Anda di halaman 1dari 17

MAKALAH

Hakikat Manusia,Masyarakat,Pendidikan,dan Pendidikan karakter


Disusun Guna Memenuhi Tugas Mata Kuliah Filsafat Pendidikan
Dosen Pengampu : Dra. Rosdiana, M.Pd

Disusun Oleh :
Kelompok 8 :
Nama : Sania Irmanda : ( 5231151003 )
Nama : Leo Efrata Ginting : ( 5233151048 )
Nama : Shahdana : ( 5232451001 )

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN TEKNOLOGI


INFORMATIKA DAN KOMPUTER
FAKULTAS TEKNIK
UNIVERSITAS NEGERI MEDAN
2023
KATA PENGANTAR

Puji syukur kepada kami panjatkan kepada Allah SWT, Tuhan Yang Maha Esa, karena
hanya dengan rahmat dan karunia-Nya, kami dapat menyelesaikan makalah “Hakikat
Manusia,Masyarakat,pendidikan,dan Pendidikan karakter”. Tidak lupa kami mengucapkan
banyak terimakasih kepada dosen pembimbing dan teman-teman yang telah memberikan
dukungan dalam menyelesaikan makalah ini.

Penulis menyadari bahwa dalam penulisan makalah ini masih banyakkekurangan, oleh
sebab itu kami sangat mengharapkan kritik dan saran yang membangun. Dan semoga dengan
selesainya makalah ini dapat bermanfaat bagi pembaca dan teman-teman.

Medan, 30 Oktober 20203


Penyusun

Kelompok 8
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR
DAFTAR ISI
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
1.2 Rumusan Masalah
1.3 Tujuan
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Hakekat Manusia
2.2 Landasan Pendidikan
2.3 Asas-asas dan kebutuhan Manusia akan Pendidikan
2.4 Kebutuhan manusia akan Pendidikan
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
B. Saran

DAFTAR PUSTAKA
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang

Achmad Munib, 2004: 142). Mengatakan bahwa Hakikat Pendidikan Pada hakikatnya pendidikan adalah
usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik
secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki potensi spiritual keagamaan, pengendalian
diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta ketrampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat,
bangsa dan Negara.
Hal tersebut menjelaskan bahwa pendidikan dapat diartikan sebagai proses yang terencana, yang dapat
mengembangkan potensi dan kemampuan yang dimiliki oleh manusia. Kemampuan dari peserta didik itu
sangat beragam, yang kemudian akan diasah potensi dan kemampuan tersebut sehingga dapat
berkembang dan menjadi manusia yang dapat berguna dan bermanfaat nantinya, baik bagi dirinya
sendiri, keluarga, masyarakat dan negara.

1.2 Rumusan Masalah


1. Apakah pengertian hakekat Manusia
2. Pengertian serta jenis dan fungsi landasan Pendidikan
3. Asas-asas dan kebutuhan manusia pada pendidikan
4. Pengertian kebututuhan Manusia akan pendidikan

1.3 Tujuan

Tujuan dari artikel ini adalah agar kita dapat mengetahui hakekat manusia, konsep pendidikan dan juga
mengetahui pentingnya pendidikan bagi manusia. Dengan membaca artikel ini maka kita dapat
mengidentifikasi apa itu hakekat manusia dan apa saja kebutuhan manusia dalam kehidupan, kemudia
mengetaui bagaimana konsep pendidikan di indonesia dan seberapa penting pendidikan bagi kehidupan
manusia serta manfaat pendidikan bagi keberlangsungan hidup manusia, dan terakhir kita akan
mengetahui dan memahami hubungan antara manusia dan pendidikan, bagaimana kebutuhan manusia
terhadap pendidikan dan juga pengaruh pendidikan terhadap kehidupan manusia.
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 HAKEKAT MANUSIA

Manusia sebagai makhluk rasional yang dapat berpikir dan mempergunakan ilmu untuk meningkatkan
perkembangan pada dirinya. Manusia juga dapat belajar mengatasi masalah-masalah yang dihadapinya.
Kemampuan-kemampuan yang ada pada dirinya harus dimanfaatkan oleh dirinya sendiri. Kemudian
manusia harus berusaha terus-menerus memperkembangkan dan meningkatkan dirinya sendiri, khusunya
melalui pendidikan.
Sejak lahir, seorang manusia sudah langsung terlibat dalam kegiatan pendidikan dan pembelajaran. Dia
dirawat, dijaga, dilatih dan dididik oleh orangtua, keluarga dan masyarakatnya menuju tingkat kedwasaan
dan kematangan, sampai kemudian terbentuk potensi kemandirian dalam mengelola keberlangsungan
hidupnya.
Manusia dilahirkan ke bumi dengan berbagai potensi yang berbeda-beda yaitu untuk menjadi baik dan
buruk. Dan hidup berarti suatu upaya untuk mewujudkan kebaikan dan menghindarkan atau mengontrol
suatu masalah. Manusia sebagai Makhluk Tuhan YME Dalam perjalanan hidupnya manusia
mempertanyakan tentang asal-usul alam semesta dan asal-usul keber-ada-an dirinya sendiri. Terdapat dua
aliran pokok filsafat yang memberikan jawaban atas pertanyaan tersebut, yaitu Evolusionisme dan
Kreasionisme
(J.D. Butler, 1968). Mengatakan bahwa Menurut Evolusionisme, manusia adalah hasil puncak dari
mata rantai evolusi yang terjadi di alam semesta. Manusia – sebagaimana halnya alam semesta – ada
dengan sendirinya berkembang dari alam itu sendiri, tanpa Pencipta. Penganut aliran ini antara lain
Herbert Spencer, Charles Darwin, dan Konosuke Matsushita. Sebaliknya, filsafat Kreasionisme
menyatakan bahwa asal usul manusia – sebagaimana halnya alam semesta - adalah ciptaan suatu Creative
Cause atau Personality, yaitu Tuhan YME. Penganut aliran ini antara lain Thomas Aquinas dan Al-
Ghazali.
(Tatang Syaripudin 2008; 9-10) mengatakan bahwa kita dapat mengakui kebenaran tentang adanya
proses evolusi di alam semesta termasuk pada diri manusia, tetapi tentunya kita menolak pandangan yang
menyatakan adanya manusia di alam semesta semata-mata sebagai hasil evolusi dari alam itu sendiri,
tanpa Pencipta. Penolakan ini terutama didasarkan atas keimanan kita terhadap Tuhan YME sebagai
Maha Pencipta. Adapun secara filosofis penolakan tersebut antara lain didasarkan kepada empat argumen
berikut ini. yaitu sebagai berikut:

1. Argumen ontologis: Semua manusia memiliki ide tentang Tuhan. Sementara itu, bahwa realitas
(kenyataan) lebih sempurna daripada ide manusia. Sebab itu, Tuhan pasti ada dan realitas ada-
Nya itu pasti lebih sempurna daripada ide manusia tentang Tuhan.

2. Argumen kosmologis: Segala sesuatu yang ada mesti mempunyai suatu sebab. Adanya alam
semesta - termasuk manusia - adalah sebagai akibat. Di alam semesta terdapat rangkaian sebab-
akibat, namun tentunya mesti ada Sebab Pertama yang tidak disebabkan oleh yang lainnya.
Sebab Pertama adalah sumber bagi sebab-sebab yang lainnya, tidak berada sebagai materi,
melainkan sebagai “Pribadi” atau “Khalik”.

3. Argumen Teleologis: Segala sesuatu memiliki tujuan (contoh: mata untuk melihat, kaki untuk
berjalan dsb.). Sebab itu, segala sesuatu (realitas) tidak terjadi dengan sindirinya, melainkan
diciptakan oleh Pengatur tujuan tersebut, yaitu Tuhan.

4. Argumen Moral: Manusia bermoral, ia dapat membedakan perbuatan yang baik dan yang jahat,
dsb. Ini menunjukkan adanya dasar, sumber dan tujuan moralitas. Dasar, sumber, dan tujuan
moralitas itu adalah Tuhan.

Oleh karena itu dapat kita katakan bahwa manusia mempunya kedudukan sebagai makhluk Tuhan Yang
Maha Esa yang. (M.I. Soelaeman, 1988) mengatakan bahwa adanya perbedaan kodrat dan martabat
manusia daripada Tuhannya. Manusia merasakan dirinya begitu kecil dan rendah di hadapan Tuhannya
Yang Maha Besar dan Maha Tinggi. Manusia memiliki keterbatasan dan ketidakberdayaannya, manusia
serba tidak tahu, sedangkan Tuhan serba Maha Tahu. Manusia bersifat fana, sedangkan Tuhan bersifat
abadi, manusia merasakan kasih sayang Tuhannya, namun ia pun tahu begitu pedih siksa-Nya. Semua itu
melahirkan rasa cemas dan takut pada diri manusia terhadap Tuhannya, tetapi di balik itu diiringi pula
dengan rasa kagum, rasa hormat, dan rasa segan karena Tuhannya begitu luhur dan suci. kesediaan
manusia untuk bersujud dan berserah diri kepada penciptanya. Selain itu, menyadari akan maha kasih
sayangnya Sang Pencipta maka kepada-Nya manusia berharap dan berdoa.
Dengan demikian, di balik adanya rasa cemas dan takut itu muncul pula adanya harapan yang
mengimplikasikan kesiapan untuk mengambil tindakan dalam hidupnya. Adapun hal tersebut dapat
menimbulkan kejelasan akan tujuan hidupnya, menimbulkan sikap positif dan familiaritas akan masa
depannya, menimbulkan rasa dekat dengan penciptanya.
(Ernst Cassirer, 1987). Mengatakan bahwa Manusia sebagai Makhluk Sosial Dalam hidup bersama
dengan sesamanya (bermasyarakat) setiap individu menempati kedudukan (status) tertentu. Di samping
itu, setiap individu mempunyai dunia dan tujuan hidupnya masing-masing, mereka juga mempunyai
dunia bersama dan tujuan hidup bersama dengan sesamanya. Selain adanya kesadaran diri, terdapat pula
kesadaran sosial pada manusia. Melalui hidup dengan sesamanyalah manusia akan dapat mengukuhkan
eksistensinya. Sehubungan dengan ini, Aristoteles menyebut manusia sebagai makhluk sosial atau
makhluk bermasyarakat. Terdapat hubungan pengaruh timbal balik antara individu dengan
masyarakatnya. Ernst Cassirer menyatakan: manusia takkan menemukan diri, manusia takkan menyadari
individualitasnya, kecuali melalui perantaraan pergaulan sosial.
(Soerjanto P. dan K. Bertens, 1983). Mengatakan bahwa dunia hidupku dipengaruhi oleh orang lain
sedemikian rupa sehingga demikian mendapat arti sebenarnya dari aku bersama orang lain itu.
Sebaliknya, terdapat pula pengaruh dari individu terhadap masyarakatnya. Masyarakat terbentuk dari
individu-individu, maju mundurnya suatu masyarakat akan ditentukan oleh individu-individu yang
membangunnya.
Oleh karena itu setiap manusia merupakan pribadi yang mempunyai hubungan pengaruh timbal balik
antara individu dengan sesama individu lain, maka idealnya hubungan tersbeut tidak merupakan
hubungan antara subjek dan objek, melainkan subjek dan subjek.
Oleh karena setiap manusia adalah pribadi (individu) dan adanya hubungan pengaruh timbal balik antara
individu dengan sesamanya maka idealnya situasi hubungan antara individu dengan sesamanya itu tidak
merupakan hubungan antara subjek dengan objek, melainkan subjek dengan subjek. Dengan demikian
hubungan timbal balik antara individu dan individu lain merupakan pengukuhan eksistensi masing-
masing, maka perlu adanya keseimbangan antara individualitas dan sosialitas pada diri manusia.

2.2LANDASAN PENDIDIKAN Pengertian Landasan Pendidikan

Untuk memahami telebih dahulu apa itu landasaan pendidikan, disini terhadap dua istilah yang perlu
akan kita kaji, yaitu istilah landasan dan pendidikan landasan. Mengutip pada (Kamus Besar Bahasa
Indonesia 1995:260) yang mengatakan bahwa Istilah landasan diartikan sebagai alas, dasar, atau
tumpuan. Adapun istilah landasan sebagai dasar dikenal pula sebagai fundasi. Mengacu kepada
pengertian tersebut, kita dapat memahami bahwa landasan adalah suatu alas atau dasar pijakan dari
sesuatu hal; suatu titik tumpu atau titik tolak dari sesuatu hal; atau suatu fundasi tempat berdirinya
sesuatu hal.
Berdasarkan sifat wujudnya terdapat dua jenis landasan, yaitu: (1) landasan yang bersifat material, dan
(2) landasan yang bersifat konseptual. Contoh landasan yang bersifat material antara lain berupa landasan
pacu pesawat terbang dan fundasi bangunan gedung. Adapun contoh landasan yang bersifat konseptual
antara lain berupa dasar Negara Indonesia yaitu Pancasila dan UUD RI Tahun 1945; landasan pendidikan,
dsb.
Mengacu pada kutipan diatas, kemudian kita dapat mengetahui bahwasanya landasan pendidikan itu
dapat dikaitkan dalam jenis landasan yang mempunyai sifat konseptual. (Redja Mudyahardjo, 1995).
mengatakan bahwa “asumsi dapat dibedakan dalam tiga macam, yaitu: aksioma, postulat, dan premis
tersembunyi”
Aksioma adalah asumsi yang diterima kebenarannya tanpa perlu pembuktian, atau suatu pernyataan yang
kebenarannya diterima secara universal. Contoh: “dalam hidupnya manusia tumbuh dan berkembang”.
Terhadap pernyataan ini tidak akan ada orang yang menyangkal kebenarannya, sebab kebenarannya dapat
diterima secara universal tanpa perlu dibuktikan lagi.
Postulat yaitu asumsi yang diterima kelompok orang tertentu atas dasar persetujuan. Contoh:
“Perkembangan individu ditentukan oleh faktor hereditas maupun oleh faktor pengaruh lingkungannya
(pengalaman)”. Asumsi ini disetujui/diterima benar oleh kelompok orang tertentu, tetapi tentu saja ditolak
oleh kelompok orang lainnya yang menyetujui asumsi bahwa perkembangan individu sepenuhnya
ditentukan oleh faktor hereditas saja, atau oleh faktor pengaruh lingkungan saja. ·
Premis Tersembunyi yaitu asumsi yang tidak dinyatakan secara tersurat yang diharapkan dipahami atau
diterima secara umum. Premis tersembunyi biasanya merupakan premis mayor dan premis minor dalam
silogisme yang tidak dinyatakan secara tersurat, dalam hal ini pembaca atau pendengar diharapkan
melengkapinya. Contoh: Armin perlu dididik (dinyatakan). Dalam pernyataan ini terdapat premis
tersembunyi yang tidak dinyatakan, yaitu semua manusia perlu dididik (premis mayor), dan Armin adalah
manusia (premis minor). maka kesimpulanya seperti pernyataan di atas adalah Armin perlu dididik.
Pendidikan merupakan suatu proses yang dapat mengubah perilaku dan sikap manusia dalam upaya
untuk menjadi dewasa melalu pengajaran dan pelatihan dalam pendidikan. Jadi dapat kita simpulkan
bahwa pendidikan merupakan wadah untuk berproses dan perbuatan mendidik. Maka dar itu pendidikan
sangat berperan penting dalam meningkatkan kualitas dari manusia, dalam mencapai kehidupan yang
lebih baik dan sejahtera, maka kita sangat membutuhkan sebuah pendidikan, tidak hanya itu saja.
Kewajiban dalam mendapatkan pendidikan harus dirasakan oleh setiap manusia.
Membahas mengenai pendidikan, seperti yang harus kita ketahui bersama bahwa Pengertian dari
Pendidikan yaitu berasal dari kata pedagogi yang mempunyai arti ilmu pendidikan yang berasal dari
bahasa yunani. Pedagogi terdiri dari dua kata yaitu ‘Paedos’ (anak pen) dan ‘Agego’ yang berarti saya
membimbing, memimpin anak. Sedangkan Pedagodis ialah seorang pelayan atau bujan (pemuda, pen)
yang pekerjaannya mengantar dan menjemput anak-anak (siswa, pen) ke dan dari sekolah.
Perkataan paedagogos yang semula berkonotasi rendah (pelayan, pembantu) ini, kemudian skearang
dipakai untuk nama pekerjaan yang mulia yakni paedagoog (pendidik atau ahli didik atau guru). Dari
sudut pandang ini pendidikan dapat diartikan sebagai kegiatan seseorangn dalam membimbing dan
memimpin anak menuju ke pertumbuhan dan perkembangan secara optimal agar dapat berdiri sendiri dan
bertanggungjawab.
Kemudian Membahas mengenai hakikat pendidikan tidak akan terlepas dari istilah humanisasi. Dan
seperti yang kita ketahui bahwa Tujuan pendidikan adalah untuk mewujudkan manusia yang ideal dan
mempunyai cita-cita yang tinggi berdasarkan pada nilai-nilai dan norma-norma yang dianut tentunya.
Manusia yang beriman kepada Tuhan Yang Maha Esa, Manusia yang mempunya akhlak mulia, dan
mempunyai kecerdasan baik secara lahir maupun batin. Itulah pentingnya pendidikan dan pendidikan
tidak dapat dijalankan tanpa kebijakan yang sesuai.
Maksudnya, (Tatang S :1994) mengatakan bahwa pendidikan harus dilaksanakan secara disadari dengan
mengacu kepada suatu landasan yang kokoh, sehingga jelas tujuannya, tepat isi kurikulumnya, serta
efisien dan efektif cara-cara pelaksanaannya. Implikasinya, dalam pendidikan, mesti terdapat momen
berpikir dan momen bertindak.
Kemudian (Redja M; 1994) mengatakan bahwa dalam rangka pendidikan itu terdapat momen studi
pendidikan dan momen praktek pendidikan. Momen studi pendidikan yaitu saat berpikir atau saat
mempelajari pendidikan dengan tujuan untuk memahami/menghasilkan sistem konsep pendidikan.
Dapat kita gambarkan dari kutipan diatas bahwa suatu pendidikan ialah dimana seorang anak didik
mampu berpikir dengan baik dan memahami apa yang telah dipelajari, serta mampu tmelakukan dan
mempraktikan apa yang telah dipelajari selama proses belajarnya, sehingga tujuan dan konsep pendidikan
dapat terealisasikan secara baik.

Jenis-jenis Landasan Pendidikan

Berdasarkan pada sumbernya, terdapat beberapa asumsi-asumsi yang dapat dijadikan tolak ukur
pendidikan, yaitu dapat berasal dari sumber agama, filsafat, ilmu dan hukum maupun yuridis.dapat kita
ketahui bahwa jenis landasan dapat didentifikasikan menjadi :

1) landasan religius pendidikan,


2) landasan filosofis pendidikan, 3) landasan ilmiah pendidikan, dan
4) landasan hukum/yuridis pendidikan.
Landasan mengenai filosofi pendidika dapat diartikan sebagai asumsi-asumsi yang bersumber pada
filsafat yang menjadi dasar atau tolak ukur pendidikan. Filsafat juga mempunya beberapa aliran yang
harus kita ketahui, diantaranya: aliran Idealisme, aliran Realisme, aliran Pragmatisme aliran Pancasila
dan sebagainya.

Fungsi Landasan Pendidikan

Dapat kita gambarkan suatu bangunan gedung dapat berdiri dengan kuat apabila memiliki pondasi, atas,
dan sebagainya. Dimana pondasi yang kokoh dapat kita artikan sebagai landasannya. Apabila suatu
pondasi dari bangunan itu tidak kokoh, maka bangunan itu tidak akan berdiri kuat dan tahan lama.
Demikian pula pada pendidikan, pendidikan yang direncanakan dan direalisasikan dengan suatu landasan
yang kokoh, maka prakteknya pun akan terlaksana secara benar dan baik, dan tidak akan merugikan
siapapun, sehingga dapat terlaksana secara efektif dan efisien dan juga relevan berdasarkan pada
kebutuhan individu dan masyarakat serta pembangunanya.
Dapat kita lihat Contoh: Dalam praktek pendidikan, para guru antara lain dituntut agar melaksanakan
peranan sesuai semboyan “tut wuri handayani”. Untuk itu, para guru idealnya memahami dan meyakini
asumsi-asumsi dari semboyan tersebut. Sebab jika tidak, sekalipun tampaknya guru tertentu berbuat
“seperti” melaksanakan peranan sesuai semboyan tut wuri handayani, namun perbuatan itu tidak akan
disadarinya sebagai perbuatan untuk tut wuri handayani bagi para siswanya. Bahkan kemungkinan
perbuatan guru tersebut akan lebih sering bertentangan dengan semboyan tersebut. Misalnya: guru
kurang menghargai bakat masing-masing siswa; semua siswa dipandang sama, tidak memiliki perbedaan
individual; guru lebih sering mengatur apa yang harus diperbuat siswa dalam rangka belajar, guru tidak
menghargai kebebasan siswa; dll. Guru berperan sebagai penentu perkembangan pribadi siswa, guru
berperan sebagai pembentuk prestasi siswa, guru berperan sebagai pembentuk untuk menjadi siapa para
siswanya di kemudian hari. Dalam contoh ini, semboyan tinggal hanya sebagai seboyan. Sekalipun guru
hapal betul semboyan tersebut, tetapi jika asumsiasumsinya tidak dipahami dan tidak diyakini, maka
perbuatan dalam praktek pendidikannya tetap tidak bertitik tolak pada semboyan tadi, tidak mantap,
terjadi kesalahan, sehingga tidak efisien dan tidak efektif.

2.3 ASAS-ASAS DAN KEBUTUHAN MANUSIA AKAN PENDIDIKAN

Manusia sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa, yang dapat dikatakan sebagai mahluk yang belum
selesi atau biasa disebut “Homo Sapiens” yanga memiliki arti makhluk yang berilmu pengetahuan.
Manusia mempunyai insting yang selalu cenderung ingin mengetahui segala sesuatu yang ada di
sekitarnya yang belum diketahu sebelumnya. Dari rasa keingintahuannya maka timbullah suatu ilmu
pengetahuan yang kemudia dapat dikembangan dengan baik.
Konsep kehidupan manusia digerakan sebagian besar oleh kebutuhannya dalam mencapai sesuatu, dan
sebagian lagi oleh tanggung jawab sosialnya terhadap masyarakat. Manusia mempunyai kertebatasan dan
sifat-sifat yang kurang baik, disamping mempunyai sikap yang baik dan kemampuan yang baik. Maka
dari itu manusia membutuhkan bimbingan dalam membentuk dan mengembangkan karakter dan sifat
yang sudah ada dalam diri masingmasing dari sejak kecil.
Manusia disebut sebagai mahkluk sosial karena mempunyai sifat ketergantungan dengan manusia yang
lainnya, sifat ketergantungan manusia misalnya dari contoh seorang bayi yang dilahirkan, ia sangat
tergantung kepada pertolongan orang tuannya. Tanpa ada pertolongan dari kedua orang tuanya, bayi
tersebut akan meninggal. Manusia juga memiliki potensi untuk menyesuaikan diri, meniru dan
beridentifikasi diri, mampu mempelajari tingkah laku dan mengubah tingkah laku.
Setelah taraf kedewasaan dicapai, manusia akan tetap melanjutkan kegiatan pendidikan dalam rangka
pematangan diri. Kematangan diri adalah kemampuan menolong diri sendiri, orang lain dan terutama
menolong kelestarian alam agar berlangsung dalam ekosistemnya. Antara manusia dan pendidikan telah
terjalin hubungan kausalitas. Karena manusia, pendidikan mutlak ada, dan karena pendidikan, manusia
semakin menjadi diri sendiri sebagai manusia yang manusiawi. Pendidikan akan menjadi sarana yang
tepat untuk mengembangkan dan membangun karakter manusia menjadi lebih baik lagi.
Selanjutnya manusia dapat dilihat dari aspek antropolgi, antropologi adalah studi tentang asal-usul,
perkembangan, karakteristik jenis manusia. Dalam pandangan antropoligi biologis, manusia adalah
puncak evolusi dari makhluk hidup. Ilmu yang memperlajari tentang hakikat manusia disebut antropolgi
filsafat.
Mari kita bandingkan antara manusia dengan benda-benda. Sama halnya dengan manusia, benda-benda
juga adalah ciptaan Tuhan. Namun demikian, benda-benda berbeda dengan manusia, antara lain dalam
hal cara beradanya. benda hanya terletak begitu saja di dunia, tidak aktif mengadakan "dirinya", dan tidak
memiliki hubungan dengan keberadaannya. Contohnya, sebatang kayu yang tergeletak diambil manusia,
lalu dijadikan kursi. Kayu tentu tidak aktif mengadakan "diri"nya untuk menjadi kursi, melainkan dibuat
menjadi kursi oleh manusia; dan kita tidak dapat mengatakan bahwa kursi bertanggung jawab atas fakta
bahwa ia adalah kursi. Oleh sebab itu, dalam istilah Martin Heidegger benda-benda di sebut sebagai
"yang berada", dan bahwa benda-benda itu hanya "vorhanden", artinya hanya terletak begitu saja di
depan orang, tanpa ada hubungannya dengan orang itu; bendabenda baru berarti sebagai sesuatu,
misalnya sebagai kursi jika dihubungkan dengan manusia yang membuatnya, yang memeliharanya atau
menggunakannya. Sebaliknya manusia, ia bereksistensi di dunia. Artinya, manusia secara aktif
"mengadakan" dirinya, tetapi bukan dalam arti menciptakan dirinya sebagaimana Tuhan menciptakan
manusia, melainkan manusia harus bertanggung jawab atas keberadaan dirinya, ia harus bertanggung
jawab menjadi apa atau menjadi siapa nantinya. Bereksistensi berarti merencanakan, berbuat, dan
menjadi sehingga setiap saat manusia dapat menjadi lebih atau kurang dari keadaannya. Dalam kalimat
lain dapat dinyatakan bahwa manusia bersifat terbuka, manusia adalah makhluk yang belum selesai
"mengadakan" dirinya.

Tugas dan Tujuan Manusia adalah Menjadi Manusia

Setiap manusia mempunyai kebebasan dalam memilih jalan mana yang akan ditempuhnya, mempunyai
kebebasan dalam menentukan pilihannya untuk menjadi apa atau menjadi siapa nantinya di masa depan,
tetapi sejalan dengan konsep yang telah diuraikan terdahulu bahwa bereksistensi berarti berupaya secara
aktif dan secara bertanggung jawab untuk mengadakan diri sebagai manusia. Andaikan seseorang
menentukan pilihan dan berupaya untuk tidak menjadi manusia atau tidak mewujudkan aspek-aspek
hakikatnya sebagai manusia maka berarti yang bersangkutan menurunkan martabat kemanusiaannya.
Karena sejak kelahirannya manusia memang adalah manusia, tetapi ia tidak secara otomatis menjadi
manusia dalam arti dapat memenuhi berbagai aspek hakikat manusia. Sebagai individu atau pribadi,
manusia bersifat otonom, ia bebas menentukan pilihannya ingin menjadi apa atau menjadi siapa di masa
depannya.
Dengan demikian manusia menjadi kurang manusiawi dan kurang bertanggung jawab terhadap
keberapadaan dirinya sebagai manusia. Banyak orang juga menurunkan martabatnya dari tingkatan
semestinya yaitu sebagai human pada tingkat yang bisa dikatakan rendah dari tingkat human. Dapat
dikatakan tingkatannya setara dengan hewan, tumbuhan atau bahkan tingkatan benda. Dengan mampunya
kebebasan dalam menentukan sesuatu tetapi tidak dapat dilupakan juga bahwa manusia juga mempunyai
tanggung jawab yang harus dipenuhi dan juga harus mengemban tugas dan mempunyai tujuan untuk
menjadi manusia yang lebih bertanggung jawab dalam setiap hal.
(Fuad Hasan, 1973). Mengatakan bahwa Karl Jaspers menyatakannya dalam kalimat: "to be a man is to
become a man", ada sebagai manusia adalah menjadi manusia Implikasinya jika seseorang tidak selalu
berupaya untuk menjadi manusia maka ia tidaklah berada sebagai manusia.
Dapat kita ketahui bahwa berbagi aspek hakikat manusia pada dasarnya adalah mengenai potensi yang
harus diwujudkan. Oleh karena itu, berbagai aspek hakikat manusia merupakan sosok manusia ideal,
merupakan gambaran manusia yang dicitacitakan atau yang menjadi tujuan. Sosok manusia ideal tersebut
belum terwujud melainkan harus diupayakan untuk diwujudkan. Perlu dikembangkan lebih lanjut,
tentunya melalu pendidikan maka hal tersebut akan terwujud.

Asas-Asas Kemungkinan Pendidikan

Manusia merupakan makhluk hidup yang perlu didik, membutuhkan pengarahan dalam hidu[, harus
menempuh pendidikan agar mencapai hidup yang lebih baik dimasa depan. Kemudian muncul
pertanyaan, apakah mungkin manusia dapat didik? Ini lah pentingnya hubungan antara manusia dengan
pendidikan yang diawali dengan pertanyaan. Atau bahwa muncul sebuah pertanyaan, Apakah manusia
dapat berkembang dan tumbuh sendiri menjadi manusia tanpa perlu dididik?
Tanpa disadari sebelumnya bahwa pengetahuan itu sangat penting, tetapi banyak yang berfikir dan
berpendapat bahwa manusia tanpa pengetahuan juga tetap bisa hidup. Secara kodrati manusia memiliki
hasrat untuk mengetahui. Ada yang hasratnya besar sehingga upaya pencarian pengetahuan sangat tinggi
dan tidak kenal menyerah. Akan tetapi, ada pula yang hasratnya rendah atau biasa-biasa saja sehingga
tidak bermotivasi mencari pengetahuan. Namun demikian, dapat dikatakan bahwa semua manusia punya
keinginan untuk mengetahui sesuatu.
Dengan kegiatan pendidikan dan pembelajaran secara terus menerus, manusia mendapat ilmu
pengetahuan yang sarat dengan nilai kebenaran baik yang universal-abstrak, teoritis, maupun praktis.
Nilai kebeneran ini selanjutnya mendorong terbentuknya sikap perilaku arif dan berkeadilan. Lebih
lanjut, dengan sikap dan perilaku tersebut, manusia membangun kebudayaan dan peradabannya.
Kebudayaan baik yang material ataupun yang spiritual adalah upaya manusia untuk mengubah vertikal
membangun ketergantungan baik secara horizontal maupun vertikal.
Dapat dikatakan bahwa pengetahuan hanya dimili oleh manusia, meskipun ada yang berpendapat
berdasarkan instingnya bahwa binatang pun memiliki pengetahuan. Misalnya, setiap binatang tahu akan
ada bahaya yang mengancam dirinya atau ada makanan yang bisa disantap. Seekor harimau tahu persis
apa ada binatang di sekitarnya yang dapat dimangsa.
Namun faktanya bahwa Manusia tidak dapat hidup berdasarkan instingnya saja, walau kadangkadang
juga ada manusia yang memiliki insting yang kuat. Manusia memiliki pengetahuan yang didasarkan atas
insting sangat terbatas. Oleh karena manusia merupakan satu-satunya makhluk ciptaan Allah yang diberi
akal (kata “aql” tidak kurang dari lima puluh kali disebut dalam kitab suci al Qur’an) maka ia dapat
memperoleh pengetahuan tentang segala hal. Hebatnya lagi, manusia tidak saja mampu memperoleh
pengetahuan yang diperlukan dalam hidupnya, tetapi juga mengembangkannya menjadi beraneka ragam
pengetahuan.
(M.J. Langeveld 1980) mengatakan bahwa "manusia itu sebagai animal educandum, dan ia memang
adalah animal educabile". Jika kita mengacu kepada uraian terdahulu tentang sosok manusia dalam
berbagai dimensinya, ada 5 asas antropologis yang mendasari kesimpulan bahwa manusia mungkin
dididik atau dapat dididik, yaitu (1) potensialitas, (2) dinamika, (3) individualitas, (4) sosialitas, dan (5)
moralitas.

1. Asas Potensialitas

Seperti yang kita sudah bahas sebelumnya bahwa manusia mempunyai potensi pada dirinya, tetapi dalam
mengembangkannya manusia memerlukan pendidikan. Contohnya, dalam aspek kesusilaan manusia
diharapkan mampu berperilaku sesuai dengan norma-norma moral dan nilai-nilai moral yang diakui. Ini
adalah salah satu tujuan pendidikan atau sosok manusia ideal berkenaan dengan dimensi moralitas.
Apakah manusia dapat atau mungkin dididik untuk mencapai tujuan tersebut? Jawabannya adalah dapat
atau mungkin sebab sebagaimana telah dikemukakan pada uraian terdahulu bahwa manusia memiliki
potensi untuk berbuat baik. Demikian pula dengan potensipotensi lainnya. Berdasarkan hal itu maka
dapat disimpulkan bahwa manusia akan dapat dididik karena ia memiliki berbagai potensi untuk dapat
menjadi manusia.

2. Asas Dinamika

Manusia merupakan makluk yang ingin mengetahui apa yang ada disekitarnya, merupakan makhluk yang
aktif dalam berbagai bidang, baik fisiologik maupun spiritual. Selalu berusaha untuk menjadi manusia
yang ideal baik dihadapan manusia ataupun dihadapan Tuhan. Jika kita pahami lebih dalam bahwa
pendidikan dilakukan untuk membantu manusia agar menjadi manusia yang ideal, dan disisi lain manusia
itu sendiri memiliki dinamika untuk menjadi manusia yang ideal. Demikianlah muncul implikasi bahwa
manusia dapat dididik.

3. Asas Individualitas

Kemudian asas terakhir yaitu asas individu, manusia mempunyai keinginan umtuk menjadi apa yang
sesuai dengan keingannya sendiri. Meskipun ia bergaul dengan sesama manusia, ia akan tetap berusaha
menjadi dirinya sendiri. Oleh karena itu, manusia sebagai individu yang tidak pasif, tetapi bebas dan aktif
untuk mewujudkan apa yang diinginkan dirinya. Dengan adanya pendidikan makan membantu manusia
dalam mewujudkan atau mengaktualisasikan dirinya sendiri. Pendidikan tidak hanya untuk membentuk
manusia berdasarkan pada kendandak pendidikan saja, tetapi juga harus ada usaha dari individu yang
dididiknya untuk mewujudkan apa yang diinginkannya.

4. Asas Sosialitas

Dan asas yang berikutnya yaitu asas sosialitas, manusia merupakan insan sosial yang tidak dapat hidup
sendiri dan perlu hidup bersaa sesamanya, manusia butuh bergaul dengan orang lain disekitarnya. Dengan
adanya kehidupan bersosialisasi maka memberikan pengaruh timbal balik. Karena pada diri setiap
individu akan menerima pengaruh dari yang lainnya. Dengan begitu manusia perlu dididik, sebab upaya
bantuan atau pengaruh dari suatu pendidikan itu disampaikan melalu interaksi dan komunikasi antar
sesama manusia.

5. Asas Moralitas
Asa yang terakhir yaitu asas moralitas, dimana manusia mempunya kemampuan agar dapat membedakan
mana yang baik dan yang tidak baik, dan kembali lagi pada potensi diri sendiri untuk berprilaku baik
berdasarkan kebabasan dan tanggung jawabnya/aspek moralitas.
Pada hakikatnya memang pendidikan bersifat normatif, yang berarti dilaksanakan pada sistem nilai dan
norma yang telah ditentukan serta berdasarkan pada arahan untuk mewujudkan manusia yang ideal, yaitu
manusia yang sesuai dengan harapan yang mempunyai sistem norma dan nilai yang baik yang bersumber
pada agama maupun budaya yang diakuinya. Manusia memiliki dimensi moralitas sedangkan pendidikan
bersifat normatif sehingga aspek moralitas memungkunkan manusia untuk dapat dididik,
Berdasarkan pada asas-asas diatas maka dapat dikatakan bahwa pendidikan memang mutlak harus
dilaksanakan oleh manusia, apabila asumsi tersebut diingkari maka kita akan kembali pada
kesimpulannya bahwa manusia tidak perlu dididik, tidak dapat dididik karena itulah kita perlu
melaksanakan suatu pendidikan, yang akan berpengaruh baik bagi kehidupan kita nantinya.

2.4 Kebutuhan manusia akan pendidikan

Dalam rangka mempersiapkan setiap insan pada suatu tingkat dimana mereka mampu menunjukan
kemandirian yang bertanggung jawab, baik terhadap dirinya sendiri maupun terhadap lingkungan ini
merupakan kebutuhan manusia terhadap Pendidikan. Pendidikan melatih manusia untuk memliki tingkat
penyesuaian diri yang baik dalam berinteraksi dengan lingkungan (baik dengan sesama manusia maupun
dengan lingkungan sekitar).
Pendidikan akan menjadi sarana dan wadah yang sangat penting bagi kehidupan manusia, maka dari itu
kebutuhan manusia akan pendidikan sangatlah penting. Seperti yang telah kita bahasa mengenai hakekat
manusia, dimana manusia merupakan mahkluk yang berfikir dan mempunya kemampuan, maka dari itu
perlu pengembangan dalam mengembangkan pengetahuan yang dimiliki oleh setiap manusia.
(Prof John S Brubacher : 1981) mengatakan bahwa pendidikan dapat diartikan sebagai suatu proses
penyesuaian diri secara timbal balik dari seseorangan dengan manusia lainnya dan dengan
lingkungannya.
(M.J. Adler) mengatakan bahwa pendidikan pada manusia bertujuan untuk melatih dan membiasakan
manusia sehingga potensi, bakat dan kemampuannya menjadi lebih sempurna. Ini berarti manusia
membutuhkan pendidikan untuk menjadikan manusia lebih baik lagi dan lebih sempurna.
Maka dengan adanya pendidikan, manusia akan berkembang dan bertumbuh. Mengembangkan potensi
yang memang sudah tertanam sejak lahir. Setiap manusia akan membutuhkan pendidikan sebagai sarana
untuk berproses, untuk mencapai kehidupan yang berkualitas. Pendidikan akan sangat menunjang
manusia untuk terus maju dan berkembang dalam meningkatkan ilmu pengetahuan. Tidak hanya
mendapat dan meningkatkan ilmu pengetahuan saja, tetapi juga manusia akan dididik dalam segi sikap
dan karakteristik. Seperti yang kita ketahui bersama bahwa dengan pendidikan manusia dapat bersikap
lebih bertanggung jawab dan membangun karakter yang lebih baik.
Kemudian itulah mengapa hakekat manusia sangat berhubungan erat dengan pendidikan, dan pendidikan
merupakan hal yang sangat berpengaruh pada kehidupan manusia, dimana dengan adanya pendidikan
maka manusia dapat berkembang dan berpikir untuk mencapai dan menghadapi masa depan.
PENUTUPAN

Simpulan

Hakikat pendidikan tidak akan terlepas dari istilah humanisasi. Dan seperti yang kita ketahui bahwa
Tujuan pendidikan adalah untuk mewujudkan manusia yang ideal dan mempunyai cita-cita yang tinggi
berdasarkan pada nilai-nilai dan norma-norma yang dianut tentunya. Manusia yang beriman kepada
Tuhan Yang Maha Esa, Manusia yang mempunya akhlak mulia, dan mempunyai kecerdasan baik secara
lahir maupun batin. Itulah pentingnya pendidikan dan pendidikan tidak dapat dijalankan tanpa kebijakan
yang sesuai. pendidikan memang mutlak harus dilaksanakan oleh manusia, apabila asumsi tersebut
diingkari maka kita akan kembali pada kesimpulannya bahwa manusia tidak perlu dididik, tidak dapat
dididik karena itulah kita perlu melaksanakan suatu pendidikan, yang akan berpengaruh baik bagi
kehidupan kita nantinya.
Manusia sebagai Makhluk Tuhan YME Dalam perjalanan hidupnya manusia mempertanyakan tentang
asal-usul alam semesta dan asal-usul keber-ada-an dirinya sendiri. Terdapat dua aliran pokok filsafat yang
memberikan jawaban atas pertanyaan tersebut, yaitu Evolusionisme dan Kreasionisme. Manusia sebagai
makhluk rasional yang dapat berpikir dan mempergunakan ilmu untuk meningkatkan perkembangan pada
dirinya. Manusia juga dapat belajar mengatasi masalah-masalah yang dihadapinya. Kemampuan-
kemampuan yang ada pada dirinya harus dimanfaatkan oleh dirinya sendiri. Kemudian manusia harus
berusaha terus-menerus memperkembangkan dan meningkatkan dirinya sendiri, khusunya melalui
pendidikan.
Demikianlah mengapa hakekat manusia sangat berhubungan erat dengan pendidikan, dan pendidikan
merupakan hal yang sangat berpengaruh pada kehidupan manusia, dimana dengan adanya pendidikan
maka manusia dapat berkembang dan berpikir untuk mencapai dan menghadapi masa depan. Dengan
kemampuan yang dimiliki sebagai hasil dari proses pendidikan, dapat dijadikan sebagai bekal untuk
mampu berperan dalam lingkungan dimana individu tersebut berada, sekaligus mampu menempatkan diri
sesuai dengan perannya.

Saran

Sebagai mahasiswa yang berpendidikan, hendaklah kita mengetahui dan memahami arti dari hakekat
manusia dan pendidikan, dan juga dapat menerapkan hakikan manusia itu sendiri dalam pendidikan,
memahami pentingnya pendidikan bagi kehidupan masa depan seorang manusia. Dan untuk seorang
pendidik pun harus mengetahui arti dari manusia itu sendiri, sehingga dapat mengetahui cara
memperlakukan seorang manusia sebaik mungkin, dapat mendorong dan memberikan pengajaran pada
seorang yang didikan sebaik mungkin.
DAFTAR PUSTAKA

Abdullah, A.R.S. 1991. Educational Theory, A Quranic Outlook (Alih bahasa: Mutammam).
Bandung: Diponegoro.
AH, F. 1985. Realitas Manusia: Pandangan Sosiologis Ibnu Khaldun dalam Insan Kamil
(Penyunting: Dawam Rahardjo). Jakarta: Grafiti Per

Anshari, E. S. 1983. Filsafat, Ilmu dan Agama. Surabaya: Bina Ilmu.

Arsyad, Arsyad. 2016. “Konsep Penelitian Skripsi Sebagai Kegiatan Ilmiah”. Jurnal Fascho, Kajian
Pendidikan dan Sosial Kemasyaraatan, No. 1 volume 5: 1-10 (Tulisan dapat diakses di
https://osf.io/preprints/inarxiv/npx2s/)
Arsyad, Arsyad dan Salahudin. 2018. “Hubungan Kemampuan Membaca Al Qur’an dan
Minat Belajar Siswa dengan Hasil Belajar Pendidikan Agama Islam (PAI)”.
EDUKASI; Jurnal Penelitian Pendidikan Agama dan Keagamaan. 16 No.
2: 166-178 (Tulisan dapat diakses di Website: http://jurnaledukasikemenag.org).
Arsyad, Arsyad, Sulfemi, Wahyu Bagja, Fajartriani Tia. 2020. “Penguatan Motivasi Shalat dan Karakter
Peserta Didik melalui Pendekatan Pembelajaran Kontekstual Pada Mata Pelajaran Pendidikan
Agama Islam.” POTENSIA: Jurnal Kependidikan Islam, Vol. 6, No. 2: 185-204. (Tulisan dapat
diakses di http://ejournal.uinsuska.ac.id/index.php/potensia/article/view/9662).
Arsyad, Arsyad dan Sulfemi Wahyu Bagja 2017. “Pemberdayaan Individu melalui Konsep
Link and Match dalam Perspektif Pendidikan Islam.” Prosiding Seminar Nasional
STKIP Muhammadiyah Bogor. Bogor: STKIP Muhammadiyah Bogor, No. 1:
58-65. (Tulisan dapat diakses di https://osf.io/preprints/inarxiv/wcmtq)

Buber, M. 1959. Between Man and Man. (Translated by Ronald Gregor Smith). Boston:
Beacon Press.

Butler, J. D. 1957. Four Philosophies and Their Practice in Education and Religion. New York: Harper &
Brothers Publishers.
Cassirer, E. 1987. An Essay On Man. (Terj.: Alois A. Nugroho). Jakarta: Gramedia

Ihsan, Fuad. 2000. Dasar-Dasar Kependidikan. Jakarta: PT.Rineka Cipta


John S.Brubacher. 1981. Modern Philosophies of Education. 4th edition. New Delhi: Tata Mc Grow Hill
Publishing Company Ltd.
Nur Uhbiyati. 1997. Ilmu Pendidikan. Jakarta: PT.Rineka Cipta

Palettei, Arsyad Djamaluddin; Sulfemi, Wahyu Bagja. (2019). Pengaruh Kelompok Kerja Guru (KKG)
Terhadap Peningkatan Kompetensi Pedagogik dan Kemampuan
Menulis Karya Ilmiah. Jurnal Pendidikan Dasar Indonesia (JPDI) 4 (2), 53 – 58
(Tulisan dapat diakses di https://journal.stkipsingkawang.ac.id/index.php/JPDI/article/view/1522).

Anda mungkin juga menyukai