MEMBANGUN
KUALITAS BERIMAN
Tujuan:
Mahasiswa mampu:
1. Menjelaskan pengertian spiritual dalam perspektif kesadaran diri manusia
dalam dunianya (C2, C4).
2. Menjelaskan implikasi perkembangan imu pengetahuan dan teknologi yang
bersifat materialistis pada dimensi spiritualitas kemanusiaan (C3, C4).
3. Mampu bersikap kritis dan bijak, mempertahankan dan mengembangkan
religiositas serta harkat dan martabat nya sebagai manusia yang ransendental
berhadapan dengan tantangan yang zamannya (A 3, P 3).
4. Mengetengahkan kearifan lokal dan menjadi diri pribadi yang utuh
Di tengah tantangan zamannya (A3, P3).
Metode:
1. Ceramah
2. Diskusi
3. Tanya jawab
Waktu: 100 menit
Media/Alatbantu:
White-board
Infocus
Spidol
Gambar/film
Bahan Bacaan:
Subagya Petrus Damianus dan Tim Dosen Religiositas UMN,
Religiositas. Tangerang: 2017 dan 2018
Franz Magnis Suseno,Menalar Tuhan.Yogyakarta; Kanisius,2006
Bakker,Anton.Ontologi atau Metafisika Umum; Filsafat Pengada dan
Dasar-dasar Kenyataan.Yogyakarta;Kanisius.1992
Dahler,Franz/Eko Budianta.Pijar Peradaban Manusia Denyut Harapan
Evolusi.Yogyakarta;Kanisius.2000
Leahy,Louis. Manusia di hadapan Allah, Jalan-jalan terbuka menuju
Allah. Jilid 1,2,3 Yogyakarta; Kanisius.1982
Sebagai pribadi dan komunitas yang religius, bagaimanakah kita harus bersikap berhadapan
dengan berbagai tantangan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi yang bersifat materialistis
tersebut? Nah, itulah pokok pembahasan kita pada topik ke 14 ini.
Kedua.Dalam konteks relasi dengan Tuhan.Kita sadari bahwa ada batas prinsipil dalam
memahami Tuhan.Artinya, kita bisa bicara tentang Tuhan tetapi kita tidak pernah bisa seutuhnya
masuk dalam pengetahuan tentang Tuhan dan pengetahuan Tuhan.Ada banyak hal yang kita
tidak ketahui berkaitan dengan Tuhan.Maka , soal nasib dan takdir, sebaiknya kita bersikap
bijaksana dengan membuka diri terus menerus atas penyelenggaraan ilahi dan berusaha
menyerap makna dari berbagai peristiwa yang terjadi dalam hidup kita.
____________________________________
8
Subagya Petrus Damianus dan Tim Dosen Religiositas UMN, Religiositas, Tangerang: UMN
Press, 2018, hal. 380-382.
Pengertian ini untuk membedakan dengan Sang Pencipta yang sempurna. Sedangkan keburukan
fisik (penyakit, penderitaan) dipahami sebagai: a. Upaya untuk lebih berhati-hati dalam menjaga
kesehatan. b. hukuman agar kita memperbaiki diri. Jadi penderitaan bisa saja terjadi karena
bencana alam; bisa juga karena akibat dari perilaku manusia.
2. Tantangan Beriman Dalam Masalah Penderitaan
Pada umumnya para filosof menganggap hal kejahatan sebagai masalah yang masih
lebih besar daripada masalah adanya penderitaan. Namun sebetulnya masalah yang sungguh
menantang iman adalah mengapa Allah mengizinkan penderitaan9. Orang yang menyatakan diri
percaya pada Allah yang Mahakuasa dan Baik hati tidak dapat lari dari penderitaan. jadi
pertanyaannya adalah bagaimana Allah dapat mengizinkan penderitaan terjadi?
Setiap kali kita mengalami bencana atau melihat betapa sebuah bencana merusak hidup
seseorang atau sekelompok orang, timbul pertanyaan apakah mesti Allah membangun dunianya
di atas penderitaan orang yang tidak bersalah? Masalah ini sebetulnya telah diberi rumusan baku
sejak lebih dari 2000 tahun lalu oleh Epikuros, seorang filsuf Yunani Kuno. Ia menganjurkan
agar manusia hidup tanpa memedulikan desa-dewi. Ini adalah tentang kehidupan kita sendiri. Ini
tentang dunia kita sendiri yang memang carut marut diwarnai banyak penderitaan.
Dengan dingin Epikuros menyatakan ada empat kemungkinan sikap dewa dewi terhadap
keburukan dunia yakni1) Dia mau tetapi tidak mampu; atau 2) Dia mampu, tetapi tidak mau;
atau 3) Dia tidak mau, juga tidak mampu; atau 4) Dia mau juga mampu. Tiga kemungkinan
pertama, jika itu dikaitkan dengan keberadaan Allah, tidak dapat diterima karena bertentangan
dengan hakekat Allah yang mahakuasa dan mahabaik, sedangkan kemungkinan keempat
kelihatannya bertentangan dengan kenyataan bahwa di sekeliling kita ada banyak sekali
keburukan. Secara sederhana, dilema tersebut dapat dirumuskan sebagai berikut: Penderitaan
itu, atau tidak dapat, atau tidak mau dihindari olehNya. Apabila yang pertama, Allah tidak
Mahakuasa, sedangkan apabila yang kedua, Allah tidak Mahabaik dan itu pun tidak dapat
diterima oleh orang-orang beriman, atau sekurang-kurangnya tidak dapat diterima di dalam
wawasan filsafat ketuhanan.
_______________________________
9
Frans Magnis – Suseno, Menalar Tuhan, Yogakarta: Penerbit Kanisius, 2006, hal. 216-229
9
Subagya Perus Damianus dan Tim Dosen Religiositas UMN, Religiositas. Tangerang: UMN
Press 2018, hal.382-394
Perlu diperhatikan bawah pertanyaan teodisea pembenaran Allah yang Mahabaik dan
Mahakuasa berhadapan dengan pengalaman penderitaan ini tidak muncul dalam lingkungan
semua agama. Dalam pandangan-pandangan dualistik, penderitaan dijelaskan dengan prinsip
asali yang negatif. Misalnya, karena dunia ini terbentuk dari dua prinsip yakni positif dan
negatif, maka penderitaan yang dialami oleh manusia berasal dari kinerja prinsip negatif yang
berlaku dalam kehidupan. Dalam panteisme penderitaan individual seakan-akan tenggelam
dalam makna keseluruhan yang dihayati secara numinus. Begitu pula kepercayaan akan roda
kelahiran kembali yang seratus persen ditentukan oleh saldo karmatik masing-masing makhluk,
tak menunjukan jalan keluar dari penderitaan.
Masalah penderitaan hanya dapat muncul apabila Tuhan dipahami secara personal dan
dialogal, dan apabila masing-masing orang secara personal dianggap mempunyai nilai pada
dirinya sendiri. Penderitaan menjadi masalah justru karena Yang Ilahi dipahami, bahkan dialami
sebagai kekuatan yang peduli pada manusia, yang berbelaskasih, yang suka mengampuni
kesalahan manusia, dan yang menyembuhkan.
Atas dasar penghayatan Allah sebagai kekuatan yang peduli, menyelamatkan, dan
menyembuhkan kenyataan penderitaan menjadi semakin tidak dapat dimengerti. Salah satu
dokumen protes manusia religius terhadap kenyataan penderitaan ada di dalam Kitab Ayub.
Mengapa ada penderitaan? Apakah Allah tidak dapat menciptakan sebuah keadaan tanpa
menyiksa? Pertanyaan-pertanyaan itu bukanlah permainan logika para filosof melainkan
teriakan Ayub yang tersiksa, yang tidak sampai mengerti mengapa tetap ia alami meskipun
dengan itu ia memutuskan tidak meninggalkan kepercayaannya.
Di dalam tradisi Yudeo-Kristen memang ada pergulatan yang sangat lama berhubungan
dengan masalah penderitaan. 1) Ada yang menyebut bahwa penderitaan adalah hukuman Allah
atas dosa-dosa yang bersangkutan; 2) Ada yang menyebut bahwa melalui penderitaan,
sebetulnya Allah sedang mengasah manusia, Dia mencobai mutu manusia, dengan demikian
hanya manusia yang bertahan dalam penderitaan itulah pantas untuk menerima kebahagiaan
abadi di Surga; 3) Yang lain mengatakan bahwa Penderitaan itu memurnikan hati dan budi.
Pengalaman itu bernilai untuk meningkatkan mutu moral. Jadi semacam latihan agar seseorang
layak bagi Surga; Lalu pendapat lain 4) menyebut bahwa Manusia sebetulnya tidak pada
tempatnya untuk memperkarakan Allah. Juga dalam hal penderitaan, yang diminta adalah sikap
pasrah sebagai kehendak Allah.
Jika kita melihat semua tanggapan di atas, terdapat dua bagian besar pandangan mengenai
penderitaan yang dialami manusia. Bagian pertama, melihat penderitaan itu perlu dengan
berbagai macam argumentasi. Sedangkan bagian kedua, menegaskan bahwa manusia tidak
dalam posisi memersoalkan Allah.
Pertama, jika kita melihat penderitaan sebagai hukuman, pendapat ini tidak
memerhatikan bahwa ada juga orang, anak kecil misalnya, yang belum melakukan sesuatu yang
pantas dihukum, namun tetap tertimpa penderitaan. Tambahan pula, ada penderitaan yang
kelihatannya berlebihan dibanding dosa atau kesalahan yang pernah diperbuat. Jadi apakah
pantas diandaikan bahwa Allah menghukum dengan begitu kejamnya?
Kedua, jika penderitaan perlu untuk mendapat kebahagiaan di Surga, apakah Allah
yang Mahabaik pantas menuntut pembayaran yang begitu kejam dari orang yang akan masuk
surga? Terlebih lagi mengapa untuk masuk surga manusia harus membayarnya? Di tingkat
manusia saja seringkali kita membebaskan seseorang yang memang memerlukan sesuatu dan
mendapatkannya di dalam ketidakmampuannya. Jadi, jika Tuhan memiliki cinta yang tak
terbatas, apakah ia harus menyiksa manusia sebelum memperbolehkannya masuk surga.
Ketiga, bahwa di dalam penderitaan manusia dapat membuktikan kualitas dirinya,
tidak perlu disangkal. Namun kenyataan berbicara, ada juga orang yang malah menjadi pesimis
dan pahit hidupnya karena penderitaan yang melampaui batas kekuatannya. Jadi belum tentu
penderitaan itu selalu memberi efek positif. Sama seperti kasus perpeloncoan calon mahasiswa
yang dimaksud untuk menggembleng mental dan makin mengenal satu sama lain dalam
almamater ternyata justru menghasilkan pengalaman pahit, traumatis, dan dendam kesumat.
Apakah dalam kondisi demikianpun tetaplah yang disalahkan adalah reaksi manusia yang
sedemikian itu terhadap pengalaman penderitaannya? Apakah tidak ada kemungkinan lain yang
lebih baik bagi manusia yang berkehendak baik?
Penderitaan memang bisa saja memurnikan seseorang. Bahkan ada orang yang
menganggap penderitaan sebagai rahmat. Sebuah ujian untuk naik kelas.Tetapi apakah
pengertian ini berlaku bagi penderitaan atau penyiksaan sampai di luar batas? Bukankah
penderitaan di luar batas bisa meremukan orang? Lalu apa yang tersisa dari orang yang hancur
itu setelah melewati masa pemurniannya? Sedangkan akal sehat kita sebetulnya menolak asumsi
bahwa dunia akan lebih baik jika diwarnai penderitaan. Semua usaha dan kerja keras sepanjang
peradaban manusia dengan jelas menyampaikan pesan bahwa manusia percaya hidup mesti
lebih baik di dalam dunia yang mampu mengatasi penderitaannya.
Keempat, jika kemudian dinyatakan bahwa berhadapan dengan kehendak dan Rencana
Allah maka manusia harus diam, pendapat yang banyak dipakai di dalam tradisi Yudeo-Kristen
ini menyisakan pertanyaan fundamental, apakah wajar melarang orang untuk protes karena
merasa diperlakukan tidak adil sebagaimana dialami Ayub? Bukankah kecenderungan akal budi
manusia selalu memertanyakan keadaan-keadaannya?
Tinjauan Kritis
Secara umum kita telah mengenal bahwa adanya keburukan dan penderitaan merupakan
implikasi kehendak Allah untuk menciptakan manusia. Akan tetapi hal itu belum menjelaskan
apa yang menjadi inti permasalahan, yakni kenyataan bahwa penderitaan di dunia sedemikian
melimpah. Bukan adanya penderitaan pada umumnya, bukan berlakunya hukum alam,makan
dan dimakan, melainkan penderitaan konkret individual masing-masing sebagaimana dapat kita
saksikan atau alami dalam lingkungan keluarga,teman, kenalan kita. Apabila orang memang
percaya bahwa setiap orang secara individual diperhatikan dan disayangi oleh Allah, semua
alasan mengenai penderitaan yang masuk akal tadi rasanya tidak memadai. Malahan semua
pertimbangan itu menjadi kurang sedap berhadapan dengan luas dan dalamnya penderitaan yang
dialami manusia.
Penjelasan Filsafat bahwa kehendak Allah untuk menciptakan berimplikasi pada
kesediaan Allah mengizinkan kekurangan dan penderitaan tetaplah sebagai sesuatu yang absurd.
Penjelasan itu gagal karena tidak dapat menjelaskan ukuran dan jumlah penderitaan yang begitu
melimpah. Dengan nada yang lebih “bijaksana”ada pendapat kita tidak boleh hanya berfokus
pada keburukan dalam penderitaan melainkan juga pada dimensi kebaikannya. Sekali lagi
itupun bukan jawaban yang menyenangkan karena sekali lagi tidak menjelaskan kecenderungan
orang untuk menghindari penderitaan.
Di satu sisi, bersikap diam dan menerima begitu saja dilihat sebagai keadaan yang
berlawanan dengan kodrat manusia, karena memang kodrat manusia selalu mencari tahu. Ia
tidak bisa diam berhadapan dengan penderitaannya. Di sisi lain, Mengabaikan kehadiran Allah
dalam penderitaan manusia juga berarti protes ayub kehilangan maknanya. Bukankah orang
beriman itu berseru pada Allah. Bahwa Ayub protes, fenomena ini memberi makna tentang
kepercayaan akan adanya Allah dan bahwa Allah itu baik dan adil.
Seorang filsuf dan teolog Roma Boethius (480-524) mungkin dapat mendudukan perkara
ini dengan seimbang, “apabila ada Allah, dari mana keburukan? Namun dari mana pula hal-hal
baik, jika Allah tidak ada?” Albert Camus mengatakan, tanpa Allah maka segalanya absurd. Jadi
entah kebaikan yang dialami atau keburukan hanya bisa dimaknai dalam hubungan dengan
Allah10. Sebagaimana sudah ditegaskan oleh Immanuel Kant, kesediaan manusia bersikap moral
hanya masuk akal atas dasar harapan akan kebahagiaan di akhirat. Dengan demikian, betapapun
kita tidak mengerti segala penderitaan dan kengerian yang kita alami, semua itu sudah diatasi
oleh kebaikan Ilahi, bahkan akan menjadi unsur dalam kebahagiaan kita, bukan pada umumnya,
melainkan pada setiap orang perindividu. Karena Allah sungguh-sungguh baik, dan kebaikan
Ilahi itu bebas dari segala unsur keliru, maka kebaikan bukan hanya menang, melainkan segala
penderitaan akan merupakan unsur yang ikut membahagiakan. Jadi kunci atas masalah teodise
adalah janji yang terimplikasi dalam keberadaan Allah yang akan menjadikan segala sesuatu
baik pada waktunya.
Setelah mengikuti alur pikiran ini dapat kita katakan bahwa Filsafat tentu memiliki
keterbatasannya sendiri.
_____________________________________
10
Frans Magnis Suseno, Menalar Tuhan. Yogyakarta: Penerbit Kanisius, 2006, hal.225-233
Ia hanya mengantar orang pada pemahaman bahwa pengalaman penderitaan dapat
dimengerti sebagai pintu yang membuka ruang pengalaman kebaikan, harapan dan
kebahagiaan. Memang tidak seluruhnya dapat kita mengerti, maka percaya bahwa segala
penderitaan akan menjadi baik sungguh melengkapi penalaran filsafat. Jika kita mau lebih maju
untuk memahami misteri penderitaan dan kejahatan ini, maka kita harus masuk ke wilayah
teologi sebagai refleksi atas iman.
Penutup
Bencana alam tidak dikehendaki Tuhan. Tuhan tidak juga mencegah bencana yang terjadi
karena konsistensi Allah atas ciptaan-Nya. Kedua hal ini membawa manusia kepada suatu
pemahaman bahwa ada titik tertentu dimana manusia mengakui adanya misteri besar dihadapan
Tuhan. Misteri itu merupakan suatu realitas tak terpahami karena apa yang Tuhan kehendaki
tetapi manusia tidak mengerti atau sebaliknya yang manusia kehendaki tidak seperti apa yang
Tuhan kehendaki. Ketidakmampuan itu karena keterbatasan manusia dalam segala hal.
Meskipun demikian manusia masih bisa mempercayai dan meyakini kebenaran akan kehendak
Tuhan melalui kepercayaan dan kepasrahan dalam beriman.
Tuhan menciptakan manusia dan menganugerahinya kondisi dasar daya-daya spiritual
yakni hasrat pada yang Ilahi, rasionalitas, kebebasan, hati nurani, dan perasaan.Daya-daya
spiritual itu bermukim dalam kebertubuhan manusia.Daya-daya spiritual itu diberikan oleh
Tuhan sebagai anugerah Ilahi karena Providentia Dei (penyelenggaraan Tuhan) bagi
manusia.Namun pemberian Tuhan itu tetap bersifat diterminan (ditentukan oleh
Tuhan).Tuhanlah yang menentukan secara mutlak manusia dengan kondisi dasar seperti
itu.Manusia mewujudkan daya-daya spiritual itu melalui tindakan-tindakan konkret ragawi.
Providentia Dei terus berlangsung hingga sekarang.Setelah penciptaan, providentia Dei
tersebut berupa tawaran kepada manusia, bukan lagi determinan. Tawaran Tuhan tersebut
mempunyai aspek penting yakni : 1. Tuhan menghargai manusia yang memiliki berbagai
kemampuan yang melekat dalam diri manusia. 2. Dengan berbagai kemampuan manusia itu,
manusia dapat merespon kekurangan-kekurangan (malum physicum) yang terjadi dalam alam
semesta. Maka ketika berhadapan dengan malum morale maupun malum physicum, manusia
dapat menggunakan kemampuannya untuk menyelesaikan penderitaan manusia.Manusia dapat
juga merancang strategi sebagai antisipasi terhadap penderitaan yang bisa saja terjadi dan
menimpa manusia.
Pertanyaan Reflektif
1.Jelaskan, mengapa Allah yang Maha Baik, Maha Kasih, Maha Adil dan Maha Tahu
“Mengizinkan adanya kejahatan dan penderitaan di dunia ini ” (C3, C4).
2. Jelaskan implikasi perkembangan imu pengetahuan dan teknologi yang bersifat materialistis
pada dimensi spiritualitas kemanusiaan (C3, C4).
3. Jelaskan bagaimana kita harus bersikap kritis dan bijak, mempertahankan dan
mengembangkan religiositas serta harkat dan martabatnya sebagai manusia yang
transendental berhadapan dengan tantangan yang ada pada zaman ini! (A 3, P 3).
4. Jelaskan bagaimana kita harus mampu mengetengahkan kearifan lokal dan menjadi diri
pribadi yang utuh di tengah tantangan zamannya (A3, P3).
Daftar Pustaka
Subagya Petrus Damianus dan Tim Dosen Religiositas UMN, Religiositas.
Tangerang: 2017 dan 2018
Franz Magnis Suseno,Menalar Tuhan.Yogyakarta; Kanisius,2006
Bakker,Anton.Ontologi atau Metafisika Umum; Filsafat Pengada dan Dasar-dasar
Kenyataan.Yogyakarta;Kanisius.1992
Dahler,Franz/Eko Budianta.Pijar Peradaban Manusia Denyut Harapan
Evolusi.Yogyakarta;Kanisius.2000
Leahy,Louis. Manusia di hadapan Allah, Jalan-jalan terbuka menuju Allah. Jilid
1,2,3 Yogyakarta; Kanisius.1982