Anda di halaman 1dari 2

Nama : Much Agung Wijayanto

NIM : 18210064

Matkul : Hukum Acara PTUN – A

REVIEW JURNAL
PERAN HAKIM PENGADILAN TATA USAHA NEGARA DALAM PENYELESAIAN
SENGKETA KEPUTUSAN FIKTIF POSITIF

Hakim Pengadilan Tata Usaha Negara memiliki ciri khusus yang membedakannya dengan
Hakim di Pengadilan lainnya. Ciri khusus tersebut adalah Hakim Pengadilan Tata Usaha Negara
memiliki peran aktif yang mendominasi proses Pengadilan Tata Usaha Negara, karena terikat pada
asas Dominus Litis. Apa itu asas Dominus Litis? Dominus Litis berasal dari bahasa latin. Dominus
berarti pemilik. Sedangkan litis berarti perkara atau gugatan. Jadi Dominus Litis dapat diartikan
pihak yang mengambil keputusan dalam gugatan, biasanya dibedakan dari pengacara. Asas
Dominus Litis ini sangat diperlukan untuk menyeimbangkan posisi para pihak pada proses
pembuktian di persidangan.
Peran aktif Hakim juga sangat dibutuhkan pada penyelesaian sengketa. Keputusan Fiktif
Positif. Hal ini dikarenakan Putusan Pengadilan Tata Usaha Negara dalam permohonan keputusan
fiktif positif bersifat final dan mengikat.
Pemberlakuan Pasal 53 Undang-undang Nomer 30 Tahun 2014 tentang Administrasi
Pemerintahan, pemberlakuan Undang-undang ini telah membawa dampak yang besar terhadap
Kompetensi Absolut Peradilan Tata Usaha Negara, salah satunya adalah Kompetensi Peradilan
Tata Usaha Negara untuk memutuskan objek sengketa Fiktif Positif berdasarkan Pasal 53 Undang-
undang Nomer 30 Tahun 2014. Apakah Keputusan Fiktif Positif itu? Keputusan Fiktif Positif
adalah keputusan yang merupakan anggapan bahwa badan dan/atau penjabat pemerintahan telah
menerbitkan keputusan yang bersifat mengabulkan permohonan, disebabkan dua faktor :
1. Tidak ditanggapinya permohonan yang diajukan oleh Pemohon hingga batas waktu yang
telah ditentukan.
2. Apabila batas waktu tidak ditentukan namun telah lewat 10 hari sejak berkas lengkap
diterima.
Jadi, dulu Indonesia menganut sistim Keputusan Fiktif Negatif, dimana saat Pemohon
mengajukan permohonan kepada badan dan badan tidak menanggapinya, maka Pemohon
dirugikan dengan tidak dikabulkannya permohonan atau ditolak. Hal tersebut berdasarkan Pasal 3
Undang-undang Nomer 5 Tahun 1986. Sekarang indonesia menggunakan Fiktif Positif dimana
saat Pemohon mengajukan permohonan dan badan tidak menanggapi permohonan tersebut, maka
Pemohon akan diuntungkan dengan dikabulkannya permohonan, berdasarkan Pasal 53 Undang-
undang Nomer 30 tahun 2014.
Fiktif Positif diatur di dalam Perma Nomer 8 Tahun 2017 tentang pedoman Beracara
Untuk Memperoleh Putusan Atas Penerimaan Permohonan Guna Mendapatkan Keputusan
Dan/Atau Tindakan Badan Atau Pejabat Pemerintahan. Disini peran Hakim sangat dituntut pada
proses pembuktian. Tidak hanya membagi beban pembuktian secara adil bagi kedua belah pihak
baik Pemohon maupun Termohon, namun juga mampu memeriksa berkas permohonan Pemohon
secara teliti demi mencegah terjadinya pemanfaatan celah yang dilakukan oleh Pemohon dengan
adanya Keputusan Fiktif Positif ini. Apabila tidak dilakukan secara cermat, teliti dan bijaksana,
maka dikhawatiiirkan Putusan yang dihasilkan akan membawa dampak yang buruk bagi para
pihak yang berperkara dan terlebih lagi bagi masyarakat luas.

Anda mungkin juga menyukai