Anda di halaman 1dari 11

Bernegosiasi di tempat Kerja

(Bagian Pertama dari Dua Tulisan) Oleh : Arbono Lasmahadi Hari ini , Jum'at Desember 24, 2004, sudah mendekati larut malam, pukul 23.00 WIB. Ruang kerja Harry Johan (bukan nama sebenarnya) , Manajer Senior Departemen Sumber Daya Manusia (SDM), PT. Dinamika Pangan Sehat - DPS (bukan nama sebenarnya) sebuah perusahaan nasional, masih terlihat terang menderang. Tampaknya hari ini merupakan hari tersibuk bagi Harry, karena dalam 2 minggu kedepan, akan terjadi peristiwa penting baginya, yaitu melakukan negosiasi pertama kalinya dengan Pihak Serikat Pekerja untuk membahas isi dari Kesepakatan Kerja Bersama (KKB) untuk 2 tahun kedepan. Harry masih tenggelam dengan proses analisa data gaji dan fasilitas karyawan, yang akan menjadi salah satu pokok bahasan dalam negosiasi KKB. Harry memang baru 3 bulan dipromosikan sebagai Manajer Senior SDM di perusahaan, menggantikan manajer sebelumnya yang telah memasuki masa pension. Sebelumnya Harry adalah adalah Manajer Keuangan, Harry tidak pernah sekalipun terlibat dengan urusan negosiasi KKB dengan serikat pekerja. Yang pernah ia lakukan adalah negosiasi harga dengan para pemasok barang atau jasa, itupun dalam skala yang kecil, dan bukan dalam skala perusahaan dengan jumlah karyawan kurang lebih 750 orang. Sejak dia dipromosi sebagai Manajer Senior SDM, maka negosiasi KKB merupakan tanggung jawab yang tidak dapat dia hindarkan. Harry menyadari sepenuhnya bahwa keberhasilan dalam melakukan negosiasi KKB dengan pihak Serikat Pekerja, akan memberikan dampak positif terhadap terciptanya suasana kerja yang lebih kondusif bagi berjalannya bisnis perusahaan. Namun pada sisi lain, ia belum sepenuhnya yakin bahwa kemampuan dan pengalaman yang dimilikinya dalam bernegosiasi dapat membantunya untuk menyelesaikan negosiasi ini dengan baik, seperti yang diharapkan oleh pihak manajemen perusahaan dan juga para karyawan. Disisi lain, sejarah negosiasi KKB di perusahaan ini selalu berlangsung dengan alot, dan memakan waktu berhari-hari. Bahkan beberapa tahun sebelumnya pernah mengalami "deadlock" , sehingga memerlukan bantuan dari juru penengah dari Dinas Tenaga Kerja Setempat. Harry sendiri belum mengetahui dengan persis alasan yang membuat proses negosiasi KKB di PT. DPS selalu berlangsung dengan alot. Yang dia ketahui adalah bahwa hubungan antara manajemen perusahaan dan serikat pekerja di perusahaan ini kurang harmonis. Dia menduga hal inilah yang menjadi salah satu penyebab terjadinya negosiasi KKB yang alot . Situasi dan kondisi inilah yang membuat Harry khawatir bahwa negosiasi KKB kali ini juga akan melalui proses yang sama, seperti sebelumnya. Ilustrasi cerita di atas mungkin menggambarkan masalah yang pernah dihadapi oleh banyak praktisi SDM di Indonesia. Negosiasi KKB tidak jarang menjadi ajang untuk unjuk "kekuatan" dan "kekuasaan" dari pihak-pihak yang melakukan perundingan. Bila hal ini terjadi, dapat dipastikan bahwa proses perundingan akan berlangsung dengan alot, membutuhkan waktu lama untuk menyelesaikannya, atau mungkin dalam kasus yang paling buruk terjadi "dead lock" sehingga membutuhkan keputusan Panitia Penyelesaian Perselisihan Perburuhan Daerah/Pusat (P4D/P) untuk menyelesaikannya. Apakah proses negosiasi begitu sulitnya, sehingga harus berlangsung alot ? Jawabannya bisa ya, bisa tidak. Tergantung cara kita menangani proses tersebut. Semakin efketif kita menanganinya, semakin cepat proses negosiasi dapat diselesaikan. Bagaimana cara menangani proses negoasiasi secara efektif ? Melalui uraian berikut , penulis mencoba untuk menguraikannya berdasarkan pengalaman yang dimiliki dan juga kajian literatur yang ada. Semoga tulisan ini memberikan wawasan yang lebih baik kepada para praktisi SDM dan para pimpinan serikat pekerja, agar dapat melakukan proses negosiasi di tempat kerja secara efektif. A. Pengertian Negosiasi Menurut Stephen Robbins dalam bukunya " Organizational Behavior" (2001), negosiasi adalah proses

pertukaran barang atau jasa antara 2 pihak atau lebih, dan masing-masing pihak berupaya untuk menyepakati tingkat harga yang sesuai untuk proses pertukaran tersebut. Dengan pengertian tersebut di atas, maka dalam setiap proses negosiasi , setiap pihak yang berkepentingan berupaya mempertukarkan sesuatu yang dimilikinya dan mendapatkan timbal balik yang sepadan dari mitra negosiasinya. Negosiasi dapat terjadi dimana saja, di rumah, di sekolah, di pusat perbelajaan, atau di tempat kerja. Ditempat kerja negosiasi bisa terjadi dalam bentuk yang sederhana , seperti saat seorang karyawan mengajukan usulan untuk mengikuti kegiatan pelatihan kepada atasannya yang belum tentu menyetujui usulannya tersebut, hingga yang paling rumit saat seorang manajer SDM harus melakukan pemutusan hubungan kerja secara masal kepada sejumlah karyawan. Kapan sebenarnya diperlukan upaya negosiasi ? Upaya negosiasi diperlukan manakala : kita tidak mempunyai kekuasaan untuk memaksakan suatu hasil yang kita inginkan, contoh : Seorang calon karyawan yang sedang berupaya mendapatkan pekerjaan yang diinginkannya, dengan gaji seperti yang diharapkannya di sebuah perusahaan. Sementara wewenang memberikan pekerjaan dan gaji berada pada pihak perusahaan. terjadi konflik antar para pihak, yang masing-masing pihak tidak mempunyai cukup kekuatan atau mempunyai kekuasaan yang terbatas untuk menyelesaikannya secara sepihak, contoh : Perusahaan yang sedang berupaya untuk melakukan pemutusan hubungan kerja masal tehadap sejumlah karyawan. Keinginan pihak perusahaan tidak dapat dilakukan tanpa keterlibatan dari pihak perwakilan pekerja, Dinas Tenaga Kerja, dan Panitia Perselisihan Perburuhan Pusat ( P4P) keberhasilan kita dipengaruhi oleh kekuasaan atau otoritas dari pihak lain. Contoh : Keberhasilan kerja Departemen SDM akan tergantung dukungan dari pihak manajemen dan masing-masing kepala departemen. kita tidak mempunyai pilihan yang lebih baik untuk menyelesaikan masalah yang kita hadapi atau mendapatkan sesuatu yang kita inginkan, contoh : perusahaan yang sedang berupaya untuk merekrut seorang tenaga ahli yang sangat diperlukan oleh perusahaan, namun jumlahnya Sangat terbatas di pasar tenaga kerja, sementara tenaga ahli tersebut mengajukan permintaan paket kompensasi yang cukup tinggi. Kapan upaya negosiasi sebenarnya tidak diperlukan ? Upaya negosiasi tidak diperlukan manakala : persetujuan atau kesepakatan bukanlah tujuan yang ingin dicapai oleh para pihak, contoh : seorang karyawan yang tertangkap tangan melakukan pencurian, dan akan mengalami pemutusan hubungan kerja. salah satu atau kedua belah pihak berniat untuk merugikan atau menghancurkan pihak lain, contoh : pemogokan yang dibarengi dengan upaya sabotase. negosiator dari salah satu pihak mempunyai kekuasaan yang terbatas atau tidak mempunyai kekuasaan sama sekali untuk mewakili kelompoknya dalam negosiasi, contoh : perwakilan pihak pekerja atau pengusaha dalam negosiasi KKB tidak diberikan wewenang untuk mengambil keputusan apapun selama negosiasi berlangsung. B. Konsep Konsep Penting Menurut Marjorie Corman Aaron dalam tulisannya tentang negosiasi di Harvard Review , dalam melakukan negosiasi, seorang perunding yang baik harus membangun kerangka dasar yang penting tentang negosiasi yang akan dilakukannya agar dapat berhasil menjalankan tugasnya tersebut. Kerangka dasar yang dimaksud antara lain : Apakah alternatif terbaik untuk menerima atau menolak kesepakatan dalam negosiasi ? Berapa besar nilai atau penawaran minimum yang akan dapat diterima sebagai sebuah kesepakatan ? Seberapa lentur proses negosiasi akan dilakukan dan seberapa akurat pertukaran yang ingin dilakukan Untuk membangun kerangka dasar tersebut di atas, ada 3 konsep penting yang harus dipahami oleh seorang negosiator, yaitu 1. BATNA ( Best Alternative to a Negotiated Agreement) , yaitu langkah-langkah atau alternatif-alternatif yang akan dilakukan oleh seorang negosiator bila negosiasi tidak mencapai kesepakatan.

Contoh : Bila pasal mengenai besarnya pesanggon yang harus diberikan dalam proses PHK yang diajukan pihak pengusaha tidak dapat disepakati oleh pihak serikat pekerja, maka negosiator dari pihak pengusaha mempunyai 2 pilihan ,yaitu mencoba untuk melakukan "trade off" dengan pasal mengenai penambahan cuti atau meninggalkan perundingan, bila tidak ada tanda-tanda positif dari para perunding pihak serikat pekerja untuk mau beranjak dari posisi-nya saat ini. 2. Reservation Price, yaitu nilai atau tawaran terendah yangdapat diterima sebagai sebuah kesepakatan dalam negosiasi. Contoh : negosiator dari pihak pekerja akan menyepakati hasil perundingan KKB secara keseluruhan, apabila minimum 5 dari 10 usulan mereka dapat diterima oleh pihak perusahaan 3. ZOPA ( Zone of Possible Agreement), yaitu suatu zona atau area yang memungkinkan terjadinya kesepakatan dalam proses negosiasi. Contoh : target upah minimum yang dikehendaki oleh pihak pekerja adalah Rp. 1.000.000 (gross), sedangkan reservation price- nya adalah Rp. 750.000 (gross). Sedangkan target upah minimum yangdikehendaki oleh pihak pengusaha adalah Rp. 650.000 (gross), dan reservation price-nya adalah Rp. 850.000 (gross). Zona antara Rp. 750.000 (gross) dan Rp. 850.000 (gross) adalah ZOPA Dengan pemahaman yang baik terhadap 3 konsep dasar tersebut diatas , maka para perunding diharapkan dapat menentukan hal-hal yang ingin dicapainya dalam negosiasi, menentukan besarnya konsesi yang ingin didapat dan dapat diberikan, menentukan perlu tidaknya melanjutkan negosiasi, dan melakukan langkah lain yang lebih menguntungkan. Pengalaman penulis sebagai anggota tim negosiasi perusahaan untuk pembaharuan KKB, menunjukkan bahwa dengan memahami BATNA, Reservation Price dan ZOPA yang diberikan oleh pihak manajemen perusahaan, memudahkan penulis dan team negosiator perusahaan untuk melakukan proses negosiasi secara lebih fleksible dan terarah. Dengan demikian , tim perunding dari pihak manajemen tidak perlu setiap saat menghubungi pihak manajemen untuk meminta pendapat atau mendapatkan keputusan. Hanya bila hal-hal yang dirundingkan melampaui batas BATNA, Reservation price, atau ZOPA yang telah ditentukan sebelumnya, tim negosiator menghubungi pihak manajemen perusahaan untuk meminta pendapat. C. Macam- Macam Negosiasi Pada dasarnya ada 2 macam negosiasi, yaitu : 1. Distributive negotiation- Zero sum negotiation (win-lose) , yaitu suatu bentuk negosiasi yang didalam proses pelaksanaannya para, pihak yang terlibat bersaing untuk mendapatkan sebanyak mungkin keuntungan atau manfaat yang ada. Meningkatnya manfaat yang diperoleh salah satu pihak akan mengurangi manfaat yang diperoleh oleh pihak lain. Biasanya perundingan semacam ini terjadi bila hanya ada satu masalah yang menjadi materi perundingan Contoh : Negosiasi untuk mementukan besarnya pesangon yang akan diberikan kepada karyawan yang akan di PHK. 2. Integrative negotiation (win-win), yaitu suatu bentuk negosiasi yang dalam proses pelaksanaannya, para pihak yang terlibat bekerja sama untuk mendapatkan manfaat yang sebesar-besarnya atas hal-hal yang dirundingkan dengan menggabungkan kepentingan mereka masing-masing untuk mencapai kesepakatan. Negosiasi semacam ini biasanya terjadi bila ada lebih dari satu masalah yang menjadi materi perundingan. Contoh : negosiasi untuk memperbaharui KKB Dalam kenyataannya hampir semua negosiasi yang kita lakukan merupakan kombinasi dari kedua macam bentuk negosiasi tersebut di atas. Dalam proses negosiasi terkadang kita perlu berkompetisi dengan pihak lain untuk mendapatkan hasil yang kita inginkan. Namun tidak jarang juga kita bekerja sama dengan pihak lain untuk dapat memaksimalkan hasil negosiasi yang akan dicapai. D. Stategi Dalam Bernegosiasi Dalam melakukan negosiasi, kita perlu memilih strategi yang tepat, sehingga mendapatkan hasil yang kita inginkan. Strategi negosiasi ini harus ditentukan sebelum proses negosiasi dilakukan. Ada beberapa

macam strategi negosiasi yang dapat kita Pilih, sebagai berkut : 1. Win-win Strategi ini dipilih bila pihak-pihak yang berselisih menginginkan penyelesaian masalah yang diambil pada akhirnya menguntungkan kedua belah pihak. Strategi ini juga dikenal sebagai Integrative negotiation. Contoh : Pihak manajemen sepakat untuk memberikan paket PHK di atas ketentuan pemerintah, dan pihak pekerja sepakat untuk dapat segera mengakhiri hubungan kerja dengan damai 2. Win-lose Strategi ini dipilih karena pihak-pihak yang berselisih ingin mendapatkan hasil yang sebesar-besarnya dari penyelesaian masalah yang diambil. Dengan strategi ini pihak-pihak yang berselisih saling berkompetisi untuk mendapatkan hasil yang mereka inginkan. Contoh : Pihak pekerja terpaksa menyepakati kenaikan gaji di bawah target yang telah mereka usulkan sebelumnya kepada pihak perusahaan. 3. Lose-lose Strategi ini dipilih biasanya sebagai dampak kegagalan dari pemilihan strategi yang tapat dalam bernegosiasi. Akibatnya pihakpihak yang berselisih, pada akhirnya tidak mendapatkan sama sekali hasil yang diharapkan. Contoh : Pihak pengusaha akhirnya melakukan upaya "Lock out", karena pihak pekerja tidak bersedia untuk menghentikan pemogokan. 4. Lose-win Strategi ini dipilih bila salah satu pihak sengaja mengalah untuk mendapatkan manfaat dengan kekalahan mereka. Contoh : Pihak pengusaha sengaja memberikan beberapa konsesi yang tidak terlalu signifikan kepada pihak pekerja, dengan harapan dapat membangun kepercayaan dengan pihak pekerja di masa yang akan datang. E. Taktik Dalam Negosiasi Dalam proses negosiasi, pihak-pihak yang berselisih seringkali menggunakan berbagai taktik agar dapat memperoleh hasil negosiasi yang diinginkan. Ada beberapa taktik yang umum dilakukan oleh para negosiator. 1. Membuat agenda Taktik ini harus digunakan karena dapat memberikan waktu kepada pihak-pihak yang berselisih setiap masalah yang ada secara berurutan dan mendorong mereka untuk mencapi kesepakatan atas keseluruhan paket perundingan 2. Bluffing Taktik klasik yang sering digunakan oleh para negosiator yang bertujuan untuk mengelabui lawan berundingnya dengan cara membuat distorsi kenyataan yang ada dan membangun suatu gambaran yang tidak benar. Contoh : Pihak pengusaha menunjukkan bahwa mereka tidak peduli sama sekali dengan ancaman pihak pekerja untuk melakukan pemogokan bila perundingan gagal (padahal sebenarnya mereka khawatir bila pemogokan terjadi). 3. Membuat tengat waktu (deadline) Taktik ini digunakan bila salah pihak yang berunding ingin mempercepat penyelesaian proses perundingan dengan cara memberikan tengat waktu kepada lawannya untuk segera mengambil keputusan. Contoh : Pihak pengusaha menyatakan kepada pihak pekerja , bahwa bila paket PHK yang ditawarkan tidak diambil Sekarang, maka paket PHK yang akan diberikan berikutnya akan lebih rendah dari yang ditawarkan saat ini. 4. Good Guy Bad Guy Taktik ini digunakan dengan cara menciptakan tokoh "jahat' dan "baik" pada salah pihak yang berunding. Tokoh "jahat" ini berfungsi untuk menekan pihak lawan sehingga pandangan-pandangannya selalu

ditentang oleh pihak lawannya , sedangkan tokoh "baik" ini yang akan menjadi pilak yang dihormati oleh pihak lawannya karena kebaikannya. Sehingga pendapat-pendapat yang dikemukakannya untuk menetralisir pendapapat Tokoh "jahat", sehingga dapat diterima oleh lawan berundingnya. 5. The art of Concesin Taktik ini diterapkan dengan cara selalu meminta konsesi dari lawan berunding atas setiap permintaan pihak lawan berunding yang akan dipenuhi . Contoh : Pihak pengusaha sepakat untuk memberikan kenaikan gaji yang diminta pihak pekerja, asal pihak pekerja sepakat untuk mendukung pihak pengusaha mengurangi jumlah pekerja. 6. Intimidasi Taktik ini digunakan bila salah satu pihak membuat ancaman kepada lawan berundingnya agar menerima penawaran yang ada, dan menekankan konsekuensi yang akan diterima bila tawaran ditolak. Contoh : Pihak pekerja mengamcam bahwa bila permintaan kenaikan gaji mereka tiak dipenuhi oleh pihak pengusaha, maka mereka akan melakukan pemogokan selama 1 bulan. F. Perangkap Dalam Negosiasi (Negotiation Sandtraps) Menurut Leight L. Thompson dalam bukunya The Mind and the Heart of Negotiation, para perunding sering terperangkap pada 4 (empat) perangkap utama , yaitu : 1. Leaving money on table (dikenal juga sebagai "lose-lose" negotiation, yang terjadi saat para perunding gagal mengenali dan memanfaatkan potensi yang ada untuk menghasilkan "win-win" solution. Contoh. Bila perunding dari pihak manajemen sedikit sabar dalam memberikan waktu kepada pihak pekerja untuk melakukan konsultasi diantara mereka, maka suasana perundingan akan menjadi lebih kondusif, sehingga kemungkinan terjadinya "win-win" solution akan menjadi lebih besar. 2. Settling for too little ( atau dikenal sebagai "kutukan bagi si pemenang"), yang terjadi saat para perunding memberikan konsesi yang terlalu besar, kepada lawan berundingnya dibandingkan dengan yang mereka peroleh. Contoh : Pihak pekerja memberikan dukungan kepada pihak manajemen untuk melakukan pengurangan pekerja, dengan konsesi akan diberikan kenaikan gaji sedikit di atas tingkat inflasi. 3. Meninggalkan meja perundingan , yang terjadi saat para perunding menolak tawaran dari pihak lain yang sebenarnya lebih baik dari semua pilihan yang tersedia bagi mereka. Biasanya hal ini terjadi karena terlalu mempertahankan harga diri atau salah perhitungan. Contoh : Pihak pekerja menolak menerima penawaran paket PHK dari pihak manajemen, yang besarnya 50 % di atas ketentuan pemerintah, dan tetap menginginkan paket yang besarnya 100 % di atas ketentuan pemerintah. Mereka memilih untuk meninggalkan meja perundingan, dan memilih penyelesaian melalui mekanisme P4P. Mereka berpikir dengan penyelesaian melalui mekanisme P4P, keinginan mereka dapt dipenuh oleh P4P. Namun banyak kasus, masalah ini diputuskan oleh P4P sesuai dengan ketentuan yang berlaku atau setdaknya berdasarkan tawaran yang dikajukan oleh pihak manajemen. 4. Settling for terms that worse than the alternative terjadi saat para perunding merasa berkewajiban untuk mencapai kesepakatan, padahal hasil kesepakatan yang dibuat tidak sebaik alternatif yang lain. Contoh : Karena selama ini hubungan antara pihak manajemen dan pihak serikat pekerja cukup baik dan pihak manajemen banyak membantu serikat pekerja, maka para perunding dari pihak serikat pekerja sulit untuk menolak tawaran pihak manajemen untuk hanya menaikan gaji karyawan berdasarkan inflasi. Padahal melihat hasil prestasi perusahaan, pihak perunding dari serikat pekerja, dapat mengajukan alternatif kenaikan gaji yang lebih tinggi dari nilai inflasi. G. Faktor - faktor yang membuat para perunding tidak efektif

Dalam melakukan perundingan seorang perunding sebaiknya dapatmenilai dengan baik bahwa dirinya merupakan seorang perunding yang efektif. Namun demilkian dalam prakteknya kebanyakan orang ternyata bukanlah perunding yang efektif. Akibatnya banyak proses perundingan tidak jarang mengalami kebuntuan (deadlock) , atau hasil perundingan yang diperoleh tidak memuaskan para pihak yang terkait (win-lose , lose-win, lose-lose). Agak sulit dibayangkan bila seorang melakukan perundingan dengan cara yang buruk untuk hal-hal yang penting dalam hidupnya atau karirnya di perusahaan. Menurut Leight L. Thompson dalam bukunya The Mind and Heart of the Negotiator alasan yang menyebabkan seseorang menjadi perunding yang buruk bukanlah terletak pada faktor motivasi dan kemampuan intelektual di sisi para perunding. Menurutnya , akar masalahnya terjadi pada 3 hal yang mendasar yaitu : faulty feedback, satisfacing, dan self reinforcing incompetence. 1. Umpan balik yang salah (Faulty feedback) Kebanyakan dari kita pernah melakukan proses perundingan (negosiasi) dalam hidup kita. Bahkan banyak diantara kita merupakan perunding- perunding yang berpengalaman. Namun demikian, sangat jarang kita mendapat kesempatan untuk belajar atau mau belajar tentang cara berunding yang efektif. Salah satu komponen penting dalam proses belajar adalah adanya umpan balik (feedback), dan 3 hal penting dari umpan balik adalah akurasinya, disampaikan dengan segera, dan spesifik. Problem yang dihadapi para perunding sehingga membuat mereka menjadi tidak efektif dalam melakukan perundingan bukanlah disebabkan oleh kurangnya pengalaman mereka dalam melakukan perundingan, namun disebabkan oleh kurangnya umpan balik yang tepat waktu dan akurat. Orang-orang yang sehari-harinya melakukan proses perunding, mendapatkan sedikit sekali umpan balik tentang efektifitas mereka dalam melakukan perundingan. Tidak adanya umpan balik ini menyebabkan munculnya masalah (bias) yang mencegah para perunding untuk mendapatkan manfaat yang optimal dari proses perundingan yang mereka lakukan. a. Bias konfirmasi (confirmation bias) Bias ini adalah kecenderungan seseorang untuk hanya melihat sesuatu seperti yang ingin mereka lihat saat melakukan penilaian terhadap prestasi mereka. Bias ini menyebabkan seseorang secara selektif mencari informasi yang mereka yakini benar saja. Bias ini sepertinya tidak menyakitkan. Namun demikian hal ini membuat terjadinya kesalahan persepsi terhadap kenyataan yang ada, yang pada akhirnya dapat menghambat proses belajar seseorang. Contoh : Seorang perunding yang menganggap bahwa dirinya adalah perunding yang handal, hanya akan meminta umpan balik kepada orang-orang yang diyakininya akan memberikan umpan balik yang positif tentang kehandalan dirinya dalam berunding. Padahal bila ia juga meminta umpan balik dari orang-orang lain yang lebih kritis kepadanya, maka akan banyak nilai tambah yang diperolehnya untuk memperbaiki kekurangan yang dimilikinya. b. Egosentrisme Bias ini terjadi manakala seseorang cenderung melihat pengalaman yang mereka alami dengan cara yang menyenangkannya atau sesuai dengan dengan yang mereka inginkan. Kesalahan ini dapat membuat seorang perunding salah dalam menilai dirinya. Contoh : Seorang perunding dari pihak manajemen yang menganggap dirinya selalu sukses dalam melakukan proses perundingan, percaya dan yakin (berdasarkan pengalaman sebelumnya) bahwa patner berundingnya dari pihak serikat pekerja selalu dengan mudah dapat diyakinkan untuk menerima proposal yang ditawarkannya. Keyakinan yang berlebihan ini dapat mengakibatkan perunding yang bersangkutan kewalahan manakala menghadapi patner berunding yang ternyata lebih handal dari yang dia perkirakan sebelumnya, dan mungkin saja mengalami kesulitan untuk menyelesaikan proses perundingan. Padahal bila ia menganggap bahwa setiap parner berundingnya adalah unik , dan mempunyai kekuatan dan kelemahannya masing-masing, maka ia akan dapat mempersiapkan proses perundingan yang akan dilakukannya dengan lebih baik. Dengan demikian diharapkan hasil perundingan akan menjadi lebih positif baginya. 2. Satisficing (Menerima hasil perundingan yang bernilai rendah) Kecendurangan orang untuk dapat menerima hasil perundingan yang bernilai rendah atau "pas-pasan" merupakan salah satu alasan yang menyebabkan orang mengalaman kegagalan dalam proses perundingan (Simon, 1955). Menurut Nobel Laureate Herb Simon (1955), satisfacing adalah lawan dari

optimizing. Optimizing adalah upaya mengoptimalkan strategi yang akan diterapkannya dalam proses perundingan, dengan cara menetapkan aspirasi yang tinggi, dan berupaya untuk memperolah sebanyak mungkin manfaat dalam proses perundingan. Sebaliknya orang yang cederung satisficing akan menetapkan aspirasi yang lebih rendah dari yang seharusnya mereka peroleh dan tidak berupaya memperoleh sebanyak mungkin manfaat dalam proses perundingan. Contoh : Para perunding dari pihak serikat pekerja yang bersedia menerima kenaikan gaji yang besarnya sesuai dengan tingkat inflasi. Padahal dengan kondisi perusahaan yang sangat sehat secara finansial, kenaikan gaji yang mungkin dapat diberikan adalah di atas nilai inflasi.Hal ini terjadi karena mereka kurang berupaya untuk mendapatkan hasil semaksimal mungkin dalam proses perundingan yang terjadi. Dalam jangka panjang satisficing ini akan dapat merugikan individu , maupun perusahaan, khususnya bila berbagai strategi dan ketrampilan bernegosiasi yang sebenarnya relatif tersedia dengan murah , yang dapat meningkatkan hasil negosiasi secara dramatis, tidak dimanfaatkan secara maksimal. 3. Ketidak-mampuan diri yang terus diperkuat ( Self reinforcing incompetence) Dalam proses perundingan, para perunding harus memahami dengan baik keterbatasan yang dia miliki . Namun demikian sayangnya, banyak orang yang tidak menyadari ketidak-mampuan yang mereka miliki. (Dunning, Johnson, Ehrlinger, & Krueger, 2003). Kondisi ini bila dibiarkan terus menerus akan membuat efektifitas seorang perunding dalam melakukan perundingan menjadi menurun. Hal ini terjadi karena yang bersangkutan tetap menggunakan terus menerus ketrampilan atau tingkah lakunya yang sebenarnya tidak efektif lagi dalam meningkatkan keberhasilannya untuk memenangkan perundingan. Seorang perunding dengan gejala self reinforcing incompetence ini tidak mau untuk menggunakan atau mencoba cara-cara baru yang lebih efektif dalam melakukan perundingan, karena khawatir atas resiko yang muncul bila mencoba cara-cara baru. Takut kalah atau takut membuat kesalahan membuat banyak perunding yang tidak mampu untuk meningkatkan keterampilannya dalam berunding. Contoh : Para perunding dari pihak manajemen, sering menggunakan taktik "good guy & bad guy" dalam setiap proses perundingan yang mereka lakukan dengan pihak pekerja. Padahal taktik ini sudah dapat terbaca oleh para perunding dari pihak pekerja. Akibatnya ketika taktik digunakan lagi dalam perundingan berikutnya, hasilnya tidak berjalan sesuai rencana. Namun tampaknya para perunding dari pihak manajemen tidak berupaya untuk merubah taktik perundingan ini. Untuk dapat mendiagnosa ketidak-mampuannya dan meningkatkan efektifitasnya diri mereka, maka proses belajar 2 jalur (double- loop learning ) dapat digunakan oleh seseorang (Argyris, 2002). Kebanyakan orang menggunakan proses belajar 1 jalur (single-loop learning) dalam memperbaiki kesalahan atau kekurangan yang mereka miliki. Proses belajar 1 jalur (single-loop learning) terjadi manakalah kesalahan yang terjadi diperbaiki tanpa merubah prinsip- prinsip dasar yang meyebabkan terjadinya kesalahan tersebut. Contoh : Seorang perunding memperbaiki taktiknya dalam berunding , yang merupakan hal yang dianggap mengurangi efektifitasnya dalam perundingan sebelumnya. Namun perbaikan ini tidak didahului sebelumnya dengan perubahan strategi perundingan, yang sebenarnya akan menentukan taktik berunding yang akan digunakan. Pada proses belajar 2 jalur (double-loop learning), perubahan strategi perundingan dilakukan , yang kemudian diikuti dengan perbaikan dalam taktik berunding. Perlu juga kita simak pendapat Sebenius (2001) berikut ini dalam artikelnya yang berjudul " Six habits of merely effective negotiators" tentang pentingnya untuk menggunakan asumsi yang benar dalam melakukan perundingan : " Memahami minat dari patner berunding anda dan membuat keputusan yang dapat diterima oleh patner berunding anda seperti yang mereka pikirkan, adalah kunci untuk menciptakan dan memperoleh nilai yang terus berkelanjutan dari sebuah perundingan " H. Proses Perundingan Menurut Stone (1998) Proses perundingan pada dasarnya dibagi menjadi 4-5 tahap utama yang bervariasi secara signifikan di setiap situasi perundingan, yaitu 1. persiapan, 2. penyampaian tuntutan awal (initial demand), 3. perundingan, 4). kebuntuan, dan 5. Kesepakatan. Berikut penjelasan secara lebih lengkap

1. Persiapan Apa yang harus dilakukan sebelum perundingan dilakukan ? Lakukan persiapan dengan baik. Prinsip pareto , yaitu 80-20, berlaku dalam proses perundingan. Artinya bahwa seorang perunding harus mencurahkan 80 % dari usahanya untuk melakukan persiapan, dan hanya diperlukan 20 % dari usahanya untuk melakukan perundingan yang sebenarnya (Thompson, 2005) Kebanyakan dari para perunding memahami bahwa persiapan penting dalam melakukan perundingan. Namun demikian sedikit sekali yang mempersiapkannya dengan cara yang benar. Menurut Thompson (2005), ada 3 hal yang harus dilakukan sebagai persiapan sebelum melakukan perundingan, yaitu 1) Melakukan pengukuran diri 2) Melakukan pengukuran terhadap pihak lain dan 3) Melakukan pengkuran terhadap situasi : a. Melakukan pengukuran diri. Pada tahap ini, perunding perlu sedikitnya menentukan 6 hal, yaitu : 1) Sasaran yang ingin dicapai dari perundingan yang akan dilakukan 2) Strategi yang akan digunakan untuk mengarahkan jalannya perundingan 3) Taktik yang akan digunakan selama perundingan berlangsung 4) Menetapkan BATNA (Best Alternative of The Negotiated Agreement ) yaitu langkah-langkah atau alternatif-alternatif yang akan dilakukan oleh seorang negosiator bila negosiasi tidak mencapai kesepakatan atau tidak sesuai rencana yang telah dibuat. 5) Menentukan Reservation Point yaitu nilai atau tawaran terendah yang dapat diterima sebagai sebuah kesepakatan dalam perundingan 6) Menentukan komposisi anggota tim perunding yang akan terlibat dalam proses perundingan dan peran dari masing-masing anggota tim perunding (bila perundingan dilakukan oleh tim, bukan individual) b. Melakukan pengukuran terhadap pihak lain Pada tahap ini perunding, perlu melakukan evaluasi terhadap beberapa hal berikut dari patner berundingnya (pihak lain) , yaitu : 1) Memperkirakan anggota tim perunding dari pihak lain dan masing-masng peran yang akan mereka mainkan, termasuk mengenali hidden table, yaitu bagian dari tim perunding yang tidak secara fisik hadir dalam perundingan, namun mempunyai peran yang sangat penting dalam mengarahkan perundingan yang berlangsung. 2) Menentukan kepentingan yang menjadi dasar bagi pihak lain dalam berunding dan posisi yang akan diambil oleh mereka selama perundingan 3) Memperkirakan BATNA dan Reservation Price dari pihak lain c. Melakukan pengukuran terhadap situasi Pada tahap ini perunding perlu melakukan sejumlah analisa terhadap situasi atau kondisi yang dapat mempengaruhi perundingan yang terjadi, seperti : 1) Membuat perkiraan terhadap jangka waktu terjadinya perundingan; sekali selesai, berkali kali, berulang ulang, dan sebagainya. 2) Membuat perkiraan terhadap kemungkinan proses perundingan akan memperebutkan sumbersumber daya yang terbatas (dana, sumber daya manusia, dll) atau menyentuh aspek-aspek politik, sosial dan hukum. 3) Menentukan sifat perundingan yang dilakukan. Sifatnya yang dimaksud adalah ada tidaknya adanya kepentingan atau kebutuhan yang dapat dipertukarkan (exchange) atau ada tidaknya adanya tuntutan atau keluhan dari satu pihak yang tidak dapat diterima oleh pihak lainnya , sehingga menyebabkan terjadinya perselisihan (dispute). 4) Memperkirakan ada tidaknya dampak berantai dari perundingan yang dilakukan.

5) Menetapkan ada tidaknya persetujuan yang harus dibuat di akhir perundingan. 6) Menetapkan aspek-aspek hukum yang perlu dipenuhi untuk memastikan legitimasi dari perundingan yang dilakukan, termasuk perlu tidaknya pengesahan dilakukan oleh pihak ketiga, atas hasil perundingan yang dicapai. 7) Memperkirakan ada tidaknya keterbatasan dalam hal wewenang yang diberikan, biaya, dan waktu yang tersedia. 8) Menentukan tempat dilangsungkannya perundingan 9) Menentukan perlu tidaknya perundingan dilakukan secara tertutup atau secara terbuka. 2. Tuntutan awal (initial demand) Sebelum perundingan dimulai atau memasuki substansi membahasan isi perundingan secara detil, masing-masing pihak melakukan klarifikasi atau menjelaskan mengenai tuntutan yang merekan inginkan. Sedikit banyaknya tuntutan yang dikemukakan masing-masing pihak serta baik tidaknya kerjasama yang ada di antara mereka selama proses ini, akan menentukan terbangun atau tidaknya suasana yang kondusif bagi proses selanjutnya. Perunding yang berpengalaman biasanya memfokuskan pembicaraaan pada masalah-masalah yang relatif sederhana atau tidak kontroversial, sehingga dengan mudah dapat dituntaskan. Dengan cara ini diharapkan terbangun suasan kerjasama diantara para perunding yang berasal dari kelompok yang berbeda. 3. Perundingan Setelah tuntutan awal diungkapkan, masing-masing pihak harus menentukan hal-hal yang mereka inginkan dan hal-hal yang dapat mereka berikan sebagai konsesi. Pada tahap ini masing-masing pihak perlu melakukan perundingan dalam wilayah ZOPA (zone of possible agreement) yang tersedia. Masingmasing pihak mempunyai batas toleransi (reservation price) untuk dapat mencapai kesepakatan atau untuk meninggalkan proses perundingan, sehingga terjadi jalan buntu (deadlock). Dalam proses perundingan secara tipikal titik sasaran yang ingin dicapai oleh masing-masing pihak tidak bersinggungan (overlap). Hal ini berarti bahwa nilai /jumlah tuntutan yang diajukan oleh para perunding dari pihak serikat pekerja jauh lebih banyak daripada yang dapat dipenuhi oleh pihak perunding dari pihak manajemen, dan begitu juga sebaliknya. Namun demikian biasanya (walaupun tidak selalu),nilai toleransi minimum yang dapat diterima untuk menerima kesepakatan (reservation price) dari masingmasing perunding bersinggungan (overlap). Hal ini berarti nilai/jumlah tuntutan yang dapat dipenuhi oleh para perunding dari pihakmanajemen adalah lebih besar dari nilai toleransi minimum yang dapat diterima oleh pihak perunding dari serikat pekerja, dan begitu juga sebaliknya. Dalam kondisi seperti tersebut di atas, kesepakatan yang dibuat, dapat menguntungkan kedua belah pihak. Namun demikian, tantangan yang harus dihadapi oleh para perunding dari kedua belah pihakadalah mencapai kesepakatan yang paling menguntungkan pihaknya masing-masing dan tidak memberikan terlalu banyak bagian dari ZOPA (zone of possible agreement) kepada pihak lain. Contoh : Bila ZOPA berada antara nilai 100 dan 150, yaitu 50 point, maka masing-masing perunding berupaya agar mereka mendapatkan porsi terbesar dari 50 point yang tersedia; bisa 45:5, 40:10, dan seterusnya. 4. Kebuntuan Bila masing-masing pihak tidak mencapai kesepakatan dalam proses perundingan , maka terjadilah kebutuan (deadlock). Pada situasi ini, masing-masing pihak tetap perlu berupaya untuk dapat memecahkan kebutuntuan yang terjadi, melalui berbagai cara misalnya : a. Mediasi Yang dimaksud dengan mediasi menurut Undang Undang No 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial (PPHI) adalah penyelesaian perselisihan hak, perselisihan kepentingan, perselisihan pemutusan hubungan kerja, dan perselisihan antar serikat pekerja/serikat buruh hanya dalam satu perusahaan melalui musyawarah yang ditengahi oleh seorang atau lebih.

Sedangkan yang dimaksud dengan mediator adalah pegawai instansi pemerintah yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan yang memenuhi syarat- syarat sebagai mediator yang ditetapkan oleh Menteri untuk bertugas melakukan mediasi dan mempunyai kewajiban memberikan anjuran tertulis kepada para pihak yang berselisih untuk menyelesaikan perselisihan hak, perselisihan kepentingan, perselisihan pemutusan hubungan kerja, dan perselisihan antar serikat pekerja/ serikat buruh hanya dalam satu perusahaan. b. Konsiliasi Yang dimaksud dengan konsiliasi menurut Undang Undang No 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial (PPHI) adalah penyelesaian perselisihan kepentingan, perselisihan pemutusan hubungan kerja atau perselisihan antar serikat pekerja/serikat buruh hanya dalam satu perusahaan melalui musyawarah yang ditengahi oleh seorang atau lebih konsiliator yang netral. Konsiliator Hubungan Industrial yang selanjutnya disebut konsiliator adalah seorang atau lebih yang memenuhi syarat-syarat sebagai konsiliator ditetapkan oleh Menteri, yang bertugas melakukan konsiliasi dan wajib memberikan anjuran tertulis kepada para pihak yang berselisih untuk menyelesaikan perselisihan kepentingan, perselisihan pemutusan hubungan kerja atau perselisihan antar serikat pekerja/serikat buruh hanya dalam satu perusahaan c. Arbitrase Yang dimaksud dengan konsiliasi menurut Undang Undang No 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial (PPHI) adalah penyelesaian suatu perselisihan kepentingan, dan perselisihan antar serikat pekerja/serikat buruh hanya dalam satu perusahaan, di luar Pengadilan Hubungan Industrial melalui kesepakatan tertulis dari para pihak yang berselisih untuk menyerahkan penyelesaian perselisihan kepada arbiter yang putusannya mengikat para pihak dan bersifat final. Arbiter Hubungan Industrial yang selanjutnya disebut arbiter adalah seorang atau lebih yang dipilih oleh para pihak yang berselisih dari daftar arbiter yang ditetapkan oleh Menteri untuk memberikan putusan mengenai perselisihan kepentingan, dan perselisihan antar serikat pekerja/serikat buruh hanya dalam satu perusahaan yang diserahkan penyelesaiannya melalui arbitrase yang putusannya mengikat para pihak dan bersifat final d. Pemogokan Adalah tindakan yang dilakukan oleh para anggota serikat pekerja yang menolak untuk bekerja dengan tujuan untuk menekan pihak manajemen perusahaan dalam proses perundingan. Menurut Pasal 137 Undang Undang Ketenaga-kerjaan No. 13 Tahun 2003 mogok kerja merupakan hak dasar pekerja/buruh dan serikat pekerja/serikat buruh dilakukan secara sah, tertib, dan damai sebagai akibat gagalnya perundingan. e. Penutupan Perusahaan (Lock out) Adalah keputusan manajemen perusahaan untuk melarang para karyawan untuk memasuki areal perusahaan, dan tetap mengoperasikan perusahaan melalui personalia manajemen yang ada dan atau karyawan pengganti sementara. Menurut pasal Pasal 146 ayat (1) Undang Undang Ketenaga-kerjaan No. 13 Tahun 2003 , penutupan perusahaan (lock out) merupakan hak dasar pengusaha untuk menolak pekerja/buruh sebagian atau seluruhnya untuk menjalankan pekerjaan sebagai akibat gagalnya perundingan. 5. Kesepakatan Bila dalam perundingan tidak terjadi kebuntuan (deadlock), masing- masing pihak akan sampai pada kesepakatan. Sebelum kesepakatan itu dilaksanakan , perlu diratifikasi terlebih dahulu oleh pihak-pihak yang terkait. Para perunding dari pihak serikat pekerja akan mendiskusikan hasil kesepakatan yang telah mereka buat untuk mendapatkan persetujuan dari para anggotanya. Sedangkan para perunding dari pihak manajemen akan menyampaikan hasil kesepakatan kepada dewan direksi atau manajemen untuk mendapatkan persetujuan. Setelah persetujuan diperoleh oleh kedua belah pihak, maka hasil kesepakatan yang terjadi kemudian didaftarkan kepada Instansi yang berwenang, yaitu P4D/P4P atau Pengadilan Hubungan Industrial.

Kesimpulan Melakukan perundingan sebenarnya bukanlah sesuatu hal yang perludikhawatirkan oleh para professional atau manajer selama mereka memahami konsep-konsep penting yang berkaitan dengan proses perundingan, seperti BATNA (Best Alternatives of The Negotiated Agreement) , Reservation Price, ZOPA (Zone of Possible Agreement), strategi negosiasi, taktik yang digunakan dalam perundingan, dan perangkap yang ada dalam proses negosiasi. Disamping itu, para professional atau manajer perlu terus berupaya untuk meningkatkan kemampuannya, dan menimimalkan munculnya bias yang dapat menghambat proses perundingan yang terjadi. Dalam melakukan negosiasi mereka perlu juga memahami pentingnya membuat perencanaan yang baik, dan memahami tahapan-tahapan yang terjadi dalam proses perundingan. Dengan pemahaman yang lengkap mengenai tata cara melakukan negosiasi dan proses yang terjadi di dalamnya, niscaya negosiasi akan dapat dilakukan dengan efektif oleh para professional atau pekerja. Semoga tulisan ini dapat menjadi bahan rujukan yang bermanfaat bagi yang membacanya. (ARL) Sumber 1.Thompson L, Leight., The Mind and Heart of the Negotiator. 3rd Edition, 2005, Pearson Education International., Upper Saddle River, New Jersey 07458 2. Stone J, Raymond., Human Resources Management. 3rd Edition, 1998, John Wiley & Sons, Australia, Ltd, 33 Park Road, Milton, Qld 4064, Brisbane.

Anda mungkin juga menyukai