Anda di halaman 1dari 16

Pertemuan 14

MEMBANGUN
KUALITAS BERIMAN

Tujuan:
Mahasiswa mampu:
1. Menjelaskan pengertian spiritual dalam perspektif kesadaran diri manusia
dalam dunianya (C2, C4).
2. Menjelaskan implikasi perkembangan imu pengetahuan dan teknologi yang
bersifat materialistis pada dimensi spiritualitas kemanusiaan (C3, C4).
3. Mampu bersikap kritis dan bijak, mempertahankan dan mengembangkan
religiositas serta harkat dan martabat nya sebagai manusia yang ransendental
berhadapan dengan tantangan yang zamannya (A 3, P 3).
4. Mengetengahkan kearifan lokal dan menjadi diri pribadi yang utuh
Di tengah tantangan zamannya (A3, P3).
Metode:
1. Ceramah
2. Diskusi
3. Tanya jawab
Waktu: 100 menit
Media/Alatbantu:
 White-board
 Infocus
 Spidol
 Gambar/film
Bahan Bacaan:
 Subagya Petrus Damianus dan Tim Dosen Religiositas UMN,
Religiositas. Tangerang: 2017 dan 2018
 Franz Magnis Suseno,Menalar Tuhan.Yogyakarta; Kanisius,2006
 Bakker,Anton.Ontologi atau Metafisika Umum; Filsafat Pengada dan
Dasar-dasar Kenyataan.Yogyakarta;Kanisius.1992
 Dahler,Franz/Eko Budianta.Pijar Peradaban Manusia Denyut Harapan
Evolusi.Yogyakarta;Kanisius.2000
 Leahy,Louis. Manusia di hadapan Allah, Jalan-jalan terbuka menuju
Allah. Jilid 1,2,3 Yogyakarta; Kanisius.1982

Pengertian dan Relevansi


Beriman dipahami sebagai perwujudan dari ajaran-ajaran agama. Beriman sebagai
kepercayaan penuh kepada Tuhan dengan menjalankan perintah-Nya.Beriman bisa juga
dimengerti sebagai tanggapan atas tawaran Tuhan kepada manusia. Menurut KBBI, beriman
dipahami sebagai ketetapan hati, keteguhan hati kepada Tuhan1 . Inti sari beriman adalah
ketakwaan. Ketakwaan yang didasari oleh keteguhan hati manusia untuk menjalankan kehendak
Tuhan. Pribadi yang religius dengan demikian adalah pribadi yang mampu melaksanakan atau
mengimplementsikan ajaran agamanya dalam sikap dan perilaku sehari-hari.
Kualitas menurut KBBI dipahami sebagai tingkat baik buruk sesuatu; kadar; mutu. Kualitas
beriman menegaskan kadar atau mutu keyakinan seseorang dalam relasinya dengan Tuhan. Bisa
dikatakan sejauh mana seseorang memiliki keyakinan atas apa yang terjadi dalam hidupnya
dilandasi oleh kepercayaannya kepada Tuhan. Ukuran kadar beriman bukan secara matematis
(angka), melainkan terwujud dalam pola pikir dan sikap hidup yang diperlihatkan dalam
menanggapi, menghadapi, dan menjalani realitas hidup berdasarkan relasinya dengan Tuhan.
Menjadi pribadi yang religius – tidak sekadar beragama – di zaman modern ini memang
tidak mudah; ada banyak dan beragam tantangan. Tantangan itu antara lain, apakah dengan
beragama dan menjadi pribadi yang religius kita manusia masih bebas; tidakah agama dengan
segala aturannya ( seperti ditegaskan oleh para ateis ) merampas kebebasan manusia? Tatangan
terbesar umat beriman adalah kenyataan bahwa dalam dunia ini ada kejahatan dan penderitaan.
Menurut Leahy2, kenyataan ini merupakan sebab utama orang menjadi ragu-ragu dan merasa
mau memberontak melawan Allah. Secara sederhana, masalahnya dapat dirumuskan sebagai
berikut: “Mengapa Allah Yang Maha Baik, Maha Kasih, Maha adil, Maha Tahu mengizinkan
adanya kejahatan dan penderitaan dalam dunia ini?”
Manusia berencana, Tuhan yang menentukan merupakan salah satu motto untuk
menegaskan adanya perbedaan signifikan antara Tuhan dengan manusia. Perbedaan antara
kehendak Tuhan dan keinginan manusia disampaikan oleh Nabi Yesaya yang mengatakan:”
Rancangan-Ku bukanlah rancanganmu, dan jalanmu bukanlah jalan-Ku” (Yes 55:8).
_____________________________
1
.Depertemen Pendidikan Dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia,
Jakarta: Balai Pustaka, hal 372.
2
. Frans Magnis-Suseno, Menalar Tuhan, Yogyakarta: 2006, Penerbit Kanisius hal. 216-217
3
.Subagya Petrus Damianus dan Tim Dosen Religiositas UMN, Religiositas, Tangerang: 2017,
UMN Press, hal 225.
Demikian dalam kehidupan beriman, seringkali kita manusia dihadapkan pada kenyataan
bahwa apa yang diharapkan dan diinginkan tidak terjadi. Malahan seringkali kita harus
menanggung musibah, menderita sakit, dan kesulitan padahal kita sudah berupaya
menghindarinya dan berdoa kepada Tuhan. Terlebih lagi kita hidup di dunia yang terus berubah,
tumbuh dan berkembang; kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi - utamanya teknologi
informasi dan media sosial - yang tidak jarang justru merusak hakekat dan martabat manusia
sebagai citra .
Dihadapkan pada berbagai tantangan kehidupan yang ada di dunia ini, tentu saja kita
harus tetap mampu menjadi pribadi yang religius; pribadi yang teguh berdiri dan kuat kokoh
untuk meyakini bahwa kehendak Tuhan senantiasa yang utama dan terutama bagi hidup kita.
Teguh dan kokoh kuat untuk mewujudkan iman dan takwa; teguh dan kokoh kuat untuk
membangun humanisme transendental yang adalah panggilan mulia kita sebagai umat beriman.

Sebagai pribadi dan komunitas yang religius, bagaimanakah kita harus bersikap berhadapan
dengan berbagai tantangan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi yang bersifat materialistis
tersebut? Nah, itulah pokok pembahasan kita pada topik ke 14 ini.

Tuhan, Citra Dan Kebebasan Manusia


Usaha memahami dan menghayati kebebasan manusia dalam kaitan keberimanan,
mengarah pada dua pertanyaan besar dan penting: Apakah Tuhan mengendalikan manusia
sehingga manusia tidak dapat bebas ? Dan Jika Tuhan mengetahui segala sesuatu yang akan
terjadi pada masa yang akan datang, khususnya bagi manusia, apakah manusia sungguh-
sungguh bebas ? Bagaimana dengan nasib dan takdir ?
Terkait Persoalan Pertama, pendapat Jean Paul Sartre menarik untuk dipahami. Sartre
mengatakan:” Tuhan Harus ditolak supaya manusia seratus persen bebas. Karena jika Tuhan
diakui ada dan diimani manusia maka Tuhan akan menentukan segala-galanya bagi manusia.
Dengan demikian manusia menjadi tidak bebas4 ”. Apakah kekuatiran Sartre ini beralasan ?
Pada kenyataannya, kekuatiran ini tidak beralasan karena Tuhan telah menciptakan dengan cara
sedemikian rupa agar manusia memanfaatkan segenap daya hidup dan potensinya untuk
bertsnggungjawab dihadapan-Nya. Tanggungjawab itu tak mungkin diharapkan dari manusia
jika Tuhan mengendalikan hidup manusia seperti dalam wayang.
_____________________________________
4
Frans Magnis-Suseno, Menalar Tuhan, Yogyakarta: Penerbit Kanisius, 2006, hal. 210
Manusia adalah ciptaan Tuhan yang paling mulia, tetapi manusia sebagai ciptaan memang
lebih lemah dari Tuhan Sang Pencipta. Keberadaan Tuhan sebagai yang Maha Kuasa justru
membuat manusia semakin hebat, atau dengan kata lain: Tuhan itu pada kenyataannya
memberdaya manusia, dan bukan memperdaya manusia. Tuhan menjadikan manusia memiliki
daya atau kemampuan untuk melakukan segala sesuatu sesuai dengan kehendakNya. Tuhan
tidak memperdaya manusia. Tuhan tidak beraing dengan manusia. Manusia dan Tuhan memiliki
“area” yang berbeda, sehingga tidak mungkin bersaing dan saling memperdaya. Yang ada
hanyalah bahwa Tuhan memberdayakan manusia5. Hal ini menjadi mungkin, karena Tuhan itu
Maha Kuasa. Ia mampu membuat manusia memiliki daya yang penuh. Dengan kemampuan
yang dimilikinya, manusia kemudian mampu menentukan pilihan secara bebas dalam
menanggapi berbagai peristiwa atau tantangan hidupnya.
Peran Tuhan terkait dengan kebebsan manusia adalah memberikan nilai atau bobot terhadap
pilihan manusia. Nilai-nilai itu menjadi acuan yang baik sehingga kebebasan manusia yang
dihayati lebih bermakna dan penuh arti secara spiritual juga. Kekuatan atau daya, atau
kemampuan yang dimanfaatkan manusia secara bebas menjadi semakin bermakna.
Mengenai Persoalan Kedua, jika Tuhan mengetahui segala sesuatu maka Ia mengetahui apa
yang akan datang. Lalu bagaimanakah dapat dikatakan bahwa saya benar-benar bebas ?
Bagaimanakah dengan nasib dan takdir ? Ada dua jawaban yang bisa kita telaah yakni :
Pertama. Pada kenyataannya apa yang kita alami dan ketahui bahwa kita bebas. Kita bebas
memutuskan apa yang mau kita lakukan. Kita bebas mengambil sikap terhadap berbagai
tantangan dan rangsangan. Kita juga tahu bahwa apa yang kita putuskan terkandung suatu
tanggungjawab. Kebebasan merupakan ciri tindakan manusia.Semakin seseorang itu melakukan
yang baik, semakin bebaslah dia. Kebebasan semakin sempurna bila diarahkan kepada
Allah.Bahkan, kebebasan juga berarti kemungkinan untuk memilih antara yang baik dan yang
jahat. Pilihan akan yang jahat merupakan penyalahgunaan kebebasan dan akan berujung pada
perbudakan dosa. (Lih.Kopendium 363).
Kedua.Dalam konteks relasi dengan Tuhan.Kita sadari bahwa ada batas prinsipil dalam
memahami Tuhan.Artinya, kita bisa bicara tentang Tuhan tetapi kita tidak pernah bisa seutuhnya
masuk dalam pengetahuan tentang Tuhan dan pengetahuan Tuhan.
________________________________
5
Subagya Petrus Damianus dan Tim Dosen Religiositas UMN, Religiositas, Tangerang: UMN
Press, 2017, hal.226-227.

Kedua.Dalam konteks relasi dengan Tuhan.Kita sadari bahwa ada batas prinsipil dalam
memahami Tuhan.Artinya, kita bisa bicara tentang Tuhan tetapi kita tidak pernah bisa seutuhnya
masuk dalam pengetahuan tentang Tuhan dan pengetahuan Tuhan.Ada banyak hal yang kita
tidak ketahui berkaitan dengan Tuhan.Maka , soal nasib dan takdir, sebaiknya kita bersikap
bijaksana dengan membuka diri terus menerus atas penyelenggaraan ilahi dan berusaha
menyerap makna dari berbagai peristiwa yang terjadi dalam hidup kita.

Tuhan Dan Ciptaan


Hubungan Tuhan dan dunia juga dapat diteropong dari fakta mengenai adanya kejahatan
dan penderitaan yang dialami manusia.
1. Realitas Kejahatan dan Penderitaan
Penderitaan bukan hanya sekedar sakit atau bencana. Penderitaan adalah suatu kondisi
dimana manusia tidak mampu lagi mendapatkan jawaban atas apa yang terjadi. Manusia harus
mengalami, menanggung, dan menjalani namun tidak mengetahui sebab dan tujuan.Lebih dari
itu, manusia sudah berusaha dengan segenap daya namun tetap juga tidak bisa menemukan
solusi dan jawabannya.
Tuhan dan penderitaan mengungkapkan dilema beriman. Jika Tuhan maha baik dan maha
kasih, mengapa ada bencana alam yang menimbulkan penderitaan bagi manusia ? Jika Tuhan
maha adil, mengapa orang-orang miskin tetap menderita karena kemiskinannya meskipun sudah
bekerja keras tanpa henti ? Sementara, mengapa orang yang sudah kaya raya dan berkecukupan
rejekinya semakin berlimpah ruah, kekayaan semakin banyak, dan usahanya berkembang pesat ?
Jika Tuhan maha tahu, mengapa ketika orang mau melakukan teror dengan bom bunuh diri tidak
menggagalkan niat atau rencana orang itu sehingga ledakan bom tersebut mengakibatkan
banyak orang celaka ? Atau mengapa ketika rem bus yang mengangkut banyak penumpang
blong, jika Tuhan maha kuasa tidak mengatasi sehingga kecelakaan tidak terjadi ?.Pertanyaan-
pertanyaan dilematis ini dianggap sebagai “skandal” dalam keberimanan manusia.Bisa juga
dikatakan bahwa pertanyaan-pertanyaan itu merupakan ungkapan gugatan manusia terhadap
keberadaan Tuhan.
Fakta adanya penderitaan dan kepercayaan bahwa Tuhan maha segalanya merupakan
masalah besar dalam teodisea7. Teodisea berasal dari kata “theos” yang berarti Tuhan, dan
_____________________________
7
Fran Magnis – Suseno, Menalar Tuhan. Yogakarta: Penerbit Kanisius, 2006, hal.216-233
“dike” yang berarti keadilan. Teodisea menurut pemikir berkebangsaan Jerman, Gottfried
Wilhelm Leibniz (1646-1716) adalah paham pembenaran Allah.Artinya adanya kejahatan dan
penderitaan yang terlihat bertentangan dengan keberadaan Allah yang maha tahu, maha baik,
maha kuasa, sehingga Allah seakan-akan perlu dibenarkan.
Teodisea menyodorkan dua jawaban dengan membedakan dua keburukan yakni keburukan
moral (malum morale) dan keburukan fisik (malum physicum)8. Kedua keburukan ini
menimbulkan penderitaan bagi manusia dan memiliki konsekuensi pada keberimanan manusia.
Keburukan moral (malum morale) menyangkut sikap moral manusia.Keburukan moral dipahami
sebagai kejahatan dalam arti sesungguhnya. Kejahatan yang dilakukan manusia dan
menimbulkan penderitaan bagi manusia merupakan fakta bahwa manusia bisa berkemauan dan
berbuat jahat.Fakta itu berkaitan erat dengan kebebasan manusia. Meskipun manusia bisa
berbuat baik karena kebebasannya, tetapi ia juga bisa berbuat kejahatan karena kebebasan yang
sama. Hal ini menjadi resiko bagi Tuhan karena Ia menciptakan manusia dengan akal budi,
kehendak, serta kebebasannya.
Keburukan moral menitik tekankan kepada obyek, tujuan, dan konteks buruk.Tidaklah
bisa dibenarkan melakukan suatu kejahatan agar kebaikan dapat muncul darinya.Misalnya
Robinhood merampok harta orang kaya untuk memberi makan orang miskin.Tujuan yang baik
tidak membuat suatu tindakan itu baik jika obyek tindakan itu buruk karena tujuan tidak
menghalalkan sarana.Demikian juga dengan tujuan yang jahat merusak tindakan, bahkan
walaupun obyeknya itu baik pada dirinya sendiri.Berkaitan dengan konteks, konteks tidak
pernah dapat membuat suatu tindakan yang buruk pada dirinya sendiri menjadi baik.Ada
tindakan-tindakan yang selalu buruk dari dirinya sendiri karena obyeknya, yakni menghujat
Allah, pembunuhan manusia, dan perzinaan.Memilih tindakan-tindakan tersebut menyebabkan
kekacauan kehendak. Suatu keburukan moral tidak pernah dapat dibenarkan dengan menunjuk
kepada akibat baik yang mungkin muncul darinya.
Keburukan fisik (Malum Physicum), menurut Leibnize dibedakan anatara keburukan
metafisik (bencana alam) dengan keburukan fisik (penyakit).Keburukan metafisik sudah ada
dengan sendirinya karena termuat dalam pengertian “alam ciptaan”yang tidak sempurna.

____________________________________
8
Subagya Petrus Damianus dan Tim Dosen Religiositas UMN, Religiositas, Tangerang: UMN
Press, 2018, hal. 380-382.

Pengertian ini untuk membedakan dengan Sang Pencipta yang sempurna. Sedangkan keburukan
fisik (penyakit, penderitaan) dipahami sebagai: a. Upaya untuk lebih berhati-hati dalam menjaga
kesehatan. b. hukuman agar kita memperbaiki diri. Jadi penderitaan bisa saja terjadi karena
bencana alam; bisa juga karena akibat dari perilaku manusia.
2. Tantangan Beriman Dalam Masalah Penderitaan
Pada umumnya para filosof menganggap hal kejahatan sebagai masalah yang masih
lebih besar daripada masalah adanya penderitaan. Namun sebetulnya masalah yang sungguh
menantang iman adalah mengapa Allah mengizinkan penderitaan9. Orang yang menyatakan diri
percaya pada Allah yang Mahakuasa dan Baik hati tidak dapat lari dari penderitaan. jadi
pertanyaannya adalah bagaimana Allah dapat mengizinkan penderitaan terjadi?
Setiap kali kita mengalami bencana atau melihat betapa sebuah bencana merusak hidup
seseorang atau sekelompok orang, timbul pertanyaan apakah mesti Allah membangun dunianya
di atas penderitaan orang yang tidak bersalah? Masalah ini sebetulnya telah diberi rumusan baku
sejak lebih dari 2000 tahun lalu oleh Epikuros, seorang filsuf Yunani Kuno. Ia menganjurkan
agar manusia hidup tanpa memedulikan desa-dewi. Ini adalah tentang kehidupan kita sendiri. Ini
tentang dunia kita sendiri yang memang carut marut diwarnai banyak penderitaan.
Dengan dingin Epikuros menyatakan ada empat kemungkinan sikap dewa dewi terhadap
keburukan dunia yakni1) Dia mau tetapi tidak mampu; atau 2) Dia mampu, tetapi tidak mau;
atau 3) Dia tidak mau, juga tidak mampu; atau 4) Dia mau juga mampu. Tiga kemungkinan
pertama, jika itu dikaitkan dengan keberadaan Allah, tidak dapat diterima karena bertentangan
dengan hakekat Allah yang mahakuasa dan mahabaik, sedangkan kemungkinan keempat
kelihatannya bertentangan dengan kenyataan bahwa di sekeliling kita ada banyak sekali
keburukan. Secara sederhana, dilema tersebut dapat dirumuskan sebagai berikut: Penderitaan
itu, atau tidak dapat, atau tidak mau dihindari olehNya. Apabila yang pertama, Allah tidak
Mahakuasa, sedangkan apabila yang kedua, Allah tidak Mahabaik dan itu pun tidak dapat
diterima oleh orang-orang beriman, atau sekurang-kurangnya tidak dapat diterima di dalam
wawasan filsafat ketuhanan.
_______________________________
9
Frans Magnis – Suseno, Menalar Tuhan, Yogakarta: Penerbit Kanisius, 2006, hal. 216-229
9
Subagya Perus Damianus dan Tim Dosen Religiositas UMN, Religiositas. Tangerang: UMN
Press 2018, hal.382-394
Perlu diperhatikan bawah pertanyaan teodisea pembenaran Allah yang Mahabaik dan
Mahakuasa berhadapan dengan pengalaman penderitaan ini tidak muncul dalam lingkungan
semua agama. Dalam pandangan-pandangan dualistik, penderitaan dijelaskan dengan prinsip
asali yang negatif. Misalnya, karena dunia ini terbentuk dari dua prinsip yakni positif dan
negatif, maka penderitaan yang dialami oleh manusia berasal dari kinerja prinsip negatif yang
berlaku dalam kehidupan. Dalam panteisme penderitaan individual seakan-akan tenggelam
dalam makna keseluruhan yang dihayati secara numinus. Begitu pula kepercayaan akan roda
kelahiran kembali yang seratus persen ditentukan oleh saldo karmatik masing-masing makhluk,
tak menunjukan jalan keluar dari penderitaan.
Masalah penderitaan hanya dapat muncul apabila Tuhan dipahami secara personal dan
dialogal, dan apabila masing-masing orang secara personal dianggap mempunyai nilai pada
dirinya sendiri. Penderitaan menjadi masalah justru karena Yang Ilahi dipahami, bahkan dialami
sebagai kekuatan yang peduli pada manusia, yang berbelaskasih, yang suka mengampuni
kesalahan manusia, dan yang menyembuhkan.
Atas dasar penghayatan Allah sebagai kekuatan yang peduli, menyelamatkan, dan
menyembuhkan kenyataan penderitaan menjadi semakin tidak dapat dimengerti. Salah satu
dokumen protes manusia religius terhadap kenyataan penderitaan ada di dalam Kitab Ayub.
Mengapa ada penderitaan? Apakah Allah tidak dapat menciptakan sebuah keadaan tanpa
menyiksa? Pertanyaan-pertanyaan itu bukanlah permainan logika para filosof melainkan
teriakan Ayub yang tersiksa, yang tidak sampai mengerti mengapa tetap ia alami meskipun
dengan itu ia memutuskan tidak meninggalkan kepercayaannya.
Di dalam tradisi Yudeo-Kristen memang ada pergulatan yang sangat lama berhubungan
dengan masalah penderitaan. 1) Ada yang menyebut bahwa penderitaan adalah hukuman Allah
atas dosa-dosa yang bersangkutan; 2) Ada yang menyebut bahwa melalui penderitaan,
sebetulnya Allah sedang mengasah manusia, Dia mencobai mutu manusia, dengan demikian
hanya manusia yang bertahan dalam penderitaan itulah pantas untuk menerima kebahagiaan
abadi di Surga; 3) Yang lain mengatakan bahwa Penderitaan itu memurnikan hati dan budi.
Pengalaman itu bernilai untuk meningkatkan mutu moral. Jadi semacam latihan agar seseorang
layak bagi Surga; Lalu pendapat lain 4) menyebut bahwa Manusia sebetulnya tidak pada
tempatnya untuk memperkarakan Allah. Juga dalam hal penderitaan, yang diminta adalah sikap
pasrah sebagai kehendak Allah.
Jika kita melihat semua tanggapan di atas, terdapat dua bagian besar pandangan mengenai
penderitaan yang dialami manusia. Bagian pertama, melihat penderitaan itu perlu dengan
berbagai macam argumentasi. Sedangkan bagian kedua, menegaskan bahwa manusia tidak
dalam posisi memersoalkan Allah.
Pertama, jika kita melihat penderitaan sebagai hukuman, pendapat ini tidak
memerhatikan bahwa ada juga orang, anak kecil misalnya, yang belum melakukan sesuatu yang
pantas dihukum, namun tetap tertimpa penderitaan. Tambahan pula, ada penderitaan yang
kelihatannya berlebihan dibanding dosa atau kesalahan yang pernah diperbuat. Jadi apakah
pantas diandaikan bahwa Allah menghukum dengan begitu kejamnya?
Kedua, jika penderitaan perlu untuk mendapat kebahagiaan di Surga, apakah Allah
yang Mahabaik pantas menuntut pembayaran yang begitu kejam dari orang yang akan masuk
surga? Terlebih lagi mengapa untuk masuk surga manusia harus membayarnya? Di tingkat
manusia saja seringkali kita membebaskan seseorang yang memang memerlukan sesuatu dan
mendapatkannya di dalam ketidakmampuannya. Jadi, jika Tuhan memiliki cinta yang tak
terbatas, apakah ia harus menyiksa manusia sebelum memperbolehkannya masuk surga.
Ketiga, bahwa di dalam penderitaan manusia dapat membuktikan kualitas dirinya,
tidak perlu disangkal. Namun kenyataan berbicara, ada juga orang yang malah menjadi pesimis
dan pahit hidupnya karena penderitaan yang melampaui batas kekuatannya. Jadi belum tentu
penderitaan itu selalu memberi efek positif. Sama seperti kasus perpeloncoan calon mahasiswa
yang dimaksud untuk menggembleng mental dan makin mengenal satu sama lain dalam
almamater ternyata justru menghasilkan pengalaman pahit, traumatis, dan dendam kesumat.
Apakah dalam kondisi demikianpun tetaplah yang disalahkan adalah reaksi manusia yang
sedemikian itu terhadap pengalaman penderitaannya? Apakah tidak ada kemungkinan lain yang
lebih baik bagi manusia yang berkehendak baik?
Penderitaan memang bisa saja memurnikan seseorang. Bahkan ada orang yang
menganggap penderitaan sebagai rahmat. Sebuah ujian untuk naik kelas.Tetapi apakah
pengertian ini berlaku bagi penderitaan atau penyiksaan sampai di luar batas? Bukankah
penderitaan di luar batas bisa meremukan orang? Lalu apa yang tersisa dari orang yang hancur
itu setelah melewati masa pemurniannya? Sedangkan akal sehat kita sebetulnya menolak asumsi
bahwa dunia akan lebih baik jika diwarnai penderitaan. Semua usaha dan kerja keras sepanjang
peradaban manusia dengan jelas menyampaikan pesan bahwa manusia percaya hidup mesti
lebih baik di dalam dunia yang mampu mengatasi penderitaannya.
Keempat, jika kemudian dinyatakan bahwa berhadapan dengan kehendak dan Rencana
Allah maka manusia harus diam, pendapat yang banyak dipakai di dalam tradisi Yudeo-Kristen
ini menyisakan pertanyaan fundamental, apakah wajar melarang orang untuk protes karena
merasa diperlakukan tidak adil sebagaimana dialami Ayub? Bukankah kecenderungan akal budi
manusia selalu memertanyakan keadaan-keadaannya?

3. Ketidaksempurnaan Hakiki pada Makhluk Ciptaan


Adalah Leibniz yang berargumen bahwa tidak mungkin Allah menciptakan dunia tanpa
adanya keburukan dan penderitaan. Masalahnya keburukan dan kemungkinan adanya
penderitaan berkaitan dengan keterbatasan dan ketidaksempurnaan yang hakiki bagi segala
ciptaan. Suatu makhluk terbatas selalu masih dapat menjadi lebih baik lagi keadaannya. Dengan
demikian ada juga kemungkinan makhluk itu belum mencapai kebaikan yang seharusnya
dicapai. Itulah hakekat keburukan, sebagai sesuatu yang tidak tercapai, padahal seharusnya
tercapai. Pada manusia, kenyataan tersebut merupakan penderitaan. pada kenyataannya memang
manusia, sebagai makhluk hidup dengan sendirinya ‘terbatas, lemah, dan mudah
terluka.”Karena kodratnya ia bisa usang, tua, bahkan mati. Karena itu sudah jelas bahwa
kemungkinan untuk menderita termasuk dalam kodrat manusia.
Jika Allah tidak dapat menciptakan alam dan manusia tanpa kemungkinan terjadinya
keburukan dan penderitaan, hal itu tidak berarti bahwa Allah tidak mahakuasa. Kita dapat
memahaminya bahwa Allah tidak dapat membuat hal-hal yang pada dirinya sendiri
bertentangan. Sebagai ciptaan pada kodratnya bisa rusak. Jadi ciptaan tidak bisa dibuat tidak
rusak, karena itu bertentangan dengan kodratnya. Allah tidak dapat membuat hal-hal yang pada
dirinya sendiri bertentangan juga dapat dibaca bahwa Allah bukan tidak mungkin mengulurkan
tangannya pada ciptaanNya. Tetapi kalau Allah setiap kali campur tangan, begitu ada orang
akan tersandung batu lalu ikut campur tangan, artinya Allah tidak membiarkan alam berjalan
menurut kodrat dan kekuatannya yang hakiki.
Allah memang tidak dapat mencegah kemungkinan untuk menderita, justru untuk
menunjukan keagungan penciptaan. Jadi, begitu Allah memutuskan untuk menciptakan alam
dengan seluruh isinya, tidak mungkin segala luka dan derita dapat dihindari. Allah memang mau
menciptakan alam raya sebagaimana kita mengenalnya. Tetapi bukan dengan pengenalan pasif
yang begitu saja menerimanya pasrah. Allah ingin manusia secara bebas merespons
penderitaannya dan menjawab panggilanNya. Bukannya Allah menghendaki segala penderitaan
dan kejahatan di dunia, melainkan tidak mencegahnya, karena Dia mau konsisten dengan
kehendaknya untuk menciptakan alam dan manusia seperti itu. Hegel dalam bahasa lain
mengatakan tanpa negativitas segi-segi positif eksistensi tidak dapat memeroleh bobot yang
sebenarnya. Secara sederhana, tanpa penderitaan, kita tidak mengenal tanggungjawab,
pengorbanan,kesetiaan, dan solidaritas.
Peranan Doa
Doa diartikan sebagai mengangkat hati dan budi menuju Allah, atau memohon hal-hal
baik kepada Tuhan sesuai dengan kehendak-Nya. Berdoa sebagai aktivitas manusia yang
mengangkat hati dan budinya kepada Tuhan.Dengan berdoa manusia memperoleh kekuatan.Hal
ini terjadi karena dalam berdoa manusia menyatukan cinta kasihnya dengan Tuhan.Kesatuan
cinta kasih itulah memberikan daya kekuatan bagi manusia untuk mampu berdiri kokoh dalam
menjalani kehidupan di dunia ini.Berbagai aral rintangan, beban hidup, kesulitan-kesulitan,
bahkan penderitaan sekali pun tetap mampu dijalani dan dilewati manusia pendoa.
Tuhan bukan melepaskan kesulitan termasuk penderitaan, namun Tuhan memampukan
manusia untuk melihat bahwa penderitaan itu punya arti bahkan tujuan.Bisa dikatakan bahwa
dibalik penderitaan sekali pun selalu ada makna yang luar biasa. Bisa saja penderitaan dimaknai
sebagai proses belajar hidup. Atau, penderitaan tanda penyucian diri untuk bisa bertobat dan
untuk menjadikan manusia yang lebih baik lagi.
Bagi orang beriman, segala peristiwa hidup di bawa dalam doa. Berdoa sebagai wujud
ungkapan kepercayaan dan pengakuan kepada Tuhan.Pada prinsipnya berdoa adalah suatu
komunikasi.Komunikasi antar dua pihak yang saling berinteraksi.Kualitas komunikasi sangat
ditentukan oleh keterlibatan pihak-pihak yang berkomunikasi tersebut. Secara umum
komunikasi bisa dibedakan dalam 3 hal yakni: Komunikasi Mulut (mouth to mouth). Artinya
komunikasi sekedarnya.Komunikasi yang terjadi hanya sebagai formalitas. Misal sapaan “hai,
apa kabar ?”. Kedua komunikasi Pikiran (brain to brain).Komunikasi yang terjadi seputar
pengetahuan belaka.Apa yang diketahui disampaikan tanpa harus ikut merasakan dan
menemukan solusi. Misal, kabar berita. Ketiga, Komunikasi Hati (heart to heart). Komunikasi
yang melibatkan seluruh keberadaan diri yang disertai perasaan dan pengetahuan.Misalnya,
berkeluhkesah.Apa yang dirasakan dan dialami sungguh-sungguh mempengaruhi diri dan
disampaikan dengan segenap perasaan. Komunikasi hati membuat kedua pihak bisa larut dalam
pengalaman dan sama-sama ikut terlibat meskipun tidak mengalami yang sama.
Berdoa sebagai komunikasi dengan Tuhan bisa dilakukan hanya dengan ungkapan
mulut.Orang yang berdoa itu menyampaikan dalam kata-kata namun tidak dilandasi oleh
rasa.Bisa dikatakan berdoa sebagai suatu akivitas, suatu tindakan.Aktivitas ini baik namun
belum cukup.Bahkan bisa dikatakan, aktivitas seperti ini kehilangan makna dari relasi
itu.Demikian juga dengan berdoa hanya mendasarkan pengetahuan tentang Tuhan.Di sini
pengetahuan tentang Tuhan tidak menjamin memiliki kepercayaan yang mendalam dengan
Tuhan.
Berdoa berdasarkan pengetahuan mudah jatuh ke rasionalisasi yakni mengandaikan,
mengasumsikan Tuhan.Hubungan dengn Tuhan itu dirasakan namun sebatas dimengerti, kurang
dihayati.Sedangkan berdoa dengan hati mampu menghadirkan Tuhan dalam diri dan bisa juga
mencoba memahami yang Tuhan kehendaki.Berdoa dengan hati bukan soal tangisan kesedihan
atau pun juga pujian gegap gempita.Berdoa dengan hati memasrahkan diri dalam komunikasi
intensif.
Tantangan manusia untuk berdoa antara lain: 1. Pikiran melayang. Pikiran itu mengalihkan
perhatian kita dari Allah. 2. Kekeringan batin. Batin manusia mengalami kekosongan dan
kehempaan karena merasa kesepian. 3. Kejenuhan. Manusia bisa saja merasakan kebosanan
dalam berelasi. Rasa bosan itu menjadikan pikiran menjadi buntu dan suasana hati menjadi
keruh.Maka manusia menjadi jenuh. 4. Dampak dari kejenuhan adalah malsan yang muncul dari
sikap keengganan. Begitu kuatnya rasa keenganan ini sehingga dalam praktek berdoa pun
seringkali orang tetap sibuk dengan aktivitas-aktivitas lainnya.Akibatnya ada sikap kurang
sopan dihadapan Tuhan. Apa pun kondisi kita, mengatasi tantangan-tantangan tersebut dengan :
a. Tetap percaya akan penyelenggaraan ilahi. Sesulit apa pun kondisi kita, Tuhan tidak pernah
meninggalkan bahkan tetap menyertai.
Agustinus dari Tagaste mengatakan bahwa bukan Tuhan yang meninggalkan kita,
melainkan kitalah yang menjauh dari Tuhan.Oleh karena itu, datang dan mendekatlah selalu
kepada Tuhan. b. Ketekunan menjalankan doa. Ketekunan membutuhkan tekad dan niat yang
tinggi.Ketekunan mendasarkan pada prinsip bahwa Tuhan menghargai segala daya upaya
manusia sehingga Dia menghargai kegigihan usaha manusia. c. Kerendahan hati. Sikap rendah
hati terwujud dalam diri pendoa dengan percaya Tuhan akan memberi yang terbaik sesuai
kehendak Tuhan. Sikap ini untuk menganulir perilaku dan sikap manusia yang seringkali
mendesak dan memaksakan kehendaknya kepada Tuhan.

Tinjauan Kritis
Secara umum kita telah mengenal bahwa adanya keburukan dan penderitaan merupakan
implikasi kehendak Allah untuk menciptakan manusia. Akan tetapi hal itu belum menjelaskan
apa yang menjadi inti permasalahan, yakni kenyataan bahwa penderitaan di dunia sedemikian
melimpah. Bukan adanya penderitaan pada umumnya, bukan berlakunya hukum alam,makan
dan dimakan, melainkan penderitaan konkret individual masing-masing sebagaimana dapat kita
saksikan atau alami dalam lingkungan keluarga,teman, kenalan kita. Apabila orang memang
percaya bahwa setiap orang secara individual diperhatikan dan disayangi oleh Allah, semua
alasan mengenai penderitaan yang masuk akal tadi rasanya tidak memadai. Malahan semua
pertimbangan itu menjadi kurang sedap berhadapan dengan luas dan dalamnya penderitaan yang
dialami manusia.
Penjelasan Filsafat bahwa kehendak Allah untuk menciptakan berimplikasi pada
kesediaan Allah mengizinkan kekurangan dan penderitaan tetaplah sebagai sesuatu yang absurd.
Penjelasan itu gagal karena tidak dapat menjelaskan ukuran dan jumlah penderitaan yang begitu
melimpah. Dengan nada yang lebih “bijaksana”ada pendapat kita tidak boleh hanya berfokus
pada keburukan dalam penderitaan melainkan juga pada dimensi kebaikannya. Sekali lagi
itupun bukan jawaban yang menyenangkan karena sekali lagi tidak menjelaskan kecenderungan
orang untuk menghindari penderitaan.
Di satu sisi, bersikap diam dan menerima begitu saja dilihat sebagai keadaan yang
berlawanan dengan kodrat manusia, karena memang kodrat manusia selalu mencari tahu. Ia
tidak bisa diam berhadapan dengan penderitaannya. Di sisi lain, Mengabaikan kehadiran Allah
dalam penderitaan manusia juga berarti protes ayub kehilangan maknanya. Bukankah orang
beriman itu berseru pada Allah. Bahwa Ayub protes, fenomena ini memberi makna tentang
kepercayaan akan adanya Allah dan bahwa Allah itu baik dan adil.
Seorang filsuf dan teolog Roma Boethius (480-524) mungkin dapat mendudukan perkara
ini dengan seimbang, “apabila ada Allah, dari mana keburukan? Namun dari mana pula hal-hal
baik, jika Allah tidak ada?” Albert Camus mengatakan, tanpa Allah maka segalanya absurd. Jadi
entah kebaikan yang dialami atau keburukan hanya bisa dimaknai dalam hubungan dengan
Allah10. Sebagaimana sudah ditegaskan oleh Immanuel Kant, kesediaan manusia bersikap moral
hanya masuk akal atas dasar harapan akan kebahagiaan di akhirat. Dengan demikian, betapapun
kita tidak mengerti segala penderitaan dan kengerian yang kita alami, semua itu sudah diatasi
oleh kebaikan Ilahi, bahkan akan menjadi unsur dalam kebahagiaan kita, bukan pada umumnya,
melainkan pada setiap orang perindividu. Karena Allah sungguh-sungguh baik, dan kebaikan
Ilahi itu bebas dari segala unsur keliru, maka kebaikan bukan hanya menang, melainkan segala
penderitaan akan merupakan unsur yang ikut membahagiakan. Jadi kunci atas masalah teodise
adalah janji yang terimplikasi dalam keberadaan Allah yang akan menjadikan segala sesuatu
baik pada waktunya.
Setelah mengikuti alur pikiran ini dapat kita katakan bahwa Filsafat tentu memiliki
keterbatasannya sendiri.
_____________________________________
10
Frans Magnis Suseno, Menalar Tuhan. Yogyakarta: Penerbit Kanisius, 2006, hal.225-233
Ia hanya mengantar orang pada pemahaman bahwa pengalaman penderitaan dapat
dimengerti sebagai pintu yang membuka ruang pengalaman kebaikan, harapan dan
kebahagiaan. Memang tidak seluruhnya dapat kita mengerti, maka percaya bahwa segala
penderitaan akan menjadi baik sungguh melengkapi penalaran filsafat. Jika kita mau lebih maju
untuk memahami misteri penderitaan dan kejahatan ini, maka kita harus masuk ke wilayah
teologi sebagai refleksi atas iman.
Penutup
Bencana alam tidak dikehendaki Tuhan. Tuhan tidak juga mencegah bencana yang terjadi
karena konsistensi Allah atas ciptaan-Nya. Kedua hal ini membawa manusia kepada suatu
pemahaman bahwa ada titik tertentu dimana manusia mengakui adanya misteri besar dihadapan
Tuhan. Misteri itu merupakan suatu realitas tak terpahami karena apa yang Tuhan kehendaki
tetapi manusia tidak mengerti atau sebaliknya yang manusia kehendaki tidak seperti apa yang
Tuhan kehendaki. Ketidakmampuan itu karena keterbatasan manusia dalam segala hal.
Meskipun demikian manusia masih bisa mempercayai dan meyakini kebenaran akan kehendak
Tuhan melalui kepercayaan dan kepasrahan dalam beriman.
Tuhan menciptakan manusia dan menganugerahinya kondisi dasar daya-daya spiritual
yakni hasrat pada yang Ilahi, rasionalitas, kebebasan, hati nurani, dan perasaan.Daya-daya
spiritual itu bermukim dalam kebertubuhan manusia.Daya-daya spiritual itu diberikan oleh
Tuhan sebagai anugerah Ilahi karena Providentia Dei (penyelenggaraan Tuhan) bagi
manusia.Namun pemberian Tuhan itu tetap bersifat diterminan (ditentukan oleh
Tuhan).Tuhanlah yang menentukan secara mutlak manusia dengan kondisi dasar seperti
itu.Manusia mewujudkan daya-daya spiritual itu melalui tindakan-tindakan konkret ragawi.
Providentia Dei terus berlangsung hingga sekarang.Setelah penciptaan, providentia Dei
tersebut berupa tawaran kepada manusia, bukan lagi determinan. Tawaran Tuhan tersebut
mempunyai aspek penting yakni : 1. Tuhan menghargai manusia yang memiliki berbagai
kemampuan yang melekat dalam diri manusia. 2. Dengan berbagai kemampuan manusia itu,
manusia dapat merespon kekurangan-kekurangan (malum physicum) yang terjadi dalam alam
semesta. Maka ketika berhadapan dengan malum morale maupun malum physicum, manusia
dapat menggunakan kemampuannya untuk menyelesaikan penderitaan manusia.Manusia dapat
juga merancang strategi sebagai antisipasi terhadap penderitaan yang bisa saja terjadi dan
menimpa manusia.

Refleksi dan Implementasi

Kisah tenang Rencana Tuhan (Dikutip dari WA):


Manusia : Tuhan, bolehkah aku bertanya kepada-Mu ?
Tuhan : Tentu saja, silahkan !
Manusia : Tapi janji ya, Engkau takkan marah ?
Tuhan : Ya, aku janji.
Manusia : Mengapa Kau biarkan HAL BURUK terjadi padaku hari ini ?
Tuhan : Apa maksudmu ?
Manusia : Aku bangun terlambat.
Tuhan : Ya, terus ?
Manusia : Mobilku mogok dan butuh waktu lama untuk menyalakan.
Tuhan : Oke, terus ?
Manusia : Roti yang kupesan dibuat tidak seperti pesananku, hingga aku malas
memakannya.
Tuhan : Hmmm, terus ?
Manusia : Di jalan pulang, HP ku tiba-tiba mati saat aku berbicara bisnis besar !
Tuhan : Benar, terus ?
Manusia : Dan akhirnya, saatku sampai di rumah, aku hanya ingin sedikit bersantai
dengan mesin pijat refleksi yang baru saja kubeli, tapi MATI. Kenapa tak ada
yang LANCAR hari ini ?
Tuhan : Biar Ku perjelas. Ada malaikat kematian tadi pagi, dan Aku mengirimkan
malaikat untuk berperang melawannya agar tak ada hal buruk terjadi padamu
Aku membiarkan kamu tertidur saat itu.
Manusia : Oh, tapi….
Tuhan : Aku tak membiarkan mobilmu menyala TEPAT WAKTU, karena ada
pengemudi mabuk lewat di depan jalan dan akan menabrakmu….
Manusia : (Menunduk)
Tuhan : Pembuat burgermu sedang sakit menular, Aku tak mau kamu tertular, oleh
karenanya Kubuat salah bekerja.
Manusia : (Tarik nafas).
Tuhan : HP mu Ku buat mati, karena mereka penipu. Aku tak mungkin membiarkanmu
tertipu.Lagi pula bisa megacaukan KONSENTRASI mu dalam mengemudi
bila ada yang menghubungi saat HP menyala.
Manusia : (Mata berkaca-kaca) Aku mengerti Tuhan.,,,
Tuhan : Soal mesin pijat refleksi, Aku tahu kamu belum beli voucher listrik, jika mesin
itu dinyalakan akan mengambil banyak daya listrikmu. Aku yakin kamu tidak
ingin berada di dalam kegelapan saat tengah malam kan ?
Manusia : (Menagis) Maafkan aku Tuhan….
Tuhan : Taka apa, tak perlu minta maaf. Belajarlah untuk percaya pada Ku karena
rencana Ku padamu JAUH lebih baik.
Tentu saja enak sekali jika setiap peristiwa Tuhan menjelaskan mengapa terjadi seperti
ini.Tetapi kenyataannya tidak. Kisah ini hanyalah sebuah refleksi. Penulis kisah
mengungkapkan imannya dalam memahami dan mengalami Tuhan.

Pertanyaan Reflektif
1.Jelaskan, mengapa Allah yang Maha Baik, Maha Kasih, Maha Adil dan Maha Tahu
“Mengizinkan adanya kejahatan dan penderitaan di dunia ini ” (C3, C4).
2. Jelaskan implikasi perkembangan imu pengetahuan dan teknologi yang bersifat materialistis
pada dimensi spiritualitas kemanusiaan (C3, C4).
3. Jelaskan bagaimana kita harus bersikap kritis dan bijak, mempertahankan dan
mengembangkan religiositas serta harkat dan martabatnya sebagai manusia yang
transendental berhadapan dengan tantangan yang ada pada zaman ini! (A 3, P 3).
4. Jelaskan bagaimana kita harus mampu mengetengahkan kearifan lokal dan menjadi diri
pribadi yang utuh di tengah tantangan zamannya (A3, P3).

Kegiatan Belajar Mengajar


1.Kuiah Mimbar

2 . Presentasi Kelompok Tugas

3. Tanya-Jawab Pendalaman Materi

4. Mandiri: Mengisi Lembar Refleksi

Daftar Pustaka
 Subagya Petrus Damianus dan Tim Dosen Religiositas UMN, Religiositas.
Tangerang: 2017 dan 2018
 Franz Magnis Suseno,Menalar Tuhan.Yogyakarta; Kanisius,2006
 Bakker,Anton.Ontologi atau Metafisika Umum; Filsafat Pengada dan Dasar-dasar
Kenyataan.Yogyakarta;Kanisius.1992
 Dahler,Franz/Eko Budianta.Pijar Peradaban Manusia Denyut Harapan
Evolusi.Yogyakarta;Kanisius.2000
 Leahy,Louis. Manusia di hadapan Allah, Jalan-jalan terbuka menuju Allah. Jilid
1,2,3 Yogyakarta; Kanisius.1982

Anda mungkin juga menyukai