Anda di halaman 1dari 14

MAKALAH AKHIR

MATA KULIAH PENGANTAR PERPAJAKAN

RESTITUSI PAJAK DALAM UNDANG-UNDANG CIPTA KERJA

Zakky Ashidiqi
2006605861

FAKULTAS ILMU ADMINISTRASI


Universitas Indonesia
Tahun 2020
DAFTAR ISI

BAB 1. PENDAHULUAN........................................................................................................3

1.1 Latar Belakang..........................................................................................................................3

1.2. Rumusan Masalah....................................................................................................................5

1.3. Tujuan Pembahasan................................................................................................................5

BAB 2. KERANGKA TEORI...................................................................................................6

2.1 Pengertian Pajak.......................................................................................................................6

2.2 Pengertian Restitusi Pajak........................................................................................................6

2.3. Penyederhanaan Peraturan Pajak..........................................................................................6

2.4. Restitusi Pajak dalam UU Cipta Kerja...................................................................................7

BAB 3. ANALISIS....................................................................................................................9

3.1 Urgensi Penyederhanaan Peraturan Perpajakan...................................................................9

3.2 Restitusi Pajak dalam UU Cipta Kerja..................................................................................10

3.3 Dampak Restitusi Pajak dalam UU Cipta Kerja..................................................................11

BAB 4. SIMPULAN................................................................................................................12

DAFTAR REFERENSI..........................................................................................................13
BAB 1. PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Penerimaan perpajakan di Indonesia hingga saat ini masih menjadi sumber
penerimaan terbesar dalam struktur Anggaran Penerimaan dan Belanja Negara (APBN).
APBN 2021 mencanangkan angka Rp1.444,5 triliun pada pos penerimaan perpajakan. Nilai
tersebut sudah mengisi lebih dari 80% keseluruhan pendapatan negara. Apabila dilihat lebih
rinci, mayoritas nilai pajak hanya datang dari dua pos yaitu Pajak Korporasi (34%) dan Pajak
Pertambahan Nilai (29%). Lebih jelas dapat dilihat pada Gambar 1 dan Gambar 2.

Gambar 1.Pendapatan Negara dalam APBN 2021 (triliun Gambar 2. Bagian Pendapatan Perpajakan Indonesia Tahun
Rupiah) 2018 (dalam %)

34
Hibah; 0.9
298.2
29

13 12
9
1,444.5
4
Share of Tax Revenue (%)
Penerimaan Perpajakan
Penerimaan Negara Bukan Pajak Personal income tax Social security contribution
Value added taxes Corporate income tax
Hibah
Other taxes on g&s Other taxes

Sumber: Kementerian Keuangan (2020), diolah Sumber: OECD (2020), diolah

Berdasarkan fakta dan data tersebut, pajak akan selalu menjadi sorotan utama dalam
setiap perencanaan pembangunan. Hal ini disebabkan penerimaan perpajakan
merepresentasikan gambaran besar kemampuan keuangan negara. Rencana besar
pembangunan Indonesia pada pemerintahan Joko Widodo dijabarkan pada Visi Indonesia
2045. Tujuan utamanya, dari sudut pandang ekonomi adalah membawa Indonesia keluar dari
middle income trap dan menjadi negara berpendapatan tinggi. Perjalanan untuk mencapai
tujuan tersebut membutuhkan dana yang besar dan pajak menjadi instrumen kebijakan yang
perannya krusial.
Sayangnya, Indonesia masih memiliki masalah dalam sistem perpajakannya. Menurut
studi kerumitan pajak oleh Paderborn University & LMU Munich (2020), Indonesia berada di
peringkat 95 dari 100 negara yang dinilai. Artinya, Indonesia masih memiliki birokrasi
perpajakan yang paling rumit apabila dibandingkan dengan negara di kawasan ASEAN.
Selain rumit, rasio penerimaan pajak terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) Indonesia juga
relative rendah apabila dibandingkan dengan negara serumpun seperti Malaysia, Singapura,
Thailand, ataupun Filipina. Padahal, jika dilihat dari sisi ekonomi dan demografi, penerimaan
pajak Indonesia memiliki potensi yang sangat besar.

Gambar 3. Peringkat Tingkat Kerumitan Pajak & Rasio Pajak Terhadap PDB

100 15 16
14 95
90
13 91 14
80 12
12
70 10
68 10
60

50 8

40
6
30 36
4
20
2
10 6

0 0
Singapore Malaysia Thailand Philippines Indonesia

Peringkat Tingkat Kerumitan (1 = Termudah; 100 = Terumit)


Rasio Pajak Terhadap PDB (%)

Sumber: TaxComplexity.org (2020); World Bank (2018), diolah

Penyederhanaan aturan, terutama ihwal perpajakan, memang sudah menjadi agenda


pemerintah. Sejak tahun 2018, Kementerian Keuangan mulai melakukan reformasi
perpajakan. Pada akhir tahun 2020, penyederhanaan aturan di Indonesia memasuki babak
baru dengan disahkannya Undang-Undang Cipta Kerja (UU Ciptaker). Dalam UU Ciptaker
terdapat klaster perpajakan yang diharapkan lebih memperjelas dan menyederhanakan
peraturan perpajakan. Pada klaster tersebut terdapat perubahan atau penambahan aturan
terkait restitusi pajak. Kajian ini akan menganalisis urgensi penyederhanaan peraturan pajak
di Indonesia, restitusi pajak dalam UU Ciptaker, serta berbagai kemungkinan dampaknya.
1.2. Rumusan Masalah
1. Bagaimana urgensi penyederhanaan aturan perpajakan di Indonesia?
2. Apa saja poin perbedaan terkait restitusi pajak antara UU Ketentuan Umum dan Tata
Cara Perpajakan (UU KUP) dengan UU Ciptaker?
3. Apa saja kemungkinan dampak dari perubahan peraturan mengenai restitusi pajak?

1.3. Tujuan Pembahasan


1. Menganalisis urgensi penyederhanaan pajak di Indonesia.
2. Menganalisis poin-poin perubahan maupun pertambahan terkait restitusi pajak dalam
UU Ciptaker.
3. Menganalisis dampak-dampak yang mungkin terjadi dari perubahaan aturan mengenai
restitusi pajak dalam UU Ciptaker.
BAB 2. KERANGKA TEORI

2.1 Pengertian Pajak


Prof. Dr. Rochmat Soemitro, S.H. berpendapat bahwa pajak adalah iuran yang
dibayarkan rakyat kepada negara berdasarkan undang-undang yang tidak dapat dipaksakan
serta tanpa adanya kontraprestasi atau timbal balik jasa secara langsung untuk digunakan
untuk membayar pengeluaran umum (Mardiasmo, 2013). Fungsi pajak secara umum
digolongkan menjadi dua, yaitu fungsi anggaran (budgeter) dan fungsi mengatur
(Regulerend). Fungsi anggaran (budgeter) yaitu pajak sebagai sumber penerimaan kas negara
dan sekaligus digunakan sebagai sumber pembiayaan negara dalam membiayai pengeluaran-
pengeluaran negara. Sedangkan fungsi mengatur (Regulerend) yaitu pajak berperan sebagai
pengatur kebijakan pemerintah sekaligus digunakan pemerintah sebagau alat untuk mencapai
tujuan tertentu.

2.2 Pengertian Restitusi Pajak


Restitusi pajak merupakan permohonan yang diajukan oleh Wajib Pajak atas
pengembalian kelebihan pembayaran pajak kepada negara. Istilah restitusi pajak atau
pengembalian pajak dijelaskan pada Pasal 17 Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2007 yang
artinya negara melakukan pengembalian kelebihan pembayaran pajak kepada Wajib Pajak.
Pajak merupakan kontribusi wajib kepada negara yang bersifat memaksa berdasarkan
Undang-Undang, artinya setiap tindakan atau upaya untuk sengaja tidak melaksanakan
kewajiban perpajakan akan dikenakan konsekuensi hukum yang mengikat berupa sanksi yang
tegas berdasarkan Undang-Undang. Di sisi lain, jika terdapat pembayaran pajak yang lebih
bayar dari jumlah yang seharusnya terutang maka negara akan menjamin hak Wajib Pajak
untuk memperoleh kembali kelebihan pembayaran pajak melalui restitusi pajak.

2.3. Penyederhanaan Peraturan Pajak


Tingkat kepatuhan terhadap pajak turut menjadi penting untuk dianalisis mengingat
pajak merupakan instrumen yang krusial dalam keseluruhan perencanaan pembangunan.
Tingkat kepatuhan disini dapat dilihat dari persentase jumlah wajib pajak yang membayar
pajak. Namun, apabila pemerintah perlu menggali potensi lebih dalam, maka tingkat
kepatuhan tersebut juga dapat dilihat dari komparasi antara jumlah penduduk yang bekerja
atau memiliki penghasilan dengan jumlah penduduk yang menjadi wajib pajak serta
membayarnya. Lebih lanjut, target dari Kementerian Keuangan untuk wajib pajak pribadi
pada tahun 2019 lalu berada di level 90 juta. Sedangkan, pada saat itu baru tercatat sebesar 40
juta atau kurang dari setengahnya (Santoso, 2019). Fakta tersebut menunjukkan bahwa
pemerintah belum optimal dalam menghimpun pajak.
Terdapat beberapa studi yang telah membahas kemungkinan faktor masyarakat
enggan membayar pajak. Studi dari Alm, Martinez-Vazquez, and McClellan (2016)
menunjukkan bukti yang cukup kuat bahwa semakin rumit peraturan perpajakan dan semakin
tinggi tingkat pajak, maka semakin meningkan pula keengganan masyarakat untuk membayar
pajak. Studi serupa juga pernah dikemukakan oleh Srinivasan (1973) di mana salah satu yang
meningkatkan kecendurangan wajib pajak menghindari pajak adalah kerumitan perpajakan.
Oleh karena itu, pembahasan penyederhanaan peraturan, terutama terkait perpajakan,
menjadi angin segar bagi penerimaan negara. Berdasarkan studi-studi terdahulu,
penyederhanaan peraturan perpajakan diasumsikan dapat menurunkan potensi wajib pajak
menghindari pajak. Pada gilirannya, nilai pajak dapat meningkat, baik dari sisi jumlah
pembayar pajak maupun volumenya. Maka dari itu, seiring dengan penyederhanaan tersebut,
wajar apabila asumsi penerimaan perpajakan di APBN 2021 bernilai positif.

2.4. Restitusi Pajak dalam UU Cipta Kerja


Peraturan mengenai restitusi pajak selama ini tercantum dalam Undang-Undang
Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (UU KUP) dan Undang-Undang Pajak
Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah (UU PPN dan
PPnBM). Lebih tepatnya yaitu di pasal 11 dan pasal 17B, 17C, dan 17D UU KUP dan pasal 4
dan 4A UU PPN dan PPnBM. Pasal tersebut menjadi dasar aturan dan tata laksana terkait
permintaan pengembalian kelebihan pajak antara negara dengan warganya atau dalam hal ini
wajib pajak. Pengguna utama dari peraturan ini salah satunya adalah badan usaha yang rutin
memperoleh selisih antara pajak keluaran dan pajak terutang terhadap pajak pertambahan
nilai [ CITATION Man16 \l 1033 ].
Setidaknya ada dua keluhan yang cukup sering diutarakan oleh wajib pajak terkait
proses restitusi pajak. Keluhan pertama yaitu mengenai peraturan dan pelaksanaan proses
restitusi pajak di lapangan. Prosesnya yang belum sepenuhnya berbasis daring dan berbelit-
belit, dinilai rumit oleh wajib pajak. Kerumitan ini, seperti yang telah dibahas pada poin
sebelumnya, dapat meningkatkan keengganan wajib pajak untuk melaporkan pajaknya.
Keluhan kedua yaitu proses restitusi yang lama. Setelah melalui pemeriksaan yang berbeblit-
belit, wajib pajak masih harus menunggu proses restitusi yang lambat sebelum akhirnya
mendapat pengembalian. Hal ini lantas dapat menimbulkan citra negatif bahwa pelayanan
terhadap wajib pajak tidak berkualitas [ CITATION Oct15 \l 1033 ]. Lebih serius, proses
yang terlampau lambat pada gilirannya juga dapat mengganggu arus kas perusahaan.
Keluhan-keluhan tersebut kemudian direspon oleh pemerintah dalam klaster
perpajakan di UU Ciptaker. UU Ciptaker diharap dapat memberikan kejelasan serta
kemudahan bagi para wajib pajak terkait pemenuhan hak dan kewajibannya. Ada beberapa
poin yang penting untuk diperhatikan dalam klaster perpajakan di UU Ciptakerja, khususnya
terkait restitusi. Hal tersebut disebabkan terdapat perubahan, pengurangan, ataupun
penambahan jika disandingkan dengan Pasal 11, Pasal 17B, Pasal 17C, dan Pasal 17D di
Undang-Undang KUP. Tabel 1 lebih rinci dalam menunjukkan perbedaan-perbedaan
tersebut.
UU KUP UU Ciptakerja
Tarif imbalan bunga perbulan sebesar 2% Tarif bunga perbulan yang ditetapkan oleh
(dua persen) Menteri Keuangan dihitung berdasarkan suku
bunga acuan dibagi 12 (dua belas) yang
berlaku pada tanggal dimulainya
penghitungan imbalan bunga.

Sumber: DDTC (2020), diolah


BAB 3. ANALISIS

3.1 Urgensi Penyederhanaan Peraturan Perpajakan


Peraturan perpajakan harus bersifat dinamis agar dapat menjangkau ke seluruh lapisan
masyarakat dan menyesuaikan dengan perkembangan zaman, sehingga peraturan perpajakan
yang ideal adalah yang sederhana, mudah, dan tepat guna. Dari hasil survei yang terdapat
pada website Direktorat Jenderal Pajak, alasan responden atau Wajib Pajak selaku
stakeholder tidak memanfaatkan layanan perpajakan yang ada disebabkan oleh responden
tidak tahu cara menggunakan layananan perpajakan (60,82%) dan tempat tinggal yang jauh
dari tempat pelayanan pajak setempat (60,76%). Survei tersebut menunjukkan bahwa
penyederhanaan layanan perpajakan dalam hal menjangkau seluruh lapisan Wajib Pajak
sangat penting untuk memberikan kepuasan terhadap Wajib Pajak yang berimplikasi terhadap
kepercayaan Wajib Pajak kepada negara, sehingga Wajib Pajak dengan sukarela
membayarkan pajaknya. Sedangkan pelayanan perpajakan di Indonesia tidak dapat
dipisahkan dengan ketentuan perpajakan yang mengatur hal tersebut. Hal ini juga dibuktikan
berdasarkan data penelitian yang dilakukan oleh Maulida (2016)

Unstandardized
Model Coefficient Std. Error
B Sig

Kontansta 1,656 0,229 0,001

Kesadaran Wajib Pajak (X1) 0,335 0,073 0,004

Sosialisasi Perpajakan (X2) 0,126 0,052 0,015

Peraturan Perpajakan (X3) 0,283 0,47 0,003

Sistem administrasi perpajakan (X4) 0,102 0,055 0,022

Sumber: Maulida (2016), diolah


Data tersebut memperlihatkan bahwa peraturan perpajakan berpengaruh signifikan
terhadap kepatuhan Wajib Pajak dengan tingkat signifikansi 1%, dan sistem administrasi
perpajakan juga berpengaruh signifikan terhadap kepatuhan Wajib Pajak dengan tingkat
signifikansi 5%. Data tersebut menjelaskan bahwa peraturan perpajakan dan sistem
administrasi perpajakan yang sederhana berperan sangat penting dalam meningkatkan
kepatuhan Wajib Pajak. Pembaruan klaster perpajakan khususnya terkait restitusi dalam UU
Ciptaker merupakan salah satu bentuk respon pemerintah terhadap masalah yang ada dan
memberikan kejelasan serta kemudahan bagi Wajib Pajak dalam hal pemenuhan hak dan
kewajibannya. Restitusi merupakan hak Wajib Pajak atas kelebihan pembayaran pajak dari
pajak yang seharusnya terutang, sehingga apabila restitusi dipermudah dan memberikan
kepastian hukum maka kepatuhan Wajib Pajak akan meningkat.

3.2 Restitusi Pajak dalam UU Cipta Kerja


Pajak adalah kontribusi wajib yang bersifat memaksa dan berdasarkan undang-
undang, sehingga akan timbul konsekuensi hukum berupa sanksi sebagai upaya hukum untuk
menertibkan Wajib Pajak. Di sisi lain, dalam pemenuhan hak dan kewajiban Wajib Pajak,
pemerintah juga mengakomodasi hak-hak Wajib Pajak dalam memperoleh keadilan di mata
hukum, salah satunya melalui restitusi. Upaya hukum dalam mewujudkan keadilan
perpajakan negara melalui Direktorat Jenderal Pajak memperbolehkah Wajib Pajak untuk
mengajukan keberatan atas perbedaan pendapat mengenai hasil pemeriksaan yang dilakukan
oleh fiskus. Wajib Pajak juga mempunyai hak banding dan/atau gugatan atas putusan
keberatan yang diberikan oleh Direktur Jenderal Pajak kepada peradilan tata usaha negara
melalui peradilan pajak dan masih dapat melakukan Peninjauan Kembali apabila terdapat
novum (bukti baru) yang belum pernah diungkapkan pada persidangan sebelumnya. Restitusi
merupakan salah satu objek yang menjadi sengketa di dalam perpajakan, sehingga dalam
reformasi perpajakan yang diwujudkan dalam klaster perpajakan UU Ciptaker. Perubahan
besar dalam UU Ciptaker atas restitusi sebagaimana Pasal 11, Pasal 17B, Pasal 17C, dan
Pasal 17D di Undang-Undang KUP memberikan kejelasan dalam imbalan bunga atas
pengembalian kelebihan pembayaran pajak dengan mempertimbangkan tarif bunga
berdasarkan suku bunga acuan yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan serta memperjelas
syarat dalam hal pemberian bunga.
Perubahan berikutnya ada pada Pasal 4A ayat (2) huruf a UU PPN dan PPnBM dalam
klaster perpajakan UU Cipta Kerja. Sebelum adanya pembaharuan UU Ciptaker, Asosiasi
Pertambangan Batubara Indonesia (APBI) memprotes dan menyatakan ketidakjelasan atas
proses restitusi pajak PPN atas batu bara, sehingga pada UU Ciptaker diatur kembali atas
kejelasan peraturan mengenai Barang Kena Pajak atas Batu Bara pada Pasal 4A ayat (2) UU
PPN dan PPnBM. Perubahan berikutnya terkait pajak pertambahan nilai atas perdagangan
melalui sistem elektronik (PMSE), dalam UU Ciptaker diatur tentang penunjukan platform
pemungut PPN dan Pengenaan Pajak atas transaksi elektronik yang ada di Indonesia kepada
Subjek Pajak Luar Negeri (SPLN). Tax burden dalam Pajak pertambahan Nilai di Indonesia
tidak bisa dipisahkan dengan hak atas restitusi, sebab indonesia menganut invoice method tax
atas Pajak Pertambahan Nilai yang memperhitungkan Pajak keluaran dengan Pajak masukan.

3.3 Dampak Restitusi Pajak dalam UU Cipta Kerja


Dampak perubahan peraturan perpajakan khususnya tentang restitusi dalam klaster
UU Ciptaker:
1. Perubahan tarif bunga imbalan atas restitusi memberikan dampak keadilan dan
memenuhi fungsi pajak sebagai alat untuk mengatur perekonomian negara, sebab
apabila suku bunga naik maka inflasi akan turun dan apabila suku bunga turun maka
inflasi akan naik.
2. Kejelasan dan penyederhanaan akan peraturan perpajakan dan restitusi
mengakibatkan tingkat kepuasan Wajib Pajak yang meningkat yang berimplikasi
terhadap kepatuhan Wajib Pajak dalam membayar pajak juga meningkat.
3. Batu Bara ditetapkan sebagai Barang Kena Pajak akan berdampak pada kejelasan atas
pengajuan restitusi oleh pengusaha kena pajak perusahaan batu bara akan mendorong
Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP), sehingga berdampak pada keseimbangan
sumber penerimaan negara.
4. Dengan dipungutnya Pajak Pertambahan Nilai atas Perdagangan Melalui Sistem
Elektronik (PMSE) berdampak pada bergesernya syarat subjektif perpajakan sesuai
Pasal 2 UU PPh tentang pengertian BUT yang tidak lagi mengutamakan physical
presence tetapi menjadi significant economic presense.
BAB 4. SIMPULAN

Dari hasil kajian restitusi pajak dalam Undang-Undang Cipta Kerja dapat ditarik
kesimpulan bahwa:
1. Penyederhanaan peraturan perpajakan berpengaruh signifikan terhadap kepatuhan
wajib pajak, sehingga pada klaster perpajakan dalam UU Ciptaker terkait restitusi
merupakan salah satu bentuk respon pemerintah terhadap masalah yang ada dan
memberikan kejelasan serta kemudahan bagi Wajib Pajak dalam hal pemenuhan hak
dan kewajibannya. Restitusi merupakan hak Wajib Pajak atas kelebihan pembayaran
pajak dari pajak yang seharusnya terutang, sehingga apabila restitusi dipermudah dan
memberikan kepastian hukum yang adil maka kepatuhan Wajib Pajak akan
meningkat.
2. Perubahan peraturan tentang restitusi dalam UU Ciptaker memberikan
penyederhanaan tentang pemungutan PPN yang berimplikasi terhadap kejelasan atas
restitusi, memberikan keadilan akan tarif imbalan bunga berdasarkan suku bunga
acuan yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan, dan kepastian hukum yang jelas
mengenai restitusi atas Barang Kena Pajak (BKP) Batu Bara.
3. Perubahan klaster perpajakan terkait restitusi tidak hanya berdampak kepada
peningkatan kepatuhan wajib pajak, melainkan juga terhadap perekonomian secara
makro.
4.
DAFTAR REFERENSI

Strum, H. S. (2021, Januari). Global MNC Tax Compexity Project. Retrieved from
taxcomplexity.org: https://www.taxcomplexity.org/
IMF. (2021). Tax Revenue (% of GDP). Retrieved from https://data.worldbank.org/:
https://data.worldbank.org/indicator/GC.TAX.TOTL.GD.ZS
Alm, J., Martinez-Vazquez, J., & McClellan, C. (2016). Corruption and Firm Tax
Evasion. Journal of Economic Behavior and Organization, 124, 146-163.
Mardiasmo. (2013). Perpajakan edisi revisi 2013. Yogyakarta: Andi.
DDTC. (2020). Matriks persandingan klaster kemudahan berusaha: bidang perpajakan
dalam uu no. 11 tahun 2020 tentang cipta
kerja. https://ddtc.co.id/uploads/pdf/UU_CIPTA_KERJA_UU_KUP.pdf
Mangundap, P. V., & Tirayoh, V. Z. (2016). Analisis prosedur restitusi kelebihan pembarayan
pajak pertambahan nilai (PPN) pada kantor pelayanan pajak pratama Manado. Jurnal
EMBA, 4(1), 100-108.
Octavia, S., Mayowan, Y., & Karjo, S. (2015). Analisis proses restitusi pajak pertambahan
nilai (PPN) di Indonesia (studi pada PT. XYZ). Jurnal Perpajakan (JEJAK), 7(1).
Oktaria, R. (2011). Input value added tax refund policy for taxable enterprise experiencing
production failures. Journal of Administrative Science & Organization, 18(1), 43-52.
Rahmadani, S. E., & Munawaroh. (2017). Antisipasi restitusi pajak pertambahan nilai atas
kegiatan ekspor dan impor pada PT YKK Zipco Indonesia. Jurnal Akuntansi
Bisnis, 4(2).
Riftiasari, D. (2019). Pengaruh Restitusi Kelebihan Pembayaran Pajak Pertambahan Nilai
Pada Kantor Pelayanan Pajak Pratama Jakarta Penjaringan. Moneter - Jurnal
Akuntansi dan Keuangan, 6(1), 63-68. https://doi.org/10.31294/moneter.v6i1.5353
Maulida. (2016). Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Kepatuhan Individu dalam Membayar
Pajak pada Kantor Pelayanan Pajak Pratama Banda Aceh. Journal of Accounting
Research and Review, 55-56.

Anda mungkin juga menyukai