MAKALAH DOMESTIKASI
DAN ADAPTASI TERNA POTONG
OLEH :
RESA ARDIANSYAH
I011191046
PETERNAKAN B1
FAKULTAS PETERNAKAN
UNIVERSITAS HASANUDDIN
MAKASSAR
2021
Domestikasi
Domestikasi adalah suatu budi daya yang menyebabkan perubahan genetik
pada tumbuhan ataupun hewan yang dilakukan oleh manusia. Proses domestikasi ini
membutuhkan waktu yang bertahun-tahun karena melibatkan sebuah seleksi dan
pemuliaan (perbaikan keturunan) yang menghasilkan sebuah varietas atau spesies baru
(spesiasi).
Domestikasi bisa disebut sebagai bentuk evolusi akibat proses adaptasi dari
lingkungan liar ke lingkup kehidupan sehari-hari manusia. Oleh karena itu, spesies baru
yang terbentuk akan memiliki karakter yang berbeda dengan nenek moyangnya. Yuk,
kita simak penjelasan singkat untuk domestikasi pada hewan dan tumbuhan di dalam
artikel ini.
Domestikasi hewan
Proses domestikasi pada hewan tampaknya sudah terjadi sejak zaman
Mesolitikum (10.000 SM). Menurut bukti sejarah tertua, anjing adalah hewan pertama
yang didomestikasi di daerah Asia Timur. Hal ini diperkuat dengan ditemukannya
kerangka-kerangka anjing yang berusia 8000 dan 7000 SM. Selain itu, kerangka kucing
peliharaan tertua yang berusia 6000 SM juga ditemukan di daerah Siprus.
Hewan ternak seperti domba dan kambing juga diyakini telah didomestikasi
sejak tahun 7000 SM. Hewan-hewan ini didomestikasi karena kebutuhan manusia saat
itu. Misalnya, anjing didomestikasi untuk keperluan berburu, kucing didomestikasi
untuk mengatasi gangguan tikus di lumbung padi, sedangkan domba dan kambing
didomestikasi untuk produksi pangan, bulu, susu, serta komoditas perdagangan.
Salah satu contoh evolusi dari anjing. Serigala diyakini merupakan nenek
moyang dari anjing. Morfologi dan karakternya berubah setelah terjadi domestikasi di
berbagai negara yang menyebabkan berbagai macam keanekaragaman spesies anjing
di dunia (Sumber: Discover Biology, Edisi Kedua, Bab ke-21, tahun 2002).
Terdapat berbagai cara untuk mengatasi atau mengurangi stres pada ternak, di
antaranya dengan melakukan penyesuaian diri yang optimal dari ternak tersebut
terhadap lingkungannya melalui adaptasi (genetik ataupun fenotipik), aklimasi,
aklimatisasi, dan habituasi.
Individu ternak yang mengalami lingkungan stres, tingkah laku hidupnya akan
berubah. Perubahan tersebut tampak pada tingkah laku makan, minum, tidur, aktivitas
seksual, dan gerak-geriknya. Akibatnya, produktivitas, reproduktivitas dan daya tahan
lingkungan tubuhnya menurun atau merosot. Jika konsumsi ransum turun
maka produksi daging, telur, susu, wol, dan anak akan turun pula.
Demikian pula, apabila konsumsi air turun maka konsumsi makanan atau
ransum juga akan turun. Tubuh yang kurang memperoleh zat-zat makanan dan
minuman, akan rentan terhadap serangan berbagai penyakit. Akibatnya, akan terjadi
morbiditas (sakit-sakitan) yang tinggi, bahkan mungkin mortalitas (kematian). Ternak
yang morbid, efisiensi penggunaan makanan atau konversi makanannya menjadi jelek.
Jika sampai terjadi hal-hal seperti itu maka peternak akan mengalami kerugian.
Contoh lain akibat stres adalah perubahan tingkah laku lingkungan dimana
terjadi pada ternak poikiloterm (berdarah dingin). Tingkah laku biologis (ethology)
ternak poikiloterm, sedikit banyak berbeda dari ternak homeoterm (berdarah panas).
Ternak poikiloterm, buaya misalnya, sangat terbatas kesanggupannya dalam
menyesuaikan diri terhadap lingkungan, misalnya penyesuaian terhadap udara panas.
Jika ada perubahan cuaca dari dingin ke panas maka buaya relatif lama
menyesuaikan panas tubuhnya sehingga ia harus berjemur di bawah panas terik
matahari dalam waktu lama. Demikian pun jika ia terkejut atau diganggu secara
mendadak maka tingkah laku yang ditunjukkannya adalah kabur atau lari cepat,
kemudian jika marah (pada manusia biasanya terlihat merah mukanya) atau bahkan
menyerang (flee, fright, or fight; Cannon’s emergency syndrome). Tingkah laku
penyesuaian buaya seperti ini dan juga hewan liar lain di alam bebas ini lama-kelamaan
bisa berubah setelah ia didomestikasi atau diternakkan terkurung dalam kandang.
Lingkungan hidup ternak merupakan salah satu faktor yang paling penting
karena lingkungan hidup terdiri dari berbagai faktor. Tidak semua ternak memiliki
penyesuaian daya adaptasi yang sama terhadap lingkungan tertentu; dalam satu spesies
bahkan juga subspesies, terdapat juga perbedaan daya adaptasi terhadap lingkungan.
Lingkungan hidup ternak dalam pengertian sempit adalah udara yang dihirup, lantai
tempat ternak berpijak, dan sarana-sarana di mana ternak dipelihara atau dikurung.
Salah satu faktor yang sukar diatasi oleh ternak adalah faktor adaptasi
penyesuaian panas yang umum dihadapi di wilayah tropis. Walaupun demikian,
sebetulnya ternak memiliki penyesuaian pengatur panas dingin atau penyesuaian
termoregulator dingin panas di dalam sistem tubuhnya. Termoregulator utama yang
tersedia pada setiap spesies adalah bulu penutup (rambut, bulu, wol) dan kelenjar
keringat.
Antara zone termonetral dengan zone panas disebut batas temperatur tinggi
(upper critical temperature, UCT). Apabila ternak berada dalam suasana sangat panas
yang terus meningkat, penyesuaian tubuh tidak dapat lagi mengatasinya dan akhirnya
ia akan mati; demikian juga halnya dalam suasana dingin yang terus menurun, ia akan
mati juga karena cuaca dingin. Dalam suasana atau kondisi kepanasan ataupun
kedinginan, metabolisme dalam tubuh ternak berubah sehingga penggunaan energi dari
makanan tidak akan efisien lagi.