Arsip Konferensi Asia-Afrika di Bandung
Latar belakang
Konferensi Asia–Afrika didahului oleh Persidangan Bogor pada tahun 1949. Persidangan Bogor
merupakan pendahuluan bagi Persidangan Kolombo dan Konferensi Asia–Afrika. Persidangan
Bogor ke-2 diadakan pada 28–29 Desember 1954. [4]
Konferensi Asia–Afrika merefleksikan apa yang oleh para penyelenggara dianggap sebagai
keengganan kekuatan Barat untuk berkonsultasi dengan mereka mengenai keputusan yang
mempengaruhi Asia dalam pengaturan ketegangan Perang Dingin; keprihatinan mereka atas
ketegangan antara Republik Rakyat Tiongkok dan Amerika Serikat; keinginan mereka untuk
meletakkan fondasi yang lebih kuat bagi hubungan perdamaian Tiongkok dengan diri mereka
sendiri dan Barat; penentangan mereka terhadap kolonialisme, khususnya pengaruh Prancis di
Afrika Utara dan pemerintahan kolonialnya di Aljazair; dan keinginan Indonesia untuk
mempromosikan kasusnya dalam perselisihan dengan Belanda di Nugini Barat (Irian Barat).
Soekarno, presiden pertama Republik Indonesia, menggambarkan dirinya sebagai pemimpin
kelompok negara ini, yang kemudian ia gambarkan sebagai "NEFOS" (Newly Emerging Forces,
Kekuatan Dunia Baru).[5] Pada 4 Desember 1954, Perserikatan Bangsa-Bangsa mengumumkan
bahwa Indonesia telah berhasil mendapatkan masalah Irian Barat yang ditempatkan dalam
agenda sidang Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa tahun 1955.[6] Rencana untuk
konferensi Asia–Afrika diumumkan pada bulan yang sama. [7]
Persidangan
Zhou Enlai, Nehru, dan U Nu berdiskusi di sela-sela Konferensi Asia–Afrika.
Perdebatan besar berpusat pada pertanyaan apakah kebijakan Soviet di Eropa Timur dan Asia
Tengah harus dikecam bersama dengan kolonialisme Barat. Sebuah memo dikirimkan oleh
'Bangsa Muslim di bawah Imperialisme Soviet', menuduh pemerintah Soviet melakukan
pembantaian dan deportasi massal di wilayah Muslim, tetapi hal tersebut tidak pernah
diperdebatkan.[8] Sebuah konsensus dicapai di mana "kolonialisme dalam semua manifestasinya"
dikutuk, secara implisit mengkritik Uni Soviet, serta Barat. [9] Tiongkok memainkan peran penting
dalam konferensi ini dan memperkuat hubungannya dengan negara-negara Asia lainnya.
Setelah selamat dari upaya pembunuhan dalam perjalanan menuju konferensi, perdana menteri
Tiongkok, Zhou Enlai, menunjukkan sikap yang moderat dan damai yang cenderung untuk
menenangkan kekhawatiran beberapa delegasi anti-komunis mengenai niat Tiongkok.
Kemudian dalam konferensi tersebut, Zhou Enlai menandatangani artikel tersebut dalam
deklarasi penutup yang menyatakan bahwa Tionghoa perantauan memiliki loyalitas utama
kepada negara asal mereka, bukan ke Tiongkok – masalah yang sangat sensitif untuk tuan
rumah Indonesia dan untuk beberapa negara peserta lainnya. Zhou juga
menandatangani perjanjian kewarganegaraan ganda dengan Menteri Luar Negeri
Indonesia Sunario.
Lini masa
Pelopor
Ali Sastroamidjojo
Mohammad Ali Bogra
Jawaharlal Nehru
Sir John Kotelawala
U Nu
Peserta
Afganistan
Arab Saudi
Burma (sekarang Myanmar)
Ceylon (sekarang Sri Lanka)
Republik Rakyat Tiongkok
Ethiopia
India
Indonesia
Irak
Iran
Jepang
Kamboja
Laos
Lebanon
Liberia
Libya
Mesir
Nepal
Pakistan
Filipina
Siprus[1]
Sudan
Suriah
Thailand
Turki
Republik Demokratik Vietnam
Negara Vietnam (Republik Vietnam)
Kerajaan Mutawakkilīyah Yaman
Yordania
1.^ Siprus yang belum merdeka dan masih berada dalam kolonialisme diwakili oleh
tokoh yang di kemudian hari menjadi presiden pertamanya, Makarios III.[10]
Beberapa negara diberi "status pengamat". Seperti Brasil, yang mengirim Duta Besarnya
Bezerra de Menezes.
Deklarasi
Artikel utama: Dasasila Bandung
Sepuluh poin deklarasi mengenai dukungan bagi kedamaian dan kerjasama dunia,
dinamakan Dasasila Bandung, yang menggabungkan prinsip-prinsip Piagam PBB diadopsi
dengan suara bulat:
Untuk memperingati lima puluh tahun sejak pertemuan bersejarah tersebut, para Kepala
Negara negara-negara Asia dan Afrika telah diundang untuk mengikuti sebuah pertemuan
baru di Bandung dan Jakarta antara 19-24 April 2005. Sebagian dari pertemuan itu
dilaksanakan di Gedung Merdeka, lokasi pertemuan lama pada 50 tahun lalu. Sekjen
PBB, Kofi Annan juga ikut hadir dalam pertemuan ini. KTT Asia–Afrika 2005 menghasilkan
NAASP (New Asian-African Strategic Partnership, Kemitraan Strategis Baru Asia-Afrika),
yang diharapkan akan membawa Asia dan Afrika menuju masa depan yang lebih baik
berdasarkan ketergantungan-sendiri yang kolektif dan untuk memastikan adanya lingkungan
internasional untuk kepentingan para rakyat Asia dan Afrika. [14]
Pertemuan ketiga (2015)
Konferensi Asia-Afrika ke-60 dilaksanakan di 2 kota yaitu Jakarta pada 19-23 April 2015 dan
Bandung pada 24 April 2015 dengan agenda meliputi "Asia-Africa Business Summit" dan
"Asia-Africa Carnival". Tema yang dibawa adalah peningkatan kerja sama negara-negara di
kawasan Selatan, kesejahteraan, serta perdamaian. [15][16] KTT Asia-Afrika 2015 diikuti
sebanyak 89 kepala negara/pemerintahan dari 109 negara di kawasan Asia dan Afrika, 17
negara pengamat dan 20 organisasi internasional, dan 1.426 perwakilan media domestik
dan asing. Para peserta di antaranya adalah Perdana Menteri Jepang, Shinzo Abe, Presiden
Tiongkok, Xi Jinping, Perdana Menteri Malaysia, Najib Tun Razak, Presiden Myanmar, Thein
Sein, Raja Swaziland, Mswati III dan Perdana Menteri Nepal, Sushil Koirala.
Konferensi Asia Afrika 2015 telah menghasilkan 3 dokumen yaitu Pesan Bandung (Bandung
Message), Deklarasi Penguatan Kemitraan Strategis Baru Asia Afrika (NAASP) dan
Deklarasi kemerdekaan Palestina