Anda di halaman 1dari 7

TUGAS RESUME VI

“Dari Asia Afrika ke Nefos”

Nama : Muna Nur Azizah Ashidiqi

NIM : 11170220000108

Kelas : 5D

Pasca Perang Dunia II, dunia dihadapkan pada dua kekuatan besar yang saling berlawanan
dan menjadi polemik internasional yakni Amerika Serikat (Blok Barat) dan Uni Soviet (Blok
Timur). Kedua kekuatan tersebut tak lain merupakan himpunan kekuatan politik dan militer
yang mempengaruhi kondisi dan sikap berbagai negara di seluruh dunia. Kedua blok sama-
sama menuntut berbagai negara di seluruh dunia untuk menentukan pilihannya pada salah
satu blok dan sikap netral dianggap antii dan bahkan dikutuk.

Dalam menanggapi hal ini, Indonesia memilih untuk tidak memihak pada piihak manapun.
Indonesia menamakan pilihan politik mereka dengan sebutan politik bebas aktif. Kata bebas
dalam hal ini mengacu pada netralitas Indonesia diantara kedua blok. Adapun kata aktif
merepresentasikan bahwa Indonesia sekuat tenaga untuk menjaga perdamaian dunia dengan
memilih berada di posisi tengah bersama negara-negara lainnya yang sepaham dan sejalan
dengan Indonesia.

Perjalanan politik bebas aktif telah dimulai sejak Indonesia masih menjalankan Kabinet
Republik Indonesia Serikat dibawah kepemimpinan Mohammad Hatta, meski hubungan
diplomasinya masih menitikberatkan pada negara-negara di Asia dan negara-negara Barat
karena berkaitan dengan perdagangan dan pasar hasil bumi Indonesia di Belanda dan negara-
negara Barat. Berlanjut pada Kabinet Natsir dimana Indonesia telah kembali pada negara
kesatuan, program utamanya adalah memperjuangkan pengembalian Irian Jaya Barat ke
tangan Indonesia. Begitu pula pada kabinet Sukiman di periode selanjutnya yang
menekankan pengembalian Irian Jaya dan menjalankan politik bebas aktif. Kabinet Wilopo
pada periode selanjutnya masih menekankan hal yang sama, yang berbeda adalah adanya
persiapan pemilihan umum, kemakmuran, pendidikan rakyat, dan keamanan.
Baru kemudian pada masa Kabinet Ali Sastromisjojo, muncul inisiatif untuk
menyelenggarakan sebuah konferensi bagi negara-negara di Asia-Afrika sebagai bentuk
untuk mendorong terciptanya perdamaian dunia ditengah-tengah perang dingin yang terjadi.
Berlanjut pada awal 1954 dimana ketika itu ketegangan di Indocina sedang memuncak, PM
Ali Sastromidjojo diundang oleh PM Sri Lanka Sir Johan Kotelawa untuk menghadiri
konferensi lima perdana menteri, yaitu PM Sri Lanka, PM Burma, PM India, PM Indonesia,
dan PM Pakistan. Ali Sastromidjojo melakui surat menyatakan kesediaannya untuk
menghadiri konferensi tersebut dengan dua syarat, yakni (1) supaya dalam konferensi itu
tidak dibicarakan hal-hal yang menjadi sengketa antara para peserta, (2) supaya dirinya diberi
kesempatan untuk mengajukan usul untuk mengadakan suatu konferensi semacam itu yang
memiliki jangkauan yang lebih luas. Kemudian hal tersebut disetujui oleh PM Sri Lanka.
Konferensi yang diadakan oleh PM Sri Lanka tersebut lebih dikenal dengan sebutan
Konferensi Colombo yang menjadi pembuka terselenggaranya Konferensi Asia-Afrika
dikemudiian.

Adapun Konferensi Colombo tersebut diadakan mulai 28 April sampai 2 Mei 1954 yang
bertempat di Gedung Senat di Colombo, Sri Lanka. Konferensi ini terselenggara atas rasa
kekhawatiran dan keprihatinan mengenai situasi peperangan di Indocina, agresi komunis di
Asia yang makin meningkat, dan senjata nuklir di dunia yang makin berkembang. Acara
tersebut diawali dengan pidato pembukaan oleh ketua konferensi dan pidato para perdana
menteri. Di sidang kedua dibicarakan perihal masalah Indocina. Adapun kehadiran Ali
Sastromidjojo didalam konferensi, selain untuk berpartisipasi dalam perdamaian dunia,
namun juga untuk mengajukan usulan dan meminta dukungan terkait pembentukan
Konferensi Asia-Afrika agar konferensi perdamaian dapat dilaksanakan dengan partisipasi
yang lebih luas dari keikutsertaan negara-negara di Benua Asia dan Afrika.

Ali sastromidjojo mengungkapkan dalam forum bahwa jika prinsip untuk


menyelenggarakan Konferensi Asia-Afrika disetujui, detail penyelenggaraan acara dapat
ditentukan kemudian dan pemerintah Indonesia akan mensponsori sendiri konferensi dan
menyanggupi semua pekerjaan pendahuluan untuk mempersiapkan konferensi. Akhirnya,
usul mengenai penyelenggaraan Konferensi Asia-Afrika pun diterima oleh seluruh peserta
konferensi Colombo dan keputusan tersebut tercantum di bagian terakhir dari seluruh
keputusan konferensi.
Persiapan untuk penyelenggaraan Konferensi Asia-Afrika pun dimulai sejak kepulangan
Ali Sastromidjojo dari Konferensi Colombo, dalam hal ini yang paling disibukkan dalam
urusan persiapan konferensi adalah Departemen Luar Negeri RI. Langkah pertama yang
dilakukan adalah dengan menghubungi negara-negara di Asia dan Afrika. Reaksi yang
muncul dari adanya undangan tersebut disambut baik oleh negara-negara yang bersangkutan
dan sangat berkenan.

Kemudian, atas undangan PM Nehru, pada tanggal 25 September Ali Sastromidjojo


datang ke New Delhi dan berhasil mengikat PM India dengan mengeluarkan Joint Statement
(pernyataan bersama) yang antara lain berbunyi bahwa kedua perdana menteri membicarakan
usul untuk mengadakan konferensi Asia Afrika. Hal senada diungkapkan PM Burma setelah
Ali Sastromidjojo mengadakan kunjungan pada tanggal 28 September 1954. Dalam
persetujuan antara Indonesia dan Indoa sebelumnya dicanangkan pertemuan kembali kelima
perdana menteri peserta Konferensi Colombo di Indonesia. Waktu dan tempat konferensi
ialah tanggal 28-30 Desember 1954 yang bertempat di Istana Bogor. Adapun maksud
konferensi ini adalh untuk membicarakan persipana-persiapan terakhir dari konferensi Asia-
Afrika.

Pada konferensi kedua dari lima negara tersebut dibuka dengan pidato yang disampaikan
oleh PM Ali Sastromidjojo. Kemudian dilanjut dengan sambutan-sambutan dari keempat
perdana menteri lainnya. Laporan yang disampaikan PM Indonesia diantaranya adalah
mengenai konfirmasi dan respon dari negara-negara yang telah dihubungi. Disampaikan
bahwa Indonesia telah mengadakan pendekatan melalui saluran diplomatik terhadap 14
negara yakni, Afghanistan, Mesir, Ethiopia, Iran, Irak, Yordania, Libanon, Liberia, Libya,
Filipina, Arab Saudi, Suriah, Muang Thai (Thailand), dan Yaman. Kecuali Filipina dan
Thailand, keduabelas negara memberikan tanggapan positif yakni setuju untuk
menyelenggarakkan KAA sesegera mungkin. Semua setuju bahwa tempat konferensi di
Indonesia dan beberapa negara menghendaki agar RRC diundang, begitupun Taiwan. Akan
tetapi tentangan banyak disampaikan terhadap kemungkinan untuk mengundang Israel.

Kemudian bahasan selanjutnya ialah mengenai tujuan konferensi, sponsor konferensi,


waktu dan lama konferensi, tingkat delegasi yang diminta hadir, agenda konferensi, dan
negara-negara yang diundang. Adapun tujuan konferensi sebagaimana yang diusulkan oleh
PM India dan disetujui oleh forum adalah:
1. Mengusahakan goodwill dan kerjasama antara bangsa-bangsa Asia dan Afrika,
menyelidiki dan mengusahakan baik untuk kepentingan timbal balik maupun
kepentingan bersama serta mengadakan dan membina hubungan persahabatan
diantara mereka sebagai tetangga-tetangga baik
2. Membicarakan soal-soal sosial, ekonomi, dan kebudayaan dari negara-negara
yang diwakili
3. Membicarakan soal-soal khusus bagi bangsa-bangsa Asia Afrika yang
memengaruhi kedaulatan nasional mereka serta soal-soal rasialisme dan kolonialisme
4. Meninjau kedudukan Asia, Afrika, dan rakyat-rakyat mereka di dunia serta
sumbangan yang dapat mereka berikan untuk memajukan perdamaian dan kerjasama
dunia
Mengenai sponsor, peserta konferensi sepakat bahwa Indonesia menjadi sponsor utama
konferensi dibantu empat negara lainnya. Keempat negara tersebut juga yang ikut memikul
sebagian baiaya konferensi. Adapun negara-negara yang diundang adalah semua negara di
benua Asia dan Afrika yang sudah merdeka atau sudah mempunyai pemerintahan sendiri
sebagai peserta penuh. Konferensi juga sepakat untuk mengundang Nepal, Turki, Jepang,
Vietnam Utara, Vietnam Selatan, Laos, Kamboja, dan Taiwan. Selain itu, mereka
mengundang dua negara di Afrika yang setengah merdeka yaitu Sudan dan Gold Coast
(Pantai Emas). Diputuskan pula untuk mengundang RRC, namun diputuskan untuk tiidak
mengundang Israel. Dengan demikian, jumlah negara yang diundang sebanyak 25 ditambah
lima negara sponsor sehingga seluruhnya menjadi 30 negara. Angka tersebut merupakan
setengah dari jumlah negara-negara merdeka di dunia pada waktu itu.
Untuk penyelenggaraan konferensi diputuskan untuk membentuk Joint Secretariat
(Sekretariat Bersama). Para wakil dari empat negara sponsor ikut serta dalam sekretariat
bersama dan Roeslan Abdulghani ditunjuk sebagai kepala sekretariat dan konferensi
ditetapkan untuk dilaksanakan di Bandung. Gedung-gedung yang akan dihunakan sebagai
tempat sidang dengan cepat di up grade, yakni Gedung Merdeka dan Gedung Dana Pensiun
yang diberi nama baru yakni Gedung Dwi Warna.
Konferensi pada hari pelaksanaan pun berjalan lancara. Dibuka oleh Presiden Soekarno
yang bertindak sebagi keynote speaker. Kemudian rapat dibuka kembali dan PM Ali
Sastromidjojo dengan suara bulat terpilih sebagai ketua umum (presiden) konferensi.
Kemudian acara berlangsung dengan peraturan bahwa setiap ketua delegasi diberi
kesempatan mengucapkan pidato dalam sidang pembukaan konferensi. Sgenda konferensi
meliputi lima pokok yaitu:
1. Kerjasama ekonomi
2. Kerjasama kebudayaan
3. Hak asasi manusia dan hak menentukan nasibnya sendiri (didalamnya
termasuk soal Palestina dan Rasialisme)
4. (didalamnya antara lain termasuk soal Irian Barat dan Afrika)
5. Masalah perdamaian dunia dan kerjasama internasional
Selanjutnya, forum dibagi kedalam tiga bagian, yakni Panitia Politik, Panitia Ekonomi,
dan Panitia Kebudayaan. Kesemua forum berjalan dengan lancar. Ada salah satu rumusan
yang memuaskan semua pihak dan oleh karenanya disetujui, yakni berbunyi “Kolonialisme
dalam segala manifestasinya adalah suatu kejahatan yang harus segera dihapuskan.”
Adapun inti dan hasil konferensi tertuang dalam 10 pasal yang menjadi dasar untuk
“memajukan perdamaian dan kerjasama di dunia”. Sepuluh pasal tersebut merupakan asas-
asas yang termuat dalam Piagam PBB yakni sebagai berikut:
1. Menghormaati hak asasi manusia
2. Menghormati kedaulatan dan keutuhan wilayah semua negara
3. Mengakui persamaan semua suku bangsa
4. Tidak melakukan campur tangan dalam urusan-urusan dalam negeri dari
negara lain
5. Menghormati hak setiap negara untuk mempertahankan diri
6. Tidak melakukan tekanan terhadap negara lain
7. Tidak melakukan tindakan-tindakan atau ancaman agresi ataupun penggunaan
kekerasaan terhadap keutuhan wilayah
8. Menyelesaikan segala perselisihan internasional secara damai
9. Memajukan kepentingan bersama dan kerjasama secara timbal balik
10. Menghormati hukum dan kewajiban-kewajiban internasional
Setelah konferensi Asia-Afrika berakhir, program pemerintah RI mengenai politik luar
negeri adalah:
1. menjalankan politik luar negeri bebas aktif berdasarkan kepentingan rakyat
dan menuju perdamaian dunia
2. meneruskan kerjasama dengan negara-negara Asia dan Afrika dan
melaksanakan keputusan-keputusan konferensi Asia Afrika
Berlanjut pada gerakan non-blok, diselenggarakan KTT negara-negara non-blok di
Beograd Yugoslavia pada 1-6 September 1961. Konferensi tersebut dihadiri oleh 25 negara
yakni Afghanistan, Aljazair, Burma, Kamboja, Sri Lanka, Kongo, Kuba , Siprus, Ethiopia,
Ghana, Guinea, India, Indonesia, Irak, Libanon, Mali, Maroko, Nepal, Arab Saudi, Somalia,
Sudan, Tunisia, Republik Persatuan Arab, Yaman, dan Yugoslavia. Tiga dokumen yang
dihasilkan oleh konferensi Beograd yaitu:
1. Pernyataan tentang bahaya perang dan appeal untuk perdamaian
2. Deklarasi mengenai prinsip-prinsip Non-Aligment bersama dengan 27
ketentuan persetujuan tentang pemecahan masalah-masalah dunia waktu itu
3. Surat bersama John F. Kennedy dan Nikita Kruschev
Sebagai tindak lanjut dari konferensi Beograd, kemudian dilaksanakan konferensi
ekonomi negara-negara berkembang yang merumuskan suatu program ekonomi bagi negara-
negara non-blok. Hal ini berlanjut pada tercetusnya penyelenggaraan KTT non-blok yang
kedua dalam suatu joint statement Presiden Gamal Abdul Nasser dan PM Sri Lanka Sirimavo
R. D. Bandarainake pada tanggal 14 Oktober 1963. Kemudian KTT Non-Blok kedua ini
terselenggara pada tanggal 5-10 Oktober 1946 dengan dihadiri 47 peserta dari berbagai
negara di belahan bumi. Konferensi tersebut merupakan forum untuk mendekatkan
Washington dan Moskwa san keputusannya merupakan appeal kepada kedua negara untuk
berusaha mempertahankan dunia yang bergantung pada mereka.
The New Emerging Forces
Sebetulnya gagasan ini telah coba diungkapkan Soekarno pada konferensi negara-negara
non-Blok pertama dengan istilah baru bernama The New Emerging Forces (Nefos).
Maksudnya adalah bangsa-bangsa yang baru merdeka yang masih harus berjuang kearah
pembentukan kepribadian bangsa yang mantap dan kuat. Lawan dari golongan bangsa nefos
diberi nama The Old Established Forces (Oldefos) yaitu bangsa-bangsa yang telah maju dan
tadinya menjajah negara-negara The New Emerging Forces dan masih menguasai
perekonomian dari bekas-bekas jajahan mereka. Namun gagasan rtersebut tidak berpengarus
pada saat konferensi karena fokus konferensi adalah untuk meredakan ketegangan kedua
blok.
Dalam hal ini Soekarno sangat gigih memperjuangkan konsep tersebut agar diterima oleh
dunia. Dua bulan pasca konferensi, Soekarno mengulangi keyakinannya bahwa The New
Emerging Forces akan mengorganisasikan olahraga sendiri. Presiden Soekarno kemudian
memerintahkan Menteri Olahraga Maladi untuk mengorganisasikan Games of The New
Emerging Forces (Ganefo) pada tahun 1963 yang diikuti oleh 12 negara dan beberapa negara
partsisipan lainnya.
Setelah deklarasi mengenai The New Emerging Forces, Indonesia melakukan serangkaian
kontak-kontak dengan negara-negara yang baru merdeka dan sedang berkembang, terutama
di Asia, Afrika, dan Amerika Latin. Gagasannya tersebut di angkat kembali pada saat
konferensi kedua KTT non-blok di Cairo pada tahun 1964. Penampilan Soekarno di Cairo
mendapatkan sambutan hangat dari kalangan negara-negara yang baru merdeka di Afrika dan
dari negara-negara di Timur Tengah. Namun pada waktu itu presiden Yugoslavia, Presiden
Aljazair, dan PM dari India tidak bergairah dalam menanggapi gagasan Soekarno. Tidak
berhenti disana, gagasan Soekarno mulanya RRC menentang gagasan tersebut. Kemudian
kunjungannya berlanjut ke negara-negara di Asia Barat dimana dari 14 negara, hanya satu
negara yang menolak gagasan tersebut secara skeptis yakni PM Mahgoub dari Sudan.
Selanjutnya Soekarno memutuskan akan melaksanakan usaha berikutnya yaitu mengirim satu
misi muhibah ke negara-negara Amerika Latin, kecuali Kuba.
Namun, akibat Malaysia diterima sebagai anggota tetap Dewan Keamanan PBB pada
tanggal 7 Januari 1956, pada hari itu juga Presiden Indonesia dalam pidatonya menyatakan
bahwa Indonesia keluar dari PBB. Akibat keluarnya Indonesia dari PBB pada bulan Januari
1956, Indonesia lebih dekat dengan Peking. Indonesia menjalin kerjasama dengan negara
tersebut dengan mendirikan markas besar Conefo di Jakarta. Conefo diharapkan menjadi
PBB bagi negara-negara miskin, selin itu poros tersebut merupakan poros anti imperialis dan
kolonialis yaitu poros perjuangan Nefos melainkan Oldefos.
Politik poros tersebut menyebabkan menyempitnya ruuang gerak Indonesia dalam forum
internasional. Politik poros tersebut juga merupakan penyimpangan secara prinsipil dari dasar
politik politik luar negeri Indonesia serta telah memasukkan politik Indonesia dalam
lingkungan strategi politik RRC.
Puncak dari perkembangan politik tersebut yang menyimpang dari Pancasila dan UUD
1945 adalah terjadinya pemberontakan G-30S-PKI. Namun pada akhirnya dari segala proses
dalam pencanangan gagasannya tersebut tidak terlaksana.

Anda mungkin juga menyukai