CROWDING
Diajukan untuk memenuhi salah tugas mata kuliah “Psikologi Arsitektur dan Lingkungan”
OLEH :
DEPARTEMEN ARSITEKTUR
FAKULTAS TEKNIK UNIVERSITAS HASANUDDIN
2022
BAB I
PENDAHULUAN
A. Rumusan Masalah
B. Tujuan
A. What is Crowding
a. Some Distinction
Crowding versus Density versus Perceived Density.
Crowding atau yang dikenal dengan istilah keramaian / kerumunan diartikan
sebagai sekumpulan individu yang bersifat tidak teratur dan terjadi secara
spontan. Kerumunan termasuk dalam kelompok sosial sementara, tidak
terorganisir dan tidak memiliki pembagian kerja di antara anggotanya.
Crowding merujuk kepada pengalaman yang kita alami berdasarkan jumlah
individu yang berada disekitar kita. Crowding tidak diukur berdasarkan angka
atau rasio melainkan sebuah persepsi atau perasaan setiap indvidu bahwa
terlalu banyak orang lain disekitar. Crowding dipengaruhi oleh beberapa
faktor, diaintara adalah karakteristik individu dan kondisi sosial.
Density atau kepadatan merupakan ukuran angka individu perunit area yang
dapat dikalkulasi untuk berbagai area diseluruh bumi ( terdapat sekitar tiga
puluh penduduk per kilometer persegi atau delapan puluh permili persegi dari
daratan diseluruh dunia ) untuk sebuah negara ( Jepang memiliki sekitar 300
orang per kilometer persegi, dibandingkan dengan 325 orang untuk Inggris, 28
untuk Amerika, 3 untuk Kanada dan 2,5 untuk Australia ), untuk kota ( dari
40.000 penduduk perkilometer persegi utnuk bagian perkotaan Hongkong ke
7.000 di Toronto, 11.000 untuk London, 34.000 di Manhattan, 8.500 di New
York dan hanya 125 untuk Kota metropolitan Los Angeles yangmana
termasuk didalamnya area terbuka yang tersebar dilima kabupaten / kota.
Untuk lingkungan tempat tinggal, untuk bangunan dan rumah dan ditempat
yang lebih kecil dihitung berdasarkan jumlah orang permeter persegi. Density
atau kepadatan adalah sebuah perhitungan objektif individu perunit area.
Perceived Density merujuk kepada estimasi atau perhitungan kepadatan
individu disebuah tempat, akurat atau tidak karena hanya merupakan sebuah
estimasi. Hubungan antara kepadatan yang sesungguhnya dengan kepadatan
yang dirasakan sangat rendah, karena perceived density dipengaruhi oleh
persepsi kepadatan yang dirasakan sedangkan kepadatan yang sesungguhnya
atau actual density merupakan kondisi sesungguhnya dilapangan.
Social Density versus Spatial Density. Jika sebuah studi mempelajari
kerumunan dengan memvariasikan jumlah individu ditempat yang pasti maka
ini disebut investigasi terhadap Social density, namun jika studi dilakukan
dengan memvariasikan ukuran atau jumlah tempat yang tersedia untuk
memastikan jumlah individu maka ini disebut investigasi Spatial density.
Inside Density versus Outside Density. Inside Density adalah rasio individu
terhadap area didalam bangunan sedangkan Outside Density adalaha rasio
individu diluar bangunan. Kontras antara kepadatan didalam dan diluar
bangunan bisa saja memiliki perbedaan dari segi pengalaman dan hasil
( Schmitt, 1957 ; Zlutnick & Altman, 1972 ).
Density versus Proximity. Knowless ( 1983 ) menguji gagasananya mengenai
hubungan antar kerumunan dengan kedekatan. Konsep kedekatan dimodelkan
dengan hukum gravitasi dan merupakan bagian dari pendekatan besar pada
pengaruh sosial yang disebutu teori gravitasi sosial atau teori fisik sosial
( Social-gravity theory or Social-physics theory ). Dari hasil yang ditemukan,
Knowles mengajukan hukum yang lebih umum terhadap interaksi sosial. Efek
dari orang lain terhdap individu akan meningkat dengan peningkatan jumlah
mereka dan akan berkurangg dengan peningkatan jarak yang mereka ciptakan.
B. Influence on Crowding
Psikologi lingkungan menemukan bahwa beragam kondisi dapat
mengarahkan kita untuk merasa ramai atau Crowd sedangkan orang lain tidak
merasakan demikian. Karakteristik individu yang berhubungan dengan rendahnya
toleransi untuk kedekatan dengan orang lain. Namun dalam beberapa kasus, ada
yang merasa ramai pada kondisi tertentu sedangkan orang lain tidak merasakan
hal yang sama.
a. Personal Influence
Personality, Preference and Expecations. Kepribadian, pilihan dan
harapan. Variabel yang paling banyak dipelajari dalam hal iin adalah Locus of
Control atau pengendalian tempat. Kecenderungan individu untuk meyakini
atau tidak meyakini bahwa mereka berlatih mempertimbangkan pengaruh
dalam hidup mereka sendiri. Inividu yang meyakini ( belief ) bisa saja
mengharapkan untuk bisa mengatasi stres syang dihasilkan dari keramaian
atau kerumunan lebih baik dibandingkan dengan mereka yang tidak memiliki
keyakinan ini ( disbelieve ).
Personal control merupakan sebuah komponen penting didalam Crowding
( Schmid & Keating, 1979 ). Individu yang pada umumnya menyukai bersama
dengan orang lain nampaknya akan memiliki toleransi yang lebih tinggi untuk
kondisi padata ( affiliative ) dibandingkan dengan yang tidak terlampau
memiliki toleransi ( not very affiliative ). Tampaknya, high affiliators
menemukan bahwa lebih mudah untuk berdamai dengan kondisi padat ( high
density ) dibanding dengan situasi yang mengharuskan mereka menjadiaa
lebih mandiri ( lower densisty ).
Pada sebuah studi yang lain mengenai tingginya kepadatan pada sebuah
asrama mengungkapkan bahwa, mereka yang bereksppektasi kepadatan tinggi
merasa kurang ramai, mereka yang berekspektasi kepadatan yang lebih tinggi
dibandingkan yang emreka jumpai akan merasa kurang ramai. Contohnya, jika
seseorang berekspektasi bahwa akan ada 10 orang lain yang akan bergaung
didalam satu ruangan, melaporkan bahwa mereka merasa jauh lebih padat
dibandingkan mereka yang berekspektasi hanya akan ada 4 orang yang
bergabung.
Jenis kelamin ( gender ) budaya ( culture ) juga berpengaruh dalam hal
ini, dimana sebuah studi yang membandingkan kerumunan atau keramaian
dari orang Asia dan Mediterania yang tinggal pada asrama yang samaa di
Amerika Utara ( Nasar & Min, 1984 ). Berdasarkan observasi terdahulu oleh
Edward Hall ( 1966 ), Nasar dan Min mengharapkan bahwa jika tempat yang
tersedia sedikit, orang asia akan memilih pembatasan sosial sedangkan orang
Mediterania akan memilih pembatasan fisik. Dengan demikian, Nasar dan Min
memprediksi bahwa orang Mediterania dilaporkan lebih ramai dibandingorang
Asia jika diletakkan pada tempat yang terbatas secara fisik disebuah ruangan
asrama.
Sebuah studi mengenai keramaian / kerumunan penduduk di Chicago,
bagaimanapun menemukan bahwa individu ang dibesarkan didesa akan lebih
reaktif terhadap kerumunan dibandingkan individu yang dibesarkan dikota
( Gove & Hughes, 1983 ).
Sebuah perbandingan disarankan oleh Stokols ( 1978 ) antara Primary
Environments dan Secondary Environment. Primary Environment adalah
mereka yang menghabiskan waktu yang lebih banyak, biasanya sangat
signifikan, contohnya rumah dan kantor. Secondary Environment adalah
mereka yang melibatkan interaksi dengan orang tidak dikenal, biasanya
singkat dan tidak peneting. Contohnya, toko retail, kolam renang umum, dan
kantor pemerintahan.
Jenis kelamin, melalui perbedaan sosial juga mempengaruhi pria dan
wanita untuk bereaksi berbeda terhadap kepadatan yang tinggi. Wanita lebih
sering beranggapan bahwa dalm situasi padat kita dapat berbagi sedangkan
pria kurang bisa berbagi, mungkin karena mereka kurang bisa mengungkapkan
emosi dan perasaan ( Epstein & Karlin, 1975 ). Studi mengenai perbandingan
jenis kelamin pada sebuah asrama yang mana mahasiswaa tinggal bertiga
didalam sebuah ruangan dengan mereka yang tinggal bertiga didalam sebuah
ruangan. ( Aiello, Baum & Gormley, 1981 ) melaporkan bahwa wanita lebih
ramai dibanding laki laki. Alasan utamanya adalah jumlah waktu yang
diihabiskan didalam ruangan. Pria terkadang mengatasi keramaian dengan
meninggalkan ruangan mereka sedangkan wanita lebih banyak menghabiskan
waktu didalam ruangan bersama dengan teman sekamar mereka.
b. Socal Influence
Individu berpengaruh terhadap pengalaman lebih atau kurang ramai pada
beberapa situasi yang diberikan.
1) Kehadiran semu dan perilaku dari orang disekitar.
The presence and behavior of others atau kehadiran orang lain
mempengaruhi performa individu. Bisa saja kehadiran orang lain membuat
performa seseorang meningkat atau bahkan menjadi semakin buruk,
tergantung pada apakaha individu tersebut melakukan yang terbaik untuk
suatu tugas, penghargaan apa yang ia harapkanatau bahkan kemana
perhatian inividdu tersebut apakah fokus kepada dirinya sendiri atau
kepada para hadirin.
Pada sebuah studi laboratorium ( Nicosia, Hyman, Karlin, Epstein &
Aiello, 1979 ), subjjek, respon psikologi, suasana hati, performa dan
toleransi terhadap tingkat frustasi diukur dengan 30 menit paparan pada
kepadatan tinggi yang sangat ekstrimpaparan pada kepadatan tinggi yang
sangat ekstrim ( 4 orang didalam 1 meter persegi ) atau kepadatan renndah
( 4 orang didalam 15 meter persegi ). Pada kondisi kepadatan yang tinggi,
beberapa orang dipisahkan oleh penghalang ( partisi ) antara tubuh untuk
mencegah adanya kontak fisik yang sulit dihindari jika tidak dipisahkan
dengan penghalang / sekat.
Pria menjadi lebih bergairah jika terjadi sentuhan secara langsung
dibandig pria yang tidak mengalami sentuhan. Suasana hati kaum pria
akan menjadi lebih buruk jika bersentuhandengan orang lain tidak dapat
dihindarkan. Tetapi kaum wanita akan beada pada suasana hati yang buruk
jika terdapat penghalang / sekat. Studi menunjukkan bahwa pada kondisi
kepadatan yang tinggi kaum pria lebhi mudah menjadi sres dibanding
kaum wanita.
c. Physical Influence
Pengaruh fisik atau physical influence. Faktor fisik yang berhubungan
dengan Crowding termasuk skala apa yang sedang diinvestigasi ( ruangan,
bangunan, lingkungan, kota ) dan variasi arsitektural ( ketinggian plafon, tata
letak perabot, perletakan jendela, sekat / partisi dan penghalang. Schmidt et
al. Menemukan bahwa Crowding pada skala terkecil ( tempat tinggal )
diprediksi dengan baik oleh faktor fisik dan psikologi, tetapi Crowding pada
skala yang lebih besar diprediksi oleh skala psikologi.
Crowding juga dipengaruhi oleh pengaturan didalam ruangan dan
bangunan. Studi tentang asrama bertingkat tinggi ( high-rise dormitories )
dengan jelas menujukkan bahwa jika desain melibatkan koridor yang panjang
maka penghuni akan mengalami keramaian atau kesesakan yang tinggi
berbanding terbalik dengan yang memiliki koridor yang pendek ( Baum,
Aiello & Calesnick, 1978 ; Baum, Davis & Valins, 1979 ; Baum & Valins,
1977 ). Desain koridor yang panjang juga disertai dengan daya saing yang
baik dan penarikan sosial dan mengurangi kerjasama dan mengurangi
perasaan kontrol diri. Sayangnya, terdapat studi lain yang mengatakan bahwa
Crowding ti berhubungan dengan ketinggian lantai bangunan atau pandangan,
sehingga dibutuhkan lebih banyak penelitian terkait hal ini. ( Nasar & Min,
1980 ).
Aspek – aspek arsitektural lain yang juga mempengaruhi kesesakan atau
keramaian diantaranya ketinggian plafon. Plafon yang lebih tinggi
dihubungkandengan tingkat kesesakan atau keramaian yanglebih rendah
( Savinar, 1975 ). Pada studi penataan perabot yang lain ditemukan bahwa jika
kursi diatur secara sosiofugal maka individu akan cenderung menghindari satu
dengan yang lainnya, ruangan akan menjadi lebih sesak / ramai jika kursi
disusun secara sosiopetal dengan kondisi dimana individu saling berhadapan
satu dengan lainnya. Pengalaman personal / pribadi dengan tingkat kepadatan
yang tinggi bisa saja menurunkan tingkat stres terhadap Crowding pada
lingkungan kedua namun tidak pada lingkungan yang pertama.
b. Performance
Efek dari kepadatan tinggi terhadap performa seorang individu bergantung
pada bersarnya jenis tugas yang dilakukan. Studi terdahulu menemukan
bahwa kepdatan tingi yang sedang berlangsungg tidak mempengaruhi
performa dari tugas yang relatif sederhana dimana seseorang duduk pada
suatu tempat selama beberapa jam bekerja tanpa berinteraksi dengan orang
lain. Kemudian studi berikutnya menemukan bahwa performa dipengaruhi
dalam kondisi yang berbeda. Gary Evans ( 1979a ) memvariasikan kepadatan
spasial berdasarkan 6 faktor( sekitar 1 berbanding 6 meter persegi per orang )
dan meminta individu berpartisipasi pada group beranggotakan 10 orang
untuk mengerjakan tugas yang membutuhkan sedikit informasi, proses dan
pengambilan keputusan. Tugas yang jelas dan sederhana dipresentasikan.
Ditemukan bahwa pada tingkat kepadatan yang tinggi, performa untuk tugas
yang lebih komplek enjadi lebih buruk dibandingkan dengan tugas yang
sederhana. Maka dari itu dapat diketahu bahwa tingkat kepadatan tinggi bisa
saja mempengaruhi tugas yang kompleks atau sulit namun tidak demikian
dengan tugas yang sederhana.
Pada beberapa lingkungan dengan tingkat kepadatan tinggi, performa
tergantung pada interaksi fisik antar individu, baik melalui komunikasi
langsung atau karena mereka harus ebrpindah lingkungan untuk
menyampaikan materi. Ekspektasi atau harapan terhadap sebuah situasi juga
mempengaruhi performa. Individu yang ditempatkan pada tingkat kepadatan
tinggi dan percaya bahwa dirinya tidak akan menampilkan yang terbaik maka
akan tampil tidak baik ( Sckade, 1977 ). Contoh lainnya adalah individu yang
berekspektasi bahwa tingkat kepadatan akan rendah atau tiggi namun
dilapangan dipertemukan dengan kondisi seballiknya maka akan lebih buruk
performanya dibanding dengan individu yang menemukan kondisi
dilapangan sesuai dengan ekspektasi atau harapannya.
c. Social Interaction
Social interaction atau interaksi sosial. Pengaruh kepadatan tinggi
terhadap interaksi sosial tergantung pada beberapa pertimbangan yangmana
bagian terpenting adalahskala ( kepadatan ruang ke kepadatan komunitas ).
Kepadatan tinggi menunjukkkan pengaruhnya terhadap 8 aspek perilaku,
yaitu : daya tarik, agresi, kerja sama, penarikan diri, perilaku nonverbal,
perilaku spasial dan bahkan humor. Ketika kepadatan tinggi tidak dapat
dihindari ( bukan karena keinginan kita atau terjadi disaat yang tidak
diinginkan ), hasil dari sosial interaksinya biasanya bersifat negatif.
Pertimbangan perbedaan antara berada pada sebuah ruangan kecil
menghabiskan waktu selama satu jam lamanya untuk eksperimen
laboratorium dimana Anda setuju untuk berpartisipasi demi mendapatkan
nilai dengan kondisi Anda berada pada sebuah ruangan kecil, bersta dengan
teman-teman, dengan makanan dan musik terbaik.
Baum dan Greenberg ( 1975 ) menunjukkan bahwa antisipasi terhadap
kepadatan tinggi mengarah kepada tidaksukaan terhadap orang lain. Jika
kepadatan tinggi biasanya menciptakan sikap yang buruk terhadap orang lain,
dipresiksi bahwa perilaku antisosial akan mengikut. Individu yang
terpengaruh terhadap kepadatan tinggi sering merespon dengan menarik diri
dari interaksi sosial. Contoh klasik yang dapat ditemui adalaha seorang
pengguna trasnsportasi umum yang sedang asyik membaca surat kabar
disebuah kereta / busway sebagai salah satu cara untuk menghindari kontak
sosial. Bisa saja mereka menghargai hak orang lain dengan
menghindariinteraksi atau mereka berharap untuk tidak diajak berinteraksi
secara langsung. Social Withdrawal adalah bentuk manifestasi dengan
berbagai cara, seperti : meninggalkan tempat, memilih topik personal yang
lebih sedikit untuk dibahas ( Sundstrom, 1975 ), membuat sinyal / tanda
untuk pergi, membuat gestur pertahanan ( Evans, 1979a ), berbalik ara,
menghindari kontak mata atau meningkatkan jarak antar pribadi ( Baum &
Greenberg, 1975 ).
Anak – anak lebih kurang dalam hal bersosialisasi dibanding orang
dewasa. Chalsa Loo menemukan bahwa kepadatan sosial yang lebih tinggi
( sekitar 1,5 meter persegi per anak ) mengurangi agresi ( Loo & Kennely,
1979 ). Kepadatan spasial yang lebih tinggi bagaimanapun juga mengarah
kepada penurunan sedikit pada tingkat agresi ( Loo, 1972 ). Sekali lagi
kaitannya dengan jenis kelamin, ditemukan bahwa anak laki laki lebih agresif
dibanding anak perempuan. Secara keseluruhan, kaum pria memiliki tingkat
kesulitan untuk mengatasi keterbatasan tempat / area. Kaum pria dapat
menghini perilaku agresif hanya jika situasi kepadatan tinggi tidak
berlangsung lama.
d. Affect
Kemungkinan adanya egfek positif darikepadatan yang tinggi ditegaskan
oleh Freedman ( 1975 ). Faktanya, Ia dan koleganya mengadakan dua studi
laboratorium dimana partisipan diberikan pujian atau kritikan terhadap
kualitas pidato yang mereka bawakan, agar dapat dilihat positif an negatif
efek yang ditimbulkan.. seperti yang telah diprediksi, kebanyakan perasaan
positif dilaporkan dari mereka yang berada pada ruangan dengan tingkat
kepadatan spasial yang lebih tinggi ( Freedman, 1975 ). Bagaimanapaun
juga, beberapa investigasi lainnya menunjukkan efek yang tidak terlalu
spesifik ( Sundstrom, 1978 ).
f. Culture as a Mediator
Konsekuensi dari kepadatan tinggi bergantung pada bagian dari latar
belakang budaya kita. Budaya dapat bertindak sebagai penyangga atau
sebagai mediator terhadap kepadatan tinggi. Terkadang memberi perisai
kepada anggotanya namun terkadang gagal melengkapi mereka dengan
penanganan yang efektif terhadap kepadatan tinggi.
Contohnya, kepadatan Hongkong sekitar 4 kali dibandingkan dengan Kota
Toronto sehingga tingkat kriminalitas juga lebih tinggi. Studi yang sama
menunjukkan ketertarikan yang mana ketakutan terhadap kriminalitas
muncul sebagai hubungan dari kepadatantinggi dibandingkan dengan tingkat
kriminalitas yang sesungguhnya.
Kemungkinan yang jelas muncul pada budaya baru yang tidak memiliki
waktu mengembangkan cara mengatasi kepadatan tinggi, seperti lebih
agresif, penyakit mental dan fisik dan kriminalitas. Gelombang imigrasi telah
menguntungkan Amerika dengan beberapa cara, namun juga menciptakan
kesesakan baru yang tiada henti sebagaimana para imigran merasakan
pengalaman yang baru yang sangat berbeda dari segi nilai dan kebiasaan di
Negara yang baru. Orang kulit hitam yang sangat terhubung dengan
kerusakan pada beberapa studi ( Galle& Gove, 1979 ) telah melalui proses ini
dua kali. Pertama, selama lebih dari dua abad mereka diimpor / dikirim
sebagai budak, kedua mreka secara bertahap diberikan kebebasan pada
budaya yang lebih besar.
Pada sebuah studi berskala besar di Chicago, Gove dan Hughes ( 1983 )
menemukan perbedaan respon yang penting antara orang berkulit hitam,
orang Hispanik dan lainnya ( kebanyakan orang berkulit putih ) terhadap
kepadatann tinggi. Bahkan setelah melakukan kontrol terhadap pendidian,
kemiskinan, jenis kelamin, usia dan variabel kemungkinan yang lain, Gove
dan Hughes menemukan bahwa orang berkulit hitam lebih reaktif terhadap
kesesakan. Orang Hispanik kurang responsif terhadap kesesakan / keramaian,
mungkin karena nilai budaya mereka cenderung kepada kedekatan. Namun,
karena orang – orang Hispanik hidup dibawah tingkat kepadatan tinggi yang
relatif, kecenderungan budaya mereka pada kedekatan terkadang tidak cukup
untuk mencegah akibat negatif dari kepadatan yang tinggi.
Bangsa Cina juga sangat dekat dengan kepadatan yang tinggi sehingga
terkdang mereka lebih meilih kepdatan yang tinggi walaupun diberikan
tawaran untuk kepadatan yang rendah sebagai alternatif ( Aiello &
Thompson, 1980a ). Pada beberapa rumah tangga Cina, beberapa aturan
tegas untuk akses ketempat lain, bahkan anak anak bisa saja mendapat
hukuman jika melihat kepda ruang keluarga lain ( Anderson, 1972 ). Karena
orang Cina sudah beradaptasi dengan sangat baik dengan kepadatan tinggi,
dapat disimpulkan bahwa orang Cina menyukai keramaian. Namun Chalsa
Loo dan Paul Ong ( 1984 ) meyakini ini sebagai sebuat mitos. Pada sebuah
survei di kawasan Pecinan di San Fransisco, mereka menemukan bahwa
masyarakat hunian berbangsa Cina meyakini bahwa keramaian atau
kesesakan itu tidak diinginkan dan membahayakan. Sayangnya Chalsa Loo
dan Paul Long tidak menanyakan secara langsung apakah mereka merasa
terganggu atau tidak, seperti psikologi lingkungan kebanyakan, penghuni
Cina nampaknya setuju bahwa keramaian atau kesesakan adalah sesuatu
yang buruk.
Dengan berbagai pertimbangan, beberapa orang Cina kadang memilih
untuk menyewakan kembali ruangan dimah mereka untuk mendapatkan
penghasilan tambahan sebagai salah satu cara untuk membantu keluarga.
Menyadari akan hal ini, mereka bisa saja tidak mengalami / merasakan
dampak negatif dari kesesakan. Pada kondisi lain, beberapa orang Cina
menganggap kepadatan tinggi lebih baik jika penghuni rumah merupakan
kolega dan bukan orang lain.
Di Afrika Timur, 3 budaya yang hidup dalam kepadatan rasio 1 : 3 : 6
dibandingkan. Pada budaya yang hidup dengan kepadatan tertinggi ( Logali )
memiliki norma – norma atau nilai terkuat yang yang melawan kontak
personal, baik fisik maupun emosional. Dalam budaya lain, teman biasanya
sering terlihat bergandengan tangan namun tidak dengan orang Logali. Sekali
lagi, rendahnya keterlibatan emosional muncul sebagai mekanisme dimana
terjadinya kepadatan yang tinggi.
Masyarakat dengan kepadatan tinggi yang lain telah mengembangkan
arsitektural dan perilaku yang sesuai dengan kehidupan dengankepadatan
tinggi. Budaya Jepang dan belanda, keduanya telah mengembangkan
perlakuan khusus pada objek yang membutuhkan sangat sedikit ruang seperti
kotak perhiasan, bonsai dan miniatur lukisan. Pada rumah masyarakat
Jepang, satu ruangan tidak hanya digunakan untuk satu fungsi tertentu ;
aturan yang rumit pada transformasi ruang dari satu fungsi kefungsi yang
lain. Ada kedua Negara, Jepand dan belanda, masyarakat menciptakan
sebuah komunitas kecil diarea dengan kepadatan yang tingi (Canter &
Canter, 1971 ; Rapoport, 1977).
Di Tokyo, beberapa daerah tertentu menyediakan tempat yang mudah
diakses bagi individu untuk bertemu dan berinteraksi, sehingga setiap rumah
tidak perlu menyerap tekanan populasi yang lebih jauh. Di belanda orang –
orang cenderung lebih kompak dan terpisah dengan area terbuka hijau yang
mudah diakses, sehingga muncul perasaan tidak sesak ditengan kepadatan
yang sangat tinggi.
Kepadatan yang tinggi biasanya mengarah pada stres secara psikologi,
setidaknya pada mereka yang memilih jarak antar pribadi atau isolasi sosial
dengan tingkat yang lebih besar. Performa atau penamipilan bisa saja
membahayakan / terganggu dibawah tekanan kepadatan yan tinggi jika tugas
yang diberika sangat kompleks saat orang lain menyaksikan dan saat
penampil harus berinteraksi secara fisik untuk menyelesaikan tugas.
Performa jugabisa saja menjadi lebih buruk kpada kondisi kepadatan rendah
jika individu tersebut berekspektasi akan kepadatan yang lebih tinggi.
Kepadatan yang tinggi bisa saja meningkatkan selera humor. Meskipun
efek yang berarti belum pernah dipelajari untuk menggambarkan atau
menyimpulkan dengan tegas, namun kepadatan biasanya menciptakan emosi
yang negatif. Kepadatan tinggi juga menurunkan kemampuan kita dalam
mengontrol diri sehingga coping mechanism biasanya digunakan. Mungkin
akan dibutuhkan pengalaman berabad – abad sebelum budaya dapat hidup
dengan aik ditengan tingkat kepadatan yang tinggi. Jika budaya – budaya
baru ingin belajar dari budaya yang lama, mereka mungkin perlu
mempertimbangkan beberapa hal, mencakup :
Mendorong lebih banyak jarak psikologis antara individu
Memberikan waktu dan tempat untuk melarikan / menarik diri.
Mengembangkan norma / nilai yang lebih ketat mengenai apa yang
boleh dikatakan kepada siapa.
Mempertegas dengan siapa seseorang bisa bepergian dan masuk
kerumah dan bagaimana setiap ruangan dirumah difungiskan.
Menghambat interaksi sosial dengan kenalan didalam rumah tetapi
mendorong interaksi sosial ditempat umum.
Belajar untuk mengapresiasi / menghargai tingkatan yang lebih tinggi
dari stimulasi sosial.
D. Theories of Crowding
Dalam perkembangannya telah banyak pengetahuan yang mengemukakan
tentang apa yang menyebabkan seseorang merasa sesak dan efek dari kepadatan
itu sendiri tentu dikemukakan pula bagaimana integrasi temuan tersebut sedikit
disempurnakan dalam berbagai teori tentang crowding. Banyaknya teori ini
memang memiliki sisi negatif karena kita dibingungkan dengan perbedaan teori
yang tidak hanya dalam mekanisme penjelasan yang disampaikan tetapi dalam hal
lain pun. Misalnya teori bervariasi dalam fokusnya. Beberapa menekankan fitur
lingkungan fisik yang mengarahkan sesorang untuk memberi penilaian situasi
sebagai ramai/sesak. Lainnya berpusat pada proses psikologis yang terjadi selama
pengalaman berkerumun dan akhirnya beberapa berfokus pada hasil crowding.
Teori crowding juga berbeda dalam kompleksitas tingkat analisis, asumsi yang
mendasari, dan testabilits (Edney, 1977).
Pada sebuah symposium internasional tentang crowding pada tahun 1977
masalah ini sangat jelas. Untuk hari pertama atau kedua symposium, beberapa
diskusi formal dan informal tentang crowding sangat tidak berhasil, sehingga
beberapa peserta bertanya-tanya apakah mereka salah tiba di konferensi yang
salah. Sampai definisi dasar dibahas sepenuhnya, symposium terancam oleh
perbedaan mendasar di antara para peserta tentang sifat crowding dan metode
serta tujuan penelitian yang tepat tentang crowding. Sejak symposium itu,
untungnya perspektif teoritis tentang crowding telah diklarifikasikan secara
signifikan.
Upaya yang dibangun selanjutnya dalam mengatur pemikiran tentang
crowding, maka munculah kerangka kerja keseluruhan yang memaparkan
hubungan masing-masing dari teori utama. Kerangka kerja adalah penjelasan dari
sebuah urutan pendahuluan, proses, dan konsekuensi yang terlibat dalam
crowding (Sundstrom, 1978). Kerangka kerja dimulai dengan asumsi bahwa
berbagai pengaruh (fisik, social, dan pribadi) mengarah melalui mekanisme
persepsi-kognitif dan fisiologis yang kemudian keadaan menjadi stress berlabel
“Keramaian”. Stress ini lebih spesifik didefinisikan oleh proses psikologis seperti
kurangnya control yang dirasakan, stimulus yang berlebihan dan kendala perilaku.
Proses crowding ini, menyebabkan berbagai jenis konsekuensi-mengatasi,
ketidakberdayaan, defisit perilaku (dan manfaat sesekali), dan efek fisiologis
setelahnya.
Kerangka kerja juga menjelaskan bahwa kepadatan tinggi dapat mengarah
langsung ke beberapa jenis hasil, tanpa kesadaran individu menjadi ramai.
Artinya, karakteristik proses dari keadaan berkerumun tidak selalu dapat
dibangkitkan. Kepadatan tinggi dapat secara langsung mengarah pada beberapa
hasil tanpa individu melabelinya sebagai ramai (Cox, Paulus, & McCain, 1984).
Masing-masing teori utama akan dibahas sebagai bagian dari komponen yang
berkaitan dengan faktor-faktor yang memengaruhi kesesakan.
a. Antecedents
1. Personal, Sebagian besar teori crowding menyatakan bahwa perbedaan
individu berperan dalam crowding, tetapi tidak satupun dari teori itu fokus
pada dengan faktor pribadi. Para peneliti tampaknya puas saat ini
mengumpulkan daftar faktor-faktor pribadi secara konsisten yang
mengarah pada kepadatan. Ini adalah sub area crowding yang
membutuhkan integrasi teoritisnya sendiri. Setidaknya ada beberapa dari
faktor personal yang mungkin memengaruhi kesesakan itu; locus of
control; budaya, pengalaman dan proses adaptasi; jenis kelamin.
2. Fisik, Sementara ada penelitian yang mendokumentasikan hubungan
antara variable arsitektur dan crowding. Kerumunan dapat dikurangi
dengan penggunaan partisi secara tepat di tempat tinggal atau ruang kerja
terbuka yang besar dan mungkin oleh faktor-faktor seperti lantai tempat
tinggal, warna dan suhu ruangan, ketinggian langit-langit, dan apakah
ruangan menerima banyak sinar matahari. Secara geografis, persepsi
crowding tergantung pada skala apa yang dipertimbangkan, ruangan,
lingkungan atau komunitas. Tetapi semua pengaruh ini dilihat oleh para
ahli teori crowding sebagai contoh yang menggambarkan prinsip-prinsip
teori yang beum dibahas.
Satu teori memang memasukkan objek fisik sebagai pusatnya. Ini
adalah pendekatan ekologis dari Roger Barker (1968) dan Allan Wicker
(1979). Sementara pada terminology yang berbeda dari kebanyakan ahli
teori crowding (overstaffing menjadi contoh istilah terdekat), ahli teori
ekologi menekankan kekurangan sumber daya menjadi elemen kunci dari
crowding. Sumber daya fisik yang dimaksud dalam hal ini bisa jadi berupa
perangkat, alat sekolah,alat di toko, computer di kantor, atau buku di kelas
dsb. Untuk mengontrol kerumunan pada sebuah ruang, akses menuju
sumber daya yang tersedia harus dibatasi dengan upaya mengatur barisan,
peringkat prioritas, membuat daftar tunggu, dan pembatas. Sedangkan
ruangan itu sendiri mungkin kecil namun kelebihan staf atau kepadatan
tinggi. Kekurangan ruang hanyalah salah satu jenis kekurangan sumber
daya yang dapat menyebabkan kerumunan (Fischer, 1976).
Sisi lain dari kekurangan sumber daya, tentu saja adalah kelebihan
manusia. Apakah kekurangan atau kelebihan orang menjadi fokus
perhatian tergantung pada mana dari keduanya yang lebih mudah diubah.
Jika sekolah umum penuh sesak, kami tidak mencari cara untuk
menghilangkan atau mengurangi anak-anak, tetapi jika taman nasional
penuh sesak, kami mepertimbangkan bagaimana cara membatasi akses ke
sana melalui system pemesanan atau kuota. Ketika kita melihat masalah
kelebihan orang, perbedaan antara pendahuluan fisik dan sosial dari
kerumunan menjadi kabur.
3. Sosial, Penyebab utama keramaian adalah terlalu banyak orang lain di
sekitar. Dua teori fokus pada jumlah orang di sekitar sebagai konsep utama
pada crowding. Yang pertama adalah teori kepadatan dari Jonathan
Freedman’s (1975) yang disebutkan secara singkat sebelumnya
Beberapa penulis berasumsi bahwa berkerumun berarti stress dan telah
didefinisikan dengan tepat. Hal Ini jelas menyimpulkan apa yang
dipermasalahkan-bagaimana crowding mempengaruhi orang. Kami tidak
bertanya apakah crowding itu membuat stress, membantu atau apapun, jadi
kami tidak boleh berasumsi bahwa itu adalah salah satu dari ini. Stokols
memang membuat perbedaan penting antara kepadatan fisik dan psikologi,
yang pertama merujuk pada jumlah ruang dan yang terakhir merujuk pada
perasaan internal. Tapi dia kemudian tampaknya menekankan yang
terakhir, sedangkan yang pertama harus dipelajari. (Freedman, 1975).
Dengan penekanan pada kepadatan ini, Freedman melanjutkan untuk
menegaskan bahwa kepadatan itu sendiri tidak berbahaya, Itu hanya
memperbesar apapun yang terjadi, jika itu negatif maka kepadatan akan
memperburuk situasi.
Fredman (1975) memandang kesesakan sebagai suatu keadaan yang
dapat bersifat positif maupun negatif tergantung situasmya. Jadi kesesakan
dapat dirasakan sebagai suatu pengalaman yang kadang-kadang
menyenangkan dan kadang-kadang tidak menyenangkan.
Kepadatan yang tinggi di Lapas memiliki dampak buruk bukan karena
kepadatannya yang tinggi tetapi karena Lapas pada dasarnya adalah
lingkungan yang mengerikan. Narapidana yang di sana tidak sadar bahwa
populasi penjara mencakup beberapa orang yang pada dasarnya tidak
menyenangkan, arsitektur dan dekorasinya pun tidak benar-benar
membangkitkan semangat.
Freedman mengisyaratkan bahwa orang di perkotaan rata-rata,
kepadatan lebih sering memperbesar reaksi yang menyenangkan daripada
yang tidak. Dia bahkan mengklaim bahwa hewan tidak terlalu terpengaruh
oleh kepadatan tinggi (Freedman 1979). Tetapi pada akhirnya, posisinya
adalah kepadatan itu netral dan tugas ilmuwan sosial adalah untuk
menentukan kondisi di mana kepadatan tinggi mengarah kepada hasil yang
bahagia atau tidak bahagia.
Eric Knowles (1983), mengamati bahwa semua ukuran kepadatan
mengabaikan fakta bahwa individu jarang didistribusikan secara merata di
seluruh ruangan, lingkungan, atau kota. Elemen kunci dalam model fisika
sosial ini adalah jarak dari orang lain ke individu dan apakah orang lain itu
berbentuk penonton, hanya hadir, atau hanya kebetulan berada beberapa
meter jauhnya.
Knowles (1983) dan lain-lain (Freimark, Wener, Philips & Korber
1984) telah menyajikan bukti bahwa pendekatan fisika sosial tidak
memprediksi tingkat amatan sebagai ramai atau tidak ramai. Kerumunan
yang dirasakan dalam studi ini lebih dekat didekati dengan logaritmik atau
fungsi ekponensial densitas lainnya. Fungsi-fungsi ini, menyerupai hokum
yang dikembangkan di bidang psikologi lain yang disebut psikofisika,
mencerminkan gagasan dasar bahwa pengaruh sosial tergantung pada
jumlah dan jarak orang lain dari individu (Latane, 1981).
b. Proses Psikologis
Personal, sosial dan anteseden fisik dari crowding memunculkan stress.
Setidaknya 6 proses stress telah dijelaskan, meskipun cukup banyak kesamaan
di antara mereka yang terlihat jelas. Kami mengemukakannya dalam 2 proses
yang luas yaitu personal control dan overload.
Personal Control. Mungkin yang paling inklusif dari dua proses adalah
personal control. Pusat dari konsep pengendalian diri adalah kemampuan
untuk mengesampingkan atau mengubah tanggapan batin, serta untuk
menekan kecenderungan perilaku yang tidak diinginkan seperti menahan diri
maupun berekspresi dari tindakan menyimpang. Kemacetan lalu lintas sebagai
contoh, ketika kita hendak pulang atau bekerja tetapi lalu lintas tidak
memungkinkan kita untuk mengontrol kecepatan mengemudi dan kemudian
kita tidak tahu berapa lama waktu yang dibutuhkan dan itu mungkin memakan
waktu lebih lama dari yang diinginkan.
Dalam integrasi crowding dan personal control, Donald Schmidt dan John
Keating (1979) membedakan antara 3 bentuk personal control: kognitif,
perilaku dan keputusan. Mereke percaya bahwa bahkan di bawah kondisi
kepadatan tinggi, jika kita mampu mencapai satu atau lebih dari bentuk-bentuk
ini, tekanan kepadatan akan berkurang.
1. Cognitive Control (Kontrol kognitif)
Cognitive control diartikan sebagai kemampuan individu dalam
mengendalikan diri untuk mengolah informasi yang tidak diinginkan dengan
cara menginterpretasi, menilai, atau menghubungkan suatu kejadian kedalam
suatu kerangka kognitif sebagai adaptasi psikologis untuk mengurangi
tekanan yang dihadapi.
2. Behavioral Control (Kontrol perilaku).
Kemampuan seseorang untuk mengendalikan dirinya di dalam situasi
yang kurang menyenangkan, dimana seseorang mengetahui bagaimana dan
kapan sesuatu itu harus dihadapi atau dihindari. Studi yang menunjukkan
bahwa berkerumun lebih buruk ketika interaksi fisik menghambat upaya
untuk menyelesaikan pekerjaannya dapat dilihat sebagai bentuk contoh
control perilaku. ketika anda menikmati pertandingan di stadion yang penuh
sesak dan kamu tidak merasakannya. Tapi ketika pertandingan berakhir kamu
bergerak menuju mobilmu, sesama penggemar berat pertandingan
mengurangi control perilakunya.
3. Decisional Control (Mengontrol keputusan)
Decisional Control mengacu pada jumlah pilhan yang ada pada situasi
tersebut, Ketika individu merasakan keterbatasan yang kuat dalam pilihan
mereka, mereka cenderung merasa sesak. Jika anda memasuki teater untuk
menonton sebuah pertunjukan dan hanya menemukan satu kursi yang tersisa
dan itu berada di belakang orang-orang yang mengenakan topi besar.
Overload.
Teori utama kedua tentang crowding yang dikemukakan oleh Cohen
(1977) dan Milgram (1970) bahwa manusia mempunyai keterbatasan dalam
mengolah stimulus dari lingkungannya. Jika stimulus lebih besar dari
kapasitas pengolahan informasi maka terjadilah overload yang mana individu
bisa mengalami berbagai gangguan kejiwaan seperti merasa tertekan, bosan,
dan tidak berdaya.
Kesimpulan