Buku ini hanya dicetak dalam format elektronis (e-book) dan tidak untuk
diperjualbelikan. Buku ini dapat diunduh dengan terlebih dahulu
mengisi form elektronis dengan alamat:
https://forms.gle/7FmkKxvqk2SYPVqU9
Daftar Isi
2 Karakteristik Studi S3 9
Menjadi Mahasiswa S3 9
3 Persiapan 23
Persiapan Mental 23
Pemilihan Sekolah 36
Pemilihan Pembimbing 38
Proposal Riset 42
Proses Persiapan 48
4 Manajemen Studi S3 53
Tahapan Studi S3 54
Perencanaan Studi 60
Manajemen Resiko 65
Pemantauan (Monitoring) 71
5 Pembimbingan 78
Publikasi 106
8 Penutup 133
1 Apa Menariknya Punya Gelar Doktor?
Saat ini gelar doktor memang sedang menjadi primadona. Sesuatu yang
sexy, kata orang, sehingga banyak diburu. Siapa saja yang gencar
memburu gelar ini? Mengapa mereka melakukannya?
Pemburu gelar doktor yang paling antusias tentu saja adalah orang-orang
yang bekerja di dunia akademik dan riset. Bagi para dosen di perguruan
tinggi dan peneliti di lembaga-lembaga riset, gelar doktor adalah tujuan
formal yang paling tinggi dalam jenjang pendidikan akademik yang
mungkin mereka tempuh. Bagi para insan akademik, derajad doktor tidak
hanya dilihat sebagai atribut yang bersifat eksternal (seperti sebutan
“haji” misalnya), tetapi lebih merupakan tuntutan yang melekat pada
profesi pendidik itu sendiri. Tidak ada dosen yang tidak ingin meraih gelar
doktor, karena pencapaian itu merupakan bagian dari tugas pekerjaan
sebagai dosen. Apalagi perguruan tinggi sendiri menawarkan jenjang ini
sebagai salah satu core businessnya (seperti disebutkan dalam Peraturan
Pemerintah nomor 60 tahun 1999).
~1~
Selain itu, Permendikbud nomor 3 tahun 2020 tentang Standar Nasional
Pendidikan Tinggi menetapkan bahwa yang berhak mengajar pada
program magister (S2) dan doktor (S3) adalah mereka yang memiliki gelar
S3. Syarat formal ini membuat para dosen di perguruan tinggi yang
memiliki atau akan membuka program S2 dan S3 semakin berkeinginan
untuk meraih gelar akademik tertinggi ini.
Selain itu, diakui atau tidak, di lingkungan kampus atau lembaga riset
masih ada budaya tak tertulis tentang perbedaan perlakuan atau
pandangan berdasarkan status akademik. Pemegang gelar S3
mendapatkan hak atau privilege dalam berbagai bentuk, yang tidak bisa
dinikmati oleh mereka yang “hanya” memiliki gelar S2 atau S1.
Contohnya, sering muncul iklan-iklan di media massa untuk mencari
kandidat pejabat perguruan tinggi (dekan atau rektor). Dalam
persyaratannya hampir semua mencari calon yang bergelar doktor. Di
tempat kerja saya, bahkan syarat untuk menjadi ketua departemenpun
salah satunya adalah memiliki gelar S3. Apakah benar seorang doktor
selalu lebih mumpuni dalam hal pengelolaan institusi pendidikan tinggi
dibandingkan seorang master atau sarjana? Apakah persyaratan tersebut
lebih bertujuan untuk menjaga image branding, tidak ada yang tahu
jawaban pastinya.
Pada tataran yang lebih informal, masih juga banyak dijumpai budaya
“look who’s talking”. Kalau ada orang berpendapat, dilihat dulu siapa dia.
Pendapat dari seorang doktor pada umumnya lebih diperhatikan
daripada pendapat orang yang bukan doktor (kecuali untuk kasus-kasus
tertentu yang memang eksepsional). Wajarlah jika fenomena semacam
ini juga memicu orang untuk meraih derajad akademik tertinggi ini.
Tentu saja banyak pencari gelar doktor yang dimotivasi oleh karakteristik
dari program doktor itu sendiri. Salah satu kriteria lulus doktor adalah
penelitiannya memberikan kontribusi yang cukup signifikan bagi
pengembangan ilmu pengetahuan. Agar bisa memberikan kontribusi
yang signifikan, riset S3 harus mengandung orisinalitas. Orisinalitas
berarti berada di sisi paling depan dalam topik yang ditelitinya. Orang
~2~
sering mengatakan bahwa seorang doktor adalah orang yang paling
tahu/mengerti tentang topik risetnya. Perasaan “berada di ujung depan”
ini sering menjadi motivasi internal yang dahsyat bagi seorang
mahasiswa S3. Baginya, kondisi ini menjadi pendorong untuk senantiasa
berkarya mengembangkan bidang ilmunya dengan melakukan riset-riset
dan mempublikasikan hasilnya, tidak hanya selama ia belajar, tetapi
bahkan setelah selesai studinya.
Tapi apa yang sebenarnya diharapkan dari seorang doktor? Apakah benar
doktor hanya berhenti sebatas status sosial saja? Mestinya tidak, karena
~3~
nilai tinggi dari sebuah image selalu muncul dari substansi yang memang
berkualitas.
Modus jalan pintas yang lain adalah dengan memanfaatkan biro-biro jasa
pembuatan disertasi. Di kota-kota basis pendidikan di Indonesia banyak
sekali usaha-usaha biro jasa semacam ini. Iklannya bertebaran di mana-
mana, dari koran, Internet, sampai kertas lusuh yang di-laminating dan
ditempel di pohon. Oknum yang bersangkutan bisa saja resmi terdaftar
sebagai mahasiswa S3 di sebuah perguruan tinggi, tetapi dia
mengabaikan tahapan-tahapan riset yang menjadi roh studi S3 itu
sendiri. Dengan bantuan sebuah biro jasa, mulai pemilihan topik sampai
~4~
dengan penulisan naskah disertasinya direkayasa sedemikian rupa
sehingga kelihatan seolah-olah asli. Dia sibuk merekayasa proses, bukan
menjalani prosesnya.
Memang harus diakui bahwa peran di atas sangatlah ideal, dan banyak
doktor di Indonesia tidak mampu menjalankannya karena berbagai
sebab. Seorang doktor baru, terutama yang berasal dari luar negeri,
biasanya memiliki semangat besar dalam menjalankan peran barunya
itu. Sayangnya begitu pulang ke tempat kerjanya di Indonesia,
lingkungannya tidak mampu mendukung harapan yang tinggi tersebut.
Banyak yang kemudian menjadi frustrasi dan akhirnya mencari jalan
keluar yang jauh dari cita-cita ideal tersebut.
Meskipun peran ideal jarang yang bisa dipenuhi secara konsisten, tetap
saja seorang doktor adalah manusia yang dikaruniai intelektualitas tinggi.
Dengan segala keterbatasan yang ada, ia mestinya mampu mencari
peluang di mana ia bisa berkontribusi melalui kapasitas intelektualnya
yang tinggi tersebut. Di perguruan tinggi atau lembaga riset, ia tetap bisa
berkarya, meskipun mungkin jenis risetnya tidak sama seperti saat ini
bersekolah di luar negeri. Banyak problem nyata di masyarakat yang
perlu dicari solusinya, dan beberapa persoalan memiliki kompleksitas
yang tinggi sehingga memerlukan kapabilitas yang istimewa juga.
Seorang doktor memiliki bekal dasar untuk menangani hal semacam ini,
~5~
dan ini membuka peluang baginya untuk bisa berkontribusi menjalankan
perannya.
Seorang doktor adalah orang yang terlatih dalam melakukan riset secara
mandiri. Riset adalah sebuah aktivitas yang mengeksplorasi
intelektualitas manusia untuk mencari jawaban atas persoalan yang
dihadapi. Riset dilakukan menuruti prinsip dan kaidah ilmiah universal
seperti berpikir secara runtut dan argumentatif, menjunjung tinggi
obyektivitas dan kejujuran ilmiah, serta rendah hati dalam mengakui
karya-karya orang lain yang berpengaruh atau terkait dengan risetnya.
Kompetensi inilah yang dituntut dari seorang doktor, di manapun ia
bekerja. Singkat kata, seorang doktor mungkin tidak bisa
mempertahankan posisi leading edgenya dalam pengembangan ilmu
pengetahuan karena berbagai sebab, tetapi ia tetap dituntut untuk bisa
menghasilkan pemikiran-pemikiran yang bernas, obyektif, dan orisinil
dalam profesinya.
~6~
lulusan S2 menjadi melimpah, mengisi berbagai posisi pekerjaan.
Peraturan Pemerintah nomor 19 tahun 2005 yang mensyaratkan seorang
dosen harus bergelar minimal S2 untuk bisa mengajar di program S1
semakin mendorong dosen untuk menempuh studi pascasarjananya.
~7~
seminar-seminar nasional, hibah-hibah riset nasional, tawaran-tawaran
sebagai konsultan, sampai ke jabatan-jabatan di lingkungan
pemerintahan adalah beberapa contoh battlefield bagi para doktor kita
kelak.
Buku ini tidak akan menjawab pertanyaan tersebut secara spesifik, tetapi
nampaknya ada satu trend menarik tentang requirements SDM pada
masa yang akan datang. Daya saing seseorang akan lebih ditentukan oleh
kualitas personal yang bersangkutan, bukan oleh atribut-atributnya.
Banyak ahli SDM yang mencoba mengidentifikasi penentu kualitas
personal, dan semuanya mengarah ke faktor-faktor seperti adaptabilitas,
komitmen, semangat (passion), tidak mudah menyerah, dan fokus.
Kriteria yang sama juga berlaku untuk para doktor. Tanpa kualitas
personal seperti yang disebutkan di atas, mustahil untuk memenangkan
persaingan. Jika hal ini terjadi, harapan yang telah lama dipupuk, serta
usaha dan biaya yang telah dikeluarkan bisa menjadi sia-sia.
~8~
2 Karakteristik Studi S3
Studi S3 itu identik dengan riset. Tidak ada program S3 tanpa riset.
Sayangnya riset adalah sesuatu yang kadang tidak dimengerti dengan
baik oleh calon mahasiswa S3, sehingga kinerja mereka tidak maksimal.
Sebelum menempuh pendidikan S3, sebaiknya calon mahasiswa
memahami dulu tentang dunia yang akan mereka hadapi, agar bisa
menyiapkan diri dengan baik.
Menjadi Mahasiswa S3
Masa studi pada jenjang S3 tidak terlalu berbeda dengan masa studi
jenjang S1, tapi mahasiswa S3 menghadapi tantangan yang amat berbeda
dibandingkan dengan mahasiswa S1. Mahasiswa S1 yang diterima di
sebuah program studi tertentu biasanya memiliki cukup informasi untuk
memahami tentang arah dan substansi yang akan dipelajarinya. Ada
pemahaman umum tentang bidang studi yang bersangkutan, ada buku
panduan akademik yang berisi informasi-informasi resmi tentang
program studi tersebut, serta sumber-sumber informal lain seperti dosen
atau teman kuliah. Sebaliknya, begitu diterima pada program S3, seorang
mahasiswa dihadapkan pada ketidakjelasan tentang apa yang harus ia
lakukan. Ia harus menjawab banyak pertanyaan tentang riset yang akan
dijalaninya: domain dan lingkupnya, persoalan yang harus diselesaikan,
metodologinya, dan sebagainya. Tidak ada jawaban yang pasti untuk
semua pertanyaan itu, dan tidak ada orang lain yang bisa membantu
mencarikan jawaban. Mahasiswa harus mencari jawabannya sendiri
sepanjang studinya, dan inilah yang membuat tantangan pada program
S3 jauh lebih berat dibandingkan dengan pada program S1.
~9~
Seorang mahasiswa S3 saya (yang telah lulus S2 tentunya) saat melamar
program pernah berpikir bahwa studi S3 merupakan ekstrapolasi linear
dari studi S2. Maksudnya, apa yang akan ia lakukan dalam riset S3 adalah
ekstensi dari riset S2nya. Cukup dengan memperluas atau memperdalam
apa yang dilakukannya selama studi magister, gelar doktor dapat
diperoleh. Setelah beberapa bulan menjalani studi doktornya,
mahasiswa saya tadi mulai mengeluh: ternyata menjalani proses di
jenjang S3 jauh lebih sulit daripada saat studi S2. Sama-sama melakukan
riset, tetapi kondisi dan tuntutannya berbeda.
~ 10 ~
keras dengan topik risetnya. Perjuangan dalam masa yang cukup panjang
ini tidak akan bisa dimenangkan jika tidak ada dorongan internal dari
dalam diri mahasiswa. Tanpa motivasi internal, seseorang tidak akan
tahan berkutat dengan ketidakjelasan, kebuntuan, rasa frustrasi,
kelelahan, dan berbagai perasaan negatif lainnya yang sering muncul
dalam kurun waktu studinya.
Kecintaan dan passion adalah buah dari sebuah relasi yang berlangsung
cukup lama dan intensif. Keduanya muncul sebagai akibat dari rasa
ketertarikan seseorang terhadap sesuatu dan terpenuhinya harapan-
harapan yang timbul selama interaksi berlangsung. Masalah rasa seperti
ini tidak bisa dipaksakan untuk muncul. Artinya, ketertarikan seseorang
terhadap bidang tertentu sejak sebelum menjadi mahasiswa S3 akan
memberinya passion yang lebih besar dibandingkan jika orang tersebut
baru menyentuh bidang risetnya saat ia memulai studi S3nya.
~ 11 ~
Mahasiswa S3 dituntut untuk bisa mengelola kehidupannya dengan baik,
dalam kondisi menghadapi tekanan dan tuntutan yang tinggi. Sering kali
persoalannya tidak sesederhana mengelola kehidupan diri pribadinya,
tetapi juga merembet ke lingkup yang lebih lebar, misalnya keluarga atau
kantor. Sebagai contoh: banyak mahasiswa S3 di luar negeri yang
mengajak keluarganya untuk ikut, dan karena ketidakmampuan keluarga
beradaptasi dengan lingkungan baru, keluarga menjadi ikut tertekan, dan
ini akhirnya berpengaruh pada studi mahasiswa tersebut. Studi di dalam
negeripun tidak lepas dari berbagai permasalahan, meski bentuknya
berbeda. Seorang dosen yang bersekolah S3 di perguruan tingginya
sendiri, mau tidak mau tetap tidak bisa lepas dari penugasan-penugasan
dari kampusnya.
Yang tidak kalah pentingnya adalah mengelola riset S3nya itu sendiri.
Riset dapat diibaratkan proyek. Ada sasaran yang harus dicapai dengan
cara-cara tertentu, dan ada kekangan-kekangan yang harus
diperhitungkan (waktu, biaya, ketersediaan fasilitas riset, keinginan
pembimbing, dan sebagainya). Persoalan mendasarnya adalah
bagaimana proyek riset ini dapat diselesaikan dengan baik dalam
berbagai kekangan yang ada. Mahasiswa S3 perlu melakukan hal-hal
yang pada umumnya dijalankan dalam pelaksanaan proyek:
perencanaan, eksekusi, pemantauan, persiapan terhadap resiko, dan
penjaminan kualitas hasil. Semua ini dijalankan secara terpadu dan
menyatu dengan kegiatan riset.
Syarat lain yang tidak kalah pentingnya adalah kekuatan mental. Riset
adalah kegiatan yang mengandung ketidakpastian tinggi. Ketidakpastian
dalam riset bisa muncul dalam berbagai manifestasi, dari mulai hasil riset
yang “aneh” sampai ketidakjelasan keinginan dan sikap pembimbing.
Sayangnya manusia adalah mahluk yang rentan terhadap ketidakpastian,
terutama secara mental dan emosional. Frekuensi munculnya
~ 12 ~
Tahapan Studi S3 54
Perencanaan Studi 60
Manajemen Resiko 65
Pemantauan (Monitoring) 71
5 Pembimbingan 78
Publikasi 106
(a) (b)
1
Matthew Might, The Illustrated Guide to a PhD.
http://matt.might.net/articles/phd-school-in-pictures/
~ 14 ~
dihasilkan, dan temuan baru ini memperkaya semesta pengetahuan
dengan hal-hal baru. Kata Matt dalam bukunya, “Keep pushing”. Ini
adalah pesan untuk memperbesar tonjolan pada Gambar 2-1 agar
semakin lama semakin membesar melaui riset-riset, memperkaya
khasanah ilmu pengetahuan.
~ 15 ~
demikian, esensi maknanya tetap sama. Eksplorasi dan penggalian
tetaplah dituntut untuk sampai menggali aspek-aspek fundamental
dalam lingkup bidang ilmu tersebut. Keluaran riset S3 adalah
pemahaman-pemahaman baru yang dapat memperkaya khasanah ilmu
pengetahuan di bidang itu. Yang diperkaya adalah khasanah ilmu
pengetahuan, bukan pengalaman pemanfaatan (aplikasi) ilmu tersebut.
Artinya, riset S3 tidak cukup sampai tataran aplikasi saja, meskipun di
lingkup itupun muncul hal-hal baru yang juga menarik dan bermanfaat.
~ 16 ~
bagi pengembangan solusi-solusi praktis yang bermanfaat langsung bagi
pemakainya.
Menggali kebaruan dalam riset bisa jadi tricky juga. Dalam membimbing
mahasiswa, beberapa kali saya menjumpai upaya dalam menonjolkan
kebaruan riset mereka dalam bentuk pernyataan sederhana yang ditulis
dalam proposal: “sepanjang pengetahuan penulis, belum ada peneliti
lain yang melakukan riset tentang topik ini”. Ada 2 kemungkinan yang
terjadi: 1) mahasiswa kurang cermat mengeksplorasi literatur sehingga
ada tulisan-tulisan ilmiah yang relevan tapi terlewat tidak terbaca, atau
2) topik yang diteliti memang tidak penting atau tidak menarik sehingga
tidak ada orang yang menelitinya. Pertanyaan seperti ini misalnya: “apa
obat batuk yang paling efektif untuk anak-anak”, rasanya tidak akan
diteliti oleh siapapun juga karena isunya tidak penting (batuk bukanlah
penyakit yang perlu dikhawatirkan, dan produk obat batukpun sudah
2
Wikipedia. https://en.wikipedia.org/wiki/Claude_Shannon.
~ 17 ~
banyak tersedia); mengambil ini sebagai topik penelitian jelas akan
membuang waktu, energi, dan biaya saja.
~ 18 ~
mahasiswa harus menjalaninya sendirian, dari menentukan tujuan
perjalanan, memilih rute, memilih alat transportasi, sampai dengan
menghadapi rintangan, halangan, dan berbagai kesulitan yang ditemui
selama menempuh perjalanan. Bimbingan dari promotor biasanya hanya
berupa arahan dan petunjuk yang bersifat umum. Mahasiswa harus
menerjemahkannya ke dalam bentuk aksi-aksi nyata yang hanya
dimengerti oleh dirinya sendiri.
Persoalan atau pertanyaan riset selalu bersifat terbuka, artinya tidak ada
satu jawaban eksak, dan saat ia diajukan, tidak ada yang tahu seperti apa
jawabnya. Seberapa jauh persoalan riset akan dijawab, dan seberapa
jauh pengetahuan baru dapat digali dan dikonstruksi sangat tergantung
pada mahasiswa. Riset yang baik adalah riset yang dapat menghasilkan
~ 19 ~
jawaban yang jelas dan runtut, serta menggali banyak pengetahuan baru
yang menambah khasanah pengetahuan yang sudah ada. Faktor inilah
yang menentukan tingkat kualitas riset S3.
?
? ?
?
Pertanyaan riset
?
Konstruksi pengetahuan
yang membentuk jawaban
Pertanyaan riset yang diurai menjadi beberapa persoalan atas pertanyaan riset
kecil, kemudian dipecahkan menggunakan pengetahuan
yang ada dan membentuk pengetahuan-pengetahuan baru
~ 20 ~
learning misalnya, secara tidak sadar akan membangun “dinding-dinding
pembatas” yang mendefinisikan ruang lingkup risetnya, dan ruang
lingkup ini pada umumnya didefinisikan secara umum dan homogen.
Bicara tentang e-learning berarti bicara tentang mode/gaya belajar,
multimedia untuk pembelajaran, teknik-teknik evaluasi hasil belajar,
aplikasi LMS, dan topik-topik lain yang secara kohesif mendefinisikan
bidang e-learning. Di tengah perjalanan risetnya, saat mahasiswa
dihadapkan pada problem bahwa untuk mengevaluasi hasil belajar dia
harus mencari pola-pola tertentu yang hanya bisa diselesaikan dengan
metode machine learning, biasanya rasa gamang mulai muncul. Ada
konflik batin: “penelitian saya tentang e-learning, mengapa saya harus
belajar juga tentang machine learning yang itu bukan domain riset saya?”
Jika tidak dikelola dengan baik, konflik batin seperti di atas bisa
berbahaya. Mahasiswa bisa bereaksi defensif. Alih-alih berusaha keras
memahami topik-topik baru di luar bidang keilmuan aslinya, mahasiswa
malah berusaha merekayasa situasi agar mereka tidak perlu mempelajari
topik-topik baru tersebut. Mereka kemudian memberikan batasan-
batasan penelitian yang baru, bahkan sampai mengubah arah atau
lingkup penelitian. Yang tidak disadari mahasiswa ketika mengubah arah
atau lingkup penelitian adalah bahwa perubahan tersebut dapat
berimplikasi terhadap kelayakan topik risetnya. Bisa saja hal-hal baru
yang perlu dieksplorasi tersebut yang nanti akan bisa menghasilkan
temuan-temuan penting; memangkasnya di awal berarti menghilangkan
pula kemungkinan munculnya temuan-temuan baru yang diperlukan,
dan akhirnya membuat risetnya menjadi tidak layak untuk mendapatkan
gelar doktor. Jadi kesediaan untuk mengikuti ke arah mana harus
mengeksplorasi merupakan tuntutan bagi mahasiswa S3. Untuk hasil
maksimal, mahasiswa harus bersedia untuk menggeluti area-area baru
yang mungkin sama sekali asing.
~ 21 ~
Kesimpulannya, perjalanan riset S3 memang berat, tetapi di sisi lain, jika
mahasiswa dapat menjalaninya dengan baik, akan ada mutiara yang
menunggunya. Di mana letak reward riset S3? Menurut pengalaman
orang-orang yang pernah menjalani studi S3, baik proses riset maupun
hasilnya dapat memberikan reward yang setimpal dengan usaha yang
dikeluarkan. Menjalankan riset berarti melatih intelektualitas dalam
mencari jawaban dengan menggunakan metode yang obyektif, runtut,
dan sistematis. Di dalamnya ada proses penalaran, melakukan
eksperimen, menguji hipotesis, mencari data pendukung yang valid dan
menerapkannya, menganalisis fenomena, sampai ke menarik
kesimpulan. Aktivitas riset sebenarnya melatih cara berpikir kita. Jika
terlatih berpikir secara runtut dan sistematis, maka kita akan nyaman
untuk menghadapi berbagai persoalan yang menuntut solusi yang tepat.
Kemampuan inilah yang sebenarnya sangat berharga bagi seorang
mahasiswa S3. Setelah lulus, ia akan dilengkapi dengan pisau intelektual
yang tajam yang bisa digunakan dalam bidang apapun juga, bahkan
dalam situasi-situasi non-ilmiah.
Mendapatkan hasil atau temuan dalam tiap tahapan riset juga membawa
kepuasan tersendiri. Gambaran situasinya seperti saat Archimedes
berseru “Eureka!”. Hasil dan temuan riset adalah hal-hal baru yang
membawa mahasiswa ke “ujung ilmu pengetahuan”. Saat itu, ia adalah
orang yang paling paham tentang topik penelitiannya. Bagi yang pernah
mengalami, perasaan itu tidak tergantikan oleh apapun.
~ 22 ~
3 Persiapan
Persiapan Mental
Masa sekolah S3 adalah masa yang penuh ketidakpastian, karena riset S3
pada hakekatnya adalah aktivitas eksplorasi terhadap hal-hal yang belum
diketahui. Banyak kemungkinan bisa terjadi, dan kadang-kadang efeknya
bisa menggoyahkan mental. Yang juga perlu diperhatikan adalah
terkadang peristiwa-peristiwa yang harus dihadapi tidak hanya berkaitan
dengan riset, tetapi juga menyangkut faktor-faktor lain seperti dana,
pembimbing, bahkan keluarga.
~ 23 ~
tahapan-tahapan yang akan dilalui serta pernak-pernik yang
mengikutinya. Banyak sumber informasi yang bisa dimanfaatkan.
Berkonsultasi dengan (calon) dosen pembimbing atau mahasiswa S3
yang sudah lebih dulu memulai prosesnya adalah cara pengenalan yang
efektif.
Persiapan mental tidak hanya terkait dengan riset yang akan dihadapi.
Memasuki sebuah lingkungan barupun juga memerlukan persiapan yang
matang. Hal ini terutama berlaku untuk calon mahasiswa yang berasal
dari lingkungan yang “berbeda” dari lingkungan akademik tempatnya
melakukan riset. Kadang-kadang ego pribadi perlu disetel ulang. Ambil
contoh mahasiswa S3 yang bekerja sebagai dosen misalnya. Jika di
kampus asalnya ia adalah subyek yang mengarahkan mahasiswa, saat
belajar S3, ia adalah obyek yang diarahkan. Demikian pula mahasiswa
yang berasal dari lingkungan birokrasi biasanya perlu waktu untuk
menyesuaikan diri dengan kultur akademis. Jika setelan mental seperti
ini tidak disiapkan, bisa memunculkan rasa sakit hati, tersinggung,
kecewa, dan berbagai bentuk negatif lainnya yang dapat menghambat
studi.
~ 24 ~
memiliki beberapa attitude yang mengarah pada keaktifan, inisiatif,
berorientasi sasaran, dan kreativitas. Beberapa sikap yang perlu
ditumbuhkan adalah:
~ 25 ~
Sabar. Kesabaran terkait dengan kematangan emosional seseorang
dalam menghadapi kendala dan hambatan. Orang yang sabar dapat
mengendalikan emosinya meski dalam keadaan tertekan. Pengendalian
emosi ini sangat penting dalam riset karena emosi tinggi pada umumnya
dapat mengganggu konsentrasi/fokus dan obyektivitas.
~ 26 ~
lainnya biasanya lebih bersifat administratif saja. Yang menjadi sulit
adalah kenyataan bahwa proses seleksi dan keputusan pemberian
beasiswa berada di luar kewenangan calon mahasiswa. Rasio yang tinggi
antara pelamar dan yang diterima, adanya preferensi (misalkan,
preferensi terhadap wanita daripada laki-laki, atau terhadap calon dari
Indonesia bagian timur daripada dari Indonesia bagian barat), atau
aspek-aspek subyektif lainnya adalah contoh-contoh uncontrollable
factors yang membuat seleksi beasiswa menjadi tidak mudah diprediksi
hasilnya.
Selain itu, usahakan untuk memberikan yang lebih baik daripada yang
diminta (exceed the expectation). Ingatlah bahwa berusaha terpilih pada
dasarnya adalah membuat pengambil keputusan tertarik pada kita.
Secara psikologis, ketertarikan itu bisa muncul jika kita bisa memenuhi
atau bahkan melebihi standar harapan mereka. Banyak hal kecil bisa
dilakukan, misalnya menata semua persyaratan dengan rapi dan urut,
memberikan checklist, atau membawa dokumen-dokumen pendukung
yang bisa memperkuat profil kita, meskipun itu tidak dipersyaratkan.
~ 27 ~
Mencari Beasiswa vs Mencari Sekolah
Pada umumnya skema beasiswa selalu dikaitkan dengan program
sekolah (khususnya jenjang pascasarjana). Banyak beasiswa yang
mensyaratkan surat penerimaan (letter of acceptance) dari sebuah
perguruan tinggi yang dituju. Hal ini terutama berlaku untuk beasiswa
untuk studi di luar negeri. Dengan demikian, sebelum memulai usaha
mencari beasiswa, calon mahasiswa perlu menentukan dulu sekolah
yang akan dituju, lalu mengikuti proses pendaftaran sampai
mendapatkan kepastian penerimaannya, baru mencari beasiswanya. Jadi
dalam banyak kasus, urutan proses melamar beasiswa adalah sebagai
berikut:
~ 28 ~
beasiswa. Dengan strategi ini, kita dapat “menyebar” aplikasi ke berbagai
sumber beasiswa dan berharap bisa menjaring salah satunya. Jika ingin
menjalankan strategi ini, perhatikan masalah waktu. Alokasikan waktu
yang cukup untuk melamar ke perguruan tinggi target, sehingga pada
saatnya melamar beasiswa, tidak perlu terburu-buru menjalaninya.
Yang juga perlu diperhatikan adalah waktu pelaksanaan tes. Tes TOEFL
internasional, GRE, atau GMAT biasanya diselenggarakan hanya
beberapa kali dalam setahun. Timing perlu dijaga dengan cermat, karena
jika gagal atau terlewat, artinya beberapa bulan akan terbuang.
~ 29 ~
Melamar Banyak Beasiswa dalam Waktu Bersamaan
Salah satu strategi yang sering dilakukan orang adalah melamar beasiswa
ke banyak tempat pada saat yang hampir bersamaan. Kadang-kadang
dua beasiswa diumumkan pada waktu yang hampir bersamaan, dan
pelamar harus memilih salah satunya. Kondisi ini sering memunculkan
dilema, mana yang harus dipilih. Misalkan ada dua pasang lamaran
beasiswa dan sekolah, S1B1 dan S2B2. Calon mahasiswa punya preferensi
S1B1, tetapi ternyata S2B2 diumumkan lebih dulu. Contoh kasus lain,
misalnya preferensinya ke sekolah S1, tetapi untuk beasiswa ia lebih
memilih B2. Kebetulan pengumuman beasiswa B2 lebih dulu daripada B1.
Jika ia menerima B2, maka ia harus masuk ke S2, padahal sebenarnya ia
lebih suka masuk ke S1. Bagaimana mengambil keputusan dalam situasi
seperti ini?
~ 30 ~
Pada saat mengumumkan, biasanya pemberi beasiswa meminta pelamar
yang berhasil untuk menandatangani surat penerimaan tawaran
beasiswa (offer letter) atau bahkan kontrak. Isinya adalah kesediaan
pelamar untuk menerima beasiswa dan kesanggupannya untuk
melaksanakan ketentuan-ketentuan yang berlaku. Kadang-kadang
muncul persoalan: bagaimana jika pelamar diterima di lebih dari satu
beasiswa, sementara ia sudah terlanjur menandatangani surat
penerimaan tawaran?
~ 31 ~
(part-time) karena tidak mungkin ia bekerja sepanjang hari dari pagi
sampai sore.
~ 32 ~
Problem membagi waktu antara riset dan keharusan untuk tetap
menjalankan pekerjaan lain sering menjadi dilema bagi mahasiswa S3
yang berprofesi dosen, khususnya yang berasal dari perguruan tinggi
yang memiliki SDM yang terbatas. Keinginan mahasiswa dan institusinya
tentu saja adalah studi S3 dan tugas di kampus dapat berjalan beriringan.
Sayangnya, hal itu sulit dilakukan tanpa pengaturan waktu yang
berdisiplin dan pemantauan kemajuan studi yang efektif. Beberapa
mahasiswa yang mencoba melakukan kedua aktivitas tersebut secara
paralel, katakan dalam seminggu mereka menghabiskan 3 hari untuk
riset dan sisanya untuk tugas-tugas lainnya, pada akhirnya menyerah
karena risetnya kedodoran. Pada akhirnya sering kali keputusan untuk
menempuh studi S3 adalah sebuah pilihan all-or-nothing.
~ 33 ~
pengaturan yang terkait dengan pengasuhan anak, anggaran rumah
tangga, atau hal-hal lain terkait dengan kehidupan rumah tangga yang
berubah karena berkurangnya peran ayah/ibu. Persiapan material ini
bisa lebih rumit lagi jika calon mahasiswa bersekolah di luar negeri.
Tambahan hal-hal yang perlu disiapkan antara lain: mencari rumah
tinggal yang sesuai, mencari sekolah untuk anak, sampai dengan
mencarikan kegiatan untuk pasangan.
~ 34 ~
Dalam hal ini, yang paling penting adalah kemampuan untuk memegang
prinsip-prinsip pribadi tanpa harus terganggu dengan pandangan dan
kebiasaan lingkungan yang berbeda. Keengganan untuk menerima
lingkungan dengan tatacara yang berbeda hanya akan menimbulkan
pertentangan dalam hati, yang akhirnya dapat menimbulkan stress yang
berkelanjutan.
~ 35 ~
meninggalkan kegiatan itu dengan mudah. Penentuan prioritas ini harus
benar-benar dijalankan dengan ketat. Tanpa ini, mahasiswa akan dengan
mudah terhanyut dalam kegiatan-kegiatan yang tidak terkait dengan
risetnya. Sekali fokus ke riset diabaikan, sulit untuk mendapatkannya
kembali.
Pemilihan Sekolah
Pertanyaan yang sering muncul dari seseorang yang sedang mencari
perguruan tinggi adalah: universitas mana yang harus saya pilih?
Pertanyaan lainnya: apakah universitas X bagus mutunya, bagaimana bila
dibandingkan dengan universitas Y?
Kriteria yang lebih tepat adalah melihat reputasi bidang yang akan
digeluti, terutama pada aspek risetnya. Mengapa demikian? Karena studi
S3 berlangsung dalam sebuah lingkungan yang spesifik, di bidang yang
spesifik pula. Institusi dengan reputasi tinggi di bidang tertentu akan
menempatkan mahasiswa dan risetnya pada tempat yang terhormat
juga. Pada akhirnya mahasiswa juga bisa lebih mudah untuk
mendapatkan pengakuan (recognition) terhadap hasil risetnya.
~ 36 ~
Mengukur reputasi bidang sebenarnya mudah: perhatikan saja publikasi
riset dosen-dosen yang ada di sana. Perhatikan di jurnal-jurnal mana
mereka mempublikasikan tulisan-tulisan mereka. Indikator lainnya
adalah paten-paten yang dihasilkan dosen, keterlibatan dosen dalam
fora ilmiah internasional, dan penghargaan-penghargaan yang diterima.
~ 37 ~
problem riset, atau untuk hal-hal kecil seperti relaksasi, rekreasi, dan
sebagainya. Bila cocok, lingkungan akademik dapat menjadi motivator
dan pendukung yang kuat dalam menjalankan riset. Lingkungan yang
baik lambat laun akan membentuk pola dan kebiasaan yang baik pula.
Pemilihan Pembimbing
Pembimbing adalah orang lain yang paling berpengaruh selama
mahasiswa menjalani risetnya. Pembimbing adalah mitra yang
mengarahkan, memotivasi, memperkaya wawasan, dan mengoreksi
kesalahan. Pembimbing bahkan bisa menentukan hasil akhir studi
~ 38 ~
mahasiswa, karena dialah yang memutuskan kapan riset S3 bisa diakhiri.
Dia pula yang memilih penguji-penguji dalam ujian akhir. Karena
perannya yang vital ini sebaiknya baik mahasiswa maupun pembimbing
saling kenal dahulu sebelum memulai interaksinya.
Sering kali calon mahasiswa tidak punya teman yang bisa dimintai
bantuan. Dia tidak punya proxy ke perguruan tinggi tujuan, sehingga dia
~ 39 ~
harus mencari sendiri informasi tentang dosen yang bisa diminta menjadi
pembimbingnya. Dalam kondisi ini, Web menjadi andalan. Informasi
yang tercantum di situs Web perguruan tinggi biasanya cukup
memberikan informasi tentang dosen-dosen dan minat risetnya. Dari
sinilah proses “berburu” pembimbing dimulai.
~ 40 ~
Seperti diketahui, riset S3 adalah kegiatan yang memerlukan
kemandirian tinggi. Jikapun ada pembimbing, maka peran pembimbing
hanyalah mengarahkan, bukan membantu menjalankan riset. Dalam
perjalanan riset, mahasiswa akan menemui banyak situasi yang
memerlukan pengambilan keputusan ilmiah (scientific decision making).
Ada saat mahasiswa dihadapkan pada beberapa pilihan. Ada saat
mahasiswa melihat tidak ada jalan yang jelas di depannya. Contohnya
misalkan mendefinisikan problem dan tujuan riset, menentukan lingkup
dan batasan riset, memilih metodologi riset, menentukan peralatan
eksperimen, dan memilih tool untuk analisis data. Keputusan-keputusan
ilmiah ini akan menjadi milestones dalam penelitian mahasiswa, dan
sepenuhnya harus ditentukan oleh mahasiswa sendiri. Tidak ada campur
tangan pembimbing dalam hal-hal tersebut, kecuali arahan-arahan yang
bersifat umum.
Semakin berbeda bidang atau minat riset pembimbing dari bidang riset
mahasiswa, semakin umum pula saran atau arahan yang bisa diberikan.
Di sinilah kemandirian mahasiswa diperlukan. Yang paling menentukan
adalah seberapa berani dia dalam mengambil keputusan tanpa dukungan
yang maksimal dari pembimbingnya. Semakin mandiri mahasiswa,
semakin dia tidak tergantung pada pembimbingnya.
~ 41 ~
bidang riset yang sama. Justru kesempatan ini bisa digunakan untuk
melatih dan memanjakan intelektualitas dalam mengeksplorasi sisi-sisi
baru ilmu pengetahuan. Mahasiswa tidak perlu khawatir, karena dengan
komunikasi yang baik dan pemanfaatan teknologi informasi yang
memadai, bantuan bisa diperoleh dari berbagai sumber yang lain.
Proposal Riset
Proposal riset adalah alat bagi calon mahasiswa untuk menawarkan dan
mengkomunikasikan rencana penelitiannya kepada berbagai pihak,
terutama pada saat-saat melamar sekolah dan/atau beasiswa. Proposal
riset adalah sumber pertama bagi para pihak tersebut dalam
mengidentifikasi apa yang akan dilakukan oleh calon mahasiswa selama
menempuh studi. Assessment ini penting untuk menentukan kelayakan
studinya, atau kelayakan kalau diberi beasiswa.
Proposal riset harus punya “daya dobrak” yang tinggi. Dokumen ini harus
bisa meyakinkan semua pihak bahwa calon mahasiswa memiliki
kapasitas yang cukup dalam menjalankan program S3, memiliki rencana
riset yang jelas dan menjanjikan, dan potensi menyelesaikan studi tepat
waktu. Karena perannya yang sangat vital inilah proposal riset perlu
disiapkan dengan baik. Sayangnya banyak calon mahasiswa yang tidak
memahami pentingnya proposal riset ini, sehingga mereka tidak
menyusunnya secara maksimal. Menurut pengalaman saya, banyak
calon mahasiswa yang baru membuat proposal hanya beberapa minggu
sebelum batas akhir pendaftaran. Jelas hasilnya tidak bisa solid, dan tidak
mencerminkan sebuah perencanaan yang baik.
Sebuah proposal harus dengan jelas dan cepat menjelaskan rencana riset
yang akan dijalankan selama menempuh studi S3. Dengan demikian
paling tidak sebuah proposal harus memuat butir-butir penting sebagai
berikut:
~ 42 ~
• Tujuan riset, hasil yang diharapkan, dan manfaatnya
• Tinjauan pustaka
• Metodologi yang digunakan
• Hal-hal lain yang menentukan keberhasilan riset, seperti alat dan
bahan yang diperlukan, kendala yang mungkin dihadapi, jadwal
penelitian, dan sebagainya.
No Penekanan Cara
1 Membuat problem Bab Pendahuluan perlu memberikan latar
riset terlihat belakang domain yang diteliti secara jelas.
signifikan dan Isu dan problem disampaikan secara
mendasar mendasar (berbicara pada akar
permasalahan, bukan gejala). Penekanan
diberikan pada kerugian atau kelemahan
yang ditimbulkannya, atau potensi manfaat
yang bisa direalisasikan pada masa
mendatang. Pada bagian akhir Pendahuluan
(atau pada subbab terpisah) diberikan
rumusan permasalahan sebagai ringkasan
dari uraian sebelumnya.
~ 43 ~
2 Menunjukkan Keaslian riset ditunjukkan melalui
keaslian dan positioning riset yang akan dijalankan di
orisinalitas antara riset-riset lain yang sudah pernah
dilakukan orang lain. Dalam bab Tinjauan
Pustaka, hal ini dilakukan dengan
mendeskripsikan riset-riset lain tersebut dan
posisi relatifnya terhadap topik riset yang
akan dilakukan mahasiswa. Dengan cara ini
pembaca bisa memahami “peta” riset di
domain tersebut. Pada bagian akhir bisa
disebutkan daerah yang akan ditangani
dalam riset yang akan dilakukan. Penjelasan
ini melengkapi peta riset yang terbentuk
dengan positioning riset-riset, baik yang
telah dilakukan orang lain maupun riset
milik mahasiswa. Peta ini harus bisa
menjelaskan bahwa riset yang akan
dijalankan benar-benar mengisi ruang yang
masih kosong dalam domain tersebut, tidak
bertabrakan dengan riset-riset sebelumnya.
3 Menunjukkan Jika orisinalitas dapat dideskripsikan dengan
signifikansi baik, signifikansi kontribusi sebenarnya
kontribusi sudah bisa terlihat. Untuk lebih memberikan
penekanan, kontribusi riset dapat dijelaskan
secara eksplisit dengan cara menjelaskan
bagaimana riset yang akan dijalankan
menangani problem yang telah disebutkan
sebelumnya, atau menjawab pertanyaan-
pertanyaan mendasar yang dihadapi.
Penjelasan dibangun berdasarkan fakta yang
obyektif dan jangan berlebihan.
4 Menunjukkan Studi S3 tidak bertujuan untuk menghasilkan
kelayakan penelitian temuan yang berlevel mahakarya atau
sempurna. Riset S3 hanya bertujuan
membuktikan bahwa mahasiswa memiliki
kapabilitas untuk menjalankan riset yang
cukup substansial dengan benar secara
~ 44 ~
mandiri. Riset semacam ini tentu dibatasi
oleh banyak kekangan. Untuk itu
proposalnya perlu menunjukkan bahwa
penelitian ini dapat dijalankan dalam
kerangka waktu, biaya, dan sumber daya
lain yang tersedia. Penjelasan tentang
metodologi (termasuk langkah-langkah
riset, kebutuhan sumber daya, dan
penjadwalan) harus mencerminkan tujuan
dan sasaran riset.
~ 45 ~
bukan hanya buku teks atau artikel-artikel populer. Buku teks dan artikel
populer tidak bisa memberikan pemahaman tentang riset-riset yang
dilakukan dalam bidang yang dipilih, sementara calon mahasiswa harus
menyelam ke dasar domain riset untuk mengetahui apa yang sedang
terjadi di sana. Penyelaman ke dasar harus dilakukan dengan bantuan
artikel-artikel di jurnal-jurnal dan seminar-seminar ilmiah, yang secara
terkini mengabarkan kemajuan-kemajuan yang diperoleh dari riset-riset
yang bersifat state-of-the-art.
Pertanyaan yang sering terlontar dari calon mahasiswa: dari mana saya
harus memulai mencari topik riset yang sesuai? Langkah-langkah berikut
ini bisa dijadikan pedoman:
1. Tentukan bidang riset yang diminati sebagai titik awal. Bidang ini
bisa saja bidang yang masih luas dan umum, misalnya yang sesuai
dengan bidang kerja (contoh: biologi molekuler, pengelolaan
otonomi daerah, atau rekayasa perangkat lunak).
2. Dalam bidang riset di atas, biasanya ada pembagian yang lebih
spesifik/fokus. Pilihlah salah satu yang paling diminati.
3. Jika dirasakan perlu untuk memperkuat basis pemahaman dalam
subbidang yang dipilih, perbanyaklah membaca buku teks atau
referensi lainnya.
4. Mulailah untuk “menyelam”. Carilah jurnal-jurnal atau seminar-
seminar yang ternama dalam subbidang tersebut. Indikatornya
sederhana: jurnal atau seminar yang terkenal selalu punya rekam
jejak penyelenggaraan yang teratur. Indikator lain, makalah-
makalah yang dipublikasikan di sana memiliki impact rate yang
tinggi (artinya: banyak diacu oleh makalah-makalah yang lain).
5. Carilah artikel-artikel yang menarik, pelajari substansinya, dan
pahami persoalan yang dihadapi, riset yang dilakukan, dan hasil
yang diperoleh. Sebuah hasil atau temuan riset pada dasarnya
bukan artefak yang berdiri sendiri. Ia adalah sebuah blok yang
berdiri di atas blok-blok yang dihasilkan oleh riset-riset
sebelumnya (Gambar 3-1). Blok-blok tersebut membentuk
“rantai” kemajuan riset.
~ 46 ~
Waktu Riset terkini
Riset-riset sebelumnya
~ 47 ~
6. Lakukan langkah nomor 5 sampai terbentuk sebuah “peta” yang
relatif utuh tentang riset-riset di bidang yang dipilih. Peta ini
sekaligus memberikan informasi tentang persoalan-persoalan di
bidang itu yang belum terselesaikan.
7. Pilih satu persoalan, lalu fokuskan perhatian ke sana. Kumpulkan
referensi, bangunlah argumentasi, dan akhirnya, mulailah
menulis proposal.
Proses Persiapan
Agar semua persiapan bisa lebih terarah dan terencana, ada baiknya
calon mahasiswa membuat penjadwalan dari semua kegiatan
persiapannya. Tabel III-2 memberikan gambaran kegiatan-kegiatan
utama dalam melamar sekolah S3 dan beasiswa berikut perkiraan
waktunya. Perlu diingat bahwa penjelasan pada Tabel III-2 bersifat
umum. Sangat dimungkinkan ada variasi-variasi dalam proses melamar,
tapi dengan tabel dan gambar tersebut calon mahasiswa dapat
mengantisipasi dan menyesuaikannya dengan proses yang dijalaninya.
~ 48 ~
Tabel 3-2. Kegiatan-kegiatan penting dalam melamar sekolah S3 dan
beasiswa
No Kegiatan Durasi
Tipikal
1 Menyiapkan dokumen-dokumen persyaratan 1 bulan
sekolah dan beasiswa (ijazah, transkrip,
rekomendasi dari tempat kerja)
2 Menyiapkan tes bahasa dan potensi akademik 1 – 6 bulan
3 Mendapatkan rekomendasi dari calon 1 – 3 bulan
pembimbing dan surat penerimaan (letter of
acceptance) dari perguruan tinggi tempat
belajar
4 Menulis proposal riset 3 – 6 bulan
5 Menjalani proses seleksi (sekolah dan 1 – 6 bulan
beasiswa)
Skenario tipikal yang sering terjadi adalah bahwa aplikasi beasiswa harus
disertai dengan surat rekomendasi dari calon pembimbing atau bukti
penerimaan dari perguruan tinggi tempat belajar. Gambar 3-2
mengilustrasikan proses yang terjadi dalam skenario ini.
~ 49 ~
1 Apa Menariknya Punya Gelar Doktor?
Saat ini gelar doktor memang sedang menjadi primadona. Sesuatu yang
sexy, kata orang, sehingga banyak diburu. Siapa saja yang gencar
memburu gelar ini? Mengapa mereka melakukannya?
Pemburu gelar doktor yang paling antusias tentu saja adalah orang-orang
yang bekerja di dunia akademik dan riset. Bagi para dosen di perguruan
tinggi dan peneliti di lembaga-lembaga riset, gelar doktor adalah tujuan
formal yang paling tinggi dalam jenjang pendidikan akademik yang
mungkin mereka tempuh. Bagi para insan akademik, derajad doktor tidak
hanya dilihat sebagai atribut yang bersifat eksternal (seperti sebutan
“haji” misalnya), tetapi lebih merupakan tuntutan yang melekat pada
profesi pendidik itu sendiri. Tidak ada dosen yang tidak ingin meraih gelar
doktor, karena pencapaian itu merupakan bagian dari tugas pekerjaan
sebagai dosen. Apalagi perguruan tinggi sendiri menawarkan jenjang ini
sebagai salah satu core businessnya (seperti disebutkan dalam Peraturan
Pemerintah nomor 60 tahun 1999).
~1~
Wawancara bisa dilakukan dalam setting formal maupun agak informal.
Dalam setting formal seperti yang dijalankan di departemen saya, calon
mahasiswa dipersilakan memberikan presentasi tentang rencana
penelitiannya di hadapan panelis yang terdiri dari beberapa dosen,
kemudian diikuti dengan tanya jawab seputar rencana tersebut. Tidak
tertutup pula kemungkinan pertanyaan-pertanyaan yang diajukan juga
menyangkut hal-hal seperti pengalaman, pekerjaan, publikasi, dan hal-
hal lain yang bisa menunjukkan kesiapan calon mahasiswa.
Para penguji adalah dosen yang bergelar doktor. Bagi mereka, hanya
penjelasan yang logis dan runtut yang dapat memuaskan rasa ingin tahu
mereka. Kalau mereka belum merasa puas, mereka akan mengeksplorasi
lebih jauh dengan mengajukan pertanyaan-pertanyaan yang lebih
~ 51 ~
detil/rinci. Calon mahasiswa harus bisa merespon pertanyaan-
pertanyaan mereka dengan jawaban-jawaban yang jelas, fokus, dan
argumentatif. Bagaimana agar bisa menjawab pertanyaan-pertanyaan
tersebut dengan baik? Satu-satunya jalan adalah dengan benar-benar
memahami area penelitiannya dengan baik pula, dan seperti yang telah
dijelaskan sebelumnya, hal ini memerlukan persiapan tersendiri dan
waktu yang cukup.
Yang juga perlu diperhatikan adalah bahwa para penguji adalah orang-
orang yang pernah mengalami proses belajar pada jenjang S3. Artinya,
meskipun secara keilmuan bidang mereka berbeda, tetapi mereka
memiliki “sense” untuk mendeteksi apakah calon mahasiswa memiliki
kesiapan dalam menempuh program S3. Ibaratnya seorang sopir yang
berpengalaman, dia bisa meng-assess kemampuan seorang sopir baru
dengan memperhatikan bagaimana si sopir baru mengemudikan mobil.
Jadi jangan menyepelekan tentang kemampuan mereka.
~ 52 ~
4 Manajemen Studi S3
~ 53 ~
(proven) dalam merencanakan, mengeksekusi, memonitor dan
mengevaluasi, serta mengakhiri proses studi. Pendekatan ilmiah dan
sistematis diharapkan dapat meminimalkan ekses-ekses negatif yang
mungkin muncul selama studi berjalan. Pengelolaan studi yang baik pada
akhirnya dapat menjaga semua kegiatan studi tetap berjalan di relnya.
Tahapan Studi S3
Sebelum membahas tentang manajemen studi S3, perlu dipahami dulu
tahap-tahap yang harus dijalani selama proses studi. Tiap tahap
menunjukkan fase yang memiliki fokus tertentu. Yang juga perlu
dipahami adalah tahapan studi S3 di satu perguruan tinggi tidak selalu
sama dengan tahapan di perguruan tinggi lainnya, tergantung pada
“sistem” yang dianut. Sistem di Amerika misalnya, cenderung lebih
terstruktur dalam arti tiap fase harus dijalankan secara ketat. Di
Indonesia yang juga menerapkan sistem Amerika, keketatan struktural
tersebut bermanifestasi dalam bentuk antara lain kewajiban untuk
menempuh beberapa matakuliah dan melewati ujian komprehensif. Di
sisi lain, sistem Commonwealth cenderung lebih “longgar” dalam arti
batas-batas tiap fase terkadang tidak terlihat jelas. Di Australia misalnya,
masa studi 3 tahun biasanya tidak dibagi secara tegas dalam fase-fase.
Tidak ada kuliah, tidak ada ujian komprehensif.
1. Inisiasi/persiapan riset
2. Eksekusi/pelaksanaan riset
3. Penyelesaian (closing)
~ 54 ~
yang bisa dimulai sebelum status formal sebagai mahasiswa S3
diperoleh.
Mulai periode
Selesai studi
Mulai studi
kandidatur
Finalisasi
Waktu
Persiapan Persiapan Pelaksanaan Penyelesaian
studi riset riset studi
Penyusunan
proposal
Perkuliahan
Ujian
komprehensif
Riset
Penulisan
disertasi
Ujian akhir
~ 55 ~
Beberapa perguruan tinggi memverifikasi kesiapan ini dengan
mengadakan ujian komprehensif (ada yang menyebutnya dengan ujian
proposal), dan beberapa perguruan tinggi lainnya cukup
memverifikasinya melalui forum seminar lokal (pada tingkat jurusan atau
departemen misalnya).
~ 56 ~
Dalam ujian komprehensif (ujian proposal), mahasiswa diminta
menjelaskan tentang rencana risetnya. Tim penguji akan menilai
kesiapan mahasiswa berdasarkan proposalnya serta pemahamannya
terhadap materi riset. Jika mahasiswa lulus dari ujian ini, maka
sebutannya akan berubah menjadi “calon doktor”
(promovendus/promovenda). Sejak saat inilah proses riset yang
sebenarnya (periode kandidatur) dimulai.
Ujian akhir. Jenjang S3 adalah puncak karir akademik yang bisa ditempuh
seseorang, sehingga wajar jika gelar S3 dipandang sebagai sesuatu yang
sangat bernilai. Wajar pula jika kemudian berbagai usaha dilakukan
untuk menjaga nilai dan kualitasnya. Terkait dengan proses penyelesaian
studi, pada umumnya ada proses evaluasi untuk menilai kelayakan hasil
riset dan naskah disertasi sebelum seorang mahasiswa diperbolehkan
menempuh ujian akhir.
~ 57 ~
ke jurnal-jurnal dan seminar-seminar ilmiah terkemuka, artinya hasil
risetnya diakui oleh komunitas ilmiah di bidangnya. Semakin terpandang
media atau forum publikasinya, semakin tinggi pengakuan yang
diperoleh. Hal ini menjadi alasan bagi beberapa perguruan tinggi untuk
menetapkan syarat minimal publikasi internasional bagi mahasiswa S3
sebelum mereka bisa mengikuti ujian akhir.
Evaluasi kelayakan juga dapat dilakukan secara lokal. Metode ini banyak
digunakan oleh perguruan-perguruan tinggi di Indonesia. Ada tim atau
komite yang dibentuk untuk keperluan ini. Tim ini akan mengkaji disertasi
mahasiswa dan jika perlu memberikan kritik dan saran perbaikan untuk
penyempurnaannya. Mahasiswa baru diijinkan menempuh ujian akhir
setelah ia berhasil melewati tahap evaluasi kelayakan ini.
Ujian model oral biasanya dilakukan dalam dua tahap, yaitu ujian
tertutup dan ujian terbuka. Ujian tertutup adalah ujian yang sebenarnya
yang menentukan kelayakan pemberian gelar doktor. Ujian terbuka lebih
bersifat diseminasi dan selebrasi. Pada ujian terbuka, proses ujian
sebenarnya untuk menjelaskan hasil riset calon doktor kepada
pengunjung yang sebagian besar justru berasal dari kalangan awam
(keluarga, kolega, dan relasi). Pertanyaan-pertanyaan dalam ujian
terbuka bukanlah untuk menguji secara substansial, tetapi lebih pada
~ 58 ~
menggali hasil riset dan membangun pemahaman pengunjung tentang
riset yang dikerjakan.
~ 59 ~
yang dilakukan terhadap faktor-faktor resiko secara kontinyu selama
studi.
Perencanaan Studi
Ada satu pepatah barat yang mengatakan: “failure to plan means
planning to fail”. Ketidakmampuan dalam merencanakan sesuatu dengan
baik sama saja dengan merencanakan kegagalan. Perencanaan bertujuan
membangun jalur yang akan ditempuh dalam perjalanan menuju
pencapaian tujuan. Perencanaan mengidentifikasi kegiatan-kegiatan apa
saja yang akan dilakukan dan menyiapkan kebutuhan-kebutuhan yang
terkait dengannya. Ciri khas perencanaan adalah sifat antisipatifnya.
Antisipasi diperlukan karena yang dibicarakan adalah hal-hal yang akan
terjadi pada masa yang akan datang, yang kondisinya diwarnai dengan
ketidakpastian.
~ 60 ~
diakses atau digunakan dengan semestinya pada saat ia diperlukan. Hal
ini menjadi krusial saat sumber daya yang diperlukan tersedia atau bisa
diakses secara terbatas, atau jika kebutuhan itu muncul dengan
kekangan yang ketat (misalnya, harus dilakukan pada saat yang sudah
direncanakan dan tidak bisa diulang lagi). Bayangkan saja misalnya
sebuah eksperimen yang penting gagal hanya karena alat yang
diperlukan tidak tersedia pada saat dibutuhkan.
~ 61 ~
sumber daya. Tentu saja kegiatan-kegiatan untuk masing-masing
mahasiswa bisa berbeda, tergantung pada banyak hal.
~ 62 ~
Gambar 4-2. Kegiatan-kegiatan studi S3 hasil proses dekomposisi
~ 63 ~
potongan penjadwalan yang digambarkan dengan diagram Gantt untuk
kegiatan-kegiatan dalam studi S3.
Jadwal yang baik adalah modal yang penting bagi pelaksanaan kegiatan.
Dengan rencana penjadwalan yang baik, pelaksanaan studi akan lebih
terkontrol dan jika ada penyimpangan-penyimpangan akan lebih mudah
dideteksi dan diatasi secara lebih dini.
~ 64 ~
dihasilkan, dan temuan baru ini memperkaya semesta pengetahuan
dengan hal-hal baru. Kata Matt dalam bukunya, “Keep pushing”. Ini
adalah pesan untuk memperbesar tonjolan pada Gambar 2-1 agar
semakin lama semakin membesar melaui riset-riset, memperkaya
khasanah ilmu pengetahuan.
~ 15 ~
demikian, esensi maknanya tetap sama. Eksplorasi dan penggalian
tetaplah dituntut untuk sampai menggali aspek-aspek fundamental
dalam lingkup bidang ilmu tersebut. Keluaran riset S3 adalah
pemahaman-pemahaman baru yang dapat memperkaya khasanah ilmu
pengetahuan di bidang itu. Yang diperkaya adalah khasanah ilmu
pengetahuan, bukan pengalaman pemanfaatan (aplikasi) ilmu tersebut.
Artinya, riset S3 tidak cukup sampai tataran aplikasi saja, meskipun di
lingkup itupun muncul hal-hal baru yang juga menarik dan bermanfaat.
~ 16 ~
spesifik tempat munculnya resiko-resiko tertentu. Prakiraan bertujuan
mengidentifikas kemungkinan (probabilitas) munculnya resiko di area
tersebut. Tentu saja tidak mungkin untuk melakukan identifikasi
terhadap semua potensi resiko, tetapi paling tidak resiko-resiko dengan
probabilitas kemunculan yang cukup tinggi bisa teridentifikasi.
~ 67 ~
memperhitungkan 20% faktor-faktor yang paling dominan saja, karena
yang 20% ini berpengaruh menimbulkan 80% dari total efek yang bisa
terjadi.
~ 68 ~
Penanganan Resiko
Jika aspek dampak resiko dan probabilitas atau frekuensi kemunculan
digabungkan, pada akhirnya semua resiko yang teridentifikasi dapat
dikelompokkan ke dalam kategori-kategori seperti ditunjukkan pada
Gambar 4-5.
Frekuensi
kemunculan
Tinggi
(3) (4)
(1) (2)
Dampak/
efek
Rendah Tinggi
~ 69 ~
tersebut, sehingga pendekatan ini hanya cocok digunakan untuk resiko-
resiko dalam kelompok (1).
~ 70 ~
Pemantauan (Monitoring)
Sebagus-bagusnya sebuah rencana dibuat, pasti dalam pelaksanaannya
ada hal-hal yang membuat rencana tersebut tidak bisa dijalankan 100%.
Persoalannya adalah bahwa tiap penyimpangan selalu berpotensi
mengganggu jalannya “proyek” studi. Agar studi tidak terganggu, tiap
penyimpangan harus bisa dideteksi dan diatasi sedini mungkin sebelum
membesar dan menjadi tidak terkendali. Untuk itu mahasiswa harus
selalu memonitor kemajuan dari tiap kegiatan yang dilaksanakannya.
~ 71 ~
keinginannya secara lugas kepada mahasiswa. Orang Jawa terbiasa
mengungkapkan makna secara tersamar, sehingga mahasiswa dituntut
untuk peka terhadap kondisi ini. Contoh kecil ini sekaligus menunjukkan
bahwa dalam studi S3, mahasiswa tidak hanya belajar tentang bidang
risetnya saja. Ia juga harus belajar tentang hal-hal non-akademik
menunjang studinya. Meskipun kelihatannya tidak terlalu penting, tapi
ketrampilan mengamati fenomena sungguh merupakan bekal yang
sangat berharga dalam menghadapi berbagai situasi, bahkan setelah
selesai menempuh studi S3nya.
~ 72 ~
Mengatasi Keterbatasan Sumber Daya Riset
Riset S3 bisa memerlukan biaya yang sangat besar, terutama riset di
bidang ilmu-ilmu dasar dan teknologi. Bagi perguruan tinggi dengan
sumber daya (finansial) yang cukup, hal itu tidaklah menjadi masalah.
Lain halnya dengan perguruan tinggi yang tidak memiliki dana dan
peralatan yang memadai. Kondisi seperti ini sering kali menghadang
mahasiswa S3, terutama yang bersekolah di perguruan-perguruan tinggi
di negara sedang berkembang seperti Indonesia, dan pada akhirnya
membentuk pola-pola tertentu dalam riset-riset yang dijalankannya.
~ 73 ~
misalnya, bahkan topik-topik yang bersifat terapan juga memerlukan
penggunaan mikroskop elektron, sementara jumlah mikroskop elektron
di Indonesia masih sangat terbatas. Jadi bagaimana caranya mengatasi
situasi demikian?
~ 74 ~
Saat ini membangun kerjasama seperti contoh di atas tidaklah sulit.
Pengalaman saya, saat ini banyak perguruan tinggi asing yang ingin
menjalin kerjasama dengan perguruan tinggi di Indonesia. Mereka
datang ke Indonesia, memperkenalkan diri, menawarkan program-
programnya, merekrut calon mahasiswa dari Indonesia, dan menjalin
kerjasama-kerjasama yang lebih spesifik. Peluang ini harus dimanfaatkan
secara cerdas. Salah satunya adalah dengan mengakses sumber daya
riset yang melimpah untuk mendukung riset-riset mahasiswa kita.
~ 75 ~
Manajemen Waktu dan Fokus
Pengalaman membimbing mahasiswa S3 membawa saya pada keyakinan
bahwa studi S3 di Indonesia tidak bisa dilakukan secara paruh waktu. Di
luar negeri mungkin bisa, tetapi di negeri kita rasanya hal itu sulit sekali
dilakukan. Penyebabnya adalah kesulitan yang dihadapi mahasiswa
dalam re-focusing ke penelitiannya jika ia harus bolak-balik berganti
perhatian, dari penelitiannya ke kegiatan lainnya (misalnya, pekerjaan di
kantor). Di luar negeri, sarana yang tersedia cukup lengkap, sehingga re-
focusing bisa dilakukan dengan cepat. Saat berada dikantorpun seorang
mahasiswa S3 bisa mengakses koleksi perpustakaan universitasnya,
berkomunikasi live dengan pembimbingnya, atau bahkan menjalankan
eksperimennya secara remote. Di Indonesia, jangan berharap semua
kemudahan itu diperoleh, sehingga mahasiswa perlu waktu yang lebih
lama untuk kembali ke fokus penelitiannya. Jika hal ini dilakukan
berulang-ulang dalam periode yang lama, saya khawatir mahasiswa tidak
punya cukup energi untuk bertahan.
~ 76 ~
bertujuan memanfaatkan alokasi waktu yang tersedia seefektif dan
seefisien mungkin. Dalam 3 tahun masa studi, mahasiswa harus bisa
membagi waktunya untuk bisa mencapai berbagai milestones yang
dipersyaratkan.
~ 77 ~
5 Pembimbingan
~ 78 ~
mengikuti ujian sepenuhnya ditentukan oleh pembimbing, dan
kekuasaan ini benar-benar mutlak. Di Jepang misalnya, kekuasaan
profesor di laboratorium yang dipimpinnnya, termasuk ke semua
mahasiswa yang melakukan riset di situ, bisa dikatakan mutlak. Sampai-
sampai lab tersebut diberi nama dengan nama profesor yang menjadi
pimpinannya. Di negara-negara barat yang lebih demokratis, meskipun
hubungan antara mahasiswa dan pembimbing lebih egaliter, tetap saja
persepsi sebagai “orang yang sangat menentukan kelulusan” melekat
pada pembimbing.
~ 79 ~
Hubungan antara pembimbing dan mahasiswa adalah hubungan jangka
panjang (long-term relationship). Keduanya akan saling berinteraksi
setidaknya selama masa studi mahasiswa. Banyak hal yang bisa terjadi
dalam masa 3 tahun, dan tentu saja bisa muncul dinamika-dinamika baik
yang bersifat positif atau negatif. Perlu diingat pula bahwa interasi antara
pembimbing dan mahasiswa bisa meluas keluar dari domain akademik.
Banyak pembimbing yang memperlakukan mahasiswa sebagai teman
secara personal, sebaliknya banyak juga mahasiswa yang berkonsultasi
dengan pembimbing untuk problem-problem non-akademik. Di luar
keluarga, saudara, dan teman-teman di kantor/sekolah, pembimbing
bisa jadi adalah orang yang paling dekat dengan mahasiswa. Untuk
membangun hubungan yang harmonis, perlu ada chemistry yang
melekatkan pembimbing dengan mahasiswa.
~ 80 ~
pembimbingnya lulusan universitas terkenal di Jepang, siap-siaplah
untuk diajak bekerja keras tanpa memperhitungkan waktu.
~ 81 ~
Mahasiswa juga perlu mengetahui kebiasaan pembimbing dalam
menetapkan target dan sasaran bagi mahasiswanya. Ada
pembimbing yang menetapkan target-target jadwal secara rinci.
Ada juga yang senang melihat produk, misalnya berupa makalah-
makalah hasil riset. Ada juga yang persyaratan targetnya longgar
dan mengikuti aturan jurusan, fakultas, atau universitas saja.
~ 82 ~
mengutamakan eksplorasi dan menentukan tahap selanjutnya
berdasarkan hasil yang diperoleh saat ini. Dari kedalamannya, ada
yang sabar dan mau mengikuti sampai detil, ada pula yang lebih suka
bermain pada konsep-konsep umum saja.
~ 83 ~
gaya membimbingnya tidak cocok dan menimbulkan kendala-
kendala bagi mahasiswa? Jika demikian, apa boleh buat, cobalah
untuk bernegosiasi. Mahasiswa bisa menanyakan apa sebenarnya
ekspektasi dari pembimbing sehingga dia menjalankan
pembimbingan dengan gaya seperti itu. Setelah memahami
ekspektasi pembimbing, mahasiswa dapat mencari alternatif cara
atau metode kerja yang sekiranya dapat memenuhi ekspektasi
tersebut. Yakinkan pembimbing bahwa cara yang diusulkan tersebut
efektif untuk memenuhi ekspektasinya. Jika setelah hal ini
dilakukanpun masih ada kendala, berarti memang keduanya tidak
cocok. Kondisi ini perlu dibicarakan secara lebih serius dan formal.
~ 84 ~
Pada akhirnya hubungan antara mahasiswa dan pembimbingnya adalah
hubungan antara dua manusia. Tidak ada “rumus” yang pasti untuk
membangun hubungan yang harmonis, tetapi tiap manusia selalu
dibekali dengan kemampuan untuk menyesuaikan diri dengan apa yang
ditemuinya. Bagaimana menggunakan kemampuan ini, di situlah letak
seni membangun hubungan dengan pembimbing.
~ 85 ~
bukan hanya untuk keperluan studi, tapi juga untuk pengembangan
kerjasama pada masa yang akan datang.
~ 86 ~
diperlukan. Mahasiswa dapat meminta pembimbing untuk
menggerakkan apa yang dimiliki atau dapat diaksesnya.
~ 87 ~
bahwa riset mahasiswa memang memerlukan bantuan dan mahasiswa
tidak memiliki kemampuan yang cukup untuk mengatasi problem-
problemnya. Selain itu faktor sikap (attitude) seperti kemauan untuk
bekerja keras, tidak mudah putus asa, dan resourceful juga sangat
penting untuk membangkitkan kepercayaan.
~ 88 ~
bermanfaat diskusi dan interaksinya dengan pembimbing. Kedua pihak
harus menyiapkan diri agar saat bertemu dapat berinteraksi secara cair,
lancar, dan efektif. Keduanya perlu memiliki prior knowledge tentang
topik yang akan didiskusikan, sehingga ada baiknya topik diskusi
disepakati sebelumnya. Jika ingin lebih rinci, mahasiswa dapat membuat
tulisan ringkas tentang topik diskusi, lalu dikirimkan ke pembimbing
sebelum diskusi berlangsung.
~ 89 ~
Dalam konsultasi dan diskusi, tempatkan diri pada posisi yang pas. Dalam
hal riset, mahasiswa S3 bukan subordinat atau bawahan pembimbing.
Karena tujuan diskusi atau konsultasi adalah dalam rangka mahasiswa
mengeksplorasi daerah-daerah ilmu pengetahuan yang belum banyak
diketahui, mahasiswa harus memiliki inisiatif. Jangan takut untuk
menyampaikan pendapat dan ide, serta beradu argumentasi dengan
pembimbing. Ingatlah bahwa riset S3 sebenarnya adalah proses
pelatihan untuk melakukan penelitian mandiri. Riset mengandalkan
metode ilmiah, dan metode ilmiah dicirikan dengan logika, keruntutan,
dan obyektifitas. Selamat mahasiswa berada dalam koridor metode
ilmiah, ia tidak melakukan kesalahan apapun. Beradu argumentasi dan
berdebat dengan pembimbing itu wajar-wajar saja, asal dilakukan secara
logis dan obyektif. Justru sebaiknya mahasiswa memanfaatkan
kesempatan berdiskusi untuk menajamkan ketrampilannya dalam
membangun argumentasi dan mempertahankannya.
Manifestasi konflik sangat beragam, ada yang tidak terlihat jelas, sampai
yang diekspresikan secara vulgar. Konflik tidak selalu harus muncul dalam
bentuk ungkapan verbal. Sikap atau gesture yang menunjukkan
ketidaksetujuan, ketidaknyamanan, atau keengganan juga bisa dianggap
sebagai tanda-tanda adanya konflik.
~ 90 ~
terkait dengan ide, konsep, cara pandang, sikap, perilaku, kebiasaan, dan
hal-hal lain yang mungkin terungkap dalam komunikasi antara keduanya.
Gambar 5-1 mengilustrasikan tahapan perkembangan konflik
berdasarkan intensitas dan frekuensi kemunculannya.
Intensitas Intensitas Intensitas
konflik konflik konflik
Konflik (a) adalah konflik yang sifatnya insidental. Konflik tipe ini hanya
muncul sekali-sekali, dengan intensitas yang rendah. Pada umumnya
konflik ini terjadi pada hubungan pembimbing-mahasiswa yang baik-baik
saja, tetapi pada saat-saat tertentu mengalami pergesekan karena
perbedaan pendapat, salah interpretasi, atau salah pengertian.
Penanganannya relatif mudah, karena dengan dasar relasi yang baik,
kesalahpamahan atau perbedaan pendapat bisa diselesaikan dengan
cepat. Dalam kasus konflik yang dipicu oleh perbedaan pendapat, bisa
saja kedua pihak tetap memiliki pendapat yang berbeda, tetapi
munculnya saling pengertian membuat konflik dapat diakhiri. Dengan
mengedepankan hubungan baik, biasanya solusi konflik dapat dengan
mudah diperoleh melalui kesediaan untuk saling memahami.
Konflik jenis (a) dapat berkembang menjadi jenis (b) bila tidak
terselesaikan dengan baik dan terulang pada waktu yang lain. Frekuensi
kemunculannya meningkat, demikian pula intensitasnya. Kondisi ini
mulai membahayakan karena berpotensi merusak pondasi hubungan
baik antara pembimbing dan mahasiswa. Idealnya untuk menyelesaikan
konflik pada tingkatan ini, kedua pihak harus bersedia “mundur” dan
menata ulang situasi dan kondisi penyebab munculnya konflik.
Sayangnya biasanya kondisi ideal ini jarang tercapai karena relasi
~ 91 ~
mandiri. Riset semacam ini tentu dibatasi
oleh banyak kekangan. Untuk itu
proposalnya perlu menunjukkan bahwa
penelitian ini dapat dijalankan dalam
kerangka waktu, biaya, dan sumber daya
lain yang tersedia. Penjelasan tentang
metodologi (termasuk langkah-langkah
riset, kebutuhan sumber daya, dan
penjadwalan) harus mencerminkan tujuan
dan sasaran riset.
~ 45 ~
bukan hanya buku teks atau artikel-artikel populer. Buku teks dan artikel
populer tidak bisa memberikan pemahaman tentang riset-riset yang
dilakukan dalam bidang yang dipilih, sementara calon mahasiswa harus
menyelam ke dasar domain riset untuk mengetahui apa yang sedang
terjadi di sana. Penyelaman ke dasar harus dilakukan dengan bantuan
artikel-artikel di jurnal-jurnal dan seminar-seminar ilmiah, yang secara
terkini mengabarkan kemajuan-kemajuan yang diperoleh dari riset-riset
yang bersifat state-of-the-art.
Pertanyaan yang sering terlontar dari calon mahasiswa: dari mana saya
harus memulai mencari topik riset yang sesuai? Langkah-langkah berikut
ini bisa dijadikan pedoman:
1. Tentukan bidang riset yang diminati sebagai titik awal. Bidang ini
bisa saja bidang yang masih luas dan umum, misalnya yang sesuai
dengan bidang kerja (contoh: biologi molekuler, pengelolaan
otonomi daerah, atau rekayasa perangkat lunak).
2. Dalam bidang riset di atas, biasanya ada pembagian yang lebih
spesifik/fokus. Pilihlah salah satu yang paling diminati.
3. Jika dirasakan perlu untuk memperkuat basis pemahaman dalam
subbidang yang dipilih, perbanyaklah membaca buku teks atau
referensi lainnya.
4. Mulailah untuk “menyelam”. Carilah jurnal-jurnal atau seminar-
seminar yang ternama dalam subbidang tersebut. Indikatornya
sederhana: jurnal atau seminar yang terkenal selalu punya rekam
jejak penyelenggaraan yang teratur. Indikator lain, makalah-
makalah yang dipublikasikan di sana memiliki impact rate yang
tinggi (artinya: banyak diacu oleh makalah-makalah yang lain).
5. Carilah artikel-artikel yang menarik, pelajari substansinya, dan
pahami persoalan yang dihadapi, riset yang dilakukan, dan hasil
yang diperoleh. Sebuah hasil atau temuan riset pada dasarnya
bukan artefak yang berdiri sendiri. Ia adalah sebuah blok yang
berdiri di atas blok-blok yang dihasilkan oleh riset-riset
sebelumnya (Gambar 3-1). Blok-blok tersebut membentuk
“rantai” kemajuan riset.
~ 46 ~
Waktu Riset terkini
Riset-riset sebelumnya
~ 47 ~
Bagaimana jika cara di atas juga masih belum berhasil? Bagaimana jika
para pembimbing masih bersikukuh dengan pendapat masing-masing?
Jika mahasiswa sudah tidak bisa lagi mempertemukan pendapat
pembimbing-pembimbingnya, maka usahakan agar para pembimbing
tersebut bisa bertemu dan berdiskusi langsung. Cara mudahnya adalah
menyiapkan sebuah forum diskusi kecil yang melibatkan mahasiswa dan
para pembimbingnya. Dalam forum tersebut, mahasiswa menjelaskan
apa yang dihadapi dan meminta pendapat para pembimbingnya. Jika ada
perbedaan pendapat di antara mereka, mereka bisa langsung
mendiskusikan dan menyelesaikannya, sehingga mahasiswa bisa
mendapatkan arahan-arahan yang bersifat “consolidated”.
Bagaimana jika masih belum berhasil juga? Upaya terakhir adalah dengan
meminta bantuan otoritas resmi seperti Ketua Program Studi, Ketua
Departemen, atau Ketua Komite Riset. Jangan berlama-lama berdiri di
tengah dalam kebimbangan, semakin lama dibiarkan, tekanan akan
semakin besar, dan bisa menyebabkan mahasiswa seperti pelanduk yang
mati di tengah pertikaian antar gajah.
~ 95 ~
6 Penulisan Artikel Ilmiah dan Disertasi
Menulis artikel ilmiah dan naskah disertasi adalah bagian yang tidak
terpisahkan dari proses studi S3. Menulis adalah cara universal bagi
seorang insan akademik untuk menyampaikan ide, pemikiran, gagasan,
fakta, dan temuan hasil penelitiannya kepada komunitas ilmiah.
Seberapa bagusnyapun hasil riset seseorang, selama itu tidak ditulis
dengan baik, maka nilai yang dikandungnya tidak akan dapat
disebarluaskan secara optimal. Dengan demikian ketrampilan menulis
sangatlah penting dalam studi S3.
~ 96 ~
Ciri Tulisan Ilmiah
Tulisan ilmiah berbeda dengan tulisan kasual, reportase/jurnalistik, karya
sastra, atau laporan. Meskipun semua tulisan sama-sama menjelaskan
pokok-pokok pikiran si penulis, tulisan ilmiah memiliki kaidah, struktur,
dan format tertentu. Beberapa ciri tulisan ilmiah dijelaskan sebagai
berikut.
~ 97 ~
Strategi pengembangan (abstraksi) secara iteratif dapat dilakukan
untuk menghadapi situasi ini. Pada awalnya, mulailah dengan
mengidentifikasi aspek-aspek yang menjadi atribut kunci dari
substansi yang akan ditulis. Rule of thumb-nya adalah, jika sebuah
aspek dihilangkan dan kemudian makna/pemahaman terhadap
materi tidak bisa diperoleh secara utuh, maka aspek tersebut adalah
atribut kunci. Menjelaskan mobil listrik tanpa menyebutkan
mekanisme konversi energi listrik menjadi energi gerak akan
membuat penjelasannya menjadi kurang lengkap. Sebaliknya,
penjelasan tentang daya yang dihasilkan mungkin tidak perlu
dimunculkan pada saat awal karena menghilangkan hal ini tidak
banyak berpengaruh terhadap terbentuknya abstraksi tentang
mobil listrik.
~ 98 ~
Wawancara bisa dilakukan dalam setting formal maupun agak informal.
Dalam setting formal seperti yang dijalankan di departemen saya, calon
mahasiswa dipersilakan memberikan presentasi tentang rencana
penelitiannya di hadapan panelis yang terdiri dari beberapa dosen,
kemudian diikuti dengan tanya jawab seputar rencana tersebut. Tidak
tertutup pula kemungkinan pertanyaan-pertanyaan yang diajukan juga
menyangkut hal-hal seperti pengalaman, pekerjaan, publikasi, dan hal-
hal lain yang bisa menunjukkan kesiapan calon mahasiswa.
Para penguji adalah dosen yang bergelar doktor. Bagi mereka, hanya
penjelasan yang logis dan runtut yang dapat memuaskan rasa ingin tahu
mereka. Kalau mereka belum merasa puas, mereka akan mengeksplorasi
lebih jauh dengan mengajukan pertanyaan-pertanyaan yang lebih
~ 51 ~
detil/rinci. Calon mahasiswa harus bisa merespon pertanyaan-
pertanyaan mereka dengan jawaban-jawaban yang jelas, fokus, dan
argumentatif. Bagaimana agar bisa menjawab pertanyaan-pertanyaan
tersebut dengan baik? Satu-satunya jalan adalah dengan benar-benar
memahami area penelitiannya dengan baik pula, dan seperti yang telah
dijelaskan sebelumnya, hal ini memerlukan persiapan tersendiri dan
waktu yang cukup.
Yang juga perlu diperhatikan adalah bahwa para penguji adalah orang-
orang yang pernah mengalami proses belajar pada jenjang S3. Artinya,
meskipun secara keilmuan bidang mereka berbeda, tetapi mereka
memiliki “sense” untuk mendeteksi apakah calon mahasiswa memiliki
kesiapan dalam menempuh program S3. Ibaratnya seorang sopir yang
berpengalaman, dia bisa meng-assess kemampuan seorang sopir baru
dengan memperhatikan bagaimana si sopir baru mengemudikan mobil.
Jadi jangan menyepelekan tentang kemampuan mereka.
~ 52 ~
4 Manajemen Studi S3
~ 53 ~
(proven) dalam merencanakan, mengeksekusi, memonitor dan
mengevaluasi, serta mengakhiri proses studi. Pendekatan ilmiah dan
sistematis diharapkan dapat meminimalkan ekses-ekses negatif yang
mungkin muncul selama studi berjalan. Pengelolaan studi yang baik pada
akhirnya dapat menjaga semua kegiatan studi tetap berjalan di relnya.
Tahapan Studi S3
Sebelum membahas tentang manajemen studi S3, perlu dipahami dulu
tahap-tahap yang harus dijalani selama proses studi. Tiap tahap
menunjukkan fase yang memiliki fokus tertentu. Yang juga perlu
dipahami adalah tahapan studi S3 di satu perguruan tinggi tidak selalu
sama dengan tahapan di perguruan tinggi lainnya, tergantung pada
“sistem” yang dianut. Sistem di Amerika misalnya, cenderung lebih
terstruktur dalam arti tiap fase harus dijalankan secara ketat. Di
Indonesia yang juga menerapkan sistem Amerika, keketatan struktural
tersebut bermanifestasi dalam bentuk antara lain kewajiban untuk
menempuh beberapa matakuliah dan melewati ujian komprehensif. Di
sisi lain, sistem Commonwealth cenderung lebih “longgar” dalam arti
batas-batas tiap fase terkadang tidak terlihat jelas. Di Australia misalnya,
masa studi 3 tahun biasanya tidak dibagi secara tegas dalam fase-fase.
Tidak ada kuliah, tidak ada ujian komprehensif.
1. Inisiasi/persiapan riset
2. Eksekusi/pelaksanaan riset
3. Penyelesaian (closing)
~ 54 ~
yang bisa dimulai sebelum status formal sebagai mahasiswa S3
diperoleh.
Mulai periode
Selesai studi
Mulai studi
kandidatur
Finalisasi
Waktu
Persiapan Persiapan Pelaksanaan Penyelesaian
studi riset riset studi
Penyusunan
proposal
Perkuliahan
Ujian
komprehensif
Riset
Penulisan
disertasi
Ujian akhir
~ 55 ~
Fenomena seperti ini biasanya disebabkan karena
kesalahan berlogika, terutama dalam mengambil
kesimpulan. Seharusnya problem ini tidak sulit untuk
dikoreksi melalui verifikasi-verifikasi seperlunya.
~ 104 ~
riset-riset terdahulu. Ini adalah hal yang tabu dalam dunia ilmiah.
Dalam tataran operasional, hal ini diwujudkan dalam konsep
plagiarisme.
Menulis karya ilmiah itu sebenarnya tidak sulit. Memang bagi yang belum
pernah melakukannya akan terlihat seperti sebuah tugas yang amat
sangat sulit, tetapi sebenarnya tidak. Sama seperti belajar melakukan
sesuatu yang baru, kunci keberhasilannya adalah pada kesediaan dan
kesungguhan dalam mencoba melakukannya secara berulang-ulang.
~ 105 ~
atau internasional yang memiliki tingkat penerimaan (acceptance rate)
tidak terlalu tinggi tapi tetap yang menggunakan sistem peer review.
Pemilihan seminar yang menerapkan pemeriksaan sejawat ini penting
untuk memastikan makalah yang dikirimkan akan diperiksa dulu dan
mendapatkan masukan untuk perbaikannya. Jika berhasil diterima, maka
ada pengakuan bahwa makalah tersebut layak untuk dipresentasikan
dalam seminar dan dimasukkan ke dalam prosiding seminar. Pengakuan
ini penting bagi mahasiswa karena dapat meningkatkan kepercayaan diri
dalam menulis ilmiah. Meskipun demikian, janganlah berhenti sampai di
forum seminar. Tetaplah menulis dan usahakan untuk dapat diterima di
jurnal-jurnal internasional yang terpandang, karena pengakuan akan
didapatkan dari lingkup yang lebih luas dan tinggi (dari para ahli di
bidangnya).
Publikasi
Banyak program S3, terutama di perguruan-perguruan tinggi terpandang
di luar negeri, yang menganggap publikasi sebagai salah satu syarat untuk
lulus. Ada yang mensyaratkan publikasi di jurnal, ada pula yang cukup di
seminar internasional. Di departemen saya misalnya, untuk dapat lulus
program doktor, mahasiswa diwajibkan memiliki publikasi minimal 2
jurnal internasional atau 1 jurnal internasional dan 2 seminar
internasional. Persyaratan ini sering menjadi beban bagi mahasiswa
(terutama publikasi di jurnal internasional), karena memang tidak mudah
bagi sebuah tulisan ilmiah untuk dapat diterima di sebuah jurnal atau
seminar internasional. Mahasiswa perlu mengembangkan strategi yang
efektif sehingga tulisan-tulisan ilmiahnya dapat diterbitkan di media
ilmiah yang relevan sehingga persyaratan kelulusannya dapat dipenuhi.
~ 106 ~
dijalankannya. Tujuan publikasi adalah agar peneliti lain menjadi tahu,
mengerti, dan pada akhirnya dapat memanfaatkan ide, pemikiran atau
hasil-hasil tersebut untuk membangun riset-riset selanjutnya. Publikasi
adalah blok pembangun yang menjadi platform atau pondasi bagi riset-
riset berikutnya. Dengan cara inilah bangunan ilmu pengetahuan
didirikan dan kemajuan-kemajuan dibentuk.
Dengan cara pandang seperti di atas, maka sebuah tulisan ilmiah yang
akan dipublikasikan mesti mengandung kontribusi yang bermakna, yang
dapat digunakan sebagai “batu pijakan” untuk melangkah ke tahap
berikutnya. Dari mana kontribusi ini berasal? Tentu saja dari ide,
pemikiran, atau hasil-hasil yang dicapai dalam riset yang dilakukan oleh
peneliti. Dengan demikian, sebuah tulisan ilmiah barulah bisa muncul jika
peneliti sudah memiliki ide, pemikiran, atau hasil dari risetnya.
~ 107 ~
diperoleh pada akhir semester II atau awal semester III, dan inilah yang
kemudian digunakan sebagai bahan tulisan untuk dipublikasikan.
~ 108 ~
Tabel 6-1. Nilai vs biaya/konsekuensi
Nilai Biaya/Konsekuensi
Kualitas media publikasi Biaya publikasi, lama waktu
(misal: konsep quartile Q1, dari submisi sampai dengan
Q2, Q3, atau Q4) penerbitan
Rekognisi oleh masyarakat Tingkat penolakan (rejection
ilmiah rate)
Umpan balik (feedback) Tambahan waktu untuk
dalam bentuk review menanggapi umpan balik
3
https://www2.cabells.com/get-quote
4
https://beallslist.net/
~ 109 ~
yang dilakukan terhadap faktor-faktor resiko secara kontinyu selama
studi.
Perencanaan Studi
Ada satu pepatah barat yang mengatakan: “failure to plan means
planning to fail”. Ketidakmampuan dalam merencanakan sesuatu dengan
baik sama saja dengan merencanakan kegagalan. Perencanaan bertujuan
membangun jalur yang akan ditempuh dalam perjalanan menuju
pencapaian tujuan. Perencanaan mengidentifikasi kegiatan-kegiatan apa
saja yang akan dilakukan dan menyiapkan kebutuhan-kebutuhan yang
terkait dengannya. Ciri khas perencanaan adalah sifat antisipatifnya.
Antisipasi diperlukan karena yang dibicarakan adalah hal-hal yang akan
terjadi pada masa yang akan datang, yang kondisinya diwarnai dengan
ketidakpastian.
~ 60 ~
diakses atau digunakan dengan semestinya pada saat ia diperlukan. Hal
ini menjadi krusial saat sumber daya yang diperlukan tersedia atau bisa
diakses secara terbatas, atau jika kebutuhan itu muncul dengan
kekangan yang ketat (misalnya, harus dilakukan pada saat yang sudah
direncanakan dan tidak bisa diulang lagi). Bayangkan saja misalnya
sebuah eksperimen yang penting gagal hanya karena alat yang
diperlukan tidak tersedia pada saat dibutuhkan.
~ 61 ~
sumber daya. Tentu saja kegiatan-kegiatan untuk masing-masing
mahasiswa bisa berbeda, tergantung pada banyak hal.
~ 62 ~
Gambar 4-2. Kegiatan-kegiatan studi S3 hasil proses dekomposisi
~ 63 ~
besar. Apapun rencana cadangannya, pastikan bahwa ini masuk ke dalam
manajemen riset S3, seperti yang dibicarakan pada Bab IV.
Menulis Disertasi
Disertasi adalah puncak karya seorang mahasiswa S3. Naskah ini
menjelaskan tentang semua yang dilakukan dalam masa studinya:
persoalan yang dihadapi, ide, pemikiran, caranya melakukan riset, hasil
yang diperoleh, analisis yang dilakukan, dan kesimpulan-kesimpulan
yang muncul dari semua itu. Dari naskah inilah kualitas keilmuan si
penulisnya tercermin. Dari naskah ini akan terlihat apakah penulisnya
pantas menyandang gelar doktor atau tidak.
~ 114 ~
Pendahuluan. Setelah Abstrak, bagian ini adalah bagian yang pertama
kali dibaca. Tujuannya adalah untuk memberikan pengantar yang cukup
bagi pembaca yang mungkin saja tidak menekuni bidang keilmuan yang
sama dengan mahasiswa. Dengan menjelaskan latar belakang, domain
problem yang diangkat dalam riset, tujuan penelitian, dan hasil yang
ingin dicapai, bagian ini berperan penting dalam memberikan penjelasan
awal tentang apa yang dilakukan dalam riset mahasiswa S3 dan mengapa
riset tersebut signifikan/penting dalam bidang keilmuan yang
didalaminya.
~ 115 ~
Setiap riset, dalam bidang apapun, tidak bisa berdiri sendiri. Ia akan
selalu dipengaruhi oleh riset-riset yang dilakukan oleh peneliti lain.
Bagian Tinjauan Pustaka meng-acknowledge pengaruh dan relevansi
riset-riset tersebut. Penjelasan tentang riset-riset lain dan relevansinya
terhadap riset mahasiswa pada akhirnya akan membentuk landscape
penelitian yang utuh: apa saja problem yang dihadapi dalam area yang
diteliti, apa saja yang sudah dikerjakan orang lain, bagaimana hasilnya
dan sejauh apa problem-problem tersebut berhasil diselesaikan,
problem apa saja yang masih belum tuntas, dan problem baru apa yang
muncul. Dari Tinjauan Pustaka juga akan terlihat posisi relatif dari riset
yang dilakukan mahasiswa, seberapa berbeda riset ini dibandingkan
riset-riset lainnya, dan seberapa signifikan potensi kontribusi yang
dihasilkannya.
~ 116 ~
Ada banyak cara menyusun “cerita” dalam Tinjauan Pustaka, tetapi cara
favorit saya adalah dengan metode iterasi. Dimulai dari penjelasan
tentang area penelitian secara umum, Tinjauan Pustaka mengidentifikasi
isu-isu besar yang muncul. Selanjutnya, uraian berjalan menuju ke aspek-
aspek yang lebih spesifik terkait dengan fokus riset, lalu dibahas isu-isu
spesifik dalam lingkup tersebut. Begitu seterusnya. Jadi ada “alur cerita”
yang terbentuk dalam Tinjauan Pustaka, dan dalam “alur cerita” inilah
berbagai referensi terhadap riset-riset sebelumnya dimasukkan.
~ 117 ~
spesifik tempat munculnya resiko-resiko tertentu. Prakiraan bertujuan
mengidentifikas kemungkinan (probabilitas) munculnya resiko di area
tersebut. Tentu saja tidak mungkin untuk melakukan identifikasi
terhadap semua potensi resiko, tetapi paling tidak resiko-resiko dengan
probabilitas kemunculan yang cukup tinggi bisa teridentifikasi.
~ 67 ~
memperhitungkan 20% faktor-faktor yang paling dominan saja, karena
yang 20% ini berpengaruh menimbulkan 80% dari total efek yang bisa
terjadi.
~ 68 ~
Penanganan Resiko
Jika aspek dampak resiko dan probabilitas atau frekuensi kemunculan
digabungkan, pada akhirnya semua resiko yang teridentifikasi dapat
dikelompokkan ke dalam kategori-kategori seperti ditunjukkan pada
Gambar 4-5.
Frekuensi
kemunculan
Tinggi
(3) (4)
(1) (2)
Dampak/
efek
Rendah Tinggi
~ 69 ~
Pendahuluan untuk memberikan pengantar yang gentle
terhadap riset yang dilakukan tidak akan tercapai. Jika pembaca
tidak bisa mendapatkan pengantar yang jelas, bagaimana
mereka akan tertarik membaca bagian-bagian berikutnya?
• Tinjauan Pustaka yang sekedar merangkum referensi riset lain.
Jika ini yang dilakukan mahasiswa, maka pembaca akan
bertanya, benarkah disertasi ini miliknya sendiri? Copy-paste
tidak akan memberikan “nyawa” bagi Tinjauan Pustaka yang
membuatnya hidup dan mampu menyajikan landscape
penelitian yang utuh dan indah. Ruh Tinjauan Pustaka terletak
pada struktur dan alur “cerita”nya, yang didukung oleh tinjauan
kritis terhadap referensi-referensi yang dimuat ke dalamnya. Ruh
ini juga akan menunjukkan seberapa luas pemahaman
mahasiswa S3 terhadap domain riset yang digelutinya. Tinjauan
Pustaka yang “garing” akan menunjukkan pemahaman yang
sempit dan dangkal, dan jelas ini berbahaya bagi mahasiswa.
• Metodologi Penelitian yang ditulis seadanya. Mahasiswa
kadang-kadang lupa bahwa bagian Metodologi sejatinya adalah
untuk dibaca orang lain, bukan untuk dirinya sendiri, sehingga ia
hanya menulisnya secara ringkas dan hanya berisi langkah-
langkah umumnya saja. Sekali lagi, bagian Metodologi harus
lengkap dan self-contained: peneliti lain harus bisa
merekonstruksi riset yang telah dijalankan hanya dengan
membaca bagian ini.
• Hasil penelitian ditulis lengkap dan detil, tetapi tidak ada
pembahasan yang memadai. Ini kesalahan yang sangat
berbahaya, karena pembaca akan menilai bahwa mahasiswa
tidak memiliki penguasaan yang cukup terhadap risetnya sendiri.
Sekali lagi, bagian Hasil dan Pembahasan (terutama
Pembahasan) adalah panggung untuk menunjukkan kontribusi
dan kebaruan riset. Jika panggung ini dibiarkan datar dan tidak
terlihat adanya highlights terhadap temuan-temuan kontribusi
yang didukung oleh analisis kritis dan argumentasi yang solid,
maka kredibilitas mahasiswa akan berada di ujung tanduk.
~ 121 ~
Apapun wujud dan bentuknya, seberapapun kecilnya, kesalahan-
kesalahan di atas berpotensi membahayakan keberhasilan studi
mahasiswa. Bahkan kesalahan non-substansialpun bisa menggagalkan
studi mahasiswa. Mengapa demikian? Karena tulisan ilmiah, terutama
naskah disertasi, adalah media komunikasi utama yang menghubungkan
antara mahasiswa dan penguji (pada saat ujian akhir). Sebelum ujian
akhir, penguji diberi kesempatan untuk membaca dan mempelajari
naskah disertasi mahasiswa. Apa yang terjadi ketika penguji tidak bisa
memahaminya dengan baik karena naskah masih mengandung
kesalahan-kesalahan tata tulis dan alur cerita yang membingungkan?
Memang ada kesempatan untuk menjelaskan saat presentasi ujian akhir,
tetapi pasti penguji sudah punya kesan pertama yang kurang baik.
~ 122 ~
jangka panjang, kesediaan untuk mengeksplorasi akan
membangun kebiasaan belajar, sebuah ketrampilan yang akan
bermanfaat bagi mahasiswa bahkan jauh setelah mereka selesai
menjalani studinya.
• Latihlah kemampuan analisis dan critical review. Memang ini
tidak mudah, tetapi mahasiswa S3 mau tidak mau harus memiliki
kemampuan ini. Cara yang paling mudah adalah mencoba
melakukan review terhadap tulisan-tulisan ilmiah (misalkan
tulisan teman-temannya sendiri). Ketrampilan ini tidak bisa
dibangun secara tiba-tiba, tetapi bisa dibentuk pelan-pelan
dengan latihan yang kontinyu.
~ 123 ~
7 Ketika Masalah Menghadang
Proses studi dan riset S3 berlangsung cukup lama, 3 tahun atau (pada
umumnya) lebih lama lagi. Dalam waktu 3 tahun tersebut, apapun bisa
terjadi, termasuk munculnya tekanan-tekanan baik internal maupun
eksternal, atau kejadian-kejadian yang tidak direncanakan dan
berpotensi mengganggu studi. Selain sifat dan cirinya yang memang
berbeda, studi S3 juga berbeda dengan studi S1 atau S2 dalam hal
mahasiswanya. Mahasiswa S1 dan S2 biasanya berasal dari kelompok
umur 17-25 tahun. Mereka masih muda, penuh semangat, dan memiliki
determinasi tinggi dalam menempuh studinya. Mereka juga biasanya
belum berkeluarga dan belum bekerja, sehingga masih memiliki
kebebasan dan fleksibilitas yang tinggi. Sebaliknya mahasiswa S3 pada
umumnya sudah berkeluarga, sudah cukup matang dalam menjalani
kehidupan, semangat masih tinggi, tetapi tidak lagi sefleksibel ketika
mereka masih muda.
~ 124 ~
Masalah Akademik dan Non-akademik
Mahasiswa S3 mengalami kondisi yang berbeda, karena kehidupannya
selama menempuh program S3 jauh lebih rumit (complicated). Mereka
juga mengalami problem-problem akademik dengan tekanan yang besar
dibandingkan dengan yang dialami oleh mahasiswa S1 atau S2. Selain itu,
problem-problem akademik tersebut membawa resiko yang lebih besar
pula. Jika riset S3 tidak bisa menghasilkan kebaruan (novelty), dipastikan
persyaratan kelulusan tidak bisa dipenuhi. Mengulangi riset untuk
remedial? Jelas akan memerlukan waktu lama, biaya tinggi, dan energi
yang besar. Ini berbeda dibandingkan jenjang S1 atau S2 di mana tidak
lulus matakuliah bisa diulang semester atau tahun depan, dan riset S2
yang persyaratannya lebih lunak.
~ 125 ~
keinginannya secara lugas kepada mahasiswa. Orang Jawa terbiasa
mengungkapkan makna secara tersamar, sehingga mahasiswa dituntut
untuk peka terhadap kondisi ini. Contoh kecil ini sekaligus menunjukkan
bahwa dalam studi S3, mahasiswa tidak hanya belajar tentang bidang
risetnya saja. Ia juga harus belajar tentang hal-hal non-akademik
menunjang studinya. Meskipun kelihatannya tidak terlalu penting, tapi
ketrampilan mengamati fenomena sungguh merupakan bekal yang
sangat berharga dalam menghadapi berbagai situasi, bahkan setelah
selesai menempuh studi S3nya.
~ 72 ~
Mengatasi Keterbatasan Sumber Daya Riset
Riset S3 bisa memerlukan biaya yang sangat besar, terutama riset di
bidang ilmu-ilmu dasar dan teknologi. Bagi perguruan tinggi dengan
sumber daya (finansial) yang cukup, hal itu tidaklah menjadi masalah.
Lain halnya dengan perguruan tinggi yang tidak memiliki dana dan
peralatan yang memadai. Kondisi seperti ini sering kali menghadang
mahasiswa S3, terutama yang bersekolah di perguruan-perguruan tinggi
di negara sedang berkembang seperti Indonesia, dan pada akhirnya
membentuk pola-pola tertentu dalam riset-riset yang dijalankannya.
~ 73 ~
misalnya, bahkan topik-topik yang bersifat terapan juga memerlukan
penggunaan mikroskop elektron, sementara jumlah mikroskop elektron
di Indonesia masih sangat terbatas. Jadi bagaimana caranya mengatasi
situasi demikian?
~ 74 ~
Saat ini membangun kerjasama seperti contoh di atas tidaklah sulit.
Pengalaman saya, saat ini banyak perguruan tinggi asing yang ingin
menjalin kerjasama dengan perguruan tinggi di Indonesia. Mereka
datang ke Indonesia, memperkenalkan diri, menawarkan program-
programnya, merekrut calon mahasiswa dari Indonesia, dan menjalin
kerjasama-kerjasama yang lebih spesifik. Peluang ini harus dimanfaatkan
secara cerdas. Salah satunya adalah dengan mengakses sumber daya
riset yang melimpah untuk mendukung riset-riset mahasiswa kita.
~ 75 ~
Manajemen Waktu dan Fokus
Pengalaman membimbing mahasiswa S3 membawa saya pada keyakinan
bahwa studi S3 di Indonesia tidak bisa dilakukan secara paruh waktu. Di
luar negeri mungkin bisa, tetapi di negeri kita rasanya hal itu sulit sekali
dilakukan. Penyebabnya adalah kesulitan yang dihadapi mahasiswa
dalam re-focusing ke penelitiannya jika ia harus bolak-balik berganti
perhatian, dari penelitiannya ke kegiatan lainnya (misalnya, pekerjaan di
kantor). Di luar negeri, sarana yang tersedia cukup lengkap, sehingga re-
focusing bisa dilakukan dengan cepat. Saat berada dikantorpun seorang
mahasiswa S3 bisa mengakses koleksi perpustakaan universitasnya,
berkomunikasi live dengan pembimbingnya, atau bahkan menjalankan
eksperimennya secara remote. Di Indonesia, jangan berharap semua
kemudahan itu diperoleh, sehingga mahasiswa perlu waktu yang lebih
lama untuk kembali ke fokus penelitiannya. Jika hal ini dilakukan
berulang-ulang dalam periode yang lama, saya khawatir mahasiswa tidak
punya cukup energi untuk bertahan.
~ 76 ~
waktu. Inipun juga bisa membuat mahasiswa kelelahan atau hilang arah,
dan akhirnya menyerah.
Lalu apa yang bisa dilakukan agar mahasiswa dapat menjalani solusi yang
memerlukan perubahan tersebut? Mengadopsi saran dari Black dan
Gregersen, mahasiswa harus menumbuhkan keyakinan bahwa
perubahan yang dijalani akan membawanya ke masa depan yang lebih
cerah. Ini bisa dilakukan dengan membandingkan antara apa yang
dialami saat ini dengan apa yang akan diperoleh di masa depan.
Harapannya, compare-and-contrast ini bisa menumbuhkan semangat
untuk berubah dan mulai menjalani proses perubahannya.
Ketidaknyamanan karena tidak tahu bagaimana menjalani proses
perubahan dapat diatasi dengan melihat kembali masa lalu (flash back),
di mana pasti ada dinamika naik dan turun dalam linimasa (time line)
tersebut. Ketika berada di lembah, pastilah suatu saat akan bangkit dan
bersinar kembali. Jika pada masa lalu sebuah keterpurukan selalu diikuti
dengan kebangkitan, mengapa saat inipun tidak? Keyakinan ini yang
perlu ditumbuhkan dalam diri.
~ 131 ~
tentang banyak hal, dan tidak menggunakan penilaian (judgement) yang
berlebihan dalam menangkap hal-hal baru yang diterima.
Lebih baik mencegah daripada mengobati. Nasihat ini juga berlaku bagi
mahasiswa S3. Bab III menjelaskan tentang berbagai persiapan yang
perlu dijalankan oleh mahasiswa. Melaksanakan langkah-langkah
persiapan dengan baik tidak hanya memperbesar peluang keberhasilan
menyelesaikan studi, tetapi juga memperkecil resiko akibat problem-
problem yang tidak diperkirakan sebelumnya.
~ 132 ~
8 Penutup
~ 133 ~
pengalaman dalam mengatur target-target dan prioritasnya tentulah
membentuk ketrampilan yang berharga. Selain itu, seperti dijelaskan
pada Bab VIII, dalam masa studi S3 sangat mungkin terjadi gangguan-
gangguan yang membawa resiko besar. Pengalaman membawa riset agar
bisa terhindar dari resiko-resiko tersebut juga bisa diterapkan dalam
bidang-bidang lainnya.
~ 134 ~
menjalani semua tugas tersebut dengan “nyaman”, artinya meskipun
semua tugas tersebut asing bagi saya, saya tidak mengalami gap apapun.
Tidak berarti saya tidak mengalami kesulitan; saya tetap mengalami
problem-problem yang tidak ringan, tetapi semua itu bisa dicari
solusinya, berbekal ketrampilan berpikir obyektif, runtut, dan sistematis
yang saya peroleh selama belajar di program S3.
~ 135 ~
Bagaimana menyikapi kondisi seperti ini? Ini adalah pilihan hidup, dan
tentu saja keputusannya diserahkan kepada masing-masing individu.
Seorang doktor setidaknya punya 2 peluang dalam pengembangan diri
dan karirnya: menjadi pemimpin struktural (structural leader) atau
pemimpin akademis (academic leader). Pemimpin struktural adalah
pemimpin di jalur struktural. Bagi seorang doktor, peluang untuk menjadi
pemimpin (yang biasanya adalah seorang pejabat) struktural pada
umumnya lebih besar daripada seseorang yang bukan doktor karena
privilege yang dimilikinya, terutama di lingkungan kampus. Memilih
menapaki jalur karir struktural tidaklah salah, tetapi yang perlu diingat
adalah bahwa doktor adalah seseorang yang dilatih untuk mengerjakan
riset. Meskipun dia mampu berpikir secara obyektif, runtut, dan
sistematis, untuk dapat menjalankan tugas-tugas manajerial dengan
baik, dia perlu membangun pengetahuan, pemahaman, dan sense-nya di
bidang itu. Menjadi pemimpin struktural tanpa mau memahami
karakteristik tugas yang diembannya akan membuat sang doktor tidak
berbeda dari orang-orang biasa lainnya yang tidak terlatih menjadi
pemimpin.
Pilihan kedua (yang biasanya lebih sulit tapi lebih fulfiling) adalah
menjadi pemimpin akademis atau saintifik (academic/scientific leader).
Seorang doktor dapat terus berkhidmat di jalur penelitian atau
pendidikan. Dia bisa terus melanjutkan riset-risetnya, atau mengajar
mahasiswa di jenjang S1 dan S2 terutama di bidang yang digelutinya,
sehingga mahasiswa S1 dan S2 bisa ikut merasakan kemajuan-kemajuan
iptek di bidang tersebut. Sebagai pemimpin di jalur ini, sang doktor bisa
tetap mempertahankan posisinya di leading edge dan berkontribusi
ilmiah secara maksimal. Hampir semua doktor jika ditanya tentang
pilihannya akan memilih trek ini, tapi sebagaimana dijelaskan
sebelumnya, pilihan ini biasanya lebih terjal dan sulit, dan pada
kenyataannya tidak banyak yang survive dan memilih banting stir ke jalur
struktural/manajerial yang lebih mudah dan menjanjikan.
~ 136 ~
Jika pilihan itu harus diusahakan sendiri, mungkin memang akan terasa
sulit. Jika seoarng doktor harus sendirian dalam mengupayakan
pembiayaan untuk riset-risetnya, atau mencoba menunjukkan
kemampuannya kepada pihak lain, jelas tidak mudah. Tidak selalu
seorang doktor yang cemerlang dihinggapi oleh kesempatan, peluang,
atau jalan untuk menunjukkan kecemerlangannya, sehingga akhirnya
tidak ada orang lain yang tahu. Sulit, tetapi bukannya tidak mungkin.
Peluang untuk tetap mempertahankan pengembangan diri di ranah
penelitian atau akademik secara umum tetap terbuka sekiranya kita
mengetahui jalannya, dan sering kali jalan itu muncul melalui orang lain.
~ 137 ~
Menyikapi Kegagalan
Tidak selalu apa yang diupayakan membuahkan hasil yang memuaskan.
Bagaimana bila studi S3 berujung pada kegagalan?
Dalam beberapa kasus, kegagalan itu bisa terjadi. Saya pernah punya
mahasiswa bimbingan yang akhirnya tidak bisa menyelesaikan studinya.
Tentu saja kegagalan akan membawa kesedihan dan kekecewaan yang
amat besar, terutama bagi mahasiswa, pasalnya yang terkait bukan
hanya dirinya sendiri, tapi juga keluarganya, kantor tempatnya bekerja,
dan lingkungan sosialnya.
Merasa sedih dan kecewa tentu saja wajar, tetapi jangan sampai larut di
dalamnya sehingga lupa bahwa masih ada masa depan yang
menawarkan kesempatan-kesempatan lain yang tidak kalah menarik.
Ada dua pesan yang biasanya saya sampaikan kepada mahasiswa yang
tidak berhasil menyelesaikan studinya. Pertama, kegagalan yang dialami
tidak berarti akhir dari segalanya. Jika mahasiswa bersedia melihat
linimasa pada masa lalunya, akan ditemuinya banyak juga keberhasilan
di antara kegagalan-kegagalan lainnya. Artinya, untuk kegagalan yang
sekarang dialami, pasti kelak akan diikuti dengan keberhasilan. Persis
seperti kata orang, kegagalan adalah keberhasilan yang tertunda.
Tambahan dari saya, itu terjadi jika mahasiswa tidakterperangkap pada
kegagalannya dan mau bergerak maju menggapai keberhasilannya. Ada
kejadian yang meskipun kasusnya tidak persis sama, tapi bisa untuk
contoh. Beberapa tahun silam ada seorang calon mahasiswa melamar ke
Program S3 di kampus saya. Dia ditolak, tidak diterima. Akhirnya dia
mendaftar ke program S3 di tempat lain, dan ternyata diterima dan bisa
selesai dalam waktu yang relatif cepat pula. Moral of the story: kegagalan
di satu tempat bukan berarti gagal juga di tempat lain.
~ 138 ~
dalam studinya, ia akan merasa hidupnya akan gagal pula. Ini tentu saja
tidak benar. Mendefinisikan keberhasilan dalam lingkup yang lebih luas
akan mempermudah penerimaan ketika dihadapkan pada kegagalan
pada satu aspek, karena pandangan ini memberikan kesempatan untuk
mengejar keberhasilan pada aspek lainnya. Gagal dalam studi S3 tidak
berarti gagal dalam kehidupan, siapa tahu justru di bidang lainnya sudah
menanti keberhasilan yang lebih gemilang.
Epilog
Meskipun menawarkan proses perjalanan yang mendebarkan dengan
berbagai dinamika di dalamnya, pada akhirnya studi S3 hanyalah
merupakan satu fragmen dalam kehidupan. Secara mendasar, tidak ada
perbedaan dengan fragmen-fragmen kehidupan lainnya. Ia memiliki
beberapa kekhasan yang membuatnya unik, tetapi tidak perlu
diperlakukan terlalu istimewa sehingga mengorbankan sisi-sisi
kehidupan lainnya.
~ 139 ~