaran
jantung, dan otot-otot jantung.
b. Rontgen dada: dapat menunjukkan pembesaran jantung, bayangan dapat
menunjukkan dilatasi/hipertrofi bilik atau perubahan pembuluh darah
mencerminkan peningkatan tekanan pulmonalis.
c. Kateterisasi jantung: digunakan untuk mengukur tekanan di dalam ruang jantung.
Tekanan abnormal merupakan sebuah pertanda dan membantu membedakan gagal
jantung kanan atau kiri, stenosis atau insufisiensi, juga mengkaji potensi arteri
koroner.
d. Pemeriksaan Elektrolit: untuk mendeteksi perubahan elektrolit dalam tubuh akan
terlihat perubahan karena adanya perpindahan cairan/penurunan fungsi ginjal.

2.9 Penatalaksanaan dari Diagnosis Tetap pada Skenario


Dasar penatalaksanaan pasien gagal jantung adalah:
a. Dukung istirahat untuk mengurangi beban kerja jantung.
b. Meningkatkan kekuatan dan efisiensi kontraksi jantung dengan bahanbahan
farmakologis.
c. Menghilangkan penimbunan cairan tubuh berlebihan dengan terapi diuretik diet
dan istirahat
1. Terapi Farmakologi

Laporan LBM 1 Kardiovaskular | 16


1) Diuretik (Diuretik tiazid dan loop diuretik) Mengurangi kongestif
pulmonal dan edema perifer, mengurangi gejala volume berlebihan
seperti ortopnea dan dispnea noktural peroksimal, menurunkan
volume plasma selanjutnya menurunkan preload untuk mengurangi
beban kerja jantung dan kebutuhan oksigen dan juga menurunkan
afterload agar tekanan darah menurun.
2) Antagonis aldosteron Menurunkan mortalitas pasien dengan gagal
jantung sedang sampai berat.
3) Obat inotropik Meningkatkan kontraksi otot jantung dan curah
jantung.
4) Glikosida digitalis Meningkatkan kekuatan kontraksi otot jantung
menyebabkan penurunan volume distribusi.
5) Vasodilator (Captopril, isosorbit dinitrat) Mengurangi preload dan
afterload yang berlebihan, dilatasi pembuluh darah vena
menyebabkan berkurangnya preload jantung dengan meningkatkan
kapasitas vena.
6) Inhibitor ACE Mengurangi kadar angiostensin II dalam sirkulasi
dan mengurangi sekresi aldosteron sehingga menyebabkan
penurunan sekresi natrium dan air. Inhibitor ini juga menurunkan
retensi vaskuler vena dan tekanan darah yg menyebabkan
peningkatan curah jantung.
2. Terapi non farmakologi
Penderita dianjurkan untuk membatasi aktivitas sesuai beratnya keluhan
seperti: diet rendah garam, mengurangi berat badan, mengurangi lemak,
mengurangi stress psikis, menghindari rokok, olahraga teratur.
2.10 Komplikasi dan Prognosis dari Diagnosis Tetap pada Skenario
a. Komplikasi
1. Irama jantung tidak normal
Salah satu komplikasi gagal jantung adalah atrial fibrilasi atau irama
jantung yang tidak normal. Komplikasi ini terjadi karena gagal jantung
membuat jantung menjadi lemah dan bagian serambi menjadi sulit untuk
berkontraksi tepat pada waktunya.Detak jantung yang tak beraturan di atas dapat
membuat gagal jantung menjadi memburuk dan memicu palpitasi (detak jantung
menjadi kencang). Kondisi tersebut juga berisiko menimbulkan gumpalan darah

Laporan LBM 1 Kardiovaskular | 17


yang bisa berpindah ke otak dan memicu stroke. 
2. Kerusakan pada katup jantung
Jantung memiliki empat buah katup yang membuka dan menutup untuk
menjaga aliran masuk dan keluar darah pada kondisi normal. Gagal jantung
membuat organ ini bekerja lebih keras untuk memompa darah dan menimbulkan
perubahan ukuran. Perubahan ukuran jantung dapat menimbulkan kerusakan
pada katup jantung. 
3. Gagal atau kerusakan pada ginjal
Komplikasi gagal jantung lainnya adalah gagal ginjal. Seperti organ lain,
ginjal membutuhkan suplai darah agar bisa bekerja dengan normal. Tanpa darah
yang cukup, ginjal akan sulit menyingkirkan zat sisa yang ada di darah. Kondisi
ini dapat menimbulkan komplikasi berupa gagal ginjal. Penyakit pada ginjal
juga dapat memperburuk gagal jantung yang dialami penderitanya. Pasalnya,
ginjal yang rusak tidak dapat menyingkirkan kelebihan air dari darah dengan
normal. Kondisi ini kemudian memicu penumpukan air di dalam tubuh yang
kemudian akan menaikkan tekanan darah. Tekanan darah tinggi dapat
menambah masalah baru pada jantung.
4. Kerusakan pada organ hati
Hati turut menjadi organ yang menjadi sasaran komplikasi gagal jantung.
Gagal jantung dapat memicu penumpukan cairan yang kemudian meningkatkan
tekanan pada pembuluh vena porta. Pembuluh vena porta berfungsi untuk
mengalirkan darah dari sistem pencernaan menuju organ hati. Tekanan pada
pembuluh vena di atas akan menimbulkan terbentuknya jaringan parut (luka)
pada organ hati dan mengganggu aktivitas organ ini yang vital bagi tubuh.
5. Kerusakan pada paru-paru
Komplikasi gagal jantung juga bisa menimpa paru-paru. Gagal jantung
membuat jantung sulit untuk mengalirkan darah dari paru-paru untuk keluar.
Darah kemudian dapat menumpuk di paru-paru, meningkatkan tekanan pada
pembuluh vena di organ pernapasan ini, dan mendorong cairan masuk ke
kantung udara atau alveolus. Penumpukan cairan di dalam paru-paru di atas
membuat penderita gagal jantung menjadi sulit bernapas. Kondisi ini disebut
dengan edema paru dan berisiko fatal jika tak ditangani dengan segera.
6. Anemia
Anemia juga dapat menjadi komplikasi gagal jantung. Seperti yang

Laporan LBM 1 Kardiovaskular | 18


disampaikan di atas, gagal jantung memicu kerusakan pada ginjal. Padahal,
ginjal berfungsi vital dalam produksi hormon protein yang disebut eritropoietin
(EPO). EPO berperan penting dalam produksi sel darah merah yang baru dan
sehat. Dengan terjadinya gagal jantung dan kerusakan ginjal, produksi EPO pun
terganggu yang kemudian juga menghambat produksi sel darah merah.
7. Penurunan berat badan dan massa otot yang ekstrem
Komplikasi gagal jantung yang juga bisa dialami penderitanya adalah
penurunan massa otot dan berat badan yang ekstrem. Gagal jantung dapat
mengganggu metabolisme lemak dan berpengaruh terhadap otot. Pada kondisi
gagal jantung yang berat, berat badan dapat turun dengan signifikan dan otot
melemah dan mengecil. 
b. Prognosis
Penurunan fungsi ginjal pada gagal jantung dapat memperburuk prognosis dan
mempengaruhi terapi gagal jantung. Penurunan LFG setiap 10 ml/min/1,73m2
meningkatkan mortalitas 1,56 kali pada pasien gagal jantung akut. Penurunan fungsi
ginjal merupakan faktor resiko independen untuk kejadian masuk rumah sakit
berulang, mortalitas dalam 1 tahun ke depan, serta berkaitan dengan akitivasi
inflamasi pada gagal jantung.

Laporan LBM 1 Kardiovaskular | 19


BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Berdasarkan dari hasil pembahasan diatas dapat disimpulkan bahwa Tn. X
mengalami penyakit Gagal Jantung Kongestif atau Congestif Heart Failure (CHF)
terkait dengan manifestasi klinis dan hasil pemeriksaan yang sudah dilakukan kepada
Tn. X yang menunjukkan adanya gejala dan tanda dari Gagal Jantung Kongestif.
Gagal jantung adalah kumpulan gejala yang kompleks dimana seorang pasien harus
memiliki tampilan berupa: Gejala gagal jantung (nafas pendek yang tipikal saat
istrahat atau saat melakukan aktifitas disertai / tidak kelelahan); tanda retensi cairan
(kongesti paru atau edema pergelangan kaki); adanya bukti objektif dari gangguan
struktur atau fungsi jantung saat istirahat. Gagal jantung sering juga diklasifikasikan
sebagai gagal jantung dengan penurunan fungsi sistolik (fraksi ejeksi) atau dengan
gangguan fungsi diastolik (fungsi sistolik atau fraksi ejeksi normal), yang selanjutnya
akan disebut sebagai Heart Failure with Preserved Ejection Fraction (HFPEF). Selain
itu, myocardial remodeling juga akan berlanjut dan menimbulkan sindroma klinis
gagal jantung

Laporan LBM 1 Kardiovaskular | 20


DAFTAR PUSTAKA
Setiati, Siti. Dkk. 2014. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Edisi 6. Jakarta: InternaPublishing.
Guyton AC,John EH. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran.Ed-11. Jakarta:EGC;2017.
Guyton Dan Hall. 2014. Fisiologi Kedokteran. Edisi 12. Elsevier. Jakarta.
Ponikowski P, Voors AA, Anker SD, Bueno H, Cleland JGF, Coats AJS, et al. 2016 ESC
Guidelines for the diagnosis and treatment of acute and chronic heart failure. Eur Heart J
[Internet]. 2016 Jul 14;37(27):2129–200.
Triswanti, Nia. Dkk. 2016. Hubungan Hipertensi Dengan Kejadian Penyakit Gagal Jantung
Kongestif Di Rumah Sakit Pertamina Bintang Amin Provinsi Lampung Tahun 2015.
Diakss tanggal 15 Desember 2020. At Vailable Http://ejurnalmalahayati.ac.id.

Laporan LBM 1 Kardiovaskular | 21

Anda mungkin juga menyukai