ELAINE 12 IPS 2
KAA
Gerakan Non-Blok
ASEAN
Deklarasi Djuanda
Pertama kali diadakan di Bandung, Indonesia pada tanggal 18 hingga 24 April 1955.
Tujuan diadakannya kaa ini adalah untuk mempererat solidaritas antar negara-negara Asia
dan negara-negara di Afrika serta dalam upaya melawan kolonialisme.
Indonesia turut berperan serta dalam upaya menciptakan perdamaian dunia. Salah satunya
melalui partisipasi pada pelaksanaan Konferensi Asia Afrika (KAA) di 1955.
Melansir American Empire, Konferensi Tingkat Tinggi Asia Afrika diadakan pada 18-24
April 1955 di Bandung, Jawa Barat. KAA diikuti oleh negara-negara yang baru memperoleh
kemerdekaan.
KAA diselenggarakan oleh Indonesia, Burma (Myanmar), Ceylon (Srilanka), India dan
Pakistan. Menteri Luar Negeri Indonesia Sunario sebagai koordinator. Sebanyak 24 negara di
Asia dan Afrika menghadiri KAA 1955.
Konferensi Asia Afrika untuk pertama kalinya diadakan di Bandung, Indonesia pada tanggal
18 hingga 24 April 1955.
Konferensi ini dihadiri oleh negara-negara di Asia dan di Afrika. Konferensi ini dilaksanakan
di gedung Merdeka yang berada tepat di pusat kota Bandung, sehingga ada pula yang
menyebut konferensi ini sebagai konferensi Bandung.
Negara yang memprakarsai adanya konferensi ini adalah Indonesia, Sri Lanka, Myanmar atau
Burma, India dan Pakistan. Kegiatan ini dikoordinasi oleh Menteri Luar Negeri Indonesia
yang menjabat saat itu, yaitu Sunario.
Adapun timeline waktu kegiatan dari konsep penyusunan hingga pelaksanaan KAA adalah
sebagai berikut:
Namun sayangnya waktu itu tidak semua negara bisa memerdekaan diri, ada pula yang masih
berjuang untuk bisa meraih kemerdekaanya.
Masalah yang dihadapi adalah negara-negara di asia dan Afika terhalang oleh kolonialisme
yang dikuasai oleh dua blok besar di dunia yaitu blok timur dan blok barat yang saat itu
sedang melakukan perang dingin.
Meskipun keberadaan PBB sudah cukup mendinginkan masalah tersebut namun banyak
negara di Asia dan Afrika yang mendapatkan dampak negatifnya secara berkepanjangan.
Akhirnya perdana Menteri Sri Lanka mengundang perwakilan Negara Myanmar, Pakistan
dan Indonesia untuk bisa membahas masalah tersebut.
Konferensi ini dikenal dengan nama Konferensi Kolombo. Kala itu Indonesia diwakili oleh
Ali Sastroamidjojo.
Atas perintah Presiden Soekarno Ali Sastroamidjojo diutus untuk menyampaikan ide
membentuk KAA.
Pertemuan tersebut dengan maksud membangun solidaritas antar negara-negara di Asia dan
Afrika demi melepas konflik yang terjadi di negara masing-masing.
Gagasan Konferensi Asia Afrika dipengaruhi oleh beberapa latar belakang, yaitu:
Selain Perang Dingin, pergolakan di dunia juga terjadi akibat masih adanya penjajahan
terutama di Asia dan Afrika.
Sebelum 1945, umumya Asia dan Afrika menjadi daerah jajahan negara-negara Barat.
Tetapi sejak 1945, banyak daerah di Asia dan Afrika menjadi negara merdeka tetapi masih
banyak menghadapi masalah-masalah sisa penjajahan seperti Indonesia tentang Irian Barat,
India dan Pakistan.
Beberapa negara Asia dan Afrika yang telah merdeka masih mengalami konflik
antarkelompok masyarakat sebagai akibat masa penjajahan (politik divide et impera).
Meski masih ada yang berjuang bagi kemerdekaan bangsa dan negaranya seperti Aljazair,
Tunisia, dan Maroko di Afrika Utara, Vietnam di Indo Cina, dan di ujung selatan Afrika.
Mengutip Sumber Belajar Kemdikbud RI, berakhirnya Perang Dunia II pada Agustus 1945
bukan berarti situasi permusuhan di antara bangsa-bangsa di dunia berakhir dan langsung
tercipta perdamaian dan keamanan dunia.
Di belahan dunia, terutama di wilayah Asia dan Afrika masih ada masalah bahkan muncul
masalah baru yang mengakibatkan permusuhan bahkan pada tingkat perang terbuka. Seperti
yang terjadi di Korea, Indo Cina, Palestina, Afrika Selatan dan Afrika Utara.
Penyebabnya permasalahan tersebut adalah lahirnya dua blok kekuatan yang bertentangan
secara ideologi maupun kepentingan, yaitu Blok Barat dan Blok Timur. Blok Barat dipimpin
oleh Amerika Serikat sedangkan Blok Timur dipimpin oleh Uni Sovyet.
Masing-masing blok berusaha menarik negara-negara Asia dan Afrika agar menjadi
pendukungnya. Akibatnya, permusuhan terselubung tetap hidup bahkan bertumbuh di antara
kedua blok dan para pendukungnya. Suasana ini dikenal dengan nama Perang Dingin.
Pada masa ini telah ada badan internasional yaitu Perserikatan Bangsa-bangsa atau PBB
(United Nations atau UN) yang berfungsi menangani masalah-masalah dunia. Tetapi
nyatanya badan ini belum berhasil menyelesaikan berbagai persoalan dunia, seperti Perang
Dingin, pengembangan senjata nuklir, dan penjajahan suatu bangsa atas bangsa lain.
7. Kerja sama dalam bidang sosial, ekonomi, kebudayaan di antara bangsa-bangsa Asia-
Afrika.
9. Memperbesar peranan Asia-Afrika dalam dunia sekarang dan ikut serta mengusahakan
perdamaian dunia.
Dalam KAA ini negara-negara peserta terdiri dari 3 kelompok pandangan politiknya yang
berbeda, yaitu: kelompok yang pro Barat, seperti Filipina, Muang Thai, Pakistan, Iran, dan
Turki; kelompok yang beraliran Komunis yaitu RRC dan Vietnam Utara; dan kelompok yang
netral seperti India, Birma, Srilangka dan Indonesia, serta ada juga yang belum
menampakkan pandangan politiknya.
Hasil dari KAA yang dilaksanakan di Gedung Merdeka di Bandung Indonesia pada tanggal
18 hingga 24 April 1955 adalah sebagai berikut.
Hasil dari Konferensi Asia Afrika ini juga biasa dikenal dengan nama Dasasila Bandung yang
memiliki 10 poin utama, yaitu:
Setelah berhasil memerdekakan diri dan meraih pengakuan dunia, Indonesia menggelar
Konferensi Asia Afrika (KAA).
Konferensi itu membahas masalah-masalah yang dihadapi negara-negara bekas koloni Barat
yang baru berkembang. Dalam KAA juga disepakati prinsip dasar hubungan internasional
yang dikenal sebagai Dasasila Bandung. Namun KAA tak cukup.
Sebab, ada negara berkembang yang baru merdeka juga, yakni Yugoslavia yang berada di
luar Asia dan Afrika. Maka setelah KAA Bandung, pada tahun 1956 ada pula Deklarasi
Brijuni yang digelar di Pulau Brijuni, Yugoslavia.
Deklarasi itu ditandatangani Presiden Yugoslavia Josip Broz Tito, Perdana Menteri India
Jawaharlal Nehru, dan Presiden Mesir Gamal Abdel Nasser. Jawaharlal Nehru dan para
pemimpin negara berkembang tak ingin terseret pertarungan politik AS dengan Uni Soviet.
Usai Perang Dunia II, AS dan Uni Soviet terlibat dalam Perang Dingin. Perang Dingin adalah
ketegangan politik yang terjadi antara Barat (Amerika Serikat dan sekutu NATO) dengan Uni
Soviet dan negara-negara satelitnya. Keduanya berebut ideologi.
AS dengan demokrasinya melawan Uni Soviet dan komunismenya. Yang jadi sasarannya,
negara-negara berkembang yang baru merdeka seperti Indonesia dan India.
Kondisi ini membuat Jawaharlal Nehru dan pemimpin dunia lainnya menginisiasi Gerakan
Non-Blok. GNB terbentuk lewat Konferensi Beograd yang digelar pada 1961. Sebanyak 25
negara yang turut serta yakni Afghanistan, Algeria, Yaman, Myanmar, Kamboja, dan Sri
Lanka.
Kemudian Kongo, Kuba, Cyprus, Mesir, Ethiopia, Ghana, dan Guinea. Lalu India, Indonesia,
Irak, Lebanon, Mali, Maroko, Nepal, Arab Saudi, Somalia, Sudan, Suriah, Tunisia, dan
Yugoslavia.
Lima tokoh penting yang jadi penggagas yakni Presiden Yugoslavia Josip Broz Tito, PM
India Jawaharlal Nehru, Presiden Indonesia Soekarno, Presiden Mesir Gamal Abdel Nasser,
dan PM sekaligus Preiden Ghana Kwame Nkrumah.
Dikutip dari situs Kementerian Luar Negeri, GNB berketetapan untuk mendirikan suatu
gerakan, bukan organisasi.
GNB tidak menjadikan negara pasif dalam politik internasional, melainkan untuk
menformulasikan posisi sendiri secara independen yang merefleksikan kepentingan negara-
negara anggotanya.
Tujuan utama GNB semula mengupayakan hak menentukan nasib sendiri, kemerdekaan
nasional, kedaulatan,dan integritas nasional negara-negara anggota.
Tujuan penting lainnya adalah penentangan terhadap apartheid; dan tidak memihak pada
pakta militer multilateral.
GNB juga menentang segala bentuk dan manifestasi imperialisme; perjuangan menentang
kolonialisme, neo-kolonialisme, rasialisme, pendudukan, dan dominasi asing.
GNB mendukung perlucutan senjata; tidak mencampuri urusan dalam negeri negara lain dan
hidup berdampingan secara damai.
GNB menolak penggunaan atau ancaman kekuatan dalam hubungan internasional. GNB juga
berkomitmen dalam pembangunan ekonomi-sosial dan restrukturisasi sistem perekonomian
internasional; serta kerja sama internasional berdasarkan persamaan hak.
Setelah tahun 1970-an, setelah Perang Dingin berakhir, hingga saat ini, GNB lebih banyak
berfokus pada masalah ekonomi dunia. Konferensi GNB digelar setiap tiga tahun sekali.
Sekarang ada 120 anggota, 17 negara pengamat, dan 10 organisasi internasional yang
tergabung dalam GNB. GNB adalah pengelompokan negara-negara terbesar setelah
Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB).
Peran Indonesia
Peran Indonesia sendiri dalam gerakan Non-Blok bukan hanya menjadi anggota, tetapi juga
menjadi salah satu negara penggagas gerakan ini yang saat itu diwakili oleh Presiden
Soekarno bersama dengan 4 negara lainnya yaitu India yang diwakili oleh Perdana Menteri
Jawaharlal Nehru, Mesir diwakili oleh Presiden Gamal Abdel Nasser , Yugoslavia diwakili
oleh Josip Broz Tito, dan Ghana diwakili oleh Kwame Nkrumah.
Bagi Indonesia gerakan Non-Blok ini penting, karena prinsip dan tujuannya merupakan
refleksi dari perjuangan dan tujuan kebangsaan Indonesia sebagaimana tertuang dalam
Undang-undang Dasar (UUD)1945.
Peran Indonesia dalam gerakan ini, selain menjadi pemrakarsa juga sempat memimpin pada
tahun 1992 sampai 1995. Dimana, Presiden Soeharto menjabat sebagai ketua gerakan serta
Indonesia menjadi tuan rumah bagi Konfrensi Tingkat Tinggi X gerakan Non Blok pada 1-6
September 1992.
Selaku ketua gerakan Non-Blok saat itu, Indonesia juga menghidupkan kembali dialog
konstruktif Utara-Selatan berdasarkan saling ketergantungan yang setara (genuinde
interdependence), kesamaan kepentingan dan manfaat, serta tanggung jawab bersama. Selain
itu, Indonesia juga mengupayakan penyelesaian masalah utang luar negeri negara-negara
berkembang miskin yang terpadu, berkesinambungan dan komprehensif.
Yugoslavia, India, Mesir, Indonesia, Pakistan, Kuba, Kolombia, Venezuela, Afrika Selatan,
Iran, Malaysia, dan untuk suatu masa, Republik Rakyat Tiongkok.
1. KTT I GNB (1-6 September 1961) di Beograd, Yugoslavia, Pelaksanaan KTT I GNB
ini didorong oleh adanya krisis Kuba. Konferensi ini dihadiri oleh 25 negara dan
menghasilkan Deklarasi Beograd yang intinya menyerukan untuk menghentikan
perang dingin dan mendamaikan antara Amerika Serikat dan Uni Soviet.
2. Keputusan KTT I GNB ini melalui Presiden Soekarno dan Presiden Medibo Keita
(dari Mali) disampaikan kepada Presiden F. Kennedy (Presiden Amerika Serikat).
Sedangkan PM Nehru (India) dan Presiden Kwame Nkrumah (Ghana) menyampaikan
kepada PM. Kruschev (Perdana Menteri Uni Soviet).
3. KTT II GNB (5-10 Oktober 1964) di Kairo Mesir. Pada KTT II GNB ini diikuti oleh
47 Negara peserta serta 10 peninjau lainnya antara lain Sekretaris Jenderal Organisasi
Persatuan Afrika dan Liga Arab. Masalah perkembangan dan kerjasama ekonomi juga
mendapat perhatian pada KTT II GNB ini.
4. KTT III GNB (8-10 September 1970) di Lusaka, Zambia. Negara peserta yang hadir
ada 53 negara. Hasil terpenting KTT kali ini adalah perlunya upaya meningkatkan
kesejahteraan dan kemakmuran negara berkembang.
5. KTT IV GNB (5-9 September 1973) di Algiers, Aljazair. KTT IV GNB ini membahas
tentang peningkatan kerjasama dan saling pengertian antara negara-negara yang
sedang berkembang serta berusaha meredakan ketegangan di Timur Tengah
pergolakan di Rhodesia, dan bagian-bagian Afrika lainnya.
6. KTT V GNB (16-19 September 1976) di Kolombo, Srilangka pada KTT V GNB ini
membahas tentang penyelamatan dunia dari ancaman perang nuklir dan berusaha
memajukan negara-negara Non Blok.
7. KTT VI GNB (3-9 September 1979) di Havana, Kuba. KTT bertujuan
memperjuangkan bantuan ekonomi bagi negara-negara Non Blok dan menggiatkan
peran PBB dalam tata ekonomi dunia baru.
8. KTT VII GNB (7-12 Maret 1983) di New Delhi, India. KTT menghasilkan seruan
dilaksanakannya demokrasi tata ekonomi yakni dihapuskannya proteksionesme oleh
negara maju.
9. KTT VIII GNB (1-6 September 1986) di Harane, Zimbabue. KTT kali ini
menghasilkan seruan dihapuskannya politik Apartheid di Afrika Selatan serta
membahas sengketa Irak-Iran.
10. KTT IX (4-7 September 1989) di Beograd, Yugoslavia. KTT yang dihadiri oleh 102
negara ini berhasil membahas kerja sama Selatan-Selatan (antarnegara berkembang).
11. KTT X GNB (1-6 September 1992) di Jakarta, Indonesia. KTT yang dihadiri oleh 108
negara ini berhasil merumuskan “Pesan Jakarta” (Jakarta Message) antara lain
berusaha menggalang kerja sama Selatan-Selatan dan Utara-Selatan.
12. KTT XI GNB (16-22 Oktober 1995) di Cartagena, Kolombia. KTT ini dihadiri oleh
113 negara yang bertujuan memperjuangkan restrukturisasi dan demokratisasi di
PBB.
13. KTT XII GNB (1-6 September 1998) di Durban, Afrika Selatan. KTT ini dihadiri
oleh 113 negara, bertujuan memperjuangkan demokratisasi dalam hubungan
internasional.
14. KTT XIII GNB (Februari 2003) di Kuala Lumpur, Malaysia.
15. KTT XIV GNB (2006) di Havana, Kuba.
Pernyataan dari kedua negara adikuasa (Amerika Serikat dan Uni Soviet) untuk
mengurangi senjata-senjata nuklirnya.
Gencatan senjata antara Irak dan Iran.
Usaha penyelesaian sengketa di Kamboja secara damai.
Penarikan pasukan Uni Soviet dari Afganistan.
Meningkatkan hubungan kerja sama di bidang ekonomi antar anggota Gerakan Non
Blok dan negara-negara maju di luar Gerakan Non Blok.
3). Misi Pemeliharaan Perdamaian Garuda
Latar Belakang
Pada awalnya, peran MPP PBB terbatas pada pemeliharaan gencatan senjata dan stabilisasi
situasi di lapangan, untuk memberikan ruang bagi usaha-usaha politik dalam menyelesaikan
konflik. Dengan berakhirnya Perang Dingin, konteks penggelaran MPP PBB berubah dari
misi "tradisional" yang mengedepankan tugas-tugas militer menjadi misi yang lebih
"multidimensional". Perubahan ini terjadi baik dari segi mandat maupun komposisi personel
(semakin melibatkan komponen polisi dan sipil), dalam rangka mengimplementasikan
perjanjian damai secara komprehensif dan membantu meletakkan dasar-dasar bagi
terciptanya perdamaian yang berkelanjutan.
Sifat dari konflik yang harus dihadapi oleh MPP PBB juga mengalami perubahan.
Sebelumnya, mayoritas MPP PBB dihadapkan pada konflik antar negara, namun saat ini
MPP PBB dituntut untuk dapat diterjunkan pada berbagai konflik internal dan perang
saudara. MPP PBB juga dihadapkan pada realita semakin meningkatnya konflik yang bersifat
asimetris, ancaman kelompok bersenjata, terorisme dan radikalisme, serta penyakit menular.
Dalam konteks internasional, partisipasi tersebut merupakan indikator penting dan konkrit
dari peran suatu negara dalam memberikan kontribusi dalam menjaga perdamaian dan
keamanan internasional. Sedangkan dalam konteks nasional, keterlibatan tersebut merupakan
sarana peningkatan profesionalisme individu dan organisasi yang terlibat secara langsung
dalam penggelaran operasi internasional.
Secara strategis dan ekonomis, partisipasi Indonesia dalam misi pemeliharaan perdamaian
juga dapat dimanfaatkan untuk mendorong pengembangan industri strategis nasional di
bidang pertahanan. Beberapa produk Indonesia yang digunakan dalam MPP PBB antara lain
adalah Armored Personnel Carrier ANOA dan KOMODO serta senjata api SS dari PT.
Pindad, dan seragam militer/polisi buatan swasta nasional.
Kontribusi Indonesia pada MPP PBB dimulai pada tahun 1957, saat Indonesia mengirimkan
559 personel infantri sebagai bagian dari United Nations Emergency Force (UNEF) di Sinai.
Pengiriman tersebut diikuti dengan kontribusi 1.074 personel infantri (1960) dan 3.457
personel infantri (1962), sebagai bagian dari United Nations Operation in the Congo (ONUC)
di Republik Kongo.
Saat ini, jumlah personel Indonesia yang tengah bertugas dalam berbagai MPP PBB (sesuai
data gabungan per 30 November 2018) adalah sejumlah 3.544 personel (termasuk 94
personel perempuan), dan menempatkan Indonesia di urutan ke-7 dari 124 Troops/Police
Contributing Countries (T/PCC). Personel dan Pasukan Kontingen Garuda tersebut bertugas
di 8 (delapan) MPP PBB, yaitu UNIFIL (Lebanon), UNAMID (Darfur,Sudan), MINUSCA
(Repubik Afrika Tengah), MONUSCO (Republik Demokratik Kongo), MINUSMA (Mali),
MINURSO (Sahara Barat), UNMISS (Sudan Selatan), dan UNISFA (Abyei, Sudan).
Melalui Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 85 tahun 2011, Presiden RI telah membentuk
Tim Koordinasi Misi Pemeliharaan Perdamaian (TKMPP) yang keanggotaannya terdiri dari
Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum dan Keamanan (Pengarah), Menteri Luar Negeri
(Ketua), Menteri Pertahanan, Menteri Hukum dan HAM, Menteri Keuangan, Menteri Negara
Perencanaan Pembangunan Nasional, Sekretaris Kabinet, Panglima TNI, Kepala Kepolisian
RI dan Kepala Badan Intelijen Negara. Sedangkan bertindak sebagai Sekretaris TKMPP
sekaligus sebagai Ketua Pelaksana Harian adalah Direktur Jenderal Kerja Sama Multilateral,
Kemlu.
Tujuan utama dari misi ini adalah untuk menjaga perbatasan Israel dan Mesir bersama
dengan pasukan PBB. Misi ini resmi berakhir pada 29 September 1957.
Seiring dengan dinamika tantangan dan mandat MPP PBB, Indonesia akan mendorong
peningkatan critical enablers yang dibutuhkan oleh misi, seperti misalnya kapabilitas
jihandak, medis, air field support unit atau Tim Polisi Berkemampuan Khusus (Specialized
Police Teams).
Indonesia berkomitmen untuk meningkatkan jumlah dan peran peacekeeper perempuan
Indonesia, dalam rangka mendukung pencapaian target PBB untuk menggelar personel
perempuan minimum sebesar 15% sebagai military observer dan staff officer dan 20%
sebagai personel polisi di MPP PBB pada tahun 2020. Keberadaan personel perempuan di
MPP PBB telah terbukti memberikan kontribusi bagi peningkatan efektifitas pelaksanaan
mandat, termasuk dalam upaya winning the hearts and minds dari masyarakat setempat.
Personel perempuan juga memiliki peran unik dalam membantu upaya MPP PBB
mencegah Sexual Exploitation and Abuse (SEA). Dalam kaitan ini, pada kesempatan
pertemuan High-Level Meeting on Sexual Exploitation and Abuse pada bulan September
2017 di New York, Indonesia telah menandatangani Voluntary Compact: Commitment to
Eliminate SEA, dan akan mengimplementasikan komitmen tersebut, termasuk melalui
kurikulum pelatihan komprehensif yang menekankan pentingnya pencegahan SEA kepada
para peacekeeper Indonesia.
Untuk meningkatkan aspek keselamatan dan keamanan personel, Indonesia akan terus
tingkatkan kualitas peralatan dan perlengkapan serta kapabilitas unit, sejalan dengan
komitmen penguatan MPP PBB yang termuat di dalam inisiatif Action for
Peacekeeping yang diluncurkan Sekjen PBB pada tahun 2018.
4). ASEAN
Pengertian ASEAN
Pengertian ASEAN yang merupakan sebuah akronim dari Association of Souteast Asian
Nations adalah Perhimpunan Negara-negara yang Berada dikawasan Asia Tenggara.
Organisasi ASEAN yang pada awalnya hanya berjumlah lima negara saja sekarang sudah
tumbuh berkembang menjadi 10 negara antara lain Indonesia, Malaysia, Singapura, Thailand,
Filipina, Brunei Darussalam, Vietnam, Myanmar, Laos dan Kamboja dimana lima negara
ASEAN merupakan sebuah organisasi internasional kewilayahan yang begitu besar, jika
dijumlahkan secara keseluruhan luas wilayahnya mencapai 1,7 juta mil persegi atau sekitar
4,5 juta kilometer persegi dengan jumlah populasi yang ada didalamnya sekitar setengah
milyar orang. ASEAN dibentuk dengan maksud dan tujuan kepentingan negara-negara
didalamnya seperti ekonomi, sosial, budaya, dll.
Sejarah ASEAN
Latar belakang berdirinya ASEAN tak lepas dari adanya persamaan antara negara-negara di
Asia Tenggara. Berikut adalah persamaan-persamaan tersebut.
1. Persamaan Geografis
Semua negara yang ada di Asia Tenggara sama-sama terletak di antara dua benua, keduanya
adalah Benua Asia serta Australia. Selain itu, negara-negara Asia Tenggara juga terletak di
antara dua samudra, yaitu Samudra Hindia serta Pasifik.
2. Persamaan Budaya
Tiap negara di Asia Tenggara memiliki dasar kebudayaan, tata kehidupan, bahasa serta
pergaulan yang nyaris sama. Wajar saja karena semua negara ini umumnya adalah pewaris
dari peradaban rumpun Melayu Austronesia.
3. Persamaan Nasib
Negara-negara di Asia Tenggara sama-sama pernah merasakan masa penjajahan oleh bangsa
Barat, kecuali negara Thailand. Hal ini yang akhirnya memunculkan rasa kesetiakawanan di
antara negara-negara Asia Tenggara.
ASEAN yang merupakan sebuah perhimpunan negara-negara yang berada dikawasan Asia
Tenggara ini didirikan pada tanggal 8 Agustus 1967 di Kota Bangkok, Thailand yang dikenal
dengan Deklarasi Bangkok. Deklarasi ini dihadiri oleh lima negara yang disebut juga dengan
negara pendiri ASEAN, yaitu Indonesia, Malaysia, Singapura, Thalaind dan juga Filipina.
Wakil-wakil dari ke-5 negara tersebut antara lain Adam Malik (indonesia), Tun Abdul Razak
(Malaysia), S. Rajaratnam (Singapura), Thanat Khoman (Thaialand), dan Narciso Ramos
(Filipina).
Hal lain yang mendasari pembentukan ASEAN sesuai dengan poin yang ada pada tujuan
dibentuknya ASEAN di antaranya untuk mempererat kerjasama antar negara-negara di
kawasan Asia Tenggara dalam bidang ekonomi, politik, sosial dan budaya. Tujuan ASEAN
lain adalah untuk memajukan negara dan meningkatkan perdamaian di tingkat regional.
Tujuan ASEAN
ASEAN tersebut memiliki tujuan yang tercantum dalam Deklarasi Bangkok ialah untuk :
Adapun perdamaian dan juga stabilitas regional, itu menarik untuk dicatat bahwa sejak awal,
belum ada konfrontasi bersenjata antara negara-negara dalam anggota, yang merupakan suatu
catatan-layak untuk diingat ialah banyak argumen lama mengenai perbatasan darat dan laut
di wilayah tersebut.
Lambang Asean
Berikut merupakan lambang ASEAN yang masih digunakan sampai sekarang.Lambang
Asean ialah simbol yang diresmikan pada bulan Juli Tahun 1997 yang berbarengan dengan
diresmikannya Bendera Asean. Walaupun simbol ini sudah ada dari sebelumnya, namun baru
digunakan dan diresmikan di Hanoi, Vietnam pada tanggal 8 April 2010 saat pertemuan ke 6
Dewan Koordinasi Asean.
Traktat Bantuan Hukum Timbal Balik di Bidang Pidana (Treaty on Mutual Legal
Assistance in Criminal Matters/MLAT);
Konvensi ASEAN tentang Pemberantasan Terorisme (ASEAN Convention on
Counter Terrorism/ACCT);
Pertemuan para Menteri Pertahanan (Defence Ministers Meeting/ADMM) yang
bertujuan untuk mempromosikan perdamaian dan stabilitas kawasan melalui dialog
serta kerjasama di bidang pertahanan dan keamanan;
Penyelesaian sengketa Laut China Selatan;
Kerjasama Pemberantasan kejahatan lintas negara yang mencakup pemberantasan
terorisme, perdagangan obat terlarang, pencucian uang, penyelundupan dan
perdagangan senjata ringan dan manusia, bajak laut, kejahatan internet dan kejahatan
ekonomi internasional;
Kerjasama di bidang hukum; bidang imigrasi dan kekonsuleran; serta kelembagaan
antar parlemen;
Sebagai organisasi internasional yang pada awalnya lebih banyak menekankan pada masalah
politik, terutama masalah Palestina, dalam perkembangannya OKI menjelma sebagai suatu
organisasi internasional yang menjadi wadah kerja sama di berbagai bidang politik, ekonomi,
sosial, budaya, dan ilmu pengetahuan antar negara-negara muslim di seluruh dunia.
Untuk menjawab berbagai tantangan yang mengemuka, negara-negara anggota OKI
memandang revitalisasi OKI sebagai permasalahan yang mendesak. Semangat dan dukungan
terhadap perlunya revitalisasi OKI dilatarbelakangi oleh kenyataan bahwa struktur dan
kinerja organisasi OKI dinilai belum efisien dan efektif. Dalam kaitan ini, telah diadakan
rangkaian pertemuan yang berhasil mengkaji dan melakukan finalisasi TOR restrukturisasi
OKI yang disiapkan oleh Malaysia.
OIC 10-years Program of Actions merupakan awal perubahan OKI yang tidak hanya
menfokuskan pada masalah politik, tetapi juga ekonomi perdagangan. Program Aksi 10 tahun
OKI mencakup isu-isu politik dan intelektual, isu-isu pembangunan, sosial, ekonomi, dan
ilmu pengetahuan yang diharapkan dapat menjawab kesenjangan kesejahteraan umat. Di
bidang politik dan intelektual, dalam 10 tahun OKI diharapkan mampu menangani berbagai
isu seperti upaya membangun nilai-nilai moderasi dan toleransi; membasmi ekstrimisme,
kekerasan dan terorisme; menentang Islamofobia; meningkatkan solidaritas dan kerja sama
antar-negara anggota, pencegahan konflik, penanganan masalah Filipina, hak-hak kelompok
minoritas dan komunitas muslim, dan masalah-masalah yang dialami Afrika.
KTT OKI ke-11 berlangsung antara tanggal 13-14 Maret 2008 dan bertemakan “The Islamic
Ummah in the 21st Century”. KTT ini menghasilkan beberapa dokumen utama, yaitu Piagam
OKI, Final Communiqué, dan sejumlah resolusi. Final Communiqué mengangkat berbagai
isu, antara lain mengenai politik, keamanan, Palestina, minoritas muslim seperti Kosovo,
terorisme, ekonomi, sosial budaya, hukum, iptek, dan sosial budaya. Sementara itu, resolusi
terkait yang berhubungan dengan keamanan global/regional antara lain adalahResolutions on
the Cause of Palestine, the City of Al-Quds Al-Sharif and the Arab-Israel Conflict,
Resolutions on Political Affairs, danResolutions on Muslim Communities and Minorities in
Non-OIC Member States. Piagam Baru tersebut pada intinya merupakan penegasan OKI
untuk mengeksplorasi bentuk kerja sama yang lain dan tidak terbatas pada kerja sama politik
saja.
Dalam kesempatan tersebut, Presiden RI dalam pidatonya menyampaikan antara lain (a)
dukungan terhadap OIC’s Ten-Year Plan of Action yang merupakan cerminan pragmatisme
OKI dalam menghadapi tantangan dan permasalahan umat, (b) konflik Palestina-Israel
merupakan penyebab utama krisis di Timur Tengah dan juga merupakan tantangan serius
perdamaian dan keamanan internasional; terkait dengan hal ini, Presiden Indonesia
menyambut baik hasil Konferensi Annapolis pada bulan Desember 2007, terutama mengingat
adanya joint understanding untuk mendirikan negara Palestina pada akhir tahun 2008, (c)
potensi kapasitas negara-negara anggota OKI dapat diberdayakan dalam memainkan
perannya dalam upaya memelihara perdamaian dan keamanan global, pemberantasan
kemiskinan, dan percepatan pembangunan, (d) Islam, demokrasi, dan modernitas maupun
HAM adalah compatible, (e) Islam adalah agama perdamaian dan toleran.
Upaya interfaith dan inter-civilization dialogue perlu didukung dalam mengurangi persepsi
yang salah dan ketakutan terhadap Islam (Islamofobia) di kalangan Barat, (f) pembangunan
umat Islam harus memperhatikan aspek lingkungan. Dapat disampaikan bahwa wakil Asia,
Afrika, dan Arab juga memiliki pandangan yang kurang lebih sama.
Selanjutnya, dalam KTM ke-35 OKI dengan tema Prosperity and Development di Kampala,
Uganda, tanggal 18-20 Juni 2008, telah dilakukan penandatanganan Piagam Baru OKI oleh
para Menteri Luar Negeri, termasuk Menteri Luar Negeri RI. Indonesia sangat mendukung
proses revitalisasi OKI dan menginginkan agar OKI dapat semakin efektif dalam menanggapi
berbagai perubahan dan tantangan global sesuai dengan tujuan pembentukannya. Sebagai
negara dengan penduduk Islam terbesar di dunia, Indonesia senantiasa berpartisipasi aktif
dalam OKI dengan tujuan akhir untuk mendorong proses good governance di dunia Islam
untuk menjadikan OKI sebagai organisasi yang kredibel, kompeten, dan diakui perannya di
dunia internasional.
Pertemuan ke-36 Dewan Menteri Luar Negeri OKI (PTM ke-36 OKI) yang dilaksanakan di
Damaskus, tanggal 23-25 Mei 2009 membahas isu-isu kerja sama yang menjadi perhatian
bersama seperti politik, komunitas muslim di negara bukan anggota OKI, kemanusiaan
(humanitarian affairs), hukum, masalah-masalah umum dan
keorganisasian, informasi, ekonomi, ilmu pengetahuan dan teknologi,dakwah, sosial
budaya, dan administrasi serta keuangan. Dalam kesempatan tersebut, Menlu RI
menyampaikan pokok-pokok pidato, antara lain mengenai perlunya diintensifkan
pelaksanaan reformasi OKI khususnya di bidang demokrasi, good governance, dan HAM,
termasuk hak-hak wanita sesuai dengan mandat Program Aksi 10 Tahun OKI (TYPOA) dan
Piagam Baru OKI, di samping isu Palestina, kerja sama perdagangan dan pelibatan sektor
swasta di antara negara anggota, serta sebagai Ketua PCSP-OIC melaporkan perkembangan
proses perdamaian di Filipina Selatan terkait dengan pelaksanaan pertemuan Tripartite antara
Pemerintah Filipina-MNLF-OKI yang merundingkan implementasi sepenuhnya Perjanjian
Damai 1996.
Dalam berbagai forum internasional, termasuk OKI, Indonesia telah memberikan dukungan
bagi berdirinya Negara Palestina yang merdeka dan berdaulat dengan Yerusalem sebagai
ibu kotanya. Realisasi dari dukungan tersebut diwujudkan dalam bentuk dukungan
diplomatik, yaitu pengakuan terhadap keputusan Dewan Nasional Palestina (Palestinian
National Council) untuk memproklamasikan Negara Palestina pada tanggal 15 November
1988. Dukungan kemudian dilanjutkan dengan pembukaan hubungan diplomatik antara
Pemerintah RI dan Palestina pada tanggal 19 Oktober 1989. Di samping itu, Indonesia adalah
anggota Committee on Al-Quds (Yerusalem) yang dibentuk pada tahun 1975.
Selain itu, isu terorisme juga telah menjadi perhatian utama OKI. Komitmen OKI untuk
mengatasi masalah terorisme terlihat antara lain pada The Extraordinary Session of the
Islamic Conference of Foreign Ministers on Terrorism di Kuala Lumpur, Malaysia, 1-3 April
2002, yang menghasilkan Kuala Lumpur Declaration on International Terrorism. Deklarasi
tersebut pada intinya menekankan posisi negara-negara anggota OKI dalam upaya untuk
memerangi terorisme dan upaya-upaya untuk mengkaitkan Islam dengan
terorisme. Terorisme merupakan salah satu isu di mana OKI memiliki sikap bersama pada
pembahasan di forum SMU PBB. Inti posisi OKI adalah perlunya pembedaan antara
kejahatan terorisme dan hak sah perlawanan rakyat Palestina untuk merdeka. Dalam kaitan
ini, maka penyelesaian politik konflik Palestina secara adil akan memberikan sumbangan
bagi pemberantasan the root causes of terrorism.
Pada tanggal 18 - 20 Mei 2010, dilaksanakan Pertemuan ke-37 Dewan Menteri Luar Negeri
Organisasi Konferensi Islam (KTM ke-37 OKI) di Dushanbe, Tajikistan.
Pertemuan ini merupakan KTM OKI pertama yang diadakan di Asia Tengah, dengan tema
“Shared Vision of a More Secure and Prosperous Islamic World”. Pertemuan tersebut
merupakan momentum khusus bagi kawasan tersebut dalam rangka meningkatkan kerja
samanya dengan negara-negara anggota OKI lain, dan diharapkan dapat menjadi bagian dari
upaya OKI dalam menjawab berbagai tantangan yang dihadapi. Dalam pertemuan tersebut,
Menlu RI menekankan kembali mengenai proses reformasi OKI yang tengah berjalan dan
perlunya negara-negara anggota OKI mendukung proses tersebut, antara lain melalui
implementasi Piagam OKI dan Program Aksi 10 Tahun (TYPOA). Disampaikan pula
bahwa Pemerintah RI mendukung upaya OKI bagi realisasi pembentukan Komisi HAM OKI
dan terhadap statuta Organisasi Pembangunan Perempuan OKI yang telah disahkan.
Di masa mendatang, pembentukan kedua badan dimaksud akan semakin memperjelas posisi
OKI dalam mempromosikan dan mengembangkan HAM dan isu perempuan di dunia
internasional. Pemerintah RI juga menyatakan sikapnya atas upaya terciptanya dunia yang
bebas dari senjata nuklir berdasarkan 3 pilar utama, yaitu nuclear disarmament, non-
proliferasi nuklir, dan penggunaan nuklir untuk tujuan damai. Untuk itu, Pemerintah
RI menyambut baik tercapainya kesepakatan antara Iran, Turki, dan Brazil dalam hal
pengaturan penggunaan energi nuklir. Hal ini diharapkan akan membantu penyelesaian isu
nuklir Iran.
Di samping itu, pada kesempatan yang sama Pemerintah RI juga menyatakan dukungan atas
berdirinya negara Palestina yang merdeka dan ajakan kepada komunitas internasional untuk
secara bersama memberikan bantuan yang diperlukan guna meningkatkan taraf hidup
masyarakat Palestina. Indonesia telah memberikan prioritas pada pengembangan capacity
building bagi rakyat Palestina, mencakuppembangunan sosial, pemerintahan, ekonomi,
infrastruktur, dan keuangan untuk periode 2008 - 2013.
KTM OKI ke-37 telah mengesahkan apa yang disebut Deklarasi Dushanbe. Deklarasi
tersebut menggarisbawahi beberapa isu, seperti Perdamaian di Timur Tengah; Afghanistan;
pengutukan agresi Armenia terhadap Azerbaijan; menyambut baik kesepakatan pertukaran
bahan bakar nuklir oleh Iran, Turki, dan Brazil; terorisme; perlucutan senjata nuklir dan
senjata pemusnah massal; pengembangan SDM dan pendidikan; mendorong kelancaran
barang dan jasa di antara Negara OKI; dialog antar-peradaban dan Islamofobia.
Disela-sela pelaksanaan KTM, selaku Ketua Komite Perdamaian OKI untuk Filipina Selatan
(OIC-PCSP – Peace Committee for the Southern Philippines), Indonesia mengadakan
pertemuan Komite pada tanggal 20 Mei 2010 yang dihadiri oleh anggota Komite, yaitu Arab
Saudi, Brunei Darussalam, Libya, Malaysia, Mesir, Tajikistan, Turki, Senegal, serta Utusan
Khusus Sekretaris Jenderal OKI untuk Filipina Selatan, Dubes Sayyed El-Masry. Bangladesh
tidak hadir dalam pertemuan tersebut. Dalam kesempatan itu, selaku Ketua Komite,
Indonesia menyampaikan laporan perkembangan implementasi dari Perjanjian Damai 1996,
khususnya pasca-Pertemuan Tripartite (GRP - OKI - MNLF) Maret 2009 hingga pertemuan
di Tripoli, Libya, 20 Mei 2010.
Mewakili Presiden RI, Menlu RI turut berpartisipasi dalam KTT Luar Biasa OKI ke-4 yang
diselenggarakan pada tanggal 14-15 Agustus 2012 di Mekkah, Arab Saudi. KTT
ini membahas isu-isu yang tengah menjadi perhatian bersama negara-negara anggota
OKI, yaitu isuPalestina, Suriah, muslim Rohingya di Myanmar, Mali, dan Sahel. Di samping
itu, KTT Luar Biasa OKI berhasil menyepakati Final Communique yang memuat keputusan
KTT OKI untuk membekukan keanggotaan Suriah serta beberapa resolusi lainnya mengenai
Palestina, Suriah, Mali, dan Sahel.
Pada tanggal 2-7 Februari 2013, diselenggarakan rangkaian Konferensi Tingkat Tinggi
(KTT) ke-12 OKI di Kairo, Mesir yang dihadiri oleh 26 Kepala Negara/Pemerintahan negara
anggota OKI. Dalam KTT tersebut, Presiden RI menyampaikan pernyataan mewakili
Kelompok Asia dan atas kapasitas nasional. Presiden RI antara lain menyatakan bahwa OKI
harus dapat memanfaatkan kesempatan yang ada bagi kepentingan umat Islam dan berperan
di tingkat global. Dalam kaitan ini, OKI harus dapat menjadi kontributor utama bagi
perdamaian dunia dan keamanan, pembangunan ekonomi dan kemakmuran global yang
merata, serta pengembangan demokrasi dan penghormatan hak asasi manusia.
Pada tanggal 6 Februari 2013 juga telah diselenggarakan sesi khusus bagi Kepala
Negara/Pemerintahan terkait isu settlements di wilayah Palestina. Sesi khusus ini
diselenggarakan mengingat adanya rencana Israel untuk membangun lebih dari 3.600
pemukiman di Yerusalem Timur yang merupakan pelanggaran terhadap hukum internasional.
Pada kesempatan tersebut, Menlu RI menyampaikanpernyataan Presiden RI yang memuat
usulan langkah-langkah konkret yang dapat diambil OKI dalam kerangka diplomatik,
legal, dan ekonomi.
KTM OKI ke-40 ini mengesahkan Conakry Decalaration yang berisi pernyataan sikap OKI
atas berbagai isu dan resolusi-resolusi yang disahkan dalam pertemuan, termasuk Resolusi
mengenai “The Situation in the Southern Philipines”. Pengesahan Ranres ini mengalihkan
Keketuaan pada OIC-PCSP dari Indonesia kepada Mesir. (Terakhir dimutakhirkan: 9 Januari
2014).
Perairan Indonesia merupakan perairan yang memiliki banyak potensi. Potensi itu terlihat
dengan jelas melalui banyak sumber daya yang beraneka ragam dalam perairannya. Seiring
perkembangan dalam sejarah Indoneisa, perairan Indonesia menjadi salah satu hal yang
sangat vital dalam berbagai kegiatan.
Berbagai kegiatan itu berupa kegiatan perdagangan, transportasi, mata pencaharian, hiburan,
dan sebagainya. Dari berbagai kegiatan tersebut, terciptalah potensi-potensi yang istimewa.
Potensi-potensi ini mempengaruhi bangsa lain sehingga ada keinginan dari mereka untuk
menguasai daerah kedaulatan.
Dalam wilayah kedaulatan yang dimiliki Indonesia, terutama untuk perairan, tentu hal ini
menjadi sesuatu yang penting. Kita mengetahui bahwa bangsa Indonesia dijajah oleh Belanda
dengan waktu yang tidak sebentar. Selama penjajahan tersebut, banyak sekali pergolakan
yang dilakukan oleh tokoh-tokoh pergerakan mulai dari organisasi hingga pemberontakan
yang melimpahkan tumpah darah rakyat Indonesia.
Pemerintah Belanda yang pada akhirnya tergantikan oleh pemerintah Jepang harus menelan
pil pahit bahwa kekuasaan berganti. Namun, tokoh-tokoh pergerakan tetap melawan adanya
imperialisme tersebut dengan cara berjuang baik secara diplomasi maupun aksi kolektif
terhadap pemerintah. Ketika rakyat merebut kemerdekaan pada 17 Agustus 1945, masih ada
perlawanan terhadap para penjajah.
Belanda masih ingin merebut wilayah kedaulatan Indonesia dengan strategi-strategi yang
mereka gunakan karena masih merasa wilayah Indonesia masih dikuasai Belanda. Hal ini
menuntut rakyat Indonesia untuk melawan dalam bentuk diplomasi dan aksi secara fisik.
Perjuangan tersebut terus berlangsung hingga terjadinya perebutan wilayah Irian Barat.
Perebutan Irian Barat antara Indonesia dangan Belanda membuat hubungan antara kedua
negara tersebut menjadi renggang, bahkan putus. Oleh karena itu, Indonesia harus
mempertahankan wilayah dan kedaulatan negara demi terwujudnya Indonesia yang bebas
dari penjajah.
Indonesia mendapatkan ancaman dari dalam dan luar. Ancaman dari dalam adalah ancaman
berupa pemberontakan-pemberontakan. Pemberontakan-pemberontakan tersebut bersifat
sparatis. Ancaman dari luar adalah sengketa antara Belanda dengan Indonesia tentang Irian
Jaya.
Hal ini sungguh membuat prihatin Indonesia dalam situasi dan kondisinya. Belum lagi,
suasana perang dingin antara AS dan US yang pada saat itu sedang marak mempengaruhi
jalannya deklarasi tersebut. AS menolak deklarasi, sedangkan US mendukungnya.
Indonesia memiliki pulau besar dan kecil sejumlah 18000. Oleh karena itu, penting sekali jika
wilayah perairan diprioritaskan.Untuk mempertahankan hal itu wilayah negara Republik
Indonesia mengacu pada Ordonansi Hindia Belanda 1939, yaitu Teritoriale Zeeën en
Maritieme Kringen Ordonantie 1939 (TZMKO 1939).
Dalam peraturan zaman Hindia Belanda ini, pulau-pulau di wilayah Nusantara dipisahkan
oleh laut di sekelilingnya dan setiap pulau hanya mempunyai laut di sekeliling sejauh 3 mil
dari garis pantai. Ini berarti kapal asing boleh dengan bebas melayari laut yang memisahkan
pulau-pulau tersebut.
Bagi tanah yang terbagi atas beribu-ribu pulau, maka semboyan mare liberum (laut merdeka)
menurut ajarah Hugo Grotius itu dan yang diakui oleh segala bangsa dalam segala seketika
tidak tepat dilaksanakan dengan begitu saja, karena kepulauan Indonesia tidak saja berbatasan
dengan Samudera Pasifik dan Samudera Hindia, tetapi juga berbatasan dengan beberapa
lautan dan beribu-ribu, selat yang luas atau yang sangat sempit.
Di bagian selat dan lautan sebelah dalam, maka dasar “laut merdeka” tidak dapat dijalankan,
dan jikalau dijalankan akan sangat merendahkan kedaulatan negara dan merugikan
kedudukan pelayaran, perdagangan laut dan melemahkan pembelaan negara. Oleh sebab itu,
maka dengan penentuan batasan negara, haruslah pula ditentukan daerah, air lautan manakah
yang masuk lautan lepas. Tidak menimbulkan kerugian, jikalau bagian Samudea Hindia
Belanda, Samudera Pasifik dan Tiongkok Selatan diakui menjadi laut bebas, tempat aturan
laut merdeka.
Sekeliling pantai pulau yang jaraknya beberapa kilometer sejak air pasang-surut dan segala
selat yang jaraknya kurang dari 12 km antara kedua garis pasang-surut, boleh ditutup untuk
segala pelayaran di bawah bendera negara luaran selainnya dengan seizin atau perjanjian
negara kita.”
Melihat kondisi geografis Indonesia yang unik, banyaknya wilayah laut dibanding darat,
menyadarkan pemerintah bahwa persoalan wilayah laut merupakan faktor penting bagi
kedaulatan negara. Mochtar Kusumaatmadja, saat itu menjadi salah satu tim penyusun RUU
Laut Teritorial dan Lingkungan Maritim, bahwa tim tersebut telah berhasil menyusun lebar
laut teritorial seluas 12 mil sesuai dengan perkembangan yang terjadi dalam hukum
internasional.
Kemudian Chaerul Saleh (Menteri Veteran) mendatangi beliau dan tidak setuju dengan
usulan tim penyusun. Alasannya adalah jika aturan diterapkan maka terdapat laut bebas
antara pulau-pulau di Indonesia sehingga kapal-kapal asing bisa bebas keluar masuk. Hal
tersebut jelas dapat “mengganggu” kedaulatan Indonesia yang masih berumur muda.
Saran dari Chaerul Saleh adalah untuk menutup perairan dalam (Laut Jawa) sehingga tidak
ada kategori laut bebas didalamnya. Mochtar lantas menjawab tidak mungkin karena tidak
sesuai dengan hukum internasional saat itu dan berjanji untuk mendiskusikanya dengan tim.
Hari Jumat 13 Desember 1957, tim RUU Laut Teritorial menghadap kepada perdana menteri
Djuanda. Beliau meminta untuk dijelaskan perihal hasil rancangan tim. Mochtar
Kusumaatmadja sebagai ahli hukum internasional (hukum laut) tampil ke depan untuk
menjelaskan.
Fakta di atas memunculkan tiga aktor penting hingga dikeluarkanya Deklarasi Djuanda,
yaitu; Djuanda, Mochtar Kusumaatmadja dan Chaerul Saleh. Satu hal yang pasti ialah
deklarasi Djuanda merupakan keputusan Djuanda karena posisi dia saat itu sebagai
pengambil kebijakan.
Tujuan
Tujuan dari Deklarasi Djuanda tidak lain adalah menegaskan kedaulatan Indonesia atas
wilayah laut di sekitar pulau-pulaunya. Djuanda menyatakan bahwa Indonesia merupakan
Archipelago State yang dengan prinsip-prinsipnya memiliki hak atas laut-laut yang ada di
sekitarnya. Serta mencegah terjadinya konflik akibat adanya laut internasional di antara
wilayah-wilayahnya. Konsepsi ini tentunya mendapat tentangan dari dunia internasional.
Pada dasarnya negara-negara lain belum ada yang menggunakan konsep Archipelago State
dikarenakan wilayah negaranya yang tidak terpisah dengan laut yang amat panjang.
Djuanda tentunya berkaca pada betapa mudahnya Indonesia pasca deklarasi kemerdekaan
tahun 1945 diblokade oleh Belanda melalui laut. Bisa saja terjadi kondisi-kondisi yang
serupa, tentunya sangat merugikan bagi Indonesia. Tujuan dari deklarasi Djuanda dapat
dibagi menjadi tiga bagian :
1. Mewujudkan bentuk wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia yang utuh dan
bulat
2. Menentukan batas-batas wilayah yang jelas dari Republik Indonesia, sesuai dengan
prinsip-prinsip negara kepulauan
3. Mengatur lalu lintas pelayaran yang damai, serta pada saat yang sama dapat menjamin
keutuhan dan keamanan Republik Indonesia.
Berdasarkan perhitungan 196 garis batas lurus “straight baselines” dari titik pulau terluar
( kecuali Irian Jaya”, terciptalah garis maya batas yang mengelilingi Republik Indonesia
sepanjang 8.069,8 mil laut.
Deklarasi ini baru dapat diterima oleh dunia internasional setelah PBB pada tahun 1982
menetapkan konvensi hukum laut ketiga. United Nations Convention on the Law of the Sea
(UNCLOS) dikeluarkan pada tahun tersebut serta diratifikasi oleh mayoritas negara-negara
dunia. Keputusan ini diratifikasi Indonesia dalam Undang-Undang Nomor 17 Tahun 1985
tentang Pengesahan UNCLOS 1982. Adanya deklarasi Djuanda merupakan peranan besar
Indonesia dalam mewujudkan sebuah konvensi hukum laut yang disepakati dunia.
Memberikan ketegasan serta kejelasan dalam urusan laut yang sangat penting bagi negara
kepulauan seperti Indonesia.
Dampak
Dampak dari Deklarasi Djuanda 1957 dan selanjutnya melalui UNCLOS 1982 adalah luas
wilayah yang bertambah kurang lebih 2,5 kali lipat dari 2.027.087 km2 kemudian menjadi
5.193.250 km2. Saat itu belum termasuk dengan Irian Barat yang melalui jalan buntu
kesepakatannya dengan Belanda. Selain itu, Indonesia juga berhak atas lautan lepas yang
berisi sumber daya alam sekaligus jalur dagang yang strategis. Hal ini menjadikan Indonesia
memiliki potensi ekonomi yang jauh lebih besar dibandingkan dengan sebelumnya. Tanggal
13 Desember kemudian disahkan oleh Presiden Abdurrahman Wahid sebagai Hari Nusantara
pada tahun 1999, kemudian diperkuat oleh Presiden Megawati melalui Keputusan Presiden
RI Nomor 126 Tahun 2001 tentang Hari Nusantara.
JIM adalah pertemuan yang dilaksanakan dalam upaya menyelesaikan konflik Kamboja-
Vietnam dengan Indonesia sebagai perantaranya. Perang Indoensia III antara republic
Sosialis Vietnam melawan Pemerintah Demokratik Kamboja berlangsung sejak Tahun 1975.
Puncak penyerangan Vietnam terhadap Pemerintah Demokratik Kamboja terjadi pada 25
Desember 1978 yang berhasil menjatuhkan pemerintahan Pol Pot.
Tujuan dibentuknya Jakarta Informal Meeting (JIM) adalah untuk mendamaikan pihak-
pihak yang bertikai atau berperang di Kamboja dengan cara mempertemukan mereka dalam
suatu perundingan. Jakarta Informal Meeting (JIM) adalah upaya ASEAN untuk
menyelesaikan konflik antara Vietnam dengan Kamboja yang telah mencapai ranah
internasional. Akhirnya dibentuklah Jakarta Informal Meeting (JIM) atau Pertemuan Tidak
Resmi di Jakarta tahun 1988.
Dilaksanakan pada bulan Juli 1988. Pihak-pihak yang lerlibat konflik serta pihak mediator
mengirimkan delegasinya. Indonesia diwakili olch Mochtar Kusumaatmadja, Pemerintah
Koalisi
Demokratik Kamboja diwakili oleh Norodom Sihanouk. Pemerintah Vietnam diwakili olch
Nguyen Co Thach dan Republik Rakyat Kamboja diwakili oleh Hun Sen. Dalam pertemuan
lersebut. Norodom Sihanouk mengusulkan tiga lahap rencana penyclesaian Perang Indocina
III, antara lain: mclakukan gencatan senjala antara kedua belah pihak. diturunkannya pasukan
penjaga perdamaian PBB unluk mengawasi penarikan pasukan Vielnam dari Kamboja, dan
penggabungan semua kelompok bersenjala Kamboja ke dalam salu kesatuan.
PERAN INDONESIA
1. Keberhasilan Indonesia menyelenggarakan Jakarta Informal Meeting mendapat apresiasi
besar khususnya dari Dewan Keamanan PBB dengan membentuk United Nation Transitional
Authority in Cambodia (UNTAC) tanggal 28 Februari 1992 berdasarkan Resolusi Dewan
Keamanan PBB Nomor 745.
2. Mengirimkan pasukan Kontingen Garuda XII A – XII D untuk menjaga transisi
pemerintahan di Kamboja.
HASIL KEPUTUSAN
akhirnya, setelah melalui proses perundingan yang panjang maka pada tanggal 23 oktober
1991 digelar lah Paris Internasional Conference On Cambodia yang memberi hasil ditanda
tanganinya dokumen Perjanjian Paris
Upaya menyelesaikan konflik Kamboja mulai memasuki tingkat internasional, yaitu dengan
mengambil tempat di Paris. Dalam konferensi ini hadir wakil dari 20 negara, termasuk
ASEAN dan lima anggota tetap Dewan Keamanan PBB. Konferensi ini disebut dengan ICK
(International Conference on Kampuchea atau Konferensi Internasional mengenai Kamboja).
Konferensi berlangsung tanggal 30 – 31 Juli 1989.
ICK diharapkan mampu membentuk sebuah badan yang mengawasi penarikan mundur
pasukan Vietnam dari Kamboja dan melakukan perjanjian perdamaian. Namun, para
pengamat percaya bahwa keberhasilan ICK bergantung pada hasil pertemuan sebelumnya
pada tanggal 24 – 25 Juli 1989.
Perjalanan panjang upaya penyelesaian masalah Kamboja akhirnya menemui titik harapan
perdamaian. Pada tahun 1991, pasukan perdamaian PBB memprakarsai gencatan senjata
pihak-pihak yang bertikai. Pada tahun itu juga, Pangeran Norodom Sihanouk kembali duduk
sebagai kepala negara. Pada tahun 1993, Pangeran Norodom Sihanouk diangkat sebagai Raja.
Pada tahun itu juga diadakan pemilihan umum. Dalam pemilihan umum itu, Norodom
Ranariddh dan Hun Sen terpilih sebagai perdana menteri.