Anda di halaman 1dari 90

PENUGASAN MAKALAH

Kepadatan dan Kesesakan


Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Psikologi Lingkungan

Dosen Pengampu:
Muhammad Zulfa Alfaruqy, S.Psi., M.A.

Disusun oleh:

Hidayatun Nur’Aini 15000119120003


Indah Tri Amanda CK 15000119130103
Sabrina Nur Yusrina 15000119140130
Sania Pangesti 15000119130222

FAKULTAS PSIKOLOGI
UNIVERSITAS DIPONEGORO
2022
DAFTAR ISI

A. Kepadatan dan Kesesakan 1


1. Definisi Kepadatan 1
2. Definisi Kesesakan 1
3. Perbedaan Antara Kesesakan dan Kepadatan 1
B. Pokok-Pokok Materi Kepadatan dan Kesesakan 2
1. Peran Karakteristik Sosial dan Pribadi 2
2. Kesesakan Kronis dan Akut 3
3. Kesesakan Dalam Hubungan Keluarga 3
4. Dampak Kesesakan Bagi Kehidupan 3
5. Kerangka Kesesakan Eksperiental dan Kesesakan Psikis 6
C. Kesimpulan 7
D. Referensi 7

i
A. Kepadatan dan Kesesakan
1. Definisi Kepadatan (Indah)
Pengertian kepadatan menurut Lepore (2012) adalah jumlah manusia dalam
jumlah ruang tertentu atau proporsi manusia per ruangan yang tersedia. Kepadatan
pada dasarnya adalah konsep fisik yang sifatnya objektif, mengacu pada kondisi riil
tentang jumlah manusia di sekitar individu tersebut. Meskipun begitu, kepadatan tinggi
tidak selalu dipersepsikan sebagai hal yang negatif, bergantung pada karakteristik
sosial dan pribadi individu tersebut.

2. Definisi Kesesakan (Ida)


Kesesakan dapat didefinisikan sebagai perasaan sempit atau rasa sesak yang
tidak menyenangkan akibat kepadatan dalam suatu lingkungan. Persepsi kesesakan
merupakan hal yang muncul akibat adanya kepadatan. Kesesakan bersifat subjektif
atau melibatkan persepsi dari masing-masing individu, sehingga tidak dapat
digeneralisir bahwa setiap kepadatan akan dapat menyebabkan kesesakan (lepore,
2012).

3. Perbedaan Antara Kesesakan dan Kepadatan (Sabrina)


Berdasarkan pendapat para ahli, kepadatan dan kesesakan merupakan kedua hal
yang tidak dapat dipisahkan satu sama lain. Adapun penjelasan secara spesifik
mengenai perbedaan antara kepadatan dan kesesakan sebagai berikut:
a. Holahan (1992) mengungkapkan bahwa crowding adalah perasaan subjektif
individu yang disebabkan oleh banyaknya orang di sekitar individu dan
keberadaannya tidak diinginkan. Hal ini selaras dengan Cholidan (1996) yang
menambahkan bahwa kesesakan terjadi karena banyaknya jumlah stimulus
yang tidak diinginkan, sehingga menimbulkan ketidaknyamanan karena
kebebasan individu di lingkungan sosial menjadi terbatas.
b. Sarwono (1995) mengungkapkan bahwa kepadatan terjadi di suatu ruangan
dan menyebabkan kebutuhan individu di lingkungan sosial menjadi
terhambat. Pendapat ini selaras dengan Sears (1994) yang mengungkapkan
bahwa kesesakan berkaitan dengan respon terhadap kepadatan yang sifatnya
subjektif terutama terkait ruang fisik seseorang.
Berdasarkan pendapat para ahli diatas, dapat disimpulkan bahwa kepadatan dan
kesesakan merupakan dua hal yang tidak bisa dipisahkan satu sama lain. Kepadatan
berkaitan dengan jumlah individu yang sebagian besar keberadaannya tidak
diinginkan dan menimbulkan kesesakan sebagai respon subjektif individu terhadap
kepadatan di lingkungan sosialnya. Individu yang tidak terbiasa dengan adanya
kepadatan di suatu lingkungan akan merasakan kesesakan karena orang-orang di
sekitarnya merupakan bagian dari stimulus yang tidak diinginkan.

1
B. Pokok-Pokok Materi Kepadatan dan Kesesakan
1. Peran Karakteristik Sosial dan Pribadi
Korespondensi antara kepadatan dan pengalaman psikologis berkerumun
bergantung pada individu dan situasi sosial. Contohnya, di stadion sorak-sorai dan
antusiasme penonton dapat merangsang penonton untuk bersenang-senang. Di
supermarket, kehadiran banyak orang dapat mengganggu pergerakan pembeli untuk
berbelanja. Ketika kepadatan tinggi menghambat perilaku untuk mencapai tujuan, hal
tersebut lebih mungkin dialami sebagai stres dan sesak. Kurangnya kontrol terhadap
lingkungan dapat menyebabkan beberapa orang merasa tertekan secara psikologis.
Ada perbedaan besar dari reaksi individu terhadap kepadatan tinggi. Misalnya,
ketika laki-laki dan perempuan diminta untuk berinteraksi dalam kelompok-kelompok
kecil, laki-laki lebih tidak nyaman dan kurang bersosialisasi dibandingkan perempuan.
Dengan demikian, pria tampaknya lebih menyukai ruang pribadi atau jarak fisik yang
lebih besar daripada wanita. Kelompok budaya yang berbeda juga mungkin
mengalami kepadatan yang berbeda. Misalnya, mahasiswa Amerika tampaknya
kurang toleran terhadap kepadatan perumahan dibandingkan dengan mahasiswa laki-
laki dewasa di India atau mahasiswa Turki. Banyak keluarga Cina dan Jepang
tampaknya relatif tidak terpengaruh dengan tinggal di rumah dengan kepadatan sangat
tinggi. Selain itu, para peneliti juga telah menemukan hubungan positif antara
kepadatan rumah tangga dengan tekanan psikologis di berbagai kelompok ras dan
etnis, termasuk Afrika-Amerika, Anglo-Amerika, Vietnam-Amerika, dan Meksiko-
Amerika.
Individu memiliki reaksi unik terhadap tingkat kepadatan yang sama karena
individu mengembangkan metode untuk mengatasi keramaian. Misalnya,
dibandingkan dengan laki-laki, perempuan mungkin disosialisasikan untuk terlibat
dalam kontak dengan orang lain. Ketika mereka dewasa, laki-laki mungkin menjadi
lebih terbiasa daripada perempuan untuk memiliki jarak interpersonal yang besar.
Dengan demikian, pengalaman kepadatan tinggi berpotensi dapat mengurangi
pengalaman psikologis yang negatif dari berkerumun karena individu dapat belajar
bagaimana mengatasi aspek kepadatan tinggi yang tidak diinginkan atau mereka
menjadi terbiasa untuk melakukan kontak fisik yang dekat dengan orang lain.

2. Kesesakan Kronis dan Akut (Indah)


Topik mengenai bagaimana kesesakan mempengaruhi kesehatan dan perilaku
manusia telah lama diperbincangkan. Terutama di kota-kota besar, jumlah penduduk
yang banyak seringkali dikaitkan dengan mudahnya penyebaran berbagai penyakit
dan patologi sosial, mengingat jelas adanya bahwa dengan tinggal berdekatan satu
sama lain dapat memfasilitasi penyebaran penyakit menular. Namun, perlu diingat
bahwa penularan infeksi melalui kontak dengan orang lain bukan satu-satunya cara

2
kepadatan tinggi berkontribusi pada masalah kesehatan sosial dan biologis. Hal ini
dibuktikan melalui berbagai penelitian yang dilakukan terhadap hewan dengan
populasi berlebih.
Pada satu penelitian, ditemukan bahwa dengan semakin meningkatnya populasi
hewan, tingkat mortalitas juga meningkat, hal ini karena meningkatnya penyakit
menular dan kelaparan pada hewan. Namun, pada penelitian lain terhadap rusa yang
populasinya meningkat, ditemukan pula mortalitas yang meningkat namun rusa-rusa
tersebut masih memiliki banyak makanan, air, dan tidak menunjukkan tanda-tanda
penyakit menular. Setelah dilakukan pemeriksaan bagian dalam tubuh rusa, ditemukan
bahwa terdapat tanda-tanda penyakit yang berhubungan dengan stress, yang
mengarahkan pada penjelasan lain mengapa kepadatan tinggi dapat meningkatkan
kematian, yaitu karena stres sosial.
Stres sosial oleh hewan ini disebabkan karena adanya kontak sosial yang negatif
antar hewan satu dengan lainnya, dan kepadatan tinggi bisa memicu stres sosial,
mengingat dapat menyebabkan pertengkaran antar hewan, kanibalisme, dan patologi
sosial dan biologis lainnya. Namun, penelitian terhadap ini tidak dapat begitu saja
disamakan pada manusia. Pada manusia, hasil dari kepadatan yang tinggi seperti
tingkat kriminalitas tidak bisa dibandingkan begitu saja dengan agresivitas pada
hewan, karena banyak faktor lain yang mungkin mempengaruhi, seperti kemiskinan
dan kebisingan yang cenderung menyertai kepadatan tinggi dan mempengaruhi
kesehatan manusia, tidak seperti hewan yang faktor eksternalnya dapat dikendalikan
oleh manusia.
Dampak dari kepadatan yang tinggi pada manusia tidak tampak separah yang
dirasakan oleh hewan, karena manusia mampu melakukan berbagai cara untuk
beradaptasi dengan lingkungannya, seperti meningkatkan konsumsi makanan untuk
mencegah kelaparan atau memodifikasi lingkungannya. Untuk memahami pengaruh
kesesakan terhadap manusia, penting untuk membedakan dua istilah, yaitu kesesakan
kronis dan kesesakan akut. Kesesakan kronis terjadi di lingkungan di mana individu
cenderung menghabiskan banyak waktu mereka, seperti kantor, tempat tinggal, atau
tempat kelembagaan seperti asrama, penjara, dan barak militer. Sebaliknya, kesesakan
akut terjadi di lingkungan di mana individu cenderung hanya menghabiskan sedikit
dari waktu mereka, seperti di toko, bioskop, restoran, stadion, dan tempat publik
lainnya.

3. Kesesakan dalam Hubungan Keluarga (Ida)


Kepadatan dalam rumah tangga sangat rentan dalam menimbulkan perasaan
kesesakan bagi anggota keluarga yang tinggal di dalamnya. Lepore (2012) menuliskan
bahwa kesesakan dalam rumah tangga dapat memunculkan perilaku antisosial dan
beberapa masalah dalam interaksi sosial. Lebih lanjut Lepore menyatakan bahwa
kepadatan dan rasa kesesakan dalam rumah tangga dapat meningkatkan mood negatif,

3
gejala depresi, dan kecemasan bagi orang dewasa. Selain itu, individu yang memiliki
rumah tangga dengan kepadatan tinggi memiliki kecenderungan untuk sulit bergaul
dengan tetangga mereka.
Selain dampak di atas, kesesakan dalam rumah tangga juga dapat menimbulkan
efek negatif bagi anak-anak. Dampak tersebut diantaranya yaitu; orang tua yang
menjadi kurang berinteraksi dengan anak, memiliki kontrol yang rendah, memiliki
prestasi dan motivasi yang rendah, memiliki kemampuan verbal yang buruk, lebih
merasa cemas, dan cenderung memiliki masalah perilaku atau konflik yang lebih besar
dibandingkan dengan anak yang berasal dari keluarga dengan kepadatan dan
kesesakan yang rendah (Lepore, 2012).
Hubungan antara anak dengan orang tua dalam keluarga dengan tingkat
kepadatan tinggi akan cenderung kurang responsif. Individu dalam keluarga dengan
kesesakan yang tinggi kemungkinan besar akan merasa tertekan oleh kepentingan dan
kerepotan anggota keluarga lainnya dan merasa sulit untuk menghindar atau
menjauhkan diri. Akan tetapi, dampak kepadatan dan kesesakan bagi anak ataupun
bagi orang dewasa di atas tidak pasti sepenuhnya benar atau dapat disebabkan oleh
beberapa faktor sosial dan lingkungan lain seperti contohnya faktor kebisingan.
Lebih jauh terkait dampak kesesakan bagi anak dijelaskan dalam penelitian
Solari & Mar (dalam Srivastava, & Singh, 2017) yang mengemukakan bahwa anak
yang tumbuh di lingkungan perumahan yang ramai akan berpengaruh pada kehidupan
sosial anak dan dapat menimbulkan ketimpangan sosial. Kondisi kehidupan yang
buruk dapat menyebabkan mekanisme stratifikasi sosial, mempengaruhi kesejahteraan
psikologis anak, dan dapat berujung pada transmisi antargenerasi ketidaksetaraan
sosial.
Sejalan dengan hasil penelitian di atas, Gove, Hughes & Galle, 1979; Gove &
Hughes, 1983 (dalam Srivastava, & Singh, 2017) keluarga dengan tingkat kepadatan
yang tinggi memiliki berbagai masalah, seperti penarikan diri, masalah kesehatan
mental yang buruk, kesehatan fisik yang buruk, ketidakpuasan perkawinan, dan
pengasuhan serta perawatan anak yang tidak optimal. Penelitian Booth & Johnson,
1975; Edwards, Booth & Edwards, 1982 (dalam Srivastava, & Singh, 2017) juga
menemukan beberapa dampak negatif dari kondisi lingkungan rumah tangga yang
padat dan sesak yang kurang lebih sama dengan beberapa hasil penelitian sebelumnya.

4. Dampak Kesesakan Bagi Kehidupan (Sabrina)


Ukuran kepadatan dan kesesakan bagi setiap individu berbeda-beda tergantung
pada budaya, kepribadian, kebudayaan, dan faktor situasional lainnya. Dampak dari
kepadatan yang nampak dengan jelas adalah adanya pembatasan interaksi sosial,
pembatasan perilaku seseorang di dalam suatu lingkungan, dan adanya pengurangan
personal space seseorang. Sementara itu, secara lebih lanjut kepadatan dan kesesakan
dapat menyebabkan stres psikologis, stres hormonal, tekanan darah tinggi maupun

4
rendah, fidgeting, dan skin conductance. Fidgeting yaitu suatu tindakan dimana
individu memainkan jarinya atau memegang suatu benda ketika dihadapkan pada
situasi yang tidak nyaman. Sementara itu, Skin conductance merupakan respon
psikologis individu dalam menghadapi stimulus eksternal maupun internal dengan
kondisi kulit menjadi konduktor listrik yang baik pada situasi tersebut. Skin
conductance umumnya terjadi pada tangan dan jari-jari dimana bagian tubuh tersebut
mudah berkeringat daripada biasanya.
Selain respon fisik dan psikologis diatas, kepadatan dan kesesakan juga dapat
berdampak pada kesehatan fisik maupun mental individu. Dampak kesehatan fisik
yang biasanya dialami individu, antara lain diare, demam, dan masalah berat badan
bagi bayi yang baru lahir. Sementara itu, Holahan (1982) mengungkapkan beberapa
dampak kesehatan mental yang umumnya ditemui di lingkungan dengan kepadatan
dan kesesakan tinggi adalah munculnya psikosomatis dan gangguan jiwa, adanya
patologi sosial dan kenakalan remaja, serta adanya perilaku agresivitas, penarikan diri
dari lingkungan sosial, rendahnya perilaku prososial, tingginya tendensi prasangka
terhadap individu lain, dan munculnya perasaan murung yang dapat menghambat
prestasi kerja individu. Dampak-dampak ini terjadi karena kepadatan umumnya
ditandai oleh jarak antara rumah satu dengan yang lain terlalu dekat, kapasitas orang
yang tinggal di suatu rumah yang melebihi batas, dan munculnya kebisingan dengan
intensitas tinggi.
Salah satu faktor pembeda dampak kepadatan dan kesesakan yang dirasakan tiap
individu adalah gender. Menurut Steg dan Groot (2019), laki-laki memiliki tendensi
yang lebih kuat dalam hal reaksi psikologis, misalnya tekanan darah dan perilaku yang
mengarah pada agresivitas, sedangkan perempuan memiliki tendensi yang lebih kuat
untuk mengalami depresi jika terus-menerus berada di dalam lingkungan dengan
kepadatan dan kesesakan yang tinggi. Kedua perbedaan dampak ini juga dapat
didasarkan pada laki-laki yang memiliki toleransi rendah terhadap kepadatan dan
kesesakan dibandingkan perempuan.
Kepadatan dan kesesakan dapat berdampak pada seluruh aspek kehidupan,
salah satunya akademik. Taylor (dalam Gifford, 1987) mengemukakan bahwa
kepadatan dapat mempengaruhi sikap dan perilaku seseorang yang apabila hal ini
dikaitkan dengan akademik, kepadatan akan menimbulkan persepsi tidak
menyenangkan pada lingkungan belajarnya. Kepadatan yang terjadi di lingkungan
belajar, misalnya ruang kelas akibat jumlah siswa yang melebihi batas maksimal akan
menimbulkan keterbatasan personal space masing-masing siswa. Personal space
merupakan salah satu kebutuhan semua orang, sehingga apabila kebutuhan ini gagal
dipenuhi karena adanya kepadatan, maka akan menimbulkan kesesakan. Hal ini dapat
menyebabkan stres akademik, menurunnya kemampuan untuk mengerjakan tugas,
dan konsentrasi belajar.

5
5. Kerangka Kesesakan Eksperiental dan Kesesakan Psikis (Sania)
Kerumunan merupakan aspek ekologi dan psikologis dari kepadatan penduduk
yang memberikan dampak signifikan terhadap perilaku dan fisiologi baik individu
maupun kelompok sosial. Bagaimanapun, crowding dapat menjadi pengaruh yang
merugikan bagi kesejahteraan individu dalam populasi. Berbagai penyakit terkait stres
dan kematian kemungkinan besar dapat terjadi. Populasi manusia menjadi padat
dengan cepat melalui tingkat pertumbuhan penduduk yang berlebihan, urbanisasi, dan
peningkatan kontak sosial dan komunikatif.
Penelitian di bidang kepadatan dan kesehatan mental menunjukkan hubungan yang
signifikan antara paparan kepadatan dan munculnya masalah psikologis pada orang-
orang yang mengalami kepadatan. Studi telah menyatakan bahwa lingkungan yang
ramai mempengaruhi susunan psikologis manusia. Gambar di bawah ini merupakan
model yang menjelaskan munculnya masalah psikologis sebagai akibat dari reaksi
berkerumun dan pengalaman berkerumun secara empiris.

Model ini telah dikonseptualisasikan sebagai model dinamis. Model ini


menunjukkan bahwa kepadatan eksternal menciptakan iklim yang tidak mendukung
yang dihasilkan dari kepadatan tinggi dan perasaan sesak. Selain itu, hal tersebut
menciptakan rasa tidak aman yang dapat menjadi bahaya kesehatan psikologis seperti
kecemasan, depresi serta agresi dan permusuhan.
Munculnya kecemasan terkait gangguan atau agresi yang dihasilkan oleh rasa tidak
aman dan gelisah adalah dampak langsung dari pengalaman crowding. Hal ini dapat
disebabkan oleh kepadatan eksternal atau dapat menjadi reaksi individu terkait
keramaian. Hal ini dapat menyebabkan iklim yang tidak mendukung dan mengurangi
antusiasme individu untuk menjalani aktivitas mereka sehari-hari.

6
C. Kesimpulan
Kepadatan menurut Lepore (2012) adalah jumlah manusia dalam jumlah ruang
tertentu atau proporsi manusia tiap ruangan yang tersedia. Kepadatan pada dasarnya
adalah konsep fisik yang sifatnya objektif, mengacu pada kondisi riil tentang jumlah
manusia di sekitar individu tersebut. Sedangkan, kesesakan dapat didefinisikan
sebagai perasaan sempit atau rasa sesak yang tidak menyenangkan akibat kepadatan
dalam suatu lingkungan. Kesesakan melibatkan persepsi setiap individu, sehingga
bersifat subjektif.
Korespondensi antara kepadatan dan pengalaman psikologis berkerumun
bergantung pada individu dan situasi sosial. Terutama apabila kepadatan tinggi
menghambat perilaku untuk mencapai tujuan, hal tersebut lebih mungkin dialami
sebagai stres dan sesak. Kepadatan dan kesesakan yang tinggi dalam suatu rumah
tangga dapat menimbulkan berbagai dampak negatif, diantaranya yaitu, adanya
penarikan diri, masalah kesehatan mental yang buruk, kesehatan fisik yang buruk,
ketidakpuasan perkawinan, dan pengasuhan serta perawatan anak yang tidak optimal.
Hal ini linear dengan penelitian yang di bidang kepadatan dan kesehatan mental yang
menunjukkan hubungan yang signifikan antara paparan kepadatan dan munculnya
masalah psikologis pada orang-orang yang mengalami kepadatan, terutama bagaimana
kepadatan berpengaruh menciptakan rasa tidak aman yang dapat menjadi bahaya
kesehatan psikologis seperti kecemasan, depresi serta agresi dan permusuhan.

D. Referensi
Ditasari, R.D., & Masykur, A.M. (2015). Hubungan antara kesesakan dan konsentrasi
belajar pada siswa smp negeri 6 semarang, Jurnal Empati, 3(3), 196-105.

Gifford, R. (1987). Environmental psychology. Allyn & Bacon, Inc.

Hasnida. (2018). Kesesakan (crowding) dan density (kepadatan). Fakultas Kedokteran


Universitas Sumatera Utara.

Lepore, S. J. (2012). Crowding: Effects on health and behavior, in: V.S. Ramacandran
(ed.): The encyclopedia of human behavior, Academic Press, 1(1), 638-643.

Sarwono, S.W. (1995). Psikologi lingkungan. Gramedia Widiasarana Indonesia.

Steg, L., & Groot, J.L.M.D. (2019). Environmental psychology: An introduction. John
Wiley and Sons Ltd.

Srivastava, J., & Singh, A. (2017). Effect of perceived crowding on the mental health of
adolescence. Indian J.Sci.Res. 16(1): 138-143.

7
PAPER PSIKOLOGI LINGKUNGAN

CAHAYA DAN WARNA

Dosen Pengampu:

Muhammad Zulfa AlFaruqy, S.Psi., M.A.

Oleh Kelompok 2:
Athiyya Afifa Adniy 15000119130118

Novera Amanda Putri 15000119140246

Zahra Surya Fadhila 15000119140142

Alin Azmi 15000119120012

FAKULTAS PSIKOLOGI
UNIVERSITAS DIPONEGORO
2022
A. PENDAHULUAN

Sebagai makhluk hidup yang memiliki akal dan pikiran, manusia


dianugerahi kemampuan untuk berpikir yang kemudian akan menunjang
keberlangsungan hidupnya di dunia. Manusia sebagai makhluk sosial juga
tidak dapat dipisahkan dari lingkungan tempat tinggalnya. Berbagai indera
yang ada pada diri individu sebenarnya merupakan “alat” yang membantu
individu memaknai pengalaman sehari-hari, terutama indera penglihatan.
Indera penglihatan inilah yang kemudian membantu manusia
mempersepsikan secara visual objek yang ada disekitarnya. Namun, untuk
mampu mempersepsikan lingkungannya dengan baik, manusia sangat
bergantung dengan cahaya.

Cahaya sendiri memegang peranan penting dalam kehidupan


manusia sejak dahulu kala sehingga keberadaannya kemudian dimaknai
secara praktis dan simbolis. Fungsi cahaya sebagai praktis adalah dimana
cahaya hanya dipandang dari segi fungsinya, sumber penerangan dari
kegelapan. Lalu, fungsi cahaya secara simbolis adalah bagaimana cahaya
dipandang sebagai sebuah estetika yang menghadirkan suasana tertentu.
Didalam sebuah cahaya, pasti terdapat beragam spektrum warna yang
diinterpretasikan berbeda sesuai dengan panjang gelombangnya.

Warna merupakan unsur dari cahaya yang memiliki panjang


gelombang tertentu yang selanjutnya diinterpretasi oleh mata berdasarkan
cahaya yang mengenainya. Gelombang yang diterima oleh mata kemudian
akan diproses di otak menjadi sebuah impuls elektrik, lalu direspon oleh
sistem hormon dan endokrin dan akhirnya diadaptasi oleh tubuh.
Singkatnya, warna sangat berpengaruh terhadap reaksi biologis makhluk
hidup, terutama manusia.

Setelah mengetahui penjelasan makna dari cahaya dan warna, kami


akan memaparkan lebih lanjut mengenai pengaruh cahaya dan warna
terhadap manusia, teori yang mendasari hingga aspek yang ditimbulkan
pada sisi psikologisnya dalam perspektif psikologi lingkungan.

B. POIN-POIN MATERI: CAHAYA DAN WARNA DALAM PERSPEKTIF


PSIKOLOGI LINGKUNGAN
1. Stres Lingkungan: Cahaya dan Warna

Stres lingkungan merupakan respons emosional, kognitif, dan perilaku


terhadap suatu stimulus yang berasal dari lingkungan (atau stresor). Evans dan
Cohen (1987) membedakan empat jenis stresor lingkungan yakni

1. Cataclysmic Events atau Peristiwa Kebencanaan


Misalnya, seperti bencana alam
2. Stressful Life Events atau Peristiwa Kehidupan yang Menekan
Misalnya, masalah kesehatan dan masalah keluarga.
3. Daily Hassles atau Kegiatan Keseharian yang Merepotkan
Misalnya, seperti keramaian atau kemacetan.
4. Ambient Environmental Stressor atau Latar Belakang Lingkungan yang
Membuat Stres
Misalnya, polusi udara, kebisingan, cahaya redup, warna yang
mengganggu, temperatur, dan lain-lain)

Ambient Environmental Stressor atau Latar Belakang Lingkungan yang


Membuat Stres

Ambient environmental stressor merupakan stressor yang bersumber dari


latar belakang lingkungan. Namun, tidak seperti stressor yang lain, stres ini
cenderung dapat ditoleransi dalam waktu yang singkat.

Cahaya dan warna merupakan suatu yang berasal dari sekitar lingkungan
(ambient environmental stressor) yang juga dapat membuat seseorang mengalami
kondisi stres bilamana hal itu mengganggu atau tidak membuat nyaman mereka.
● Cahaya

Cahaya dapat berhubungan dengan kondisi kesehatan,


suasana hati, atau performa kerja seseorang. Misalnya, ketika akan
tidur dan membutuhkan kondisi cahaya yang nyaman.

Manusia akan bekerja secara optimal ketika mendapatkan


cahaya dengan kondisi optimum. Beberapa penelitian
menunjukkan menunjukkan bahwa seseorang dapat mengerjakan
sesuatu dengan baik berdasarkan tingkat kecerahan cahaya yang
didapatkannya. Misalnya, seseorang yang mengerjakan sesuatu
yang berkaitan dengan aspek kognitif akan lebih baik ketika
mendapatkan cahaya dengan tingkat keterangan pada level “warm
white" dibandingkan dengan cahaya yang lebih "cool" atau cahaya
“daylight”.

● Warna

Penelitian berkaitan tentang warna berbagai penelitian


tentang warna telah dilakukan untuk menemukan sejumlah faktor
yang berbeda, seperti perbedaan individu (individual differences)
dan pengaruhnya terhadap seseorang.

Warna pun juga dapat menjadi sebuah stresor. Misalnya,


kamar dengan warna cenderung dominan gelap akan terasa
menjadi lebih ramai daripada warna kamar dengan warna dominan
yang lebih terang (Baum dan Davis 1976). Contoh lainnya, warna
rumah sakit yang berwarna hijau lebih cenderung mengurangi rasa
stres. Artinya, warna memberikan pengaruh persepsi terhadap
lingkungan seseorang.

2. Color and Psychological Functioning


a. Theoretical Work
Teori yang berkaitan tentang warna dan fungsi psikologis sudah
ada sejak Goethe tahun 1810 dalam Theory of Colors yang berisi tentang
kaitan antar kategori warna dengan respons emosional seperti kesenangan,
kehangatan, dll. Goldstein (1942) menyatakan bahwa warna-warna
tertentu dapat memberikan reaksi fisiologis yang termanifestasikan lewat
pengalaman emosional, orientasi kognitif, dan tindakan atau perilaku.
Goldstein mengemukakan bahwa warna dengan panjang gelombang yang
lebih panjang cenderung meningkatkan gairah. Sebaliknya, warna dengan
panjang gelombang yang lebih pendek cenderung memberikan rasa santai
ataupun sejuk (Nakashian, 1964; Crowley, 1993).

Changizi dkk. (2006) dan Changizi (2009) menyatakan bahwa


penglihatan trikromatik (kondisi di mana mata mampu membedakan tiga
kanal warna yang berbeda) telah berevolusi sehingga memungkinkan
primata (termasuk manusia) untuk mendeteksi perubahan pada aliran
darah di bawah kulit sehingga dapat memberikan informasi penting
tentang keadaan emosional. Misalnya, peningkatan warna merah dapat
diartikan sebagai rasa malu, marah, atau gairah seksual. Lalu, peningkatan
warna hijau atau biru dapat memberikan informasi tentang kondisi
fisiologis yang memburuk atau adanya suatu penyakit. Dengan demikian,
fenomena ini dapat memberikan keuntungan bagi manusia dalam
menunjang kehidupan sosialnya.

Meier dan Robinson (2005) dan Meier mengemukakan tentang


teori metafora konseptual warna bahwa orang berbicara dan berpikir
tentang konsep abstrak didasarkan pada pengalaman persepsi (dengan
menggunakan metafora) untuk membantu memahami dunia sosial mereka.
Misalnya, lightness dapat menjadi metafora yang berkaitan dengan sesuatu
yang baik ("seeing the light"). Sebaliknya “in the darkness” dapat
dikaitkan dengan suatu hal yang buruk. Hal ini dapat berimplikasi pada
morality judgement dan stereotip seperti wajah yang berwarna gelap
cenderung dilihat sebagai suatu yang negatif, begitu sebaliknya.
Cahaya dapat memberikan pengaruh psikologis dan meningkatkan
gairah. Akan tetapi, tefek seperti itu ternyata juga didasari oleh panjang
gelombang. Misalnya, cahaya berwarna biru dapat mengaktifkan sistem
fotoreseptor melanopsin yang memberikan pengaruh pada struktur otak
untuk meningkatkan kewaspadaan dan meningkatkan kinerja pada
pekerjaan yang membutuhkan perhatian lebih.

b. Empiric Work
● Background and Recent Developments

Karya empiris di bidang warna dan fungsi psikologis


dimulai pada akhir abad ke-19. Karya tersebut memiliki masalah
metodologis yang konsisten menghambat pengujian dan
interpretasi. Prosedur ilmiah menjadi gagal untuk diikuti karena
beberapa penyebab berikut ini. Pertama, adanya eksperimen yang
buta terhadap kondisi, identifikasi, dan pengecualian peserta yang
buta warna, standarisasi durasi presentasi atau paparan warna.
Selanjutnya, adanya kegagalan manipulasi dalam menentukan dan
mengontrol warna pada tingkat spektral. Terakhir, kurangnya
kekuatan dalam penggunaan sampel.

Meskipun terdapat beberapa masalah pada awal hingga


akhir dekade seperti yang disebutkan sebelumnya, telah terjadi
perbaikan baru-baru ini disertai dengan kemajuan dan
pengembangan teori. Oleh karena itu, terjadi lonjakan aktivitas
empiris. Tabel berikut ini memberikan ringkasan serta contoh
representatif mengenai penemuan yang baru-baru ini muncul.

Area Penelitian Temuan Sentral Contoh Representatif

Warna dan perhatian Rangsangan merah dapat Peserta lebih cepat untuk
selektif. menerima keuntungan target merah desaturasi
perhatian. ketika pencarian visual.

Warna dan Cahaya biru dapat Peserta yang terkena


kewaspadaan. meningkatkan iluminasi biru melaporkan
kewaspadaan subjektif dan kewaspadaan mental yang
kinerja pada tugas berbasis lebih besar.
perhatian.

Warna dan kinerja Memakai warna merah Peserta taekwondo yang


atletik. dapat meningkatkan memakai warna merah
kinerja yang dirasakan mengungguli peserta
dalam kompetisi dan tugas taekwondo yang memakai
olahraga. warna biru.

Warna dan kinerja Melihat warna merah Peserta yang melihat


intelektual. sebelum mengerjakan warna merah pada sampul
tugas kognitif yang tes kecerdasan memiliki
menantang dapat merusak kinerja lebih buruk pada
kinerja. tes.

Warna dan evaluasi Melihat warna merah pada Peserta menilai laki-laki
agresivitas/dominasi. diri sendiri atau orang lain yang memakai warna
dapat meningkatkan merah lebih dominan
penilaian agresivitas dan dibandingkan laki-laki
dominasi. yang memakai warna
kromatik lainnya.

Warna dan motivasi Melihat warna merah Peserta yang melihat


penghindaran. dalam konteks pencapaian warna merah sebelum tes
dapat meningkatkan kecerdasan lebih besar
kehati-hatian dan aktivasi korteks frontal
penghindaran. pada bagian kanan
dibandingkan pada bagian
kiri.

Warna dan daya tarik. Melihat warna merah pada Laki-laki heteroseksual
atau di dekat wanita dapat menilai perempuan yang
meningkatkan ketertarikan memakai warna merah
pada pria heteroseksual. lebih menarik
dibandingkan perempuan
yang memakai warna
kromatik lainnya.

Warna dan evaluasi Warna biru pada toko atau Peserta menilai bahwa
toko/perusahaan. logo dapat meningkatkan situs web yang
penilaian kualitas dan menampilkan warna biru
kepercayaan. lebih dapat dipercaya.

Warna dan makanan/ Warna merah dapat Peserta makan lebih


minuman. mempengaruhi persepsi sedikit keping coklat dari
dan konsumsi makanan piring merah.
dan minuman.

● Evaluation and Recommendations

Penemuan-penemuan yang telah disebutkan sebelumnya


memberikan kontribusi penting untuk sumber referensi mengenai
warna dan fungsi psikologis. Namun, karya empiris tersebut
memiliki beberapa kelemahan berikut ini. Pertama, ikatan
warnanya belum tepat untuk dikendalikan, sehingga kontrol warna
tidak dilakukan dengan benar di perangkat. Kedua, persepsi warna
bukan hanya fungsi ringan seperti chroma dan hue, tetapi juga
faktor-faktor seperti jarak pandang dan sudut, jumlah dan jenis
cahaya di sekitar, serta keberadaan warna lain di latar belakang
langsung dan lingkungan umum. Ketiga, meskipun penelitian di
bidang ini besar, namun penelitian yang kurang kuat akan tetap ada
karena merupakan permasalahan yang umum terjadi. Warna
ilmuwan sebaiknya menjadi yang terdepan dalam menerapkan
praktik ketat pada penelitian seperti pengarsipan bahan dan data
kepada publik serta melengkapi pengujian.

3. Psychology of Light
● Light as a Cognitive Map and Emotional Driver
Di luar model perilaku klasik stimulus-respon, mekanisme reaksi
neuro-perspektif, dan adaptasi lingkungan oleh pengamat, cahaya dapat
merangsang aparatus persepsi individu melalui jenis dan rentang paparan
sumber pencahayaan dan warnanya, yang mendorong keadaan atau
perilaku emosional tertentu pada manusia, jenis stimulus khusus ini
mampu menggairahkan, menggerakkan, mengesankan, berkomunikasi,
menyembuhkan, dan menghasilkan kesehatan, menciptakan rasa serasi dan
selaras dengan lingkungan sekitar, seperti interior rumah, pojok toko,
ruang kantor, atau sayap pameran museum (Birren, 1969a, 1969b; Flynn et
al., 1973 dalam Tomassoni, Galetta & Eugenia Treglia, 2015).
Flynn (1973 dalam Tomassoni, Galetta & Eugenia Treglia, 2015)
berpendapat bahwa tata letak dan modulasi pencahayaan yang strategis
oleh desainer cahaya dapat mempengaruhi suasana hati, penciptaan,
menimbulkan rasa tenang dan istirahat di tempat yang suci lingkungan
(sebagai kuil atau gereja), atau menambah misteri dan ketegangan pada
pertunjukan teater di atas panggung, mengarahkan pandangan mata dan
atribusi makna di dalam suatu konteks ruang-waktu.
Oleh karena itu cahaya merupakan “peta kognitif” lingkungan dan
psikofisik penggerak persepsi manusia. (Kaplan & Kaplan, 1989 dalam
Tomassoni, Galetta & Eugenia Treglia, 2015) juga mengemukakan induksi
respons kognitif dan emosional spesifik oleh individu yang terpapar
pengaturan cahaya di dalam rumah, arsitektur, perkotaan, komersial,
bekerja, atau ruang pameran (misalnya museum atau galeri seni)
ditentukan oleh saraf manusia dan psikofisik, meskipun terkadang desainer
cahaya, karena fokusnya pada nilai fungsional atau estetika yang terkait
dengan proyek pencahayaannya, tidak sepenuhnya sadar akan hal tersebut.
Di dalam rumah atau ruang kerja, cahaya mampu mempengaruhi
keadaan emosional tertentu, dimana cahaya tidak hanya mengaktifkan
keterampilan kognitif tertentu di dalam pengamat dinamisme, relaksasi,
privasi, kejelasan visual, eksitasi, produktivitas, efisiensi, tapi juga stres,
kantuk, kesedihan, agitasi, kegelisahan, kecemasan. Respon individu oleh
subjek yang terpapar cahaya bervariasi di dalam rentang antara ekstrem
sumber cahaya, yang bisa terang/redup, seragam/tidak seragam,
pusat/perimeter, hangat/dingin: singkatnya, dimungkinkan untuk
menginduksi perubahan respons psikofisiologis oleh pengamat melalui
perubahan/modulasi sifat dan tipologi rangsangan cahaya dalam rangkaian
variasi, memungkinkan juga pengukuran kesan subjektif dalam kondisi
pencahayaan (Flynn et al., 1979; Boyce, 2003 dalam Tomassoni, Galetta
& Eugenia Treglia, 2015).
Selain itu, cahaya berwarna dapat membangkitkan sensasi taktil di
perseptor (sesuai dengan kisaran rona kromatik), memanifestasikan
dirinya dalam bentuk suhu yang dirasakan, menerapkan modalitas persepsi
sinestetik pada manusia sehingga individu mampu “merasakan” dengan
cara tersebut.
● Light as a Gestaltic Device
Atas dasar pendekatan psiko-kognitif yang merupakan kebutuhan
dasar manusia untuk memberi makna pada lingkungan sekitar, manusia
mengenali cahaya sebagai salah satu faktor utama dari proses rekonstruksi
mental, decoding interpretatif, deskripsi simbolis dan perampasan kembali
semantik dari ruang lingkungan. Individu juga melakukan pengaktifan
proses mental tentang menjodohkan dan asimilasi rangsangan yang datang
dari realitas eksternal menuju pola yang sudah dikenal dalam lingkup
pengalaman subjek.
Proses rekonstruksi Gestaltik tentang lingkungan sekitar melalui
cahaya, yang melibatkan secara simultan baik bidang sensorineural dan
ketidaksadaran individu, dimaksudkan untuk menjembatani kesenjangan
kognitif yang berkaitan dengan realitas yang tidak diketahui oleh individu,
sehingga memberikan individu mampu menginterpretasi tentang ruang
lingkungan luar dan jawaban yang diperlukan untuk kebutuhan dasar
keamanannya sehingga memungkinkan manusia untuk mengatasi
mekanisme pertahanan naluriah dan primitif terhadap yang tidak diketahui,
yang dapat menentukan rasa takut (naluri untuk melarikan diri) atau
agresivitas (naluri untuk menyerang).
Cahaya juga membantu memberi makna pada lingkungan dan
mendorong proses interpretasi realitas yang dilakukan oleh subjek dalam
keadaan kognitif ketidakpastian untuk mengendalikan lingkungan
eksternal. Tetapi, pada saat yang sama, manusia juga tertarik oleh rasa
misteri dan kompleksitas yang muncul dari penemuan lingkungan baru
yang tidak dikenal dan cenderung untuk memilih solusi "tidak
konvensional", dimana cahaya, dengan banyak corak dan gradasi,
memimpin individu melalui proses eksplorasi menuju tidak diketahui.
Cahaya tidak hanya “dianggap mampu” menyembunyikan, dan
mengungkapkan misteri, tetapi juga menarik, melibatkan, merangsang, dan
sangat mempesona bagi manusia.
Menurut model pemrosesan mental yang diberikan oleh setiap
individu, sebagian didasarkan pada struktur neuro-perseptual nya sendiri,
sebagian juga pada kepribadian subjektif dan dorongan bawah sadar,
rangsangan ringan (input sensori) yang dapat menginduksi emosi, perilaku,
dan suasana hati tertentu. Cahaya tidak hanya mempengaruhi kesehatan
tubuh dan mental, tetapi juga tingkat apresiasi estetika oleh pengamat
terhadap lingkungan tertentu, terutama jika sumber cahaya dikontrol
sedemikian rupa menjadi sumber kenikmatan estetis atau kenikmatan
lingkungan oleh subjek. Karena kapasitas cahaya, entah alami maupun
buatan, berwarna atau berpendar, cepat berlalu dari ingatan atau material,
mampu mempengaruhi perubahan perspektif tertentu dalam lingkup
sensorik manusia, dimensi holistik, mencakup semua, dan imersif dari
keterlibatan individu.
Sumber cahaya, energi yang memancar darinya dan efek biopsik
yang dihasilkan cahaya, menjadi fokus dari semua mekanisme persepsi
dan proses interpretasi yang diterapkan sehingga cahaya tidak hanya
memiliki peran untuk membuat objek terlihat bagi manusia, tetapi juga
untuk mengkontekstualisasikan nya dalam ruang lingkungan.
Misalnya, letak suatu benda di dalam lingkungan, menurut sudut
datang satu atau lebih sumber cahaya, serta kemampuan benda dalam
menyerap dan memantulkan cahaya (luminous radiance atau reflektansi),
mampu mendorong persepsi dan emosi manusia, serta mempengaruhi
kesehatan tubuh dan mental (Collins, 1993 dalam Tomassoni, Galetta &
Eugenia Treglia, 2015).
● Light vs. Dark: Sendep and Ganzfeld Effect
Kegelapan atau tidak adanya cahaya turut mengatur kondisi di
sekitarnya, apakah tempat tersebut penuh atau kosong, keberadaan sesuatu
atau ketiadaaan, pada intinya cahaya membantu kita untuk melihat
keberadaan sebuah benda. Kemampuan seorang individu untuk melihat
suatu objek juga bergantung pada intensitas cahaya yang ada, karena
berkat intensitas cahaya tersebut maka individu akan lebih mudah
mengenali bayangan objek apa yang tengah dilihatnya sehingga dapat
memodulasi perasaaan serta emosinya. Hingga akhirnya individu mampu
mengenali benda apa yang tengah dilihatnya setelah bayangan-bayangan
tersebut tersusun dan terproyeksi dengan baik, membuatnya mampu
melihat secara keseluruhan. Pada tingkatan tertentu cahaya dapat
membantu pengamat dalam mengamati, membuat persepsi hingga
menginterpretasikan apa yang dilihatnya. Selain itu cahaya juga
memberikan pengaruh pada bioritme pada manusia, manusia mengenal
pergantian malam dan siang, gelap dan terang, tidur dan bangun serta
ritme kerja dan istirahat. Veitch dan Newsham (1998, dalam Tomassoni,
Galetta & Eugenia Treglia, 2015) menyebutkan bahwa cahaya menentukan
persepsi warna dari di area yang yang terang sehingga mampu
mempengaruhi suasana hati dan perilaku orang yang terpapar.
1) Sensory Deprivation (Sendep Effect)
Deprivasi sensori atau isolasi persepsi adalah ketiadaan stimulasi
sensoris yang normal, dalam bahasan kali ini khususnya cahaya
memiliki efek negatif untuk manusia dari perspektif neuropsikiatri.
Sebenarnya deprivasi sensori sudah banyak dipraktikkan di bidang
militer sebagai salah satu metode penyiksaan seperti pencucian
otak pada tawanan perang.
2) Perceptual Deprivation (Ganzfeld Effect)
Adalah ketika stimulus berupa cahaya secara konstan tertuju atau
terus berkedip/berkilat-kilat pada individu. Wackerman, Pütz, &
Allefeld (2008, dalam Tomassoni, Galetta & Eugenia Treglia,
2015) menyebutkan contohnya yaitu membiarkan individu terpapar
kedipan cahaya dalam waktu yang lama.

● Lighting and Environment: Towards an “Ecological” Approach to


Light Perception
Mahnke & Mahnke (1987, Tomassoni, Galetta & Eugenia Treglia,
2015) menyebutkan bahwa terdapat sebuah penelitian yang berhasil
membuktikan bahwa cahaya dapat mempengaruhi proses biokimia dan
hormonal, suhu tubuh, suasana hati, kesejahteraan psikologis dan aktivitas
listrik otak, serta neurotransmitter manusia. Hal tersebut menjadi alasan
mengapa terdapat beberapa ruang publik yang cenderung memiliki
pengaturan cahaya yang redup serta didukung dengan warna-warna yang
cenderung hangat seperti di ruang operasi, rumah sakit, dan gereja, tidak
lain dan tidak bukan adalah untuk membangkitkan rasa perlindungan dan
keramahan (misalnya, hijau muda atau biru). Berbeda dengan lingkungan
yang lekat dengan bidang produksi dan persaingan seperti ring tinju dan
ruang kerja kantor yang kental dengan warna-warna yang lebih berani
dengan pencahayaan yang tinggi pula, dengan demikian maka dapat
mendorong semangat individu serta meningkatkan agresivitas dan
produktivitas.
Dalam suatu penelitian ditemukan adanya korelasi signifikan antara
tingkat pencahayaan dan warna cahaya, reaksi psikofisiologis, dan respons
emosional dari pengamat. Sederhananya, bahwa intensitas stimulasi
cahaya yang lebih tinggi terhubung dengan level konsentrasi pengamat,
hal tersebut berpengaruh pada respons emosional yang lebih besar oleh
subjek. Misalnya, paparan cahaya yang berkedip atau berdenyut (bukan
cahaya yang stabil) menginduksi respons emosional yang lebih cepat oleh
pengamat: sebenarnya, cahaya yang berkedip dikaitkan dengan bahaya,
mengaktifkan keadaan siaga bawaan pada manusia, memungkinkannya/
dia untuk bereaksi dengan cepat dan dengan cara yang paling ekstrim,
mempengaruhi kemampuan penilaian, pemecahan masalah dan
keterampilan pengambilan keputusan. Melalui modulasi pencahayaan (dan
spektrum warnanya), dimungkinkan untuk merangsang emosi yang
berbeda pada manusia, seperti ketertarikan fisik atau agresivitas.
Kondisi pencahayaan serta intensitas dan warna sumber cahaya,
memang mempengaruhi siklus biologis manusia. Di malam hari, ketika
cahaya redup maka tingkat melatonin mampu merangsang permulaan
tidur, sebaliknya ketika intensitas cahaya tinggi/over-lighting atau kilatan
cahaya yang mampu membuat silau dapat mengurangi visibilitas dan
kinerja visual pengamat, menimbulkan ketidaknyamanan, stres, rasa
bahaya, dan disorientasi pada individu, yang jika berkelanjutan dari waktu
ke waktu dapat menyebabkan gangguan neuropsikiatri.
C. KESIMPULAN

Goldstein (1942) menyatakan bahwa warna-warna tertentu dapat


memberikan reaksi fisiologis yang termanifestasikan lewat pengalaman
emosional, orientasi kognitif, dan tindakan atau perilaku. Goldstein juga
mengemukakan bahwa warna dengan panjang gelombang yang lebih
panjang cenderung meningkatkan gairah. Sebaliknya, warna dengan
panjang gelombang yang lebih pendek cenderung memberikan rasa santai
ataupun sejuk.

Meier dan Robinson (2005) dan Meier mengemukakan tentang teori


metafora konseptual warna bahwa orang berbicara dan berpikir tentang
konsep abstrak didasarkan pada pengalaman persepsi (dengan
menggunakan metafora) untuk membantu memahami dunia sosial mereka.

Misalnya, lightness dapat menjadi metafora yang berkaitan dengan


sesuatu yang baik ("seeing the light"). Sebaliknya “in the darkness” dapat
dikaitkan dengan suatu hal yang buruk. Hal ini dapat berimplikasi pada
morality judgement dan stereotip seperti wajah yang berwarna gelap
cenderung dilihat sebagai suatu yang negatif, dan begitu pula sebaliknya.

Selain warna, cahaya juga berperan penting bagi individu untuk


memproses lingkungan sekitarnya. Cahaya dapat merangsang persepsi
individu melalui jenis dan rentang paparan sumber pencahayaan dan
warnanya yang mendorong keadaan atau perilaku emosional tertentu pada
manusia sehingga stimulus khusus ini mampu menggairahkan,
menggerakkan, mengesankan, berkomunikasi, menyembuhkan dan
menghasilkan kesehatan, menciptakan rasa serasi dan selaras dengan
lingkungan sekitar, seperti interior rumah, pojok toko, ruang kantor, atau
pun sayap pameran museum.
Cahaya juga membantu memberi makna pada lingkungan dan
mendorong proses interpretasi realitas yang dilakukan oleh subjek dalam
keadaan unconscious untuk mengendalikan lingkungan eksternal. Cahaya
juga tidak hanya “dianggap mampu” menyembunyikan dan
mengungkapkan misteri, tetapi juga menarik, melibatkan, merangsang, dan
sangat mempesona bagi manusia.
Kemampuan seorang individu untuk melihat suatu objek juga
bergantung pada intensitas cahaya yang ada karena berkat intensitas
cahaya tersebut maka individu akan lebih mudah mengenali bayangan
objek apa yang tengah dilihatnya sehingga dapat memodulasi perasaaan
serta emosinya. Singkatnya, warna dan cahaya tanpa disadari telah menjadi
aspek penting bagi kehidupan manusia untuk memaknai pengalaman
mengenai lingkungan disekitarnya.

D. REFERENSI

Elliot, A.J. (2015). Color and psychological functioning: a review of theoretical and
empirical work. Front. Psychol. 6:368. doi: 10.3389/fpsyg.2015.00368

Fleury-Bahi, G., Pol, E. & Navarro, O. (2017). Handbook of environmental psychology


and quality of life research. Cham: Springer.

Tomassoni, R., Galetta, G., & Treglia, E. (2015). Psychology of light: how light
influences the health and psyche. SciRes, 6, 1216-1222. S
http://dx.doi.org/10.4236/psych.2015.610119
PAPER
LINGKUNGAN PERKOTAAN

Kelompok 3 :

Naimatul Aliyah 15000119130117


Oryza Sativa Febriyanti 15000119120013
Shinta Ashya Wulandari 15000119120073
Thifal Ufairoh Abidah 15000119130139

FAKULTAS PSIKOLOGI
UNIVERSITAS DIPONEGORO
TAHUN 2022
A. Pendahuluan

Kemajuan zaman dengan segala tuntutannya mempengaruhi tatanan suatu


negara. Indonesia sebagai negara berkembang terus menunjukkan peningkatan
dalam banyak aspek baik penataan lingkungan maupun pengaturan penduduk.
Menurut hasil survey Worldometers yang dikutip dari Katadata.co.id (2019)
dominasi penduduk perkotaan (urban population) terhadap jumlah penduduk
Indonesia terus menunjukkan peningkatan tiap tahunnya. Pada tahun 2020
tercatat jumlah penduduk perkotaan di Indonesia sebanyak 154,2 juta jiwa dari
total penduduk Indonesia sebesar 273,5 juta jiwa. Dapat disimpulkan bahwa
saat ini lebih dari setengah penduduk Indonesia tinggal di perkotaan. Pada tahun
2025 mendatang diprediksi terjadi peningkatan jumlah penduduk kota menjadi
sebesar 170,4 juta jiwa dari total penduduk Indonesia sebesar 287,1 juta jiwa.
Peningkatan ini tentu tidak hanya dipandang sebagai perpindahan dalam segi
tempat tinggal. Lebih dari itu, kesejahteraan psikologis penduduk tentu menjadi
topik yang harus diperhatikan.

Lingkungan fisik perkotaan seperti kebisingan dan polusi serta lingkungan


sosial perkotaan seperti kepadatan menjadi pemicu berbagai dampak mengenai
pola perilaku keseharian dan hubungan interpersonal individu. Berbagai aspek
lingkungan perkotaan dengan segala tuntutan penyesuaiannya membentuk
karakter masyarakat perkotaan yang fleksibel. Disisi lain, meningkatkan resiko
kesehatan fisik dan mental menjadi konsekuensinya (Clayton, 2012). Hasil
penelitian yang dilakukan oleh Islamia, dkk. (2019) di wilayah Bogor
menunjukkan bahwa 6,7% keluarga di wilayah perkotaan mengalami tekanan
psikologis tinggi, sedangkan 100% keluarga di wilayah pedesaan mengalami
tekanan psikolog rendah. Tidak hanya itu, kesejahteraan subjektif di lingkungan
perkotaan hanya bisa dicapai oleh hampir seperempat penduduk kota dengan
persentase sebesar 23,3% dibandingkan dengan wilayah pedesaan yang bisa
mencapai persentase 46,7 % atau hampir separuh dari populasi. Paparan data
tersebut dapat memberikan gambaran bahwa beranjak nya kehidupan
masyarakat dari tatanan pedesaan dan tatanan perkotaan ternyata membawa
pengaruh yang besar terhadap kesehatan dan kesejahteraan penduduk, baik dari
segi fisik maupun psikis. Meskipun kehidupan di perkotaan menawarkan banyak
pilihan budaya, sosial, dan material yang beragam, daya tarik masing-masing
individu yang kurang dikendalikan menyebabkan banyak dampak negatif yang
timbul pada keseharian penduduk kota (Clayton, 2012).

B. Kota Sebagai Lingkungan Spesifik

Kota diartikan sebagai sekumpulan orang dan aktivitas yang terkonsentrasi


di letak geografis tertentu yang memiliki ketetapan untuk memfasilitasi dimensi
kehidupan manusia yang mewakili masyarakat yang terorganisir (Proshansky
dalam Clayton, 2012). Beragam aktivitas yang dijalankan di lingkungan
perkotaan berdampak pada sulitnya penduduk untuk terlibat langsung dalam
kegiatan kolektif. Hal tersebut menyebabkan kepedulian yang rendah dan
kurangnya tanggung jawab pada masyarakat kota (Clayton, 2012). Lebih lanjut,
perilaku yang ditunjukkan oleh masyarakat kota berkaitan dengan karakteristik
kota sebagai berikut:

1. Aspek fisik: bangunan di perkotaan mengkotak-kotakan ruang publik seperti


transportasi, jalan, perumahan, pusat komersial, dan pabrik.
2. Aspek fungsional: setiap bangunan memiliki fungsi tertentu.
3. Aspek kognitif: area yang dibangun menyediakan kerangka kerja dan
bertindak sebagai panduan untuk pertunjukan individu.
4. Aspek afektif: seluruh lingkungan membangkitkan emosi. Hal ini dirasakan
dan dievaluasi mengikuti nilai-nilai pribadi dan norma-norma budaya.
Dengan cara ini ia mampu memberikan perasaan aman dan terlindungi atau,
sebaliknya, memberi individu perasaan tidak aman.
5. Aspek sosial: kapasitas lingkungan untuk menyesuaikan dengan kebutuhan
spesifik individu.

Kondisi lingkungan mempengaruhi kebutuhan masyarakatnya. Menurut


Zeisel (dalam Clayton, 2012) terdapat lima kebutuhan yang dapat diidentifikasi,
yakni:

1. Need for security (kebutuhan keamanan).


2. Need for clarity and readability (kebutuhan kejelasan dan keterbacaan).
3. Need for security (kebutuhan privasi).
4. Need for social interaction (kebutuhan interaksi sosial).
5. Need for identity (kebutuhan akan identitas).

C. Karakteristik Lingkungan Perkotaan

Berdasarkan tinjauan sosiologis, kota didefinisikan sebagai tempat


pemukiman yang relative besar, berpenduduk padat dan permanen yang terdiri
dari beberapa individu yang heterogen secara sosial (De Goede, dalam
Supribawa & Ischak (2018)). Berdasarkan tinjauan geografis, kota didefinisikan
sebagai suatu sistem jaringan kehiduan manusia yang dicirikan dengan
kepadatan penduduk yang tinggi, strata sosial-ekonomi yang heterogen, dan
corak materialistis. Keadaan seperti ini membuat kota menjadi tempat yang
dinamis sehingga menarik untuk dikunjungi. Berdasarkan tinjauan psikologis,
kota besar dipersepsikan dengan budaya yang beragam sehingga memungkinkan
untuk memilih gaya hidup bebas, toleran tapi penuh sesak, berisik, adanya
persaingan, anonym, menghasilkan isolasi, impersonal, dan mendorong
ketidakpercayaan (Krupat, dalam Clayton, 2012). Lingkungan perkotaan disebut
mengancam kualitas hidup manusia karena adanya kebisingan dan polusi,
masalah keamanan, fasilitas lingkungan dan transportasi yang tidak memadai.
Hal tersebut tampaknya membuat penduduk kota kurang puas dan optimis
dengan kehidupan dibandingkan penduduk desa. Pemetaan persepsi masyarakat
terhadap kota dapat dievaluasi berdasarkan empat dimensi tersebut: (1) aspek
evaluatif lingkungan, misalnya indah; (2) aktivitas penduduk; misalnya sibuk
dan berisik; (3) konfigurasi ruang bangunan, misalnya horizontal, terbuka; aspek
deskriptif, misalnya seragam, padat.

Secara umum, menurut Max Weber (dalam Supribawa & Ischak (2018))
karakteristik suatu kota adalah sebagai berikut:

1. Memiliki batas kota yang tegas.


2. Memiliki pasar.
3. Terdapat pengadilan dan memiliki undang-undang yang berlaku khusus bagi
penduduk kota tersebut selain undang-undang yang berlaku umum.
4. Terdapat banyak perkumpulan masyarakat berkaitan dengan aktivitas
masyarakat di kota tersebut.
5. Masyarakat memiliki otonomi tetentu dalam menggunakan hak untuk
memilih
6. walikota dan anggota-anggota dewan kota.

D. Kondisi Kehidupan Perkotaan

Beberapa ahli mengklaim bahwa manusia membutuhkan stimulasi,


kompleksitas, kebaruan, dan kegembiraan (Clayton, 2012). Kota dipersepsi
dengan lingkungan yang tidak harus sesuai dengan preferensi hidup setiap
orang. Sehingga menjadi mungkin terdapat perbedaan respon berkaitan dengan
cara menghadapi lingkungan. Lingkungan perkotaan menampilkan tiga aspek
spesifik, yakni:

1. Kondisi fisik, misalnya kebisingan dan polusi udara.


Kebisingan menjadi stressor yang paling sering dialami penduduk kota.
Penelitian menyebutkan bahwa seperempat penduduk perkotaan terpapar
setidaknya satu suara keras di tempat kerja, di rumah, ataupun di jalanan.
2. Kondisi sosial (kepadatan).
Kepadatan disebabkan karena konsentrasi populasi yang tinggi. Penelitian
menyebutkan bahwa penduduk kota dapat terpapar kepadatan sosial di luar
ruangan (kuantitas individu yang tinggi di tempat yang sama) dan kepadatan
spasial di habitat mereka (kurangnya ruang personal).
3. Stimulasi yang berlebihan (paparan terhadap sejumlah besar dan variasi
stimulasi)
Menurut Lévy-Leboyer & Veyssière (dalam Clayton, 2012) penduduk kota
lebih banyak mengeluhkan kondisi lingkungan fisik (polusi, kebisingan,
kepadatan) daripada kondisi lingkungan sosial mereka (orang miskin, pengemis,
pecandu alkohol, sampah masyarakat, dll.). Mereka bahkan siap mengorbankan
lingkungan demi keberlangsungan karir mereka. Walaupun begitu, reputasi
perkotaan masih dinilai berdasarkan kondisi lingkungan sosial yang nyata.
Terdapat tiga kondisi yang menurunkan reputasi lingkungan kota, yaitu:

1. Vandalisme
Vandalisme yang merebak menjadi indikasi adanya disfungsi sosial di
lingkungan kota.
2. Kriminalitas
Kriminalitas lebih banyak terjadi di pusat kota daripada di pinggir kota
karena alasan kepadatan dan letak pusat kota sebagai fokus atraksi.
Tingginya angka kriminalitas menjadi indikasi kurangnya kontrol sosial
yang mengacu pada fenomena “de-individuasi”.
3. Ketidakamanan
Perasaan tidak aman menjadi respon individu terhadap tingginya angka
kriminalitas. Sehingga hal tersebut akan menghasilkan reaksi kecemasan
dan ketakutan.

E. Perasaan Tidak Aman

Ketidakamanan merupakan stres bagi seorang individu yang terkena rasa


tersebut (Fischer, 1976; Moser, 1992). Kecemasan yang muncul akan
kriminalitas dan ketakutan jika menjadi korban di lingkungan perkotaan akan
menyebabkan pembatasan kontak sosial (Newman & Franck 1982). Perasaan
tidak aman telah lama dianggap sebagai respon individu dan emosional terhadap
kriminalitas yang berlaku. Dalam perspektif ini, kriminalitas yang berlaku yang
dapat menimbulkan reaksi takut. Namun perasaan tidak aman lebih meluas dan
besar daripada kriminalitasnya. McCann, Sackheim, dan Abrahamson (1988)
mengusulkan bahwa model yang menurutnya untuk persepsi keamanan, harga
diri, rasa percaya diri, dan perasaan untuk mengontrol (perasaan bahwa situasi
tersebut dapat diatasi) semua cenderung dapat mengurangi perasaan
ketidakamanan.

Menurut Norris dan Kaniasty (1991), viktimitas membuat orang yang


menjadi korban percaya bahwa mereka rentan dan tidak mampu melindungi diri.
Jika perasaan tidak aman dapat dijelaskan dengan hilangnya kendali yang dapat
dirasakan, bisa menjadi sebuah analisis dalam hal kontrol diri (Fischer, 1986;
Moser, 1992). Distress, perasaan tidak aman, ketakutan akan menjadi korban
kembali, dan emosi yang kuat serta ketidakberdayaan akan yang mengikuti
pengalaman agresi jelas disebabkan oleh hilangnya kendali atas situasi yang
dirasakan, karena korban tidak melihat jalan untuk dapat melindungi dirinya
sendiri. Menghubungkan penyebab potensial dari peristiwa semacam itu
memungkinkan untuk menjelaskan munculnya perasaan tidak aman. Teori
atribusi telah menekankan hubungan antara penjelasan internal dan perasaan
kontrol yang menyertainya (Kelley, 1967; Deschamps, 1990).

Karakteristik gelap, sepi, jalanan yang berliku dan adanya grafiti dapat
menimbulkan perasaan tidak aman dan bahkan dapat lebih terjadi di lingkungan
yang asing (Moser & Lidvan, 1992). Selain itu, Newman an Franck (1982)
menunjukkan bahwa kecemasan tentang kriminalitas dan ketakutan menjadi
korban di lingkungan perkotaan berbeda dengan ukuran perumahan, mereka
menjelaskan fenomena ini karena kurangnya kontak sosial. Selain itu Fischer
(1976) dan Hunter (1978) menghubungkan perasaan aman dengan norma
perilaku yang sama di lingkungan tertentu. Disisi lain jika terdapat persepsi
ketidaksopanan, masyarakat akan mendukung tingkat kriminalitas yang lebih
rendah.

F. Perilaku Sosial

Keengganan untuk membantu orang lain seperti menjawab pertanyaan


yang diberikan, membantu orang untuk mengambil sesuatu yang ia butuhkan
dan lain sebagainya telah menjadi gambaran akan kehidupan di kota besar.
Ketidakpedulian terhadap kesulitan seseorang disorot dalam berbagai penelitian
yang dilakukan.
Secara keseluruhan, kondisi lingkungan dapat berfungsi sebagai faktor
stres dan cenderung memiliki efek-efek tertentu (Moser, 1987), yaitu sebagai
berikut :
a. Efek aktivasi darimana seseorang tersebut dapat mengamati bahwa beberapa
pola perilaku yang dominan dapat diperkuat dibawah tekanan. Oleh karena
itu kondisi fisik dapat meningkatkan perilaku agresif orang melalui efek
kegembiraan.
b. Efek interferensi pada perilaku individu. Ketidaksesuaian lingkungan dapat
menimbulkan perasaan kehilangan kendali atas lingkungan. Kehilangan
kendali serta adanya upaya untuk menguasai situasi, seringkali disertai
dengan perilaku agresif (Moser & Levy-Leboyer, 1985)
c. Gangguan dan rasa ketidaknyamanan yang ekstrem, dimana individu
menghentikannya dengan cara melarikan dirinya dari situasi tersebut.
Namun jika ini tidak terbukti tidak memungkinkan maka perilaku
instrumental yaitu yang dimaksudkan untuk mengakhiri situasi yang tidak
menyenangkan atau kemungkinan akan muncul perilaku bermusuhan.
Ditambah lagi, pada lingkungan yang kompleks terdapat tuntutan yang
berlebihan yang hanya dapat ditanggapi oleh subjek secara tidak cukup maka
akan meningkatkan risiko perilaku yang tidak sesuai dengan situasi dan
berdampak akan menimbulkan perilaku agresif yang meningkat. Freedman
(1975) menyatakan setiap orang memiliki efek positif dan negatif pada
karakteristiknya masing-masing. Kepadatan perkotaan akan mengintensifkan
dan memperkuat respons khas individu, mereka yang cenderung untuk
mengasingkan diri akan lebih merasa sendiri, sementara orang yang suka
bergaul akan menemukan banyak kesempatan bertemu orang lain di perkotaan.

G. Kota - Kota dan Penduduknya

Terdapat empat aspek yang menggambarkan lingkungan sosial :


1. Adanya subkultur perkotaan
Karakteristiknya individu dengan selera atau minat tertentu memiliki lebih
banyak kesempatan untuk bertemu orang - orang yang satu minat dengan
mereka atau disebut superimposisi. Sehingga subkultur urban mulanya
terbentuk dengan cara ini dimana terbentuk mosaik dunia terbentuk melalui
kedekatan satu sama lain. Memungkinkan orang dengan minat estoris
membentuk kelompok baru untuk membangun kelompok sendiri, hal ini
sering terjadi di kota - kota besar.
2. Merujuk kota orang asing
Dalam radius dalam kota orang - orang akan bertemu dengan orang - orang
asing yang tidak saling mengenal. Sebagian besar penduduk kota bertemu
setiap hari dan bergerak sesuai kesibukan mereka yang dikelilingi oleh
orang asing dan akan merasa senang ketika bertemu beberapa dari mereka
yang sudah dikenal. Terdapat dua macam anonim yang terbentuk dari
banyaknya orang asing. Pertama, anonim tidak terdeteksi sehingga
penduduk kota perlu mengembangkan keterampilan memahami orang lain
berdasarkan karakteristik superfisial.
3. Pendekatan komposisi
Anonimitas terjadi pada lingkungan perkotaan yang terbagi atas dua aspek,
meliputi :
a. Tidak teridentifikasi
Aspek pertama membuat penduduk kota mengembangkan keterampilan
untuk memahami orang lain berdasarkan karakteristik tertentu.
Karakteristik yang dinilai seringkali dangkal (penampilan luar, pakaian,
dan tempat di mana individu yang bersangkutan dapat ditemukan).
b. Anonim
Persepsi ini memungkinkan penduduk kota bertindak atau bereaksi
menurut karakteristik tertentu kepada orang lain. Individu sering
mengelola frekuensi kaitannya dengan relasi terhadap orang lain.
Apakah dia ingin memulai atau, sebaliknya, mencegah interaksi tertentu
dan dengan demikian tetap mengontrol kebutuhannya sendiri untuk
privasi.
4. Kehidupan perkotaan sebagai pilihan
Penduduk perkotaan dan penduduk pedesaan memiliki kekhasannya masing
- masing. Hal ini terkait dengan perbedaan cara hidup diantara keduanya.
Perbedaan ini biasanya meliputi kelompok etnis, ras atau kelas sosial,
sehingga seleksi akan terjadi dengan sendirinya pada sebuah kota besar.
Orang - orang tertentu akan memiliki pusat kota sebagai tempat tinggal dan
beberapa lebih memilih tinggal di kota yang lebih kecil.

H. Hubungan Urban

Penting bagi individu untuk menjadi bagian dari komunitas sosial untuk
memelihara hubungan yang stabil. Terdapat hubungan positif ketika berinteraksi
dengan teman atau kenalan secara efektif mengurangi stres, dan interaksi yang
efektif berhubungan dengan kesejahteraan yang tinggi. Pada lingkungan
perkotaan dukungan stres bergantung pada persahabatan sebagai pengalihan jauh
dari keluarga.

Pertumbuhan dinamika penduduk yang cepat dari aglomerasi besar dan


diversifikasi setiap harinya cenderung membatasi kesempatan untuk berkumpul
dengan yang lain. Akibatnya banyak penduduk aglomerasi mengeluh karena
kehidupan sosial tidak memuaskan. Kesimpulannya, penduduk kota umumnya
kurang bersosialisasi dan berhubungan secara interpersonal. Pada aglomerasi
hampir setengah hubungan berawal dari dunia kerja, lingkungan sekitar dan
asosiasi. Sedangkan pada kota kecil lebih dari ⅔ hubungan berdasarkan
persahabatan yang lebih tua dari masa kanak - kanak sekolah.

I. Sosial Perkotaan

Kehidupan sehari - hari di pusat kota terfragmentasi pada tempat yang


rentang waktunya terbatas terikat pada hubungan sosial, aktivitas, dan pemuasan
kebutuhan serta posisi individu. Tiga jenis sosialisasi perkotaan dapat dibedakan
:
1. Sosialisasi terorganisir atau formal.
2. Sosialisasi informal yang melibatkan minimal seberapa sering dan berapa
lama pertukaran berlangsung.
3. Sosialisasi interaksi atau kontak.
Relasi cenderung bersahabat banyak ditemukan di kota - kota kecil.
Hubungan terjadi dari jaringan unik dan multifungsi dicirikan oleh norma -
norma sosial bersama. Lebih dari tiga perempat penduduk kota kecil setidaknya
bertemu kembali dalam waktu relatif singkat. Berbeda dengan penduduk kota
besar yang melakukan pertemuan berdasarkan rencana tertentu.
J. Pembagian dan Identifikasi Kota

Orang mengidentifikasi terkait dimana mereka tinggal. Suasana seperti


rumah merupakan aspek penting dalam kesejahteraan seseorang dan ini
merupakan bagian dari pengalaman manusia. Individu menciptakan hubungan
istimewa dengan habitatnya kemudian menjadi “rumah” dan mereka
memberikan identitas mereka. Hal ini melibatkan cara membangun kehidupan
seseorang dalam ruang yang ditentukan secara geografis. Pembentukan identitas
urban hanya dapat dicapai melalui apropriasi proksimal serta tempat - tempat
yang jauh dalam struktur perkotaan. Distrik dalam kota lokal berinvestasi secara
sosial dan merujuk secara spontan ke tetangga, teman, dan kerabat di lingkungan
tersebut.

K. Investasi Spasial Perkotaan

Perbedaan ruang kota, pusat kota, distrik dan lingkungan lokal dirasakan
dan dialami serta peran apa yang mereka mainkan. Urbanisasi merupakan salah
satu sumber perasaan memiliki komunitas yang dipersonifikasikan oleh suatu
tempat dengan kata lain identitas yang terkait erat dengan wilayah dan cirinya
serta menjadi komponen identitas utama.

Urbanitas adalah hasil karakteristik budaya perkotaan dari kota - kota yang
relatif padat, dengan konsentrasi penduduk yang tinggi dan kegiatan, kawasan
terbangun yang heterogen, pusat kepentingan esensial dan sekunder, serta
saluran komunikasi pada skala ini.

L. Peran Kedekatan

Kedekatan yang dirasakan oleh penduduk kota dalam praktik kehidupan


sehari - hari, menghadirkan sebuah karakter relatif terhadap infrastruktur
perkotaan yang dirujuk. Dua situasi yang kontras terlihat menonjol dari sisi
ukuran kota. Mobilitas masyarakat serta kedekatan menjadi penting untuk
mencapai urbanisasi. Hubungan yang terjalin dalam keseharian di kota menjadi
hal fundamental untuk memperkuat identitas. Kualitas hidup yang dekat atau
rukun di perkotaan dapat dilihat dari pola masyarakat yang dapat mengakses
ruang sesuai kapasitas ekonomi secara bersama dan memiliki budaya bersama.
Namun kedekatan kota bukan hanya terkait dengan jarak. Hal lain seperti
mobilitas dalam skala besar dapat berpengaruh pada jarak dan waktu tentunya
ini berkaitan dengan fasilitas dan aksesibilitas yang tersedia.

M. Peran Sentralitas

Penduduk kota cenderung menilai pusat kota mereka menurut pola


sentralitas. Oleh karena itu, mereka mengharapkan pemusatan untuk memenuhi
serangkaian fungsi (kenyamanan, percampuran sosial, konsentrasi kegiatan dan
toko) dan konfigurasi (kepadatan bangunan, ruang yang tersedia, rute pilihan
yang luas) yang memiliki pengaruh langsung terhadap hidup bersama secara
harmonis (Marchand, 2002). Kenyamanan muncul sebagai konsep pusat kota.
Sebuah lingkungan yang memuaskan akan menjadi dasar untuk identifikasi
sosial yang positif dan untuk meletakkan akar dalam lingkungan kota. Dinamika
hubungan dengan kota dapat ditemukan di antara perasaan memiliki dan
ketergantungan pada jarak yang dianggap sebagai tempat tinggal seseorang pada
suatu ekstrem dan perluasan spasial dari penetapan kota di sisi lainnya (Gaster,
1995). Strauss (1961) merupakan orang pertama yang menjelaskan bahwa kota
itu terdiri dari berbagai dimensi psikososial. Dimensi sosial mengatur seberapa
jauh infrastruktur kota disesuaikan, seperti yang terlihat dalam kasus orang
dalam masa transisi atau rumah tangga dalam situasi yang stabil dengan anak
kecil (Felonneau, 1997; Marchand, 2002).

N. Keterikatan dan Tempat Identitas

Keterikatan pada lingkungan tertentu mendukung identitas tempat. Orang


sering mengembangkan ikatan emosional untuk ruang hidup mereka, terutama
rumah dan lingkungan mereka, tetapi sering juga untuk tempat dan ruang kota
dalam skala yang lebih besar. Hal seperti itu adalah proses yang berkelanjutan,
bergantung pada perspektif waktu individu: durasi tempat tinggal penting bagi
penetapan posisi individu akan ruang hidupnya yang sangat diperlukan untuk
kesejahteraan.

O. Pemberian : Dari Rumah ke Lingkungan

Canter (1977), menempatkan hubungan antara pemberian dan perasaan


pada tempatnya: proses pemindahan pemindahan bentuk ruang netral menjadi
tempat simbolis yang berarti. Proses dinamis ini didasarkan pada dua komponen
penting: (1) komponen perilaku, yang bertindak di ruang, transformasi, jejak,
dan sebagainya, (2) komponen simbolis melalui identifikasi individu dengan
lingkungannya. Meskipun ukuran dan kenyamanan ruang layak huni sangat
penting untuk kepuasan rumah tangga, aspek-aspek lain dari kondisi hidup,
seperti integrasi sosial, ketersediaan pelayanan yang memuaskan, keberadaan
taman atau kebun, estetikanya lingkungan dibangun, dan memudahkan akses ke
jaringan transportasi umum, juga memodulasi kepentingannya. Setiap komunitas
lingkungan memiliki norma-norma sendiri, yang membantu menciptakan
perasaan memiliki subkultur dari distrik bahkan kota, dan berbagi norma
perilaku yang sama dalam lingkungan perumahan yang diberikan. Akhirnya,
orang dapat berasumsi bahwa orang - orang yang cocok dengan lingkungan
mereka dan merasa di rumah di mana mereka tinggal mungkin juga lebih peduli
terhadap lingkungan secara umum, lebih sering menunjukkan perilaku yang
bermanfaat secara ekologi, suatu perkumpulan yang didirikan dalam model CIS
(Pol, 2002).

P. Perluasan Spasial dari pemberian : ke Identitas Perkotaan

Perluasan identitas spasial menggunakan konsep seperti identitas tempat


(Proshansky. 1978; Proshansky, Fabian, & Kaminoff, 1983; Sarbin, 1983;
Korpela, 1989), identitas kota, identitas yang berhubungan dengan kota (Lally,
1992), identitas pemukiman (Feldman, 1990), dan ikatan tempat tinggal (Fried,
1982). Identitas tempat tinggal sangat berhubungan dengan sejarah perumahan
(Fleury-Bahi, 2000). Orang yang tinggal di daerah perkotaan dikaitkan dengan
sejarah tempat tinggal, dengan pengertian bahwa mereka telah berupaya keras
untuk menentukan lokasinya dan untuk mengetahui keberadaannya. Sedangkan
penggunaan kota oleh penduduk kota dikaitkan dengan kedudukan yang mereka
miliki dalam lingkungan perkotaan yang berbeda-beda. Kepuasan dalam hidup
dikaitkan dengan kondisi sosial di lingkungan tetangga, dengan adanya
pergaulan sosial, kontak dengan orang lain, dan dengan suasana sosial, serta
unsur-unsur keamanan yang terdapat di sana. Menurut Pol dan Valera (1999),
lima aspek membentuk pembangunan identitas kota: (1) dimensi teritorial. (2)
dimensi jasmani, (3) dimensi perilaku, (4) dimensi sosial dan psikologis, (5)
dimensi ideologis melalui nilai-nilai budaya. Feldman (1990), konsep identitas
perkotaan sesuai dengan kenyataan masyarakat modern yang mengalami
perubahan besar, yang mencakup mobilitas para anggotanya.

Q. Kesimpulan : Penduduk Kota menjadi Warga Negara

Pada saat ini, kota besar mengakomodasi populasi yang heterogen dan
dicirikan dengan perilaku budaya, agama, keragaman etnis, ekonomi, dan sosial
(Moser, 1998). Jika perbedaan budaya didefinisikan melalui perasaan menjadi
anggota suatu kelompok, mereka juga menemukan ekspresi dalam identifikasi
teritorial kota: individu sering berkelompok secara spontan atau dikelompokkan
dalam infrastruktur kota menurut keterjalinan sosial, budaya, dan ekonomi
mereka, menciptakan lingkungan yang homogen yang cenderung membuat
mereka mencolok, membedakan mereka dari masyarakat kota secara
keseluruhan. Penekanan pengelolaan sosial lingkungan terhadap
keanekaragaman kota sangat diperlukan. Tidak hanya mendukung koeksistensi
antara budaya dan mendorong pembangunan yang harmonis dari semua
kelompok minoritas, tetapi juga menjamin distribusi layanan yang adil dengan
menyediakan berbagai komunitas dengan infrastruktur yang mereka butuhkan.
Kerjasama yang baik antara penduduk dan otoritas dan partisipasi dalam
pengambilan keputusan akan mendorong perasaan memiliki komunitas kota
yang sama.
R. Perkembangan Studi Selanjutnya

Studi lebih lanjut harus didasarkan pada dua aspek: (1) fakta bahwa kota
menghadapi peningkatan populasi kota dengan kebutuhan spesifik, (2) kota
tidak selalu siap untuk memberikan kerangka kerja yang memadai dan
infrastruktur yang tepat untuk pembangunan warga negaranya. Beberapa
prioritas riset spesifik mencakup : (1) kesehatan, (2) kemiskinan, (3) bagaimana
intermobilitas serta kebutuhan populasi dengan kapasitas ekonomi yang tinggi
dan rendah, (4) dampak dari melakukan perjalanan jauh dan relokasi kegiatan,
(5) penelitian lebih lanjut tentang kriteria kualitas lingkungan hidup menurut
berbagai populasi kota dengan budaya dan aspirasi yang berbeda.

Referensi

Clayton, S. D. (2012). The Oxford Handbook of Environmental and Conservation


Psychology. Oxford University Press.

Supribawa, I. K. O, & Ischak M. (2018). Pengaruh Karakteristik Lingkungan


Sosial Perkotaan Terhadap Konsep Pembangunan Pura Adhitya Jaya di
Rawamangun Jakarta. Prosiding Seminar Kota Layak Huni / Livable Space,
156-165.
PSIKOLOGI LINGKUNGAN
LINGKUNGAN SEBAGAI IDENTITAS
Disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah Psikologi Lingkungan

Dosen pengampu:

Muhammad Zulfa Alfaruqy, S.Psi., M.A.

Disusun oleh :

Age Syahputra 15000119140332


Megawati Sekar 15000119130078
Riko Satrio Pradana 15000119140310

FAKULTAS PSIKOLOGI
UNIVERSITAS DIPONEGORO
2022
DAFTAR ISI

DAFTAR ISI………………………………………………………………………………………………. 1

PENDAHULUAN…………………………………………………………………………………………. 2
Latar Belakang…………………………………………………………………………………………. 2
Rumusan Masalah……………………………………………………………………………………… 2
Tujuan………………………………………………………………………………………………….. 3

POKOK MATERI………………………………………………………………………………………… 4
Pengertian lingkungan sebagai identitas……………………………………………………………….. 4
Konsep Identitas……………………………………………………………………………………….. 5
Motif identitas………………………………………………………………………………………….. 6
Quality of life…………………………………………………………………………………………... 7
Identitas dinamis……………………………………………………………………………………….. 8

PENUTUP…………………………………………………………………………………………………. 9
Kesimpulan…………………………………………………………………………………………….. 9

REFERENSI……………………………………………………………………………………………... 11

1
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Lingkungan merupakan sebuah tempat berlangsungnya sebuah kehidupan dan
aktivitas. Dalam sebuah lingkungan terdapat beberapa komponen atau aspek yang
membentuk suatu lingkungan. Lingkungan inilah yang turut berpengaruh dalam
perkembangan seorang individu, tidak jarang keadaan lingkungan yang ditempati oleh
individu ini membentuk sebuah identitas tersendiri. Identitas dinilai dari kualitas dan
kondisi lingkungan.
Identitas merupakan suatu ciri khusus dan keunikan dari suatu hal yang
menyebabkannya mudah dikenal. Identitas sendiri sering digunakan untuk membedakan
diri dari masing-masing individu. Identitas terbentuk melalui berbagai proses
lingkungannya secara personal dan sosial, proses lingkungan ini juga dapat membentuk
persamaan ataupun perbedaan dalam masing-masing individu.
Identitas dengan lingkungan saling berkaitan dengan sangat erat. Hubungan yang
terbentuk antara diri individu dengan lingkungannya inilah yang pada akhirnya menjadi
identitas lingkungan. Dalam identitas lingkungan seorang individu membentuk dirinya
dengan melakukan interaksi dengan lingkungannya. Oleh karena itu, masing-masing
individu dapat memiliki sikap dan ciri diri yang berbeda terlebih lagi jika bertumbuh di
lingkungan yang berbeda. Tidak jarang juga kualitas dan pola hidup seorang individu
dapat dinilai dari kondisi dan lingkungan tepatnya bertumbuh.
Dalam paper ini penyusun mencoba membahas mengenai lingkungan sebagai
identitas dengan lebih lanjut.

B. Rumusan Masalah
Adapun rumusan masalah dari paper ini sebagai berikut :
1. Apa yang dimaksud dengan lingkungan sebagai identitas?
2. Apa saja yang termasuk dalam konsep identitas?
3. Apa saja yang termasuk dalam motif indentitas?
4. Apa yang dimaksud dengan quality of life dalam konsep identitas lingkungan?
5. Apa yang dimaksud dengan identitas dinamis?

2
C. Tujuan
Adapun tujuan dari penyusunan paper ini sebagai berikut :
1. Memahami dan mengerti maksud dari lingkungan sebagai identitas.
2. Memahami dan mengerti apa saja yang termasuk sebagai konsep identitas.
3. Memahami dan mengerti apa saja yang termasuk motif identitas.
4. Memahami dan mengerti yang dimaksud dengan quality of life dalam konsep identitas
lingkungan.
5. Memahami dan mengerti apa yang dimaksud dengan identitas dinamis.

3
POKOK MATERI

A. Pengertian lingkungan sebagai identitas

Pengertian Lingkungan
Lingkungan menurut Munadjat Danusaputro (1981), diartikan sebagai segala benda dan
kondisi, yang termasuk manusia dan tingkah lakunya,, yang terdapat dalam satu ruang dan
saling mempengaruhi satu dengan lainnya. Lingkungan juga dapat diartikan sebagai sebuah
tempat berlangsungnya sebuah kehidupan dan aktivitas. Dalam sebuah lingkungan terdapat
beberapa komponen atau aspek yang membentuk suatu lingkungan. Aspek-aspek yang
membentuk lingkungan dapat berasal dari sosial, keluarga, dan sebagainya. Lingkungan juga
dapat dipengaruhi atau dibatasi oleh beberapa faktor yang dapat dijangkau manusia, seperti
faktor ekonomi, sosial, politik, alam, dan lainnya.
Lingkungan inilah yang turut berpengaruh dalam perkembangan seorang individu, tidak
jarang keadaan lingkungan yang ditempati oleh individu ini membentuk sebuah identitas
tersendiri. Identitas sendiri dinilai dari kualitas dan kondisi lingkungan.
Pengertian Identitas
Identitas sendiri secara general merupakan suatu ciri khusus dan keunikan dari suatu hal
yang menyebabkannya mudah dikenal. Sedangkan identitas menurut Erikson (1989:18—189),
adalah kesamaan dirinya dalam waktu, serta pengamatan yang berhubungan denganya, yaitu
bahwa orang lain pun mengakui kesamaan dan kontinuitas itu. Identitas sering digunakan untuk
membedakan diri dari masing-masing individu.
Masing-masing individu mendapatkan identitasnya sendiri melalui lingkungannya, dan
masing-masing individu dalam suatu lingkungan memprosesnya menjadi sebuah identitas
dengan caranya sendiri. Identitas individu dapat terbentuk melalui berbagai proses
lingkungannya secara personal dan sosial, proses lingkungan ini juga dapat membentuk
persamaan ataupun perbedaan dalam masing-masing individu.
Lingkungan sebagai identitas
Identitas dengan lingkungan saling berkaitan dengan sangat erat. Karena saling
berkaitan dan mempengaruhi, sehingga lingkungan dna identitas membentuk sebuah hubungan
atau ikatan. Hubungan yang terbentuk antara diri individu dengan lingkungannya inilah yang
pada akhirnya menjadi identitas lingkungan. Dalam identitas lingkungan seorang individu

4
membentuk dirinya dengan melakukan interaksi dengan lingkungannya. Interaksi dengan
lingkungannya ini akan diproses individu secara personal dan sosial, sehingga membentuk
identitas dirinya. Oleh karena itu, masing-masing individu dapat memiliki sikap dan ciri diri
yang berbeda terlebih lagi jika bertumbuh di lingkungan yang berbeda. Tidak jarang juga
kualitas dan pola hidup seorang individu dapat dinilai dari kondisi dan lingkungan tepatnya
bertumbuh.

B. Konsep Identitas

Psikologi Lingkungan berfokus pada komponen spasial dari kosntruksi diri, yaitu
bagaimana memiliki suatu wilayah atau wilayah sebagai identitas, seperti menandakan identitas
diri berdasarkan tempat yang ditinggali individu. Ini yang kemudian dikenal dengan konsep
identitas lingkungan dalam psikologi. Gagasan pokoknya adalah bahwa definisi diri sebagian
berasal dari tempat (Korpela,Ylen, Tyrväinen & Silvennoinen, 2009; Stedman, 2003; Stedman,
2006 ).
Proshansky dan rekan (1983) memilih istilah "identitas tempat" untuk menggambarkan
sosialisasi diri dalam kaitannya dengan dunia fisik. Ini dipahami sebagai sub-struktur identitas
diri individu, termasuk kognisi yang mewakili "ingatan, ide, perasaan, sikap, nilai, preferensi,
makna dan konsepsi perilaku dan pengalaman yang berhubungan dengan variasi dan
kompleksitas fisik. Jadi, identitas tempat berarti dimensi diri yang mendefinisikan identitas
pribadi individu “dalam kaitannya dengan lingkungan fisik melalui pola kompleks ide sadar dan
tidak sadar, keyakinan, preferensi, perasaan, nilai, tujuan, dan kecenderungan perilaku dan
keterampilan yang relevan. terhadap lingkungan ini” (Proshansky 1978, hlm. 155). Harus diingat
bahwa identitas tempat dipandang sebagai aspek identitas individu, sebanding dengan identitas
lain seperti identitas gender, identitas politik, atau identitas etnis (Lalli 1992).
Sebagai contoh, konstruksi kompleks identitas tempat dan keterikatan tempat sering
bercampur (Félonneau 2004; Droseltis dan Vignoles 2010). Hernandez dkk. (2007)
membedakannya dengan sangat jelas: “keterikatan tempat adalah ikatan afektif yang dibangun
orang dengan area tertentu yang mereka sukai untuk tetap tinggal dan di mana mereka merasa
nyaman dan aman. Akan tetapi, identitas tempat telah didefinisikan sebagai komponen identitas
pribadi, suatu proses, yang melalui interaksi dengan tempat, orang menggambarkan diri mereka

5
sendiri dalam hal milik tempat tertentu”. Place identity (identitas tempat) dan place attachment
(keterikatan tempat) tidak harus hidup berdampingan untuk orang dan tempat yang sama
(Hernandez et al. 2007).
Droseltis dan Vignoles (2010) mengidentifikasi empat dimensi teoretis dari identifikasi
tempat dalam literatur: perluasan diri (“rasa kognitif dari suatu tempat sebagai bagian dari konsep
diri yang diperluas”, kesesuaian lingkungan (“kesesuaian ekologi/lingkungan” rasa diri sebagai
cocok dengan suatu tempat, atau milik suatu tempat”, kesesuaian tempat-diri (kesesuaian antara
citra diri dan citra tempat), dan keterikatan emosional (ikatan emosional yang kuat atau pengaruh
positif terhadap tempat).
Studi Breakwell (1992), dan kemudian studi penerusnya (Twigger-Ross & Uzzell, 1996;
Twigger-Ross et al., 2003; Vignoles et al., 2000) mengemukakan empat proses yang terkait
dengan identitas tempat. Pertama, Place-related distinctiveness (ciri khas suatu tempat) ; kedua,
Place-referent continuity dan place-congruent continuity (sebuah ilustrasi tentang hubungan
antara identitas diri dan persepsi iklim dapat ditemukan dalam makalah Knez (2005)); ketiga,
Place-related self-esteem (harga diri yang berhubungan dengan tempat); keempat, Place-related
self efficacy (efikasi diri terkait tempat). Banyak peneliti berpendapat bahwa ikatan spasial
menunjukkan ikatan sosial, yang berarti sebuah tempat atau lingkungan merepresentasikan
adanya kelompok sosial (Félonneau et al. 2013, Lalli 1992, Scannell dan Gifford 2010).

C. Motif identitas

Identitas adalah proses motivasi yang didasarkan pada beberapa motif yang berbeda.
Dengan demikian, hal ini mampu melampaui gagasan klasik bahwa motif selfesteem adalah
satu-satunya motif identitas. Vignoles and colleagues (2006) mengidentifikasi enam motif yang
secara konseptual berbeda seperti tujuan motivasi, selfesteem, kontinuitas, kekhasan,
kepemilikan, keberhasilan, dan makna.
Motif harga diri secara langsung mempengaruhi definisi dan pemberlakuan identitas:
“Motif untuk kesinambungan, ciri khas dan makna berkontribusi langsung pada definisi identitas
dan secara tidak langsung melalui definisi identitas pada pemberlakuan identitas. Motif untuk
memiliki dan kemanjuran berkontribusi langsung pada penetapan identitas dan secara tidak
langsung melalui penetapan identitas pada definisi identitas” (Vignoles et al. 2006).

6
Keberhasilan dan kepemilikan memiliki relevansi yang lebih besar dengan dimensi
perilaku identitas karena mereka memiliki dampak langsung pada perilaku dan sesuai dengan
hubungan seseorang dengan dunia luar. Faktanya, efikasi mengacu pada bagaimana seseorang
bertindak di lingkungan sementara memiliki mengacu pada bagaimana seseorang mendapat
tempat di lingkungan tersebut.
Masalahnya adalah bahwa perubahan perilaku sering disajikan dalam bentuk informatif
atau perintah, yang menghilangkan kemungkinan perilaku ini menjadi sumber kepuasan untuk
keberhasilan dan motif kepemilikan. Harus diingat bahwa orang lebih suka melakukan tindakan
yang mempertahankan atau meningkatkan perasaan efektif dan memiliki mereka dan bahwa
mereka akan selalu menghindari tindakan yang dapat mengatasi perasaan ini. Jadi, ketika
meminta orang untuk mengadopsi perilaku baru, sangat penting untuk menunjukkan bahwa ini
dapat menjadi sumber kepuasan motif identitas, dan khususnya motif keberhasilan dan
kepemilikan.

D. Quality of life

Quality of Life memiliki artian yang sangat luas berdasarkan sudut pandang tiap orang
dengan latar belakang yang mendasarinya. Quality of Life berisi pengetahuan sosial, kesehatan
dan lingkungan. Dalam hal ini terjadi di sekitar lingkungan kita seperti lingkungan rumah atau
perumahan, sekolah dan tempat kerja, atau bisa dikatakan mencakup seisi dunia.
Pada tahun 1968, dalam konferensi UNESCO di Paris, dan pada tahun 1972 di konferensi
Human Environment di Stockholm, Levi dan Anderson (1974) membuat pernyataan mengenai
Quality of Life. Dikatakan bahwa Quality of Life merupakan suatu ukuran yang mencakup fisik,
mental, dan kehidupan sosial yang dirasakan setiap individu maupun kelompok, serta rasa
bahagia, puas dan rasa mendapatkan reward.
Pada tahun 1995, Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) mengusulkan definisi kualitas
hidup sebagai berikut: "persepsi individu tentang hidup dalam konteks sistem budaya dan nilai di
mana mereka tinggal dan dalam kaitannya dengan tujuan, harapan, standar, dan perhatian
mereka". Ini membahas Quality of Life yang dirasakan dan bukan yang objektif. Fleury-Bahi
menyarankan untuk mendefinisikan kualitas hidup lingkungan subjektif sebagai penilaian tingkat
kepuasan dengan berbagai komponen lingkungan sehari-hari (Fleury-Bahi et al., 2013).

7
Secara garis besar, Quality of Life dapat diartikan sebagai persepsi atau pandangan
subjektif individu terhadap kehidupannya dalam konteks budaya dan nilai yang dianut oleh
individu dalam hubungannya dengan tujuan personal, harapan, standar hidup dan perhatian yang
mempengaruhi kemampuan fisik, psikologis, tingkat kemandirian, hubungan sosial dan
lingkungan.

E. Identitas dinamis

Identitas merupakan hal yang abstrak, konsep beraneka segi yang berperan penting dalam
interaksi antar budaya, lahirnya era globalisasi, pernikahan antar budaya dan pola imigrasi
menambah kerumitan identitas. Identitas merupakan konsep yang abstrak kompleks dan dinamis.
Oleh karena itu, identitas tidak bisa diartikan sehingga banyak gambaran yang disediakan oleh
para ahli. Identitas sebagai definisi diri seseorang sebagai individu yang berbeda dan terpisah,
termasuk prilaku, kepercayaan dan sikap.
Identitas merupakan satu unsur kunci dari kenyataan subyektif, yang berhubungan secara
dialektis dengan lingkungan. Identitas dibentuk oleh proses-proses sosial. Identitias memiliki
sifat yang dinamis sehingga kemudian identitas tersebut dipelihara, dimodifikasi, atau bahkan
dibentuk ulang oleh hubungan sosial. Identittas dinyatakan sebagai dinamis, karena terus
mengalami perubahan seiring dengan adanya interaksi antar budaya, globalisasi, akulturasi, dan
pola imigrasi. Identitas ini akan selalu berkembang, bergerak dan berubah seiring dengan waktu.
Karena identitas bukan merupakan suatu komponen tetap dan statis.
Seperti halnya diri manusia, identitas seorang individu akan selalu berkembang ketika
indvidu mengalami banyak interaksi dan bertemu dengan berbagai proses sosial di sekitarnya.
Identitas dinamis ini juga tidak dapat dihentikan atau dipungkiri, karena akans elalu ada
perkembangan dan penambahan dalam hal apapun yang berkaitan langsung dengan sebuha
lingkungan.

8
PENUTUP

Kesimpulan

Lingkungan merupakan segala benda dan kondisi, yang termasuk manusia dan tingkah
lakunya,, yang terdapat dalam satu ruang dan saling mempengaruhi satu dengan lainnya.
Lingkungan juga dapat diartikan sebagai sebuah tempat berlangsungnya sebuah kehidupan dan
aktivitas. Lingkungan inilah yang turut berpengaruh dalam perkembangan seorang individu,
tidak jarang keadaan lingkungan yang ditempati oleh individu ini membentuk sebuah identitas
tersendiri. Identitas dinilai dari kualitas dan kondisi lingkungan. Identitas sendiri secara general
merupakan suatu ciri khusus dan keunikan dari suatu hal yang menyebabkannya mudah dikenal.
bedakan diri dari masing-masing individu. Masing-masing individu mendapatkan identitasnya
sendiri melalui lingkungannya, dan masing-masing individu dalam suatu lingkungan
memprosesnya menjadi sebuah identitas dengan caranya sendiri.
Proshansky dan rekan (1983) memilih istilah "identitas tempat" untuk menggambarkan
sosialisasi diri dalam kaitannya dengan dunia fisik. Ini dipahami sebagai sub-struktur identitas
diri individu, termasuk kognisi yang mewakili "ingatan, ide, perasaan, sikap, nilai, preferensi,
makna dan konsepsi perilaku dan pengalaman yang berhubungan dengan variasi dan
kompleksitas fisik. Jadi, identitas tempat berarti dimensi diri yang mendefinisikan identitas
pribadi individu “dalam kaitannya dengan lingkungan fisik melalui pola kompleks ide sadar dan
tidak sadar, keyakinan, preferensi, perasaan, nilai, tujuan, dan kecenderungan perilaku dan
keterampilan yang relevan. terhadap lingkungan ini”. Motif harga diri secara langsung
mempengaruhi definisi dan pemberlakuan identitas: “Motif untuk kesinambungan, ciri khas dan
makna berkontribusi langsung pada definisi identitas dan secara tidak langsung melalui definisi
identitas pada pemberlakuan identitas. Motif untuk memiliki dan kemanjuran berkontribusi
langsung pada penetapan identitas dan secara tidak langsung melalui penetapan identitas pada
definisi identitas” (Vignoles et al. 2006).
Quality of Life dapat diartikan sebagai persepsi atau pandangan subjektif individu
terhadap kehidupannya dalam konteks budaya dan nilai yang dianut oleh individu dalam
hubungannya dengan tujuan personal, harapan, standar hidup dan perhatian yang mempengaruhi
kemampuan fisik, psikologis, tingkat kemandirian, hubungan sosial dan lingkungan. Identitas
merupakan satu unsur kunci dari kenyataan subyektif, yang berhubungan secara dialektis dengan

9
lingkungan. Identitas dibentuk oleh proses-proses sosial. Identitias memiliki sifat yang dinamis
sehingga kemudian identitas tersebut dipelihara, dimodifikasi, atau bahkan dibentuk ulang oleh
hubungan sosial. Identittas dinyatakan sebagai dinamis, karena terus mengalami perubahan
seiring dengan adanya interaksi antar budaya, globalisasi, akulturasi, dan pola imigrasi. Identitas
ini akan selalu berkembang, bergerak dan berubah seiring dengan waktu. Karena identitas bukan
merupakan suatu komponen tetap dan statis.

10
REFERENSI

Danusaputro, M. (1981). Hukum Lingkungan Buku I. Bandung: Bina.


Félonneau, dkk. (2017). Pro-environmentalism, Identity, Dynamics and Environmental Quality of
Life. Switzerland: Springer.
Fleury-Bahi, dkk. (2017). Handbook of Environmental Psychology and Quality of Life Research.
Switzerland: Springer.
Iskandar, Z. (2012). Psikologi lingkungan. Bandung: PT Refika Aditama.
Palupi, T & D. R Sawitri. (2017). Hubungan Antara Sikap Dengan Perilaku Pro-lingkungan
Ditinjau Dari Perspektif Theory of Planned Behavior. Proceeding Biology Education.
Conference, 14(1), 214-217.

11
TUGAS
Perumahan & Pertetanggaan
Tugas ini disusun untuk memenuhi Mata Kuliah Psikologi Lingkungan

Dosen pengampu:
Zulfa Alfaruqy, S.Psi., M.A

Disusun oleh:
Kelompok 11

Fahril Irsan 15000119130126

Maulana Asy Syarofi 15000119140262

Ajeng F. Rahadianputri 15000119120076

FAKULTAS PSIKOLOGI
UNIVERSITAS DIPONEGORO
2022
DAFTAR ISI
DAFTAR ISI 1

BAB I: PENDAHULUAN 2
Latar Belakang 2
Rumusan Masalah 2
Tujuan Pembahasan 2
Manfaat 3

BAB II: PEMBAHASAN 4


Pendekatan Spesifik Tempat: Pandangan dan Keterjangkauan Ekologis 4
Kesesuaian Lingkungan 4
Empat Topik (Proses) Perumahan 6

BAB III: PENUTUP 25


Kesimpulan 25

DAFTAR PUSTAKA 26

1
BAB I: PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Tujuan makalah ini adalah untuk memberikan gambaran umum penelitian yang meneliti
lingkungan perumahan dalam disiplin psikologi lingkungan: Perhatian diberikan pada berbagai
tingkat lingkungan perumahan, tetapi terutama pada lingkungan perumahan. Lingkungan
perumahan didefinisikan secara luas baik untuk mencakup sifat fisik yang sebenarnya dan untuk
memperhitungkan persepsi orang dan penggunaan ruang-ruang ini dengan menyoroti pendekatan
teoritis yang berbeda. Pada bagian pertama bab ini, kerangka konseptual yang luas berdasarkan
gagasan kesesuaian lingkungan disajikan untuk mengintegrasikan penelitian tentang lingkungan
perumahan dan lingkungan. Pada bagian kedua bab ini, tinjauan dari empat topik penelitian utama
diberikan, termasuk yang tradisional, seperti persepsi, evaluasi, dan kepuasan, serta perkembangan
baru, seperti branding dan reputasi; semuanya memberikan bukti empiris dari prinsip teoritis utama
yang disajikan di bagian pertama bab ini. Sebagai kesimpulan, saran untuk penelitian masa depan
di bidang ini diberikan berdasarkan kerangka konseptual dan bukti empiris yang ditawarkan.
(dalam Bonaiuto, 2012)
Kerangka teoritis yang disajikan dalam bab ini berfokus pada gagasan tentang kesesuaian
lingkungan dan lingkungan yang mendukung. Kerangka ini menekankan tidak hanya sifat
lingkungan yang sebenarnya dan yang dirasakan, tetapi juga kemampuan masyarakat dan
bagaimana sumber daya digunakan untuk meningkatkan kualitas hidup dalam konteks kehidupan
sehari-hari.

B. Rumusan Masalah
Bagaimana gambaran umum tentang lingkungan perumahan (residential) dalam disiplin
psikologi lingkungan, terutama pada lingkungan pertetanggaan (neighborhood)?

C. Tujuan Pembahasan
Untuk memberikan gambaran umum tentang penelitian yang meneliti lingkungan
perumahan (residential) dalam disiplin psikologi lingkungan, terutama pada lingkungan
pertetanggaan (neighborhood).

2
D. Manfaat
Makalah ini diharapkan dapat menambah pengetahuan bagi penyusun maupun pembaca
dalam memahami mengenai Perumahan dan Pertetanggaan dalam psikologi lingkungan.

3
BAB II: PEMBAHASAN

A. Pendekatan Spesifik Tempat: Pandangan dan Keterjangkauan


Ekologis
Pendekatan khusus tempat adalah ide teoretis dasar yang memandu topik ini. Itu
ditempatkan dalam konteks teori ekologi yang lebih luas diterapkan pada studi interaksi orang-
lingkungan (Barker, 1968; Bronfenbrenner, 1979). Ini bertujuan pada model ekologi dalam
kaitannya dengan penelitian yang diterapkan pada konteks lingkungan dan perumahan (Bonnes &
Secchiaroli, 1995; Bonnes & Bonaiuto, 2002; Bonaiuto & Bonnes, 2002).
Kegiatan sehari-hari orang (tetapi juga persepsi, evaluasi, dll.) ditekankan sebagai bagian
dari sistem yang lebih luas dari aktivitas dan pengaturan terkait, yaitu apa yang disebut sistem
aktivitas multi-tempat (misalnya, Bonnes, Mannetti, Secchiaroli, & Tanucci, 1990; Bonaiuto &
Bonnes, 1996, 2002; Bonaiuto, Bonnes, & Continisio, 2004; laporan, 1990). Untuk memahami
tanggapan penyesuaian atau maladjustment (kesesuaian lingkungan atau ketidaksesuaian
lingkungan) di kesehatan dan kualitas hidup, ada kebutuhan untuk memahami pola kegiatan dan
"lokasi" mereka (Dixon, 2001); yaitu, bagaimana mereka dilakukan di lingkungan perumahan dan
lingkungan perkotaan dengan mempertimbangkan juga pola kegiatan yang sesuai yang dilakukan
oleh orang yang sama di tempat lain (misalnya, pusat kota dan keliling). Dengan mengatasi skala
yang berbeda ini, tujuan kegiatan residensial yang berurutan dan terkait waktu adalah
menunjukkan. Dalam kerangka ini, waktu juga merupakan dimensi penting (baik waktu linier
maupun waktu siklik) sebagai lingkungan pengalaman dapat dianalisis menurut batas-batas
temporal dan spasial yang bermakna secara psikologis. Model ini digambarkan dan diringkas
dalam Gambar 13.1. Ini berfokus pada fitur perumahan, aktivitas, dan keterjangkauan mereka dan
konsekuensi dalam hal kualitas hidup.

B. Kesesuaian Lingkungan
Model kesesuaian manusia-lingkungan (person-environment fit model) menunjukkan
bahwa aktivitas masyarakat adalah hasil dari kesesuaian antara apa yang ditawarkan oleh
lingkungan dengan kegiatan apa saja yang dipilih untuk dilakukan orang di lingkungan tersebut
berdasarkan kemampuan mereka (Bonaiuto & Alves, 2012). Kurangnya kompatibilitas atau

4
kesesuaian antara kedua faktor ini akan menyebabkan penurunan kesejahteraan (Kaplan, 1983
dalam Bonaiuto & Alves, 2012). Dengan demikian, berdasarkan model P-E, konsep “dukungan
lingkungan” (environmental support) mengacu pada sejauh mana lingkungan memfasilitasi atau
menghambat tujuan seseorang.
Konsep kesesuaian lingkungan melibatkan beragam pola interaksi yang membentuk
kehidupan sehari-hari masyarakat (Bonaiuto & Alves, 2012). Dengan demikian, melihat fitur
lingkungan dan aktivitas masyarakat secara holistik dan terintegrasi sangat diperlukan dalam
mempelajari kesesuaian lingkungan. Dibutuhkan analisis tempat dan waktu di mana seorang
individu berada, tahap kehidupannya, jenis kelaminnya, dan fitur sosial dan lingkungan orang
tersebut terpapar (Bonaiuto & Alves, 2012). Kesesuaian atau ketidaksesuaian melibatkan berbagai
bidang kehidupan (misalnya, pekerjaan, tempat tinggal, rekreasi, kegiatan perawatan) dan "aliran
informasi" (Salingaros, 2000 dalam Bonaiuto & Alves, 2012) di antara komponen-komponen yang
berbeda ini. Dengan demikian, quality of life (QoL) atau kualitas hidup, sebagai variabel hasil dari
model P-E, bergantung pada struktur fisik serta sosial dan temporal yang ditawarkan di lingkungan
perumahan tertentu (Bonaiuto & Alves, 2012). Lingkungan perumahan yang mendukung adalah
lingkungan yang memiliki infrastruktur untuk mendukung pola aktivitas sehari-hari dan
mengintegrasikannya dalam dimensi spasial dan temporal (Bonaiuto & Alves, 2012).
Kesesuaian antara manusia dan fitur lingkungan diwujudkan melalui aktivitas manusia
berdasarkan ketersediaan yang ada dalam transaksi setiap orang dengan lingkungan tertentu
(Bonaiuto & Alves, 2012). Proses ini berawal dari kesesuaian atau ketidaksesuaian antara orang-
orang tertentu dan lingkungan tertentu dalam waktu tertentu. Banyaknya waktu yang dihabiskan
seseorang di tempat-tempat tertentu serta banyaknya waktu yang dihabiskan untuk berhubungan
dengan orang lain, merupakan aspek penting dari QoL seseorang (Bonaiuto & Alves, 2012).
Dengan demikian, daripada dievaluasi secara absolut, kesesuaian atau fit perlu dirujuk
kepada latar tertentu, peran sosial, dan waktu kesesuaian tersebut. Berbagai tingkat kesesuaian
atau ketidaksesuaian dapat dicapai dan orang-orang akan mengatur perilaku mereka untuk
menangani masalah tersebut dengan berorientasi pada sisi pencegahan (yaitu, menghindari hasil
negatif) atau ke arah sisi promosi (yaitu, mencari hasil positif) (Higgins, 2005 dalam Bonaiuto &
Alves, 2012). Akhirnya, hasil yang dievaluasi secara subyektif atau obyektif dari proses ini sesuai
dengan masalah kualitas hidup (QOL), yang salah satu komponen utamanya adalah kualitas
lingkungan perkotaan, terutama lingkungan perumahan.

5
Kerangka kerja berhubungan dengan pendekatan transaksional yang mencoba
menyampaikan poin bahwa kebijakan publik, desain, dan aktivitas tata kelola di lingkungan
perumahan harus diarahkan untuk mendukung kehidupan sehari-hari dan dengan demikian
meningkatkan QoL (misalnya, Altman & Rogoff, 1987; Stokols, 1987, dalam Bonaiuto & Alves,
2012).
Realitas muncul sebagai hasil dari transaksi antara manusia dan lingkungan (Bonaiuto &
Alves, 2012). Sehingga dapat dikatakan bahwa setiap tempat tinggal (residential place) adalah
hasil dari transaksi antara manusia dan lingkungan (Bonaiuto & Alves, 2012). Sebenarnya, istilah
"lingkungan" dapat digunakan untuk merujuk pada fitur fisik dan sosial, sementara tempat tinggal
tentu saja merupakan hasil dari organisme yang mengalami lingkungan dalam kerangka tempat
tinggal (Bonaiuto & Alves, 2012). Meskipun disini "organisme" selalu diartikan sebagai manusia,
kerangka umum “organisme” dapat diterapkan pada hewan dan khususnya pada hewan domestik
perkotaan, yang semakin dianggap sebagai penghuni ekologi perkotaan, misalnya, dalam kasus
koloni kucing perkotaan ( Benson, 1981 dalam Bonaiuto & Alves, 2012).
Mengikuti pemahaman ekologi ini, bab ini dapat dibagi menjadi beberapa bagian yang
membahas pengaturan tempat tinggal di skala yang berbeda di mana kegiatan sehari-hari
dijalankan:
1. Latar terkait rumah, baik di dalam dan luar ruangan
2. Lingkungan pertetanggaan di tingkat yang lebih besar
3. Ruang terbuka: ruang perkotaan alami dan terbangun, jalan, ruang rekreasi, dan
sebagainya
4. Kota

C. Empat Topik (Proses) Perumahan


A. Persepsi, Evaluasi, dan Kepuasan
● Rumah
Ketika meneliti makna rumah bagi orang tua di pinggiran kota Quebec, Després
dan Lord (dalam Bonaiuto, 2012) menemukan enam dimensi utama yang terkait
dengan makna dan pengalaman lingkungan rumah terkait dengan keinginan untuk
menua di tempat tinggalnya: psikologis (kontrol pribadi dan pengalaman terkait diri
sendiri) , sosial (misalnya, sosialisasi; akses ke sumber daya manusia); ekonomi

6
(misalnya, perumahan yang terjangkau; kepemilikan); material (misalnya, jaringan
tempat perkotaan; tipe perumahan); temporal (lingkungan yang familiar; keterikatan
dan ingatan); ruang-waktu (misalnya, pusat kehidupan sehari-hari; kedekatan dan
aksesibilitas). Kategori-kategori ini terkait dengan skala rumah dan lingkungan dan
menyoroti bagaimana pembangunan kembali pinggiran kota pasca perang dapat
meningkatkan pengalaman positif dari lingkungan rumah.
Aspek penting dari penelitian ini adalah pertimbangan variabel spasial-
temporal dan spesifikasi bagaimana hasil penelitian dapat berkontribusi pada
perencanaan dan desain rumah serta pengaturan dan kegiatan terkait. Misalnya, Lord
et al. (dalam Bonaiuto, 2012) telah mempelajari evolusi hubungan ke "rumah" untuk
orang dewasa yang lebih tua yang tinggal di pinggiran kota. Dengan menggunakan data
longitudinal dan berfokus pada mobilitas harian, penelitian ini mengungkapkan strategi
adaptasi orang tua (misalnya, perilaku yang dibangun) dari mobilitas harian mereka
dan sifat pengalaman kota yang berkembang: kota yang menyusut, kota yang
terfragmentasi, dan kota dengan proxy. Hasil ini menunjukkan pentingnya penuaan di
rumah, bagaimana orang tua yang melakukannya dapat mempertahankan referensi
spasial sosial yang berkontribusi pada rasa identitas mereka.
Fokus pada pengaturan rumah dan hubungannya dengan proses psikososial juga
telah ditangani oleh Evans et al. (dalam Bonaiuto, 2012). Ketika membandingkan
hubungan antara kepadatan dan perkembangan kognitif pada sampel AS dan Inggris,
penulis melaporkan responsivitas ibu sebagai variabel mediator yang penting. Ibu di
rumah yang lebih ramai cenderung kurang responsif terhadap anak-anak mereka.

● Lingkungan
Topik lingkungan perumahan secara tradisional dibahas dalam psikologi
lingkungan sejak awal dan, oleh karena itu, merupakan salah satu klasik dalam hukum
disiplin atau didirikan pengetahuan (misalnya, Bonnes & Secchiaroli, 1992; Lawrence,
2002; Tognoli, 1987).
Berbagai penulis yang peduli dengan evaluasi warga terhadap lingkungan
mereka (misalnya, Guest & Lee, 1984) telah mengacu pada model teoretis yang
mempertimbangkan tiga aspek utama lingkungan yaitu, spasial (arsitektonik dan

7
perencanaan kota, termasuk kawasan hijau), manusia (penduduk dan jenis hubungan
sosial), dan fungsional (pelayanan yang tersedia). Selanjutnya, perkembangan lebih
lanjut menunjukkan bahwa komponen keempat yang menjadi ciri warga evaluasi
lingkungan mereka (Bonaiuto et al., 1999; Bonaiuto et al., 2003; Bonaiuto et al., 2006;
Fornara, Bonaiuto, & Bonnes, 2010a) yaitu, fitur kontekstual (waktu dan kecepatan
hidup, kesehatan/non polusi, pemeliharaan).
Selain itu, dalam perspektif teoretis "kontekstual" atau "transaksional"
(misalnya, Altman & Rogoff, 1987; Stokols, 1987), peneliti telah menggarisbawahi
pentingnya mempertimbangkan unit analisis molar, seperti "tempat", dalam studi
tentang hubungan orang-lingkungan (Canter, 1977, 1988; Proshansky, Fabian, &
Kaminoff, 1983; Russell & Ward, 1982). Para peneliti juga telah menekankan
mengakui sentralitas dimensi temporal untuk orang-orang pengalaman lingkungan
(misalnya, Werner, Altman, & Oxley, 1985), baik dalam hal waktu linier (mengacu
pada panjang waktu seorang penduduk telah tinggal di lingkungan tersebut) dan dalam
hal waktu siklus (mengacu pada waktu yang dihabiskan setiap hari di lingkungan).
Dalam istilah teoretis, di sini berguna untuk membedakan di antara tiga konstruksi
konseptual utama yang mengikuti Bonaiuto (2004). Kepuasan residential (RS):
pengalaman kesenangan atau kepuasan yang berasal dari tinggal di tempat tertentu; itu
adalah, laporan penduduk evaluasi global dengan perumahan mereka, yang dapat
dipertimbangkan pada berbagai tingkat skala (rumah, gedung, lingkungan, kota). Place
attachment (PA): bentuk dan tingkat pengaruh—perasaan, suasana hati, emosi—yang
dikembangkan orang dari waktu ke waktu dan datang ke pengalaman dengan mengacu
pada tempat di mana mereka dilahirkan, hidup, dan bertindak. Keterikatan lingkungan
(NA) berfokus secara khusus pada obligasi yang dikembangkan dengan lingkungan
tempat tinggal sendiri. Transaksi konstruksi lainnya dengan evaluasi afektif tempat
adalah kualitas afektif yang dirasakan (misalnya, Russell & Pratt, 1980; Perugini,
Bonnes, Aiello, & Ercolani, 2002), yang bukan merupakan tempat khusus tetapi juga
dapat digunakan untuk membedakan tempat tinggal (misalnya, Bonaiuto & Bonnes,
2002). Kualitas perumahan (perkotaan) (RQ): evaluasi atribut spesifik yang berbeda
dari perumahan (perkotaan) lingkungan; evaluasi tersebut dapat bersifat teknis (yaitu,
berbasis ahli, "objektif") atau berbasis pengamat (yaitu, dirasakan, "subyektif"). Dalam

8
yang kedua, indikator kualitas lingkungan perumahan yang dirasakan (PREQIs) adalah
seperangkat indikator standar yang dirasakan untuk mengevaluasi tempat tertentu, yang
juga dapat digunakan untuk kebijakan dan fungsi pemantauan. Konstruksi pertama, RS,
dapat dianggap sebagai evaluasi global lingkungan perumahan secara keseluruhan dari
perspektif penduduk dan secara operasional, sebagian besar waktu, diukur melalui
jawaban penduduk (dalam rentang dari "tidak sama sekali" hingga "sepenuhnya")
hingga item global seperti "Seberapa puaskah Anda dengan rumah (atau bangunan atau
lingkungan)?" Namun, secara konseptual dapat dianggap terdiri dari tiga komponen
utama konstruksi psikologis sikap (pengaruh, kognisi, perilaku): ranah respons afektif
orang terhadap lingkungan tempat tinggal, ranah evaluasi kognitif mereka terhadap
lingkungan yang sama, dan ranah tindakan yang dilakukan di lingkungan tersebut.
Hanya sedikit penelitian yang membahas komponen perilaku, sedangkan yang pertama
dua komponen telah dipelajari untuk tingkat yang lebih besar. Dua aspek pertama
ditangkap, masing-masing, oleh dua konstruksi penting lainnya yang disebutkan di
atas, yang sangat terkait dengan, dan sebagian tumpang tindih, dengan kepuasan
residensial: yaitu, PA dan RQ yang dirasakan.
● Kota
Ruang hijau perkotaan meningkatkan kepuasan hunian (Bonaiuto, Aiello,
Perugini, Bonnes, & Ercolani, 1999 dalam Bonaiuto & Alves, 2012). Van der Meer
dkk. (2011, dalam Bonaiuto & Alves, 2012) telah menggunakan kota Berlin sebagai
contoh lingkungan perumahan dengan kepadatan tinggi untuk menguji model kepuasan
perumahan mereka. Mereka merancang tiga studi untuk menguji hubungan antara
atribut objektif lingkungan perumahan (misalnya, lebar jalan, tinggi bangunan);
evaluasi penduduk (penilaian kognitif dan afektif); dan pengaruh berbagai jenis
penghijauan (daerah gurun yang tertutup vegetasi) pada persepsi dan penilaian afektif
penduduk; serta tugas membangkitkan respon pupil sebagai indikator alokasi sumber
daya kognitif.
Pertama, mereka menunjukkan bahwa kepadatan bangunan berdampak pada
kerumunan (crowding). Hal ini ditunjukkan dengan memanipulasi atribut khusus
lingkungan binaan, yaitu lebar jalan, tinggi bangunan, tinggi lantai, jumlah mobil yang

9
diparkir, dan penghijauan. Dengan demikian, jalan yang lebar, penghijauan, dan
sedikitnya jumlah mobil yang parkir mengurangi persepsi kerumunan.
Kedua, mereka menguji hipotesis bahwa memproses area hutan belantara
perkotaan yang sangat kompleks menghabiskan lebih banyak sumber daya daripada
memproses area hutan belantara perkotaan yang kurang kompleks dan mengukur
puncak dilatasi pupil untuk mengevaluasi besarnya respons pupil. Hasil penelitian
menunjukkan bahwa situs yang terstruktur secara visual (kurang menuntut secara
visual) dikaitkan dengan dilatasi pupil yang lebih kecil.
Terakhir, mereka meneliti faktor apa yang memprediksi kepuasan hunian di
kawasan perkotaan Berlin. Mereka menemukan bahwa kebisingan lalu lintas, sampah
dan kotoran, bau tak sedap, suhu dingin di musim dingin, dan polusi udara dinilai
sebagai pemicu stres lingkungan yang paling kritis.

B. Penggunaan dan Aktivitas


Bagian ini membahas penggunaan dan aktivitas seseorang di tempat tinggalnya
sendiri, dengan perhatian khusus pada hal-hal yang berkaitan dengan kawasan hijau
perkotaan dan ruang terbuka hijau. yang telah dipelajari sebagai penentu potensial
kesehatan dan kesejahteraan.

● Rumah
Penelitian menunjukkan bahwa ruang hijau terbuka yang lebih dekat ke rumah
dapat mengurangi stres dengan kemungkinan obesitas yang lebih rendah jika dikaitkan
dengan akses ke taman dan jarak yang lebih pendek ke area hijau dari tempat tinggal
(Nielsen & Hansen dalam Bonaiuto, 2012). Dampak kesehatan dari berkebun juga telah
dipelajari (Stigsdotter & Grahn dalam Bonaiuto, 2012). Ruang hijau di lingkungan
hidup masyarakat juga telah diperiksa untuk melihat apakah kontak sosial merupakan
mekanisme yang mendasari hubungan antara ruang hijau dan kesehatan. Hasil
penelitian menunjukkan bahwa berkurangnya ruang terbuka hijau di lingkungan tempat
tinggal masyarakat bertepatan dengan perasaan kesepian dan kurangnya dukungan
sosial.
Sebuah studi oleh Granich (dalam Bonaiuto, 2012) menunjukkan bahwa
lingkungan rumah keluarga (desain rumah dan ketersediaan beberapa perangkat

10
elektronik di dalam rumah) dikaitkan dengan penggunaan media elektronik oleh anak-
anak (yaitu, televisi, permainan elektronik, dan komputer) di lingkungan rumah.
Pemeriksaan kegiatan rutin menunjukkan bahwa anak-anak menghabiskan dua jam
atau lebih dalam sehari menggunakan media elektronik. Rumah dan rutinitas aktivitas
yang terkait dengannya mungkin merupakan faktor spesifik konteks yang kuat terkait
dengan perilaku menetap di antara anak-anak.
● Lingkungan
Secara umum, penggunaan model risiko kumulatif menunjukkan bahwa
sejumlah besar faktor risiko potensial meningkatkan ketakutan akan kejahatan dan
menurunkan kesejahteraan penduduk. Lebih khusus, penelitian di tingkat lingkungan
telah membahas persentase ruang hijau dalam radius 1 km dan 3 km di sekitar rumah
untuk memeriksa bagaimana persepsi kesehatan umum dimoderasi oleh jumlah ruang
hijau di lingkungan. Temuan telah menunjukkan bahwa peserta dengan jumlah ruang
hijau yang tinggi dalam radius 3 km kurang terpengaruh oleh peristiwa kehidupan yang
penuh tekanan dibandingkan responden dengan jumlah ruang hijau yang rendah dalam
radius ini. Ketika membahas jumlah ruang hijau dalam kaitannya dengan prevalensi
morbiditas yang dinilai oleh dokter, Maas menunjukkan bahwa ruang hijau yang dekat
dengan rumah (radius 1 km) juga dikaitkan dengan tingkat prevalensi tahunan yang
lebih rendah dari kelompok penyakit yang diselidiki daripada ruang hijau yang lebih
jauh.
Ruang terbuka umum di komunitas yang kekurangan mungkin berkontribusi
pada kohesi sosial dan jumlah ruang terbuka yang dirasakan dan tingkat vegetasi terkait
dengan tingkat kejahatan yang lebih rendah dan perasaan aman dalam konteks
perkotaan. Faktanya, jumlah ruang hijau yang dekat dengan tempat tinggal orang
memiliki hubungan yang signifikan dengan persepsi kesehatan mereka.
Temuan penelitian juga menunjukkan potensi ruang hijau lingkungan untuk
meningkatkan kesehatan dengan membantu orang memulihkan kelelahan mental
(Scopelliti & Giuliani dalam Bonaiuto, 2012), dengan bertindak sebagai sumber daya
untuk memfasilitasi aktivitas fisik (Björk et al. dalam Bonaiuto, 2012), dengan
mengurangi kematian (Mitchell & Popham dalam Bonaiuto, 2012), dengan
mengurangi tingkat stres (misalnya, Nielsen & Hansen dalam Bonaiuto, 2012), dan

11
mengurangi peristiwa kehidupan yang penuh stres (van den Berg dalam Bonaiuto,
2012). Korpela dkk. (dalam Bonaiuto, 2012 menunjukkan bahwa ada hubungan antara
kebutuhan restorasi (kekhawatiran dan stres), penggunaan strategi pengaturan diri
lingkungan (tempat favorit), dan hasil restoratif.
Penggunaan ruang hijau juga telah diperiksa dalam kaitannya dengan
ketidaknyamanan termal selama periode stres panas. Pengguna ruang hijau terpilih di
Italia dan Inggris telah dipelajari. Temuan menunjukkan bahwa kunjungan yang lebih
lama dan sering ke ruang hijau dapat mengurangi persepsi ketidaknyamanan termal
selama periode stress.
Sebagian besar studi baru-baru ini berfokus pada variabel lingkungan, seperti
ruang terbuka dan hijau, dan pengaruhnya terhadap kesehatan fisik. Baik penilaian
objektif dan subjektif (misalnya, Seaman, Jones, & Ellaway dalam Bonaiuto, 2012)
telah digunakan untuk memahami mengapa orang-orang di daerah perkotaan memilih
untuk menggunakan, atau tidak menggunakan ruang hijau publik
● Ruang Terbuka
Penelitian tentang ruang luar lingkungan telah membahas atribut lingkungan
tertentu, seperti daya tarik (yang terkait dengan keberadaan fasilitas alam dan
lingkungan), konektivitas jalan, akses ke fasilitas rekreasi luar ruangan, dan akses ke
tempat-tempat menarik (Sugiyama et al. dalam Bonaiuto, 2012), menunjukkan bahwa
faktor-faktor ini terkait dengan aktivitas fisik rekreasi. Ketertarikan jalan yang
dirasakan untuk berjalan juga telah diperiksa dan menunjukkan bahwa kerapian jalan,
nilai pemandangannya, dan kehadiran aktivitas atau orang lain di sepanjang jalan
berkontribusi pada perilaku berjalan kaki (Borst et al. dalam Bonaiuto, 2012). Secara
umum, ada beberapa penelitian yang berkonsentrasi pada pengaturan jalan—
khususnya untuk ruang hijau dan aktivitas luar ruangan (Alves, dalam Bonaiuto, 2012).
Konfigurasi khusus dari lingkungan taman telah diperiksa dalam kaitannya
dengan aktivitas fisik melalui pengamatan langsung. Juga, penilaian aktivitas fisik di
taman umum telah diarahkan untuk mempelajari area bermain di luar ruangan dan
hubungannya dengan aktivitas fisik untuk anak-anak (Sugiyama et al. dalam Bonaiuto,
2012). Ketersediaan taman lingkungan telah dikaitkan dengan partisipasi yang lebih
tinggi dalam olahraga aktif, dan cakupan ruang hijau yang lebih besar telah dikaitkan

12
dengan pelaporan indeks aktivitas fisik yang lebih tinggi (Boone-Heinonena,
Casanova, Richardson, & Gordon-Larsena, dalam Bonaiuto, 2012).
Ruang terbuka pada skala yang lebih besar, seperti hutan, telah dipelajari dalam
kaitannya dengan stres emosional dan fisik. Misalnya, Hartig et al. (dalam Bonaiuto,
2012) membandingkan peserta yang berjalan-jalan di hutan versus mereka yang
berjalan-jalan di perkotaan dan menemukan tingkat stres yang lebih rendah dalam
jalan-jalan yang berhubungan dengan alam.
Penelitian telah mengungkapkan aspek ruang luar lingkungan mana yang
mempengaruhi tingkat aktivitas fisik dan aktivitas luar ruangan lainnya, seperti
berjalan kaki (misalnya, Pikora et al. dalam Bonaiuto, 2012). Faktor spesifik dalam
lingkungan lingkungan—seperti kemampuan berjalan kaki di lingkungan sekitar
(Saelens et al. dalam Bonaiuto, 2012), tingkat lalu lintas di lingkungan tersebut, dan
jenis desain perkotaan (misalnya, desain ramah pejalan kaki; misalnya, Cervero &
Kockelman dalam Bonaiuto, 2012) —juga memberikan pengaruh pada pola aktivitas
fisik (Strach et al. dalam Bonaiuto, 2012). Status sosial ekonomi lingkungan (van
Lenthe et al. dalam Bonaiuto, 2012) juga dikaitkan dengan tingkat aktivitas fisik,
seperti berjalan kaki, dengan lingkungan yang kekurangan menawarkan lebih sedikit
peluang untuk mobilitas mandiri bagi orang tua.

● Kota
Di sini relevansi area hijau perumahan dan ruang terbuka mengacu pada fakta
bahwa sebuah kota dapat memiliki berbagai tingkat area terbuka dan hijau yang
tersedia bagi warganya. Ini dapat memiliki berbagai kemungkinan efek, dari
peningkatan indeks kesehatan, dan kegiatan kesejahteraan yang dilakukan oleh,
penduduk setempat, hingga penurunan pencemaran; dari daya tarik menuju pariwisata
hingga pemeliharaan warga lokal dan kontras dengan penyusutan kota.

C. Segregasi dan Agregasi


Aktivitas orang-orang di tempat mereka sangat penting tidak hanya untuk
kesejahteraan fisik dan psikologis mereka, tetapi juga untuk kesejahteraan sosial-
psikologis mereka dan untuk kesejahteraan kolektif aktivitas perkotaan di tempat dan antar

13
tempat mereka karena itu berkontribusi pada dinamika makro-sosial dan terlibat dalam
tingkat masyarakat yang lebih besar. Topik ketiga ini (atau proses) menggambarkan
bagaimana transaksi di antara orang-orang dan tempat tinggal mereka dibingkai dalam
kompleks besar sistem ekologi di mana elemen dan dinamika eksosistem dan makrosistem
mengintervensi secara spesifik transaksi antara penduduk dengan tempat tinggalnya.
Masalah ini terkait erat dengan fakta bahwa orang-orang berbeda, antar individu dan antar
kelompok. Keragaman perkotaan dapat merujuk ke berbagai tingkat dan masalah
(Bonaiuto, Bonnes, Nenci, & Carrus, 2011), tetapi tentu sosial-psikologis memiliki
relevansi yang mencolok untuk tempat tinggal, di mana ia dapat berkontribusi pada
berbagai fenomena dan dinamika dengan konsekuensi individu dan sosial yang penting.
Tempat-tempat tertentu dapat berfungsi sebagai zona kontak dan mendukung atau
menghalangi jenis interaksi sosial tertentu. Beberapa garis penelitian telah difokuskan pada
perbedaan dalam hal subsistensi material, yaitu, mereka membahas dampaknya
kemiskinan atau penuaan pada transaksi penduduk dengan tempat tinggal mereka
(misalnya, sosial-ekonomi atau usia status). Garis penelitian lain berfokus pada perbedaan
fitur sosial lain dari penduduk, seperti milik kelompok sosial yang berbeda (dan
bertentangan) (misalnya, segregasi rasial). Dalam subparagraf berikut, beberapa contoh
untuk tingkat yang berbeda dari transaksi tempat tinggal disajikan atas dasar dua utama ini:
garis penelitian.
● Rumah
Lingkungan rumah terdekat merupakan ruang hidup utama, dan isu-isu
segregasi telah dipelajari di kaitannya dengan orang dewasa yang lebih tua dan lebih
muda. Berdasarkan pemahaman bahwa orang tua di lingkungan tersebut adalah rentan
terhadap berbagai jenis pengucilan dan terkena stresor yang berbeda (mis., Sumber
daya material yang berkurang, kurangnya keamanan), muncul pertanyaan tentang
sejauh mana ruang luar dapat mengurangi efek negatif ini dan memperbaiki kualitas
hidup mereka. Juga harus diingat bahwa tren menuju sistem kurungan rumah ini
Aktivitas tempat, yang terutama mencirikan populasi yang lebih tua, adalah khas kota
besar dibandingkan dengan kota kecil kota (Bonaiuto & Bonnes, 1996, Bonaiuto &
Bonnes, 2002).

14
Penelitian oleh Kuo (2001) dalam konteks perumahan publik AS telah
mengungkapkan bahwa paparan dan aktivitas di lingkungan hijau ruang dapat
membantu orang mengatasi peristiwa besar dalam hidup, termasuk stresor yang terkait
dengan tuntutan hidup di lingkungan miskin, yang mungkin termasuk kemiskinan dan
kekerasan dan membesarkan anak-anak di bawah tekanan kondisi. Dengan tujuan
menguji teori pemulihan perhatian dalam konteks tuntutan hidup dan koping strategi,
penulis menunjukkan bahwa penduduk yang memiliki beberapa vegetasi di dekatnya
lebih efektif dalam mengelola masalah kehidupan utama daripada penduduk yang
tinggal di lingkungan tandus. Skor yang lebih tinggi dalam ukuran perhatian juga
dicapai bagi mereka yang berada di lingkungan yang lebih hijau, menunjukkan bahwa
kontak dengan lingkungan alam dipulihkan individu dari sumber perhatian yang
terkuras dan membantu mereka mengatasi masalah kehidupan utama.
Penjelasannya memiliki bahwa paparan lingkungan hijau menyegarkan
kemampuan untuk berkonsentrasi, yang mengarah ke efektivitas yang lebih besar di
menghadapi masalah-masalah besar dalam hidup. Konsep Goffman (1959) tentang
wilayah "depan panggung" dan "belakang panggung" telah digunakan untuk
menganalisis hubungan antara penggunaan ruang dalam dan luar oleh remaja (Abbott-
Chapman & Robertson, 2009). Abbott-Chapman dan Robertson menyarankan bahwa
preferensi remaja untuk ruang yang berhubungan dengan rumah, termasuk kamar tidur
mereka sendiri serta ruang luar, mungkin merupakan cara untuk mendefinisikan
kembali batas-batas ruang dan wajah pribadi hubungan kekuasaan antar generasi.
● Lingkungan
Sebuah tinjauan literatur baru-baru ini tentang bagaimana lingkungan
perumahan dapat mempengaruhi kesehatan dan berkontribusi terhadap sosial dan
ras/etnis ketidaksetaraan dalam kesehatan (dengan penekanan pada obesitas dan
depresi) menunjukkan bagaimana studi telah dibagi menjadi mereka yang
menggunakan proksi sensus dan studi yang secara langsung mengukur atribut
lingkungan menggunakan berbagai metode (Diez Roux & Mair, 2010). Saat melihat
fitur dari lingkungan sosial, misalnya keamanan/kekerasan, kohesi sosial dan
konstruksi terkait, dan ukuran gangguan, penulis menunjukkan bahwa bukti yang

15
menghubungkan lingkungan sosial lingkungan dengan kesehatan hadir untuk hasil
kesehatan mental (khususnya depresi).
Dalam analisis baru-baru ini, sebuah penelitian menunjukkan bahwa tingkat
kohesi sosial dan kualitas estetika yang lebih rendah dan tingkat kekerasan yang lebih
tinggi dikaitkan dengan tingkat gejala depresi yang lebih tinggi pada sampel besar
orang dewasa (Mair et al., 2009). Ketika membahas kepuasan perumahan, Checa dan
Arjona (2010) telah menunjukkan bahwa “daerah kumuh”, “hubungan antar etnis yang
konflik”, “lokasi terpencil”, “konstruksi berkualitas rendah”, “toko”, dan "kejahatan"
meramalkan ketidakpuasan perumahan di antara penduduk (imigran dan kelahiran
Spanyol) dari El Puche, sebuah lingkungan di pinggiran kota Almeria di Spanyol.
Faktor utama dalam literatur agregasi-segregasi adalah hubungan antara lingkungan
yang kekurangan dengan penuaan. Penuaan di tempat dapat dikaitkan dengan beberapa
risiko yang terkait dengan struktur fisik yang dirampas pengaturan, seperti transportasi
dan perumahan yang buruk, tingkat kejahatan yang tinggi, dan akibatnya mengurangi
keselamatan dan kerugian fasilitas dan layanan lokal yang dapat mengganggu
pengelolaan aktivitas sehari-hari, seperti pergi ke luar ruangan.
Diperkirakan bahwa sebagian besar orang lanjut usia akan terus hidup di
masyarakat hingga di kemudian hari. Jadi kualitas lingkungan lingkungan dan
bagaimana hal itu dirasakan dapat memainkan peran utama dalam keberhasilan
penuaan dan in menunda kemungkinan pelembagaan (Baltes & Carstensen, 1996).
Evans (2004) mempelajari hubungan antara ketidaksetaraan pendapatan dan
perkembangan, khususnya di masa kanak-kanak, untuk memeriksa mengapa
kemiskinan masa kanak-kanak begitu berbahaya. Dia telah menunjukkan peran
paparan berbagai stres kondisi (misalnya, menghitung jumlah risiko fisik atau
psikososial yang dialami seorang anak) terhadap mengevaluasi risiko kumulatif dan
konsekuensi kesehatannya di masa dewasa (misalnya, Evans & Marcynyszyn, 2004).
Untuk contoh, Wells et al. (2010) menunjukkan bahwa kemiskinan anak usia dini
diprediksi obesitas di masa dewasa muda. Sosial dan faktor risiko fisik berperan
sebagai mediator hubungan dengan gejolak keluarga, kekerasan, perpisahan anak dari
keluarga, kepadatan kebisingan, dan kualitas perumahan bertindak sebagai mediator
dari hubungan antara kemiskinan dan obesitas. Sebuah kursus hidup Pendekatan telah

16
digunakan untuk menjelaskan bahwa anak-anak yang terpapar berbagai faktor risiko
cenderung menjadi kelebihan berat badan orang dewasa.
Pendekatan kursus kehidupan merupakan kontribusi utama dari literatur ini
dalam arti bahwa itu tidak hanya menjelaskan hubungan antara paparan risiko dan
obesitas, tetapi juga menunjukkan atribut lingkungan utama berkontribusi pada
hubungan ini. Hasil ini menunjukkan bahwa anak-anak berpenghasilan rendah terpapar
pada faktor risiko, memberikan banyak tekanan pada adaptasi mereka kemampuan dan
dengan demikian menghasilkan stres, yang dijelaskan Evans, untuk meningkatkan
tingkat stres kronis (dan beracun) di dalam tubuh (misalnya, masalah obesitas dan
prestasi akademik yang lebih rendah). Temuan memiliki implikasi besar untuk
perencanaan strategi yang berhubungan dengan kesehatan misalnya, untuk
menargetkan peran mediasi faktor risiko, seperti gejolak keluarga dan kekerasan. Poin
kunci yang diperoleh dari penelitian Evans dan rekan adalah bahwa di perumahan yang
kurang beruntung pengaturan, individu terkena lebih dari satu faktor risiko pada suatu
waktu. Paparan terhadap beberapa stresor ini memiliki konsekuensi fisik dan psikologis
negatif yang besar. Artinya, "sistem lingkungan yang kacau", yang ditandai dengan
kurangnya struktur dan prediktabilitas dalam aktivitas sehari-hari dalam kehidupan
sehari-hari, menyebabkan penurunan besar dalam kesehatan dan kesejahteraan
psikologis. Kegiatan sehari-hari dengan demikian dapat menjadi salah satu elemen
kunci yang akan ditargetkan di masa depan intervensi dan strategi terkait kesehatan.
Penelitian terbaru (Young, LaMontagne, Dietrich, & Wells, 2012) telah
menunjukkan bahwa status sosial ekonomi (yaitu, peserta dari keluarga SES yang lebih
rendah) dikaitkan dengan sikap negatif (yaitu, gaya inferensial negatif dan) gaya
berpikir ruminatif). Mungkin peristiwa kehidupan negatif yang dialami di masa kanak-
kanak akan berkontribusi pada perkembangan disfungsional ketika individu
menghadapi situasi stres dan negatif. Selain itu, penelitian menunjukkan juga bahwa
status sosial ekonomi yang rendah dikaitkan tidak hanya dengan kondisi perumahan
yang dinilai secara objektif lebih rendah, tetapi juga dengan persepsi kualitas kondisi
perumahan yang lebih rendah (misalnya, untuk persepsi kepadatan, Bonnes, lihat
Bonaiuto, & Ercolani, 1991).
● Ruang Luar

17
Apakah ruang terbuka/hijau mengurangi pengalaman deprivasi berganda? Ada
dua mekanisme untuk memperburuk kesehatan: satu melalui stres psiko-fisiologis dan
lainnya melalui cara yang tidak sehat untuk mengatasi stres. Melakukan aktivitas di
ruang terbuka/hijau mungkin merupakan strategi koping yang sehat terhadap tekanan
hidup yang besar. Saat mempelajari ruang terbuka di daerah yang kekurangan dan
mencoba memprioritaskan intervensi untuk manfaat maksimal, yang utama pertanyaan
yang harus diajukan adalah sejauh mana ruang terbuka dan hijau membantu
memperbaiki dan mengurangi stres yang terkait dengan perampasan. Bukti
menunjukkan bahwa orang tua yang tinggal di daerah tertinggal berisiko lebih tinggi
untuk menjadi dipengaruhi oleh kesehatan mental dan fisik yang buruk (Lang et al.,
2008). Karena mereka adalah penduduk jangka panjang dari daerah-daerah yang tinggi
stresor sosial dan lingkungan, mereka juga berhadapan langsung dengan faktor
lingkungan yang negatif.
Scharf dkk. (2003) telah mempelajari karakteristik kemiskinan dan dampaknya
terhadap kehidupan sehari-hari lansia di konteks Inggris. Hasil penelitian ini
menunjukkan bahwa pengalaman eksklusi ganda secara signifikan berhubungan
dengan usia dan etnis. Orang yang berusia 75 tahun ke atas lebih mungkin dikeluarkan
daripada mereka yang berusia 60 hingga 74 tahun responden yang dikeluarkan pada
dimensi material, 58% juga dikeluarkan dari hubungan sosial. Lebih tua orang-orang
yang merasa terputus dari lingkungan mereka lebih cenderung mengalami keterbatasan
dalam hubungan informal mereka hubungan daripada mereka yang menganggap
lingkungan mereka lebih baik. Faktor kunci untuk didorong di usia tua adalah
pemeliharaan kemandirian (Baltes & Carstensen, 1996).
Bukti telah menunjukkan bahwa kualitas hidup berkurang oleh keterbatasan
dalam mobilitas dan kesulitan dengan aktivitas sehari-hari (Netuveli et al., 2006)
Situasi berkurangnya kemandirian (Lang et al., 2008), seperti ketidakmampuan untuk
berpartisipasi dalam kegiatan dan jaringan sosial, hilangnya pemeliharaan rutinitas
biasa, dan ketergantungan paksa pada orang lain, dapat diperparah dalam konteks
deprivasi ganda. Berbagai jenis kerugian dapat digabungkan untuk mengecualikan
orang tua di lingkungan yang dirampas, termasuk mengandalkan pendapatan dari
tunjangan negara dan terkena tingkat kejahatan yang lebih tinggi, polusi udara (terkait

18
dengan lebih sedikit ruang hijau), dan lingkungan perumahan yang rawan kecelakaan.
Namun, meskipun kondisi hidup yang buruk, beberapa orang tua mungkin telah tinggal
di daerah ini untuk seumur hidup dan mungkin memegang akal keterikatan dengan
lingkungan mereka (Kearns & Parkes, 2003). Meskipun kondisi sosial dan lingkungan
terbatas di tempat-tempat ini, persentase orang tua di Inggris akan menghabiskan sisa
hidup mereka di tempat-tempat ini. Pertanyaan yang diajukan adalah bagaimana
membuat lebih banyak lingkungan yang mendukung untuk mendorong tingkat
mobilitas yang lebih tinggi dan membantu orang melakukan aktivitas sehari-hari dan
proyek. Penelitian telah mengungkapkan beberapa faktor lingkungan utama yang dapat
digunakan untuk meningkatkan situasi kemandirian untuk populasi yang lebih tua
(misalnya, Lord, Després, & Ramadier, 2011;). Paparan terhadap ruang terbuka dan
hijau telah terkait dengan peningkatan jaringan sosial, peningkatan aktivitas fisik,
peningkatan kapasitas untuk menghadapi kehidupan utama peristiwa seperti
kemiskinan, dan pemulihan sumber daya perhatian yang habis dalam kondisi stres yang
ekstrim (yaitu, untuk mencapai restoratif): semua faktor umum yang relevan untuk
orang yang tinggal di lingkungan perkotaan yang kekurangan.

● Kota
Dinamika “desegregasi dan re-segregasi” (Dixon, Durrheim, & Tredoux, 2011,
hlm. 239) di perumahan dan ruang kota mengambil bentuk yang berbeda. Menurut
Dixon, et al., (2008), segregasi adalah bagian dari sistem sosial, yang mencakup skala
analisis mikro-ekologis dan karenanya perlu dianalisis menurut skala yang berbeda. Di
sini fokusnya adalah mengungkap beberapa fitur fisik yang digambarkan dalam
penelitian segregasi yang mampu kesempatan untuk meningkatkan hubungan sosial
yang berkelanjutan dan bertujuan untuk mengurangi diskriminasi dan ketidaksetaraan.
Berdasarkan karyanya di Afrika Selatan pasca-apartheid, Dixon, Durrheim, dan
Tredoux (2011) mengamati bahwa perkotaan desain yang tercermin dalam pengaturan
ruang sosial yang berbeda dapat mendorong atau membatasi integrasi sosial. Di dalam
artinya, psikologi lingkungan memiliki peran mendasar untuk membantu mengatasi
segregasi rasial karena dapat mengidentifikasi hubungan orang-lingkungan dan ciri-ciri

19
lingkungan yang dapat mendorong integrasi sosial rasial. Itu analisis persepsi dan
evaluasi orang biasa dan pola kontak sosial dan isolasi sehari-hari sangatlah penting
untuk memahami perbedaan makna desegregasi dalam konteks sehari-hari, seperti
pinggiran kota (Cape Town dalam penelitian Dixon et al.), area tempat duduk umum,
ruang rekreasi, bar, klub, kafetaria, dan sebagainya. Proses segregasi telah dipelajari
dalam kaitannya dengan pengaturan perumahan dan perkotaan. Pengaturan sehari-hari
dan kegiatan telah diteliti untuk memahami "realitas hidup kontak dan pemisahan"
(Clack, Dixon, & Tredoux, 2005, hal. 13). Misalnya, Clack, Dixon, dan Tredoux (2005)
telah menyelidiki segregasi dalam kaitannya dengan proses mikro-ekologinya dengan
mengamati pola-pola spasial sosial tempat duduk di kantin antar universitas mahasiswa
dari sebuah universitas di barat laut Inggris. Hasil penelitian menunjukkan bahwa
segregasi terungkap dalam sosial-organisasi spasial kegiatan duniawi, seperti tempat
duduk dan makan. Para penulis menemukan bahwa sebagian besar individu dari
keturunan kulit putih dan Asia duduk dalam kesatuan dengan anggota kelompok etnis
mereka sendiri. Kedua kelompok ini juga ditemukan di disproporsi di berbagai area di
kafetaria. Salah satu kesimpulan dari penelitian ini adalah bahwa meskipun kantin
melayani klien yang beragam, konteks sehari-harinya ditandai dengan segregasi,
seperti konvergensi kelompok dalam a area khusus kantin. Aspek penting dari (hal.
239) penelitian ini adalah fokus pada mikro-ekologi proses dan pemahaman bahwa
segregasi terjadi dalam pengaturan di mana kedekatan dan co-presence adalah
diharapkan dan di mana hubungan informal berlangsung.
D. Branding dan Reputasi
Sistem ekologi perumahan yang kompleks berdasarkan transaksi penduduk dengan
tempat tinggal mereka sendiri ditandai oleh: (a) persepsi dan evaluasi yang dapat atau tidak
dapat mengarah pada kepuasan dan keterikatan; (b) penggunaan dan aktivitas yang dapat
atau tidak dapat mengarah pada kesehatan dan kesejahteraan; (c) pola kemungkinan faktor
risiko yang dapat menyebabkan segregasi perkotaan (bukan agregasi) jika tidak dikelola
dengan baik pada tingkat yang berbeda (Bonaiuto & Alves, 2012). Kompleksitas sistem
ekologi perumahan beserta hasilnya dapat berkontribusi pada beragam informasi dan
karakterisasi data. Artinya, ada sistem kepercayaan tentang tempat tinggal yang didasarkan
pada pengalaman langsung dan tidak langsung (Bonaiuto & Alves, 2012). Pengalaman

20
tidak langsung berarti bentuk transaksi yang dimediasikan oleh agen sosial lain seperti
orang, massa, atau media baru. Begitu sistem kepercayaan yang kompleks seperti itu ada,
maka sistem tersebut berfungsi sebagai dasar untuk mengembangkan ekspektasi pada masa
depan transaksi antara orang tersebut dan tempat tinggalnya. Ekspektasi tersebut dapat
berkembang menjadi dasar yang mempengaruhi transaksi antara orang-orang dan
lingkungan tempat tinggal mereka. Seperangkat keyakinan dan ekspektasi—berdasarkan
pengalaman langsung dan tidak langsung—tentang transaksi manusia-lingkungan, dapat
didefinisikan sebagai branding tempat dan reputasi (Bonaiuto & Alves, 2012).
Dalam studi tentang reputasi tempat (vs. citra atau identitas tempat), penekanan
lebih diberikan pada (a) pragmatik priori, yaitu fakta bahwa reputasi tempat terutama
berkembang dari tindakan timbal balik di masa lalu antara orang-orang dan lingkungan;
(b) pragmatik posteriori, yaitu fakta bahwa reputasi tempat terutama mempengaruhi
tindakan timbal balik di masa depan antara orang-orang dan lingkungan; dan (c) dimensi
linguistik dan sosial, yaitu fakta bahwa reputasi tempat berkembang tidak hanya dari
pengalaman langsung (persepsi) tetapi juga dari pengalaman tidak langsung (dimediasi
oleh orang lain dan oleh media, pada dasarnya oleh bahasa) (Bonaiuto & Alves, 2012).
Konsep place branding melibatkan penggunaan tema identitas, citra, dan sense of
place (Kavaratzis & Ashworth, 2008 dalam Bonaiuto & Alves, 2012). Untuk tujuan place
branding, branding perlu dipahami sebagai konstruk multidimensi, yang terdiri dari
elemen fungsional, afektif, relasional, dan strategis yang secara kolektif menghasilkan
seperangkat asosiasi yang unik dengan tempat dalam pikiran publik (Kavaratzis, 2005
dalam Bonaiuto & Alves, 2012). Menurut Klingmann (2007 dalam Bonaiuto & Alves,
2012), branding dapat dilihat dari segi positif dan negatif. Branding menjadi negatif ketika
hanya meniru. Namun, branding dapat dilihat sebagai hal yang positif dan katalis untuk
transformasi budaya dan ekonomi ketika menggabungkan arsitektur, ekonomi, strategi
berkelanjutan, dan QoL dalam upaya untuk membantu orang dan tempat kembali mandiri.
● Pertetanggaan
Parmentier, van Ham, & Bolt (2007 dalam Bonaiuto & Alves, 2012)
menemukan bahwa konsekuensi yang sangat nyata muncul dari reputasi lingkungan
pertetanggaan, seperti harga rumah di pasar, investasi, pariwisata, dan sebagainya; serta
konsekuensi dalam hal perilaku penghuni lingkungan.

21
Tipologi tema pemasaran biasanya digunakan untuk mengubah citra suatu
lingkungan pertetanggaan (Bonaiuto & Alves, 2012). Lingkungan fisik sering
digunakan untuk membangun identitas brand tertentu dari lingkungan perumahan di
perkotaan. Misalnya, upaya branding mencakup fasilitas budaya utama dan kompleks
hiburan, instalasi seni publik, kawasan bersejarah yang direnovasi, dan lingkungan
etnis dilakukan sebagai upaya merevitalisasi citra seluruh kota. Pemasaran dan
branding lingkungan pertetanggaan merupakan bagian dari strategi pemerintah daerah
untuk menghadirkan citra positif terhadap tempat dan lingkungan setempat. Hal ini
dilakukan untuk menarik calon investor, wisatawan, dan penduduk—yakni berbagai
pemangku kepentingan. Sering terjadi bahwa kotamadya terlibat dalam “experience
economy” (Pine & Gilmore 1999 dalam Bonaiuto & Alves, 2012). Kotamadya juga
mencoba untuk "menciptakan pengalaman" dan memberi brand kota dan lingkungan
mereka di pasar real estate yang kompetitif (Bonaiuto & Alves, 2012). Penyajian citra
positif, brand, atau reputasi suatu tempat dapat membawa keuntungan ekonomi tetapi
juga dapat mengalihkan penggunaan barang-barang umum dari kepentingan
masyarakat setempat.
"Pementasan pengalaman" (staging of experiences) dan "ekonomi simbolik"
telah digunakan untuk mendefinisikan manipulasi citra lingkungan pertetanggaan
(Zukin, 1995; Grodach, 2009, dalam Bonaiuto & Alves, 2012). Misalnya, San Lorenzo
quartiere di Roma sedang mencoba untuk muncul sebagai tempat yang lebih menarik,
terutama bagi kaum muda, di mana keberadaan tempat-tempat untuk pergi keluar,
seperti restoran, kafe, dan tempat-tempat rekreasi dapat menjadi cara untuk melupakan
penurunan industrial di distrik tersebut pada masa lampau (Bonaiuto & Alves, 2012).
● Kota
Branding adalah proses holistik yang mempengaruhi persepsi, aktivitas, dan
hubungan orang dengan orang lain sehingga penting untuk dipelajari (Bonaiuto &
Alves, 2012). Landmark dibangun untuk mengkomunikasikan citra kota, terutama
untuk menarik wisatawan dan bisnis (Bonaiuto & Alves, 2012). Namun, sejauh mana
penduduk mengenali dan mengidentifikasi diri mereka dengan citra kota yang
ditransfer diragukan (Bonaiuto & Alves, 2012). Dalam dekade terakhir, subbidang
manajemen tempat dan pemasaran telah muncul dan mengakui kepuasan dengan

22
sebuah tempat sebagai hal yang penting (Bonaiuto & Alves, 2012). Kota dan
kotamadya mencoba menyatukan berbagai citra menjadi pesan tunggal yang koheren
atau sebuah brand. Tujuannya adalah untuk meningkatkan nilai simbolis dan ekonomi
dari ruang perkotaan dan ekonomi mereka (Mommaas, 2002 dalam Bonaiuto & Alves,
2012) dan untuk mempertahankan wisatawan, penduduk, dan bisnis. Beberapa
branding packaging dan branding practice digunakan untuk merevitalisasi citra sebuah
kota.
Penekanan pada kota sebagai tempat untuk bermain atau untuk terlibat dalam
pengalaman unik adalah kecenderungan untuk mengurangi persepsi kota sebagai
tempat kerja (Bonaiuto & Alves, 2012). Banyak kota telah mencoba untuk mengubah
atau mengatasi citra dan persepsi negatif tentang penurunan kota (urban decline) dan
meningkatkan persepsi tentang lingkungan multikultural yang kaya. Penggunaan area
yang kurang dimanfaatkan untuk mempromosikan keragaman kegiatan dan menarik
kelompok orang yang berbeda telah diilustrasikan di Kopenhagen, dengan area pejalan
kaki yang luas dan jalur serta lokasi yang baik untuk bersepeda: kota ini biasanya
dikaitkan dengan transportasi berkelanjutan dan gaya hidup sehat (Gehl & Hook , 2005;
Gehl, 1996 dalam Bonaiuto & Alves, 2012).
Penduduk lokal biasanya merupakan target audiens yang menonjol untuk
membangun branding (Lindstedt, 2011 dalam Bonaiuto & Alves, 2012). Jadi, jenis
gambar yang ditampilkan serta yang tidak ditampilkan dalam kampanye branding
sangat penting bagi perencana dan desainer karena mereka bisa mendapatkan
pengertian bagaimana orang (baik penduduk lokal atau luar) mempersepsikan
lingkungan pertetanggaan, ruang lokal, dan kota mereka. Place branding adalah proses
politik yang dilakukan melalui agenda kebijakan, karena branding juga berarti
mengomunikasikan dan menargetkan citra tempat dalam rangkaian tempat masa lalu,
masa kini, dan masa depan (Bonaiuto & Alves, 2012). Rizzi dan Dioli (2010 dalam
Bonaiuto & Alves, 2012) menunjukkan beberapa bukti dalam mengukur efek
pemasaran tempat. Misalnya, kota-kota Italia seperti Turin dan Genoa telah
meningkatkan daya tarik mereka dan mengubah penampilan mereka dengan
memanfaatkan penyelenggaraan acara dan dengan menciptakan citra baru untuk
berkomunikasi.

23
Salah satu contoh paling terkenal yang diterapkan secara sistematis pada entitas
geografis untuk mengukur branding sebuah kota adalah Anholt-GfK Roper City
Brands Index (CBI) yang diusulkan oleh Anholt dan dikembangkan bersama Growth
for Knowledge (GFK) (Bonaiuto & Alves, 2012). CBI memiliki enam dimensi:
“Presence”, berdasarkan status dan kedudukan internasional kota serta
keakraban/pengetahuan global kota tersebut. Dimensi ini juga mengukur kontribusi
global kota dalam sains, budaya, dan pemerintahan. “Place” mengeksplorasi persepsi
masyarakat tentang aspek fisik setiap kota dalam hal kenyamanan iklim, kebersihan
lingkungan, dan daya tarik bangunan dan taman. “Prerequisites” menentukan
bagaimana orang memandang kualitas dasar kota—apakah memuaskan, terjangkau,
dan akomodatif—serta standar fasilitas umum, seperti sekolah, rumah sakit,
transportasi, dan fasilitas olahraga. “People” mengungkapkan apakah penduduk kota
dianggap hangat dan ramah, apakah responden berpikir akan mudah bagi mereka untuk
menemukan dan menyesuaikan diri dengan komunitas yang berbagi bahasa dan
budaya, dan apakah mereka akan merasa aman. “Pulse” mengukur persepsi bahwa ada
hal-hal menarik untuk mengisi waktu luang dan seberapa menarik kota itu dalam
kaitannya dengan hal-hal baru untuk dijelajahi. “Potential” mengukur persepsi peluang
ekonomi dan pendidikan di dalam kota, seperti betapa mudahnya mencari pekerjaan
dan apakah itu tempat yang baik untuk berbisnis atau melanjutkan pendidikan tinggi.
Sistem ini didasarkan pada 40 item dan panel yang terdiri dari 20.000 orang yang
tinggal di 20 negara berbeda, dan memungkinkan kita untuk menentukan peringkat 50
kota besar utama di dunia, tetapi tampaknya sedikit atau tidak memperhatikan konteks
perkotaan skala kecil.

24
BAB III: PENUTUP
A. Kesimpulan
Bab ini mengusulkan model ekologi, transaksional, dan sistemik umum untuk membingkai
studi tentang semua tempat tinggal, dari ruang pribadi, ke rumah, lingkungan, tempat terbuka, dan
kota, hingga negara. Model ini berfokus pada transaksi antara manusia dengan lingkungan yang
menekankan peran aktivitas melalui realisasi keterjangkauan, pada beberapa tingkat ekologi.
Transaksi ini menghasilkan tingkat kesesuaian atau ketidaksesuaian lingkungan yang berbeda
yang berdampak pada QoL orang tersebut secara umum. Bukti mengenai model transaksi ini tidak
hanya disajikan dengan penekanan preferensial pada lingkungan perumahan, tetapi juga dengan
referensi ke tempat-tempat hunian lain seperti rumah, ruang luar, dan kota. Proses yang dibahas
dalam bab ini menggambarkan komponen model konseptual yang meliputi persepsi, evaluasi, dan
kepuasan dengan ruang pertetanggaan; penggunaan dan kegiatan di tempat tinggal terutama yang
berkaitan dengan kesehatan dan kesejahteraan; segregasi dan agregasi sosial antara individu dan
kelompok; serta branding dan reputasi tempat tinggal. Pemeriksaan topik yang berbeda ini
menggambarkan semakin pentingnya faktor ekologi dalam studi ruang hunian.

25
DAFTAR PUSTAKA

Bonaiuto, M., & Alves, S. (2012). Residential Places and Neighborhoods: Toward Healthy Life,
Social Integration, and Reputable Residence. In S. D. Clayton, The Oxford handbook of
environmental and conservation psychology. Oxford University Press.

26
PENUGASAN MAKALAH
“KEBISINGAN”
Disusun untuk Memenuhi Mata Kuliah Psikologi Lingkungan

Dosen Pengampu:
Muhammad Zulfa Alfaruqy, S.Psi., M.A.

Disusun Oleh :
1. Dyah Putri Amalia (15000119130168)
2. Muhammad Dika Faruq A. (15000119120033)
3. Tazkiyah Aulia (15000119140177)

FAKULTAS PSIKOLOGI
UNIVERSITAS DIPONEGORO
SEMARANG
2022
A. PENDAHULUAN
Kebisingan merupakan semua suara yang tidak diinginkan yang dapat
menimbulkan gangguan pendengaran. Kebisingan juga dapat didefinisikan
sebagai intensitas suara yang keberadaannya tidak dikehendaki dan dapat
menimbulkan risiko kesehatan dan keselamatan kerja bagi pekerja di berbagai
tempat kerja. Kebisingan tidak hanya terjadi di tempat kerja tetapi juga dapat
terjadi dilingkungan rumah. Menurut PERMENAKER No.13/MEN/X/TAHUN
2011 tentang Nilai Ambang Batas (NAB) faktor fisika dan kimia di tempat kerja,
di dalamnya ditetapkan NAB kebisingan sebesar 85 dBA sebagai intensitas
tertinggi dan merupakan nilai yang masih dapat diterima oleh pekerja tanpa
mengakibatkan penyakit atau gangguan kesehatan dalam pekerjaan sehari-hari
untuk waktu tidak melebihi 8 jam sehari atau 40 jam seminggu.
Sumber kebisingan pada lingkungan pekerjaan bisa disebabkan oleh
suara alat kerja seperti mesin yang digunakan dalam proses produksi, keyboard
komputer, deringan telpon, suara musik, penggunaan alat berat dan transportasi
tempat kerja. Sedangkan sumber kebisingan dalam lingkungan rumah dapat
dibagi menjadi dua sumber yaitu ;
1. Bising interior merupakan sumber bising yang paling sering dibuat oleh
manusia disebabkan oleh suara radio, televisi, alat musik, pintu, suara
pembicaraan yang keras, lalu lintas di tangga, suara anak-anak yang
sedang bermain, suara bayi menangis dan suara lainnya.yang berasal dari
suara manusia.
2. Kebisingan di luar rumah dapat berasal dari suara lalu lintas transportasi
(mobil,truk, sepeda motor), industri, alat-alat mekanis seperti suara
pembangunan gedung, perbaikan jalan, kegiatan olahraga, suara orang
yang berkerumun, suara alat transportasi udara (pesawat, helikopter),
suara hewan peliharaan, suara anak-anak yang sedang bermain, suara
orang yang berjualan dan suara bising lainnya yang bersumber di luar
rumah.
Kebisingan memiliki dampak yang cukup serius bagi kesehatan fisik dan
psikologis seseorang, hal ini menyebabkan berbagai dampak jangka panjang
baik dampak fisiologis maupun psikologis pada manusia, seperti gangguan
pendengaran ,penyakit jantung, tekanan darah, masalah pada pendengaran,
pusing,dan sakit kepala. Permasalahan secara psikologis berupa ketidakpuasan
dalam bekerja, kesulitan dalam berkomunikasi, serta gangguan tidur, stress,
gangguan pada mood, kecemasan, perasaan muak, dan emosi yang tidak stabil.

B. POKOK-POKOK MATERI
1. Konsep Kebisingan
Kebisingan diartikan sebagai suara yang sejatinya tidak
diinginkan karena dianggap mengganggu aktivitas dan proses
komunikasi, sehingga disebut sebagai stressor lingkungan. Konsep
kebisingan melibatkan komponen psikologis (tidak diinginkan) dan
komponen fisik (yang diterima telinga dan diubah oleh saraf auditori ke
lobus temporal otak) (Bell, Greene, Fisher, & Baum, 1996). Kebisingan
bisa berasal dari transportasi, konstruksi industri, dan aktivitas saat
sedang bersantai. Daerah pedesaan memiliki peluang terhadap ancaman
kebisingan dan pertumbuhan populasi serta daerah industri di beberapa
belahan dunia diiringi dengan adanya tingkat kebisingan yang jauh lebih
tinggi.

2. Dampak Kebisingan terhadap Perilaku & Kesehatan


Paparan kebisingan dapat memberikan dampak terhadap perilaku
dan kesehatan individu. Paparan kebisingan secara terus-menerus lebih
merusak dan berbahaya bagi kesehatan jika dibandingkan dengan
kebisingan singkat karena dapat menyebabkan stress kronis yang
merupakan respons tubuh sebagai kegagalan dari proses adaptasi (Bell et
al., 1996). Bunyi suara pesawat, kebisingan lalu lintas, industri, serta
perumahan menjadi penyebab gangguan tidur dan rasa kesal. Terdapat
bukti hubungan antara paparan kebisingan pesawat dan lalu lintas dengan
gangguan tidur dan rasa kesal (Schultz, 1978; Miedema et al., 2003).
Terdapat pula bukti antara meningkatnya tekanan darah dan hipertensi
dengan kebisingan pesawat dan lalu lintas (Jarup et al., 2008; van
Kempen et al., 2002; Babisch, 2006) dan peluang kecil untuk serangan
jantung (Babisch et al., 2005). Dalam studi lapangan, kebisingan menjadi
stressor yang meningkatkan kadar kortisol dalam tubuh (Babisch et al.,
2001; Selander et al., 2009). Lebih lanjutnya, terdapat pula bukti bahwa
kebisingan yang berasal dari pesawat dan lalu lintas berdampak pada
ingatan membaca memori jangka panjang anak (Stansfeld et al., 2005;
Clark et al., 2006; Hygge et al., 2002).
Paparan kebisingan dari industri dengan kadar tinggi dapat
meningkatkan nausea, sakit kepala, rasa amarah dan mudah tersinggung,
perubahan mood, kecemasan, dan impotensi seksual (Melamed et al.,
1988). Tingginya tingkat keabsenan yang disebabkan oleh sakit
(Cameron, Zaks, & Robertson, 1972), konflik sosial di tempat kerja dan
rumah (Jansen, 1961), dan surat-surat izin keabsenan (Cohen, 1976)
lebih sering ditemukan di tempat industri yang jauh lebih bising
dibandingkan dengan tempat industri yang tidak bising.
Pekerjaan yang berkutat dengan daerah bising menjadi kurang
menyenangkan dan lebih sulit untuk dilakukan yang akhirnya
menyebabkan individu yang memiliki permasalahan kesehatan terhambat
dalam menyelesaikan pekerjaannya dengan baik. Begitu pula sebaliknya,
karena pekerjaan yang melibatkan kebisingan cukup berbahaya, individu
yang bekerja dituntut untuk lebih kuat dan resilien serta tidak mudah
terganggu oleh kebisingan. Contohnya adalah mayoritas laki-laki yang
bekerja di bagian penyimpanan barang pesawat di bawah kondisi bising
(Davis, 1958). Studi lain juga menunjukkan peningkatan simptom
terhadap kondisi bising ditemukan pada individu yang mudah merasa
kesal (Melamed, Luz, & Green, 1992).

3. Paparan Kebisingan & Kesehatan Mental pada Anak


Anak-anak biasanya lebih rentan terdampak kebisingan serta
memengaruhi kondisi kesehatan dan kognisinya karena mereka belum
memiliki kemampuan untuk mengantisipasi atau coping terhadap sumber
stressor. Kebisingan lingkungan juga memberikan dampak yang lebih
besar bagi anak-anak karena saat itu merupakan waktu pertumbuhan dan
pembelajaran yang bisa saja terganggu oleh stressor tersebut.
Poustka, Eckermann, dan Schmeck (1992) mempelajari ilmu
psikiatrik dan psikosomatis pada 1.636 anak berusia antara 4 sampai
dengan 16 tahun dalam geografis yang berbeda dikelompokkan oleh
kebisingan yang berasal dari pesawat tempur dengan ketinggian rendah.
Hasil tersebut melihat adanya kondisi subklinis depresi dan kecemasan,
walaupun tidak ada perbedaan status sosioekonomi pada area tersebut.
Akan tetapi, pada penelitian yang melakukan penyesuaian faktor
sosioekonomi yang dilakukan di The Schools Health & Environment
Studi di sekitar bandara Heathrow (Haines et al., 2001) tidak ditemukan
adanya relasi antara kebisingan pesawat dengan kecemasan atau depresi.
Studi lain yang berkaitan dengan kesehatan anak-anak di sekitar
bandara Heathrow (The West London Schools Study) (Haines et al.,
2001) menemukan adanya hubungan antara paparan kebisingan pesawat
dengan meningkatnya skor hiperaktivitas yang diukur oleh the Strengths
and Difficulties Questionnaire (SDQ, Goodman, 1997). Anak dengan
attention-deficit hyperactivity disorder (ADHD) sangat mudah
terdistraksi, sehingga dengan jangka atensi yang pendek, atensi mereka
akan lebih terganggu dengan stimulus eksternal seperti suara pesawat.
Merupakan hal biasa ketika anak dengan ADHD terdistraksi oleh suara
yang muncul (Gray, Breier, Foorman, & Fletcher, 2002) dan suara bising
dari pesawat semakin memperburuk kesulitan yang anak dengan ADHD
alami. Dengan begitu, bukan berarti suara pesawat menyebabkan
hiperaktivitas, melainkan membuat kecenderungan hiperaktivitas
tersebut semakin parah.
Munich Study juga dilakukan dengan berfokus pada anak-anak
yang hidup di daerah yang terpapar dan tidak terpapar suara bising
pesawat. Hasil studi menunjukkan bahwa anak-anak yang hidup di
daerah yang terpapar suara bising pesawat memiliki tingkat
kesejahteraan psikologis yang jauh lebih rendah jika dibandingkan
dengan anak-anak yang hidup di daerah yang jauh lebih tenang (Evans,
Hygge, & Bullinger, 1995).
Studi longitudinal dari Munich selanjutnya menunjukkan adanya
penurunan jumlah kualitas hidup yang dilaporkan secara mandiri oleh
komunitas baru yang terpapar kebisingan setelah diadakannya peresmian
bandara baru setelah terpapar suara bising pesawat selama 18 bulan jika
dibandingkan dengan sampel kontrol (Evans, Bullinger, & Hygge, 1998).
Akan tetapi, kebisingan bisa menumbuhkan permasalahan baru
pada anak-anak yang sebelumnya sudah memiliki permasalahan
kesehatan mental. Bagaimanapun juga, bukti bahwa kebisingan
lingkungan memengaruhi kesehatan mental anak masih lemah dan tidak
konsisten, meskipun bukti tersebut dapat lebih dipercaya bagi kondisi
yang jauh lebih ringan seperti menurunnya tingkat kesejahteraan. Studi
baru-baru ini juga menunjukkan bahwa kebisingan tidak menyebabkan
gangguan psikiatris pada anak-anak, namun mungkin memengaruhi
kesejahteraan mereka.

4. Paparan Kebisingan & Kualitas Hidup


Kebisingan memang memberi dampak bagi fisik maupun
psikologis tetapi tampaknya tidak terkait dengan gangguan kejiwaan
yang parah. Paparan kebisingan dapat dikaitkan dengan kondisi yang
lebih ringan, seperti yang diukur dengan skala kesejahteraan yang
ditemukan pada anak-anak dalam Studi Munich. Kesejahteraan
psikososial telah terbukti berkurang di area yang terpapar kebisingan lalu
lintas tinggi, tetapi hasilnya belum terlalu konsisten. Penurunan
kesejahteraan dapat dimediasi melalui gangguan tidur yang telah
dikaitkan dengan efek samping pada suasana hati, waktu reaksi dan
kinerja kognitif (Öhrström, 1989, 1993). Asosiasi terbalik antara
gangguan kebisingan lalu lintas jalan dan kualitas hidup, termasuk skala
kesehatan mental umum SF-36 telah ditemukan dalam studi besar di
Swiss (Dratva et al., 2010).
Bukti lebih lanjut untuk mendukung ini berasal dari temuan
hubungan nonlinier antara paparan kebisingan dengan skala kesehatan
mental umum SF-12 pada penduduk yang tinggal di sekitar bandara
Frankfurt (Schreckenberg et al., 2010). Skor yang lebih rendah pada
skala kesehatan mental umum dari SF-36 dikaitkan dengan paparan
kebisingan pesawat dalam studi penduduk di sekitar bandara Sydney
(Black, Black, Issarayangyun, & Samuels, 2007).
Hasil ini tampaknya menunjukkan hubungan antara kesejahteraan
dan gangguan kebisingan dan mungkin paparan kebisingan tetapi sulit
untuk memastikan dalam studi ini apakah perancu telah sepenuhnya
diperhitungkan. Selain itu, sudah terdapat banyak penelitian terdahulu
yang mampu memberikan gambaran antara keterkaitan paparan
kebisingan dengan kualitas hidup atau kesejahteraan psikologis.
Meskipun demikian, penelitian yang sudah ada masih dirasa
kurang karena sulit untuk memastikan arah dari penyebab dan juga
memastikan tidak adanya pengaruh dari stressor lain.

5. Sensitivitas Kebisingan dan Kerentanan terhadap Gangguan


Kejiwaan
Sensitivitas kebisingan, berdasarkan sikap terhadap kebisingan
secara umum (Anderson, 1971; Stansfeld, 1992), adalah variabel
interfensi yang menjelaskan keberagaman antara paparan kebisingan dan
respons gangguan individu (Griffiths & Langdon, 1968; Weinstein, 1978;
Fields, 1984). Individu yang peka terhadap kebisingan juga cenderung
peka terhadap aspek lain dari lingkungan (Broadbent, 1972; Weinstein,
1978; Thomas & Jones, 1982; Stansfeld, Clark, Jenkins, & Tarnopolsky,
1985). Hal ini menimbulkan pertanyaan apakah individu yang peka
terhadap kebisingan hanyalah mereka yang yang lebih banyak mengeluh
tentang lingkungan mereka. Pernyataan lain mengungkapkan bahwa
terdapat hubungan antara sensitivitas kebisingan dan neurotisisme
(Thomas & Jones, 1982; hrström, Bjorkman, & Rylander, 1988;
Jelinkova, 1998; Belojevic & Jakovljevic, 1997; Smith, 2003), meskipun
belum ditemukan di semua penelitian (Broadbent, 1972).
Dalam analisis subset wanita yang peka terhadap kebisingan,
dibandingkan dengan wanita yang kurang peka terhadap kebisingan pada
survei di London Barat, paparan kebisingan pesawat tidak memprediksi
gangguan kejiwaan pada wanita sensitif (Stansfeld et al., 1985). Analisis
selanjutnya mengemukakan hubungan yang signifikan secara statistik
antara paparan kebisingan lalu lintas jalan dan tekanan psikologis, diukur
dengan Kuesioner Kesehatan Umum, ditemukan pada pria yang peka
terhadap kebisingan tetapi tidak pada pria dengan kebisingan rendah
sensitivitas (Stansfeld, Matsui, Gallacher, & Babisch, 2002). Dalam
analisis aslinya, setelah disesuaikan dengan sifat kecemasan sebagai
dasar, efek sensitivitas kebisingan tidak lagi signifikan secara statistik,
hal ini menunjukkan bahwa sebagian besar hubungan antara sensitivitas
kebisingan dan tekanan psikologis dapat dijelaskan oleh perancu
hubungannya, yaitu sifat kecemasan. Sudah menjadi pemahaman
bersama bahwa orang yang cemas secara konstitusional mungkin lebih
sadar akan aspek-aspek yang mengancam dari lingkungan mereka dan
lebih rentan terhadap gangguan kejiwaan di masa depan.
Sebuah studi komunitas di Inggris meneliti hubungan antara
paparan kebisingan, sensitivitas kebisingan, gejala subjektif, dan
gangguan tidur dalam sampel acak dari 543 orang dewasa (Smith,
Hayward, & Rich, 2000). Paparan kebisingan sangatlah terkait dengan
kesehatan individu secara subjektif, tetapi hubungan ini menjadi tidak
signifikan setelah hasilnya disesuaikan lagi dengan faktor lain, yakni
afektivitas negatif. Dengan cara yang sama, penyesuaian untuk
afektivitas negatif menghilangkan hubungan antara kebisingan
sensitivitas dan kesehatan subjektif. Afektivitas negatif sangat terkait
dengan neurotisisme dan kemungkinan besar keduanya memiliki sifat
dasar yang sama. Dengan demikian, disarankan bahwa sensitivitas
kebisingan hanyalah ukuran proksi dari afektivitas negatif atau
neurotisisme.
C. KESIMPULAN
Kebisingan merupakan semua suara yang tidak diinginkan yang dapat
menimbulkan gangguan pendengaran. Paparan kebisingan dapat memberikan
dampak terhadap perilaku dan kesehatan individu. Bukti efek kebisingan
lingkungan pada kesehatan yang paling kuat adalah gangguan, tidur, hipertensi,
dan efek pada kinerja kognitif pada anak-anak (Stansfeld, Haines, & Brown,
2000; Babisch, 2006). Efek dari kebisingan lebih tepat dikaitkan dengan kualitas
hidup daripada gangguan kejiwaan. Meskipun sudah terdapat beberapa
penelitian yang meneliti seputar pengaruh dari paparan kebisingan, penelitian
lanjutan perlu untuk ditingkatkan karena masih terdapat beberapa efek bias dan
kerancuan pada penelitian yang sudah ada.

REFERENSI

Clayton, S. D. (2012). The Oxford handbook of environmental and conservation


psychology. Oxford: Oxford University Press.

Darlani, D., & Sugiharto, S. (2017). Kebisingan Dan Gangguan Psikologis Pekerja
Weaving Loom Dan Inspection Pt. Primatexco Indonesia. JHE (Journal of
Health Education), 2(2), 130-137.

Sari, M., Mahyuddin, M., Simarmata, M. M., Susilawaty, A., Wati, C., Munthe, S. A., &
Hulu, V. T. (2020). Kesehatan lingkungan perumahan. Yayasan Kita Menulis.

Sumardiyono, S., Wijayanti, R., Hartono, H., & Budiastuti, M. T. S. (2020). Pengaruh
Kebisingan terhadap Tekanan Darah, dengan Stres Kerja sebagai Variabel
Mediator. Jurnal Kesehatan Vokasional, 5(2), 124-131.
PERUBAHAN IKLIM DAN TEMPERATUR
Disusun Guna Memenuhi Tugas Mata Kuliah Psikologi Lingkungan

Dosen Pengampu :
Muhammad Zulfa Alfaruqy, S.Psi., M.A.

Penyusun :
Alya Zhafirah Fauziyyah 15000119140208
Mia Nur Khalisa 15000119120023
Sylvester Tio Prambudi 15000119130125

FAKULTAS PSIKOLOGI
UNIVERSITAS DIPONEGORO
2022
A. Pendahuluan
Manusia hidup berdampingan dengan alam. Manusia mengambil banyak
keperluan hidup juga dari alam. Tanpa alam manusia mungkin tidak bisa bertahan
hidup. Lingkungan yang sehat dan kondusif tentunya membawa keuntungan tersendiri
bagi manusia yang tinggal di dalamnya. Sebaliknya, lingkungan yang tidak sehat dan
tidak kondusif dapat menghambat bahkan mengganggu aktivitas manusia sehari-hari,
misalnya saja ketika hendak menjemur pakaian, tiba-tiba cuaca tampak mendung
pertanda akan hujan, sehingga yang seharusnya bisa menjemur pakaian karena
terkendala cuaca tidak dapat melakukannya.
Menurut Kementerian Lingkungan Hidup perubahan iklim adalah sebuah
perubahan yang signifikan terjadi pada suhu, udara dan curah hujan yang terjadi
karena meningkatnya konsentrasi gas karbon dioksida dan gas-gas lainnya di atmosfer
yang menyebabkan efek rumah kaca. Sedangkan perubahan temperatur secara
sederhana dapat dipahami sebagai perubahan suhu pada satu waktu tertentu, yang
dipengaruhi oleh lokasi geografis dan perubahan iklim secara luas.
Oleh karena itu, penulis berusaha memaparkan materi terkait perubahan iklim
dan temperatur dalam kaitannya dengan ilmu psikologi, khususnya terkait sikap dan
perilaku pada manusia yang ditimbulkan akibat dari perubahan iklim dan temperatur.

B. Pokok-pokok materi
1. Pengertian Perubahan Iklim
Secara umum perubahan iklim bermakna perubahan rata-rata keadaan
atmosfer pada satuan waktu tertentu. Perubahan iklim mencakup perubahan suhu,
curah hujan, angin, kelembaban, dan banyak aspek lagi. Perubahan iklim juga
dapat menyebabkan bencana alam tertentu, misalnya akibat curah hujan yang
tinggi dalam kurun waktu singkat di satu tempat, maka bisa menimbulkan banjir
atau tanah longsor.
Dilansir dari Perserikatan Bangsa-Bangsa merumuskan pengertian
perubahan iklim sebagai perubahan pada iklim baik secara tidak langsung
maupun langsung oleh aktivitas manusia sehingga mengubah susunan komposisi
atmosfer global dan variabilitas iklim alami pada periode waktu yang dapat
diperbandingkan. Komposisi atmosfer yang dimaksud adalah komposisi gas
rumah kaca, yaitu karbondioksida, nitrogen, metana, ozon, hidrogen, dan lain
sebagainya.
2. Penyebab dan Mekanisme Perubahan Iklim Global
Banyak penelitian tentang keyakinan perubahan iklim global yang
telah difokuskan pada atribusi individu dari penyebab (yaitu manusia vs alam),
dan pemahaman tentang mekanisme fisik yang bertanggung jawab atas
fenomena tersebut misalnya, emisi gas rumah kaca. Penelitian yang lebih baru
berfokus terutama pada keyakinan tentang apakah perubahan iklim global
disebabkan oleh tindakan manusia atau secara alami terjadi perubahan sistem
iklim. Sayangnya, karena penggunaan item dengan kata yang berbeda di
berbagai jajak pendapat dan penelitian, sulit untuk mendapatkan pemahaman
yang jelas tentang kepercayaan orang pada aspek khusus ini. Misalnya, Gallup
(Newport, 2010) melaporkan bahwa dari tahun 2003 hingga 2010 persentase
orang Amerika yang percaya bahwa perubahan iklim global (GCC) adalah
akibat dari “aktivitas manusia” turun dari 61% menjadi 50%, sementara
mereka yang percaya bahwa itu terjadi secara alami naik dari 33% menjadi
46%. Namun data dari Pew (2010) menunjukan bahwa pada 2010, hanya 34%
orang Amerika percaya GCC disebabkan oleh perilaku manusia dan sekitar
20% percaya itu karena “pola alami”.
Melihat lebih dekat pada pengetahuan faktual masyarakat tentang
penyebab perubahan iklim global, temuan terbaru menunjukkan bahwa
sementara banyak orang Amerika sekarang mengetahui sesuatu tentang
mekanisme kausal tertentu yang bertanggung jawab atas perubahan iklim
global (misalnya, emisi CO2 dari mobil, pembangkit listrik, dan sumber
lainnya; deforestasi), kesalahpahaman mengenai penyebab lain yang dirasakan
dari perubahan iklim global masih ada, (misalnya, banyak orang terus percaya
bahwa CFC dari aerosol (Leiserowitz & Smith, 2010). Menariknya, keyakinan
keliru tentang berbagai penyebab perubahan iklim global ini setidaknya sama
kuatnya jika tidak lebih kuat di antara individu yang sangat yakin bahwa
perubahan iklim global sedang terjadi dan merupakan masalah (Leiserowitz &
Smith, 2010). Secara keseluruhan, temuan ini menunjukkan bahwa keyakinan
banyak orang Amerika tentang etiologi perubahan iklim global tetap secara
signifikan tidak sejalan dengan konsensus ilmiah tentang masalah ini,
meskipun ini mungkin membaik.
3. Dampak Perubahan Iklim
Dampak terhadap bumi itu sendiri meliputi panas dan kekeringan di
beberapa wilayah di dunia, dan mencairnya lapisan es, mengikis garis pantai,
dan meningkatnya curah hujan di tempat lain. Perubahan geofisika ini pada
gilirannya berdampak pada populasi hewan dan habitat serta migrasinya, serta
mengarah pada kemungkinan peningkatan perlakuan buruk terhadap hewan
dan kesejahteraan hewan misalnya, peningkatan peternakan untuk produksi
pangan (Dawkins & Bonney, 2008). Bagi manusia, perubahan iklim ini yang
mendorong perubahan ekologi dapat memiliki implikasi kesehatan yang cukup
besar. Dampak fisik termasuk penurunan akses ke sumber daya penting seperti
makanan, udara bersih, air bersih, dan sumber energi, pergerakan dan migrasi,
perubahan ekonomi dan pekerjaan, peningkatan penyakit, kerugian pribadi,
dan penurunan kesuburan atau harapan hidup.
Perubahan iklim jangka panjang mungkin lebih luas di ruang dan
waktu geografis misalnya, penyebaran penyakit dan dapat mengakibatkan
kronis. Yang pertama telah diperiksa dalam sejumlah literatur baik di dalam
maupun di luar psikologi yang membahas dampak manusia dari bencana alam
dan skala besar serta teknik koping adaptif. Ini termasuk perkembangan fobia,
gangguan kecemasan sosial, gangguan stres pasca-trauma, dan depresi
(Hussain, Weisaeth, & Heir, 2011). Yang terakhir, kurang dipelajari dalam
kaitannya langsung dengan perubahan iklim, karena dampak perubahan iklim
jangka panjang baru-baru ini dibahas dalam literatur psikologis. Dampak
psikologis dari perubahan iklim mungkin sangat terkait dengan penilaian
tingkat keparahan dan risiko yang ditimbulkan oleh perubahan iklim (Doherty
& Clayton, 2011; Reser & Swim, 2011). Bagi banyak orang yang tinggal di
sebagian besar belahan bumi utara dan bekerja di kawasan industri, perubahan
iklim dapat dilihat sebagai masalah abstrak yang tidak langsung berdampak
pada mata pencaharian atau kesejahteraan mereka, dan satu-satunya hubungan
mereka dengan perubahan iklim adalah melalui media atau diskusi. Penilaian
perubahan iklim juga dapat berfungsi sebagai strategi penanggulangan untuk
mengurangi efek negatif dari stresor perubahan iklim. Sejauh mana perubahan
iklim dipandang sebagai kekuatan yang luar biasa dan tidak dapat diubah,
dibandingkan dengan satu dengan solusi manusia atau bahkan tidak sebagai
masalah sama sekali, kemungkinan akan mengubah tingkat dampak
psikologis.

C. Kesimpulan
Iklim senantiasa berubah seiring waktu, dan seringkali iklim berubah dalam
waktu yang relatif singkat, atau ada pula iklim yang bertahan selama jangka waktu
lama. Namun di masa sekarang, memantau perubahan iklim tidaklah sulit. Melalui
teknologi terkini, manusia sudah mampu memprediksi perubahan iklim yang akan
terjadi pada selang waktu tertentu, misalnya terkait prediksi hujan, arah angin, dan
juga suhu.
Maka oleh karena itu, sebelum beraktivitas ataupun membuat suatu rencana,
hendaknya perubahan iklim juga diperhatikan dengan melihat perkembangan iklim
terkini melalui prediksi iklim yang telah dibuat, sehingga suatu kegiatan atau rencana
dapat berjalan lancar tanpa harus terkendala cuaca yang berubah-ubah. Dengan
demikian mampu mengurangi dampak psikologis yang muncul akibat perubahan
iklim mendadak.
D. Referensi
http://ditjenppi.menlhk.go.id/kcpi/index.php/info-iklim/perubahan-iklim
Sumampouw, Jufri O. 2019. Perubahan Iklim dan Kesehatan Masyarakat. Penerbit
Deepublish. Sleman.

Anda mungkin juga menyukai