Anda di halaman 1dari 12

Kesiapsiagaan Krisis Starbucks Indonesia: Studi Kasus Tindakan

Sexual Harassment Pada Pelanggan Perempuan

Putu Dea Anggita Yanti


21/485514/PSP/07356
Magister Ilmu Komunikasi, FISIPOL Universitas Gadjah Mada
(putudeaanggitayanti@mail.ugm.ac.id)

Pengantar
Krisis dikatakan sebagai sesuatu yang tidak terduga dan bersifat
mengancam seluruh bidang-bidang kehidupan serta dapat berdampak serius pada
kinerja organisasi (Coombs, 2015). Namun, walau memiliki sifat yang tidak
terduga dan mengancam, sebuah krisis yang dihadapi oleh perusahaan ataupun
organisasi, sejatinya dapat diatasi dengan cara menyiapkan sebuah mental krisis
serta kesiapsiagaan yang baik dari internal maupun eksternal organisasi.
Kesiapsiagaan merupakan elemen penting dalam mengantisipasi krisis yang
melibatkan skenario latihan mental dan memperlengkapi organisasi dengan sistem
dan prosedur, sehingga krisis yang dihadapi dapat ditanggapi dengan tepat, cukup,
dan dengan waktu singkat (Hill dalam Cloudman & Hallahan, 2006). Lebih lanjut,
Mistrof menambakan, kesiapsiagaan dalam merespon krisis menuntut perusahaan
untuk mencegah penyebaran serta membatasi durasi krisis itu terjadi (dalam
Coombs, 2015). Tulisan ini akan lebih banyak membahas mengenai kesiapsiagaan
krisis dalam merespon krisis yang meliputi perencanaan serta ragam strategi dalam
merespon krisis yang kemudian disesuaikan dengan situasi krisis.

Mengidentifikasi Potensi Krisis


Keadaan atau situasi krisis kerap kali dikatakan serta dianggap sebagai
peristiwa tidak terduga yang berpotensi menimbulkan konsekuensi negatif bagi
organisasi (Barton, 1993). Dalam konteks lain yang berhubungan dengan hubungan
masyarakat (humas) krisis dapat didefinisikan sebagai keadaan ketidakpastian
dihasilkan dari peristiwa pemicu yang mengganggu kegiatan rutin organisasi (Ho
& Hallahan, 2004). Ketika dihadapkan oleh sebuah krisis, hal mendasar yang dapat
dilakukan oleh perusahaan adalah menentukan bentuk respon disesuaikan terhadap
krisis yang terjadi. Menurut Barton (dalam Coombs, 2015) merespon krisis dengan
cepat merupakan salah satu kiat awal yang dapat dilakukan oleh perusahaan. Hal
ini, tentu saja mampu memberikan kesan bahwa sebuah perusahaan mampu
mengkontrol sebuah krisis dengan baik. Lebih dalam lagi dalam merespon krisis,
komunikasi yang dilakukan memegang teguh prinsip speaking with one voice,
karena komunikasi dengan satu suara dapat meminimalisir terjadinya pernyataan

1
beragam yang mampu memperkeruh keadaan krisis (Seitel dalam Coombs, 2015).
Selanjutnya, perusahaan juga diharapkan memiliki sikap terbuka kepada media
serta pemangku kepentingan lainnya. Kemudian, hal lain yang menjadi catatan
penting bagi internal perusahaan adalah pentingnya mengidentifikasi potensi krisis
melalui sebuah pemindaian lingkungan (environmental scanning) baik secara
internal maupun eksternal untuk memantau keaadan sekitar agar suatu perusahaan
atau organisasi dapat lebih siap menghadapi krisis (Coombs, 2015). Selain itu,
biasanya melalui tahap pemindaian lingkungan sebuah organisasi akan
mendapatkan serta mengetahui tanda-tanda peringatan krisis (Coombs, 2015).
Keseluruhan konsep diatas tentu saja sangat berguna bagi perusahaan atau
organisasi agar lebih siap merancang sebuah perencanaan serta strategi dalam
merespon krisis serta memungkinkan perusahaan lebih sigap dalam krisis (Seeger
& Ulmer, 2003).

Perencanaan dan Strategi dalam Merespon Krisis


Sebuah perencanaan sangat dibutuhkan ketika merespon krisis karena
sebuah perencanaan mampu membuat suatu perusahaan lebih cepat serta percaya
diri dalam merespon krisis (Elsubbaugh et al., 2004). Ketika suatu krisis terjadi
suatu perusahaan memiliki sebuah tujuan yaitu melindungi reputasi dengan cara
menkomunikasikan pesan yang sesuai pada waktu yang tepat kepada khalayak yang
tepat (Coombs, 2015). Hal ini yang perlu direncanakan dalam merespon suatu krisis
sehingga nantinya krisis tersebut akan berubah menjadi sebuah peluang bagi
perusahaan (Leighton & Shelton dalam Anthonissen et al., 2008). Menurut
Leighton dan Shelton (dalam Anthonissen et al., 2008), adapun elemen dari sebuah
perencanaan dalam merespon krisis yang meliputi: target, komunikator, media,
pesan, dan waktu. Kelima elemen perencanaan di atas dapat digunakan sebagai
acuan bagi perusahaan atau organisasi dalam merespon krisis.
Selanjutnya, pemilihan tim manajemen krisis atau Crisis Management
Team (CMT) yang meliputi peran serta tanggung jawab yang telah ditentukan
dipandang perlu karena, keberhasilan suatu perusahaan dalam merespon krisis
dapat dilihat dari cara tim manajemen krisis dalam menjalankan tugasnya serta
kematangan dari perencanaan yang telah disusun (Leighton & Shelton dalam
Anthonissen et al., 2008). Pemilihan anggota tim manajemen krisis tidak hanya
mengambil di dalam organisasi, bisa juga dari pakar, konsultan eksternal yang
sudah ahli di bidangnya. Kemudian, tim manajemen krisis bisa saja di pimpinpin
oleh CEO, pimpinan, direktur atau bisa dari manajer public relations dari sebuah
perusahaan (Kriyantono, 2015). Keberadaan tim manajemen krisis dianggap sangat
penting dalam situasi darurat, dan banyak perusahaan memerlukannya sebagai
sarana untuk memastikan bahwa masalah yang dihasilkan oleh peristiwa besar
dikelola secara efektif (Mistrof dalam Smith, 2000). Tim manajemen krisis
berfokus pada pendeteksian tanda-tanda awal krisis, mengidentifikasi masalah,
penyusunan rencana manajemen krisis, mendorong karyawan untuk menghadapi

2
masalah, dan menyelesaikan krisis. Secara khusus, dinyatakan bahwa proses seleksi
tim manajemen krisis harus mempertimbangkan baik hubungan antara kepribadian
dan tugas maupun kohesi tim secara keseluruhan. Akibatnya, keterampilan
individu-individu yang dipilih untuk keanggotaan tim manajemen krisis harus
mencerminkan tuntutan-tuntutan yang terkait dengan portofolio krisis potensial
organisasi (Smith, 2000). Tim manajemen krisis membutuhkan kreativitas dan
kebutuhan tingkat tinggi untuk menghasilkan solusi baru untuk memenuhi situasi
krisis (Mikušová & Horváthová, 2019). Berdasarkan pernyataan di atas, dapat
dikatakan bahwa sebuah tim manajemen krisis sangat diperlukan sebagai salah
tools dalam mempersiapkan perencanaan serta staretgi krisis.
Beralih pada strategi merespon krisis merupakan sebuah cara nyata yang
dapat dilakukan oleh sebuah perusahaan yang tengah menghadapi krisis. Oleh
karena itu, biasanya sebuah strategi ini akan berbentuk kata-kata dan tindakan yang
digunakan dalam mengatasi krisis (Allen & Caillouet, 2009). Dalam merespon
krisis ada beragam strategi, seperti yang dikatakan Allen dan Caillouet (2009),
bahwa setidaknya ada 20 strategi manajemen kesan yang dapat digunakan oleh
perusahaan dan organisasi dalam merespon krisis untuk memperbaiki reputasi
perusahaan yang diakibatkan oleh krisis. Kemudian Benoit (dalam Coombs, 2015)
juga mengembangkan setidaknya 14 jenis strategi dalam merespon krisis utamanya
dalam merestorasi citra yang dikembangkan dari teori apologia. Melalui ragam
strategi merespon krisis diatas, dapat dirangkum menjadi 10 ragam strategi dalam
merespon krisis yang dimengelompokkan ke dalam empat kelompok strategi yang
dianggap serupa (Coombs, 2015). Berikut merupakan tabel yang memaparkan
ragam strategi dalam merespon krisis:

Tabel 1.
Pembagian Strategi Merespon Krisis Berdasarkan Empat Sikap

No Strategi Penjelasan Contoh


Respon Krisis
Primary Strategies
Denial
1
Attacking the Perusahaan menghadapi Helwa Beaty melayangkan gugatan
Accuser seorang atau kelompok kepada Dr. Richard Lee, dikarenakan
yang menganggap menurut perusahaan tersebut Dr.
adanya sebuah krisis. Richard dengan sengaja menjatuhkan
citra dan menklaim produk Helwa
Beauty mengandung merkuri.
Denial Perusahaan menyatakan Menanggapi kasus yang menyatakan
bahwa sebenarnya krisis bahwa cokelat Cadburry mengandung
tersebut tidak terjadi minyak babi, perusahaan memberikan

3
dengan menyangkal sebuah klarifikasi yang menyatakan
adanya krisis. bahwa produk coklat mengandung
minyak babi dengan merek dagang
Cadburry asal Malaysia tidak masuk
ke dalam peredaran produk resmi di
Indonesia.
Scapegoating Orang atau kelompok Krisis yang diakibatkan oleh peristiwa
lain yang berada diluar kebakaran hutan lahan dan kabut asap
organisasi disalahkan yang diakibatkan oleh pembabatan
atas krisis yang terjadi. hutan sawit di Kalimantan kerap kali
memakan kambing hitam. Pemerintah
kerap kali menyalahkan masyarakat
Kalimantan sebagai penyebab dari
kebakaran tersebut.
Diminishment
2
Excusing Perusahaan mencoba PT. Lion Mentari Airlines adalah
untuk meminimalisir excuse, di mana strategi pengurangan
tanggung jawab dari respon krisis ini ditunjukkan melalui
organisasi atas krisis pernyataan Edward Sirait, selaku CEO
yang terjadi. maskapai Lion Air yang menyebutkan
bahwa kecelakaan tersebut merupakan
hal yang tak terduga dan di luar kontrol
perusahaan dan menambahkan bahwa
pesawat Lion Air JT610 tersebut
merupakan pesawat yang baru dan
layak terbang.
Justification Perusahaan mencoba Universitas Gadjah Mada mendukung
untuk meminimalisir korban pelecehan seksual Agni dengan
kerusakan yang cara sebagai fasilitator antara korban
dirasakan akibat dari dan pelaku, serta membantu Agni
krisis tersebut. menyelesaikan kasus tersebut dengan
cara non-litigasi.
Rebuilding
3
Compensation Perusahaan Perusahaan Apple akan membayar
menanggung untuk ganti rugi USD113 juta atau sekitar
biaya (uang) atau hal Rp1,6 Triliun untuk menyelesaikan
lain yang digunakan tuduhan bahwa perusahaan itu telah
untuk korban. membuat iPhone seri lama menjadi
lemot.
Apology Perusahaan Tim Manajemen Starbucks Indonesia
memberikan pernyataan melayangkan pernyataan terbuka
pada publik bahwa melalui media sosial Instagram dan
perusahaan bertanggung Twitter yang berisikan permintaan
jawab penuh atas krisis maaf serta perusahaan akan
bertanggung jawab penuh atas kasus

4
yang terjadi dan pelecehan seksual yang disebabkan
meminta maaf. oleh karyawannya.
Secondary Strategies
Bolstering
4
Reminding Perusahaan Strategi ini dilakukan secara proaktif
mengingatkan pada seperti contohnya PT. Freepot
rekanan atau pemangku melakukan kegiatan CSR sebagai
kepentingan akan bentuk pertanggung jawaban serta
kinerja baiknya di masa kepedulian perusahaan terhadap SDA
lalu sebelum krisis. dan SDM di lingkungan sekitar
perusahaan.
Ingratiation Organisasi memuji para Pelindo berupaya mencari dukungan
rekan atau pemangku publik dengan membentuk pesan
kepentingan untuk berupa pengingatan akan hal-hal yang
mendapat dukungan sudah diupayakan Pelindo untuk
dari publik. membantu mengatasi permasalahan
evakuasi kapal di alur pelayaran
pelabuhan.
Victimage Organisasi menjelaskan Dalam kasus Lion Air JT610 strategi
bahwa mereka juga ini juga diterapkan melalui pernyataan
menjadi korban atas Edward Sirait selaku CEO dan
krisis yang terjadi. spokesperson yang menganggap
mereka yang ada di dalam pesawat
merupakan saudara, sehingga mereka
juga merasa berduka dan terpukul atas
kecelakaan tersebut, serta mereka juga
tidak menginginkan hal ini terjadi.

Sumber: Coombs.(2015:175).Crisis Respond Strategies

Strategi dalam merespon krisis mempengaruhi cara pemangku kepentingan


memandang krisis yang sedang dihadapi. Maka dari itu Situational Crisis
Communication Theory dapat dijadikan sebagai sebuah pedoman, dalam membantu
perusahaan memilih tanggapan atau respon yang paling efektif untuk melindungi
aset reputasi dalam situasi krisis tertentu (Coombs, 2015). Teori SCC dapat
digunakan untuk menjelaskan serta merespon reaksi publik terhadap situasi krisis
dan reputasi yang terjadi pada suatu organisasi (Kriyantono, 2015). Sebuah respon
yang didapat oleh stakeholder akan digunakan sebagai bahan evaluasi stakeholder
terhadap organisasi, sehingga para stakeholder dapat memutuskan apakah mereka
tetap berinteraksi dengan organisasi tersebut di masa yang akan datang atau
tidakLebih lanjut, (Kriyantono, 2015) menambahkan SCCT pada dasarnya
memiliki sebuah anggapan bawa publik mempunyai atribusi-atribusi tertentu
mengenai krisis, dan hal tersebut menjadi penentu bagi reputasi sebuah organisasi.

5
Dengan demikian, SCCT dapat mengantisipasi reaksi publik terhadap krisis yang
dapat mengancam reputasi organisasi serta dapat digunakan sebagai bahan
pertimbangan dalam memilih sebuah strategi yang akan digunakan dalam
menghadapi krisis.

Krisis Starbucks Indonesia


Setiap perusahaan memiliki cara serta strategi yang berbeda-beda dalam
merespon krisis. Namun, balik kepada pembahasan sebelumnya bahwa
keberhasilan dalam mengatasi krisis kembali lagi kepada sikap yang dilakukan oleh
perusahaan ketika dihadapkan oleh suatu krisis. Salah satu perusahaan yang
memiliki kesiapsiagaan dalam mengatasi krisis adalah Starbucks Indonesia.
Peristiwa ini bermula pada sebuah unggahan pada sosial media yang mengungkap
bahwa bahwa salah seorang temannya yang bekerja di Starbucks saat tengah
memantau CCTV Starbucks di lokasi tersebut. Pria tersebut terlihat melakukan
zoom di bagian “dada” seorang pelanggan wanita dan mentertawakannya. Hal ini
langsung memicu amarah warganet lantaran karyawan Starbucks Indonesia tersebut
dianggap telah melakukan tindakan pelecehan seksual (sexual harassment)
terhadap seorang pelanggan perempuan (CNN Indonesia, 2020). Melihat hal
tersebut, manajemen Starbucks Indonesia dengan cepat merespon kejadian tersebut
meminta maaf kepada pihak yang dirugikan serta seluruh publik dan Starbucks
Indonesia akan bertanggung jawab penuh atas krisis yang terjadi. Selain itu,
Starbucks Indonesia juga menyampaikan pesan melalui postingan pada akun
Twitter serta Instagram yang ditujukan kepada publik.

Gambar 1. Postingan Pada Sosial Media Starbucks Indonesia

Respon yang diberikan oleh Starbucks Indonesia dalam menangani kasus


tersebut, membuat warganet memberikan banyak kesan postif kepada pihak
manajemen Starbucks Indonesia. Warganet mengatakan bahwa tindakan yang
dilakukan oleh Starbucks Indonesia sejalan dengan visi dari perusahaan yaitu

6
“mengutamakan kenyamanan pelanggan”. Berbagai komentar positif juga
dilontarkan pada kolom komentar akun Twitter Starbucks Indonesia. Hal ini
menunjukkan adanya apresiasi yang diberikan oleh publik dan stakeholder terkait
tindakan merespon krisis yang dilakukan oleh tim manajemen krisis Starbucks
Indonesia.

Gambar 2,3,4,5. Komentar Pada Akun Twitter Starbucks Indonesia

Analisis Krisis Starbucks Indonesia


Berangkat dari kasus yang dihadapi serta cara merespon yang dilukan oleh
manajemen Starbucks Indonesia dapat dilihat bahwa organisasi tersebut mampu
mengangani krisis sebelum krisis tersebuh akhirnya berkembang dan tidak bisa
dibentung. Dalam kasus ini, manajemen Starbucks Indonesia sangat cepat
menyadari bahwa kasus pelecehan seksual yang dilakukan oleh salah satu karyawan
yang diunggah kedalam media sosial (akun Instagram pribadi pelaku) dapat
menimbulkan sebuah krisis jika tidak ditangani dengan cepat. Peran publik melalui
media sosial dalam memberikan komentar serta reaksi terhadap kejadian pelecehan
seksual yang dilakukan oleh karyawan Starbucks Indonesia juga mendorong
manajemen Starbucks Indonesia untuk secapatnya melakukan tindakan. Hal
tersebut berkaitan erat dengan teori atribusi, yang menyebutkan bahwa individu
dapat bertindak serta menarik kesimpulan tentang penyebab dari suatu perilaku,
baik itu perilaku dirinya maupun perilaku seseorang (termasuk organisasi) lainnya
(Kriyantono, 2015). Dalam hal ini, berupa sebuah perilaku pelecehan seksual yang
dilakukan oleh salah satu gerai kopi internasional Starbucks Indonesia.

7
Lebih lanjut, jika dilihat dari Situational Crisis Communication Theory,
menyebutkan bahwa respon yang didapat oleh stakeholder akan digunakan sebagai
bahan evaluasi stakeholder terhadap organisasi, sehingga para stakeholder dapat
memutuskan apakah mereka tetap berinteraksi dengan organisasi tersebut di masa
yang akan datang atau tidak (Coombs, 2007). Melihat pelecehan seksual merupakan
sebuah isu hangat dan sensitive, maka dikhawatirkan jika tidak dikelola dengan
baik publik dan stakeholder akan memberikan evaluasi buruk dan membuat
reputasi Starbucks Indonesia terancam. Oleh karena itu, SCCT menjadi penting
untuk diterapkan agar dapat mengantisipasi reaksi publik terhadap krisis yang dapat
mengancam reputasi organisasi. Publik menurut teori SCC ini pada dasarnya,
memiliki atribusi-atribusi tertentu mengenai krisis, dan hal tersebut menjadi
penentu bagi reputasi sebuah organisasi (Kessler et al., 2019). Bisa jadi setelah
adanya krisis ini, publik memiliki anggapan buruk bahwa gerai Starbucks Indonesia
tidak mementingkan keamanan serta kenyamanan para pelanggan, khususnya para
pelanggan perempuan. Berdasarkan pemaparan sebelumnya, maka hal utama yang
dilakukan oleh tim manajemen krisis Starbucks Indonesia adalah melakukan
eksternal environmental scanning sehingga masalah tersebut dapat dengan cepat
ditangani oleh tim manajemen. Pemindaian lingkungan secara eksternal dilakukan
untuk mengetahui sumber masasalah yang terjadi. Tim manajemen krisis Starbucks
Indonesia melakukan pemantaun melalui Instagram dan Twitter terkait kasus
pelecehan seksual yang dilakukan. Mereka juga memberikan sebuah pernyataan
melalui Andrea Siahaan selaku Senior General Manager, Corporate Publik
Relation and Communications yang berbunyi:
“Saat ini kami masih terus melakukan investigasi atas kasus ini dan kami
akan memberikan pernyataan kurang lebih 1 jam ke depan. Terima kasih.”
Setelah melakukan environmental scanning, selanjutnya yang dilakukan
oleh perusahaan setelah mengetahui permasalahan yang dapat memicu adanya
krisis didalam perushaaan, maka perusahaan harus melakukan sebuah tindakan
pencegahan. Tindakan pencegahan ini dilakukan agar sebuah masalah yang timbul
tidak berlangsung lama dan mengakibatkan sebuah krisis yang berkepanjangan.
Manajemen Starbucks Indonesia dalam hal ini telah berhasil mengidentifikasi
sumber krisis, yaitu: postingan pada salah satu akun Instagram Pribadi
Karyawannya yang telah mengunggah tindakan pelecehan seksual. Kemudian,
masuk kedalam tahap perencanaan meliputi: target, komunikator, media, pesan, dan
waktu (Leighton & Shelton dalam Anthonissen et al., 2008). Berdasarkan hal
tersebut, perencanaan yang dilakukan oleh Starbucks Indonesia akan dijabarkan
kedalam tabel berikut:

8
Tabel 3.
Tindakan Perencanaan oleh Tim Manajemen Starbucks Indonesia

Perencanaan Tindakan oleh Pihak Manajemen Starbucks Indonesia

Target Menetukan target disini dimaksudkan dengan publik dan stakeholder.


Publik yang dimaksud adalah khalayak dalam media sosial Instagram
dan Twitter. Kemudian untuk stakeholder dalam hal ini didalamnya
termasuk pelanggan Starbucks Indonesia. Starbucks Indonesia
meyakini bahwa publik dan stakeholder perlu klarifikasi dan tindakan
lanjut yang dilakukan oleh manajemen Starbucks Indonesia dalam
menyikapi kasus pelecehan seksual tersebut.

Komunikator Senior General Manager Corporate PR and Communications PT Sari


Coffee Indonesia, Andrea Siahaan melalui keterangan resminya, Kamis
2 Juli 2020. Kemudian, disusul dengan pernyataan dari Starbucks
Indonesia (tim manajemen Starbucks Indonesia yang dirangkum
melalui sebuah unggahan).

Media Media Sosial antara lain Instagram dan Twitter

Pesan Pesan yang disampaikan oleh tim manajemen Starbucks Indonesia


dapat dikatakan sebagai strategi pesan reaktif karena, strategi respon
yang disampaikan melalui pesannya bertujuan agar musibah,
kemalangan, atau krisis yang sama, tidak akan terulang kembali
dengan memperbaiki keadaan yang terjadi. Pesan tertulis berupa
permintaan maaf dan pertanggung jawaban (gambar 1) dari pihak
Starbucks Indonesia atas kasus pelecehan seksual yang menimpa
pelanggannya.

Waktu Menentukan waktu terbaik dalam menyampikan pesan, dalam hal ini
tim manajemen memahami bahwa isu pelecehan seksual merupakan
hal yang sangat riskan jadi membutuhkan waktu yang tepat dan cepat
dalam mengatasinya. Kurang dari 1x24 jam tim manajemen Starbucks
Indonesia mengunggah pesan tersebut ke media sosialnya.

Sumber: Olahan Penulis, Oktober 2021

Selain membuat perencanaan, suatu perusahaan juga perlu menentukan


strategi merespon krisis yang tepat. Strategi merespon krisis harus disesuaikan
dengan kondisi saat krisis tersebut berlangsung. Manajemen Starbucks Indonesia
menentukan strategi merespon krisis yang tepat untuk digunakan dalam menangani
krisis tersebut. Berdasarkan kejadian yang dialami oleh Starbucks Indonesia krisis
yang dialami tergolong kedalam sebuah krisis yang dapat dicegah (Coombs, 2007).
Berdasarkan SCCT maka, pemilihan strategi yang tepat terkait penangan krisis
yang dialami oleh Starbucks Indonesia adalah strategi yang menerapkan sebuah

9
sikap membangun dengan menggunakan strategi apology. Selanjutnya, manajemen
juga menyadari bahwa tindakan yang dilakukan karyawannya juga merupakan
tanggung jawab dari pihak Starbucks Indonesia.
Setelah menentukan perencanaan dan strategi dengan matang, maka tahap
selanjutnya adalah mengimplementasikan kedua konsep tersebut untuk
menghadapi krisis terakit pelecehan seksual yang dilaakukan oleh beberapa
karyawan Starbucks Indonesia. Penggunaan strategi apology dalam kasus ini
ditunjukkan dengan pernyataan tertulis dari Senior General Manager Corporate PR
and Communications PT Sari Coffee Indonesia, Andrea Siahaan melalui
keterangan resminya, Kamis 2 Juli 2020. Kemudian, disusul dengan pernyataan
dari Starbucks Indonesia. Manajemen Starbucks Indonesia dalam ini menggunggah
strategi pesan reaktif melalui akun Instagram serta Twitter, karena mereka
memahami bahwa target pesan mereka adalah stakeholder dan publik yang
sebagian besar aktif pada media sosial. Pemilihan media sosial Instagram dan
Twitter juga didasari karena awal mula krisis ini terjadi pada media sosial jadi
manajemen merasa perlu untuk menyampaikan ini pada media sosial agar publik
mengetahui bahwa manajemen Starbucks Indonesia telah menyikapi kasus
pelecehan seksual yang dilakukan oleh karyawannya. Selain itu, manajemen juga
melakukan tindakan pemecatan individu yang bersangkutan bentuk tindakan
tanggung jawab yang dilakukannya sebagai bentuk tanggung jawab Starbucks
Indonesia. Serangkaian kesiapsiagaan krisis yang dilakukan oleh manajemen
Starbucks Indonesia terbukti mampu mencegah krisis terjadi secara berpanjangan.
Selain itu, sikap kesiapsiagaan ini juga membuat reputasi Starbucks Indonesia tetap
baik di mata publik.

Kesimpulan
Kesiapsiagaan krisis meliputi hal-hal seperti kemampuan dalam
mengindentifikasi krisis, menyusun perencanaan krisis serta menentukan strategi
yang tepat sesuai dengan situasi dan kondisi saat krisis berlangsung. Melalui kasus
krisis yang dialami oleh Starbucks Indonesia, kita dapat melihat bahwa penanganan
cepat yang dilakukan oleh manajemen mampu mencegah terjadinya krisis akibat
kelalaian karyawannya. Hal tersebut dilakukan untuk menjaga kredibilitas dengan
para stakeholder, manajemen harus bereaksi dan merespon dengan cepat, informasi
dikelola secara efektif dan diberikan pada saat yang sama kepada semua pihak yang
terkena dampak. Kesiapsiagaan mulai dari perencaan pemilihan strategi serta
implementasi yang tepat membuat Starbucks Indonesia mampu melewati krisis
yang dihadapi serta mampu memberikan citra baik kepada publik.

10
Daftar Rujukan
Allen, M. W., & Caillouet, R. H. (2009). Legitimation endeavors: Impression
management strategies used by an organization in crisis. Communication
Monographs, 61(1), 44–62.
https://doi.org/https://doi.org/10.1080/03637759409376322
Anthonissen, P. F., Bridgeman, R., & Buitelaar, W. (2008). Crisis Communication:
Practical PR Strategies for Reputation Management and Company Survival.
Korean Page.
Barton, L. (1993). Crisis in organizations: Managing and communicating in the
heat of chaos. South-Western Publishing Company.
Cloudman, R., & Hallahan, K. (2006). Crisis communications preparedness among
U.S. organizations: Activities and assessments by public relations
practitioners. Public Relations Review, 32(4), 367–376.
https://doi.org/10.1016/j.pubrev.2006.09.005
CNN Indonesia. (2020). Pegawai Intip Payudara Lewat CCTV, Starbucks Buka
Suara. CNN Indonesia. https://www.cnnindonesia.com/gaya-
hidup/20200702171812-284-520155/pegawai-intip-payudara-lewat-cctv-
starbucks-buka-suara
Coombs, W. T. (2007). Protecting Organization Reputations During a Crisis: The
Development and Application of Situational Crisis Communication Theory.
Corporate Reputation Review, 10(3), 163–176.
https://doi.org/10.1057/palgrave.crr.1550049
Coombs, W. T. (2015). Ongoing Crisis Communication: Planning, Managing, and
Responding (4th ed.). Sage Publication.
Elsubbaugh, S., Fildes, R., & Rose, M. B. (2004). Preparation for crisis
management: A proposed model and empirical evidence. Journal of
Contingencies and Crisis Management, 12(3), 112–127.
https://doi.org/10.1111/j.0966-0879.2004.00441.x
Ho, F., & Hallahan, K. (2004). Post-earthquake crisis communications in Taiwan:
An examination of corporate advertising and strategy motives. Journal of
Communication Management, 8(3), 291–306.
https://doi.org/10.1108/13632540410807709
Kessler, S. R., Mahoney, K. T., Randolph-Seng, B., Martinko, M. J., & Spector, P.
E. (2019). The Effects of Attribution Style and Stakeholder Role on Blame for
the Deepwater Horizon Oil Spill. Business and Society, 58(8), 1572–1598.
https://doi.org/10.1177/0007650317717495
Kriyantono, R. (2015). Public Relations, Isue & Crisis Management. Prenadamedia
Group.
Mikušová, M., & Horváthová, P. (2019). Prepared for a crisis? Basic elements of
crisis management in an organisation. Economic Research, 32(1), 1844–1868.
https://doi.org/10.1080/1331677X.2019.1640625
Seeger, M. W., & Ulmer, R. R. (2003). Explaining Enron: Communication and

11
Responsible Leadership. Sage : Management Communication Quarterly,
17(1), 58–84. https://doi.org/10.1177/0893318903253436
Smith, D. (2000). Crisis Management Teams: Issues in the Management of
Operational Crises. Risk Management, 2(3), 61–78.
https://doi.org/10.1057/palgrave.rm.8240059

12

Anda mungkin juga menyukai