Anda di halaman 1dari 22

BOOK REPORT

CITIZENSHIP AND NATIONAL IDENTITY

Disusun Untuk Tugas Mata Kuliah Perkembangan Mutakhir


Dan Isu-Isu Global
Dosen Pembimbing:
Prof. Dr. H. Abdul Azis Wahab, M.A.

Oleh:
Agustinus Tampubolon 2002767
Margi Wahono 2002209

PROGRAM STUDI DOKTOR PENDIDIKAN KEWARGANEGARAAN


SEKOLAH PASCASARJANA
UNIVERSITAS PENDIDIKAN INDONESIA
2020

0
KATA PENGANTAR

Puji atas berkat rahmat Tuhan Yang Maha Kuasa atas berkat dan rahmat-Nya
penulis dapat menyelesaikan reviu bab buku yang berjudul “CITIZENSHIP
AND NATIONAL IDENTITY” karya David Miller dalam memenuhi tugas mata
kuliah Perkembangan Mutakhir dan Isu-Isu Global PKn dengan dosen pengampu
Prof. Dr.H.Abdul Azis Wahab, M.A yang telah memberikan pengetahuan serta
pengalaman dalam memahami kajian yang muktahir. Besar harapan penulis agar
tugas ini dapat bermanfaat tidak hanya bagi penulis namun juga kepada pembaca.

Tugas ini disadari masih jauh dari sempurna tetapi kiranya menambah wawasan
untuk kita semua dalam memahami bagaimana kondisi politik multikulturalisme
dalam menghadapi isu-isu global. Oleh karena itu, penulis sangat mengharapkan
kritik dan saran yang dapat membangun ide dan gagasan penulis untuk tugas
penyusunan berikutnya. Demikianlah yang dapat penulis sampaikan. Atas
perhatiannya, penulis mengucapkan terima kasih. Semoga tugas ini dapat
bermanfaat bagi kita semua. Amin.

Bandung, 28 September 2020

Penulis

1
DAFTAR ISI

BAB I PENDAHULUAN 1
BAB II ISI BUKU 6
BAB III PEMBAHASAN 9
BAB IV KESIMPULAN 14
REFERENSI 15

0
BAB I
PENDAHULUAN

A. Identitas Buku
Judul Buku : Citizenship and national identity
Penulis : David Miller
Penerbit : W.W. Norton & Company, Inc. New York
Dari judulnya, kita mungkin mengharapkan sekuel dari On Nationality
(1995) yang sangat dihormati oleh penulisnya. Volumenya kurang dan lebih dari
itu, meski kebanyakan lebih. David Miller telah lama mengkritik pendekatan
liberal Anglo-Amerika terhadap teori politik dan telah mengemukakan kritiknya
di sejumlah bidang. Sederhananya, Miller bukanlah seorang liberal, dia adalah
seorang republik sipil; dia bukan universalis liberal, dia nasionalis; dia bukan
seorang demokrat liberal, dia adalah seorang demokrat yang konsultatif; dia bukan
seorang ekonomi liberal, dia adalah seorang sosial demokrat. Beberapa kritikus
liberalisme Amerika Utara akhirnya menjadi prihatin untuk menunjukkan bahwa,
sebenarnya, mereka juga liberal, dan mereka hanya peduli untuk menghilangkan
prasangka langkah metafisik atau retoris tertentu yang dibuat oleh ahli teori liberal
tertentu. Miller tidak mau melakukan kemunduran semacam itu. (Referensi yang
sekarang umum untuk teori On Nationality sebagai spesies dari genus
"nasionalisme liberal" oleh karena itu membuatnya menjadi sesuatu yang tidak
adil.) Dia mengemukakan kritik sipil yang serius, hati-hati, tentang apa yang dia
anggap sebagai pendekatan liberal standar terhadap fundamental pertanyaan
tentang tatanan politik. Dia tidak mengaburkan perbedaan antara liberalisme dan
pandangannya sendiri.
Bagi dia liberalisme tampak terlalu individualistis dan terlalu
universalistik, kurang selaras dengan proyek-proyek politik, ekonomi, dan sosial
kolektif yang berlangsung dan seharusnya berlangsung di tingkat negara-
bangsa. Dalam buku ini dia menggabungkan tema-tema itu. Ini membuat sebuah
karya yang, alih-alih mengembangkan lebih jauh argumen nasionalis dalam On
Nationality, menunjukkan hubungan antara karya itu dan teori yang dimiliki

1
Miller di tempat lain (misalnya Market, State, and Community, 1989; Principles
of Social Justice, 2000) dikembangkan tentang keadilan sosial dan
kewarganegaraan. Delapan dari sepuluh bab telah diterbitkan sebelumnya dan
terpisah, tetapi semuanya berhubungan cukup baik. Yang tertua, yang ditulis
sembilan tahun lalu, adalah artikel tentang demokrasi musyawarah dan teori
pilihan sosial yang memang terasa agak kuno. Ini memajukan apa yang telah
menjadi pandangan standar: Musyawarah tentang kebaikan bersama mengurangi
kekuatan keprihatinan teori pilihan sosial mengenai koherensi hasil
demokrasi. Tapi itu menetapkan panggung untuk bab-bab berikutnya di mana
Miller menyatakan hubungan erat antara ideal demokrasi musyawarah dan
pemahamannya tentang republikanisme dan nasionalisme. Keseimbangan buku ini
sebagian besar berkaitan dengan menunjukkan nilai kewarganegaraan di negara-
bangsa republik demokratis dan mempertahankannya dari klaim yang lebih lokal
dan lebih global. Miller berpendapat bahwa “kebangsaan menjawab salah satu
kebutuhan dunia modern yang paling mendesak, yaitu bagaimana menjaga
solidaritas di antara populasi negara yang besar dan anonim, sehingga warganya
tidak mungkin menikmati komunitas yang bergantung pada kekerabatan atau
interaksi tatap muka ” (hlm. 31–2).
Ini adalah nasionalisme yang dilucuti dari banyak kepura-puraan bahwa
sentimen nasional entah bagaimana merupakan perpanjangan dari keinginan untuk
komunitas lokal, homogen, langsung. Memang, Miller sangat prihatin untuk
membela komunitas luas negara-bangsa terhadap klaim komunitas etnis dan
budaya yang mungkin lebih mendekati ideal tatap muka. Kira-kira separuh dari
buku ini berisi argumen-argumen yang menentang berbagai bentuk
multikulturalisme, politik perbedaan, dan pluralisme yang mungkin menggeser
loyalitas utama warga negara ke bawah dari negara-bangsa. Miller menyarankan
bahwa pemahaman liberal dan libertarian tentang kewarganegaraan dan
pluralisme terlalu terpisah-pisah, dan konsep kewarganegaraan republik yang kuat
diperlukan untuk mengatasi kekuatan sentrifugal pluralisme modern. Menurutnya
ada identitas nasional asli yang melekat pada negara bagian Inggris, Spanyol, dan
Kanada, dan tidak hanya pada subunit Skotlandia, Catalan, dan Quebec; dan

2
dimana kewarganegaraan mengambil bentuk bersarang ini, pemisahan diri oleh
minoritas nasional tidak hanya ceroboh tetapi juga tidak adil dan sebenarnya
bertentangan dengan prinsip penentuan nasib nasional. (Bangsa Inggris harus
memiliki suara; keputusan tidak dapat dibuat oleh bangsa Skotlandia saja.) Dia
membela proyek bersama dari demokrasi musyawarah terhadap mereka yang
mengatakan bahwa hal itu merugikan minoritas. Beberapa bagian dari argumen ini
lebih persuasif daripada yang lain. 
Dalam bab tentang tanggapan liberal, libertarian, dan republik terhadap
pluralisme, Miller membuat poin yang sudah dikenal bahwa kewarganegaraan
liberal Rawlsian seharusnya dibenarkan dalam hal menghormati pluralisme, tetapi
mengecualikan mereka yang agama atau identitas utamanya lainnya tidak sesuai
dengan liberal. Dia berpendapat bahwa republikanisme lebih inklusif karena
“tidak ada batasan pada jenis permintaan apa yang dapat diajukan dalam forum
politik,” dan keberhasilan klaim tertentu hanya bergantung pada “seberapa jauh
hal itu dapat diekspresikan dalam istilah yang dekat. ke, atau jauh dari, etos politik
umum komunitas” (hal. 57). Tetapi inklusivitas yang tampaknya lebih besar di
tingkat argumen politik dibeli dengan harga yang sangat tinggi dari komitmen
bersama untuk proyek politik terpadu, terlepas dari hasilnya. (Dalam istilah
Rawls) orang percaya yang tidak masuk akal dapat dibawa ke dalam kehidupan
politik bersama, tetapi mereka harus setuju untuk menjadikan proyek politik
bersama lebih penting daripada kehidupan religius pribadi mereka. Miller berpikir
kewarganegaraan liberal dan republik akan bertemu dalam praktiknya, misalnya,
karena pemerintahan republik akan mengadopsi hak liberal yang biasa. Tetapi
sama sekali tidak jelas bahwa subordinasi dalam prinsip hak pribadi atas hasil
publik seharusnya lebih disukai daripada agama atau minoritas lain daripada
pengecualian dalam prinsip alasan publik liberal.
Selain menentang pemberian prioritas pada kelompok dan identitas
subnasional, Miller terlibat dengan pendukung politik supranasional. Pieties
tentang kewarganegaraan kosmopolitan dapat membahayakan realitas dan
kepentingan nyata dari kewarganegaraan yang “terikat” di dalam negara yang
terbatas; kita tidak boleh menafsirkan tuntutan keadilan global secara luas

3
sehingga melupakan bahwa keadilan sosial pada dasarnya adalah atribut
komunitas politik dengan sejarah dan pemahaman sosial yang sama. “Keadilan
global” terkadang tampaknya menjadi salah satu topik yang menarik para penulis
hanya setelah mereka memiliki pemahaman yang cukup luas
tentangnya. Intervensi Miller dalam literatur ini disambut baik, dan saya berharap
dia akan mengembangkan argumennya di bidang ini lebih jauh. Dalam beberapa
halaman, Miller tidak dapat dan tidak mencoba untuk menyatakan kembali kasus
positif yang terpisah untuk teori kebangsaan, keadilan sosial, dan
republikanisme. Sebaliknya, buku tersebut menyatakan bahwa teori-teori itu
saling bertautan, dan keseluruhan gabungannya mampu menanggapi berbagai
kritik. Pembaca yang mencari perbaikan atas pandangan Miller yang sebelumnya
dinyatakan mungkin merasa frustrasi; selain bab-bab (yang cukup penting)
tentang pemisahan diri dan kebangsaan bersarang, ada sedikit yang secara tegas
menambahkan On Nationality atau Principles of Social Justice. Bagi mereka yang
tidak terbiasa dengan karya-karya Miller sebelumnya, buku ini mungkin tampak
seperti kumpulan esai tinjauan skeptis tentang multikulturalisme, teori pilihan
sosial, keadilan global, komunitarianisme, dan sebagainya, dengan tidak banyak
argumen untuk alternatif yang disukai Miller sendiri.
Selain itu, posisi etika penulis pada umumnya didirikan pada Hum e a n
menghormati sentimen menerima bahwa, bahkan ketika sepenuhnya
dikembangkan dan ditata, bisa sulit untuk terlibat dengan. Langkah-langkah
argumentatif kritis diisi oleh seruan terhadap sentimen. Kewarganegaraan liberal
memberikan persatuan yang tidak cukup untuk mengejar keadilan sosial di negara
bangsa. Multikulturalisme merusak pengejaran itu; seruan bagi kosmopolitanisme
melemahkannya; Dan seterusnya. Namun, pertahanan kebangsaan dan sosial
demokrasi bergantung pada keberadaan sentimen yang menguntungkan
mereka. Mereka yang sentimen, atau prinsipnya, tidak condong ke arah negara-
bangsa sosial demokrat terkadang tidak akan menemukan titik masuk
intelektual. Semua itu mengatakan, ini adalah tambahan yang berharga bagi
korpus Miller yang berharga. Teori politiknya yang kompleks tetapi secara umum
bersatu memiliki perbedaan sejati dengan kebanyakan orang lain di panggung

4
akademis. Dalam kewarganegaraan dan identitas nasional, Miller
memperjuangkan kesatuan teori tersebut dan secara sopan tetapi bersemangat
terlibat dengan para pesaingnya. Kedua aspek koleksi membantu memperjelas
bentuk dan ruang lingkup proyek intelektualnya.

5
BAB II
ISI BUKU

Buku Miller menyajikan teori yang sangat erat yang berhubungan dengan
banyak perhatian paling topikal dari filsuf politik. Argumennya sangat kuat dan
analitis canggih terus merangsang, buku adalah model kejernihan, cocok untuk
siswa dan juga peneliti. ' Esai Studi Politik 'Miller layak diperbarui untuk
pekerjaan sosiologis tentang kewarganegaraan yang dilakukan pada 1950-an dan
1960-an dan mereka juga memberikan tanggapan yang terukur untuk beberapa
tulisan yang kurang terukur tentang identitas subnasional. 'Pilihan' Menurut
pandangan saya, pembelaan yang fasih dari Miller atas kewarganegaraan republik
berbasis-bangsa termasuk di antara yang terbaik yang tersedia saat ini. 'Daniel A.
Bell, Times Literary Supplement' Ini mendekati tema kewarganegaraan dan
kebangsaan dari berbagai perspektif sebagai koleksi yang terpuji.' The Ethnic
Conflict Research Digest 'Ini adalah tambahan yang berharga untuk korpus Miller
yang berharga. Teori politiknya yang kompleks tetapi secara umum bersatu
memiliki perbedaan sejati dengan kebanyakan orang lain di kancah akademis.
Dalam Kewarganegaraan dan Identitas Nasional, Miller mendukung persatuan
teori dan secara sopan tetapi penuh semangat terlibat dengan para pesaingnya.
Kedua aspek dari koleksi tersebut membantu memperjelas bentuk dan cakupan
proyek intelektualnya.
Buku David Miller dari American Political Science Review tentunya patut
mendapat perhatian yang sangat serius: harus dibaca, diperdebatkan, dan
argumennya harus diperpanjang. Mencurahkan halaman-halaman yang sangat
menggairahkan tentang cara memahami perbedaan budaya; menolak segala jenis
citra yang menstigmatisasi keragaman suku-budaya; membuka perdebatan untuk
pembaruan konsepsi republik tentang pemerintahan; menyoroti kompleksitas serta
keragaman fenomena nasional; sekaligus mempermasalahkan masalah-masalah
ini dengan teori kewarganegaraan yang kuat: Kewarganegaraan dan identitas
nasional langsung memasuki panggung utama perdebatan saat ini tentang makna
keanggotaan demokratis kontemporer. Ini benar-benar menyangkut semua

6
ilmuwan sosial dan politik yang menjadi bagian dari perdebatan ini, dari berbagai
disiplin ilmu dan perspektif. Tidak diragukan lagi, buku ini kemungkinan besar
akan menjadi rujukan. Inovasi - The European Journal of Social Science
Research "Dalam Kewarganegaraan dan Identitas Nasional, Miller menjelaskan
persatuan teori dan secara sopan tetapi bersemangat terlibat dengan para
pesaingnya. Kedua aspek koleksi membantu memperjelas bentuk dan ruang
lingkup proyek intelektualnya." American Political Science Review "Buku Miller
berisi beberapa diskusi yang jelas dan terarah tentang klaim keadilan global, batas
pemisahan diri, dan sifat demokrasi musyawarah. Pembahasannya tentang
'kebangsaan bersarang' ... adalah tambahan yang disambut baik untuk literatur
filsafat politik tentang kebangsaan. " David Archard, Teori Politik Kontemporer
Dari Sisi Dalam Sebuah komunitas politik yang baik adalah komunitas yang
warganya secara aktif terlibat dalam memutuskan masa depan bersama mereka.
Terikat oleh ikatan solidaritas nasional, mereka menemukan dan menerapkan
prinsip-prinsip keadilan yang dapat dibagikan oleh semua orang, dan dengan
demikian mereka menghormati identitas terpisah dari kelompok minoritas dalam
komunitas.
Dalam esai yang dikumpulkan dalam buku ini, David Miller menunjukkan
bahwa cita-cita seperti itu tidak hanya diinginkan, tetapi juga layak. Dia
menjelaskan bagaimana kewarganegaraan aktif dalam model republik berbeda
dari kewarganegaraan liberal, dan mengapa model ini melayani kelompok-
kelompok yang kurang beruntung dengan lebih baik daripada bentuk-bentuk
politik identitas yang sekarang ini. Dengan musyawarah bebas satu sama lain,
warga negara dapat mengambil keputusan tentang masalah kebijakan publik yang
rasional dan adil. Dia menyandingkan ini dengan pembelaan yang kuat terhadap
prinsip kebangsaan, dengan alasan bahwa identitas nasional bersama diperlukan
untuk memotivasi warga untuk bekerja sama atas nama keadilan. Oleh karena itu,
upaya untuk menciptakan bentuk kewarganegaraan transnasional, di Eropa dan
tempat lain, salah arah. Ia menunjukkan bahwa asas kebangsaan dapat
mengakomodasi tuntutan bangsa minoritas, dan tidak mengarah pada pemisahan
diri yang merdeka untuk semua. Dan akhirnya dia menunjukkan bahwa penentuan

7
nasib sendiri nasional tidak perlu dicapai dengan mengorbankan keadilan global.
Ini adalah pernyataan yang kuat dari seorang ahli teori politik terkemuka yang
tidak hanya memperluas pemahaman kita tentang kewarganegaraan, kebangsaan
dan demokrasi musyawarah, tetapi juga terlibat dengan debat politik terkini
tentang politik identitas, nasionalisme minoritas, dan integrasi Eropa.

8
BAB II
PEMBAHASAN

Komunitas politik yang baik adalah komunitas yang warganya secara aktif
terlibat dalam menentukan masa depan bersama mereka. Terikat oleh ikatan
solidaritas nasional, mereka menemukan dan menerapkan prinsip-prinsip keadilan
yang dapat dinikmati semua orang, dan dalam melakukan itu mereka
menghormati identitas terpisah dari kelompok minoritas dalam komunitas.
Sebagaimana yang dijelaskan oleh Hefner, dkk (2001) bahwa ketika ekonomi
mereka tumbuh dan masyarakat berdiferensiasi, perkembangan organisasi dan
hubungan kemasyarakatan baru telah membentuk sebuah masyarakat sipil.
Kehadiran masyarakat sipil dalam politik menimbulkan partisipasi yang lebih
tinggi dan adil namun juga memberi dampak budaya terhadap kewarganegaraan
dan hubungan agama yang tidak demokratis. Hal ini diakibatkan adanya asosiasi
sipil yang cenderung untuk kepentingan satu kelompok tertentu. Oleh karena itu,
mereka harus berkontribusi pada generalisasi budaya politik yang khas. Dalam
kata lain, bagaimana untuk menjadi warga negara khususnya kepada individu
yang merasa sebagai minoritas harus ditingkatkan dalam cita-cita atau tindakan
negara. Mengapa demikian? Karena konsep pluralitas dalam kewarganegaraan
masih dalam tahap teoritis bukan sesungguhnya benar-benar untuk kepentingan
itu.
Dalam esai yang dikumpulkan dalam buku ini, David Miller menunjukkan
bahwa cita-cita seperti itu tidak hanya diinginkan, tetapi juga layak. Dia
menjelaskan bagaimana kewarganegaraan aktif dalam model republik berbeda
dari kewarganegaraan liberal, dan mengapa model ini melayani kelompok-
kelompok yang kurang beruntung dengan lebih baik daripada bentuk-bentuk
politik identitas yang sekarang ini. Dengan musyawarah bebas satu sama lain,
warga negara dapat mengambil keputusan tentang masalah kebijakan publik yang
rasional dan adil. Dia menyandingkan ini dengan pembelaan yang kuat terhadap
prinsip kebangsaan, dengan alasan bahwa identitas nasional bersama diperlukan

9
untuk memotivasi warga untuk bekerja sama atas nama keadilan. Alasan Miller
tentu bukan tanpa alasan yang jelas, jika dikaitkan dengan apa yang diungkapkan
oleh (2013, hlm. 6) dijelaskan bahwa “…asal mulanya Rasa Kebangsaan itu
timbul dari Rasa Diri, yang terbawa dari keadaan perikehidupan kita, lalu
menjalar jadi Rasa Keluarga; rasa ini terus jadi Rasa Hidup Bersama (rasa sosial).
Selanjutnya diungkapkan oleh Latif (2014, hlm. 343) “Pada akhirnya, rasa
mencintai, rasa persatuan, rasa kekeluargaan hanya bisa diwujudkan dengan
kerelaan berkorban, mengutamakan kepentingan umum di atas kepentingan
pribadi dan golongan.
Berkaitan dengan itu, upaya menciptakan bentuk-bentuk kewarganegaraan
transnasional, di Eropa dan di tempat lain, salah arah.; Ia menunjukkan bahwa
prinsip kebangsaan dapat mengakomodasi tuntutan negara-negara minoritas, dan
tidak mengarah pada pemisahan diri yang bebas untuk semua. Dan akhirnya dia
menunjukkan bahwa penentuan nasib sendiri nasional tidak perlu dicapai dengan
mengorbankan keadilan global. Ini adalah pernyataan yang kuat dari seorang ahli
teori politik terkemuka yang tidak hanya memperluas pemahaman kita tentang
kewarganegaraan, kebangsaan dan demokrasi musyawarah, tetapi terlibat dengan
perdebatan politik terkini tentang politik identitas, nasionalisme minoritas, dan
integrasi Eropa.
Alasan itu tentu sangat jelas karena sebagaimana yang diungkapkan Renan
dalam Tilaar (2007, hlm. 30) bahwa…manusia bukanlah budak dari ras atau
bangsanya juga oleh agama atau oleh faktor-faktor geografis seperti sungai atau
pegunungan. Komunitas manusia yang besar yang sehat dalam akalnya dan hangat
di dalam hatinya membentuk kesadaran moral yaitu membentuk suatu bangsa.
Sepanjang kesadaran tersebut menyatakan diri di dalam kekuatan untuk berkorban
yaitu pengabdian seseorang individu untuk kepentingan umum, sepanjang itulah
legitimasi akan hak hidupnya suatu bangsa.
Ada perbedaan penekanan di antara para penulis tentang kewarganegaraan
ketika berbicara tentang tradisi kewarganegaraan. Ada yang melihat
kewarganegaraan terbagi ke dalam dua tradisi besar dan ada juga yang melihatnya
terbagi dalam tiga tradisi. Mereka yang melihat adanya dua tradisi membuat

10
pengelompokan, yaitu tradisi liberal dan tradisi republikan. Sementara mereka
yang membuat tiga pengelompokan pendekatan, membaginya ke dalam liberal,
republican dan komunitarian.
Tradisi ini muncul pada abad 17 serta berkembang kuat pada abad 19 dan
20 dari ideologi individualisme yang menekankan pada kebebasan individu,
terutama kebebasan dari campur tangan negara dan masyarakat. Teori dalam
tradisi liberal ini juga berpendapat bahwa warganegara sebagai pemegang otoritas
untuk menentukan pilihan dan hak. Perspektif ini bercirikan penekanan pada
individu dan berbasis pada hak. Peter H Scuck dalam Liberal Citizenship (2002),
menyatakan bahwa pengaruh besar dari teori ini diawali oleh penjelasan secara
sistematis melalui John Locke. Menurut Locke (1993), individu dianugerahi dan
dihiasi oleh Tuhan dengan hukum alam dan berupa hak-hak alamiah. Individu
sebelumnya hidup dalam alam alamiah, kemudian masuk dalam kehidupan
masyarakat politik. Teori Locke tentang kepemilikian (Locke’s theory of property)
menyebutkan ada tiga elemen sentral bagi kewarganegaraan liberal (Locke, 1993:
113). Pertama, individu dapat menciptakan kekayaan atau kepemilikan dan
menambah dominasi kepemilikan itu melalui kerja. Kedua, perlidungan terhadap
kepemilikan merupakan fungsi utama hukum dan pemerintahan dan Ketiga,
pelaksanaan yang sah menurut hukum atas hakhak kepemilikan secara alamiah
mengasilkan ketidakmerataan yang adil.
Locke dalam Russel (2019) menganggap bahwa pemujaan terhadap hak
individu adalah landasan hak asasi manusia. Locke juga mengkaji peran negara
alami dan hukum sebagai pemujaan terhadap hak milik. Baginya, sebuah negara
perlu menyediakan kebebasan individu bagi pelembagaan pemerintahan sipil
(Russel, 2019)
Tradisi republikan atau republik sipil sama tujuanya dengan sejarah
perpolitikan itu sendiri. Secara umum, sumber-sumber tradisi kewarganegaraan
republik sipil, bisa dibagi kedalam tiga priode. Tadisi kewarganegaraan yang
bersumber dari (1) masa yunani dengan tokok pemikirnya – dan sekaligus praktisi
politik—seperti Aristoteles (yunani kuno) (2) Tokoh romawi, dengan tokoh-
tokohnya Cicero dan Marchiavelli (Romawi), (3) Teori awal negara moderen

11
dengan J.J Rousseau sebagai tokok pemikirnya. Beberapa teoritisi kontemporer
seperti David Miller, Derek Heater merupakan pendukung utama tradisi
republikan sipil ini. Meskipun para tokok tersebut hidup pada era yang berbeda,
sejumlah persamaan dapat ditafsirkan pada gagasan-gagasan atau dan pemikiran-
pemikiran mereka tentang kewarganegaraan. Persamaan pemikiran atau gagasan
di antara tokoh tersebut merupakan benang merah dalam melihat apa dan
bagaimna tradisi kewarganegaraan republik sipil (Soeseno, 2010: 52). Teori ini
berpendapat bahwa masyarakat sebagai komunitas politik adalah pusat kehidupan
politik. Kewarganegaraan republikan menekankan pada ikatan-ikatan sipil (civic
bonds) suatu hal yang berbeda dengan ikatan-ikatan individual (tradisi liberal)
ataupun ikatan kelompok (tradisi komunitarian). Sementara kewarganegaraan
liberal lebih menekankan pada hak (right), sedangkan kewarganegaraan
republikan menekankan pada kewajiban (duty) warganegara.
Berbicara Indonesia dalam teori kewarganegaraan liberal dan republican
menjadi sesuatu yang menarik, dapat ditarik kesimpulan apabila Indonesia
melaksanakan teori kewarganegaraan liberal, dalam hal ini negara tidak
mempunyai hak dalam mencampuri setiap gerak gerik individu dan setiap
individu memiliki kebebasan ekspresi yang tentunya tidak dapat dicampuri oleh
negara baik dalam sosial, budaya, ekonomi dan politik. Individu berhak
memperoleh kekayaan atau kepemilikan dengan usaha mereka pribadi sedangkan
tugas negara dalam hal ini pemerintah wajib melindungi tiap kepemilikan dengan
payung hukum yang diterapkan. Namun teori liberal ini tidak dapat dilaksanakan
oleh Indonesia karena bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945.
Bagaimana dengan teori kewarganegaraan republican? Pada republican hak-hak
individu dijamin oleh negara dengan syarat individu tersebut harus berperan
didalam negara tersebut. Sisi negatifnya yaitu dapat menimbulkan pemanfaatan
pihak-pihak tertentu untuk menentukan sikap, demi mewujudkan keuntungan
tertentu. Celakanya negara akan dirugikan secara penuh selain itu hal ini tentunya
juga sangat bertentangan dengan cita-cita bangsa Indonesia.
Namun, jika mengikuti konsepsi Aristotelian (partispasi warga, tidak
bersikap apatis), disadari bahwa kewarganegaraan sejatinya bukan dalil filosofis

12
yang abstrak, melainkan sebentuk kebijakan praktis (phronesis) yang bisa diikuti
oleh seluruh warga. Dengan ungkapan lain, ideal kewarganegaraan tidak cukup
hanya disampaikan dalam seminar atau penataran yang sering membosankan,
tetapi dibumikan dalam tindakan kongkrit. Demi tujuan itu, kewarganegaraan
membutuhkan habituasi atau pembiasaan. Kalau diperlukan ilustrasi,
kewarganegaraan mirip dengan bersepeda. Kita tidak akan bisa mengendarai
sepeda hanya dengan ikut kursus yang mengajarkan tata cara bersepeda. Kita akan
bias bersepeda dengan cara mengendarainya. Pasti ada kemungkinan jatuh,
bahkan terluka, tetapi dengan praktik yang terus menerus kita akhirnya bisa
bersepeda dengan lancar. Pertanyaan selanjutnya segera datang: melalui apa
habituasi atau pembiasaan kewarganegaraan itu dilakukan? Jawabannya tiada lain
adalah pendidikan. Hanya melalui pendidikan kewarganegaraan seseorang
mengerti, kemudian menjalani, hak dan kewajibannya sebagai warga negara.
Dengan demikian, diperlukan pendidikan kewarganegaraan untuk
mengembangkan warga negara yang partisipatif dan menumbuhkan indentitas
nasional dalam diri setiap warga negara, serta memahami isu-isu global yang
terjadi khususnya yag terkait dengan kewarganegaraan. Pendidikan
kewarganegaraan tidak hanya terdiri dari pengetahuan, nilai dan keterampilan,
tetapi juga mencakup penerapan pengetahuan, nilai, dan keterampilan dalam
situasi kehidupan nyata dengan berpartisipasi secara aktif (Doğanay, 2012). Peran
Pendidikan Kewarganegaraan secara substantif tidak saja mendidik generasi muda
menjadi warga negara yang cerdas dan sadar akan hak dan kewajibannya dalam
konteks kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara yang merupakan
penekanan dalam istilah Pendidikan Kewarganegaraan, melainkan juga
membangun kesiapan warga negara untuk menjadi warga dunia (global society).
Siswa saat ini sebagai warga negara pada abad 21 ini harus memiliki apa
yang diharapkan dari Pendidikan Kewarganegaraan untuk membantu orang-orang
muda memperoleh dan belajar untuk menggunakan keterampilan, pengetahuan,
dan sikap yang akan mempersiapkan mereka untuk menjadi warga negara yang
demokratis dan bertanggung jawab sepanjang hidup mereka. Warga negara yang
diharapkan diantaranya adalah:

13
- Mampu menampilkan pengetahuannya dan bijaksana, memiliki
pemahaman dan kesadaran tentang isu-isu publik dan masyarakat,
memiliki kemampuan untuk berpikir kritis dan juga mampu berdialog
dengan kelompok yang memiliki perspektif berbeda.
- Mampu berpartisipasi dalam komunitas keanggotaan suatu organisasi yang
bekerja untuk mengatasi masalah dan berbagai kepentingan budaya, sosial,
politik, dan agama
- Memiliki keterampilan berpolitik, seperti ikut pemilu, berdemonstrasi,
petisi, dan lain sebagainya
- Memiliki kebajikan nilai dan moral warga negara yang memiliki
kepedulian terhadap hak-hak dan kesejahteraan orang lain, tanggung jawab
sosial, toleransi dan rasa hormat.
Wahab dan Sapriya (2011) mencoba menjelaskan apa yang dipikirkan oleh
Sumantri (2001) untuk membantu para praktisi untuk merinci tujuan PKn yang
meliputi: (1) Ilmu pengetahuan, yang mencakup fakta, konsep, dan generalisasi;
(2) keterampilan intelektual, dari keterampilan sederhana sampai keterampilan
kompleks, dari penyelidikan sampai kesimpulan yang sahih, dari berpikir kritis
sampai berpikir kreatif; (3) Sikap, meliputi nilai, kepekaan, dan perasaan; dan (4)
Keterampilan sosial (hlm. 312). Sementara itu, Veldhuis (1997) mengembangkan
empat konsep “democratic competence” untuk warga negara melalui Pendidikan
Kewarganegaraan, yakni:
- Dimensi politik dan hukum mencakup hak dan kewajiban berkenaan
dengan
sistem politik dan hukum. Diperlukan pengetahuan tentang hukum dan
sistem politik, sikap demokratis dan kapasitas untuk berpartisipasi, untuk
melaksanakan tanggung jawab di semua tingkat kehidupan publik’
- Dimensi sosial mencakup hubungan antar individu dan membutuhkan
pengetahuan tentang hubungan yang didasarkan pada dan bagaimana
mereka berfungsi dalam masyarakat. Kompetensi sosial sangat penting
karena melibatkan terhubung dengan orang lain seperti solidaritas;

14
- Dimensi ekonomi menyangkut dunia produksi dan konsumsi barang dan
jasa. Hal Ini membutuhkan kompetensi ekonomi, yaitu pengetahuan
tentang bagaimana fungsi dunia ekonomi, termasuk dunia kerja;
- Dimensi budaya mengacu pada representasi dan warisan peradaban bagi
sebuah bangsa.
Cogan (1998) dalam Winataputra dan Budimansyah (2012, hlm.3 ) juga
menjelaskan bahwa secara konseptual “citizenship” memiliki lima atribut pokok
yakni: “…a sense of identity; the enjoyment of certains rights; the fulfillment of
corresponding obligations; a degree of interest and involvement in public affairs;
and acceptance of basic societal values”. Seorang warga negara dijelaskan
seyogyanya memiliki lima ciri utama, yaitu: jati diri; kebebasan untuk menikmati
hak tertentu; pemenuhan kewajiban-kewajiban terkait; tingkat minat dan
keterlibatan dalam urusan publik; dan pemilikan nilai-nilai dasar kemasyarakatan.
Sependapat dengan itu, Wahab dan Sapriya (2011, hlm. 207-210) mengemukakan
empat unsur yang dapat dikategorikan sebagai sebagai syarat warga negara yang
baik dalam masyarakat demokratis yakni, unsur kompetensi; institusi/organisasi;
identitas; dan emosi. Pada akhirnya, Barber (1992) dalam Branson, dkk (1999,
hlm. 5) mengungkapkan bahwa “Dalam demokrasi konstitusional, civic education
yang efektif adalah suatu keharusan karena kemampuan untuk berpartisipasi
dalam masyarakat demokratis, berpikir secara kritis, dan bertindak secara sadar
dalam dunia yang plural, memerlukan empati yang memungkinkan kita
mendengar dan oleh karenanya mengakomodasi pihak lain, semuanya itu
memerlukan kemampuan yang memadai.

15
BAB IV
SIMPULAN

Dalam Kewarganegaraan dan Identitas Nasional, Miller menjelaskan


persatuan teori secara bijak tetapi bersemangat terlibat dengan para pesaingnya.
Kedua aspek membantu memperjelas bentuk dan ruang lingkup proyek
intelektualnya. Buku Miller berisi beberapa diskusi yang jelas dan terarah tentang
klaim keadilan global, batas pemisahan diri, dan sifat demokrasi musyawarah.
Pembahasannya tentang 'kebangsaan bersarang' ... adalah tambahan yang
disambut baik untuk literatur filsafat politik tentang kebangsaan.
Terikat oleh ikatan solidaritas nasional, mereka menemukan dan
menerapkan prinsip-prinsip keadilan yang dapat dibagikan oleh semua orang, dan
dengan demikian mereka menghormati identitas terpisah dari kelompok minoritas
dalam komunitas. Dalam esai yang dikumpulkan dalam buku ini, David Miller
menunjukkan bahwa cita-cita seperti itu tidak hanya diinginkan, tetapi juga layak.
Dia menjelaskan bagaimana kewarganegaraan aktif dalam model republik berbeda
dari kewarganegaraan liberal, dan mengapa model ini melayani kelompok-
kelompok yang kurang beruntung dengan lebih baik daripada bentuk-bentuk
politik identitas yang sekarang ini. Dengan musyawarah bebas satu sama lain,
warga negara dapat mengambil keputusan tentang masalah kebijakan publik yang
rasional dan adil. Dia menyandingkan ini dengan pembelaan yang kuat terhadap
prinsip kebangsaan, dengan alasan bahwa identitas nasional bersama diperlukan
untuk memotivasi warga untuk bekerja sama atas nama keadilan.
Dia menunjukkan bahwa penentuan nasib sendiri nasional tidak perlu
dicapai dengan mengorbankan keadilan global. Ini adalah pernyataan yang kuat
dari seorang ahli teori politik terkemuka yang tidak hanya memperluas
pemahaman kita tentang kewarganegaraan, kebangsaan dan demokrasi
musyawarah, tetapi juga terlibat dengan debat politik terkini tentang politik
identitas, nasionalisme minoritas, dan integrasi Eropa.

16
Oleh karena itu, dalam upaya kesadaran berdemokrasi maka dibutuhkan
usaha yang terencana dalam pembinaan menjadi warga negara yang partisipatif
dan berkeadilan. Usaha ini terwujud dalam pendidikan kewarganegaraan dengan
kajiannya memuat kompetensi baik watak, pengetahuan dan kecakapan warga
negara.

17
REFERENSI
Branson, M.S,dkk. (1999). Belajar Civic Education Dari Amerika (Terjemahan).
Dewantara,K.H. (2013). Ki Hadjar Dewantara: Pemikiran, Konsepsi,
Keteladanan, Sikap Merdeka. Buku Kedua Kebudayaan. Yayasan Taman
Siswa: Yogyakarta
Doğanay, A. (2012). A curriculum framework for active democratic citizenship
education. In M. Print & D. Lange (Ed.), School, curriculum and civic
education for building democratic citizens (hal. 19–39). Roterdam, Boston,
Taipe: Sense Publisher.
Education Above All. (2012). Education for global citizenship. Childhood
Education. Doha Qatar: Education Above Al.
Effendi, W. R. (2018). Konsepsi Kewarganegaraan dalam Perspektif Tradisi
Liberal dan Republikan. Jurnal Trias Politika, 2(1).
Hefner,dkk. (2001). Politik Multikulturalisme: Pluralisme dan Kewarganegaraan
di Malaysia, Singapura, dan Indonesia. Honoluhu: University of Hawai‘i
Press
Isin, E. F., & Turner, B. S. (2002). Handbook of Citizenship Studies edited by
Engin F Isin & Bryan S Turner. (E. F. Isin & B. S. Turner, Eds.). London,
California, New Delhi: Sage Publications. Retrieved from
http://shora.tabriz.ir/Uploads/83/cms/user/File/657/E_Book/Urban
Latif, Y. (2014). Mata Air Keteladanan. Mizan: Bandung
Lembaga Kajian Islam dan Sosial (LKiS) dan The Asia Foundation (TAF):
Yogyakarta
Locke, John. (1993). Two Treatises of Government. New Editions. London.
Miller, D. L. (2000). Citizenship and national identity. OECD Publishing.
Russel, Betrand. (2019). Sejarah Filsafat Barat. Pustaka Pelajar: Yogyakarta.
Samsuri. (2013). Paradigma pendidikan kewarganegaraan dalam kurikulum 2013,
(September), 1–11.

18
Soeseno, Nuri. (2010). Kewarganegaraan, Tafsir, Tradisi, dan Isu-Isu
Kontemporer. Jakarta: Universitas Indonesia Departemen Ilmu Politik.
Tilaar, H.A.R. (2007). Mengindonesiakan Etnisitas dan Identitas Bangsa
Indonesia. Tinjauan Dari Perspektif Ilmu Pendidikan. Rineka Cipta:
Jakarta
Veldhuis, R. (1997). Education for democratic citizenship: Dimensions of
citizenship, core competences, variables and international activities.
Strasbourg.
Wahab dan Sapriya. (2011). Teori & Landasan Pendidikan Kewarganegaraan.
Alfabeta: Bandung.
Winataputra, U. S., & Budimansyah, D. (2007). Civic education konteks,
landasan, lahan ajar, dan kultur kelas. Bandung: Sekolah Pascasarjana
Universitas Pendidikan Indonesia.

19

Anda mungkin juga menyukai