PROSES SOSIAL ( 4 )
Sasaran Belajar :
Mahasiswa mampu memahami, manganalisis, memberikan contoh – contoh dan mengaplikasikannya dilapangan
tentang proses sosial, khususnya tentang kepadatan dan kesesakan
1. Kesesakan bukan sosial (nonsocial crowding), yaitu adanya faktor faktor fisik yang menghasilkan perasaan
terhadap ruang yang tidak sebanding, seperti adanya ruang yang sempit.
2. Kesesakan sosial (social crowding), perasaan sesak karena kehadiran orang lain yang terlalu banyak, apalagi
tidak mengenalnya.
Faktor yang mempengaruhi kesesakan (Jaenudin Ujam & Rosleny Marliani, 2017) adalah :
1. Faktor Personal yang terdiri dari
a. Kontrol Pribadi (locus of control), berkaitan dengan tingginya kepadatan yang akan menimbulkan
kesesakan. Kepadatan yang tinggi akan menimbulkan kesesakan, apabila individu tidak mempunyai
kontrol terhadap ruang sekitarnya.
b. Budaya, pengalaman dan proses adaptasi. Faktor budaya memiliki kaitan dengan kesesakan. Misalnya
orang Singapura yang dinegaranya melihat jumlah kendaraan yang sedikit dan tidak pernah mengalami
kemacetan, akan merasakan kesesakan ketika berada di Jakarta dengan jumlah kendaraan bermotor
yang jumlahnya 2 – 3 kali lipat, dan jalan yang macet, dibandingkan dengan dinegaranya. Orang dari
desa desa yang sudah sering datang kekota tidak akan mengalami kesesakan dibandingkan dengan
yang baru pertama kali datang kekota. Faktor adaptasi individu yang berbeda beda, juga akan akan
berpengaruh terhadap cepat atau lambatnya menyesuaikan diri dengan kesesakan.
2. Faktor Sosial
a. Kehadiran dan perilaku orang lain, akan dapat menimbulkan kesesakan bagi individu yang merasa
terganggu, atau sebaliknya walaupun ruangan menjadi semakin padat, tetapi apabila kehadirannya
dirasakan tidak mengganggu, bahkan sebaliknya maka tidak akan terjadi kesesakan.
b. Formasi koalisi, adalah meningkatnya kepadatan sosial yang akan menimbulkan kesesakan bagi
penghuni lama.
c. Kualitas hubungan, adalah cara seorang individu bergaul dengan orang lain. Semakin mudah
beradaptasi, maka akan tidak terjadi kesesakan.
d. Informasi yang tersedia, individu yang sudah tahu informasi tentang ruang yang akan ditempatinya,
akan lebih siap dalam menerima kesesakan.
3. Faktor Fisik
a. Besarnya skala Lingkungan, adalah kesesakan yang berhubungan dengan seting yang ditempatinya,
kondisi tapak yang berhubungan dengan tapak lainnya, akan menimbulkan kesesakan. Dalam konteks
rumah hunian, kesesakan yang paling tinggi dirasakan pada rumah susun lantai bawah. Semakin tinggi,
kesesakannya akan berkurang, karena salah satu sebabnya adalah semakin sedikitnya kehadiran orang
asing pada lantai huniannya.
b. Variasi arsitektural, adalah faktor kesesakan yang disebabkan oleh desain arsitekturalnya. Faktor
situasional akan mempengaruhi kesesakan, seperti : suara gaduh, panas, adanya polusi, sifat dan
suasana lingkungan dan sebagainya.
Kesesakan adalah bentuk lain dari persepsi terhadap lingkungan. Pada saat menghadiri pesta pernikahan yang
dihadiri ribuan undangan, kita akan antri yang cukup panjang untuk menyalami pengantin maka akan mengalami
kesesakan. Sedangkan banyaknya manusia ( undangan ) yang hadir, akan menimbulkan kepadatan diruang tersebut.
Demikian juga kalau berada dalam suatu mal pada saat hari libur, dimana banyak pengunjungnya dibandingkan
pada hari – hari biasa, maka kita akan mengalami kesesakan. Banyaknya pengunjung mal tersebut, akan menimbulkan
kepadatan yang lebih tinggi dibandingkan dengan jumlah pengunjung pada hari – hari biasa.
Perbedaan antara kesesakan dan kepadatan
Kesesakan mengacu pada pengalaman seseorang terhadap jumlah orang disekitarnya dan dalam konteks aktifitas
apa orang tersebut berada (kontekstual). Contoh: kesesakan di perpustakaan akan sangat mengganggu
seseorang, tetapi kesesakan di diskotik tidak selalu mengganggu. Orang yang terbiasa naik bis kota tidak akan
terganggu oleh kesesakan dalam bis (walaupun bus itu penuh, bahkan harus berdiri) dibandingkan dengan orang
yang terbiasa menggunakan kendaraan pribadi, walaupun pada saat itu penumpangnya tidak penuh. Dalam
konteks dan batas tertentu, kesesakan tidak dirasakan mengganggu bahkan akan lebih dinikmati.
Kesesakan bersifat subyektif. Penonton elephant show mungkin tidak merasakan kesesakan, walaupun mengalami kepadatan
Kesesakan bersifat subyektif, artinya kesesakan dapat tergantung pada pangalaman, latar belakang, budaya
seseorang dan bersifat kontekstual.
Kesesakan adalah respon subyektif terhadap ruang, kepadatan adalah kendala keruangan ( Stokols, dalam
Laurens, 2004)
Kesesakan dapat merupakan suatu kepadatan sosial, sedangkan kepadatan adalah kepadatan spasial.
Plafond ruang publik yang cukup tinggi, akan menghindari dari kesesakan
Melihat karakteristik ruangan untuk pemakaian kedepan, apakah ruangan tersebut akan bersifat tetap,
berkembang tapi bersifat moderat atau harus ada perkembangan. Hal ini dilakukan untuk menghindari kepadatan
yang berlebih atau tidak sesuai dengan standar yang ada. Apabila ruangan tersebut tidak akan berkembang
(misalnya ruang kelas), maka dapat dapat dipakai standar yang ada pada saat ini. bagi perkembangannya bersifat
moderat ( misal: mall), bisa dilakukan dengan menata ulang perabotan, penyediaan ruang untuk mengantisipasi
perkembangan tersebut. Apabila ruangan atau bangunan tersebut harus berkembang (misalnya : bandara), maka
desainnya harus dibuat pada saat ini, sesuai dengan prediksi untuk jangka waktu berapa tahun, bandara tersebut
akan digunakan.
Rumah adalah lingkungan primer yang paling penting dalam hidup seseorang, maka dalam mendesain perlu
diperhatikan hal – hal yang berkaitan dengan faktor kesesakan dan kepadatan. Misalnya dalam desain suatu
asrama atau apartemen, perlu dihindari lorong yang panjang. Pembagian lorong menjadi 2 bagian akan mampu
mengurangi kepadatan. Gary Evans (dalam Laurens, 2004), mengusulkan pengurangan kesesakan dengan
memberi peluang bagi penghuni untuk membagi ruang (seperti dengan pemasangan partisi ), walaupun tidak
kedap suara, tetapi dapat mengurangi gangguan visual antar penghuni.
Sebaliknya dalam ruang runggu suatu kantor pelayanan, dengan adanya partisi justru akan meningkatkan
kesesakan, karena orang yang menunggu tidak akan merasa bebas. Taman – taman maupun hutan kota adalah
tempat yang disukai warga untuk melepaskan diri dari kesesakan kehidupan kota, apalagi ia sudah merasakan
kesesakan tinggal didalam rumahnya.
Ruang terbuka publik perkotaan, individu tidak merasakan kesesakan dan kepadatan karena volume ruang yang cukup
Bacaan :
- Jaenudin, Ujam & Rosleny Marliani, 2017, PSIKOLOGI LINGKUNGAN, Pustaka Setia, Bandung
- Laurens, Joyce Marcella, 2004, ARSITEKTUR DAN PERILAKU MANUSIA, Gramedia Widiasarana, Jakarta
- Sarwono, Sarlito, Wirawan, 1992, PSIKOLOGI LINGKUNGAN, Gramedia Widiasarana, Jakarta