Anda di halaman 1dari 17

Cover Makalah

PERBANDINGAN IDEOLOGI DALAM GERAKAN KEAGAMAAN: TINJAUAN


TERHADAP LIBERALISME, SOSIALISME, DAN NASIONALISME

Disusun Oleh :
Nama Penulis (Nim)

PROGRAM STUDI HUKUM EKONOMI SYARIAH

FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN AMPEL SURABAYA

2023
DAFTAR ISI

Cover Makalah.............................................................................................................................................1
DAFTAR ISI...................................................................................................................................................2
BAB I............................................................................................................................................................3
PENDAHULUAN............................................................................................................................................3
A. Latar Belakang.................................................................................................................................3
B. Rumusan Masalah...........................................................................................................................3
C. Tujuan..............................................................................................................................................4
BAB II...........................................................................................................................................................4
PEMBAHASAN.............................................................................................................................................4
A. Ideologi Liberal dalam Gerakan keagamaan....................................................................................4
B. Ideologi Sosialis dalam Gerakan Keagamaan...................................................................................9
C. Ideologi Nasionalis dalam Gerakan Keagamaan.............................................................................12
BAB III........................................................................................................................................................15
PENUTUP...................................................................................................................................................15
A. Kesimpulan....................................................................................................................................15
DAFTAR PUSTAKA.......................................................................................................................................16
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang

Gerakan keagamaan telah menjadi bagian integral dari perkembangan sosial dan politik
di berbagai belahan dunia. Di tengah kompleksitas dinamika global, ideologi-ideologi seperti
liberalisme, sosialisme, dan nasionalisme juga telah memainkan peran penting dalam membentuk
identitas dan tujuan gerakan keagamaan. Dalam konteks ini, pemahaman yang mendalam tentang
bagaimana ideologi-ideologi ini berinteraksi dengan keyakinan keagamaan menjadi semakin
penting.

B. Rumusan Masalah

1. Bagaimana ideologi-ideologi ini memengaruhi interpretasi dan praktik


keagamaan?
2. Apa implikasi ideologis dari kehadiran ideologi-ideologi ini dalam gerakan
keagamaan?
3. Bagaimana hubungan antara ideologi-ideologi ini dan nilai-nilai tradisional
agama?

C. Tujuan

1. Bagaimana ideologi-ideologi ini memengaruhi interpretasi dan praktik


keagamaan?
2. Apa implikasi ideologis dari kehadiran ideologi-ideologi ini dalam gerakan
keagamaan?
3. Bagaimana hubungan antara ideologi-ideologi ini dan nilai-nilai tradisional
agama?
BAB II
PEMBAHASAN
A. Ideologi Liberal dalam Gerakan keagamaan

Kata "liberal" berasal dari bahasa Latin, yaitu "liber," yang berarti bebas dan merujuk
pada kondisi dimana seseorang tidak menjadi budak atau tidak dimiliki oleh orang lain. Awalnya,
makna bebas ini berkembang menjadi sikap yang dipegang oleh masyarakat terpelajar di Barat,
yang membuka pintu kebebasan berpikir, dikenal sebagai "The old Liberalism." Pemahaman
tentang kebebasan berpikir inilah yang kemudian membentuk makna lebih luas dari kata liberal.

Dari segi politis, liberalisme merupakan ideologi politik yang berfokus pada individu,
menganggapnya memiliki hak-hak dalam pemerintahan, termasuk penghargaan terhadap
persamaan hak, hak berekspresi, dan hak bertindak, serta pembebasan dari keterikatan agama
dan ideologi. Dalam konteks sosial, liberalisme diartikan sebagai etika sosial yang
memperjuangkan kebebasan (liberty) dan persamaan (equality) secara umum, sebagaimana
diungkapkan oleh Alonzo L. Hamby, PhD, seorang Profesor Sejarah di Universitas Ohio.1

Sejarah liberalisme dapat ditelusuri hingga zaman Yunani kuno, menjadi salah satu
elemen terpenting dalam peradaban Barat. Namun, perkembangan lebih lanjut melibatkan
kondisi sistem ekonomi dan politik pada Abad Pertengahan, yang didominasi oleh sistem feodal.
Dalam konteks ini, raja dan bangsawan mendapatkan hak-hak istimewa, sedangkan rakyat jelata
tidak memiliki kebebasan untuk menggunakan hak-hak mereka, terutama hak untuk
berpartisipasi dalam mobilisasi sosial yang dapat meningkatkan status mereka menjadi kelas
atas.

1
Dr Zuly Qodir, ISLAM LIBERAL ; Varian-Varian Liberalisme Islam di Indonesia 1991-2002 (Lkis Pelangi Aksara,
2010).
Pada awalnya, kemajuan tersebut terjadi sekitar tahun 1215, ketika Raja John dari Inggris
mengeluarkan Magna Charta, sebuah dokumen yang mencatat sejumlah hak yang diberikan
kepada bangsawan bawahan oleh raja. Magna Charta ini secara otomatis membatasi kekuasaan
Raja John sendiri dan dianggap sebagai awal dari liberalisme (early liberalism). Periode ini
ditandai oleh perlawanan dan pembatasan terhadap kekuasaan pemerintah yang cenderung
absolut.

Kemudian, perkembangan liberalisme berlanjut melalui serangkaian peristiwa, termasuk


Revolusi Glorious tahun 1688 di Inggris. Revolusi ini berhasil menggulingkan Raja James II dan
mengangkat William II dan Mary II sebagai raja dan ratu. Parlemen Inggris kemudian
menyetujui undang-undang hak rakyat yang dikenal sebagai Bill of Rights, yang mencakup
pembatasan kekuasaan raja dan jaminan akan hak-hak dasar dan kebebasan masyarakat Inggris.
Pada saat yang sama, filsuf Inggris, John Locke, mengajarkan bahwa setiap individu dilahirkan
dengan hak-hak dasar yang tidak dapat dicabut. Locke menekankan perlunya pemerintah
menjaga hak-hak dasar tersebut, dan jika gagal melakukannya, rakyat memiliki hak untuk
memberontak, seperti yang disampaikan dalam bukunya, Two Treatises of Government (1690).

Di bidang ekonomi, liberalisme berkembang melalui konsep laissez-faire yang


diperkenalkan oleh ekonom Skotlandia, Adam Smith, dalam bukunya, The Wealth of Nations
(1776). Ide-ide ekonomi Smith membentuk dasar bagi pembentukan sistem ekonomi kapitalis
yang menawarkan liberalisasi kegiatan ekonomi individu dan membatasi campur tangan negara.

Di Prancis, sejak abad ke-18, filsuf terkenal seperti Montesquieu dalam bukunya, The
Spirit of the Laws (1748), mengajarkan pemisahan kekuasaan negara, sementara Rousseau dalam
The Social Contract (1762) menekankan bahwa pemerintahan adalah cerminan dari kepercayaan
rakyat yang diperintahnya. Semua ini, bersama dengan kritik Voltaire terhadap campur tangan
pemerintah dalam kebebasan individu, menyumbang pada munculnya Revolusi Prancis pada
tahun 1789.

Karena liberalisme merupakan ideologi Barat yang mencakup sistem dan pandangan
hidup tertentu, Islam menjadi sebuah tantangan bagi liberalisme, dan sebaliknya, liberalisme juga
merupakan tantangan bagi Islam. Francis Fukuyama, dalam bukunya, mengaitkan Islam dengan
ideologi Liberalisme dan Komunisme, meskipun dia menyadari bahwa Islam memiliki nilai
moral dan doktrin politik serta keadilan sosial yang unik. Fukuyama menyatakan bahwa ajaran
Islam pernah menjadi tantangan bagi demokrasi liberal dan praktik-praktik liberal karena sifat
universalnya, namun ia juga mengakui bahwa nilai-nilai liberal Barat merupakan ancaman bagi
masyarakat Islam. Dia menegaskan bahwa selama satu setengah abad terakhir, liberalisme telah
menarik banyak pengikut Islam yang kuat, dan salah satu alasan munculnya fundamentalisme
adalah karena ancaman nilai-nilai liberal dan Barat terhadap masyarakat Islam tradisional. 2

Fukuyama secara jelas menempatkan Islam, Liberalisme, dan Komunisme sebagai


ideologi atau pemikiran yang memiliki doktrin masing-masing dan saling bertentangan, serta
saling mengancam. Perbedaan ini menciptakan gesekan antara peradaban dan pandangan hidup
yang berbeda, yang dikenal sebagai "clash of civilization" atau benturan peradaban, menurut
teori Samuel P. Huntington. Benturan ini dapat menyebabkan ketegangan, konflik, atau bahkan
peperangan di masa depan. Namun, masalahnya bukan hanya karena perbedaan antar peradaban,
tetapi karena peradaban Barat mengklaim pandangan mereka sebagai "universal", yang tidak
selalu diterima oleh umat Islam.

Barat sering mencoba memaksakan konsep dan nilai-nilai mereka kepada umat Islam
melalui proyek westernisasi dan globalisasi. Sikap masyarakat Barat yang tidak toleran terhadap
praktik keagamaan Islam di Barat juga menimbulkan resistensi dari umat Islam terhadap paham-
paham sekuler, liberal, dan hedonis. Konflik pemikiran ini telah menjadi perang pemikiran yang
berkelanjutan, yang dikenal sebagai Ghazwul fikri.

Setelah peristiwa 11 September 2001, upaya Barat untuk menyebarkan nilai, ide, konsep,
dan kultur Barat ke dunia Islam semakin intensif, melalui berbagai media seperti buku, makalah,
media elektronik, dan media massa. Salah satu media yang efektif dalam menyebarkan teori,
konsep, dan ideologi adalah bangku kuliah di perguruan tinggi, di mana pemikiran liberalisme
Barat disampaikan melalui transmisi oral para intelektual dan ulama.

Ideologi liberal memiliki peran yang signifikan dalam dinamika gerakan keagamaan di
era modern. Secara umum, ideologi liberal didefinisikan oleh penekanan pada kebebasan
individu, toleransi, pemisahan agama dan negara, serta perlindungan hak asasi manusia. Dalam
konteks gerakan keagamaan, ideologi liberal mencerminkan perubahan dalam pandangan
terhadap ajaran agama, dengan menekankan interpretasi yang lebih inklusif dan toleran. Konsep
2
Umma Farida, “RADIKALISME, MODERATISME, DAN LIBERALISME PESANTREN: MELACAK PEMIKIRAN DAN
GERAKAN KEAGAMAAN PESANTREN DI ERA GLOBALISASI,” Edukasia : Jurnal Penelitian Pendidikan Islam 10, no. 1
(March 27, 2015), https://doi.org/10.21043/edukasia.v10i1.789.
kebebasan individu diperluas untuk mencakup kebebasan beragama tanpa campur tangan dari
pemerintah atau otoritas agama, sementara toleransi dipromosikan sebagai landasan bagi
kerukunan antarumat beragama. Selain itu, pemisahan antara agama dan negara menjadi prinsip
utama, menekankan bahwa kebijakan publik seharusnya tidak didasarkan pada doktrin agama
tertentu. Sebagai akibatnya, gerakan keagamaan yang dipengaruhi oleh ideologi liberal sering
menjadi advokat untuk hak asasi manusia, terutama hak kebebasan beragama, hak minoritas, dan
hak perempuan.

Contoh konkret dari gerakan keagamaan yang diwarnai oleh ideologi liberal mencakup
gerakan interfaith, feminisme dalam agama, dan hak LGBT dalam agama. Gerakan interfaith
berusaha untuk membangun dialog dan kerukunan antaragama, mengakui keberagaman
keyakinan dan mengedepankan kolaborasi dalam menangani masalah sosial. Sementara itu,
gerakan feminisme dalam agama menekankan pentingnya kesetaraan gender dalam kerangka
agama, memperjuangkan interpretasi agama yang lebih inklusif terhadap peran dan hak
perempuan. Di sisi lain, gerakan hak LGBT dalam agama bertujuan untuk mendapatkan
pengakuan dan perlindungan bagi komunitas LGBT dalam konteks keagamaan, melalui advokasi
untuk inklusivitas dan penghapusan diskriminasi.3

Namun, pengaruh ideologi liberal dalam gerakan keagamaan juga dapat menimbulkan
beberapa dampak negatif. Pertama, pendekatan liberal terhadap agama sering bertentangan
dengan ajaran tradisional agama, memunculkan ketegangan antara penganut ideologi liberal dan
otoritas agama. Kedua, fokus yang berlebihan pada prinsip-prinsip liberal dapat mengaburkan
atau bahkan mengabaikan nilai-nilai agama yang mendasari, mengarah pada pemahaman agama
yang terfragmentasi atau distorsi. Oleh karena itu, sementara ideologi liberal dapat membawa
dampak positif dalam merangsang inklusivitas dan perlindungan hak asasi manusia dalam
konteks keagamaan, penting untuk mempertimbangkan tantangan dan kompleksitas yang terkait
dengan penggabungan nilai-nilai politik dengan nilai-nilai spiritual dalam sebuah gerakan.

Ideologi liberal, sebagai pandangan politik yang mengedepankan kebebasan individu, hak
asasi manusia, dan pemisahan agama dan negara, telah memberikan dampak yang signifikan
dalam konteks gerakan keagamaan. Definisi dan karakteristik ideologi liberal mencakup
penekanan pada kebebasan individu, toleransi, pemisahan antara agama dan negara, serta
3
“Liberalisasi Pemikiran Islam: Gerakan Bersama Missionaris, Orientalis Dan Kolonialis | TSAQAFAH,” May 3, 2016,
https://ejournal.unida.gontor.ac.id/index.php/tsaqafah/article/view/145.
perlindungan hak asasi manusia. Dalam gerakan keagamaan, pengaruh ideologi liberal terwujud
dalam perubahan interpretasi agama, merangkul ajaran-ajaran dengan perspektif yang lebih
inklusif dan toleran. Gerakan keagamaan yang dipengaruhi oleh ideologi liberal sering menjadi
agen perubahan, memperjuangkan hak asasi manusia, kesetaraan gender, dan keadilan sosial.

Dampak positif dari perspektif agama terhadap ideologi liberal mencakup pengembangan
pemahaman agama yang lebih inklusif dan pengakuan terhadap keberagaman. Ideologi liberal
juga dapat memperkuat perlindungan hak asasi manusia, seperti hak kebebasan beragama dan
hak minoritas, sehingga memberikan kontribusi positif terhadap keberlanjutan dan pluralitas
masyarakat. Di sisi lain, dampak negatif mencakup ketegangan dengan ajaran tradisional agama
yang dapat mengakibatkan konflik antara penganut ideologi liberal dan otoritas agama. Selain
itu, terlalu banyak penekanan pada prinsip-prinsip liberal dapat mengabaikan atau bahkan
merusak nilai-nilai agama yang mendasari, mengarah pada pemahaman agama yang
terfragmentasi atau distorsi.

Dengan demikian, kompleksitas interaksi antara ideologi liberal dan gerakan keagamaan
menciptakan dinamika yang memerlukan pemahaman yang mendalam dari berbagai perspektif.
Pengaruh ideologi liberal dapat memberikan kontribusi positif dalam membentuk gerakan
keagamaan yang inklusif dan progresif, tetapi juga menuntut keseimbangan yang hati-hati agar
tidak merusak nilai-nilai agama yang dijunjung tinggi oleh komunitas keagamaan tersebut.

B. Ideologi Sosialis dalam Gerakan Keagamaan

Sosialisme adalah salah satu ideologi yang memiliki dampak signifikan dalam politik
internasional pada abad ke-19. Namun, mendefinisikan sosialisme bukanlah hal yang mudah
dilakukan. Ian Adams, dalam bukunya "Ideologi Politik Mutakhir," menyatakan bahwa
sosialisme mungkin merupakan ideologi yang paling sulit untuk dijelaskan. Hal ini disebabkan
oleh keragaman varian sosialisme yang ada, termasuk sosialisme Marxian yang memiliki
pengaruh besar hingga saat ini. Meskipun demikian, peneliti tetap berupaya memberikan batasan
yang jelas tentang sosialisme yang menjadi fokus penelitian ini.

Untuk memahami secara komprehensif ideologi sosialis, akan dijelaskan terlebih dahulu
pengertiannya dari tiga sudut pandang: etimologis, historis, dan terminologis. Dari sudut
pandang etimologis, istilah "sosialisme" berasal dari bahasa Perancis, yaitu "sosial" yang
mengandung makna "kemasyarakatan." Secara historis, istilah ini pertama kali muncul di
Perancis sekitar tahun 1830 dan umumnya digunakan untuk menggambarkan pandangan yang
mengadvokasi kepemilikan bersama atas alat-alat produksi untuk memastikan bahwa produksi
tidak hanya dilakukan untuk keuntungan pribadi, tetapi untuk kepentingan masyarakat secara
keseluruhan.

Dari sudut pandang terminologis, sosialisme memiliki beragam interpretasi. Franz


Magnis-Suseno, misalnya, mendefinisikannya sebagai ajaran dan gerakan yang bertujuan
menghapuskan hak milik pribadi atas alat-alat produksi. Karl Marx juga mengklaim
sosialismenya sebagai "sosialisme ilmiah," yang didasarkan pada pemahaman hukum-hukum
perkembangan masyarakat. Secara umum, sosialisme digambarkan sebagai gerakan atau teori
organisasi sosial yang menuntut kepemilikan atau pengendalian bersama terhadap produksi dan
distribusi.4

Sejarah sosialisme tidaklah mudah untuk dilacak. Ada pandangan yang mengatakan
bahwa gagasan tentang sosialisme sudah muncul dalam karya Plato dalam "Republic," sementara
yang lain mengaitkannya dengan Kitab Perjanjian Lama. Contoh masyarakat dengan
kepemilikan bersama telah ada sejak zaman awal Kristen, yang dikenal sebagai "komunisme
purba." Namun, pergeseran dalam pemahaman sosialisme terjadi seiring berjalannya waktu,
terutama saat masuknya zaman Renaissance yang ditandai dengan munculnya tulisan-tulisan
tentang "utopi" atau "utopis."

Secara keseluruhan, sosialisme merupakan ideologi yang kompleks dengan beragam


interpretasi dan implikasi historis. Meskipun sulit untuk menetapkan definisi yang pasti,
pemahaman yang komprehensif tentang sosialisme sangat penting untuk menganalisis peran dan
dampaknya dalam konteks politik dan sosial saat ini.

Kemunculan sosialisme baru ini dikaitkan dengan karya Thomas Moore, "Utopia," yang
diterbitkan pada tahun 1516 selama periode Renaissance. Konsep yang diusung oleh Moore
kemudian dikenal sebagai sosialisme klasik, dengan perbedaan yang mencolok dari sosialisme
modern yang muncul belakangan. Karl Marx kemudian merujuk pada sosialisme Moore sebagai
sosialisme utopis, berlawanan dengan gagasannya sendiri yang disebut sebagai sosialisme

4
Reno Wikandaru and Budhi Cahyo, “LANDASAN ONTOLOGIS SOSIALISME,” Jurnal Filsafat 26, no. 1 (August 14,
2016): 112–35, https://doi.org/10.22146/jf.12627.
ilmiah. Ide utopis dipicu oleh kesadaran akan kondisi buruk kaum bawah, keyakinan bahwa
konflik sosial dan penindasan bertentangan dengan kodrat manusia dan kehendak alam, serta
dampak negatif hak milik pribadi yang dianggap membuat manusia egois dan mengganggu
keseimbangan sosial alami.

Sosialisme modern, di sisi lain, muncul sebagai reaksi terhadap penderitaan kaum pekerja
di bawah sistem kapitalisme yang tamak. Berkembang pada awal abad ke-19 sebagai respons
terhadap industrialisasi yang merugikan kaum pekerja, sosialisme modern menentang
ketidakadilan ekonomi yang disebabkan oleh sistem kapitalisme. Para cendekiawan
memperjuangkan hak-hak kaum buruh dan menyerukan persamaan hak bagi semua anggota
masyarakat dalam hal kesejahteraan dan kekayaan.

Francois Noel Babeuf adalah salah satu tokoh yang menyerukan perlawanan kaum
miskin terhadap kaum kaya, dengan nilai utama gerakan yang dianutnya adalah kesetaraan. Di
masa depan, tuntutan-tuntutan ini menjadi dasar bagi gerakan komunisme, termasuk sosialisasi
alat produksi dan diktatoriat proletariat.

Meskipun ide-ide sosialis telah muncul sejak masa Renaissance, Abad Pertengahan, dan
bahkan pada zaman Yunani Kuno, namun Robert Marcus Owen dianggap sebagai pelopor
sosialisme di Inggris. Owen, seorang pengusaha kaya yang berasal dari latar belakang yang
sederhana, mengusulkan pembangunan permukiman yang layak bagi buruh miskin dan
memperjuangkan pembagian kompensasi yang adil serta kemandirian buruh dalam produksi
barang-barang kebutuhan sehari-hari.

Ideologi sosialis merupakan suatu pandangan yang menekankan pada kepemilikan


bersama atas sumber daya, distribusi yang adil, serta pemerintahan yang lebih terlibat dalam
pengaturan ekonomi dan kehidupan sosial. Ciri khas ideologi sosialis meliputi penolakan
terhadap kapitalisme yang menekankan kepemilikan pribadi atas sumber daya ekonomi, serta
menekankan pada nilai-nilai solidaritas, persamaan, dan keadilan sosial. Ideologi ini juga
mendorong untuk meminimalisir kesenjangan ekonomi dan sosial antara kelas-kelas
masyarakat.5

5
Dr Syamsul Bakri, GERAKAN KOMUNISME ISLAM SURAKARTA 1914 - 1942 (Lkis Pelangi Aksara, 2015).
Ideologi sosialis dapat mempengaruhi gerakan keagamaan dengan memperkenalkan
prinsip-prinsip solidaritas, keadilan sosial, dan distribusi yang adil. Gerakan keagamaan yang
terpengaruh oleh ideologi sosialis biasanya menekankan pada pelayanan sosial, pembangunan
komunitas, dan perlawanan terhadap ketidaksetaraan sosial. Ideologi sosialis juga dapat
mendorong gerakan keagamaan untuk terlibat dalam aktivitas politik yang berorientasi pada
perubahan sosial dan struktural.

Beberapa contoh gerakan keagamaan yang terpengaruh oleh ideologi sosialis meliputi
gereja-gereja pembebasan di Amerika Latin yang aktif dalam memperjuangkan hak-hak rakyat
miskin dan menentang struktur kapitalis yang merugikan. Selain itu, terdapat juga organisasi
keagamaan di negara-negara Eropa yang menganut prinsip-prinsip sosialis dalam kegiatan
pelayanan sosial dan advokasi hak asasi manusia.6

Ada konflik dan keselarasan antara nilai-nilai agama dengan ideologi sosialis tergantung
pada interpretasi dan aplikasi masing-masing. Beberapa aspek ideologi sosialis seperti perhatian
pada keadilan sosial dan persamaan bisa sejalan dengan nilai-nilai agama yang menekankan pada
kepedulian terhadap sesama dan keadilan. Namun, terdapat juga ketegangan antara ideologi
sosialis yang menolak kepemilikan pribadi dengan nilai-nilai agama yang menghargai hak milik
dan tanggung jawab individual. Oleh karena itu, penting untuk melakukan evaluasi yang cermat
terhadap konflik dan keselarasan antara nilai-nilai agama dan ideologi sosialis dalam konteks
tertentu.

C. Ideologi Nasionalis dalam Gerakan Keagamaan

Dalam era modern, hubungan antara agama dan negara dapat dikelompokkan menjadi
tiga bentuk: penyatuan, pemisahan, dan persinggungan antara agama dan negara. Pemisahan
antara agama dan negara di negara demokratis sekuler bervariasi, dengan Prancis dan Amerika
Serikat sebagai contoh yang memisahkan secara tegas, sementara negara-negara Eropa umumnya
menerapkan sekularisme dengan ketat dalam berbagai aspek kehidupan. Namun, keterlibatan
negara dalam urusan keagamaan masih ada dalam bentuk penetapan hari raya keagamaan
sebagai hari libur nasional, pengajaran agama di sekolah, subsidi kepada komunitas keagamaan,

6
Kunawi Basyir, “Ideologi Gerakan Politik Islam Di Indonesia,” AL-TAHRIR: Jurnal Pemikiran Islam 16, no. 2
(November 2016): 339–62.
dan lain sebagainya. Bahkan, agama sering terlibat dalam politik, termasuk dalam kampanye
pemilihan umum.
Dalam konteks Indonesia, meskipun secara formal negara ini dibangun sebagai negara
sekuler modern, filosofi dasarnya berdasarkan Pancasila, dengan sila pertama yang menegaskan
Ketuhanan Yang Maha Esa. Pancasila dianggap sebagai kesepakatan nasional yang menjadi
kompromi antara kelompok Islam yang mendukung Islam sebagai dasar negara dan kelompok
nasionalis yang mendukung negara sekuler. Meskipun Islam menjadi agama resmi di sejumlah
negara Muslim, Indonesia dengan keberagaman suku, budaya, ras, dan agama, memilih Pancasila
sebagai dasar negara untuk mempersatukan bangsa. Meski demikian, masih ada kelompok
minoritas dalam umat Islam yang mempertanyakan Pancasila dan menganggapnya tidak sesuai
dengan Islam.7
Dalam Islam, kesepakatan atau perjanjian nasional bisa diakui selama tidak bertentangan
dengan ajaran agama, seperti yang terjadi dalam Piagam Madinah pada masa Nabi Muhammad
di Madinah. Di Indonesia, kesepakatan ini menjadi dasar bagi tokoh-tokoh Muslim untuk
menyebut negara ini sebagai Darul Mitsaq, Darul ‘Ahdi was-Syahadah, atau Darus Salam.
Namun, masih ada kelompok yang menolak negara sekuler dan menganggap Pancasila
bertentangan dengan Islam. Meskipun demikian, Islam menekankan prinsip-prinsip umum
seperti keadilan, kejujuran, persaudaraan, menghargai kemajemukan, kesetaraan, kebebasan,
permusyawaratan, dan perdamaian.

Dalam konteks Indonesia, sila pertama Pancasila mengakui eksistensi agama dalam
kehidupan masyarakat dan bernegara. Meski negara ini melakukan modernisasi, agama tetap
menjadi bagian penting dalam kehidupan masyarakat dan bernegara. Di bawah Orde Baru,
terjadi sekularisasi politik yang kuat, tetapi orientasi keagamaan tetap kuat dalam masyarakat.
Era Reformasi membawa perubahan, termasuk dalam politik Islam, dengan pendirian partai
Islam atau partai berbasis massa ormas Islam. Namun, karakteristik Islam di Indonesia adalah
moderat, toleran, dan damai.
Meskipun masih ada perdebatan, para tokoh Muslim berusaha melakukan harmonisasi
antara agama dan negara. Hal ini meliputi penjelasan tentang kompatibilitas Pancasila dan NKRI
dengan ajaran Islam, serta pembangunan hukum nasional yang mencakup hukum Islam sebagai
7
Masykuri Abdillah, “Aktualisasi Islam Dan Keindonesiaan Dalam Koteks Ideologi Negara Pancasila,” Himmah:
Jurnal Kajian Islam Kontemporer 4, no. 1 (2020), https://doi.org/10.47313/jkik.v4i1.1100.
salah satu sumber legislasi nasional. Hukum Islam bisa dilegislasi secara formal atau diserap ke
dalam hukum nasional sesuai dengan prinsip maslahah.
Ideologi nasionalis dalam konteks gerakan keagamaan merupakan sebuah kompleksitas
yang mencerminkan interaksi antara identitas nasional dan keyakinan agama. Definisi ideologi
nasionalis meliputi serangkaian pandangan dan keyakinan yang menekankan pentingnya
identitas, kebanggaan, dan kedaulatan suatu bangsa atau kelompok etnis tertentu. Hal ini sering
kali diwujudkan dalam bentuk patriotisme yang mendalam terhadap tanah air dan bangsa, serta
dalam sentimen anti-kolonialisme yang sering kali muncul sebagai reaksi terhadap dominasi
asing. Eksklusivisme juga menjadi ciri khas ideologi nasionalis, dimana ada sikap tertutup
terhadap kelompok lain, sementara identifikasi simbolik dengan simbol-simbol nasional
digunakan untuk memperkuat identitas.
Pengaruh ideologi nasionalis terhadap gerakan keagamaan bisa tercermin melalui
beberapa mekanisme yang kompleks. Pertama, ideologi nasionalis dapat membentuk interpretasi
agama yang sesuai dengan identitas nasional, mengaitkan agama dengan nilai-nilai kebangsaan
dan kedaulatan. Kedua, ideologi nasionalis bisa menjadi alat untuk memobilisasi massa dalam
mendukung tujuan-tujuan keagamaan, seperti melawan penindasan agama atau memperjuangkan
kebebasan beragama. Selanjutnya, nasionalisme dapat menjadi bagian integral dari identitas
keagamaan seseorang atau kelompok, memperkuat solidaritas dan kesatuan dalam gerakan
keagamaan.
Dalam studi kasus, gerakan keagamaan yang mencerminkan ideologi nasionalis bisa
ditemukan dalam berbagai konteks di seluruh dunia. Salah satu contoh yang signifikan adalah
Zionisme di Israel, di mana gerakan ini sangat dipengaruhi oleh ideologi nasionalis dalam upaya
mereka mendirikan dan mempertahankan negara Yahudi di Tanah Israel. Namun, dalam konteks
negara-negara lain, gerakan keagamaan yang tercermin dalam ideologi nasionalis mungkin
memiliki dinamika yang berbeda, tergantung pada hubungan antara agama dan politik di masing-
masing negara.
Namun, kompatibilitas antara ideologi nasionalis dan nilai-nilai agama tidak selalu jelas.
Dalam beberapa kasus, ideologi nasionalis dapat mendukung nilai-nilai agama dengan
memperkuat identitas keagamaan dan memperjuangkan kebebasan beragama. Namun, dalam
kasus lain, nasionalisme bisa bertentangan dengan nilai-nilai agama, terutama jika ideologi
tersebut menghasilkan eksklusivisme atau penindasan terhadap kelompok agama minoritas. Oleh
karena itu, penting untuk mengevaluasi secara kritis hubungan antara ideologi nasionalis dan
nilai-nilai agama dalam konteks spesifik, serta untuk memahami bagaimana interaksi antara
keduanya dapat mempengaruhi dinamika sosial dan politik dalam masyarakat.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan

Dalam melakukan perbandingan ideologi dalam gerakan keagamaan, ditemukan beberapa


temuan utama yang penting untuk dipertimbangkan. Pertama, terdapat variasi yang signifikan
dalam pendekatan ideologis yang diadopsi oleh berbagai gerakan keagamaan. Hal ini mencakup
pengaruh ideologi nasionalis, sosialis, liberal, dan lainnya dalam membentuk visi dan tujuan
gerakan tersebut. Kedua, peran agama dalam ideologi dan gerakan keagamaan masih sangat
kuat, namun penting untuk diingat bahwa interpretasi agama tersebut dapat bervariasi secara
signifikan di antara berbagai kelompok. Ketiga, adanya pertentangan dan konflik antara ideologi
dan agama dalam beberapa konteks, yang memperlihatkan kompleksitas dalam hubungan antara
kedua elemen ini.
Dalam masyarakat modern yang semakin kompleks dan multikultural, penting untuk
mempromosikan dialog antara ideologi dan agama sebagai upaya untuk membangun pemahaman
saling, toleransi, dan kerjasama. Dialog ini dapat membantu dalam mengatasi konflik dan
pertentangan yang mungkin timbul akibat perbedaan ideologi dan interpretasi agama. Lebih
lanjut, dialog semacam itu dapat menjadi landasan bagi pembangunan masyarakat yang inklusif
dan berbasis nilai-nilai kemanusiaan universal. Melalui kesimpulan ini, dapat disimpulkan bahwa
penelitian lebih lanjut tentang hubungan antara ideologi dan agama dalam gerakan keagamaan
diperlukan untuk memahami dinamika kompleks dari interaksi tersebut dalam konteks
masyarakat modern yang beragam dan kompleks.
DAFTAR PUSTAKA

Abdillah, Masykuri. “Aktualisasi Islam Dan Keindonesiaan Dalam Koteks Ideologi Negara
Pancasila.” Himmah: Jurnal Kajian Islam Kontemporer 4, no. 1 (2020).
https://doi.org/10.47313/jkik.v4i1.1100.

Bakri, Dr Syamsul. GERAKAN KOMUNISME ISLAM SURAKARTA 1914 - 1942. Lkis Pelangi
Aksara, 2015.

Basyir, Kunawi. “Ideologi Gerakan Politik Islam Di Indonesia.” AL-TAHRIR: Jurnal Pemikiran
Islam 16, no. 2 (November 2016): 339–62.

Farida, Umma. “RADIKALISME, MODERATISME, DAN LIBERALISME PESANTREN:


MELACAK PEMIKIRAN DAN GERAKAN KEAGAMAAN PESANTREN DI ERA
GLOBALISASI.” Edukasia : Jurnal Penelitian Pendidikan Islam 10, no. 1 (March 27,
2015). https://doi.org/10.21043/edukasia.v10i1.789.

“Liberalisasi Pemikiran Islam: Gerakan Bersama Missionaris, Orientalis Dan Kolonialis |


TSAQAFAH,” May 3, 2016.
https://ejournal.unida.gontor.ac.id/index.php/tsaqafah/article/view/145.

Qodir, Dr Zuly. ISLAM LIBERAL ; Varian-Varian Liberalisme Islam di Indonesia 1991-2002.


Lkis Pelangi Aksara, 2010.

Wikandaru, Reno, and Budhi Cahyo. “LANDASAN ONTOLOGIS SOSIALISME.” Jurnal


Filsafat 26, no. 1 (August 14, 2016): 112–35. https://doi.org/10.22146/jf.12627.

Anda mungkin juga menyukai