Menurut Young Yun Kim yang dimaksud dengan adaptasi budaya adalah proses
jangka panjang yang dilakukan oleh individu untuk menyesuaikan diri dengan
lingkungannya melalui pembelajaran dan pertukaran komunikatif hingga dirinya merasa
nyaman di lingkungan yang baru.
Teori adaptasi budaya dirumuskan oleh Kim untuk menggambarkan proses adaptasi
budaya dan menjelaskan struktur proses adaptasi budaya serta berbagai variabel penting
yang mempengaruhi tingkatan dimana seseorang kemudian mengadaptasi budaya baru dan
budaya yang tidak dikenal.
Kim mengadopsi pendekatan sistem untuk memahami proses adaptasi karena pendekatan
sistem merupakan pendekatan yang sesuai untuk menampilkan kompleksitas saling
keterhubungan yang terlibat dalam proses adaptasi. Kim menggambarkan adaptasi sebagai
proses tiga tahap yaitu stress-adaptation-growth.
Stress. Ketika memasuki lingkungan baru, pendatang baru akan mengalami stress atau
tekanan akibat gegar budaya, penghindaran, atau perhatian selektif. Stress memotivasi
seseorang untuk beradaptasi terhadap lingkungan baru atau lingkungan tuan rumah untuk
mengembalikan keseimbangan.
Adaptation. Adaptasi dapat dicapai melalui akulturasi dan dekulturasi. Dari proses
pembelajaran ini adaptasi terjadi dalam bentuk transformasi pertumbuhan internal.
Growth. Proses pertumbuhan tidak bersifat linear melainkan bersifat heliks yang ditandai
dengan naik turunnya proses stress-adaptation.
Kompetensi kognitif mengacu pada pengetahuan bahasa dan budaya tuan rumah, sejarah,
institusi sosial dan aturan perilaku interpersonal.
Kompetensi afektif mengacu pada kapasitas emosi dan motivasi pendatang untuk
berhadapan dengan beragam tantangan kehidupan yang ada di lingkungan tuan rumah,
keterbukaan terhadap pembelajaran baru, dan kemauan untuk berpartisipasi dalam berbagai
aspek emosi maupun fisik dari lingkungan tuan rumah.
Kompetensi operasional mengacu pada berbagai aspek lain dari kompetensi komunikasi
tuan rumah dan memfasilitasi pendatang untuk mengekspresikan pengalaman kogntif dan
afektif.
mengacu pada partisipasi pendatang dalam berbagai kegiatan komunikasi sosial tuan
rumah seperti komunikasi interpersonal maupun komunikasi massa tuan rumah. Komunikasi
interpersonal tuan rumah membantu pendatang untuk mengamankan informasi penting dan
wawasan ke dalam pola pikir dan perilaku orang-orang setempat.
Di satu sisi, ketergantungan yang sangat besar dan berkepanjangan pada budaya
sebelumnya dapat mempertahankan keterhubungan dengan budaya asli mereka namun di
lain pihak dapat menjadi penghalang bagi proses adaptasi budaya.
2. Faktor lingkungan
Menurut Kim, fungsi adaptif dari kompentensi komunikasi tuan rumah individu dan
kegiatan komunikasi sosial baik komunikasi interpersonal dan komunikasi massa tidak dapat
dilepaskan dari lingkungan tuan rumah.
Host receptivity mengacu pada sejauh mana lingkungan tertentu dapat diakses dan
terbuka bagi pendatang secara struktural maupun psikologis. Sekelompok masyarakat
tertentu mungkin dapat bersikap menerima terhadap kelompok pendatang tertentu namun
tidak untuk kelompok pendatang yang lain.
Host conformity pressure mengacu pada tekanan yang diberikan oleh tuan rumah
terhadap pendatang untuk bertindak sesuai dengan budaya setempat. Tekanan ini akan
semakin besar dirasakan oleh pendatang dalam lingkup budaya yang homogen dibandingkan
dengan lingkup budaya yang heterogen.
Ethnic group strength mengacu pada status atau kedudukan etnis tertentu dalam
konteks masyarakat setempat. Kelompok etnis yang lebih kuat dapat menghambat proses
adaptasi budaya oleh anggota individu. Kelompok etnis yang luas dan besar menawarkan
kepada anggotanya sistem informasi, emosi, dan dukungan material. Di satu sisi, hal ini
dapat membantu proses adaptasi budaya pendatang baru namun di sisi lain dapat digunakan
sebagai alat untuk mempertahankan praktek etnis tertentu dan mencegah pendatang untuk
berpartisipasi aktif dalam kegiatan komunikasi sosial tuan rumah.
Preparedness mengacu pada kesiapan mental, emosi, dan motivasi pendatang untuk
berhadapan dengan lingkungan budaya baru termasuk pemahaman tentang bahasa dan
budaya tuan rumah.
Interaksi yang terjadi antara faktor komunikasi, faktor lingkungan, dan faktor
predisposisi individu sebagaimana yang telah diulas di atas berpengaruh terhadap perubahan
adaptif dan transformasi antar budaya individu.
Menurut Kim, perubahan adaptif dan transformasi antar budaya individu
menimbulkan tiga aspek yang saling berkaitan satu sama lain yaitu meningkatnya
fungsionalitas dalam melaksanakan transaksi sehari-hari, memperbaiki kesehatan psikologis
dalam menghadapi lingkungan, dan menimbulkan orientasi identitas antar budaya.
Mempelajari teori adaptasi budaya dapat memberikan beberapa manfaat, diantaranya adalah
:
Contoh studi kasus 1 kemampuan adaptasi budaya manusia untuk menyesuaikan diri dengan
lingkungan
Berbicara akan hal itu,kembali lagi pada abad atau era islam.Dikutip dari artikel
(ganaislamika.com,2018)budaya wayang merupakan budaya asli Indonesia. Keberadaan
wayang sudah berabad-abad sebelum agama Hindu masuk ke pulau Jawa. Walaupun cerita
wayang yang populer di masyarakat masa kini merupakan adaptasi dari karya sastra India,
dalam perjalannya wayang banyak mengalami pengubahan dan penambahan untuk
menyesuaikan dengan falsafah asli Indonesia”
Wayang merupakan warisan kebudayaan leluhur yang telah mampu bertahan dan
berkembang selama berabad-abad. Dengan mengalami berbagai perubahan dan
perkembangan sampai pada bentuknya sekarang ini.
Wayang telah dikenal sejak zaman purba yang merupakan perwujudan dari bayang-bayang
nenek moyang. Dalam kepercayaan animisme dan dinamisme, roh nenek moyang yang telah
lama mati dianggap sebagai pelindung bagi manusia yang masih hidup. Roh tersebut tinggal
di bukit-bukit, gunung-gunung, pohon besar dan benda-benda lainnya.
Menurut penelitian para ahli sejarah kebudayaan, budaya wayang merupakan budaya asli
Indonesia, khususnya di pulau Jawa. Keberadaan wayang sudah berabad-abad sebelum
agama Hindu masuk ke pulau Jawa. Walaupun cerita wayang yang populer di masyarakat
masa kini merupakan adaptasi dari karya sastra India, yaitu Ramayana dan Mahabrata.
Kedua induk cerita itu dalam pewayangan banyak mengalami pengubahan dan penambahan
untuk menyesuaikan dengan falsafah asli Indonesia.[1]
Menurut Dr. Hazeu, wayang telah ada sejak zaman Airlangga (950 Caka atau 1028 Masehi
permulaan abad XI sesudah Masehi) di dalam kerajaan Kediri yang makmur. Pertunjukan
bayang-bayang (wayang) mempergunakan boneka dari kulit (wilulang inukir) dan bayang-
bayangnya diproyeksikan pada tabir (kelir).[2]
Berdasarkan berbagai sumber baik lisan maupun tulisan, di masa lampau di nusantara ini
telah tumbuh dan berkembang berbagai macam jenis wayang. Sedemikian banyak jumlah
wayang yang ada di Nusantara. Sebelum Islam masuk ke tanah Nusantara, khususnya di
Jawa, wayang telah menemukan bentuknya. Bentuk wayang pada awalnya menyerupai relief
yang kita jumpai di candi-candi seperti di Prambanan dan Borobudur.[4]
Ada dua pendapat yang mengatakan tentang asal-usul wayang. Pendapat pertama
mengatakan bahwa wayang berasal dan lahir pertama kali di pulau Jawa, tepatnya di Jawa
Timur. Pendapat ini dianut dan dikemukakan bukan hanya oleh para ahli dan peneliti bangsa
Indonesia, akan tetapi juga merupakan hasil penelitian sarjana-sarjana Barat, diantaranya
Hazeau, Brandes, Kats, Rentse dan Kruyt. Pendapat ini memiliki dasar yang cukup kuat
karena seni wayang masih amat erat kaitannya dengan keadaan sosiokultural dan religi
bangsa Indonesia, khususnya orang Jawa. Hazeu mengatakan bahwa struktur wayang
digubah menurut model yang amat tua (cara bercerita dalang, tinggi rendah suara dan
ekspresi-ekspresinya). Termasuk desain teknis, gaya, dan susunan lakon khas Jawa. Wayang
tumbuh dari upacara penyembahan nenek moyang. Beberapa tokoh dalam pewayangan
terutama Punakawan seperti Semar, Gareng, Petruk dan Bagong merupakan tokoh wayang
yang hanya ada dalam pewayangan di Indonesia dan tidak ada di negara lain. Selain itu nama
dan istilah teknis pewayangan semuanya berasal dari bahasa Jawa (Kuna).[5]
Pendapat kedua mengatakan bahwa diduga wayang berasal dari India, yang dibawa bersama
dengan agama Hindu ke Indonesia. Budaya wayang diperkirakan sudah lahir di Indonesia
setidaknya pada zaman pemerintahan Prabu Airlangga, Raja Kahirupan (976-1012), yakni
ketika kerajaan Jawa Timur itu sedang makmur. Karya sastra yang menjadi bahan cerita
wayang sudah ditulis oleh para pujangga Indonesia, sejak abad X. Antara lain naskah sastra
Kitab Ramayana Kakawin berbahasa Jawa Kuna ditulis pada masa pemerintahan raja Dyah
Balitung (959-910) yang merupakan gubahan dari kitab Ramayana karangan pujangga India,
Walmiki. Selanjutnya, para pujangga Jawa tidak lagi hanya menerjemahkan Ramayana dan
Mahabrata ke bahasa Jawa Kuna, tetapi mengubahnya dan menceritakan kembali dengan
memasukkan falsafah Jawa Kuna kedalamnya. Beberapa peneliti yang mengatakan bahwa
wayang berasal dari India antara lain Pischel, Hidding, Krom, Poensen, Goslings, dan J.J
Ras.
Setelah zaman Jawa Timur barulah wayang memasuki zaman Islam (1478 M – 1945 M),
wayang pada masa ini telah berfungsi sebagai alat dakwah, penerangan, pendidikan, hiburan,
sumber sastra dan budaya. Isi ceritanya diambil dari Babad, yaitu percampuran Ramayana
dan Mahabrata versi Indonesia secara Islami. Bentuk wayang pun mengalami perubahan.
Pertunjukan wayang dipimpin oleh kyai sebagai dalang. Masa terakhir dari wayang adalah
zaman Indonesia merdeka (1945 M – sekarang), dimana wayang berfungsi sebagai hiburan,
unsur budaya dan kesenian, pendidikan, simbolis, dan filosofi. Wayang juga dimainkan oleh
pemuka adat, mahasiswa, pegawai dan lain sebagainya. [7]
Nama-nama Punakawan sendiri (Semar, Nala Gareng, Petruk dan Bagong) sebagai satu
kesatuan sebenarnya merepresentasikan karakteristik kepribadian Muslim yang ideal.
Semar, sebagaimana dijelaskan Sudarto, berasal dari kata ismar yang berarti seorang yang
mempunyai kekuatan fisik dan psikis. Ia sebagai representasi seorang mentor yang baik bagi
kehidupan, baik bagi raja maupun masyarakat secara umum. Nala Gareng berasa dari
kata nala qarin yang berarti seorang yang mempunyai banyak teman. Ia merupakan
representasi dari orang yang supel, tidak egois, dan berkepribadian menyenangkan sehingga
ia mempunyai banyak teman. Petruk merupakan kependekan dari frase fatruk ma siwa
Allah yang berarti seorang yang berorientasi dalam segala tindakannya kepada Tuhan. Ia
merepresentasikan orang yang mempunyai konsen sosial yang tinggi dengan dasar kecintaan
kepada Tuhan. Bagong berasal dari kata baghayang berarti menolak segala hal yang bersifat
buruk atau jaha, baik yang berada di dalam diri sendiri maupun di dalam masyarakat.[1]
Contoh studi kasus 2 kemampuan adaptasi budaya manusia untuk menyesuaikan diri dengan
lingkungan
Pada era modern, kesenian Lenong telah mengalami berbagai perubahan bentuk apabila
dibandingkan dengan awal kemunculannya. Perubahan-perubahan tersebut dimaksudkan
untuk melakukan penyesuaian dengan perkembangan zaman agar kesenian Lenong dapat
bertahan di tengah gerusan globalisasi. Salah satunya adalah dengan cara memperpendek
durasi cerita Lenong.
Saat ini, cerita yang dimainkan pada ksesenian Lenong berdurasi sekitar 1–3 jam, bahkan
ada yang kurang dari itu. Pendeknya durasi cerita kesenian Lenong yang dimainkan saat ini
juga menyesuaikan masyarakat saat ini yang hanya menonton kesenian Lenong apabila
memiliki waktu senggang. Demi mengikuti selera masyarakat, Lenong Preman jauh lebih
sering dimainkan bila dibandingkan dengan jenis Lenong Denes.
Walaupun dalam hal ini lenong telah berubah menjadi sebuah hiburan yang lebih modern
tetapi perubahan tersebut merupakan perubahan yang kurang baik.Lenong merupakan salah
satu contoh adaptasi budaya manusia terhadap lingkungan atau era yang telah berubah
dengan semakin majunya teknologi.Lenong berusaha tetap eksis dibalik gerusan buadaya
kebarat – baratan yang masuk ke Indonesia.Sehingga lenong tetap dapat dinikmati oleh
masyarakat tanpa adanya sebuah paksaan dari pihak manapun.
Daftar Pustaka
- Lenong betawi dulu dan kini | Majalah 1000guru
- Wayang Dalam Dakwah Islam Di Nusantara (4) : Peran dan Sejarah Sunan Kalijaga (1)
dan (3) – Gana Islamika
Disusun oleh :
BAYU PRATAMA PUTRA
NPM :
04.2016.1.02933
Dosen Pengajar :
FIRDHA AYU ATIKA,S.T,M.T
JURUSAN ARSITEKTUR
FAKULTAS TEKNIK SIPIL DAN PERENCANAAN
INSTITUT TEKNOLOGI ADHI TAMA
2019/2020