Anda di halaman 1dari 12

MINGGU XV

PROSES SOSIAL ( 4 )
Sasaran Belajar :
Mahasiswa mampu memahami, manganalisis, memberikan contoh – contoh dan mengaplikasikannya dilapangan
tentang proses sosial, khususnya tentang kepadatan dan kesesakan

1. KEPADATAN ( DENSITY ) dan KESESAKAN ( CROWDING )


a. Kepadatan (density)
Kepadatan adalah berkaitan dengan keadaan manusia dengan wadah atau ruangannya, dimana suatu keadaan
dikatakan padat, apabila jumlah manusia yang ada didalamnya pada batas tertentu semakin banyak (Jaenudin Ujam &
Rosleny Marliani, 2017). Kepadatan bersifat obyektif, artinya merupakan fakta dari tempat atau lingkungan tersebut
keadaannya memang padat. Contohnya kepadatan penduduk kota Semarang adalah 4.780/km2 , artinya dari data yang
ada, rata rata setiap km2 lahan yang ada di kota Semarang ditempati oleh 4.780 penduduk.
Kepadatan adalah ukuran jumlah orang per unit area, dan dapat diterapkan untuk pengukuran dimanapun, tidak
terikat pada tempat tertentu (umum), misalnya kepadatan penduduk 300m orang/km2, kapasitas stadion 30.000 orang.
Kepadatan bersifat obyektif, tidak terlepas dari hal hal yang bersifat nyata (tangible), dan biasanya bersifat kuantitatif dan
terukur. Misalnya : kota Jakarta sangat padat penduduknya dibandingkan dengan kota Malang, karena dari data yang ada
kepadatan penduduk Jakarta lebih tinggi daripada Malang. Kamar itu sangat padat, karena dengan luas 9 m2, dipakai
untuk 5 orang, padahal menurut standar hanya untuk 1 orang.
Holahan ( dalam Jaenudin Ujam & Rosleny Marliani, 2017) membagi kepadatan dalam dua kategori, yaitu :
1. Kepadatan spasial (spatial density), adalah kepadatan yang terjadi, apabila besar atau luas ruangan
dirubah menjadi lebih kecil, sedangkan jumlah individu tetap, sehingga kepadatannya akan meningkat
sejalan dengan mengecilnya luas ruangan tersebut.
2. Kepadatan sosial (social density), akan terjadi apabila jumlah individu ditambah, sedangkan luas
ruangannya tetap (tidak diperluas), sehingga terjadi peningkatan kepadatan akibat bertambahnya individu.
Dalam konteks lingkungan pemukiman, Altman ( dalam Jaenudin Ujam & Rosleny Marliani, 2017) membagi
kepadatan dalam dua bagian, yaitu :
a. Kepadatan dalam (inside density), adalah kepadatan yang diakibatkan dengan keberadaan
individu dalam suatu ruangan atau tempat tinggal/rumah
b. Kepadatan luar (outside density), merupakan kepadatan sejumlah individu yang berada pada
wilayah tertentu, seperti jumlah penduduk yang bermukim pada wilayah permukiman.
Lebih lanjut, dalam konteks kepadatan diwilayah pemukiman, ada 4 macam kepadatan, yaitu ;
1. Lingkungan pinggiran kota, yang ditandai dengan tingkat kepadatan dalam dan luar yang rendah.
2. Wilayah pedesaan yang miskin dengan tingkat kepadatan tinggi, tetapi kepadatan luarnya rendah.
3. Lingkungan mewah diperkotaan, dimana kepadatan dalam rendah, kepadatan luarnya tinggi.
4. Perkampungan di perkotaan, dengan kepadatan dalam maupun luar yang tinggi.
Dampak yang ditimbulkan, akibat kepadatan yang tinggi, adalah :
1. Stres, yaitu dapat menumbuhkan perasaan negatif, rasa cemas dan perubahan suasana hati.
2. Menarik diri, dimana individu cenderung menarik diri dan kurang mau berinteraksi dengan lingkungan
sosialnya.
3. Perilaku menolong, atau akan menurunkan keinginan individu untuk menolong atau memberikan bantuan
kepada orang lain, terutama orang tidak dikenal.
4. Kemampuan mengerjakan tugas, dengan situasi yang padat akan menurunkan kemampuan individu untuk
mengerjakan tugas atau pekerjaannya.
5. Perilaku Agresi, karena akan menumbuhkan frustasi dan kemarahan, yang pada akhirnya akan membentuk
perilaku agresif.
Kepadatan akan mempengaruhi sikap dan perilaku. Ruangan atau lingkungan yang mempunyai situasi dan
kondisi yang baik dan nyaman, akan mempunyai pengaruh positif dan kepuasan psikis terhadap individu yang
menempati atau menggunakannya.
Kepadatan bersifat obyektif
b. Kesesakan ( crowding )
Menurut Altman ( dalam Jaenudin Ujam & Rosleny Marliani, 2017), kesesakan adalah suatu proses interpersonal
pada suatu tingkatan interaksi manusia satu dengan lainnya dalam suatu pasangan atau kelompok kecil. Kesesakan
mungkin berhubungan dengan kepadatan yang tinggi, tetapi kepadatan bukanlah syarat mutlak untuk menimbulkan
kesesakan. Kesesakan dipengaruhi oleh karakteristik individu dan situasi sosial. Individu mungkin merasa sesak dalam
sebuah ruang luas yang hanya diisi oleh dua orang tetapi tidak merasa sesak ketika berada di antara ribuan orang lain
dalam sebuah konser musik.

Kesesakan dibedakan menjadi :

1. Kesesakan bukan sosial (nonsocial crowding), yaitu adanya faktor faktor fisik yang menghasilkan perasaan
terhadap ruang yang tidak sebanding, seperti adanya ruang yang sempit.
2. Kesesakan sosial (social crowding), perasaan sesak karena kehadiran orang lain yang terlalu banyak, apalagi
tidak mengenalnya.
Faktor yang mempengaruhi kesesakan (Jaenudin Ujam & Rosleny Marliani, 2017) adalah :
1. Faktor Personal yang terdiri dari
a. Kontrol Pribadi (locus of control), berkaitan dengan tingginya kepadatan yang akan menimbulkan
kesesakan. Kepadatan yang tinggi akan menimbulkan kesesakan, apabila individu tidak mempunyai
kontrol terhadap ruang sekitarnya.
b. Budaya, pengalaman dan proses adaptasi. Faktor budaya memiliki kaitan dengan kesesakan. Misalnya
orang Singapura yang dinegaranya melihat jumlah kendaraan yang sedikit dan tidak pernah mengalami
kemacetan, akan merasakan kesesakan ketika berada di Jakarta dengan jumlah kendaraan bermotor
yang jumlahnya 2 – 3 kali lipat, dan jalan yang macet, dibandingkan dengan dinegaranya. Orang dari
desa desa yang sudah sering datang kekota tidak akan mengalami kesesakan dibandingkan dengan
yang baru pertama kali datang kekota. Faktor adaptasi individu yang berbeda beda, juga akan akan
berpengaruh terhadap cepat atau lambatnya menyesuaikan diri dengan kesesakan.
2. Faktor Sosial
a. Kehadiran dan perilaku orang lain, akan dapat menimbulkan kesesakan bagi individu yang merasa
terganggu, atau sebaliknya walaupun ruangan menjadi semakin padat, tetapi apabila kehadirannya
dirasakan tidak mengganggu, bahkan sebaliknya maka tidak akan terjadi kesesakan.
b. Formasi koalisi, adalah meningkatnya kepadatan sosial yang akan menimbulkan kesesakan bagi
penghuni lama.
c. Kualitas hubungan, adalah cara seorang individu bergaul dengan orang lain. Semakin mudah
beradaptasi, maka akan tidak terjadi kesesakan.
d. Informasi yang tersedia, individu yang sudah tahu informasi tentang ruang yang akan ditempatinya,
akan lebih siap dalam menerima kesesakan.
3. Faktor Fisik
a. Besarnya skala Lingkungan, adalah kesesakan yang berhubungan dengan seting yang ditempatinya,
kondisi tapak yang berhubungan dengan tapak lainnya, akan menimbulkan kesesakan. Dalam konteks
rumah hunian, kesesakan yang paling tinggi dirasakan pada rumah susun lantai bawah. Semakin tinggi,
kesesakannya akan berkurang, karena salah satu sebabnya adalah semakin sedikitnya kehadiran orang
asing pada lantai huniannya.
b. Variasi arsitektural, adalah faktor kesesakan yang disebabkan oleh desain arsitekturalnya. Faktor
situasional akan mempengaruhi kesesakan, seperti : suara gaduh, panas, adanya polusi, sifat dan
suasana lingkungan dan sebagainya.
Kesesakan adalah bentuk lain dari persepsi terhadap lingkungan. Pada saat menghadiri pesta pernikahan yang
dihadiri ribuan undangan, kita akan antri yang cukup panjang untuk menyalami pengantin maka akan mengalami
kesesakan. Sedangkan banyaknya manusia ( undangan ) yang hadir, akan menimbulkan kepadatan diruang tersebut.
Demikian juga kalau berada dalam suatu mal pada saat hari libur, dimana banyak pengunjungnya dibandingkan
pada hari – hari biasa, maka kita akan mengalami kesesakan. Banyaknya pengunjung mal tersebut, akan menimbulkan
kepadatan yang lebih tinggi dibandingkan dengan jumlah pengunjung pada hari – hari biasa.
Perbedaan antara kesesakan dan kepadatan
 Kesesakan mengacu pada pengalaman seseorang terhadap jumlah orang disekitarnya dan dalam konteks aktifitas
apa orang tersebut berada (kontekstual). Contoh: kesesakan di perpustakaan akan sangat mengganggu
seseorang, tetapi kesesakan di diskotik tidak selalu mengganggu. Orang yang terbiasa naik bis kota tidak akan
terganggu oleh kesesakan dalam bis (walaupun bus itu penuh, bahkan harus berdiri) dibandingkan dengan orang
yang terbiasa menggunakan kendaraan pribadi, walaupun pada saat itu penumpangnya tidak penuh. Dalam
konteks dan batas tertentu, kesesakan tidak dirasakan mengganggu bahkan akan lebih dinikmati.
Kesesakan bersifat subyektif. Penonton elephant show mungkin tidak merasakan kesesakan, walaupun mengalami kepadatan

 Kesesakan bersifat subyektif, artinya kesesakan dapat tergantung pada pangalaman, latar belakang, budaya
seseorang dan bersifat kontekstual.
Kesesakan adalah respon subyektif terhadap ruang, kepadatan adalah kendala keruangan ( Stokols, dalam
Laurens, 2004)
Kesesakan dapat merupakan suatu kepadatan sosial, sedangkan kepadatan adalah kepadatan spasial.

c. Hubungan Kepadatan dan Kesesakan


Kepadatan bersifat obyektif, artinya kepadatan merupakan fakta dari ruang spasial yang memang keadaannya
padat. Kesesakan bersifat subyektif karena merupakan perasaan masing masing individu, dimana dalam suatu seting,
dengan banyak orang, ada yang merasakan kesesakan tetapi ada yang tidak merasakannya. Jadi hubungan antara
kepadatan dan kesesakan bukan merupakan hubungan sebab – akibat, karena ada faktor lain yang menjadi
penyebabnya. Kepadatan dapat menjadi kesesakan atau tidak, tergantung adanya 4 faktor (Jaenudin, 2017), yaitu :
- Karakteristik seting fisik, berupa keadaan dan fungsi dari seting tersebut yang berupa ukuran fisik seperti
luas, volume, situasi ruangan seperti pencahayaan, penghawaan dan akustik ruangannya. Selain itu, jenis
dan fungsinya, seperti untuk ruang kelas, perpustakaan, auditorium, peribadatan dan sebagainya. karena
itu, setiap seting fisik mempunyai karakteristik yang berlainan
- Karakteristik seting sosial, adalah berkaitan dengan karakteristik pemakai, seperti latar belakang, keadaan
sosial ekonomi, budaya dan tingkat pendidikan.
- Karakteristik Personal, adalah tingkat personal dari pemakai, apakah mempunyai tingkat personal yang
sesuai atau tidak terhadap kepadatan yang ada.
- Karakteristik adaptasi dari pemakai, apakah merasa susah beradaptasi dengan setingnya apakah dengan
mudah beradaptasi. Hal ini berkaitan dengan sifat, wawasan dan pengalaman dari individu tersebut.

Kepadatan dan Kesesakan dalam Desain Arsitektur


 Dalam membuat desain, harus memperhatikan standar (dalam literatur, peraturan kota yang ada dan
sebagainya)untuk menghindari kepadatan yang berlebihan, misalnya, standar kapasitas, besaran ruang karena
standar tersebut sudah memperhitungkan kepadatan. Demikian juga standar dari pemerintah yang harus dipenuhi,
misalkan Koefisien Dasar Bangunan, Ketinggian Bangunan dan sebagainya.
 Melihat fungsi ruangan dengan memperhatikan faktor tiga dimensi (volume ruangan) tidak hanya secara dua
dimensi ( luas ruang) saja, karena faktor ketinggian ruang atau plafond, akan mempengaruhi kesesakan.
Contohnya: kamar untuk hunian hotel atau apartemen ketinggian plafondnya cukup 2,75 – 3 meter tidak
merasakan adanya kesesakan, karena penghuninya sedikit dan sifat ruangnya yang memerlukan keintiman
penghuninya. Untuk auditorium atau ruang publik yang berkapasitas besar, apabila tinggi plafond hanya sekitar 3
meter saja, akan menimbulkan kesesakan, walaupun pemakainya masih dibawah kapasitas kepadatan.

Plafond ruang publik yang cukup tinggi, akan menghindari dari kesesakan

 Melihat karakteristik ruangan untuk pemakaian kedepan, apakah ruangan tersebut akan bersifat tetap,
berkembang tapi bersifat moderat atau harus ada perkembangan. Hal ini dilakukan untuk menghindari kepadatan
yang berlebih atau tidak sesuai dengan standar yang ada. Apabila ruangan tersebut tidak akan berkembang
(misalnya ruang kelas), maka dapat dapat dipakai standar yang ada pada saat ini. bagi perkembangannya bersifat
moderat ( misal: mall), bisa dilakukan dengan menata ulang perabotan, penyediaan ruang untuk mengantisipasi
perkembangan tersebut. Apabila ruangan atau bangunan tersebut harus berkembang (misalnya : bandara), maka
desainnya harus dibuat pada saat ini, sesuai dengan prediksi untuk jangka waktu berapa tahun, bandara tersebut
akan digunakan.

Perancangan bandara, harus memperhitungkan tingkat kepadatan yang akan berkembang

 Rumah adalah lingkungan primer yang paling penting dalam hidup seseorang, maka dalam mendesain perlu
diperhatikan hal – hal yang berkaitan dengan faktor kesesakan dan kepadatan. Misalnya dalam desain suatu
asrama atau apartemen, perlu dihindari lorong yang panjang. Pembagian lorong menjadi 2 bagian akan mampu
mengurangi kepadatan. Gary Evans (dalam Laurens, 2004), mengusulkan pengurangan kesesakan dengan
memberi peluang bagi penghuni untuk membagi ruang (seperti dengan pemasangan partisi ), walaupun tidak
kedap suara, tetapi dapat mengurangi gangguan visual antar penghuni.
 Sebaliknya dalam ruang runggu suatu kantor pelayanan, dengan adanya partisi justru akan meningkatkan
kesesakan, karena orang yang menunggu tidak akan merasa bebas. Taman – taman maupun hutan kota adalah
tempat yang disukai warga untuk melepaskan diri dari kesesakan kehidupan kota, apalagi ia sudah merasakan
kesesakan tinggal didalam rumahnya.

Ruang terbuka publik perkotaan, individu tidak merasakan kesesakan dan kepadatan karena volume ruang yang cukup

Bacaan :
- Jaenudin, Ujam & Rosleny Marliani, 2017, PSIKOLOGI LINGKUNGAN, Pustaka Setia, Bandung
- Laurens, Joyce Marcella, 2004, ARSITEKTUR DAN PERILAKU MANUSIA, Gramedia Widiasarana, Jakarta
- Sarwono, Sarlito, Wirawan, 1992, PSIKOLOGI LINGKUNGAN, Gramedia Widiasarana, Jakarta

Anda mungkin juga menyukai