NIM : 11170220000108
Kelas : 5D
Pasca Perang Dunia II, dunia dihadapkan pada dua kekuatan besar yang saling berlawanan
dan menjadi polemik internasional yakni Amerika Serikat (Blok Barat) dan Uni Soviet (Blok
Timur). Kedua kekuatan tersebut tak lain merupakan himpunan kekuatan politik dan militer
yang mempengaruhi kondisi dan sikap berbagai negara di seluruh dunia. Kedua blok sama-
sama menuntut berbagai negara di seluruh dunia untuk menentukan pilihannya pada salah
satu blok dan sikap netral dianggap antii dan bahkan dikutuk.
Dalam menanggapi hal ini, Indonesia memilih untuk tidak memihak pada piihak manapun.
Indonesia menamakan pilihan politik mereka dengan sebutan politik bebas aktif. Kata bebas
dalam hal ini mengacu pada netralitas Indonesia diantara kedua blok. Adapun kata aktif
merepresentasikan bahwa Indonesia sekuat tenaga untuk menjaga perdamaian dunia dengan
memilih berada di posisi tengah bersama negara-negara lainnya yang sepaham dan sejalan
dengan Indonesia.
Perjalanan politik bebas aktif telah dimulai sejak Indonesia masih menjalankan Kabinet
Republik Indonesia Serikat dibawah kepemimpinan Mohammad Hatta, meski hubungan
diplomasinya masih menitikberatkan pada negara-negara di Asia dan negara-negara Barat
karena berkaitan dengan perdagangan dan pasar hasil bumi Indonesia di Belanda dan negara-
negara Barat. Berlanjut pada Kabinet Natsir dimana Indonesia telah kembali pada negara
kesatuan, program utamanya adalah memperjuangkan pengembalian Irian Jaya Barat ke
tangan Indonesia. Begitu pula pada kabinet Sukiman di periode selanjutnya yang
menekankan pengembalian Irian Jaya dan menjalankan politik bebas aktif. Kabinet Wilopo
pada periode selanjutnya masih menekankan hal yang sama, yang berbeda adalah adanya
persiapan pemilihan umum, kemakmuran, pendidikan rakyat, dan keamanan.
Baru kemudian pada masa Kabinet Ali Sastromisjojo, muncul inisiatif untuk
menyelenggarakan sebuah konferensi bagi negara-negara di Asia-Afrika sebagai bentuk
untuk mendorong terciptanya perdamaian dunia ditengah-tengah perang dingin yang terjadi.
Berlanjut pada awal 1954 dimana ketika itu ketegangan di Indocina sedang memuncak, PM
Ali Sastromidjojo diundang oleh PM Sri Lanka Sir Johan Kotelawa untuk menghadiri
konferensi lima perdana menteri, yaitu PM Sri Lanka, PM Burma, PM India, PM Indonesia,
dan PM Pakistan. Ali Sastromidjojo melakui surat menyatakan kesediaannya untuk
menghadiri konferensi tersebut dengan dua syarat, yakni (1) supaya dalam konferensi itu
tidak dibicarakan hal-hal yang menjadi sengketa antara para peserta, (2) supaya dirinya diberi
kesempatan untuk mengajukan usul untuk mengadakan suatu konferensi semacam itu yang
memiliki jangkauan yang lebih luas. Kemudian hal tersebut disetujui oleh PM Sri Lanka.
Konferensi yang diadakan oleh PM Sri Lanka tersebut lebih dikenal dengan sebutan
Konferensi Colombo yang menjadi pembuka terselenggaranya Konferensi Asia-Afrika
dikemudiian.
Adapun Konferensi Colombo tersebut diadakan mulai 28 April sampai 2 Mei 1954 yang
bertempat di Gedung Senat di Colombo, Sri Lanka. Konferensi ini terselenggara atas rasa
kekhawatiran dan keprihatinan mengenai situasi peperangan di Indocina, agresi komunis di
Asia yang makin meningkat, dan senjata nuklir di dunia yang makin berkembang. Acara
tersebut diawali dengan pidato pembukaan oleh ketua konferensi dan pidato para perdana
menteri. Di sidang kedua dibicarakan perihal masalah Indocina. Adapun kehadiran Ali
Sastromidjojo didalam konferensi, selain untuk berpartisipasi dalam perdamaian dunia,
namun juga untuk mengajukan usulan dan meminta dukungan terkait pembentukan
Konferensi Asia-Afrika agar konferensi perdamaian dapat dilaksanakan dengan partisipasi
yang lebih luas dari keikutsertaan negara-negara di Benua Asia dan Afrika.
Pada konferensi kedua dari lima negara tersebut dibuka dengan pidato yang disampaikan
oleh PM Ali Sastromidjojo. Kemudian dilanjut dengan sambutan-sambutan dari keempat
perdana menteri lainnya. Laporan yang disampaikan PM Indonesia diantaranya adalah
mengenai konfirmasi dan respon dari negara-negara yang telah dihubungi. Disampaikan
bahwa Indonesia telah mengadakan pendekatan melalui saluran diplomatik terhadap 14
negara yakni, Afghanistan, Mesir, Ethiopia, Iran, Irak, Yordania, Libanon, Liberia, Libya,
Filipina, Arab Saudi, Suriah, Muang Thai (Thailand), dan Yaman. Kecuali Filipina dan
Thailand, keduabelas negara memberikan tanggapan positif yakni setuju untuk
menyelenggarakkan KAA sesegera mungkin. Semua setuju bahwa tempat konferensi di
Indonesia dan beberapa negara menghendaki agar RRC diundang, begitupun Taiwan. Akan
tetapi tentangan banyak disampaikan terhadap kemungkinan untuk mengundang Israel.