Oleh:
Jeany Putri Yansant Pratiwi ( 5161111150 )
Ananda Pratiwi Rahman ( 5171111120 )
Pendahuluan
Manusia, untuk beberapa alasan, datang secara bersamaan dalam beberapa situasi ini dapat
dinamakan sebagai ‘keramaian’. Contoh situasi keramaian yang mudah untuk diingat: lift
yang penuh sesak, kereta bawah tanah dan terminal bus pada saat jam-jam sibuk. Pada
umumnya situasi kesesakan jenis ini dianggap sebagai sesuatu yang tidak mengenakan dan
sesuatu yang tidak diinginkan, meskipun terdapat beberapa pengecualian terhadap
pemahaman umum ini. Situasi keramaian dapat saja bertahan untuk mencapai beberapa
tujuan (contohnya: menaiki bus yang penuh sesak untuk pergi bekerja) atau karena orang-
orang tidak dapat menghindari mereka (contohnya: masyarakat pada daerah kumuh perkotaan
adalah masyarakat yang tidak memilikitempat lagi untuk dituju).
Sejak kesesakan terjadi secara berulang-ulang dipandang sebagai sesuatu yang tidak
diinginkan, jawaban secara alami muncul mengenai situasi kesesesakan pada beberapa situasi
masyarakat. Keprihatinan ekologi yang baru-baru ini, seperti populasi penduduk yang
berlebihan, polusi, dan masalah-masalah perkotaan meningkatkan ketertarikan ahli sosial
dalam perilaku kesesakan, tetapi ketertarikan ini ada setidaknya satu abad (Schopler &
Stokols, 1976).
Definisi Kesesakan
Kesesakan berdasarkan analisis Schopler dan Stokols adalah didefinisikan sebagai
keinginan untuk ruang yang lebih, sebagai hasil dari kombinasi dari faktor pribadi dan
faktor lingkungan.
Dengan demikian, kesesakan adalah pengalaman psikologis yang bertentangan pada
kepadatan fisik atau banyaknya ruang pada setiap orang dalam keadaan apapun.
Dalam istilah yang lebih umum, merekan mendefinisikan kesesakan sebagai sindrom
tekanan sebagai hasil dari perseorangan, sosial, budaya, dan faktor ruang.
Schopler dan Stokols membuat beberapa asumsi tentang sifat alami kesesakan
manusia, yaitu sebagai berikut:
1. Pengalaman-pengalaman kesesakan melibatkan tekanan psikologis.
2. Tekanan ini adalah akibat dari kehilangan rasa pengendalian atas penyesuaian diri
terhadap ruang (termasuk jarak interpersonal).
3. Ketika seseorang mengalami tekanan kesesakan, mereka mulai berusaha mengatasi
dengan upaya yang dirancang untuk mengurangi tekanan.
4. Kesesakan akan lebih intense dan sulit untuk mengatasi kebutuhan seseorang akan ruang
ketiaka dikaitkan dengan ancaman yang dirasakan terhadap keamanan pribadi, (yakni:
keselamatan fisik dan kesejahteraan emosional).
Setelah penjelasan tentang teori mereka, Schopler dan Stokols berusaha untuk
memeperoleh kriteria untuk memprediksi dimana dan kapan tekanan kesesakan akan
memiliki dampak terbesar pada seseorang. Mereka berdua mulai dengan membuat perbedaan
antara lingkungan primer dan lingkungan sekunder, mengikuti analisis terdahulu Stokols
(1976), Lingkungan dilihat sebagai sesuatu yang berubah-ubah sepanjang tiga dimensi. Tiga
dimensi tersebut yaitu:
1. Tingkat kelangsungan pertemuan terjadi dalam suatu keadaan.
2. Sentralitas psikologis dari fungsi perilaku yang dilaksanakan oleh seseorang di dalam
suatu keadaan.
3. Sejauh mana hubungan diantara orang-orang yang ada di dalam lingkungan terjadinya
tempat terjadinya pribadi terhadap tingkat anonim.
Lingkungan primer adalah lingkungan dimana yang berisi orang-orang yang
menghabiskan banyak waktunya (yakni, kontinuitas tinggi), terlibat dalam berbagai
kegiatan penting pribadi (yakni, pusat psikologis), dan hubungan-hubungan dengan
orang lain dalam lingkungan pada tingkat pribadi.
Lingkungan sekunder melibatkan pertemuan-pertemuan sementara, perilaku yang
tidak logis dan hubungan yang tidak diketahui oleh orang lain.