Anda di halaman 1dari 2

Politisasi Agama,

Dagangan Yang Digoreng Dalam Demokrasi


Oleh: Eli Marlinda

Tim Kampanye Nasional Jokowi - Ma'ruf menilai acara Munajat 212 yang digelar pada
tanggal 21 Februari 2019, sangat kental nuansa kampanye dan merupakan bagian dari politisasi
agama (Nasional.tempo.co, 22/2/2019).
Narasi yang sama juga disampaikan oleh Ketua Tim Kampanye 01 Daerah Jawa Barat,
Dedi Mulyadi mengimbau masyarakat dan elite politik untuk menghentikan politisasi agama,
"Hentikan politisasi di bidang agama mulai tahun 2019. Fokus saja pada program kerja dan visi
serta kinerja pembangunan yang akan diusung pada periode ke depan," (kompas.com,
31/12/2108).

Isu Politisasi Agama Demi Meraih Kekuasaan


Kalau mencermati opini terkait politisasi agama sangat jelas itu datang dari kubu 01
karena kita ketahui bersama semenjak umat islam Indonesia mulai memandang bahwa agama itu
adalah segalanya yang dibuktikan dengan tuntutan keadilan hukum atas penistaan Almaidah ayat
51 oleh Ahok yang loyalitas ke rezim pada saat itu yang diikuti kemudian dengan Ijtima ulama
menghasilkan kesepakatan mendukung Capres 02 Prabowo-Sandi.
Nah dari sini jelas bahwa Rezim saat ini merasa takut akan hilangnya dukungan suara
umat islam yang menjadi mayoritas di negeri ini sehingga setiap kegiatan berbasis agama
kebetulan yang di undang adalah tokoh atau ulama yang pro ke 02 sudah di anggap sebagai
politisasi agama.
Terlebih kalau ada ulama atau mubaligh yang dalam ceramah atau khutbahnya berisi
kritikan dan muhasabah atas kebijakan rezim langsung di anggap politisasi agama, politisasi
masjid dan sebagainya.
Padahal kalau mau jujur ada ketua partai pendukung rezim yang non muslim rajin pergi
ke pondok pesantren untuk memberikan bantuan, bukankah ini juga politisasi agama?, apakah
bantuan itu hanya sekedar memberikan saja tanpa mengharapkan imbalan setidaknya dukungan
ke partai tersebut, ingat “no free lunch” (tidak ada makan siang gratis) dalam demokrasi.
Yang paling terang benderang adalah ketika rezim memilih KH. Ma’ruf Amin selaku
Ketua MUI menjadi Cawapresnya dan “mengabaikan” Prof.Mahmud MD. Bukankah ini juga
bisa dikatakan politisasi agama? karena memilih Cawapres karena latar belakang Agama, demi
meraih simpatik umat islam.
Pertanyaan serius adalah kalau 01 menang, apakah KH.Ma’ruf Amin bisa memberikan
pengaruh dalam mengambil kebijakan?, saya rasa tidak. Karena berkaca dari pemerintahan
Jokowi-Jk. Bapak Jusuf Kalla (Jk) seolah tidak memiliki peranan kebijakan dalam pemerintahan.
Ini namanya Ulama masuk dalam jebakan penguasa, hanya dijadikan alat legitamasi kekuasaan.

Islam dan politik

Istilah politisasi agama (tasyis ad-din) sebenarnya bukanlah istilah netral, melainkan
istilah yang terkait dengan suatu pandangan hidup (worldview, weltanschauung) Barat, yaitu
sekularisme. Dalam masyarakat sekular Barat, pemisahan politik dari agama adalah suatu
keniscayaan. Karena itu politisasi agama dipandang ilegal.
Ini tentu berbeda dengan Islam yang tidak memisahkan agama dari urusan kehidupan
masyarakat, termasuk politik. Politik (as-siyasah) adalah bagian integral dari Islam.
Dikatakanlah, Al-Islam din[un] wa minhu ad-dawlah (Islam adalah agama dan politik adalah
bagian dari agama).
Ibnu Taimiyah berkata, “Jika kekuasaan (as-sulthan) terpisah dari agama, atau jika agama
terpisah dari kekuasaan, niscaya keadaan manusia akan rusak.” (Lihat: Ibnu Timiyah, Majmu’ al-
Fatawa, 28/394).
Allah SWT berfirman: “Kamu adalah umat terbaik yang dilahirkan untuk manusia,
menyuruh kepada yang ma‘ruf, dan mencegah dari yang munkar.” (QS. Ali Imran: 110)
Dari dasar inilah kemudian Ulama memiliki peranan politik yaitu Muhasabah lil Hukam
(mengoreksi penguasa) agar kembali ke jalan yang semestinya. Bukan kemudian justru ada
ulama yang mengkritik dianggap sebagai lawan dan dikriminalisasikan.
Inilah Fakta demokrasi saat ini, sudah banyak ulama yang bersikap kritis kepada
penguasa menjadi korban seperti Habib Riziek dan Ulama kondang yang jujur seperti Ust.Abdul
Somad gara-gara mengemukakan dalil tentang wajibnya Khilafah kemudian dipersekusi dan
dipaksa cium serta hormat bendera. Jangankan ulama sekaliber Capres 02 saja beberapa hari
yang lalu tidak jadi kampanye terakhir di semarang karena tidak mendapatkan ijin dari
pemerintah terkait. Masih berharap adil pada demokrasi?

Anda mungkin juga menyukai