Buku Etika Profesi Bimbingan Dan Konseling
Buku Etika Profesi Bimbingan Dan Konseling
KATA PENGANTAR
Puji syukur tiada tara penulis panjatkan pada Yang Maha Pengasih karena
telah memberikan kemampuan dan waktu kepada penulis untuk menyelesaikan
penulisan buku Etika Profesi Bimbingan dan Konseling ini. Penulis berharap buku ini
dapat dimanfaatkan untuk salah sumber belajar bagi mahasiswa, khususnya
mahasiswa program studi Bimbingan dan Konseling. Apa yang disajikan dalam buku
ini merupakan bahan perkuliahan Etika Profesi BK. Untuk memperluas dan
memperdalam wawasan dalam bidang ini diharapkan mahasiswa membaca berbagai
refensi yang relevan, terutama yang buku-buku dijadikan acuan dalam penulisan buku
ini. Penulis menyadari bahwa banyak kelemahan yang terdapat pada diktat ini, baik
yang menyangkut isi, pengungkapan, maupun sistematika penulisan. Untuk itu saran
serta kritik yang konstruktif senantiasa penulis harapkan.
2
DAFTAR PUSTAKA
BAB I.........................................................................................................................................6
3
F. Lisensi Konselor.......................................................................................................47
G. Ringkasan Materi....................................................................................................49
BAB V......................................................................................................................................50
KEKUATAN DAN KELEMAHAN PERSONAL DAN PROFESIONAL GURU BIMBINGAN DAN
KONSELING.............................................................................................................................50
BAB VI.....................................................................................................................................53
BENTUK-BENTUK KERJASAMA DENGAN REKAN SEJAWAT DAN ANGGOTA PROFESI LAIN.....53
BAB VII....................................................................................................................................61
KASUS-KASUS ETIKA PROFESI BK............................................................................................61
BAB VIII...................................................................................................................................67
KERJA SAMA GURU BK DENGAN ORANG TUA SISWA.............................................................67
BAB IX.....................................................................................................................................72
ETIKA PROFESI BK DALAM KERJASAMA GURU BK DENGAN ORGANISASI PROFESI LAIN........72
BAB X......................................................................................................................................83
KERJASAMA GURU BK DENGAN MASYARAKAT YANG LEBIH LUAS.........................................83
BAB XI.....................................................................................................................................91
PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN YANG BERKAITAN DENGAN PROFESI BK..................91
BAB XII....................................................................................................................................97
KETERAMPILAN PERILAKU ETIS KONSELOR............................................................................97
BAB XIII.................................................................................................................................105
ORIENTASI ORGANISASI PROFESI BIMBINGAN DAN KONSELING..........................................105
DAFTAR PUSTAKA.................................................................................................................121
4
5
BAB I
PENGERTIAN ETIKA DAN PROFESI BK, CIRI-CIRI GURU BK
A. Pengertian Profesi
Istilah profesi telah dimengerti oleh banyak orang bahwa suatu hal yang
berkaitan dengan bidang yang sangat dipengaruhi oleh pendidikan dan keahlian,
sehingga banyak orang yang bekerja tetap sesuai dengan keahliannya. Tetapi dengan
keahlian saja yang diperoleh dari pendidikan kejuruan, juga belum cukup disebut
profesi. Tetapi perlu penguasaan teori sistematis yang mendasari praktek pelaksanaan,
dan hubungan antara teori dan penerapan dalam praktek.
Profesi sering kita artikan dengan “pekerjaan” atau “job” kita sehari-hari.
Tetapi dalam kata profession yang berasal dari perbendaharaan Angglo Saxon tidak
hanya terkandung pengertian “pekerjaan” saja. Profesi mengharuskan tidak hanya
pengetahuan dan keahlian khusus melalui persiapan dan latihan, tetapi dalam arti
“profession” terpaku juga suatu “panggilan”.Dengan begitu, maka arti “profession”
mengandung dua unsur. Pertama unsure keahlian dan kedua unsur panggilan
Prayitno (2004) menyatakan bahwa profesi merupakan suatu jabatan atau pekerjaan
yang menuntut keahlian dari para petugasnya. Artinya, pekerjaan yang disebut profesi
tidak bisa dilakukan oleh orang yang tidak terlatih dan tidak disiapkan khusus terlebih
dahulu untuk melakukan pekerjaan itu. Sebuah profesi harus memenuhi etika atau
memiliki ciri-ciri tertentu. Bimbingan konseling hanya bisa dilakukan oleh seorang
konselor.
De George juga menyatakan bahwa profesi, adalah pekerjaan yang dilakukan
sebagai kegiatan pokok untuk menghasilkan nafkah hidup dan yang mengandalkan
suatu keahlian.Profesi merupakan pekerjaan yang di dalamnya memerlukan sejumlah
persyaratan yang mendukung pekerjaannya. Karena itu, tidak semua pekerjaan
menunjuk pada sesuatu profesi.
Pengertian profesi secara singkat juga dikemukakan Kenneth Lynn dalam M. Nurdin
(2004) bahwa profesi adalah menyajikan jasa berdasarkan ilmu pengetahuan. Mc
Cully dalam M. Nurdin (2004) menggambarkan bahwa profesi adalah Menggunakan
teknik dan prosedur dg landasan intelektual. Sedangkan menurut Sudarwan Danim
(1995) profesi adalah pekerjaan yang memerlukan spesialisasi akademik. (Pantiwati :
2010)
6
Dari beberapa pengertian diatas maka dapat disimpulkan bahwa profesi
merupakan suatu pekerjaan yang menuntut keahlian, ilmu pengetahuan, menggunakan
teknik yang relevan serta harus berkependidikan yang spesifik. Sehingga tidak semua
pekerjaan adalah suatu profesi.
B. Ciri-ciri Profesi
7
8. Para anggotanya, baik perorangan maupun kelompok, lebih mementingkan
pelayanan yang bersifat sosial daripada pelayanan yang mengejar
keuntungan yang bersifat ekonomi.
9. Standar tingkah laku bagi anggotanya dirumuskan secara tersurat
(eksplisit) melalui kode etik yang benar-benar diterapkan; setiap
pelanggaran atas kode etik dapat dikenakan sanksi tertentu.
10. Selama berada dalam pekerjaan itu, para anggotanya terus-menerus
berusaha menyegarkan dan meningkatkan kompetensinya dengan jalan
mengikuti secara cermat literatur dalam bidang pekerjaan itu,
menyelenggarakan dan memahami hasil-hasil riset, serta berperan serta
secara aktif dalam pertemuan-pertemuan sesama anggota.
Secara umum ada beberapa ciri atau sifat yang selalu melekat pada profesi,
yaitu :
1. Adanya pengetahuan khusus, yang biasanya keahlian dan keterampilan ini dimiliki
berkat pendidikan, pelatihan dan pengalaman yang bertahun-tahun.
2. Adanya kaidah dan standar moral yang sangat tinggi. Hal ini biasanya setiap pelaku
profesi mendasarkan kegiatannya pada kode etik profesi.
3. Mengabdi pada kepentingan masyarakat, artinya setiap pelaksana profesi harus
meletakkan kepentingan pribadi di bawah kepentingan masyarakat.
4. Ada izin khusus untuk menjalankan suatu profesi. Setiap profesi akan selalu
berkaitan dengan kepentingan masyarakat, di mana nilai-nilai kemanusiaan berupa
keselamatan, keamanan, kelangsungan hidup dan sebagainya, maka untuk
menjalankan suatu profesi harus terlebih dahulu ada izin khusus.
5. Kaum profesional biasanya menjadi anggota dari suatu profesi.
Selain memiliki beberapa ciri khas, sebuah profesi juga memiliki prinsip-
prinsip etika.
Beberapa diantaranya yaitu :
1. Tanggung jawab
a. Terhadap pelaksanaan pekerjaan itu dan terhadap hasilnya.
b. Terhadap dampak dari profesi itu untuk kehidupan orang lain atau
masyarakat pada umumnya.
2. Keadilan
8
Prinsip ini menuntut kita untuk memberikan kepada siapa saja apa yang
menjadi haknya.
3. Otonomi
Prinsip ini menuntut agar setiap kaum profesional memiliki dan di beri
kebebasan dalam menjalankan profesinya.
Diyakini bahwa pelayanan bimbingan dan konseling adalah suatu profesi yang
dapat memenuhi ciri-ciri dan persyaratan tersebut. Namun, berhubung dengan
perkembangannya yang masih tergolong baru, terutama di Indonesia, dewasa ini
pelayanan bimbingan dan konseling belum sepenuhnya mencapai persyaratan yang
diharapkan. Sebagai profesi yang handal, bimbingan dan konseling masih perlu
dikembangkan, bahkan diperjuangkan.
Menurut Prayitno (2004) pengembangan profesi bimbingan dan konseling
antara lain melalui (a) standardisasi untuk kerja profesional konselor, (b) standardisasi
penyiapan konselor, (c) akreditasi, (d) stratifikasi dan lisensi, dan (e) pengembangan
organisasi profesi.
1. Standarisasi Untuk Kerja Profesional Konselor
Masih banyak orang yang memandang bahwa pekerjaan dan bimbingan dan
konseling dapat dilakukan oleh siapa pun juga, asalkan mampu berkomunikasi dan
berwawancara. Anggapan lain mengatakan bahwa pelayanan bimbingan dan
konseling semata-mata diarahkan kepada pemberian bantuan berkenaan dengan upaya
pemecahan masalah dalam arti yang sempit saja. Ini jelas merupakan anggapan yang
keliru. Sebagaimana telah diuraikan pada Bab VI, pelayanan bimbingan dan konseling
tidak semata-mata diarahkan kepada pemecahan masalah saja, tetapi mencakup
berbagai jenis layanan dan kegiatan yang mengacu pada terwujudnya fungsi-fungsi
yang luas. Berbagai jenis bantuan dan kegiatan menuntut adanyaunjuk kerja
profesional tertentu. Di Indonesia memang belum ada rumusan tentang unjuk kerja
profesional konselor yang standar. Usaha untuk merintis terwujudnya rumusan
tentang unjuk kerja itu telah dilakukan oleh Ikatan Petugas Bimbingan Indonesia
(IPBI) pada Konvensi Nasional VII IPBI di Denpasar, Bali (1989). Upaya ini lebih
dikonkretkan lagi pada Konvensi Nasional VIII di Padang (1991). Rumusan unjuk
9
kerja yang pernah disampaikan dan dibicarakan dalam konvensi IPBI di Padang itu
dapat dilihat pada lampiran.
Walaupun rumusan butir-butir (sebanyak 225 butir) itu tampak sudah terinci,
namun pengkajian lebih lanjut masih amat perlu dilakukan untuk menguji apakah
butir-butir tersebut memang sudah tepat sesuai dengan kebutuhan lapangan, serta
cukup praktis dan memberikan arah kepada para konselor bagi pelaksanaan layanan
terhadap klien. Hasil pengkajian itu kemungkinan besar akan mengubah, menambah
merinci rumusan-rumusan yang sudah ada itu.
10
h. memungkinkan mahasiswa dan staf pengajar berperan serta dalam
evaluasi program secara intensif.
i. membantu para pemakai lulusan untuk mengetahui program mana yang
telah standar.
j. untuk mendapatkan kepercayaan dari masyarakat pendidikan, masyarakat
profesi dan masyarakat pada umumnyatentang kemantapan pelayanan
bimbingan dan konseling.
4. Sertifikasi dan lisensi
Kedua hal tesebut terlebih dahulu disusun dan diberlakukan oleh undang-
undang atau peraturan pemerintah. Bertujuan untuk menjaga profesionalitas konselor.
Sertifikasi merupakan program yang dilaksanakan pemerinah agar seorang konselor
dapat bekerja sedangkan lisensi diperuntukan apabila bekerja diluar negeri.
5. Pengembangan Organisasi Profesi
Menurut Paputungan (2010) ada beberapa hal yang perlu di perhatikan dalam
profesi bimbingan dan konseling yaitu:
1) Memahami secara mendalam konseli yang hendak dilayani
2) Menghargai dan menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan, individualitas,
kebebasan memilih, dan mengedepankan kemaslahatan konseli dalam konteks
kemaslahatan umum: (a) mengaplikasikan pandangan positif dan dinamis
tentang manusia sebagai makhluk spiritual, bermoral, sosial, individual, dan
berpotensi; (b) menghargai dan mengembangkan potensi positif individu pada
umumnya dan konseli pada khususnya; (c) peduli terhadap kemaslahatan
manusia pada umumnya dan konseli pada khususnya; (d) menjunjung tinggi
harkat dan martabat manusia sesuai dengan hak asasinya; (e) toleran terhadap
permsalahan konseli, dan (f) bersikap demokratis.
3) Menguasai landasan teoritik bimbingan dan konseling.
Menguasai landasan teoritik bimbingan dan konseling; (b) menguasai ilmu
pendidikan dan landasan keilmuannya; (c) mengimplementasikan prinsip-
prinsip pendidikan dan proses pembelajaran; (d) menguasai landasan budaya
dalam praksis pendidikan.
4) Menguasai esensi pelayanan bimbingan dan konseling dalam jalur, jenjang,
dan jenis satuan pendidikan: (a) menguasai esensi bimbingan dan onseling
pada satuan jalur pendidikan formal, non formal, dan informal; (b) menguasai
esensi bimbingan dan konseling pada satuan jenis pendidikan umum,
11
kejuruan, keagamaan, dan khusus; dan (c) menguasai esensi bimbingan dan
konseling pada satuan jenjang pendidikan usia dini, dasar dan menengah.
5) Menguasai konsep dan praksis penelitian bimbingan dan konseling: (a)
memahami berbagai jenis dan metode penelitian; (b) mampu merancang
penelitian bimbingan dan konseling; (c) melaksanakan penelitian bimbingan
dan konseling; (d) memanfaatkan hasil penelitian dalam bimbingan dan
konseling dengan mengakses jurnal pendidikan dan bimbingan dan konseling.
6) Menguasai kerangka teori dan praksis bimbingan dan konseling: (a)
mengaplikasikan hakikat pelayanan bimbingan dan konseling; (b)
mengaplikasikan arah profesi bimbingan dan konseling; (c) mengaplikasikan
dasar-dasar pelayanan bimbingan dan konseling; (d) mengaplikasikan
pelayanan bimbingan dan konseling sesuai kondisi dan tuntutan wilayah kerja;
(e) mengaplikasikan pendekatan/model/ jenis layanan dan kegiatan pendukung
bimbingan dan konseling; dan (f) Mengaplikasikan dalam praktik format
pelayanan bimbingan dan konseling.
7) Menyelenggarakan bimbingan dan konseling yang memandirikan
8) Merancang program bimbingan dan konseling: (a) menganalisis kebutuhan
konseli; (b) menyusun program bimbingan dan konseling yang berkelanjutan
berdasar kebutuhan peserta didik secara komprehensif dengan pendekatan
perkembangan; (c) menyusun rencana pelaksanaan program bimbingan dan
konseling; dan (d) merencanakan sarana dan biaya penyelenggaraan program
bimbingan dan konseling.
9) Mengimplemantasikan program bimbingan dan konseling yang komprehensif:
(a) Melaksanakan program bimbingan dan konseling: (b) melaksanakan
pendekatan kolaboratif dalam layanan bimbingan dan konseling; (c)
memfasilitasi perkembangan, akademik, karier, personal, dan sosial konseli;
dan (d) mengelola sarana dan biaya program bimbingan dan konseling.
10) Menilai proses dan hasil kegiatan bimbingan dan konseling: (a) melakukan
evaluasi hasil, proses dan program bimbingan dan konseling; (b) melakukan
penyesuaian proses layanan bimbingan dan konseling; (c) menginformasikan
hasil pelaksanaan evaluasi layanan bimbingan dan konseling kepada pihak
terkait; (d) menggunakan hasil pelaksanaan evaluasi untuk merevisi dan
mengembangkan program bimbingan dan konseling.
12
11) Mengimplementasikan kolaborasi intern di tempat bekerja: (a) memahami
dasar, tujuan, organisasi dan peran pihak-pihak lain (guru, wali kelas,
pimpinan sekolah/madrasah, komite sekolah/madrasah di tempat bekerja; (b)
mengkomunikasikan dasar, tujuan, dan kegiatan pelayanan bimbingan dan
konseling kepada pihak-pihak lain di tempat bekerja; dan (c) bekerja sama
dengan
12) pihak-pihak terkait di dalam tempat bekerja seperti guru, orang tua, tenaga
administrasi).
13) Berperan dalam organisasi dan kegiatan profesi bimbingan dan konseling: (a)
Memahami dasar, tujuan, dan AD/ART organisasi profesi bimbingan dan
konseling untuk pengembangan diri.dan profesi; (b) menaati Kode Etik profesi
bimbingan dan konseling; dan (c) aktif dalam organisasi profesi bimbingan
dan konseling untuk pengembangan diri.dan profesi.
14) Mengimplementasikan kolaborasi antar profesi: (a) mengkomunikasikan aspek
aspek profesional bimbingan dan konseling kepada organisasi profesi lain; (b)
memahami peran organisasi profesi lain dan memanfaatkannya untuk
suksesnya pelayanan bimbingan dan konseling; (c) bekerja dalam tim bersama
tenaga paraprofesional dan profesional profesi lain; dan (d) melaksanakan
referal kepada ahli profesi lain sesuai keperluan
15)
13
D. Ringkasan Materi
14
BAB II
SIKAP DAN ETIKA PROFESIONAL, PROFESIONALISME
PROFESI BK DALAM TINJAUAN EPISTEMOLOGI DAN ETIK
15
Lipsitz,1983b:328). Beberapa bentuk tingkah laku tidak etis jelas dan
terencana, sementara lainnya lebih halus dan tidak terencana.
Berikut ini adalah beberapa tingkah laku tidak etis yang paling sering
dalam konseling (ACA,2005; Herlihy & Corey, 2006):
a. Pelanggaran kepercayaan
j. Plagiarisme.
1. Epistemologi
Bimbingan dan Konseling menyangkut proses perkembangan
manusia yang berlandaskan kepada hakikat manusia itu sendiri.
Bimbingan dan konseling banyak mengandung isu filosofis; isu itu sendiri
tak pernah berubah, melainkan mungkin titik pandang atau cara pandang
terhadap isu itu yang berubah. Proses bimbingan dan konseling adalah
16
proses yang berpijak dan bergerak ke arah yang selalu mengandung
persoalan filosofis. "'Philosophical counseling' refers to a process in which
a counselor (note: apparently not necessarily a philosopher) works with a
client to critically reflect on the ideas and world-views associated with the
specific life-problems ... preliminarily defined by the client .... These life
problems must arise from philosophical problems in the implicit world-
view of the client." (Shlomit C. Schuster, 1999) .
Seorang konselor harus berpegang pada filosofi yang jelas, namun
dia tetap harus menghindarkan diri dari faham “completism” (suatu
perasaan yang memandang diri “Saya adalah seorang konselor,
bersertifikat dan terdidik, sekali jadi, untuk segalanya”. Isu filosofis dalam
bimbingan dan konseling perlu didiskusikan sebagai sebuah kenyataan
karena pemahaman atau cara pandang terhdap isu ini akan menentukan
bagaimana sosok konselor dikembangkan dan bagaimana konselor
membantu klien. Pikiran lama namun masih tetap relevan dan menarik
untuk dikaji adalah isu- isu filosofis bimbingan dan konseling yang
menyangkut aspek: pribadi konselor, religius, hakikat manusia,
tanggungjawab konselor, dan pendidikan konselor. (Dugald S. Arbuckle,
1958).
Isu pribadi konselor menyangkut hingga mana hubungan antara
konsep diri dan tujuan konselor, dan teknik yang digunakan untuk
mencapai tujuan tersebut. Tujuan adalah sesuatu yang berorientasi
filosofis, dan metode dan teknik yang digunakan untuk mencapai tujuan
tersebut akan diwarnai oleh filosofi konselor. Metode dan teknik konseling
merupakan refleksi dari filosofi konselor. Isu religius, hingga mana
keyakinan (agama) yang dianut konselor mempengaruhi hubungan
konselor dengan klien. Apakah harus ada kesamaan agama antara konselor
dengan klien. Dapatkah konselor bertindak sama terhadap klien walaupun
berbeda keyakinan? Isu hakikat manusia, terkait dengan isu religius dan
menyangkut bagimana konselor memandang manusia. Pandangan ini akan
terefleksikan dalam bagaimana konselor memperlakukan klien dalam
proses konseling. Isu tanggung jawab, terkait dengan konsep peran
konselor di dalam masyrakat dan persoalan konfidensialitas. Haruskah
konselor berpikir sebagai menjadi klien dan oleh karena itu dia tidak akan
17
pernah membuka informasi yang konfidensial? Jika kepribadian konselor
terefleksikan di dalam metode dan teknik, jika orientasi religius dan
pandangan konselor tentang hakikat manusia mempengaruhi pendekatan
yang digunakan, bagaimana bimbingan dan konseling bisa menjadi
pekerjaan atau tugastugas profesional? Karena interaksi konselor dengan
klien merupakan wujud komitmen filosofisnya, konselor harus bergelut
dengan pertanyaan-pertanyaan epistemologis, yaitu: (1) Apakah manusia
mengetahui dunia ekstramental atau hanya mengetahui duniannya sendiri?,
(2) Apakah pengetahuan tentang manusia merepresentasikan secara valid
tentang dunia ekstramental?, (3) Dapatkah manusia mencapai kesepakatan
tentang hakikat kenyataan ekstramental?.(Daubner & Daubner, 1969).
Ada tiga posisi konselor atas pertanyaan epistemologis ini, yaitu
(Daubner & Daubner, 1969): (a) posisi realis, yang meyakini bahwa
ekstramental itu ada dan manusia dapat mencapai pengetahuan yang valid
tentang dunia ekstramental, berbagai observasi bisa mencapai kesepakatan,
(b) posisi fenomenalis, yang meyakini bahwa dunia ekstramental itu ada
tapi tak seorangpun bisa memperoleh pengetahuan valid, dan tidak bisa
juga dicapai kesepakatan, (c) posisi fenomenalis individual Dalam konteks
keilmuan saya memandang bimbingan dan konseling ada dalam wilayah
ilmu normatif, dengan fokus kajian utama bagaimana memfasilitasi dan
membawa manusia berkembang dari kondisi apa adanya (what it is)
kepada bagaimana seharusnya (what should be).
Layanan bimbingan dan konseling adalah layanan psikologis dalam
suasana pedagogis, dia adalah layanan psikopedagogis, dalam seting
pendidikan formal, nonformal, maupun informal; dalam konteks kultur,
nilai, dan religi yang diyakini klien dan konselor. Keyakinan filosofis dan
keilmuan ini menjadi dasar legal bagi bimbingan dan konseling masuk ke
dalam wilayah layanan psikologis dalam suasana pedagogis; menjadi dasar
legal bagi seorang konselor memasuki dunia layanan psikologis. Karena
sifat normatif pedagogis ini maka fokus orientasi bimbingan dan konseling
adalah pengembangan perilaku yang seharusnya dikuasai oleh individu
untuk jangka panjang; menyangkut ragam proses perilaku pendidikan,
karir, pribadi, keluarga, kemasyarakatan, dan proses pengambilan
keputusan. Seorang konselor hendaknya memiliki kemampuan untuk
18
memahami gambaran perilaku individu masa depan, dan konselor harus
datang lebih awal memasuki dunia klien.
2. Etik Profesi
20
C. Ringkasan Materi
21
BAB III
KODE ETIK GURU BIMBINGAN DAN KONSELING
A. Pengertian Kode Etik
Etika adalah suatu sistem prinsip moral, etika suatu budaya. Aturan tentang
tindakan yang dianut berkenaan dengan perilaku suatu kelas manusia, kelompok,
atau budaya tertentu.
Kode etik adalah seperangakat standar, peraturan, pedoman, dan nilai yang
mengatur mengarahkan pembuatan Atau tindakan dalam suatu peruahaan,
profesi, atau organisasi bagi para pekerja atau anggotanya, dan interaksi antara
para pekerja atau anggota dengan masyarakat.
Kode Etik Bimbingan dan Konseling Indonesia merupakan landasan moral
dan pedoman tingkah laku profesional yang dijunjung tinggi, diamalkan dan
diamankan oleh setiap profesional Bimbingan dan Konseling Indonesia.
22
bukan merupakan hal yang baru. Tiap-tiap jabatan pada umumnya mempunyai kode
etik sendiri-sendiri, sekalipun tetap ada kemungkinan bahwa kode etik itu tidak secara
formal diadakan.
Kode etik dalam bimbingan dan konseling dimaksudkan agar bimbingan dan
konseling tetap dalam keadaan baik, serta diharapkan akan menjadi semakin baik,
lebih-lebih di Indonesia dimana bimbingan dan konseling masih relatif baru. Kode
etik ini mengandung ketentuan-ketentuan yang tidak boleh dilanggar atau diabaikan
tanpa membawa kaibat yang menyenangkan.
Menurut Walgito (2010:37) ada beberapa kode etik bimbingan dan konseling
tersebut, antara lain:
1. Pembimbing atau pejabat lain yang memegang jabatan dalam bidang
bimbingan dan konseling harus memegah teguh prinsip bimbingan dan
konseling.
2. Pembimbing harus berusaha semaksimal mungkin untuk dapat mencapai
hasil yang baik-baiknya, dengan membatasi diri pada keahliannya atau
wewenangnya. Oleh karena itu, pembimbing jangan sampai mencampuri
wewenang dan tanggungjawab yang bukan wewenang atau tanggung
jawabnya.
3. Karena pekerjaan pembimbing berhubungan langsung dengan kehidupan
pribadi orang maka seorang pembimbing harus:
a) Dapat memegang atau menyimpan rahasia klien dengan sebaik-
baiknya.
b) Menunjukkan sikap hormat pada klien.
c) Menghargai bermacam-macam klien. Jadi, dalam menghadapi klien,
pembimbing harus menghadapi klien dalam derajat yang sama.
4. Pembimbing tidak diperkenankan:
a) Menggunakan tenaga pembantu yang tidak ahli atau tidak terlatih.
b) Menggunakan alat-alat yang kurang dapat dipertanggung jawabkan.
c) Mengambil tindakan-tindakan yang mungkin dapat menimbulkan hal-
hal yang tidak baik bagi klien.
d) Mengalihkan klien kepada konselor lain tanpa persetujuan klien.
5. Meminta bantuan kepada ahli dalam bidang lain diluar kemampuan dan
keahliannya atau di luar keahlian staffnya yang diperlukan dalam bimbingan
dan konseling.
23
6. Pembimbing harus selalu menyadari tanggungjawabnya yang berat, yang
memerlukan pengabdian sepenuhnya.
24
b. Kode etik profesi menyediakan kemungkinan untuk mengatur dirinya
sendiri, bagi sebuah korporasi dan bisnis-bisnis pada umumnya. Pada
aras ini, kode etik profesi dapat mendewasakan sebuah korporasi
dalam arti kode etik profesi dapat membantu semua yang terlibat
secara internal dalm korporasi itu untuk meminimalisir ketimpangan-
ketimpangan yang biasanya terjadi pada masa sebelum ada kode etik
profesi. Pada tataran kongret, hadirnya kode etik profesi dapat
meminimalisir campur tangan pemerintah khususnya dalam ikatannnya
dengan kasus-kasus ketenagakerjaan dan prosedur perdagangan.
c. Kode etik profesi dapat menjadi alat atau sarana untuk menilai dan
mengapresiasi tanggung jawab sosial perusahaan. Dari segi efisiensi,
rumusan dalam kode etik profesi mengenai tanggung jawab sosial
perusahaan hendaknya tidak terlalu umum. Sebaliknya, harus disertai
dengan keterangan yang cukup agar menghindarkan korporasi atau
perusahaan dari kecenderungan untuk melaksankan tanggung jawab
sosial hanya pada tataran minimal.
d. Kode etik profesi merupakan alat yang ampuh untuk menghilangkan
hal-hal yang belum jelas menyangkut norma-norma moral, khususnya
ketika terjadi konflik nilai
e. Kode etik profesi diperlukan agar anggota profesi atau konselor dapat
tetap menjaga standar mutu dan status profesinya dalam batas-batas
yang jelas dengan anggota profesi dan profesi-profesi lainnya,
sehingga dapat dihindarkan kemungkinan penyimpangan-
penyimpangan tugas oleh mereka yang tidak langsung terjun dalam
bidang bimbingan dan konseling. Kode etik konselor ini diperuntukkan
bagi para pembimbing atau konselor yang memberikan layanan
bimbingan dan konseling ,dengan pengertian bahwa layanan
bimbingan konseling dapat dibedakan dari bentuk-bentuk layanan
profesional lainnya, karena sifat-sifat khas dari layanan profesional
bimbingan dan konseling. Profesional lain, yang bukan konselor,
mungkin dapat mengambil ilham dari keyakinan-keyakinan yang
menjiwai kode etik ini.
25
F. Hubunga Kelembagaan
1. Prinsip Umum
a) Prinsip-prinsip yang berlaku dalam layanan individual, khususnya
tentang penyimpanan serta penyebaran informasi tentang klien dan
hubungan konfidensial antara konselor dengan klien, berlaku juga bila
konselor bekerja dalam hubungan kelembagaan.
b) Apabila konselor bertindak sebagai konsultan pada suatu lembaga, maka
harus ada pengertian dan kesepakatan yang jelas antara konselor dan
pihak lembaga dan dengan klien yang menghubungi konselor di tempat
lembaga itu. Sebagai seorang konsultan, konselor harus tetap mengikuti
dasar-dasar pokok profesi dan tidak bekerja atas dasar komersial.
2. Keterkaitan Kelembagaan
a. Setiap konselor yang bekerja dalam hubungan kelembagaan turut
bertanggung jawab terhadap pelaksanaan peraturan kerjasama dengan
pihak atasan atau bawahannya, terutama dalam rangka layanan konseling
dengan menjaga rahasia pribadi yang dipercayakan kepadanya.
b. Peraturan-peraturan kelembagaan yang diikuti oleh semua petugas dalam
lembaga haru dianggap mencerminkan kebijaksanaan lembaga itu dan
bukan pertimbangan pribadi. Konselor haru mempertanggungjawabkan
pekerjaannya kepada atasannya. Sebaliknya ia berhak pula mendapat
perlindungan dari lembga itu dalam menjalankan profesinya.
c. Setiap konselor yang menjadi anggota staf suatu lembaga berorientasi
kepada kegiatan-kegiatan dari lembaga itu dari pihak lain, pekerjaan
konselor harus dianggap sebagai sumbangan khas dalam mencapai
tujuan lembaga itu
26
d. jika dalam rangka pekerjaan dalam suatu lembaga, konselor tidak cocok
dengan ketentuan-ketentuan atau kebijaksanaan-kebijaksanaan yang
berlaku di lembaga tersebut, maka ia wajib mengundurkan diri dari
lembaga tersebut.
H. Ketaatan Profesi
27
a. Konselor harus selalu mengkaji tingkah laku dan perbuatannya tidak
melanggar kode etik ini.
b. Konselor harus senantiasa mengingat bahwa pelanggaran terhadap kode
etik ini akan merugikan mutu proses dan hasil layanan yang diberikan,
merugikan klien, lembaga dan pihak-pihak lain yang terkait, serta
merugikan diri konselor sendiri dan profesinya.
3. Pelanggaran terhadap kode etik ini akan mendapatkan sanksi berdasarkan
ketentuan yang ditetapkan oleh ABKIN
.
Kode etik konselor Indonesia merupakan landasan moral dan pedoman tingkah
laku profesional yang dijunjung tinggi, diamalkan dan diamankan oleh setiap anggota
profesi bimbingan dan konseling Indonesia. Kode etik konselor diperlukan untuk
melindungi anggota profesi sendiri dan kepentingan publik.Sebagai penjamin mutu
layanan yang diberikan oleh konselor, kode etik berperan sebagai pedoman tingkah
laku konselor dalam menjalankan aktifitas profesionalnya dan setiap konselor harus
melaksanakan kode etik profesi dengan sebaik-baiknya. Beberapa fenomena di
lapangan yang diberitakan dalam media cetak dan fenomena selama mengikuti
kegiatan PPL II ketika menempuh S1 Bimbingan Konseling, di salah satu sekolah di
kota Malang mengindikasikan masih adanya penyimpangan kode etik yang dilakukan
konselor.
Secara umum tujuan diadakannya bimbingan dan konseling yaitu untuk
membantu peserta didik atau siswa dalam memahami diri dan lingkungan,
mengarahkan diri, menyesuaikan diri dengan lingkungan dan mengembangkan
potensi dan kemandirian diri secara optimal pada setiap tahap perkembangannya.
Artinya dalam malaksanakannya guru pembimbing dituntut untuk dekat, akrab dan
bersahabat dengan segala pola tingkah laku dan kepribadian siswa dalam batasan
tertentu sehingga diharapkan dapat mengatasi masalah yang dihadapi siswa.
Namun kenyataannya yang terjadi di lapangan cenderung berbeda dengan tujuan
umum diatas. Yang terjadi adalah jarak pemisah yang cukup jauh antara guru BK dan
siswa. Siswa merasa enggan untuk secara suka rela mendatangi konselor dalam
mengatasi masalahnya. Berikut ini adalah beberapa fenomena yang terjadi dalam
pelaksanaan BK di sekolah :
28
a. Guru BK sebagai polisi sekolah Pada beberapa sekolah, guru BK adalah
sosok yang “ditakuti”. Hal ini wajar karena dalam “mendisiplinkan” siswa.
terkadang dilakukan dengan interogasi, razia, dan punishment (hukuman).
Sehingga jika ditanyakan kepada siswa mengenai guru BK, banyak siswa
yang merasa benci, tidak bersahabat dan cenderung memilih lebih baik
menghindar saat bertemu guru BK, terutama saat mereka sedang dalam
posisi melakukan kesalahan.
b. Pelaksanaannya masih menggunakan pola tidak jelas. Yang dimaksud
dengan pola tidak jelas disini adalah tidak adanya aturan baku atau pola-
pola tertentu yang ditetapkan sebagai acuan dalam menyelesaikan masalah.
Dalam penerapannya guru cenderung melakukan cara-cara yang “kasar”
dan justru tidak mendidik. Misalnya ketika seorang siswa ketahuan
merokok, siswa tersebut malah disuruh menghisap sepuluh batang rokok
sekaligus. Hal ini tidaklah tepat. Memang tindakan ini akan dapat
memberikan efek jera, namun disisi lain menghisap rokok dalam jumlah
banyak dan dalam waktu yang bersaan, justru akan membahayakan
kesehatan siswa.
c. Pendekatan yang dilakukan pada siswa bermasalah / klien masih
menggunakan pendekatan klinik – klasik. Dalam hal ini fokus penanganan
BK dilakukan hanya kepada siswa yang berkeadaan dan mengalami hal-hal
negatif, seperti nakal, membolos, malas membuat PR, dan lain sebagainya.
Hubungan antara siswa dan guru pembimbing pun adalah sebagai atasan
dan bawahan. Sehingga terdapat jarak yang sangat jauh antara keduanya.
Fenomena diatas jauh sekali dengan harapan bimbingan konseling sebagai profesi
yang professional. Masih adanya praktek bimbingan konseling yang tidak sesuai
dengan tujuan dan kode etik bimibingan konseling yang sudah di rumuskan oleh
ABKIN. Namun hal ini tidak bisa kita generalisasi atau berfikir secara umum jika
kode etik bimbingan konseling tidak berjalan dengan sebagaimana mestinya, karena
Puspitasari(2010) dalam penelitiannya tentang pelaksanaan kode etik konselor
SMA/SMK se kota Malang menunjukkan bahwa 1) 55% konselor berada pada taraf
tinggi, 45% konselor berada pada taraf cukup, 0% konselor berada pada taraf rendah
dalam pelaksanaan kode etik, 2) Pada aspek kualifikasi dan kegiatan profesional
konselor 42,5% konselor berada pada taraf tinggi, 57,5% cukup, dan 0% rendah, 3)
pada aspek hubungan kelembagaan dan laporan kepada pihak lain 20% konselor
29
berada pada taraf tinggi, 80% cukup, dan 0% rendah, 4) pada aspek ketaatan kepada
profesi 95% konselor berada pada taraf tinggi, 5% cukup, dan 0% rendah.
Jika kita menelaah hasil penelitian diatas, maka bisa kita simpulkan bahwa
pelaksanaan kode etik konselor di SMA/SMK se kota malang sebenarnya cukup
tinggi. Untuk praktek professional konselor yang masing kurang dri harapan kita ada
beberapa saran yang bisa dipertimbangkan yaitu:
Ada dua prinsip yang harus dijalankan dalam pelaksanaan konseling. Yaitu KTPS
(Klien Tidak Pernah Salah) dan KTPM (Konselor Tidak Pernah Memihak).
1. KTPS (Klien Tidak Pernah Salah) Posisi klien dalam konseling
di sekolah seringkali dikonotasikan negatif. Artinya setiap siswa
yang masuk ke ruang BK (siswa yang diberikan bimbingan dan
konseling), maka akan diartikan sebagai anak yang bermasalah.
Bahwa siswa yang bersangkutan adalah memiliki kesalahan, itu
memang benar, tetapi dalam hal ini konselor tidak boleh
memposisikan siswa / klien sebagai seorang sakit (bersalah).
Kesalahan tersebut mungkin saja terjadi dikarenakan ketidak
tahuan siswa bahwa pada saat ini dia dalam kondisi bersalah.
Misalnya dalam sebuah kasus, siswa membawa perhiasan
berharga di sekolah. Jika dilihat dari kepemilikan barang
tersebut, siswa tidaklah salah. Karena perhiasan tersbut adalah
miliknya, yang didapat dengan hasil uang miliknya juga, maka
siswa merasa berhak menggunakannya. Namun disisi lain ada
peraturan sekolah yang melarang. Pihak sekolah
mengkhawatirkan, jika siswa menggunakan perhiasan berharga,
maka bisa jadi keselamatannya dapat terancam, selain itu
perhiasan itu akan mengakibatkan kecemburuan sosial tehadap
siswa lainnya. Dalam hal ini posisi konselor adalah mengarahkan
siswa kepada pemahaman bahwa peraturan sekolah dilaksanakan
semata-mata untuk kepentingan siswa yang bersangkutan.
2. KTPM (Konselor Tidak Pernah Memihak) Seorang konselor
tidak boleh memihak kepada salah seorang klien atau kelompok
tertentu dalam menangani maslah. Meskipun kelompok atau
klien yang bersangkutan benar. Karena keberpihakan tersebut
30
akan menimbulkan penyalahan kepada pihak / kelompok yang
lain. Dan itu tentu saja bertentangan dengan prinsip KTPS.
Posisi konselor adalah penengah, menawarkan solusi, memberikan pemahaman,
yang keputusan akhirnya diberikan kepada keduabelah pihak. Mau tetap
mempertahankan argumennya, atau memilih solusi yang ditawarkan konselor.
Misalnya seorang siswa mempunyai masalah dengan teman sebangkunya. Dimana
temannya itu selalu menjelek-jelekkan dirinya kepada teman lainnya.
Konselor tidak dapat memihak ataupun menyalahkan satu diantara keduanya.
Yang dapat dilakukan adalah memberikan pengertian kepada keduanya bahwa
kerukunan disekolah sangat penting. Memberikan pemahaman bagaimana sebaiknya
bertingkah laku terhadap orang lain. Saling menghormati, dan menghargai.
Membimbing bagaimana memecahkan masalah tanpa harus menyakiti. Konselor
dapat juga memberikan contoh akibat yang ditimbulkan jika tidak ada toleransi dan
saling menghargai antar sesama. Dan lain sebagainya.
Secara singkat ada 3 hal yang ditanamkan kepada siswa dalam menyelesaikan
masalah :
a.Menyadari kesalahan
b. Menganalisa masalah
c.Meminta maaf
31
J. Ringkasan Materi
Kode etik dalam bimbingan dan konseling dimaksudkan agar bimbingan dan
konseling tetap dalam keadaan baik, serta diharapkan akan menjadi semakin
baik, lebih-lebih di Indonesia dimana bimbingan dan konseling masih relatif
baru. Kode etik ini mengandung ketentuan-ketentuan yang tidak boleh
dilanggar atau diabaikan tanpa membawa kaibat yang menyenangkan.
32
BAB IV
AKREDITASI, SERTIFIKASI, DAN LISENSI DALAM PROFESI
BK
B. Jenis-jenis Kredensialisasi
1. Akreditasi
Menurut Anwar Arifin akreditasi adalah suatu proses penilaian kualitas
dengan menggunakan kriteria baku mutu yang ditetapkan dan bersifat terbuka. Dalam
konteks akreditasi sekolah dapat diberikan pengertian sebagai suatu kegiatan
33
penilaian kelayakan suatu suatu sekolah berdasarkan kriteria yang telah ditetapkan
oleh Badan Akreditasi Sekolah yang hasilnya diwujudkan dalam bentuk pengakuan
peringkat kelayakan. Menurut Suharsimi Arikunto (1988) akreditasi adalah suatu
penilaian yang dilkukan oleh pemerintah terhadap sekolah swasta untuk menentukan
peringkat pengakuan pemerintah terhadap sekolah tersebut. (Akan tetapi kebijakan
tersebut sekarang ini mulai dilaksanakan terhadap sekolah-sekolah secara keseluruhan
baik negeri maupun swasta). Menurut KBBI akreditasi adalah pengakuan terhadap
lembaga pendidikan yang diberikan oleh badan yang berwenang setelah dinilai bahwa
lembaga itu memenuhi syarat kebakuan atau kriteria tertentu.
34
milik pemerintah maupun swasta. Penyelenggara akreditasi ialah pemerintah dengan
bantuan organisasi profesi bimbingan dan konseling.
Akreditasi merupakan prosedur yang secara resmi diakui bagi suatu profesi
untuk memepengaruhi jenis dan mutu anggota profesi yang dimaksud (Steinhouser &
Bradley, dalam Prayitno, 1987 ). Tujuan pokok akreditasi adalah untuk memantapkan
kreatifitas profesi. Tujuan ini lebih lanjut dirumuskan sebagai berikut :
a. Untuk menilai bahwa program yang ada memenuhi standar yang ditetapkan
oleh profesi
b. Untuk menegaskan misi dan tujuan program
c. Untuk menarik calon konselor dan tenaga pengajar yang bermutu tinggi
d. Untuk membantu para lulusan memenuhi tuntutan kredensial seperti lisensi
e. Untuk meningkatkan kemampuan program dan pengakuan terhadap program
tersebut
f. Untuk meningkatkan program dari penampilan dan penutupan
g. Untuk membantu mahasiswa yang berpotensi dalam seleksi memakai
program pendidikan konselor
h. Memungkinkan mahasiswa dan staf pengajar berperan serta dalam evaluasi
program secara intensif
i. Membantu para pemakai lulusan untuk mengetahui program mana yang telah
standar
j. Untuk mendapatkan kepercayaan dari masyarakat pendidikan, masyarakat
profesi dan masyarakat pada umumnya tentang kemantapan pelayanan
bimbingan dan konseling.
2. Sertifikasi
Sertifikasi ialah memberikan pengakuan bahwa seseorang telah memiliki
kompetensi untuk melaksanakan pelayanan konseling pada jenjang dan jenis setting
tertentu, setelah lulus uji kompetensi yang diselenggarakan oleh lembaga pendidikan
tenaga profesi konseling yang terakreditasi atau lembaga sertifikasi.
35
diharuskan menempuh program sertifikasi yang diselenggarakan oleh pemerintah.
Sedangkan mereka yang bekerja diluar lembaga atau badan pemerintah diwajibkan
memperoleh lisensi atau sertifikat kredensial dari organisasi profesi bimbingan dan
konseling. Hal ini semua dimaksudkan untuk menjaga profesionalitas para petugas
yang akan menangani pelayanan bimbingan dan konseling.
3. Lisensi
Lisensi adalah pemberian izin kewenangan kepada tenaga profesi
kependidikan untuk melakukan praktik dalam bidang profesi kependidikan setelah
mengikuti uji kompetensi. Lisensi hanya dapat diperoleh jika yang bersangkutan telah
memenuhi persyaratan yang ditentukan oleh lembaga lisensi berdasarkan uji
kompetensi untuk melakukan pekerjaan tertentu. Lisensi memberikan ijin kepada
tenaga profesi bimbingan dan konseling untuk melaksanakan praktik pelayanan
bimbingan dan konseling pada jenjang dan setting tertentu, khususnya untuk praktik
mandiri (privat). Lisensi diberikan oleh ABKIN atas dasar permohonan yang
bersangkutan, berlaku untuk masa waktu tertentu dan dilakukan evaluasi secara
periodik untuk menentukan apakah lisensi masih bisa diberikan. Pemberian lisensi
diberikan atas hasil assessment nasional yang dilakukan ABKIN melalui BAKKN
(Badan Akreditasi dan Kredensialisasi Konselor Nasional). Seorang konselor tidak
secara otomatis memperoleh kredensialisasi kecuali atas dasar permohonan dan
melakukan secara nyata layanan profesi bagi masyarakat atau sekolah.
37
terakreditasi. Jadi peran lembaga penyelenggara program pendidikan tenaga
kependidikan yang terakreditasi sudah jelas dan tegas menetapkan sertifikasi pendidik
untuk TK, SD, SMP, SMA, dan SMK.
D. Penyelenggara Sertifikasi
1. Lembaga Penyelenggara
Uraian tugas dari masing-masing lembaga yang terlibat adalah sebagai berikut :
a. LPTK
LPTK yang ditunjuk oleh Menteri Pendidikan Nasional dalam hal ini
jurusan/prodi Bimbingan dan Konseling, mempunyai peran dan tugas
sebagai berikut :
38
2) Memfasilitasi pelaksanaan kegiatan uji kompetensi
sertifikasi Profesi konselor.
3) Menyelenggarakan program peningkatan kualifikasi
guru bimbingan dan konseling/konselor.
4) Bersama ABKIN mengembangkan pedoman penilaian
portofolio dan SOP.
b. ABKIN
1) Bersama LPTK mengembangkan persyaratan administrasi uji
kompetensi untuk sertifikat profesi, pedoman penilaian portofolio
dan SOP.
2) Mendorong anggota ABKIN untuk segera mengikuti sertifikasi
konselor.
3) Memfasilitasi konselor untuk menjadi anggota ABKIN.
4) Mengawasi pelaksanaan pelaksanaan program Uji Kompetensi
sertifikasi konselor.
c. P4TK
1) Bersama LPTK menyelenggarakan pembinaan dan peningkatkan
kompetensi.
2) Bersama ABKIN menyelenggarakan pelatihan secara periodik
bagi konselor.
d. Dinas Pendidikan Nasional Propinsi dan atau Kabupaten/Kota
1) Mengusulkan calon peserta uji sertifikasi kepada LPTK setempat.
2) Memfasilitasi pelaksanaan pembinaan dan peningkatan
kompetensi bagi konselor.
3) Memfasilitasi penyelenggaraan pelatihan secara periodik bagi
konselor.
4) Memfasilitasi pelaksanaan uji kompetensi sertifikasi bagi
konselor.
5) Menyediakan anggaran pembinaan untuk pelaksanaan
peningkatan kompetensi, pelatihan dan sertifikasi bagi konselor.
39
E. Prosedur Pelaksanaan Sertifikasi
40
yang dikembangkan terpusat, (2) asesmen bukti-bukti penguasaan
Kompetensi Konselor dengan Pendekatan Penilaian Hasil Belajar Melalui
Pengalaman (HBMP, (assessment of experiential learning) dengan
menggunakan Portofolio. Portofolio berisi bukti-bukti yang relevan dengan
kompetensi.
41
pengeta-huan secara bermakna (applying knowledge meaningfully), yang
dilakukan melalui pengkaji-an dengan berbagai modus dalam berbagai
konteks, 2) Penguasaan keterampilan baik kognitif dan personal-sosial
maupun psikomotorik, yangdilakukan melalui berbagai bentuk latihan
disertaibalikan, dan 3) Penumbuhan sikap dan nilai yang bermuara pada
pembentukan karakter, dilakukan melalui penghayatan secara pasif
(vicarious learning) berbagai peristiwa sarat-nilai dan keterlibatan secara
aktif (gut learning) dalam berbagai kegiatan sarat-nilai.
c. Pengembangan materi kurikuler dari setiap pengalaman belajar mencakup
rincian kompetensi/sub-kompetensi, bentuk kegiatan belajar yang harus
diacarakan, materi pembelajaran, dan asesmen tagihan penguasaannya.
42
a. Proses pembelajaran dispesifikasikan dalam 2 dimensi yaitu penetapan
bentuk kegiatan belajar seperti mengkaji, berlatih, dan menghayati
yang relevan dan mengacu kepada pencapaian kompetensi/sub-
kompetensi yang telah ditetapkan sebagai sasaran pembentukan
kompetensi sebagaimana telah dikemukakan butir Alur Pikir
Pengembangan Kurikulum.
b. Penguasaan keterampilan seperti keterampilan dalam menerapkan
pengetahuan secara bermakna termasuk keterampilan dalam
pemecahan masalah, keterampilan bekerja sama, keterampilan
menjelaskan termasuk.memaparkan gagasan melalui media yang
tepat,keterampilan menggunakan teknologi informasi dan komunikasi
dan keterampilan menggunakan bahasa Inggris, serta pembentukan
sikap, internalisasi nilai dan penumbuhan karakter. Sebahagian besar
dari keterampilan dimaksud terbentuk bukan sebagai hasil langsung
pembelajaran (direct instruction) atau melalui penyediaan materi
pembelajaran sebagaimana yang secara de facto teramati dalam praksis
pembelajaran selama ini, melainkan sebagai dampak pengiring
(nurturant effects) dari berbagai kegiatan pembelajaran yang
mengacarakan penyampaian pesan berbagai mata pelatihan yang
diacarakan melalui kurikulum Diklat.
c. Penyemaian dampak pengiring dalam berbagai kegiatan pembelajaran
yang dirancang secara tepat dalam Program Diklat Profesi Konselor
dalam Jabatan sebagaimana dikemukakan dalam butir( b), merupakan
model bagi konselor dalam menyelenggarakan layanan bimbingan dan
konseling yang memandirikan. Pembakuan penguasaan Kompetensi
dan Verifikasi penguasaan Kompetensi Konselor diselenggarakan
dalam Program Sertifikasi Konselor Dalam Jabatan dengan beban
belajar setinggi-tingginya 36 SKS, tergantung penguasaan Kompetensi
Bawaan dari peserta program Sertifikasi Dalam Jabatan.
4. Alternatif Penyelenggaraan Program Pendidikan dan Latihan
43
Mengikuti kegiatan pembelajaran sesuai dengan menu program
yang telah ditetapkan berdasarkan hasil Asesmen Awal Kompetensi
Bawaan, sampai dinilai layak untuk mengikuti uji kompetensi.
b. Program Tatap Muka Paroh Waktu, yang diikuti oleh para peserta yang
dapat hadir di lokasi terpusat di luar waktu menjalankan tugas
pelayanan Bimbingan dan Konseling pada hari-hari tertentu setiap
minggu, misalnya sore/malam hari atau setiap Sabtu dan Minggu.
Dengan cara ini, peserta memang tidak perlu meninggalkan tugas
fungsional di sekolah/madrasahnya, meskipun masa belajar harus
ditetapkan secara proporsional lebih panjang dibandingkan masa belajar
peserta program Tatap Muka Penuh Waktu dengan memperhitungkan
sisa tenaga para peserta untuk dapat memetik kemanfaatan maksimal
dari sesi pembelajaran tatap muka serta pelaksanaan tugas-tugas
terstruktur dan tugas mandiri yang juga sangat penting sebagai wahana
pengakuan terhadap seseorang yang telah memiliki kompetensi untuk
melaksanakanpelayanan bimbingan dan konseling, setelah yang
bersangkutan dinyatakan lulus uji kompetensi yang diselenggarakan
oleh pengakuan terhadap seseorang yang telah memiliki kompetensi
untuk melaksanakanpelayanan bimbingan dan konseling, setelah yang
bersangkutan dinyatakan lulus uji kompetensi yang diselenggarakan
oleh pengakuan terhadap seseorang yang telah memiliki kompetensi
untuk melaksanakan pelayanan bimbingan dan konseling, setelah yang
bersangkutan dinyatakan lulus uji kompetensi yang diselenggarakan
oleh untuk menyemaikan kemampuan serta kebiasaan meningkatkan
kemampuan profesional secara berkelanjutan.
c. Program Belajar Jarak Jauh (Program BJJ), diperuntukkan bagi peserta
yang bertempat tinggal jauh dari Lembaga Penyelenggara serta tidak
mungkin difasilitasi untuk mengikuti Program Tatap Muka Penuh
Waktu sebagaimana digambarkan dalam butir atau Program Tatap
Muka Paroh Waktu sebagaimana digambarkan dalam butir b di atas.
Dengan mengikuti Program BJJ, peserta memang tidak perlu
meninggalkan tugas pelayanan Bimbingan dan Konseling sehari-hari,
akan tetapi selain penyediaan materi belajar berupa modul baik yang
44
disampaikan melalui jasa pos maupun yang dapat diakses melalui
internet, ke dalam program perlu dirajut secara sitemastis kegiatan-
kegiatan berupa tugas terstruktur dan tugas mandiri yang juga sangat
penting sebagai wahana untuk menyemaikan kemampuan serta
kebiasaan meningkatkan kemampuan profesional secara ber-kelanjutan.
Tutorial diadakan secara periodik misalnya satu minggu sekali, 2
minggu sekali atau sebulan sekali, yang di selenggarakan di tempat
yang mudah dijangkau oleh para peserta dengan fasilitasi LPMP.
Tutorial dilakukan oleh dosen LPTK yang bekerja sama dengan rekan
Konselor terdekat, dan berfungsi sebagai forum untuk melakukan
pemantapan konseptual bertolak dari kajian terhadap bahan belajar yang
telah dibaca oleh para peserta, berbagi masalah-masalah
penyelenggaraan bimbingan dan konseling yang direkam secara
sistematis.
45
tindakan kelas, proses serta hasil penerapannya juga direkam sebagai entri baru
dengan spesifikasi yang sama dengan yang sebelumnya,.dalam jurnal yang telah
dibuat. Jurnal yang merekamkeseluruhan episode-episode pelayanan bimbingan
dan konseling yang memandirikan yang diselenggarakan secara mandiri ini,
diajukan dalam tiap pertemuan tutorial tatap muka berikutnya untuk dikaji
bersama-sama. Rekam jejak berupa jurnal ini dikumpulkan dalam suatu portofolio
sehingga dapat dijadikan salah satu butir perolehan belajar melalui pengalaman
(experiential learning) yang dinilai dengan pendekatan Penilaian HBMP. Panduan
teknis pelaksanaan Program BJJ disiapkan oleh Lembaga Penyelenggara Program
Sertifikasi Konselor Dalam Jabatan, sedangkan Panduan Penilaian HBMP
seyogyanya disiapkan secara terpusat dengan menggunakan berbagai rujukan baku
yang ada.
46
dipaparkan sebelumnya. Demi transparansi, Unjuk Kerja
Penyelenggaraan Pelayanan Bimbingan dan Konseling dinilai oleh
Pengamat Ahli yang terdiri atas Dosen Pembimbing dan, jika perlu,
disertai Penguji Luar.
F. Lisensi Konselor
Lisensi konselor diharapkan untuk rentang waktu tertentu, baik bagi yang
tidak langsung memparktekannya di dunia profesi maupun yang langsung
berpraktek. Bagi konselor yang, tetapi tidak mempratekannya, masa berlakunya lebih
pendek dari yang berpraktek. Maksudnya, agar keterampilan dan kompetensi profesi
konseling dapat tetap terjaga dan kelayakannya dapat tetap
dipertanggungjawabkan. Bagi konselor a dan bekerja pada profesinya, yang masa
berlakunya lisensi berakhir, diwajibkan untuk memperbaharui lisensinya kembali
untuk memenuhi persyaratan perkembangan zaman sesuai dengan standar kompetensi
mutakhir kompetensi konselor.
47
dilaksanakan secara konvensional (tes kertas dan pensil) dan / atau secara audit
kompetensi ( portofolio, penilaian berbasis kinerja, atau penilaian otentik ).
Hukum lisensi bervariasi oleh negara. Dalam banyak negara, hukum lisensi
ditulis sebagai tindakan praktek, sementara beberapa yang ditulis sebagai tindakan
judul. Praktek bertindak ataupun melarang praktik konseling professional tanpa
terlebih dulu mendapatkan lisensi. Tindakan ini dirancang untuk memastikan
kesehatan masyarakat, keamanan, dan kesejahteraan. Di negara-negara di mana
tindakan praktek di tempat, individu harus berhasil menyelesaikan semua pendidikan
tertentu, pelatihan, dan persyaratan pemeriksaan sebelum menjadi berlisensi. Hampir
setiap negara telah mengadopsi beberapa bentuk tindakan praktek untuk licen ¬ yakin
konselor profesional (Asosiasi Konseling Amerika, 2006)
48
G. Ringkasan Materi
49
BAB V
KEKUATAN DAN KELEMAHAN PERSONAL DAN
PROFESIONAL GURU BIMBINGAN DAN KONSELING
Remley (1985:81) mencatat bahwa kode etik itu umum dan idealistis;
kurang menjawab pertanyaan yang spesifik. Selain itu, beliau juga
menunjukkan bahwa dokumen seperti itu tidak dibahas “dilema profesional
yang dapat diprediksi”. Alih-alih kode etik memberikan pedoman, berdasarkan
pengalaman dan nilai-nilai, tentang bagaimana seharusnya tingkah laku
konselor. Dalam banyak cara, standar etik mewakili kumpulan kebijaksanaan
dari seorang profesi dalam kurun waktu tertentu.
Ada sejumlah batasan spesifik dalam kode etik. Di bawah ini beberapa
batasan yang paling sering disebutkan (Beymer,1971; Corey, Corey, &
Callanan, 2007; Talbutt,1981), sebagai berikut:
d. Beberapa isu legal dan etis tidak tercakup dalam kode etik.
50
e. Kode etik adalah dokumen sejarah. Sehingga praktik yang
diterima pada suatu kurun waktu mungkin saja dianggap tidak
lagi etis di kemudian hari.
Jadi, kode etik sangat berguna dalam beberapa hal, tetapi juga
memiliki keterbatasan. Konselor harus berhati-hati karena tidak semua
petunjuk yang mereka butuhkan dapat selalu ditemukan dalam dokumen ini.
Meskipun begitu, kapanpun masalah etik timbul dalam konseling, yang
pertama kali harus dilakukan konselor adalah memeriksa kode etik untuk
melihat apakah ada pembahasan mengenai situasi tersebut.
51
mempunyai hak untuk memilih sendiri, memiliki kebebasan,
kemauan, dan mampu membuat keputusan sendiri.
Dengan kepribadian yang dimiliki konselor sebagai personal, maka akan ada
kelebihan dan kelemahannya diantaranya:
Kelebihan
Kelemahan
52
• Memiliki keterbatasan dalam menyelesaikan masalah
• Egoisme konselor
BAB VI
BENTUK-BENTUK KERJASAMA DENGAN REKAN SEJAWAT
DAN ANGGOTA PROFESI LAIN
Pengertian Kolaborasi
Dari berbagai definisi yang dikemukakan para ahli, dapat disimpulkan bahwa
kolaborasi adalah suatu proses interaksi yang kompleks dan beragam, yang
53
melibatkan beberapa orang untuk bekerja sama dengan menggabungkan pemikiran
secara berkesinambungan dalam menyikapi suatu hal dimana setiap pihak yang
terlibat saling ketergantungan di dalamnya. Apapun bentuk dan tempatnya, kolaborasi
meliputi suatu pertukaran pandangan atau ide yang memberikan perspektif kepada
seluruh kolaborator.
Asertivitas merupakan hal yang penting ketika konseli dalam tim mendukung
pendapat mereka dengan keyakinan. Tindakan asertif menjamin bahwa pendapatnya
benar-benar didengar dan konsensus untuk dicapai.
Tanggung jawab mendukung suatu keputusan yang diperoleh dari hasil konsensus
dan harus terlibat dalam pelaksanaannya.
54
Konsep dengan arti yang sama mutualitas dimana individu mengartikannya sebagai
suatu hubungan yang memfasilitasi proses dinamis antara orang-orang yang ditandai
oleh keinginan maju untuk mencapai tujuan dan kepuasan setiap anggota.
Kepercayaan konsep umum untuk semua elemen kolaborasi. Tanpa rasa pecaya,
kerjasama tidak akan ada, asertif menjadi ancaman, menghindar dari tanggung jawab,
terganggunya komunikasi.
Namun peranan konselor sekolah sebagai konsultan bagi pejabat structural tidak
tinggal terbatas pada menjadi narasumber saja. Dalam kasus-kasus tertentu yang
menyangkut jalannya kehidupan sekolah,seorang pejabat structural akan
menghubungi konselor sekolah untuk membicarakan permasalahn yang belum
terselesaikan secara tuntas atau membahas garis-garis kebijaksanaan yang sebaiknya
diambil. Oleh karena itu,pembicaraan antara konselor sekolah lebih berfokus pada
55
permasalahan yang dihadapi ,namun tidak berarti bahwa konsultan dapat
mengabaikan aspek komunikasi antarpribadi.
Hasil pembicaraan konsultatif antara pejabat structural dan konselor sekolah dapat
mempunyai dampak yang luas,karena setiap perubahan positif dalam lingkungan
institusi sekolah mempengaruhi populasi siswa,bahkan staf tenaga kependidkan yang
lain.
Dengan demikian konselor sekolah tidak mengambil oper tanggung jawab dari
pejabat structural dan tidak ingin menggantikan kedudukan pejabat itu,tetapi hanya
menyampaikan rasa keprihatinannya. Pembicaraan ini dapat menjadi titik awal dari
proses perubahan terhadap system social sekolah di mana konselor sekilah terlibat
sebagai konsultan
56
agar siswa dapat mengntisipasi berbagai penyakit yang kemungkinan menyerang
siswa.Selain itu bagi beberapa pihak kesehatan yang memiliki pengalaman lebih
mampu berbagi cerita sehingga siswa-siswi memiliki motivasi tersendiri untu
mencapai mimpinya.
Ketika awal masuk skolah (MOS) seorang konselor memberikan penjelasan tentang
peraturan-peraturan yang berlaku. Kemudian melakukan kerjasama atau kontak
dengan polisi untuk memberikan penjelasan bahaya yang timbul saat siswa melanggar
peraturan yang berhubungan dengan tindak criminal seperti mencuri,minum-minuman
keras,menggunakan narkoba dll. Selain itu polisi juga bisa memberikan penjelasan
kenakalan remaja yang berada diluar lingkungan yag harus diwaspadai. Saat terjadi
permasalahan di sekolah yang berkaitan dengan tindak criminal seorang konselor
dapat member tahukan pada polisi,
Dengan kolaborasi tersebut siswa memahami dan menjadi lebih waspada terhadap
berbagai pergaulan di masyarakat serta peraturan yang berlaku di sekolah. Selain itu
siswa menjadi sadar akan bahaya yang terjadi saat ia melakukan tindak criminal.
Hal demikian perlu diberikan sesegera mungkin agar siswa mampu memutuskan
pilihan karirnya dan mampu mengembangkan karir yang menjadi
pilihannya.Sehingga kedepannya siswa tidak salah dalam memilih pekerjaan.
57
1. Awal untuk mereferal (mengalihtangankan) siswa yang memerlukan layanan
bimbingan dan konseling kepada guru pembimbing
2. Memiliki kesadaran tanggung jawab social dalam bentuk; mengembangkan
pola-pola perilaku sosial berdasarkan prinsip kesamaan (equality),menghayati
nilai-nilai kesamaan (equality) sebagai dasar berinteraksi dalamkehidupan
masyarakat luas, memelihara nilai-nilai persahabatan dankeharmonisan dalam
berinteraksi dengan orang lain
3. Mencapai perkembangan diri sebagai remaja yang beriman dan bertaqwa
kepada Tuhan Yang Maha Esa.
4. Mempersiapkan diri, menerima dan bersikap positif serta dinamis terhadap
perubahan fisik dan psikis yang terjadi pada diri sendiri untuk kehidupan yang
sehat.
5. Mencapai pola hubungan yang baik dengan teman sebaya dalam peranannya
sebagai pria dan wanita.
6. Memantapkan nilai dan cara bertingkah laku yang dapat diterima dalam
kehidupan yang lebih luas.
58
1. Memahami perkembangan dunia industri atau perusahaan, sehingga dapat
memberikan informasi yang luas kepada siswa tentang dunia kerja (tuntutan
keahlian kerja, suasana kerja, persyaratan kerja, dan prospek kerja)
2. Memberikan informasi tentang harapan dan kekecewaan yang dirasakan orang
tua,sehingga akan membantu dalam proses pemilihan karir
3. Memiliki wawasan informasi yang terkait dengan perencanaan dan pilihan
karir dan kesiapan karir
4. Memelihara penguasaan perilaku, nilai dan kompetensi yang mendukung
pilihan karir
5. Mengenal kemampuan, bakat, dan minatr serta arah kecenderungan karir dan
apresiasi seni.
1. Perencanaan
2. Pelaksanaan
59
3. Evaluasi
Evaluasi adalah cara yang ditempuh oleh pembimbing untuk membandingkan hasil
yang telah dicapai dengan tujuan pelayanan Bimbingan dan Konseling. Dengan kata
lain penilaian yang dilakukan terhadap kegiatan Bimbingan dan Konseling ditujukan
untuk menilai kesesuaian program, pelaksanaan yang dilakukan oleh para petugas
Bimbingan, dan hasil yang diperoleh dari pelaksanaan program tersebut. Penilaian
tersebut berkaitan dengan 3 aspek,yaitu
Salah satu model yang dapat digunakan dalam kegiatan penilaian adalah model
penilaian Stufflebeam’s yang terdiri atas empat kategori penilaian yaitu :
Dari hal tersebut evaluasi yang dilakukan setelah melakukan layanan kolaborasi
dengan ahli lain diberikan adalah kelancaran kegiatan,kesulitan-kesulitan yang
terjadi,serta perbaikan yang dilakukan untuk menghadapi kegiatan selanjutnya.
60
H. Ringkasan Materi
BAB VII
KASUS-KASUS ETIKA PROFESI BK
Pengertian
61
Etika adalah suatu sistem prinsip moral, etika suatu budaya. Aturan tentang
tindakan yang dianut berkenaan dengan perilaku suatu kelas manusia, kelompok, atau
budaya tertentu.
Kode etik adalah seperangkat standar, peraturan, pedoman, dan nilai yang
mengatur mengarahkan perbuatan atau tindakan dalam suatu perusahaan, profesi, atau
organisasi bagi para pekerja atau anggotanya, dan interaksi antara para pekerja atau
anggota dengan masyarakat.
Kode etik Bimbingan dan Konseling Indonesia merupakan landasan moral dan
pedoman tingkah laku profesional yang dijunjung tinggi, diamalkan dan diamankan
oleh setiap anggota profesi bimbingan dan konseling Indonesia.
62
c. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 19 Tahun 2005 tentang
Standar Nasional Pendidikan (Pasal 28 ayat 1, 2, dan 3 tentang Standar
Pendidik dan Tenaga Kependidikan.
d. Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Republik Indonesia Nomor 27
tahun 2008 tentang Standar Kualifikasi Akademik dan Kompetensi
Konselor
e. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 74 Tahun 2008 tentang
Guru.
63
4. Ketika melakukan proses konseli, konselor yang mengambil keuntungan dari
masalah yang dihadapi klien.
Terhadap Konseli
a. Tidak mengikuti kebijakan dan aturan yang telah ditetapkan oleh organisasi
profesi.
b. Mencemarkan nama baik profesi (menggunakan organisasi profesi untuk
kepentingan pribadi dan atau kelompok).
Sanksi Pelanggaran
Konselor wajib mematuhi kode etik profesi Bimbingan dan Konseling. Apabila
terjadi pelanggaran terhadap kode etik Profesi Bimbingan dan Konseling maka
kepadanya diberikan sangsi sebagai berikut.
E. Mekanisme sanksi
65
F. Ringkasan Materi
66
BAB VIII
KERJA SAMA GURU BK DENGAN ORANG TUA SISWA
Hal ini semua diperlukan agar anak dapat tingal disekolah secara aman,
tenteram selama belajar. Situasi masyarakat, nilai dan norma yang di pertahankan
harus tercermin pula di sekolah. Bila hal tersebut tidak ada, anak akan mengalami
pertentangan dalam menerima nilai dan aturan norma. Oleh karenanya nilai dan
norma masyarakat harus seirama dengan nilai dan norma-norma yang dikembangkan
di sekolah.
68
Peran guru bimbingan konseling di sekolah sebagai salah satu komponen
student support service, adalah perkembangan aspek-aspek pribadi, sosial, karir, dan
akademik para remaja.16 Melalui pengembangan menu program, guru bimbingan dan
konseling merupakan setting yang paling subur bagi guru bimbingan dan konseling
dapat berperan secara maksimal dan memfasilitasi remaja mengaktualisasikan potensi
yang dimilikinya siswa secara optimal.
Jika guru bimbingan dan konseling dan orang tua dapat bekerja sama dalam
melaksanakan tugasnya dengan baik, maka siswa di sekolah yang berada dalam usia
remaja yang banyak mengalami permasalahan seperti, penyesuaian diri atau terlibat
dalam masalah yang bisa menyebabkan prilaku menyimpang akan mudah di bimbing
kejalan yang baik.
69
berakhlakul karimah dan terbebas dari pergaulan bebas atau perbuatan yang
menyimpang.
Diantara yang sangat penting adalah disatukannya posisi para guru dan para
orang tua. Posisi itu tidak boleh bertentangan seperti dalam posisi rumah dan sekolah.
Ini semua berpengaruh dalam kehidupan dan perilaku para siswa. Bagi orang tua
ketika melihat tindakan dari para guru yang tidak berkenan dihati mereka, maka itu
jangan sampai ditampakkan di depan anak-anak mereka.Mereka diminta untuk
mengkoreksi tindakan itu tampa anak-anak mereka, hinga kehormatan para guru tetap
terjaga dihadapan para muridnya.
70
C. Ringkasan Materi
Dapat kita simpulkan dari penjelasan diatas. Dengan adanya kerjasama, orang
tua akan dapat memperoleh pengetahuan dan pengalaman dari guru (bimbingan
konseling) dalam mendidik anak-anaknya. Sebaliknya, para guru dapat pula
memperoleh keterangan-keterangan darai orang tua tentang kehidupan dan sifat-sifat
anak-anak mereka. Keterangan-keterangan itu sunguh besar gunanya bagi guru dalam
mendidik terhadap murid-muridnya. Juga dari keterangan-keterangan orang tua
murid, guru dapat mengetahui keadaan alam sekitar tempat murid-muridnya
dibesarkan.
71
BAB IX
ETIKA PROFESI BK DALAM KERJASAMA GURU BK DENGAN
ORGANISASI PROFESI LAIN
A. Etika Profesi BK
72
Dapat memegang atau menyimpan rahasia klien dengan sebaik-
baiknya.
Menunjukkan sikap hormat pada klien.
Menghargai bermacam-macam klien. Jadi, dalam menghadapi
klien, pembimbing harus menghadapi klien dalam derajat yang
sama.
d. Pembimbing tidak diperkenankan:
Menggunakan tenaga pembantu yang tidak ahli atau tidak
terlatih.
Menggunakan alat-alat yang kurang dapat dipertanggung
jawabkan.
Mengambil tindakan-tindakan yang mungkin dapat
menimbulkan hal-hal yang tidak baik bagi klien.
Mengalihkan klien kepada konselor lain tanpa persetujuan
klien.
e. Meminta bantuan kepada ahli dalam bidang lain diluar
kemampuan dan keahliannya atau di luar keahlian staffnya yang
diperlukan dalam bimbingan dan konseling.
f. Pembimbing harus selalu menyadari tanggungjawabnya yang
berat, yang memerlukan pengabdian sepenuhnya.
73
yang mempunyai nilai-nilai yang menjadi landasan dalam pergaulan baik
dengan kelompok atau masyarakat umumnya maupun dengan sesama
anggotanya, yaitu masyarakat profesional. Golongan ini sering menjadi pusat
perhatian karena adanya tat nilai yang mengatur dan tertuang secara tertulis
(kode etiki profesi) dan diharapkan menjadi pegangan para anggotanya.
Sorotan masyarakat menjadi semakin tajam manakala perilaku-perilaku
sebagian para anggota profesi yang tidak didasarkan pada nilai-nilai pergaulan
yang telah disepakati bersama (tertuang dalam kode etik profesi).
74
6. Penyusunan program pelayanan bimbingan dan konseling.
7. Pengelolaan pelaksanaan program pelayanan bimbingan dan
konseling.
8. Penyusunan laporan pelayanan bimbingan dan konseling.
9. Kode etik profesional bimbingan dan konseling.
10. Peran organisasi profesi bimbingan dan konseling.
Pada saat ini sangat banyak masyarakat yang mengikat dirinya dalam
satu kelompok organisasi, baik yang bersifat organisasi sosial, organisasi
profesi, organisasi untuk community tertentu yang bersifat kedaerahan,
maupun organisasi yang mementingkan laba. Dari berbagai organisasi tersebut
di atas banyak sekali yang sangat peduli terhadap pendidikan, tetapi tidak
sedikit juga organisasi yang menjadi stressor bagi dunia pendidikan.
Di sadari bahwa peranan organisasi-organisasi tersebut sangat besar
perannya dalam membantu pendidikan apabila diberdayakan secara optimal
untuk pendidikan secara murni. Beberapa organisasi yang memfokuskan
dirinya terhadap pendidikan antara lain:
1. Ikatan Sarjana Pendidikan Indonesia (ISPI)
2. Ikatan Sarjana Manajemen Pendidikan Indonesia (ISMAPI)
3. Gerakan Nasional Orangtua Asuh (GNOTA)
4. Asosiasi Bimbingan Konseling Indonesia (ABKINS)
5. Himpunan Masyarakat Psikologi Indonesia (HIMAPSI)
6. Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI)
7. Masyarakat Peduli Pendidikan Indonesia
8. Kelompok Budayawan, Seni Tari dan Musik
9. dan lain-lain.
Dari berbagai organisasi profesi tersebut, ada beberapa organisasi
profesi yang sangat besar manfaatnya bagi sekolah apabila mampu bermitra
secara sinergis dengan organisasi profesi tersebut. Beberapa organisasi profesi
yang secara praktis dapat memberikan kontribusi bagi peningkatan mutu di
sekolah seperti Ikatan Sarjana Manajemen Pendidikan Indonesia (ISMAPI),
Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI), Asosiasi Bimbingan Konseling
Indonesia (ABKINS), Gerakan Nasional Orangtua Asuh (GNOTA),
Himpunan Masyarakat Psikologi Indonesia (HIMAPSI).
Ikatan Sarjana Pendidikan Indonesia (ISPI)
75
Ikatan Sarjana Pendidikan Indonesia bersifat profesional dan ilmiah
dalam bidang kependidikan melakukan usaha-usaha antara lain:
1. Menyelenggarakan pertemuan ilmiah dan penelitian mengenai
ilmu dan seni serta teknologi.
2. Mengadakan kerja sama yang saling menguntungkan dengan
lembaga-lembaga pemerintah dan swasta serta organisasi profesi
baik didalam maupun di luar negeri.
3. Menertibkan media komunikasi ilmu, seni dan teknologi
pendidikan.
4. Melindungi kepentingan profesional para anggota dan
mengembangkan profesi pendidikan.
5. Melindungi kepentingan masyarakat dari praktek profesional
kependidikan yang merugikan.
Dari usaha-usaha tersebut sangat jelas manfaat yang dapat diperoleh
oleh sekolah apabila sekolah mampu membina kemitraan yang harmonis
dengan organisasi profesi ini.
Ikatan Sarjana Manajemen Pendidikan Indonesia (ISMAPI)
Organisasi ISMAPI sangat besar manfaatnya apabila sekolah mampu
menjadikannya sebagai mitra bagi pengembangan dan peningkatan mutu
sekolah. Sebagai contoh: kalau sekolah ingin bagaimana implementasi
manajemen berbasis sekolah yang berkaitan, maka Ikatan Sarjana Manajemen
Pendidikan Indonesia yang ada di masing-masing daerah dapat dimanfaatkan
sebagai mitra, baik dalam pengembangan konsep, implementasi kegiatan
maupun dalam pembinaan sehari-hari.
ISMAPI sebagai organisasi profesi manajemen pendidikan terdiri dari
para ahli manajemen sekolah yang mampu dijadikan sebagai lembaga
konsultasi bagi sekolah dalam implementasi berbagai kegiatan sekolah bahkan
juga untuk membantu sekolah merancang berbagai program kerja sebagai
bentuk kemandirian sekolah dalam manajemen sekolah.
76
untuk menjaga agar anak-anak Indonesia mendapatkan pendidikan dasar
sebagai landasan meraih masa depan yang lebih baik. Sejak berdirinya,
GNOTA telah mendistribusikan 2,3 juta paket bantuan pendidikan dan donasi
uang untuk membantu anak-anak dari keluarga kurang mampu agar mereka
dapat terus bersekolah dan menuntaskan pendidikan dasarnya.
Negara bertanggungjawab untuk menyediakan kesempatan pendidikan
dasar bagi anak-anak bangsa, apapun status perekonomian keluarganya.
Program Wajib Belajar Pendidikan Dasar 9 Tahun menunjukkan komitmen
pemerintah untuk memastikan agar anak-anak wajib mendapatkan minimal
pendidikan dasar. Sayangnya, walaupun sekolah negeri telah membebaskan
biaya sekolah dan siswa tidak perlu lagi harus membeli buku-buku pelajaran,
ribuan anak-anak Indonesia berhenti bersekolah karena kondisi ekonomi
keluarganya. Ini adalah sebuah masalah kompleks yang tidak dapat
diselesaikan dalam semalam.
Melalui GNOTA, orang tua asuh dapat membantu menyediakan
seragam sekolah, sepatu, buku, pena dan pensil, tas sekolah dan berbagai
kebutuhan pribadi anak untuk bersekolah sehingga anak-anak dapat lebih
fokus belajar. Ini adalah hal sederhana yang sering terlewatkan namun
memiliki dampak yang sangat besar agar anak-anak tetap mau bersekolah.
Jadi, hubungan sekolah dengan GNOTA yaitu sekolah membebaskan biaya
sekolah selama 6 tahun agar semua anak-anak yang ingin bersekolah bisa
sekolah terutama anak yang kurang mampu, sedangkan GNOTA disini
membantu menyediakan kebutuhan pribadi anak yang kurang mampu untuk
sekolah, tujuannya agar mereka tidak putus sekolah.
77
garis kebijakan pemerintah. Mengembangkan serta memajukan bimbingan dan
konseling sebagai ilmu dan profesi yang bermartabat dalam rangka
mempersiapkan sumber daya manusia yang berkualitas tinggi. Mempertinggi
kesadaran, sikap dan kemampuan profesional konselor agar berhasil guna dan
berdayaguna dalam menjalankan tugasnya.
Sedangkan Himpunan Masyarakat Psikologi Indonesia (HIMAPSI)
merupakan organisasi profesi psikologi di Indonesia yang didirikan di Jakarta
pada 11 Juli 1959. HIMAPSI merupakan wadah berhimpunnya profesional
Psikologi (Sarjana Psikologi, Magister Psikologi, Doktor Psikologi, dan
Psikolog).
Di sekolah sering dihadapkan pada berbagai permasalahan yang
berkaitan dengan siswa, seperti siswa yang bermasalah, bimbingan cara
belajar, masalah kepribadian, masalah penyesuaian diri dan lain sebagainya.
Tetapi sangat mungkin sekolah kekurangan sumber daya yang memiliki
kemampuan untuk membantu siswa yang bermasalah tersebut, karena
diperlukan tenaga ahli tertentu. Untuk itu sangat mungkin suatu sekolah pada
masa sekarang ingin meningkatkan kemampuan sekolah tersebut sekolah
bekerja sama dengan asosiasi bimbingan (ABKINS), atau juga dengan
HIMAPSI (Himpunan Masyarakat Psikologi Indonesia).
Dalam kenyataan sehari-hari sering terjadi organisasi masyarakat
melaksanakan kegiatannya justru menggunakan sekolah sebagai sasarannya,
seperti pengabdian masyarakat mereka tentang penyuluhan NARKOBA, hal
ini harus dimanfaatkan oleh sekolah sebagai peluang dalam pembinaan siswa
di sekolahnya. Oleh sebab itu, tidak salah kalau sekolah selalu
memprogramkan berbagai kegiatan tersebut sebagai upaya meningkatkan
mutu di sekolah (pemahaman mutu disini bukan sekedar nilai UN).
78
dalam meningkatkan mutu pendidikan saat ini. Karena bagaimanapun guru
merupakan salah satu ujung tombak dari dunia pendidikan.
PGRI sebagai organisasi profesi ini dimaksudkan untuk meningkatkan
sikap profesionalisme, loyalitas, dedikasi guru sebagai anggota utama PGRI.
Dengan meningkatkan dedikasi, loyalitas dan profesionalisme guru akan
berdampak positif terhadap kinerja dan prestasi guru. Pada akhirnya juga akan
berdampak pada peningkatan kualitas lulusan peserta didiknya sebagai
kontribusinya dalam kegiatan pembangunan bangsa.
Sehingga pada akhirnya, jika terjadi hubungan kerjasama yang baik
antara organisasi PGRI dengan sekolah bisa memberi pengaruh positif
terhadap sekolah dimana dengan dukungan dari PGRI untuk meningkatkan
kualitas dan profesional guru, maka mutu/kualitas sekolah juga dapat
meningkat.
79
Dengan demikian, kehadiran suatu organisasi profesi bimbingan dan
konseling tampaknya menjadi suatu tuntutan alami untuk menjawab
kebutuhan pelaksanaan program pelayanan, khususnya kepada siswa.
Sebetulnya kebutuhan terhadap organisasi bimbingan dan konseling terlihat
dari adanya kepentingan di tingkat sekolah hingga tingkat yang lebih luas lagi.
Sekalipun di sekolah ada pimpinan seperti kepala sekolah, beberapa
tugasnya harus didelegasikan kepada bawahannya. Sebab, tanggung jawab
kepala sekolah tentu sangat besar jika sebagian kewajibannya tidak
didelegasikan kepada bawahannya yang menguasai bidang-bidang tertentu,
seperti bimbingan dan konseling.
Adapun manfaat organisasi bimbingan dan konseling, khususnya di
sekolah dapat dikemukakan, antara lain sebagai berikut :
1. Ruang lingkup pelayanan bimbingan jauh lebih luas dan semua siswa
harus mendapatkan pelayanan bimbingan, terutama melalui bimbingan
kelompok
2. Pelayanan bimbingan menjadi usaha yang dilakukan bersama oleh staf
bimbingan sebagai tim kerja
3. Sarana personal dan materiil dapat dimanfaatkan secara optimal
sehingga dari segi finansial lebih dapat dipertanggungjawabkan dan
efisien
4. Sifat bimbingan yang lebih ditonjolkan ialah sifat preventif dan
perseveratif
5. Pelayanan bimbingan dalam semua komponen program bimbingan
mendarah daging dalam kehidupan sekolah
80
Bimbingan dan Konseling dapat bekerja sama dengan tenaga profesional
bidang kedokterandan psikiatri.
81
D. Ringkasan Materi
82
BAB X
KERJASAMA GURU BK DENGAN MASYARAKAT YANG
LEBIH LUAS
1) Model CASST
83
dan teknologi untuk membantu siswa mencapai kesuksesan dan prestasi baik dalam
bidang pribadi sosial, akademik maupun dalam bidang karir.
2. Guru lain, kerjasama yang baik dengan guru lain dapat membantu penguatan
manajemen kelas, menciptakan kondisi yang nyaman bagi siswa, konsultasi, alih
tangan kasus, promosi program dan perlakuan bagi siswa yang memerlukan perhatian
khusus seperti remedial;
3. Siswa, kerjasama dengan siswa dapat dilakukan dalam bentuk layanan teman
sebaya seperti peer helper, peer facilitator, peer mediator, peer tutor dan peer
supporters.
(1) Orangtua, yang tidak hanya bisa menjadi sponsor utama berkenaan dengan
masalah keuangan pelaksanaan program sekolah akan tetapi juga berperan lebih
dalam membantu kesuksesan program bimbingan dan konseling sekolah, seperti
sebagai tutor, mentor, konsultasi, berperan dalam kelompok bimbingan, berpartisipasi
dalam kegiatan sekolah, serta dapat juga suatu ketika dijadikan objek layanan untuk
membantu ketercapaian tujuan program;
84
(2) Profesi kemanusiaan lainnya, kerja sama dapat dilakukan untuk mencapai
kesuksesan akademik siswa dan juga dapat mempengaruhi orangtua untuk bisa
membantu siswa mencapai kesuksesan akademiknya;
(3) Kelompok/rukun tetangga, kelompok ini juga bisa dimanfaatkan oleh guru
BK/konselor untuk mencapai kesuksesan pelaksanaan program yang biasanya
berminat dalam hal yang berkaitan dengan pendidikan, housing, rekreasi dan
peningkatan/kemajuan masyarakat yang lebih luas.
Hal ini juga mengisyaratkan bahwa lingkungan masyarakat disekitar yang mendukung
perkembangan anak akan menjadi modal penting dalam usaha pencapaian
perkembangan optimal anak;
(4) Perusahaan, kerjasama dapat dilakukan dalam usaha pendidikan dan latihan
berkenaan dengan karir. Selain itu perusahaan dapat diminta pertolongan untuk
mendukung secara finansial (sponsor) kegiatan sekolah;
(5) Perguruan tinggi, kerjasama dapat dilakukan dalam hal pendidikan dan latihan
baik bagi siswa maupun bagi peningkatan kompetensi guru BK/konselor dalam
bentuk magang, praktikum dan berbagi pengalaman. Kegiatan lain yang dapat
dilakukan adalah kerjasama dalam penelitian untuk mengukur pengaruh program
yang diterima siswa;
(6) Alumni, kerjasama dapat dilakukan salah satunya dengan mengundang alumni
berbagi pengalaman mereka terhadap berbagai karir dan pengalaman hidup yang
dijalaninya untuk dibagi kepada siswa sehingga mereka memiliki pemahaman baru
berkenaan dengan pekerjaan dan dapat juga memberi dampak pada motivasi belajar
siswa untuk mencapai kesuksesan akademiknya.
Clark dan Bremen menciptakan model kolaboratif untuk konselor dan guru
yang merepresentasikan berbagai praktik konsultasi. Model ini merekomendasikan
Enam langkah inklusif dalam proses intervensi dimana guru dan konselor secara
bersama merencanakan, mengimplementasikan dan mengevaluasi semua intervensi
dalam ruang kelas dimana semua siswa bisa memperoleh manfaat. Enam langkah
yang direkomendasikan itu adalah
85
(a) Klien dapat diperoleh dari alihtangan guru, administrator, orangtua atau atas inisiatif
sendiri oleh siswa yang bersangkutan untuk mendapatkan layanan oleh konselor,
(b) Indentifikasi masalah dengan memperoleh dan menggali informasi dari berbagai
catatan, berbicara dengan mitra seperti guru, orangtua dan administrator,
(c) Merencanakan intervensi dalam kelas untuk mencari jawaban atas tujuan yang akan
dicapai secara bersama,
(d) Melaksanakan intervensi dan memodifikasinya sebagai kebutuhan. Langkah ini juga
termasuk di dalamnya infusi melalui tutor/mentor sebaya untuk memberikan
dukungan kepada siswa yang berkelanjutan,
(e) Mengembangkan sebuah rencana untuk membiarkan guru dan siswa untuk
menindaklanjuti kegiatan setelah konselor menyelesaikan intervensi dalam ruang
kelas. Pada tahap ini termasuk di dalamnya adalah memberikan penguatan, sistem
umpan balik dan diikuti dengan panduan-panduan yang memungkinkan, dan
(f) Evaluasi dan monitor intervensi. Konselor dapat melakukan pengawasan kepada
guru dan siswa secara periodik atau observasi terhadap pelaksanaan intervensi dalam
ruang kelas.
Model ini dikembangkan oleh Simcox, Nuijens dan Lee dengan mengemukakan
sebuah model kolaboratif yang sensitif secara kultural dan ekologis antara konselor
sekolah dan psikolog sekolah untuk meningkatkan kompetensi budaya di sekolah.
Model ini mengedepankan hubungan kerjasama antara konselor sekolah dan psikolog
sekolah dalam mengembangkan, melaksanakan, dan mengevaluasi segala tindakan
pada empat tingkatan utama pelayanan terhadap siswa, orangtua dan keluarga,
pendidik dan masyarakat. Berikut disajikan secara ringkas ke empat tingkatan yang
dimaksud yaitu :
86
dalamnya topik yang berkenaan dengan kurikulum sekolah, asesmen dan
penempatan, hubungan antara guru dan orangtua dan pendidikan administrasi;
c. Konsultasi kolegial, tingkatan ini bertujuan untuk menciptakan kesempatan
pengembangan profesional bagi staf pendidik dan profesional dengan cara
mempromosikan sensitivitas budaya, respon dan kompetensi sekolah.
Workshop dan seminar dapat dilakukan untuk menciptakan kompetesi dalam
praktik dan strategi pendidikan;
d. Pemanfaatan sumber komunitas, sekolah dan masyarakat dapat bekerjasama
untuk mencapai kesuksesan sekolah pada khususnya dan pendidikan pada
umumnya. Kolaborasi pada tingkatan ini dapat berupa peningkatan kesadaran
masyarakat terhadap program sekolah dan pendidikan serta dapat juga secara
bersama mengembangkan program pendidikan berbasis kemasyarakatan.
Mencapai pola hubungan yang baik dengan teman sebaya dalam peranannya
sebagai pria dan wanita.
87
b. Hubungan dengan Aspek Akademik
1. Membantu siswa yang mengalami kesulitan belajar melalui program
remedial teaching;
2. Memberikan informasi tentang kaitan mata pelajaran dengan bidang kerja
yang diminati siswa;
3. Memberikan informasi tentang cara-cara mempelajari mata pelajaran yang
diberikannya secara efektif.
4. Pihak sekolah mengetahui kegiatan ekstrakurikuler yang dibina sekolah
mengandung pedagogis yang besar asal tidak berada diluar jangkauan
kemampuan ekonomis siswa dan tidak terlalu jauh berbeda dengan
kegiatan-kegiatan yang disukai anak remaja
c. Hubungan dengan Aspek Karir
Mengenal kemampuan, bakat, dan minatr serta arah kecenderungan karir dan
apresiasi seni.
2. Asertivitas merupakan hal yang penting ketika konseli dalam tim mendukung
pendapat mereka dengan keyakinan. Tindakan asertif menjamin bahwa
pendapatnya benar-benar didengar dan konsensus untuk dicapai.
88
3. Tanggung jawab mendukung suatu keputusan yang diperoleh dari hasil konsensus
dan harus terlibat dalam pelaksanaannya.
6. Kepercayaan konsep umum untuk semua elemen kolaborasi. Tanpa rasa pecaya,
kerjasama tidak akan ada, asertif menjadi ancaman, menghindar dari tanggung
jawab, terganggunya komunikasi.
89
F. Ringkasan Materi
90
BAB XI
PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN YANG BERKAITAN
DENGAN PROFESI BK
A. Undang-Undang dalam BK
91
kemungkinan tafsirannya yang bisa timbul. Lagi pula tidak mungkin ada keterlupaan
massal.
Namun ada tafsiran yang lebih optimistik yaitu bahwa tenaga bimbingan secara
implisit masuk dalam pengertian tenaga kependidikan (Pasal 27) menurut rincian
Pasal 1 ayat 8. Secara logika memang harus demikian tafsirannya sebaliknya jika
tidak, maka ada inkonsistensi antar kedua Pasal ini. Ada juga tafsiran bahwa
pengertian Pasal 1 ayat 8, kata membimbing tidak mengacu kepada tenaga
pembimbing, melainkan menunjuk pada pekerjaan bimbingan sebagai fungsi dari
tugas-tugas keguruan. Dalam hal ini disebut guru pembimbing (teacher counselor),
pembimbing guru (counselor teacher) dan pembimbing penuh (full counselor).
Guru-pembimbing (teacher counselor) adalah tenaga kependidikan yang tugas
utamanya mengajar (guru) tetapi melakukan fungsi-fungsi bimbingan. Selama
menempuh preservice training mereka disiapkan menjadi untuk guru, tetapi juga
secara minimal dibekali oleh keterampilan membimbing, Bisa juga mereka pernah
mengikuti penataran bimbingan sehingga dipercaya oleh kepala sekolah untuk
melaksanakan bimbingan. Dalam hierarki penguasaan keprofesian bimbingan dan
dilihat dari latar belakang pendidikan akademiknya, guru pembimbing termasuk
klasifikasi “unprofessional”.
Pembimbing-guru (counselor teacher) adalah pembimbing yang melaksanakan
tugas keguruan, namun secara akademik mereka disiapkan sebagai tenaga bimbingan
tapi mereka berdwifungsi dengan mengajar sebagai tugas lain dari membimbing.
Tenaga macam ini adalah lulusan PPB atau BP jenjang S1 atau D3.
Pembimbing penuh (full counselor) adalah mereka yang secara khusus disiapkan
menjadi tenaga bimbingan dan memang di sekolah bertugas secara penuh dalam
layanan bimbingan. Mereka itulah yang disiapkan oleh jurusan PPB atau BP yang
disebutkan secara eksplisit dalam UUSPN.
Apa pun yang dikatakan UUSPN, bagaimana pun tafsiran orang kepadanya
dan sebanyak apa pun kritik yang dilontarkan kepada petugas BP, namun
sesungguhnya sumbangan yang telah diberikan dalam bidang pendidikan cukup
banyak. Sumbangan itu menyangkut hal-hal yang berkaitan dengan kesulitan siswa
baik dari segi belajar, emosional, dan faktor lingkungan lainnya. Pada siswa, masalah
seperti ini perlu penanganan khusus oleh tenaga khusus (pembimbing) dan
bekerjasama dengan guru.
92
Diakui bahwa selama ini banyak petugas bimbingan yang belum mampu
menjalankan tugasnya dengan baik, namun hal ini tidak bisa digeneralisasikan sebagai
kelemahan korps pembimbing secara keseluruhan karena jika kita fair menilai
kelemahan yang ditemukan dalm bimbingan juga dihadapi oleh tenaga kependidikan
yang lain.
93
Pengakuan secara eksplisit dan kesejajaran posisi antara kualifikasi
tenaga pendidik satu denganyang lainnya itu, ternyata tidak dilanjutkan
dengan spesifikasi konteks tugas dan ekspektasi kinerja yang lebih cermat,
karena yang diatur dalam pasal-pasal berikutnya hanyalah konteks tugas dan
ekspektasi kinerja dari mayoritas pendidik yang mengunakan materi
pembelajaran sebagai kontek layanan.
- Peraturan Menteri Pendidikan Nasional No. 22/2006
“ Stándar isi juga dikaji secara khusus karena dalam Peraturan Menteri
yang mengatur isi Pendidikan itu, ditemukan komponen pengembangan Diri
yang dinyatakan berada di luar kelompok mata pelajaran dan dikaitkan dengan
” konseling”, sehingga timbal kesan bahwa konselur hádala juga Pendidik
yang diamanati menyampaikan materi kurikuler dalam hal ini materi
Pengenbangan Diri yang harus dilakukan melalui pelayanan bimbingan dan
konseling serta dipertanggungjawbkan melaui penilaian pada akhir tiap
kegiatan penyampaian, sehingga berdampak menyamakanekspektasi kinerja
konselor yang secara hakiki tidak menggunakan materipembelajaran sebagai
konteks layanan itu, dengan ekspektasi kinerja guru yang menggunakan materi
pembelajaran sebagai konteks layanan.
Tanggapan :
Jika tidak secepatnya diluruskan, maka pemahaman yang menyamakan
ekspektasi kinerja konselor dengan ekspektasi kinerja guru itu tentu dapat
menimbulkan dampak yang kurang menguntungkan bagi eksistensi dan posisi
layanan Bimbingan dan Konseling, karena mengaburkan konteks tugas dan
ekspektasi kinerja konselor.
- UU No. 14/2005
“ Guru dan Dosen, atau ketentuan perundang-undangan yang diberlakukan
lebih kemudian, tidak ditemukan pengaturan tentang konteks tugas dan
ekspektasi kinerja konselor.
Tanggapan :
Saya mendukung upaya Asosiasi Bimbingan dan Konseling Indonesia
(ABKIN) untuk mengisi kevakuman legal ini dengan melakukan Penataan
Pendidikan Profesinal Konselor dan Penataan Pedoman Penyelenggaraan
Layanan Bimbingan dan Konseling dalam Jalar Pendidikan Formal.
- Pasal 5 ayat (1) PP No. 19/2005
94
” Di samping melaksanakan tugas dalam penyelenggaraan Layanan
Bimbingan dan Konseling yang Memandirikan sebagaimana yang lazim
dipahami selama ini, secara substantif Materi Pengembangan Diri itu juga
mengamanatkn kepada konselor, penyelenggaraan layanan yang meliputi
nyaris keseluruhan misi satuan pendidikan.
Tanggapan :
Layanan Bimbingan dan Konseling ditampilkan semakin menjadi
menyerupai layanan ahli keguruan, sehingga semakin merancukan eksistensi
Bimbingan dan Konseling sebagai layanan profesional yang unik, dengan
layanan ahli keguruan yang juga bersifat unik, meskipun keduanya harus
bekerja bahu-membahu untuk saling mengisi (komplementer) dalam jalur
pendidikan formal dalam rangka mengahsilkan lulusan yang beriman dan
bertakwa kepada tuhan Yang Maha Esa, yang terwujud sebagai karakter yang
kuat, kemampuan dan kebiasaan menghormati keragaman sebagai ciri khas
jati diri individu warga masysrakat Indonesia yang memperkokoh integarsi
bangsa, serta menguasai hard skill dan soft skill sehingga umum.
- PerMendiknas No. 23/2006
” Wilayah layanan konselor sebagai pendidik yang tidak menggunakan
mata pelajaran sebagai konteks layanan, didorong kedalam wilayah layanan
guru yang juga merupakan pendidik, namun yang menggunakan mata
pelajaran sebagai konteks layanan, yaitu dengan mengamanatkan kepada
konselor, tugas untuk menyampaikan Materi Pengenbangan Diri kepada
peserta didik, melalui ”layanan bimbingan dan konseling” lengkap dengan
mekanisme tagihan pada akhir tiap tahap layanan, sehingga pelayanan
konselor dalam pelaksanaan tugasnyaitu menjadi menyerupai layanan guru
yang menggunakan materi pembelajaran sebagai konteks layanan.
95
B. Ringkasan Materi
96
BAB XII
KETERAMPILAN PERILAKU ETIS KONSELOR
Dalam buku ajar Psikologi Konseling (Sugiharto, 2007:55) disebutkan bahwa ada tiga
keterampilan dasar yang harus dimiliki oleh konselor :
1. Keterampilan Antarpribadi
97
Keterampilan ini merupakan keterampilan inti dalam konseling. Termasuk dalam
keterampilan ini ialah semua keterampilan yang dibutuhkan untuk membangun relasi dengan
klien, sehingga klien dapat terlibat dalam proses konseling. Keterampilan ini merupakan dasar
karena relasi yang penuh kepercayaan antara konselor dan klien akan membentuk
penghargaan, keterbukaan, pemahaman, dan partisipasi klien dalam konseling.
1. Keterampilan verbal
Keterampilan ini mengacu pada isi verbal dari proses konseling. Konselor menggunakan
keterampilan ini untuk memberi perhatian pada klien yang pada gilirannya akan
memperlancar jalannya percakapan. Penggunaan keterampilan ini membantu klien merasa
nyaman untuk memberikan informasi pada konselor sehingga konselor dapat menelaah pokok
permasalahan. Keterampilan verbal mencakup tanggapan-tanggapan verbal, kualitas vokal
yang memadai, dan alur verbal.
1. Paraphrase
98
Keterampilan ini menunjuk pada pengulangan kata0kata dan pemikiran kunci dari
klien.
2. Reflecting of feelings
Dalam hal ini, konselor bertugas untuk mendengar secara cermat, menafsirkan
perasaan yang tersirat dan merumuskan dlam kalimat jelas yang berisi kata perasaan
menurut konselor.
3. Interpretation
Keterampilan iini mencakup pemberian nama dan penggambaran secara positif
pemikiran, perasaan, dan perilaku klien.
4. Summatization
Peringkasan adalah suatu cara untuk meninjau ulang isi wawancara, mengumpulkan
kembali unsur-unsur umum dan rinciannya.
5. Clarification
keterampilan yang mengacu pada perumusan inti-inti kalimat dan gagasan klien
dalam bentuk lain dengan makna yang sama.
6. Open and close question
Keterampilan ini mengacu pada kemampuan konselor untuk mengajukan pertanyaan
dan memperjelas masalah klien. Pertanyaan tersebut mengarahkan konselor menuju
pemahaman yang lebih baik terhadap situasi-situasi klien dan juga mengarahkan klien
untuk menceritakan masalahnya dengan jelas.
a. Posisi Badan (termasuk gerak isyarat dan ekspresi muka), diantara posisi badan
yang baik dalam attending,mencakup:
b. Duduk dengan menghadap klien.
c. Tangan diatas pangkuan atau berpegang bebas atau kadang-kadang digunakan
untuk menunjukkan gerak isyarat yang sedang dikomunikasikan secara verbal.
d. Responsif dengan menggunakan bagian wajah, umpamanya senyum spontan
atau anggukan kepala sebagai persetujuan atau pemahaman dan kerutan dahi
tanda tidak mengerti.
99
e. Badan tegak lurus tanpa kaku dan sesekali condong kearah klien untuk
menunjukkan kebersamaan dengan klien.
b. Kontak Mata.
1. Kontak mata yang baik berlangsung dengan melihat klien pada waktu dia berbicara
kepada konselor dan sebaliknya.
2. Kontak mata yang tidak baik,mencakup:
1.Tidak pernah melihat klien.
2.Menatap klien secara tetap dan tidak memberi kesempatan klien untuk membalas
tatapan.
3.Mengalihkan pandangan dari klien segera sesudah klien melihat kepada konselor.
4.Mendengarkan.
2. Mendengar dalam ketrampilan ini adalah mendengar dengan tepat dan mengingat apa
yang klien katakana dan bagaimana mengatakannya. Dengan mendengar yang tepat
memungkinkan konselor merumuskan tanggapan yang dapat menangkap dnegan tepat
perasaan dan pikiran klien.
3. Cara mendengar yang baik mencakup:
1. Memelihara perhatian penuh dengan terpusat kepada klien.
2. Mendengarkan segala sesuatu yang dikatakan oleh klien.
3. Mendengarkan keseluruhan pribadi klien (kata-katanya,perasaan, dan perilakunya).
Memahami pesan baik verbal maupun non verbal dari diri klien.Mengarahkan apa yang
konselor katakan terhadap apa yang telah dikatakan oleh klien.
4. Ketrampilan mengamati klien.
5. Konselor dalam hal ini dituntut untuk sungguh-sungguh sadar akan apa yang sedang klien
katakana,khususnya melalui gerakan-gerakan tubuh mereka, raut wajah, kualitas vocal,
dan ketidak sesuaian antara bahasa non verbal dengan ungkapan-ungkapan verbal
100
mereka. Perilaku non verbal klien harus secara cermat diamati ketika ia sedang
menyampaikan satu informasi penting tentang dirinya dan situasinya.
6. Keterampilan Intervensi
7. Keterampilan Integrasi
Keterampilan integrasi adalah kemampuan konselor yang mengacu pada kemampuan
kemampuan konselor untuk menerapakan strategi – strategi pada situasi khusus
berdasarkan pada aspek budaya dan sosio-ekonomi konseli. Konseling tidak dapat
dipraktekan tanpa memperhatikan aspek budaya karena setiap konseli yang datang
sebagian besar dipengaruhi oleh system nilai dan system budayanya.
1. Perbedaan Peran Konselor di Sekolah dan di Rehabilitasi Sosial
Konselor dapat bekerja dalam setting yang berbeda - beda contohnya di sekolah atau di luar
sekolah (rehabilitasi sosial). Berikut ini akan dipaparkan peran/tugas konselor di sekolah dan
di rehabilitasi sosial
Konselor sekolah adalah petugas profesional yang artinya secara formal mereka telah
disiapkan oleh lembaga atau institusi pendidikan yang berwenang. Konselor sekolah memang
sengaja dibentuk menjadi tenaga-tenaga yang profesional dalam pengetahuan, pengalaman
dan kualitas pribadinya dalam bimbingan dan konseling. Oleh karena itu tugas-tugas yang
diembannya pun mempunyai kriteria khusus dan tidak semua orang atau semua profesi dapat
melakukannya. Tugas-tugas konselor sekolah tersebut antara lain :
101
c)Memilih dan mempergunakan berbagai instrument psikologis untuk memperoleh berbagai
informasi mengenai bakat khusus, minat, kepribadian, dan intelegensinya untuk masing-
masing siswa.
d) Melaksanakan bimbingan kelompok maupun bimbingan individual (wawancara
konseling).
e)Mengumpulkan, menyusun dan mempergunakan informasi tentang berbagai permasalahan
pendidikan, pekerjaan, jabatan atau karir, yang dibutuhkan oleh guru bidang studi dalam
proses belajar mengajar.
f) Melayani orang tua/wali murid yang ingin mengadakan konsultasi tentang anak-anaknya.
Hakekat dari konselor rehabilitasi profesional adalah yang memiliki rasa yang kuat terhadap
identitas keprofesionalannya, memiliki kemampuan untuk berfungsi pada keadaan yang
membingungkan, kemampuan untuk melakukan pertimbangan dan mengambil keputusan di
kondisi yang tidak selalu ideal (dimana konselor memiliki informasi yang cukup/lengkap),
kemampuan untuk berhubungan baik dengan orang-orang dengan kepedulian dan empati,
namun mampu untuk menyatakan diri mereka sendiri sebagai konselor yang efektif.
Karakteristik ini penting di berbagai konteks dimana koselor rehabilitasi bekerja. Dengan
tanpa melihat situasi lapangan kerja mereka, konselor rehabilitasi harus mampu:
Keterampilan konseling adalah suatu komponen kritis dari semua aktivitas konselor.
Secara umum, ruang lingkup praktek konselor rehabilitasi adalah membantu individu
penyandang ketunaan mencapai tujuan personal, karir dan kemandirian hidupnya dalam
setting yang seintegrasi mungkin. Untuk itu, konselor rehabilitasi menggunakan berbagai
metode dan teknik. Secara spesifik, CRCC mendaftar ruang lingkup praktek konselor
rehabilitasi itu sebagai berikut:
102
d.Intervensi treatment konseling individual dan kelompok yang berpusat pada
memfasilitasi penyesuaian diri klien pada dampak medis dan dampak psychosocial
kecacatan.
e. Manajemen kasus, rujukan, dan koordinasi pelayanan.
f. Evaluasi program dan Penelitian.
g.Intervensi untuk merubah lingkungan, ketenagakerjaan, dan penghalang sikap.
h.Jasa konsultasi antara berbagai pihak dan para pembuat kebijakan.
i. Analisis pekerjaan, pengembangan pekerjaan, dan penempatan, termasuk
mengakomodasi individu untuk memenuhi tuntutan pekerjaan.
j. Memberikan konsultasi dan mengakses teknologi rehabilitasi.
Telah kita ketahui bahwa konseling rehabilitasi dapat diartikan sebagai suatu bidang ilmu
yang mengkaji cara-cara membantu penyandang cacat mencapai tujuan personal, sosial,
psikologis dan vokasionalnya. Untuk itu, sebagai seorang konselor rehabilitasi perlu memiliki
pengetahuan dan keterampilan khusus serta sikap yang dibutuhkan untuk berkolaborasi dalam
hubungan profesional dengan penyandang cacat. Dalam proses konseling melibatkan
komunikasi, penentuan sasaran, dan pertumbuhan yang menguntungkan atau perubahan
melalui keterampilan antarpribadi, keterampilan intervensi dan keterampilan integrasi.
Hal-hal yang perlu diperhatikan oleh seorang konselor dalam konseling rehabilitasi yaitu:
103
Ringkasan Materi
pengertian konselor harus memiliki keterampilan-keterampilan yang
mencukupi. Meskipun terdapat beragam pendekatan terhadap konseling.
Dalam bab ini akan dibahas beberapa keterampilan dasar yang harus dimiliki
konselor, yaitu keterampilan antar pribadi, keterampilan intervensi dan
keterampilan integrasi.
1. Keterampilan Antarpribadi
Keterampilan ini adalah semua keterampilan yang dibutuhkan
untuk membangun realsi dengan klien, sehingga klien dapat
terlibat dalam proses konseling. Keterampilan ini merupakan
dasar karena relasi yang penuh kepercayan antara konselor dan
klien akan membentuk penghargaan, keterbukaan, pemahaman,
dan partisipasi klien dalam konseling.
2. Keterampilan Intervensi
Keterampilan intervensi adalah kemampuan konselor untuk
melibatkan klien dalam pemecahan masalah. Dalam proses
pemecahan masalah, konselor perlu memiliki pengetahuan
tentang berbagai strategi dan cara yang berbeda untuk menolong
klien menghadapi masalah.
3. Keterampilan Integrasi
Keterampilan ini mengacu pada kemampuan-kemampuan
konselor untuk menerapakan strategi-strategi pada situasi-
situasi khusus, sambil mengingat konteks budaya dan sosio-
ekonomi klien (Yeo, 2003)
104
BAB XIII
ORIENTASI ORGANISASI PROFESI BIMBINGAN DAN
KONSELING
105
dapat menghargai kebutuhan, motivasi dan potensinya itu kearah pengembangannya
yang optimal, dan pemanfaatan yang sebesar-besarnya bagi diri dan lingkungannya.
c. Setiap klien harus diterima sebagai individu dan harus ditangani secara individu.
d. Merupakan tanggung jawab konselor untuk memahami minat, kemampuan dan
perasaan klien serta untuk menyesuaikan program-program pelayanan dengan
kebutuhan klien secepat mungkin.
2. Orientasi perkembangan
Orientasi perkembangan dalam bidang bimbingan dan konseling menekankan
peran perkembangan yang terjadi pada saat ini dan yang akan terjadi pada diri
individu di masa yang akan datang. Menurut Myrick (dalam mayers, 1992)
perkembangaan individu secara tradisional dari dulu sampai sekarang menjadi inti
pelayanan bimbingan. Tahun 1950-an perkembangan bimbingan dan konseling
sejalan dengan konsepsi tugas-tugas perkembangan yang dicetuskan oleh Havighurst
(Hansen, dkk., 1976
Ivey dan Rigazio-digilio (dalam prayitno 1994 : 240)menekankan bahwa
orientasi perkembangan merupakan ciri khas yang menjadi inti gerakan bimbingan.
Perkembangan merupakan konsep inti dan terpadukan, serta menjadi tujuan dari
segenap layanan bimbingan dan konseling.
3. Orientasi permasalahan
Diketahui dan diyakini bahwa perjalanan hidup manusia dan proses
perkembangannya ternyata tidak mulus, banyak mengalami hambatan dan rintangan.
Padahal tujuan umum bimbingan dan konseling sejalan dengan tujuan hidup dan
perkembangan itu sendiri yaitu kebahagian. Hambatan dan rintangan dalam
perjalanan hidup pastilah akan menganggu tercapainya kebahagian itu. Oleh sebab itu
kemungkinan timbulnya hambatan dan rintangan perlu diwaspadai.
Sehubungan dengan kegiatan bimbingan dan konseling di sekolah maka guru
pembimbing sebagai orang yang bertanggung jawab dalam perkembangan siswa
memperhatikan permasalahan siswa asuhnya secara perorangan terutama yang sedang
dialami siswa. Jika siswa bermasalah, guru pembimbing bertanggung jawab
membantu pengentasannya. Jika ia tidak bermasalah, guru pembimbing tetap waspada
melakukan berbagai upaya pencegahan agar siswa tersebut tidak mengalami masalah.
Guru pembimbing teramat peduli terhadap permasahan seluruh siswa asuhnya secara
perorangan. Semua masalah yang di alami oleh siswa secara peroramgan tertangani
secara baik oleh guru pembimbing. Guru pembimbing adalah “sang pembebas” bagi
106
setiap siswa asuhnya : orang yang paling terpercaya dan yang paling diharapkan untuk
memberikan “pencerahan” manakala siswa mengalami keadaan suram.
Gurupembimbing adalah tumpuan harapan, mana kala siswa mengalami kebuntuan,
kegoncangan ataupun keputusasaan.
Jenis masalah yang mungkin diderita oleh individu amat bervariasi. Roos L.
Mooney (dalam Prayitno, 1987) mengidentifikasi 330 masalah yang digolongkan ke
dalam 11 kelompok masalah, yaitu kelompok masalah yang berkenaan dengan:
a. Perkembangan jasmani dan kesehatan
b. Keuangan, keadaan lingkungan dan pekerjaan
c. Kegiatan sosial dan reaksi
d. Hubungan muda-mudi, pacaran dan perkawinan
e. Hubungan sosial kejiwaan
f. Keadaan pribadi kejiwaan
g. Moral dan agama
h. Keadaan rumah dan keluarga
i. Masa depan pendidikan dan pekerjaan
j. Penyesuaian terhadap tugas-tugas sekolah
k. Kurikulum sekolah dan prosedur pengajaran
Orientasi masalah bimbingan dan konseling mewaspadai kemungkinan
timblnya masalah-masalah itu, dan jika individu sudah terlanjur mengalaminya, tugas
bimbingan dan konseling adalah membantu individu tersebut mengatasi masalah-
masalahnya itu.
107
Guru pembimbing di sekolah berkewajiban untuk mendorong, meransang dan
meningkatkan perkembangan siswa, meransang dan hendaknya peduli terhadap
perkembangan siswa yang optimal secara peroranganlah yang menjadi tujuan upaya
guru pembimbing untuk semua siswa asuhnya.
108
beroperasinya fungsi-fungsi bimbingan, dan dengan demikian pula menyusupi
segenap jenis layanan dan kegiatan bimbingan dan konseling.
Organisasi dibentuk atas dasar adanya tujuan yang ingin dicapai, sehingga
tidak mungkin suatu organisasi tanpa adanya tujuan.
109
2. Prinsip skala hierarki
Dalam suataun organisasi, harus ada garis kewenangan yang jelas dari
pimpinan, pembantu pimpinan sampai pelaksana, sehingga dapat mempertegas dalam
pendelegasian wewenang dan pertanggung jawaban, dan akan menunjang efektivitas
jalannya organisasi secara keseluruhan.
Dalam hal ini, seseorang hanya menerima perintah atau bertanggung jawab
kepada seorang atasan.
Artinya bahwa jumlah bawahan atau staf yang harus dikendalikan oleh seoran
atasan perlu dibatasi secara rasional. Rentang kendali ini sesuai dengan bentuk dan
tipe organisasi. Semakin besar suatu organisasi dengan jumlah pegawai yang cukup
banyak, semakin komplek rentang pengendaliannya.
110
8. Prinsip fungsional
9. Prinsip pemisahan
Dalam organisasi, apa pun bentuknya diperlukan pemimpin atau dengan kata
lain, organisasi mampu menjalankan aktivitasnya karena adanya proses
kepemimpinan yang digerakkan oleh pemimpin organisasi tersebut.
` Delapa sifat pemimpin yang menjadi pertimbangan dalam sebuah organisasi
yang akan mempengaruhi lahirnya sebuah kebijakan, yaitu sebagai berikut :
111
8. Meghadapi kegagalan
1. Struktur
a. Menyeluruh
b. Sederhana
c. Luwe dan terbuka
d. Menjamin berlangsungnya kerja sama
e. Menjamin terlaksananya pengawasan, penilaian dan upaya tindak lanjut
2. Personal
112
d. Guru-guru lain, (guru mata pelajaran Guru Praktik) serta wali kelas, sebagai
penanggung jawab dan tenaga ahli dalam mata pelajaran, program latihan atau kelas
masing-masing.
e. Orang tua, sebagai penanggung jawab utama peserta didik dalam arti yang seluas-
luasnya.
f. Ahli-ahli lain, dalam bidang non bimbingan dan nonpelajaran/ latihan (seperti dokter,
psikolog, psikiater) sebagai subjek alih tangan kasus.
g. Sesama peserta didik, sebagai kelompok subyek yang potensial untuk
diselenggarakannya “bimbingan sebaya”
Untuk setiap personal yang diidentifikasikan itu ditetapkan, tugas, wewenang,
dan tanggung jawab masing-masing yang terkait langsung secara keseluruhan
organisasi pelayanan bimbingan dan konseling. Tugas, wewenang dan tanggung
jawab Guru Pembimbing sebagai tenaga inti pelayanan bimbingan dan konseling
dikaitkan antara seorang Guru Pembimbing dan jumlah peserta didik yang menjadi
tanggung jawab langsungnya. Guru Kelas sebagai tenaga pembimbing
bertanggungjawab atas pelaksanaan bimbingan dan konseling terhadap seluruh
peserta didik di kelasnya.
Berhubungan dengan jenjang dan jenis pendidikan serta besar kecilnya satuan
pendidikan, jumlah dan kualifikasi personil (khusus personil sekolah) yang dapat
dilibatkan dalam pelayanan bimbingan dan konseling pada setiap satuan pendidikan
dapat tidak sama. Dalam kaitan itu, tugas, wewenang dan tanggung jawab masing-
masing personil di setiap satuan pendidikan disesuaikan dengan kondisi satuan
pendidikan yang bersngkutan tanpa mengurangi tuntutan akan efektifitas dan efisiensi
pelayanan bimbingan dan konseling secara menyeluruh demi kepentingan peserta
didik.
113
yang dijalankan disekolah tersebut, sehingga tidak ada tolok ukur bagaimana
organisasi bimbingan dan konseling disekolah yang terbaik.
Organisasi bimbingan konseling di sekolah dalam pengertian umum adalah suatu
wadah atau badan yang mengatur segala kegiatan untuk mencapai tujuan bimbingan
secara bersama-sama. Sebagai suatu badan, banyak ahli menawarkan model atau pola
organisasi mana yang cocok diterapkan disekolah. Akan tetapi pola organisasi yang
dipilih harus berdasarkan atas kesepakatan bersama diantara pihak-pihak yang terkait
di sekolah yang dilanjutkan dengan usaha-usaha perencanaan untuk mencapai tujuan,
pembagian tugas, pengendalian proses dan penggunaan sumber-sumber bimbingan.
Organisasi bimbingan dan konseling disekolah mutlak diperlukan, karena:
1. Pelayanan bimbingan adalah merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari
keseluruhan program pendidikan. Ini berarti bahwa seluruh staf sekolah baik kepala
sekolah, guru, Sali kelas, maupun staf admnistrasi sekolah perlu melibatkan diri
dalam usaha layanan bimbingan.
2. Pembinaan bimbingan dan konseling di sekolah ada pada kepala sekolah sebagai
administrator sekolah yang memegang peranan kunci.
3. Tanggung jawab langsung dalam melaksanakan layanan bimbingan konseling di
sekolah hendaknya dilimpahkan kepada staf yang berwenang yang memilikii
persyaratan tertentu baik dalam segi pendidikan formal, sifat, sikap dan kepribadian,
ketrampilan dan pengalaman serta waktu yang cukup untuk melaksanakan tugas.
4. Program bimbingan merupakan suatu bentuk kegiattan yang cukup luas bidang
geraknya.
5. Program layanan bimbingan di seklah hendaknya perlu di evaluasi untuk mengertahui
efektivitas dan efisiensi program.
6. Petugas-petugas yang diserah tanggung jawab bimbingan yang bersifat khusus, seperti
kegiatan konseling hendaknya ditangani oleh petugas yang professional da
berkompeten mengerjakan tugas tersebut.
7. Petugas-petugas bimbingan dan seluruh staf pelaksanan bimbingan mutlak perlu
diberikan latihan dalam jabatan. Sebagai suatu alat untuk memperbaiki pelayanan
bimbingan di sekolah.[9]
Prinsip-Prinsip Organisasi Bimbingan dan Konseling di Sekolah
Dalam organisasi bimbingan dan konseling di sekolah perlu diperhatikan beberapa
prinsip operasional, karena pelaksanan dari prinsip-prinsip tersebut digunakan untuk
114
menjamin kelancaran pelaksanaan program bimbingan di sekolah. Prinsip tersebut
antara lain:
1. Program layanan bimbingan di sekolah harus dirumuskan dengan jelas
2. Program bimbingan harus disusun sesuai dengan kebutuhan sekolah masing-masing
3. Penempatan petugas-petugas bimbingan harus disesuaikan dengan kemampuan,
potensi-potensi (bakat, minat dan keahliannya masing-masing)
4. Program bimbingan hendaknya diorganisasikan secara sederhana
5. Menciptakan jalinan kerjasama yang erat diantara petugas bimbingan di sekolah,
dan di luar sekolah yang berkaitan dengan program bimbingan di sekolah.
6. Organisasi harus dapat memberikan berbagai informasi yang penting bagi
pelaksanaan program layanan bimbingan.
7. Program layanan bimbingan harus merupakan suatu program yang integral dengan
keseluruhan program pendidikan di sekolah.[10]
a. Tujuan IPBI
1) Turut aktif dalam upaya mensukseskan pembangunan nasional khususnya di
bidang pendidikan dengan jalan memberikan sumbangan pemikiran dan menunjang
pelaksanaan program yang menjadi garis kebijaksanaan pemerintah.
2) Mengembangkan serta memajukan bimbingan dan konseling sebagai ilmu dan
profesi dalam rangka ikut mempersiapkan sumber daya manusia yang berkualitas
tinggi.
3) Mempertinggi kesadaran, sikap dan kemampuan profesional petugas bimbingan
dan konseling agar lebih terarah, berhasil guna dan berdaya guna dalam menjalankan
tugasnya.
b. Fungsi IPBI
115
1) Sebagai wadah persatuan, pembinaan dan pengembangan anggota dalam upaya
mencapai tujuan organisasi.
2) Sebagai wadah peran serta profesional bimbingan dan konseling dalam usaha
mensukseskan pembangunan nasional.
3) Sebagai sarana penyalur aspirasi anggota serta sarana komunikasi sosial antar
organisasi kemasyarakatan dan pemerintah.
2. Asosiasi Bimbingan dan Konseling Indonesia (ABKIN)
Tahun 2001 terjadi perubahan nama organisasi Ikatan Petugas Bimbingan
Indonesia (IPBI) menjadi Asosiasi Bimbingan dan Konseling Indonesia
(ABKIN). Asosiasi Bimbingan dan Konseling Indonesia (ABKIN) adalah suatu
organisasi profesi yang beranggotakan guru bimbingan dan konseling atau konselor
dengan kualifikasi pendidikan akademik strata satu (S-1) dari Program Studi
Bimbingan dan Konseling dan Program Pendidikan Konselor (PPK). Kualifikasi yang
dimiliki konselor adalah kemampuan dalam memberikan layanan bimbingan dan
konseling dalam ranah layanan pengembangan pribadi, sosial, belajar dan karir bagi
seluruh konseli.
a. Tujuan Abkin
1) Turut aktif dalam upaya menyukseskan pembangunan nasional, khususnya di
bidang pendidikan dengan jalan memberikan sumbangan pemikiran dan menunjang
pelaksanaan program yang menjadi garis kebijakan pemerintah.
2) Mengembangkan serta memajukan BK sebagai ilmu dan profesi yang dalam rangka
ikut mempersiapkan sumber daya manusia yang berkualitas tinggi.
3) Mempertinggi kesadaran, sikap dan kemampuan profesional konselor agar
berhasilguna dan berdayaguna dalam menjalankan tugasnya.
b. Fungsi ABKIN:
1) Sebagai wadah persatuan, pembinaan dan pengembangan anggota dalam upaya
mencapai tujuan organisasi.
2) Sebagai wadah peran serta profesional BK dalam usaha mensukseskan
pembangunan nasional.
3) Sebagai sarana penyalur aspirasi anggota serta sarana komunikasi sosial timbal
balik antar organisasi kemasyarakatan dan pemerintah.
3. Musyawarah Guru Bimbingan dan Konseling Nasional (MGBKN)
MGBK adalah kegiatan musyawarah yang bertujuan meningkatkan kualifikasi
guru Bimbingan Konseling. MGBK ini diikuti oleh seluruh guru BK swasta maupun
116
negeri. MGBK diadakan di tiap-tiap provinsi/kota dengan target pertemuan minimal 3
kali tiap semesternya. MGBK membahas mengenai permasalahan guru-guru BK di
tiap-tiap sekolah. Bidang IT yang meliputi pembuatan web, blog, e-mail atau sekadar
acces internet, menjadi masalah utama yang dihadapi para guru tersebut.
Program Kerja MGBK
1) Program kerja Pengurus MGBK akan menitik beratkan pada upaya di dalam
meningkatkan keterampilan proses pelaksanaan bimbingan dan konseling di sekolah
maupun di luar sekolah.
2) Salah satu contoh program yang akan dilaksanakan yaitu melakukan sharing
informasi antar guru bimbingan dan konseling / konselor sekolah tentang bagaimana
kegiatan praktek bimbingan dan konseling yang selama ini dilaksanakan apakah
sudah sesuai dengan teori-teori konseling.
3) Dengan adanya MGBK, para guru BK dapat saling berinteraksi guna meningkatkan
pelayanan terhadap siswa.
4) Dengan adanya MGBK diharapkan dapat melucurkan inovasi baru untuk untuk
diaplikasikan di sekolah masing-masing, tentunya inovasi yang berkaitan dengan
bimbingan konseling siswa.
4. IMABKIN
Ikatan Mahasiswa Bimbingan dan Konseling Indonesia (IMABKIN) adalah suatu
organisasi mahasiswa bimbingan dan konseling satu-satunya di Indonesia yang sudah
terdaftar secara resmi di DIKTI. Resmi terbentuk melalui Kongres I IMABKIN pada
bulan 9 Desember 2007 di Jakarta.
a. Fungsi
1). IMABKIN berfungsi sebagai wadah aspirasi perjuangan mahasiswa Bimbingan
dan Konseling.
2) IMABKIN berfungsi sebagai forum silaturahmi Mahasiswa BK se-Indonesia
b. Tujuan
1) Mewujudkan komunikasi dan koordinasi antar mahasiswa BK se-Indonesia.
2) Menumbuhkan eksistensi Ikatan Mahasiswa Bimbingan dan konseling Indonesia
sebagai lembaga yang aspiratif, dinamis, dan proaktif.
3) Mengambil peranan dalam upaya mensukseskan pembangunan nasional khususnya
bidang profesi BK
10. Prinsip-prinsip dan Tujuan Kode Etik Profesi Konselor Indonesia
117
Konselor profesional memberikan layanan berupa pendampingan (advokasi)
pengkoordinasian, mengkolaborasi dan memberikan layanan konsultasi yang dapat
menciptakan peluang yang setara dalam meraih kesempatan dan kesuksesan bagi
konseli berdasarkan prinsip-prinsip pokok profesionalitas:
1. Setiap individu memiliki hak untuk dihargai, diperlakukan dengan hormat dan
mendapatkan kesempatan untuk memperoleh layanan bimbingan dan konseling.
Konselor memberikan pendampingan bagi individu dari berbagai latar belakang
kehidupan yang beragam dalam budaya; etnis, agama dan keyakinan; usia; status
sosial dan ekonomi; individu dengan kebutuhan khusus; individu yang mengalami
kendala bahasa; dan identitas gender.
2. Setiap individu berhak memperoleh informasi yang mendukung kebutuhannya untuk
mengembangkan dirinya.
3. Setiap individu mempunyai hak untuk memahami arti penting dari pilihan hidup dan
bagaimana pilihan tersebut akan mempengaruhi masa depannya.
4. Setiap individu memiliki hak untuk dijaga kerahasiaan pribadinya sesuai dengan aturan
hukum, kebijakan, dan standar etika layanan.
Kode etik Profesi Konselor Indonesia memiliki lima tujuan, yaitu:
1. Melindungi konselor yang menjadi anggota asosiasi dan konseli sebagai penerima
layanan.
2. Mendukung misi Asosiasi Bimbingan dan Konseling Indonesia.
3. Kode etik merupakan prinsip-prinsip yang memberikan panduan perilaku yang etis
bagi konselor dalam memberikan layanan bimbingan dan konseling.
4. Kode etik membantu konselor dalam membangun kegiatan layanan yang profesional.
5. Kode etik menjadi landasan dalam menghadapi dan menyelesaikan keluhan serta
permasalahan yang datang dari anggota asosiasi.
118
Ringkasan Materi
119
Prinsip-prinsip organisasi bimbingan dan koseling, yaitu
120
DAFTAR PUSTAKA
ammer, L.M. 1998. The Helping Relationship: Process and Skills. New
Jersey: Prentice-Hall, Inc.
Bimo Walgito, Bimbingan dan Konseling (Studi & Karir), (Yogyakarta: CV. Andi
Offset), hlm. 36.
Carkhuff. (1985). The Art of Helping. USA: Human Resource Development Press.
Corey, G., Corey, M. & Callanan, M. (2007). Issues and Ethics in the Helping
Professions (7th ed.). Pacific Grove, California: Brooks/ Cole.
Corey, G. 2013. Theory and Practice of Counseling and Psychotherapy. Belmont,
CA: Brooks/Cole.
(Onlie)(http://lembahgurah.multiply.com/journal/item/16/PENILAIAN_BIMB
INGAN_KONSELING_DI_SEKOLAH_DAN_IMPLIKASI_PENGELOLAA
NNYA?&show_interstitial=1&u=%2Fjournal%2F ). Daiakses tanggal 18
Oktober 2020
_______.Definisi Kolaborasi.(Online).(http://ecopedia.wordpress.com/).
122
Syamsu Yusuf L.N. 2005. Program Bimbingan dan Konseling di Sekolah/Madrasah.
Bandung: CV Bani Qureys.
Wikan Galuh Widyarto. 2017. Analisis Deskriptif: Kerjasama Antara Konselor
Dengan Guru Bidang Studi.Jurnal Nusantara Of Research.Vol 4. No 2.
123