Anda di halaman 1dari 2

Nama : Nalendra Agung Binathara

Nim : 18010664046
Kelas : 2018 – B

Penyesuaian Diri Anak Berbakat Intelektual atau Superior Terhadap Lingkungannya

Sejarah intelegensi tidak lepas dari tokoh terkenal yaitu Alfret Binet (1857-1911) tokoh
yang paling berjasa dalam menemukan tes intelegensi. Intelegensi berasal dari Bahasa Inggris
yaitu “Intelegence” dan juga berasal dari bahasa Latin yaitu “Intelectus dan Intelligentia”.
Binet mendefinisikan intelegensi adalah hakikat inteligensi adalah kemampuan untuk
menetapkan dan mempertahankan suatu tujuan, untuk mengadakan suatu penyesuaian dalam
rangka mencapai tujuan itu dan untuk menilai keadaan diri secara kritis dan objektif.
Wechsler ( dalam Hamalik, 2009), definisinya mengenai inteligensi mula-mula sebagai
kapasitas untuk mengerti ungkapan dan kemauan akal budi untuk mengatasi tantangan-
tantangannya, namun di lain kesempatan ia mengatakan bahwa inteligensi adalah
kemampuan untuk bertindak secara terarah, berfikir secara rasional dan menghadapi
lingkungannya secara efektif. Sedangkan Thorndike (dalam Hamalik,2009) mendefinisikan
sebagai suatu kemampuan untuk melakukan respons yang baik dan diaplikasikan dengan
kecakapan untuk berhubungan secara efektif dengan hal-hal yang baru. Jika anak memiliki
IQ skor 120 keatas adalah superior atau anak yang memiliki bakat intelektual.
Memiliki buah hati yang memiliki kecerdasan tinggi adalah dambaan bagi setiap orang
tua, khususnya di Indonesia. Jika anak pintar dalam matematika, fisikia, kimia atau memiliki
nilai tinggi pada pelajaran lain akan selalu dianggap istimewa dan masa depan sangat cerah.
Anak yang memiliki IQ Superior akan lebih cepat mengerti dan paham materi yang disajikan
kepadanya. Namun, bagaimana jika dilihat dari perspektif anak yang memiliki IQ superior
tersebut? Apakah dia melihat masa depan yang cerah yang dilihat orang tua atau gurunya?
Apakah dia bisa melihat potensi-potensi yang luar biasa yang akan ditemukan pada kemudian
hari? Kenyataannya tidak seperti itu, anak-anak yang memiliki intelektual yang tinggi
ternyata mengalami komunikasi yang buruk dan bahkan perundungan di sekolah. Kurang nya
kemampuan komunikasi anak yang memiliki iq super ternyata sangat dipengaruhi oleh gaya
pola asuh otoritarian yang dominan terjadi di Indonesia. Pola asuh otoritarian dapat memiliki
kecenderungan yang berdampak buruk pada anak yaitu anak merasa tidak bahagia, kurang
dalam inisiatif, tidak mampu menyelesaikan masalah, dan memiliki kemampuan komunikasi
yang buruk (Baumrind dalam Santosa, 2013). Pola asuh otoritarian yang berpusat pada orang
tua sehingga anak akan mengalami tekanan, kecemasan dan rasa takut yang berlebihan yang
berujung kepada frustasi . Mereka harus bekerja lebih ekstra untuk bisa memahami situasi
yang ada di lingkungannya agar tidak melakukan kesalahan yang bisa menyebkan mereka
dapat hukuman dari orang tua. Pengasuhan orangtua yang menekankan pada kebutuhan
orangtua dan pendapat orangtua paling benar cenderung memengaruhi komunikasi antara
anak dengan orangtua menjadi kurang efektif karena komunikasi berpusat pada orangtua
sehingga membuat anak takut untuk mengungkapkan perasaannya (Respati dkk, 2006). Studi
pendahuluan yang dilakukan oleh Peneliti dalam jurnalnya menemukan bahwa ada anak yang
memiliki iq superior berinisial BS seringkali mengalami perundungan, juga beberapa kali
tidak mendapatkan kepercayaan guru dan memiliki masalah bersosialisasi. Hal ini
menunjukkan bahwa tidak semua anak yang memiliki iq tinggi dan superior dapat diterima di
lingkungannya. Bahkan BS ketika di rumah atau disekolah ketika berbicara tidak ada yang
menghiraukan dan tidak mendapatkan respon, sehingga menyebakan dia pasif dalam
berkomunikasi(Rusdayanti, 2019). Memiliki iq super bukan berarit kehidupannya menjadi
mulus tanpa hambatan, berbagai rintangan untuk menyesuaikan diri dan harapan untuk diri
sendiri perlu dilakukan oleh BS agar proses penyesuaian diri dengan orang tua, keluarga,
guru dan teman sebaya dapat dilakukan. Perlakuan orang tua yang seharusnya ditunjukkan
kepada BS adalah mendukung dan mempercayai kemampuannya, baik kemampuan bersosial
maupun kemampuan akademis. BS juga berharap agar perlakuan guru dan teman yang dia
terima di sekolah juga berubah menjadi lebih baik, agar rasa khawatir, cemas dan takut
berkurang dan menghilang. Dengan adanya harapan-harapan yang ditunjukkan ke orang lain,
dia mengetahui bahwa diri nya juga perlu berubah agar dapat menyesuaikan dengan
keinginan orang tua, ekspetasi guru dan temannya, sehingga dia seharusnya juga berharap
pada dirinya sendiri agar bisa berubah dan mampu berkomunikasi dengan baik.

Anda mungkin juga menyukai