Anda di halaman 1dari 7

C.

Pendewasaan

Dalam sistem hukum perdata (BW), mereka yang belum dewasa tetapi
harus melakukan perbuatan-perbuatan hokum seorang dewasa,
terdapat lembaga hokum pendewasaan (handlichting), - yang diatur
pada Pasal-pasal 419 s.d. 432. Pendewasaan merupakan suatu cara
untuk meniadakan keadaan belum dewasa terhadap orang-orang yang
belum mencapai umur21 tahun. Jadi, maksudnya adalah memberikan
kedudukan hukum(penuh atau terbatas) sebagai orang dewasa kepada
orang-orangyang belum dewasa. Pendewasaan penuh hanya diberikan
kepada orang-orang yang telah mencapai umur 18 tahun, yang
diberikan dengan Keputusan Pengadilan Negeri.

Akan tetapi, lembaga pendewasaan (handlichting) ini sekarang tidak


relevan lagi dengan adanya Undang-undang No. 1 Tahun1974 (Pasal 47
ayat (1) dan Pasal 50 ayat (2) yang menentukan bahwa seseorang yang
telah mencapai umur 18 tahun adalah dewasa. Ketentuan Undang-
undang Perkawinan yang menetapkan umur seorang dewasa 18 tahun
itu dikuatkan oleh Mahkamah Agung dalam putusannya tanggal 2
Desember 1976 No. 477 K/Sip/76 dalam perkara perdata antara Masul
Susano alias Tan Kim Tjiang vs Nyonya Tjiang Kim Ho.

Dalam pergaulan hidup di masyarakat yang terdiri dari orang-orang


yang sedemikian banyaknya, maka sudah tentu diperlukan adanya
tanda untuk membedakan orang yang satu dengan orang yang lain,
selanjutnya untuk mengetahui apa yang merupakan hakhaknya dan apa
pula yang merupakan kewajiban-kewajibannya. Tanda yang diperlukan
ialah nama.
D. Nama

Bagi golngan Eropa dan mereka yang dipersamakan, soal nama mereka
ini diatur dalam Buku I titel II bagian kedua (Pasal 5a s.d 12) yang
menentukan tentang nama-nama, perubahan namanama, dan
perubahan nama-nama depan. Akan tetapi, dengan adanya Undang-
undang No. 4 tahun 1961 yang mengatur tentang penggantian nama,
maka pasal-pasal BW tentang nama yang telah diatur dalam undang-
undang ini tidak berlaku lagi.

Masalah nama bagi orang-orang golongan Eropa dan mereka yang


dipersamakan, merupakan hal yang cukup penting, karena nama itu
merupakan identifikasi seseorang sebagai subyek hukum. Bahkan, dari
nama itu sudah dapat diketahui keturunan siapa seorang yang
bersangkutan. Hal mana sangat penting dalam urusan pembagian
warisan serta soal-soal lain yang berhubungan dengan kekeluargaan.

Nama seorang golongan Eropa pada umumnya terdiri dari dua bagian
yaitu '[nama kecil" (misalnya Karel, Jan, Robert, dan sebagainya) yang
biasa diberikan sendiri oleh orang tuanya dan "nama keluarga" (seperti
Bakker, Koch, Tounissen dan sebagainya) yang dipakai oleh bapak dan
ibunya.

E. Tempat Tinggal

Selain daripada nama, untuk lebih jelas lagi siapa yang mempunyai
sesuatu hak dan/atau kewajiban serta dengan siapa seseorang
mengadakan hubungan hukum, maka dalam hokum perdata ditentukan
pula tentang tempat tinggal (domisili).Kepentingan adanya ketentuan
tentang tempat tinggal seseorang ini antara lain adalah untuk
menyampaikan gugatanperdata terhadap seseorang.
Setiap orang dianggap mempunyai tempat tinggal (domisili)dimana ia
berkediaman pokok, tetapi bagi orang yang tidak mempunyai tempat
kediaman tertentu, maka tempat tinggal dianggap dimana ia sungguh-
sungguh berada.

Tempat tinggal dapat dibedakan atas 2 macam yaitu:

1. Tempat tinggal yang , sesungguhnya. Di tempat tinggal


sesungguhnya inilah biasanya seseorang melakukan hakhaknya dan
memenuhi kewajiban-kewajiban perdata pada umumnya. Tempat
tinggal yang sesungguhnya ini dapat dibedakan pula atas 2 macam,
yakni:

a. Tempat tinggal yang bebas atau yang berdiri sendiri, tidak


terikat/bergantung kepada hubungannya dengan pihak lain.

b. Tempat tinggal yang tidak bebas, yakni tempat tinggal yang


terikat/bergantung kepada hubungannya dengan pihak lain. Misalnya,
tempat tinggal anak yang belum dewasa di rumah orang
tuanya/walinya; tempat tinggal orang yang berada di bawah
pengampuan di rumah pengampunya; buruh mempunyai tempat
tinggal di rumah majikannya jika mereka tinggal bersama majikannya.

2. Tempat tin-ggal yang dipilih. Dalam "uatu sengketa di muka


pengadilan, kedua belah pihak yang bernerkara atau salah satu dari
mereka dapat memilih tempat tingga lain daripada tempat tinggal
mereka yang sebenarnya. Pemilihan tempat tinggal ini dilakukan
dengan suatu akta. Diadakannya tempat tinggal yang dipilih ini
dimaksudkan untuk memudahkan pihak lain maupun untuk
kepentingan pihak yang memilih tempat tinggal tersebut.
Kemudian rumah kematian yang sering terpakai dalam undang-undang
tidak lain seperti domisili penghabisan dari orang yang meninggal.
Pengertian ini adalah penting untuk menentukan beberapa hal seperti:
pengadilan mana yang berwenang untuk mengadili tentang warisan
yang dipersengketakan; pengadilan mana yang berwenang untuk
mengadili tuntutan si berpiutang dan sebagainya. Sedangkan bagi
badan hukum biasanya tidak dikatakan dengan istilah "tempat
tinggal/kematian" melainkan "tempat kedudukan". Secara yuridis
tempat kedudukan suatu badan hukum ialah tempat dimana
pengurusnya menetap.

Menurut beberapa arrest dari Hoog Raad, ketentuan-ketentuan


mengenai tempat tinggal yang termuat dalam BW Buku 1 Pasal 17 s.d.
25, juga berlaku dalam memperlakukan undang-undang tata usaha
maupun undang-undang lainnya, sepanjang undang-undang itu tidak
menentukan lain.

F. Keadaan Tidak Hadir

Bilamana seseorang untuk waktu yang pendek maupun untuk waktu


yang lama meninggalkan tempat tinggalnya, tetapi sebelum pergi ia
memberikan kuasa kepada orang lain untuk mewakili dirinya dan
mengurus harta kekayaannya, maka keadaan ddak di tempat orang itu
tidak menimbulkan persoalan. Akan tetapi, bilamana orang yang pergi
meninggalkan tempat tinggal tersebut sebelumnya tidak memberikan
kuasa apapun kepada orang lain untuk mewakili diinya maupun untuk
mengurus harta kekayaannyadan sebala kepentingannya, maka
keadaan tidak ditempatnya orang itu menimbulkan persoalan, siapa
yang mewakili dirinya dan bagaimana mengurus harta kekayaannya?
Meskipun orang yang meninggaljcan tempat tinggal itu tidak kehilangan
statusnya sebagai persoon atau sebagai subyek hukum, tetapi keadaan
tidak ditempat (keadaan tidak hadir - afwezigheid) orang tersebut
menimbulkan ketidakpastian hukum, sehingga oleh karena itu
pembentuk undang-undang perlu mengaturnya.

Ketentuan mengenai keadaan tidak di tempat atau keadaan tidak hadir


(afwezigheid) termuat dalam BW Buku I Pasal 463 s.d. 495 dan dalam
Stb. 1946 No. 137 jo Biblad V dan Stb. 1949 No. 451.

Undang-undang mengatur keadaan tidak di tempat atas tiga masa atau


tingkatan, yaitu masa persiapan (Pasal 463 s.d. 466), masa yang
berhubungan dengan pernyataan bahwa, orang yang meninggalkan
tempat itu mungkin meninggal dunia (Pasal 467 s.d. 483) dan masa
pewarisan secara definitif (Pa.$rd\ 484).

Dalam masa persiapan (tindakan sementara) tidak perlu ada keraguan


apakah orang yang meninggalkan tempat tinggal itu masih hidup atau
sudah meninggal dunia; tetapi ada alasan yang mendesak guna
mengurus seluruh atau sebagian harta kekayaannya atau guna
mengadakan seorang wakil baginya. Pada masa ini Pengadilan Negeri
tempat tinggal orang yang keadaan tidak hadir itu menunjuk Balai Harta
Peninggalan (weeskamer) untuk menjadi pengurus harta kekayaan dan
kepentingan orang yang tidak di tempat tidak banyak, maka untuk
mengurus harta kekayaan dan mewakili kepentingannya itu, Pengadilan
Negeri dapat memerintahkan kepada seorang atau lebih dari keluarga
sedarah atau semenda atau kepada isteri atau suaminya.

Masa yang berhubungan dengan pernyataan bahwa orang yang


meninggalkan tempat itu mungkin meninggal dunia, yaitu setelah lewat
5 tahun sejak keberangkatannya dari tempat tinggalnya atau 5 tahun
sejak diperolehnya kabar terakhir yang membuktikan bahwa pada
waktu itu masih hidup, setelah diadakan pemanggilan secara umum
dengan memuat di surat kabar sebanyak tiga kali. Hak-hak dan
kewajiban-kewajiban orang yang tidak di tempat beralih kepada ahli
warisnya, tetapi ini hanya bersifat sementara dan dengan pembatasan-
pembatasan.

Sedangkan masa pewarisan secara definitif adalah masa dimana


persangkaan bahwa orang yang tidak di tempat itu telah meninggal
dunia semakin kuat yaitu setelah lampau 30 tahun sejak hari
pernyataan kemungkinan meninggal dunia atau setelah lampau 100
tahun terhitung sejak hari lahir orang yang tidak di tempat itu.

Meskipun demikian, dalam setiap masa itu orang yang tidak di tempat
tersebut tetap mempunyai wewenang berhak dan wewenang bertindak
atas harta kekayaan yang ditinggalkannya, dimana kalau ia muncul
kembali, maka hak-hak dan kewajiban-kewajibannya kembali
kepadanya dengan pembatasan-pembatasan tertentu (Pasal 486 dan
Pasal 487).

Kemudian dalam Pasal 489 s.d. 492 diatur tentang akibat-akibat


keadaan tidak di tempat yang berhubungan dengan perkawinan, tetapi
dengan berlakunya Undang-undang No. 1 Tahun 1974 tentang
Perkawinan, pasal-pasal BW mengenai afwezigheid yang berhubungan
dengan perkawinan ini kiranya sudah tidak relevan lagi.

Pentingnya pengaturan mengenai keadaan tidak di tempat atau


keadaan tidak hadir terutama adalah pada masa dahulu dimana
hubungan antar daerah masih sukar. Berbeda dengan zaman modern
sekarang dimana hubungan antar daerah maupun antar negara sudah
lancar. Untuk masa sekarang pengaturan mengenai keadaan tidak di
tempat tetap ada gunanya, satu dan lain hal bila terjadi perang atau
terjadi kekacauan-kekacauan, dimana orang banyak yang hilang dan
perhubungan dengan beberapa daerah atau negara terputus.

Anda mungkin juga menyukai