Anda di halaman 1dari 144

Sukses Menjalani Studi S3

Lukito Edi Nugroho


Departemen Teknik Elektro dan Teknologi Informasi
Fakultas Teknik, Universitas Gadjah Mada

Edisi Pertama, Juli 2020

Buku ini hanya dicetak dalam format elektronis (e-book) dan tidak untuk
diperjualbelikan. Buku ini dapat diunduh dengan terlebih dahulu
mengisi form elektronis dengan alamat:

https://forms.gle/7FmkKxvqk2SYPVqU9
Daftar Isi

1 Apa Menariknya Punya Gelar Doktor? 1

Harapan Bagi Seorang Doktor 4

Devaluasi Gelar Doktor 6

2 Karakteristik Studi S3 9

Menjadi Mahasiswa S3 9

Standar dan Ciri Riset S3 13

3 Persiapan 23

Persiapan Mental 23

Persiapan Dana dan Pencarian Beasiswa 26

Persiapan Keluarga dan Pekerjaan 33

Pemilihan Sekolah 36

Pemilihan Pembimbing 38

Proposal Riset 42

Proses Persiapan 48

Menghadapi Seleksi Wawancara 50

4 Manajemen Studi S3 53
Tahapan Studi S3 54

Studi S3 Sebagai Sebuah Proyek 59

Perencanaan Studi 60

Manajemen Resiko 65

Pemantauan (Monitoring) 71

Mengatasi Keterbatasan Sumber Daya Riset 73

Manajemen Waktu dan Fokus 76

5 Pembimbingan 78

Relasi Pembimbing – Mahasiswa 79

Pembimbingan yang Efektif 86

Mengatasi Konflik dengan Pembimbing 90

6 Penulisan Artikel Ilmiah dan Disertasi 96

Ciri Tulisan Ilmiah 97

Publikasi 106

Menulis Disertasi 114

Kesalahan-Kesalahan yang Umum Terjadi 120

7 Ketika Masalah Menghadang 124

Masalah Akademik dan Non-akademik 125


Membangun Ketahanan Terhadap Masalah 126

Menjalani Perubahan 129

8 Penutup 133
1 Apa Menariknya Punya Gelar Doktor?

Jika pertanyaan tersebut diajukan kepada saya, maka jawabannya


sederhana saja: memenuhi harapan bapak. Dulu bapak saya pernah
mengatakan,"Kalau serius mau jadi dosen, ya harus sekolah sampai
doktor". Apa alasan persisnya, bapakpun mungkin juga tidak tahu. Tiap
orang punya jawaban yang berbeda. Spektrumnyapun bisa bervariasi,
dari jawaban yang iseng sampai yang sangat serius dan ilmiah. Meskipun
mungkin menarik untuk membahas jawaban-jawaban tersebut, tapi Bab
ini tidak akan membicarakan tentang hal itu. Bab ini justru akan
mengupas tentang hal-hal yang “berat” dari gelar doktor. Maksudnya
bukan untuk mengecilkan semangat bagi mereka yang akan berusaha
meraihnya, tapi lebih pada meletakkan gelar tersebut pada posisi dan
peran yang sesuai, agar siapapun yang memiliki gelar ini bisa
memberikan kontribusinya secara maksimal.

Saat ini gelar doktor memang sedang menjadi primadona. Sesuatu yang
sexy, kata orang, sehingga banyak diburu. Siapa saja yang gencar
memburu gelar ini? Mengapa mereka melakukannya?

Pemburu gelar doktor yang paling antusias tentu saja adalah orang-orang
yang bekerja di dunia akademik dan riset. Bagi para dosen di perguruan
tinggi dan peneliti di lembaga-lembaga riset, gelar doktor adalah tujuan
formal yang paling tinggi dalam jenjang pendidikan akademik yang
mungkin mereka tempuh. Bagi para insan akademik, derajad doktor tidak
hanya dilihat sebagai atribut yang bersifat eksternal (seperti sebutan
“haji” misalnya), tetapi lebih merupakan tuntutan yang melekat pada
profesi pendidik itu sendiri. Tidak ada dosen yang tidak ingin meraih gelar
doktor, karena pencapaian itu merupakan bagian dari tugas pekerjaan
sebagai dosen. Apalagi perguruan tinggi sendiri menawarkan jenjang ini
sebagai salah satu core businessnya (seperti disebutkan dalam Peraturan
Pemerintah nomor 60 tahun 1999).

~1~
Selain itu, Permendikbud nomor 3 tahun 2020 tentang Standar Nasional
Pendidikan Tinggi menetapkan bahwa yang berhak mengajar pada
program magister (S2) dan doktor (S3) adalah mereka yang memiliki gelar
S3. Syarat formal ini membuat para dosen di perguruan tinggi yang
memiliki atau akan membuka program S2 dan S3 semakin berkeinginan
untuk meraih gelar akademik tertinggi ini.

Selain itu, diakui atau tidak, di lingkungan kampus atau lembaga riset
masih ada budaya tak tertulis tentang perbedaan perlakuan atau
pandangan berdasarkan status akademik. Pemegang gelar S3
mendapatkan hak atau privilege dalam berbagai bentuk, yang tidak bisa
dinikmati oleh mereka yang “hanya” memiliki gelar S2 atau S1.
Contohnya, sering muncul iklan-iklan di media massa untuk mencari
kandidat pejabat perguruan tinggi (dekan atau rektor). Dalam
persyaratannya hampir semua mencari calon yang bergelar doktor. Di
tempat kerja saya, bahkan syarat untuk menjadi ketua departemenpun
salah satunya adalah memiliki gelar S3. Apakah benar seorang doktor
selalu lebih mumpuni dalam hal pengelolaan institusi pendidikan tinggi
dibandingkan seorang master atau sarjana? Apakah persyaratan tersebut
lebih bertujuan untuk menjaga image branding, tidak ada yang tahu
jawaban pastinya.

Pada tataran yang lebih informal, masih juga banyak dijumpai budaya
“look who’s talking”. Kalau ada orang berpendapat, dilihat dulu siapa dia.
Pendapat dari seorang doktor pada umumnya lebih diperhatikan
daripada pendapat orang yang bukan doktor (kecuali untuk kasus-kasus
tertentu yang memang eksepsional). Wajarlah jika fenomena semacam
ini juga memicu orang untuk meraih derajad akademik tertinggi ini.

Tentu saja banyak pencari gelar doktor yang dimotivasi oleh karakteristik
dari program doktor itu sendiri. Salah satu kriteria lulus doktor adalah
penelitiannya memberikan kontribusi yang cukup signifikan bagi
pengembangan ilmu pengetahuan. Agar bisa memberikan kontribusi
yang signifikan, riset S3 harus mengandung orisinalitas. Orisinalitas
berarti berada di sisi paling depan dalam topik yang ditelitinya. Orang

~2~
sering mengatakan bahwa seorang doktor adalah orang yang paling
tahu/mengerti tentang topik risetnya. Perasaan “berada di ujung depan”
ini sering menjadi motivasi internal yang dahsyat bagi seorang
mahasiswa S3. Baginya, kondisi ini menjadi pendorong untuk senantiasa
berkarya mengembangkan bidang ilmunya dengan melakukan riset-riset
dan mempublikasikan hasilnya, tidak hanya selama ia belajar, tetapi
bahkan setelah selesai studinya.

Ada juga yang bersemangat sekolah S3 karena tertarik dengan


prosesnya. Belajar pada jenjang S3 tidak seperti belajar pada jenjang
yang lebih rendah. Ada tuntutan untuk bisa mandiri dalam menjalankan
risetnya, selain ketrampilan dalam mengeksplorasi unknown areas dan
menemukan hal-hal menarik yang bisa dikontribusikan. Bagi seorang
yang punya jiwa ilmuwan, perjalanan intelektual ini sangat menantang
karena dapat memberikan penghargaan yang sesuai dengan jiwanya:
kepuasan batin karena bisa menemukan hal-hal baru yang bermanfaat.

Popularitas gelar doktor juga meningkat di kalangan non-akademik.


Dalam beberapa tahun terakhir ini cukup banyak orang-orang yang
dikenal berkarya di bidang non-akademik juga tertarik mendapatkan
gelar doktor. Pejabat pemerintah, direksi BUMN, pebisnis, sampai ke
politisi dan pengurus partai politik juga tertarik menceburkan diri dalam
arus ini. Belum ada yang meneliti secara ilmiah tentang fenomena ini,
tetapi analisis sederhana tentang penyebabnya adalah sifat masyarakat
Indonesia yang gemar terhadap simbol-simbol sosial. Doktor adalah
simbol kepandaian dan intelektualitas. Doktor juga sedikit banyak
mencerminkan status ekonomi yang cukup tinggi, karena biaya
pendidikannya cukup mahal. Singkat kata, doktor adalah merk (brand)
yang bernilai tinggi. Dengan gelar ini, si pemegang berharap bisa
mendapatkan penghargaan sosial yang tinggi dari lingkungannya. Suka
atau tidak, inilah kenyataan yang berkembang di sebagian masyarakat
Indonesia.

Tapi apa yang sebenarnya diharapkan dari seorang doktor? Apakah benar
doktor hanya berhenti sebatas status sosial saja? Mestinya tidak, karena

~3~
nilai tinggi dari sebuah image selalu muncul dari substansi yang memang
berkualitas.

Harapan Bagi Seorang Doktor


Tentang tanggung jawab moral bagi seseorang yang telah menyandang
gelar doktor, saya jadi teringat film Spiderman. Dalam film ini, Paman Ben
mengatakan kepada Peter Parker,”With great power, comes great
responsibility. Ungkapan tersebut berlaku juga bagi seorang doktor, yang
dengan gelar itu ia punya posisi terhormat. Sayangnya banyak yang lupa
atau bahkan tidak memahami tentang tanggung jawab moral yang
mengikutinya, sehingga kontribusi dan karyanya berhenti setelah gelar
S3 diperoleh. Yang lebih memprihatinkan adalah bahwa ketidaktahuan
tentang hal ini kemudian berimplikasi pada proses studi yang tidak
berjalan secara semestinya.

Ada oknum-oknum yang tergiur menempuh jalan pintas yang


menyesatkan: tidak mau bersusah payah menempuh proses riset S3.
Hukum ekonomipun berlaku: jika ada permintaan, maka ada penawaran.
Muncullah kasus jual-beli ijazah. Perguruan-perguruan tinggi “papan
nama” muncul dengan tawaran program doktor instan, hanya dengan
“kuliah” sekian bulan dan membayar sekian Rupiah atau Dollar,
ijazahpun bisa digenggam. Perlu dicatat bahwa beberapa perguruan-
perguruan tinggi bodong semacam ini juga banyak ditemukan di negara-
negara maju.

Modus jalan pintas yang lain adalah dengan memanfaatkan biro-biro jasa
pembuatan disertasi. Di kota-kota basis pendidikan di Indonesia banyak
sekali usaha-usaha biro jasa semacam ini. Iklannya bertebaran di mana-
mana, dari koran, Internet, sampai kertas lusuh yang di-laminating dan
ditempel di pohon. Oknum yang bersangkutan bisa saja resmi terdaftar
sebagai mahasiswa S3 di sebuah perguruan tinggi, tetapi dia
mengabaikan tahapan-tahapan riset yang menjadi roh studi S3 itu
sendiri. Dengan bantuan sebuah biro jasa, mulai pemilihan topik sampai

~4~
dengan penulisan naskah disertasinya direkayasa sedemikian rupa
sehingga kelihatan seolah-olah asli. Dia sibuk merekayasa proses, bukan
menjalani prosesnya.

Seperti yang sudah disebutkan sebelumnya, seorang doktor berdiri di


ujung horison perkembangan ilmu di bidangnya. Dia berada di tip of the
edge, sehingga tugasnya setelah menyelesaikan studi doktoralnya adalah
melanjutkan pengembangan ilmu di bidang tersebut. Berdasarkan
penelitian yang telah ia lakukan selama studi, ia mengeksplorasi daerah-
daerah baru yang belum terjamah dengan riset-riset lanjutan. Hasilnya
dikontribusikan dalam bentuk tulisan ilmiah atau aplikasi-aplikasi nyata,
dan siklus ini berlanjut terus. Dengan cara inilah ilmu pengetahuan bisa
berkembang, dan peran seorang doktor adalah menjadi ujung tombak
dalam usaha ini.

Memang harus diakui bahwa peran di atas sangatlah ideal, dan banyak
doktor di Indonesia tidak mampu menjalankannya karena berbagai
sebab. Seorang doktor baru, terutama yang berasal dari luar negeri,
biasanya memiliki semangat besar dalam menjalankan peran barunya
itu. Sayangnya begitu pulang ke tempat kerjanya di Indonesia,
lingkungannya tidak mampu mendukung harapan yang tinggi tersebut.
Banyak yang kemudian menjadi frustrasi dan akhirnya mencari jalan
keluar yang jauh dari cita-cita ideal tersebut.

Meskipun peran ideal jarang yang bisa dipenuhi secara konsisten, tetap
saja seorang doktor adalah manusia yang dikaruniai intelektualitas tinggi.
Dengan segala keterbatasan yang ada, ia mestinya mampu mencari
peluang di mana ia bisa berkontribusi melalui kapasitas intelektualnya
yang tinggi tersebut. Di perguruan tinggi atau lembaga riset, ia tetap bisa
berkarya, meskipun mungkin jenis risetnya tidak sama seperti saat ini
bersekolah di luar negeri. Banyak problem nyata di masyarakat yang
perlu dicari solusinya, dan beberapa persoalan memiliki kompleksitas
yang tinggi sehingga memerlukan kapabilitas yang istimewa juga.
Seorang doktor memiliki bekal dasar untuk menangani hal semacam ini,

~5~
dan ini membuka peluang baginya untuk bisa berkontribusi menjalankan
perannya.

Seorang doktor adalah orang yang terlatih dalam melakukan riset secara
mandiri. Riset adalah sebuah aktivitas yang mengeksplorasi
intelektualitas manusia untuk mencari jawaban atas persoalan yang
dihadapi. Riset dilakukan menuruti prinsip dan kaidah ilmiah universal
seperti berpikir secara runtut dan argumentatif, menjunjung tinggi
obyektivitas dan kejujuran ilmiah, serta rendah hati dalam mengakui
karya-karya orang lain yang berpengaruh atau terkait dengan risetnya.
Kompetensi inilah yang dituntut dari seorang doktor, di manapun ia
bekerja. Singkat kata, seorang doktor mungkin tidak bisa
mempertahankan posisi leading edgenya dalam pengembangan ilmu
pengetahuan karena berbagai sebab, tetapi ia tetap dituntut untuk bisa
menghasilkan pemikiran-pemikiran yang bernas, obyektif, dan orisinil
dalam profesinya.

Devaluasi Gelar Doktor


Tidak bisa dipungkiri bahwa motivasi seseorang untuk meraih gelar
doktor adalah untuk meningkatkan kondisi sosial ekonominya. Banyak
yang menganggap gelar doktor sebagai salah satu faktor penentu
keberhasilan mencapai tujuan tersebut, bukan karena kompetensi atau
kapabilitas yang ditawarkannya, tapi lebih karena persepsi terhadap nilai
gelar tersebut.

Berbicara tentang persepsi terhadap nilai gelar, ada fenomena menarik


tentang persepsi masyarakat terhadap gelar akademik, khususnya pada
jenjang magister atau S2. Sampai pertengahan tahun 90an, gelar S2
masih dianggap bernilai tinggi karena belum terlalu banyak orang yang
memegangnya. Kondisi berubah mulai sekitar menjelang tahun 2000 saat
Indonesia diterjang krisis moneter. Banyak lulusan baru S1 dan mereka
yang kehilangan pekerjaan berbondong-bondong mengikuti program S2
untuk meningkatkan daya tawar mereka. Akibatnya sejak itu produksi

~6~
lulusan S2 menjadi melimpah, mengisi berbagai posisi pekerjaan.
Peraturan Pemerintah nomor 19 tahun 2005 yang mensyaratkan seorang
dosen harus bergelar minimal S2 untuk bisa mengajar di program S1
semakin mendorong dosen untuk menempuh studi pascasarjananya.

Seiring dengan bertambahnya jumlah lulusan S2, nilai persepsional


terhadap gelar S2 akan menurun. Gelar master bukanlah sesuatu yang
luar biasa. Bagi para pemegang gelar S2, kondisi ini mengakibatkan
kompetisi yang semakin ketat di antara mereka. Mereka saling
berkompetisi untuk mendapatkan pekerjaan, pengakuan (recognition),
dan hak-hak khusus (privilege) yang melekat pada gelar tersebut. Gelar
S2 bukan lagi merupakan competitive advantage bagi pemegangnya, dan
mereka harus mencari faktor-faktor lain untuk bisa memenangkan
persaingan.

Kondisi yang serupa diramalkan akan terjadi pada lulusan S3 dalam


waktu yang tidak terlalu lama. Seiring dengan naiknya popularitas
program S3, jumlah mahasiswanyapun meningkat, dan dalam beberapa
tahun kedepan, jumlah lulusan S3 juga akan bertambah. Mirip dengan
fenomena yang terjadi dengan gelar S2, nilai persepsional terhadap gelar
doktor akan menurun, dan gelar S3 bukanlah faktor yang menentukan
dalam memenangkan kompetisi.

“Medan peperangan” bagi para doktor pada masa mendatang terletak


pada seberapa jauh mereka bisa hadir dan berkontribusi di
lingkungannya masing-masing. Di pergaulan akademik internasional
misalnya, eksistensi seorang doktor ditentukan oleh publikasi
internasionalnya atau keterlibatannya dalam berbagai kerjasama ilmiah
internasional. Ada pepatah barat yang mengatakan: publish or perish.
Ungkapan yang ditujukan kepada para ilmuwan ini mematok publikasi
sebagai syarat eksistensi mereka.

Di lingkup lokal, kompetisi juga tidak kalah serunya. Banyak ceruk-ceruk


yang menyediakan kesempatan untuk berkontribusi dan berprestasi,
tetapi banyak juga pemain yang masuk ke sana. Jurnal-jurnal dan

~7~
seminar-seminar nasional, hibah-hibah riset nasional, tawaran-tawaran
sebagai konsultan, sampai ke jabatan-jabatan di lingkungan
pemerintahan adalah beberapa contoh battlefield bagi para doktor kita
kelak.

Pertanyaannya kemudian adalah: jika gelar doktor sendiri sudah bukan


lagi faktor dominan penentu kesuksesan, lalu bagaimana caranya untuk
bisa survive dan berkembang?

Buku ini tidak akan menjawab pertanyaan tersebut secara spesifik, tetapi
nampaknya ada satu trend menarik tentang requirements SDM pada
masa yang akan datang. Daya saing seseorang akan lebih ditentukan oleh
kualitas personal yang bersangkutan, bukan oleh atribut-atributnya.
Banyak ahli SDM yang mencoba mengidentifikasi penentu kualitas
personal, dan semuanya mengarah ke faktor-faktor seperti adaptabilitas,
komitmen, semangat (passion), tidak mudah menyerah, dan fokus.

Kriteria yang sama juga berlaku untuk para doktor. Tanpa kualitas
personal seperti yang disebutkan di atas, mustahil untuk memenangkan
persaingan. Jika hal ini terjadi, harapan yang telah lama dipupuk, serta
usaha dan biaya yang telah dikeluarkan bisa menjadi sia-sia.

~8~
2 Karakteristik Studi S3

Studi S3 itu identik dengan riset. Tidak ada program S3 tanpa riset.
Sayangnya riset adalah sesuatu yang kadang tidak dimengerti dengan
baik oleh calon mahasiswa S3, sehingga kinerja mereka tidak maksimal.
Sebelum menempuh pendidikan S3, sebaiknya calon mahasiswa
memahami dulu tentang dunia yang akan mereka hadapi, agar bisa
menyiapkan diri dengan baik.

Menjadi Mahasiswa S3
Masa studi pada jenjang S3 tidak terlalu berbeda dengan masa studi
jenjang S1, tapi mahasiswa S3 menghadapi tantangan yang amat berbeda
dibandingkan dengan mahasiswa S1. Mahasiswa S1 yang diterima di
sebuah program studi tertentu biasanya memiliki cukup informasi untuk
memahami tentang arah dan substansi yang akan dipelajarinya. Ada
pemahaman umum tentang bidang studi yang bersangkutan, ada buku
panduan akademik yang berisi informasi-informasi resmi tentang
program studi tersebut, serta sumber-sumber informal lain seperti dosen
atau teman kuliah. Sebaliknya, begitu diterima pada program S3, seorang
mahasiswa dihadapkan pada ketidakjelasan tentang apa yang harus ia
lakukan. Ia harus menjawab banyak pertanyaan tentang riset yang akan
dijalaninya: domain dan lingkupnya, persoalan yang harus diselesaikan,
metodologinya, dan sebagainya. Tidak ada jawaban yang pasti untuk
semua pertanyaan itu, dan tidak ada orang lain yang bisa membantu
mencarikan jawaban. Mahasiswa harus mencari jawabannya sendiri
sepanjang studinya, dan inilah yang membuat tantangan pada program
S3 jauh lebih berat dibandingkan dengan pada program S1.

~9~
Seorang mahasiswa S3 saya (yang telah lulus S2 tentunya) saat melamar
program pernah berpikir bahwa studi S3 merupakan ekstrapolasi linear
dari studi S2. Maksudnya, apa yang akan ia lakukan dalam riset S3 adalah
ekstensi dari riset S2nya. Cukup dengan memperluas atau memperdalam
apa yang dilakukannya selama studi magister, gelar doktor dapat
diperoleh. Setelah beberapa bulan menjalani studi doktornya,
mahasiswa saya tadi mulai mengeluh: ternyata menjalani proses di
jenjang S3 jauh lebih sulit daripada saat studi S2. Sama-sama melakukan
riset, tetapi kondisi dan tuntutannya berbeda.

Pada jenjang S2, riset yang dilakukan adalah untuk mendemonstrasikan


kapabilitas mahasiswa untuk dapat menjalankan metode-metode ilmiah
dengan baik dan benar. Fokus riset S2 adalah pada aspek kualitas
eksekusi proses-proses dalam riset. Jika mahasiswa S2 dapat
menunjukkan bahwa ia telah menjalankan semua tahapan riset dengan
baik dan benar, maka ia dianggap telah memiliki kompetensi riset untuk
jenjang S2. Pada jenjang S3, kapabilitas ini kemudian digunakan untuk
mencapai frontier dalam bidang penelitian yang ditekuni mahasiswa.
Perjalanan menuju tip of the edge inilah yang tidak dilihat oleh
mahasiswa saya tadi, dan inilah yang dia rasakan jauh lebih sulit daripada
saat dia menempuh studi magisternya.

Mahasiswa S3 juga dituntut memiliki tanggung jawab lebih besar. Studi


yang dilakukannya tidak hanya untuk kepentingan dirinya sendiri seperti
halnya mahasiswa S1 atau S2, tapi harus berimplikasi terhadap
perkembangan ilmu pengetahuan di bidang yang ditekuninya. Untuk itu
ada beberapa syarat yang harus dipenuhi oleh seorang mahasiswa S3.

Pertama, seorang calon doktor harus punya kecintaan dan passion


terhadap bidang ilmu dan topik riset yang ditekuninya. Selama 3 tahun
masa studinya (sering kali lebih), mahasiswa akan bergelut dan berjuang

~ 10 ~
keras dengan topik risetnya. Perjuangan dalam masa yang cukup panjang
ini tidak akan bisa dimenangkan jika tidak ada dorongan internal dari
dalam diri mahasiswa. Tanpa motivasi internal, seseorang tidak akan
tahan berkutat dengan ketidakjelasan, kebuntuan, rasa frustrasi,
kelelahan, dan berbagai perasaan negatif lainnya yang sering muncul
dalam kurun waktu studinya.

Kecintaan dan passion adalah buah dari sebuah relasi yang berlangsung
cukup lama dan intensif. Keduanya muncul sebagai akibat dari rasa
ketertarikan seseorang terhadap sesuatu dan terpenuhinya harapan-
harapan yang timbul selama interaksi berlangsung. Masalah rasa seperti
ini tidak bisa dipaksakan untuk muncul. Artinya, ketertarikan seseorang
terhadap bidang tertentu sejak sebelum menjadi mahasiswa S3 akan
memberinya passion yang lebih besar dibandingkan jika orang tersebut
baru menyentuh bidang risetnya saat ia memulai studi S3nya.

Yang kedua, seorang mahasiswa S3 haruslah menjadi manajer yang baik,


khususnya untuk dirinya sendiri. Studi S3 memerlukan fokus perhatian,
usaha keras, dan alokasi waktu yang cukup. Terkadang waktu, perhatian,
dan pikiran yang diperlukan melebihi alokasi yang direncanakan,
sehingga mengambil jatah kepentingan lain seperti keluarga, lingkungan
sosial, urusan kantor, atau bahkan kepentingan pribadi. Sering terjadi
seorang mahasiswa S3 harus menghabiskan waktunya di laboratorium
dari pagi sampai larut malam. Jika ini menjadi rutinitas, bagaimana
dengan sisi-sisi kehidupannya yang lain? Bagaimana dengan keluarga?
Bagaimana dengan kepentingan pribadi yang semestinya juga
mendapatkan perhatian (misalnya: berolah raga, bersosialisasi, dan
beristirahat). Jika tidak dikelola dengan baik, ketidakseimbangan dalam
alokasi waktu, perhatian, dan pikiran bisa memunculkan efek negatif
dalam kehidupan sehari-hari, yang pada akhirnya beresiko mengganggu
studi S3 itu sendiri.

~ 11 ~
Mahasiswa S3 dituntut untuk bisa mengelola kehidupannya dengan baik,
dalam kondisi menghadapi tekanan dan tuntutan yang tinggi. Sering kali
persoalannya tidak sesederhana mengelola kehidupan diri pribadinya,
tetapi juga merembet ke lingkup yang lebih lebar, misalnya keluarga atau
kantor. Sebagai contoh: banyak mahasiswa S3 di luar negeri yang
mengajak keluarganya untuk ikut, dan karena ketidakmampuan keluarga
beradaptasi dengan lingkungan baru, keluarga menjadi ikut tertekan, dan
ini akhirnya berpengaruh pada studi mahasiswa tersebut. Studi di dalam
negeripun tidak lepas dari berbagai permasalahan, meski bentuknya
berbeda. Seorang dosen yang bersekolah S3 di perguruan tingginya
sendiri, mau tidak mau tetap tidak bisa lepas dari penugasan-penugasan
dari kampusnya.

Yang tidak kalah pentingnya adalah mengelola riset S3nya itu sendiri.
Riset dapat diibaratkan proyek. Ada sasaran yang harus dicapai dengan
cara-cara tertentu, dan ada kekangan-kekangan yang harus
diperhitungkan (waktu, biaya, ketersediaan fasilitas riset, keinginan
pembimbing, dan sebagainya). Persoalan mendasarnya adalah
bagaimana proyek riset ini dapat diselesaikan dengan baik dalam
berbagai kekangan yang ada. Mahasiswa S3 perlu melakukan hal-hal
yang pada umumnya dijalankan dalam pelaksanaan proyek:
perencanaan, eksekusi, pemantauan, persiapan terhadap resiko, dan
penjaminan kualitas hasil. Semua ini dijalankan secara terpadu dan
menyatu dengan kegiatan riset.

Syarat lain yang tidak kalah pentingnya adalah kekuatan mental. Riset
adalah kegiatan yang mengandung ketidakpastian tinggi. Ketidakpastian
dalam riset bisa muncul dalam berbagai manifestasi, dari mulai hasil riset
yang “aneh” sampai ketidakjelasan keinginan dan sikap pembimbing.
Sayangnya manusia adalah mahluk yang rentan terhadap ketidakpastian,
terutama secara mental dan emosional. Frekuensi munculnya

~ 12 ~
Tahapan Studi S3 54

Studi S3 Sebagai Sebuah Proyek 59

Perencanaan Studi 60

Manajemen Resiko 65

Pemantauan (Monitoring) 71

Mengatasi Keterbatasan Sumber Daya Riset 73

Manajemen Waktu dan Fokus 76

5 Pembimbingan 78

Relasi Pembimbing – Mahasiswa 79

Pembimbingan yang Efektif 86

Mengatasi Konflik dengan Pembimbing 90

6 Penulisan Artikel Ilmiah dan Disertasi 96

Ciri Tulisan Ilmiah 97

Publikasi 106

Menulis Disertasi 114

Kesalahan-Kesalahan yang Umum Terjadi 120

7 Ketika Masalah Menghadang 124

Masalah Akademik dan Non-akademik 125


ditelitinya. Dialah orang yang terdepan dalam arah pengembangan ilmu
pengetahuan di topik spesifik tersebut. Orang lain, termasuk
pembimbingnyapun tidak memiliki pemahaman dan pengetahuan sebaik
dia. Matthew Might (http://matt.might.net) menggambarkan riset
doktoral secara illustratif seperti ditunjukkan pada Gambar 2-11.

(a) (b)

Gambar 2-1. Ilustrasi riset doktoral (http://matt.might.net/articles/phd-


school-in-pictures/)

Lingkaran besar dalam Gambar 2-1(a) menunjukkan semesta


pengetahuan yang ada, sementara lingkaran-lingkaran kecil dan jejari
yang mengarah keluar menunjukkan akumulasi pengetahuan seseorang
setelah menyelesaikan pendidikan sampai dengan jenjang S2 serta
diperkaya dengan bacaan tulisan-tulisan ilmiah tentang suatu topik riset
tertentu. Ujung jejari yang menyentuh lingkaran besar menunjukkan ciri
state-of-the-art dari riset S3. Gambar 2-1(b) adalah perbesaran dari
Gambar 2-1(a) pada kotak di ujung jejari. Ada tonjolan di sana, dan
tonjolan tersebut menunjukkan hasil riset yang dilakukan mahasiswa S3.
Tonjolan tersebut menunjukkan ada sesuatu yang baru (novel) yang

1
Matthew Might, The Illustrated Guide to a PhD.
http://matt.might.net/articles/phd-school-in-pictures/

~ 14 ~
dihasilkan, dan temuan baru ini memperkaya semesta pengetahuan
dengan hal-hal baru. Kata Matt dalam bukunya, “Keep pushing”. Ini
adalah pesan untuk memperbesar tonjolan pada Gambar 2-1 agar
semakin lama semakin membesar melaui riset-riset, memperkaya
khasanah ilmu pengetahuan.

Banyak calon mahasiswa merasa bingung dengan ciri kebaruan (novelty)


dan orisinalitas (originality). Pada tataran apakah kebaruan itu harus
dimunculkan? Seberapa tinggi tingkat orisinalitas yang diharapkan? Di
satu sisi, sering terjadi kebaruan dan orisinalitas diterjemahkan sebagai
“belum pernah dipikirkan oleh orang lain”. Calon mahasiswa berpikir
keras mencari ide atau konsep yang sama sekali di luar pakem, lepas dari
konteks ilmiah akademis yang ada. Target yang ambisius seperti ini
biasanya tidak akan tercapai, apalagi jika tidak didukung oleh
kemampuan dan sumberdaya yang memadai.

Yang banyak terjadi justru di ekstrim lainnya, kebaruan diterjemahkan


secara superfisial saja, tidak menyentuh ke esensi fundamental dari
permasalahan yang dihadapi. Hal ini sering muncul karena calon
mahasiswa mencoba mengekstrapolasikan pengalaman belajar mereka
semasa menempuh S2 secara linear. Dalam kasus ini, kebaruan dicoba
direalisasikan dengan cara memperluas cakupan riset S2 mereka. Karena
belum memahami tuntutan riset S3, kebanyakan proposal ekspansi ini
bersifat horizontal (meluas) saja, kurang menyentuh aspek-aspek yang
lebih fundamental.

Di luar negeri, salah satu sebutan gelar doktor adalah doctor of


philosophy (Ph.D). Sebutan ini menyiratkan tuntutan pencarian (quest)
sampai pada tataran filsafat. Seiring dengan perkembangan ilmu
pengetahuan, gelar PhD tidak hanya terbatas untuk bidang filsafat saja,
tapi juga digunakan pada bidang-bidang ilmu lainnya. Meskipun

~ 15 ~
demikian, esensi maknanya tetap sama. Eksplorasi dan penggalian
tetaplah dituntut untuk sampai menggali aspek-aspek fundamental
dalam lingkup bidang ilmu tersebut. Keluaran riset S3 adalah
pemahaman-pemahaman baru yang dapat memperkaya khasanah ilmu
pengetahuan di bidang itu. Yang diperkaya adalah khasanah ilmu
pengetahuan, bukan pengalaman pemanfaatan (aplikasi) ilmu tersebut.
Artinya, riset S3 tidak cukup sampai tataran aplikasi saja, meskipun di
lingkup itupun muncul hal-hal baru yang juga menarik dan bermanfaat.

Sebagai contoh ilustrasi, di bidang keilmuan saya misalnya, riset tentang


pengembangan aplikasi berbasis lokasi (location-based) belumlah cukup
untuk diangkat sebagai riset S3. Topik ini memang sarat dengan
teknologi-teknologi kontemporer, misalnya algoritma penentuan lokasi
berbasis koneksi ke wireless LAN, teknik-teknik interaksi dalam
lingkungan mobile computing, atau bahkan augmented reality untuk
visualisasi. Meskipun demikian, riset ini tetaplah bermain di permukaan
saja (penggunaan teknologi baru untuk menjawab requirements
tertentu). Lain halnya jika risetnya adalah tentang pengembangan
ekosistem yang sadar terhadap konteks (context-aware) untuk
mendukung proses pembelajaran. Selain penggunaan teknologi baru,
ada persoalan-persoalan lain yang lebih fundamental, misalnya
bagaimana merepresentasikan sebuah entitas di dunia maya, bagaimana
melekatkan fitur kesadaran konteks (context-awareness) ke sebuah
entitas, atau bagaimana proses pembelajaran bisa menarik manfaat dari
kesadaran konteks. Untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut
diperlukan eksplorasi yang lebih dari sekedar membuat program aplikasi.
Jawaban yang muncul dari proses riset, apapun hasilnya, adalah
kontribusi yang signifikan terhadap pengetahuan tentang context-
awareness. Pengetahuan ini kemudian dapat dikembangkan lebih jauh
untuk membangun konstruksi pengetahuan baru, atau menjadi dasar

~ 16 ~
bagi pengembangan solusi-solusi praktis yang bermanfaat langsung bagi
pemakainya.

Secara singkat, yang membedakan riset S3 dengan riset S2 atau S1 adalah


tingkat signifikansi kontribusinya terhadap pengembangan ilmu
pengetahuan di sebuah bidang. Karya Claude Shannon tentang
bagaimana rangkaian relay elektris dapat digunakan untuk
mengimplementasikan konstruksi logika Boolean adalah contoh karya
yang berbobot S3 (meskipun Shannon mengerjakannya untuk tesis
masternya2). Semua perangkat digital saat ini dikembangkan dari temuan
riset ini. Sebaliknya, pembuatan aplikasi pengolah kata (word processor)
selengkap apapun fiturnya, kecil kemungkinannya bisa diangkat sebagai
topik riset S3 karena tidak ada kebaruan secara fundamental yang dapat
digali dari sana.

Menggali kebaruan dalam riset bisa jadi tricky juga. Dalam membimbing
mahasiswa, beberapa kali saya menjumpai upaya dalam menonjolkan
kebaruan riset mereka dalam bentuk pernyataan sederhana yang ditulis
dalam proposal: “sepanjang pengetahuan penulis, belum ada peneliti
lain yang melakukan riset tentang topik ini”. Ada 2 kemungkinan yang
terjadi: 1) mahasiswa kurang cermat mengeksplorasi literatur sehingga
ada tulisan-tulisan ilmiah yang relevan tapi terlewat tidak terbaca, atau
2) topik yang diteliti memang tidak penting atau tidak menarik sehingga
tidak ada orang yang menelitinya. Pertanyaan seperti ini misalnya: “apa
obat batuk yang paling efektif untuk anak-anak”, rasanya tidak akan
diteliti oleh siapapun juga karena isunya tidak penting (batuk bukanlah
penyakit yang perlu dikhawatirkan, dan produk obat batukpun sudah

2
Wikipedia. https://en.wikipedia.org/wiki/Claude_Shannon.

~ 17 ~
banyak tersedia); mengambil ini sebagai topik penelitian jelas akan
membuang waktu, energi, dan biaya saja.

Persyaratan kebaruan yang bersifat fundamental ini memang tidak


mudah dimengerti, apalagi oleh mahasiswa S3, terutama pada tahap
awal studi. Banyak di antara mereka yang merasa frustasi dengan
peryaratan ini. Pertanyaannya seragam: dari mana harus memulai untuk
memunculkan kebaruan yang signifikan? Inilah sebabnya mengapa
proses pencarian/penemuan ini perlu didampingi oleh pembimbing
(promotor/supervisor). Pembimbing inilah yang dapat menentukan
seberapa jauh/dalam riset yang dilakukan. Sebagai orang yang pernah
menjalani proses studi S3 dan memiliki pengalaman membimbing, para
pembimbing ini punya sense untuk mendeteksi kelayakan topik yang
diusulkan mahasiswa. Untuk itu komunikasi dan diskusi dengan
pembimbing adalah sesuatu yang sangat penting dalam studi S3. Dalam
konteks menemukan topik yang memenuhi syarat kebaruan dan
signifikansi ini, pembimbing dan mahasiswa bekerjasama secara sinergis:
pembimbing menggunakan sense-nya untuk mendeteksi potensi
kelayakan sebuah topik, mahasiswa yang membuktikan apakah sense
terhadap sebuah topik tertentu itu benar atau salah.

Tuntutan riset S3 juga memerlukan kemandirian yang tinggi dari


mahasiswa. Memang ada promotor atau supervisor, tetapi perannya
lebih pada mengarahkan, bukan menuntun. Mahasiswa S3 harus mampu
berjalan sendiri.

Kemandirian dalam riset dimulai dari persiapan melamar, sampai


dinyatakan lulus dalam mempertahankan hasil risetnya. Kemandirian
riset berarti mahasiswa yang memegang inisiatif dan kendali dalam
mempersiapkan, menjalankan, dan menyelesaikan risetnya. Ibaratnya
melakukan perjalanan menerabas hutan lebat yang tidak dikenal,

~ 18 ~
mahasiswa harus menjalaninya sendirian, dari menentukan tujuan
perjalanan, memilih rute, memilih alat transportasi, sampai dengan
menghadapi rintangan, halangan, dan berbagai kesulitan yang ditemui
selama menempuh perjalanan. Bimbingan dari promotor biasanya hanya
berupa arahan dan petunjuk yang bersifat umum. Mahasiswa harus
menerjemahkannya ke dalam bentuk aksi-aksi nyata yang hanya
dimengerti oleh dirinya sendiri.

Riset S3 adalah sebuah perjalanan hidup yang arah dan caranya


ditentukan oleh mahasiswa sendiri. Di balik tantangan yang begitu besar,
tersembunyi reward yang besar pula bila dapat menjalaninya dengan
baik. Dalam setiap riset S3 selalu ada persoalan yang ingin diselesaikan
atau pertanyaan yang ingin dijawab. Pada umumnya
persoalan/pertanyaan ini diurai menjadi persoalan-persoalan yang lebih
sempit dan spesifik, sehingga lebih mudah untuk memecahkannya. Riset
adalah usaha untuk menjawab persoalan-persoalan ini, dan menyusun
jawaban-jawaban yang diperoleh ke dalam sebuah konstruksi yang utuh
sebagai jawaban atas pertanyaan utamanya.

Proses menemukan jawaban atas persoalan-persoalan atau pertanyaan-


pertanyaan itulah yang pada akhirnya membawa pemahaman-
pemahaman baru kepada mahasiswa. Proses ini akan merangkai
pengetahuan-pengetahuan yang telah dimiliki (prior knowledge) dengan
metode-metode ilmiah untuk membentuk pengetahuan-pengetahuan
baru (acquired knowledge). Gambar 2-2 mengilustrasikan hal ini.

Persoalan atau pertanyaan riset selalu bersifat terbuka, artinya tidak ada
satu jawaban eksak, dan saat ia diajukan, tidak ada yang tahu seperti apa
jawabnya. Seberapa jauh persoalan riset akan dijawab, dan seberapa
jauh pengetahuan baru dapat digali dan dikonstruksi sangat tergantung
pada mahasiswa. Riset yang baik adalah riset yang dapat menghasilkan

~ 19 ~
jawaban yang jelas dan runtut, serta menggali banyak pengetahuan baru
yang menambah khasanah pengetahuan yang sudah ada. Faktor inilah
yang menentukan tingkat kualitas riset S3.

?  
? ?
? 
 
Pertanyaan riset
?

Konstruksi pengetahuan
yang membentuk jawaban
Pertanyaan riset yang diurai menjadi beberapa persoalan atas pertanyaan riset
kecil, kemudian dipecahkan menggunakan pengetahuan
yang ada dan membentuk pengetahuan-pengetahuan baru

Pengetahuan baru yang terbentuk sebagai


Pengetahuan yg telah dimiliki saat itu
jawaban atas pertanyaan-pertanyaan riset

Gambar 2-2. Proses konstruksi pengetahuan melalui riset

Perjalanan riset S3 yang ditunjukkan pada Gambar 2-2 adalah perjalanan


pencarian yang didorong oleh pertanyaan-pertanyaan atau problem-
problem penelitian yang ditemui selama proses riset berlangsung. Sering
kali untuk dapat menjawab pertanyaan atau menyelesaikan problem
yang ditemui, mahasiswa harus belajar hal-hal baru yang bahkan
terkadang berada di luar bidang keilmuannya. Fenomena ini terlihat jelas
dalam riset-riset yang bersifat multidisipliner atau interdisipliner. Riset-
riset dalam biomedical engineering misalnya, pasti akan memaksa
mahasiswa untuk belajar paling tidak tentang topik-topik dalam bidang
kesehatan dan komputer.

Yang terkadang menjadi persoalan adalah mahasiswa tidak selalu


bersedia atau siap untuk menjalani trek belajar yang kadang berliku dan
melompat-lompat ini. Ketidaksiapan mahasiswa ini berawal dari
pemahaman bahwa bidang kajian yang akan mereka hadapi bersifat
homogen. Seorang mahasiswa yang mengambil topik riset tentang e-

~ 20 ~
learning misalnya, secara tidak sadar akan membangun “dinding-dinding
pembatas” yang mendefinisikan ruang lingkup risetnya, dan ruang
lingkup ini pada umumnya didefinisikan secara umum dan homogen.
Bicara tentang e-learning berarti bicara tentang mode/gaya belajar,
multimedia untuk pembelajaran, teknik-teknik evaluasi hasil belajar,
aplikasi LMS, dan topik-topik lain yang secara kohesif mendefinisikan
bidang e-learning. Di tengah perjalanan risetnya, saat mahasiswa
dihadapkan pada problem bahwa untuk mengevaluasi hasil belajar dia
harus mencari pola-pola tertentu yang hanya bisa diselesaikan dengan
metode machine learning, biasanya rasa gamang mulai muncul. Ada
konflik batin: “penelitian saya tentang e-learning, mengapa saya harus
belajar juga tentang machine learning yang itu bukan domain riset saya?”

Jika tidak dikelola dengan baik, konflik batin seperti di atas bisa
berbahaya. Mahasiswa bisa bereaksi defensif. Alih-alih berusaha keras
memahami topik-topik baru di luar bidang keilmuan aslinya, mahasiswa
malah berusaha merekayasa situasi agar mereka tidak perlu mempelajari
topik-topik baru tersebut. Mereka kemudian memberikan batasan-
batasan penelitian yang baru, bahkan sampai mengubah arah atau
lingkup penelitian. Yang tidak disadari mahasiswa ketika mengubah arah
atau lingkup penelitian adalah bahwa perubahan tersebut dapat
berimplikasi terhadap kelayakan topik risetnya. Bisa saja hal-hal baru
yang perlu dieksplorasi tersebut yang nanti akan bisa menghasilkan
temuan-temuan penting; memangkasnya di awal berarti menghilangkan
pula kemungkinan munculnya temuan-temuan baru yang diperlukan,
dan akhirnya membuat risetnya menjadi tidak layak untuk mendapatkan
gelar doktor. Jadi kesediaan untuk mengikuti ke arah mana harus
mengeksplorasi merupakan tuntutan bagi mahasiswa S3. Untuk hasil
maksimal, mahasiswa harus bersedia untuk menggeluti area-area baru
yang mungkin sama sekali asing.

~ 21 ~
Kesimpulannya, perjalanan riset S3 memang berat, tetapi di sisi lain, jika
mahasiswa dapat menjalaninya dengan baik, akan ada mutiara yang
menunggunya. Di mana letak reward riset S3? Menurut pengalaman
orang-orang yang pernah menjalani studi S3, baik proses riset maupun
hasilnya dapat memberikan reward yang setimpal dengan usaha yang
dikeluarkan. Menjalankan riset berarti melatih intelektualitas dalam
mencari jawaban dengan menggunakan metode yang obyektif, runtut,
dan sistematis. Di dalamnya ada proses penalaran, melakukan
eksperimen, menguji hipotesis, mencari data pendukung yang valid dan
menerapkannya, menganalisis fenomena, sampai ke menarik
kesimpulan. Aktivitas riset sebenarnya melatih cara berpikir kita. Jika
terlatih berpikir secara runtut dan sistematis, maka kita akan nyaman
untuk menghadapi berbagai persoalan yang menuntut solusi yang tepat.
Kemampuan inilah yang sebenarnya sangat berharga bagi seorang
mahasiswa S3. Setelah lulus, ia akan dilengkapi dengan pisau intelektual
yang tajam yang bisa digunakan dalam bidang apapun juga, bahkan
dalam situasi-situasi non-ilmiah.

Mendapatkan hasil atau temuan dalam tiap tahapan riset juga membawa
kepuasan tersendiri. Gambaran situasinya seperti saat Archimedes
berseru “Eureka!”. Hasil dan temuan riset adalah hal-hal baru yang
membawa mahasiswa ke “ujung ilmu pengetahuan”. Saat itu, ia adalah
orang yang paling paham tentang topik penelitiannya. Bagi yang pernah
mengalami, perasaan itu tidak tergantikan oleh apapun.

Selain itu, konstruksi pengetahuan yang terbentuk juga menjadi aset


intelektual yang sangat berharga bagi mahasiswa. Dengan pengetahuan
ini, ia menjadi ahli di bidangnya dan dapat menggunakan ilmunya untuk
berkarya setelah lulus. Ia dapat melanjutkan penelitiannya,
menerapkannya dalam konteks dan lingkungan nyata, atau
mengajarkannya kepada orang lain.

~ 22 ~
3 Persiapan

Belajar pada jenjang S3 sangat berbeda dengan belajar pada jenjang-


jenjang sebelumnya. Derajad doktor memiliki nilai yang tinggi dalam
memajukan ilmu pengetahuan, sementara keberhasilan studi S3 terkait
dengan banyak hal. Produktivitas dan efektivitas studi dapat dijaga bila
faktor-faktor yang berpengaruh terkontrol dengan baik. Karena itulah
studi S3 menuntut persiapan yang matang dalam berbagai aspek.

Persiapan Mental
Masa sekolah S3 adalah masa yang penuh ketidakpastian, karena riset S3
pada hakekatnya adalah aktivitas eksplorasi terhadap hal-hal yang belum
diketahui. Banyak kemungkinan bisa terjadi, dan kadang-kadang efeknya
bisa menggoyahkan mental. Yang juga perlu diperhatikan adalah
terkadang peristiwa-peristiwa yang harus dihadapi tidak hanya berkaitan
dengan riset, tetapi juga menyangkut faktor-faktor lain seperti dana,
pembimbing, bahkan keluarga.

Untuk menghadapi berbagai ketidakpastian dan kejadian-kejadian yang


tidak diharapkan, mental harus kuat. Persiapan mental terutama
bertujuan untuk menguatkan diri menghadapi gejolak-gejolak emosional
seperti kebingungan, ketidaksabaran, rasa terombang-ambing,
kekhawatiran, stress, atau melemahnya motivasi. Sejak awal proses
pendaftaran dan seleksi, kemungkinan munculnya berbagai gejolak
tersebut cukup besar, dan semakin membesar seiring dengan
berjalannya proses riset dan penulisan disertasi.

Sebelum memasuki program doktor, calon mahasiswa harus memiliki


kesadaran tentang apa yang akan dijalani dan ditemuinya. Memahami
apa yang akan ditemui setidaknya dapat meminimalkan kejutan-kejutan
mental saat benar-benar mengalaminya. Jadi kenalilah dengan baik

~ 23 ~
tahapan-tahapan yang akan dilalui serta pernak-pernik yang
mengikutinya. Banyak sumber informasi yang bisa dimanfaatkan.
Berkonsultasi dengan (calon) dosen pembimbing atau mahasiswa S3
yang sudah lebih dulu memulai prosesnya adalah cara pengenalan yang
efektif.

Pemahaman terhadap studi S3 dapat ditingkatkan kualitasnya jika kita


kritis terhadap informasi-informasi yang diperoleh. Kekritisan ini akan
memicu pertanyaan-pertanyaan berikutnya, dan pada akhirnya jawaban-
jawaban yang diperoleh dapat memberikan gambaran yang lebih baik
tentang informasi tersebut. Sebagai contoh, jika kita bertanya,”Apa
bedanya riset S3 dengan riset S2?”. Jawaban yang muncul sering kali
adalah,”Riset S3 harus menghasilkan orisinalitas tertentu”. Jika
pertanyaannya dilanjutkan untuk mengeksplorasi terminologi
“orisinalitas”, maka kita akan mendapatkan gambaran yang lebih jelas
lagi. Jadi, jangan puas dengan jawaban pertama saja. Lanjutkan dengan
pertanyaan-pertanyaan eksploratif berikutnya.

Persiapan mental tidak hanya terkait dengan riset yang akan dihadapi.
Memasuki sebuah lingkungan barupun juga memerlukan persiapan yang
matang. Hal ini terutama berlaku untuk calon mahasiswa yang berasal
dari lingkungan yang “berbeda” dari lingkungan akademik tempatnya
melakukan riset. Kadang-kadang ego pribadi perlu disetel ulang. Ambil
contoh mahasiswa S3 yang bekerja sebagai dosen misalnya. Jika di
kampus asalnya ia adalah subyek yang mengarahkan mahasiswa, saat
belajar S3, ia adalah obyek yang diarahkan. Demikian pula mahasiswa
yang berasal dari lingkungan birokrasi biasanya perlu waktu untuk
menyesuaikan diri dengan kultur akademis. Jika setelan mental seperti
ini tidak disiapkan, bisa memunculkan rasa sakit hati, tersinggung,
kecewa, dan berbagai bentuk negatif lainnya yang dapat menghambat
studi.

Selain kesadaran dan penerimaan mental terhadap situasi saat menjalani


proses studi S3, yang juga penting ditumbuhkan adalah sikap atau
attitude. Tuntutan kemandirian dalam riset mengharuskan mahasiswa

~ 24 ~
memiliki beberapa attitude yang mengarah pada keaktifan, inisiatif,
berorientasi sasaran, dan kreativitas. Beberapa sikap yang perlu
ditumbuhkan adalah:

Memelihara keingintahuan akademis (academic curiousity). Sikap ini


adalah modal dasar seorang ilmuwan. Keingintahuan akademis adalah
pendorong terbesar seorang mahasiswa S3 dalam menjalankan risetnya.
Setiap kali menemui persoalan ilmiah yang tidak diketahui secara tuntas,
otomatis muncul pertanyaan-pertanyaan “apa”, “mengapa”, atau
“bagaimana”. Selanjutnya apa yang dilakukan sepenuhnya didorong
untuk mengetahui jawaban dari pertanyaan-pertanyaan tersebut. Rasa
ingin tahu inilah yang memungkinkan ilmu pengetahuan melangkah
setapak demi setapak menuju kemajuan.

Jujur dan obyektif. Kejujuran dan obyektivitas adalah modal utama


seorang mahasiswa. Kejujuran berkaitan dengan kesediaan untuk
menyampaikan segala sesuatu apa adanya, terutama yang terkait
dengan proses dan hasil riset, serta pengakuan terhadap karya orang lain.
Obyektivitas menyangkut kesediaan untuk mengesampingkan
kepentingan-kepentingan lain kecuali kepentingan ilmiah itu sendiri.
Kejujuran dan obyektivitas adalah harga diri dan integritas seorang
akademisi. Tanpa keduanya, tidak akan ada pengakuan terhadap
kehidupan kita sebagai peneliti, dan tidak akan ada kebanggaan apapun
yang bisa digenggam.

Memiliki determinasi dan daya tahan (endurance) tinggi. Determinasi


menunjukkan seberapa tinggi tingkat kesungguhan kita dalam mencapai
suatu tujuan. Sering kali mahasiswa menghadapi jalan yang sepertinya
buntu. Padahal sebenarnya hasil yang diinginkan berada tepat di balik
tembok yang menghalangi jalan tersebut. Sebelum benar-benar
menyatakan buntu, diperlukan usaha yang keras dalam mengeksplorasi
segala kemungkinan yang ada, dan ini memerlukan daya tahan tinggi.
Daya tahan adalah sifat intrinsik yang memungkinkan manusia bisa tetap
memelihara semangat dan motivasi dalam menghadapi tantangan.

~ 25 ~
Sabar. Kesabaran terkait dengan kematangan emosional seseorang
dalam menghadapi kendala dan hambatan. Orang yang sabar dapat
mengendalikan emosinya meski dalam keadaan tertekan. Pengendalian
emosi ini sangat penting dalam riset karena emosi tinggi pada umumnya
dapat mengganggu konsentrasi/fokus dan obyektivitas.

Komunikatif. Riset bukanlah aktivitas yang bersifat soliter (menyendiri).


Melakukan riset berarti berhubungan dengan komunitas ilmiah, baik
dilakukan secara langsung (misalnya, diskusi dan presentasi seminar)
maupun tidak langsung (misalnya, melalui publikasi). Dengan demikian
penting bagi mahasiswa S3 untuk bersikap komunikatif. Ia harus mampu
menyampaikan ide, gagasan, serta hasil-hasil penelitiannya secara
proporsional, dan sebaliknya, ia juga harus mampu menerima gagasan
dan hasil penelitian orang lain.

Berorientasi sasaran. Kegiatan riset harus selalu dibingkai oleh sasaran-


sasaran. Bukan hanya sasaran hasil, tetapi juga sasaran-sasaran lain
seperti waktu atau biaya. Orientasi sasaran akan memudahkan periset
dalam memfokuskan kegiatan-kegiatannya dan mengesampingkan hal-
hal lain yang tidak membawanya pada tercapainya sasaran-sasaran
tersebut.

Persiapan Dana dan Pencarian Beasiswa


Studi S3 pada umumnya memerlukan dana yang tidak sedikit. Untuk
bidang-bidang tertentu bahkan kebutuhan dananya besar sekali, terkait
dengan alat dan bahan yang diperlukan untuk risetnya. Bagi banyak calon
mahasiswa S3, biaya ini berada di luar jangkauan kemampuan keuangan
pribadinya, sehingga keberlangsungan studinya sangat tergantung pada
ketersediaan sumber dana pendukung (beasiswa).

Mencari beasiswa itu gampang-gampang susah. Dikatakan gampang


karena sesungguhnya persyaratannya relatif mudah untuk dipenuhi. Jika
secara akademis seseorang sudah punya modal yang kuat, persyaratan

~ 26 ~
lainnya biasanya lebih bersifat administratif saja. Yang menjadi sulit
adalah kenyataan bahwa proses seleksi dan keputusan pemberian
beasiswa berada di luar kewenangan calon mahasiswa. Rasio yang tinggi
antara pelamar dan yang diterima, adanya preferensi (misalkan,
preferensi terhadap wanita daripada laki-laki, atau terhadap calon dari
Indonesia bagian timur daripada dari Indonesia bagian barat), atau
aspek-aspek subyektif lainnya adalah contoh-contoh uncontrollable
factors yang membuat seleksi beasiswa menjadi tidak mudah diprediksi
hasilnya.

Tiap beasiswa memiliki ciri masing-masing, karenanya strategi untuk


mendapatkannya juga berbeda. Untuk bagian yang bisa dilakukan oleh
calon pelamar, tips umumnya adalah perhatikan benar persyaratan-
persyaratan yang diminta, terutama pada saat seleksi administratif
(dokumen). Ingatlah bahwa pada saat itu jumlah pelamar banyak sekali,
dan cara yang mudah bagi pemberi beasiswa untuk memilih (shortlisting)
adalah berdasarkan kelengkapan dokumen. Dokumen yang kurang
lengkap sedikit saja bisa membatalkan eligibilitasnya.

Selain itu, usahakan untuk memberikan yang lebih baik daripada yang
diminta (exceed the expectation). Ingatlah bahwa berusaha terpilih pada
dasarnya adalah membuat pengambil keputusan tertarik pada kita.
Secara psikologis, ketertarikan itu bisa muncul jika kita bisa memenuhi
atau bahkan melebihi standar harapan mereka. Banyak hal kecil bisa
dilakukan, misalnya menata semua persyaratan dengan rapi dan urut,
memberikan checklist, atau membawa dokumen-dokumen pendukung
yang bisa memperkuat profil kita, meskipun itu tidak dipersyaratkan.

Buku ini tidak bertujuan mendaftar program-program beasiswa atau


mengupas tips-and-tricks dalam berburu beasiswa. Ada banyak sumber
informasi online yang bisa diakses. Masukkan kata kunci “informasi
beasiswa” atau “mailing list beasiswa” ke layanan pencarian Google,
maka akan muncul banyak referensi yang bisa digunakan.

~ 27 ~
Mencari Beasiswa vs Mencari Sekolah
Pada umumnya skema beasiswa selalu dikaitkan dengan program
sekolah (khususnya jenjang pascasarjana). Banyak beasiswa yang
mensyaratkan surat penerimaan (letter of acceptance) dari sebuah
perguruan tinggi yang dituju. Hal ini terutama berlaku untuk beasiswa
untuk studi di luar negeri. Dengan demikian, sebelum memulai usaha
mencari beasiswa, calon mahasiswa perlu menentukan dulu sekolah
yang akan dituju, lalu mengikuti proses pendaftaran sampai
mendapatkan kepastian penerimaannya, baru mencari beasiswanya. Jadi
dalam banyak kasus, urutan proses melamar beasiswa adalah sebagai
berikut:

1. Melengkapi persyaratan dokumen untuk melamar sekolah


2. Melengkapi persyaratan-persyaratan lain (misalnya, tes
TOEFL/IELTS, tes TPA, dan sebagainya)
3. Mengikuti proses pendaftaran di perguruan tinggi yang dituju
4. Mendapatkan bukti penerimaan (setelah dinyatakan diterima)
5. Melengkapi persyaratan dokumen untuk melamar beasiswa dan
menyertakan bukti penerimaan dari perguruan tinggi yang dituju

Mendapatkan sekolah pada umumnya relatif lebih mudah daripada


mendapatkan beasiswa. Pertama karena pilihan perguruan tinggi yang
tersedia lebih banyak, dan kedua karena faktor-faktor penentu
keberhasilannya melekat pada diri pelamar (misalnya: IP, ranking,
rekomendasi dari pembimbing, atau jumlah publikasi sebelumnya).
Mendapatkan beasiswa lebih sulit karena seperti yang telah dijelaskan
sebelumnya, ada faktor-faktor penentu yang berada di luar lingkup
kendali pelamar.

Karena mencari sekolah lebih mudah daripada mendapatkan beasiswa,


dan dalam banyak kasus kepastian penerimaan di perguruan tinggi
menjadi persyaratan melamar beasiswa, maka pelamar disarankan untuk
mengamankan faktor sekolah ini dulu. Artinya, pastikan untuk
mendapatkan sekolah dulu, baru kemudian fokus untuk mencari

~ 28 ~
beasiswa. Dengan strategi ini, kita dapat “menyebar” aplikasi ke berbagai
sumber beasiswa dan berharap bisa menjaring salah satunya. Jika ingin
menjalankan strategi ini, perhatikan masalah waktu. Alokasikan waktu
yang cukup untuk melamar ke perguruan tinggi target, sehingga pada
saatnya melamar beasiswa, tidak perlu terburu-buru menjalaninya.

Sedikit persoalan mungkin muncul jika pendaftaran perguruan tinggi


mensyaratkan adanya sumber dana yang jelas. Di sini muncul
ketergantungan antara keduanya: perguruan tinggi mensyaratkan
sumber pendanaan, sementara kita memerlukan bukti penerimaan di
perguruan tinggi untuk mencari beasiswa. Untuk mengatasi hal ini,
pelamar dapat menceritakan situasinya kepada perguruan tinggi dan
memintanya untuk menerbitkan bukti penerimaan bersyarat (diterima,
tetapi menunggu konfirmasi sumber pendanaan yang pasti).

Kendala lain yang perlu diwaspadai adalah persyaratan bahasa (TOEFL


atau IELTS) dan potensi akademik (TPA, GRE, GMAT, dan sejenisnya). Jika
persyaratan skor yang diminta belum terpenuhi, maka calon mahasiswa
perlu mengalokasikan cukup waktu untuk bisa memenuhinya.
Kemampuan berbahasa dan potensi akademik adalah sesuatu yang tidak
mungkin diubah secara drastis dalam waktu singkat. Skor TOEFL bisa
ditingkatkan dengan cara mengikuti tes beberapa kali secara beruntun,
tetapi menurut pengalaman beberapa mahasiswa yang melakukannya,
kenaikan skornya tidak terlalu signifikan. Memang idealnya adalah
menyiapkan persyaratan ini jauh hari sebelumnya, misalkan dengan
menjalani program pelatihan intensif dalam jangka waktu yang cukup
lama.

Yang juga perlu diperhatikan adalah waktu pelaksanaan tes. Tes TOEFL
internasional, GRE, atau GMAT biasanya diselenggarakan hanya
beberapa kali dalam setahun. Timing perlu dijaga dengan cermat, karena
jika gagal atau terlewat, artinya beberapa bulan akan terbuang.

~ 29 ~
Melamar Banyak Beasiswa dalam Waktu Bersamaan
Salah satu strategi yang sering dilakukan orang adalah melamar beasiswa
ke banyak tempat pada saat yang hampir bersamaan. Kadang-kadang
dua beasiswa diumumkan pada waktu yang hampir bersamaan, dan
pelamar harus memilih salah satunya. Kondisi ini sering memunculkan
dilema, mana yang harus dipilih. Misalkan ada dua pasang lamaran
beasiswa dan sekolah, S1B1 dan S2B2. Calon mahasiswa punya preferensi
S1B1, tetapi ternyata S2B2 diumumkan lebih dulu. Contoh kasus lain,
misalnya preferensinya ke sekolah S1, tetapi untuk beasiswa ia lebih
memilih B2. Kebetulan pengumuman beasiswa B2 lebih dulu daripada B1.
Jika ia menerima B2, maka ia harus masuk ke S2, padahal sebenarnya ia
lebih suka masuk ke S1. Bagaimana mengambil keputusan dalam situasi
seperti ini?

Ini adalah persoalan mengambil sikap yang terkait dengan resiko.


Seberapa jauh pelamar berani menanggung resiko dalam mendapatkan
apa yang ia inginkan. Dalam contoh pertama, apakah pelamar berani
mengabaikan S2B2 untuk meraih S1B1? Pada contoh kedua, maukah ia
mengorbankan B2 demi menunggu B1 yang akan mengantarkannya ke
sekolah S1 idamannya?

Untuk memutuskan, tentu saja perlu berhitung resiko-resiko yang


mungkin terjadi. Resiko terburuk adalah jika tidak bisa masuk ke
perguruan tinggi target, dan beasiswapun juga meleset. Resiko yang lebih
ringan adalah tidak bisa mendapatkan salah satu yang diinginkan. Kondisi
inilah yang paling sering dihadapi dan memaksa pelamar untuk memilih.
Beasiswa mestinya mendapatkan prioritas karena lebih sulit diperoleh.
Artinya, jika sebuah beasiswa sudah pasti didapatkan, lebih baik jangan
melepaskannya demi mendapatkan beasiswa atau sekolah lain yang
mungkin lebih diinginkan tapi belum pasti. Dalam contoh di atas, jika
sudah diterima di S2B2, sebaiknya tidak melepaskannya hanya untuk
mendapatkan S1B1.

~ 30 ~
Pada saat mengumumkan, biasanya pemberi beasiswa meminta pelamar
yang berhasil untuk menandatangani surat penerimaan tawaran
beasiswa (offer letter) atau bahkan kontrak. Isinya adalah kesediaan
pelamar untuk menerima beasiswa dan kesanggupannya untuk
melaksanakan ketentuan-ketentuan yang berlaku. Kadang-kadang
muncul persoalan: bagaimana jika pelamar diterima di lebih dari satu
beasiswa, sementara ia sudah terlanjur menandatangani surat
penerimaan tawaran?

Tentu saja pelamar harus memilih, dan kadang-kadang ia harus


mengundurkan diri dan membatalkan surat penerimaan tawaran yang
sudah ditandatanganinya. Hal ini memang bukan tindakan yang
diinginkan. Pemberi beasiswa pasti akan kecewa, karena ia akan rugi
waktu dan biaya. Untuk itulah pelamar memang harus benar-benar
berhitung tentang efek pengunduran dirinya. Hal ini penting diperhatikan
terutama jika persyaratan beasiswa terkait dengan institusinya. Ada
beasiswa yang mengatakan bahwa pengunduran diri seorang pelamar
akan berimplikasi negatif terhadap institusi afiliasi pelamar. Kalaupun
akhirnya ia harus mengundurkan diri, ia perlu mencari alasan yang benar-
benar rasional dan dapat diterima. Jangan diam saja, atau beralasan
bahwa sebenarnya ia mengharapkan beasiswa lain yang lebih baik.
Alasan yang rasional biasanya terkait dengan perubahan-perubahan yang
terjadi di luar kekuasaan pelamar dan menyebabkan ia tidak bisa
memenuhi tawaran beasiswa tersebut. Permohonan pengunduran diri
harus dituangkan dalam bentuk surat, lebih baik lagi kalau surat itu resmi
dari institusinya.

Antara Riset dan Bekerja Paruh Waktu


Beasiswa-beasiswa yang besar biasanya sudah memperhitungkan aspek
kecukupan untuk hidup sehari-hari, tetapi ada kalanya mahasiswa
memiliki kebutuhan-kebutuhan khusus yang memerlukan dana
tambahan yang tidak bisa dipenuhi oleh beasiswa yang digunakan. Salah
satu peluang mendapatkan tambahan dana adalah dengan bekerja. Bagi
mahasiswa S3, satu-satunya opsi adalah skema bekerja paruh waktu

~ 31 ~
(part-time) karena tidak mungkin ia bekerja sepanjang hari dari pagi
sampai sore.

Di Indonesia maupun di luar negeri, ada banyak jenis pekerjaan paruh


waktu yang bisa diakses mahasiswa. Di perguruan tinggi luar negeri,
biasanya ada cukup banyak pekerjaan yang bersifat akademis dan
dilaksanakan di dalam kampus sehingga lebih memudahkan mahasiswa
dalam menjalaninya. Menjadi research assistant atau teaching assistant
adalah contoh pekerjaan akademik yang bersifat formal (ditawarkan
resmi oleh institusi). Dalam beberapa kesempatan, kadang muncul juga
tawaran-tawaran yang lebih informal seperti memberikan tutorial secara
personal kepada mahasiswa S1. Jenis pekerjaan akademis seperti ini,
menurut saya, adalah pekerjaan yang paling “aman” diambil oleh
mahasiswa S3 karena mereka tidak perlu meninggalkan lingkungan
akademiknya.

Sekiranya tidak mungkin untuk mendapatkan pekerjaan akademis,


mahasiswa dapat juga mencari pekerjaan non-akademis di luar kampus.
Tentu saja ragamnya sangat banyak, dengan derajad kesulitan yang
sangat bervariasi pula. Pilihan yang cocok akan sangat tergantung pada
personal mahasiswa.

Satu hal penting yang perlu diperhatikan mahasiswa S3 adalah bahwa


risetnya sendiri adalah “pekerjaan” yang bersifat penuh waktu (full-
time). Secara formal, fakta ini ditunjukkan melalui persyaratan mukim
(sit-in) yang diterapkan oleh banyak perguruan tinggi. Mahasiswa harus
secara kontinyu berada di kampus karena tugas risetnya menuntut untuk
seperti itu. Secara substansial, hal ini dapat dirasakan ketika mahasiswa
tidak menjalankan risetnya secara serius, atau meninggalkannya dalam
jangka waktu yang relatif panjang (untuk liburan misalnya). Dampaknya
langsung terasa. Untuk kembali menyesuaikan ke irama semula (proses
running-in), pasti akan diperlukan waktu, dan dalam konteks jadwal,
kondisi seperti ini jelas sangat merugikan.

~ 32 ~
Problem membagi waktu antara riset dan keharusan untuk tetap
menjalankan pekerjaan lain sering menjadi dilema bagi mahasiswa S3
yang berprofesi dosen, khususnya yang berasal dari perguruan tinggi
yang memiliki SDM yang terbatas. Keinginan mahasiswa dan institusinya
tentu saja adalah studi S3 dan tugas di kampus dapat berjalan beriringan.
Sayangnya, hal itu sulit dilakukan tanpa pengaturan waktu yang
berdisiplin dan pemantauan kemajuan studi yang efektif. Beberapa
mahasiswa yang mencoba melakukan kedua aktivitas tersebut secara
paralel, katakan dalam seminggu mereka menghabiskan 3 hari untuk
riset dan sisanya untuk tugas-tugas lainnya, pada akhirnya menyerah
karena risetnya kedodoran. Pada akhirnya sering kali keputusan untuk
menempuh studi S3 adalah sebuah pilihan all-or-nothing.

Persiapan Keluarga dan Pekerjaan


Keluarga adalah faktor pendukung penting dalam suksesnya studi S3,
terutama dalam menjaga agar semangat dan motivasi tetap tinggi.
Sebelum melamar program S3, sangat disarankan keluarga, terutama
pasangan calon mahasiswa (suami atau istri), dimintai persetujuan dan
dukungannya. Ini adalah modal penting dalam memulai perjalanan yang
penuh dengan ketidakpastian, tantangan, dan kendala.

Situasi menjadi tidak sederhana karena kondisi keluarga juga tergantung


pada calon pelamar. Seorang ayah yang sekolah S3 tentu akan berkurang
perhatiannya pada keluarga, bahkan mungkin terganggu kewajibannya
sebagai kepala keluarga. Seorang ibu yang menjadi mahasiswa S3 jelas
tidak mungkin memberikan perhatian kepada anak-anaknya secara
maksimal. Jadi dukungan dari keluarga sebenarnya selalu “bersyarat”:
dukungan akan diberikan jika keluarga yakin bahwa ekses-ekses selama
menjalani program S3 tidak akan menggoyahkan kehidupan rumah
tangga dalam aspek apapun. Untuk itulah keluargapun perlu disiapkan.

Persiapan keluarga bisa bermacam-macam bentuknya, dari yang bersifat


material maupun mental. Yang bersifat material misalnya pengaturan-

~ 33 ~
pengaturan yang terkait dengan pengasuhan anak, anggaran rumah
tangga, atau hal-hal lain terkait dengan kehidupan rumah tangga yang
berubah karena berkurangnya peran ayah/ibu. Persiapan material ini
bisa lebih rumit lagi jika calon mahasiswa bersekolah di luar negeri.
Tambahan hal-hal yang perlu disiapkan antara lain: mencari rumah
tinggal yang sesuai, mencari sekolah untuk anak, sampai dengan
mencarikan kegiatan untuk pasangan.

Persiapan mental tidak kalah penting, terutama bagi pasangan calon


mahasiswa. Ia harus menyiapkan diri untuk menanggung sebagian beban
yang ditinggalkan oleh pasangannya. Seorang istri yang ditinggalkan
suami belajar S3 mungkin harus siap dengan tugas-tugas seorang bapak,
demikian pula sebaliknya. Jika sekolahnya di luar negeri dan keluarga
diajak serta, faktor-faktor ini perlu ditambah dengan kemungkinan
kejutan budaya (culture shock), kesulitan berkomunikasi, dan perasaan-
perasaan lain yang dapat mengganggu (jenuh, bosan, kesepian, dan lain-
lainnya). Di luar negeri, hal-hal yang sebenarnya sederhana bisa memicu
masalah serius, sehingga harus diperhatikan dengan cermat. Istri yang
merasa kesepian dan bosan karena tidak bisa masuk ke lingkungan baru,
atau suami yang tidak bisa bekerja karena tidak memiliki ketrampilan
yang diperlukan adalah contoh-contoh keadaan yang harus dicarikan
solusi. Jika tidak, istri atau suami yang mengalami masalah seperti itu
dapat terganggu psikisnya dan berbahaya bagi kehidupan keluarga
secara keseluruhan.

Kunci sukses bagi keluarga (khususnya pasangan) dalam menghadapi


kondisi ditinggal sekolah adalah kesediaan untuk menerima dan
beradaptasi terhadap perubahan kondisi yang terjadi. Kesediaan untuk
menerima perubahan terkait dengan pandangan dan sikap. Diperlukan
keterbukaan dan keluwesan pandangan, terutama untuk menghadapi
hal-hal baru yang mungkin tidak sejalan dengan cara pandang pribadi.
Hal ini banyak terjadi saat suami/istri mengikuti pasangannya yang
sekolah di luar negeri. Kesediaan untuk menerima kenyataan bahwa
budaya dan kebiasaan orang di luar negeri kadang tidak cocok dengan
pandangan pribadi menjadi titik awal dalam usaha-usaha penyesuaian.

~ 34 ~
Dalam hal ini, yang paling penting adalah kemampuan untuk memegang
prinsip-prinsip pribadi tanpa harus terganggu dengan pandangan dan
kebiasaan lingkungan yang berbeda. Keengganan untuk menerima
lingkungan dengan tatacara yang berbeda hanya akan menimbulkan
pertentangan dalam hati, yang akhirnya dapat menimbulkan stress yang
berkelanjutan.

Selanjutnya kesediaan untuk menerima perbedaan perlu ditindaklanjuti


dengan kesediaan untuk beradaptasi secara aktif. Ini adalah manifestasi
dari kesediaan untuk masuk ke lingkungan baru. Bentuk kegiatannya bisa
bermacam-macam, tetapi yang jelas baik mahasiswa maupun pasangan
dan keluarganya mencoba untuk berbaur dan menyatu dengan
lingkungan barunya. Perlu kesediaan untuk memahami kultur dan
kebiasaan di tempat tersebut, mengikuti apa yang bisa diikuti, termasuk
berkomunikasi dalam bahasa lokal.

Bersekolah di dalam negeri juga tidak kalah beratnya, apalagi bagi


mahasiswa yang berprofesi sebagai dosen dan ia bersekolah di
perguruan tingginya sendiri. Pada kenyataannya, meskipun dalam status
ditugasbelajarkan, mereka masih dibebani dengan tugas-tugas atau
kegiatan-kegiatan rutin, meskipun sedikit. Bahkan meskipun sudah
dibebaskan dari tugas-tugas akademik, mereka tidak bisa lepas sama
sekali dari kegiatan-kegiatan lain (menjadi panitia kegiatan kampus, ikut
proyek penelitian, dan sebagainya). Kondisi ini sering kali sulit dihindari,
karena beasiswa yang diterima tidak mencukupi sebagai substitusi
pendapatan yang biasanya diperoleh, sehingga mahasiswa terpaksa
melakukan kegiatan-kegiatan yang bisa memberikan tambahan
penghasilan.

Menghadapi situasi tersebut di atas, mahasiswa harus bisa menentukan


prioritas. Ia harus bisa melihat peluang, kapan ia harus 100% fokus pada
risetnya, kapan ia bisa meluangkan waktu untuk melakukan kegiatan-
kegiatan lain. Kalau ingin terlibat dalam kegiatan-kegiatan non-riset,
sebaiknya mahasiswa memilih yang tidak permanen dan tidak berdurasi
lama, sehingga bila suatu saat ia harus fokus ke riset, ia bisa

~ 35 ~
meninggalkan kegiatan itu dengan mudah. Penentuan prioritas ini harus
benar-benar dijalankan dengan ketat. Tanpa ini, mahasiswa akan dengan
mudah terhanyut dalam kegiatan-kegiatan yang tidak terkait dengan
risetnya. Sekali fokus ke riset diabaikan, sulit untuk mendapatkannya
kembali.

Pemilihan Sekolah
Pertanyaan yang sering muncul dari seseorang yang sedang mencari
perguruan tinggi adalah: universitas mana yang harus saya pilih?
Pertanyaan lainnya: apakah universitas X bagus mutunya, bagaimana bila
dibandingkan dengan universitas Y?

Memilih perguruan tinggi untuk studi doktoral beda dengan memilih


untuk studi S1 atau S2. Studi S3 lebih bersifat individual dan mandiri,
sehingga faktor-faktor penentu pilihannyapun berbeda. Untuk memilih
sekolah untuk S3, faktor-faktor umum seperti ranking perguruan tinggi
menjadi kurang relevan. Justru hal-hal yang bersifat spesifik yang lebih
menentukan. Berikut ini beberapa faktor yang bisa dipertimbangkan.

Reputasi bidang. Yang penting bukanlah klaim bahwa perguruan tinggi


yang dipilih menduduki peringkat tinggi dalam THES, Webometrics, atau
skema-skema pemeringkatan lainnya, karena peringkat-peringkat
tersebut berlaku umum untuk lingkup seluruh perguruan tinggi. Indikasi
yang diberikan tidak secara spesifik menunjuk ke bidang yang akan
digeluti oleh calon mahasiswa.

Kriteria yang lebih tepat adalah melihat reputasi bidang yang akan
digeluti, terutama pada aspek risetnya. Mengapa demikian? Karena studi
S3 berlangsung dalam sebuah lingkungan yang spesifik, di bidang yang
spesifik pula. Institusi dengan reputasi tinggi di bidang tertentu akan
menempatkan mahasiswa dan risetnya pada tempat yang terhormat
juga. Pada akhirnya mahasiswa juga bisa lebih mudah untuk
mendapatkan pengakuan (recognition) terhadap hasil risetnya.

~ 36 ~
Mengukur reputasi bidang sebenarnya mudah: perhatikan saja publikasi
riset dosen-dosen yang ada di sana. Perhatikan di jurnal-jurnal mana
mereka mempublikasikan tulisan-tulisan mereka. Indikator lainnya
adalah paten-paten yang dihasilkan dosen, keterlibatan dosen dalam
fora ilmiah internasional, dan penghargaan-penghargaan yang diterima.

Pembimbing. Pembimbing adalah faktor penentu keberhasilan studi.


Bukan hanya karena ia adalah orang yang mengawal proses studi dan
memberikan bantuan serta arahan saat diperlukan, tapi juga karena ia
adalah orang yang berhak mengambil keputusan-keputusan penting
terkait dengan studi mahasiswa. Ada dua faktor penting yang perlu
diperhatikan dalam memilih pembimbing: bidang risetnya dan
kemampuannya dalam membimbing. Secara lebih rinci keduanya akan
dibahas dalam bagian lain di bab ini.

Fasilitas dan sumber daya lainnya. Untuk bidang-bidang tertentu,


dukungan peralatan lab atau bahan-bahan khusus mutlak diperlukan
agar riset bisa berjalan. Jika calon mahasiswa sudah mantap akan
melakukan penelitian dengan topik tertentu, carilah perguruan tinggi
yang dapat menyediakan sarana dan sumber daya yang diperlukan. Pada
kenyataannya yang sering terjadi, terutama di perguruan-perguruan
tinggi di negara sedang berkembang, adalah sebaliknya. Topik riset harus
disesuaikan dengan ketersediaan fasilitas dan peralatan. Ini adalah solusi
yang realistis, tapi tentu saja tidak optimal.

Selain fasilitas lab dan perlengkapan spesifik lainnya, calon mahasiswa


perlu juga memperhatikan ketersediaan fasilitas pendukung yang lebih
umum, misalnya perpustakaan, fasilitas TIK dan koneksi Internet, dan
sarana-sarana fisik lainnya.

Lingkungan akademik. Selama menjalankan studinya, seorang


mahasiswa S3 akan dikelilingi oleh dosen dan mahasiswa lain. Komunitas
ini membentuk lingkungan akademik di tempat tersebut. Mahasiswa
dapat memanfaatkan komunikasi dan interaksi yang terbentuk untuk
mendukung studinya, misalnya untuk berdiskusi tentang problem-

~ 37 ~
problem riset, atau untuk hal-hal kecil seperti relaksasi, rekreasi, dan
sebagainya. Bila cocok, lingkungan akademik dapat menjadi motivator
dan pendukung yang kuat dalam menjalankan riset. Lingkungan yang
baik lambat laun akan membentuk pola dan kebiasaan yang baik pula.

Lingkungan non-akademik. Bagaimanapun juga seorang mahasiswa S3


perlu menjalani hidup yang seimbang, antara aspek akademik maupun
non-akademik. Ada sisi-sisi kehidupan selain riset yang juga perlu
dipelihara dan dikembangkan. Di sinilah lingkungan non-akademik
berperan. Dalam memilih perguruan tinggi, faktor-faktor seperti
lokasi/kota tempat perguruan tinggi, budaya dan bahasa lokal, jenis
makanan, sampai ke keberadaan orang-orang yang berasal dari daerah
yang sama juga perlu diperhatikan. Menjalani studi S3 pada akhirnya
hanyalah sepotong dari rangkaian kehidupan sebagai manusia. Menjadi
kewajiban tiap orang, termasuk mahasiswa S3, untuk menjaga
keseimbangan hidupnya. Lingkungan non-akademik bisa membantu
mahasiswa dalam menjaga keseimbangan tersebut.

Bagaimana cara mendapatkan informasi tentang hal-hal tersebut di atas?


Ada informasi yang bisa diperoleh secara langsung melalui Internet,
seperti tentang program-program studi, daftar dosen dan minat risetnya,
tapi ada pula informasi yang bersifat subtle, tidak mudah diketahui tanpa
harus melalui sumber-sumber yang terpercaya. Mengetahui bagaimana
atmosfer riset misalnya, jelas tidak bisa dilakukan via Web. Informasi
seperti ini hanya bisa diperoleh dari orang-orang yang benar-benar
terlibat dan berada di dalamnya, misalnya kenalan/teman yang
sedang/pernah bersekolah di sana.

Pemilihan Pembimbing
Pembimbing adalah orang lain yang paling berpengaruh selama
mahasiswa menjalani risetnya. Pembimbing adalah mitra yang
mengarahkan, memotivasi, memperkaya wawasan, dan mengoreksi
kesalahan. Pembimbing bahkan bisa menentukan hasil akhir studi

~ 38 ~
mahasiswa, karena dialah yang memutuskan kapan riset S3 bisa diakhiri.
Dia pula yang memilih penguji-penguji dalam ujian akhir. Karena
perannya yang vital ini sebaiknya baik mahasiswa maupun pembimbing
saling kenal dahulu sebelum memulai interaksinya.

Proses pemilihan pembimbing seharusnya sudah dimulai sejak sebelum


melamar sekolah. Perjumpaan antara mahasiswa (saat itu statusnya
masih calon mahasiswa) dengan calon pembimbing biasanya didasari
oleh kesamaan bidang atau minat riset. Pada umumnya calon mahasiswa
yang mencari pembimbing yang sesuai dengan bidang atau minat
risetnya, tetapi ada kalanya justru sang profesor yang mencari
mahasiswa untuk dibimbing (biasanya dalam konteks proyek penelitian
sang profesor).

Kesamaan bidang atau minat akan sangat membantu mahasiswa dalam


menjalankan risetnya. Diskusi-diskusi bisa dilakukan dengan lebih mudah
karena kedua pihak sudah berada dalam domain pemahaman yang sama.
Selain itu, komunitas yang terkait dengan pembimbing juga bisa
dimanfaatkan. Pembimbing punya teman sesama periset, punya
mahasiswa bimbingan lainnya, semua bekerja pada bidang yang sama.
Jika dimanfaatkan dengan baik, komunitas ini bisa menjadi kumpulan
sumber daya yang bisa membantu proses riset yang dijalankan.

Perjumpaan pertama kali dengan pembimbing bisa terjadi dengan


berbagai cara. Calon mahasiswa bisa minta tolong kepada teman yang
sedang bersekolah di universitas tujuan untuk dicarikan dosen yang
cocok bidangnya dan dipertemukan dengannya. Cara ini sering dilakukan
untuk program sekolah ke luar negeri. Cara ini sangat efektif karena
teman yang dimintai tolong bisa dengan cepat mencari calon
pembimbing yang cocok dan memberikan saran-saran tertentu yang
diperlukan dalam berkomunikasi dengan dosen calon pembimbing
tersebut.

Sering kali calon mahasiswa tidak punya teman yang bisa dimintai
bantuan. Dia tidak punya proxy ke perguruan tinggi tujuan, sehingga dia

~ 39 ~
harus mencari sendiri informasi tentang dosen yang bisa diminta menjadi
pembimbingnya. Dalam kondisi ini, Web menjadi andalan. Informasi
yang tercantum di situs Web perguruan tinggi biasanya cukup
memberikan informasi tentang dosen-dosen dan minat risetnya. Dari
sinilah proses “berburu” pembimbing dimulai.

Calon mahasiswa perlu memulai kontak dengan memperkenalkan diri


dahulu. Kontak bisa dilakukan melalui e-mail. Pada email pertama, calon
mahasiswa perlu menceritakan tentang siapa dia, institusi afiliasinya,
bidang risetnya, topik riset yang akan dikerjakan untuk program S3, dan
menyampaikan keinginannya untuk menjadikan dosen tersebut sebagai
pembimbing. Jika dosen tersebut tertarik, biasanya dia akan bertanya
lebih lanjut, terutama tentang riset yang akan dikerjakan. Komunikasi ini
perlu dilanjutkan sampai dosen tersebut menyatakan bersedia untuk
membimbing atau menolak permintaan calon mahasiswa. Peliharalah
komunikasi ini dan manfaatkan untuk menggali hal-hal lain yang terkait
dengan rencana penelitian, misalnya pandangan dosen tentang target
riset, kemungkinan arah-arah riset, atau hasil yang diharapkan. Informasi
tentang hal-hal ini dapat memberikan gambaran tentang sifat dan ciri
sang dosen, juga ekspektasinya terhadap riset yang akan dijalankan
mahasiswa.

Setelah dosen menyatakan setuju menjadi pembimbing, jangan lupa


meminta surat rekomendasi yang menyatakan persetujuannya.
Rekomendasi calon pembimbing menjadi syarat penting dalam aplikasi
beberapa program beasiswa.

Situasi yang dihadapi calon mahasiswa dalam memilih pembimbing tidak


selalu ideal. Kadang-kadang mahasiswa harus masuk ke sebuah jurusan
atau program studi yang bidang risetnya tidak sama dengan bidang yang
mewadahi topik yang akan diteliti. Akibatnya kadang-kadang juga tidak
ada calon pembimbing yang bidangnya cocok dengan bidang riset calon
mahasiswa. Bagaimana menyikapi situasi seperti ini? Jawabnya terpulang
pada calon mahasiswa, seberapa mampu ia dapat menjalankan risetnya
secara mandiri.

~ 40 ~
Seperti diketahui, riset S3 adalah kegiatan yang memerlukan
kemandirian tinggi. Jikapun ada pembimbing, maka peran pembimbing
hanyalah mengarahkan, bukan membantu menjalankan riset. Dalam
perjalanan riset, mahasiswa akan menemui banyak situasi yang
memerlukan pengambilan keputusan ilmiah (scientific decision making).
Ada saat mahasiswa dihadapkan pada beberapa pilihan. Ada saat
mahasiswa melihat tidak ada jalan yang jelas di depannya. Contohnya
misalkan mendefinisikan problem dan tujuan riset, menentukan lingkup
dan batasan riset, memilih metodologi riset, menentukan peralatan
eksperimen, dan memilih tool untuk analisis data. Keputusan-keputusan
ilmiah ini akan menjadi milestones dalam penelitian mahasiswa, dan
sepenuhnya harus ditentukan oleh mahasiswa sendiri. Tidak ada campur
tangan pembimbing dalam hal-hal tersebut, kecuali arahan-arahan yang
bersifat umum.

Semakin berbeda bidang atau minat riset pembimbing dari bidang riset
mahasiswa, semakin umum pula saran atau arahan yang bisa diberikan.
Di sinilah kemandirian mahasiswa diperlukan. Yang paling menentukan
adalah seberapa berani dia dalam mengambil keputusan tanpa dukungan
yang maksimal dari pembimbingnya. Semakin mandiri mahasiswa,
semakin dia tidak tergantung pada pembimbingnya.

Melakukan riset di bawah pembimbing yang berbeda bidang tidaklah


selalu jelek. Dengan kemandirian yang tinggi, mahasiswa bisa secara
otonom mengeksplorasi area-area yang belum diketahuinya. Selain
menambah pengetahuan, eksplorasi ilmiah ini juga bisa mengobati
dahaga keingintahuan (curiousity) yang biasa menghinggapi para
peneliti. Ada reward non-material berupa kepuasan batin yang sangat
menjanjikan jika rasa ingin tahu dapat dijawab melalui kemandirian dan
otonomi yang tinggi.

Jadi kesimpulannya, jika mahasiswa merasa yakin dengan


kemandiriannya dalam menjalani riset dan siap untuk menghadapi
berbagai halangan dan kendala tanpa bantuan yang berarti dari
pembimbing, jangan mundur jika misalnya pembimbing tidak memiliki

~ 41 ~
bidang riset yang sama. Justru kesempatan ini bisa digunakan untuk
melatih dan memanjakan intelektualitas dalam mengeksplorasi sisi-sisi
baru ilmu pengetahuan. Mahasiswa tidak perlu khawatir, karena dengan
komunikasi yang baik dan pemanfaatan teknologi informasi yang
memadai, bantuan bisa diperoleh dari berbagai sumber yang lain.

Proposal Riset
Proposal riset adalah alat bagi calon mahasiswa untuk menawarkan dan
mengkomunikasikan rencana penelitiannya kepada berbagai pihak,
terutama pada saat-saat melamar sekolah dan/atau beasiswa. Proposal
riset adalah sumber pertama bagi para pihak tersebut dalam
mengidentifikasi apa yang akan dilakukan oleh calon mahasiswa selama
menempuh studi. Assessment ini penting untuk menentukan kelayakan
studinya, atau kelayakan kalau diberi beasiswa.

Proposal riset harus punya “daya dobrak” yang tinggi. Dokumen ini harus
bisa meyakinkan semua pihak bahwa calon mahasiswa memiliki
kapasitas yang cukup dalam menjalankan program S3, memiliki rencana
riset yang jelas dan menjanjikan, dan potensi menyelesaikan studi tepat
waktu. Karena perannya yang sangat vital inilah proposal riset perlu
disiapkan dengan baik. Sayangnya banyak calon mahasiswa yang tidak
memahami pentingnya proposal riset ini, sehingga mereka tidak
menyusunnya secara maksimal. Menurut pengalaman saya, banyak
calon mahasiswa yang baru membuat proposal hanya beberapa minggu
sebelum batas akhir pendaftaran. Jelas hasilnya tidak bisa solid, dan tidak
mencerminkan sebuah perencanaan yang baik.

Sebuah proposal harus dengan jelas dan cepat menjelaskan rencana riset
yang akan dijalankan selama menempuh studi S3. Dengan demikian
paling tidak sebuah proposal harus memuat butir-butir penting sebagai
berikut:

• Problem yang akan ditangani/diselesaikan melalui riset

~ 42 ~
• Tujuan riset, hasil yang diharapkan, dan manfaatnya
• Tinjauan pustaka
• Metodologi yang digunakan
• Hal-hal lain yang menentukan keberhasilan riset, seperti alat dan
bahan yang diperlukan, kendala yang mungkin dihadapi, jadwal
penelitian, dan sebagainya.

Proposal perlu disusun dengan memperhatikan ciri dan persyaratan riset


S3, khususnya yang terkait dengan unsur kebaruan (novelty) dan
orisinalitas. Proposal harus bisa menunjukkan bahwa riset yang akan
dijalankan mengandung kebaruan dan orisinalitas yang cukup, dan
berpotensi menghasilkan temuan-temuan yang menjadi kontribusi
terhadap pengembangan ilmu pengetahuan. Untuk itu ada bagian-
bagian tertentu yang perlu mendapatkan penekanan dan penonjolan
(highlights). Tabel III-1 menunjukkan beberapa cara untuk memberikan
penekanan-penekanan pada proposal agar rencana riset terlihat lebih
menarik.

Tabel 3-1. Cara memberikan penekanan-penekanan pada proposal riset


S3

No Penekanan Cara
1 Membuat problem Bab Pendahuluan perlu memberikan latar
riset terlihat belakang domain yang diteliti secara jelas.
signifikan dan Isu dan problem disampaikan secara
mendasar mendasar (berbicara pada akar
permasalahan, bukan gejala). Penekanan
diberikan pada kerugian atau kelemahan
yang ditimbulkannya, atau potensi manfaat
yang bisa direalisasikan pada masa
mendatang. Pada bagian akhir Pendahuluan
(atau pada subbab terpisah) diberikan
rumusan permasalahan sebagai ringkasan
dari uraian sebelumnya.

~ 43 ~
2 Menunjukkan Keaslian riset ditunjukkan melalui
keaslian dan positioning riset yang akan dijalankan di
orisinalitas antara riset-riset lain yang sudah pernah
dilakukan orang lain. Dalam bab Tinjauan
Pustaka, hal ini dilakukan dengan
mendeskripsikan riset-riset lain tersebut dan
posisi relatifnya terhadap topik riset yang
akan dilakukan mahasiswa. Dengan cara ini
pembaca bisa memahami “peta” riset di
domain tersebut. Pada bagian akhir bisa
disebutkan daerah yang akan ditangani
dalam riset yang akan dilakukan. Penjelasan
ini melengkapi peta riset yang terbentuk
dengan positioning riset-riset, baik yang
telah dilakukan orang lain maupun riset
milik mahasiswa. Peta ini harus bisa
menjelaskan bahwa riset yang akan
dijalankan benar-benar mengisi ruang yang
masih kosong dalam domain tersebut, tidak
bertabrakan dengan riset-riset sebelumnya.
3 Menunjukkan Jika orisinalitas dapat dideskripsikan dengan
signifikansi baik, signifikansi kontribusi sebenarnya
kontribusi sudah bisa terlihat. Untuk lebih memberikan
penekanan, kontribusi riset dapat dijelaskan
secara eksplisit dengan cara menjelaskan
bagaimana riset yang akan dijalankan
menangani problem yang telah disebutkan
sebelumnya, atau menjawab pertanyaan-
pertanyaan mendasar yang dihadapi.
Penjelasan dibangun berdasarkan fakta yang
obyektif dan jangan berlebihan.
4 Menunjukkan Studi S3 tidak bertujuan untuk menghasilkan
kelayakan penelitian temuan yang berlevel mahakarya atau
sempurna. Riset S3 hanya bertujuan
membuktikan bahwa mahasiswa memiliki
kapabilitas untuk menjalankan riset yang
cukup substansial dengan benar secara

~ 44 ~
mandiri. Riset semacam ini tentu dibatasi
oleh banyak kekangan. Untuk itu
proposalnya perlu menunjukkan bahwa
penelitian ini dapat dijalankan dalam
kerangka waktu, biaya, dan sumber daya
lain yang tersedia. Penjelasan tentang
metodologi (termasuk langkah-langkah
riset, kebutuhan sumber daya, dan
penjadwalan) harus mencerminkan tujuan
dan sasaran riset.

Sebuah proposal awal, apalagi yang ditulis sebelum seseorang benar-


benar masuk ke program S3, memang biasanya masih banyak
mengandung kelemahan. Hal ini wajar saja, karena sense tentang riset S3
baru akan terbentuk setelah seseorang masuk dan menjalani prosesnya.
Meskipun demikian, proposal riset tetaplah harus ditulis sebaik mungkin
untuk meyakinkan pihak-pihak yang terkait. Bagi calon pembimbing atau
tim seleksi penerimaan mahasiswa di perguruan tinggi, dokumen ini
dapat memberikan gambaran apakah calon mahasiswa tahu tentang apa
yang akan dia kerjakan atau tidak, dan apakah dia memiliki cukup
kapasitas untuk mengerjakannya.

Syarat utama untuk dapat menulis proposal yang baik adalah


pengetahuan tentang domain riset, termasuk berbagai riset yang telah
dikerjakan peneliti lain sebelumnya. Pemahaman tentang hal ini akan
membuka cakrawala tentang pertanyaan-pertanyaan fundamental yang
belum terjawab atau persoalan-persoalan mendasar yang belum
terselesaikan, yang kemudian bisa dipilih salah satu menjadi topik riset
yang akan dikerjakan.

Membangun pengetahuan semacam ini tidak bisa dilakukan dalam waktu


singkat, karena obyek yang dikaji bersifat fundamental sehingga perlu
usaha untuk bisa mendapatkan esensinya. Dengan demikian seorang
calon mahasiswa S3 harus banyak membaca dan belajar, dan yang dibaca

~ 45 ~
bukan hanya buku teks atau artikel-artikel populer. Buku teks dan artikel
populer tidak bisa memberikan pemahaman tentang riset-riset yang
dilakukan dalam bidang yang dipilih, sementara calon mahasiswa harus
menyelam ke dasar domain riset untuk mengetahui apa yang sedang
terjadi di sana. Penyelaman ke dasar harus dilakukan dengan bantuan
artikel-artikel di jurnal-jurnal dan seminar-seminar ilmiah, yang secara
terkini mengabarkan kemajuan-kemajuan yang diperoleh dari riset-riset
yang bersifat state-of-the-art.

Pertanyaan yang sering terlontar dari calon mahasiswa: dari mana saya
harus memulai mencari topik riset yang sesuai? Langkah-langkah berikut
ini bisa dijadikan pedoman:

1. Tentukan bidang riset yang diminati sebagai titik awal. Bidang ini
bisa saja bidang yang masih luas dan umum, misalnya yang sesuai
dengan bidang kerja (contoh: biologi molekuler, pengelolaan
otonomi daerah, atau rekayasa perangkat lunak).
2. Dalam bidang riset di atas, biasanya ada pembagian yang lebih
spesifik/fokus. Pilihlah salah satu yang paling diminati.
3. Jika dirasakan perlu untuk memperkuat basis pemahaman dalam
subbidang yang dipilih, perbanyaklah membaca buku teks atau
referensi lainnya.
4. Mulailah untuk “menyelam”. Carilah jurnal-jurnal atau seminar-
seminar yang ternama dalam subbidang tersebut. Indikatornya
sederhana: jurnal atau seminar yang terkenal selalu punya rekam
jejak penyelenggaraan yang teratur. Indikator lain, makalah-
makalah yang dipublikasikan di sana memiliki impact rate yang
tinggi (artinya: banyak diacu oleh makalah-makalah yang lain).
5. Carilah artikel-artikel yang menarik, pelajari substansinya, dan
pahami persoalan yang dihadapi, riset yang dilakukan, dan hasil
yang diperoleh. Sebuah hasil atau temuan riset pada dasarnya
bukan artefak yang berdiri sendiri. Ia adalah sebuah blok yang
berdiri di atas blok-blok yang dihasilkan oleh riset-riset
sebelumnya (Gambar 3-1). Blok-blok tersebut membentuk
“rantai” kemajuan riset.

~ 46 ~
Waktu Riset terkini

Riset-riset sebelumnya

Gambar 3-1. Riset sebagai blok-blok pembangun kemajuan ilmu


pengetahuan
Jadi untuk memahami blok yang paling atas, runut baliklah ke
blok-blok penyusunnya. Dalam memahami sebuah riset terkini,
kembalilah ke riset-riset sebelumnya yang terkait dengan riset
tersebut. Ikutilah rantai yang dibentuknya, carilah makalah-
makalah yang terkait. Jika proses ini dilakukan secara lengkap,
bangunan pemahaman tentang area yang dicakup oleh riset-riset
tersebut akan dapat diperoleh secara utuh.
Pada saat-saat awal, sering kali calon mahasiswa merasa
kesulitan memahami makalah-makalah tersebut. Hal ini wajar
saja, karena ada gap yang cukup lebar antara pemahaman calon
mahasiswa dengan penulis makalah. Makalah jurnal biasanya
berada di frontier (sisi terdepan) ilmu pengetahuan, sementara
calon mahasiswa S3 tentunya memiliki pemahaman yang masih
sangat terbatas. Meskipun demikian, karena dengan mengikuti
rantai makalah ke belakang (menuruni piramid pada Gambar 3-
1), pada tahap tertentu calon mahasiswa akan sampai pada satu
atau beberapa makalah yang dipahaminya dengan pengetahuan
yang dimilikinya saat itu. Pada titik ini, naiklah kembali ke
makalah-makalah di atasnya sampai pada makalah terkini untuk
mengkonstruksi pengetahuan baru dan membentuk peta yang
lebih lengkap.

~ 47 ~
6. Lakukan langkah nomor 5 sampai terbentuk sebuah “peta” yang
relatif utuh tentang riset-riset di bidang yang dipilih. Peta ini
sekaligus memberikan informasi tentang persoalan-persoalan di
bidang itu yang belum terselesaikan.
7. Pilih satu persoalan, lalu fokuskan perhatian ke sana. Kumpulkan
referensi, bangunlah argumentasi, dan akhirnya, mulailah
menulis proposal.

Kesalahan yang banyak dilakukan oleh calon mahasiswa S3 adalah


meremehkan proses di atas, terutama langkah 5 dan 6. Menyelam
sampai ke dasar dan memahami domain riset secara fundamental itu
tidak mudah dan memerlukan waktu yang tidak sebentar. Tergantung
pada bidang dan topik yang dipilih, kadang-kadang untuk dapat
membentuk peta yang utuh diperlukan waktu sampai berbulan-bulan. Di
sisi lain, “investasi” berupa eksplorasi domain riset bahkan sebelum
memasuki masa studi S3 juga memberikan reward yang menjanjikan:
sekali domain riset bisa dipahami dan topik risetnya sudah confirmed,
sepertiga bagian dari studi S3 sebenarnya telah sukses dijalani. Pada
tahapan ini, calon mahasiswa (dan pembimbing) sudah yakin tentang
potensi riset dalam menghasilkan kebaruan dan temuan yang orisinal,
syarat terpenting dalam sebuah riset S3. Tahap berikutnya, menjalankan
riset dan eksperimen menjadi lebih mudah dan deterministik karena
tujuannya sudah jelas.

Proses Persiapan
Agar semua persiapan bisa lebih terarah dan terencana, ada baiknya
calon mahasiswa membuat penjadwalan dari semua kegiatan
persiapannya. Tabel III-2 memberikan gambaran kegiatan-kegiatan
utama dalam melamar sekolah S3 dan beasiswa berikut perkiraan
waktunya. Perlu diingat bahwa penjelasan pada Tabel III-2 bersifat
umum. Sangat dimungkinkan ada variasi-variasi dalam proses melamar,
tapi dengan tabel dan gambar tersebut calon mahasiswa dapat
mengantisipasi dan menyesuaikannya dengan proses yang dijalaninya.

~ 48 ~
Tabel 3-2. Kegiatan-kegiatan penting dalam melamar sekolah S3 dan
beasiswa

No Kegiatan Durasi
Tipikal
1 Menyiapkan dokumen-dokumen persyaratan 1 bulan
sekolah dan beasiswa (ijazah, transkrip,
rekomendasi dari tempat kerja)
2 Menyiapkan tes bahasa dan potensi akademik 1 – 6 bulan
3 Mendapatkan rekomendasi dari calon 1 – 3 bulan
pembimbing dan surat penerimaan (letter of
acceptance) dari perguruan tinggi tempat
belajar
4 Menulis proposal riset 3 – 6 bulan
5 Menjalani proses seleksi (sekolah dan 1 – 6 bulan
beasiswa)

Skenario tipikal yang sering terjadi adalah bahwa aplikasi beasiswa harus
disertai dengan surat rekomendasi dari calon pembimbing atau bukti
penerimaan dari perguruan tinggi tempat belajar. Gambar 3-2
mengilustrasikan proses yang terjadi dalam skenario ini.

Program-program beasiswa seperti BPPS dan ADS Australia mengikuti


skenario pada Gambar 3-2. Dari Gambar 3-2 terlihat bahwa persiapan
untuk masuk ke program S3 sesungguhnya tidak sederhana, memerlukan
waktu yang panjang, dan perlu dilakukan secara sistematis.

~ 49 ~
1 Apa Menariknya Punya Gelar Doktor?

Jika pertanyaan tersebut diajukan kepada saya, maka jawabannya


sederhana saja: memenuhi harapan bapak. Dulu bapak saya pernah
mengatakan,"Kalau serius mau jadi dosen, ya harus sekolah sampai
doktor". Apa alasan persisnya, bapakpun mungkin juga tidak tahu. Tiap
orang punya jawaban yang berbeda. Spektrumnyapun bisa bervariasi,
dari jawaban yang iseng sampai yang sangat serius dan ilmiah. Meskipun
mungkin menarik untuk membahas jawaban-jawaban tersebut, tapi Bab
ini tidak akan membicarakan tentang hal itu. Bab ini justru akan
mengupas tentang hal-hal yang “berat” dari gelar doktor. Maksudnya
bukan untuk mengecilkan semangat bagi mereka yang akan berusaha
meraihnya, tapi lebih pada meletakkan gelar tersebut pada posisi dan
peran yang sesuai, agar siapapun yang memiliki gelar ini bisa
memberikan kontribusinya secara maksimal.

Saat ini gelar doktor memang sedang menjadi primadona. Sesuatu yang
sexy, kata orang, sehingga banyak diburu. Siapa saja yang gencar
memburu gelar ini? Mengapa mereka melakukannya?

Pemburu gelar doktor yang paling antusias tentu saja adalah orang-orang
yang bekerja di dunia akademik dan riset. Bagi para dosen di perguruan
tinggi dan peneliti di lembaga-lembaga riset, gelar doktor adalah tujuan
formal yang paling tinggi dalam jenjang pendidikan akademik yang
mungkin mereka tempuh. Bagi para insan akademik, derajad doktor tidak
hanya dilihat sebagai atribut yang bersifat eksternal (seperti sebutan
“haji” misalnya), tetapi lebih merupakan tuntutan yang melekat pada
profesi pendidik itu sendiri. Tidak ada dosen yang tidak ingin meraih gelar
doktor, karena pencapaian itu merupakan bagian dari tugas pekerjaan
sebagai dosen. Apalagi perguruan tinggi sendiri menawarkan jenjang ini
sebagai salah satu core businessnya (seperti disebutkan dalam Peraturan
Pemerintah nomor 60 tahun 1999).

~1~
Wawancara bisa dilakukan dalam setting formal maupun agak informal.
Dalam setting formal seperti yang dijalankan di departemen saya, calon
mahasiswa dipersilakan memberikan presentasi tentang rencana
penelitiannya di hadapan panelis yang terdiri dari beberapa dosen,
kemudian diikuti dengan tanya jawab seputar rencana tersebut. Tidak
tertutup pula kemungkinan pertanyaan-pertanyaan yang diajukan juga
menyangkut hal-hal seperti pengalaman, pekerjaan, publikasi, dan hal-
hal lain yang bisa menunjukkan kesiapan calon mahasiswa.

Kadang-kadang penguji wawancara adalah dosen yang memiliki bidang


keilmuan berbeda dengan calon mahasiswa. Berbekal naskah proposal
calon mahasiswa, penguji harus menentukan apakah si calon bisa
diterima dalam program S3 atau tidak. Karena tidak mungkin bagi penguji
untuk mengeksplorasi secara rinci tentang substansi penelitian, maka ia
cenderung akan menanyakan secara umum tentang kelayakan topik riset
dan pemahaman calon mahasiswa terhadap topik risetnya. Dalam
kondisi seperti ini, yang banyak berperan adalah logika dan keruntutan
usulan riset. Beberapa pertanyaan yang sering muncul antara lain:

“Mengapa topik ini menarik untuk diteliti?”

“Apa kontribusi ilmiah dari penelitian ini?”

“Apa perbedaan penelitian ini dengan penelitian-penelitian sebelumnya


(atau: di mana letak kebaruan penelitian ini)?”

“Bagaimana penelitian ini akan dijalankan?”

“Apa hasil yang diharapkan?”

“Bagaimana membuktikan bahwa klaim yang ditawarkan itu benar?”

Para penguji adalah dosen yang bergelar doktor. Bagi mereka, hanya
penjelasan yang logis dan runtut yang dapat memuaskan rasa ingin tahu
mereka. Kalau mereka belum merasa puas, mereka akan mengeksplorasi
lebih jauh dengan mengajukan pertanyaan-pertanyaan yang lebih

~ 51 ~
detil/rinci. Calon mahasiswa harus bisa merespon pertanyaan-
pertanyaan mereka dengan jawaban-jawaban yang jelas, fokus, dan
argumentatif. Bagaimana agar bisa menjawab pertanyaan-pertanyaan
tersebut dengan baik? Satu-satunya jalan adalah dengan benar-benar
memahami area penelitiannya dengan baik pula, dan seperti yang telah
dijelaskan sebelumnya, hal ini memerlukan persiapan tersendiri dan
waktu yang cukup.

Yang juga perlu diperhatikan adalah bahwa para penguji adalah orang-
orang yang pernah mengalami proses belajar pada jenjang S3. Artinya,
meskipun secara keilmuan bidang mereka berbeda, tetapi mereka
memiliki “sense” untuk mendeteksi apakah calon mahasiswa memiliki
kesiapan dalam menempuh program S3. Ibaratnya seorang sopir yang
berpengalaman, dia bisa meng-assess kemampuan seorang sopir baru
dengan memperhatikan bagaimana si sopir baru mengemudikan mobil.
Jadi jangan menyepelekan tentang kemampuan mereka.

~ 52 ~
4 Manajemen Studi S3

Studi S3 adalah sebuah proses panjang yang kompleks. Sepintas


kelihatannya sederhana karena tahapannya dapat diidentifikasi dengan
mudah, tetapi kenyataan yang sebenarnya tidaklah sesederhana
gambaran tersebut. Seperti telah dijelaskan sebelumnya, studi S3 terdiri
dari beberapa proses yang saling terkait, melibatkan beberapa pihak, dan
mengandung ketidakpastian yang cukup tinggi. Agar dapat memberikan
hasil maksimal, maka proses studi S3 perlu dikelola dengan baik.

Bagaimana seorang mahasiswa S3 dapat mengelola studinya dengan


baik? Memang masing-masing orang bisa saja memiliki cara sendiri-
sendiri sesuai dengan seleranya, tetapi pendekatan yang sistematis
diprediksi dapat meningkatkan probabilitas keberhasilan studi. Seperti
apakah pendekatan yang sistematis untuk mengelola studi S3? Cara yang
paling sederhana adalah dengan menganggap studi S3 sebagai sebuah
proyek. Ya, kalau diperhatikan, studi S3 memiliki ciri yang mirip dengan
sebuah proyek. Sebagai contoh, studi S3 selalu jelas kapan mulai dan
berakhirnya. Studi S3 juga punya tujuan dan sasaran, memiliki
stakeholders dengan kepentingannya masing-masing, dan memerlukan
sumber daya (resources) untuk dapat menjalankannya dengan baik.

Seperti halnya mengelola proyek, mengelola studi S3 juga melibatkan


unsur seni, selain tentu saja unsur ilmiah. Unsur seni terutama terkait
dengan penanganan dan penyikapan terhadap berbagai ketidakpastian.
Tidak ada aturan baku untuk menghadapi hasil eksperimen, hasil review
makalah, emosi pembimbing, atau mood mahasiswa sendiri yang serba
tidak pasti. Untuk menghasilkan outcome yang positif diperlukan
kematangan pribadi, kemampuan berkomunikasi, motivasi yang kuat,
dan berbagai soft skills lainnya, semuanya ini harus dikelola dengan baik.

Manajemen studi S3, seperti halnya manajemen proyek, berusaha


menerapkan prinsip-prinsip dan teknik-teknik yang sudah terbukti

~ 53 ~
(proven) dalam merencanakan, mengeksekusi, memonitor dan
mengevaluasi, serta mengakhiri proses studi. Pendekatan ilmiah dan
sistematis diharapkan dapat meminimalkan ekses-ekses negatif yang
mungkin muncul selama studi berjalan. Pengelolaan studi yang baik pada
akhirnya dapat menjaga semua kegiatan studi tetap berjalan di relnya.

Tahapan Studi S3
Sebelum membahas tentang manajemen studi S3, perlu dipahami dulu
tahap-tahap yang harus dijalani selama proses studi. Tiap tahap
menunjukkan fase yang memiliki fokus tertentu. Yang juga perlu
dipahami adalah tahapan studi S3 di satu perguruan tinggi tidak selalu
sama dengan tahapan di perguruan tinggi lainnya, tergantung pada
“sistem” yang dianut. Sistem di Amerika misalnya, cenderung lebih
terstruktur dalam arti tiap fase harus dijalankan secara ketat. Di
Indonesia yang juga menerapkan sistem Amerika, keketatan struktural
tersebut bermanifestasi dalam bentuk antara lain kewajiban untuk
menempuh beberapa matakuliah dan melewati ujian komprehensif. Di
sisi lain, sistem Commonwealth cenderung lebih “longgar” dalam arti
batas-batas tiap fase terkadang tidak terlihat jelas. Di Australia misalnya,
masa studi 3 tahun biasanya tidak dibagi secara tegas dalam fase-fase.
Tidak ada kuliah, tidak ada ujian komprehensif.

Meskipun demikian, ditinjau dari aspek proses, esensi penahapan dari


sistem-sistem tersebut sebenarnya sama, yaitu:

1. Inisiasi/persiapan riset
2. Eksekusi/pelaksanaan riset
3. Penyelesaian (closing)

Gambar 4-1 menunjukkan urutan prosesnya, dikaitkan dengan kerangka


waktu. Gambar ini menggunakan sistem yang umum digunakan di
Indonesia, dan ke dalamnya ditambahkan pula tahap ke-0 yaitu
persiapan studi untuk menjelaskan bahwa ada kegiatan-kegiatan studi

~ 54 ~
yang bisa dimulai sebelum status formal sebagai mahasiswa S3
diperoleh.

Mulai periode

Selesai studi
Mulai studi

kandidatur

Finalisasi
Waktu
Persiapan Persiapan Pelaksanaan Penyelesaian
studi riset riset studi

Penyusunan
proposal
Perkuliahan

Ujian
komprehensif
Riset

Publikasi (Jurnal & Seminar)

Penulisan
disertasi
Ujian akhir

Gambar 4-1. Tahapan studi S3

Penyusunan Proposal Riset. Kegiatan ini sebaiknya dimulai sebelum


calon mahasiswa resmi diterima menjadi mahasiswa S3. Tujuannya selain
sebagai persiapan dalam menghadapi seleksi juga untuk menghemat
waktu studi. Dengan requirement seperti yang dijelaskan di Bab 3,
penyusunan proposal riset adalah kegiatan yang tidak mudah dilakukan
oleh calon mahasiswa, bahkan sering kali menjadi sumber kemacetan,
sehingga mestinya perlu dialokasikan waktu yang cukup.

Idealnya proposal yang awalnya disusun sebagai persyaratan melamar


sekolah disempurnakan setelah calon mahasiswa diterima.
Penyempurnaan proposal riset ini tentu saja dilakukan di bawah
bimbingan pembimbing (supervisor). Selesainya proposal ini
menandakan mahasiswa telah siap untuk menjalankan risetnya.

~ 55 ~
Beberapa perguruan tinggi memverifikasi kesiapan ini dengan
mengadakan ujian komprehensif (ada yang menyebutnya dengan ujian
proposal), dan beberapa perguruan tinggi lainnya cukup
memverifikasinya melalui forum seminar lokal (pada tingkat jurusan atau
departemen misalnya).

Perkuliahan. Meskipun program S3 selalui diwarnai oleh riset,


mahasiswa S3 dapat diminta untuk mengikuti perkuliahan juga. Program-
program doktor di perguruan tinggi Indonesia malah mewajibkan
komponen kuliah ini. Dari beban studi S3 sebesar minimum 40 SKS, kuliah
mengambil porsi rata-rata 8 – 12 SKS (meskipun dalam pelaksanaannya
beban yang diambil tergantung pada kondisi mahasiswa). Berbeda
dengan kuliah di S1 dan S2, tidak ada “kurikulum” yang bersifat tetap
pada matakuliah S3. Matakuliah yang ditempuh bisa berbeda antara satu
mahasiswa dengan mahasiswa lain. Pengambilan matakuliah biasanya
ditentukan oleh tema riset yang dipilih mahasiswa.

Pelaksanaan perkuliahan S3 juga relatif lebih luwes. Bila kuliah pada


jenjang S1 dan S2 dilakukan secara terstruktur dengan silabus tertentu,
materi kuliah S3 biasanya lebih bebas. Hal ini disebabkan karena kuliah
tersebut memang spesifik dirancang untuk mendukung topik risetnya.
Sifat kuliah juga lebih mandiri, mahasiswa diharapkan bisa melakukan
eksplorasi sendiri berdasarkan arahan dosennya.

Ujian komprehensif (ujian proposal). Dalam masa studi S3 yang


normalnya 3 tahun, sepertiga bagian pertama (tahun pertama)
digunakan untuk memantapkan riset yang akan dijalankan. Hal ini
dilakukan dengan cara menyempurnakan proposal dan juga melakukan
kegiatan-kegiatan pra-riset yang mungkin diperlukan. Pada akhir bagian
ini mahasiswa S3 diminta untuk mendemonstrasikan kesiapannya. Di
beberapa perguruan tinggi hal ini cukup dilakukan dalam sebuah seminar
lokal, tetapi di beberapa perguruan tinggi lain (terutama di Indonesia)
konfirmasi kesiapan dilakukan melalui sebuah ujian formal.

~ 56 ~
Dalam ujian komprehensif (ujian proposal), mahasiswa diminta
menjelaskan tentang rencana risetnya. Tim penguji akan menilai
kesiapan mahasiswa berdasarkan proposalnya serta pemahamannya
terhadap materi riset. Jika mahasiswa lulus dari ujian ini, maka
sebutannya akan berubah menjadi “calon doktor”
(promovendus/promovenda). Sejak saat inilah proses riset yang
sebenarnya (periode kandidatur) dimulai.

Riset, publikasi, dan penulisan disertasi. Kegiatan-kegiatan ini biasanya


tidak bisa dipisahkan satu sama lain, dan memakan sebagian besar masa
studi S3. Publikasi bisa dilakukan setelah riset mulai menghasilkan
temuan-temuan yang cukup signifikan. Naskah disertasi juga bisa
disiapkan sejak awal. Bagian-bagian pendahuluan dan tinjauan pustaka
bahkan mulai bisa ditulis bersamaan dengan penyiapan proposal
(meskipun versi awal ini biasanya masih jauh dari bentuk akhirnya).

Dalam periode ini, biasanya program studi melakukan pemantauan


terhadap kemajuan riset mahasiswa. Pemantauan biasanya dilakukan
dengan cara seminar-seminar lokal. Seminar-seminar ini sifatnya
konsultatif, pembimbing dan dosen-dosen lain akan memberikan
masukan dan saran untuk mengarahkan dan mempertajam riset.

Ujian akhir. Jenjang S3 adalah puncak karir akademik yang bisa ditempuh
seseorang, sehingga wajar jika gelar S3 dipandang sebagai sesuatu yang
sangat bernilai. Wajar pula jika kemudian berbagai usaha dilakukan
untuk menjaga nilai dan kualitasnya. Terkait dengan proses penyelesaian
studi, pada umumnya ada proses evaluasi untuk menilai kelayakan hasil
riset dan naskah disertasi sebelum seorang mahasiswa diperbolehkan
menempuh ujian akhir.

Ada berbagai cara untuk mengevaluasi kelayakan. Jika tradisi akademik


dan keilmuan telah tumbuh dengan baik, evaluasi bisa dilakukan (secara
tidak langsung) oleh komunitas ilmiah di bidang riset yang bersangkutan.
Caranya dengan memperhatikan publikasi hasil-hasil riset mahasiswa.
Jika dalam periode studinya si mahasiswa berhasil melakukan publikasi

~ 57 ~
ke jurnal-jurnal dan seminar-seminar ilmiah terkemuka, artinya hasil
risetnya diakui oleh komunitas ilmiah di bidangnya. Semakin terpandang
media atau forum publikasinya, semakin tinggi pengakuan yang
diperoleh. Hal ini menjadi alasan bagi beberapa perguruan tinggi untuk
menetapkan syarat minimal publikasi internasional bagi mahasiswa S3
sebelum mereka bisa mengikuti ujian akhir.

Evaluasi kelayakan juga dapat dilakukan secara lokal. Metode ini banyak
digunakan oleh perguruan-perguruan tinggi di Indonesia. Ada tim atau
komite yang dibentuk untuk keperluan ini. Tim ini akan mengkaji disertasi
mahasiswa dan jika perlu memberikan kritik dan saran perbaikan untuk
penyempurnaannya. Mahasiswa baru diijinkan menempuh ujian akhir
setelah ia berhasil melewati tahap evaluasi kelayakan ini.

Ujian akhir pada dasarnya adalah instrumen untuk menilai apakah


seorang mahasiswa S3 layak dianugrahi gelar doktor. Bentuk ujiannya
juga bermacam-macam. Pada umumnya ujian akhir dilakukan secara
oral, artinya mahasiswa diminta memberikan presentasi, kemudian tim
penguji akan menyatakan keberatan-keberatan yang harus dijawab dan
dipertahankan oleh mahasiswa. Ujian juga bisa dilakukan secara in
absentia. Cara ini umum digunakan di Australia misalnya. Dalam model
ini, yang diuji adalah disertasinya. Mahasiswa tidak perlu menjelaskan
dan menjawab keberatan-keberatan secara langsung, karena tim penguji
akan membaca dan menilai naskah disertasinya. Setelah membaca dan
menilai, para penguji akan menuliskan komentar penilaiannya yang harus
ditanggapi oleh mahasiswa.

Ujian model oral biasanya dilakukan dalam dua tahap, yaitu ujian
tertutup dan ujian terbuka. Ujian tertutup adalah ujian yang sebenarnya
yang menentukan kelayakan pemberian gelar doktor. Ujian terbuka lebih
bersifat diseminasi dan selebrasi. Pada ujian terbuka, proses ujian
sebenarnya untuk menjelaskan hasil riset calon doktor kepada
pengunjung yang sebagian besar justru berasal dari kalangan awam
(keluarga, kolega, dan relasi). Pertanyaan-pertanyaan dalam ujian
terbuka bukanlah untuk menguji secara substansial, tetapi lebih pada

~ 58 ~
menggali hasil riset dan membangun pemahaman pengunjung tentang
riset yang dikerjakan.

Studi S3 Sebagai Sebuah Proyek


Proyek adalah sebuah kegiatan sekali waktu (one-time) yang memiliki
tujuan jelas, saat mulai dan selesai yang tertentu (definite), melibatkan
beberapa pemangku kepentingan (stakeholders), dan memerlukan
sumber daya untuk menyelesaikannya. Proyek perlu dikelola dengan baik
agar dalam pencapaian tujuannya semua kepentingan stakeholders
terakomodasi dalam berbagai resiko dan kekangan yang ada. Dengan
definisi seperti ini, bukankah studi S3 juga dapat dipandang sebagai
sebuah proyek? Seperti halnya proyek, studi S3 memiliki beberapa
pemangku kepentingan, misalnya instansi pengirim, pemberi beasiswa,
perguruan tinggi tempat melaksanakan studi, pembimbing, dan keluarga.
Selain itu, pelaksanaan studi S3 juga penuh dengan resiko dan kekangan
yang dapat mengganggu pencapaian tujuan, sehingga ia perlu dikelola
dengan baik.

Perbedaan studi S3 dengan proyek-proyek lain terletak pada pelakunya.


Jika proyek-proyek lain pada umumnya dijalankan oleh sebuah tim yang
terdiri dari beberapa orang anggota dengan struktur tertentu, pelaksana
“proyek” studi S3 adalah si mahasiswa. Mahasiswa adalah pelaksana
tunggal, ia berperan sebagai perencana, eksekutor, sekaligus pengawas
terhadap semua kegiatan studinya. Dengan peran tambahan sebagai
manajer dan eksekutor proyek, mahasiswa dituntut bisa membagi waktu
dan perhatian secara lebih baik lagi.

Tujuan utama manajemen studi S3 adalah menjaga proses studi yang


berlangsung dapat berjalan baik meskipun ada resiko-resiko yang
berpotensi mengganggu. Penerapan prinsip dan metode manajemen
proyek dalam studi S3 diyakini dapat membantu meningkatkan potensi
keberhasilannya. Secara spesifik, hal ini dapat dicapai dengan
perencanaan yang cermat, eksekusi yang berdisiplin, serta pemantauan

~ 59 ~
yang dilakukan terhadap faktor-faktor resiko secara kontinyu selama
studi.

Perencanaan Studi
Ada satu pepatah barat yang mengatakan: “failure to plan means
planning to fail”. Ketidakmampuan dalam merencanakan sesuatu dengan
baik sama saja dengan merencanakan kegagalan. Perencanaan bertujuan
membangun jalur yang akan ditempuh dalam perjalanan menuju
pencapaian tujuan. Perencanaan mengidentifikasi kegiatan-kegiatan apa
saja yang akan dilakukan dan menyiapkan kebutuhan-kebutuhan yang
terkait dengannya. Ciri khas perencanaan adalah sifat antisipatifnya.
Antisipasi diperlukan karena yang dibicarakan adalah hal-hal yang akan
terjadi pada masa yang akan datang, yang kondisinya diwarnai dengan
ketidakpastian.

Studi S3 didominasi dengan pelaksanaan riset. Riset adalah sebuah upaya


menjawab pertanyaan dan/atau menyelesaikan permasalahan secara
ilmiah. Secara mudahnya, proses riset selalu diawali oleh perumusan
(formulasi) persoalan yang dihadapi, kemudian dilanjutkan dengan
eksperimen dan analisis yang diperlukan, dan diakhiri dengan sintesis
dan rumusan solusi atau jawaban persoalan. Tiap tahapan memiliki ciri
problemnya masing-masing. Tahapan formulasi masalah sangat diwarnai
oleh proses eksplorasi intelektual. Proses ini sepenuhnya tergantung
pada mahasiswa yang bersangkutan, tidak banyak faktor-faktor eksternal
yang terlibat. Sebaliknya tahapan eksperimen bisa saja sangat
dipengaruhi oleh banyak faktor di luar mahasiswa. Tahapan terakhir
mirip dengan tahapan awal. Sintesis adalah proses intelektual, sehingga
kendali lebih banyak dipegang oleh mahasiswa yang bersangkutan.

Ada beberapa hal yang memunculkan ketidakpastian di dalam riset, salah


satunya terkait dengan sumber daya (resource) yang digunakan. Sumber
daya di sini sifatnya umum, mulai dari pendanaan, peralatan, sampai
unsur manusia. Kepastian bisa dicapai bila sebuah sumber daya bisa

~ 60 ~
diakses atau digunakan dengan semestinya pada saat ia diperlukan. Hal
ini menjadi krusial saat sumber daya yang diperlukan tersedia atau bisa
diakses secara terbatas, atau jika kebutuhan itu muncul dengan
kekangan yang ketat (misalnya, harus dilakukan pada saat yang sudah
direncanakan dan tidak bisa diulang lagi). Bayangkan saja misalnya
sebuah eksperimen yang penting gagal hanya karena alat yang
diperlukan tidak tersedia pada saat dibutuhkan.

Pemakaian sumber daya selalu terkait dengan kegiatan. Sebagai contoh,


penggunaan peralatan dikaitkan dengan eksperimen, akses ke ahli
(expert) diperlukan saat berkonsultasi, atau dana untuk publikasi
diperlukan saat harus mengirimkan makalah ke jurnal atau seminar.
Untuk merencanakan alokasi sumber daya dengan baik, mahasiswa perlu
mengidentifikasi kegiatan-kegiatan dalam studinya dulu. Persoalannya
adalah bahwa ada banyak kegiatan selama mahasiswa menempuh
program S3. Mahasiswa sering merasa kesulitan untuk
mengidentifikasinya secara akurat.

Cara yang mudah untuk mengidentifikasi kegiatan adalah dengan teknik


Work Breakdown Structure (WBS). WBS bekerja dengan menguraikan
(dekomposisi) sebuah proses besar menjadi sub-sub proses yang lebih
sederhana, dan pada akhirnya mendapatkan serangkaian kegiatan yang
bisa dieksekusi secara nyata. Proses dekomposisi dimulai dari proses
studi secara keseluruhan. Pada abstraksi yang paling tinggi ini,
dekomposisi dilakukan dengan cara mengidentifikasi komponen-
komponen aktivitas penting dalam studi S3.

Berangkat dari Gambar 4-1 yang menjelaskan tahapan-tahapan studi S3


secara umum, aktivitas-aktivitas yang lebih rinci dapat diturunkan
melalui teknik dekomposisi. Contoh hasil dekomposisi ditunjukkan pada
Gambar 4-2.

Item-item yang berada di ujung adalah kegiatan-kegiatan yang bersifat


executable. Ciri-cirinya adalah benar-benar bisa dikerjakan secara nyata
pada suatu kurun waktu tertentu, dan untuk menjalankannya diperlukan

~ 61 ~
sumber daya. Tentu saja kegiatan-kegiatan untuk masing-masing
mahasiswa bisa berbeda, tergantung pada banyak hal.

Yang penting dalam proses dekomposisi ini adalah identifikasi kegiatan


seakurat mungkin, utamanya pada tahapan pelaksanaan riset.
Mahasiswa harus memahami benar langkah-langkah yang harus
dikerjakannya selama riset, misalnya eksperimen-eksperimen yang harus
dilakukan. Ketepatan identifikasi ini penting karena tiap kegiatan
berimplikasi pada kebutuhan sumber daya. Terlewatnya sebuah kegiatan
pada saat perencanaan bisa berakibat tidak tersedianya sumber daya
pada saat dibutuhkan. Hal ini tentu saja akan berpengaruh pada
kelancaran studi mahasiswa.

~ 62 ~
Gambar 4-2. Kegiatan-kegiatan studi S3 hasil proses dekomposisi

Setelah kegiatan-kegiatan selama studi berhasil diidentifikasi, maka


langkah selanjutnya adalah membuat rencana penjadwalan untuk
kegiatan-kegiatan tersebut. Tujuan penjadwalan adalah untuk
memberikan gambaran tentang ketersediaan waktu untuk melaksanakan
tiap kegiatan, dan juga keterkaitan antara kegiatan satu dengan lainnya.
Yang terakhir ini penting diketahui karena ada kegiatan-kegiatan yang
memiliki hubungan kausalitas: sebuah kegiatan tidak mungkin dijalankan
sebelum kegiatan pendahulunya diselesaikan.

Dalam merencanakan penjadwalan, penggunaan tool seperti diagram


Gantt akan sangat membantu. Gambar 4-3 menunjukkan contoh

~ 63 ~
potongan penjadwalan yang digambarkan dengan diagram Gantt untuk
kegiatan-kegiatan dalam studi S3.

Gambar 4-3. Contoh sebagian penjadwalan studi S3 dalam diagram


Gantt

Memang tidak semua kegiatan dapat ditentukan jadwalnya di awal masa


studi, tapi hal ini tidaklah menjadi persoalan besar. Tetaplah usahakan
menjadwalkan kegiatan-kegiatan tersebut, dengan menanamkan
pemahaman bahwa jadwal untuk kegiatan-kegiatan tersebut dapat
berubah pada saatnya. Lebih baik menjadwal meskipun belum pasti,
daripada tidak menjadwalkan sama sekali.

Prinsip penting dalam menjadwal kegiatan-kegiatan studi adalah


realistis. Berpijaklah pada kenyataan, praktek-praktek umum yang
terjadi, dan kemampuan diri. Jika tahun ajaran baru dimulai pada bulan
September misalnya, buatlah jadwal kegiatan-kegiatan yang terkait
sesuai dengan fakta ini. Realistislah juga terhadap kemampuan diri.
Misalnya jika kemampuan berbahasa Inggris masih dirasa kurang,
alokasikan waktu yang lebih banyak untuk kursus dan tes TOEFL.

Jadwal yang baik adalah modal yang penting bagi pelaksanaan kegiatan.
Dengan rencana penjadwalan yang baik, pelaksanaan studi akan lebih
terkontrol dan jika ada penyimpangan-penyimpangan akan lebih mudah
dideteksi dan diatasi secara lebih dini.

~ 64 ~
dihasilkan, dan temuan baru ini memperkaya semesta pengetahuan
dengan hal-hal baru. Kata Matt dalam bukunya, “Keep pushing”. Ini
adalah pesan untuk memperbesar tonjolan pada Gambar 2-1 agar
semakin lama semakin membesar melaui riset-riset, memperkaya
khasanah ilmu pengetahuan.

Banyak calon mahasiswa merasa bingung dengan ciri kebaruan (novelty)


dan orisinalitas (originality). Pada tataran apakah kebaruan itu harus
dimunculkan? Seberapa tinggi tingkat orisinalitas yang diharapkan? Di
satu sisi, sering terjadi kebaruan dan orisinalitas diterjemahkan sebagai
“belum pernah dipikirkan oleh orang lain”. Calon mahasiswa berpikir
keras mencari ide atau konsep yang sama sekali di luar pakem, lepas dari
konteks ilmiah akademis yang ada. Target yang ambisius seperti ini
biasanya tidak akan tercapai, apalagi jika tidak didukung oleh
kemampuan dan sumberdaya yang memadai.

Yang banyak terjadi justru di ekstrim lainnya, kebaruan diterjemahkan


secara superfisial saja, tidak menyentuh ke esensi fundamental dari
permasalahan yang dihadapi. Hal ini sering muncul karena calon
mahasiswa mencoba mengekstrapolasikan pengalaman belajar mereka
semasa menempuh S2 secara linear. Dalam kasus ini, kebaruan dicoba
direalisasikan dengan cara memperluas cakupan riset S2 mereka. Karena
belum memahami tuntutan riset S3, kebanyakan proposal ekspansi ini
bersifat horizontal (meluas) saja, kurang menyentuh aspek-aspek yang
lebih fundamental.

Di luar negeri, salah satu sebutan gelar doktor adalah doctor of


philosophy (Ph.D). Sebutan ini menyiratkan tuntutan pencarian (quest)
sampai pada tataran filsafat. Seiring dengan perkembangan ilmu
pengetahuan, gelar PhD tidak hanya terbatas untuk bidang filsafat saja,
tapi juga digunakan pada bidang-bidang ilmu lainnya. Meskipun

~ 15 ~
demikian, esensi maknanya tetap sama. Eksplorasi dan penggalian
tetaplah dituntut untuk sampai menggali aspek-aspek fundamental
dalam lingkup bidang ilmu tersebut. Keluaran riset S3 adalah
pemahaman-pemahaman baru yang dapat memperkaya khasanah ilmu
pengetahuan di bidang itu. Yang diperkaya adalah khasanah ilmu
pengetahuan, bukan pengalaman pemanfaatan (aplikasi) ilmu tersebut.
Artinya, riset S3 tidak cukup sampai tataran aplikasi saja, meskipun di
lingkup itupun muncul hal-hal baru yang juga menarik dan bermanfaat.

Sebagai contoh ilustrasi, di bidang keilmuan saya misalnya, riset tentang


pengembangan aplikasi berbasis lokasi (location-based) belumlah cukup
untuk diangkat sebagai riset S3. Topik ini memang sarat dengan
teknologi-teknologi kontemporer, misalnya algoritma penentuan lokasi
berbasis koneksi ke wireless LAN, teknik-teknik interaksi dalam
lingkungan mobile computing, atau bahkan augmented reality untuk
visualisasi. Meskipun demikian, riset ini tetaplah bermain di permukaan
saja (penggunaan teknologi baru untuk menjawab requirements
tertentu). Lain halnya jika risetnya adalah tentang pengembangan
ekosistem yang sadar terhadap konteks (context-aware) untuk
mendukung proses pembelajaran. Selain penggunaan teknologi baru,
ada persoalan-persoalan lain yang lebih fundamental, misalnya
bagaimana merepresentasikan sebuah entitas di dunia maya, bagaimana
melekatkan fitur kesadaran konteks (context-awareness) ke sebuah
entitas, atau bagaimana proses pembelajaran bisa menarik manfaat dari
kesadaran konteks. Untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut
diperlukan eksplorasi yang lebih dari sekedar membuat program aplikasi.
Jawaban yang muncul dari proses riset, apapun hasilnya, adalah
kontribusi yang signifikan terhadap pengetahuan tentang context-
awareness. Pengetahuan ini kemudian dapat dikembangkan lebih jauh
untuk membangun konstruksi pengetahuan baru, atau menjadi dasar

~ 16 ~
spesifik tempat munculnya resiko-resiko tertentu. Prakiraan bertujuan
mengidentifikas kemungkinan (probabilitas) munculnya resiko di area
tersebut. Tentu saja tidak mungkin untuk melakukan identifikasi
terhadap semua potensi resiko, tetapi paling tidak resiko-resiko dengan
probabilitas kemunculan yang cukup tinggi bisa teridentifikasi.

Identifikasi resiko dilakukan dengan mempertimbangkan faktor-faktor


pengetahuan tentang resiko, pengalaman terkait resiko (tidak harus
dialami sendiri, bisa juga pengalaman orang lain), dan informasi yang
diterima terkait area resiko yang sedang diidentifikasi. Sebagai contoh,
pembimbing adalah salah satu area yang paling banyak memunculkan
resiko. Banyak hal yang bisa terjadi terkait dengan pembimbing. Dulu
saat studi S2 saya pernah ditinggal pergi oleh pembimbing saya karena
beliau pindah ke universitas lain, sehingga saat saya masuk ke program
S3 dan dibimbing beliau kembali, berdasarkan pengalaman sebelumnya,
saya memasukkan unsur “ditinggal pergi pembimbing” sebagai salah satu
resiko yang harus saya perhitungkan (dan memang benar, 6 bulan setelah
saya masuk, beliau pindah ke universitas lain lagi!).

Perlu disadari proses identifikasi dan prakiraan resiko sangat bersifat


subyektif dan mengandung unsur seni terkait ketidakpastian yang
dihadapi. Tidak setiap keputusan identifikasi dapat dijelaskan secara
nalar, karena kadang-kadang intuisi juga bermain. Persoalan yang sering
muncul adalah: seberapa jauh identifikasi resiko harus dilakukan?
Eksplorasi yang terlalu jauh tidak hanya menghasilkan banyak sekali
resiko, tapi juga resiko-resiko yang “mengada-ada”. Sebaliknya jika
eksplorasi dilakukan terlalu dangkal, bisa jadi resiko yang sebenarnya
berpotensi muncul akan terlewat dari perhitungan.

Tidak ada aturan yang pasti tentang kapan harus berhenti


mengidentifikasi resiko, tapi prinsip Pareto (aturan 80-20) bisa dijadikan
pedoman yang realistis. Prinsip Pareto mengatakan bahwa pada banyak
kejadian, 80% efek yang muncul disebabkan oleh 20% penyebabnya.
Hukum Pareto ini mengajarkan cara yang pragmatis, bahwa untuk
banyak kasus yang bersifat non-deterministik, cukuplah untuk

~ 67 ~
memperhitungkan 20% faktor-faktor yang paling dominan saja, karena
yang 20% ini berpengaruh menimbulkan 80% dari total efek yang bisa
terjadi.

Jadi cukuplah bila mahasiswa mengidentifikasi faktor-faktor yang bersifat


umum saja. Berangkat dari Gambar 4-4 dan pengetahuan/informasi serta
pengalaman yang dimiliki, identifikasilah faktor-faktor pemicu yang
sekiranya (likely) dapat muncul. Jika dari cerita teman-teman terungkap
bahwa beasiswa sering terlambat dikirim, masukkan faktor ini sebagai
resiko. Jika menurut pengalaman berinteraksi dengan beberapa profesor
dari sebuah negara kemudian muncul stereotype bahwa profesor-
profesor dari negara itu terkenal banyak tuntutan, perhitungkan juga
faktor ini. Jika mahasiswa tahu bahwa istrinya tidak mudah
menyesuaikan diri dengan budaya baru, sementara ia berniat
membawanya ke luar negeri untuk menemani, perhatikan resiko-resiko
yang mungkin muncul. Bahwa jika kemudian faktor-faktor tersebut tidak
muncul, tidaklah menjadi soal. Yang menjadi persoalan besar adalah jika
mahasiswa tidak memperhitungkan sebuah resiko, dan pada saatnya
ternyata resiko tersebut benar-benar terjadi, dan mahasiswa tidak siap
menghadapinya.

Setelah resiko-resiko teridentifikasi secara cukup realistis, langkah


berikutnya adalah memperkirakan seberapa serius dampak yang
ditimbulkannya. Resiko dengan dampak besar perlu mendapatkan
perhatian yang lebih besar pula. Perkiraan dampak merupakan hasil
penilaian terhadap kemampuan diri dalam menghadapi kejadian resiko
yang dimaksudkan. Hal ini sangat ditentukan oleh faktor-faktor internal
(persistensi, daya tahan terhadap tekanan, penyikapan terhadap
permasalahan yang dihadapi, cara kerja dalam menyelesaikan masalah)
maupun eksternal (dukungan dari pihak lain, ketersediaan sumber daya).
Tingginya unsur subyektivitas membuat hasil analisis resiko antara satu
orang dengan orang lain bisa berbeda.

~ 68 ~
Penanganan Resiko
Jika aspek dampak resiko dan probabilitas atau frekuensi kemunculan
digabungkan, pada akhirnya semua resiko yang teridentifikasi dapat
dikelompokkan ke dalam kategori-kategori seperti ditunjukkan pada
Gambar 4-5.

Frekuensi
kemunculan
Tinggi

(3) (4)

(1) (2)
Dampak/
efek

Rendah Tinggi

Gambar 4-5. Intensitas dampak resiko

Resiko-resiko yang masuk ke dalam kelompok (1) mungkin tidak perlu


dipikirkan secara serius, karena selain dampaknya yang ringan, frekuensi
kemunculannyapun jarang. Resiko dalam kelompok (2) perlu diantisipasi
karena dampaknya yang besar. Demikian pula dengan resiko dalam
kelompok (3), meskipun dampaknya tidak besar, tetapi karena
probabilitas kemunculannya tinggi dan/atau sering, mahasiswa perlu
mengantisipasinya pula. Yang paling perlu mendapatkan perhatian
adalah resiko-resiko dalam kelompok (4).

Dalam pengelolaan proyek dikenal ada 4 pendekatan dalam menghadapi


resiko. Pendekatan pertama adalah membiarkan saja sebuah resiko
terjadi (risk acceptance), karena kita merasa sanggup dan mampu untuk
menanganinya dan kuat menghadapi dampaknya. Menerima resiko
hanya dapat dilakukan bila kita siap menanggung akibat dari resiko

~ 69 ~
tersebut, sehingga pendekatan ini hanya cocok digunakan untuk resiko-
resiko dalam kelompok (1).

Untuk resiko-resiko dalam kelompok (2) dan (3), pendekatan


penanganannya dapat menggunakan strategi mitigasi resiko (risk
mitigation) atau pengalihan resiko (risk transfer). Mitigasi resiko adalah
usaha untuk mengurangi dampak negatif dari sebuah resiko. Caranya
bisa dengan menambah sumber daya yang diperlukan untuk menghadapi
resiko tersebut, atau dengan meminimalkan probabilitas munculnya
resiko. Pengalihan resiko adalah usaha untuk mengalihkan dampak
resiko ke pihak lain yang lebih siap. Caranya bisa dengan outsourcing.
Berikut ini beberapa contoh ilustrasi. Jika mahasiswa merasa bahwa ia
memiliki alergi terhadap udara dingin, pada saat ia menempuh studi di
negara 4 musim, ia dapat mengurangi frekuensi munculnya alergi
tersebut dengan membawa obat-obat anti alergi. Seorang mahasiswa
ilmu kelautan yang meneliti tentang ikan, sementara ia sama sekali tidak
bisa berenang, mungkin bisa mengalihkan resiko tenggelam di laut
dengan cara meminta orang lain untuk menangkap ikan-ikan yang
diperlukannya.

Resiko-resiko yang masuk ke dalam kelompok (4) paling berbahaya,


karena intensitas dampak negatifnya terlalu berat untuk ditanggung.
Untuk itu strateginya adalah menghindari munculnya resiko-resiko
tersebut (risk avoidance) dengan menempuh langkah-langkah alternatif.
Sebagai contoh, misalkan topik riset yang diinginkan mahasiswa hanya
dikuasai oleh seorang profesor, dan profesor tersebut dikenal sangat
sibuk. Dalam contoh ini, resiko tidak mendapatkan bimbingan yang
semestinya besar sekali, dan efeknya juga berlangsung sepanjang masa
studi. Jika mahasiswa merasa tidak mampu menghadapi dampak ini,
lebih baik menghindari memilih topik tersebut, dan menggantinya
dengan topik lain yang resikonya lebih kecil.

~ 70 ~
Pemantauan (Monitoring)
Sebagus-bagusnya sebuah rencana dibuat, pasti dalam pelaksanaannya
ada hal-hal yang membuat rencana tersebut tidak bisa dijalankan 100%.
Persoalannya adalah bahwa tiap penyimpangan selalu berpotensi
mengganggu jalannya “proyek” studi. Agar studi tidak terganggu, tiap
penyimpangan harus bisa dideteksi dan diatasi sedini mungkin sebelum
membesar dan menjadi tidak terkendali. Untuk itu mahasiswa harus
selalu memonitor kemajuan dari tiap kegiatan yang dilaksanakannya.

Cara yang paling mudah dalam memantau kemajuan adalah dengan


memperhatikan jadwalnya. Jika sebuah kegiatan dijadwalkan selesai
dalam 1 bulan, tetapi sampai dengan minggu ketiga belum ada hasil yang
berarti, maka jelas ada sesuatu yang tidak beres.

Pemantauan harus diikuti dengan tindak lanjut (aksi) untuk


mengkompensasi penyimpangan-penyimpangan yang terjadi. Untuk bisa
melakukan aksi yang tepat, akar/penyebab penyimpangan harus
diidentifikasi dulu. Di sini mahasiswa dituntut kecermatannya, karena
kadang-kadang yang terlihat sebagai penyebab ternyata hanyalah gejala
luarnya saja. Ambil contoh seorang pembimbing sering kali
mengembalikan draf tulisan mahasiswa, sehingga rencana publikasi
mahasiswa menjadi terhambat. Mahasiswa mengira bahwa
penyebabnya adalah tatabahasa atau tatatulis yang belum baik, tetapi
bisa saja penyebab yang sebenarnya jauh lebih serius dari itu, misalnya
kedalaman dan keluasan substansi tulisan.

Kejelian pengamatan tidak bisa diajarkan secara formal, tetapi bisa


dilatih. Yang perlu diasah adalah kepekaan untuk menangkap dan
memahami ciri, profil, dan pola yang muncul di sekitar dan perubahan-
perubahan yang terjadi terhadap ciri, profil, atau pola tersebut. Kadang-
kadang perubahan tersebut muncul secara samar, dan tanpa kepekaan
yang cukup, sulit bagi mahasiwa untuk memahami makna yang
terkandung di dalamnya. Di kultur Jawa misalnya, banyak pembimbing
(terutama yang sudah senior) yang tidak menyampaikan maksud dan

~ 71 ~
keinginannya secara lugas kepada mahasiswa. Orang Jawa terbiasa
mengungkapkan makna secara tersamar, sehingga mahasiswa dituntut
untuk peka terhadap kondisi ini. Contoh kecil ini sekaligus menunjukkan
bahwa dalam studi S3, mahasiswa tidak hanya belajar tentang bidang
risetnya saja. Ia juga harus belajar tentang hal-hal non-akademik
menunjang studinya. Meskipun kelihatannya tidak terlalu penting, tapi
ketrampilan mengamati fenomena sungguh merupakan bekal yang
sangat berharga dalam menghadapi berbagai situasi, bahkan setelah
selesai menempuh studi S3nya.

Jika dari hasil pemantauan kemudian ditemukan adanya penyimpangan


dari rencana yang telah disusun, berarti ada problem di situ. Satu hal
penting yang perlu dimiliki adalah ketenangan emosi dan kestabilan
mental. Kenyataan bahwa ada problem yang harus diselesaikan biasanya
mengusik emosi dan mental mahasiswa, apalagi jika mahasiswa merasa
problem itu berat untuk diselesaikan. Lebih lagi jika problem itu muncul
pada saat-saat kritis, menjelang habisnya jatah beasiswa misalnya.
Apapun problemnya, hadapilah dengan tenang. Pikiran yang tenang lebih
bisa menghasilkan solusi-solusi yang efektif dibandingkan pikiran yang
panik.

Desakan problem biasanya juga menimbulkan tekanan-tekanan (stress).


Mahasiswa harus bisa mengelola tingkat stress-nya agar jangan sampai
mengganggu. Mengalami stress saat studi itu wajar, tapi yang harus
dijaga adalah jangan sampai stress tersebut melebih ambang batas yang
berpotensi menimbulkan gangguan berkepanjangan.

Dalam mengelola stress, komunikasi berperan penting. Jangan


memendam persoalan seorang diri, karena jika meledak, efek
berantainya bisa panjang. Manfaatkan keberadaan keluarga, teman
sesama mahasiswa, konselor akademik, atau pihak-pihak lain yang
sekiranya bisa membantu menyelesaikan problem, setidaknya
meringankan beban.

~ 72 ~
Mengatasi Keterbatasan Sumber Daya Riset
Riset S3 bisa memerlukan biaya yang sangat besar, terutama riset di
bidang ilmu-ilmu dasar dan teknologi. Bagi perguruan tinggi dengan
sumber daya (finansial) yang cukup, hal itu tidaklah menjadi masalah.
Lain halnya dengan perguruan tinggi yang tidak memiliki dana dan
peralatan yang memadai. Kondisi seperti ini sering kali menghadang
mahasiswa S3, terutama yang bersekolah di perguruan-perguruan tinggi
di negara sedang berkembang seperti Indonesia, dan pada akhirnya
membentuk pola-pola tertentu dalam riset-riset yang dijalankannya.

Perguruan tinggi (dan mahasiswa pascasarjananya) cenderung


menghindari bidang atau area riset yang sarat dengan kebutuhan
peralatan canggih. Di sektor teknologi informasi dan elektronika
misalnya, hampir tidak ada peneliti yang bekerja di bidang komponen
nano (nanocomponents) karena kebutuhan fasilitas cleanroom-nya saja
sudah bernilai puluhan milyar Rupiah. Di bidang yang memerlukan
peralatan canggih, topik-topik yang dibahas tidak sampai pada
implementasi. Contohnya pada bidang pengembangan keping elektronis
(chip), riset-riset di Indonesia kebanyakan hanya berhenti pada tahap
desain saja.

Di bidang pengembangan teknologi, topik-topik riset yang dipilih juga


lebih banyak yang bersifat kerekayasaan, mencoba mencari solusi
terhadap suatu persoalan nyata. Eksplorasi terhadap frontier ilmu
pengetahuan dan teknologi sulit sekali dilakukan, sebaliknya yang banyak
digali adalah solusi-solusi yang lebih pragmatis, efisien, dan cost-effective
terhadap problem-problem keseharian. Hal ini tidak mengurangi bobot
riset-riset dalam arah tersebut, karena tetap saja riset-riset itu mampu
menghasilkan temuan-temuan baru yang memperkaya khasanah
pengetahuan.

Meskipun arah riset sudah mencoba disesuaikan dengan kondisi yang


serba terbatas, tetapi kendala keterbatasan sumber daya (terutama
peralatan) masih sering dijumpai. Di bidang riset tentang material

~ 73 ~
misalnya, bahkan topik-topik yang bersifat terapan juga memerlukan
penggunaan mikroskop elektron, sementara jumlah mikroskop elektron
di Indonesia masih sangat terbatas. Jadi bagaimana caranya mengatasi
situasi demikian?

Strategi yang bisa ditempuh adalah memanfaatkan jaringan (network). Di


jaman sekarang ini, semuanya terhubung. Perguruan tinggi terhubung
dengan perguruan tinggi lainnya, perusahaan, lembaga pemerintah,
lembaga riset, dan banyak institusi lainnya. Relasi antar entitas tersebut
pada akhirnya akan membentuk rantai nilai (value chain), yang di
dalamnya terjadi proses-proses penciptaan nilai (value creation) yang
memberikan manfaat bagi pihak-pihak yang terlibat maupun jaringan
secara keseluruhan. Dalam proses penciptaan nilai terjadi kolaborasi
atau saling berbagi (sharing) sumber daya di antara pihak-pihak yang
terlibat. Peluang ini bisa dimanfaatkan untuk mengatasi keterbatasan
sumber daya dalam menjalankan riset.

Peneliti (dosen maupun mahasiswa) di perguruan tinggi Indonesia dapat


bekerjasama dengan peneliti dari perguruan tinggi di luar negeri atau
lembaga-lembaga riset yang terkemuka. Kolaborasi dapat diwujudkan
dalam berbagai skema, baik yang bersifat bilateral (antar dua lembaga)
maupun multilateral (biasanya melalui skema program-program
tertentu). Dalam bentuk yang sederhana, kolaborasi riset dapat dibangun
dengan relatif mudah, misalnya dengan skema pembimbingan bersama
(joint supervision). Profesor dari perguruan tinggi tamu diundang sebagai
pembimbing pendamping (co-supervisor), lalu dibuat kesepakatan yang
salah satu butirnya memberi kesempatan bagi mahasiswa untuk
berkunjung ke perguruan tinggi tamu dan melakukan riset di sana.
Selama berada di perguruan tinggi tamu, mahasiswa dapat
memanfaatkan semua sumber daya yang tersedia untuk mendukung
risetnya. Dari sini kemudian kerjasama dapat dilanjutkan untuk
melakukan publikasi bersama, menyelenggarakan seminar/konferensi
bersama, dan sebagainya.

~ 74 ~
Saat ini membangun kerjasama seperti contoh di atas tidaklah sulit.
Pengalaman saya, saat ini banyak perguruan tinggi asing yang ingin
menjalin kerjasama dengan perguruan tinggi di Indonesia. Mereka
datang ke Indonesia, memperkenalkan diri, menawarkan program-
programnya, merekrut calon mahasiswa dari Indonesia, dan menjalin
kerjasama-kerjasama yang lebih spesifik. Peluang ini harus dimanfaatkan
secara cerdas. Salah satunya adalah dengan mengakses sumber daya
riset yang melimpah untuk mendukung riset-riset mahasiswa kita.

Jika mahasiswa ingin memanfaatkan peluang-peluang yang terkait


dengan pihak eksternal, jangan lupa untuk menyesuaikan rencana
studinya. Kegiatan dan penjadwalan tentu saja akan berubah, demikian
pula aspek-aspek lain yang terkait dengan interaksi dengan pihak
eksternal tersebut.

Mahasiswa S3 dituntut untuk bisa bersikap resourceful, artinya panda


mencari, mengakses, dan memanfaatkan sumber-sumber daya yang ada
di sekitarnya. Sekali lagi, studi S3 itu menuntut kemandirian. Dalam
perjalanannya, akan banyak kesulitan yang dihadapi. Pembimbing juga
bukanlah orang yang serba tahu dan bisa dimintai nasihatnya untuk
semua problem yang dihadapi. Tidak ada pilihan lain selain mengatasi
problem-problem itu secara mandiri. Mahasiswa S3 harus bisa
mengidentifikasi sumber daya yang diperlukan untuk menyelesaikan
suatu masalah, dan tahu bagaimana mengaksesnya. Kadang-kadang
mahasiswa perlu bertanya tentang sesuatu yang terkait dengan risetnya.
Jika ia tidak bisa mendapatkan jawaban dari orang-orang di sekitarnya
(pembimbing atau teman sesama mahasiswa), ia harus bisa mencari
sumber daya lain yang bisa ia akses. Jika alat atau bahan yang diperlukan
dalam riset tidak bisa diperoleh, mahasiswa harus bisa mencari
alat/bahan alternatif atau solusi-solusi lainnya. Jika tidak bisa
mendapatkan paper karena untuk mengaksesnya harus berlangganan
jurnal yang berbayar, mahasiswa harus tahu ke mana ia bisa
mendapatkan versi alternatifnya. Itulah yang dimaksud dengan sikap
resourceful.

~ 75 ~
Manajemen Waktu dan Fokus
Pengalaman membimbing mahasiswa S3 membawa saya pada keyakinan
bahwa studi S3 di Indonesia tidak bisa dilakukan secara paruh waktu. Di
luar negeri mungkin bisa, tetapi di negeri kita rasanya hal itu sulit sekali
dilakukan. Penyebabnya adalah kesulitan yang dihadapi mahasiswa
dalam re-focusing ke penelitiannya jika ia harus bolak-balik berganti
perhatian, dari penelitiannya ke kegiatan lainnya (misalnya, pekerjaan di
kantor). Di luar negeri, sarana yang tersedia cukup lengkap, sehingga re-
focusing bisa dilakukan dengan cepat. Saat berada dikantorpun seorang
mahasiswa S3 bisa mengakses koleksi perpustakaan universitasnya,
berkomunikasi live dengan pembimbingnya, atau bahkan menjalankan
eksperimennya secara remote. Di Indonesia, jangan berharap semua
kemudahan itu diperoleh, sehingga mahasiswa perlu waktu yang lebih
lama untuk kembali ke fokus penelitiannya. Jika hal ini dilakukan
berulang-ulang dalam periode yang lama, saya khawatir mahasiswa tidak
punya cukup energi untuk bertahan.

Dengan argumen yang sama, maka mahasiswa S3 penuh waktupun harus


berusaha agar fokus ke studinya tidak bergeser. Hal ini penting karena
pada umumnya mahasiswa S3 di Indonesia statusnya adalah pekerja dan
mereka tidak 100% dibebaskan dari tugas-tugas rutin. Persoalan lain
adalah, dan ini lebih sulit untuk ditanggulangi, kenyataan bahwa para
mahasiswa S3 sering menghadapi problem kecukupan finansial, sehingga
mereka harus menyisihkan sebagian waktu untuk menutupi kebutuhan
tersebut.

Di sisi lain, penelitian S3 bukanlah kegiatan yang bisa dilakukan secara


sambilan. Proses analisis dan sintesis yang terjadi di dalamnya
berlangsung secara intensif dan berkelanjutan, untuk membangun dan
menemukan kebaruan (novelty) yang dipersyaratkan.

Dengan dua ekstrem yang harus diakomodasi tersebut, mahasiswa S3


harus pandai mengelola waktu dan fokus perhatian. Pengelolaan waktu

~ 76 ~
bertujuan memanfaatkan alokasi waktu yang tersedia seefektif dan
seefisien mungkin. Dalam 3 tahun masa studi, mahasiswa harus bisa
membagi waktunya untuk bisa mencapai berbagai milestones yang
dipersyaratkan.

Rangkaian tahapan dalam proses studi S3 membentuk sebuah proses


yang kontinyu. Proses tersebut dapat putus karena fokus perhatian yang
bergeser, baik disengaja (on purpose) atau tidak (karena dimakan waktu).
Beberapa mahasiswa putus fokusnya karena tidak bisa menghindar dari
tugas mengajar di kampus asal, harus bekerja ekstra untuk menambah
penghasilan, sakit dalam waktu yang cukup lama, atau sebab-sebab
lainnya. Yang jelas, pemutusan paksa akan mengakibatkan rusaknya
kontinuitas, dan ini akan memerlukan waktu yang cukup lama untuk
memperbaikinya, karena mahasiswa harus mengumpulkan kembali
potongan-potongan pengetahuan yang dulu pernah diperolehnya,
kemudian menyusunnya kembali menjadi bentuk yang lebih utuh.
Semakin lama putus fokusnya, semakin lama pula waktu yang diperlukan
untuk menyambung kembali.

Menurut pengalaman saya, re-focusing adalah kegiatan yang time-


consuming, stressful, dan wasting time. Sedapat mungkin hindarilah hal
ini, dengan merencakanan segala sesuatu dengan sebaik-baiknya. Saat
mempersiapkan diri untuk mengikuti program S3, perhitungkan segala
kemungkinan dan persiapkan jalan keluar jika terjadi hal-hal yang tidak
diinginkan. Persiapan yang baik dapat meminimalkan re-focusing yang
tidak perlu.

~ 77 ~
5 Pembimbingan

Peran pembimbing dalam mengantarkan mahasiswa menjalankan


risetnya sangat diperlukan dalam tiap jenjang pendidikan. Esensi
pembimbing sebenarnya sama: menemani mahasiswa dalam
mengeksplorasi area risetnya dan melaksanakan proses-proses riset,
sehingga requirements risetnya dapat terpenuhi. Meskipun demikian,
pendekatan pembimbingan yang diterapkan antara satu jenjang dengan
jenjang yang lain tentu saja berbeda. Pada jenjang S1 pembimbing lebih
berperan sebagai guru atau mentor yang memberikan instruksi dan
arahan kepada mahasiswa agar risetnya dapat mendemonstrasikan
pengetahuan yang dimilikinya melalui proses ilmiah yang logis dan
obyektif. Pada jenjang S2, pembimbing menjadi mentor bagi mahasiswa
dalam berlatih melakukan riset yang baik dan benar dengan kedalaman
dan keluasan area yang sesuai dengan persyaratan studi S2.

Pada jenjang S3, peran pembimbing mengalami pergeseran. Pembimbing


riset S3 lebih berperan sebagai kawan atau sparring partner bagi
mahasiswa dalam mengeksplorasi area penelitiannya. Penelitian S3
menuntut mahasiswa untuk lebih mandiri. Mahasiswa memegang penuh
kendali atas risetnya. Pembimbing hadir sebagai teman diskusi yang
dapat memberikan perspektif-perspektif baru yang mungkin bermanfaat
dalam pelaksanaan riset mahasiswa. Kalaupun pembimbing memberikan
arahan atau instruksi, mestinya itu dilakukan dalam rangka membangun
konstruksi penelitian yang lebih kokoh dan menjanjikan, dan bukan
dengan semangat “menyuapi” mahasiswa.

Meskipun dalam hal eksplorasi riset pembimbing seolah


“membebaskan” mahasiswa dalam menjalankan proses risetnya, itu
tidak berarti mahasiswa dapat menentukan dan memutuskan segala
sesuatunya oleh dirinya sendiri. Dalam banyak kejadian, pembimbing
bahkan seperti “dewa” bagi mahasiswanya, karena kapan risetnya
dinyatakan cukup dan kapan si mahasiswa dinyatakan layak untuk

~ 78 ~
mengikuti ujian sepenuhnya ditentukan oleh pembimbing, dan
kekuasaan ini benar-benar mutlak. Di Jepang misalnya, kekuasaan
profesor di laboratorium yang dipimpinnnya, termasuk ke semua
mahasiswa yang melakukan riset di situ, bisa dikatakan mutlak. Sampai-
sampai lab tersebut diberi nama dengan nama profesor yang menjadi
pimpinannya. Di negara-negara barat yang lebih demokratis, meskipun
hubungan antara mahasiswa dan pembimbing lebih egaliter, tetap saja
persepsi sebagai “orang yang sangat menentukan kelulusan” melekat
pada pembimbing.

Hubungan antara pembimbing dan mahasiswa S3 memang unik. Peran


sebagai mentor mengisyaratkan relasi yang cair dan tidak terlalu formal,
tetapi kewenangan yang dimiliki pembimbing terkadang membangun
“jarak psikologis” dengan mahasiswa, dan “jarak” ini bisa sangat lebar.
Yang jelas, membangun hubungan baik dengan pembimbing sangat
penting untuk menuju keberhasilan studi mahasiswa. Agar hubungan ini
dapat berlangsung efektif, maka mahasiswa perlu memahami
karakteristik hubungan ini.

Relasi Pembimbing – Mahasiswa


Dalam banyak kasus, relasi antara pembimbing dan mahasiswa dimulai
sebelum keduanya bertemu secara formal dalam proses studi S3. Pada
tahap mencari sekolah dan pembimbing, calon mahasiswa melakukan
window shopping dan mengidentifikasi dosen-dosen di sebuah
perguruan tinggi yang menjadi tujuannya, termasuk bidang-bidang dan
profil risetnya. Perkenalan dengan calon pembimbing dapat mulai terjadi
saat calon mahasiswa menemukan seorang dosen yang diperkirakan
dapat membimbingnya sekiranya ia nanti diterima sebagai mahasiswa di
perguruan tinggi tersebut. Jika dalam interaksi awal ini terjadi
komunikasi yang berkelanjutan, maka biasanya relasinya akan berlanjut
pula, dan setelah mahasiswa dinyatakan diterima, relasi ini diformalkan
dalam bentuk hubungan supervisi atau pembimbingan.

~ 79 ~
Hubungan antara pembimbing dan mahasiswa adalah hubungan jangka
panjang (long-term relationship). Keduanya akan saling berinteraksi
setidaknya selama masa studi mahasiswa. Banyak hal yang bisa terjadi
dalam masa 3 tahun, dan tentu saja bisa muncul dinamika-dinamika baik
yang bersifat positif atau negatif. Perlu diingat pula bahwa interasi antara
pembimbing dan mahasiswa bisa meluas keluar dari domain akademik.
Banyak pembimbing yang memperlakukan mahasiswa sebagai teman
secara personal, sebaliknya banyak juga mahasiswa yang berkonsultasi
dengan pembimbing untuk problem-problem non-akademik. Di luar
keluarga, saudara, dan teman-teman di kantor/sekolah, pembimbing
bisa jadi adalah orang yang paling dekat dengan mahasiswa. Untuk
membangun hubungan yang harmonis, perlu ada chemistry yang
melekatkan pembimbing dengan mahasiswa.

Membangun chemistry memerlukan pemahaman yang lebih dalam dari


sekedar komunikasi formal, karena chemistry selalu melibatkan rasa.
Mahasiswa harus memahami pembimbing sebagai sesosok manusia yang
memiliki pandangan, sikap, kebiasaan, dan ciri-ciri personal lainnya. Di
sini biasanya berlalu rumus universal tentang kemanusiaan: memandang
dan memperlakukan seseorang secara manusiawi akan memberikan
respons yang manusiawi pula. Dari sinilah chemistry akan muncul,
membangun ikatan emosional yang kuat antara kedua pihak.

Untuk memahami pembimbing, mahasiswa perlu memahami setidaknya


hal-hal berikut ini.

1. Latar belakang pribadinya. Pada saat awal bertemu atau


berkenalan dengan pembimbing, biasanya mahasiswa belum tahu
bagaimana harus bersikap terhadapnya. Dalam situasi seperti ini,
pengetahuan stereotipikal tentang pembimbing berdasarkan asal
negaranya, budayanya, pendidikannya, dan aspek-aspek lain akan
sangat berguna untuk memulai awal relasi. Kalau tahu
pembimbingnya sudah cukup berumur dan berasal dari Jawa,
perhatikan tatakrama dan sopan santun ala Jawa. Kalau tahu

~ 80 ~
pembimbingnya lulusan universitas terkenal di Jepang, siap-siaplah
untuk diajak bekerja keras tanpa memperhitungkan waktu.

Kadang-kadang perbedaan latar belakang, terutama yang terkait


dengan budaya, antara mahasiswa dan pembimbing cukup besar,
sehingga pada saat-saat tertentu bisa menimbulkan kekagetan-
kekagetan. Ambil contoh perbedaan antara budaya barat yang
cenderung bersikap terus terang dan budaya timur yang cenderung
ingin terlihat baik, sopan, dan tidak menyinggung perasaan orang
lain. Banyak mahasiswa Asia yang tersinggung, marah, atau terluka
hatinya saat profesornya mengatakan makalahnya sebagai
“sampah” (rubbish). Mahasiswa perlu memahami “jarak budaya”
(culture gap) semacam ini dan menyiapkan mental jika sewaktu-
waktu kejadian seperti itu menimpanya.

Tentu saja pandangan stereotipe tidak berlaku untuk tiap orang


dengan latar belakang yang diamati. Bisa saja ada variasi dan
penyimpangan, tetapi menurut pengalaman saya pandangan
tersebut cukup “aman” untuk memulai interaksi. Selanjutnya,
seiring dengan semakin bertambah baiknya pengetahuan
mahasiswa tentang pribadi pembimbingnya, ia mungkin perlu
melakukan penyesuaian-penyesuaian untuk merespons variasi-
variasi terhadap stereotipe tersebut (misalnya, dalam menghadapi
orang Jawa yang senang bicara lugas, atau lulusan Jepang yang
santai).

2. Pandangannya terhadap riset S3. Termasuk dalam aspek ini adalah


persyaratan dan ekspektasinya terhadap riset S3 dan hasil yang
diharapkan. Ada pembimbing yang sangat memperhatikan proses
riset. Tipe pembimbing seperti ini akan mengikuti secara rinci apa
yang dilakukan oleh mahasiswanya. Ada juga yang ingin mengontrol
proses riset mahasiswanya, sampai-sampai menjadwal secara rutin
pertemuan dengan mahasiswa tersebut.

~ 81 ~
Mahasiswa juga perlu mengetahui kebiasaan pembimbing dalam
menetapkan target dan sasaran bagi mahasiswanya. Ada
pembimbing yang menetapkan target-target jadwal secara rinci.
Ada juga yang senang melihat produk, misalnya berupa makalah-
makalah hasil riset. Ada juga yang persyaratan targetnya longgar
dan mengikuti aturan jurusan, fakultas, atau universitas saja.

3. Pandangannya terhadap mahasiswa. Pembimbing juga manusia, ia


punya cara pandang tertentu terhadap perannya sebagai
pembimbing dan juga terhadap mahasiswa bimbingannya. Ada
pembimbing yang menjalankan tugas berdasarkan formalitas,
artinya dia membimbing berdasarkan tugas yang diberikan
kepadanya. Ada juga pembimbing yang menjalankan tugasnya
dengan memasukkan unsur passion dan panggilan jiwa ke
dalamnya. Untuk yang terakhir ini biasanya dapat diidentifikasi
melalui perlakuan dan sikap pembimbing yang lebih personal dan
manusiawi kepada mahasiswanya. Interaksi dan komunikasi tidak
melulu berjalan secara formal, kadang-kadang muncul sentuhan-
sentuhan personal juga. Saat saya sekolah S3 dulu, tiap akhir
semester selalu diundang ke acara pesta akhir semester oleh
pembimbing saya. Beberapa teman juga bercerita pembimbingnya
suka mentraktir makan para mahasiswa di labnya. Jika pembimbing
memiliki pandangan seperti ini, sebaiknya mahasiswa
menanggapinya secara seimbang, karena chemistry yang akan
terbangun akan jauh lebih kokoh ikatannya.

4. Cara kerja dan metode membimbingnya. Aspek ini yang paling


penting untuk diperhatikan. Gaya membimbing antara satu
pembimbing dengan pembimbing yang lain tentu saja berlainan.
Dari sisi intensitas pertemuan/konsultasi, ada yang senang dengan
gaya ketat (melakukan pertemuan dan diskusi secara sering dan
teratur), ada pula yang longgar dan bahkan cenderung cuek (jarang
berdiskusi dengan mahasiswa). Dari cara mengarahkan, ada yang
metodenya terstruktur dan jelas tahapannya, ada pula yang

~ 82 ~
mengutamakan eksplorasi dan menentukan tahap selanjutnya
berdasarkan hasil yang diperoleh saat ini. Dari kedalamannya, ada
yang sabar dan mau mengikuti sampai detil, ada pula yang lebih suka
bermain pada konsep-konsep umum saja.

Gaya membimbing ini perlu dipahami agar mahasiswa dapat


menyesuaikan diri. Sekali lagi, yang harus menyesuaikan adalah
mahasiswanya, bukan dosen pembimbingnya. Mahasiswa harus
dapat mengimbangi gaya tersebut, sehingga pembimbingannya
dapat berlangsung optimal. Perbedaan gaya atau inkompatibilitas
dapat memicu perbedaan ekspektasi pada masing-masing pihak,
yang dapat berujung pada kekecewaan dan frustrasi bagi salah satu
atau keduanya. Saat studi S3, saya punya teman yang
pembimbingnya tidak mau tahu tentang riset yang dijalankannya.
Teman saya sering mengeluh karena pembimbingnya hanya mau
tahu tentang publikasi yang dihasilkan, sementara pada saat ia
mengalami kesulitan, pembimbingnya tidak pernah mau membantu
secara signifikan.

Bagaimana bila secara bawaan gaya membimbing itu sudah tidak


kompatibel dengan ekspektasi mahasiswa? Misalkan saja,
mahasiswa terbiasa diberi tuntunan secara terstruktur, sementara
pembimbing lebih senang berdiskusi tentang hal-hal umum saja.
Pertama tentu saja usahakan untuk menyesuaikan dengan gaya
pembimbing, misalnya dengan mengubah cara kerja dalam
menjalankan riset. Dalam usaha ini, kadang-kadang mahasiswa
memerlukan bantuan orang lain, misalnya untuk melayani gaya
pembimbing yang tidak suka hal-hal detil, mahasiswa harus
bertanya ke teman-temannya untuk mengisi kebutuhan akan hal-hal
detil yang dihadapinya. Intinya, apapun yang bisa diusahakan untuk
bisa menyesuaikan dengan gaya membimbing, usahakanlah.

Bagaimana jika mahasiswa tidak bisa menyesuaikan diri karena


perbedaannya terlalu ekstrim? Bagaimana jika mahasiswa merasa

~ 83 ~
gaya membimbingnya tidak cocok dan menimbulkan kendala-
kendala bagi mahasiswa? Jika demikian, apa boleh buat, cobalah
untuk bernegosiasi. Mahasiswa bisa menanyakan apa sebenarnya
ekspektasi dari pembimbing sehingga dia menjalankan
pembimbingan dengan gaya seperti itu. Setelah memahami
ekspektasi pembimbing, mahasiswa dapat mencari alternatif cara
atau metode kerja yang sekiranya dapat memenuhi ekspektasi
tersebut. Yakinkan pembimbing bahwa cara yang diusulkan tersebut
efektif untuk memenuhi ekspektasinya. Jika setelah hal ini
dilakukanpun masih ada kendala, berarti memang keduanya tidak
cocok. Kondisi ini perlu dibicarakan secara lebih serius dan formal.

Banyak mahasiswa yang mengeluh karena bidang atau minat riset


pembimbingnya berbeda dengan minat risetnya, sehingga proses
pembimbingan tidak dapat berlangsung sampai mendiskusikan hal-
hal yang detil. Menurut saya hal ini tidak menjadi persoalan besar.
Tugas pembimbing S3 adalah mengarahkan, bukan menjelaskan
tentang hal-hal detil. Jangan membicarakan, misalnya, program
komputer yang tidak jalan atau kesulitan mencari literatur.
Pembimbing cukup berperan dalam hal-hal yang umum dan besar,
misalnya menentukan arah riset dan sasaran yang dituju. Selama ia
bisa menjalankan peran ini, cukuplah tugasnya. Bagaimana
merealisasikannya, itu tugas mahasiswa. Saya sendiri merasakan
kondisi seperti ini. Pembimbing S3 saya memiliki minat yang sama
sekali berbeda dengan minat riset saya, tetapi saya dapat
menjalankan riset saya dengan baik-baik saja karena beliau mampu
mengarahkan saya ke mana saya harus melangkah. Pembimbing
saya tidak pernah mau saya ajak berdiskusi tentang hal-hal detil.
Bahkan dalam beberapa kesempatan malah beliau berkata,”Lukito,
you decide where you want to go”.

5. Sifat dan ciri personalnya. Mungkin saja pembimbing memiliki sifat-


sifat atau ciri yang khas. Mengetahui sifat atau ciri khas ini dapat
membantu mahasiswa untuk dapat memberikan respon komunikasi
dari mahasiswa secara lebih pas.

~ 84 ~
Pada akhirnya hubungan antara mahasiswa dan pembimbingnya adalah
hubungan antara dua manusia. Tidak ada “rumus” yang pasti untuk
membangun hubungan yang harmonis, tetapi tiap manusia selalu
dibekali dengan kemampuan untuk menyesuaikan diri dengan apa yang
ditemuinya. Bagaimana menggunakan kemampuan ini, di situlah letak
seni membangun hubungan dengan pembimbing.

Mungkin mahasiswa perlu “berkorban” dalam usaha membangun relasi


dengan pembimbing. Berkorban dalam arti harus melakukan hal-hal yang
sebenarnya di luar tugasnya sebagai mahasiswa. Kadang-kadang
pengorbanannya terasa lebih berat karena mahasiswa tidak terbiasa
mengerjakan hal-hal tersebut. Jika tidak bisa mengelak dari beban
tersebut, usahakan untuk menguranginya, paling tidak dari segi pikiran.
Berpikir positif akan banyak membantu, misalkan dengan meyakinkan
diri bahwa apa yang dilakukannya akan memberikan suatu manfaat di
kemudian hari.

Mahasiswa juga perlu menyadari bahwa relasi dengan pembimbing tidak


hanya berhenti setelah ia menyelesaikan studinya. Pandanglah relasi
tersebut dalam konteks yang lebih luas. Setelah kembali ke
tempat/institusi asal, relasi yang terjadi bukan hanya relasi antar
individu, tetapi juga merepresentasikan kedua lembaga tempat
mahasiswa dan pembimbingnya bernaung. Bayangkan untuk
mengembangkan relasi tersebut untuk tujuan yang lebih besar,
pengembangan kerjasama antar lembaga misalnya. Dalam jaman serba
terhubung seperti saat ini, relasi sangat berperan dalam usaha-usaha
penciptaan nilai lebih (added value creation), karena dalam melakukan
sesuatu, kita tidak mungkin berjalan sendiri. Banyak skema kerjasama di
bidang pendidikan dan penelitian yang menggunakan asas jaringan
(network), sebut saja misalnya Erasmus Mundus, AUN/SEED-Net, dan
berbagai asosiasi dan konsorsium yang berorientasi pada bidang
tertentu. Dalam pengembangan berdasarkan jaringan semacam itu,
relasi-relasi antar lembaga biasanya muncul dari relasi antar individu.
Inilah pentingnya membangun relasi yang baik dengan pembimbing:

~ 85 ~
bukan hanya untuk keperluan studi, tapi juga untuk pengembangan
kerjasama pada masa yang akan datang.

Pembimbingan yang Efektif


Pembimbingan adalah proses interaksi antara mahasiswa dan
pembimbingnya dalam usaha menetapkan arah, strategi, cara/metode,
milestones, sasaran-sasaran penelitian, atau mencari solusi atas
problem-problem yang muncul selama riset berlangsung. Agar proses ini
dapat berjalan lancar dan memberikan hasil seperti yang diharapkan,
mahasiswa perlu menerapkan strategi yang efektif. Tentu saja strategi ini
sangat tergantung pada masing-masing pembimbing, tetapi tetap saja
ada “aturan-aturan” yang berlaku umum.

Pembimbing adalah sumber daya yang “mahal”. Ia adalah orang yang


memiliki pengetahuan dan pengalaman yang diperlukan untuk
mengawal riset mahasiswa. Biasanya ia juga sibuk sehingga sulit untuk
mengalokasikan waktunya. Karena nilainya yang tinggi, mahasiswa perlu
memanfaatkannya secara cerdas. Jika pembimbing memiliki kapasitas
untuk memberikan nilai tambah yang besar dalam riset mahasiswa,
janganlah memanfaatkannya hanya untuk mengatasi problem-problem
sepele. Mahasiswa perlu memikirkan bagaimana pembimbing dapat
membantu secara lebih strategis, tidak hanya sekedar menjawab
pertanyaan-pertanyaan yang bersifat teknis.

Peluang paling besar dalam mendayagunakan pembimbing adalah


memanfaatkan kapasitas yang dimilikinya untuk mendukung mahasiswa
dalam mengakses dan mengorganisasikan sumber-sumber daya yang
tersedia untuk menjalankan risetnya. Riset S3 biasanya memerlukan
banyak sumber daya, entah itu berupa peralatan, bahan, fasilitas, ahli
(expert) dalam bidang tertentu, dana, hak akses, dan sebagainya. Pada
saat-saat tertentu, mahasiswa akan memerlukan bantuan spesifik dalam
mengelola dan menggunakan sumber-sumber daya tersebut. Untuk
situasi-situasi seperti inilah peran pembimbing benar-benar sangat

~ 86 ~
diperlukan. Mahasiswa dapat meminta pembimbing untuk
menggerakkan apa yang dimiliki atau dapat diaksesnya.

Kemampuan pembimbing dalam menggerakkan sumber-sumber


dayanya adalah kartu truf yang dapat digunakan pada saat yang benar-
benar mendesak. Sebagai contoh, saat mahasiswa mengalami kesulitan
finansial karena beasiswanya bermasalah, ia dapat meminta bantuan
pembimbing untuk mencarikan solusi pendanaan melalui dana-dana
riset yang dikelola pembimbing. Selayaknya kartu truf, mahasiswa harus
pandai-pandai menggunakannya. Saatnya harus tepat, jangan sampai
bantuan pembimbing menjadi tidak tepat sasaran. Jangan misalnya
menanyakan hal-hal yang sepele, yang sebenarnya bisa ditanyakan
kepada orang lain.

Saya sering mendengar keluhan mahasiswa yang merasakan sulitnya


mendapat pembimbing yang pintar, punya kedudukan/jabatan penting,
tapi sibuk sekali sehingga hampir-hampir tidak punya waktu bagi
mahasiswanya. Sebenarnya kondisi seperti ini tidak perlu disesali.
Mahasiswa memang jarang bertemu dengan pembimbingnya, tapi ini
bisa dikompensasi dengan kapasitas yang dimilikinya. Orang pintar,
berkedudukan tinggi, dan sibuk pastilah punya kewenangan yang besar
dan jaringan yang luas. Pembimbing yang punya jabatan Dekan misalnya,
jelas akan sulit ditemui karena kesibukannya, tapi dia juga punya otoritas
ke sumber-sumber daya fakultas atau punya jejaring yang luas dengan
pihak-pihak eksternal. Inilah yang bisa dimanfaatkan mahasiswa. Jika
perhatian pembimbing tidak bisa diperoleh secara maksimal, sasarlah
sumber-sumber daya yang dimilikinya.

Tentu saja untuk dapat “meminjam tangan” pembimbing seperti itu


perlu strategi dan cara tersendiri. Kuncinya adalah pada kepercayaan
pembimbing kepada mahasiswa. Pembimbing akan mau membantu
menggerakkan sumber daya yang dapat diaksesnya jika ia melihat bahwa
mahasiswa bimbingannya layak dibantu. Pengertian “layak dibantu”
memang subyektif, tetapi tetap saja ada ukuran-ukuran obyektif yang
dapat dijadikan pedoman, misalnya fakta-fakta yang menunjukkan

~ 87 ~
bahwa riset mahasiswa memang memerlukan bantuan dan mahasiswa
tidak memiliki kemampuan yang cukup untuk mengatasi problem-
problemnya. Selain itu faktor sikap (attitude) seperti kemauan untuk
bekerja keras, tidak mudah putus asa, dan resourceful juga sangat
penting untuk membangkitkan kepercayaan.

Proses pembimbingan itu sendiri adalah proses yang interaktif. Ada


dialog antara mahasiswa dan pembimbingnya. Proses semacam ini akan
efektif jika kedua pihak dapat memahami satu sama lain dan
menjalankan peran masing-masing secara komplementer sehingga dapat
menghasilkan sesuatu yang diharapkan. Jadi jelaslah bahwa memahami
pembimbing adalah tahapan penting untuk menjalani pembimbingan
secara efektif.

Untuk memulai pembimbingan, sebaiknya pada saat awal kedua pihak


bersepakat tentang cara dan gaya pembimbingan. Akan lebih baik jika
mahasiswa dan pembimbing bertemu dan mendiskusikan dan akhirnya
bersepakat tentang bagaimana mereka akan berinteraksi nantinya.
Kesepakatan ini akan membuat keduanya sama-sama merasa nyaman
karena saling memahami apa yang diinginkan oleh pihak satunya. Jika
pembimbing tidak berinisiatif memulai pembicaraan ini, mahasiswa bisa
menanyakannya. Jika tidak berani juga, maka amatilah. Perhatikan cara
dan gayanya dalam membimbing mahasiswa lain. Tanyakan juga pada
mahasiswa-mahasiswa lain yang dibimbingnya.

Beberapa hal yang perlu disepakati di antaranya adalah:

• Tingkat kedalaman interaksi (apakah pembimbing lebih suka


berbicara tentang hal-hal detil atau umum)
• Frekuensi pertemuan
• Materi diskusi (apa yang harus disiapkan mahasiswa saat diskusi)
• Target (milestones) dan penjadwalan

Efektivitas pembimbingan tidak hanya ditentukan oleh pembimbing.


Mahasiswapun punya peran penting dalam menentukan seberapa

~ 88 ~
bermanfaat diskusi dan interaksinya dengan pembimbing. Kedua pihak
harus menyiapkan diri agar saat bertemu dapat berinteraksi secara cair,
lancar, dan efektif. Keduanya perlu memiliki prior knowledge tentang
topik yang akan didiskusikan, sehingga ada baiknya topik diskusi
disepakati sebelumnya. Jika ingin lebih rinci, mahasiswa dapat membuat
tulisan ringkas tentang topik diskusi, lalu dikirimkan ke pembimbing
sebelum diskusi berlangsung.

Janganlah berdiskusi dengan kepala “kosong” tanpa bekal apapun.


Jangan bertanya,”Apa yang harus saya kerjakan?”. Bertanyalah,”Saya
punya solusi seperti ini, bagaimana pendapat Bapak/Ibu?”. Pertanyaan
pertama, selain tidak efektif, juga bisa membuat pembimbing kehilangan
respek. Ingatlah bahwa mahasiswa yang memerlukan pembimbing,
bukan sebaliknya. Jika pembimbing sudah bersedia meluangkan waktu
untuk konsultasi, artinya itu adalah niat baik yang perlu direspon secara
seimbang. Singkatnya, sebelum diskusi berlangsung, mahasiswa harus
sudah menyiapkan materinya.

Persoalan yang sering dihadapi mahasiswa adalah bagaimana jika


menjelang diskusi mahasiswa belum siap. Hal ini umum terjadi saat
mahasiswa sedang mengalami problem dan belum mendapatkan
bayangan tentang solusinya. Rasa panik dan stress kemudian melanda,
dan pada akhirnya malah membuat mahasiswa tidak mampu
menghadapi diskusi dengan baik. Jika mengalami hal seperti ini,
janganlah menghindar. Menghindar hanya akan menunda masalah,
bukan menyelesaikannya. Riset adalah sebuah aktivitas yang penuh
dengan dinamika, grafiknya tidak selalu menunjukkan kecenderungan
(trend) positif, dan pembimbing paham benar dengan situasi seperti itu.
Karena itu, jangan misalnya malah mencari alasan untuk membatalkan
konsultasi. Sebaliknya, bersikaplah apa adanya. Jika memang sedang
mengalami kesulitan, ungkapkan kesulitan itu pada pembimbing.
Ceritakan semaksimal mungkin problem yang dihadapi, siapa tahu malah
pembimbing punya solusinya.

~ 89 ~
Dalam konsultasi dan diskusi, tempatkan diri pada posisi yang pas. Dalam
hal riset, mahasiswa S3 bukan subordinat atau bawahan pembimbing.
Karena tujuan diskusi atau konsultasi adalah dalam rangka mahasiswa
mengeksplorasi daerah-daerah ilmu pengetahuan yang belum banyak
diketahui, mahasiswa harus memiliki inisiatif. Jangan takut untuk
menyampaikan pendapat dan ide, serta beradu argumentasi dengan
pembimbing. Ingatlah bahwa riset S3 sebenarnya adalah proses
pelatihan untuk melakukan penelitian mandiri. Riset mengandalkan
metode ilmiah, dan metode ilmiah dicirikan dengan logika, keruntutan,
dan obyektifitas. Selamat mahasiswa berada dalam koridor metode
ilmiah, ia tidak melakukan kesalahan apapun. Beradu argumentasi dan
berdebat dengan pembimbing itu wajar-wajar saja, asal dilakukan secara
logis dan obyektif. Justru sebaiknya mahasiswa memanfaatkan
kesempatan berdiskusi untuk menajamkan ketrampilannya dalam
membangun argumentasi dan mempertahankannya.

Mengatasi Konflik dengan Pembimbing


Tidak semua relasi antara mahasiswa dan pembimbing dapat berjalan
baik. Dalam relasi yang baikpun kadang-kadang ada gangguan
komunikasi. Hal-hal yang berpotensi menimbulkan konflik dengan
pembimbing harus dapat dideteksi dan ditangani sedini mungkin. Selain
itu mahasiswa juga perlu memiliki ketrampilan dalam mengelola konflik
(conflict management). Penyelesaian suatu konflik memerlukan
pemahaman tentang jenis dan penyebab konflik itu sendiri.

Manifestasi konflik sangat beragam, ada yang tidak terlihat jelas, sampai
yang diekspresikan secara vulgar. Konflik tidak selalu harus muncul dalam
bentuk ungkapan verbal. Sikap atau gesture yang menunjukkan
ketidaksetujuan, ketidaknyamanan, atau keengganan juga bisa dianggap
sebagai tanda-tanda adanya konflik.

Konflik tidak muncul tiba-tiba dan langsung membesar. Ia muncul dari


percikan-percikan inkompatibilitas antara mahasiswa dan pembimbing

~ 90 ~
terkait dengan ide, konsep, cara pandang, sikap, perilaku, kebiasaan, dan
hal-hal lain yang mungkin terungkap dalam komunikasi antara keduanya.
Gambar 5-1 mengilustrasikan tahapan perkembangan konflik
berdasarkan intensitas dan frekuensi kemunculannya.
Intensitas Intensitas Intensitas
konflik konflik konflik

Waktu Waktu Waktu


(a) (b) (c)

Gambar 5-1. Jenis-jenis konflik

Konflik (a) adalah konflik yang sifatnya insidental. Konflik tipe ini hanya
muncul sekali-sekali, dengan intensitas yang rendah. Pada umumnya
konflik ini terjadi pada hubungan pembimbing-mahasiswa yang baik-baik
saja, tetapi pada saat-saat tertentu mengalami pergesekan karena
perbedaan pendapat, salah interpretasi, atau salah pengertian.
Penanganannya relatif mudah, karena dengan dasar relasi yang baik,
kesalahpamahan atau perbedaan pendapat bisa diselesaikan dengan
cepat. Dalam kasus konflik yang dipicu oleh perbedaan pendapat, bisa
saja kedua pihak tetap memiliki pendapat yang berbeda, tetapi
munculnya saling pengertian membuat konflik dapat diakhiri. Dengan
mengedepankan hubungan baik, biasanya solusi konflik dapat dengan
mudah diperoleh melalui kesediaan untuk saling memahami.

Konflik jenis (a) dapat berkembang menjadi jenis (b) bila tidak
terselesaikan dengan baik dan terulang pada waktu yang lain. Frekuensi
kemunculannya meningkat, demikian pula intensitasnya. Kondisi ini
mulai membahayakan karena berpotensi merusak pondasi hubungan
baik antara pembimbing dan mahasiswa. Idealnya untuk menyelesaikan
konflik pada tingkatan ini, kedua pihak harus bersedia “mundur” dan
menata ulang situasi dan kondisi penyebab munculnya konflik.
Sayangnya biasanya kondisi ideal ini jarang tercapai karena relasi

~ 91 ~
mandiri. Riset semacam ini tentu dibatasi
oleh banyak kekangan. Untuk itu
proposalnya perlu menunjukkan bahwa
penelitian ini dapat dijalankan dalam
kerangka waktu, biaya, dan sumber daya
lain yang tersedia. Penjelasan tentang
metodologi (termasuk langkah-langkah
riset, kebutuhan sumber daya, dan
penjadwalan) harus mencerminkan tujuan
dan sasaran riset.

Sebuah proposal awal, apalagi yang ditulis sebelum seseorang benar-


benar masuk ke program S3, memang biasanya masih banyak
mengandung kelemahan. Hal ini wajar saja, karena sense tentang riset S3
baru akan terbentuk setelah seseorang masuk dan menjalani prosesnya.
Meskipun demikian, proposal riset tetaplah harus ditulis sebaik mungkin
untuk meyakinkan pihak-pihak yang terkait. Bagi calon pembimbing atau
tim seleksi penerimaan mahasiswa di perguruan tinggi, dokumen ini
dapat memberikan gambaran apakah calon mahasiswa tahu tentang apa
yang akan dia kerjakan atau tidak, dan apakah dia memiliki cukup
kapasitas untuk mengerjakannya.

Syarat utama untuk dapat menulis proposal yang baik adalah


pengetahuan tentang domain riset, termasuk berbagai riset yang telah
dikerjakan peneliti lain sebelumnya. Pemahaman tentang hal ini akan
membuka cakrawala tentang pertanyaan-pertanyaan fundamental yang
belum terjawab atau persoalan-persoalan mendasar yang belum
terselesaikan, yang kemudian bisa dipilih salah satu menjadi topik riset
yang akan dikerjakan.

Membangun pengetahuan semacam ini tidak bisa dilakukan dalam waktu


singkat, karena obyek yang dikaji bersifat fundamental sehingga perlu
usaha untuk bisa mendapatkan esensinya. Dengan demikian seorang
calon mahasiswa S3 harus banyak membaca dan belajar, dan yang dibaca

~ 45 ~
bukan hanya buku teks atau artikel-artikel populer. Buku teks dan artikel
populer tidak bisa memberikan pemahaman tentang riset-riset yang
dilakukan dalam bidang yang dipilih, sementara calon mahasiswa harus
menyelam ke dasar domain riset untuk mengetahui apa yang sedang
terjadi di sana. Penyelaman ke dasar harus dilakukan dengan bantuan
artikel-artikel di jurnal-jurnal dan seminar-seminar ilmiah, yang secara
terkini mengabarkan kemajuan-kemajuan yang diperoleh dari riset-riset
yang bersifat state-of-the-art.

Pertanyaan yang sering terlontar dari calon mahasiswa: dari mana saya
harus memulai mencari topik riset yang sesuai? Langkah-langkah berikut
ini bisa dijadikan pedoman:

1. Tentukan bidang riset yang diminati sebagai titik awal. Bidang ini
bisa saja bidang yang masih luas dan umum, misalnya yang sesuai
dengan bidang kerja (contoh: biologi molekuler, pengelolaan
otonomi daerah, atau rekayasa perangkat lunak).
2. Dalam bidang riset di atas, biasanya ada pembagian yang lebih
spesifik/fokus. Pilihlah salah satu yang paling diminati.
3. Jika dirasakan perlu untuk memperkuat basis pemahaman dalam
subbidang yang dipilih, perbanyaklah membaca buku teks atau
referensi lainnya.
4. Mulailah untuk “menyelam”. Carilah jurnal-jurnal atau seminar-
seminar yang ternama dalam subbidang tersebut. Indikatornya
sederhana: jurnal atau seminar yang terkenal selalu punya rekam
jejak penyelenggaraan yang teratur. Indikator lain, makalah-
makalah yang dipublikasikan di sana memiliki impact rate yang
tinggi (artinya: banyak diacu oleh makalah-makalah yang lain).
5. Carilah artikel-artikel yang menarik, pelajari substansinya, dan
pahami persoalan yang dihadapi, riset yang dilakukan, dan hasil
yang diperoleh. Sebuah hasil atau temuan riset pada dasarnya
bukan artefak yang berdiri sendiri. Ia adalah sebuah blok yang
berdiri di atas blok-blok yang dihasilkan oleh riset-riset
sebelumnya (Gambar 3-1). Blok-blok tersebut membentuk
“rantai” kemajuan riset.

~ 46 ~
Waktu Riset terkini

Riset-riset sebelumnya

Gambar 3-1. Riset sebagai blok-blok pembangun kemajuan ilmu


pengetahuan
Jadi untuk memahami blok yang paling atas, runut baliklah ke
blok-blok penyusunnya. Dalam memahami sebuah riset terkini,
kembalilah ke riset-riset sebelumnya yang terkait dengan riset
tersebut. Ikutilah rantai yang dibentuknya, carilah makalah-
makalah yang terkait. Jika proses ini dilakukan secara lengkap,
bangunan pemahaman tentang area yang dicakup oleh riset-riset
tersebut akan dapat diperoleh secara utuh.
Pada saat-saat awal, sering kali calon mahasiswa merasa
kesulitan memahami makalah-makalah tersebut. Hal ini wajar
saja, karena ada gap yang cukup lebar antara pemahaman calon
mahasiswa dengan penulis makalah. Makalah jurnal biasanya
berada di frontier (sisi terdepan) ilmu pengetahuan, sementara
calon mahasiswa S3 tentunya memiliki pemahaman yang masih
sangat terbatas. Meskipun demikian, karena dengan mengikuti
rantai makalah ke belakang (menuruni piramid pada Gambar 3-
1), pada tahap tertentu calon mahasiswa akan sampai pada satu
atau beberapa makalah yang dipahaminya dengan pengetahuan
yang dimilikinya saat itu. Pada titik ini, naiklah kembali ke
makalah-makalah di atasnya sampai pada makalah terkini untuk
mengkonstruksi pengetahuan baru dan membentuk peta yang
lebih lengkap.

~ 47 ~
Bagaimana jika cara di atas juga masih belum berhasil? Bagaimana jika
para pembimbing masih bersikukuh dengan pendapat masing-masing?
Jika mahasiswa sudah tidak bisa lagi mempertemukan pendapat
pembimbing-pembimbingnya, maka usahakan agar para pembimbing
tersebut bisa bertemu dan berdiskusi langsung. Cara mudahnya adalah
menyiapkan sebuah forum diskusi kecil yang melibatkan mahasiswa dan
para pembimbingnya. Dalam forum tersebut, mahasiswa menjelaskan
apa yang dihadapi dan meminta pendapat para pembimbingnya. Jika ada
perbedaan pendapat di antara mereka, mereka bisa langsung
mendiskusikan dan menyelesaikannya, sehingga mahasiswa bisa
mendapatkan arahan-arahan yang bersifat “consolidated”.

Bagaimana jika masih belum berhasil juga? Upaya terakhir adalah dengan
meminta bantuan otoritas resmi seperti Ketua Program Studi, Ketua
Departemen, atau Ketua Komite Riset. Jangan berlama-lama berdiri di
tengah dalam kebimbangan, semakin lama dibiarkan, tekanan akan
semakin besar, dan bisa menyebabkan mahasiswa seperti pelanduk yang
mati di tengah pertikaian antar gajah.

~ 95 ~
6 Penulisan Artikel Ilmiah dan Disertasi

Menulis artikel ilmiah dan naskah disertasi adalah bagian yang tidak
terpisahkan dari proses studi S3. Menulis adalah cara universal bagi
seorang insan akademik untuk menyampaikan ide, pemikiran, gagasan,
fakta, dan temuan hasil penelitiannya kepada komunitas ilmiah.
Seberapa bagusnyapun hasil riset seseorang, selama itu tidak ditulis
dengan baik, maka nilai yang dikandungnya tidak akan dapat
disebarluaskan secara optimal. Dengan demikian ketrampilan menulis
sangatlah penting dalam studi S3.

Kebutuhan menulis artikel ilmiah dan disertasi menjadi semakin penting


saat hal tersebut menjadi syarat formal bagi kelulusan mahasiswa.
Beberapa perguruan tinggi telah menetapkan bahwa salah satu syarat
untuk bisa lulus studi S3 adalah publikasi atau penerimaan makalah di
sebuah jurnal internasional yang bereputasi. Sebagian perguruan tinggi
malah memberikan syarat tambahan: jurnal internasionalnya harus yang
terindeks oleh sistem indeks internasional seperti Scopus atau ISI
(Thomson). Indeks menunjukkan tingkat kredibilitas sebuah jurnal,
karena indeks menunjukkan pengakuan artikel-artikel di jurnal tersebut
oleh artikel lain di media publikasi lainnya.

Bagi yang belum pernah menjalani, menulis makalah publikasi dan


naskah disertasi adalah sebuah kegiatan yang tidak mudah. Komunitas
ilmiah memiliki tradisi dan aturan-aturan tertentu dalam hal ini, tidak
setiap tulisan dapat diterima oleh mereka. Mahasiswa harus memahami
tradisi dan aturan-aturan tersebut agar tulisannya dapat dipublikasikan
dan diterima oleh masyarakat ilmiah. Persoalannya, mahasiswa selalu
merasakan “too many tasks to do, too little time available”. Karenanya
mahasiswa perlu memiliki strategi yang baik agar bisa menulis makalah
dan disertasinya dengan baik, dalam kerangka waktu yang tersedia.

~ 96 ~
Ciri Tulisan Ilmiah
Tulisan ilmiah berbeda dengan tulisan kasual, reportase/jurnalistik, karya
sastra, atau laporan. Meskipun semua tulisan sama-sama menjelaskan
pokok-pokok pikiran si penulis, tulisan ilmiah memiliki kaidah, struktur,
dan format tertentu. Beberapa ciri tulisan ilmiah dijelaskan sebagai
berikut.

1. Self-Explained. Ciri self-explained maksudnya adalah bahwa sebuah


karya ilmiah harus dapat menjelaskan dirinya sendiri tanpa harus
dibantu oleh dokumen-dokumen lain atau penjelasan dari
penulisnya. Ciri ini menuntut sebuah tulisan untuk bersifat lengkap
(complete), dalam arti mengandung semua komponen pokok pikiran
yang menyusun substansi yang ingin disampaikan, tidak ada yang
terlewat.

Bagi masyarakat ilmiah, yang mereka perlukan saat membaca


sebuah tulisan ilmiah paling tidak ada tiga hal: 1) persoalan/problem
apa yang dimunculkan?, 2) apa ide/pemikiran tentang solusi atau
jawaban atas persoalan yang diangkat, termasuk bagaimana
solusi/jawaban tersebut dibangun, dan 3) pandangan atau
perspektif terhadap solusi atau jawaban yang diusulkan terhadap
problem yang dihadapi. Terkait syarat kelengkapan di atas, penulis
harus menjelaskan ketiga hal tersebut dalam format tulisan yang
terstruktur.

Pertanyaannya: seberapa banyak yang harus disampaikan?


Jawabnya: secukupnya. Seberapa cukup? Inilah yang perlu
ditentukan oleh penulis, karena tergantung pada seberapa banyak
ruang yang tersedia untuk menjelaskan materi tulisan. Dalam
sebuah jurnal atau transaksi (transactions), ruang yang tersedia
biasanya cukup luas untuk menyampaikan materi secara meluas
dan/atau mendalam. Sebaliknya dalam sebuah extended abstract,
ruang yang tersedia paling banyak 3 halaman saja.

~ 97 ~
Strategi pengembangan (abstraksi) secara iteratif dapat dilakukan
untuk menghadapi situasi ini. Pada awalnya, mulailah dengan
mengidentifikasi aspek-aspek yang menjadi atribut kunci dari
substansi yang akan ditulis. Rule of thumb-nya adalah, jika sebuah
aspek dihilangkan dan kemudian makna/pemahaman terhadap
materi tidak bisa diperoleh secara utuh, maka aspek tersebut adalah
atribut kunci. Menjelaskan mobil listrik tanpa menyebutkan
mekanisme konversi energi listrik menjadi energi gerak akan
membuat penjelasannya menjadi kurang lengkap. Sebaliknya,
penjelasan tentang daya yang dihasilkan mungkin tidak perlu
dimunculkan pada saat awal karena menghilangkan hal ini tidak
banyak berpengaruh terhadap terbentuknya abstraksi tentang
mobil listrik.

Setelah butir-butir inti diperoleh, selanjutnya adalah mengekspansi


butir-butir tersebut. Ekspansi bisa mengarah vertikal, artinya
menjelaskan secara lebih rinci, atau horizontal, yang berarti
menjelaskan aspek-aspek sekunder yang menyertai butir-butir
tersebut. Dalam contoh mekanisme konversi energi pada mobil
listrik di atas, penjelasan lebih lanjut bisa diberikan terkait dengan
metode pengisian batere, kontrol catu tegangan, mekanisme
proteksi, dan sebagainya.

2. Runtut. Setiap riset selalu menerapkan metode ilmiah, dan metode


ilmiah selalu bersifat logis. Ciri penting dari logika adalah adanya
hubungan kausalitas dari sesuatu yang menerangkan dan sesuatu
yang diterangkan. Secara alamiah, ciri ini juga mengikuti saat sebuah
tulisan mencoba menjelaskan sebuah riset. Sebuah tulisan harus
menjaga keruntutan dari penyampaian pokok-pokok pikiran yang
dikandungnya. Tulisan yang runtut adalah tulisan yang memiliki alur,
yang apabila diikuti akan membangun hubungan kausalitas dari
pokok-pokok pikiran di dalamnya.

Pada umumnya sebuah tulisan ilmiah disusun berdasarkan struktur


atau format yang telah ditetapkan. Banyak variasi dari format

~ 98 ~
Wawancara bisa dilakukan dalam setting formal maupun agak informal.
Dalam setting formal seperti yang dijalankan di departemen saya, calon
mahasiswa dipersilakan memberikan presentasi tentang rencana
penelitiannya di hadapan panelis yang terdiri dari beberapa dosen,
kemudian diikuti dengan tanya jawab seputar rencana tersebut. Tidak
tertutup pula kemungkinan pertanyaan-pertanyaan yang diajukan juga
menyangkut hal-hal seperti pengalaman, pekerjaan, publikasi, dan hal-
hal lain yang bisa menunjukkan kesiapan calon mahasiswa.

Kadang-kadang penguji wawancara adalah dosen yang memiliki bidang


keilmuan berbeda dengan calon mahasiswa. Berbekal naskah proposal
calon mahasiswa, penguji harus menentukan apakah si calon bisa
diterima dalam program S3 atau tidak. Karena tidak mungkin bagi penguji
untuk mengeksplorasi secara rinci tentang substansi penelitian, maka ia
cenderung akan menanyakan secara umum tentang kelayakan topik riset
dan pemahaman calon mahasiswa terhadap topik risetnya. Dalam
kondisi seperti ini, yang banyak berperan adalah logika dan keruntutan
usulan riset. Beberapa pertanyaan yang sering muncul antara lain:

“Mengapa topik ini menarik untuk diteliti?”

“Apa kontribusi ilmiah dari penelitian ini?”

“Apa perbedaan penelitian ini dengan penelitian-penelitian sebelumnya


(atau: di mana letak kebaruan penelitian ini)?”

“Bagaimana penelitian ini akan dijalankan?”

“Apa hasil yang diharapkan?”

“Bagaimana membuktikan bahwa klaim yang ditawarkan itu benar?”

Para penguji adalah dosen yang bergelar doktor. Bagi mereka, hanya
penjelasan yang logis dan runtut yang dapat memuaskan rasa ingin tahu
mereka. Kalau mereka belum merasa puas, mereka akan mengeksplorasi
lebih jauh dengan mengajukan pertanyaan-pertanyaan yang lebih

~ 51 ~
detil/rinci. Calon mahasiswa harus bisa merespon pertanyaan-
pertanyaan mereka dengan jawaban-jawaban yang jelas, fokus, dan
argumentatif. Bagaimana agar bisa menjawab pertanyaan-pertanyaan
tersebut dengan baik? Satu-satunya jalan adalah dengan benar-benar
memahami area penelitiannya dengan baik pula, dan seperti yang telah
dijelaskan sebelumnya, hal ini memerlukan persiapan tersendiri dan
waktu yang cukup.

Yang juga perlu diperhatikan adalah bahwa para penguji adalah orang-
orang yang pernah mengalami proses belajar pada jenjang S3. Artinya,
meskipun secara keilmuan bidang mereka berbeda, tetapi mereka
memiliki “sense” untuk mendeteksi apakah calon mahasiswa memiliki
kesiapan dalam menempuh program S3. Ibaratnya seorang sopir yang
berpengalaman, dia bisa meng-assess kemampuan seorang sopir baru
dengan memperhatikan bagaimana si sopir baru mengemudikan mobil.
Jadi jangan menyepelekan tentang kemampuan mereka.

~ 52 ~
4 Manajemen Studi S3

Studi S3 adalah sebuah proses panjang yang kompleks. Sepintas


kelihatannya sederhana karena tahapannya dapat diidentifikasi dengan
mudah, tetapi kenyataan yang sebenarnya tidaklah sesederhana
gambaran tersebut. Seperti telah dijelaskan sebelumnya, studi S3 terdiri
dari beberapa proses yang saling terkait, melibatkan beberapa pihak, dan
mengandung ketidakpastian yang cukup tinggi. Agar dapat memberikan
hasil maksimal, maka proses studi S3 perlu dikelola dengan baik.

Bagaimana seorang mahasiswa S3 dapat mengelola studinya dengan


baik? Memang masing-masing orang bisa saja memiliki cara sendiri-
sendiri sesuai dengan seleranya, tetapi pendekatan yang sistematis
diprediksi dapat meningkatkan probabilitas keberhasilan studi. Seperti
apakah pendekatan yang sistematis untuk mengelola studi S3? Cara yang
paling sederhana adalah dengan menganggap studi S3 sebagai sebuah
proyek. Ya, kalau diperhatikan, studi S3 memiliki ciri yang mirip dengan
sebuah proyek. Sebagai contoh, studi S3 selalu jelas kapan mulai dan
berakhirnya. Studi S3 juga punya tujuan dan sasaran, memiliki
stakeholders dengan kepentingannya masing-masing, dan memerlukan
sumber daya (resources) untuk dapat menjalankannya dengan baik.

Seperti halnya mengelola proyek, mengelola studi S3 juga melibatkan


unsur seni, selain tentu saja unsur ilmiah. Unsur seni terutama terkait
dengan penanganan dan penyikapan terhadap berbagai ketidakpastian.
Tidak ada aturan baku untuk menghadapi hasil eksperimen, hasil review
makalah, emosi pembimbing, atau mood mahasiswa sendiri yang serba
tidak pasti. Untuk menghasilkan outcome yang positif diperlukan
kematangan pribadi, kemampuan berkomunikasi, motivasi yang kuat,
dan berbagai soft skills lainnya, semuanya ini harus dikelola dengan baik.

Manajemen studi S3, seperti halnya manajemen proyek, berusaha


menerapkan prinsip-prinsip dan teknik-teknik yang sudah terbukti

~ 53 ~
(proven) dalam merencanakan, mengeksekusi, memonitor dan
mengevaluasi, serta mengakhiri proses studi. Pendekatan ilmiah dan
sistematis diharapkan dapat meminimalkan ekses-ekses negatif yang
mungkin muncul selama studi berjalan. Pengelolaan studi yang baik pada
akhirnya dapat menjaga semua kegiatan studi tetap berjalan di relnya.

Tahapan Studi S3
Sebelum membahas tentang manajemen studi S3, perlu dipahami dulu
tahap-tahap yang harus dijalani selama proses studi. Tiap tahap
menunjukkan fase yang memiliki fokus tertentu. Yang juga perlu
dipahami adalah tahapan studi S3 di satu perguruan tinggi tidak selalu
sama dengan tahapan di perguruan tinggi lainnya, tergantung pada
“sistem” yang dianut. Sistem di Amerika misalnya, cenderung lebih
terstruktur dalam arti tiap fase harus dijalankan secara ketat. Di
Indonesia yang juga menerapkan sistem Amerika, keketatan struktural
tersebut bermanifestasi dalam bentuk antara lain kewajiban untuk
menempuh beberapa matakuliah dan melewati ujian komprehensif. Di
sisi lain, sistem Commonwealth cenderung lebih “longgar” dalam arti
batas-batas tiap fase terkadang tidak terlihat jelas. Di Australia misalnya,
masa studi 3 tahun biasanya tidak dibagi secara tegas dalam fase-fase.
Tidak ada kuliah, tidak ada ujian komprehensif.

Meskipun demikian, ditinjau dari aspek proses, esensi penahapan dari


sistem-sistem tersebut sebenarnya sama, yaitu:

1. Inisiasi/persiapan riset
2. Eksekusi/pelaksanaan riset
3. Penyelesaian (closing)

Gambar 4-1 menunjukkan urutan prosesnya, dikaitkan dengan kerangka


waktu. Gambar ini menggunakan sistem yang umum digunakan di
Indonesia, dan ke dalamnya ditambahkan pula tahap ke-0 yaitu
persiapan studi untuk menjelaskan bahwa ada kegiatan-kegiatan studi

~ 54 ~
yang bisa dimulai sebelum status formal sebagai mahasiswa S3
diperoleh.

Mulai periode

Selesai studi
Mulai studi

kandidatur

Finalisasi
Waktu
Persiapan Persiapan Pelaksanaan Penyelesaian
studi riset riset studi

Penyusunan
proposal
Perkuliahan

Ujian
komprehensif
Riset

Publikasi (Jurnal & Seminar)

Penulisan
disertasi
Ujian akhir

Gambar 4-1. Tahapan studi S3

Penyusunan Proposal Riset. Kegiatan ini sebaiknya dimulai sebelum


calon mahasiswa resmi diterima menjadi mahasiswa S3. Tujuannya selain
sebagai persiapan dalam menghadapi seleksi juga untuk menghemat
waktu studi. Dengan requirement seperti yang dijelaskan di Bab 3,
penyusunan proposal riset adalah kegiatan yang tidak mudah dilakukan
oleh calon mahasiswa, bahkan sering kali menjadi sumber kemacetan,
sehingga mestinya perlu dialokasikan waktu yang cukup.

Idealnya proposal yang awalnya disusun sebagai persyaratan melamar


sekolah disempurnakan setelah calon mahasiswa diterima.
Penyempurnaan proposal riset ini tentu saja dilakukan di bawah
bimbingan pembimbing (supervisor). Selesainya proposal ini
menandakan mahasiswa telah siap untuk menjalankan risetnya.

~ 55 ~
Fenomena seperti ini biasanya disebabkan karena
kesalahan berlogika, terutama dalam mengambil
kesimpulan. Seharusnya problem ini tidak sulit untuk
dikoreksi melalui verifikasi-verifikasi seperlunya.

4. Pengakuan terhadap riset-riset sebelumnya. Riset berasal dari kata


“research”. Awalan “re-“ menunjukkan adanya sesuatu yang
mendahului aktivitas yang sedang dijalankan. Apa yang sedang
dikerjakan saat ini selalu berbasis pada hal-hal yang telah dikerjakan
sebelumnya. Temuan yang diperoleh dari sebuah riset tidak bisa
dilepaskan dari temuan atau hasil riset-riset sebelumnya. Riset satu
dengan riset berikutnya membangun satu rangkaian proses
penemuan (discovery), pembuktian (proof), atau perbaikan
(improvement) yang tidak pernah berhenti.

Riset-riset yang berkesinambungan juga menghubungkan peneliti-


peneliti yang terlibat. Mereka saling terhubung melalui ide, konsep,
dan pendapat yang tertuang melalui publikasi-publikasi ilmiah
sebagai sarana artikulasi hasil risetnya. Dalam sebuah tulisan ilmiah,
keterkaitan ini diwujudkan dalam bentuk sitasi (citation) terhadap
pendapat, temuan, atau karya peneliti sebelumnya. Sebuah sitasi
dapat dianggap sebagai “kait” yang menghubungkan sebuah riset
dengan riset-riset lainnya.

Mahasiswa S3 harus paham tentang tatanan tersebut di atas saat


menulis makalah ilmiah atau naskah disertasinya. Mencantumkan
referensi-referensi dari publikasi lain dan melakukan sitasi secara
tepat bukan hanya sekedar kebiasaan atau tradisi ilmiah saja, tetapi
ada fungsi mendasar yang lebih penting: menempatkan riset yang
dilakukan mahasiswa pada rantai perkembangan ilmu pengetahuan
dan teknologi. Pentingnya fungsi ini disadari benar oleh masyarakat
ilmiah, sehingga melakukan sitasi secara tepat dianggap sebagai
sebuah kewajiban yang bersifat mutlak. Pandangan yang
berkembang adalah, jika seorang penulis tidak melakukan sitasi
yang diperlukan, dia dianggap membuat klaim dengan mengabaikan

~ 104 ~
riset-riset terdahulu. Ini adalah hal yang tabu dalam dunia ilmiah.
Dalam tataran operasional, hal ini diwujudkan dalam konsep
plagiarisme.

Plagiarisme pada bentuknya yang paling kasar adalah jiplakan atau


contekan terhadap seluruh atau sebagian tulisan yang dilakukan
dengan tidak menampilkan sumber-sumber yang otoritatif. Seorang
plagiat sering disalahkan atas dasar etika ilmiah terkait dengan klaim
yang tidak pada tempatnya dan tidak adanya pengakuan terhadap
hasil karya peneliti terdahulu, tetapi sebenarnya dosa besarnya
adalah dia mengabaikan peluang-peluang untuk mengaitkan
risetnya dengan riset-riset sebelumnya. Mengapa disebut dosa
besar? Karena dengan tindakannya tersebut masyarakat ilmiah
kehilangan kesempatan untuk menyambung mata rantai riset yang
bertujuan memajukan ilmu pengetahuan dan teknologi.

Menulis karya ilmiah itu sebenarnya tidak sulit. Memang bagi yang belum
pernah melakukannya akan terlihat seperti sebuah tugas yang amat
sangat sulit, tetapi sebenarnya tidak. Sama seperti belajar melakukan
sesuatu yang baru, kunci keberhasilannya adalah pada kesediaan dan
kesungguhan dalam mencoba melakukannya secara berulang-ulang.

Belajar menulis ilmiah dapat diakselerasi dengan mengamati tulisan-


tulisan ilmiah yang sudah dimuat dalam media publikasi yang
terpandang. Pengamatan utamanya dilakukan pada tiga hal: struktur,
alur, dan isi (contents). Dengan mengamati komponen-komponen
(bagian-bagian) dalam sebuah tulisan, alur penyusunannya, dan fokus
substansi pada tiap bagian, mahasiswa diharapkan dapat
mengidentifikasi “pola-pola” (patterns) khas yang muncul dalam setiap
tulisan ilmiah. Langkah selanjutnya adalah mencoba menulis karya
sendiri dengan menggunakan pola-pola tersebut dan mengirimkannya
pada media publikasi.

Jika mahasiswa masih belum terlalu yakin dengan kemampuan


menulisnya, kirimkan naskah karya ilmiah ke seminar-seminar nasional

~ 105 ~
atau internasional yang memiliki tingkat penerimaan (acceptance rate)
tidak terlalu tinggi tapi tetap yang menggunakan sistem peer review.
Pemilihan seminar yang menerapkan pemeriksaan sejawat ini penting
untuk memastikan makalah yang dikirimkan akan diperiksa dulu dan
mendapatkan masukan untuk perbaikannya. Jika berhasil diterima, maka
ada pengakuan bahwa makalah tersebut layak untuk dipresentasikan
dalam seminar dan dimasukkan ke dalam prosiding seminar. Pengakuan
ini penting bagi mahasiswa karena dapat meningkatkan kepercayaan diri
dalam menulis ilmiah. Meskipun demikian, janganlah berhenti sampai di
forum seminar. Tetaplah menulis dan usahakan untuk dapat diterima di
jurnal-jurnal internasional yang terpandang, karena pengakuan akan
didapatkan dari lingkup yang lebih luas dan tinggi (dari para ahli di
bidangnya).

Publikasi
Banyak program S3, terutama di perguruan-perguruan tinggi terpandang
di luar negeri, yang menganggap publikasi sebagai salah satu syarat untuk
lulus. Ada yang mensyaratkan publikasi di jurnal, ada pula yang cukup di
seminar internasional. Di departemen saya misalnya, untuk dapat lulus
program doktor, mahasiswa diwajibkan memiliki publikasi minimal 2
jurnal internasional atau 1 jurnal internasional dan 2 seminar
internasional. Persyaratan ini sering menjadi beban bagi mahasiswa
(terutama publikasi di jurnal internasional), karena memang tidak mudah
bagi sebuah tulisan ilmiah untuk dapat diterima di sebuah jurnal atau
seminar internasional. Mahasiswa perlu mengembangkan strategi yang
efektif sehingga tulisan-tulisan ilmiahnya dapat diterbitkan di media
ilmiah yang relevan sehingga persyaratan kelulusannya dapat dipenuhi.

Kapan Saatnya Menulis Artikel Ilmiah?


Tulisan ilmiah adalah sarana atau media bagi seorang peneliti untuk
menyampaikan ke khalayak di bidang penelitiannya tentang ide,
pemikiran, atau hasil-hasil dan capaian yang diperoleh dalam riset yang

~ 106 ~
dijalankannya. Tujuan publikasi adalah agar peneliti lain menjadi tahu,
mengerti, dan pada akhirnya dapat memanfaatkan ide, pemikiran atau
hasil-hasil tersebut untuk membangun riset-riset selanjutnya. Publikasi
adalah blok pembangun yang menjadi platform atau pondasi bagi riset-
riset berikutnya. Dengan cara inilah bangunan ilmu pengetahuan
didirikan dan kemajuan-kemajuan dibentuk.

Dengan cara pandang seperti di atas, maka sebuah tulisan ilmiah yang
akan dipublikasikan mesti mengandung kontribusi yang bermakna, yang
dapat digunakan sebagai “batu pijakan” untuk melangkah ke tahap
berikutnya. Dari mana kontribusi ini berasal? Tentu saja dari ide,
pemikiran, atau hasil-hasil yang dicapai dalam riset yang dilakukan oleh
peneliti. Dengan demikian, sebuah tulisan ilmiah barulah bisa muncul jika
peneliti sudah memiliki ide, pemikiran, atau hasil dari risetnya.

Beberapa kali saya menjumpai mahasiswa yang sangat getol untuk


publikasi, tetapi materi yang ingin dipublikasikan menurut saya masih
kurang signifikan. Ada yang sebatas baru memiliki ide dan rancangan
penelitian, atau sudah memiliki hasil penelitian tetapi masih sangat
mentah dan belum dianalisis, tetapi sudah ingin menuliskannya di jurnal
internasional. Sebagian dari mahasiswa tersebut tergesa ingin menulis
karena terdesak oleh waktu. Mereka harus segera memenuhi
persyaratan publikasi untuk mengejar tenggat waktu studi. Hampir dapat
dipastikan bahwa mereka ini adalah mahasiswa yang jadwal studinya
“tidak ideal” dan aktivitas-aktivitasnya cenderung menumpuk di akhir
masa studi.

Kesuksesan publikasi pada akhirnya berawal pada penjadwalan studi


seperti yang sudah dijelaskan pada Bab IV dan bagaimana mahasiswa
berdisiplin dalam menjaga jadwal yang sudah ditetapkan. Melihat
kembali ke Gambar 4-1, dengan disiplin jadwal yang baik, sebenarnya
publikasi sudah bisa dimulai pada semester III. Asumsinya, saat diterima
program S3 mahasiswa sudah lumayan matang tentang proposal
risetnya, sehingga tidak perlu waktu lama untuk menetapkannya dan
kemudian memulai risetnya. Hasil-hasil awal mungkin sudah bisa

~ 107 ~
diperoleh pada akhir semester II atau awal semester III, dan inilah yang
kemudian digunakan sebagai bahan tulisan untuk dipublikasikan.

Setelah hasil-hasil riset mulai diperoleh dan bisa dianalisis untuk


merumuskan temuan-temuan riset (research findings), ini saatnya
menyusun tulisan ilmiah. Jangan menunda-nunda, karena dalam dunia
riset berlaku prinsip siapa yang pertama kali memublikasikan tulisannya,
dialah yang diakui sebagai “pemilik” atau “pencetus pertama” dari
substansi yang ditulisnya. Bagi seorang mahasiswa S3, prinsip ini penting
sekali untuk menentukan kebaruan dari riset yang dilakukannya. Jika
misalnya ada 2 mahasiswa yang memiliki topik penelitian yang sama
(kadang-kadang hal ini terjadi juga meskipun jarang), yang akan diakui
kebaruannya adalah yang pertama kali menuliskannya dalam media
publikasi.

Memilih Media Publikasi


Bagi mahasiswa yang belum pernah mempublikasikan tulisan ilmiahnya,
kali pertama pastilah membingungkan. Kebingungan ini pada dasarnya
muncul karena mahasiswa tidak punya informasi tentang media publikasi
yang tepat. Ada banyak sekali jurnal dan seminar (internasional, regional,
maupun nasional) yang dapat menampung tulisannya.

Seperti halnya menentukan pilihan pada berbagai aspek kehidupan


lainnya, pedoman umum yang bisa digunakan adalah optimalisasi nilai
(value) vs biaya atau konsekuensi (cost). Tabel 6-1 menunjukkan
beberapa aspek nilai dan biaya/konsekuensi untuk tulisan ilmiah. Kalau
ingin memaksimalkan aspek nilai, pasti ada komponen
biaya/konsekuensi yang harus disiapkan. Sebaliknya, kalau memberati
aspek biaya/konsekuensi, pasti unsur nilainya tidak bisa maksimal. Jadi
panduan umumnya adalah: pilihlah media publikasi yang memberikan
rasio paling baik.

~ 108 ~
Tabel 6-1. Nilai vs biaya/konsekuensi

Nilai Biaya/Konsekuensi
Kualitas media publikasi Biaya publikasi, lama waktu
(misal: konsep quartile Q1, dari submisi sampai dengan
Q2, Q3, atau Q4) penerbitan
Rekognisi oleh masyarakat Tingkat penolakan (rejection
ilmiah rate)
Umpan balik (feedback) Tambahan waktu untuk
dalam bentuk review menanggapi umpan balik

Yang perlu dipahami mahasiswa S3 adalah bahwa publikasi ilmiah


sekarang sudah menjadi ladang bisnis baru. Tuntutan bagi dosen,
mahasiswa, dan peneliti untuk mempublikasikan karya-karya ilmiahnya
semakin tinggi, dan pada akhirnya mengundang pihak-pihak yang ingin
mengambil kesempatan. Mereka menerbitkan jurnal-jurnal atau
menyelenggarakan seminar-seminar ilmiah dengan cara-cara yang tidak
mengikuti kaidah-kaidah ilmiah yang baku, yang penting mereka
mendapatkan uang dari para penulis yang memang memerlukan media
publikasi. Ciri-ciri praktek yang tidak baik ini misalnya dengan
menjanjikan bahwa tulisan ilmiah yang dikirimkan ke jurnal mereka PASTI
akan dimuat, atau proses review yang hanya memerlukan waktu
beberapa hari saja, tentu saja semua ini dengan imbalan biaya yang
cukup besar.

Mahasiswa dapat memanfaatkan inisiatif yang mendaftar jurnal abal-


abal seperti yang dilakukan oleh Jeffrey Beall atau upaya yang lebih
sistematis dan komprehensif oleh Cabells3. Meskipun inisiatif Jeffery
Beall telah dihentikan, tetapi snapshot versi terakhir telah
didokumentasikan dan diunggah di web4. Tidak dipungkiri inisiatif oleh
Beall ini banyak memicu pro dan kontra, tetapi paling tidak daftar yang

3
https://www2.cabells.com/get-quote
4
https://beallslist.net/

~ 109 ~
yang dilakukan terhadap faktor-faktor resiko secara kontinyu selama
studi.

Perencanaan Studi
Ada satu pepatah barat yang mengatakan: “failure to plan means
planning to fail”. Ketidakmampuan dalam merencanakan sesuatu dengan
baik sama saja dengan merencanakan kegagalan. Perencanaan bertujuan
membangun jalur yang akan ditempuh dalam perjalanan menuju
pencapaian tujuan. Perencanaan mengidentifikasi kegiatan-kegiatan apa
saja yang akan dilakukan dan menyiapkan kebutuhan-kebutuhan yang
terkait dengannya. Ciri khas perencanaan adalah sifat antisipatifnya.
Antisipasi diperlukan karena yang dibicarakan adalah hal-hal yang akan
terjadi pada masa yang akan datang, yang kondisinya diwarnai dengan
ketidakpastian.

Studi S3 didominasi dengan pelaksanaan riset. Riset adalah sebuah upaya


menjawab pertanyaan dan/atau menyelesaikan permasalahan secara
ilmiah. Secara mudahnya, proses riset selalu diawali oleh perumusan
(formulasi) persoalan yang dihadapi, kemudian dilanjutkan dengan
eksperimen dan analisis yang diperlukan, dan diakhiri dengan sintesis
dan rumusan solusi atau jawaban persoalan. Tiap tahapan memiliki ciri
problemnya masing-masing. Tahapan formulasi masalah sangat diwarnai
oleh proses eksplorasi intelektual. Proses ini sepenuhnya tergantung
pada mahasiswa yang bersangkutan, tidak banyak faktor-faktor eksternal
yang terlibat. Sebaliknya tahapan eksperimen bisa saja sangat
dipengaruhi oleh banyak faktor di luar mahasiswa. Tahapan terakhir
mirip dengan tahapan awal. Sintesis adalah proses intelektual, sehingga
kendali lebih banyak dipegang oleh mahasiswa yang bersangkutan.

Ada beberapa hal yang memunculkan ketidakpastian di dalam riset, salah


satunya terkait dengan sumber daya (resource) yang digunakan. Sumber
daya di sini sifatnya umum, mulai dari pendanaan, peralatan, sampai
unsur manusia. Kepastian bisa dicapai bila sebuah sumber daya bisa

~ 60 ~
diakses atau digunakan dengan semestinya pada saat ia diperlukan. Hal
ini menjadi krusial saat sumber daya yang diperlukan tersedia atau bisa
diakses secara terbatas, atau jika kebutuhan itu muncul dengan
kekangan yang ketat (misalnya, harus dilakukan pada saat yang sudah
direncanakan dan tidak bisa diulang lagi). Bayangkan saja misalnya
sebuah eksperimen yang penting gagal hanya karena alat yang
diperlukan tidak tersedia pada saat dibutuhkan.

Pemakaian sumber daya selalu terkait dengan kegiatan. Sebagai contoh,


penggunaan peralatan dikaitkan dengan eksperimen, akses ke ahli
(expert) diperlukan saat berkonsultasi, atau dana untuk publikasi
diperlukan saat harus mengirimkan makalah ke jurnal atau seminar.
Untuk merencanakan alokasi sumber daya dengan baik, mahasiswa perlu
mengidentifikasi kegiatan-kegiatan dalam studinya dulu. Persoalannya
adalah bahwa ada banyak kegiatan selama mahasiswa menempuh
program S3. Mahasiswa sering merasa kesulitan untuk
mengidentifikasinya secara akurat.

Cara yang mudah untuk mengidentifikasi kegiatan adalah dengan teknik


Work Breakdown Structure (WBS). WBS bekerja dengan menguraikan
(dekomposisi) sebuah proses besar menjadi sub-sub proses yang lebih
sederhana, dan pada akhirnya mendapatkan serangkaian kegiatan yang
bisa dieksekusi secara nyata. Proses dekomposisi dimulai dari proses
studi secara keseluruhan. Pada abstraksi yang paling tinggi ini,
dekomposisi dilakukan dengan cara mengidentifikasi komponen-
komponen aktivitas penting dalam studi S3.

Berangkat dari Gambar 4-1 yang menjelaskan tahapan-tahapan studi S3


secara umum, aktivitas-aktivitas yang lebih rinci dapat diturunkan
melalui teknik dekomposisi. Contoh hasil dekomposisi ditunjukkan pada
Gambar 4-2.

Item-item yang berada di ujung adalah kegiatan-kegiatan yang bersifat


executable. Ciri-cirinya adalah benar-benar bisa dikerjakan secara nyata
pada suatu kurun waktu tertentu, dan untuk menjalankannya diperlukan

~ 61 ~
sumber daya. Tentu saja kegiatan-kegiatan untuk masing-masing
mahasiswa bisa berbeda, tergantung pada banyak hal.

Yang penting dalam proses dekomposisi ini adalah identifikasi kegiatan


seakurat mungkin, utamanya pada tahapan pelaksanaan riset.
Mahasiswa harus memahami benar langkah-langkah yang harus
dikerjakannya selama riset, misalnya eksperimen-eksperimen yang harus
dilakukan. Ketepatan identifikasi ini penting karena tiap kegiatan
berimplikasi pada kebutuhan sumber daya. Terlewatnya sebuah kegiatan
pada saat perencanaan bisa berakibat tidak tersedianya sumber daya
pada saat dibutuhkan. Hal ini tentu saja akan berpengaruh pada
kelancaran studi mahasiswa.

~ 62 ~
Gambar 4-2. Kegiatan-kegiatan studi S3 hasil proses dekomposisi

Setelah kegiatan-kegiatan selama studi berhasil diidentifikasi, maka


langkah selanjutnya adalah membuat rencana penjadwalan untuk
kegiatan-kegiatan tersebut. Tujuan penjadwalan adalah untuk
memberikan gambaran tentang ketersediaan waktu untuk melaksanakan
tiap kegiatan, dan juga keterkaitan antara kegiatan satu dengan lainnya.
Yang terakhir ini penting diketahui karena ada kegiatan-kegiatan yang
memiliki hubungan kausalitas: sebuah kegiatan tidak mungkin dijalankan
sebelum kegiatan pendahulunya diselesaikan.

Dalam merencanakan penjadwalan, penggunaan tool seperti diagram


Gantt akan sangat membantu. Gambar 4-3 menunjukkan contoh

~ 63 ~
besar. Apapun rencana cadangannya, pastikan bahwa ini masuk ke dalam
manajemen riset S3, seperti yang dibicarakan pada Bab IV.

Menulis Disertasi
Disertasi adalah puncak karya seorang mahasiswa S3. Naskah ini
menjelaskan tentang semua yang dilakukan dalam masa studinya:
persoalan yang dihadapi, ide, pemikiran, caranya melakukan riset, hasil
yang diperoleh, analisis yang dilakukan, dan kesimpulan-kesimpulan
yang muncul dari semua itu. Dari naskah inilah kualitas keilmuan si
penulisnya tercermin. Dari naskah ini akan terlihat apakah penulisnya
pantas menyandang gelar doktor atau tidak.

Gambar 6-1 menunjukkan struktur umum sebuah tulisan ilmiah. Sebagai


sebuah tulisan ilmiah, disertasi juga memiliki struktur dasar seperti pada
Gambar 6-1, meskipun wujudnya bisa berbeda-beda. Memahaminya
merupakan kunci untuk dapat menulis naskah disertasi yang jelas, dapat
dipahami dengan mudah, dan betul-betul menunjukkan nilai (value) dari
hasil studi S3.

Gambar 6-1. Struktur umum tulisan ilmiah (termasuk disertasi)

~ 114 ~
Pendahuluan. Setelah Abstrak, bagian ini adalah bagian yang pertama
kali dibaca. Tujuannya adalah untuk memberikan pengantar yang cukup
bagi pembaca yang mungkin saja tidak menekuni bidang keilmuan yang
sama dengan mahasiswa. Dengan menjelaskan latar belakang, domain
problem yang diangkat dalam riset, tujuan penelitian, dan hasil yang
ingin dicapai, bagian ini berperan penting dalam memberikan penjelasan
awal tentang apa yang dilakukan dalam riset mahasiswa S3 dan mengapa
riset tersebut signifikan/penting dalam bidang keilmuan yang
didalaminya.

Karena misi bagian Pendahuluan adalah untuk memberikan pengantar


dan membangun pemahaman awal, maka kejelasan dan sistematika
penulisan serta argumentasi tentang signifikansi problem yang diangkat
menjadi penting. Pengantar harus disampaikan secara gentle untuk
menghindari gap pemahaman. Hal ini bisa dibangun dengan cara
memulai dari penjelasan tentang hal-hal yang bersifat umum, lalu secara
bertahap fokusnya dipersempit ke area penelitian. Bagian Pendahuluan
diakhiri dengan rumusan permasalahan dan tujuan penelitian. Hal-hal
lain setelah itu, misalkan cara-cara menjalankan penelitian atau teknik-
teknik yang digunakan, tidak dijelaskan pada bagian Pendahuluan.

Dasar Teori dan Tinjauan Pustaka. Melakukan penelitian untuk


menyelesaikan problem atau menjawab pertanyaan penelitian tentulah
harus didasarkan pada konsep atau teori yang berlaku. Inilah fungsi dari
bagian Dasar Teori: menjelaskan tentang teori-teori yang relevan dan
digunakan dalam penelitian.

Menurut pengalaman saya, mahasiswa sering tergoda untuk


memasukkan sebanyak mungkin teori ke dalam bagian ini. Kata mereka,
ini strategi untuk membuat naskah disertasinya menjadi tebal.
Sayangnya kualitas disertasi tidak ditentukan oleh tebal tipisnya, tapi
oleh isinya. Cukup masukkan teori-teori yang relevan, dan itupun perlu
dijelaskan bagaimana relevansinya terhadap problem yang dihadapi.
Teori-teori yang sudah sangat umum dan diketahui semua orang tidak
perlu dicantumkan.

~ 115 ~
Setiap riset, dalam bidang apapun, tidak bisa berdiri sendiri. Ia akan
selalu dipengaruhi oleh riset-riset yang dilakukan oleh peneliti lain.
Bagian Tinjauan Pustaka meng-acknowledge pengaruh dan relevansi
riset-riset tersebut. Penjelasan tentang riset-riset lain dan relevansinya
terhadap riset mahasiswa pada akhirnya akan membentuk landscape
penelitian yang utuh: apa saja problem yang dihadapi dalam area yang
diteliti, apa saja yang sudah dikerjakan orang lain, bagaimana hasilnya
dan sejauh apa problem-problem tersebut berhasil diselesaikan,
problem apa saja yang masih belum tuntas, dan problem baru apa yang
muncul. Dari Tinjauan Pustaka juga akan terlihat posisi relatif dari riset
yang dilakukan mahasiswa, seberapa berbeda riset ini dibandingkan
riset-riset lainnya, dan seberapa signifikan potensi kontribusi yang
dihasilkannya.

Dengan demikian peran dan fungsi bagian Tinjauan Pustaka sangatlah


strategis: bagian inilah yang akan meyakinkan pembaca terhadap
kontribusi yang dihasilkan dari riset mahasiswa. Untuk itu, bagian ini
harus dituliskan dengan baik dan secara jelas menunjukkan kontribusi
ilmiah yang diharapkan. Teknik compare-and-contrast bisa digunakan
untuk membandingkan riset yang dikerjakan dengan riset-riset
sebelumnya. Perbandingan bisa dilakukan terhadap metode, teknik,
maupun hasil, yang semuanya intinya adalah untuk meyakinkan bahwa
riset yang dijalankan mengandung potensi munculnya kebaruan-
kebaruan yang belum pernah dihasilkan oleh riset-riset sebelumnya.

Yang kadang dilupakan mahasiswa adalah bahwa Tinjauan Pustaka


bukanlah sekedar tempelan deskripsi tentang riset-riset terdahulu.
Tinjauan Pustaka itu adalah bagian dari disertasi, dan disertasi itu ditulis
oleh mahasiswa, artinya menjadi milik mahasiswa. Tugas mahasiswalah
untuk membentuk Tinjauan Pustaka menjadi tulisan yang mencirikan
kepemilikan tersebut. Artinya, Tinjauan Pustaka harus ditulis dengan
perspektif mahasiswa. Di dalamnya ada “cerita” yang secara khusus
disusun untuk menjelaskan landscape riset mahasiswa dan kontribusi
yang diharapkan.

~ 116 ~
Ada banyak cara menyusun “cerita” dalam Tinjauan Pustaka, tetapi cara
favorit saya adalah dengan metode iterasi. Dimulai dari penjelasan
tentang area penelitian secara umum, Tinjauan Pustaka mengidentifikasi
isu-isu besar yang muncul. Selanjutnya, uraian berjalan menuju ke aspek-
aspek yang lebih spesifik terkait dengan fokus riset, lalu dibahas isu-isu
spesifik dalam lingkup tersebut. Begitu seterusnya. Jadi ada “alur cerita”
yang terbentuk dalam Tinjauan Pustaka, dan dalam “alur cerita” inilah
berbagai referensi terhadap riset-riset sebelumnya dimasukkan.

Untuk memudahkan menyusun “cerita” dalam Tinjauan Pustaka, buatlah


semacam struktur seperti “daftar isi” dari sebuah buku. Struktur ini
mencerminkan alur seperti di atas, yang mengalir dari lingkup umum ke
lingkup spesifik. Setelah struktur ini matang, barulah disusun kontennya.

Sekali lagi perlu diingat bahwa menuliskan konten Tinjauan Pustaka


bukanlah sekedar copy-paste dari jurnal atau prosiding lain, tetapi harus
disertai dengan critical review terhadap berbagai referensi tersebut.
Critical review atau analisis inilah yang akan mengatur potongan-
potongan referensi tersebut menjadi landscape yang jelas. Tanpa ada
critical review, Tinjauan Pustaka hanya akan menjadi rangkaian tempelan
referensi yang membosankan dan tidak mengandung nilai apapun.

Metodologi. Setiap riset yang dipublikasikan haruslah siap untuk diuji


dan diverifikasi oleh peneliti lain. Untuk memfasilitasinya, peneliti lain
perlu memahami bagaimana riset ini dijalankan, dan ini dijelaskan dalam
bagian Metodologi. Secara umum, bagian ini mendeskripsikan kerangka
kerja, model, metode, teknik, algoritma, langkah-langkah eksperimen,
cara menganalisis, dan peralatan serta bahan yang digunakan dalam
riset. Sebagai courtesy bagi peneliti lain yang ingin menelusuri,
memahami, dan merekonstruksi riset yang dilakukan, deskripsi dalam
bagian Metodologi harus lengkap dan rinci. Intinya, peneliti yang
berminat memverifikasi dengan cara menjalankan kembali eksperimen
dan analisisnya cukup membaca bagian Metodologi ini untuk dapat
merealisasikan keinginannya tersebut.

~ 117 ~
spesifik tempat munculnya resiko-resiko tertentu. Prakiraan bertujuan
mengidentifikas kemungkinan (probabilitas) munculnya resiko di area
tersebut. Tentu saja tidak mungkin untuk melakukan identifikasi
terhadap semua potensi resiko, tetapi paling tidak resiko-resiko dengan
probabilitas kemunculan yang cukup tinggi bisa teridentifikasi.

Identifikasi resiko dilakukan dengan mempertimbangkan faktor-faktor


pengetahuan tentang resiko, pengalaman terkait resiko (tidak harus
dialami sendiri, bisa juga pengalaman orang lain), dan informasi yang
diterima terkait area resiko yang sedang diidentifikasi. Sebagai contoh,
pembimbing adalah salah satu area yang paling banyak memunculkan
resiko. Banyak hal yang bisa terjadi terkait dengan pembimbing. Dulu
saat studi S2 saya pernah ditinggal pergi oleh pembimbing saya karena
beliau pindah ke universitas lain, sehingga saat saya masuk ke program
S3 dan dibimbing beliau kembali, berdasarkan pengalaman sebelumnya,
saya memasukkan unsur “ditinggal pergi pembimbing” sebagai salah satu
resiko yang harus saya perhitungkan (dan memang benar, 6 bulan setelah
saya masuk, beliau pindah ke universitas lain lagi!).

Perlu disadari proses identifikasi dan prakiraan resiko sangat bersifat


subyektif dan mengandung unsur seni terkait ketidakpastian yang
dihadapi. Tidak setiap keputusan identifikasi dapat dijelaskan secara
nalar, karena kadang-kadang intuisi juga bermain. Persoalan yang sering
muncul adalah: seberapa jauh identifikasi resiko harus dilakukan?
Eksplorasi yang terlalu jauh tidak hanya menghasilkan banyak sekali
resiko, tapi juga resiko-resiko yang “mengada-ada”. Sebaliknya jika
eksplorasi dilakukan terlalu dangkal, bisa jadi resiko yang sebenarnya
berpotensi muncul akan terlewat dari perhitungan.

Tidak ada aturan yang pasti tentang kapan harus berhenti


mengidentifikasi resiko, tapi prinsip Pareto (aturan 80-20) bisa dijadikan
pedoman yang realistis. Prinsip Pareto mengatakan bahwa pada banyak
kejadian, 80% efek yang muncul disebabkan oleh 20% penyebabnya.
Hukum Pareto ini mengajarkan cara yang pragmatis, bahwa untuk
banyak kasus yang bersifat non-deterministik, cukuplah untuk

~ 67 ~
memperhitungkan 20% faktor-faktor yang paling dominan saja, karena
yang 20% ini berpengaruh menimbulkan 80% dari total efek yang bisa
terjadi.

Jadi cukuplah bila mahasiswa mengidentifikasi faktor-faktor yang bersifat


umum saja. Berangkat dari Gambar 4-4 dan pengetahuan/informasi serta
pengalaman yang dimiliki, identifikasilah faktor-faktor pemicu yang
sekiranya (likely) dapat muncul. Jika dari cerita teman-teman terungkap
bahwa beasiswa sering terlambat dikirim, masukkan faktor ini sebagai
resiko. Jika menurut pengalaman berinteraksi dengan beberapa profesor
dari sebuah negara kemudian muncul stereotype bahwa profesor-
profesor dari negara itu terkenal banyak tuntutan, perhitungkan juga
faktor ini. Jika mahasiswa tahu bahwa istrinya tidak mudah
menyesuaikan diri dengan budaya baru, sementara ia berniat
membawanya ke luar negeri untuk menemani, perhatikan resiko-resiko
yang mungkin muncul. Bahwa jika kemudian faktor-faktor tersebut tidak
muncul, tidaklah menjadi soal. Yang menjadi persoalan besar adalah jika
mahasiswa tidak memperhitungkan sebuah resiko, dan pada saatnya
ternyata resiko tersebut benar-benar terjadi, dan mahasiswa tidak siap
menghadapinya.

Setelah resiko-resiko teridentifikasi secara cukup realistis, langkah


berikutnya adalah memperkirakan seberapa serius dampak yang
ditimbulkannya. Resiko dengan dampak besar perlu mendapatkan
perhatian yang lebih besar pula. Perkiraan dampak merupakan hasil
penilaian terhadap kemampuan diri dalam menghadapi kejadian resiko
yang dimaksudkan. Hal ini sangat ditentukan oleh faktor-faktor internal
(persistensi, daya tahan terhadap tekanan, penyikapan terhadap
permasalahan yang dihadapi, cara kerja dalam menyelesaikan masalah)
maupun eksternal (dukungan dari pihak lain, ketersediaan sumber daya).
Tingginya unsur subyektivitas membuat hasil analisis resiko antara satu
orang dengan orang lain bisa berbeda.

~ 68 ~
Penanganan Resiko
Jika aspek dampak resiko dan probabilitas atau frekuensi kemunculan
digabungkan, pada akhirnya semua resiko yang teridentifikasi dapat
dikelompokkan ke dalam kategori-kategori seperti ditunjukkan pada
Gambar 4-5.

Frekuensi
kemunculan
Tinggi

(3) (4)

(1) (2)
Dampak/
efek

Rendah Tinggi

Gambar 4-5. Intensitas dampak resiko

Resiko-resiko yang masuk ke dalam kelompok (1) mungkin tidak perlu


dipikirkan secara serius, karena selain dampaknya yang ringan, frekuensi
kemunculannyapun jarang. Resiko dalam kelompok (2) perlu diantisipasi
karena dampaknya yang besar. Demikian pula dengan resiko dalam
kelompok (3), meskipun dampaknya tidak besar, tetapi karena
probabilitas kemunculannya tinggi dan/atau sering, mahasiswa perlu
mengantisipasinya pula. Yang paling perlu mendapatkan perhatian
adalah resiko-resiko dalam kelompok (4).

Dalam pengelolaan proyek dikenal ada 4 pendekatan dalam menghadapi


resiko. Pendekatan pertama adalah membiarkan saja sebuah resiko
terjadi (risk acceptance), karena kita merasa sanggup dan mampu untuk
menanganinya dan kuat menghadapi dampaknya. Menerima resiko
hanya dapat dilakukan bila kita siap menanggung akibat dari resiko

~ 69 ~
Pendahuluan untuk memberikan pengantar yang gentle
terhadap riset yang dilakukan tidak akan tercapai. Jika pembaca
tidak bisa mendapatkan pengantar yang jelas, bagaimana
mereka akan tertarik membaca bagian-bagian berikutnya?
• Tinjauan Pustaka yang sekedar merangkum referensi riset lain.
Jika ini yang dilakukan mahasiswa, maka pembaca akan
bertanya, benarkah disertasi ini miliknya sendiri? Copy-paste
tidak akan memberikan “nyawa” bagi Tinjauan Pustaka yang
membuatnya hidup dan mampu menyajikan landscape
penelitian yang utuh dan indah. Ruh Tinjauan Pustaka terletak
pada struktur dan alur “cerita”nya, yang didukung oleh tinjauan
kritis terhadap referensi-referensi yang dimuat ke dalamnya. Ruh
ini juga akan menunjukkan seberapa luas pemahaman
mahasiswa S3 terhadap domain riset yang digelutinya. Tinjauan
Pustaka yang “garing” akan menunjukkan pemahaman yang
sempit dan dangkal, dan jelas ini berbahaya bagi mahasiswa.
• Metodologi Penelitian yang ditulis seadanya. Mahasiswa
kadang-kadang lupa bahwa bagian Metodologi sejatinya adalah
untuk dibaca orang lain, bukan untuk dirinya sendiri, sehingga ia
hanya menulisnya secara ringkas dan hanya berisi langkah-
langkah umumnya saja. Sekali lagi, bagian Metodologi harus
lengkap dan self-contained: peneliti lain harus bisa
merekonstruksi riset yang telah dijalankan hanya dengan
membaca bagian ini.
• Hasil penelitian ditulis lengkap dan detil, tetapi tidak ada
pembahasan yang memadai. Ini kesalahan yang sangat
berbahaya, karena pembaca akan menilai bahwa mahasiswa
tidak memiliki penguasaan yang cukup terhadap risetnya sendiri.
Sekali lagi, bagian Hasil dan Pembahasan (terutama
Pembahasan) adalah panggung untuk menunjukkan kontribusi
dan kebaruan riset. Jika panggung ini dibiarkan datar dan tidak
terlihat adanya highlights terhadap temuan-temuan kontribusi
yang didukung oleh analisis kritis dan argumentasi yang solid,
maka kredibilitas mahasiswa akan berada di ujung tanduk.

~ 121 ~
Apapun wujud dan bentuknya, seberapapun kecilnya, kesalahan-
kesalahan di atas berpotensi membahayakan keberhasilan studi
mahasiswa. Bahkan kesalahan non-substansialpun bisa menggagalkan
studi mahasiswa. Mengapa demikian? Karena tulisan ilmiah, terutama
naskah disertasi, adalah media komunikasi utama yang menghubungkan
antara mahasiswa dan penguji (pada saat ujian akhir). Sebelum ujian
akhir, penguji diberi kesempatan untuk membaca dan mempelajari
naskah disertasi mahasiswa. Apa yang terjadi ketika penguji tidak bisa
memahaminya dengan baik karena naskah masih mengandung
kesalahan-kesalahan tata tulis dan alur cerita yang membingungkan?
Memang ada kesempatan untuk menjelaskan saat presentasi ujian akhir,
tetapi pasti penguji sudah punya kesan pertama yang kurang baik.

Ada beberapa saran yang bisa dipertimbangkan untuk mencegah


problem-problem di atas terjadi. Sebagian bisa dilakukan dengan cepat,
tapi sebagian lagi perlu disiapkan bahkan sebelum studi S3 dimulai.

• Sebelum mengajukan naskah ke pembimbing atau


mengumpulkannya ke program S3, pastikan naskah tersebut
sudah bersih dari kesalahan-kesalahan tata tulis dan tata bahasa.
Jika perlu, manfaatkan jasa proofreader profesional, terutama
untuk naskah dalam bahasa asing.
• Untuk menyusun Tinjauan Pustaka yang baik, persiapannya bisa
dimulai sejak penyusunan proposal S3. Kuncinya adalah banyak
membaca tulisan ilmiah, memahami substansinya, memahami
posisinya dalam domain riset yang ditekuni. Dengan melakukan
ini, mahasiswa bisa memiliki pemahaman tentang landscape
domain riset sejak awal, dan ini bisa disempurnakan seiring
dengan berjalannya riset.
• Bersedialah dan siapkan mental untuk melakukan eksplorasi
ilmiah ke area-area yang mungkin belum pernah dijelajahi
sebelumnya. Bersedialah untuk belajar tentang topik-topik baru
yang masih asing, bahkan memulainya dari awal sekali. Memang
berat, tetapi langkah ini penting untuk membangun pemahaman
yang solid dan holistik tentang area riset yang ditekuni. Dalam

~ 122 ~
jangka panjang, kesediaan untuk mengeksplorasi akan
membangun kebiasaan belajar, sebuah ketrampilan yang akan
bermanfaat bagi mahasiswa bahkan jauh setelah mereka selesai
menjalani studinya.
• Latihlah kemampuan analisis dan critical review. Memang ini
tidak mudah, tetapi mahasiswa S3 mau tidak mau harus memiliki
kemampuan ini. Cara yang paling mudah adalah mencoba
melakukan review terhadap tulisan-tulisan ilmiah (misalkan
tulisan teman-temannya sendiri). Ketrampilan ini tidak bisa
dibangun secara tiba-tiba, tetapi bisa dibentuk pelan-pelan
dengan latihan yang kontinyu.

~ 123 ~
7 Ketika Masalah Menghadang

Proses studi dan riset S3 berlangsung cukup lama, 3 tahun atau (pada
umumnya) lebih lama lagi. Dalam waktu 3 tahun tersebut, apapun bisa
terjadi, termasuk munculnya tekanan-tekanan baik internal maupun
eksternal, atau kejadian-kejadian yang tidak direncanakan dan
berpotensi mengganggu studi. Selain sifat dan cirinya yang memang
berbeda, studi S3 juga berbeda dengan studi S1 atau S2 dalam hal
mahasiswanya. Mahasiswa S1 dan S2 biasanya berasal dari kelompok
umur 17-25 tahun. Mereka masih muda, penuh semangat, dan memiliki
determinasi tinggi dalam menempuh studinya. Mereka juga biasanya
belum berkeluarga dan belum bekerja, sehingga masih memiliki
kebebasan dan fleksibilitas yang tinggi. Sebaliknya mahasiswa S3 pada
umumnya sudah berkeluarga, sudah cukup matang dalam menjalani
kehidupan, semangat masih tinggi, tetapi tidak lagi sefleksibel ketika
mereka masih muda.

Selama studi S1 atau S2, tekanan-tekanan yang dihadapi oleh mahasiswa


pada umumnya berputar pada masalah akademik. Tugas yang
menumpuk, materi kuliah yang sulit dipahami, kesulitan teknis dalam
menjalankan eksperimen, dan komunikasi yang kurang lancar dengan
pembimbing adalah contoh-contoh tipikal problem yang dihadapi
mahasiswa S1 dan S2. Meskipun beberapa problem muncul dengan
intensitas tinggi dan memberikan tekanan yang besar, tetapi karena
problem-problem akademik tersebut bersifat eksogen (terkait dengan
faktor-faktor eksternal), pada umumnya mahasiswa mampu
mengatasinya dengan semangat dan motivasi internalnya. Dalam
beberapa kasus mahasiswa S1/S2 yang “patah” dalam studinya,
penyebabnya adalah faktor-faktor internalnya yang tidak begitu kuat
sehingga kurang mampu mendukung dirinya sendiri untuk menghadapi
tekanan-tekanan eksogen tersebut.

~ 124 ~
Masalah Akademik dan Non-akademik
Mahasiswa S3 mengalami kondisi yang berbeda, karena kehidupannya
selama menempuh program S3 jauh lebih rumit (complicated). Mereka
juga mengalami problem-problem akademik dengan tekanan yang besar
dibandingkan dengan yang dialami oleh mahasiswa S1 atau S2. Selain itu,
problem-problem akademik tersebut membawa resiko yang lebih besar
pula. Jika riset S3 tidak bisa menghasilkan kebaruan (novelty), dipastikan
persyaratan kelulusan tidak bisa dipenuhi. Mengulangi riset untuk
remedial? Jelas akan memerlukan waktu lama, biaya tinggi, dan energi
yang besar. Ini berbeda dibandingkan jenjang S1 atau S2 di mana tidak
lulus matakuliah bisa diulang semester atau tahun depan, dan riset S2
yang persyaratannya lebih lunak.

Pada umumnya problem-problem akademik mahasiswa S3 bersifat


jangka panjang, bukan problem yang muncul secara mendadak.
Ketidaklancaran dalam penelitian misalnya, selalu diawali dengan gejala-
gejala yang di awal terlihat samar, tapi lama-lama terlihat jelas dan
semakin akut. Untuk itu mahasiswa perlu melengkapi diri dengan sistem
deteksi dini yang baik. Sistem deteksi ini seyogyanya menjadi bagian dari
manajemen riset yang dijalankannya (lihat kembali Bab IV). Penjadwalan,
penetapan indikator dan milestones, dan evaluasi secara periodis bisa
menjadi alarm yang efektif untuk deteksi problem-problem yang bisa
menyulitkan di kemudian hari.

Selain itu, mahasiswa S3 juga rentan terhadap problem-problem non-


akademik, yang meskipun mungkin tidak terlalu berat, tetapi jika
menusuk di tempat yang tepat, efeknya juga besar. Yang jadi
permasalahan adalah problem-problem non-akademik ini hampir selalu
berpengaruh terhadap kinerja akademiknya. Mengapa demikian? Karena
studi dan riset S3 tidak lagi bisa dikatakan murni bersifat eksogen. Bisa
dikatakan kehidupan sehari-hari mahasiswa S3 adalah tentang risetnya.
Pikirannya didominasi oleh risetnya. Jika mahasiswa menempuh studinya
di luar negeri, hal ini lebih terlihat jelas. Pergi dari rumah pagi-pagi,
kembalinya larut malam. Lebih dari 75% hidupnya dihabiskan di kampus.

~ 125 ~
keinginannya secara lugas kepada mahasiswa. Orang Jawa terbiasa
mengungkapkan makna secara tersamar, sehingga mahasiswa dituntut
untuk peka terhadap kondisi ini. Contoh kecil ini sekaligus menunjukkan
bahwa dalam studi S3, mahasiswa tidak hanya belajar tentang bidang
risetnya saja. Ia juga harus belajar tentang hal-hal non-akademik
menunjang studinya. Meskipun kelihatannya tidak terlalu penting, tapi
ketrampilan mengamati fenomena sungguh merupakan bekal yang
sangat berharga dalam menghadapi berbagai situasi, bahkan setelah
selesai menempuh studi S3nya.

Jika dari hasil pemantauan kemudian ditemukan adanya penyimpangan


dari rencana yang telah disusun, berarti ada problem di situ. Satu hal
penting yang perlu dimiliki adalah ketenangan emosi dan kestabilan
mental. Kenyataan bahwa ada problem yang harus diselesaikan biasanya
mengusik emosi dan mental mahasiswa, apalagi jika mahasiswa merasa
problem itu berat untuk diselesaikan. Lebih lagi jika problem itu muncul
pada saat-saat kritis, menjelang habisnya jatah beasiswa misalnya.
Apapun problemnya, hadapilah dengan tenang. Pikiran yang tenang lebih
bisa menghasilkan solusi-solusi yang efektif dibandingkan pikiran yang
panik.

Desakan problem biasanya juga menimbulkan tekanan-tekanan (stress).


Mahasiswa harus bisa mengelola tingkat stress-nya agar jangan sampai
mengganggu. Mengalami stress saat studi itu wajar, tapi yang harus
dijaga adalah jangan sampai stress tersebut melebih ambang batas yang
berpotensi menimbulkan gangguan berkepanjangan.

Dalam mengelola stress, komunikasi berperan penting. Jangan


memendam persoalan seorang diri, karena jika meledak, efek
berantainya bisa panjang. Manfaatkan keberadaan keluarga, teman
sesama mahasiswa, konselor akademik, atau pihak-pihak lain yang
sekiranya bisa membantu menyelesaikan problem, setidaknya
meringankan beban.

~ 72 ~
Mengatasi Keterbatasan Sumber Daya Riset
Riset S3 bisa memerlukan biaya yang sangat besar, terutama riset di
bidang ilmu-ilmu dasar dan teknologi. Bagi perguruan tinggi dengan
sumber daya (finansial) yang cukup, hal itu tidaklah menjadi masalah.
Lain halnya dengan perguruan tinggi yang tidak memiliki dana dan
peralatan yang memadai. Kondisi seperti ini sering kali menghadang
mahasiswa S3, terutama yang bersekolah di perguruan-perguruan tinggi
di negara sedang berkembang seperti Indonesia, dan pada akhirnya
membentuk pola-pola tertentu dalam riset-riset yang dijalankannya.

Perguruan tinggi (dan mahasiswa pascasarjananya) cenderung


menghindari bidang atau area riset yang sarat dengan kebutuhan
peralatan canggih. Di sektor teknologi informasi dan elektronika
misalnya, hampir tidak ada peneliti yang bekerja di bidang komponen
nano (nanocomponents) karena kebutuhan fasilitas cleanroom-nya saja
sudah bernilai puluhan milyar Rupiah. Di bidang yang memerlukan
peralatan canggih, topik-topik yang dibahas tidak sampai pada
implementasi. Contohnya pada bidang pengembangan keping elektronis
(chip), riset-riset di Indonesia kebanyakan hanya berhenti pada tahap
desain saja.

Di bidang pengembangan teknologi, topik-topik riset yang dipilih juga


lebih banyak yang bersifat kerekayasaan, mencoba mencari solusi
terhadap suatu persoalan nyata. Eksplorasi terhadap frontier ilmu
pengetahuan dan teknologi sulit sekali dilakukan, sebaliknya yang banyak
digali adalah solusi-solusi yang lebih pragmatis, efisien, dan cost-effective
terhadap problem-problem keseharian. Hal ini tidak mengurangi bobot
riset-riset dalam arah tersebut, karena tetap saja riset-riset itu mampu
menghasilkan temuan-temuan baru yang memperkaya khasanah
pengetahuan.

Meskipun arah riset sudah mencoba disesuaikan dengan kondisi yang


serba terbatas, tetapi kendala keterbatasan sumber daya (terutama
peralatan) masih sering dijumpai. Di bidang riset tentang material

~ 73 ~
misalnya, bahkan topik-topik yang bersifat terapan juga memerlukan
penggunaan mikroskop elektron, sementara jumlah mikroskop elektron
di Indonesia masih sangat terbatas. Jadi bagaimana caranya mengatasi
situasi demikian?

Strategi yang bisa ditempuh adalah memanfaatkan jaringan (network). Di


jaman sekarang ini, semuanya terhubung. Perguruan tinggi terhubung
dengan perguruan tinggi lainnya, perusahaan, lembaga pemerintah,
lembaga riset, dan banyak institusi lainnya. Relasi antar entitas tersebut
pada akhirnya akan membentuk rantai nilai (value chain), yang di
dalamnya terjadi proses-proses penciptaan nilai (value creation) yang
memberikan manfaat bagi pihak-pihak yang terlibat maupun jaringan
secara keseluruhan. Dalam proses penciptaan nilai terjadi kolaborasi
atau saling berbagi (sharing) sumber daya di antara pihak-pihak yang
terlibat. Peluang ini bisa dimanfaatkan untuk mengatasi keterbatasan
sumber daya dalam menjalankan riset.

Peneliti (dosen maupun mahasiswa) di perguruan tinggi Indonesia dapat


bekerjasama dengan peneliti dari perguruan tinggi di luar negeri atau
lembaga-lembaga riset yang terkemuka. Kolaborasi dapat diwujudkan
dalam berbagai skema, baik yang bersifat bilateral (antar dua lembaga)
maupun multilateral (biasanya melalui skema program-program
tertentu). Dalam bentuk yang sederhana, kolaborasi riset dapat dibangun
dengan relatif mudah, misalnya dengan skema pembimbingan bersama
(joint supervision). Profesor dari perguruan tinggi tamu diundang sebagai
pembimbing pendamping (co-supervisor), lalu dibuat kesepakatan yang
salah satu butirnya memberi kesempatan bagi mahasiswa untuk
berkunjung ke perguruan tinggi tamu dan melakukan riset di sana.
Selama berada di perguruan tinggi tamu, mahasiswa dapat
memanfaatkan semua sumber daya yang tersedia untuk mendukung
risetnya. Dari sini kemudian kerjasama dapat dilanjutkan untuk
melakukan publikasi bersama, menyelenggarakan seminar/konferensi
bersama, dan sebagainya.

~ 74 ~
Saat ini membangun kerjasama seperti contoh di atas tidaklah sulit.
Pengalaman saya, saat ini banyak perguruan tinggi asing yang ingin
menjalin kerjasama dengan perguruan tinggi di Indonesia. Mereka
datang ke Indonesia, memperkenalkan diri, menawarkan program-
programnya, merekrut calon mahasiswa dari Indonesia, dan menjalin
kerjasama-kerjasama yang lebih spesifik. Peluang ini harus dimanfaatkan
secara cerdas. Salah satunya adalah dengan mengakses sumber daya
riset yang melimpah untuk mendukung riset-riset mahasiswa kita.

Jika mahasiswa ingin memanfaatkan peluang-peluang yang terkait


dengan pihak eksternal, jangan lupa untuk menyesuaikan rencana
studinya. Kegiatan dan penjadwalan tentu saja akan berubah, demikian
pula aspek-aspek lain yang terkait dengan interaksi dengan pihak
eksternal tersebut.

Mahasiswa S3 dituntut untuk bisa bersikap resourceful, artinya panda


mencari, mengakses, dan memanfaatkan sumber-sumber daya yang ada
di sekitarnya. Sekali lagi, studi S3 itu menuntut kemandirian. Dalam
perjalanannya, akan banyak kesulitan yang dihadapi. Pembimbing juga
bukanlah orang yang serba tahu dan bisa dimintai nasihatnya untuk
semua problem yang dihadapi. Tidak ada pilihan lain selain mengatasi
problem-problem itu secara mandiri. Mahasiswa S3 harus bisa
mengidentifikasi sumber daya yang diperlukan untuk menyelesaikan
suatu masalah, dan tahu bagaimana mengaksesnya. Kadang-kadang
mahasiswa perlu bertanya tentang sesuatu yang terkait dengan risetnya.
Jika ia tidak bisa mendapatkan jawaban dari orang-orang di sekitarnya
(pembimbing atau teman sesama mahasiswa), ia harus bisa mencari
sumber daya lain yang bisa ia akses. Jika alat atau bahan yang diperlukan
dalam riset tidak bisa diperoleh, mahasiswa harus bisa mencari
alat/bahan alternatif atau solusi-solusi lainnya. Jika tidak bisa
mendapatkan paper karena untuk mengaksesnya harus berlangganan
jurnal yang berbayar, mahasiswa harus tahu ke mana ia bisa
mendapatkan versi alternatifnya. Itulah yang dimaksud dengan sikap
resourceful.

~ 75 ~
Manajemen Waktu dan Fokus
Pengalaman membimbing mahasiswa S3 membawa saya pada keyakinan
bahwa studi S3 di Indonesia tidak bisa dilakukan secara paruh waktu. Di
luar negeri mungkin bisa, tetapi di negeri kita rasanya hal itu sulit sekali
dilakukan. Penyebabnya adalah kesulitan yang dihadapi mahasiswa
dalam re-focusing ke penelitiannya jika ia harus bolak-balik berganti
perhatian, dari penelitiannya ke kegiatan lainnya (misalnya, pekerjaan di
kantor). Di luar negeri, sarana yang tersedia cukup lengkap, sehingga re-
focusing bisa dilakukan dengan cepat. Saat berada dikantorpun seorang
mahasiswa S3 bisa mengakses koleksi perpustakaan universitasnya,
berkomunikasi live dengan pembimbingnya, atau bahkan menjalankan
eksperimennya secara remote. Di Indonesia, jangan berharap semua
kemudahan itu diperoleh, sehingga mahasiswa perlu waktu yang lebih
lama untuk kembali ke fokus penelitiannya. Jika hal ini dilakukan
berulang-ulang dalam periode yang lama, saya khawatir mahasiswa tidak
punya cukup energi untuk bertahan.

Dengan argumen yang sama, maka mahasiswa S3 penuh waktupun harus


berusaha agar fokus ke studinya tidak bergeser. Hal ini penting karena
pada umumnya mahasiswa S3 di Indonesia statusnya adalah pekerja dan
mereka tidak 100% dibebaskan dari tugas-tugas rutin. Persoalan lain
adalah, dan ini lebih sulit untuk ditanggulangi, kenyataan bahwa para
mahasiswa S3 sering menghadapi problem kecukupan finansial, sehingga
mereka harus menyisihkan sebagian waktu untuk menutupi kebutuhan
tersebut.

Di sisi lain, penelitian S3 bukanlah kegiatan yang bisa dilakukan secara


sambilan. Proses analisis dan sintesis yang terjadi di dalamnya
berlangsung secara intensif dan berkelanjutan, untuk membangun dan
menemukan kebaruan (novelty) yang dipersyaratkan.

Dengan dua ekstrem yang harus diakomodasi tersebut, mahasiswa S3


harus pandai mengelola waktu dan fokus perhatian. Pengelolaan waktu

~ 76 ~
waktu. Inipun juga bisa membuat mahasiswa kelelahan atau hilang arah,
dan akhirnya menyerah.

Lalu apa yang bisa dilakukan agar mahasiswa dapat menjalani solusi yang
memerlukan perubahan tersebut? Mengadopsi saran dari Black dan
Gregersen, mahasiswa harus menumbuhkan keyakinan bahwa
perubahan yang dijalani akan membawanya ke masa depan yang lebih
cerah. Ini bisa dilakukan dengan membandingkan antara apa yang
dialami saat ini dengan apa yang akan diperoleh di masa depan.
Harapannya, compare-and-contrast ini bisa menumbuhkan semangat
untuk berubah dan mulai menjalani proses perubahannya.
Ketidaknyamanan karena tidak tahu bagaimana menjalani proses
perubahan dapat diatasi dengan melihat kembali masa lalu (flash back),
di mana pasti ada dinamika naik dan turun dalam linimasa (time line)
tersebut. Ketika berada di lembah, pastilah suatu saat akan bangkit dan
bersinar kembali. Jika pada masa lalu sebuah keterpurukan selalu diikuti
dengan kebangkitan, mengapa saat inipun tidak? Keyakinan ini yang
perlu ditumbuhkan dalam diri.

Salah satu ketrampilan yang perlu dimiliki oleh mahasiswa dalam


menyikapi kegagalan adalah melakukan proses unlearn dan relearn.
Unlearn adalah proses “membongkar” cara pandang lama yang dilakukan
sebelum mencoba mengadopsi cara pandang baru. Hal ini penting karena
kegagalan untuk move on ke cara baru sering disebabkan oleh mental
block yang terbangun akibat cara pandang lama masih digunakan untuk
mempelajari cara yang baru. Setelah unlearn selesai dan pandangan
menjadi lebih netral dan terbuka, maka proses relearn dapat dijalankan.

Proses unlearn memang tidak mudah, terutama bila mahasiswa sangat


intensif bekerja dengan konsep-konsep yang selama ini diyakini
kebenarannya. Keyakinan terhadap sesuatu yang dianggap benar perlu
dibarengi dengan keterbukaan pikiran: bahwa kebenaran yang selama ini
dipercaya bisa saja suatu saat akan keliru, dan ada alternatif-alternatif
pandangan lain yang juga mengandung kebenaran. Keterbukaan pikiran
ini dapat dilatih dengan sering membaca, mendengar, dan berdiskusi

~ 131 ~
tentang banyak hal, dan tidak menggunakan penilaian (judgement) yang
berlebihan dalam menangkap hal-hal baru yang diterima.

Jika upaya-upaya untuk mengatasi masalah seperti yang telah dijelaskan


sebelumnya tidak bisa dijalankan sendiri oleh mahasiswa, maka itulah
saatnya untuk mencari bantuan orang lain. Sekali lagi, menerima bantuan
itu bukanlah sesuatu yang jelek. Tidak perlu merasa rendah diri, malu,
gengsi, dan sebagainya. Gunakan cara berpikir seperti ini: jika saya
dibantu orang lain dan kemudian bisa bangkit kembali dan sukses, maka
saya akan bisa membantu orang lain. Sederhana saja bukan? Diri sendiri
selamat, kebanggaan (pride) terjaga, dan orang lain yang memerlukan
bantuan juga akan senang.

Pada akhirnya yang paling penting adalah memperkuat daya tahan


pribadi dalam menghadapi berbagai problem yang muncul saat studi.
Tiap orang memiliki strategi yang berbeda, tetapi pada akhirnya
muaranya adalah pada keyakinan dan kepercayaan. Bagi banyak orang,
pendekatan keagamaan sering menjadi pilihan. Penyerahan diri kepada
Tuhan Yang Mahakuasa dan keyakinan bahwa dengan ijin dan kuasa-Nya
problem-problem tersebut pada akhirnya akan dapat diselesaikan
dengan baik dapat menjadi pondasi yang kokoh bagi berbagai upaya
mencari solusi.

Lebih baik mencegah daripada mengobati. Nasihat ini juga berlaku bagi
mahasiswa S3. Bab III menjelaskan tentang berbagai persiapan yang
perlu dijalankan oleh mahasiswa. Melaksanakan langkah-langkah
persiapan dengan baik tidak hanya memperbesar peluang keberhasilan
menyelesaikan studi, tetapi juga memperkecil resiko akibat problem-
problem yang tidak diperkirakan sebelumnya.

~ 132 ~
8 Penutup

Seperti halnya proses belajar pada jenjang-jenjang lainnya, muara dari


studi S3 juga hanya dua: berhasil atau gagal. Seperti juga dalam
potongan-potongan kehidupan lainnya, keberhasilan akan membawa
konsekuensi, dan kegagalan akan membawa hikmah. Keduanya perlu
disikapi dengan baik agar dapat memberikan manfaat yang maksimal.

Lepas dari keberhasilan atau kegagalan yang dialami, menjalani program


S3 memberikan banyak sekali pelajaran yang berharga. Pelajaran yang
jelas terlihat adalah pemahaman dan penguasaan keilmuan di bidang
riset yang ditekuni. Seperti telah dijelaskan di awal buku ini, seorang
doktor baru adalah orang yang dianggap paling ahli dalam topik yang
ditelitinya. Dia berdiri di ujung kemajuan keilmuan untuk topik tersebut.
Dengan posisi ini, tentu saja ada banyak hak dan privilege yang diperoleh,
di antaranya mengajar tentang topik riset tersebut atau terus
melanjutkan penelitian di track yang sama.

Studi doktoral juga mengajari mahasiswa beberapa life skills yang


berguna tidak hanya untuk menyelesaikan masalah-masalah akademik,
tapi juga bermanfaat untuk menghadapi berbagai situasi sehari-hari.
Berikut ini beberapa life skills yang dilatih sembari menjalani studi S3.

Manajemen waktu, target, resiko, dan prioritas. Seperti dijelaskan pada


Bab IV, studi S3 sebenarnya adalah sebuah proyek. Ada tujuan yang akan
dicapai melalui serangkaian kegiatan yang memanfaatkan sumber daya
yang tersedia. Ada sasaran-sasaran antara (milestones) yang menandai
selesainya sebuah tahapan, ada jadwal-jadwal yang harus dipenuhi agar
sasaran-sasaran yang ditetapkan dapat tercapai dengan baik tepat pada
waktunya. Kompleksitas yang dihadapi kadang cukup tinggi, karena
kadang mahasiswa harus mencapai dua atau lebih sasaran pada saat
yang hampir bersamaan, misalnya harus melakukan seminar kemajuan
dan publikasi jurnal dalam satu rangkaian waktu. Latihan dan

~ 133 ~
pengalaman dalam mengatur target-target dan prioritasnya tentulah
membentuk ketrampilan yang berharga. Selain itu, seperti dijelaskan
pada Bab VIII, dalam masa studi S3 sangat mungkin terjadi gangguan-
gangguan yang membawa resiko besar. Pengalaman membawa riset agar
bisa terhindar dari resiko-resiko tersebut juga bisa diterapkan dalam
bidang-bidang lainnya.

Pengendalian diri dan emosi. Dimarahi oleh pembimbing, eksperimen


yang gagal, publikasi ditolak, dan revisi disertasi yang tidak kunjung
selesai adalah contoh kejadian-kejadian yang umum dialami oleh
mahasiswa S3. Semua itu menyebabkan emosi bergolak. Jika dituruti,
pasti ada keinginan untuk ‘meledak’ dan menumpahkan semua emosi,
tetapi kenyataannya banyak mahasiswa yang mampu menahan diri dan
menata emosinya. Sepintas ini tidak dirasakan oleh mahasiswa, tetapi
dalam kehidupan nyata, bukankah kita sering mengalami hal-hal serupa
yang membutuhkan kesabaran dan reaksi yang terkontrol? Selamat bagi
mahasiswa yang telah berhasil mempelajari pengendalian diri dengan
baik.

Ketrampilan berpikir obyektif, runtut, dan sistematis. Jika saya ditanya,


manfaat apa yang paling besar saya dapatkan dari studi S3, maka saya
akan menjawab: saya dilatih untuk berpikir secara runtut, obyektif, dan
sistematis. Manfaat keilmuan memang saya dapatkan, tetapi
ketrampilan berpikir ini bermanfaat sampai kapanpun, dalam situasi
apapun. Riset S3 mengajari mahasiswa untuk bekerja mengikuti kaidah-
kaidah ilmiah dengan semangat akademik. Tanpa disadari, jika ini
dilakukan secara konsisten, maka pola pikir mahasiswa akan terbentuk.
Begitu pola pikir terbentuk, maka ia akan terbawa ke manapun. Saya
membuktikannya sendiri. Segera setelah selesai sekolah dan kembali ke
UGM, saya diberi beberapa tugas yang sangat divergen: membangun
program studi S2 baru, menyiapkan kelembagaan untuk fungsi hubungan
internasional di Fakultas, menjalankan tugas manajerial sebagai
Sekretaris Jurusan, dan menjadi Direktur Utama sebuah perusahaan TIK
milik UGM. Alhamdulillah saya bisa menjalankan semua tugas tadi
dengan baik, dan yang membuat saya heran sendiri adalah bahwa saya

~ 134 ~
menjalani semua tugas tersebut dengan “nyaman”, artinya meskipun
semua tugas tersebut asing bagi saya, saya tidak mengalami gap apapun.
Tidak berarti saya tidak mengalami kesulitan; saya tetap mengalami
problem-problem yang tidak ringan, tetapi semua itu bisa dicari
solusinya, berbekal ketrampilan berpikir obyektif, runtut, dan sistematis
yang saya peroleh selama belajar di program S3.

Setelah Menjadi Doktor, Lalu Apa?


Jika mahasiswa berhasil menyelesaikan studi S3nya, maka ia berhak
untuk menyandang gelar doktor. Bagaimana rasanya? Bagi saya, saat
dinyatakan lulus S3 dulu, rasanya seperti berdiri di ujung dunia. “Di dunia
ini, sayalah orang yang paling paham tentang bidang yang saya teliti”,
begitu kira-kira yang saya rasakan. Perasaan ini berlanjut dengan
pertanyaan: apa yang kemudian bisa saya lakukan? Keinginan yang
pertama kali muncul adalah tentu saja melanjutkan riset yang sudah
dijalankan. Ini wajar karena saat itu putaran otaknya untuk riset masih
tinggi, demikian pula semangatnya masih besar.

Persoalan muncul ketika kembali ke kampus, ternyata lingkungan tidak


mendukung untuk merealisasikan keinginan tersebut. Dalam kasus saya,
saat itu iklim penelitian di kampus belum kondusif, dosen belum tertarik
untuk melakukan penelitian sehingga saya merasa sendirian. Saya tidak
punya partner untuk berkolaborasi dan berdiskusi tentang riset. Selain
itu, begitu aktif kembali, saya langsung “ditangkap” dan diberi tugas
terkait hal-hal yang tidak ada sangkut pautnya dengan riset sama sekali,
termasuk menjadi pejabat struktural. Cerita senada juga banyak saya
dengar, dan nampaknya ini menjadi hal yang umum terjadi di Indonesia:
begitu kembali ke tempat kerja asalnya, lulusan S3 tidak bisa melanjutkan
penelitiannya. Penyebabnya bisa macam-macam, seperti kurangnya
pendanaan, peralatan lab yang sudah ketinggalan jaman, sampai ke
lingkungan teman-teman yang kurang mendukung.

~ 135 ~
Bagaimana menyikapi kondisi seperti ini? Ini adalah pilihan hidup, dan
tentu saja keputusannya diserahkan kepada masing-masing individu.
Seorang doktor setidaknya punya 2 peluang dalam pengembangan diri
dan karirnya: menjadi pemimpin struktural (structural leader) atau
pemimpin akademis (academic leader). Pemimpin struktural adalah
pemimpin di jalur struktural. Bagi seorang doktor, peluang untuk menjadi
pemimpin (yang biasanya adalah seorang pejabat) struktural pada
umumnya lebih besar daripada seseorang yang bukan doktor karena
privilege yang dimilikinya, terutama di lingkungan kampus. Memilih
menapaki jalur karir struktural tidaklah salah, tetapi yang perlu diingat
adalah bahwa doktor adalah seseorang yang dilatih untuk mengerjakan
riset. Meskipun dia mampu berpikir secara obyektif, runtut, dan
sistematis, untuk dapat menjalankan tugas-tugas manajerial dengan
baik, dia perlu membangun pengetahuan, pemahaman, dan sense-nya di
bidang itu. Menjadi pemimpin struktural tanpa mau memahami
karakteristik tugas yang diembannya akan membuat sang doktor tidak
berbeda dari orang-orang biasa lainnya yang tidak terlatih menjadi
pemimpin.

Pilihan kedua (yang biasanya lebih sulit tapi lebih fulfiling) adalah
menjadi pemimpin akademis atau saintifik (academic/scientific leader).
Seorang doktor dapat terus berkhidmat di jalur penelitian atau
pendidikan. Dia bisa terus melanjutkan riset-risetnya, atau mengajar
mahasiswa di jenjang S1 dan S2 terutama di bidang yang digelutinya,
sehingga mahasiswa S1 dan S2 bisa ikut merasakan kemajuan-kemajuan
iptek di bidang tersebut. Sebagai pemimpin di jalur ini, sang doktor bisa
tetap mempertahankan posisinya di leading edge dan berkontribusi
ilmiah secara maksimal. Hampir semua doktor jika ditanya tentang
pilihannya akan memilih trek ini, tapi sebagaimana dijelaskan
sebelumnya, pilihan ini biasanya lebih terjal dan sulit, dan pada
kenyataannya tidak banyak yang survive dan memilih banting stir ke jalur
struktural/manajerial yang lebih mudah dan menjanjikan.

Benarkah pilihan menjadi pemimpin akademis/saintifik itu sulit?

~ 136 ~
Jika pilihan itu harus diusahakan sendiri, mungkin memang akan terasa
sulit. Jika seoarng doktor harus sendirian dalam mengupayakan
pembiayaan untuk riset-risetnya, atau mencoba menunjukkan
kemampuannya kepada pihak lain, jelas tidak mudah. Tidak selalu
seorang doktor yang cemerlang dihinggapi oleh kesempatan, peluang,
atau jalan untuk menunjukkan kecemerlangannya, sehingga akhirnya
tidak ada orang lain yang tahu. Sulit, tetapi bukannya tidak mungkin.
Peluang untuk tetap mempertahankan pengembangan diri di ranah
penelitian atau akademik secara umum tetap terbuka sekiranya kita
mengetahui jalannya, dan sering kali jalan itu muncul melalui orang lain.

Network atau jejaring menjadi kuncinya. Pertemanan dalam dunia


akademik itu penting. Keterhubungan seseorang dengan orang lain
sering kali dapat membuka jalan yang sebelumnya seolah tertutup. Oleh
karena itu, sangat disarankan bagi seorang doktor untuk memperbanyak
teman dan memperluas pergaulan akademiknya dengan pihak-pihak lain.
Seorang mantan mahasiswa S3 saya, sejak kuliah sudah rajin terlibat
dalam kegiatan IEEE di regional Indonesia. Dari situ dia mendapatkan
saluran untuk berkenalan dengan tokoh-tokoh IEEE tingkat Asia Pasifik.
Setelah berkenalan, dia melanjutkannya dengan kolaborasi riset dengan
teman-teman dari tokoh-tokoh tersebut. Saat ini dia punya kerjasama
riset dengan peneliti dari Swedia, Jepang, Arab Saudi, dan beberapa
negara lain, dan itu dicapainya hanya dalam waktu kurang dari 2 tahun
setelah dia lulus dari program S3nya. Jadi intinya, perbanyaklah
pertemanan dan silaturahmi, insya Allah pintu rejeki dan solusi akan
terbuka.

Kemampuan networking perlu dilengkapi dengan sikap suka


berkontribusi. Network yang produktif dibangun dari mekanisme saling
memberi dan menerima, karena nilai/manfaat yang muncul merupakan
dampak dari rangkaian proses kontribusi yang dilakukan oleh setiap
bagian dari network tersebut. Yang unik dari mekanisme network adalah
bahwa manfaat yang kita terima bisa jauh lebih besar daripada upaya
kontribusi yang kita berikan.

~ 137 ~
Menyikapi Kegagalan
Tidak selalu apa yang diupayakan membuahkan hasil yang memuaskan.
Bagaimana bila studi S3 berujung pada kegagalan?

Dalam beberapa kasus, kegagalan itu bisa terjadi. Saya pernah punya
mahasiswa bimbingan yang akhirnya tidak bisa menyelesaikan studinya.
Tentu saja kegagalan akan membawa kesedihan dan kekecewaan yang
amat besar, terutama bagi mahasiswa, pasalnya yang terkait bukan
hanya dirinya sendiri, tapi juga keluarganya, kantor tempatnya bekerja,
dan lingkungan sosialnya.

Merasa sedih dan kecewa tentu saja wajar, tetapi jangan sampai larut di
dalamnya sehingga lupa bahwa masih ada masa depan yang
menawarkan kesempatan-kesempatan lain yang tidak kalah menarik.
Ada dua pesan yang biasanya saya sampaikan kepada mahasiswa yang
tidak berhasil menyelesaikan studinya. Pertama, kegagalan yang dialami
tidak berarti akhir dari segalanya. Jika mahasiswa bersedia melihat
linimasa pada masa lalunya, akan ditemuinya banyak juga keberhasilan
di antara kegagalan-kegagalan lainnya. Artinya, untuk kegagalan yang
sekarang dialami, pasti kelak akan diikuti dengan keberhasilan. Persis
seperti kata orang, kegagalan adalah keberhasilan yang tertunda.
Tambahan dari saya, itu terjadi jika mahasiswa tidakterperangkap pada
kegagalannya dan mau bergerak maju menggapai keberhasilannya. Ada
kejadian yang meskipun kasusnya tidak persis sama, tapi bisa untuk
contoh. Beberapa tahun silam ada seorang calon mahasiswa melamar ke
Program S3 di kampus saya. Dia ditolak, tidak diterima. Akhirnya dia
mendaftar ke program S3 di tempat lain, dan ternyata diterima dan bisa
selesai dalam waktu yang relatif cepat pula. Moral of the story: kegagalan
di satu tempat bukan berarti gagal juga di tempat lain.

Pesan kedua, kadang-kadang mahasiswa perlu mendefinisikan ulang


makna dari keberhasilan. Definisi yang terlalu sempit akan membuatnya
sulit untuk menerima kegagalan. Jika keberhasilan studi dianggap
merepresentasikan keberhasilan dalam hidup, maka jika ia tidak berhasil

~ 138 ~
dalam studinya, ia akan merasa hidupnya akan gagal pula. Ini tentu saja
tidak benar. Mendefinisikan keberhasilan dalam lingkup yang lebih luas
akan mempermudah penerimaan ketika dihadapkan pada kegagalan
pada satu aspek, karena pandangan ini memberikan kesempatan untuk
mengejar keberhasilan pada aspek lainnya. Gagal dalam studi S3 tidak
berarti gagal dalam kehidupan, siapa tahu justru di bidang lainnya sudah
menanti keberhasilan yang lebih gemilang.

Epilog
Meskipun menawarkan proses perjalanan yang mendebarkan dengan
berbagai dinamika di dalamnya, pada akhirnya studi S3 hanyalah
merupakan satu fragmen dalam kehidupan. Secara mendasar, tidak ada
perbedaan dengan fragmen-fragmen kehidupan lainnya. Ia memiliki
beberapa kekhasan yang membuatnya unik, tetapi tidak perlu
diperlakukan terlalu istimewa sehingga mengorbankan sisi-sisi
kehidupan lainnya.

Kalau saya diminta menjelaskan tentang studi S3 dalam satu kalimat,


saya akan menjawab: studi S3 adalah sarana yang sangat baik untuk
belajar tentang ilmu kehidupan. Kalimat ini saya rasa bisa mewakili apa
yang saya jelaskan dari awal sampai akhir dalam buku ini.

~ 139 ~

Anda mungkin juga menyukai