Disusun oleh :
TT – 38 – G1
BANDUNG
2018
ABSTRAK
Kata Kunci: Komunikasi Radio Terrestrial, Line of Sight, Multi Hop, Power Link
Budget.
ii
DAFTAR ISI
ABSTRAK .............................................................................................................. ii
iii
2.6.5 Received Signal Level (RSL) ........................................................ 20
LAMPIRAN .......................................................................................................... 43
iv
DAFTAR GAMBAR
v
DAFTAR TABEL
vi
BAB I
PENDAHULUAN
7
1. Apa yang dimaksud dengan sistem komunikasi terestrial ?
2. Faktor apa saja yang mempengaruhi dalam perancangan sistem
komunikasi terestrial ?
3. Bagaimana analisis dari hasil simulasi dengan menggunakan software
pathloss 5.0 ?
8
BAB II
LANDASAN TEORI
9
1. Komunikasi Teresterial : Repeater berada dipermukaan bumi
2. Komunikasi Satelit : Repeater berada diruang angkasa.
10
2.2.1 Pemodelan Kanal Propagasi
11
2.3 Fading
Fading merupakan fluktuasi daya di penerima dalam propagasi radio
bergerak. Fading terjadi akibat interferensi atau superposisi gelombang multipath
yang memiliki amplitude dan fasa yang berbeda-beda. Pada umumnya, sinyal yang
diterima pada titik penerima merupakan hasil penjumlahan dari sinyal langsung
tanpa halangan(Sinyal LOS) dan sejumlah sinyal yang terpantul dari berbagai
objek. Adapun sinyal mengalami pemantulan(refleksi) disebabkan oleh:
1. Permukaan Tanah
2. Bangunan
3. Objek bergerak berupa kendaraan
a. Refleksi
Terjadi karena sinyal mengenia objek yang memiliki
dimensi lebih besar daripada panjang gelombang sinyal. Pemantulan
disebabkan oleh benda-benda dielektrik maupun konduktor seperti
logam. Jika gelombang mengenai permukaan dielektrik, maka
sebagiannya lagi akan dipantulkan. Apabila mengenai konduktor
sempurna, seluruhnya gelombang akan dipantulkan.
b. Difraksi
Terjadi ketika sinyal mengenai objek yang memilik bentuk tajam.
c. Scattering(Hamburan)
Terjadi ketika sebuah obstacle atau partiket dengan dimensi
lebih kecil dari panjang gelombang mengubah perambatan
gelombang dengan mengirim ulang sinyal ke berbagai arah sehingga
energi tersebar ke berbagai arah. Jika jumlah partikel banyak, daya
pengirim dapat hilang dalam jumlah besar.
12
Disebabkan oleh keberadaan objek pemantul serta penghalang pada
kanal propagasi serta pengaruh kontur bumi, sehingga menghasilkan
perubahan energi, fasa, dan delay waktu pada sinyal.
2. Small Scale Fadig
Disebabkan oleh dua interferensi sinyal atau lebih yang dating ke
receiver pada waktu yang berbeda dengan beda waktu yang kecil.
2.3.1 Diversity
a. Time Diversity
b. Space Diversity
c. Frequency Diversity
13
penerima. Nilai fading margin biasanya sama dengan peluang level fading yang
terjadi, yang nilainya tergantung pada kondisi lingkungan dan sistem yang
digunakan.
Pada umumnya, dimaksud dengan sistem radio link line of sight (LOS) adalah
hubungan telekomunikasi (jarak jauh) pita-lebar (broadband ) yang menggunakan
perangkat radio pada frekuensi gelombang mikro (microwave). Aplikasi secara
umum, hubungan radio LOS ini merupakan subsistem dari jaringan telekomunikasi,
berupa jaringan terrestrial di daratan. Jaringan tersebut akan membawa salah satu
ataupun gabungan dari kanal-kanal telepon, data , telegraph/teleks , faksimil, video,
telemetri atau kanal-kanal program lainnya. Gelombang yang ditransmisikan selain
dalam bentuk gelombang analog FM, juga dalam bentuk digital.
Ada 4 langkah proses dalam merencanakan suatu radio link LOS, yaitu :
• Rencana awal dan penentuan/pemilihan lokasi.
• Menggambar profil lintasan (path profile).
• Survey lapangan.
• Analisa lintasan (path ).
Langkah yang satu, saling terkait dengan langkah-langkah yang lain. Dalam
praktek, bisa saja diadakan pergeseran/perubahan lokasi jika dipandang perlu,
karena lintasan radio link tersebut kurang layak disebabkan karena medan, faktor
kualitas, dan atau faktor ekonomis kurang menguntungkan.
Suatu rute gelombang mikro LOS terdiri dari stasiun pemancar dan stasiun
penerima dan atau beberapa/stasiun pengulang (repeater), yang bisa membawa
informasi dalam bentuk gelombang analog maupun digital. Seorang perencana pasti
14
akan mencari tahu untuk memastikan, apakah subsistem LOS ini adalah sistem
yang terisolasi, seperti misalnya : sistem gelombang mikro pribadi, jaringan dari
studio ke pemancar, atau perluasan jaringan TV-Kabel (CATV). Ataukah
merupakan bagian dari jaringan telekomunikasi yang lebih besar, dimana jaringan
LOS ini merupakan tulangpunggung dari sistem tersebut. Untuk itu harus
diperhatikan hal-hal dibawah ini.
a. Persyaratan Dasar
Kriteria perencanaan akan didasarkan pada rencana/spesifikasi arus
transmisi sesuai dengan aturan badan telekomunikasi dunia.
Suatu rencana transmisi, paling tidak akan menyatakan kualitas sinyal
sebagai berikut :
• Untuk sinyal analog : Akumulasi noise dalam kanal suara untuk FDM. S/N
untuk program video dan program lain (misalnya : recomendasi CCIR
no.567. Pada jaringan referensi hipotetis merekomendasi S/N :57 dB untuk
lebih 20 % per bulan dan 45 dB untuk lebih dari 0,1 % per bulan).
• Untuk sinyal digital: Bit error rate (BER), misalnya dalam rekomendasi
CCIR no.G.821 untuk ISDN.BER 1x10-6 harus kurang dari 10 % per
menit. BER 1 x 10-6 harus lebih dari 90 % per menit.
Umur suatu sistem transmisi biasanya sekitar 15 tahun, walaupun beberapa
sistem masih bisa bekerja di atas waktu tersebut. Perencanaan sistem harus
mempertimbangkan perkembangan 15 tahun yang akan datang, dengan
rencana 5 tahunan untuk perbaikan dan penggantian. Perencanaan yang
demikian memang akan memakan biaya awal yang relatif lebih besar, tetapi
sebenarnya secara ekonomis akan menghemat, karena umur sistem menjadi
lebih panjang. Hal yang tidak boleh dilupakan dalam perancangan yang
menyangkut perkembangan di masa yang akan datang adalah masalah
kompalibilitas (kesesuaian) dengan perangkat yang sudah ada, yang pada
akhirnya juga akan mempengaruhi sistem secara keseluruhan.
b. Tabel Perencanaan Lintasan
Untuk memudahkan perancangan link radio dan menentukan kinerja sistem,
diperlukan Tabel Perhitungan Lintasan (Path Calculation).
15
Untuk perancangan dan perencanaan jaringan, maka lokasi dari stasiun-
stasiun yang termasuk dalam jaringan (link), juga stasiun pengulang, lokasi dan
target. Dan yang harus diperhatikan adalah bagaimana mengurangi jumlah
stasiun pengulang sekecil mungkin. Karena disamping secara ekonomis
merupakan pemborosan, penambahan satu stasiun pengulang berarti
menambah noise pada sistem.
c. Survei Lapangan
Survei lapangan diperlukan untuk mengevaluasi gambar profil lintasan yang
telah dibuat untuk diuji bagaimana bila seandainya diterapkan di lapangan.
Untuk itu, beberapa hal yang diperlukan dan dipertimbangkan untuk survei
lapangan :
16
operasional dan perawatan di kemudian hari. Untuk itu diperlukan data;
apakah sudah ada jalan (beraspal, masih jalan tanah, dan sebagainya) atau
bila belum ada mungkin membangun jalan baru, dan sebagainya.
d. Analisa Lintasan
17
2.6 Parameter Link Budget
Fresnel zone adalah tempat kedudukan titik sinyal tidak langsung yang
berbentuk elips dalam lintasan propagasi gelombang radio dimana daerah tersebut
dibatasi oleh gelombang tak langsung (indirect signal) dan mempunyai beda
panjang lintasan dengan sinyal langsung sebesar kelipatan .λ atau 2 kali .λ. Dalam
perancangan link radio microwave, Fresnel Zone pertamalah yang paling
dipertimbangkan. Untuk mendapatkan lintasan radio yang bebas dari redaman
difraksi, minimal 60% dari jari-jari Fresnel Zone harus bebas dari obstruksi. Pada
kondisi atmosfer normal, clearense sebesar 60% sudah cukup untuk memenuhi
kriteria free space propagation.
𝑛 𝑑1(𝑘𝑚) 𝑑2(𝑘𝑚)
𝑅𝑛 = 17,3√𝑓(𝐺𝐻𝑧) (𝑑1(𝑘𝑚) + 𝑑2(𝑘𝑚)) (2.1)
Dimana:
F1 = jari-jari fresnel pertama (m)
Jika tinggi kedua antena dianggap sama, maka persamaannya dapat dituliskan
sebagai berikut,
dengan :
dengan :
Receive Signal Level (RSL) merupakan suatu tingkat sinyal yang diterima
di perangkat penerima dan nilainya harus lebih besar dari sensitivitas perangkat
penerima (Received Sensitivity). Persamaan RSL dapat dilihat dari persamaan
dibawah:
𝑅𝑆𝐿 = 𝐸𝐼𝑅𝑃 − 𝐹𝑆𝐿 + 𝐺𝑅𝑥 − 𝐿𝑅𝑥 (2.8)
Dimana:
RSL = Received Level Signal (dBm)
EIRP = Effective Isotropic Radiated Power (dBm)
FSL = Free Space Loss (dB)
GRx = Gain Antenna sisi penerima (dB)
LRx = Rugi-rugi saluran penerima (dB)
EIRP adalah total energi yang di keluarkan oleh sebuah access point dan
antenna. Pada saat sebuah access point mengirim energinya ke antenna untuk
dipancarkan, pengurangan besar energi akan terjadi didalam kabel.
Persamaan EIRP dapat dinyatakan sebagai berikut:
𝐸𝐼𝑅𝑃 = 𝑃𝑇𝑥 − 𝐿𝑇𝑥 + 𝐺𝑇𝑥 (2.9)
20
Dimana:
EIRP = Effective Isotropic Radiated Power (dBm)
PTx = Daya pancar antenna pemancar (dB)
LTx = Loss kabel (cable loss) di antenna pemancar (dB)
GTx = Gain antena pengirim (dB)
dengan:
P0 = probabilitas outage
K = faktor geoclimatic
d = panjang lintasan
|𝜀𝑝 | = inklinasi lintasan
f = frekuensi (GHz)
A = kedalaman fading
Dari nilai fading margin maka akan nilai availability dan outage yang dapat
dilihat pada tabel di bawah ini. Dimana nilai 𝑂𝑢𝑡𝑎𝑔𝑒 (%) = 100 − 𝐴𝑣𝑎𝑖𝑙𝑎𝑏𝑖𝑙𝑖𝑡𝑦
21
BAB III
PERANCANGAN SISTEM
22
Gambar 3.2 Peta Profile Pathloss 5.0 Jakarta – Bogor - Cianjur
23
Gambar 3.4 Daerah Refleksi pada Link Jakarta – Bogor (Sebelum Optimasi)
Dari site yang berada di Bogor menuju Cianjur berjarak 45,42 km. Ketinggian
daerah pada link Bogor-Cianjur dapat dilihat pada Gambar 3.5. Dapat dilihat link
yang menghubungkan Bogor-Cianjur memerlukan tinggi antena Tx(di Bogor)
setinggi 1141,3 meter dan antena Rx(di Cianjur) setinggi 1494 meter. Tinggi antena
tersebut masih tidak sesuai dengan spesifikasi yang diinginkan. Dan apabila dicoba
dengan ketinggian maksimum yang diijinkan(70meter) seperti pada Gambar 3.6,
masih tidak bisa dilakukan karena terhalang oleh obstacle yang cukup tinggi. Maka
diperlukan pengoptimasian dengan menambah hop baru berupa repater.
Gambar 3.6 Daerah Refleksi pada Link Bogor – Cianjur (Sebelum Optimasi)
24
3.4 Pengoptimasian Link
Pengoptimasian link dilakukan karena dua hal, yang pertama karena
ketinggian melebihi spesifikasi yang ditentukan, kedua karena struktur geografis
yang memerlukan penambahan repeater terutama di antara Bogor – Cianjur. Untuk
penambahan repeater ini harus memperhatikan site planning. Terlebih pada
pemilihan lokasi dan aksesnya. Untuk jalur Jakarta Bogor hanya diperlukan
optimasi pada ketinggian antena tanpa perlu penambahan repeater. Dua repeater
ditambahkan pada jalur Bogor – Cianjur dengan repeater aktif yang diasumsikan
sebagai repeater1 dan repeater2.
Untuk penempatan repeater1 berada di daerah Cipanas dekat daerah puncak
pada koordinat -6.702414 LS 106.998905 BT dengan ketinggian 1606 meter diatas
permukaan laut. Repeater ini diberi kode repeater1. Jarak link dari Bogor menuju
Rep 1 adalah 25,85 km dan link dari repeater1 menuju repeater2 berjarak 8.20 km.
Dan penempatan repeater2 berada di daerah kaki gunung pangrango pada
koordinat -6.774116 LS 107.017908 BT dengan ketinggian 1615 meter diatas
permukaan laut. Repeater ini diberi kode repeater2. Jarak link dari repeater1 menuju
repeater2 adalah 8,20 km dan link dari repeater2 menuju Cianjur berjarak 13,04
km.
Untuk link Jakarta – Bogor – Repeater1 – Repeater2 - Cianjur dapat dilihat
pada Gambar 3.7 berikut.
25
Gambar 3.7 Link Jakarta – Bogor – Rep1 – Rep2 - Cianjur
26
Gambar 3.8 Lokasi Repeater1 pada Google Earth
27
3.4.1 Link Jakarta-Bogor
a) Peta Profil
28
c) Daerah Refleksi
d) Perancangan Link
e) Transmission Summary
Tabel 3.4 Perhitungan Clearence dan Tinggi Antena Minimum pada Link Bogor – Rep1
Parameter Nilai Keterangan
d1 25.65 km Jarak Bogor – obstacle
d2 0.20 m Jarak obstacle – repeater1
D 25. km Jarak Bogor – Repeater1
Hobs 15.00 m Ketinggian Obstacle
(pohon/bangunan)
To 1606.0 m Tinggi Permukaan Tanah pada
Obstacle
h (tinggi 1621.0 m = 15.00 + 1606.0
obstacle+tinggi
permukaan tanah)
h1 249.20 m Ketinggian tanah di Bogor
h2 1606.0 m Ketinggian tanah di rep1
Frekuensi 7000 MHz
Fresnel Zone 0.029 m Menggunakan rumus (2.1)
Clearence 3.018 m Menggunakan rumus (2.2)
Kelengkungan bumi 0.03 m Menggunakan rumus (2.5)
ho (tinggi total 1624.048 m =h+clearence+kelengkungan bumi
obstacle)
Tinggi antenna 19.105 m Menggunakan rumus (2.4)
minimum
Tinggi antena Tx 60.00 m Stasiun Bogor
Tinggi antena Rx 60.00 m Stasiun Repeater1
c) Daerah Refleksi
31
d) Perancangan Link
e) Transmission Summary
Tabel 3.6 Perhitungan Clearence dan Tinggi Antena Minimum pada Link Rep1 – Rep2
Parameter Nilai Keterangan
d1 8.100 km Jarak repeater1 – obstacle
d2 0.103 m Jarak obstacle – repeater2
D 8.203 km m Jarak repeater1 – Repeater2
Hobs 15.00 m Ketinggian Obstacle
(pohon/bangunan)
To 1605.30 m Tinggi Permukaan Tanah pada
Obstacle
h (tinggi 1620.30 m = 15.00 + 1605.30
obstacle+tinggi
permukaan tanah)
h1 1615.90 m Ketinggian tanah di rep1
h2 469.70 m Ketinggian tanah di rep2
Frekuensi 7000 MHz
Fresnel Zone 2.088 m Menggunakan rumus (2.1)
Clearence 4.253 m Menggunakan rumus (2.2)
Kelengkungan bumi 0.049 m Menggunakan rumus (2.5)
33
ho (tinggi total 1624.602 m =h+clearence+kelengkungan bumi
obstacle)
Tinggi antenna 8.826 m Menggunakan rumus (2.4)
minimum
Tinggi antena Tx 60.00 m Stasiun Repeater1
Tinggi antena Rx 60.0 m Stasiun Repeater2
34
e). Transmission Summary
35
3.4.4 Link Repeater2 – Cianjur
a). Peta Profile
Tabel 3.8 Perhitungan Clearence dan Tinggi Antena Minimum pada Link Repeater2 –
Cianjur
Parameter Nilai Keterangan
d1 0.40 km Jarak repeater2 – obstacle
d2 13.589 m Jarak obstacle – Cianjur
D 13.989 m Jarak repeater2 – Cianjur
Hobs 15.00 m Ketinggian Obstacle
(pohon/bangunan)
To 1547.40 m Tinggi Permukaan Tanah pada
Obstacle
h (tinggi 1562.40 m = 15.00 + 1547.40
bangunan+tinggi
permukaan tanah)
h1 1615.90 m Ketinggian tanah di rep2
h2 469.70 m Ketinggian tanah di Cianjur
Frekuensi 7000 MHz
Fresnel Zone 0.129 m Menggunakan rumus (2.1)
Clearence 3.077 m Menggunakan rumus (2.2)
Kelengkungan bumi 0.32 m Menggunakan rumus (2.5)
ho (tinggi total 1565.797 m =h+clearence+kelengkungan bumi
obstacle)
Tinggi antenna 17.329 m Menggunakan rumus (2.4)
minimum
Tinggi antena Tx 60.00 m Stasiun Repeater2
Tinggi antena Rx 60.0 m Stasiun Cianjur
36
c). Daerah Refleksi
e).Transmission Summary
38
Nilai fading margin dibawah didapatkan dari data Pathloss 5 hasil simulasi.
Kemudian dari nilai fading margin maka didapatkan nilai availability sesuai dengan
Tabel XX . Hasil ini didapatkan dari beberapkali perobaan simulasi.
Fading Outage
Link Availability
Margin (dB)
RF BW RF Freq BER
Link Modulasi
(MHz) (MHz)
STM1 – 64 10-6
Jakarta – Bogor 680 6430-7110
QAM
STM1 – 64 10-6
Bogor – Rep1 680 6430-7110
QAM
STM1 – 64 10-6
Rep1 – Rep2 680 6430-7110
QAM
STM1 – 64 10-6
Rep1 – Cianjur 680 6430-7110
QAM
39
Pada tabel di bawah dituliskan rangkuman dari nilai FSL, EIRP, dan RSL
yang didapat dari Pathloss5.
40
BAB IV
ANALISIS DAN KESIMPULAN
4.1 Analisis
Adapun hasil analisis dari pelaksanaan Tugas Besar perancangan sistem
komunikasi radio terrestrial dari Jakarta menuju Cianjur melalui Bogor adalah
sebagai berikut.
4.2 Kesimpulan
Adapun kesimpulan yang dapat diambil dalam penulisan Laporan Tugas Besar
ini adalah sebagai berikut.
[1] Cahaya Ramadhan, Lucia Jambola dan Rizki Hardiansyah. Analisis Kinerja
Sistem Transport Pada Radio Microwave Digital. Jurnal Reka Elkomika,
Jurusan Teknik Elektro, Institut Teknologi Nasional Bandung, Bandung,
2016.
[6] Subuh Pramono. Analisa Perencanaan Power Link Budget untuk Radio
Microwave Point to Point Frekuensi 7 GHz. Tugas akhir, Jurusan Teknik
Elektro, Politeknik Negeri Semarang, Semarang, 2014.
42
LAMPIRAN
Lampiran dapat berisi kode sumber, tabel-tabel yang diperlukan dalam penelitian
tapi kurang relevan untuk dimasukkan dalam bab-bab dalam proposal.
43