Anda di halaman 1dari 18

Pertemuan 13

FORMALISME AGAMA

Tujuan:
Mahasiswa mampu:
1. Menjelaskan perbedaan beriman sebagai keutamaan dengan fomalisme (C4).
2. Memahami hal-hal yang mempengaruhi bangkitnya kesadaran religiusitas (C4).
3. Memahami aspek-aspek yang menjadi latar belakang formalitas agama (C3).
4. Melakukan sikap untuk ciptakan sebuah kesejatian berpijak pada rasionalitas yang
sehat dan utuh (C5, C6).

Metode:
1. Ceramah
2. Diskusi
3. Tanya jawab
Waktu: 100 menit
Media/Alatbantu:
 White-board
 Infocus
 Spidol
 Gambar/film
Bahan Bacaan:
 Allport, G.W. & Ross, J. M., Personal Religious Orientation and Prejudice (Journal of
Personality and Social Psychology, 5, 1967).
 Amstrong, Karen, Islam A Short History (Sepintas Sejarah Islam), (Yogyakarta: IKON
TERALITERA, 2002)
 Anwar, M. Syafii, Pemikiran dan Aksi Islam di Indonesia: Sebuah Kajian Politik
tentang Cendekiawan Muslim Orde Baru, (Jakarta: Paramadina, 1995).
 Barr, James, Fundamentalisme, (Jakarta: PT BPK Gunung Mulia, 1996).
 Belfiore, Francesco, The Triadic Structure of The Mind: Outlines of a Philosophical
System, (Lanham, MD, USA: University Press of America, 2004).
 B., Y., Mangunwijaya, Sastra dan Religiusitas, (Jakarta: Penerbit Sinar Harapan,
1982).
 Dll.

I. Pendahuluan

Salah satu isu sosial yang mencuat akhir-akhir ini adalah munculnya gerakan keagamaan
yang ingin menginstitusionalisakan keyakinannya dalam kehidupan bernegara melalui partai-
partai atau organisasi keagamaan lainnya. Hal ini setidaknya berakar pada pada dua hal: Pertama,
adalah tumbuhnya kesadaran keagamaan yang dipengaruhi oleh ketidakpuasan kelompok-
kelompok agama tertentu terhadap realitas sosial yang diwarnai masalah-masalah seperti
korupsi, kemiskinan, kebodohan dan lain sebagainya; ketidakpuasan ini sebenarnya sekaligus
merupakan bentuk ketidakpuasan atau “protes” terhadap organisasi-organisasi keagamaan
sebelumnya yang dianggap kurang tanggap atau tidak becus dalam menghadapi masalah-masalah
sosial itu. Kedua, adalah—dalam konteks keindonesiaan—terbukanya peluang lebih besar bagi
tumbuh suburnya gerakan-gerakan keagamaan itu pasca Orde Baru yang sebelumnya sangat
alergi dan represif terhadap kehadiran kelompok-kelompok agama karena dianggap berlawanan
dengan ideologi negara, yaitu Pancasila dan membahayakan persatuan dan kesatuan bangsa.
Sementara, bagi kelompok-kelompok keagamaan tersebut, institusionalisasi agama dalam ruang
publik adalah jawaban untuk mengatasi problematika sosial yang mencuat.

Kehadiran kelompok-kelompok keagamaan itu telah banyak membawa dampak


keresahan dalam masyarakat. Ancaman disintegrasipun muncul terkait konteks kemajemukan
yang tidak bisa menerima begitu saja upaya-upaya institusionalisasi agama tertentu karena
dianggap memaksakan kehendak dan mau menang sendiri. Indikasinya jelas, upaya penegakan
syariat agama dengan jalan kekerasan yang jauh dari kata toleransi dan penghargaan atas hak
asasi manusia (HAM).

Bab ini akan membahas formalisme agama dalam kaitannya dengan radikalisme dan
upaya-upaya kelompok keagamaan tertentu untuk, secara sosial-politik, memposisikan diri
sebagai alat Tuhan untuk kemaslahatan umat dan bangsa pada umumnya. Pada bagian awal akan
dijelaskan pemahaman mendasar mengenai formalisme agama serta karakteristiknya. Kemudian
akan dideskripsikan fenomena formalisme agama dalam hubungannya dengan geliat radikalisme
dan potensi konflik sosial yang muncul antarumat beragama di Indonesia. Selanjutnya adalah
bagaimana solusi mengatasi formalisme agama, yakni dengan mengembangkan keberimanan
kritis dan toleransi yang mewujud dalam dialog dan kerjasama antarumat beragama di Indonesia.
Terakhir adalah bagian penutup atau kesimpulan.

II. Formalisme Agama, Apakah Itu?

Dalam agama, moral, etika, atau hukum—meskipun tidak secara begitu saja dapat
dipisahkan—dapat dibedakan antara bentuk dan isi, ungkapan dan maksud-tujuan, rumusan dan
hal yang dirumuskan, forma dan materia. Formalisme adalah sikap-sikap atau teori etika yang
lebih mengutamakan bentuk daripada isi dalam agama, moral, etika dan hukum. Ini sejalan
dengan makna asal dari kata Latin, forma, yang berarti bentuk, ungkapan, rumusan.

Sebagai sikap, formalisme menekankan pada kehendak baik dan pematuhan kepada
bentuk, ungkapan, rumusan, forma, lebih daripada isi, makna, maksud-tujuan, hal yang

2
dirumuskan, materia. Dalam konteks agama, formalisme secara berlebihan menekankan pada
segi lahiriah dalam praktik dan ibadat serta simbol-simbol yang ada di dalamnya dengan
mengorbankan isi, arti dan maksud yang dikandungnya. Formalisme agama sibuk dengan
ketetapan perilaku, format upacara dan perayaan keagamaan yang digariskan tanpa peduli
dengan makna esensial dan maksud-tujuannya secara mendasar.

Etika formalisme mengatakan bahwa suatu perbuatan dapat dipandang benar atau salah
bukan berdasarkan pertimbangan materialnya, tetapi lebih berdasarkan pada pertimbangan
formalnya. Artinya dalam menilai perbuatan secara etis, pertimbangannya diletakkan lebih berat
kepada disposisi, keadaan, maksud, tujuan si pelaku dan rumusan hukum, kode etik, ajaran moral
dan agama daripada pada materi perbuatan dan akibat-akibatnya. Karena itu, menurut etika
formalistis, suatu perbuatan dapat dianggap jahat, namun bila pelakunya tidak dalam disposisi
dan keadaan sadar pada waktu melakukannya dan tidak ada rumusan hukum, kode etik, ajaran
moral dan agama yang dilanggar, maka orang yang bersangkutan tidak boleh dinilai
bertanggungjawab dan dikatakan jahat. Berapa banyak dan berapa besar kerugianpun yang
diakibatkan oleh suatu perbuatan, bila pelakunya tidak mempunyai maksud dan tujuan jahat
ketika melakukannya dan melanggar rumusan larangan, maka itu tidak bisa disebut jahat.

Etika formalisme mengungkapkan itikad baik pelakunya karena dengan sikap itu para
pelakunya menampakkan kehendak untuk menjalankan kewajiban hukum, etika dan ajaran moral
serta ajaran agama dengan sebaik-baiknya. Kaum formalis bahkan dapat menjadi sangat fanatik
dalam kehidupan etika, hukum, moral dan agama. Mengapa etika, moral, hukum dan agama itu
nampak berat sebelah? Oleh karena ia melupakan unsurnya yang utama, yaitu materi isi, arti,
pesan dan spirit yang ada di dalamnya.

Dengan gambaran seperti itu jelaslah apa yang dimaksud dengan formalisme agama,
yaitu pemahaman keagamaan yang lebih menekankan bentuk daripada isi, hal-hal yang lebih
bersifat institusionalistik dan formalistik daripada kandungan isi dan maknanya. Formalisme
agama berbeda dengan ritualisme. Pemahaman tentang formalisme tidak boleh direduksi dan
dipersempit menjadi sekedar ritualisme. Ritualisme hanyalah salah satu aspek, atau mungkin
lebih tepatnya disebut sebagai akibat, dari formalisme. Ritualisme adalah pelaksanaan hidup
beragama yang lebih mengutamakan upacara-upacara (ritual) keagamaan saja tanpa
memperhatikan hubungannya dengan hidup sehari-hari. Sedangkan formalisme adalah

3
kompleksitas pelaksanaan hidup beragama yang secara ekstrim menekankan patokan pada
doktrin (ajaran) yang sudah digariskan dan lebih mengutamakan pelaksanaan ungkapan-
ungkapan eksternal keagamaan tanpa sungguh memahami, menghayati makna, apalagi
mengaplikasikannya.1 Formalisme agama adalah penghayatan hidup beragama yang tertutup,
eksklusif, tidak kritis, dan mengabaikan makna. Ritualisme agama adalah salah satu aspek dan
efek dari formalisme agama. Atau singkatnya dapat dikatakan bahwa formalisme agama adalah
wujud pemahaman keagamaan yang bersifat kaku, eksklusif, yang lebih menekankan aktivitas
peribadatan yang bersifat artifisial fisik, simbol-simbol dan pada penerapannya dalam kehidupan
sosial mengabaikan pesan inti agama untuk toleran dan berbuat baik kepada sesama guna
membangun kehidupan bersama yang maslahat bagi semua.

Dalam buku diktat Character Building Agama (unpublished paper), bahan ajar di salah
satu perguruan tinggi swasta, disebutkan beberapa karakteristik dari formalisme agama, yakni:
Menekankan bentuk daripada isi, memberikan penekanan lebih kepada simbol-simbol agama,
memberikan penghargaan sangat tinggi kepada orang-orang yang memiliki gelar keagamaan dan
suka menggunakan istilah-istilah keagamaan.2

Formalisme pada dasarnya dapat mewujud dalam semua agama, Kristen (Protestan dan
Katolik), Islam, Hindu, Buddha atau Konghucu. Formal identik dengan seragam, seragam identik
dengan simbol. Dalam konteks keislaman, Mahmuddin (2015) mengatakan, Islam formal
dimaknai dengan Islam yang seragam serta selalu mementingkan simbol. Kelompok umat Islam
yang menginginkan syariat Islam diformalkan dapat disebut penganut Islam formal. Mereka
adalah kelompok yang menginginkan agar ajaran Islam diseragamkan, terutama dalam konteks
bernegara. Dengan demikian, simbol adanya aturan yang mengandung syariat Islam yang
seragam selalu menjadi impian dan harapan mereka.3 Hal ini ditegaskan lebih jauh oleh Anwar
(1995) bahwa formalisme Islam pada tataran berpikir adalah instutisionalisasi doktrin, simbol
dan idiom keagamaan. Begitu pula pada tataran aksi, yakni upaya-upaya menjadikan Islam
sebagai ideologi negara. Islam yang formalistik berarti Islam yang orientasinya adalah
kecenderungan untuk menopang bentuk-bentuk masyarakat politik Islam yang dibayangkan

1
Francesco Belfiore, The Triadic Structure of The Mind: Outlines of a Philosophical System, (Lanham, MD, USA:
University Press of America, 2004), hlm. 310.
2
A. Gea, dkk (Tim CBDC), Character Building Agama, (Jakarta: Universtas Bina Nusantara, unpublished paper).
3
Mahmuddin, Formalisme Agama Dalam Persfektif Gerakan Sosial: Prospek Dan Tantangan Di Masa Depan,
(Jurnal Diskursus Islam, Vol. 3, No. 1, 2015), hlm. 38.

4
seperti mewujudnya suatu “sistem politik Islam”, munculnya partai Islam, ekspresi simbol dan
idiom-idiom politik, kemasyarakatan, budaya Islam, serta eksperimentasi sistem ketatanegaraan
Islam. Karena itu, kaum formalis sangat menekankan ideologisasi atau politisasi yang mengarah
kepada simbolisme keagamaan secara formal.4

III. Fenomena Formalisme Agama di Indonesia

Formalisme agama yang bersifat kaku dan eksklusif perlu dikritisi. Oleh sebab
pemahaman agama yang bersifat eksklusif dapat menjadi lahan subur bagi berkembangnya
radikalisme, bahkan kemudian dapat berkembang ke arah terorisme. Salah satu faktor
fundamental yang menyebabkan radikalisme agama, menurut Stark (2003), adalah ketika agama
dipahami dan diajarkan dengan corak ekslusif-partikularistik.5 Corak penyebaran agama ini
akhirnya menopang berkembangnya partikularisme, keyakinan bahwa agama yang dipeluknya
adalah satu-satunya agama yang benar. Beberapa ciri penyebaran paham ketuhanan dengan corak
yang ekslusif-partikularistik adalah penanaman keimanan yang kokoh dengan pendekatan
doktrinernya, tanpa kompromi, dan normatif. Corak ini juga cenderung memposisikan diri secara
berlawanan dengan paham yang berbeda dengannya. Ketika kelompok agama yang bercorak
eksklusif-paternalistik memiliki kekuatan maka eskalasi ketegangan ke arah konflik dan
intoleransi antarkelompok pun biasanya terjadi. Dalam hal inilah dapat dikatakan agama
berkaitan dengan radikalisme.6

Apa itu radikal dan radikalisme? Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), kata
radikal memiliki tiga pengertian: (1) secara mendasar/sampai kepada prinsip; (2) amat keras
menuntut perubahan undang-undang, pemerintahan; dan (3) maju dalam berpikir atau bertindak. 7
Pengertian-pengertian tersebut sering digunakan dalam konteks yang berbeda. Oleh karena itu,
makna kesan yang diberikan juga berbeda-beda, ada yang positif dan negatif. Dalam pengertian
positif misalnya, kata radikal dihubungkan dengan kegiatan berpikir filosofis, yang salah satu
cirinya adalah mendalam, mendasar, sampai ke akar permasalahan. Sementara itu, makna yang
memberikan kesan negatif tercermin pada pengertian nomor dua, yaitu amat keras menuntut
4
M. Syafii Anwar, Pemikiran dan Aksi Islam di Indonesia: Sebuah Kajian Politik tentang Cendekiawan Muslim
Orde Baru (Jakarta: Paramadina, 1995), hlm. 146.
5
Radney Stark, One True God: Resiko Sejarah Bertuhan Satu, terj. M. Sadat Ismail (Yogyakarta: Penerbit Qalam
dan Nizam Press, 2003), hlm. 171.
6
Karwadi, Deradikalisasi Pemahaman Ajaran Islam, (Jurnal Al-Tahrir, Vol 14, No. 1, Mei 2014), hlm. 141-142.
7
Depdiknas, Kamus Besar Bahasa Indonesia (Jakarta: Balai Pustaka, 1996), hlm. 808.

5
perubahan. Pengertian ini mengindikasikan sikap kaku, keras, mau menang sendiri, memaksakan
kehendak, tidak mau kompromi. Secara sosiologis, nampaknya kata radikal lebih sering
dipahami dengan pengertian yang disebutkan terakhir.8

Selain kata radikal, ada pula radikalisme. Radikalisme dalam KBBI didefinisikan: (1)
paham atau aliran yang radikal dalam politk; (2) paham atau aliran yang menginginkan
perubahan atau pembaharuan sosial dan politik dengan cara kekerasan atau drastis; (3) sikap
ekstrem dalam suatu aliran.9 Definisi-definisi ini lebih dekat maknanya pada definisi radikal
sebagai sikap keras dan kaku. Hal yang menarik untuk dicermati adalah kenyataan bahwa
radikalisme banyak bersinggungan dengan masalah sosial dan politik. Ini mengisyaratkan bahwa
berkembangnya radikalisme erat hubungannya dengan persoalan yang sarat dengan muatan
kepentingan, baik sosial maupun politik. Jika premis ini benar, maka radikalisme sesungguhnya
tidak hanya berhubungan dengan cita-cita perjuangan menegakkan ajaran agama, tetapi juga
sekaligus perjuangan untuk mewujudkan kepentingan politis tertentu.10

Fenomena formalisme agama yang memicu tumbuh-kembangnya radikalisme, yang


berpotensi melahirkan budaya kekerasan melalui pemaksaan kehendak tidak hanya terjadi di
Indonesia, namun juga terjadi di banyak negara di seluruh dunia. Fenomena itu ditandai dengan
kebangkitan fundamentalisme agama11 dan upaya-upaya menjadikan agama tertentu sebagai
dasar, payung atau tiang utama penyangga dalam kehidupan bernegara dengan semangat
penegakan syariat atau ajaran agamanya.12 Kebangkitan kembali agama sejak eksklusinya oleh
sekularisme dan masyarakat industri modern yang berkembang sejak tahun 1970an memaksa
kita merumuskan ulang tesis Auguste Comte, Herbert Spencer, Emile Durkheim, Max Weber,
8
Karwadi, op.cit, hlm. 143.
9
Karwadi, ibid.
10
Karwadi, loc.cit.
11
Istilah fundamentalisme sering disalahmengerti sebagai kelompok agama yang menafsirkan kitab suci secara
harfiah. Menurut Barr, pandangan itu jauh dari tepat. Ia mengemukakan ciri-ciri fundamentalisme (Kristen) sbb: (1)
Penekanan yang amat kuat pada ketiadasalahan (inerrancy) Alkitab. Bahwa Alkitab tidak mengandung kesalahan
dalam bentuk apapun; (2) Penolakan terhadap teologi modern serta terhadap metode, hasil dan akibat-akibat studi
kritik modern terhadap Alkitab; (3) Jaminan kepastian bahwa mereka yang tidak ikut menganut pandangan
keagamaan mereka sama sekali bukanlah ‘Kristen sejati”. James Barr, Fundamentalisme, (Jakarta: PT BPK Gunung
Mulia, 1996), hlm. 1.
12
Armstrong mengatakan bahwa gerakan fundamentalis tidak muncul begitu saja sebagai respons spontan terhadap
datangnya modernisasi yang dianggap sudah keluar terlalu jauh. Semua orang religius berusaha mereformasi tradisi
mereka dan memadukannya dengan budaya modern, seperti dilakukan pembaharu Muslim. Ketika cara-cara
moderat dianggap tidak membantu, beberapa orang menggunakan metode yang lebih ekstrem, dan saat itulah
gerakan fundamentalis lahir. Karen Armstrong, Islam A Short History (Sepintas Sejarah Islam), (Yogyakarta: IKON
TERALITERA, 2002), hlm. 193.

6
Karl Marx dan Sigmund Freud—para pemikir abad ke-19—yang meramalkan bahwa agama
akan berangsur-angsur memudar, menjadi tidak penting dan tidak lagi signifikan dengan
munculnya masyarakat industri. Keyakinan mereka bahwa agama sedang sekarat telah menjadi
kebijaksanaan konvensional dalam ilmu-ilmu sosial sepanjang sebagian besar abad ke-20.
Namun, kebangkitan kembali agama dewasa ini mengungkapkan bahwa tesis sekularisasi
tradisional perlu dievaluasi dan diperbarui sekarang. Agama belum hilang dan tidak mungkin
menghilangkannya, meskipun sekularisasi memiliki dampak negatif yang sangat kuat pada
tahap-tahap perkembangannya.13

Di Indonesia banyak faktor yang menyebabkan timbulnya formalisme agama yang


berakar pada fundamentalisme dan bergandengan dengan radikalisme. Dalam kaitannya dengan
Islam, faktor pertama sebagai penyebabnya adalah perbedaan (metode) tafsir teks kitab suci
(formalisme: tekstual versus moderat: kontekstual) dan ketidakpuasan terhadap ormas-ormas
Islam yang konvensional, yang dianggap terlalu akomodatif dan kompromistis terhadap
kekuasaan sehingga kurang membawa angin segar perubahan—terutama pada anggota kelompok
itu sendiri; misalnya, masih banyak ditemukan kasus-kasus korupsi, kemaksiatan dan lain
sebagainya yang bukan hanya dilakukan masyarakat biasa tetapi dilakukan juga oleh kalangan
agama. Kelompok, yang dapat disebut “Islam tanggung” ini, karena memiliki pengetahuan
tentang keislaman yang rendah namun memiliki semangat keagamaan yang tinggi, sangat yakin
bahwa Islam sangat relevan untuk masalah-masalah sosial tersebut dan menganggap bahwa
Islam mempunyai jawaban yang sederhana, jelas dan konkret atas semua permasalahan.14

Faktor kedua adalah adanya peluang sejak tumbangnya rezim Orde Baru di bawah
kepemimpinan presiden Soeharto. Kebebasan seperti itu pernah hilang dari bangsa kita selama
kurun waktu 32 tahun (1966-1998), di mana rezim Orde Baru menutup pintu rapat-rapat bagi
tumbuh kembangnya partai-partai atau ormas-ormas bercorak agama karena dianggap
berlawanan dengan Pancasila. Tiba-tiba kebebasan itu ada di tangan kembali sehingga dengan
sendirinya menimbulkan eforia kegembiraan. Dilihat dari sini, ramai-ramai membuat partai—
khususnya yang bernafaskan atau berasaskan agama—itu wajar sekali. Sebut saja pernah ada
PDS “mewakili” Kristen dan PKB, PKS, PPP dan PAN yang “mewakili” Islam. Mengutip
13
Pippa Norris & Inglehart Ronald, Sacred and Secular: Religion and Politics Worldwide, (USA: Cambridge
University Press, 2004), hlm. 3.
14
Martin Van Bruinessen, Rakyat Kecil, Islam dan Politik, (Yogyakarta: Yayasan Bentang Budaya, 1999), hlm.
265-266.

7
Nurcholish Madjid, Mahmuddin menyebutnya ini seperti anak-anak yang memperoleh mainan
baru.15

Fenomena formalisme agama di Indonesia salah satu contohnya tampak pada polemik
yang cukup keras antara kubu yang pro dan kontra pengosongan kolom agama di Kartu Tanda
Penduduk (KTP). Hal ini menunjukkan bahwa eksistensi agama di Indonesia sangat berkaitan
erat dengan politik identitas. Menjadi orang beragama harus pula dipublikasikan dalam bentuk
selembar kecil kartu identitas bernama KTP. Belum sah klaim keagamaan seseorang jika pada
KTP-nya tidak tertera agama apa yang ia anut. Agama menjadi sesuatu yang harus dipamerkan
di KTP. Artinya, realitas subyektif orang Indonesia dalam memandang agama masih berwatak
formal-legalistik.

Formalitas dalam beragama ini juga masih tampak jelas dalam contoh lain, misalnya,
dalam perayaan Natal atau Idul Fitri yang seringkali lebih mengutamakan pesta-pesta artifisial
fisik untuk menunjukkan eksistensi keberagamaan ketimbang meresapinya dengan penuh
khusyukan untuk meninggikan kualitas kemanusiaan.

Di luar itu, formalisme dalam beragama juga dapat dibaca dari banyaknya bangunan
tempat beribadah yang berdiri di Indonesia. Dari ujung Aceh sampai Papua bertebaran jutaan
tempat ibadah yang dibangun dengan penuh antusiasme oleh penduduk Indonesia. Bahkan, boleh
jadi Indonesia merupakan negara dengan bangunan tempat ibadah terbanyak di dunia. Namun
sayangnya, semangat yang meluap-luap dalam bentuk formalisme beragama yang mewujud
dalam kerajinan membuat rumah ibadah itu tidak dibarengi oleh semangat untuk menghayati dan
meresapi agama secara substantif. Akibatnya, terjadi kesenjangan pengetahuan yang cukup jauh
antara realitas obyektif keberagamaan dengan realitas subyektif pemahaman atas agama. Secara
obyektif-formalistik Indonesia adalah negara yang religius, penduduknya sangat rajin memuja-
muji Tuhan; tetapi dalam ranah subyektif-realistik Indonesia justru mendapat predikat sebagai
salah satu negara paling korup di dunia dan angka kejahatan lain—seperti perkosaan anak di
bawah umur, kekerasan domestik atau biasa disebut KDRT dan sebagainya—di Indonesia terus
meningkat. Di sinilah letak kesenjangannya, rajin membangun tempat ibadah, rajin beribadah
dan gemar memakai simbol-simbol agama tetapi secara substantif justru menghancurkan nilai-
nilai moral agama. Coba kita merenungkan satu hal ini: Mana ada agama yang mengajarkan pada
15
Mahmuddin, op.cit., hlm. 41.

8
pemeluknya untuk melakukan korupsi, KDRT dan anarkisme? Tetapi di Indonesia dengan
penduduknya yang mengaku beragama ternyata banyak yang melakukan tindak korupsi dan
menunjukkan perilaku moral lain yang tercela. Seorang sosiolog besar Indonesia, George Junus
Aditjondro, yang sangat menaruh perhatian terhadap masalah-masalah korupsi pernah berkata
kepada penulis, “Tidak ada istilah koruptor Kristen atau penipu Islam atau penjudi Buddha; jika
seseorang korupsi, menipu atau berjudi maka dia bukan Kristen, Islam atau Buddha.”

Para pemeluk agama di Indonesia sangat rajin mengerjakan ibadah formal tetapi lupa
dengan ajaran agama untuk berlaku adil dan memuliakan kemanusiaan. Rajin beribadah ke
Gereja, Mesjid, Wihara, Klenteng atau Pura tetapi malas dan enggan membantu mereka yang
dirudung kemalangan atau kemiskinan, misalnya.

Memang tidak dapat digeneralisasikan bahwa formalisme agama berkaitan langsung


dengan radikalisme dan atau anarkisme. Tidak dapat dikatakan orang yang hidup dengan
formalisme agama pasti radikal atau anarkis. Namun radikalisme atau anarkisme—sebagaimana
sudah dikatakan—dapat terjadi sebagai akibat, pengaruh atau buah tidak langsung dari
formalisme agama. Formalisme agama dapat membuahkan intoleransi yang pada gilirannya
membuahkan radikalisme yang berbuntut anarkisme, karena formalisme agama bersifat ekskusif,
membaca teks secara literatif (tidak memahami secara substantif-kontekstual) dan meminggirkan
nalar kritis. Nalar berganti curiga tanpa telaah kritis, pembodohan terjadi atas nama agama,
keterjebakan dalam formalisme agama menjadi wacana kuat untuk memanfaatkan umat
beragama saling beradu dalam konflik sosial. Lebih jauh, praktik formalisme agama ini
menyebabkan terjadinya perebutan kekuasaan di ranah publik. Masing-masing agama saling
berebut pemeluk, yang tidak jarang berujung menjadi konflik dan paranoid. Kasus pengrusakan
masjid Ahmadiyah oleh sekelompok orang beberapa tahun yang silam menunjukkan hal itu.
Terjadi ketakutan yang luar-biasa terhadap Ahmadiyah, yang diklaim sebagai aliran sesat,
sehingga sampai terjadi intimidasi dan tindak kekerasan terhadap para pengikut Ahmadiyah. Di
waktu yang lain, isu kristenisasi sampai pembakaran gereja dengan alasan tidak ada izin (kasus
Aceh Singkil tahun 2015, misalnya), kasus jemaat HKBP Filadelfia dan pos jemaat GKI Yasmin
di Bogor (yang kasusnya seolah dipetieskan sampai sekarang) juga pernah sangat ramai menjadi
perbincangan di ranah publik yang menunjukkan bahwa formalisme agama tampak begitu kuat
pengaruhnya di Indonesia.

9
IV. Solusi Atas Masalah Formalisme Agama

Beragama seharusnya berakar pada pemahaman yang substantif, tidak terjebak pada
literasi yang berujung pada pemahaman tekstual belaka. Beragama seharusnya juga kontekstual,
menjawab persoalan-persoalan yang hidup di tengah masyarakat dalam nuansa kerjasama yang
harmonis lintas perbedaan antarsemua kelompok. Beragama dapat dikatakan “ideal” dalam
kehidupan keagamaan ialah ketika kita sebagai orang-orang beragama tidak hanya menekankan
aktifitas yang bersifat ritual fisik dan bahasa-bahasa simbol belaka, tetapi juga harus ada
keseimbangan antara simbolisasi dan substansiasi. Artinya, apabila di satu sisi terdapat
kewajaran dalam penggunaan simbol-simbol sedemikian rupa sehingga agama memiliki daya
cengkram yang kuat kepada masyarakat luas (umum), maka di sisi lain harus tetap ada
kesadaran bahwa suatu simbol hanya mempunyai nilai instrumental dan tidak intrinsik. Dalam
arti simbol tidak menjadi tujuan dalam dirinya sendiri melainkan harus menuju kepada suatu
nilai yang lebih tinggi. Bersamaan dengan penggunaan simbol-simbol diperlukan adanya
kesadaran tentang hal-hal yang lebih substantif, yang justru mempunyai nilai intrinsik. Justru
segi ini harus ditumbuhkan lebih kuat dalam masyarakat kita. Agama tidak mungkin tanpa
simbolisasi, namun simbol tanpa makna adalah absurd, muspra (sia-sia dan tidak berguna) dan
malah berbahaya. Sebab itu, agama yang sejati ialah pendekatan diri kepada Allah dan perbuatan
baik kepada sesama manusia (bukan hanya yang seagama), seperti sebuah koin dengan dua sisi,
berbeda namun menyatu. Bukankah keduanya itu yang dipesankan kepada kita melalui
kedalaman makna ritual? Pendeknya, beragama harus beriman dan iman tanpa perbuatan adalah
kesia-siaan.

Dalam terang itu, formalisme jelas gagal karena pemahamannya yang eksklusif dan tidak
inklusif. Tanpa inklusifitas dan penghargaan terhadap perbedaan, tidak ada keniscayaan dalam
berdialog dan bekerjasama lintas perbedaan. Tanpa dialog dan kerjasama tidak mungkin ada juga
kondisi beragama yang disebut “ideal” itu, atau yang disebut religiusitas humanistik-
transendental, religiusitas yang mengajarkan takwa kepada Tuhan tanpa mengabaikan nilai-nilai
kemanusiaan.

“Kebaikan yang engkau lakukan hari ini mungkin saja besok sudah dilupakan orang; tapi
bagaimanapun, teruslah berbuat baik. Bagaimanapun, berikan yang terbaik dari dirimu sebaik-baiknya

10
yang dapat engkau lakukan. Karena pada akhirnya, engkau akan tahu bahwa ini adalah urusan engkau
dengan Tuhanmu, bukan urusan antara engkau dengan mereka.” — Mother Teresa

Kutipan perkataan bunda Teresa dari Kolkata, India, itu menjadi pengantar bagi kita
untuk memahami lebih dalam apa yang disebut religius itu sesungguhnya. Agar kita dapat
memahami makna religiusitas itu lebih baik maka tidak ada salahnya jika kita membandingkan
istilah religiusitas dengan beragama pada umumnya. Menurut Daradjat (2005) agama adalah
proses hubungan manusia yang dirasakan terhadap sesuatu yang diyakininya, bahwa sesuatu
lebih tinggi dari pada manusia.16 Glock dan Stark—dalam Daradjat—mendefinisikan agama
sebagai sistem simbol, sistem keyakinan, sistem nilai, dan sistem perilaku yang terlembaga, yang
kesemuanya terpusat pada persoalan-persoalan yang dihayati sebagai yang paling maknawi
(ultimate Mean Hipotetiking).17 Geertz (1992) mengistilahkan agama sebagai (1) sebuah sistem
simbol-simbol yang berlaku untuk (2) menetapkan suasana hati dan motivasi-motivasi yang kuat,
yang meresapi dan yang tahan lama dalam diri manusia dengan (3) merumuskan konsep-konsep
mengenai suatu tatanan umum eksistensi dan (4) membungkus konsep-konsep ini dengan
semacam pancaran faktualitas, sehingga (5) suasana hati dan motivasi-motivasi itu tampak
realistis.18 Dalam mendefinisikan pengertian agama, Nasution (1985), secara simplistik seolah
hendak menyamakan begitu saja antara pengertian konsep agama, din, dan religi. Ia menarik
benang merah antara ketiga konsep tersebut dengan menyimpulkan bahwa intisari yang
terkandung dalam istilah agama, din, dan religi mengerucut pada makna yang sama yaitu berupa
ikatan-ikatan yang harus dipegang dan dipatuhi manusia. Ikatan-ikatan inilah yang, dalam
pandangan Nasution, memberikan pengaruh bagi kehidupan sehari-hari manusia. 19 Sementara
itu, agama menurut Uyun (1998) mendorong pemeluknya untuk berperilaku baik dan
bertanggung jawab atas segala perbuatannya serta giat berusaha memperbaiki diri agar menjadi
lebih baik.20 Berdasarkan beberapa definisi yang dibuat para ahli tersebut maka dapat
disimpulkan agama adalah suatu keyakinan sistemik yang diperoleh pemeluknya berdasarkan
ajaran tertentu, yang menghubungkan manusia dengan Tuhan, yang mengikat hubungan itu

16
Zakiyah Daradjat, Ilmu Jiwa Agama (Jakarta : Bulan Bintang, 2005), hlm. 10.
17
Zakiyah Daradjat, ibid.
18
Cliffort Geertz, Kebudayaan dan Agama, (Jogyakarta: Kanisius, 1992), hlm. 5.
19
Harun Nasution, Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya, Jilid I, Cetakan V (Jakarta: Penerbit Universitas
Indonesia, 1985), hlm. 10.
20
Qurotul Uyun, Religiusitas dan Motif Berprestasi Mahasiswa, (Psikologika, Fak. Psikologi UII Yogyakata, nomor
6 tahun III, 1998), hlm. 45-54.

11
dengan pelaksanaan sejumlah kewajiban (ibadah, doa, dan lain sebagainya), yang menolong
pemeluknya untuk senantiasa mawas diri terhadap berbagai godaan duniawi pembawa masalah,
yang mendorong pemeluknya untuk memiliki kehidupan moral pribadi yang semakin baik.

Sementara istilah religius atau religiusitas berasal dari kata religious atau religiousity
dalam bahasa Inggris dan didefinisikan secara bervariasi oleh para ahli. Allport (1967)
mendefinisikan religiusitas itu dalam hal bagaimana seorang yang religius itu memiliki motivasi,
intrinsik dan ekstrinsik; intrinsik berkaitan dengan bagaimana ia membangun dan merasakan
hubungannya secara personal dengan Tuhan (misalnya, saya berusaha hidup sesuai dengan nilai-
nilai ajaran agama saya, saya menyadari kehadiran Tuhan dalam hidup saya, penting bagi saya
menjalani hidup secara reflektif), sedangkan secara ekstrinsik yakni bagaimana ia memahami
dan menjalani tujuan hidupnya bagi dirinya sendiri dan bagi orang lain (misalnya, saya terlibat
dalam aktifitas gereja supaya bisa menolong orang lain, saya berdoa agar merasakan damai, saya
21
tidak peduli dengan urusan keyakinan asalkan kehidupan moral saya baik-baik saja). Dengan
demikian, Allport mendefinisikan religiusitas sebagai kecintaan atau besarnya kepatuhan dan
pengabdian seseorang terhadap agama yang dianutnya, dalam dimensi pribadi (hubungannya
dengan Tuhan) dan dimensi sosial (hubungannya dengan orang lain). Religiusitas adalah suatu
kesatuan unsur yang komprehensif, yang menjadikan individu disebut sebagai individu beragama
(being religious) dan bukan sekedar mengaku memiliki agama (having religion). Meski berakar
kata sama, namun dalam penggunaannya istilah religiusitas mempunyai makna yang berbeda
dengan religi atau agama. Mangunwijaya (1982) dalam bukunya “Sastra dan Religiusitas”
menjelaskan panjang lebar tentang makna religiusitas yang pada intinya mau mengatakan, kalau
agama menunjuk pada aspek formal yang berkaitan dengan aturan-aturan dan kewajiban-
kewajiban; maka religiusitas menunjuk pada aspek religi yang telah dihayati oleh individu di
dalam hati dan dihidupi dalam tindakan sehari-hari.22 Glock dan Stark—dalam Gufron dan
Risnawati (2010)—menyebutkan ada lima dimensi yang dapat digunakan sebagai pedoman
pengukur religiusitas seseorang, yaitu:

1. Dimensi keyakinan (religious/ideological belief dimension), berisi keyakinan dan


pengharapan doktrinal berdasarkan pandangan teologis tertentu yang dipercayai sebagai

21
G. W. Allport & J. M. Ross, Personal Religious Orientation and Prejudice, (Journal of Personality and Social
Psychology, 5, 1967), hlm. 432-443.
22
Mangunwijaya, Y.B., Sastra dan Religiusitas, (Jakarta: Penerbit Sinar Harapan, 1982).

12
kebenaran (misalnya, percaya terhadap adanya malaikat, sorga dan neraka, dan
sebagainya);
2. Dimensi praktik (ritualistic dimension), adalah sejauh mana seseorang mengerjakan
kewajiban-kewajiban ritual (ritus formal dan ketaatan yang berkaitan dengannya) untuk
menunjukkan komitmen keagamaannya;
3. Dimensi pengalaman (experiential/feeling dimension), merupakan perasaan atau
pengalaman keagamaan yang pernah dialami, dirasakan sebagai keajaiban yang datang
dari Tuhan;
4. Dimensi pengetahuan (intellectual dimension), adalah seberapa jauh keinginan seseorang
mengetahui tentang ajaran agamanya, yang terdiri dari pengetahuan dan konsep-konsep
kognitif yang berhubungan dengan penciptaan, serta upaya orang itu menambah
pengetahuan tentang agamanya, terutama yang ada di dalam kitab suci maupun buku-
buku agama lainnya; dan
5. Dimensi konsekuensi/efek (consequential dimension), yaitu dimensi yang mengukur
sejauh mana perilaku seseorang dimotivasi dan konsekuen dengan ajaran agamanya di
dalam kehidupan sosial.23

Berdasarkan kelima dimensi yang dikemukakan Glock dan Stark, religiusitas dapat
dimengerti sebagai seberapa jauh pengetahuan, seberapa kokoh keyakinan, seberapa tekun
pelaksanaan ibadah dan seberapa dalam penghayatan agama yang dianut seseorang. Konsep
religiusitas sebagai komitmen religius seseorang dapat dilihat melalui aktivitas atau perilaku
orang yang bersangkutan terhadap agama atau kepercayaan yang dianutnya.

Jadi religiusitas tidak dapat diidentikkan begitu saja dengan makna keberagamaan pada
umumnya. Religiusitas berarti seberapa jauh pengetahuan, seberapa kokoh keyakinan, seberapa
intens pelaksanaan ibadah dan kaidah agama serta seberapa dalam penghayatan atas agama yang
dianut seseorang. Bagi seorang beragama, religiusitas dapat diketahui dari seberapa jauh
pengetahuan, keyakinan, pelaksanaan dan penghayatan atas agama yang dianutnya itu
terimplementasikan dalam kehidupannya, baik secara individual maupun sosial.

23
Ghufron dan Risnawati, Teori-teori Psikologi, (Jogjakarta: Ar-Ruzz Media, 2010), hlm. 170-171.

13
“Truth is God...when you want to find Truth as God the only inevitable means is Love, i.e. non-
violence” — Mahatma Gandhi24

Menjadikan seseorang religius adalah jalan untuk mengatasi masalah formalisme agama.
Dalam kaitan itu kita perlu melihat kembali apa yang menjadi akar-akar dari formalisme secara
umum. Formalisme agama berakar pada setidaknya lima hal. Pertama, ia berakar pada
kesalahpahaman tentang makna iman dan agama. Tidak ada agama yang lahir dan berkembang
di ruang hampa. Semua ajaran agama tidak hanya besifat tekstual tetapi juga kontekstual, selalu
lahir dalam keadaan zaman tertentu dan hidup untuk menjawab kebutuhan dan tantangan zaman.
Jika ingin diterapkan di zaman yang berbeda, ia membutuhkan penafsiran lebih jauh yang
berpijak pada pemahaman akal sehat dan kritis, serta hati nurani yang bersih. Formalisme agama
persis mengabaikan hal ini. Kedua, formalisme agama sebenarnya berakar juga pada kemalasan
berpikir. Sudah seringkali terjadi di dalam sejarah manusia, bahwa agama digunakan sebagai
pembenaran untuk kemalasan berpikir. Orang tidak mau berpikir kritis, rasional, logis dan
sistematis. Mereka hanya mengikuti tradisi yang sudah ketinggalan zaman, kadaluarsa, tanpa
berpikir kontekstual sama sekali. Kontekstualisasi tradisi—di samping kontekstualisasi tafsir—
dibutuhkan untuk menjawab persoalan zaman. Ketiga, formalisme agama juga sering digunakan
sebagai pembenaran untuk mengumbar nafsu dan keserakahan—terutama ketika sudah disusupi
radikalisme. Orang mengutip aturan-aturan kuno beragama, guna membenarkan perselingkuhan
dan korupsi. Seolah-olah peselingkuh dan maling uang menjadi orang tanpa dosa, ketika ia
mampu mengutip ayat-ayat suci tertentu. Pada titik ini, agama melepaskan keluhurannya dan
berubah menjadi alat bantu pengumbaran nafsu dan korupsi. Keempat, formalisme agama juga
berakar pada keinginan untuk menindas orang lain karena pemahaman yang sempit dan terbatas.
Ajaran agama digunakan sebagai pembenaran untuk menindas hak-hak asasi orang lain, atas
dasar keyakinan bahwa ajaran agamanyalah yang paling benar, yang lain sesat dan kafir.
Kelompok minoritas, baik ras, ideologi, agama maupun orientasi seksual, kerap kali menjadi
korban. Formalisme agama menciptakan perpecahan yang akhirnya berujung pada konflik
berkepanjangan di dalam masyarakat. Kelima, orang mengikuti ajaran suatu agama secara
membuta, seringkali karena kerinduan kuat untuk masuk surga, serta menghindari neraka
jahanam. Mereka berharap, jika semua aturan agama diikuti tanpa banyak bertanya, maka
mereka akan mendapatkan hadiah masuk pintu surga dan terhindar dari siksa api neraka.
24
M.K. Gandhi, Truth is God, (India: Navajivan Publishing House, 1955), hlm. 15.

14
Anggapan ini jelas merupakan kesalahpahaman mendasar tentang kehidupan. Sebab apa yang
disebut sebagai neraka dan surga itu sesungguhnya bukan semata sebuah tempat setelah
kematian, melainkan suatu kondisi dan pola berpikir kita di sini dan saat ini juga. Jika kita hidup
penuh kemarahan, kebencian dan iri hati, maka kita sudah hidup di dalam neraka. Penderitaan
batin dan fisik yang dirasakan amatlah besar. Sebaliknya, jika kita hidup dalam kedamaian,
welas asih serta pemahaman yang tepat tentang jati diri kita yang sebenarnya, maka kita sudah
berada di surga. Tak perlu menunggu lama, setelah kematian tiba. Sebab itu, orientasi hidup
keakanan yang mengacu ke masa depan (surga, hidup sesudah mati) harus diimbangi pula
dengan orientasi hidup kekinian ke masa sekarang (hidup kita di dunia) dalam ruang toleransi
dan kebersamaan.25

Ada banyak jalan yang ditawarkan para ahli terkait upaya menjadikan manusia lebih
religius dan agama lebih humanis sehingga kita mampu melampaui formalisme agama.
Qardhawi, misalnya, mengusulkan deradikalisasi agama dengan jalan: (1) Mengembangkan
dialog bersama yang demokratis; (2) tidak melakukan deradikalisasi secara ekstrem; (3)
memperlakukan kaum radikalis secara manusiawi dilandasi semangat persaudaraan; (4)
mengembangkan sikap empatik dan keterbukaan; (5) tidak saling mengkafirkan dan (6)
memahami ajaran agama secara komprehensif, tidak parsial. 26 Sementara Mahmuddin, dalam
bagian kesimpulan tulisannya, mengatakan bahwa beragama tidak dapat dipahami sebagai
sebuah bentuk keberagamaan yang tradisional-formalistik yang cenderung membawa
penganutnya kepada eksklusifitas dan fatalis, tetapi keberagamaan progresif yang mengandung
sikap-sikap humanis, inklusif dan dialogis.27 Dengan kata lain, ia mengusulkan pendekatan yang
humanis, inklusif (terbuka dan merangkul) serta dialogis dalam melampaui formalisme agama. 28
Sementara itu, Wattimena (2018) menyebutkan empat langkah yang kiranya bisa dilakukan
untuk mengatasi formalisme dalam beragama. Pertama, ketika beragama, kita mesti belajar

25
Lihat Reza A.A. Wattimena, Melampaui Formalisme Agama, (Jakarta: Rumah Filsafat, 2018), hlm. 1-2.
26
Yusuf Qardhawi, Islam Radikal Analisis terhadap Radikalisme dalam Berislam dan Upaya Pemecahannya, terj.
Hawin Murtadho (Solo: Era Intermedia, 2004), hlm. 132 dst.
27
Mahmuddin, op.cit., hlm. 46.
28
Salah satu model dialog yang menarik untuk ditelaah lebih jauh adalah model dialog bertingkat yang digagas oleh
Wijaya-Mukti. Model ini dimulai dari hal yang paling sederhana yaitu Dialog Kehidupan Sehari-hari (tahap
pengenalan, percakapan biasa antarsesama umat beragama). Tahap kedua adalah Dialog Melakukan Pekerjaan
Sosial (kerjasama bidang kemanusiaan). Tahap ketiga adalah Dialog Pengalaman Keagamaan (sharing makna doa,
ibadah dan sebagainya), Puncaknya adalah Dialog Pandangan Teologis (diskusi topikal seperti yang lazim
dikalangan intelektual agama). Lebih jauh tentang gagasan ini lihat Krishnanda Wijaya-Mukti, Wacana Buddha
Dharma, (Jakarta: Yayasan Dharma Pembangunan, 2003).

15
sampai ke inti (substansi) dari agama tersebut. Kita tidak bisa hanya sekedar mengikuti apa kata
guru agama. Kita juga tidak bisa secara buta mengikuti aturan-aturan maupun ritual yang ada,
tanpa paham akan makna sejarah serta metafisisnya. Jika itu dilakukan, kita justru akan jatuh
pada kesesatan, dan merugikan diri kita sendiri serta orang lain juga. Kedua, agama harus
menjadi sebuah pengalaman iman, yakni persentuhan langsung dengan Sang Pencipta. Di
Indonesia, dan juga di banyak negara lainnya, agama kerap kali hanya menjadi bagian dari
mental kerumunan. Artinya, orang beragama hanya sekedar mengikuti tradisi dan kecenderungan
masyarakat, demi menemukan rasa aman semu. Pola semacam ini akan dengan mudah terjatuh
ke dalam formalisme agama yang membawa banyak kesesatan dan kerugian di dalam hidup
bersama. Ketiga, kehidupan beragama harus juga menjadi sebentuk pencarian. Agama tidak
boleh menjadi sekedar warisan orang tua yang diikuti secara buta. Agama sebagai pencarian
akan membawa orang pada spiritualitas hidup yang mendamaikan dan membahagiakan.
Sebaliknya, ketika agama hanya dilihat sebagai warisan dari orang tua dan masyarakat, orang
akan dengan mudah jatuh ke dalam kesesatan berpikir yang membawa banyak petaka. Keempat,
gerakan sosial melawan segala bentuk formalisme agama haruslah dilakukan. Kerja sama dengan
berbagai pihak, baik pemerintah, dunia pendidikan maupun bisnis, haruslah dikembangkan.
Tanpa kerja sama yang nyata semacam ini, kehidupan beragama di Indonesia akan terjebak pada
keterbelakangan, kebodohan, kedangkalan dan kekerasan, sebagaimana banyak kita lihat
sekarang ini.29 Kita perlu belajar banyak dari realitas sosial yang banyak diwarnai kekerasan,
yang mengatasnamakan agama dan yang membawa kemudaratan selama ini.

V. Kesimpulan

Formalisme agama yang bergerak dalam ruang tafsir terbatas, terlalu tekstual, terjebak
dalam ritualisme keagamaan, berorientasi pada simbol-simbol keagamaan, bersifat kaku dan
eksklusif jelas merupakan ancaman dalam kehidupan masyarakat yang pluralistik seperti di
Indonesia. Dibutuhkan religiusitas dan spiritualitas yang sesungguhnya agar moral yang
dihasilkan bukan sekadar moral formalitas belaka. Religiusitas sejati itu dapat dibangun dengan
kesediaan umat beragama untuk belajar mendalami dan menghayati ajaran agama; bukan sekadar
menjalankan ritus-ritus agama sebagai kewajiban rutin atau yang bersifat artifisial fisik dan
simbolis belaka. Belajar mendalami dan menghayati ajaran agama dapat diwujudkan dengan

29
Wattimena, loc.cit.

16
cinta yang tulus kepada Tuhan, kepada diri sendiri, kepada sesama manusia, dan bahkan kepada
lingkungan hidup sekitar kita—kepada semua makhluk hidup. Cinta yang tulus adalah ungkapan
religiusitas yang tidak hanya berkutat pada pendalaman iman secara privat namun
mengejawantahkan iman itu dalam kehidupan bersama orang lain yang saling menghargai dan
peduli, meskipun berbeda agama dan keyakinan.

Kita harus melampaui formalisme agama. Melampaui formalisme agama berarti


mengangkat agama ke tempat yang seharusnya, yakni sebagai spiritualitas hidup. Aturan-aturan
dan ritual beragama digunakan sewajarnya, namun yang lebih utama daripada itu adalah
substansi agama, guna menciptakan hidup bersama yang penuh welas asih dan kedamaian.
Selebihnya, orang bergerak ke ranah kesadaran yang menjadi inti dari spiritualitas. Hidup dengan
kesadaran dari saat ke saat, serta tidak terbawa arus pikiran dan emosi yang datang sesaat, adalah
inti terdalam dari religiusitas dan spiritualitas agama.

Pertanyaan Reflektif

1. Mengapa formalisme agama dapat dikaitkan dengan radikalisme bahkan terorisme?


2. Apakah Anda termasuk kelompok formalis agama? Jawablah dengan memberikan alasan
yang rasional dan bukti contoh konkret berdasarkan pengalaman Anda secara langsung.
3. Menurut Anda, bagaimana jalan terbaik untuk mengatasi formalisme agama dan dampaknya
di Indonesia?

Referensi

1. Allport, G.W. & Ross, J. M., Personal Religious Orientation and Prejudice (Journal of
Personality and Social Psychology, 5, 1967).
2. Amstrong, Karen, Islam A Short History (Sepintas Sejarah Islam), (Yogyakarta: IKON
TERALITERA, 2002)
3. Anwar, M. Syafii, Pemikiran dan Aksi Islam di Indonesia: Sebuah Kajian Politik tentang
Cendekiawan Muslim Orde Baru, (Jakarta: Paramadina, 1995).
4. Barr, James, Fundamentalisme, (Jakarta: PT BPK Gunung Mulia, 1996).
5. Belfiore, Francesco, The Triadic Structure of The Mind: Outlines of a Philosophical System,
(Lanham, MD, USA: University Press of America, 2004).
6. B., Y., Mangunwijaya, Sastra dan Religiusitas, (Jakarta: Penerbit Sinar Harapan, 1982).

17
7. Daradjat, Zakiyah, Ilmu Jiwa Agama, (Jakarta: Bulan Bintang, 2005).
8. Depdiknas, Kamus Besar Bahasa Indonesia (Jakarta: Balai Pustaka, 1996).
9. Gandhi, M.K., Truth is God, (India: Navajivan Publishing House, 1955).
10. Gea, A., dkk (Tim CBDC), Character Building Agama, (Jakarta: Universtas Bina Nusantara,
unpublished paper).
11. Geertz, Cliffort, Kebudayaan dan Agama, (Jogyakarta: Kanisius, 1992).
12. Ghufron dan Risnawati, Teori-teori Psikologi, (Jogjakarta : Ar-Ruzz Media, 2010).
13. Karwadi, Deradikalisasi Pemahaman Ajaran Islam, (Jurnal Al-Tahrir, Vol 14, No. 1, Mei
2014).
14. Mahmuddin, Formalisme Agama Dalam Persfektif Gerakan Sosial: Prospek dan Tantangan
di Masa Depan, (Jurnal Diskursus Islam, Vol. 3, No. 1, 2015).
15. Nasution, Harun, Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya, Jilid I, Cetakan V (Jakarta:
Penerbit Universitas Indonesia, 1985).
16. Norris, Pippa & Ronald, Inglehart, Sacred and Secular: Religion and Politics Worldwide,
(USA: Cambridge University Press, 2004),
17. Qardhawi, Yusuf, Islam Radikal Analisis terhadap Radikalisme dalam Berislam dan Upaya
Pemecahannya, terj. Hawin Murtadho (Solo: Era Intermedia, 2004).
18. Stark, Radney, One True God: Resiko Sejarah Bertuhan Satu, terj. M. Sadat Ismail
(Yogyakarta: Qalam dan Nizam Press, 2003).
19. Uyun, Qurotul, Religiusitas dan Motif Berprestasi Mahasiswa, (Jurnal Psikologika Fak.
Psikologi UII Yogyakarta, nomor 6, tahun III, 1998).
20. Van Bruinessen, Martin, Rakyat Kecil, Islam dan Politik, (Yogyakarta: Yayasan Bentang
Budaya, 1999).
21. Wattimena, A., A., Reza, Melampaui Formalisme Agama, (Jakarta: Rumah Filsafat, 2018).
22. Wijaya-Mukti, Krishnanda, Wacana Buddha Dharma, (Jakarta: Yayasan Dharma
Pembangunan, 2003).

18

Anda mungkin juga menyukai