Sastra Using Dari Kidung Sritanjung Sampai Isun Lare Using
Sastra Using Dari Kidung Sritanjung Sampai Isun Lare Using
“Nama Using diberikan pada orang Blambangan oleh para pendatang . . . Orang
Blambangan sendiri menyebut dirinya orang Jawa Asli. Nama paling tepat untuk
mereka adalah orang Blambangan”. (John Scholte: 1927)
1
P.J. Zoetmulder, Kalangwan, Penerbit Djambatan, Jakarta 1983 (hal. 540)
zaman dimana dua kidung itu disalin. Blambangan, meskipun mempunyai rentang
masa yang cukup panjang sebagai kerajaan Hindu terakhir di Jawa, merupakan
wilayah yang tak sudah mengalami peperangan hebat dari masa Majapahit sampai
pendudukan kompeni Belanda. Ketakstabilan politik berkepanjangan diikuti oleh
peperangan terus-menerus, baik sebab internal berupa perebutan tahta dan sebab
eksternal berupa serbuan kerajaan-kerajaan dari Bali dan Mataram, menyebabkan
pusat pemerintahan atau kraton berpindah-pindah. Disamping itu, pengambilan
bentuk kidung dalam penulisan Sritanjung dan Sudamala yang menurut Zoetmulder,
“Bila dipandang dari sudut sastra, maka kidung-kidung pada umumnya dengan jelas
memperlihatkan kekurangan-kekurangan’,2 seolah mengonfirmasi pendapat I Made
Sudjana dalam Nagari Tawon Madu (2001) yang menyatakan Blambangan tidak
pernah mengalami masa keemasan, zaman kertayuga yang sesungguhnya, dimana
berkembang seni sastra dan kebudayaan pada umumnya. Atau setidaknya sastra pada
masa Blambangan tidak tumbuh dan berkembang dengan maksimal di dalam tembok
kraton.3
Berbeda dengan Zoetmulder yang menilai kidung sebagai karya sastra lebih rendah
dibandingkan dengan kakawin jika ditinjau dari unsur interinsik sastra. Dalam kajian
pendek mengenai naskah Kidung Sritanjung berhuruf Arab pegon yang tersimpan di
museum Banyuwangi, Suripan Sadi Hutomo justru mengaku menemukan keindahan.
Bahkan dalam naskah tersebut ia menemukan dua versi puisi tembang yang khas
(tidak terdapat dalam macapat) yakni puisi wukir dan mahisa langit. Suripan Sadi
Hutomo menggolongkan kidung Sritanjung sebagai sastra Jawa Pasisiran yang
bersifat dinamis dan demokratis.4
2
Ibid. hal. 511
3
Sejumlah budayawan Banyuwangi menolak pendapat jika kesusastraan Blambangan secara jumlah
dan mutu kurang. Hasan Ali dalam makalah Bahasa dan Sastra Using di Banyuwangi untuk Sarasehan
Bahasa dan Sastra Daerah Jawa Timur di Tulungagung tahun 1993 , dengan berlandas pada pernyataan
B. R. Anderson mengenai abad kegelapan Jawa tahun 1500 – 1750 karena peperangan, pembuangan,
perampokan, pembantaian, dan kelaparan yang menyebabkan serba terbatasnya pengetahuan akan
kebudayaan Jawa Kuno, menduga sebagian besar karya sastra aliran Banyuwangi hancur karena
peperangan berkepanjangan dari tahun 1316 – 1772 di Blambangan.
4
Suripan Sadi Hutomo, Tembang Mahisa Langit? Orang Banyuwangi Masih Ada yang Ingat?, Surabaya
Post, 10 Maret 1984.
Penilaian Suripan Sadi Hutomo mengenai Kidung Sritanjung yang disebutnya bersifat
dinamis dan demokratis sedikit banyak mengingatkan pada penilaian John Scholte
(1927) mengenai Gandrung. Ketika membandingkan Gandrung dengan tarian Jawa
dalam Gandroeng van Banjoewangi John Scholte menyatakan, “. . .Gandrung
maupun penari-penari rakyat, dan oleh karenanya mereka bukan pembawa cap dari
etiket kekratonan yang mempunyai ciri untuk selalu menekan dan menghaluskan
segala ekspresi vital serta juga untuk melambat-lambatkan gerakan-gerakannya
hingga terkuasai secara estetis tetapi kadang-kadang menyebabkan kehilangan
penghayatan dari hakekatnya . . .”.
Disamping ketiga naskah Bahasa Jawa Pertengahan itu syair dalam gending-gending
kuno Seblang dan Gandrung juga dimasukkan sebagai sastra Using. Berbeda dengan
Sritanjung, Sudamala, dan Sang Satyawan yang mempunyai bentuk naskah (tertulis),
syair-syair kuno Seblang dan Gandrung merupakan sastra lisan yang dinyanyikan
dengan iringan instrument musik tradisonal tertentu dan merupakan bagian dari tradisi
ritual dan seni tari. Syair-syair kuno Seblang dan Gandrung baru mendapatkan
bentuk tertulisnya setelah seorang Belanda pada paruh pertama abad XX, Ottolander,
dikabarkan mendokumentasikannya secara tertulis.
Namun, seperti kebanyakan sastra lisan yang penyebarannya dari generasi ke generasi
berikutnya berlangsung secara tutur, syair gending-gending Seblang juga rentan
mengalami pengurangan, penambahan, dan penyimpangan kata-katanya. Kita tidak
pernah tahu apakah syair yang sampai pada generasi hari ini tidak mengalami
‘kerusakan’ dibandingkan dengan syair yang ada pada masa sebelumnya. Hal yang
jelas pada masa kini terdapat beberapa varian gending-gending Seblang. Sebagai
contoh, teks syair Padha Nonton dalam tulisan Hasan Ali berbeda dengan teks yang
ada pada semacam buku informasi yang sangat mungkin ditulis oleh panitia
penyelenggara Seblang Bakungan yang berjudul Upacara Adat Seblang. Pada teks
yang ditulis Hasan Ali syair Padha Nonton terdiri dari empat bait sementara dalam
buku Upacara Adat Seblang hanya memuat dua bait syair Seblang yang dalam tulisan
Hasan Ali dijadikan dalam satu bait.
5
Hasan Ali, Bahasa dan Sastra Using di Banyuwangi, makalah untuk Sarasehan Bahasa dan Sastra
Daerah Jawa Timur di Tulungagung, 13-14 Nopember 1993
Hampir menjadi kesepakatan bersama di kalangan para pengkaji dan pemerhati sastra
Using bahwa naskah Sritanjung, Sudamala, Sang Satyawan, gending-gending kuno
Seblang dan Gandrung merupakan hasil karya sastra Using pada masa Blambangan,
walaupun istilah Using sendiri baru muncul pada paruh pertama abad XX. Istilah
Using yang digunakan untuk menyebut masyarakat Banyuwangi muncul pada tahun
1926 ketika Stoppelaar menggunakan istilah Blambangers atau Oesingers dalam
Blambangansche Adatrecht. Tahun 1927 John Scholte dalam Gandroeng van
Banjoewangi menyatakan nama Using digunakan pada orang Blambangan oleh para
pendatang, sedangkan orang Banyuwangi sendiri menyebut dirinya sebagai orang
Jawa asli.
Sebelum dirintis sebagai identitas budaya pada tahun 1970-an dan mulai
memantapkan statusnya pada tahun 1990-an melalui kampanye masif dan
tersistematis, bagi masyarakat Banyuwangi penyebutan Using kepada diri mereka
adalah suatu penghinaan. Bernard Arps dalam Osing Kids and the banners of
Blambangan, Ethnolinguistic identity and the regional past as ambient themes in an
East Javanese town yang dimuat dalam Wacana Vol.11 No.1 (April 2009) menyatakan
tahun 1974 di majalah berbahasa Jawa, Mekar Sari, Paman Goplang memperingatkan
jika anda mau berlaku sopan hendaklah jangan menyebut masyarakat Banyuwangi
sebagai Wong Using yang bagi mereka itu adalah julukan yang melecehkan.
Sementara Endro Wilis, salah seorang pengarang lagu-lagu Banyuwangian ‘modern’
angkatan pertama, mengatakan bahwa istilah Using melumpuhkan jiwa, maksudnya
istilah Using merupakan hasil rekadaya orang luar sejak zaman VOC untuk
menghancurkan mental dan moral masyarakat Blambangan yang terkenal keras
kepala dan tak mau tunduk begitu saja terhadap upaya penindasan6. Tiga puluh tahun
sebelum ‘nasehat’ Paman Goplang, seorang peneliti Belanda yang menyebut dirinya
sebagai ‘insider’ dalam laporannya menyatakan bahwa Using diambil dari istilah Bali
‘sing’ untuk menyatakan masyarakat Blambangan adalah ‘bukan manusia’7. Sampai
6
Endro Wilis, Istilah ‘Using’ adalah Racun yang Melumpuhkan Jiwa, Lembar Kebudayaan 10, Maret
2010.
7
Sri Margana, Melukis Tiga Roh: Stigmatisasi dan Kebangkitan Historiografi Lokal di Banyuwangi,
makalah untuk Konferensi Nasional Sejarah IX, Jakarta, 5 – 7 Juli 2011
sekarangpun sebutan Using ditolak oleh beberapa orang tua (75-an ke atas) di
Banyuwangi.
Awal munculnya Using sebagai identitas kultural dan ‘bahasa’ daerah di Banyuwangi
tak bisa dilepaskan dari kebijakan kultural rezim Orde Baru yang pada akhir tahun 60-
an atau awal 70-an kewalahan menghadapi perilaku menyimpang anak-anak muda
yang dianggap akibat dari pengaruh Barat. Salah satu kasus penyimpangan perilaku
anak muda paling bejat dan yang paling disorot dan tak pernah diungkap tuntas
sampai hari ini adalah kasus pemerkosaan gadis penjual telur di Solo, Sumarijem,
yang dilakukan oleh anak salah seorang bangsawan keraton Surakarta dan anak salah
seorang pahlawan revolusi yang terkenal dengan peristiwa Sum Kuning. Keprihatinan
terhadap perilaku menyimpang anak muda yang dianggap karena pengaruh Barat ini
melahirkan tindakan represif terhadap kalangan anak muda yang salah satu contohnya
yang menggelikan adalah pelarangan rambut gondrong yang dilakukan secara
sistematis oleh Orde Baru8. Pada sisi lain Orde Baru menggalakan penggalian kembali
nilai-nilai tradisi melalui pelestarian dan revitalisasi kesenian-kesenian daerah9.
Penggalakan kembali kesenian daerah di Banyuwangi, setelah melewati periode ‘bisu’
beberapa tahun sesudah peristiwa ’65 dan masa ‘pembersihan’, mendapatkan
momentumnya ketika Presiden Soeharto meminta Bupati Banyuwangi, Djoko Supaat
Selamet, menghidupkan kembali kesenian daerah Banyuwangi setelah ia
menyaksikan seni angklung Banyuwangi pada kunjungannya ke Tapanrejo,
Banyuwangi, pada tahun 1970. Sejak itu seni budaya Banyuwangi bergairah dan
perjalanan panjang menegakkan Using sebagai identitas kultural daerah dimulai.
8
Aria Wiratma Yudhistira dalam Dilarang Gondrong! (Marjin Kiri, 2010) melalui penelusuran berita-
berita, wawancara, artikel, dan editorial di media massa cetak dan elektronik yang terbit di Indonesia
pada akhiran tahun 60-an sampai pertengahan 70-an; instruksi-instruksi aparat pemerintah;
mengungkapkan bagaimana Orde Baru secara sistematis ‘memerangi’ pengaruh budaya Barat (flower
generations) di Indonesia yang salah satu kehadirannya secara simbolik ditandai dengan trend rambut
gondrong di kalangan anak muda di Indonesia.
9
Pembangunan Taman Mini Indonesia Indah tahun 1971 yang merupakan miniatur dari rumah-rumah
tradisional yang ada di seluruh provinsi di Indonesia (kebudayaan-kebudayaan daerah yang ada di
Indonesia) adalah ekspresi simbolik yang monumental dari kebijakan menoleh kembali ke nilai-nilai
lokal.
Periode pertama penegakan identitas ke-usingan, seperti pesan Soeharto kepada
Bupati Supaat, adalah membersihkan jejak-jejak komunis pada kesenian-kesenian
Banyuwangi seraya membangun dan mengembangkan nilai-nilai ideal tertentu. Novi
Anoegrajekti mencatat pada laporan penelitiannya mengenai upaya-upaya untuk
‘memperbaiki’ peran, perangai, dan fisik tokoh antagonis Minakjinggo yang
merupakan identifikasi karakter Using dalam seni drama Damarwulan yang populer
di masyarakat.10 Pembersihan jejak-jejak komunis dilakukan dengan pembungkaman
dan ‘mempertobatkan’ seniman-seniman Banyuwangi serta penyensoran, pelarangan,
dan pendiskriditan karya-karya seni yang dianggap subversif. Hampir seluruh lagu-
lagu M. Arief ‘menghilang’ dari masyarakat karena cap komunis. Sementara Genjer-
genjer, salah satu lagu karya M. Arief yang dipuji oleh Nyoto dan memperoleh
popularitas nasional pada masa Orde Lama, digambarkan sebagai lagu pengiring
tindakan bejat dan keji dalam film G.30 S./PKI karya Arifin C. Noer yang menjadi
film wajib tayang di TVRI setiap memperingati hari Kesaktian Pancasila. Seniman
lain semasa M. Arief, Endro Wilis, terpaksa menghapus namanya pada lagu-lagu
ciptaannya yang di’kasetkan’. Sementara salah satu lagu karyanya, Selendang Abang
diganti tanpa sepengetahuannya menjadi Selendang Sutro karena ‘Abang’ (merah)
identik dengan komunis. Pada periode yang disebut oleh Bernard Arps, dalam
kajiannya tentang ethnolinguistik Using11, masa persiapan transformasi ini terjadi
perubahan besar dalam karakter dan semangat penciptaan syair lagu-lagu
Banyuwangian. Tidak ada lagi syair-syair bertema kerakyatan yang disemangati oleh
keberpihakan dan perlawanan terhadap penindasan dan penghisapan seperti yang
dengan jelas terbaca pada syair lagu Nelayan ciptaan Endro Wilis dan Emas-emas
ciptaan M. Arief. Sebagai gantinya muncul syair-syair dengan tema asmara, nasehat
untuk hidup rukun, dan bahkan kampanye pembangunan.
Pada tahun 80-an ketika industri rekaman mengalami booming pertama, irama
angklung Banyuwangi tergeser oleh irama yang lebih mirip dangdut yang kemudian
lebih dikenal sebagai kendang kempul. Watak industri yang mau merengkuh audiens
(konsumen) yang luas, tak hanya berdampak pada mulai mendominasinya irama
kendang kempul pada lagu-lagu yang diciptakan pada masa itu, namun juga
berdampak pada gaya penulisan syair-syairnya. Gaya puitik basanan, wangsalan, dan
paribasan dalam syair lagu-lagu kehilangan popularitasnya dan digantikan oleh
keterusterangan yang nyaris vulgar. Pada masa ini, bersama pasang naik industri
rekaman lagu-lagu kendang kempul, mulai terjadi ‘integrasi’ besar-besaran penduduk
pendatang ke dalam masyarakat Using.
Pada tahun 80-an ini muncul puisi tulis Using dengan penyair-penyairnya seperti
Slamet Utomo, Pomo Martadi, dan Uun Haryati. Contoh bagus puisi Using 80-an ini
adalah Sisik Melik karya Uun Haryati.
Sisik Melik12
12
Udharasa, Kumpulan Puisi using, 2010
Sekar taji tekane dipuji-puji
Nyatane duh eman
Sisik melik wis kadhung ana kang methik
dienggo tamba duh kakang
ngumbar hawa, nggiring kepaling
kelara-lara, kabare sing ana teka
Eluh mili emak bapak mung kari ndunga
pedhut gancanga ilang
wong sak desa milu kelangan
dijaluk mong siji, tetep gandholana
landhung pikir, kencenga iman
Hasan Basri menyatakan puisi Uun Haryati ini “. . .pekat dengan metafor alam,
diksinya lebih setia pada kosa kata klasik, kaya akan hiasan basanan dan wangsalan,
persajakannya lebih mengalun, nuansa magisnya sangat terasa”.13 Namun jika
diperhatikan secara seksama puisi Sisik Melik tersebut sesungguhnya puisi yang
langsung atau terang benderang. Hanya terdapat beberapa kiasan seperti ‘sisik melik’
yang berarti kembang desa atau primadona dan ‘pedhut’ (mendung) yang berarti
derita, yang itupun sebenarnya lazim digunakan jika tidak dapat disebut kilse.
Sementara diksi-diksi seperti ‘kembang melati’, ‘kembang menur’, ‘sekar tanjung’,
‘sekar taji’ bukanlah perumpamaan dan fungsinya hanyalah untuk ‘kembangan’ dan
menyesuaikan permainan bunyi, aliterasi dan asonansi, yang merupakan ciri puitik
dominan dalam puisi ini. Beberapa baris puisi Sisik Melik yang repetitif seperti
hendak meneladani tradisi puitik pada syair gending-gending Seblang dan Gandrung
yang kuno meski tanpa kepelikan perumpamaan-perumpamaan yang berlapis. Puisi
karya Uun Haryati ini tentu sangat kontras jika dibandingkan dengan syair lagu-lagu
kendang kempul yang banyak menyerap diksi-diksi Jawa kulonan.
Pada tahun 1990-an ini juga ditandai oleh Setya Yuwana Sudikan mulai tumbuhnya
apa yang disebutnya sebagai puisi Indonesia yang diekspresikan dalam bahasa Jawa
dialek Using. Ia menyebut puisi Isun Lare Using karya Adji Darmadji yang termuat
dalam antologi puisi using berjudul Juru Angin sebagai tonggak pembaharu puisi
Using. “Pembaharuan yang dibawa Adji bukan sekedar pada aspek pola persajakan,
rima, majas, dan diksi, melainkan total sampai pada aspek tipografi, nuansa, dan
makna utuh puisi”,15 terang Sudikan. Padahal Isun Lare Using karya Adji Darmadji
tersebut hanyalah puisi ‘pubertas’ pemberontakan yang bukan hanya gagap
mengekspresikan diksi-diksi Using, bahkan susunan-susunan perumpamaan
metaforalnya sangat kacau balau. Berbeda dengan puisi Fauzi Abdullah, Dadia Wis,
yang lebih berhasil mengadopsi puisi lirik modern Indonesia.
Dadia Wis16
14
Baca Novi Anoegrajekti, Kontestasi dan Representasi Identitas Using, dalam Humaniora, No.1
Februari 2011 dan Etnografi Sastra Using: Ruang Negosiasi dan Pertarungan Identitas, Makalah 2010
15
Drs. Setya Yuwana Sudikan, M.A., Sastra Using di Banyuwangi (hal.23), makalah untuk Seminar
Bahasa Using
16
Ibid., (hal. 24)
Ring wates garis plawangan
Isun lungguh nganggur dhewekan
Kantru-kantru nulih pecake cekapah
Ngitung-ngitung cekapah langkah
Awang uwung nggelari ati sun gerayang
Apa wis jaya pama gegableg tangan dalan
Atawa nggadug ring panggonan?
Sun liwati baen kaya watu ngglundhung
Kang arep teko
Dadia wis!
Kabeh sun gantung ring dhuwur kana
Sastra Using bagaimanapun tak begitu saja berkait dengan Blambangan sebagai masa
lalu Banyuwangi yang terus menerus diungkap sebagai zaman yang gilang gemilang.
Lahirnya istilah sastra Using merupakan suatu hasil konstruksi kultural yang
bersamanya kekuasan memainkan peran dominan untuk mewujudkannya. Pengaruh
kebijakan Orde Baru dan kehendak untuk menegakkan identitas kedaerahan
merupakan faktor penting yang melandasi munculnya sastra Using, selain faktor
industri komersial yang banyak mempengaruhi pada periode 1980-an.
Pada akhirnya harus diakui tulisan yang serba terbatas ini tidak dapat membahas
semua sastra yang dilisankan dan dituliskan di Banyuwangi. Misalnya, prosa lisan
yang melimpah dan tradisi berpantun di tengah masyarakat Banyuwangi yang
mempunyai ciri tertentu (basanan, wangsalan, paribasan) tidak mempunyai
kesempatan untuk diketengahkan di sini. Tentu merugikan, namun hal ini tak
terhindarkan.
*****
Daftra Pustaka
- Endro Wilis, Istilah ‘Using’ adalah Racun yang Melumpuhkan Jiwa, Lembar
Kebudayaan 10, Maret 2010.