Makalah…!!!
OLEH:
JURUSAN PETERNAKAN
FAKULTAS PETERNAKAN
UNIVERSITAS HALU OLEO
KENDARI
2015
KATA PENGANTAR
Puji syukur kepada Allah SWT yang telah memberikan taufiq, hidayah,
rahmat dan karunia-Nya serta kelapangan berpikir dan waktu, sehingga saya dapat
menyusun dan menyelesaikan makalah dengan judul “Daging Segar Dan Cara
Mempertahankan Kesegarannya”. Makalah ini disusun sebagai tugas yang
diberikan oleh dosen mata kuliah "Dasar Teknologi Hasil Ternak".
Makalah ini ditulis dari hasil penyusunan data-data sekunder yang kami
peroleh dari buku, serta informasi dari media elektronik (internet) yang
berhubungan dengan “Daging Segar Dan Cara Mempertahankan Kesegarannya”.
Tak lupa saya ucapkan terima kasih kepada pengajar mata kuliah “Dasar
Teknologi Hasil Ternak” atas bimbingan dan arahan dalam penulisan makalah ini.
Akhir kata pengantar saya mengucapkan terima kasih karena telah
berkenan membaca makalah ini. Semoga memberikan manfaat kepada kita
semua.
penulis
DAFTAR ISI
Kata Pengantar
Daftar Isi
Ringkasan
BAB IPENDAHULUAN
A. Latar Belakang
B. Rumusan Masalah
C. Tujuan
BAB II ISI
A. Pengertian Daging Segar
B. Faktor yang Mempengaruhi Kualitas Daging
C. Cara Mempertahankan Kesegaran Daging
BAB III PENUTUP
Kesimpulan
Daftar Pustaka
BAB I
PENDAHULUAN
C. Tujuan
Tujuan penulisan makalah ini yaitu sebagai berikut :
1. Untuk mengetahui Pengertian Daging segar
2. Untuk mengetahui Faktor yang Mempengaruhi kualitas Daging
3. Untuk mengetahui Cara Mempertahankan Kesegaran Daging/Karkas
BAB II
ISI
A. Pengertian Daging Segar
Daging segar (fresh meat) adalah daging yang telah mengalami perubahan fisik
dan kimia setelah proses pemotongan, tetapi belum mengalami pengolahan lebih
lanjut seperti pembekuan, penggaraman (curing), pengasapan (smoking) dan
sebagainya. Daging merupakan bahan pangan yang penting dalam memenuhi
kebutuhan gizi.
Selain mutu proteinnya tinggi, pada daging terdapat pula kandungan asam
amino esensial yang lengkap dan seimbang. Keunggulan lain, protein daging
lebih mudah dicerna ketimbang yang berasal dari nabati. Bahan pangan ini juga
mengandung beberapa jenis mineral dan vitamin.
Daging dikenal sebagai bahan makanan yang mudah rusak (perishable food)
dan bahan makanan yang memiliki potensi mengandung bahaya (potentially
hazardous foods atau PHF). Bahaya yang mungkin dapat ditemukan dalam daging
terdiri dari bahaya biologis (misalnya bakteri, kapang, kamir, virus dan parasit),
bahaya kimia (misalnya residu antibiotika, residu hormon, cemaran logam berat),
dan bahaya fisik (misalnya serpihan tulang, serpihan pecahan kaca).
B. Faktor Yang Mempengaruhi Kualitas Daging
Dalam pemotongan ternak ada 2 faktor yang dapat mempengaruhi kualitas daging
yaitu:
1. Faktor Sebelum pemotongan terdiri dari
a. Genetic/Keturunan
Nilai heritabilitas keempukan daging sapi sekitar 45%, artinya
45% keempukan daging sapi saat dimasak ditentukan oleh faktor
genetik atau tetua ternak yang dipotong. Faktor genetik akan menentukan
keempukan daging antargrade dan potongan daging sejenis.
b. Spesies
Dari taksonomi ternak yang paling diperhatikan yaitu spesiesnya, karena spesies
menentukan apakah ternak tersebut banyak dipelihara di Indonesia, mampu
memproduksi daging atau susu, serta mempunyai produksi daya adaptasi yang
tinggi, dan sebagainya. Spesies menentukan tingkat perdagingan suatu ternak.
c. Bangsa
Bangsa ternak termasuk kedalam factor genetic atau factor keturunan. Bangsa
suatu ternak juga menentukan kualitas suatu daging ternak itu sendiri. Misalnya
ternak sapi-sapi introduksi, seperti: 1) sapi limousine, persentase daging dalam
karkas cukup tinggi, 2) sapi angus, mempunyai kemampuan dalam menurunkan
marbling (perlemakan dalam daging) ke anak-anaknya. 3) sapi Hereford,
perdagingannya tebal. Dan sebagainya. Jadi dilihat dari bangsa ternak itu sendiri
sangat penting dalam mennentukan kualitas daging.
d. Tipe ternak
Tipe ternak menentukan keempukan daging itu sendiri, seperti tipe ternak potong
dan tipe ternak perah. Tipe ternak potong lebih empuk daripada tipe ternak perah.
Karena tipe ternak potong itu sendiri dipelihara untuk menghasilkan daging, dan
sebaliknya.
e. Umur
Semakin tua usia hewan, susunan jaringan ikat semakin banyak, sehingga daging
yang dihasilkan semakin liat, jika ditekan dengan jari, daging yang sehat akan
memiliki konsistensi kenyal (padat). Umumnya daging yang berasal dari sapi tua
akan lebih liat dibandingkan dengan daging yang berasal dari sapi muda. Hasil
penelitianpun menunjukkan bahwa umur potong sapi berkorelasi positif dengan
keempukan daging yang dihasilkannya, artinya makin tua ternak sudah dapat
dipastikan dagingnya akan lebih liat. Daging yang berasal dari sapi tua baunya
lebih menyengat dibandingkan dengan daging yang berasal dari sapi muda.
Ternak sapi tua yang gemuk akan menghasilkan daging yang berlemak oleh
karena itu rasanya akan lebih gurih dan banyak disukai konsumen. Selain itu
daging yang berlemak kandungan airnya lebih sedikit sehingga pada saat dimasak
penyusutannya tidak terlalu besar.
Umur ternak saat dipotong berpengaruh terhadap keempukan daging. Sapi yang
dipotong pada umur 9-30 bulan umumnya memiliki daging yang empuk. Sapi
betina yang digunakan sebagai induk, dagingnya menjadi kurang empuk saat
umurnya tua. Keempukan daging menurun sejalan dengan bertambahnya umur
ternak.
f. Pakan dan Bahan Aditif (Hormone, Antibiotic, dan Mineral)
Ternak yang digemukkan dengan pakan biji-bijian cenderung mencapai bobot
potong lebih cepat dibanding ternak yang mendapat pakan dari padang
penggembalaan. Dengan demikian, daging dari ternak yang diberi pakan biji-
bijian biasanya lebih empuk karena ternak dipotong pada umur lebih muda.
g. Keadaan Stress
DFD (Dark Firm Dry)
Daging Dark Firm Dry (DFD) yaitu daging yang berwarna gelap, bertekstur keras,
kering, memiliki nilai pH tinggi dan daya mengikat air tinggi. Daging ini
dihasilkan akibat ternak kelelahan setelah mengalami transportasi yang jauh,
sehingga terjadi perubahan dalam sifat fisik, kimia maupun sensori. pigmen yang
memberikan warna pada daging adalah struktur hem. Hem ini berkombinasi
dengan protein membentuk hemoglobin dan mioglobin.
PSE (Pale Soft Exudatife)
Daging PSE (Pale Soft Exudative) disebabkan Stress dalam waktu yang lama
sebelum penyembelihan sehingga pH tetap tinggi setelah penyembelihan.
Produksi asam laktat postmortem dari glikogen yang sangat cepat dan tidak
terkendali, sehingga mengakibatkan pH daging yang sangat rendah sesaat setelah
pemotongan, sementara temperatur otot masih tetap tinggi. Daya ikat air oleh
proteinnya sangat rendah. Penurunan pH yang cepat, seperti pada saat pemecahan
ATP yang cepat, akan mengakibatkan kontraksi aktomiosin dan menurunkan DIA
protein. Demikian pula suhu yang tinggi akan mempercepat penurunan pH otot
pascamerta, dan akan meningkatkan penurunan DIA sebagai akibat dari
meningkatnya denaturasi protein otot dan meningkatnya perpindahan air keruang
ekstraselular.
2. Faktor Sesudah Pemotongan terdiri dari:
a. Metode Pelayuan
Pelayuan adalah penanganan daging segar setelah penyembelihan dengan cara
menggantung atau menyimpan selama waktu tertentu pada temperatur di atas titik
beku daging (-1,50C). Daging yang kita beli di pasar atau swalayan adalah daging
yang telah mengalami proses pelayuan. Selama pelayuan, terjadi aktivitas enzim
yang mampu menguraikan tenunan ikat daging. Daging menjadi lebih dapat
mengikat air, bersifat lebih empuk, dan memiliki flavor yang lebih kuat. Hewan
yang baru dipotong dagingnya lentur dan lunak, kemudian terjadi perubahan-
perubahan sehingga jaringan otot menjadi keras, kaku, dan tidak mudah
digerakkan. Keadaan inilah yang disebut dengan rigor mortis.
Tujuan dari pelayuan daging adalah: (1) agar proses pembentukan asam laktat
dari glikogen otot berlangsung sempurna sehingga pertumbuhan bakteri akan
terhambat, (2) pengeluaran darah menjadi lebih sempurna, (3) lapisan luar daging
menjadi kering, sehingga kontaminasi mikroba pembusuk dari luar dapat ditahan,
(4) untuk memperoleh daging yang memiliki tingkat keempukan optimum serta
cita rasa khas.
b. Metode Pemasakan
Daging dengan jaringan ikat sedikit seperti has, dianjurkan dimasak dengan
pemanasan kering (goreng, bakar, panggang, barbeque). Daging dengan jaringan
ikat banyak seperti sengkel, dianjurkan dimasak secara lama dan lambat dengan
suhu rendah dan menggunakan sedikit air. Suhu pemasakan memengaruhi
keempukan daging. Jika daging tanpa lemak dipanaskan, protein kontraktil
mengeras dan cairan hilang sehingga menurunkan keempukan daging. Potongan
daging yang empuk bila dimasak pada suhu rendah akan menjadi lebih empuk
dibanding pemasakan pada suhu sedang, dan dengan pemasakan suhu sedang,
daging lebih empuk dibanding pemasakan dengan suhu tinggi. Oleh karena itu,
suhu pemasakan perlu diperhatikan untuk menghasilkan daging yang empuk.
Susut masak adalah perhitungan berat yang hilang selama pemasakan atau
pemanasan pada daging. Pada umumnya, makin lama waktu pemasakan makin
besar kadar cairan daging hingga mencapai tingkat yang konstan. Susut masak
merupakan indicator nilai nutrisi daging yang berhubungan dengan kadar jus
daging yaitu banyaknya air yang terikat dalam dan diantara serabut otot. Jus
daging merupakan komponen dari daging yang ikut menetukan keempukan
daging.
BAB III
PENUTUP
Daging segar (fresh meat) adalah daging yang telah mengalami perubahan
fisik dan kimia setelah proses pemotongan, tetapi belum mengalami pengolahan
lebih lanjut seperti pembekuan, penggaraman (curing), pengasapan (smoking) dan
sebagainya.
Daging merupakan bahan pangan yang penting dalam memenuhi
kebutuhan gizi. Selain mutu proteinnya tinggi, pada daging terdapat pula
kandungan asam amino esensial yang lengkap dan seimbang. Keunggulan lain,
protein daging lebih mudah dicerna ketimbang yang berasal dari nabati. Bahan
pangan ini juga mengandung beberapa jenis mineral dan vitamin.
Daging dikenal sebagai bahan makanan yang mudah rusak (perishable
food) karenanya itu kita inginkan kesegaran daging tetap terjaga meski di simpan
dalam waktu yang cukup lama, untuk mempertahankan kesegaran daging dapat di
lakukan dengan 2 cara yaitu dengan cara pendinginan dan pembekuan dengan
suhu yang telah di tentukan.
DAFTAR PUSTAKA
http://vinaekaprasetianaa.blogspot.com/2016/12/makalah-teknologi-hasil-ternak-
daging.html